Top Banner
LAPORAN KASUS POLI UMUM PUSKESMAS ALAK NEUROFIBROMATOSIS Nama : Yoseph Elkridus Gonang NIM : 0908012873 ABSTRACT Neurofibromatosis type 1 (NF1) is a multisystem genetic disorder that is characterized by cutaneous findings, most notably café-au-lait spots and axillary freckling, by skeletal dysplasias, and by the growth of both benign and malignant nervous system tumors, most notably benign neurofibromas. NF1 is an autosomal dominant condition caused by decreased production of the protein neurofibromin, which has a putative tumor suppressor function. Only one NF1 gene need be deleted or mutated to produce the condition. No known medical therapies are beneficial to patients with NF1. Several drug trials have been initiated, looking for medications that slow or halt the growth of neurofibromas. Thus far, none of these medications have demonstrated significant benefit, although various research trials involving chemotherapeutic and other agents are underway in an attempt to slow the growth of plexiform neurofibromas. PENDAHULUAN Neurofibromatosis adalah suat u kelainan genetik pada sistem saraf yang berpengaruh pada pertumbuhan dan perkembangan jaringan saraf , dimana neurofibroma muncul pada 1
31
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: Laporan Kasus Poli Umum

LAPORAN KASUS POLI UMUMPUSKESMAS ALAK

NEUROFIBROMATOSIS

Nama : Yoseph Elkridus GonangNIM : 0908012873

ABSTRACTNeurofibromatosis type 1 (NF1) is a multisystem genetic disorder that is

characterized by cutaneous findings, most notably café-au-lait spots and axillary freckling, by

skeletal dysplasias, and by the growth of both benign and malignant nervous system tumors,

most notably benign neurofibromas. NF1 is an autosomal dominant condition caused by

decreased production of the protein neurofibromin, which has a putative tumor suppressor

function. Only one NF1 gene need be deleted or mutated to produce the condition. No known

medical therapies are beneficial to patients with NF1. Several drug trials have been initiated,

looking for medications that slow or halt the growth of neurofibromas. Thus far, none of

these medications have demonstrated significant benefit, although various research trials

involving chemotherapeutic and other agents are underway in an attempt to slow the growth

of plexiform neurofibromas.

PENDAHULUAN

Neurofibromatosis adalah suat u kelainan genetik pada sistem saraf yang

berpengaruh pada pertumbuhan dan perkembangan jaringan saraf , dimana neurofibroma

muncul pada kulit dan bagian tubuh lainnya. Penyakit ini diturunkan secara autosomal

dominan.

Gangguan ini dapat mempengaruhi semua ras, semua kelompok etnis dan jenis

kelamin masing-masing dengan probabilitas yang sama. Neurofibromatosis telah, terlepas

dari bentuk yang paling umum, jenis yang berbeda. NFM (Neurofibromatosis) tipe 1, juga

dikenal sebagai penyakit Reclkingshausen Von, memiliki insiden 1:3000. NFM tipe II

"Sindrom MISME" memiliki kejadian 1:40,000. Schwannomatosis, adalah bentuk paling

unik. Ini memiliki jenis yang berbeda berbeda. Hal ini membuat sekitar 1 / 3 dari pasien

hanya memiliki satu tumor, bukan banyak. Schwannomatosis memiliki terjadinya 1:40,000..

Penderita NF kebanyakan mendapatkan penyakit ini dari faktor keturunan (dari

kedua orangtuanya), namun sekitar 30% kasus ternyata penderita NF tidak memiliki orang

1

Page 2: Laporan Kasus Poli Umum

tua atau riwayat keluarga yang memiliki penyakit NF pula. Artinya penyakit ini mereka

dapatkan karena tubuh mereka mengalami mutasi gen secara individual dan tidak selalu

bawaan lahir. Apabila salah satu orang tua menderita kelainan NF ini , maka 50 %

kemungkinan anaknya menderita penyakit  ini .

Mereka dapat muncul di mana saja, dan biasanya meningkat dengan usia. Bintik-

bintik muncul pada daerah pangkal paha dan ketiak. Gejala penyerta dapat bervariasi dari

jenis ke jenis seperti dalam bentuk gangguan pendengaran, sakit kepala, vertigo, kelumpuhan

wajah, tumor otak, atau tuli. Pertumbuhan ini biasanya mulai muncul setelah masa pubertas

dan bisa dirasakan dibawah kulit sebagai benjolan kecil.

Kriteria diagnosis untuk NF1 terpenuhi jika dijumpai dua atau lebih dari kondisi

berikut: 1) dijumpai ≥ 6 makula cafe-au-lait diameter ≥ 0,5cm pada anak atau ≥ 1,5cm pada

orang dewasa; 2) freckles pada area aksila atau inguinal; 3) neurofibroma fleksiformis atau

neurofibroma dermal ≥ 2; 4) Lisch nodul ≥ 2 pada iris mata; 5) glioma nervus optikus; 6)

displasia tulang; dan 7) anggota keluarga generasi pertama ada yang menderita NF1.

Kebanyakan pada anak-anak hanya dijumpai makula cafe-au-lait sehingga diagnosis tidak

dapat segera ditegakkan sampai muncul kriteria lainnya.1,2,13 Anak-anak yang memiliki 3-5

cafe-au-lait harus dievaluasi berkala oleh dokter spesialis kulit, spesialis saraf anak, dan

spesialis jiwa.

Gambaran klinis yang ditemukan pada kasus ini adalah cafe-au-lait ≥ 6 dengan

diameter ≥ 0,5cm dan freckles pada aksila, sehingga diagnosis NF1 dapat ditegakkan. Cafe-

au-lait merupakan tanda pertama yang sering muncul, terjadi pada 99% kasus NF1 dan

muncul pada satu tahun pertama kehidupan. Freckles pada aksila, inguinal, atau bawah

payudara merupakan tanda patognomonik NF1. Sebanyak 81% anak yang didiagnosis NF1

mempunyai freckles intertriginosa sejak umur 6 tahun. Nodul Lisch, neurofibroma kutan, dan

neurofibroma fleksiformis pada kasus ini tidak ditemukan. Prevalensi nodul Lisch pada anak

dengan NF1 sebesar 15-20%. Neurofibroma baru muncul setelah pubertas, sedangkan

neurofibroma fleksiformis biasanya kongenital dan prevalensi pada NF1 sebesar 25%.

Sekitar sepertiga penderita tidak mengeluhkan adanya gejala dan penyakit ini

pertama kali terdiagnosis ketika pada pemeriksaan fisik ditemukan adanya benjolan dibawah

kulit, di dekat saraf. Pada sepertiga penderita lainnya penyakit ini terdiagnosis ketika

penderitanya berobat untuk masalah kosmetik. Tampak bintik-bintik kulit yang berwarna

coklat (bintik caf au lait) di dada, punggung, pinggul, sikut dan lutut. Bintik-bintik ini bisa

ditemukan pada saat anak lahir atau baru timbul pada masa bayi. Pada usia 10-15 tahun mulai

2

Page 3: Laporan Kasus Poli Umum

muncul berbagai ukuran dan bentuk neurofibromatosis di kulit. Jumlahnya bisa kurang dari

10 atau bisa mencapai ribuan.Pada beberapa penderita, pertumbuhan ini menimbulkan

masalah dalam kerangka tubuh, seperti kelainan lengkung tulang belakang (kifoskoliosis),

kelainan bentuk tulang iga, pembesaran tulang panjang pada lengan dan tungkai serta

kelainan tulang tengkorak dan di sekitar mata. Sepertiga sisanya memiliki kelainan

neurologis.

Neurofibromatosis bisa mengenai setiap saraf tubuh tetapi sering tumbuh di akar

saraf spinalis. Neurofibroma menekan saraf tepi sehingga mengganggu fungsinya yang

normal. Neurofibroma yang mengenai saraf-saraf di kepala bisa menyebabkan kebutaan,

pusing, tuli dan gangguan koordinasi. Semakin banyak neurofibroma yang tumbuh, maka

semakin kompleks kelainan saraf yang ditimbulkannya.

Jenis neurofibromatosis yang lebih jarang adalah neurofibromatosis jenis 2, dimana

terjadi pertumbuhan tumor di telingan bagian dalam (neuroma akustik). Tumor ini bisa

menyebabkan tuli dan kadang pusing pada usia 20 tahun.

Individu yang mengalami delesi pada 3 pasang basa spesifik di ekson 17 dari gen

NF1 dapat memiliki bercak cafe-au-lait, freckles intertriginosa, dan nodul Lisch, tetapi tidak

berkembang menjadi neurofibroma baik kutan, subkutan, maupun fleksiformis.2 Satu laporan

kasus pasien NF1 usia 38 tahun, dengan mutasi pada gen NF1 memiliki gambaran klinis

berupa 6 bercak cafe-au-lait berdiameter 10-20 mm (hanya 2 yang berdiameter > 15 mm) dan

freckles, tanpa dijumpai adanya nodul Lisch dan neurofibroma kutan maupun fleksiformis.

Hal ini menunjukkan bahwa NF1 dapat terjadi tanpa disertai adanya neurofibroma dan nodul

Lisch, sehingga modifikasi kriteria diagnosis NF1 mungkin diperlukan terkait temuan

tersebut.

NF1 juga merupakan kelainan multisistem yang dapat mengenai mata, tulang,

endokrin, dan pembuluh darah pada sistem saraf pusat dan perifer. Kelainan lain yang sering

dijumpai adalah postur pendek (25-35%), neurofibroma flksiformis (25%), skoliosis (12-

20%), dan glioma optik (7%). Kelainan lain yang jarang dijumpai adalah epilepsi (3-5%),

tumor intrakranial (1-2%), dan hidrosefalus (2%). Kelainan neurologi terbanyak pada anak

dengan NF1 adalah gangguan kognisi (30-65%).4 Pada kasus ini dari hasil CEEG terdapat

gelombang epileptiform abnormal dan BM tidak menunjukkan fokus maupun asimetri.

Gangguan kognisi pada kasus ini tidak ditemukan; pasien memiliki prestasi akademik yang

baik.

Beberapa penelitian menunjukkan gangguan emosi (seperti kecemasan dan depresi)

yang signifikan pada anak dengan NF1 bila dibandingkan dengan anak normal. Prevalensi

3

Page 4: Laporan Kasus Poli Umum

depresi 25% dan kecamasan 48% pada penderita NF1 dewasa, sedangkan pada anak belum

diketahui secara pasti.

PRESENTASI KASUS

Ibu berumur 36 tahun berinisial A.P datang ke poli umum Puskesmas Alak tanggal

04 agusuts 2014 dengan keluhan terdapat benjolan di seluruh badan. Benjolan tersebut

kadang gatal dan jika digaruk akan pecah sehingga mengeluarkan cairan berwarna jernih.

Setelah pecah membentuk luka yang akan sembuh dengan sendirinya. Pasien mengeluhkan

benjolan di seluruh badannya muncul sejak pasien berusia satu tahun. Benjolan awalnya tidak

banyak dan hanya muncul beberapa di perut berdasarkan cerita kedua rang tuanya. Seiring

pasien beranjak dewasa benjolan semakin banyak dan menyebar ke seluruh tubuh. Pasien

kadang kala mengalami gangguan penglihatan berupa pandangan kabur. Tidak ada gangguan

kesehatan yang berat pada pasien. Pasien hanya mengeluhkan merasa minder dan stres

dengan keadaannya. Keluhan lain : demam (-) BAB BAK dalam batas normal.

Pada pemeriksaan fisik ditemukan benjolan berwarna seperti kulit sekitarnya,

permukaan licin dengan batas yang jelas berbentuk bundar seperti koin. Benjolan bersifat

multiple dan bentuknya heterogen. Keadaan umum bai, kesadaran kompos mentis, kooperatif,

TD 110/70 mmHg, N 76 x/menit, nafas 22 X/menit, dan suhu 36,5 oC.

Pasien diterapi dengan prednison 10 mg 3 x 1 tablet dan antihistamin yakni CTM 3 x

1 tablet. Selain KIE minum obat teratur dan selalu datang kontrol di Puskesmas kepada

pasien juga diedukasi untuk melakukan hal-hal yang bisa mengurangi tekanan mental dan

emosi serta depresi yang dialami.

DISKUSI

Neurofibromatosis adalah suatu kelainan genetik pada sistem saraf yang

berpengaruh pada pertumbuhan dan perkembangan jaringan saraf , dimana neurofibroma

muncul pada kulit dan bagian tubuh lainnya.

Neurofibroma adalah benjolan seperti daging yang lembut, yang berasal dari

jaringan saraf. Neurofibroma merupakan pertumbuhan dari sel Schwann (penghasil selubung

saraf atau mielin) dan sel lainnya yang mengelilingi dan menyokong saraf-saraf tepi (saraf

perifer, saraf yang berada diluar otak dan medula spinalis).

4

Page 5: Laporan Kasus Poli Umum

Berdasarkan etiologinya neurofibromatosis dibedakan menjadi 2 tipe :

1. Neurofibromatosis tipe 1 (penyakit von Recklinghausen)

NF tipe 1 disebabkan oleh mutasi kromosom 17q11.2. Jenis neurofibromatosis ini

lebih sering ditemukan.

2. Neurofibromatosis tipe 2 ( Sindrom MISME )

NF 2 disebabkan oleh mutasi kromosom 22q12 . Jenis neurofibromatosis yang

lebih jarang adalah neurofibromatosis jenis 2, dimana terjadi pertumbuhan

tumor di telinga bagian dalam (neuroma akustik) yang dapat menyebabkan tuli

dan vertigo pada penderita.

Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik pada Ibu A. P dapat dipastikan bahwa

pasien tersebut menderita neurofibromatosis tipe 1. Ada pun perbedaan kedua jenis

neurofibromatosis di atas dapat dibedakan berdasarkan tabel di bawah ini.

NEUROFIBROMATOSIS TIPE 1 NEUROFIBROMATOSIS

TIPE II

Bercak kecoklatan di kulit (café-au-lait spots )

Neurofibroma

Bintik – bintik di ketiak dan selangkangan

Hamatoma di iris (nodul Lisch)

Tumor di nervus opticus yang dapat

mempengaruhi penglihatan ( optic nerve gliomas)

Skoliosis

Deformitas tulang

Gangguan fungsi intelektual ( ADHD )

Kejang

Berupa neuroma akustik

di nervus

vestibulokoklearis yang

menyebabkan hilangnya

pendengaran biasanya

pada usia 20 tahun.

Pusing

Gangguan keseimbangan

Vertigo

Paralysis nervus VII

Tinnitus

5

Page 6: Laporan Kasus Poli Umum

Pada pasien ditemukan kelainan klinis pada kulit yang berupa ribuan neurofibroma

yang berupa benjolan seperti daging yang lembut, yang berasal dari jaringan saraf. Lalu pada

pemeriksaan fisik juga ditemukan kelainan bentuk tulang punggung berupa skoliosis dan tampak

deformitas tulang pada pergelangan kaki dan tangan. Pasien juga mengeluhkan pandangannya

kadang-kadang menjadi kabur. Jadi, tanpa pemeriksaan radiologi atau pemeriksaan histologi,

berdasarkan manifestasi klinis yang ada, Ibu ini didiagnosis Neurofibromatosis tipe 1.

Beberapa penelitian menunjukkan gangguan emosi (seperti kecemasan dan depresi)

yang signifikan pada anak atau dewasa dengan NF1 bila dibandingkan dengan anak atau

dewasa normal. Prevalensi depresi 25% dan kecamasan 48% pada penderita NF1 dewasa,

sedangkan pada anak belum diketahui secara pasti. Berdasarkan riwayat penyakit yang digali

pada pasien dapat diketahui bahwa Ibu berinisial A.P mengalami tekanan emosi yang

berkepanjangan karena keadaannya. Si Ibu mengeluh dirinya terlihat buruk di mata orang lain

dan menyesali diri karena tidak bisa berkeluarga layaknya orang normal. Jadi, dapat

dikatakan bahwa gejala yang dialami pasien ini juga dialami oleh penderita NF1 pada

umumnya.

Sementara itu, riwayat kejang saat dewasa disangkal oleh pasien. Pasien tidak lagi

mengingat perjalanan penyakitnya ketika masih kecil apakah dirinya memang pernah

mengalami kejang atau tidak. Pasien juga tidak menunjukan gangguan fungsi intelektual yang

signifikan. Memang Pasien mengaku tidak pernah mengenyam pendidikan tetapi bisa

membaca dan menulis atas bantuan kedua orang tuanya di rumah.

Penegakan diagnosis pasien dengan neurofibromatosis tipe 1 yang paling sering

dilakukan adalah dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik. Manifestasi klinis dari

neurofibromatosis tipe 1 menunjukan gejala yang khas. Walaupun demikian untuk

menegakan diagnosis yang lebih akurat tetap dapat dilakukan pemeriksaan penunjang, seperti

pemeriksaan urin untuk mendeteksi adanya katekolamin. Selain itu juga dapat dilakukan uji

kromatografi untuk mengetahui kandungan katekolamin dalam plasma darah. Selain tes urin

dan darah, dapat juga dilakukan pemeriksaan penunjang radiologi. Foto rontgen pada tulang

dapat menunjukan adanya abnormalitas atau kelainan bentuk pada tulang penderita

neurofibromatosis tipe 1. Selain foto rontgen, dapat juga dilakukan pemeriksaan MRI atau

CT Scan untuk melihat gangguan atau lesi di sistem saraf pusat. Lalu, ada juga pemeriksaan

Elektroensefalogram (EEG) berguna pada pasien NF1 dengan gangguan kejang berulang.

Pada pasien dengan gangguan penglihatan dapat dilakukan pemeriksaan

mengguanakan slit lamp untuk melihat adanya nodul Lisch berupa hematoma di iris. Pada

pemeriksaan fisik yang dilakukan pada pasien ini, gambaran hematoma di iris tidak khas

6

Page 7: Laporan Kasus Poli Umum

tetapi pasien mengeluhkan mengalami gangguan penglihatan. Hal ini juga bisa mengarahkan

dugaan adanya tumor di nervus opticus yang dapat mempengaruhi penglihatan ( optic nerve

gliomas). Selain itu pada pemeriksaan histologi dapat ditemukan sel fibroblast pleomorfik

yang menunjukan adanya neurofibroma.

Pengobatan pada penderita Neurofibromatosis lebih mengarah kepada pencegahan

komplikasi yang dapat timbul akibat penyakitnya. Maka, pada penderita ini dianjurkan untuk

selalu kontrol setiap bulan di Puskesmas Alak untuk mengurangi potensi bahaya yang

ditimbulkan akibat progresifitas neurofibroma. Pengecekan tekanan darah sangat dianjurkan

setiap kali pasien datang kontrol untuk mengevaluasi kemingkinan adanya hipertensi.

Pada beberapa kasus dilakukan prosedural operasi pengangkatan neurofibroma baik

menggunakan laser maupun dengan keterampilan seorang dokter bedah plastik. Walaupun

demikian prosedural operasi tidak menjamin pengangkatan keseluruhan neurofibroma.

Pada pasien ini hanya dilakukan terapi medikamentosa berupa obat-obatan

kortikosteroid, antihistamin, alpha-adrenergic blocking agents, dan antineoplastic agents.

Antihistamin yang diberikan berupa CTM 3x1 tablet untuk mengurangi keluhan gatal pada

benjolan. Kortikosteroid yang diberikan berupa Prednison 10 mg 3x1 tablet sebagai

penghambat biosintesis prostaglandin yang turut berperan pada demam dan kejang.

Di Puskesmas hanya diberikan kedua jenis obat di atas. Walaupun demikian

pengobatan yang baik untuk pasien neurofibromatosis juga mencakup alpha-adrenergic

blocking agents, dan antineoplastic agents. Antineoplastic agents yang bisa diberikan adalah

carboplatin dan lomustine. Selain itu, alpha-adrenergic blocking agents yang bisa diberikan

adalah prazosin dan doxazosin. Pasien telah beberapa kali memeriksakan diri di dokter

spesialis saraf dan mendapatkan beberapa obat namun tidak menunjukan perubahan yang

signifikan.

KESIMPULAN

Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik serta diskusi di atas, dapat

disimpulkan bahwa pasien berinisial A.P berumur 36 tahun menderita penyakit

neurofibromatosis tipe 1. Pengoabatan pada pasien ini lebih diutamakan pencegahan terhadap

komplikasi-komplikasi yang dapat timbul yang dapat menyebabkan cacat dan kematian.

Selain itu, pasien juga diberikan terapi medikamentosa dan edukasi untuk mengurangi stres

dan depresi yang dialaminya.

7

Page 8: Laporan Kasus Poli Umum

DAFTAR PUSTAKA

1. Hsieh. David T, 2014, Neurofibromatosis Type 1

http://emedicine.medscape.com/article/1177266-overview

Diakses pada tanggal 18 Agustus 2014.

2. Paller AS, Mancini AJ. Neurofibromatosis. Dalam Disorders pigmentation.

Hurwitz Clinical Pediatric Dermatologi. 3ʳ L ed. Elsevier Inc, Philadelphia 2006: 288-

292.

3. Listernick R, Charrow J. The neurofibromatoses. Dalam: Wolff K, Goldsmith LA, Katz

SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffel DJ (ed). Fitzpatrick’s Dermatology in general

madicine. 8N O ed. Mc.Graw Hill, New York 2012: 1680-1690.

DOKUMENTASI

8

Pasien dengan diagnosis neurofibromatosis

Page 9: Laporan Kasus Poli Umum

LAPORAN KASUS POLI UMUMPUSKESMAS ALAK

PAROTITIS

Nama : Yoseph Elkridus Gonang

NIM : 0908012873

ABSTRACT

Parotitis is an inflammation of one or both parotid glands, the major salivary glands

located on either side of the face, in humans. Parotitis causes swelling in one or both of the

parotid glands. These are two large salivary glands that are inside each cheek over the jaw in

front of each ear. A variety of factors can lead to an inflamed parotid gland. Causes will vary

depending on whether the condition is chronic or acute. They include bacterial infection due

to staphylococcus, streptococcus, or haemophilus, viral infection due to mumps or AIDS, and

a blockage may block saliva flow and lead to a bacterial infection. Parotitis occurs in a

variety of situations, and the drugs prescribed are those to treat the underlying disease.

PENDAHULUAN

Parotitis epidemika ialah penyakit virus akut yang biasanya menyerang kelenjar

ludah terutama kelenjar parotis. Gejala khasnya yaitu terjadi pembesaran kelenjar ludah

terutama kelenjar parotis.

Parotitis epidemika (gondongan) adalah suatu infeksi virus menular yang

menyebabkan pembengkakan unilateral (satu sisi) atau bilateral (kedua sisi) pada kelenjar liur

disertai nyeri. Pada saluran kelenjar ludah terjadi kelainan berupa pembengkakan sel epitel,

pelebaran dan penyumbatan saluran.

Sebelum ditemukan vaksin parotitis pada tahun 1967, parotitis epidemika

merupakan penyakit yang sangat sering ditemukan pada anak. Insidens pada umur < 15 tahun

adalah 85% dengan puncak insidens kelompok umur 5-9 tahun. Setelah ditemukan vaksin

parotitis, kejadian parotitis epidemika menjadi sangat jarang. Di negara barat seperti Amerika

dan Inggris, rata-rata didapat kurang dari 1.000 kasus per tahun. Demikian pula insidens

parotitis bergeser pada anak besar dan dewasa muda serta menyebabkan kejadian luar biasa

9

Page 10: Laporan Kasus Poli Umum

ditempat kuliah atau tempat kerja. Di Indonesia, tidak didapatkan adanya data mengenai

insidens terjadinya parotitis epidemika.

Jika dibandingkan dengan campak atau cacar air, gondongan tidak terlalu menular.

Penyakit gondongan tersebar di seluruh dunia dan dapat timbul secara endemik atau

epidemik. Parotitis Epidemika merupakan penyakit infeksi pada anak yang mana pada

kasusnya terjadi sekitar 30 – 40% yang kasusnya merupakan penyakit asimptomatik. Epidemi

terjadi pada semua musim tetapi sedikit lebih sering pada musim dingin akhir dan musim

semi. Sumber infeksi mungkin sukar dilacak karena 30-40% infeksi adalah subklinis.

Kebanyakan penyakit ini menyerang anak-anak yang berumur 2-15 tahun, namun pada orang

dewasa justru lebih berat. Jarang ditemukan pada anak yang berumur kurang dari 2 tahun.

Jika seseorang pernah menderita gondongan, maka dia akan memiliki kekebalan

seumur hidupnya. Yang terkena biasanya adalah kelenjar parotis, yaitu kelenjar ludah yang

terletak diantara telinga dan rahang. Pada orang dewasa, infeksi ini bisa menyerang testis

(buah zakar), sistem saraf pusat, pankreas, prostat, payudara dan organ lainnya. Adapun

mereka yang beresiko besar untuk menderita atau tertular penyakit ini adalah mereka yang

menggunakan atau mengkonsumsi obat-obatan tertentu untuk menekan hormon kelenjar

tiroid dan mereka yang kekurangan zat Iodium dalam tubuh.

PRESENTASI KASUS

Ibu berinisial R.D berumur 29 tahun berkunjung ke Poli Umum Puskesmas Alak

tanggal 23 Juli 2014 dengan keluhan utama bengkak pada leher kanan sejak 2 hari

sebelumnya. Pada mulanya bengkak sebesar biji jagung lalu membesar hingga menjalar ke

leher dan pipi. Leher kanan sekarang terasa nyeri, terutama ketika mengunyah atau menelan.

Keluhan lainnya yaitu sakit kepala, serta nafsu makan menurun yang timbul bersamaan

dengan keluhan bengkak, serta demam. Keluhan sakit kepala dikatakan sakit pada kedua sisi

kepala terutama pada bagian dahi, seperti terikat. Keluhan lain yaitu demam sejak tiga hari

sebelum datang ke puskesmas, yang dirasakan pasien mendadak, semakin meninggi dan terus

menerus, tidak disertai menggigil dan kejang. Keluhan batuk dan pilek sudah diderita dua

minggu sebelumnya hingga sekarang. BAK (+) BAB (+) dalam batas normal.

Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan tampak sakit ringan, kesadaran kompos

mentis, kooperatif, nadi 80x/menit, nafas 22/menit dan suhu 38 oC. Pada pemeriksaan leher

didapatkan udema berukuran 5 x 6 x 2 cm pada leher kanan pasien, permukaan licin, batas

10

Page 11: Laporan Kasus Poli Umum

tidak tegas, warna kulit sama dengan kulit sekitarnya, nyeri tekan (+) pada daerah udema dan

konsistensi padat.

Pasien mendapatkan pengobatan berupa Paracetamol 3x1 tablet, Dexamethasone

3x1 tablet, Ciprofloxacine 2x1 tablet, dan Gliceryl Guaikolat 3x1 tablet. Selain mendapatkan

obat-obatan di atas pasien juga mendapat edukasi bahwa penyakitnya merupakan Self

Limmiting Desease sehingga sembuh sendiri. Selain itu diharapakan ke pada pasien untuk

menjaga kesehatan, makan makanan yang bergizi, dan tidur yang cukup.

DISKUSI

Telah dilporkan suatu kasus parotitis epidemika akut pada seorang ibu berusia 29

tahun. Parotitis epidemika (gondongan) adalah suatu infeksi virus menular yang

menyebabkan pembengkakan unilateral (satu sisi) atau bilateral (kedua sisi) pada kelenjar liur

disertai nyeri. Pada saluran kelenjar ludah terjadi kelainan berupa pembengkakan sel epitel,

pelebaran dan penyumbatan saluran.

Parotitis epidemika biasanya disebabkan oleh anggota dari grup paramyxovirus, yang

juga termasuk di dalamnya virus parainfluenza, measles, dan virus Newcastle disease. Virus

tersering yang menyebabkan parotitis epidemika adalah virus mumps. Virus mumps

merupakan virus ribonucleic acid (RNA) rantai tunggal yang termasuk dalam genus

paramyxovirus, dan merupakan salah satu virus parainfluenza dengan manusia sebagai satu-

satunya inang (host). Ukuran dari partikel paramyxovirus sebesar 90 – 300 mµ. Virus mumps

mudah menular melalui droplet, kontak langsung, air liur, dan urin. Infeksi parotitis

epidemika ditandai dengan gejala prodromal berupa demam, nyeri kepala, nafsu makan

menurun selama 3-4 hari, yang diikuti peradangan kelenjar parotis (parotitis) dalam waktu 48

jam dan dapat berlangsung selama 7-10 hari. Penularan terjadi 24 jam sebelum sampai 3 hari

setelah terlihatnya pembengkakan kelenjar parotis. Satu minggu setelah terjadi

pembengkakan kelenjar parotis pasien dianggap sudah tidak menular.

Masa inkubasi berkisar dari 14-24 hari dengan puncak pada hari ke-17 dan 18. Pada

anak, manifestasi prodormal jarang terjadi tetapi mungkin tampak bersama dengan demam,

nyeri otot (terutama pada leher), nyeri kepala, dan malaise. Awalnya ditandai dengan nyeri

dan pembengkakan parotis yang khas, mula-mula mengisi rongga antara tepi posterior

mandibula dan mastoid kemudian meluas dalam deretan yang melengkung ke bawah dan ke

depan, di atas dibatasi oleh zigoma. Edema kulit dan jaringan lunak biasanya meluas lebih

11

Page 12: Laporan Kasus Poli Umum

lanjut dan mengaburkan batas pembengkakan kelenjar, sehingga pembengkakan lebih mudah

disadari dengan pandangan daripada dengan palpasi.

Pembengkakan terjadi dengan cepat dalam waktu beberapa jam dengan puncak pada

1-3 hari. Pembengkakan jaringan mendorong lobus telinga ke atas dan ke luar, dan sudut

mandibula tidak lagi dapat dilihat. Pembengkakan perlahan-lahan menghilang dalam 3-7 hari.

Satu kelenjar parotis biasanya membengkak sehari atau dua hari sebelum yang lain, tetapi

lazim pembengkakan terbatas pada satu kelenjar. Daerah pembengkakan terasa lunak dan

nyeri. Edema faring dan palatum mole homolateral menyertai pembengkakan parotis dan

memindahkan tonsil ke medial. Pembengkakan parotis biasanya disertai dengan demam

sedang hingga 40°C.

Penegakkan diagnosis dari parotitis epidemika dapat berupa anamnesis, pemeriksaan

fisik, dan pemeriksaan penunjang. Pada anamnesis gejala yang pertama terlihat adalah nyeri

ketika mengunyah atau menelan, terutama jika menelan cairan asam misalnya jeruk. Lalu,

pasien mengeluh demam, biasanya suhu mencapai 38,9-40o C. Setelah itu, terjadi

pembengkakan kelenjar setelah demam. Hal ini akan diikuti dengan nafsu makan yang

berkurang, menggigil, dan sakit kepala.

Pada pemeriksaan fisik didapatkan suhu tubuh yang meningkat mencapai 38,9-40o C,

terdapat pembengkakan di daerah temporomandibuler (antara telinga dan rahang)dan nyeri

tekan pada kelenjar yang membengkak.

Sementara itu, dalam prakteknya pemeriksaan penunjang tidak banyak dilakukan,

sebab dari anamnesis dan pemeriksaan fisik sudah terdiagnosis. Namun jika gejala tidak jelas

diagnosis didasarkan pada pemeriksaan laboratorium menunjukan jumlah leukosit normal,

virus Neutralization antibodies (NT), kenaikan titer yang bermakna dari Complement Fixing

antibody (CF) dan uji serologi untuk membuktikan spesifik mumps antibodi.

Parotitis merupakan penyakit yang bersifat self-limited (sembuh / hilang sendiri)

yang berlangsung kurang lebih dalam satu minggu. Tidak ada terapi spesifik bagi infeksi

virus mumps. Oleh karena itu pengobatan parotitis seluruhnya simptomatis dan suportif.

Biasanya diberikan analgetik dan antipiretik. Kepada pasien ini diberikan analgetik dan

antipiretik berupa Paracetamol 3x1 tablet untuk menunrunkan demam dan mengurangi nyeri,

serta antibiotik berupa ciprofloxacin, dexamethasone, dan GG untuk pengobatan batuk pilek

(suspek rinitis alergi dan faringitis akut). Selain itu kepada pasien juga diedukasi untuk

istirahat yang cukup serta konsumsi makanan yang bergizi agar proses penyembuhannya

sempurna dan tidak menimbulkan komplikasi.

12

Page 13: Laporan Kasus Poli Umum

KESIMPULAN

Berdasarkan presentasi kasus dan diskusi di atas dapat disimpulkan bahwa pasien ibu berusia

29 tahun tersebut diatas berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik menderita parotitis

epidemika akut. Penanganan pada penyakit ini meliputi edukasi dan terapi suportif seperti

analgetik dan antipiretik.

DAFTAR PUSTAKA

1. Depkes RI. Mumps (parotitis Epidemika). Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas;

2007. Jakarta: 2008. p.158

2. Vikas S. Kancherla, I. Celine Hanson. Mumps resurgence in the United States. The

Journal of Allergy and Clinical Immunology Volume 118, Issue; 2006. p.938-941.

Diakses dari http://www.jacionline.org /article/S0091-6749(06)01582-X/fulltext pada

bulan Mei 2014

3. Pudjiadi, Marissa Tania S., Sri Rejeki S. Hadinegoro. 2009. Orkitis pada Infeksi

Parotitis Epidemika : laporan kasus. Sari Pediatri. Vol. 11 (1) : 47-51.

4. Maharani, Laillyza A., Hadi Soenartyo. 2009. Mumps Unilateral Pada Pasien Remaja.

Oral Medicine Dental Journal. Vol. 1 (2) : 1-5.

5. Germaine L Defendi. Mumps. In: Russell W Steele, Chieff Editor: Medscape Reference:

2012. Diakses dari http://emedicine.medscape.com pada bulan Mei 2014.

6. Staf pengajar ilmu kesehatan anak FK UI, parotitis epidemika, dalam ilmu kesehatan

anak, edisi VI, Infomedika Jakarta 2000, hal. 629-632.

7. C. George Ray, Parotitis epidemika, dalam buku ajaran ilmu penyakit dalam Harrison,

edisi X III, EGC, Jakarta, 1999, Hal: 935-938

13

Page 14: Laporan Kasus Poli Umum

DOKUMENTASI

14

Pasien dengan diagnosis Parotitis Epidemika Akut

Page 15: Laporan Kasus Poli Umum

LAPORAN KASUS POLI UMUMPUSKESMAS ALAK

GASTRITIS

Nama : Yoseph Elkridus GonangNIM : 0908012873

ABSTRACT

Chronic gastritis is a histopathologic entity characterized by chronic inflammation of

the stomach mucosa. Chronic gastritis may be caused by either infectious or noninfectious

conditions. The physical examination contributes relatively little to the assessment and

management of chronic gastritis. In uncomplicated H pylori– associated atrophic gastritis,

clinical findings are few and nonspecific. Epigastric tenderness may exist. If gastric ulcers

coexist, guaiac-positive stool may result from occult blood loss. Bad breath (halitosis) and

abdominal pain or discomfort may occur, with bloating associated with bacterial overgrowth

syndrome. The most widely used and most efficient regimens for eradicating Helicobacter

pylori are triple therapies (recommended as first-line treatment) and quadruple therapies

(recommended as second-line treatment).

PENDAHULUAN

Gastritis adalah proses inflamasi pada mukosa dan submukosa lambung. Gastritis

merupakan gangguan kesehatan yang paling sering dijumpai di klinik, karena diagnosisnya

sering hanya berdasarkan gejala klinis bukan pemeriksaan histopatologi. Secara

histopastologi dapat dibuktikan dengan adanya infiltarsi sel-sel radang pada daerah tersebut.

Gastritis merupakan penyakit yang sering kita jumpai dalam masyarakat maupun

dalam bangsa penyakit dalam. Kurang tahunya dan cara penanganan yang tepat merupakan

salah satu penyebabnya. Gastritis adalah proses inflamasi pada lapisan mukosa dan sub

mukosa pada lambung. Pada orang awam sering menyebutnya dengan penyakit maag.

Gastritis merupakan salah satu yang paling banyak dijumpai klinik penyakit dalam pada

umumnya. Masyarakat sering menganggap remeh panyakit gastritis, padahal ini akan

semakin besar dan parah maka inflamasi pada lapisan mukosa akan tampak sembab, merah,

dan mudah berdarah.

Penyakit gastritis sering terjadi pada remaja, orang-orang yang stres, karena stres

dapat meningkatkan produksi asam lambung, pengkonsumsi alkohol dan obat-obatan anti

15

Page 16: Laporan Kasus Poli Umum

inflamasi non steroid. Gejala yang timbul pada penyakit gastritis adalah rasa tidak enak pada

perut, perut kembung, sakit kepala, mual, lidah berlapis. Penyakit gastritis sangat menganggu

aktifitas sehari -hari, karena penderita akan merasa nyeri dan rasa sakit tidak enak pada perut.

Selain dapat menyebabkan rasa tidak enak, juga menyebabkan peredaran saluran cerna atas,

ulkus, anemia kerena gangguan absorbsi vitamin B12.

PRESENTASI KASUS

Seorang Ibu berinisial N.H dan berusia 38 tahun datang ke poli umum Puskesmas

Alak dengan keluhan nyeri uluh hari sejak 4 hari sebelumnya. Nyeri di uluh hati terasa perih,

tidak menjalar, dan tidak dipengaruhi aktivitas. Nyeri dirasa berkurang setelah makan. Pasien

juga mengeluh mual dan sudah muntah 4 kali sejak 4 hari yang lalu. Kadang, pasien

bersendawa. Menurut pasien, nyeri dialami sudah berulang kali sejak setahun yang lalu,

hilang timbul saat mengalami stres. Pasien memiliki kebiasaan makan makanan yang pedas

dan makan tidak teratur. Pasien juga mengeluhkan nyeri uluh hati sering dialami lebih berat

jika pasien sedang merasa stres. Riwayat minum obat-obatan tanpa resep dokter (-), demam

(-), BAK (normal), BAB (warna dan konsistensi normal).

Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan tampak sakit ringan, kesadaran kompos

mentis, kooperatif, nadi 82x/menit, nafas 20/menit dan suhu 36,5oC. Pada pemeriksaan perut

ditemukan nyeri tekan daerah epigastrium (+).

Pasien diberikan pengobatan berupa omeprazole tablet 20 mg 2 x1 dan Amoxicillin

500 mg 3 x 1 tablet. Selain mendapatkan terapi medikamentosa, pasien juga diedukasi untuk

menjaga pola hidup dan pola makan teratur, hindari makanan yang merangsang / mudah

mengiritasi lambung seperti makanan yang asam dan pedas, hindari obat-obatan penghilang

nyeri dalam waktu dekat ini, hindari faktor pencetus terutama stress, hindari makan makanan

yang mengandung gas seperti kol, lobak dan nangka, hindari minum minuman yang

mengandung gas seperti minuman soda, jangan membeli obat-obatan tanpa resep dokter di

apotik-apotik, dan makan secara teratur.

Pasien juga mendapatkan penjelasan bahwa penyakit ini akan kambuh jika pasien

stress, komplikasi terburuk dari penyakit ini agar pasien patuh untuk berobat, kepada pasien

dianjurkan untuk makan 3-5 kali sehari dalam porsi kecil, tepat waktu, dengan menu 4 sehat

5 sempurna.

16

Page 17: Laporan Kasus Poli Umum

DISKUSI

Telah dilaporkan seorang Ibu berumur 38 tahun dengan diagnosis gastritis kronik.

Gastritis kronis adalah suatu peradangan bagian permukaan mukosa lambung yang menahun

yang berkepanjangan yang disebabkan baik oleh ulkus lambung jinak maupun ganas atau

oleh bakteri Helicobacter pylori.

Manifestasi klinis grastitis kronik pada umumnya bervariasi dan tidak jelas. Keluhan

lain berupa perasaan penuh dan anoreksia. Lalu, terdapat distress epigastrik yang tidak nyata,

cepat kenyang, mual dan muntah, nyeri epigastrium setelah makan, dan rasa pahit pada

mulut. Dan pada umunya hal yang membedakan gastritis kronik dari gastritis akut adalah

lama perjalanan penyakitnya. Gastritis kronik berlangsung lama bahkan bertahun-tahun dan

sudah dialami berulang kali.

Perjalanan penyakit pada pasien sudah sejak setahun yang lalu dan keluhan nyeri

uluh hati sudah terjadi berulang kali. Kunjungan terakhir pasien ke Puskesmas Alak adalah

nyeri uluh hati yang sudah terjadi sebelumnya disertai mual dan muntah. Pasien juga

mengeluhkan nyeri yang bertambah jika terdapat pasien mengalami perasaan buruk atau

stres.

Selain anamnesis dan pemeriksaan fisik yang dilakukan terhadap pasien sebagai

salah bentuk usaha menegakan diagnosis, dapat juga dilakukan beberapa pemeriksaan

penunjang, meliputi pemeriksaan darah, endoskopi, biopsi, dan pemeriksaan histologi.

Pemeriksaan darah bertujuan untuk memeriksa adanya antibodi H. pylori dalam

darah. Hasil tes yang positif menunjukkan bahwa pasien pernah kontak dengan bakteri pada

suatu waktu dalam hidupnya, tapi itu tidak menunjukkan bahwa pasien tersebut terkena

infeksi. Pemeriksaan darah dapat juga dilakukan untuk memeriksa anemia, yang terjadi

akibat pendarahan lambung akibat gastritis.

Selain itu, pemeriksaan endoskopi bertujuan untuk menemukan kelainan dalam

saluran cerna bagian atas. Hal yang dapat diketahui dari pemeriksaan endoskopi adalah

keadaan lapisan mukosa lambung maupun massa yang mengara kepada keganasan.

Biopsi bisa dilakukan dengan bantuan endoskopi jika dicurigai adanya keganasan.

Selain itu, infeksi H. Pylori yang kronik dapat diketahui dengan biopsi. Hal ini penting bagi

penanganan yang tepat. Jaringan yang dibiopsi juga bisa dilakukan pemeriksaan histologi.

Pasien selama ini belum melakukan pemeriksaan penunjang untuk menemukan

penyebab penyakitnya. Walaupun demikian pasien mengaku sakitnya selalu sembuh setiap

kali ia datang dan berobat di Puskesmas. Keluhan nyeri uluh hati biasanya muncul lagi

17

Page 18: Laporan Kasus Poli Umum

sebulan atau dua bulan setelah obat yang diberikan oleh dokter selesai dikonsumsi. Jadi,

dapat disimpulkan bahwa diagnosis yang ditegakan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan

fisik telah sangat membantu dalam pengobatan terhadap pasien ini.

Penatalaksanaan pasien dengan gastritis kronik dapat dilakukan dengan terapi

medikamentosa maupun terapi non medikamentosa berupa edukasi yang tepat kepada pasien.

Terapi medikasmentosa bertujuan untuk mengeradikasi Helicobacter pyroli. Biasanya

digunakan Proton Pump Inhibitor dan antibiotik. Antibiotik dapat berupa tetrasiklin,

metronidasol, klaritromisin, dan amoksisilin. Untuk hasil pengobatan yang lebih baik dapat

digunakan lebih dari satu macam antibiotik. Selain itu juga digunakan Antagonis H2 (seperti

ranitidine) dikombinasikan dengan Proton Pump Inhibitor untuk menurunkan sekresi asam

lambung. Selain itu juga dapat diberikan vitamin B12 untuk memperbaiki keadaan anemia

jika ada tanda-tanda perdarahan lambung dan ditemukan konjungtiva anemis.

Pasien ini diberikan terapi berupa Proton Pump Inhibitor (omeprazole) yang

dikombinasikan dengan antibiotik (amoxicillin). Pasien ini tidak diberikan vitamin B12

karena tidak ada tanda-tanda anemia. Pada pemeriksaan mata konjungtiva anemis tidak

ditemukan. Selain itu keadaan feses normal dan tidak ada tanda-tanda perdarahan dari

lambung.

Selain mendapatkan terapi medikamentosa, pasien juga diedukasi untuk menjaga pola

hidup dan pola makan teratur, hindari makanan yang merangsang / mudah mengiritasi

lambung seperti makanan yang asam dan pedas, hindari obat-obatan penghilang nyeri dalam

waktu dekat ini, hindari faktor pencetus terutama stress, hindari makan makanan yang

mengandung gas seperti kol, lobak dan nangka, hindari minum minuman yang mengandung

gas seperti minuman soda, jangan membeli obat-obatan tanpa resep dokter di apotik-apotik,

dan makan secara teratur.

Pasien juga mendapatkan penjelasan bahwa penyakit ini akan kambuh jika pasien

stress, komplikasi terburuk dari penyakit ini agar pasien patuh untuk berobat, kepada pasien

dianjurkan untuk makan 3-5 kali sehari dalam porsi kecil, tepat waktu, dengan menu 4 sehat

5 sempurna. Pasien juga dianjurkan untuk meluangkan waktu agar dapat memeriksakan diri

ke fasilitas kesehatan yang lebih lengkap untuk dilakukan pemeriksaan laboratorium yang

lebih lengkap. Bila perlu dilakukan pemeriksaan endoskopi untuk mengetahui keadaan

saluran pencernaan bagian atas secara lebih akurat.

18

Page 19: Laporan Kasus Poli Umum

KESIMPULAN

Berdasarkan presentasi kasus dan diskusi di atas dapat disimpulkan bahwa pasien

ibu berusia 38 tahun di atas berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik didiagnosis

gastritis kronik. Penanganan pada gastritis kronik meliputi terapi medikamentosa dan

edukasi.

DAFTAR PUSTAKA

1. Gordon Y, Carl G. Postoperative Nausea and Vomiting (update in anesthesia ) world

anesthesia issue 17, article 2;2003.pp 1-7.

2. Guyton dan Hall. 1997. Fisiologi Kedokteran. Edisi 9. Jakarta: EGC.

3. Guyton AC, Hall JE. Fisiologi Gastrointestinal. Dalam Buku Ajar FISIOLOGI

KEDOKTERAN Edisi 11. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC;2007.hal 811-866.

4. Hirlan dan Tarigan P . 2006. Buku Aja Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Pusat Penerbitan

IPD FK UI.

DOKUMENTASI

19

Pasien dengan diagnosis Gastritis kronik