Abstrak Dilaporkan seorang wanita, umur 28 tahun konsulan dari bagian obgin dengan P2A0, post partum spontan dengan vakum ekstraksi, krisis tiroid dan decompensasi cordis grade IV. Pasien mengeluh sesak yang semakin memberat selama kehamilan, dada sering berdebar-debar, tangan sering kesemutan, adanya benjolan di leher yang ikut bergerak bila menelan ludah, bola mata menonjol keluar disertai pembengkakan di kedua kaki. ± 3 tahun yang lalu pasien didiagnosa memiliki penyakit gondokan dan diberi obat tetapi karena keluhan semakim memberat pasien tidak kontrol lagi. Di UGD RS Sarjito pasien tampak sesak, kesadaran komposmentis, tensi 190/110mmHg, HR. 152-200 x/mnt, RR.26 – 36x/mnt, suhu. 37,6 o C. RBK +/+, wheezing -/-, Vesikuler +/+. Gambaran EKG : STC 160 x/menit, AFRVR. berdasarkan Sistem skoring Burch dan Wartofsky (Migneco, 2005), didapatkan adanya takikardi ≥ 140 (25), adanya udem pulmo (15), adanya atrial fibrilasi(10), adanya kelainan system syaraf yang dimulai dengan adanya agitasi hingga kejang (30) serta adanya faktor pencetus berupa kehamilan dan persalinan pervaginam dengan ekstraksi vakum (10) sehingga jumlah skor adalah 90. Dimana bila skor ≥ 45 maka krisis tiroid dapat ditegakkan. Pasien dilakukan pemasangan Non Rebreathing Mask dengan oksigen 10 liter/menit dan ditransport ke ICU. Di ICU pasien diberikan terapi suportif berupa ventilasi mekanik, pemasangan monitor invasive dan invasive berupa CVC dan nutrisi. Terapi kausatif diberikan berupa pemberian antibiotik ,lugol, PTU, kortikosteroid dan furosemid. Disini tidak dilakukan pemberian propanolol dikarenakan adanya udem paru pada pasien. Selama perawatan ICU kondisi pasien semakin memburuk dikarenakan tidak adanya respon terhadap obat-obatan inotropik dan vasopresor dan terapi lain yang diberikan sampai akhirnya pasien dinyatakan meninggal.
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Abstrak
Dilaporkan seorang wanita, umur 28 tahun konsulan dari bagian obgin
dengan P2A0, post partum spontan dengan vakum ekstraksi, krisis tiroid dan
decompensasi cordis grade IV. Pasien mengeluh sesak yang semakin
memberat selama kehamilan, dada sering berdebar-debar, tangan sering
kesemutan, adanya benjolan di leher yang ikut bergerak bila menelan ludah,
bola mata menonjol keluar disertai pembengkakan di kedua kaki. ± 3 tahun
yang lalu pasien didiagnosa memiliki penyakit gondokan dan diberi obat
tetapi karena keluhan semakim memberat pasien tidak kontrol lagi.
Di UGD RS Sarjito pasien tampak sesak, kesadaran komposmentis,
Mulai pukul 16.00 WIB terjadi periode hipotensi sehingga NTG di stop dan diberi terapi dobutamin titrasi dan vascon titrasi. Kemudian mulai pukul 22.00 nadi sekitar 180-195 x/menit sehingga diberi amiodaron bolus intravena dan dilanjutkan titrasi.
Ventilasi : On ventilator mode P-SIMV RR12, PS 15 Peep 8, FiO2 45%
Krisis tiroid adalah merupakan keadaan klinis yang mengancam jiwa,
suatu keadaan klinis yang berat dari hipertiroid, merupakan hasil dari
kegagalan tubuh untuk melakukan kompensasi hipertiroid yang berat.
Terjadinya hipertiroidisme biasanya perlahan-lahan dalam beberapa bulan
sampai beberapa tahun, namun dapat juga timbul secara dramatis. Hampir
semua sistem dalam tubuh mengalami gangguan akibat kelebihan hormone
tiroid ini sehingga pasien memberikan keluhan banyak macam. Dalam batas
fisiologis, hormon tiroid merangsang pertumbuhan dan perkembangan tubuh
serta meningkatkan sintesa banyak enzim. Manifestasi klinis yang paling
sering dalah penurunan berat badan, kelelahan, tremor, gugup, berkeringat
banyak, tidak tahan panas, palpitasi dan pembesaran tiroid. Penurunan berat
badan meskipun nafsu makan bertambah dan tidak tahan panas adalah
sangat spesifik, sehingga perlu dipikirkan adanya hipertiroidisme.
Dari hasil anamnesa pada pasien ini didapatkan riwayat bahwa
pasien pernah didiagnosa sebagai penderita struma yang kemudian pasien
tidak pernah lagi kontrol dikarenakan keluhan yang semakin memberat.
Sedangkan dari pemeriksaan fisik pasien juga didapatkan adanya
pembesaran kelenjar tiroid dan exophtalmus serta adanya peningkatan
freeT4, dan penurunan TSH. Kemudian berdasarkan Sistem skoring Burch
dan Wartofsky (Migneco, 2005), didapatkan adanya takikardi ≥ 140 (25),
adanya udem pulmo (15), adanya atrial fibrilasi(10), adanya kelainan system
syaraf yang dimulai dengan adanya agitasi hingga kejang (30) serta adanya
faktor pencetus berupa kehamilan dan persalinan pervaginam dengan
ekstraksi vakum (10) sehingga jumlah skor adalah 90. Dimana bila skor ≥ 45
maka krisis tiroid dapat ditegakkan.
Selain itu pasien juga didiagnosa dengan gagal jantung kongestif.
Diagnosa ini ditegakkan berdasarkan dari hasil anamnesa berupa sesak yang
semakin berat dengan beraktifitas. Sedangkan dari pemeriksaan fisik
didapatkan adanya peningkatan JVP, adanya ronkhi basah kasar diseluruh
lapang paru dan adanya udem di kaki. Kemudian ditunjang dengan hasil
rontgen dada yang menunjukkan adanya cardiomegali dan udem pulmo.
Akan tetapi seharusnya pasien dilakukan pemeriksaan Ekokardiografi untuk
lebih jelas mengetahui fungsi-fungsi dinding jantung dimana pada pasien ini
tidak dilakukan dikarenakan peralatan yang rusak pada saat itu.
Selama perawatan ICU pasien diberikan terapi suportif berupa
pengamanan jalan nafas dengan intubasi, pernafasan dengan ventilasi
mekanik dan pemasangan monitor invasive berupa CVC. Pengamanan jalan
nafas dpada pasien ini seharusnya dilakukan pada saat pasien masih di UGD
karena pada saat pemeriksaan fisik di UGD pasien telah mengalami gagal
nafas. Selain itu pasien juga diberikan terapi kausatif berupa pemberian
antibiotik ,lugol, PTU, kortikosteroid dan furosemid. Disini tidak dilakukan
pemberian propanolol dikarenakan adanya udem paru pada pasien.
Antagonis adrenergik diberikan untuk melawan efek dari hormonβ
tiroid dan hipersensitivitas karena efek katekolamin. Propanolol merupakan
obat pilihan, juga menghambat konversi T4 menjadi T3. 1 selektifβ
antagonis tidak dapat menghambat konversi T4 ke T3 seefektif propanolol.
Pada pasien ini tidak diberikan propanolol dikarenakan adanya gagal jantung
kongestif sehingga bila diberikan blockers dapat memicu syokβ
kardiogenik.
Reserphine dan guanethidine. Meskipun telah digantikan dalam
penggunaannya oleh -adrenergik blocker, dapat dignakan sebagai β life-
saving, dan dapat dipertimbangkan pada hipertiroid yang resisten terhadap
propanolol atau pada keadaan kontraindikasi propanolol. Onset lambat, efek
samping termasuk depresi saraf pusat dan diare. Sediaan parenteral dari
reserphin tidak lagi diproduksi. Diltiazem menurunkan denyut jantung sama
efektif dengan propanolol dan dapat dipertimbangkan sebagai alternatif
terahadap blocker pada krisis tiroidβ . Walaupun pada pasien ini tidak
diberikan akan tetapi pemberian reserpin dan guanethidine dapat
dipertimbangkan.
Pemberian obat-obatan untuk hipertiroidisme adalah bertujuan
membatasi produksi hormone tiroid yang berlebihan dengan cara menekan
produksi (obat anti tiroid/OAT seperti Prophyltiourasil dan lugol) atau
merusak jaringan tiroid (yodium radioaktif, tiroidektomi subtotal).
Penggunaan obat anti tiroid seperti diatas umumnya dengan dosis besar
pada permulaan sampai tercapai eutiroidisme, kemudian diberikan dosis
rendah untuk mempertahankan keadaan eutiroidisme. Pada pasien ini telah
diberikan PTU 200 mg di UGD, karena pertimbangan berat ringannya
keadaan dimana pasien masih dalam keadaan hipertiroid maka diberikan
lagi dosis ulangan 200mg di ICU. Obat ini mempunyai kerja imunosupresif
seperti pada penyakit Graves, dapat menurunkan konsentrasi thyroid
stimulating antibody (TSAb) yang bekerja pada sel tiroid, disamping itu dapat
unutk menghambat sintesa hormone tiroid serta mencegah konversi perifer
T4 menjadi T3.
Selain itu pasien juga mendapatkan terapi kortikosteroid.
Kortikosteroid pada umumnya diberikan selama krisis, karena defisiensi
relatif dapat terjadi, dan glukokortikoid menghambat konversi perifer T4
menjadi T3. Hidrokortisone 100mg i.v per 6 jam atau deksamethason 5mg i.v
per 12 jam bersama dengan iodida, dapat menyebabkan penurunan
bermakna derajat tirotoksikosis.
Pada hari pertama hingga hari kedua rawat di ICU pasien diberi nutrisi
enteral berupa diet cair tinggi kalori tinggi protein. Akan tetapi pada hari
ketiga terdapat residu yang banyak setiap pemberian nutrisi sehingga
diputuskan NGT dialirkan. Dikarenakan nutrisi parenteral tidak dapat
diberikan maka diganti dengan pemberian nutrisi parenteral berupa RD12%.
Selama perawatan di ICU terjadi penurunan keadaan umum, terjadinya
syok merupakan suatu tanda prognosis yang buruk. Yang menyebabkan
kematian pada pasien ini kemungkinan karena syok kardiogenik dimana
pasien telah memiliki gagal jantung sebelumnya walaupun pasien telah
diberi obat-obatan inotropik dan vasopresor. Hal ini kemungkinan
disebabkan karena hiperaktivitas yang berlebihan dimana sampai pada
batas tertentu jantung tidak mampu lagi mengkompensasi kebutuhan
cardiac output, dimana disebutkan pula pada beberapa literatur bahwa
terjadinya hipotensi dan syok dapat merupakan suatu prognosis yang buruk.
Kemungkinan lain pada pasien ini juga dapat menyebabkan kematian oleh
karena syok septik.
RINGKASAN
Telah dilakukan perawatan terhadap pasien wanita, usia 28 tahun dengan
diagnosa krisis tiroid disertai udem paru di ICU. Pasien dilakukan perawatan
untuk stabilisasi kardiorepirasi akibat hipermetabolisme serta tatalaksana
krisis tiroid untuk mengurangi produksi hormone tiroid dan mencegah
konversi perifer T4 ke T3 disertai adanya penyakit penyerta yaitu gagal
jantung kongestif. Selama perawatan kondisi pasien tidak stabil, cenderung
terjadi penurunan keadaan umum serta perburukan hemodinamik, sampai
akhirnya pasien dinyatakan meninggal setelah perawatan kurang lebih
empat hari di ICU yang kemungkinan disebabkan syok kardiogenik.
DAFTAR PUSTAKA
Bongard, F.S., Sue, D.Y; 2002, Endocrine Problem in The Critically Ill Patient, Current Critical Care Diagnosis & Treatment, 2nd edition, Mac Graw Hill
Sovari, A., 2008, Cardiogenic Pulmonary Edema, www.emedicine.medscap.com (27-04-2010)
Stoelting, RK., 2002, Restrictive Lung Disease in Anesthesia and Co-Existing disease, Fourt edition, Churchill livingstone
Wilson LM, 2006, Penyakit Kardiovaskuler dan Paru-Paru. Dalam: Price SA, Wilson LM. Patofisiologi (Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit). Edisi Bahasa Indonesia: Alih Bahasa: Anugerah P. Edisi VI. Buku I. EGC. Jakarta
Yang MJ., 2005, Pregnancy Complicated with Pulmonary Edema Due to Hyperthyroidism www. Homepage,vghtpe.gov.tw (7-4-2010)