DAFTAR ISI
JuduliLembar PengesahaniiKata PengantariiiDaftar IsiivDaftar
GambarvBAB I PENDAHULUAN1BAB II STUDI KASUS2.1 Identitas32.2
Anamnesis32.3 Pemeriksaan Klinis42.4 Status Dermatologi72.5
Diagnosis Banding72.6 Pemeriksaan Penunjang82.7 Diagnosis82.8
Terapi82.9 Saran8BAB III PEMBAHASAN9Daftar Pustaka15DAFTAR
GAMBAR
Gambar 1 Lokasi di perut, pada tanggal 14 Oktober 20144Gambar 2
Lokasi di perut, pada tanggal 14 Oktober 20145Gambar 3 Lokasi di
lipatan paha, pada tanggal 14 Oktober 20145Gambar 4 Lokasi di
lutut, pada tanggal 14 Oktober 20146Gambar 5 Lokasi di siku, pada
tanggal 14 Oktober 20146
BAB IPENDAHULUAN1.1 Latar BelakangTinea adalah penyakit kulit
termasuk dalam dermatofitosis yang disebabkan oleh dermatofita.
Golongan jamur ini mempunyai sifat mencerna keratin. Macam genus
yang termasuk dalam dermatofita adalah Microsporum, Trichophyton,
dan Epidermphyton. Tinea cruris adalah dermatofitosis pada lipat
paha, daerah perineum, dan sekitar anus. Sinonim untuk penyakit ini
adalah eczema, marginatum, dhobie itch, jockey itch, dan ringworm
of the groin. Tinea corporis adalah infeksi dermatofita superfisial
yang ditandai oleh lesi inflamasi ataupun noninflamasi pada
glabrous skin (kulit tubuh yang tidak berambut) seperti: bagian
muka, leher, badan, lengan, tungkai dan gluteal. Sinonim penyakit
ini adalah tinea sirsinata, tinea glabrosa, Scherende Fiechte,
kurap, herpes sircine trichophytique. Tinea ini meliputi semua
dermatofitosis superfisialis yang tidak termasuk bentuk tinea
kapitis, barbe, cruris, pedis et manum, dan unguium. 1.2Tinea
cruris dan corporis terdapat di seluruh dunia, terutama pada daerah
tropis dan insidennya meningkat pada kelembaban udara yang tinggi.
Penyakit ini masih banyak terdapat di Indonesia dan masih merupakan
salah satu penyakit rakyat.3 Di Jakarta, golongan penyakit ini
menempati urutan kedua setelah dermatitis. Di daerah lain, seperti
Padang, Bandung, Semarang, Surabaya, dan Manado, keadaannya kurang
lebih sama, yakni menempati urutan kedua sampai keempat terbanyak
dibandingkan golongan penyakit lainnya.4 Tinea cruris dan corporis
dapat menyerang semua umur. Pada tinea corporis dapat menyerang
pria dan wanita, sedangkan tinea cruris lebih banyak terjadi pada
laki-laki. Kebersihan badan dan lingkungan yang kurang, sangat
besar pengaruhnya terhadap perkembangan penyakit ini.2Cara
penularannya dapat langsung dari tanah, hewan dan manusia ke
manusia dan secara tidak langsung, yaitu kontak dengan benda yang
sudah terkontaminasi, misalnya dari tanaman yang terkena jamur,
kateter, pakaian yang lembab, dan air.2,4 Maserasi dan oklusi kulit
lipat paha menyebabkan peningkatan suhu dan kelembaban kulit yang
akan memudahkan infeksi. Penularan juga dapat terjadi melalui
kontak langsung dengan individu yang terinfeksi atau tidak langsung
melalui benda yang mengandung jamur, misalnya handuk, lantai kamar
mandi, tempat tidur hotel dan lain-lain. 2.5Penulis membahas kasus
tinea cruris et corporis yang diderita pasien selama setahun tanpa
pengobatan, menyebabkan gambaran lesi yang khas dari penyakit
dermatofita ini. Pasien memiliki pola perilaku yang mendukung
faktor predisposisi tinea untuk semakin berkembang. Tinea pada
pasien didapatkan pada lipatan tubuh yang lembab dan berkeringat,
pasien juga memiliki tubuh gemuk. Aktifitas pasien cenderung
berkeringat dan pasien memakai pakaian yang berlapis. Pasien dapat
diberikan terapi antifungi sistemik dan lokal. Dalam kasus ini
pasien diberi obat Griseofulvin dan Metokonazole krim.Pembahasan
penyakit ini penting karena, penyakit ini banyak ditemui di Poli
Kulit, juga pada masyarakat umum, dan merupakan kompetensi dokter
umum untuk dapat mengobati penyakit ini. Karenanya penting bagi
dokter untuk mendiagnosis tinea dan memberikan terapi yang
tepat.
BAB IISTUDI KASUS
2.1 IdentitasNama Penderita: Sdr. Vandy Surya AprilyantoNo. RM.:
193116Umur: 16 tahunAlamat: Jl. Ahmad Dahlan ProbolinggoPekerjaan:
PelajarTanggal Pemeriksaan: 14 Oktober 2014
2.2 AnamnesisKeluhan Utama : gatal-gatal di lipatan paha, perut,
siku, dan lututRiwayat Penyakit Sekarang (RPS) : Gatal-gatal di
lipatan paha, perut bagian bawah, siku kanan, dan lutut kanan.
Pertama kali gatal di lipatan paha satu tahun yang lalu. Awal
munculnya kemerahan pada lipatan paha, ada bintil-bintil yang
gatal, dan terasa panas. Semakin terasa gatal kalau berkeringat,
apalagi setelah berolahraga. Gatal-gatal pada lipatan paha yang
awalnya berwarna kemerahan lama-lama berubah warna kehitaman sampai
sekarang. Enam bulan yang lalu terasa gatal juga pada siku kanan
dan lutut kanan. Tetapi yang paling gatal adalah lipatan paha.
Kalau terasa gatal pasien mengoleskan minyak tawon.Riwayat Penyakit
Dahulu (RPD) : tidak pernah sakit seperti ini sebelumnyaRiwayat
Keluarga : tidak ada keluarga yang sakit seperti ini Riwayat Atopi
: tidak ditemukan riwayat atopiRiwayat Sosial : sering memakai
pakaian tebal dan berolahragaRiwayat Pengobatan : seminggu yang
lalu ke dokter umum dan diberi amoxyllin dan salep yang tidak tahu
namanya, dan dianjurkan untuk ke dokter kulit. 2.3 Pemeriksaan
Klinis
Gambar 1 : Lokasi di perut bagian bawah, Terdistribusi, tampak
plak hiperpigmentasi tidak beraturan , berskuama tipis, dan
terdapat papul berukuran 3mm
Gambar 2 Lokasi di perut, pada tanggal 14 Oktober 2014Gambar 2 :
Lokasi di lipatan paha, Distribusi terlokalisir, efloresensi plak
hiperpigmentasi sepanjang lipatan paha dengan skuama tipis dan
terdapat likenifikasi
Gambar 3 : Lokasi di lutut kanan, Distribusi terlokalisir,
efloresensi plak hiperpigmentasi tidak beraturan dengan skuama
tipis, terdapat papul berukuran 1mm , dan ada central healing
Gambar 4 : Lokasi di siku kanan, Distribusi terlokalisir,
efloresensi plak eritematosa tidak beraturan dengan tepi yang
polisiklik, berskuama tipis, terdapat central healing
2.4 Status Dermatologi2.4.1 Lokasi : lipatan pahaDistribusi:
terlokalisirRuam : plak hiperpigmentasi sepanjang lipatan paha
dengan skuama tipis dan terdapat likenifikasi2.4.2 Lokasi : perut
bagian bawahDistribusi: terdistribusiRuam : plak hiperpigmentasi
tidak beraturan , berskuama tipis, dan terdapat papul berukuran 3mm
2.4.3 Lokasi : siku kananDistribusi: terlokalisirRuam : plak
eritematosa tidak beraturan dengan tepi yang polisiklik, berskuama
tipis, terdapat central healing 2.4.4 Lokasi : lutut
kananDistribusi: terlokalisirRuam : plak hiperpigmentasi tidak
beraturan dengan skuama tipis, terdapat papul berukuran 1mm , dan
ada central healing 2.5 Diagnosa Banding-. Tinea cruris et
corporis-. Eritrasma-. Kandidiasis intertriginosa-. Dermatitis
numularis -. Dermatitis seboroik
2.6 Pemeriksaan Penunjang-. KOH 10%-. Lampu wood
2.7 DiagnosaTinea cruris et korporis
2.8 TerapiGriseofulvin 500 mg/hari lamanya 2 mingguTopikal:
Miconazole 2% Untuk anti gatalnya : Loratadine 10 mg2.9 Saran-.
Menjaga kebersihan diri dengan baik, mandi rutin 2x sehari-.
Mengganti pakaiannya dengan yang baru apabila berkeringat -.
Memakai pakaian longgar dan tidak berlapis-lagi lagi
BAB IIIPEMBAHASAN
Tinea cruris adalah penyakit infeksi jamur dermatofita di daerah
lipat paha, genitalia dan sekitar anus yang dapat meluas ke bokong
dan perut bagian bawah. Tinea cruris disebut jugaexzema marginatum,
dhobie icth, jockey itch, ringworm of the groin. Sedangkan tinea
corporis disebut jugatinea sirsinata, tinea globrosa,atau kurap. 1
Tinea corporis merupakan infeksi jamur dermatofita pada kulit tubuh
tidak berambut (glabrous skin) di daerah muka, lengan, badan, dan
glutea. Kelainan ini dapat terjadi pada tiap bagian tubuh dan
bersama-sama dengan kelainan pada paha. Dalam hal ini disebuttinea
corporis et crurisatau sebaliknyatinea cruris et corporis. 4 Dalam
kasus ini pasien mengeluhkan gatal pada lipatan paha, perut, lutut,
dan siku. Gatal sudah dirasakan 1 tahun yang lalu dan pasien belum
pernah berobat. Tinea cruris dan corporis dapat menyerang semua
umur. Pada tinea corporis dapat menyerang pria dan wanita,
sedangkan tinea cruris lebih banyak terjadi pada laki-laki.
Kebersihan badan dan lingkungan yang kurang sangat besar
pengaruhnya terhadap perkembangan penyakit ini.4 Pasien adalah
remaja laki-laki berusia 16 tahun yang sering berkeringat.Mekanisme
imun non spesifik merupakan pertahanan lini pertama melawan infeksi
jamur. Mekanisme ini dapat dipengaruhi faktor umum, seperti gizi,
keadaan hormonal, usia dan faktor khusus seperti penghalang mekanik
dari kulit dan mukosa, sekresi permukaan, dan respon radang.
Produksi keringat dan sekresi kelenjar merupakan pertahanan
spesifik termasuk asam laktat dan asam lemak yang mempunyai pH yang
rendah untuk menambah potensi anti jamur.4 Usia pasien adalah 16
tahun, dengan aktifitas yang aktif, suka berolah raga, suka memakai
pakaian berlapis, dan pasien memiliki badan yang gemuk, pasien
merasa semakin gatal setelah selesai berolah raga.Penyebab yang
umum dari tinea cruris adalah Trichophyton rubrumdan Epidermophyton
floccosum, dapat menular melalui seperti handuk, sprei, atau
infeksi berulang dari tangan penderita pada tangan dan kaki. Tinea
menyerang keratin yang dapat menyerang sampai pada lapisan
epidermis. Imunitas dari host dapat mempengaruhi serangan lebih
lanjut. Faktor resiko dari infeksi tinea cruris atau infeksi
berulang termasuk memakai pakaian yang ketat atau pakaian yang
lembab atau pakaian dalam berlapis.6 Pasien suka memakai pakaian
berlapis dan lesi awal yang berasal dari lipatan paha menjalar ke
perut, siku, dan lututnya. Mula-mula timbul lesi kulit berupa
bercak eritematosa yang gatal, terutama bila berkeringat. Oleh
karena gatal dan digaruk, lesi akan makin meluas, terutama pada
daerah kulit yang lembab.4 Pasien mengaku awalnya muncul lesi
berbintil-bintil pada lipat pahanya yang kemerahan, semakin gatal
setelah berkeringat terutama setelah berolahraga. Pasien juga
memiliki tubuh yang gemuk sehingga terdapat banyak daerah lipatan
yang cenderung akan lembab setelah berkeringat, apalagi pasien
memiliki kecenderungan untuk melakukan aktifitas yang memproduksi
semakin banyak keringat. Sehingga hal ini menjadi faktor tinea
cruris pada pasien berkembang meluas mencangkup daerah lipatan paha
kanan dan kiri dan menyebar ke tempat lainnya, siku dan lutut
pasien.Kelainan yang dilihat dalam klinik merupakan lesi bulat atau
lonjong, berbatas tegas terdiri atas eritema, skuama, kadang-kadang
terlihat erosi dan krusta akibat garukan. Lesi-lesi pada umumnya
merupakan bercak-bercak terpisah satu dengan yang lain. Kelainan
kulit dapat pula terlihat sebagai lesi-lesi dengan pinggir yang
polisiklik karena beberapa lesi kulit yang menjadi satu.1 Lesi pada
lipatan paha pasien, tampak plak yang hiperpigmentasi dengan
likenifikasi dan berskuama tipis, hal ini mungkin terjadi karena
lesi sudah ada sejak setahun lalu. Lesi mengalami hiperpigmentasi
dan berlikenifikasi karena garukan pasien. Lesi pada lutut dan siku
pasien yang munculnya 6 bulan lalu masih tampak plak eritematosa,
ada bagian yang polisiklik, terdapat gambaran central healing.
Mungkin karena lesi pada lutut, dan siku tidak begitu gatal dan
tidak lama munculnya seperti pada lipatan paha sehingga lesinya
tampak lebih khas lesi dari tinea.Tinea corporis yang menahun
ditandai dengan sifat kronik. Lesi tidak menunjukkan tanda-tanda
radang yang akut, kelainan ini biasanya terjadi pada bagian tubuh
dan tidak jarang bersama-sama dengan tinea cruris.4 Pasien awalnya
menderita tinea cruris dan berkembang menjadi tinea corporis, lesi
yang diderita termasuk lesi yang kronik, dalam waktu 1 tahun tanpa
pengobatan. Tidak tampak tanda-tanda keradangan akut pada lesi.Pada
kasus yang tidak mendapatkan pengobatan, dapat menyebar luas dan
kadang berbentuk lingkaran yang dapat diasumsikan sebagai
penampakan granulomatosa.4 Pada pasien lesi yang sudah kronik
menyebar dan tampak menghitam. Lesi polisiklik tampak paling jelas
pada lutut dan siku kiri pasien. Tidak didapatkan gambaran
penampakan granulomatosa.Diagnosis banding yang penulis usulkan
untuk laporan kasus ini dengan lesi seperti gambaran pada pasien
adalah tinea cruris et corporis, eritrasma, kandidiasis
intertriginosa, dermatitis numularis, dan dermatitis
seboroik.Eritrasma adalah penyakit bakteri kronik pada stratum
korneum yang disebabkan oleh Cornebacterium minitussismum, ditandai
dengan adanya lesi berupa eritema dan skuama halus terutama di
daerah ketiak dan lipat paha, kadang dapat terlihat merah
kecoklat-coklatan tergantung dari area lesi dan warna kulit
penderita.1Kandidiasis intertriginosa adalah penyakit kulit yang
disebabkan oleh jamur. Dapat terjadi infeksi dengan faktor eksogen
yang berhubungan dengan kelembapan dan kebersihan kulit. Lesi
terdapat di daerah lipatan kulit diantaranya di ketiak, lipat paha,
berupa bercak berbatas tegas, bersisik, basah, dan eritematosa.
Lesi tersebut dikelilingi oleh satelit berupa vesikel-vesikel dan
pustul-pustul kecil.1 Dermatitis numularis adalah peradangan kulit
dengan bentuk lesinya seperti mata uang (coin) atau agak lonjong,
berbatas tegas dengan efloresensi berupa papulovesikel, biasanya
mudah pecah sehingga basah. Penderita umumnya mengeluh
gatal.1Dermatitis seboroik adalah kelainan kulit yang terjadi pada
daerah seboroik. Lesinya berupa eritema dan skuama berminyak dan
agak kekuningan, batasnya agak kurang tegas. Dapat mengenai liang
telinga luar, lipatan nasolabial, daerah sternal, areola mamae,
lipatan dibawah mamae pada wanita, interskapular, umbilikus, lipat
paha, dan daerah anogenital.Diagnosis tinea cruris dan corporis
ditegakkan berdasarkan klinik dan lokasinya, serta pemeriksaan
kerokan kulit dari tepi lesi dengan mikroskop langsung dengan
larutan KOH 10-20% untuk melihat hifa atau spora jamur.4 Untuk
melihat elemen jamur lebih nyata, dapat ditambahkan zat warna pada
sediaan KOH, misalnya tinta parkersuperchroom blue black.1
Pemeriksaan untuk menyingkirkan diagnosa banding dari eritrasma
adalah dengan melakukan pemeriksaan lampu Wood, pada lampu Wood
lesi dari eritrasma akan tampak coral red sehingga tidak ada
perubahan pada tinea. Pemeriksaan pada tinea dengan KOH 10-20% akan
menampakan tampilan hifa, hal ini akan mendukung diagnose
tinea.Griseofulvin, terbinafin, ketokonazol, sering digunakan untuk
terapi sistemik. Griseofulvin oral meningkatkan efisiensi dari
medikasi topikal. Griseofulvin bersifat fungsistatik. Secara umum,
griseofulvin dapat dibeirkan 0,5 1g untuk orang dewasa dan 0,25-0,5
g untuk anak-anak sehari atau 10 25 mg per kg berat badan. Lama
pengobatan bergantung pada beratnya penyakit. Setelah sembuh
klinis, dilanjutkan 2 minggu agar tidak residif. Terbinafin yang
bersifat fungisidal juga dapat diberikan dengan dosis 250 mg sehari
selama 1 minggu. Obat peroral lain yang dapat diberikan adalah
ketokonazol yang bersifat fungisitatik, dengan dosis 100-200 mg
sehari selama 10 hari 2 minggu.1,7Griseofulvin merupakan obat
antijamur yang efektif terhadap berbagai jenis jamur dermatofit
seperti Tricophyton, Epidermophyton, dan Microsporum. Terhadap sel
muda yang sedang berkembang griseofulvin bersifat fungisidal. Efek
fungistatik obat ini belum sepenuhnya dapat dijelaskan. Obat ini
akan menghambat mitosis sel muda dengan mengganggu sintesis dan
polimerasiasi asam nukleat. Penyerapannya kurang baik pada saluran
cerna bagian atas karena obat ini tidak larut dalam air.
Absorpsinya meningkat bila diberikan bersamaan dengan lemak. Obat
ini dimetabolisme di hati dan metabolit utamanya adalah
6-metilgriseofulvin. Waktu paruh obat ini kira-kira 24 jam, 50%
dari dosis oral yang diberikan dikeluarkan bersama urin dalam
bentuk metabolit selama 5 hari. Kulit yang sakit mempunyai afinitas
yang tinggi terhadap obat ini, obat ini akan dihimpun di dalam sel
pembentuk keratin, lalu muncul bersama sel yang baru
berdiferensiasi, terikat kuat dengan keratin sehingga sel baru ini
akan resisten terhadap serangan jamur. Keratin yang mengandung
jamur akan terkelupas dan diganti oleh sel yang normal. Pada
infeksi yang sukar, lama terapi bisa mencapai 12 bulan. Di
Indonesia, griseofulvin makrokristal tersedia dalam bentuk tablet
berisi 125 mg dan 150 mg dan tablet yang mengandung partikel
ultramikrokristal tersedia dalam takaran 330 mg. Kontraindikasi
pada pasien yang menderita kegagalan hepatoseluler atau porifiria,
lupus eritematus, kondisi yang berhubungan, dan hamil. Griseofulvin
dapat menggangu kemampuan mengemudi atau menjalankan mesin,
laktasi, merusak sel sperma, sehingga tidak dianjurkan untuk
membuahi sel telur selama 6 bulan terapi. Efek samping yang dapat
ditimbulkan meliputi urtikaria, ruam kulit, sakit kepala, gangguan
gastrointestinal, pusing, lesu, granulositopenia, leukopenia,
fotosensitifitas. Griseofulvin dihambat oleh barbiturat, mengurangi
efek koagulan warfarin, menurunkan efektivitas obat kontrasepsi
oral, dan meningkatkan efek alkohol.8Ketokonazole merupakan turunan
imidazol sintetik dengan struktur mirip mikonazole dan
klotrimazole. Obat ini bersifat liofilik dan larut dalam air pada
pH asam. Ketokonazole merupakan antijamur sistemik peroral yang
penyerapannya bervariasi antar individu. Obat ini menghasilkan
kadar plasma yang cukup menekan aktivitas berbagai jenis jamur.
Penyerapan melalui saluran cerna akan berkurang pada pasien dengan
pH lambung yang tinggi, pada pemberian bersama antagonis H2 atau
bersama antasida. 8Sebagian besar diekskresikan bersama cairan
empedu kelumen usus dan hanya sebagian kecil saja yang dikeluarkan
bersama urin, semuanya dalam bentuk metabolit yang tidak aktif.
Gangguan fungsi hati dan ginjal yang ringan tidak mempengaruhi
kadarnya dalam plasma. Efek samping mual dan muntah adalah yang
paling sering dijumpai, keadaan ini akan lebih ringan bila obat
ditelan bersama dengan makanan. Efek samping yang lebih jarang
adalah sakit kepala, vertigo, nyeri epigastrik, fotofobia,
pruritus, parestesia, gusi berdarah, erupsi kulit dan
trombositopenia. Obat ini sebaiknya tidak diberikan pada wanita
hamil, karena bersifat fetotoksik, pemakaian pada wanita menyusui
sebaiknya dihindari, karena obat ini disekresikan dalam ASI. 8
Penggunaan ketokonazol bersama dengan obat yang menginduksi enzim
mikrosom hati (rifampisin, isoniazid, fenitoin) dapat menurunkan
kadar ketokonazole. Sebaliknya ketokonazole dapat meningkatkan
kadar obat yang dimetabolisme oleh enzim CYP3A4 sitokrom P450
(siklosporin, warfarin, midazolam, indinavir). Kontraindikasi
pemberian ketokonazole dengan terfenadin, asmetizol, atau
sisapriddapat menyebabkan perpanjangan interval QT dan dapat
menyebabkan aritmia ventrikel jantung.8Ketokonazol tersedia dalam
sediaan tablet 200 mg. krim 2% dan shampoo 2%. Dosis yang
dianjurkan pada orang dewasa adalah satu kali 200-400 mg sehari.
Pada anak-anak diberikan 3,3-6,6 mg/kgBB/hari.8Itrakonazol adalah
Antijamur turunan triazol ini erat kaitannya dengan ketokonazole.
Obat ini dapat diberikan peroral dan iv. Aktivitas antijamurnya
lebih lebar, sedangkan efek samping yang ditimbulkan lebih kecil
dibandingkan dengan ketokonazol. Itrakonazol diserap lebih sempurna
melalui saluran cerna, bila diberikan bersama makanan. Itrakonazole
tersedia dalam kapsul 100 mg, dosis yang disarankan 200 mg sekali
sehari. Itrakonazole juga tersedia dalam suspense 10 mg/mLdengan
bioavailabilitas yang lebih baik. Efek samping menunjukkan 10-15%
mengeluh mual dan muntah namun pengobatan tidak perlu
dihentikan.8Terbinafin merupakan suatu derifat alillamin sintetik
dengan struktur mirip naftitin. Obat ini digunakan untuk terapi
dermatofitosis terutama onikomikosis. Terninafine diserap baik oleh
saluran cerna, tetapi bioavailabilitas oralnya hanya 40% karena
mengalami metabolisme lintas pertama di hati. Obat ini terikat
dengan protein plasma lebih dari 99% dan terakumulasi di kulit,
kuku dan jaringan lemak. Waktu paruh awalnya 12 jam dan obat ini
masih bisa ditemukan dalam plasma hingga 4-8 minggu setelah
pengobatan yang lama. Terbinafine dimetabolisme dihati menjadi
metabolite yang tidak aktif dan diekskresikan di urin. Terbunafin
tidak boleh diberikan pada pasien azotemia atau gagal hati, karena
dapat terjadi peningkatan kadar terbunafin yang sulit
diperkirakan.8Terbinafin bersifat keratofilik dan fungisidal. Obat
ini mempengaruhi biosintesis ergosterol dinding sel jamur melalui
penghambatan enzim skualen epoksidase pada jamur dan bukan melalui
penghambatan enzim sitokrom P450. Efek samping terbinafine biasanya
jarang terjadi, biasanya berupa saluran cerna, sakit kepala atau
rash. Hepatotoksisitas, netropenia berat, sindroma steven Johnson
atau nekrosis epidermal toksik dapat terjadi, namun sangat jarang.
Pada ibu hamil penggunaan obat ini termasuk kategori B.8Terbinafine
tersedia dalam bentuk tablet oral 250 mg sehari. Terbinafin
diberikan satu kali 250 mg sehari untuk pengobatan onikomikosis
sama efektifnya dengan itrakonazol 200 mg sehari dan lebih efektif
daripada terapi itrakonazole berkala.8Penulis memilih memberikan
pengobatan sistemik dengan griseofulvin dengan dosis 500mg/hari,
selama 2 minggu, lalu dilihat perkembangannya dari tineanya.
Pengobatan tinea minimal selama 2 minggu.Terapi anti jamur topikal
efektif untuk infeksi pada kulit tubuh yang tidak berambut dan
membran mukosa untuk penyakit yang belum luas dan tidak ada
komplikasi.10 Pada pasien diberikan terapi topikal untuk lesi pada
lutut dan sikunya, karena lesi yang belum terlalu luas dibandingkan
lesi pada bagian perut dan lipatan paha pasien. Pengobatan topikal
akan membantu mempercepat proses penyembuhan pasien.Biasanya
dipakai salep atau krim antimikotik, seperti salep whitfield,
campuran asam salisilat 5% dengan asam benzoat 10% dan resorsinol
5% dalam spirtus, Castellanis paint, imidazol, ketokonazol, dan
piroksolamin siklik, yang digunakan selama 2-3 minggu. Pada tinea
cruris, karena lokasinya sangat peka nyeri, maka konsentrasi obat
harus lebih rendah dibandingkan lokasi yang lain.5 Terapi sistemik
diindikasikan untuk kasus tinea cruris dan corporis yang berat yang
melibatkan penderita immunocompromised,dengan lesi inflamasi atau
pada kasus yang tidak responsif dengan terapi topikal.4Selain
dengan terapi sistemik dan lokal, perlu diberikan edukasi pada
pasien untuk menjaga kebersihan kulit dan lingkungan, memakai
pakaian dari katun dan tidak ketat, menggunakan sabun ringan dan
menjaga agar kulit yang sakit tetap kering.9Dengan terapi yang
benar dan menjaga kebersihan kulit, pakaian dan lingkungan.
Prognosis tinea cruris dan corporis adalah baik. Penting juga untuk
menghilangkan sumber penularan untuk mencegah reinfeksi dan
penyebaran lebih lanjut.1,10Penyebab kegagalan pengobatan termasuk
infeksi ulang, ketidakpekaan relatif organisme, penyerapan
suboptimal dari obat, dan kurangnya kepatuhan dengan pengobatan
jangka panjang. Prognosis pada tinea cruris dan corporis tergolong
baik.
DAFTAR PUSTAKA
1. Djuanda, Adhi. 2009. Pioderma. Ilmu Penyakit Kulit dan
Kelamin Edisi ke-5. Jakarta: Badan Penerbit FKUI.2. Mansjoer,
Arif., Suprohaita.,Wardhani,Wahyu Ika., dkk. 2008. Kapita Selekta
Kedokteran Edisi Ketiga Jilid 2. Jakarta: Media Aesculapius FKUI.3.
Hartadi, Hardjono, Naoryda. 1991.Dermatomikologi. Semarang: Badan
Penerbit UNDIP. hal:9-114. Harahap Marwali, 2000.Ilmu Penyakit
Kulit. Jakarta: Penerbit Hipokrates. Hal: 77-85. Siregar R. S.
2005. Atlas Berwarna, Saripati Penyakit Kulit, Edisi 2. Jakarta:
EGC, hal 65 71.6. Elewski BE. Tinea cruris. In: Demis DJ,
ed.Clinical Dermatology. Vol 3. Unit 17-10. Philadelphia, Pa:
Lippincott Williams & Wilkins; 1999:1-5.7. Arnold, Harry, L.,
et al. 1990.Andrews Diseases of The Skin: Clinical Dermatology.
Philadelphia: WB Saunders Company. p:331-353.8. Sulistia dan
Gunawan. 2012. Farmakologi Dan Terapi. Jakarta: Badan penerbit
FKUI9. Pendit, Brahm, U., 2001.Dermatologi Praktis. Jakarta:
Penerbit Hipokrates. Hal: 102-6.10. Harahap Marwali. 1997.Diagnosis
and Treatment of Skin Infection. London
1