Page 1
1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Ikan patin (Pangasius sp.) merupakan ikan perairan tawar yang banyak
ditemukan di daerah Sumatera, Kalimantan, dan sebagian Jawa. Indonesia
terdapat 13 jenis ikan patin, namun baru 2 spesies yang telah berhasil
dibudidayakan yakni ikan patin siam (Pangasius hypopthalmus) dan patin jambal
(Pangasius djambal). Selain di Indonesia, ikan patin juga banyak ditemukan di
kawasan Asia lainnya seperti di Vietnam, Thailand, China, dan sebagainya.
Kemampuan ikan patin siam (Pangasius hypopthalmus) dapat mentolerir
kondisi perairan yang jelek (Hardjamulia et al., 1987). Citarasa yang enak dan
peluang pasar yang cukup menjanjikan merupakan hal yang menarik bagi petani
ikan untuk melakukan kegiatan budidaya ikan patin. Akan tetapi pada tahun-
tahun pertama bisa dikatakan masih relatif lambat perkembangannya. Hal ini
disebabkan belum tersedianya teknologi produksi massal benih sehingga
produktivitas usaha pembenihan relatif rendah. Kondisi ini memacu para peneliti
untuk berusaha meningkatkan jumlah produksi benih melalui serangkaian
kegiatan penelitian. Kegiatan-kegiatan tersebut membuahkan hasil yang cukup
berarti yaitu dengan keberhasilan teknik pemijahan buatan pada ikan patin siam
(Pangasius hypopthalmus) untuk pertama kalinya di Indonesia pada sekitar tahun
1980 oleh Hardjamulia et al. (1987). Pemijahan buatan tersebut dilakukan
dengan penyuntikan hormon tambahan yaitu hormon hypophisa yang diambil
dari kelenjar hypophisa ikan mas. Metode ini dikenal dengan sebutan
hypophisasi.
Adanya keberhasilan teknik pemijahan buatan pada ikan patin siam
(Pangasius hypopthalmus) tersebut di atas memicu terjadinya peningkatan
jumlah produksi benih. Pada periode selanjutnya teknik pemijahan buatan secara
hypophisasi ini disempurnakan dengan ditemukannya hormon buatan yang
diproduksi secara massal dan diperdagangkan secara bebas. Penggunaan
hormon buatan dalam kemasan (LHRH-a + Antidopamin) dengan merk dagang
"ovaprim" atau HCG (pregnyl) pada saat ini sudah menjadi sesuatu yang sangat
biasa bahkan dikalangan pembenih skala kecil sekalipun.
Page 2
Perkembangan budidaya ikan patin siam cukup pesat untuk mencukupi
kebutuhan dalam negeri. Kebutuhan benih ikan patin siam secara nasional
diperkirakan mencapai 55 juta benih pada tahun 2005 ini. Jumlah tersebut
diperlukan untuk mencapai target produksi sebesar 16.500 ton. Menurut Ditjen
Perikanan Budidaya (2005), kebutuhan benih ikan patin siam secara nasional
diperkirakan mencapai 55 juta benih pada tahun 2005 ini. Jumlah tersebut
diperlukan untuk mencapai target produksi sebesar 16.500 ton. Dan jumlah
tersebut hampir seluruhnya yaitu 15,675 ton adalah untuk menyuplay kebutuhan
ikan patin dalam negeri. Gambaran tersebut menunjukkan bahwa kebutuhan
benih ikan patin untuk usaha budi daya cukup besar sehingga peluang bisnis
usaha pembenihan masih merupakan usaha yang cukup menjanjikan.
1.2 Maksud dan Tujuan
Maksud dari kegiatan magang adalah untuk mengetahui perkembangan
teknologi budidaya ikan patin siam (Pangasius hypopthalmus) dan peluang
usaha pada budidaya ikan patin siam (Pangasius hypopthalmus).
Tujuan dari magang ini adalah untuk mengetahui teknik pembenihan dan
pembesaran ikan patin siam (Pangasius hypopthalmus) dan distribusi pemasaran
ikan patin siam (Pangasius hypopthalmus).
1.3 Kegunaan
Page 3
2. KEADAAN UMUM
2.1 Nama Lembaga Tempat PKL
Kegiatan PKL ini dilaksanakan disebuah lembaga penelitian (riset)
perikanan dibawah Badan Riset Kelautan dan Perikanan, Departemen Kelautan
dan Perikanan. Lembaga tersebut saat ini bernama Loka Riset Pemuliaan dan
Teknologi Budidaya Perikanan Air Tawar (LRPTBPAT) yang berkedudukan di
Jalan Raya 2 Sukamandi, Subang, Jawa Barat.
2.2 Sejarah Loka Riset Pemuliaan dan Teknologi Budidaya Perikanan Air
Tawar Sukamandi
Pada tanggal 26 Juni 1927 sebelum kemerdekaan pemerintah Belanda
mendirikan Voor de Binnen Visserij yang berkedudukan di Bogor. Pada tahun
1946 pemerintah Republik Indonesia dengan Surat Keputusan Menteri Pertanian
tanggal 8 September 1951 No. 81/Um/51 mendirikan Balai Penyelidikan
Perikanan Darat di Jakarta. Seiring dengan perkembangan tuntutan kebutuhan
telah terjadi beberapa kali perubahan dalam struktur dan mandat dalam susunan
pemerintahan. Pada tanggal 22 September 2000 terjadi perubahan yang
mendasar, yaitu yang sebelumnya berada di bawah Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian, menjadi di bawah Sekretariat
Jenderal Departemen Kelautan dan Perikanan. Sejarah singkat LRPTBPAT
adalah sebagai berikut :
- Tahun 1927 : Laboratorium Voor de Binnen Visserij, Bogor
- Tahun 1951 : Laboratorium Penyelidikan Perikanan Darat, Bogor
- Tahun 1952 : Balai Penyelidikan Perikanan Darat, Bogor
- Tahun 1957 : Balai Penyelidikan Perikanan Darat, Sempur Bogor
- Tahun 1963 : Lembaga Penelitian Perikanan Darat, Sempur Bogor
- Tahun 1980 : Balai Penelitian Perikanan Darat, Sempur Bogor
- Tahun 1984 : Balai Penelitian Perikanan Air Tawar, Sempur Bogor
- Tahun 1994 : Balai Penelitian Perikanan Air Tawar, Sukamandi Subang
- Tahun 2003 : Loka Riset Pemuliaan dan Teknologi Budidaya Perikanan Air
Tawar, Sukamandi Subang
Page 4
2.3 Struktur Organisasi
Loka Riset Pemuliaan dan Teknologi Budidaya Perikanan Air Tawar
(LRPTBPAT) Sukamandi merupakan unit eselon IV di bawah Pusat Riset
Perikanan Budidaya (PRPB) sebagai unit eselon II dan Badan Riset Kelautan
dan Perikanan (BRKP) sebagai unit eselon I. Oleh karena itu jabatan struktural
yang ada hanyalah Kepala Loka. Akan tetapi untuk membantu Kepala maka
dibentuklah semacam struktur organisasi non formal (struktur organisasi
bayangan). Struktur organisasi LRPTBPAT Sukamandi adalah sebagai berikut :
- Kepala Loka
- Koordinator Tata Usaha : Kepegawaian, Rumah Tangga
- Bendahara
- Koordinator Program dan Kerjasama
- Koordinator Informasi dan Dokumentasi : Perpustakaan, Lab. Informasi
- Koordinator Pelayanan Teknis : Kepala Kolam, Lab. Kualitas Air dan Kimia,
Patologi, Genetika, Pakan Alami dan Feed Processing
- Koordinator Komoditas Riset : Udang Galah, Patin, Gurame dan Resirkulasi
- Kelompok Jabatan Fungsional : Peneliti, Teknisi Litkayasa
2.4 Letak Geografis
Loka Riset Pemuliaan dan Teknologi Budidaya Perikanan Air Tawar
terletak di Jalan Raya 2 Sukamandi, dan secara administratif termasuk dalam
wilayah Desa Rancamulya Kecamatan Patokbeusi Kabupaten Subang Jawa
Barat, dengan luas area penelitian sekitar 60 hektar. Sebelah utara berbatasan
dengan jalan jalur utama PANTURA (Jakarta-Cirebon), sebelah timur berbatasan
dengan Balai Besar Padi, sebelah selatan berbatasan dengan sungai
Citempuran, sedangkan sebelah barat berbatasan dengan perkampungan
Patokbeusi.
Keadaan tanah relatif datar dengan ketinggian lebih kurang 15 meter
diatas permukaan air laut dan kemiringan lahan 0,03%. Daerah disekelilingnya
merupakan areal pertanian tanaman padi. Jenis tanahnya adalah liat.
Page 5
2.5 Sumberdaya Manusia
Loka Riset Pemuliaan dan Teknologi Budidaya Perikanan Air Tawar
memiliki sumber daya manusia sebanyak 62 orang, terdiri dari 14 orang Peneliti
(1 Doktor, 6 Master dan 7 Sarjana), 12 orang Teknisi 12 orang tenaga
administrasi dan 24 orang tenaga kontrak.
2.6 Sarana dan Prasarana
Sarana dan prasarana yang dimiliki Loka Riset Pemuliaan dan Teknologi
Budidaya Perikanan Air Tawar adalah kantor administrasi, perpustakaan,
laboratorium genetika, laboratorium kualitas air dan kimia, laboratorium nutrisi
dan pakan alami, laboratorium patologi, hatchery patin, hatchery udang galah,
kolam-kolam riset, kolam reservoir (6 ha), auditorium (kapasitas 300 orang),
laboratorium komputer dan data, lapangan olah raga serta tempat parkir yang
cukup luas.
Page 6
3. TINJAUAN PUSTAKA
3.1 Ikan Patin Siam (Pangasius hypopthalmus)
Ikan patin merupakan jenis ikan konsumsi air tawar, berbadan panjang
berwarna putih perak dengan punggung berwarna kebiru-biruan. Ikan patin
dikenal sebagai komoditi yang berprospek cerah, karena memiliki harga jual yang
tinggi. Hal inilah yang menyebabkan ikan patin mendapat perhatian dan diminati
oleh para pengusaha untuk membudidayakannya. Ikan ini cukup responsif
terhadap pemberian makanan tambahan. Pada pembudidayaan, dalam usia
enam bulan ikan patin bisa mencapai panjang 35-40 cm. Sebagai keluarga
Pangasidae, ikan ini tidak membutuhkan perairan yang mengalir untuk
“membongsorkan“ tubuhnya. Pada perairan yang tidak mengalir dengan
kandungan oksigen rendahpun sudah memenuhi syarat untuk membesarkan
ikan ini.
Kerabat patin di Indonesia terdapat cukup banyak, diantaranya:
a) Pangasius polyuranodo (ikan juaro)
b) Pangasius macronema
c) Pangasius micronemus
d) Pangasius nasutus
e) Pangasius nieuwenhuisii (Anonymous, 2000)
Sedangkan untuk ikan Patin Siam (Pangasius hypopthalmus) yang berasal
dari Thailand oleh Saanin (1984), diklasifikasikan sebagai berikut:
Phylum : Chordata
Class : Pisces
Ordo : Ostariophysi
Subordo : Siluroidea
Famili : Pangasidae
Genus : Pangasius
Spesies : Pangasius hypopthalmus
Nama Inggris : Catfish
Nama Lokal : Patin Siam
Morfologi terlampir pada gambar 1.
Gambar 1. Ikan Patin Siam (Pangasius hypopthalmus)
Page 7
Ikan patin termasuk ikan omnivora, namun pada saat larva bersifat
karnivora dan hidup di sungai yang dalam, agak keruh, dasar berlumpur dan
suhu 25 - 30oC (BBAT, 2003). Secara morfologi ikan ini memiliki badan
memanjang, kepala kecil, mata kecil, mulut diujung kepala dan lebar, mempunyai
dua pasang kumis, sirip punggungnya kecil dan tinggi mempunyai adifose fin,
warna abu kehitaman dan perut berwarna perak (BBAT, 2003).
Ikan patin siam (Pangasius hypopthalmus) memiliki badan memanjang
berwarna putih seperti perak dengan punggung berwarna kebiru-biruan. Panjang
tubuhnya dapat mencapai 120 cm. Kepala ikan patin siam (Pangasius
hypopthalmus) relatif kecil dengan mulut terletak di ujung kepala agak di sebelah
bawah, dan terdapat dua pasang kumis di sudut mulutnya yang berfungsi
sebagai peraba. Ikan patin tidak bersisik alias bertubuh licin.
Pada bagian punggung terdapat sirip yang dilengkapi dengan 7- 8 buah
jari-jari. Sebuah jari-jari bersifat keras yang dapat berubah menjadi patil yang
bergerigi dan besar di sebelah belakangnya. Sementara, jari-jari lunak sirip
punggung terdapat 6 atau 7 buah. Pada punggungnya terdapat sirip lemak yang
berukuran kecil. Sirip ekornya membentuk cagak dan bentuknya simetris. Sirip
duburnya panjang terdiri dari 30-33 jari-jari lemak, sedangkan sirip perutnya
memiliki 6 jari-jari lunak. Sirip dada memiliki 12-13 jari-jari lunak dan sebuah jari-
jari keras yang berubah menjadi senjata yaitu patil.
3.2 Seleksi Induk
Pengelolaan atau manajemen induk bertujuan untuk meningkatkan
efisiensi dan produktivitas dalam usaha pembenihan serta menghasilkan benih
yang berkulitas. Dalam pemeliharaan induk harus memperhitungkan kebutuhan
larva setiap siklus produksi secara berkesinambungan.
Seleksi ini dilakukan terhadap stok induk yang ada dengan tujuan untuk
mendapatkan induk yang mempunyai produktivitas tinggi dengan ciri morfologi
yang dikehendaki dan dapat diturunkan (Sutisna P.H. dan Sutarmanto R, 2003).
Selain itu seleksi juga untuk mendapatkan induk yang telah matang gonad dan
siap untuk dipijahkan.
Ketelitian saat seleksi induk merupakan penentu keberhasilan dari
kegiatan pemijahan karena induk yang berkualitas akan menghasilkan telur dan
larva yang berkualitas pula. Sebaliknya, induk yang kurang berkualitas akan
Page 8
menghasilkan telur dan larva yang lemah yang berakibat pada kelangsungan
hidup yang rendah (Rustidja, 2004).
Induk ikan patin jantan yang telah siap dipijahkan memiliki cirri-ciri papilla
menonjol dan kemerahan, tubuh langsing, apabila perut diurut akan keluar
sperma yang berupa cairan kental berwarna putih susu. Sedangkan induk betina
memiliki cirri-ciri perut nampak besar dan lembek serta halus saat diraba, papilla
membengkak dan berwarna merah tua, kulit pada bagian perut terasa lembek
dan tipis dan apabila diperiksa dengan selang kanulasi (kateter) akan diperoleh
telur dengan ukuran seragam berwarna transparan (Susanto H. dan Amri K,
2001).
3.3 Rangsangan Pemijahan
Pemijahan ikan patin selama ini hanya baru bisa dilakukan secara buatan
yaitu dengan menyuntikan hormon perangsang yang berasal dari kelenjar
hipofisa LH-RH-A atau HCG atau hormon sintetis dengan merk dagang ovaprim
(BBAT, 2003). Penyuntikkan dilakukan dengan tujuan untuk merangsang
pemijahan yang matang kelamin, tetapi tidak dapat dan akan sulit dipijahkan
secara alami karena keadaan lingkungan yang tidak sesuai (Susanto H, 1999).
Pemijahan pada ikan dikendalikan oleh kelenjar hipofisa dimana kelenjar ini
bekerja sebagai penghubung antara otak dan gonad. Selnya menghasilkan
gonadotropin dan melepaskannya pada saat ada perintah dari otak (Rustija)
dalam gonadropin yang mampu merangsang pembiakkan adalah follicle
stimulating hormone (FSH-like hormone) dan Lutenizing hormone (LH-like
hormone). FSH bekerja untuk merangsang perkembangan gonad hingga matang
kelamin karena terjadi perubahan menjadi sel telur. LH bertugas untuk
merangsang ovulasi yaitu keluarnya telur dari folikel telur kemudian masuk ke
saluran telur dan keluar dari lubang urogenital (Susanto H, 2002).
Pemijahan ikan patin mengalami kesulitan pada musim kemarau
karena ikan patin memiliki kebiasaan memijah pada musim penghujan. Untuk
mengatasi hal tersebut maka dilakukan penyuntikan dengan menggunakan
hormon yang berbeda. Penyuntikan dengan menggunakan hormon bertujuan
untuk merangsang perkembangan gonad dan ovulasi secara lebih cepat pada
musim kemarau. Hormon yang biasa digunakan adalah HCG yang disuntikan
pada induk betina, HCG digunakan pada penyuntikan pertama dengan dosis 500
ml/kg dan penyuntikan kedua dengan menggunakan ovaprim 0,6 ml/kg
Page 9
sedangkan pada musim penghujan penyuntikan cukup hanya dengan ovaprim
0,9 ml/kg yaitu pada penyuntikan pertama 1/3 bagian dan penyuntikan kedua 2/3
bagian. Penyuntikan induk jantan cukup dengan menggunakan ovaprim dengan
satu kali penyuntikan menggunakan dosis 0,2 – 0,3 ml/kg (Slembrouck, J, et al,
2003)
3.4 Pemijahan Buatan
Pemijahan adalah proses pengeluaran sel telur induk betina dan sperma
oleh induk jantan yang kemudian diikuti dengan perkawinan. Pemijahan sebagai
salah satu bagian dari reproduksi merupakan mata rantai siklus hidup yang
menentukan kelangsungan hidup spesies. Faktor penentu keberhasilan
pemijahan adalah kematangan induk, kualitas telur yang baik, faktor dalam
(genetik) dan faktor lingkungan (Sutisna D.H. dan Sutarmanto R, 1995).
Spermatozoa akan masuk ke dalam sel telur melalui lubang mikrofil yang
terdapat pada chorion dan selanjutnya akan terjadi perubahan pada telur dalam
proses pembuahan. Telur ikan dan sperma mempunyai zat kimia yang terbentuk
dalam proses pembuahan. Zat tersebut adalah gamone. Gamone yang
dikeluarkan sel telur disebut gynamone 1 dan gynamone 11 (Febriani D, dan
Marlina E, 2004). Setelah telur dibuahi sampai dengan menetas maka akan
terjadi proses embriologi (masa pengeraman) yaitu mulai dari satu sel, dua sel, 4
sel, 8 sel, 16 sel, 32 sel, 64 sel, 128 sel sampai pra blastula – gastula – neurola –
embrio – penetasan (Sutisna D.H, dan Sutarmanro R, 1995).
3.5 Penetasan Telur
Penetasan terjadi bila telur terbuahi dan embrio telah menjadi lebih panjang
daripada lingkaran kuning telur dan telah terbentuk sirip perut. Penetasan terjadi
dengan cara penghancuran chorion oleh enzim yang dikeluarkan kelenjar
ekstoderm, selain itu penetasan disebabkan oleh gerakan-gerakan larva akibat
peningkatan suhu, intensitas cahaya dan pengurangan oksigen dalam cangkang
(Sutisna D.H, dan Sutarmanto R, 1995).
Temperatur dalam inkubator mempengaruhi perkembangan dan
penetasan telur. Perkembangan dan penetasan telur akan berlangsung sangat
cepat pada kondisi air hangat, karena mempengaruhi proses metabolisme dan
mempercepat produksi material pelarut cangkang (Sutisna D.H, dan Sutarmanto
R, 1995). Suhu ini menyebabkan penetasan prematur sehingga menghasilkan
Page 10
larva yang lemah. Sebaliknya air yang terlalu dingin dapat memperlambat
perkembangan telur dan reproduksi enzim mengakibatkan telur-telur tersebut
tidak dapat menetas karena lambatnya proses pembentukan enzim pelarut
cangkang telur (Rustidja, 2004). Telur akan menetas dalam waktu 18 – 24 jam
pada suhu 27-29 oC (BBAT,2003).
Stadia awal dalam kehidupan ikan adalah stadia larva yaitu mulai dari
keluarnya embrio dari cangkang telur dan berakhir ketika larva mulai dapat
mengisi udara kedalam kantong udaranya, mulai berenang dengan gaya seperti
ikan dan mulai makan dari luar (Rustidja, 2004). Larva ikan patin mulai
membutuhkan makan dari luar setelah cadangan makanannya yang berupa yolk
suck telah habis. Pada fase ini larva ikan patin bersifat kanibal (Slembrouck L, et
all, 2003). Larva yang berumur 2 hari diberi pakan berupa artemia sampai
berumur 6 hari kemudian dilanjutkan dengan pemberian cacing sutera hingga
berumur 14 hari (BBAT, 2003). Pada perkembangan larva membutuhkan
lingkungan kaya O2 (lebih disukai jika O2 jenuh). Fluktuasi suhu yang besar perlu
dihindari selama stadia larva untuk mencegah terjadinya stres. Perubahan suhu
yang besar dapat mematikan larva.
Page 11
4. TEKNIK PEMBENIHAN IKAN PATIN
4.1 Seleksi Induk
Pemeliharaan induk harus memperhitungkan kebutuhan larva setiap
siklus produksi secara berkesinambungan. Induk adalah bagian terpenting dan
menentukan tingkat keberhasilan dalam kegiatan pembenihan, sehingga untuk
mencapai keberhasilan dalam pembenihan perlu dilakukan pemeliharaan terlebih
dahulu. Induk ikan patin (Pangasius hypopthalmus) dipelihara di kolam induk dan
selama pemeliharaan induk diberi pakan berupa pelet dengan kandungan protein
32-40% sebanyak 0,8-1,5% dari bobot induk dengan frekuensi 2 kali sehari.
Induk yang siap dipijahkan setelah berumur 2 tahun dan berat 1-6 kg/ekor.
Pemeliharaan induk ini dilakukan hingga induk matang gonad dan telah siap
untuk dipijahkan. Untuk menghasilkan telur yang berkualitas biasanya
ditambahkan vitamin C pada pelet yang diberikan sebanyak 100 mg/kg pelet.
Ikan patin siam (Pangasius hypopthalmus) akan memijah secara
maksimal pada musim hujan. Pada musim penghujan setiap kilogram induk patin
siam (Pangasius hypopthalmus) akan menghasilkan telur sekitar 150.000-
300.000 butir telur, sedangkan pada musim kemarau setiap kilogram induk hanya
menghasilkan telur sekitar 60.000 - 100.000 butir.
Seleksi induk patin tidak selalu dapat memijah secara serentak, hal ini
dapat disebabkan oleh perbedaan umur dan tingkat kematangan gonad. Untuk
mendapatkan induk yang matang gonad dan siap untuk dipijahkan maka perlu
dilakukan seleksi induk, sebagaimana pada gambar 2 terlampir.
Gambar 2. Induk Ikan Patin Siam (Pangasius hypopthalmus) Matang Gonad
Page 12
Induk jantan yang siap dipijahkan mempunyai ciri-ciri papilla menonjol dan
kemerahan, tubuh lebih langsing dan memanjang, serta apabila diurut akan
keluar sperma yang berupa cairan kental berwarna putih susu. Induk jantan ini
diseleksi dengan metode striping, sedangkan induk betina memiliki ciri-ciri perut
nampak besar dan lembek, papilla kemerahan dan memiliki telur yang seragam
berkisar antara 1,1-1,3 mm dan berwarna putih. Telur ini diambil dengan metode
kanulasi yaitu memasukkan selang kanulasi (kateter) ke dalam lubang genital
dengan kedalaman 9-10 cm, kemudian telur disedot dan diambil sebagai sampel
untuk mengetahui tingkat kematangan gonadnya, sebagaimana pada gambar 3
terlampir. Induk yang telah diseleksi dipisahkan dan dimasukkan ke dalam waring
yang bertujuan agar mudah ditangkap pada saat penyuntikan maupun striping.
4.2 Perawatan Induk Siap Pijah
Induk yang siap pijah hasil seleksi harus dipelihara di dalam wadah yang
mudah untuk ditangkap (sempit) , namun mendapatkan kualitas air yang baik
yakni oksigen yang cukup (≥ 3 mg/L) serta suhu air relatif tinggi (≥ 28°C). Selama
pemeliharaan ini induk dihindari jangan sampai stress, misalnya akibat
penanganan yang tidak hati-hati atau gangguan dari pengaruh lingkungan,
sebagaimana pada gambar 4 terlampir..
Gambar 3. a. Pengecekan Telur Ikan Patin Siam (Pangasius hypopthalmus) dengan kateter, b. Telur Ikan Patin Siam
a b
Page 13
4.3 Rangsangan Pemijahan
Ikan patin siam yang dipelihara dalam wadah budi daya tidak bisa
memijah secara alami. Untuk merangsang pemijahan perlu dilakukan dengan
cara terapi hormonal. Hormon yang digunakan adalah kelenjar hipofisa, LHRH,
dan Gonadotropin. Penyuntikan yang dilakukan pada kegiatan pembenihan ikan
patin siam pada induk betina yang dilakukan sebanyak 2 kali, sebagaimana pada
gambar 5 terlampir.. Untuk penggunaan ovaprim, dosis yang digunakan dalam
penyuntikan adalah 0,9 ml/kg untuk induk betina dan 0,2-0,3 ml/kg untuk induk
jantan. Penyuntikan pertama dosisnya 1/3 bagian yaitu 0,3 ml/kg dilakukan pada
pukul 16.00 wib dan 0,6 ml/kg untuk penyuntikan kedua pada pukul 24.00 wib.
Selang waktu penyuntikan pertama dan kedua adalah 8 jam. Penyuntikan untuk
induk jantan hanya sekali yaitu bersamaan dengan penyuntikan kedua pada
induk betina.
Gambar 4. Wadah Ikan Patin Siam (Pangasius hypopthalmus) yang mudah untuk ditangkap
Gambar 5. Penyuntikan Ikan Patin Siam (Pangasius hypopthalmus) dengan HCG dan Ovaprim
Page 14
Penggunaan HCG digunakan hanya untuk penyuntikan pertama dan hanya
untuk induk betina dilakukan pada pukul 22.00 wib dengan dosis 500 ml/kg.
Penyuntikan kedua tetap menggunakan ovaprim dengan dosis 0,6 ml/kg
dilakukan pada pukul 22.00 wib hari berikutnya. Selang waktu penyuntikan
pertama dan kedua adalah 24 jam. Waktu laten ikan patin siam sebagaimana
terlampir pada tabel 1.
Tabel 1. Waktu Laten Ikan Patin Siam
Temperatur air (°C) Waktu Laten Patin Siam (jam)
27 12
28 11
29 10
30 9
4.4 Pembuahan Buatan
Sampai saat ini pemijahan ikan patin siam di dalam wadah budidaya
hanya dapat dilakukan secara pijah buatan yakni rangsangan pematangan telur
dan ovulasi dilakukan secara hormonal dan pembuahan dilakukan secara buatan
yakni pencampuran telur dan sperma dilakukan secara buatan, sebagaimana
pada gambar 6 terlampir. Pembuahan yang biasa dilakukan ada dua sistem :
a. Pembuahan Sistem Kering
Dalam sistem kering ini telur yang telah dikeluarkan dan ditampung dalam
baskom dicampur dengan sperma yang baru langsung dikeluarkan dari induk
jantan kemudian dicampur dengan bulu ayam selama kuarng lebih 1 menit.
Kemudian untuk aktifasi ditambahkan air yang kaya oksigen sambil diaduk-aduk
dengan bulu ayam. Selanjutnya dibilas dengan air segar beberapa kali,
kemudian ditetaskan.
b. Pembuahan Sistem basah
Gambar 6. Pencampuran Sperma dan Telur secara buatan
Page 15
Pada sistem basah ini, sebelum telur dikeluarkan terlebih dahulu
dikeluarkan sperma dari induk jantan dan ditampung dalam wadah tabung atau
gelas dan diencerkan dengan larutan NaCI fisiologis (Iarutan infus NaCI). Larutan
tersebut selain berfungsi sebagai pengencer juga berfungsi sebagai pengawet.
Spermatozoa dapat tahan hidup dalam larutan terse but selama 12--24 jam pada
suhu 5 – 0°C, sebagaimana pada gambar 7 terlampir.
4.5 Penetasan Telur
Telur yang telah dibuahi harus dihilangkan zat perekatnya terlebih dahulu.
Untuk menghilangkan zat perekat telur dapat dilakukan dengan cara
menambahkan larutan tanah yang halus, kemudian diaduk sampai telur terpisah
satu sama lain kemudian dibilas sampai bersih sebagaimana pada gambar 8
terlampir. Kemudian dimasukkan ke dalam corong penetasan pada ruang
inkubasi yang dilengkapi dengan sistem aerasi dan sistem resirkulasi air,
sebagaimana pada gambar 9 terlapir. Kran pada corong dihidupkan agar air
mengalir dan terjadi proses pengadukan telur sehingga proses penetasan dapat
berlangsung dengan baik.
Gambar 7. a. Stripping pada induk ikan Patin Siam jantan; b. Stripping pada induk ikan Patin Siam Betina
a b
a b
Gambar 7. a. Penambahan Larutan Tanah Pada Telur yang sudah dibuahi; b. Pembilasan Telur yang sudah dibuahi
Page 16
Telur ikan patin akan menetas dalam waktu 18-24 jam dengan suhu
penetasan 28-29 oC. Larva yang telah menetas dan sehat akan berenang ke atas
mengikuti saluran pembuangan dan ditampung dalam hapa, sedangkan telur
yang tidak menetas serta larva yang abnormal akan tetap berada di dasar
corong, sebagaimana pada gambar 9 terlampir. Risiko keracunan relatif rendah,
karena kualitas air dapat mudah diperbaiki dengan menambahkan air segar.
Proses perkembangan embrio sangat dipengaruhi oleh suhu air, semakin
tinggi suhu proses perkembangan embrio akan semakin cepat, sehingga proses
penetasan akan semakin cepat. Berdasarkan data hasil pengamatan hubungan
antara suhu air inkubasi dengan waktu penetasan telur ikan patin siam
sebagaimana pada Tabel 2 terlampir.
Gambar 8. Corong Penetasan dengan Sistem Aerasi dan Resirkulasi
Gambar 9. a. Larva patin yang telah menetas; b. Hapa tempat penampungan larva patin siam
a b
Page 17
Tabel 2. Lama Waktu Penetasan Telur Patin Siam
No. Suhu air
(oC)
Lama Penetasan
(Jam)
Keterangan
1 27 ≥ 24 ≥ 25 Larva lemah, daya tetas relatif rendah
2 28 21 22 Larva normal
3 29 18 19 Larva normal
4 30 17 18 Larva normal
5 31 15 16 Larva normal
6 32 14 15 Larva lemah, daya tetas relatif rendah
4.6 Panen Larva, Cara Penghitungan dan Teknik Transportasi
Larva yang tertampung dalam hapa harus segera dipanen agar tidak 1
keracunan akibat pembusukan sisa-sisa telur yang tidak menetas. Larva dipanen
dengan menggunakan serokan halus, kemudian dipindahkan ke dalam wadah
bulat yang berisi air yang telah diaerasi, agar mendapatkan oksigen yang cukup,
sebagaimana pada gambar 10 terlampir.
Tempat penampungan larva yang akan dihitung sebaiknya menggunakan
wadah bulat kerucun di bagian bawah dimaksudkan agar distribusi larva dapat
merata. Pengambilan sampel larva dilakukan secara acak di tiga tempat pada
bagian tengah kedalaman air. Volume takaran yang digunakan adalah 100 mL.
Hasil penghitungan sebanyak 3 kali dirata-ratakan. Penghitungan maupun
pengepakan larva sebaiknya dilakukan sebelum larva berumur 5 jam. Karena
pada kondisi tersebut larva belum aktif mengejar sinar sehingga terdistribusi
secara merata pada semua badan air. Dengan perhitungan analogi, maka
a b
Gambar 10. a. Larva dipanen dengan menggunakan serok halus; b. Wadah konikal yang diaerasi kuat
Page 18
dengan mudah menentukan jumlah larva yangdiinginkan dengan cara menakar
volume tertentu.
Pengangkutan larva dilakukan secara tertutup menggunakan kantong
plastik dengan penambahan oksigen. Kepadatan larva dalam setiap kantong
plastik harus mempertimbangkan lama waktu transportasi. Pengangkutan
sebaiknya dilakukan pada suhu dingin Perbandingan volume antara air dan gas
oksigen adalah 1:2.
4.7 bhbhi
Larva yang baru menetas kemudian dipindahkan dalam ruang
pemeliharaan larva untuk selanjutnya dilakukan pemeliharaan. Pada
pemeliharaan pertama larva yang ditebar sebanyak 270.000 ekor. Larva
dipelihara pada bak fiber berukuran 100x70x60 cm sebanyak 12 buah dengan
kepadatan masing-masing 10.000 ekor dan bak fiber bulat dengan kepadatan
masing-masing 50.000 ekor sebanyak 3 buah. Pada pemeliharaan kedua, larva
yang dipelihara sebanyak 198.000 ekor yang dipelihara dalam bak fiber
berukuran 100x70x60 cm sebanyak 12 buah dengan kepadatan masing-masing
9.000 ekor dan bak fiber bulat sebanyak 3 buah dengan kepadatan masing-
masing 30.000 ekor.
Selama pemeliharaan, tiap bak pemeliharaan dipasang heater untuk
menjaga kestabilan suhu. Suhu selama pemeliharaan berkisar antara 29-31 oC
dengan kondisi ruang tertutup. Penyiponan dilakukan secara rutin setiap hari
untuk membuang kotoran dan sisa pakan sehingga dapat mengurangi
pembusukan dalam air. Larva akan mulai membutuhkan makanannya yang
berupa yolk suck telah habis yaitu setelah larva berumur 30-36 jam setelah
menetas. Selama pemeliharaan frekuensi pemberian pakannya sebanyak 7 kali
dengan interval waktu 3 jam sekali. Waktu pemberian pakan yaitu pada pukul
06.00, 09.00, 12.00, 15.00, 18.00, 21.00 dan 24.00. Pakan yang diberikan adalah
sebagai berikut :
a. Artemia
Artemia diberikan 6 hari larva berumur 30-36 jam setelah menetas
dengan frekuensi 7 kali sehari diberikan setiap 3 jam sekali. Naupli artemia
diperoleh dengan cara mengkultur cyste artemia dengan air yang berkadar
garam + 25 ppl dan diaerasi, cyste akan menetas dalam 15 jam. Kebutuhan larva
Page 19
pada hari pertama sebanyak 5 naupli per ekor larva ikan. Dihitung dengan cara
pengambilan sampel sebanyak 10 ml artemia pekat. Kemudian sampel tersebut
dimasukkan dalam gelas ukur dan ditambahkan air hingga volumenya 1 liter.
Setelah itu diambil kembali 10 ml beberapa kali dan dihitung jumlah rata-rata
artemia pada sampel ke-10.
Dari perhitungan tersebut akan diperoleh kepadatan artemia per 1 ml
nya. Dari perhitungan tersebut dapat diketahui volume artemia yang harus
diberikan untuk setiap bak pemeliharaan larva. Pertambahan jumlah pemberian
pakan pada hari berikutnya dilihat berdasarkan nafsu makan larva. Penghitungan
ini penting dilakukan untuk mengefisiensikan pakan sehingga tidak akan terjadi
kekurangan jumlah pakan atau bahkan penumpukan sisa pakan yang berlebih.
b. Kutu air dan cacing
Kutu air dan cacing diberikan pada hari ke-7 pemeliharaan, pemberian
kutu air atau cacing diberikan secara adlibitum dan sesuai dengan ketersediaan
pakan yang ada. Cacing yang diberikan berupa cacing sutera dan cacing darah
(blood worm) berbentuk beku. Pemberian pakan ini dilakukan selama 7 hari yaitu
sampai larva berumur 13 hari dengan frekuensi 7 kali sehari 3 jam sekali.
c. Pelet
Pemberian pakan berupa pelet setelah larva berumur 14 hari dengan
ukuran pelet crumble 0,425 x 0,71 mm (581) dan kandungan protein 40%. Pelet
ini diberikan hingga benih berukuran 1 inchi dengan frekuensi 7 kali sehari
secara adlibitum.
1. Pertumbuhan Benih Ikan Patin
Pengukuran pertumbuhan ikan dilakukan setelah larva berumur lima
hari hingga berumur 3 minggu. Pengukuran dilakukan untuk mengetahui tingkat
pertumbuhan larva setiap periodenya. Pengukuran yang dilakukan yaitu
pengukuran terhadap panjang dan berat.
Pengukuran panjang dilakukan dengan menggunakan penggaris yang
diukur muali dari ujung mulut sampai ujung ekor. Sedangkan pengukuran
terhadap berat dengan menggunakan timbangan analitik.
Page 20
DAFTAR PUSTAKA
Anonymous, 2000. Budidaya Ikan Patin. Proyek Pembangunan Masyarakat
Pedesaan. BAPPENAS.
Ali, A. 2000. Probiotic in Fish Farming-Evaluation of a Candidate Bacterial
Mixture. Vattenbruksinstitutionen, SLU, 901 83. Umea
Austin, B. and D.A. Austin. 1999. Bacterial Fish Pathogens, Disease of Farmed
and Wild Fish, 3rd (revised) ed. Springer-Praxis, Godalman, p. 263-296.
Fuller, R. 1987. A review, Probiotics in man and animals. Journal of Applied
Bacteriology 66 : 365 – 378
Fuller, R. 1997. Probiotics 2, Application and Practical Aspect. Chapman and
hall. London, 368 pp.
Gram, L., Melchiorsen, J Lovold, T., Nielsen, J.,. and Spanggaard B, 1999.
Inhibition of Vibrio anguillarum by Pseudomonas fluoroscens AH2, a
possible probiotic treatment of fish. Applied and Environmental
Microbiology 65: 969 – 973.
Hard jamulia, A., T.H. Prihadi, dan Subagyo. 1987. Pengaruh salinitas terhadap
pertumbuhan dan kelangsungan hidup ikan jambal siam (Pangasius
sutchi). Bull. Penel. Perik. Darat, 5(1): 111--117.
Irianto, A. 2003. Probiotik Akuakultur. Gadjah Mada University Press.
Yogyakarta. 125 hal.
Khasani, I., 2007. Aplikasi Probiotik Menuju Sistem Budidaya Perikanan
Berkelanjutan. Loka Riset Pemuliaan dan Teknologi Budidaya Air
Tawar, Sukamandi
Page 21
Moriarty, D.J.W. 1999. Disease control in shrimp aquaculture with probiotic
bacteria. Proceeding of the 8th International Symposium on Microbial
Ecology, Atlantic Canada Society for Microbial Ecology, Halifax: 7 hlm.
Verschuere. L., Rombaut, G. Sorgeloos, P. and Verstraete, W., 2000. Probiotic
bacteria as biological control agents in aquacuture. Microbiology and
Molecular Biology revie 64: 655 – 671.
Widanarti, 2004. Penapisan Bakteri Probiotik untuk Biokontrol Vibriosis pada
Larva Udang Windu: Konstruksi Penanda Molekuler dan Esei Pelekatan.
.Disertasi. Institut Peranian Bogor. 268 hal.