LAPORAN KASUSINTERNAL BLEEDING EC RUPTUR LIEN GRADE IV
OLEH :Diah KaruniawatiNIM : 0070840013
PEMBIMBING :Dr. Donald Aronggear, Sp. B (K) Trauma FINACS
FICS
SMF BEDAHRUMAH SAKIT UMUM JAYAPURAFAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS CENDERAWASIHJAYAPURA2013
BAB I1.1 TRAUMA TUMPUL ABDOMENI.1.1 Definisi dan EtiologiTrauma
tumpul abdomen adalah cedera atau perlukaan pada abdomen tanpa
penetrasi ke dalam rongga peritoneum, dapat diakibatkan oleh
pukulan, benturan, ledakan, deselarasi (perlambatan), atau
kompresi. Trauma tumpul kadang tidak memberikan kelainan yang jelas
pada permukaan tubuh tetapi dapat mengakibatkan kontusi atau
laserasi jaringan atau organ di bawahnya. Benturan pada trauma
tumpul abdomen dapat menimbulkan cedera pada organ berongga berupa
perforasi atau pada organ padat berupa perdarahan. Cedera
deselerasi sering terjadi pada kecelakaan lalu lintas karena
setelah tabrakan badan masih melaju dan tertahan suatu benda keras
sedangkan bagian tubuh yang relatif tidak terpancang bergerak terus
dan mengakibatkan robekan pada organ tersebut. Pada
intraperitoneal, trauma tumpul abdomen paling sering menciderai
organ limpa (40-55%), hati (35-45%), dan usus halus (5-10%).
Sedangkan pada retroperitoneal, organ yang paling sering cedera
adalah ginjal, dan organ yang paling jarang cedera adalah pankreas
dan ureter.
I.1.2 PatofisiologiMekanisme terjadinya trauma pada trauma
tumpul disebabkan adanya deselerasi cepat dan adanya organ-organ
yang tidak mempunyai kelenturan (noncomplient organ) seperti hati,
limpa, pankreas, dan ginjal. Kerusakan intra abdominal sekunder
untuk kekuatan tumpul pada abdomen secara umum dapat dijelaskan
dengan 3 mekanisme, yaitu : Pertama, saat pengurangan kecepatan
menyebabkan perbedaan gerak diantara struktur. Akibatnya, terjadi
tenaga potong dan menyebabkan robeknya organ berongga, organ padat,
organ viseral dan pembuluh darah, khususnya pada ujung organ yang
terkena. Contoh pada aorta distal yang mengenai tulang torakal dan
mengurangi yang lebih cepat dari pada pergerakan arkus aorta.
Akibatnya, gaya potong pada aorta dapat menyebabkan rupture.
Situasi yang sama dapat terjadi pada pembuluh darah ginjal dan pada
cervicothoracic junction. Kedua, isi intra-abdominal hancur
diantara dinding abdomen anterior dan columna vertebra atau tulang
toraks posterior. Hal ini dapat menyebabkan remuk, biasanya organ
padat (spleen, hati, ginjal) terancam. Ketiga, adalah gaya kompresi
eksternal yang menyebabkan peningkatan tekanan intra-abdomen yang
tiba-tiba dan mencapai puncaknya pada ruptur organ berongga.
1.1.3 KLASIFIKASIBerdasaran jenis organ yang cedera dapat dibagi
dua :1. Pada organ padat seperti hepar dan limpa dengan gejala
utama perdarahan.2. Pada organ berongga seperti usus dan saluran
empedu dengan gejala utama adalah peritonitisBerdasarkan daerah
organ yang cedera dapat dibagi dua, yaitu :1. Organ
IntraperitonealIntraperitoneal abdomen terdiri dari organ-organ
seperti hati, limpa, lambung, colon transversum, usus halus, dan
colon sigmoid.2. Organ RetroperitonealRetroperitoneal abdomen
terdiri dari ginjal, ureter, pancreas, aorta, dan vena cava. Trauma
pada struktur ini sulit ditegakkan diagnosis berdasarkan
pemeriksaan fisik. Evaluasi regio ini memerlukan CT scan,
angiografi, dan intravenous pyelogram.
1.1.4 KOMPLIKASI RUPTUR ORGANPeritonitis merupakan komplikasi
tersering dari trauma tumpul abdomen karena adanya ruptur pada
organ. Penyebab yang paling serius dari peritonitis adalah
terjadinya suatu hubungan (viskus) ke dalam rongga peritoneal dari
organ-organ intra-abdominal (esofagus, lambung, duodenum,
intestinal, colon, rektum, kandung empedu, apendiks, dan saluran
kemih), yang dapat disebabkan oleh trauma, darah yang menginfeksi
peritoneal, benda asing, obstruksi dari usus yang mengalami
strangulasi, pankreatitis, PID (Pelvic Inflammatory Disease) dan
bencana vaskular (trombosis dari mesenterium/emboli).Peradangan
peritoneum merupakan komplikasi berbahaya yang sering terjadi
akibat penyebaran infeksi dari organ-organ abdomen (misalnya
apendisitis, salpingitis), ruptur saluran cerna, atau dari luka
tembus abdomen. Organisme yang sering menginfeksi adalah organisme
yang hidup dalam kolon pada kasus ruptur apendiks, sedangkan
stafilokokus dan stretokokus sering masuk dari luar. Pada luka
tembak atau luka tusuk tidak perlu lagi dicari tanda-tanda
peritonitis karena ini merupakan indikasi untuk segera dilakukan
laparotomi eksplorasi. Namun pada trauma tumpul seringkali
diperlukan observasi dan pemeriksaan berulang karena tanda
rangsangan peritoneum bisa timbul perlahan-lahan. Gejala dan tanda
yang sering muncul pada penderita dengan peritonitis yaitu:1. Nyeri
perut seperti ditusuk2. Perut yang tegang (distended)3. Demam
(>380C)4. Produksi urin berkurang5. Mual dan muntah6. Haus7.
Cairan di dalam rongga abdomen8. Tidak bisa buang air besar atau
kentut9. Tanda-tanda syokMenegakkan diagnosis peritonitis secara
cepat adalah penting sekali. Diagnosis peritonitis didapatkan dari
hasil anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang.
Diagnosis peritonitis biasanya ditegakkan secara klinis. Kebanyakan
pasien datang dengan keluhan nyeri abdomen. Nyeri ini bisa timbul
tiba-tiba atau tersembunyi. Pada awalnya, nyeri abdomen yang timbul
sifatnya tumpul dan tidak spesifik (peritoneum viseral) dan
kemudian infeksi berlangsung secara progresif, menetap, nyeri hebat
dan semakin terlokalisasi (peritoneum parietale). Dalam beberapa
kasus (misal: perforasi lambung, pankreatitis akut, iskemia
intestinal) nyeri abdomen akan timbul langsung secara umum/general
sejak dari awal. Mual dan muntah biasanya sering muncul pada pasien
dengan peritonitis. Muntah dapat terjadi karena gesekan organ
patologi atau iritasi peritoneal sekunder. Pada pemeriksaan fisik,
pasien dengan peritonitis, keadaan umumnya tidak baik. Demam dengan
temperatur >380C biasanya terjadi. Pasien dengan sepsis hebat
akan muncul gejala hipotermia. Takikardia disebabkan karena
dilepaskannya mediator inflamasi dan hipovolemia intravaskuler yang
disebabkan karena mual dan muntah, demam, kehilangan cairan yang
banyak dari rongga abdomen. Dengan adanya dehidrasi yang
berlangsung secara progresif, pasien bisa menjadi semakin
hipotensi. Hal ini bisa menyebabkan produksi urin berkurang, dan
dengan adanya peritonitis hebat bisa berakhir dengan keadaan syok
sepsis. Pada pemeriksaan abdomen, pemeriksaan yang dilakukan akan
sangat menimbulkan ketidaknyamanan bagi pasien, namun pemeriksaan
abdomen ini harus dilakukan untuk menegakkan diagnosis dan terapi
yang akan dilakukan. Pada inspeksi, pemeriksa mengamati adakah
jaringan parut bekas operasi menununjukkan kemungkinan adanya
adhesi, perut membuncit dengan gambaran usus atau gerakan usus yang
disebabkan oleh gangguan pasase. Pada peritonitis biasanya akan
ditemukan perut yang membuncit dan tegang atau distended. Minta
pasien untuk menunjuk dengan satu jari area daerah yang paling
terasa sakit di abdomen, auskultasi dimulai dari arah yang
berlawanan dari yang ditunjuik pasien. Auskultasi dilakukan untuk
menilai apakah terjadi penurunan suara bising usus. Pasien dengan
peritonitis umum, bising usus akan melemah atau menghilang sama
sekali, hal ini disebabkan karena peritoneal yang lumpuh sehingga
menyebabkan usus ikut lumpuh/tidak bergerak (ileus paralitik).
Sedangkan pada peritonitis lokal bising usus dapat terdengar
normal. Pada Palpasi, Peritoneum parietal dipersarafi oleh nervus
somatik dan viseral yang sangat sensitif. Bagian anterior dari
peritoneum parietale adalah yang paling sensitif. Palpasi harus
selalu dilakukan di bagian lain dari abdomen yang tidak dikeluhkan
nyeri. Hal ini berguna sebagai pembanding antara bagian yang tidak
nyeri dengan bagian yang nyeri. Nyeri tekan dan defans muskular
(rigidity) menunjukkan adanya proses inflamasi yang mengenai
peritoneum parietale (nyeri somatik). Defans yang murni adalah
proses refleks otot akan dirasakan pada inspirasi dan ekspirasi
berupa reaksi kontraksi otot terhadap rangsangan tekanan.Pada saat
pemeriksaan penderita peritonitis, ditemukan nyeri tekan setempat.
Otot dinding perut menunjukkan defans muskular secara refleks untuk
melindungi bagian yang meradang dan menghindari gerakan atau
tekanan setempat.Perkusi. Nyeri ketok menunjukkan adanya iritasi
pada peritoneum, adanya udara bebas atau cairan bebas juga dapat
ditentukan dengan perkusi melalui pemeriksaan pekak hati dan
shifting dullness. Pada pasien dengan peritonitis, pekak hepar akan
menghilang, dan perkusi abdomen hipertimpani karena adanya udara
bebas tadi. Pada pasien dengan keluhan nyeri perut umumnya harus
dilakukan pemeriksaan colok dubur dan pemeriksaan vaginal untuk
membantu penegakan diagnosis. Nyeri pada semua arah menunjukkan
general peritonitis.
1.1.5 PEMERIKSAAN FISIKAnamnesis mengandung data kunci yang
dapat mengarahkan diagnosis gawat abdomen. Riwayat trauma sangat
penting untuk menilai penderita yang cedera dalam tabrakan
kendaraan bermotor meliputi :kejadian apa, dimana, kapan terjadinya
dan perkiraan arah dari datangnya ruda paksa tersebut. Sifat, letak
dan perpindahan nyeri merupakan gejala yang penting. Demikian juga
muntah, kelainan defekasi dan sembelit. Adanya syok, nyeri tekan,
defans muskular, dan perut kembung harus diperhatikan sebagai
gejala dan tanda penting. Sifat nyeri, cara timbulnya dan
perjalanan selanjutnya sangat penting untuk menegakkan diagnosis.
Pada pemeriksaan fisik, perlu diperhatikan kondisi umum, wajah,
denyut nadi, pernapasan, suhu badan, dan sikap baring pasien,
sebelum melakukan pemeriksaan abdomen. Gejala dan tanda dehidrasi,
perdarahan, syok, dan infeksi atau sepsis juga perlu diperhatikan.
Pemeriksaan fisik pada pasien trauma tumpul abdomen harus dilakukan
secara sistematik meliputi inspeksi, auskultasi, palpasi, dan
perkusi. Pada inspeksi, perlu diperhatikan, Adanya luka lecet di
dinding perut, hal ini dapat memberikan petunjuk adanya kemungkinan
kerusakan organ di bawahnya. Adanya perdarahan di bawah kulit,
dapat memberikan petunjuk perkiraan organ-organ apa saja yang dapat
mengalami trauma di bawahnya. Ekimosis pada flank (Grey Turner
Sign) atau umbilicus (Cullen Sign) merupakan indikasi perdarahan
retroperitoneal, tetapi hal ini biasanya lambat dalam beberapa jam
sampai hari. Adanya distensi pada dinding perut merupakan tanda
penting karena kemungkinan adanya pneumoperitonium, dilatasi
gastric, atau ileus akibat iritasi peritoneal. Pergerakan
pernafasan perut bila terjadi pergerakan pernafasan perut yang
tertinggal maka kemungkinan adanya peritonitis. Pada auskultasi,
perlu diperhatikan : Ditentukan apakah bising usus ada atau tidak,
pada robekan (perforasi) usus bising usus selalu menurun, bahkan
kebanyakan menghilang sama sekali. Adanya bunyi usus pada
auskultasi toraks kemungkinan menunjukkan adanya trauma diafragma.
Pada palpasi, perlu diperhatikan : Adanya defence muscular
menunjukkan adanya kekakuan pada otot-otot dinding perut abdomen
akibat peritonitis. Ada tidaknya nyeri tekan, lokasi dari nyeri
tekan ini dapat menunjukkan organ-organ yang mengalami trauma atau
adanya peritonitis. Pada perkusi, perlu diperhatikan : Redup hati
yang menghilang menunjukkan adanya udara bebas dalam rongga perut
yang berarti terdapatnya robekan (perforasi) dari organ-organ usus.
Nyeri ketok seluruh dinding perut menunjukkan adanya tanda-tanda
peritonitis umum. Adanya Shifting dullness menunjukkan adanya
cairan bebas dalam rongga perut, berarti kemungkinan besar terdapat
perdarahan dalam rongga perut.Pemeriksaan rektal toucher dilakukan
untuk mencari adanya penetrasi tulang akibat fraktur pelvis, dan
tinja harus dievaluasi untuk gross atau occult blood. Evaluasi
tonus rektal penting untuk menentukan status neurology pasien dan
palpasi high-riding prostate mengarah pada trauma salurah kemih.
Pemeriksaan abdominal tap merupakan pemeriksaan yang penting untuk
mendapatkan tambahan keterangan bila terjadi pengumpulan darah
dalam rongga abdomen, terutama bila jumlah perdarahan masih
sedikit, sehingga klinis masih tidak begitu jelas dan sulit
ditentukan. Caranya dapat dilakukan dengan: buli- buli dikosongkan,
kemudian penderita dimiringkan ke sisi kiri. Disinfeksi kulit
dengan yodium dan alcohol. Digunakan jarum yang cukup besar dan
panjang, misalnya jarum spinal no. 18 20. Sesudah jarum masuk ke
rongga perut pada titik kontra Mc Burney, lalu diaspirasi. Dianggap
positif bila diperoleh darah minimal sebanyak 0.5 cc
1.1.6PEMERIKSAAN PENUNJANGPemeriksaan Laboratorium:Pemeriksaan
laboratorium yang direkomendasikan untuk korban trauma biasanya
termasuk glukosa serum, darah lengkap, kimia serum, amylase serum,
urinalisis, pembekuan darah, golongan darah, arterial blood gas
(ABG), ethanol darah, dan tes kehamilan (untuk wanita usia
produktif).a. Pemeriksaan darah lengkapHasil yang normal untuk
kadar hemoglobin dan hematokrit tidak bisa dijadikan acuan bahwa
tidak terjadi perdarahan. Pasien pendarahan mengeluarkan darah
lengkap. Hingga volume darah tergantikan dengan cairan kristaloid
atau efek hormonal (seperti adrenocorticotropic hormone [ACTH],
aldosteron, antidiuretic hormone [ADH]) dan muncul pengisian ulang
transkapiler, anemia masih dapat meningkat. Jangan menahan
pemberian transfusi pada pasien dengan kadar hematokrit yang
relatif normal (>30%) tapi memiliki bukti klinis syok, cidera
berat (seperti fraktur pelvis terbuka), atau kehilangan darah yang
signifikan.Pemberian transfusi trombosit pada pasien dengan
trombositopenia berat (jumlah trombosit90%) dan pemberian volume
cairan resusitasi dengan cairan kristaloid, dan jika diindikasikan,
dengan darah.
g. Skrining obat dan alcoholPemeriksaan skrining obat dan
alkohol pada pasien trauma dengan perubahan tingkat kesadaran.
Nafas dan tes darah dapat mengindentifikasi tingkat penggunaan
alkohol.
Pemeriksaan dengan foto:Penilaian awal paling penting pada
pasien dengan trauma tumpul abdomen adalah penilaian stabilitas
hemodinamik. Pada pasien dengan hemodinamik yang tidak stabil,
evaluasi cepat harus dibuat untuk melihat adanya hemoperitoneum.
Hal ini dapat dapat dilakukan dengan DPL (Diagnostic Peritoneal
Lavage) atau FAST (Focused Abdominal Sonogram for Trauma) scan.
Pemeriksaan radiografi abdomen perlu dilakukan pada pasien yang
stabil ketika pemeriksaan fisik kurang meyakinkan (Hoff et al.,
2001)a. Foto polosUdeani & Steinberg (2011) menyatakan bahwa
:1. Meskipun secara keseluruhan evaluasi pasien trauma tumpul
abdomen dengan rontgen polos terbatas, namun foto polos dapat
digunakan untuk menemukan beberapa hal.2. Radiografi dada bisa
digunakan untuk diagnosis cedera abdomen seperti ruptur
hemidiafragmatika atau pneumoperitoneum.3. Radiografi dada dan
pelvis dapat digunakan untuk menilai fraktur vertebra
torakolumbar4. Udara bebas intraperitoneal atau udara yang terjebak
pada retroperitoneal dari perforasi usus kemungkinan bisa terlihat.
Pada penderita ini dilakukan pemeriksaan foto polos pervis,
sedangkan untuk abdomen 3 posisi belum dilakukan. Pada foto polos
pelvis AP view tidak didapatkan lesi litik ataupun sklerotik, tak
tampak tanda-tanda fraktur/dislokasi, tak tampak kelainan pada
sistem tulang yang tervisualisasi, serta joint space tak
melebar/menyempit.
b. UltrasonografiUltrasonografi dengan focused abdominal
sonogram for trauma (FAST) sudah digunakan untuk mengevaluasi
pasien trauma lebih dari 10 tahun di Eropa. Akurasi diagnostik FAST
secara umum sama dengan diagnostic peritoneal lavage (DPL).
Penelitian di Amerika dalam beberapa tahun terakhir menunjukkan
FAST sebagai pendekatan noninvasif untuk evaluasi cepat
hemoperitoneum (Feldman, 2006). Pada pasien dengan trauma tumpul
abdomen dan cidera multisystem, ultrasonografi portabel dengan
operator yang berpengalaman dapat dengan cepat mengidentifikasi
cairan bebas di intraperitoneal. Cidera organ berongga jarang
teridentifikasi, namun cairan bebas bisa tervisualisasi pada
beberapa kasus (Salomone & Salomone,2011).Evaluasi FAST abdomen
terdiri visualisasi perikardium (dari lapang pandang subxiphoid),
rongga splenorenal dan hepatorenal, serta kavum douglas pada
pelvis. Tampilan pada kantong Morrison lebih sensitive, terlebih
jika etiologinya adalah cairan (Jehangir et al., 2002).Cairan bebas
pada umumnya diasumsikan sebagai darah pada trauma abdomen. Cairan
bebas pada pasien yang tidak stabil mengindikasikan perlu dilakukan
laparotomi emergensi, akan tetapi jika pasien stabil dapat
dievaluasi dengan CT scan (Feldman, 2006). Pada penderita ini,
pemeriksaan ultrasonography (USG) tidak didapatkan cairan bebas
pada hepatorenal, splenorenal, serta retrovesika urinaria. Pada
gambaran hepar menunjukkan ukuran, bentuk dan echostructure
parenchym normal, homogen, tepi licin, capsula intact, tak tampak
pelebaran sistema bilier, et vascular intra hepatal, tak tampak
nodul/cyst. Pada gambaran vesica fellea didapatkan ukuran normal,
dinding tak menebal, regular, tak tampak massa. Gambaran lien
menunjukkan ukuran, bentuk, dan echostructure parenchyma normal,
dinding licin, hilus tak prominen, tak tampak massa. Gambaran
ginjal kanan dan kiri menunjukkan ukuran dan echostructure
parenchyma normal, kapsula intak, batas kortek dan medulla tegas,
SPC tak melebar, tak tampak massa/nodul. Gambaran vesika urinaria
nampak terisi cairan, terpasang balon vesika urinaria, dinding
licin, tak tampak batu/massa. Gambaran prostat memberikan hasil
ukuran dan ekostruktur parenkim normal, tak tampak nodul, tak
tampak limpadenopati paraaortisi.
c. Computed Tomography (CT) ScanMeskipun mahal dan membutuhkan
banyak waktu, namun CT scan banyak mendukung gambaran detail
patologi trauma dan memberi penunjuk dalam intervensi operatif.
Tidak seperti FAST ataupun DPL (Diagnostic Peritoneal Lavage), CT
scan dapat menentukan sumber perdarahan
(Salomone&Salomone,2011).Cidera diafragma dan perforasi saluran
pencernaan masih dapat terlewat dengan pemeriksaan CT scan,
khususnya jika CT scan dilakukan segera setelah trauma. Cidera
pankreas dapat terlewatkan dengan pemeriksaan awal CT scan, tapi
secara umum dapat ditemukan pada pemeriksaan follow up yang
dilakukan pada pasien resiko tinggi. Untuk beberapa pasien,
endoscopic retrograde cholangiopancreatography (ERCP) dapat
ditambahan bersama CT scan untuk mendukung cedera duktus (Hoff et
al., 200l).Keuntungan utama CT scan adalah tingginya spesifitas dan
penggunaan sebagai petunjuk manajemen nonoperatif pada cidera organ
padat (Feldman, 2006).
d.Diagnostic Peritoneal Lavage (DPL)Diagnostic peritoneal lavage
(DPL) digunakan sebagai metode cepat untuk menentukan adanya
perdarahan intraabdomen. DPL terutama berguna jika riwayat dan
pemeriksaan abdomen menunjukkan ketidakstabilan dan cidera
multisistem atau tidak jelas. DPL juga berguna untuk pasien dimana
pemeriksaan abdomen lebih lanjut tidak dapat dilakukan (Feldman,
2006).
Indikasi dilakukannya DPL pada trauma tumpul dimana :a. Pasien
dengan cedera medulla spinalisb. Cedera multipel dan syok yang
tidak bisa dijelaskanc. Pasien dengan cedera abdomend. Pasien
intoksikasi dimana ada kecenderungan cedera abdomene. Pasien dengan
resiko cedera intra abdomen dimana dibutuhkan anestesi yang lebih
panjang untuk prosedur yang lain.
Kontraindikasi absolute untuk DPL adalah kebutuhan untuk
laparotomi yang nyata. Kontraindikasi relatif termasuk obesitas
morbid, riwayat pembedahan abdomen multipel, dan kehamilan.
(Udeani&Steinberg,2011). Variasi metode kateterisasi ke dalam
rongga peritoneal telah dijelaskan, yaitu metode terbuka, semi
terbuka, dan metode tertutup. Metode terbuka membutuhkan insisi
kulit infraumbilikal yang luas dan melalui linea alba. Peritoneum
dibuka dan kateter dimasukkan dibawah visualisasi secara langsung.
Metode semi terbuka serupa, kecuali peritoneum tidak dibukan dan
kateter dilewatkan perkutaneus melewati peritoneum ke dalam kavum
peritoneal. Taknik tertutup membutukan kateter uang dimasukkan
secara buta melalui kulit, jaringan subkutan, linea alba, dan
peritoneum. Teknik tertutup dan semi terbuka pada infra umbilical
lebih banyak dilakukan pada bagian tengah
(Udeani&Steinberg,2011).DPL bernilai postitif pada pasien
trauma tumpul jika 10mL darah segar teraspirasi sebelum infus
cairan cuci atau jika pipa cairan cuci (contohnya 1 L NaCl
diinfuskan ke kavitas peritoneal melalui kateter dan dibiarkan
tercampur, dimana akan dialirkan oleh gravitasi) terdapat lebih
dari 100.00 sel darah merah/mL, lebih dari 500 sel darah putih/mL,
peningkatan kadar amilase, empedu, bakteri, serat makanan, atau
urin. Hanya diperlukan kira-kira 30 mL darah pada peritoneum untuk
menghasilkan hasil DPL positif secara mikroskopis (Feldman, 2006 ;
Salomone & Salomone, 2011 ; Udeani & Steinberg,2011).Hasil
lain dari DPL yang menjadi indikasi dilakukan eksplorasi termasuk
adanya empedu atau kadar amylase tinggi yang abnormal (indikasi
perforasi usus), serat makanan, atau bakteri pada pemeriksaan
bakteri (King&Bewes,2002).Komplikasi DPL termasuk perdarahan
dari insisi dan tempat masuk kateter, infeksi (luka peritoneal),
dan cidera pada struktur intra abdomen (seperti vesika urinaria,
usus halus, uterus). Infeksi pada insisi, peritonitis dari tempat
kateter, laserasi pada vesika urinaria, atau cidera organ-organ
lain intra abdomen dapat muncul dan mengakibatkan hasil positif
palsu. Hasil positif palsu dapat memicu laparotomi yang tidak
diperlukan (King&Bewes,2002).Indikasi dilakukan laparotomi
diantaranya tanda peritonitis, perdarahan atau syok yang tidak
terkontrol, penurunan secara klinis selama observasi, ditemukannya
hemoperitoneum setelah pemeriksaan FAST atau DPL (Feldman,
2006).
1.1.7PENATALAKSANAAN
Terapi MedisKeberhasilan utama paramedis dengan latihan Advanced
Trauma Life Support merupakan latihan menilai dengan cepat jalan
napas pasien dengan melindungi tulang belakang, pernapasan dan
sirkulasi. Kemudian diikuti dengan memfiksasi fraktur dan
mengontrol perdarahan yang keluar. Pasien trauma merupakan risiko
mengalami kemunduran yang progresif dari perdarahan berulang dan
membutuhkan transport untuk pusat trauma atau fasilitas yang lebih
teliti dan layak. Sebab itu, melindungi jalan napas, menempatkan
jalur intravena, dan memberi cairan intravena, kecuali
keterlambatan transport. Prioritas selanjutnya pada primary survey
adalah penilaian status sirkulasi pasien. Kolaps dari sirkulasi
pasien dengan trauma tumpul abdomen biasanya disebabkan oleh
hipovolemia karena perdarahan. Volume resusitasi yang efektif
dengan mengontrol darah yang keluar infuse larutan kristaloid
melalui 2 jalur. 10Primary survey dilengkapi dengan menilai tingkat
kesadaran pasien menggunakan Glasgow Coma Scale. Pasien tidak
menggunakan pakaian dan dijaga tetap bersih, kering,
hangat.Secondary survey terdiri dari pemeriksaan lengkap dan teliti
sebagai indikasi dalam pemeriksaan fisik.Manajemen Non Operative
Trauma Tumpul AbdomenStrategis manajemen nonoperatif berdasarkan
pada CT scan dan kestabilan hemodinamik pasien yang saat ini
digunakan dalam penatalaksanaan trauma organ padat orang dewasa,
hati dan limpa. Pada trauma tumpul abdomen, termasuk beberapa
trauma organ padat, manajemen nonoperatif yang selektif menjadi
standar perawatan. Angiografi merupakan keutamaan pada manajemen
nonoperatif trauma organ padat pada orang dewasa dari trauma
tumpul. Digunakan untuk kontrol perdarahan.
Terapi PembedahanIndikasi laparotomi pada pasien dengan trauma
abdomen meliputi tanda-tanda peritonitis, perdarahan atau syok yang
tidak terkontrol, kemunduran klinis selama observasi, dan adanya
hemoperitonium setelah pemeriksaan FAST dan DPL.Ketika indikasi
laparotomi, diberikan antibiotik spektrum luas. Insisi midline
biasanya menjadi pilihan. Saat abdomen dibuka, kontrol perdarahan
dilakukan dengan memindahkan darah dan bekuan darah, membalut semua
4 kuadran, dan mengklem semua struktur vaskuler. Kerusakan pada
lubang berongga dijahit. Setelah kerusakan intra-abdomen teratasi
dan perdarahan terkontrol dengan pembalutan, eksplorasi abdomen
dengan teliti kemudian dilihat untuk evaluasi seluruh isi
abdomen.Setelah trauma intra-abdomen terkontrol, retroperitonium
dan pelvis harus diinspeksi. Jangan memeriksa hematom pelvis.
Penggunaan fiksasi eksternal fraktur pelvis untuk mengurangi atau
menghentikan kehilangan darah pada daerah ini. Setelah sumber
perdarahan dihentikan, selanjutnya menstabilkan pasien dengan
resusitasi cairan dan pemberian suasana hangat. Setelah tindakan
lengkap, melihat pemeriksaan laparotomy dengan teliti dengan
mengatasi seluruh struktur kerusakan.
Follow-Up:Perlu dilakukan observasi pasien, monitoring vital
sign, dan mengulangi pemeriksaan fisik. Peningkatan temperature
atau respirasi menunjukkan adanya perforasi viscus atau pembentukan
abses. Nadi dan tekanan darah dapat berubah dengan adanya sepsis
atau perdarahan intra-abdomen. Perkembangan peritonitis berdasar
pada pemeriksaan fisik yang mengindikasikan untuk intervensi
bedah.
1.2 Ruptur Lien
1.2.1 Definisi dan EtiologiRuptur lien merupakan kondisi
rusaknya lien akibat suatu dampak penting kepada lien dari beberapa
sumber. Dapat berupa trauma tumpul, trauma tajam, ataupun trauma
sewaktu operasi. Ruptur lien pada trauma tumpul abdomen adalah
terjadinya robekan atau pecahnya lien yang merupakan organ lunak
yang dapat bergerak, yang terjadi karena trauma tumpul, secara
langsung atau tidak langsung. Penyebab utamanya adalah cedera
langsung atau tidak langsung karena kecelakaan lalu lintas,
terjatuh dari tempat tinggi, pada olahraga luncur, dan olahraga
kontak seperti yudo, karate dan silat.
1.2.2 Anatomi dan FisiologiAbdomen dapat didefinisikan sebagai
daerah tubuh yang terletak antara diaphragma di bagian atas dan
pintu masuk pelvis dibagian bawah. Untuk kepentingan klinik,
biasanya abdomen dibagi dalam sembilan regio oleh dua garis
vertikal, dan dua garis horizontal. Masing-masing garis vertikal
melalui pertengahan antara spina iliaca anterior superior dan
symphisis pubis. Garis horizontal yang atas merupakan bidang
subcostalis, yang mana menghubungkan titik terbawah pinggir costa
satu sama lain. Garis horizontal yang bawah merupakan bidang
intertubercularis, yang menghubungkan tuberculum pada crista
iliaca. Bidang ini terletak setinggi corpus vertebra lumbalis
V.Pembagian regio pada abdomen yaitu : pada abdomen bagian atas :
regio hypochondrium kanan, regio epigastrium dan regio hypocondrium
kiri. Pada abdomen bagian tengah : regio lumbalis kanan, regio
umbilicalis dan regio lumbalis kiri. Pada abdomen bagian bawah :
regio iliaca kanan, regio hypogastrium dan regio iliaca kiri.
Sedangkan pembagian abdomen juga dipermudah menjadi empat kuadran
dengan menggunakan satu garis vertikal dan satu garis horisontal
yang saling berpotongan pada umbilicus. Kuadran tersebut adalah
kuadran kanan atas, kuadran kiri atas, kuadran kanan bawah dan
kuadran kiri bawah.
Lien merupakan massa jaringan limfoid tunggal yang terbesar dan
umumnya berbentuk oval, dan berwarna kemerahan. Terletak pada regio
hypochondrium kiri, dengan sumbu panjangnya terletak sepanjang iga
X dan kutub bawahnya berjalan ke depan sampai linea axillaris
media, dan tidak dapat diraba pada pemeriksaan fisik. Batas
anterior limpa adalah lambung, cauda pankreas, flexura coli
sinistra. Batas posterior pada diaphragma, pleura kiri (recessus
costodiaphragmatica kiri), paru kiri, costa IX, X, dan XI kiri.Lien
berasal dari diferensiasi jaringan mesenkimal mesogastrium dorsal.
Berat rata-rata pada manusia dewasa berkisar 75-100gram, biasanya
sedikit mengecil setelah berumur 60 tahun sepanjang tidak disertai
adanya patologi lainnya, ukuran dan bentuk bervariasi, panjang
10-11cm, lebar 6-7cm, tebal 3-4cm. lien terletak di kuadaran kiri
atas dorsal di abdomen pada permukaan diafragma, terlindung oleh
iga ke IX, X, dan XI. Lien terpancang ditempatnya oleh lipatan
peritoneum yang diperkuat oleh beberapa ligamentum suspensorium
yaitu :a. Ligamentum splenoprenika posteriorb. Ligamentum
gastrosplenika, berisi vasa gastrika brevisc. Ligamentum
splenokolika terdiri dari bagian lateral omentum majus d.
Ligamnetum splenorenal. Lien merupakan organ paling vaskuler,
dialiri darah sekitar 350 L per hari dan berisi kira-kira 1 unit
darah pada saat tertentu. Vaskularisasinya meliputi arteri
lienalis, variasi cabang pankreas dan beberapa cabang dari gaster
(vasa Brevis). Arteri lienalis merupakan cabang terbesar dari
trunkus celiakus. Darah balik disalur melalui v.lienalis yang
bergabung dengan v.mesenterika superior membentuk v.porta. Lien
diselimuti oleh simpai yang bercabang-cabang ke parenkim lien dalam
bentuk trabekula yang membungkus pulpa lien. Pulpa ini terbagi
menjadi tiga zona : pulpa putih, pulpa marginal, dan pulpa
merah.
Fisiologi LimpaLimpa adalah organ pertahanan utama ketika tubuh
terinvasi oleh bakteri melalui darah dan tubuh yang belum atau
sedikit memiliki antibodi. Kemampuan ini akibat adanya
mikrosirkulasi yang unik pada limpa. Sirkulasi ini memungkinkan
aliran yang lambat sehingga limpa punya waktu untuk memfagosit
bakteri, sekalipun opsonisasinya buruk. Antigen partikulat
dibersihkan dengan cara yang mirip oleh efek filter ini. Dan
antigen ini merangsang respon antibodi IgM dicentrum germinale. Sel
darah merahjuga dieliminasi dengan cara yang sama saat melewati
limpa. Pada usia 5-8 bulan, limpa berfungsi sebagai tempat
pembentukan sel darah merah dan sel darah putih. Fungsi ini akan
hilang pada masa dewasa. Namun limpa mempunyai peran penting dalam
memproduksi sel darah merah jika hematipoiesis dalam sumsum tulang
mengalami gangguan seperti pada gangguan hematologi. Secara umum
fungsi limpa dibagi menjadi 2 (dua) yaitu :1. Fungsi FiltrasiLien
berfungsi untuk membuang sel darah merah yang sudah tua atau sel
darah merah yang rusak misalnya sel darah merah yang mengalami
gangguan morfologi seperti pada spherosit dan sicled sel, serta
membuang bakteri yang terdapat dalam sirkulasi. Setiap hari limpa
akan membuang sekitar 20 ml sel darah merah yang sudah tua. Selain
itu sel-sel yang sudah terikat pada IgG pada permukaan akan dibuang
oleh monosit. Limpa juga akan membuang sel darah putih yang
abnormal, platelet dan sel-sel debris.2. Fungsi ImunologiLimpa
termasuk dalam bagian dari sistem limfoid perifer mengandung
limfosit T matur dan limfosit B. Limfosit T bertanggung jawab
terhadap respon sel mediated immune (imune seluler) dan limfosit B
bertanggung jawab terhadap respon humoral. Fungsi imunologi dari
limpa adalah :a. Produksi OpsoninLimpa menghasilkan tufsin dan
properdin. Tufsin mempromosikan fagositosis. Properdin menginisiasi
pengaktifan komplemen untuk destruksi bakteri dan benda asing yang
terperangkap dalam limpa. Limpa adalah organ lini ke dua dalam
sistem pertahanan tubuh jika sistem kekebalan tubuh yang terdapat
dalam hati tidak mampu membuang bakteri dalam sirkulasi.b. Sintesis
AntibodiImunoglobulin M (IgM) diproduksi oleh pulpa putih yang
berspon terhadap antigen yang terlarut dalam sirkulasi.c. Proteksi
terhadap infeksiSplenoktomi akan menyebabkan banyak pasien terpapar
infeksi, seperti fulminan sepsis. Mengenai bagaimana mekanismenya
sampai saat ini belum diketahui sepenuhnya.d. Tempat
PenyimpananPada dewasa normal sekitar sepertiga (30%) dari platelet
akan tersimpan dalam limpa.
1.2.3 PatofisiologiDalam keadaan normal, lambung relatif bersih
dari bakteri dan mikroorganisme lain karena kadar asam
intraluminalnya yang tinggi. Kebanyakan orang yang mengalami trauma
abdominal memiliki fungsi gaster normal dan tidak berada dalam
resiko kontaminasi bakteri setelah perforasi gaster. Namun, mereka
yang sebelumnya sudah memiliki masalah gaster beresiko terhadap
kontaminasi peritoneal dengan perforasi gaster. Kebocoran cairan
asam lambung ke rongga peritoneal sering berakibat peritonitis
kimia yang dalam. Jika kebocoran tidak ditutup dan partikel makanan
mencapai rongga peritoneal, peritonitis kimia bertahap menjadi
peritonitis bakterial. Pasien mungkin bebas gejala untuk beberapa
jam antara peritonitis kimia awal sampai peritonitis bakterial
kemudian. Adanya bakteri di rongga peritoneal merangsang influks
sel-sel inflamasi akut. Omentum dan organ dalam cenderung untuk
melokalisasi tempat inflamasi, membentuk flegmon (ini biasanya
terjadi pada perforasi usus besar). Hipoksia yang diakibatkan di
area memfasilitasi pertumbuhan bakteri anaerob dan menyebabkan
pelemahan aktivitas bakterisid dari granulosit, yang mengarah pada
peningkatan aktivitas fagosit granulosit, degradasi sel,
hipertonisitas cairan membentuk abses, efek osmotik, mengalirnya
lebih banyak cairan ke area abses, dan pembesaran abses abdomen.
Jika tidak diterapi, bakteremia, sepsis general, kegagalan multi
organ, dan syok dapat terjadi.
1.2.4PatogenesisBerdasarkan penyebab, ruptur lien dapat dibagi
berdasar trauma pada lien yang meliputia. Trauma TajamTrauma ini
dapat terjadi akibat luka tembak, tusukan pisau atau benda tajam
lainnya. Pada luka ini biasanya organ lain ikut terluka tergantung
arah trauma. Yang sering dicederai adalah paru, lambung, lebih
jarang pankreas, ginjal kiri dan pembuluh darah
mesenterium.Pemeriksaan splenografi yang dilakukan melalui pungsi
dapat menimbulkan perdarahan. Perdarahan pasca splenografi ini
jarang terjadi selama jumlah trombosit > 70.000 dan waktu
protrombin 20 % di atas normal.
b. Trauma TumpulLien merupakan organ yang paling sering terluka
pada trauma tumpul abdomen atau trauma thoraks kiri bawah. Keadaan
ini mungkin disertai kerusakan usus halus, hati, dan pankreas.
Penyebab utamanya adalah cedera langsung atau tidak langsung karena
kecelakaan lalu lintas, terjatuh dari tempat tinggi, pada olahraga
luncur dan olahraga kontak seperti judo, karate dan silat. Ruptur
lien yang lambat dapat terjadi dalam jangka waktu beberapa hari
sampai beberapa minggu setelah trauma. Pada separuh kasus masa
laten ini kurang dari 7 hari. Hal ini karena adanya tamponade
sementara pada laserasi kecil, atau adanya hematom subkapsuler yang
membesar secara lambat dan kemudian pecah.c. Trauma
IatrogenikRuptur lien sewaktu operasi dapat terjadi pada operasi
abdomen bagian atas, umpamanya karena retractor yang dapat
menyebabkan lien terdorong atau ditarik terlalu jauh sehingga hilus
atau pembuluh darah sekitar hilus robek. Cedera iatrogen lain dapat
terjadi pada punksi lien (splenoportografi).Kelainan patologi
dikelompokkan menjadi 5 (lima) yaitu :1. Cedera kapsul 2. Kerusakan
parenkim, fragmentasi, kutub bawah hampir lepas3. Kerusakan hillus
dilakukan splenektomi parsial4. Avulsi lien dilakukan splenektomi
total5. Hematoma subkapsuler
1.2.5 Manifestasi KlinikTanda fisik yang ditemukan pada ruptur
lien bergantung pada adanya organ lain yang ikut cedera, banyak
sedikitnya perdarahan dan adanya kontaminasi rongga peritoneum.
Perdarahan dapat sedemikian hebatnya sehingga mengakibatkan renjat
(syok) hipovolemik hebat yang fatal. Dapat pula terjadi perdarahan
yang berlangsung sedemikian lambat sehingga sulit diketahui pada
pemeriksaan.Pada setiap kasus trauma lien harus dilakukan
pemeriksaan abdomen secara berlulang-ulang oleh pemeriksa yang sama
karena yang lebih penting adalah mengamati perubahan gejala umum
(syok, anemia) dan likal di perut ( cairan bebas, rangsangan
peritoneum). Pada ruptur yang lambat, biasanya penderita datang
dalam keadaan syok, tanda perdarahan intraabdomen, atau seperti ada
tumor intra abdomen pada bagian kiri atas nyeri tekan disertai
anemia sekunder. Oleh karena itu, menanyakan riwayat trauma yang
terjadi sebelumnya sangat penting dalam mengahadapi kasus ini.
Penderita umunya berada dalam berbagai tingkat renjat hipovolemi
dengan atau tanpa (belum) takikardi dan penurunan tekanan darah.
Penderita mengeluh nyeri perut bagian atas, tetapi sepertiga kasus
mengeluh nyeri perut kuadran kiri atas atau punggung kiri. Nyeri di
daerah puncak bahu disebut tanda kehr terdapat pada kurang dari
separuh kasus. Mungkin nyeri di daerah bahu kiri baru timbul pada
posisi Tredenlenberg. Pada pemeriksaan fisik ditemukan masa di kiri
atas dan pada perkusi terdapat bunyi pekak akibat adanya hematom
subkapsular atau omentum yang mebungkus suatu hematom
ekstrakapsular disebut tanda Balance. Kadang darah bebas di perut
dapat di buktikn dengan perkusi pekak geser.
1.2.6Pemeriksaan LaboratoriumPemeriksaan hematokrit perlu
dilakukan berulang-ulang. Selain itu biasanya didapat leukositosis.
Pemeriksaan kadar Hb, hematokrit, leukosit dan urinalisis. Bila
terjadi perdarahan akan menurunkan Hb dan hematokrit serta terjadi
leukositosis. Sedangkan bila terdapat eritrosit dalam urine akan
menunjang adanya trauma saluran kencing.
1.2.7Pemeriksaan RadiologiSetelah trauma tumpul, organ
intraabdominal yang sering terkena yaitu lien, dan lien akan cedera
dan terbentuk hematom. Meskipun ahli bedah biasanya mencoba untuk
mengatasi trauma ini dengan konservatif, ruptur lien mungkin baru
disadari setelah seminggu atau sepuluh hari setelah trauma pertama.
Ada beberapa pemeriksaan yang dapat dilakukan diantaranya USG,
CT-Scan dan angiogrphy. Jika ada kecurigaan trauma lien, CT-Scan
merupakan pemeriksaan pilihan utama.Pendarahan dan hematon akan
tampak sebgai daerah yang kurang denstasnya dibanding lien. Daerah
hitam melingkar atau irreguler dalam lien menunjukkan hematom atau
laserasi, dan area seperti bulan sabit abnormal pada tepi lien
menunjukkan subkapsular hematom. Kadang, dengan penanganan
konservatif, abses mungkin akan terbentuk kemudian dan dapat
diidentifikasi pada CT Scan karena mengandung gas. Sensitivitas
pada CT Scan tinggi, namun spesifiksnya rendah, dan kadang riwayat
dan gejala penting untuk menentukan diagnosa banding. Gambaran yang
paling sering ditemui yaitu fraktur tulang iga kiri bawah terdapat
pada 44% pasien dengan ruptur lien dan perlu dilakukan pemeriksaan
CT Scan lebih lanjut.Tanda klasik yang menentukan adanya ruptur
lien akut (tingginya diagfragma sebelah kiri, atelektasis lobus
bawah kiri dan efusi pleura) tidak selalu ada dan tidak bisa
dijadikan tanda yang pasti. Namun, tiap pasien dengan diagfrgma
sebelah kiri yang meninggi disertai dengan trauma tumpul abdomen
harus dipikirkan sebagai trauma lien sampai dibuktikan
sebaliknya.Tanda yang lebih dapat dipercaya dari trauma pada
kuadran kiri atas yaitu perpindahan kemedial udara gaster dan
perpindahan inferior dari pola udara lien. Gambaran ini menunjukkan
adanya massa pada kuadran kiri atas dan menunjukkan adanya hematom
subkapsular atau perisplenik. The Organ Injury scaling Committee of
The American Association for the Surgery of Trauma juga telah
menyusun sistem grading yang telah direvisi pada tahun 1994, The
Organ Injury Scaling Committee of the American Association for the
Surgery of Trauma juga telah menyusun sistem grading yang telah
direvisi pada tahun 1994, sebagai berikut:a. Grade I Hematoma
subcapsular kurang dari 10% dari luas permukaan Capsular tear
kedalamannya kurang dari 1 cm.b. Grade II Hematoma Subkapsular
sebesar 10-50% dari luas permukaan Hematoma intraparenkim kurang
dari diameter 5 cm Laserasi dengan kedalaman dari 1-3 cm dan tidak
melibatkan pembuluh darah trabecular.c. Grade III Hematoma
subcapsular lebih besar dari 50% dari luas permukaan atau meluas
dan terdapat ruptur hematoma subcapsular atau parenkim Hematoma
Intraparenkim lebih besar dari 5 cm atau mengalami perluasan
Laserasi yang lebih besar dari 3 cm kedalamannya atau melibatkan
pembuluh darah trabeculard. Grade IV Laserasi melibatkan pembuluh
darah segmental atau hilar dengan devascularisasi lebih dari 25%
dari lien.e. Grade V Shattered spleen atau cedera vaskuler
hilar.Tingkat KeyakinanSecara keseluruhan sensitivitas dan
spesifisitas CT dalam deteksi cedera lien mendekati
100%.1.2.8Diagnosis Banding Pada kebanyakan kasus, diagnosis ruptur
lien tidaklah sulit. Bagaimanapun juga, ahli radiologi harus
waspada terhadap proses trauma yang memungkinkan terjadinya trauma
lien.a. Benda AsingTerkadang, bahan yang dimasukkan secara
iatrogenic dapat menimbulkan gambaran ruptur lien pada CT scan.
Pada kebanyakan pusat trauma, dilakukan pemasangan NGT, dan bahan
kontras dimasukkan secara oral sebelum pemeriksaan CT scan. Artefak
dan bahan yang tak tembus sinar dari NGT dan bahan kontras dapat
menutupi lien dan menimbulkan kebingungan. Bahan yang tidak tembus
sinar dari iga dan artefak dari air fluid level dari lambung dapat
juga menimbulkan hasil positif palsu. Gabungan dari efek-efek ini,
ditambah dengan scan yang berkualitas buruk dan besarnya ukuran
pasien, sering terjadi pada praktek sehari-hari.b. HematomPada
derajat tertentu, hemoperitoneum selalu mengikuti terjadinya trauma
lien, kecuali jika bagian subkapsular intak. Walaupun begitu, tidak
semua cairan intra abdomen merupakan hematom. Ahli radiologi harus
berhati-hati dalam mengasumsikan bahwa trauma lien adalah penyebab
adanya cairan dalam abdomen atau di sekitar lien. Kebanyakan trauma
tumpul lien terlihat pada anak-anak yang ditabrak oleh kendaraan
bermotor, kejadian yang berhubungan dengan jatuh, atau pengendara
kendaraan bermotor yang mengalami kecelakaan. Kemungkinan terbesar
terjadinya positif palsu pada kecelakaan kendaraan bermotor adalah
karena pasien cenderung tua dan telah memiliki penyakit
sebelumnya.c. Akumulasi cairanPenyakit hati, pankreas, ginjal, dan
kolon bagian kiri dapat menuju pada akumulasi cairan pada bagian
bawah lien. Penyebab lain yang dapat menyebabkan akumulasi cairan
tidak boleh dilupakan, termasuk adanya keganasan abdomen yang tidak
terdiagnosis dengan asites dan dialisis peritoneal. Walau banyak
keadaan ini tidak mungkin terjadi, kesempatan untuk memperoleh
informasi dari pasien mungkin tidak ada. Pada kebanyakan kecelakaan
kendaraan bermotor, ada beberapa orang yang terluka. Orang tua
tidak dapat mentoleransi bahkan trauma kecil sekalipun, dan keadaan
hemodinamik mereka biasanya tidak sesuai dengan trauma yang
terlihat. Sebagai tambahan, banyak pasien trauma yang mengalami
kecelakaan tiba di rumah sakit setelah penggunaan alcohol dan
obat-obatan. Akibatnya pasien dibawa ke bagian radiologi dalam
keadaan disedasi atau diintubasi.d. KistaBanyak hal yang dapat
mempengaruhi lien dan menimbulkan gambaran laserasi atau hematom
lien. Ada banyak etiologi kista lien yang telah dilaporkan dalam
literatur. Salah satu etiologi ini dapat menyebabkan kesalahan
diagnosis sebagai trauma lien, tapi biasanya tidak menimbulkan
hemoperitonium. Abses lien yang disebabkan oleh endokarditis
bakterial, infark lien, dan prosedur invasif dapat menyebabkan
trauma lien, dan ini dapat dihubungkan dengan cairan perilien. Lesi
kistik yang menyerupai trauma dapat diklasifikasikan sebagai
berikut : Kongenital : Epidermoid. Vaskular : Hematom, kista post
trauma (80%), infark kistik, dan peliosis. Inflamasi : Abses
piogenik, mikroabses jamur akibat Candida, Aspergilus, atau
Cryptococcus. Tuberculosis akibat Mycobacterium avium
intracellular, Pneumocytis carinii, atau Echinococcus. Dan
pseudokista pancreas. Neoplasma : Hemangioma kavernosus,
angiosarkoma, lienngioma, dan metastasis (melanoma 50%).e.
InfarkInfark pada lien dapat menimbulkan gambaran trauma. Secara
klasik, infark dapat dibedakan dengan bentuk baji atau segitiga.
Infark dapat melebar dari batas luar dengan apeks menuju ke hilus
lien. Lingkaran halus parenkim normal dapat terlihat sepanjang
batas luar. Walau infark tidak meningkat, pada lingkaran luar
mungkin dapat terlihat peningkatan karena terdapatnya pembuluh
darah. Pada USG dan CT scan, infark dapat disalah artikan sebagai
laserasi tanpa cairan perilien.f. KeganasanTumor pada lien jarang
terjadi. Kebanyakan tumor yang berhubungan dengan lien adalah
limfoma, yang mencakupi 70% dari lesi. Sebagai tambahan, penyakit
metastatik pada lien tidak jarang terjadi, dan melanoma, kanker
payudara, paru, ginjal, dan ovarium merupakan kanker primernya.
Proses ini terlihat hipoekoik pada USG dan hipodens pada CT scan,
dan dapat menimbulkan gambaran laserasi atau perdarahan
intraparenkim. Penyakit metastatik dapat berhubungan dengan asites
yang menimbulkan gambaran hemoperitoneum. Lesi serupa pada organ
lain dan limfadenopati muncul dan mengecualikan trauma.g. Tumor
jinakTumor jinak yang paling sering pada lien adalah hemangioma
kavernosus. Tumor ini dapat terlihat hiperekoik atau hipoekoik pada
USG dan dapat menimbulkan gambaran hematom dan darah yang tidak
menggumpal. Hemangioma terlihat hipodens pada CT scan. Lesi jinak
dapat menimbulkan gambaran hematom parenkim atau laserasi kecil
jika dekat perifer. Petunjuk untuk diagnosis yang benar adalah
perbedaan pada batas dan bentuk hemangioma dibandingkan dengan
trauma. Kalsifikasi seperti bentuk salju atau phlebolits jarang
terjadi, tapi dapat dibedakan dengan trauma. Hemangiomatosis lien
difus adalah keadaan dimana lien membesar dan digantikan hampir
seluruhnya oleh hemangioma. Gambarannya terlihat seperti trauma
saat pertama terlihat.h. Ruptur lien nontraumatikRuptur lien
nontraumatik jarang terjadi, tapi telah dihubungkan dengan beberapa
proses penyakit. Ini dapat menimbulkan kebingungan, pertama karena
kelangkaannya dan kedua karena dugaan penyebab traumatik.
Pemeriksaan teliti terhadap gambar akan menuju kepada diagnosis
yang benar.i. SarkoidosisSarkoidosis adalah penyakit yang tidak
diketahui etiologinya yang mana granuloma muncul di jaringan dan
organ terutama pada sistem limfatik. Lien terlibat dalam 24-59%
dari pasien dengan sarkoid, tapi biasanya asimptomatik. Dapat juga
menunjukkan gejala abdominal. Kasus berat dapat menuju kepada
hipersplenisme dan ruptur spontan tanpa etiologi yang jelas. Pada
kebanyakan kasus, lien terkena secara difus, dan gambarannya dapat
menyerupai limfoma. Splenomegali tampak pada sekitar sepertiga
kasus dan sering dihubungkan dengan limfadenopati. Nodul hipodens
yang terpisah tampak pada CT scan pada sekitar 15% pasien.j.
AmiloidosisLien terlibat pada amiloidosis, penyakit dimana pada sel
plasma terjadi penumpukan amiloid, protein kompleks yang terbentuk
terutama dari rantai polipeptida, yang terjadi di berbagai jaringan
dan organ. Amiloidosis dapat terjadi secara primer ataupun
sekunder, berhubungan dengan inflamasi kronik (terutama arthritis
reumatoid), dan terjadi berhubungan dengan myeloma multiple. Lien
terkena dalam berbagai bentuk amiloidosis dan muncul secara difus
dan homogen pada kebanyakan pasien. Ini dapat terlihat pada CT scan
dengan kontras, tapi abnormalitas focal yang dapat menyerupai
laserasi juga dapat terjadi. Ruptur lien spontan, yang diyakini
sebagai akibat kelemahan kapsul akibat penumpukan amiloid, telah
dilaporkan. Berkurangnya atenuasi pada organ yang terlibat dapat
membantu dalam membedakan amiloid dengan traumak. Infeksi
Bartonella adalah organism gram negatif awalnya dianggap terutama
menginfeksi pasien dengan HIV. Tapi, penelitian terkini telah
menunjukkan spesies Bartonella yang dapat menyebabkan penyakit
catscratch. Dua proses primer dari infeksi Bartonella, yang
melibatkan hati dan lien disebut bacillary peliosis hepatis. Secara
patologis, basili ini menyebabkan dilatasi kapiler, yang
menyebabkan sejumlah kavitas berdinding tipis yang berisi darah
pada hati dan lien. CT scan abdomen menunjukkan adanya lesi
multiple pada hati dan lien dengan liendenopati dan kemunkinan
asites. Lesi dapat bergabung membentuk lesi multilokus atau
berseptum. Ruptur lien spontan telah dilaporkan pada pasien dengan
bacillary peliosis hepatis. l. Trauma sekunderProses-proses yang
telah disebutkan di atas dapat menyebabkan ruptur lien, yang
menyebabkan derajat trauma. Lien yang membesar dengan massa tumor
atau anemia dapat terluka dengan trauma ringan seperti jatuh saat
berjalan. Hemangioma atau kista dapat ruptur dengan trauma ringan
akibat kelemahan pada kapsul. Kondisi-kondisi ini dihubungkan
dengan hemoperitonium atau perdarahan parenkim dan sulit dibedakan
dengan trauma lien.
1.2.9PenatalaksanaanPenatalaksanaan secara tradisional adalah
splenektomi. Akan tetapi, splenektomi sedapat mungkin dihindari,
terutama pada anak-anak, untuk menghindari kerentanan permanen
terhadap infeksi. Kebanyakan laserasi kecil dan sedang pada pasien
stabil, terutama anak-anak, ditatalaksana dengan observasi dan
transfusi. Kegagalan dalam penatalaksanaan obsevatif lebih sering
terjadi pada trauma grade III, IV, dan V daripada grade I dan II.
Pada banyak penelitian, embolisasi arteri lienalis telah dijelaskan
menggunakan berbagai pendekatan. Satu poin utama dalam pembahasan
tentang perbedaan antara embolisasi arteri lienalis utama,
embolisasi arteri lienalis selektif atau superselektif, dan
embolisasi arteri lienalis di berbagai tempat. Embolisasi ini
menghambat aliran pada pembuluh yang mengalami perdarahan. Jika
pembedahan diperlukan, lien dapat diperbaiki secara bedah. Tindakan
bedah yang dapat dilakukan pada keadaan rupture lien meliputi
splenorafi dan splenektomi.
1. SPLENORAFI Splenorafi adalah operasi yang bertujuan
mempertahankan lien yang fungsional dengan teknik bedah. Tindakan
ini dapat dilakukan pada trauma tumpul maupun tajam. Tindak bedah
ini terdiri atas membuang jaringan nonvital, mengikat pembuluh
darah yang terbuka, dan menjahit kapsul lien yang terluka. Jika
penjahitan laserasi saja kurang memadai, dapat ditambahkan dengan
pemasangan kantong khusus dengan atau tanpa penjahitan omentum.
2. SPLENEKTOMIMengingat fungsi filtrasi lien, indikasi
splenektomi harus dipertimbangkan benar. Selain itu, splenektomi
merupakan suatu operasi yang tidak boleh dianggap ringan. Eksposisi
lien sering tidak mudah karena splenomegali biasanya disertai
dengan perlekatan pada diafragma. Pengikatan a.lienalis sebagai
tindakan pertama sewaktu operasi sangat berguna. Splenektomi
dilakukan jika terdapat kerusakan lien yang tidak dapat diatasi
dengan splenorafi, splenektomi parsial, atau pembungkusan.
Splenektomi parsial bisa terdiri dari eksisi satu segmen yang
dilakukan jika ruptur lien tidak mengenai hilus dan bagian yang
tidak cedera masih vital. Tapi splenektomi tetap merupakan terapi
bedah utama dan memiliki tingkat kesuksesan paling tinggi.
Pengangkatan lien dapat dilakukan pada kondisi berikut :a.
Pecahnya lien dalam kecelakaan karena lien tidak dapat dijahit
karena sangat vaskulardan rapuh oleh karena itu untuk menyelamatkan
lien pasien harus diangkat.b. Pada penyakit kronis misalnya
malaria, lien sangat membesar sehingga menghasilkan ketidaknyamanan
kepada pasien karena itu lien harus diangkat.
Efek Pengangkatan Lien :1. Sel darah merah harus benar-benar
dihitung (seharusnya mengalami peningkatan sel darah merah) karena
penghancuran sel darah merah oleh lien terhenti, tapi mengejutkan
karena jumlah sel darah merah yang dihitung akan sedikit berkurang
yaitu anemia ringan.2. Sel darah putih dan trombosit akan
meningkat.3. Mekanisme pertahanan oleh sistem kekebalan tubuh akan
kurang.4. Tidak akan ada pertahanan terhadap tetanus karena lien
satu-satunya tempat di mana ada kekebalan terhadap tetanus.Seperti
yang terlihat dari poin di atas setelah pengangkatan lien orang
dapat hidup normal, kecuali dia harus sangat berhati-hati terhadap
infeksi tetanus.
OVERWHELMING POST SPLENECTOMY INFECTIONPasien yang liennya telah
diangkat merupakan pasien dengan risiko infeksi yang signifikan,
karena lien adalah jaringan limfoid terbesar dalam tubuh. Infeksi
postsplenectomy berat (OPSI) adalah proses fulminan serius yang
membawa tingkat kematian yang tinggi. Patogenesis dan risiko
berkembangnya infeksi postsplenectomy berat (OPSI) yang fatal tetap
tidak jelas.
Gejala Infeksi Postsplenectomy Berat (OPSI)King dan Shumacker
pertama kali mendeskripsikan sepsis akibat bakteri setelah
splenektomi pada bayi dan anak-anak pada tahun 1952. Kemudian
muncul bahwa sindrom ini setara terjadi pada orang dewasa asplenic.
Gejala yang tidak spesifik dan gejala fisik ringan postsplenectomy
muncul pada tahap awal OPSI, yang meliputi kelelahan, kulit menjadi
berwarna, penurunan berat badan, sakit perut, diare, sembelit,
mual, dan sakit kepala. Pneumonia dan meningitis concomitants
sering lebih parah. Perjalanan klinis menjadi cepat dan dapat
berkembang menjadi koma dan kematian dapat terjadi dalam waktu 24
sampai 48 jam, karena tingginya insiden shock, hipoglikemia, serta
asidosis yang ditandai dengan gangguan elektrolit, distress
pernapasan, dan koagulasi intravaskular diseminata. Angka kematian
adalah 50% -70% meskipun dengan terapi agresif yang mencakup cairan
infus, antibiotik, vasopressor, steroid, heparin, Packed Red Cell
(PRC), trombosit, cryoprecipitates, dan Fresh Frozen Plasma (FFP).
Perjalanan klinis kemudian sering disebut cermin dari sindrom
Waterhouse-Friderichsen (WFS), dan perdarahan adrenal bilateral
dapat ditemukan pada otopsi. Mekanisme yang menghubungkan
splenektomi untuk WFS tidak diketahui tetapi kemungkinan penyebab
OPSI termasuk hilangnya fungsi fagositik lien, penurunan kadar
imunoglobulin serum, penekanan kepekaan limfosit, atau perubahan
dalam sistem opsonin.
Tabel 2. Manifestasi Klinis Infeksi Post splenectomy Berat
(OPSI)
Infeksi samar (cryptic) (fokus tidak jelas)Prodromal singkat,
tidak spesifikBakteremia massif dengan organisme berkapsulShock
septic dengan koagulasi intravaskular diseminata (DIC)Virulensi:
kematian 50% sampai 70% Kematian terjadi kemudian dalam 24 hingga
48 jam
Sumber : Okabayashi, T., Hanazaki, K., 2008, Diakses dari
www.wjgnet.com
Infeksi postsplenectomy berat telah didefinisikan sebagai
septikemia dan / atau meningitis, biasanya fulminan tetapi belum
tentu fatal, dan terjadi setiap saat setelah pengangkatan lien.
Sepsis pada pasien asplenic dapat disebabkan oleh organisme apapun,
baik itu bakteri, virus, jamur, atau protozoa, namun organisme yang
berkapsul sering berhubungan dengan sepsis pada pasien dengan
pengangkatan lien. Organisme yang berkapsul seperti Streptococcus
pneumoniae sangat resisten terhadap fagositosis, tapi dengan cepat
diatasi dengan adanya atau bahkan dengan sejumlah kecil
jenis-antibodi spesifik. Tanpa lien, produksi antibodi segera
terhadap antigen yang baru ditemui terganggu dan bakteri dapat
berkembang biak cepat. Oleh karena itu, risiko penyakit pneumokokus
invasif pada pasien tanpa lien adalah 12-25 kali lebih besar dari
populasi pada umumnya. Penyakit invasif pada pasien asplenic karena
organisme yang berkapsul seperti Streptcoccus pneumoniae (50%
-90%), Neisseria meningitides, Hemophilus influenzae, dan
Streptococcus pyogens (25%) menyebabkan pertumbuhan bakteri yang
berlebihan tanpa hambatan.
1.2.10PrognosisHasil dari penatalaksanaan baik operatif ataupun
nonoperatif dari ruptur lien penyembuhan 90% lebih baik pada pasien
yang ditatalaksana secara nonoperatif. Angka kematian yang
berhubungan dengan trauma lien berkisar antara 10% hingga 25% dan
biasanya akibat trauma pada organ lain dan kehilangan darah yang
banyak.
BAB IITINJAUAN KASUSII.1 IDENTITASNo. DM: 37 15 55Nama: Tn. H.
YUmur: 22 tahunJenis kelamin: Laki-lakiAlamat: DemtaAgama: Kristen
ProtestanSuku: BiakGolongan Darah: OTanggal MRS: 09 November
2013Tanggal KRS: 21 November 2013
II.2 ANAMNESISKeluhan utama :Pasien rujukan dari PUSKESMAS Demta
datang dengan keluhan nyeri dada sebelah kanan dan kiri
Riwayat Penyakit Sekarang :Pasien merupakan rujukan dari
PUSKESMAS Demta datang dengan keluhan nyeri dada sebelah kanan dan
kiri yang dirasakan sejak kecelakaan lalu lintas yang dialaminya 17
jam lalu. pasien mengaku awalnya pasien sedang berjalan, lalu
tiba-tiba sebuah mobil menabraknya dari arah depan sebelah kiri dan
mengenai pinggul kiri pasien sehingga pasien terjatuh ke arah kiri
dan kemudian pingsan. Saat kejadian pasien juga berada dalam
pengaruh alkohol. Kemudian pasien di bawa ke Puskesmas Demta, dan
sesampainya disana, pasien tersadar. Pasien sempat muntah darah 1
kali dan mengeluhkan nyeri di pinggul kiri dan nyerinya menjalar
hingga dada sebelah kiri dan juga sesak. Keluhan nyeri kepala (+),
pusing (+), mual (-), Di Puskesmas pasien diberikan terapi
amoksisilin, deksametason dan asam mefenamat. Kemudian pasien di
rujuk ke RSUD Dok 2 Jayapura.
Riwayat Penyakit Dahulu : Riwayat trauma sebelumnya (-) Riwayat
Penyakit Jantung (-)
II.3 PEMERIKSAAN FISIKPrimary Survey :Airway: Bebas, stridor (-)
gargling (-)Breathing: RR : 24 x/mnt, Simetris, retraksi (-), sonor
(+/+), Suara napas Vesikuler (+/+), Rhonki (-)Circulation: N : 70
x/mnt, TD :110/70 mmHg, CRT : < 2 detikDisability: GCS : 15 (
E4V5M6) Pupil : isokhor 2 mm, Ref.Cahaya (+/+)Exposure: Jejas di
daerah Flank sisnistra tampak hematom, luka lecet (+), nyeri (+)
Jejas di daerah femur sinistra tampak luka lecet (+), udem (+),
nyeri (+)
Secondary Survey Status generalisataKesadaran : compos mentis,
GCS 15 (E4V5M6)Tanda-tanda vital : tekanan darah : 110/70mmHg nadi
: 70x/m, respirasi : 24x/m suhu badan : 36,1oCKepala: konjungtiva
anemis (+/+), sklera ikterik (-/-), pupil isokhor 2 mm, Refleks
Cahaya (+/+)Leher: peningkatan JVP (-)ThoraksParuInspeksi :
simetris, ikut gerak napas, retraksi (-), jejas (-)Palpasi : vocal
fremitus dextra = sinistraPerkusi : sonor pada kedua lapang
paruAuskultasi : suara nafas vesikuler (+/+), rhonki (-/-),
wheezing (-/-)Jantung Inspeksi : ictus cordis (-)Palpasi : thrill
(-)Perkusi : pekakAuskultasi : bunyi jantung I-II reguler, murmur
(-), gallop (-)Abdomen Inspeksi : datar, supel, jejas (+) regio
flank sinistraAuskultasi : bising usus (+) normal Palpasi :hepar
tak teraba, lien tak teraba, nyeri tekan pada regio hipokondrium
dextra et sinistra, epigastrium, lumbalis dextra et sinistraPerkusi
: timpaniEkstremitas: akral hangat , edema (-), CRT < 2
detik
Status LokalisRegio. Flank sinistra : tampak hematom, luka lecet
(+), nyeri (+)Regio Femur sinistra : tampak v. ekskoriatum, udem
(+), nyeri (+)
II.4 PEMERIKSAAN PENUNJANGPemeriksaan
LaboratoriumPemeriksaanIIIIIIIV
Darah lengkap / 4 jamHb : 8,8 g/dlLeukosit: 6,1 103/mm3RBC : 3,
18 L 103/mm3PLT : 148 L 103/mm3HCT : 24,7 L %CT : 1100BT : 400Hb :
8,3 g/dlLeukosit: 5,5 103/mm3RBC : 2, 93 L 103/mm3PLT : 126 L
103/mm3HCT : 77 L %Hb : 8,4 g/dlLeukosit: 5,2 103/mm3RBC : 3,01 L
103/mm3PLT : 122 L 103/mm3HCT : 76 L %Hb : 7,9 g/dlLeukosit: 4,5
103/mm3RBC : 2, 79 L 103/mm3PLT : 125 L 103/mm3HCT : 75 L %GDS :
112 mg/dL
Pemeriksaan Radiologis Rontgen skull AP/lateral Rontgen thorax
AP/lateral Rontgen pelvis AP/lateral Rontgen femur sinistra
AP/lateral Rontgen shoulder joint dextra II.5 RESUMEPasien
laki-laki umur 22 tahun rujukan dari PUSKESMAS Demta datang dengan
keluhan nyeri dada sebelah kanan dan kiri yang dirasakan sejak
kecelakaan lalu lintas yang dialaminya 17 jam lalu. Pasien ditabrak
oleh mobil dari arah depan sebelah kiri dan mengenai pinggul kiri
pasien sehingga pasien terjatuh ke arah kiri dan kemudian pingsan.
Pasien juga berada dalam pengaruh alkohol. Sesampainya di
PUSKESMAS, pasien tersadar. Terdapat muntah darah 1 kali, nyeri di
pinggul kiri dan nyerinya menjalar hingga dada sebelah kiri dan
juga sesak. Keluhan nyeri kepala (+), pusing (+), mual (-), Di
Puskesmas pasien diberikan terapi amoksisilin, deksametason dan
asam mefenamat. Kemudian pasien di rujuk ke RSUD Dok 2 Jayapura.
Dari pemeriksaan fisik didapatkan kesadaran compos mentis, GCS 15
(E4V5M6), tekanan darah : 110/70mmH, nadi 70x/m, respirasi 24x/m,
suhu badan 36,1oC, konjungtiva anemis (+/+), jejas (+) regio flank
sinistra, nyeri tekan pada regio hipokondrium dextra et sinistra,
epigastrium, lumbalis dextra et sinistra. Status lokalis Regio.
Flank sinistra : tampak hematom, luka lecet (+), nyeri (+), regio
femur sinistra : tampak v. ekskoriatum, udem (+), nyeri (+). Dari
laboratorium didapatkan Hb : 8,8 g/dl, RBC : 3, 18 L 103/mm3, PLT :
148 L 103/mm, HCT : 24,7 L %, CT : 1100, BT : 400.
II.6 DIAGNOSIS KERJA Cedera Kepala Ringan Suspek Trauma Tumpul
Abdomen
II.8 RENCANA Observasi vital sign Pemeriksaan Hb serial/4jam,
kimia serum USG abdomen DPL CT scan
II.9 TERAPI IVFD RL/ 8 jam Inj. Ranitidin 2 x 1 amp Inj.
Ketorolac 3 x 1 amp Inj asam traksenamat 3 x 1 amp
BAB IIIPEMBAHASAN
BAB IVPENUTUPIV. 1 KESIMPULAN36