This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Laporan Responsi Hari/Tanggal : Selasa/07 Mei 2013Teknologi Fortifikasi dan Dosen : Elzha Nur Fadilla, SKMSuplementasi Asisten Dosen : Made Gayatri, Amd, STP
PROSES PEMBUATAN MIE BASAH FORTIFIKASI
Oleh:
Kelompok 4
A / P2
Siti Dita Aditianingsih J3E111023
Nurul Ulfah Dzulfadillah J3E111046
Suci Saelan AB J3E111068
Tia Esha Nombiga J3E111073
Dina Crownia J3E111087
Zulkifli J3E111095
PROGRAM KEAHLIAN SUPERVISOR JAMINAN MUTU PANGAN
DIREKTORAT PROGRAM DIPLOMA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2013
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Fortifikasi pangan adalah penambahan satu atau lebih zat gizi (nutrien) ke
pangan. Fortifikasi mie basah merupakan salah satu pilihan untuk menanggulangi
permasalahan kekurangan gizi pada masyarakat. Peran pokok dari fortifikasi pangan
adalah pencegahan defisiensi sehingga menghindari terjadinya gangguan yang
membawa kepada penderitaan manusia dan kerugian sosio-ekonomi. Namun
demikian, fortifikasi pangan juga digunakan untuk menghapus dan mengendalikan
defisiensi zat gizi dan gangguan yang diakibatkannya. Istilah double fortification dan
multiple fortification digunakan apabila 2 atau lebih zat gizi, masing-masing
ditambahkan kepada pangan atan campuran pangan. Pangan pembawa zat gizi yang
ditambahkan disebut Vehicle, sementara zat gizi yang ditambahkan disebut
Fortificant. Dalam hal ini dilakukan pengolahan mie dilakukan dengan berbahan
dasar tepung terigu dan kemudian difortifikasi dengan premix Fe, Zn, B1, B2, B9.
Menurut Rustanti (2009), keberhasilan fortifikasi mie basah dipengaruhi oleh
jenis sediaan zat besi yaitu zat besi anorganik atau zat besi organik serta interaksi
dengan mikronutrien lain seperti vitamin A atau provitamin A. Warna yang
dihasilkan pada mie basah dihasilkan oleh premix seperti vitamin B yang dapat
berperan dalam menghasilkan warna kuning pada mie basah.
1.2 Tujuan
Praktikum ini bertujuan untuk mengetahui pengolahan fortifikasi mie basah
dengan zat Fe, Zn dan vitamin B kompleks serta mengetahui pengaruhnya terhadap
daya terima pada mie basah fortifikasi.
BAB II
METODOLOGI
2.1 Alat dan bahan
Alat yang digunakan pada pengolahan mie basah fortifikasi adalah panci,
baskom, kompor, pencetak mie (sheeter), sendok dan piring. Bahan yang digunakan
adalah tepung terigu, kuning telur, putih telur, garam dan premix.
2.2 Metode
Alat dan bahan disiapkan
Bahan-bahan ditimbang (tepung terigu, kuning telur, putih telur, garam dan premix)
Premix dilarutkan dengan air 50 ml
Dicampur dengan tepung terigu dan diaduk sampai kalis
Kuning telur dan putih telur dicampurkan ke dalam adonan tepung
Ditambahkan 5 ml air sedikit demi sedikit
Mie dicetak
Ditambahkan minyak goreng kemudian direbus selama 3 menit
Mie basah ditiriskan
Dilakukan uji hedonik mie basah fortifikasi
BAB III
HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1 Hasil
Keterangan Kode: Fe = Kelompok 3 B1 = Kelompok 6Zn = Kelompok 2 B2 = Kelompok 5Ca = Kelompok 1 B9 = Kelompok 4
Keterangan Skala Numerik Penilaian:7 = Sangat suka 3 = Agak tidak suka6 = Suka 2 = Tidak suka5 = Agak suka 1 = Sangat tidak suka4 = Netral
3.2 Pembahasan
Pada praktikum kali ini mahasiswa diminta untuk membuat produk mie basah
fortifikasi. Mie basah merupakan untaian mie hasil dari pemotongan lembaran adonan
Tabel 1. Hasil rekapitulasi uji hedonik mie fortikasi
dihasilkan dari mie mentah yang dikukus atau direbus. Kadar airnya dapat mencapai
52% sehingga daya tahan simpannya relatif singkat (40 jam pada suhu kamar).
Fortifikasi mie basah merupakan salah satu pilihan untuk menanggulangi
permasalahan kekurangan gizi pada masyarakat. Pengolahan mie basah ini dilakukan
dengan berbahan dasar tepung terigu dan kemudian difortifikasi dengan premix Fe,
Zn, B1, B2, B9.
3.2.1 Bahan Baku Pembuatan Mie Fortifikasi
Tepung terigu merupakan bahan dasar pembuatan mie. Tepung terigu
berfungsi membentuk struktur mie, sumber protein, dan karbohidrat. Kandungan
protein utama dari tepung terigu yang berperan dalam pembuatan mie adalah gluten.
Protein dalam tepung terigu untuk pembuatan mie harus dalam jumlah yang cukup
tinggi supaya mie menjadi elastis dan tahan terhadap penarikan sewaktu proses
produksinya. Bahan-bahan lain yang digunakan yaitu air, garam, putih telur, dan
fortifikan. Tepung terigu yang digunakan yaitu tepung terigu fortifikasi dengan
beberapa jenis gizi mikro, yaitu zat besi (50 ppm), seng (30 ppm), dan folat (2 ppm).
Tepung terigu memenuhi syarat untuk dijadikan vehicle (pangan pembawa) zat gizi
mikro dalam program fortifikasi pangan yang ditunjukan untuk melengkapi strategi
mengatasi masalah anemia gizi di Indonesia (Hardinsyah, 2002 di dalam Amalia dan
Hardiyansyah, 2007).
Air berfungsi sebagai media reaksi antara gluten dengan karbohidrat,
melarutkan garam, dan membentuk sifat kenyal gluten. Pati dan gluten akan
mengembang dengan adanya air. Air sebaiknya memiliki pH antara 6-9. Pada selang
pH 4-8, makin tinggi pH air maka mie yang dihasilkan tidak mudah patah karena
absorpsi air akan meningkat dengan meningkatnya pH. Jumlah air yang optimum
akan membentuk pasta yang baik.
Garam berperan dalam memberi rasa, memperkuat tekstur mie, meningkatkan
fleksibilitas dan elastisitas mie, serta untuk mengikat air (Sunaryo, 1985 di dalam
Prangdimurti, 1991). Garam dapat menghambat aktifitas enzim protease dan amilase
sehingga pasta tidak lengket dan tidak mengembang secara berlebihan (Mulya, 1988
di dalam Prangdimurti, 1991).
Putih telur akan menghasilkan suatu lapisan yang tipis dan kuat pada
permukaan mie. Lapisan tersebut cukup efektif untuk mencegah penyerapan minyak
sewaktu digoreng dan kekeruhan saus mie sewaktu pemasakan. Lesitin pada kuning
telur merupakan pengemulsi yang baik, dapat mempercepat hidrasi air pada terigu,
dan bersifat mengembangkan adonan (Sunaryo, 1985 di dalam Prangdimurti, 1991).
Pada pembuatan mie basah fortifikasi ini ditambahkan premiks fortifikan yang
terdiri dari Fe 50 mg, Zn 30 mg, vitamin B1 2.5 mg, vitamin B2 4 mg, dan Vitamin
B9 2 mg. Zat besi yang digunakan dalam bentuk ferro sulfate yang memiliki
bioavilabilitas lebih baik daripada garam feri, kelarutan garam fero lebih tinggi dari
garam feri dan mampu diabsorpsi tubuh 3 kali lebih tinggi daripada garam feri.
Garam fero utama yang digunakan adalah fero sulfat karena harganya relatif murah.
3.2.2 Proses Pengolahan Mie Fortifikasi
Tahapan pembuatan mie terdiri dari tahap pencampuran, roll press
(pembentukan lembaran), pembentukan mie, dan pengukusan. Tahap pencampuran
bertujuan agar hidrasi tepung dengan air berlangsung secara merata dan menarik
serat-serat gluten. Untuk mendapatkan adonan yang baik harus diperhatikan jumlah
penambahan air (28-38%), waktu pengadukan (15-25 menit), dan suhu adonan (24-
40oC). Pada tahap ini juga ditambahkan fortifikan yang sebelumnya telah dilarutkan
dengan 50 ml air.
Proses roll press (pembentukan lembaran) bertujuan untuk menghaluskan
serat-serat gluten dan membuat lembaran adonan. Adonan yang dipress sebaiknya
tidak bersuhu rendah, karena pada suhu rendah akan menyebabkan lembaran menjadi
pecah-pecah dan kasar. Mutu lembaran yang demikian akan menghasilkan mie yang
mudah patah. Tebal akhir lembaran sekitar 1.2 - 2 mm. Setelah pembentukan mie,
dilakukan proses pengukusan. Pada proses ini, terjadi gelatinisasi pati dan koagulasi
gluten sehingga dengan terjadinya dehidrasi air dari gluten akan menyebabkan
timbulnya kekenyalan mie. Hal ini disebabkan oleh putusnya ikatan hidrogen,
sehingga rantai ikatan kompleks pati gluten lebih rapat. Pada waktu sebelum direbus,
ikatan bersifat lunak dan fleksibel, tetapi setelah direbus menjadi keras dan kuat.
Setelah proses pemasakan mie selesai dilakukan uji organoleptik untuk
menilai mutu dari setiap parameter yang akan diujikan. Uji organoleptik yang
dilakukan adalah uji kesukaan terhadap warna, rasa, aroma, penampakan, dan tekstur
berdasarkan tingkat kesukaan konsumen. Panelis diminta untuk menyatakan
kesukaaan mie basah. Adapun skala hedonik atau skala numerik yang diberikan yaitu
1-7. Hal ini bertujuan untuk melihat kesan pertama yang timbul saat panelis
melakukan penilaian terhadap karakteristik mutu yang diujikan.
3.2.3 Alasan ditambahkan Fe pada Mie
Konsumsi mie di masyarakat sangat umum dari semua golongan bahwa mie
dapat menggantikan menu makan pokok. Namun konsumsi mie dalam jangka waktu
lama akan berdampak pada kekurangan serat, vitamin, dan mineral. Salah satu hal
yang dapat dilakukan untuk memecahkan masalah ini yaitu dengan cara
memfortifikasi mie dengan penambahan vitamin dan mineral.
Selain tingginya konsumsi pada mie, fortifikasi besi dilakukan dengan alasan
tingginya masalah Anemia Gizi Besi (AGB). Anemia gizi besi menjadi salah satu
masalah gizi utama yang perlu diperhatikan. Hal ini disebabkan selain diderita oleh
hampir semua golongan umur, anemia gizi besi juga mempengaruhi produktivitas
kerja. Oleh karena itu, produk mie merupakan produk yang wajib untuk difortifikasi.
Menurut Richard et al (2010), masyarakat terutama berumur 6-59 tahun yang
mengkonsumsi mie dengan fortifikasi besi dapa terhindar dari risiko anemia. Hal ini
disebabkan konsumsi zat besi dapat meningkatkan nilai Hemoglobin secara nyata
(Sukati dkk, 1995).
Fortifikasi pada mie basah ini dilakukan dengan penambahan premix vitamin
dan mineral. Namun, fortifikasi mie basah ini yang lebih diinginkan adalah dengan
menggunakan fortifikan zat besi. Pada umumnya fortifikasi zat besi ke dalam bahan
pangan dilakukan dengan cara membuat premix. Teknik penambahan fortifikan ke
dalam mie harus tidak menyebabkan terjadinya reaksi yang dapat menurunkan tingkat
penyerapan dalam tubuh atau bioavalabilitasnya.
Fortifikan yang ditambahkan pada mie basah, yaitu zat besi (Fe), Zinc (Zn),
Thiamin (B1), Rhiboflavin (B2), dan Asam folat (B9). Fortifikan ini digunakan untuk
memfortifikasi mie basah karena sifatnya yang tahan panas dan mudah diserap oleh
tubuh namun juga tidak menyebabkan penurunan tingkat penerimaan karena adanya
perubahan sifat sensori (rasa, warna, tekstur). Persyaratan senyawa besi yang dipilih
pun haruslah berupa jenis zat besi yang tingkat penyerapannya dalam usus cukup
tinggi. Zat besi diperlukan dalam tubuh sebagai alat angkut oksigen dari paru-paru ke
jaringan tubuh, sebagai alat angkut electron dalam sel, sebagai bagian terpadu
berbagai reaksi enzim di dalam jaringan tubuh menyokong sistem kekebalan tubuh.
Kandungan alami vitamin dan mineral yang terdapat pada bahan baku akan
mengalami kehilangan ketika proses pengolahan sehingga pada produk mie ini harus
dilakukan fortifikasi sebagai upaya dalam mengatasi masalah gizi. Oleh karena itu
diharapkan dalam fortifikasi mie ini bahan pembawa yang telah difortifikasi harus
tetap stabil dan tidak banyak mengalami perubahan dari aspek sensorinya.
3.2.4 Uji Hedonik Mie Fortifikasi
Kelompok uji penerimaan juga disebut acceptance tests atau preference tests.
Uji penerimaan menyangkut penilaian seseorang akan suatu sifat atau kualitas suatu
bahan yang menyebabkan orang menyenangi. Jika pada uji pembedaan panelis
mengemukakan kesan akan adanya perbedaan tanpa disertai kesan senang atau tidak,
maka pada uji penerimaan panelis mengemukakan tanggapan pribadi yaitu kesan
yang berhubungan dengan kesukaan atau tanggapan senang atau tidaknya terhadap
sifat sensorik atau kualitas yang dinilai. Jadi, uji penerimaan lebih subjektif daripada
uji pembedaan (Soekarto, 1985).
Menurut Soekarto (1985), tanggapan senang atau tidak sangat bersifat pribadi.
Oleh karena itu, kesan seseorang tak dapat sebagai petunjuk tentang penerimaan
suatu komoditi. Tujuan uji penerimaan adalah untuk mengetahui apakah suatu
komoditi atau sifat sensorik tertentu dapat diterima oleh masyarakat. Oleh karena itu,
tanggapan senang atau suka harus pula diperoleh dari sekelompok orang dapat
mewakili pendapat umum atau mewakili suatu populasi masyarakat tertentu. Dalam
kelompok uji penerimaan ini termasuk uji kesukaan (hedonik) dan uji mutu hedonik.
Salah satu uji sensoris yang sering dilakukan adalah uji kesukaan. Uji
kesukaan pada dasarnya merupakan pengujian yang panelisnya mengemukakan
responnya yang berupa senang tidaknya terhadap sifat bahan yang diuji. Pengujian ini
umumnya digunakan untuk mengkaji reaksi konsumen terhadap suatu bahan. Oleh
karena itu panelis sebaiknya diambil dalam jumlah besar yang mewakili populasi
masyarakat tertentu. Skala nilai yang digunakan dapat berupa nilai numerik dengan
keterangan verbalnya, atau keterangan verbalnya saja dengan kolom yang dapat
diberi tanda oleh panelis. Skala nilai dapat dinilai dalam arah vertikal atau horizontal
(Kartika, 1988).
Menurut Soekarto (1985) disamping panelis mengemukakan tanggapan
senang, suka atau kebalikannya, mereka juga mengemukakan tingkat kesukaannya.
Tingkat-tingkat kesukaan ini disebut skala hedonik. Misalnya dalam hal “suka”, dapat
mempunyai skala hedonik seperti: amat sangat suka, sangat suka, suka, agak suka.
Sebaliknya jika tanggapan itu “tidak suka”, dapat mempunyai skala hedonik seperti:
amat sangat tidak suka, sangat tidak suka, tidak suka, agak tidak suka. Diantara agak
suka dan agak tidak suka kadang-kadang ada tanggapan yang disebut netral, yaitu
bukan suka tetapi juga bukan tidak suka (neither nor dislike).
Kegiatan praktikum ini, dilakukan pengujian hedonik terhadap produk mie
fortifikasi. Adapun uji hedonik dilakukan dengan cara panelis diminta tanggapan
pribadinya tentang kesukaan atau ketidaksukaannya terhadap komoditi yang dinilai,
bahkan tanggapan dengan tingkatan kesukaan atau tingkatan ketidaksukaannya dalam
bentuk skala hedonic (Sarastani, 2012). Parameter yang akan diuji pada produk mie
fortifikasi yaitu rasa, warna, tekstur, dan penampakan. Panelis disediakan enam
sampel mie fortifikasi yang telah dibuat oleh semua kelompok dan disajikan secara
acak. Panelis disediakan enam contoh uji dengan kode berbeda yaitu “Fe” [Kelompok
[Kelompok 5], dan “B9” [Kelompok 4]. Panelis diminta untuk menilai warna dari
keenam mie fortifikasi tersebut lalu memberikan penilaian berupa “suka” atau “tidak
suka” terhadap warna mie fortifikasi tersebut pada kolom respon form uji. Adapun
skala hedonik atau skala numerik yang diberikan, yaitu sangat suka [7], suka [6],
agak suka [5], netral [4], agak tidak suka [3], tidak suka [2], dan sangat tidak suka
[1].
Berdasarkan hasil penilaian dari segi parameter penampakan mie fortifikasi
pada Tabel 1, dapat dikatakan bahwa mie fortifikasi kode “Ca” dan “B1” paling
disukai diantara penampakan mie fortifikasi yang lain karena memiliki penilaian
tertinggi, yaitu 5.50 dengan skala kriteria penilaian antara [agak suka] dan [suka]
sedangkan penilaian terkecil terletak pada mie fortifikasi kode “B2”, yaitu 4.50. Mie
fortifikasi kode Ca merupakan mie yang ditambahkan fortifikan premix sebanyak 0
ppm, mie fortifikasi kode “B1” merupakan mie yang ditambahkan fortifikan premix
sebanyak 125 ppm sedangkan mie fortifikasi kode “B2” sebanyak 100 ppm.
Berdasarkan hasil perhitungan sidik ragam parameter penampakan pada
Tabel 9, dapat dilihat bahwa Fhitung sampel memiliki nilai 1.79. Jika dibandingkan
dengan Ftabel, nilai Fhitung lebih kecil daripada Ftabel 1%, yaitu 3.02 dan 5%, yaitu 2.21
sehingga Fhitung sampel tidak diberi bintang sehingga dapat disimpulkan bahwa pada
uji hedonik dengan parameter penampakan pada keenam sampel mie basah fortifikasi
dikatakan memiliki penampakan yang tidak berbeda nyata sehingga tidak perlu
dilakukan uji Duncan.
Penampakan pada mie fortifikasi memiliki bentuk pilinan yang seragam dan
tidak mudah putus. Hal ini menandakan penambahan zat fortifikan tidak berpengaruh
terhadap penampakan mie yang dihasilkan. Bentuk khas mie berupa pilinan panjang
yang dapat mengembang sampai batas tertentu dan lentur serta kalau direbus tidak
banyak padatan yang hilang. Semua ini termasuk sifat fisik mie yang sangat
menentukan terhadap penerimaan konsumen. Alat pengolahan pada mie (roll noodle
machine) umumnya terdiri dari 2 buah unit, yaitu unit pressing (penggilingan) dan
slitter. Unit pressing berfungsi membentuk lembaran adonan mie sampai ketebalan
tertentu. Unit slitter berfungsi seperti pisau yang akan memotong lembaran mie
secara membujur menjadi untaian mie.
Pilinan pada mie fortifikasi memiliki ketebalan untaian yang berbeda-beda.
Hal ini disebabkan pembentukan lembaran adonan mie yang dilakukan oleh unit
pressing. Mie yang disukai oleh konsumen adalah mie dengan ketebalan untaian yang
tipis. Oleh karena itu pembentukan lembaran adonan harus dilakukan berkali-kali
agar mencapai ketebalan untaian mie yang diinginkan.
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN
4.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil percobaan, dapat disimpulkan bahwa pada hasil uji hedonik
rasa mie basah fortifikasi, mie basah B2 dengan fortifikasi premix 100 ppm memiliki
mutu dan kualitas rasa yang paling disukai. Rasa pada keenam mie basah fortifikasi
dikatakan memiliki tingkat rasa yang berbeda namun tidak perlu dilakukan uji
Duncan untuk mengetahui tingkat rasa mana yang sama atau lebih dari yang lain
karena hanya mendapat tanda sebanyak satu bintang (*).
Pada hasil uji hedonik warna mie basah fortifikasi, mie basah Zn dengan
fortifikasi premix 25 ppm memiliki mutu dan kualitas warna yang paling disukai.
Warna pada keenam mie basah fortifikasi dikatakan memiliki tingkat warna yang
sama atau tidak berbeda sehingga tidak perlu dilakukan analisis lebih lanjut dengan
uji Duncan.
Pada hasil uji hedonik tesktur mie basah fortifikasi, mie basah B1 dengan
fortifikasi premix 125 ppm memiliki mutu dan kualitas tekstur yang paling disukai.
Tekstur pada keenam mie basah fortifikasi dikatakan memiliki tingkat keelastisan
(tekstur) yang sama atau tidak berbeda sehingga tidak perlu dilakukan analisis lebih
lanjut dengan uji Duncan.
Pada hasil uji hedonik penampakan mie basah fortifikasi, mie basah Ca dan
B1 dengan fortifikasi premix 0 ppm dan 125 ppm memiliki mutu dan kualitas
penampakan yang paling disukai. Penampakan pada keenam mie basah fortifikasi
dikatakan memiliki tingkat penampakan yang sama atau tidak berbeda sehingga tidak
perlu dilakukan analisis lebih lanjut dengan uji Duncan.
4.2 Saran
Saran kami dari hasil praktikum ini adalah sebaiknya dalam melakukan uji
organoleptik, semua panelis diharapkan mengikuti uji ini agar hasil yang diperoleh
lebih merata dan tepat. Selain itu pada proses pengolahan mie basah fortifikasi,
disarankan untuk membentuk lembaran adonan mie berkali-berkali agar mencapai
ketebalan untaian mie yang diinginkan.
DAFTAR PUSTAKA
Amalia dan Hardiansyah. 2007. Perkembangan konsumsi terigu dan pangan olahannya di Indonesia 1993-2005. Jurnal Gizi dan Pangan Vol. 2 no. 1 hal. 8-15.
Astawan, Made. 2008. Membuat Mie dan Bihun. Bandung: Penebar Swadaya
Kartika B dkk. 1988. Pedoman Uji Inderawi Bahan Pangan. Yogyakarta: PAU Pangan dan Gizi, Universitas Gajah Mada.
Ketaren, S. 1986. Minyak dan Lemak Pengan. Jakarta: UI Press.
Permana, Jaya Azhari, dkk. 2012. Fortifikasi tepung cangkang udang sebagai sumber kalsium terhadap tingkat kesukaan cone es krim. Jurnal Perikanan dan Kelautan Vol.3. no. 4. Bandung: Universitas Padjajaran
Prangdimurti. 1991. Fortifikasi zat besi pada mie kering yang dibuat dari campuran tepung terigu dan tepung singkong [skripsi]. Bogor: fakultas Teknologi Pertanian, IPB.
Richard, et al. 2010. Iron-fortified milk and noodle consumption is associated with lower risk of anemia among children aged 6–59 mo in Indonesia. The American Journal of Clinical Nutrition.
Rustanti. 2009. “Pendekatan Fortifikasi Pangan Mengatasi Masalah Kekurangan Zat Gizi Mikro”. http://repository.usu.ac.id [12 Mei 2013]
Sarastani, Dewi. 2012. Penuntun Praktikum Analisis Organoleptik. Bogor: Program Diploma Institut Pertanian Bogor.
Soekarto, ST. 1985. Penilaian Organoleptik untuk Industri Pangan dan Hasil Pertanian. Jakarta: Bharata Karya Aksara.
Sukati, dkk. 1995. Dampak fortifikasi mie instan dengan vitamin A dan zat besi terhadap status vitamin A dan status besi pada balita. http:// ejournal.litbang.depkes.go.id [13 Mei 2013]
Winarno, F. G. 1994. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
LAMPIRAN
Lampiran 1. Perhitungan Uji Hedonik Warna
Tabel 2. Hasil perhitungan uji hedonik warna mie basah
Tabel 3. Analisis sidik ragam uji hedonik warna mie basah
Sumber
Keragamandb JK KT F hitung
F tabel
5% 1%
Sampel 5 2.04 0.41 1.14 2.21 3.02
Panelis 28 127.30 4.55
Galat 140 50.29 0.36
Total 173 179.63
Perhitungan
Fk =Σ ( Σ x )2
Σ Panelis x Σ Sampel = 8782
29 x 6= 4430.37
JK Total = Σ(Σx2)- Fk = 4610 - 4430.37 = 179.63
JK Sampel = ( 1382+..+137Σ Panelis
)-Fk = (128540
29¿- 4430.37 = 4432.41 - 4430.37
= 2.04
JK Panelis = ¿)-Fk = ( 27346
6¿- 4430.37 = 4225.33 - 4430.37
=127.30
JK Galat = Jk Total – JK Sampel – JK Panelis
= 179.63- 2.04- 127.30 = 50.29
db sampel = Jumlah Sampel – 1 = 6-1 = 5
db panelis = Jumlah Panelis – 1 = 29-1 = 28
db galat = db Sampel x db panelis = 5 x 28 = 140
db Total = Σdb(sampel, Panelis, galat) = 2+26+52 = 173
KT Sampel = JK Sampel : db Sampel = 2.04 : 5 = 0.41
KT Panelis = JK Panelis : db Panelis = 127.30 : 28 = 4.55
KT Galat = JK Galat : db Galat = 50.29 : 140 = 0.36