Top Banner
1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ikan patin (Pangasius sp.) merupakan ikan perairan tawar yang banyak ditemukan di daerah Sumatera, Kalimantan, dan sebagian Jawa. Indonesia terdapat 13 jenis ikan patin, namun baru 2 spesies yang telah berhasil dibudidayakan yakni ikan patin siam (Pangasius hypopthalmus) dan patin jambal (Pangasius djambal). Selain di Indonesia, ikan patin juga banyak ditemukan di kawasan Asia lainnya seperti di Vietnam, Thailand, China, dan sebagainya. Kemampuan ikan patin siam (Pangasius hypopthalmus) dapat mentolerir kondisi perairan yang jelek (Hardjamulia et al., 1987). Citarasa yang enak dan peluang pasar yang cukup menjanjikan merupakan hal yang menarik bagi petani ikan untuk melakukan kegiatan budidaya ikan patin. Akan tetapi pada tahun-tahun pertama bisa dikatakan masih relatif lambat perkembangannya. Hal ini disebabkan belum tersedianya teknologi produksi massal benih sehingga produktivitas usaha pembenihan relatif rendah. Kondisi ini memacu para peneliti untuk berusaha meningkatkan jumlah produksi benih melalui serangkaian kegiatan penelitian. Kegiatan-kegiatan tersebut membuahkan hasil yang cukup berarti yaitu dengan keberhasilan teknik pemijahan buatan pada ikan patin siam (Pangasius hypopthalmus) untuk pertama kalinya di Indonesia pada sekitar tahun 1980 oleh Hardjamulia et al. (1987). Pemijahan buatan tersebut dilakukan dengan penyuntikan hormon tambahan yaitu hormon hypophisa yang diambil dari
28

Laporan Magang Di Kampus

Jan 01, 2016

Download

Documents

brentoz
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: Laporan Magang Di Kampus

1. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Ikan patin (Pangasius sp.) merupakan ikan perairan tawar yang banyak

ditemukan di daerah Sumatera, Kalimantan, dan sebagian Jawa. Indonesia

terdapat 13 jenis ikan patin, namun baru 2 spesies yang telah berhasil

dibudidayakan yakni ikan patin siam (Pangasius hypopthalmus) dan patin jambal

(Pangasius djambal). Selain di Indonesia, ikan patin juga banyak ditemukan di

kawasan Asia lainnya seperti di Vietnam, Thailand, China, dan sebagainya.

Kemampuan ikan patin siam (Pangasius hypopthalmus) dapat mentolerir

kondisi perairan yang jelek (Hardjamulia et al., 1987). Citarasa yang enak dan

peluang pasar yang cukup menjanjikan merupakan hal yang menarik bagi petani

ikan untuk melakukan kegiatan budidaya ikan patin. Akan tetapi pada tahun-

tahun pertama bisa dikatakan masih relatif lambat perkembangannya. Hal ini

disebabkan belum tersedianya teknologi produksi massal benih sehingga

produktivitas usaha pembenihan relatif rendah. Kondisi ini memacu para peneliti

untuk berusaha meningkatkan jumlah produksi benih melalui serangkaian

kegiatan penelitian. Kegiatan-kegiatan tersebut membuahkan hasil yang cukup

berarti yaitu dengan keberhasilan teknik pemijahan buatan pada ikan patin siam

(Pangasius hypopthalmus) untuk pertama kalinya di Indonesia pada sekitar tahun

1980 oleh Hardjamulia et al. (1987). Pemijahan buatan tersebut dilakukan

dengan penyuntikan hormon tambahan yaitu hormon hypophisa yang diambil

dari kelenjar hypophisa ikan mas. Metode ini dikenal dengan sebutan

hypophisasi.

Adanya keberhasilan teknik pemijahan buatan pada ikan patin siam

(Pangasius hypopthalmus) tersebut di atas memicu terjadinya peningkatan

jumlah produksi benih. Pada periode selanjutnya teknik pemijahan buatan secara

hypophisasi ini disempurnakan dengan ditemukannya hormon buatan yang

diproduksi secara massal dan diperdagangkan secara bebas. Penggunaan

hormon buatan dalam kemasan (LHRH-a + Antidopamin) dengan merk dagang

"ovaprim" atau HCG (pregnyl) pada saat ini sudah menjadi sesuatu yang sangat

biasa bahkan dikalangan pembenih skala kecil sekalipun.

Page 2: Laporan Magang Di Kampus

Perkembangan budidaya ikan patin siam cukup pesat untuk mencukupi

kebutuhan dalam negeri. Kebutuhan benih ikan patin siam secara nasional

diperkirakan mencapai 55 juta benih pada tahun 2005 ini. Jumlah tersebut

diperlukan untuk mencapai target produksi sebesar 16.500 ton. Menurut Ditjen

Perikanan Budidaya (2005), kebutuhan benih ikan patin siam secara nasional

diperkirakan mencapai 55 juta benih pada tahun 2005 ini. Jumlah tersebut

diperlukan untuk mencapai target produksi sebesar 16.500 ton. Dan jumlah

tersebut hampir seluruhnya yaitu 15,675 ton adalah untuk menyuplay kebutuhan

ikan patin dalam negeri. Gambaran tersebut menunjukkan bahwa kebutuhan

benih ikan patin untuk usaha budi daya cukup besar sehingga peluang bisnis

usaha pembenihan masih merupakan usaha yang cukup menjanjikan.

1.2 Maksud dan Tujuan

Maksud dari kegiatan magang adalah untuk mengetahui perkembangan

teknologi budidaya ikan patin siam (Pangasius hypopthalmus) dan peluang

usaha pada budidaya ikan patin siam (Pangasius hypopthalmus).

Tujuan dari magang ini adalah untuk mengetahui teknik pembenihan dan

pembesaran ikan patin siam (Pangasius hypopthalmus) dan distribusi pemasaran

ikan patin siam (Pangasius hypopthalmus).

1.3 Kegunaan

Page 3: Laporan Magang Di Kampus

2. KEADAAN UMUM

2.1 Nama Lembaga Tempat PKL

Kegiatan PKL ini dilaksanakan disebuah lembaga penelitian (riset)

perikanan dibawah Badan Riset Kelautan dan Perikanan, Departemen Kelautan

dan Perikanan. Lembaga tersebut saat ini bernama Loka Riset Pemuliaan dan

Teknologi Budidaya Perikanan Air Tawar (LRPTBPAT) yang berkedudukan di

Jalan Raya 2 Sukamandi, Subang, Jawa Barat.

2.2 Sejarah Loka Riset Pemuliaan dan Teknologi Budidaya Perikanan Air

Tawar Sukamandi

Pada tanggal 26 Juni 1927 sebelum kemerdekaan pemerintah Belanda

mendirikan Voor de Binnen Visserij yang berkedudukan di Bogor. Pada tahun

1946 pemerintah Republik Indonesia dengan Surat Keputusan Menteri Pertanian

tanggal 8 September 1951 No. 81/Um/51 mendirikan Balai Penyelidikan

Perikanan Darat di Jakarta. Seiring dengan perkembangan tuntutan kebutuhan

telah terjadi beberapa kali perubahan dalam struktur dan mandat dalam susunan

pemerintahan. Pada tanggal 22 September 2000 terjadi perubahan yang

mendasar, yaitu yang sebelumnya berada di bawah Badan Penelitian dan

Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian, menjadi di bawah Sekretariat

Jenderal Departemen Kelautan dan Perikanan. Sejarah singkat LRPTBPAT

adalah sebagai berikut :

- Tahun 1927 : Laboratorium Voor de Binnen Visserij, Bogor

- Tahun 1951 : Laboratorium Penyelidikan Perikanan Darat, Bogor

- Tahun 1952 : Balai Penyelidikan Perikanan Darat, Bogor

- Tahun 1957 : Balai Penyelidikan Perikanan Darat, Sempur Bogor

- Tahun 1963 : Lembaga Penelitian Perikanan Darat, Sempur Bogor

- Tahun 1980 : Balai Penelitian Perikanan Darat, Sempur Bogor

- Tahun 1984 : Balai Penelitian Perikanan Air Tawar, Sempur Bogor

- Tahun 1994 : Balai Penelitian Perikanan Air Tawar, Sukamandi Subang

- Tahun 2003 : Loka Riset Pemuliaan dan Teknologi Budidaya Perikanan Air

Tawar, Sukamandi Subang

Page 4: Laporan Magang Di Kampus

2.3 Struktur Organisasi

Loka Riset Pemuliaan dan Teknologi Budidaya Perikanan Air Tawar

(LRPTBPAT) Sukamandi merupakan unit eselon IV di bawah Pusat Riset

Perikanan Budidaya (PRPB) sebagai unit eselon II dan Badan Riset Kelautan

dan Perikanan (BRKP) sebagai unit eselon I. Oleh karena itu jabatan struktural

yang ada hanyalah Kepala Loka. Akan tetapi untuk membantu Kepala maka

dibentuklah semacam struktur organisasi non formal (struktur organisasi

bayangan). Struktur organisasi LRPTBPAT Sukamandi adalah sebagai berikut :

- Kepala Loka

- Koordinator Tata Usaha : Kepegawaian, Rumah Tangga

- Bendahara

- Koordinator Program dan Kerjasama

- Koordinator Informasi dan Dokumentasi : Perpustakaan, Lab. Informasi

- Koordinator Pelayanan Teknis : Kepala Kolam, Lab. Kualitas Air dan Kimia,

Patologi, Genetika, Pakan Alami dan Feed Processing

- Koordinator Komoditas Riset : Udang Galah, Patin, Gurame dan Resirkulasi

- Kelompok Jabatan Fungsional : Peneliti, Teknisi Litkayasa

2.4 Letak Geografis

Loka Riset Pemuliaan dan Teknologi Budidaya Perikanan Air Tawar

terletak di Jalan Raya 2 Sukamandi, dan secara administratif termasuk dalam

wilayah Desa Rancamulya Kecamatan Patokbeusi Kabupaten Subang Jawa

Barat, dengan luas area penelitian sekitar 60 hektar. Sebelah utara berbatasan

dengan jalan jalur utama PANTURA (Jakarta-Cirebon), sebelah timur berbatasan

dengan Balai Besar Padi, sebelah selatan berbatasan dengan sungai

Citempuran, sedangkan sebelah barat berbatasan dengan perkampungan

Patokbeusi.

Keadaan tanah relatif datar dengan ketinggian lebih kurang 15 meter

diatas permukaan air laut dan kemiringan lahan 0,03%. Daerah disekelilingnya

merupakan areal pertanian tanaman padi. Jenis tanahnya adalah liat.

Page 5: Laporan Magang Di Kampus

2.5 Sumberdaya Manusia

Loka Riset Pemuliaan dan Teknologi Budidaya Perikanan Air Tawar

memiliki sumber daya manusia sebanyak 62 orang, terdiri dari 14 orang Peneliti

(1 Doktor, 6 Master dan 7 Sarjana), 12 orang Teknisi 12 orang tenaga

administrasi dan 24 orang tenaga kontrak.

2.6 Sarana dan Prasarana

Sarana dan prasarana yang dimiliki Loka Riset Pemuliaan dan Teknologi

Budidaya Perikanan Air Tawar adalah kantor administrasi, perpustakaan,

laboratorium genetika, laboratorium kualitas air dan kimia, laboratorium nutrisi

dan pakan alami, laboratorium patologi, hatchery patin, hatchery udang galah,

kolam-kolam riset, kolam reservoir (6 ha), auditorium (kapasitas 300 orang),

laboratorium komputer dan data, lapangan olah raga serta tempat parkir yang

cukup luas.

Page 6: Laporan Magang Di Kampus

3. TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Ikan Patin Siam (Pangasius hypopthalmus)

Ikan patin merupakan jenis ikan konsumsi air tawar, berbadan panjang

berwarna putih perak dengan punggung berwarna kebiru-biruan. Ikan patin

dikenal sebagai komoditi yang berprospek cerah, karena memiliki harga jual yang

tinggi. Hal inilah yang menyebabkan ikan patin mendapat perhatian dan diminati

oleh para pengusaha untuk membudidayakannya. Ikan ini cukup responsif

terhadap pemberian makanan tambahan. Pada pembudidayaan, dalam usia

enam bulan ikan patin bisa mencapai panjang 35-40 cm. Sebagai keluarga

Pangasidae, ikan ini tidak membutuhkan perairan yang mengalir untuk

“membongsorkan“ tubuhnya. Pada perairan yang tidak mengalir dengan

kandungan oksigen rendahpun sudah memenuhi syarat untuk membesarkan

ikan ini.

Kerabat patin di Indonesia terdapat cukup banyak, diantaranya:

a) Pangasius polyuranodo (ikan juaro)

b) Pangasius macronema

c) Pangasius micronemus

d) Pangasius nasutus

e) Pangasius nieuwenhuisii (Anonymous, 2000)

Sedangkan untuk ikan Patin Siam (Pangasius hypopthalmus) yang berasal

dari Thailand oleh Saanin (1984), diklasifikasikan sebagai berikut:

Phylum : Chordata

Class : Pisces

Ordo : Ostariophysi

Subordo : Siluroidea

Famili : Pangasidae

Genus : Pangasius

Spesies : Pangasius hypopthalmus

Nama Inggris : Catfish

Nama Lokal : Patin Siam

Morfologi terlampir pada gambar 1.

Gambar 1. Ikan Patin Siam (Pangasius hypopthalmus)

Page 7: Laporan Magang Di Kampus

Ikan patin termasuk ikan omnivora, namun pada saat larva bersifat

karnivora dan hidup di sungai yang dalam, agak keruh, dasar berlumpur dan

suhu 25 - 30oC (BBAT, 2003). Secara morfologi ikan ini memiliki badan

memanjang, kepala kecil, mata kecil, mulut diujung kepala dan lebar, mempunyai

dua pasang kumis, sirip punggungnya kecil dan tinggi mempunyai adifose fin,

warna abu kehitaman dan perut berwarna perak (BBAT, 2003).

Ikan patin siam (Pangasius hypopthalmus) memiliki badan memanjang

berwarna putih seperti perak dengan punggung berwarna kebiru-biruan. Panjang

tubuhnya dapat mencapai 120 cm. Kepala ikan patin siam (Pangasius

hypopthalmus) relatif kecil dengan mulut terletak di ujung kepala agak di sebelah

bawah, dan terdapat dua pasang kumis di sudut mulutnya yang berfungsi

sebagai peraba. Ikan patin tidak bersisik alias bertubuh licin.

Pada bagian punggung terdapat sirip yang dilengkapi dengan 7- 8 buah

jari-jari. Sebuah jari-jari bersifat keras yang dapat berubah menjadi patil yang

bergerigi dan besar di sebelah belakangnya. Sementara, jari-jari lunak sirip

punggung terdapat 6 atau 7 buah. Pada punggungnya terdapat sirip lemak yang

berukuran kecil. Sirip ekornya membentuk cagak dan bentuknya simetris. Sirip

duburnya panjang terdiri dari 30-33 jari-jari lemak, sedangkan sirip perutnya

memiliki 6 jari-jari lunak. Sirip dada memiliki 12-13 jari-jari lunak dan sebuah jari-

jari keras yang berubah menjadi senjata yaitu patil.

3.2 Seleksi Induk

Pengelolaan atau manajemen induk bertujuan untuk meningkatkan

efisiensi dan produktivitas dalam usaha pembenihan serta menghasilkan benih

yang berkulitas. Dalam pemeliharaan induk harus memperhitungkan kebutuhan

larva setiap siklus produksi secara berkesinambungan.

Seleksi ini dilakukan terhadap stok induk yang ada dengan tujuan untuk

mendapatkan induk yang mempunyai produktivitas tinggi dengan ciri morfologi

yang dikehendaki dan dapat diturunkan (Sutisna P.H. dan Sutarmanto R, 2003).

Selain itu seleksi juga untuk mendapatkan induk yang telah matang gonad dan

siap untuk dipijahkan.

Ketelitian saat seleksi induk merupakan penentu keberhasilan dari

kegiatan pemijahan karena induk yang berkualitas akan menghasilkan telur dan

larva yang berkualitas pula. Sebaliknya, induk yang kurang berkualitas akan

Page 8: Laporan Magang Di Kampus

menghasilkan telur dan larva yang lemah yang berakibat pada kelangsungan

hidup yang rendah (Rustidja, 2004).

Induk ikan patin jantan yang telah siap dipijahkan memiliki cirri-ciri papilla

menonjol dan kemerahan, tubuh langsing, apabila perut diurut akan keluar

sperma yang berupa cairan kental berwarna putih susu. Sedangkan induk betina

memiliki cirri-ciri perut nampak besar dan lembek serta halus saat diraba, papilla

membengkak dan berwarna merah tua, kulit pada bagian perut terasa lembek

dan tipis dan apabila diperiksa dengan selang kanulasi (kateter) akan diperoleh

telur dengan ukuran seragam berwarna transparan (Susanto H. dan Amri K,

2001).

3.3 Rangsangan Pemijahan

Pemijahan ikan patin selama ini hanya baru bisa dilakukan secara buatan

yaitu dengan menyuntikan hormon perangsang yang berasal dari kelenjar

hipofisa LH-RH-A atau HCG atau hormon sintetis dengan merk dagang ovaprim

(BBAT, 2003). Penyuntikkan dilakukan dengan tujuan untuk merangsang

pemijahan yang matang kelamin, tetapi tidak dapat dan akan sulit dipijahkan

secara alami karena keadaan lingkungan yang tidak sesuai (Susanto H, 1999).

Pemijahan pada ikan dikendalikan oleh kelenjar hipofisa dimana kelenjar ini

bekerja sebagai penghubung antara otak dan gonad. Selnya menghasilkan

gonadotropin dan melepaskannya pada saat ada perintah dari otak (Rustija)

dalam gonadropin yang mampu merangsang pembiakkan adalah follicle

stimulating hormone (FSH-like hormone) dan Lutenizing hormone (LH-like

hormone). FSH bekerja untuk merangsang perkembangan gonad hingga matang

kelamin karena terjadi perubahan menjadi sel telur. LH bertugas untuk

merangsang ovulasi yaitu keluarnya telur dari folikel telur kemudian masuk ke

saluran telur dan keluar dari lubang urogenital (Susanto H, 2002).

Pemijahan ikan patin mengalami kesulitan pada musim kemarau

karena ikan patin memiliki kebiasaan memijah pada musim penghujan. Untuk

mengatasi hal tersebut maka dilakukan penyuntikan dengan menggunakan

hormon yang berbeda. Penyuntikan dengan menggunakan hormon bertujuan

untuk merangsang perkembangan gonad dan ovulasi secara lebih cepat pada

musim kemarau. Hormon yang biasa digunakan adalah HCG yang disuntikan

pada induk betina, HCG digunakan pada penyuntikan pertama dengan dosis 500

ml/kg dan penyuntikan kedua dengan menggunakan ovaprim 0,6 ml/kg

Page 9: Laporan Magang Di Kampus

sedangkan pada musim penghujan penyuntikan cukup hanya dengan ovaprim

0,9 ml/kg yaitu pada penyuntikan pertama 1/3 bagian dan penyuntikan kedua 2/3

bagian. Penyuntikan induk jantan cukup dengan menggunakan ovaprim dengan

satu kali penyuntikan menggunakan dosis 0,2 – 0,3 ml/kg (Slembrouck, J, et al,

2003)

3.4 Pemijahan Buatan

Pemijahan adalah proses pengeluaran sel telur induk betina dan sperma

oleh induk jantan yang kemudian diikuti dengan perkawinan. Pemijahan sebagai

salah satu bagian dari reproduksi merupakan mata rantai siklus hidup yang

menentukan kelangsungan hidup spesies. Faktor penentu keberhasilan

pemijahan adalah kematangan induk, kualitas telur yang baik, faktor dalam

(genetik) dan faktor lingkungan (Sutisna D.H. dan Sutarmanto R, 1995).

Spermatozoa akan masuk ke dalam sel telur melalui lubang mikrofil yang

terdapat pada chorion dan selanjutnya akan terjadi perubahan pada telur dalam

proses pembuahan. Telur ikan dan sperma mempunyai zat kimia yang terbentuk

dalam proses pembuahan. Zat tersebut adalah gamone. Gamone yang

dikeluarkan sel telur disebut gynamone 1 dan gynamone 11 (Febriani D, dan

Marlina E, 2004). Setelah telur dibuahi sampai dengan menetas maka akan

terjadi proses embriologi (masa pengeraman) yaitu mulai dari satu sel, dua sel, 4

sel, 8 sel, 16 sel, 32 sel, 64 sel, 128 sel sampai pra blastula – gastula – neurola –

embrio – penetasan (Sutisna D.H, dan Sutarmanro R, 1995).

3.5 Penetasan Telur

Penetasan terjadi bila telur terbuahi dan embrio telah menjadi lebih panjang

daripada lingkaran kuning telur dan telah terbentuk sirip perut. Penetasan terjadi

dengan cara penghancuran chorion oleh enzim yang dikeluarkan kelenjar

ekstoderm, selain itu penetasan disebabkan oleh gerakan-gerakan larva akibat

peningkatan suhu, intensitas cahaya dan pengurangan oksigen dalam cangkang

(Sutisna D.H, dan Sutarmanto R, 1995).

Temperatur dalam inkubator mempengaruhi perkembangan dan

penetasan telur. Perkembangan dan penetasan telur akan berlangsung sangat

cepat pada kondisi air hangat, karena mempengaruhi proses metabolisme dan

mempercepat produksi material pelarut cangkang (Sutisna D.H, dan Sutarmanto

R, 1995). Suhu ini menyebabkan penetasan prematur sehingga menghasilkan

Page 10: Laporan Magang Di Kampus

larva yang lemah. Sebaliknya air yang terlalu dingin dapat memperlambat

perkembangan telur dan reproduksi enzim mengakibatkan telur-telur tersebut

tidak dapat menetas karena lambatnya proses pembentukan enzim pelarut

cangkang telur (Rustidja, 2004). Telur akan menetas dalam waktu 18 – 24 jam

pada suhu 27-29 oC (BBAT,2003).

Stadia awal dalam kehidupan ikan adalah stadia larva yaitu mulai dari

keluarnya embrio dari cangkang telur dan berakhir ketika larva mulai dapat

mengisi udara kedalam kantong udaranya, mulai berenang dengan gaya seperti

ikan dan mulai makan dari luar (Rustidja, 2004). Larva ikan patin mulai

membutuhkan makan dari luar setelah cadangan makanannya yang berupa yolk

suck telah habis. Pada fase ini larva ikan patin bersifat kanibal (Slembrouck L, et

all, 2003). Larva yang berumur 2 hari diberi pakan berupa artemia sampai

berumur 6 hari kemudian dilanjutkan dengan pemberian cacing sutera hingga

berumur 14 hari (BBAT, 2003). Pada perkembangan larva membutuhkan

lingkungan kaya O2 (lebih disukai jika O2 jenuh). Fluktuasi suhu yang besar perlu

dihindari selama stadia larva untuk mencegah terjadinya stres. Perubahan suhu

yang besar dapat mematikan larva.

Page 11: Laporan Magang Di Kampus

4. TEKNIK PEMBENIHAN IKAN PATIN

4.1 Seleksi Induk

Pemeliharaan induk harus memperhitungkan kebutuhan larva setiap

siklus produksi secara berkesinambungan. Induk adalah bagian terpenting dan

menentukan tingkat keberhasilan dalam kegiatan pembenihan, sehingga untuk

mencapai keberhasilan dalam pembenihan perlu dilakukan pemeliharaan terlebih

dahulu. Induk ikan patin (Pangasius hypopthalmus) dipelihara di kolam induk dan

selama pemeliharaan induk diberi pakan berupa pelet dengan kandungan protein

32-40% sebanyak 0,8-1,5% dari bobot induk dengan frekuensi 2 kali sehari.

Induk yang siap dipijahkan setelah berumur 2 tahun dan berat 1-6 kg/ekor.

Pemeliharaan induk ini dilakukan hingga induk matang gonad dan telah siap

untuk dipijahkan. Untuk menghasilkan telur yang berkualitas biasanya

ditambahkan vitamin C pada pelet yang diberikan sebanyak 100 mg/kg pelet.

Ikan patin siam (Pangasius hypopthalmus) akan memijah secara

maksimal pada musim hujan. Pada musim penghujan setiap kilogram induk patin

siam (Pangasius hypopthalmus) akan menghasilkan telur sekitar 150.000-

300.000 butir telur, sedangkan pada musim kemarau setiap kilogram induk hanya

menghasilkan telur sekitar 60.000 - 100.000 butir.

Seleksi induk patin tidak selalu dapat memijah secara serentak, hal ini

dapat disebabkan oleh perbedaan umur dan tingkat kematangan gonad. Untuk

mendapatkan induk yang matang gonad dan siap untuk dipijahkan maka perlu

dilakukan seleksi induk, sebagaimana pada gambar 2 terlampir.

Gambar 2. Induk Ikan Patin Siam (Pangasius hypopthalmus) Matang Gonad

Page 12: Laporan Magang Di Kampus

Induk jantan yang siap dipijahkan mempunyai ciri-ciri papilla menonjol dan

kemerahan, tubuh lebih langsing dan memanjang, serta apabila diurut akan

keluar sperma yang berupa cairan kental berwarna putih susu. Induk jantan ini

diseleksi dengan metode striping, sedangkan induk betina memiliki ciri-ciri perut

nampak besar dan lembek, papilla kemerahan dan memiliki telur yang seragam

berkisar antara 1,1-1,3 mm dan berwarna putih. Telur ini diambil dengan metode

kanulasi yaitu memasukkan selang kanulasi (kateter) ke dalam lubang genital

dengan kedalaman 9-10 cm, kemudian telur disedot dan diambil sebagai sampel

untuk mengetahui tingkat kematangan gonadnya, sebagaimana pada gambar 3

terlampir. Induk yang telah diseleksi dipisahkan dan dimasukkan ke dalam waring

yang bertujuan agar mudah ditangkap pada saat penyuntikan maupun striping.

4.2 Perawatan Induk Siap Pijah

Induk yang siap pijah hasil seleksi harus dipelihara di dalam wadah yang

mudah untuk ditangkap (sempit) , namun mendapatkan kualitas air yang baik

yakni oksigen yang cukup (≥ 3 mg/L) serta suhu air relatif tinggi (≥ 28°C). Selama

pemeliharaan ini induk dihindari jangan sampai stress, misalnya akibat

penanganan yang tidak hati-hati atau gangguan dari pengaruh lingkungan,

sebagaimana pada gambar 4 terlampir..

Gambar 3. a. Pengecekan Telur Ikan Patin Siam (Pangasius hypopthalmus) dengan kateter, b. Telur Ikan Patin Siam

a b

Page 13: Laporan Magang Di Kampus

4.3 Rangsangan Pemijahan

Ikan patin siam yang dipelihara dalam wadah budi daya tidak bisa

memijah secara alami. Untuk merangsang pemijahan perlu dilakukan dengan

cara terapi hormonal. Hormon yang digunakan adalah kelenjar hipofisa, LHRH,

dan Gonadotropin. Penyuntikan yang dilakukan pada kegiatan pembenihan ikan

patin siam pada induk betina yang dilakukan sebanyak 2 kali, sebagaimana pada

gambar 5 terlampir.. Untuk penggunaan ovaprim, dosis yang digunakan dalam

penyuntikan adalah 0,9 ml/kg untuk induk betina dan 0,2-0,3 ml/kg untuk induk

jantan. Penyuntikan pertama dosisnya 1/3 bagian yaitu 0,3 ml/kg dilakukan pada

pukul 16.00 wib dan 0,6 ml/kg untuk penyuntikan kedua pada pukul 24.00 wib.

Selang waktu penyuntikan pertama dan kedua adalah 8 jam. Penyuntikan untuk

induk jantan hanya sekali yaitu bersamaan dengan penyuntikan kedua pada

induk betina.

Gambar 4. Wadah Ikan Patin Siam (Pangasius hypopthalmus) yang mudah untuk ditangkap

Gambar 5. Penyuntikan Ikan Patin Siam (Pangasius hypopthalmus) dengan HCG dan Ovaprim

Page 14: Laporan Magang Di Kampus

Penggunaan HCG digunakan hanya untuk penyuntikan pertama dan hanya

untuk induk betina dilakukan pada pukul 22.00 wib dengan dosis 500 ml/kg.

Penyuntikan kedua tetap menggunakan ovaprim dengan dosis 0,6 ml/kg

dilakukan pada pukul 22.00 wib hari berikutnya. Selang waktu penyuntikan

pertama dan kedua adalah 24 jam. Waktu laten ikan patin siam sebagaimana

terlampir pada tabel 1.

Tabel 1. Waktu Laten Ikan Patin Siam

Temperatur air (°C) Waktu Laten Patin Siam (jam)

27 12

28 11

29 10

30 9

4.4 Pembuahan Buatan

Sampai saat ini pemijahan ikan patin siam di dalam wadah budidaya

hanya dapat dilakukan secara pijah buatan yakni rangsangan pematangan telur

dan ovulasi dilakukan secara hormonal dan pembuahan dilakukan secara buatan

yakni pencampuran telur dan sperma dilakukan secara buatan, sebagaimana

pada gambar 6 terlampir. Pembuahan yang biasa dilakukan ada dua sistem :

a. Pembuahan Sistem Kering

Dalam sistem kering ini telur yang telah dikeluarkan dan ditampung dalam

baskom dicampur dengan sperma yang baru langsung dikeluarkan dari induk

jantan kemudian dicampur dengan bulu ayam selama kuarng lebih 1 menit.

Kemudian untuk aktifasi ditambahkan air yang kaya oksigen sambil diaduk-aduk

dengan bulu ayam. Selanjutnya dibilas dengan air segar beberapa kali,

kemudian ditetaskan.

b. Pembuahan Sistem basah

Gambar 6. Pencampuran Sperma dan Telur secara buatan

Page 15: Laporan Magang Di Kampus

Pada sistem basah ini, sebelum telur dikeluarkan terlebih dahulu

dikeluarkan sperma dari induk jantan dan ditampung dalam wadah tabung atau

gelas dan diencerkan dengan larutan NaCI fisiologis (Iarutan infus NaCI). Larutan

tersebut selain berfungsi sebagai pengencer juga berfungsi sebagai pengawet.

Spermatozoa dapat tahan hidup dalam larutan terse but selama 12--24 jam pada

suhu 5 – 0°C, sebagaimana pada gambar 7 terlampir.

4.5 Penetasan Telur

Telur yang telah dibuahi harus dihilangkan zat perekatnya terlebih dahulu.

Untuk menghilangkan zat perekat telur dapat dilakukan dengan cara

menambahkan larutan tanah yang halus, kemudian diaduk sampai telur terpisah

satu sama lain kemudian dibilas sampai bersih sebagaimana pada gambar 8

terlampir. Kemudian dimasukkan ke dalam corong penetasan pada ruang

inkubasi yang dilengkapi dengan sistem aerasi dan sistem resirkulasi air,

sebagaimana pada gambar 9 terlapir. Kran pada corong dihidupkan agar air

mengalir dan terjadi proses pengadukan telur sehingga proses penetasan dapat

berlangsung dengan baik.

Gambar 7. a. Stripping pada induk ikan Patin Siam jantan; b. Stripping pada induk ikan Patin Siam Betina

a b

a b

Gambar 7. a. Penambahan Larutan Tanah Pada Telur yang sudah dibuahi; b. Pembilasan Telur yang sudah dibuahi

Page 16: Laporan Magang Di Kampus

Telur ikan patin akan menetas dalam waktu 18-24 jam dengan suhu

penetasan 28-29 oC. Larva yang telah menetas dan sehat akan berenang ke atas

mengikuti saluran pembuangan dan ditampung dalam hapa, sedangkan telur

yang tidak menetas serta larva yang abnormal akan tetap berada di dasar

corong, sebagaimana pada gambar 9 terlampir. Risiko keracunan relatif rendah,

karena kualitas air dapat mudah diperbaiki dengan menambahkan air segar.

Proses perkembangan embrio sangat dipengaruhi oleh suhu air, semakin

tinggi suhu proses perkembangan embrio akan semakin cepat, sehingga proses

penetasan akan semakin cepat. Berdasarkan data hasil pengamatan hubungan

antara suhu air inkubasi dengan waktu penetasan telur ikan patin siam

sebagaimana pada Tabel 2 terlampir.

Gambar 8. Corong Penetasan dengan Sistem Aerasi dan Resirkulasi

Gambar 9. a. Larva patin yang telah menetas; b. Hapa tempat penampungan larva patin siam

a b

Page 17: Laporan Magang Di Kampus

Tabel 2. Lama Waktu Penetasan Telur Patin Siam

No. Suhu air

(oC)

Lama Penetasan

(Jam)

Keterangan

1 27 ≥ 24 ≥ 25 Larva lemah, daya tetas relatif rendah

2 28 21 22 Larva normal

3 29 18 19 Larva normal

4 30 17 18 Larva normal

5 31 15 16 Larva normal

6 32 14 15 Larva lemah, daya tetas relatif rendah

4.6 Panen Larva, Cara Penghitungan dan Teknik Transportasi

Larva yang tertampung dalam hapa harus segera dipanen agar tidak 1

keracunan akibat pembusukan sisa-sisa telur yang tidak menetas. Larva dipanen

dengan menggunakan serokan halus, kemudian dipindahkan ke dalam wadah

bulat yang berisi air yang telah diaerasi, agar mendapatkan oksigen yang cukup,

sebagaimana pada gambar 10 terlampir.

Tempat penampungan larva yang akan dihitung sebaiknya menggunakan

wadah bulat kerucun di bagian bawah dimaksudkan agar distribusi larva dapat

merata. Pengambilan sampel larva dilakukan secara acak di tiga tempat pada

bagian tengah kedalaman air. Volume takaran yang digunakan adalah 100 mL.

Hasil penghitungan sebanyak 3 kali dirata-ratakan. Penghitungan maupun

pengepakan larva sebaiknya dilakukan sebelum larva berumur 5 jam. Karena

pada kondisi tersebut larva belum aktif mengejar sinar sehingga terdistribusi

secara merata pada semua badan air. Dengan perhitungan analogi, maka

a b

Gambar 10. a. Larva dipanen dengan menggunakan serok halus; b. Wadah konikal yang diaerasi kuat

Page 18: Laporan Magang Di Kampus

dengan mudah menentukan jumlah larva yangdiinginkan dengan cara menakar

volume tertentu.

Pengangkutan larva dilakukan secara tertutup menggunakan kantong

plastik dengan penambahan oksigen. Kepadatan larva dalam setiap kantong

plastik harus mempertimbangkan lama waktu transportasi. Pengangkutan

sebaiknya dilakukan pada suhu dingin Perbandingan volume antara air dan gas

oksigen adalah 1:2.

4.7 bhbhi

Larva yang baru menetas kemudian dipindahkan dalam ruang

pemeliharaan larva untuk selanjutnya dilakukan pemeliharaan. Pada

pemeliharaan pertama larva yang ditebar sebanyak 270.000 ekor. Larva

dipelihara pada bak fiber berukuran 100x70x60 cm sebanyak 12 buah dengan

kepadatan masing-masing 10.000 ekor dan bak fiber bulat dengan kepadatan

masing-masing 50.000 ekor sebanyak 3 buah. Pada pemeliharaan kedua, larva

yang dipelihara sebanyak 198.000 ekor yang dipelihara dalam bak fiber

berukuran 100x70x60 cm sebanyak 12 buah dengan kepadatan masing-masing

9.000 ekor dan bak fiber bulat sebanyak 3 buah dengan kepadatan masing-

masing 30.000 ekor.

Selama pemeliharaan, tiap bak pemeliharaan dipasang heater untuk

menjaga kestabilan suhu. Suhu selama pemeliharaan berkisar antara 29-31 oC

dengan kondisi ruang tertutup. Penyiponan dilakukan secara rutin setiap hari

untuk membuang kotoran dan sisa pakan sehingga dapat mengurangi

pembusukan dalam air. Larva akan mulai membutuhkan makanannya yang

berupa yolk suck telah habis yaitu setelah larva berumur 30-36 jam setelah

menetas. Selama pemeliharaan frekuensi pemberian pakannya sebanyak 7 kali

dengan interval waktu 3 jam sekali. Waktu pemberian pakan yaitu pada pukul

06.00, 09.00, 12.00, 15.00, 18.00, 21.00 dan 24.00. Pakan yang diberikan adalah

sebagai berikut :

a. Artemia

Artemia diberikan 6 hari larva berumur 30-36 jam setelah menetas

dengan frekuensi 7 kali sehari diberikan setiap 3 jam sekali. Naupli artemia

diperoleh dengan cara mengkultur cyste artemia dengan air yang berkadar

garam + 25 ppl dan diaerasi, cyste akan menetas dalam 15 jam. Kebutuhan larva

Page 19: Laporan Magang Di Kampus

pada hari pertama sebanyak 5 naupli per ekor larva ikan. Dihitung dengan cara

pengambilan sampel sebanyak 10 ml artemia pekat. Kemudian sampel tersebut

dimasukkan dalam gelas ukur dan ditambahkan air hingga volumenya 1 liter.

Setelah itu diambil kembali 10 ml beberapa kali dan dihitung jumlah rata-rata

artemia pada sampel ke-10.

Dari perhitungan tersebut akan diperoleh kepadatan artemia per 1 ml

nya. Dari perhitungan tersebut dapat diketahui volume artemia yang harus

diberikan untuk setiap bak pemeliharaan larva. Pertambahan jumlah pemberian

pakan pada hari berikutnya dilihat berdasarkan nafsu makan larva. Penghitungan

ini penting dilakukan untuk mengefisiensikan pakan sehingga tidak akan terjadi

kekurangan jumlah pakan atau bahkan penumpukan sisa pakan yang berlebih.

b. Kutu air dan cacing

Kutu air dan cacing diberikan pada hari ke-7 pemeliharaan, pemberian

kutu air atau cacing diberikan secara adlibitum dan sesuai dengan ketersediaan

pakan yang ada. Cacing yang diberikan berupa cacing sutera dan cacing darah

(blood worm) berbentuk beku. Pemberian pakan ini dilakukan selama 7 hari yaitu

sampai larva berumur 13 hari dengan frekuensi 7 kali sehari 3 jam sekali.

c. Pelet

Pemberian pakan berupa pelet setelah larva berumur 14 hari dengan

ukuran pelet crumble 0,425 x 0,71 mm (581) dan kandungan protein 40%. Pelet

ini diberikan hingga benih berukuran 1 inchi dengan frekuensi 7 kali sehari

secara adlibitum.

1. Pertumbuhan Benih Ikan Patin

Pengukuran pertumbuhan ikan dilakukan setelah larva berumur lima

hari hingga berumur 3 minggu. Pengukuran dilakukan untuk mengetahui tingkat

pertumbuhan larva setiap periodenya. Pengukuran yang dilakukan yaitu

pengukuran terhadap panjang dan berat.

Pengukuran panjang dilakukan dengan menggunakan penggaris yang

diukur muali dari ujung mulut sampai ujung ekor. Sedangkan pengukuran

terhadap berat dengan menggunakan timbangan analitik.

Page 20: Laporan Magang Di Kampus

DAFTAR PUSTAKA

Anonymous, 2000. Budidaya Ikan Patin. Proyek Pembangunan Masyarakat

Pedesaan. BAPPENAS.

Ali, A. 2000. Probiotic in Fish Farming-Evaluation of a Candidate Bacterial

Mixture. Vattenbruksinstitutionen, SLU, 901 83. Umea

Austin, B. and D.A. Austin. 1999. Bacterial Fish Pathogens, Disease of Farmed

and Wild Fish, 3rd (revised) ed. Springer-Praxis, Godalman, p. 263-296.

Fuller, R. 1987. A review, Probiotics in man and animals. Journal of Applied

Bacteriology 66 : 365 – 378

Fuller, R. 1997. Probiotics 2, Application and Practical Aspect. Chapman and

hall. London, 368 pp.

Gram, L., Melchiorsen, J Lovold, T., Nielsen, J.,. and Spanggaard B, 1999.

Inhibition of Vibrio anguillarum by Pseudomonas fluoroscens AH2, a

possible probiotic treatment of fish. Applied and Environmental

Microbiology 65: 969 – 973.

Hard jamulia, A., T.H. Prihadi, dan Subagyo. 1987. Pengaruh salinitas terhadap

pertumbuhan dan kelangsungan hidup ikan jambal siam (Pangasius

sutchi). Bull. Penel. Perik. Darat, 5(1): 111--117.

Irianto, A. 2003. Probiotik Akuakultur. Gadjah Mada University Press.

Yogyakarta. 125 hal.

Khasani, I., 2007. Aplikasi Probiotik Menuju Sistem Budidaya Perikanan

Berkelanjutan. Loka Riset Pemuliaan dan Teknologi Budidaya Air

Tawar, Sukamandi

Page 21: Laporan Magang Di Kampus

Moriarty, D.J.W. 1999. Disease control in shrimp aquaculture with probiotic

bacteria. Proceeding of the 8th International Symposium on Microbial

Ecology, Atlantic Canada Society for Microbial Ecology, Halifax: 7 hlm.

Verschuere. L., Rombaut, G. Sorgeloos, P. and Verstraete, W., 2000. Probiotic

bacteria as biological control agents in aquacuture. Microbiology and

Molecular Biology revie 64: 655 – 671.

Widanarti, 2004. Penapisan Bakteri Probiotik untuk Biokontrol Vibriosis pada

Larva Udang Windu: Konstruksi Penanda Molekuler dan Esei Pelekatan.

.Disertasi. Institut Peranian Bogor. 268 hal.