Laporan Kunjungan Kasus Morbus Hansen tipe Multibasilar pada Tn.
N dengan Pendekatan Kedokteran Keluarga di Wilayah Kerja Puskesmas
Kelurahan Srengseng, Kecamatan Kembangan, Jakarta Barat, DKI
Jakarta periode 30 April 2015 - 20 Juni 2015
Laporan Kunjungan Kasus Morbus Hansen tipe Multibasilar pada Tn.
N dengan Pendekatan Kedokteran Keluarga di Wilayah Kerja Puskesmas
Kelurahan Srengseng, Kecamatan Kembangan, Jakarta Barat, DKI
Jakarta periode 30 April 2015 - 20 Juni 2015
BAB IPENDAHULUAN
I.1 Latar BelakangKedokteran keluarga adalah upaya pelayanan
kesehatan yang menyeluruh yang memusatkan pelayanannya kepada
keluarga sebagai suatu unit, dimana tanggung jawab dokter terhadap
pelayanan kesehatan tidak dibatasi oleh golongan umur atau jenis
kelamin pasien, juga tidak oleh organ tubuh atau jenis penyakit
tertentu saja. (Azwar Azrul, 1996)Pelayanan dokter keluarga
melibatkan dokter keluarga sebagai penyaring di tingkat primer
sebagai bagian suatu jaringan pelayanan kesehatan terpadu yang
melibatkan dokter spesialis di tingkat pelayanan sekunder dan rumah
sakit rujukan sebagai tempat pelayanan rawat inap, diselenggarakan
secara komprehensif, kontinu, integratif, holistik, koordinatif
dengan mengutamakan pencegahan, menimbang peran keluarga dan
lingkungannya serta pekerjaannya. Pelayanan diberikan kepada semua
pasien tanpa memilah jenis kelamin, usia serta faktor-faktor
lainnya. (Depkes, 1996)Kusta/ Lepra / Morbus Hansen adalah penyakit
menular yang dapat disembuhkan tetapi angka morbiditasnya tinggi
karena berkaitan dengan kecacatan atau disabilitas. Meskipun
prevalensi kusta telah menurun secara bermakna selama 20 tahun
terakhir, tetapi kusta masih merupakan masalah yang cukup serius di
masyarakat karena pandangan negatif terhadap penderita kusta dan
kecacatan permanen yang dapat terjadi pada penderita kusta. Menurut
laporan dari 103 negara, prevalensi kusta pada akhir bulan ketiga
tahun 2014 yaitu terdapat 180.464 kasus, dengan jumlah kasus baru
yang terdeteksi selama tahun 2013 yaitu 215.557 (tidak termasuk
kasus yang jumlahnya sangat kecil di Eropa). Sedangkan berdasarkan
data epidemiologi jumlah kasus baru pada penyakit kusta tahun 2012
di Indonesia yaitu sebanyak 17.980 orang, angka ini turun dari 2011
yaitu 20.023 orang. Sedangkanprevalensi2012 yaitu 23.252 orang
(0,96/10.000), dengan kriteria eliminasi adalah < 1 / 10.000
penduduk, karena itu Indonesia sudah masuk dalam kriteria negara
yang sudah mengeliminasi kusta. Untuk cacat tingkat 2 (cacat yang
terlihat) tahun 2012 sebesar 0,85 / 100.000 penduduk. Kini lebih
banyak ditemukanhidden cases antara lain karena pencarian kasus
meningkat dengan dana Bantuan Operasional Kesehatan, active case
findingdan lain-lain serta jumlah kasus baru anak < 15 tahun
pada 2012adalah sebesar 1.959 atau 10,9% dari total kasus baru.
(Kemenkes, 2015) Alasan dilakukannya kunjungan rumah adalah karena
Tn. N datang ke Puskesmas Srengseng dengan keluhan bercak putih di
pipi kirinya, dari anamnesa diketahui bahwa pasien sudah mengalami
bercak putih sejak 3 bulan sebelumnya dan belum pernah berobat. Tn.
N masih sangat aktif bekerja dan melakukan aktivitas baik dirumah
maupun lingkungannya dan tidak menyadari penularan dari penyakit
kusta yang dideritanya. Akibat yang dapat ditimbulkan bila pasien
tidak dikunjungi adalah dalam jangka pendek akan terjadi penularan
ke orang-orang sekitar dan jangka panjangnya akan terjadi
kecacatan. Untuk mencegah hal tersebut maka dilakukan kunjungan
rumah agar pasien mengetahui cara penularan penyakitnya dan akibat
yang dapat ditimbulkan jika tidak teratur berobat.
I.2 Perumusan masalah1.2.1 Pernyataan masalahTidak teratasinya
penyakit Morbus Hansen pada Tn. N1.2.2 Pertanyaan masalah1. Apa
yang menyebabkan munculnya penyakit Morbus Hansen pada Tn. N?2. Apa
faktor internal yang menyebabkan tidak teratasinya penyakit Morbus
Hansen pada Tn. N?3. Apa faktor eksternal yang menyebabkan tidak
teratasinya penyakit Morbus Hansen pada Tn. N?4. Apa alternatif
jalan keluar dari masalah yang dihadapi Tn. N?
I.3 Tujuan1.3.1 Tujuan umumTeratasinya penyakit Morbus Hansen
pada Tn. N1.3.2 Tujuan khusus1. Diketahuinya sumber penularan
penyakit Morbus Hansen pada Tn. N2. Diketahuinya faktor internal
yang menyebabkan tidak teratasinya penyakit Morbus Hansen pada Tn.
N3. Diketahuinya faktor eksternal yang menyebabkan tidak
teratasinya penyakit Morbus Hansen pada Tn. N4. Diketahuinya
alternatif jalan keluar dari masalah yang dihadapi Tn. N
BAB IIKERANGKA TEORI
II.1. DefinisiMorbus Hansen adalah penyakit infeksi kronik yang
disebabkan oleh bakteri Mycobacterium leprae yang memiliki sifat
obligat intraseluler. Masa inkubasi M. leprae sangat bervariasi
mulai dari 40 hari sampai 40 tahun, dengan waktu rata-rata 3-5
tahun. Hal ini disebabkan karena multiplikasi dari kuman tersebut
bersifat sangat lambat. Bakteri ini awalnya menyerang sistem saraf
perifer, selanjutnya dapat menyerang kulit, mukosa, saluran
pernapasan bagian atas, sistem retikulo-endothelial, mata, otot,
tulang, hingga testis. Lesi pada sistem saraf perifer dapat
menyebabkan kehilangan fungsi saraf meliputi sensorik, motorik, dan
otonom. Lesi pada kulit menyebabkan gangguan integritas dan
estetika kulit. (Djuanda et al. 2010)
II.2. EtiologiBakteri penyebab panyakit ini adalah Mycobaterium
leprae yang ditemukan oleh G.A. HANSEN pada tahun 1874 di Norwegia.
M leprae berbentuk basil dengan ukuran 3-8 m x 0,8 m. Bakteri ini
tergolong dalam kelompok gram positif, bersifat tahan asam dan
belum dapat dibiakkan dalam media artifisial. Secara mikroskopis,
kuman ini memiliki bentuk khas yaitu terlihat seperti basil yang
bergerombol seperti ikatan cerutu. Pada pemeriksaan dengan
menggunakan miskroskop elektron, basil ini dapat terlihat dalam
berbagai bentuk. Yang paling sering terlihat yaitu berbentuk
filament yang agak sedikit bengkok. (Djuanda et al. 2010; WHO,
2012) II.3. EpidemiologiPenularan Morbus Hansen diduga dapat
terjadi melalui dua cara, pertama yaitu kontak langsung dalam
jangka waktu yang lama dan erat. Kedua yaitu dapat menular melalui
droplet yang keluar dari mulut dan hidung dengan jarak yang dekat
dan frekuensi yang sering dengan penderita yang belum mendapat
pengobatan. (Djuanda et al. 2010)Eliminasi Morbus Hansen secara
global telah tercapai pada tahun 2000. Hampir 16 juta pasien Morbus
Hansen telah sembuh dengan pengobatan MDT (Multi Drug Treatment)
dalam 20 tahun terakhir. Menurut laporan dari 103 negara,
prevalensi Morbus Hansen pada akhir bulan ketiga tahun 2014 yaitu
terdapat 180.464 kasus, dengan jumlah kasus baru yang terdeteksi
selama tahun 2013 yaitu 215.557 (tidak termasuk kasus yang
jumlahnya sangat kecil di Eropa). Jumlah kasus baru menunjukkan
transmisi infeksi yang masih terjadi di suatu komunitas. Sejumlah
13 negara melaporkan tidak ada kasus baru sama sekali pada tahun
2013. Statistik global memperlihatkan ada 206.107 (96%) kasus baru
dari 14 negara dan hanya 4% sisanya merupakan jumlah kasus baru
dari negara lain selain 14 negara tersebut. Negara yang termasuk
daerah endemis yaitu: Angola, Bangladesh, Brazil, Republik Rakyat
Cina, Republik Demokratik Kongo, Ethiopia, India, Indonesia,
Madagaskar, Mozambique, Myanmar, Nepal, Nigeria, Filipina, Sudan
Selatan, Sri Lanka, Sudan and Republik Serikat Tanzania.Indonesia
merupakan salah satu negara endemis Morbus Hansen, dimana negara
ini menduduki peringkat ketiga jumlah penderita Morbus Hansen
terbanyak pada tahun 2009 setelah India dan Brazil dengan
prevalensi 1,7 per 10.000 penduduk. Pada akhir tahun 2012, telah
dilaporkan terdapat sebanyak 20.023 kasus Morbus Hansen baru di
Indonesia. Sekitar 80% dari kasus Morbus Hansen baru merupakan
Morbus Hansen tipe Multibasilar, bentuk infeksius dari Morbus
Hansen yang belum diterapi; 10% dari kasus Morbus Hansen baru
terjadi pada anak-anak yang menunjukkan bahwa penyakit tersebut
masih memiliki transmisi tinggi di masyarakat; dan hampir 8%
penderita kasus Morbus Hansen baru mengalami kecacatan yang
signifikan. Morbus Hansen dapat mengenai semua usia, tetapi
anak-anak lebih rentan daripada orang dewasa. Frekuensi tertinggi
didapatkan pada usia 25-35 tahun. (Djuanda et al. 2010; WHO, 2012;
Depkes RI, 2013)
II.4. PatogenesisM. leprae mempunyai patogenesitas dan daya
invasi yang rendah, karena pada penderita Morbus Hansen yang
mengandung kuman lebih banyak belum tentu menunjukkan gejala yang
lebih berat, bahkan dapat terjadi sebaliknya. Hal tersebut dapat
terjadi karena terdapat respon imun yang berbeda-beda pada setiap
penderita yang mempengaruhi timbulnya reaksi granuloma yang dapat
sembuh sendiri atau progresif. (Djuanda et al. 2010)Lipoprotein
yang berhubungan dengan dinding sel, ligan untuk mengenali pola
reseptor seperti TLR2 (Toll-like Receptor 2) dan NOD2
(Nucleotide-binding Oligomerization Domain Containing 2) pada
sistem imun alami, mungkin berperan dalam memulai respon awal host
terhadap M. leprae. Respon ini penting dalam menentukan gejala
klinis yang akan timbul kemudian. Phenolic glycolipid I merupakan
konstituen imunogenik yang spesifik pada lapisan luar dinding sel
kuman yang bersifat sangat nonpolar. Kuman ini masuk ke dalam saraf
di mediasi oleh ikatan antara trisakarida yang terdapat dalam
phenolic glycolipid I dengan laminin-2 di lamina basalis unit akson
sel Schwann, yang merupakan alasan mengapa M. leprae merupakan
satu-satunya bakteri yang dapat menginvasi sistem saraf perifer.
(Wolff et al. 2012)Masuknya M. leprae dalam tubuh ditangkap oleh
APC (Antigen Presenting Cell) dan melalui dua signal yaitu signal
pertama serta kedua. Signal pertama adalah tergantung pada TCR-
terkait antigen (T cell Receptor) yang dipresentasikan oleh molekul
MHC (Major Histocompatibility Complex) pada permukaan APC
(Antigen-presenting Cell), sedangkan signal kedua adalah produksi
sitokin dan ekspresinya pada permukaan dari molekul kostimulator
APC yang berinteraksi dengan ligan sel T melalui CD28 (Cluster of
Differentiation 28). Kedua signal ini akan mengaktivasi To sehingga
To akan berdiferensiasi menjadi Th1 (T helper-1) dan Th2 (T
helper-2). Adanya TNF (Tumor Necrosis Factor alpha) dan IL-12
(Interleukin-12) akan membantu diferensiasi To menjadi Th1. (Walker
dan Lockwood, 2006; Wolff et al. 2012)Th1 akan menghasilkan IL-2
dan IFN- (Interferon-gamma) yang akan meningkatkan fagositosis
makrofag (fenolat glikolipid I yang menrupakan lemak dari M. leprae
akan berikatan melalui reseptor CR1 (Complement Receptor type 1),
CR3, CR4 pada permukaannya lalu difagositosis) dan proliferasi sel
B. Selain itu, IL-2 juga akan mengaktifkan CTL (Cytotoxic
T-Lymphocyte) lalu CD8+. Dalam fagosit, fenolat glikolipid akan
melindungi bakteri dan penghancuran oksidatif oleh anion
superoksida dan radikal hidroksil yang dapat menghancurkan secara
kimiawi. Kegagalan membunuh antigen tersebut membuat sitokin dan
growth factor terus dihasilkan dan akan merusak jaringan, akibatnya
makrofag akan terus diaktifkan dan lama kelamaan sitoplasma dan
organel makrofag akan membesar menjadi sel epiteloid yang akan
bersatu membentuk granuloma yang penuh kuman. Granuloma dapat
ditemukan terutama pada area tubuh yang suhunya lebih dingin,
seperti cuping telinga, hidung, penonjolan tulang pipi, alis mata,
dan kaki. (Walker dan Lockwood, 2012)Th2 akan menghasilkan IL4,
IL-10, IL-5, IL-13 dimana IL-5 akan mengaktivasi eosinofil, IL-4
dan IL0-10 mengaktivasi makrofag, IL-4 sendiri akan mengaktivasi
sel B untuk menghasilkan IgG (Immunoglobulin G) dan IgE, selain itu
IL-4, IL-10, dan IL-13 akan mengaktivasi sel mast. (Walker dan
Lockwood, 2006; Wolff et al. 2012)Sinyal I tanpa adanya sinyal II
akan menginduksi sel T anergi dan membuat tidak teraktivasinya APC
secara lengkap sehingga menyebabkan respon ke arah Th2. Pada
Leprosi Tuberkuloid Th1 akan lebih tinggi dibandingkan Th2,
sedangkan pada Leprosi Lepromatous Th2 akan lebih tinggi
dibandingkan Th1. (Walker dan Lockwood, 2006; Wolff et al.
2008)
II.5. DiagnosisDiagnosis Morbus Hansen biasanya sering
ditegakkan berdasarkan tanda dan gejala klinis, tetapi dapat juga
berdasarkan pemeriksaan bakterioskopis, histopatologis dan
serologis. Hal ini dikarenakan gambaran klinis merupakan hal yang
terpenting dan sederhana dibandingkan dengan pemeriksaan lain.
Seperti hal nya pemeriksaan bakterioskopis memerlukan waktu paling
sedikit 15-30 menit, histologik 10-14 hari dan tes lepromin untuk
membantu menentukan tipe Morbus Hansen yang hasilnya baru dapat
diketahui setelah 3 minggu. (Djuanda et al. 2010)Pada negara atau
daerah endemis, seorang individu dapat dikatakan menderita Morbus
Hansen apabila ia memiliki satu dari tanda khas (cardinal sign)
diantaranya: (WHO, 2012) Lesi kulit yang bersifat tetap dan dengan
kehilangan sensasi yang pasti, dengan atau tanpa penebalan saraf
Kerokan kulit positifLesi kulit dapat berjumlah satu atau banyak
dan biasanya lebih pucat dari kulit sekitarnya, tetapi dapat juga
berwarna kemerahan. Dapat berbentuk makula, papul atau nodul.
Hilang sensasi merupakan tanda yang khas pada Morbus Hansen, yang
dapat terjadi pada lesi kulit apabila diberikan sentuhan ringan
atau tusukan jarum. Penebalan saraf tepi juga merupakan tanda yang
khas pada Morbus Hansen, biasanya diikuti tanda lain sebagai akibat
dari kerusakan pada saraf tersebut. Diantaranya yaitu kehilangan
sensasi di kulit dan kelemahan otot yang dipersarafi oleh saraf
tersebut. Apabila tidak terdapat tanda-tanda tersebut, penebalan
saraf saja tanpa kehilangan sensasi dan/atau kelemahan otot sering
merupakan tanda yang harus dipertimbangkan untuk Morbus Hansen.
(WHO, 2012)Pemeriksaan bakterioskopik dapat dilakukan untuk
membantu dalam menegakkan diagnosis dan mengamati perkembangan
pengobatan. Sediaan biasanya diambil dari kerokan jaringan kulit
atau usapan dan kerokan mukosa hidung yang diwarnai dengan
pewarnaan terhadap kuman basil tahan asam (BTA) yaitu dengan
pewarnaan Ziehl-Neelsen. Kerokan kulit untuk pemeriksaan rutin
biasanya diambil dari minimal 4-6 tempat, yaitu kedua cuping
telinga bagian bawah dan 2-4 lesi lain yang paling aktif, artinya
lesi yang paling eritematosa dan infiltrative. Sediaan tersebut
diperiksa dibawah mikroskop cahaya dengan pembesaran lensa obyektif
100x. Hasil pemeriksaan BTA ini dinyatakan dengan Indeks Bakteri
(IB) dengan nilai 0 sampai 6+: (Djuanda et al. 2010) 0 bila tidak
ada BTA dalam 100 lapang pandang (LP) 1+ bila 1-10 BTA dalam 100 LP
2+ bila 1-10 BTA dalam 10 LP 3+ bila 1-10 BTA rata-rata dalam 1 LP
4+ bila 11-100 BTA rata-rata dalam 1 LP 5+ bila 101-1000 BTA
rata-rata dalam 1 LP 6+ bila >1000 BTA rata-rata dalam 1
LPPemeriksaan histopatologik pada Morbus Hansen ditujukan untuk
mencari adanya sel virchow atau sel lepra atau sel busa yang
sebenarnya adalah histiosit (makrofag pada jaringan kulit) yang
tidak dapat menghancurkan M. leprae yang masuk ke dalam tubuh
karena sistem imun seluler (SIS) yang rendah dari host, sehingga
dijadikan tempat berkembang biak oleh bakteri tersebut. Gambaran
histopatologik tipe tuberkuloid adalah tuberkel dan kerusakan saraf
yang lebih nyata, tidak ada kuman atau hanya sedikit. Pada tipe
lepromatosa terdapat kelim sunyi subepidermal (subepidermal clear
zone), yaitu suatu daerah langsung dibawah epidermis yang
jaringannya tidak patologik. Pada tipe borderline, terdapat
campuran unsur-unsur tersebut. (Djuanda et al. 2010)Pemeriksaan
serologik dilakukan apabila diagnosis Morbus Hansen masih meragukan
akibat tanda klinis dan hasil pemeriksaan bakteriologik yang tidak
jelas. Pemeriksaan ini berdasar pada antibodi yang terbentuk pada
tubuh seseorang yang terinfeksi M. leprae. Terdapat dua jenis
antibodi yang dapat terbentuk, yaitu antibodi spesifik dan
non-spesifik. Antibodi spesifik diantaranya anti phenolic
glycolipid-1 (PGL-1) dan antibodi antiprotein 16 kD serta 35 kD.
Sedangkan antibodi yang non-spesifik antara lain antibodi
anti-lipoarabinomanan (LAM), yang juga dihasilkan oleh kuman M.
tuberculosis. Pemeriksaan serologik yang dapat dilakukan yaitu:
(Djuanda et al. 2010) Uji MLPA(Mycobacterium Leprae Particle
Aglutination) Uji ELISA (Enzyme Linked Immuno-sorbent Assay) ML
dipstick test (Mycobacterium leprae dipstick test) ML flow test
(Mycobacterium leprae flow test)
II.6. KlasifikasiPenyakit Morbus Hansen memiliki banyak
klasifikasi dan hal ini berdasarkan pada sistem imun seluler (SIS)
penderita. Klasifikasi tersebut diantaranya adalah klasifikasi
Ridley-Jopling, klasifikasi India, klasifikasi Madrid, dan
klasifikasi WHO. (Djuanda et al. 2010)Pada klasifikasi
Ridley-Jopling (1966), Morbus Hansen dianggap sebagai suatu
spektrum determinate klinis mulai dari daya kekebalan tubuh yang
rendah pada suatu sisi sampai mereka yang memiliki kekebalan tubuh
yang tinggi terhadap M.leprae di sisi yang lainnya. Kekebalan
seluler (cell mediated imunity = CMI) seseorang yang akan
menentukan apakah dia akan menderita Morbus Hansen apabila individu
tersebut mendapat infeksi M.leprae dan tipe Morbus Hansen yang akan
dideritanya pada spektrum penyakit Morbus Hansen. Kelima tipe
Morbus Hansen menurut Ridley-Jopling adalah tipe Lepromatous (LL),
tipe Borderline Lepromatous (BL), tipe Mid-Borderline (BB), tipe
Borderline Tuberculoid (BT), dan tipe Tuberculoid (TT). (Djuanda et
al. 2010; Wolff et al. 2008)Tuberculoid polar (TT) merupakan tipe
tuberkuloid 100% dan lepromatous polar (LL) merupakan tipe
lepromatosa 100%. Keduanya merupakan tipe yang stabil dan tidak
mungkin berubah tipe. Sedangkan tipe diantara tuberkuloid
indefinite (Ti) dan lepromatosa indefinite (Li) yaitu borderline
tuberculoid (BT), mid borderline (BB), dan borderline lepramatous
(BL) merupakan bentuk yang tidak stabil sehingga dapat berubah tipe
sesuai derajat imunitas. Tipe tuberkuloid indefinite (Ti) dan
lepromatosa indefinite (Li) merupakan tipe borderline atau campuran
antara tuberkuloid dan lepromatosa. BB adalah tipe campuran yang
terdiri atas 50% tuberkuloid dan 50% lepromatosa. BT dan Ti lebih
banyak tuberkuloidnya, sedangkan BL dan Li lebih banyak
lepromatosanya. Tipe indeterminate (I) tidak dimasukkan ke dalam
spektrum. Pada fase ini, kemungkinan untuk kembali sembuh sebesar
70%. Sementara 30% sisanya kemungkinan dapat berkembang menjadi
tipe-tipe di dalam spektrum diatas. (Djuanda et al. 2010)Pada
klasifikasi Madrid (1953), penyakit Morbus Hansen dibagi atas
Indeterminate (I), Tuberculoid (T), Borderline-Dimorphous (B),
Lepromatous (L). Klasifikasi ini merupakan klasifikasi paling
sederhana berdasarkan manifestasi klinis, pemeriksaan
bakteriologis, dan pemeriksaan histopatologi, sesuai rekomendasi
dari International Leprosy Association. (Djuanda et al. 2010)WHO
mulai mengembangkan klasifikasi Morbus Hansen pada tahun 1981,
yaitu membagi Morbus Hansen menjadi multibasilar dan pausibasilar.
Yang termasuk multibasilar yaitu tipe LL, BL dan BB pada
klasifikasi Ridley-Jopling dengan indeks bakteri (IB) lebih dari 2+
dan pausibasilar adalah tipe I, TT dan BT dengan IB kurang dari 2+.
Pada tahun 1987 WHO mengembangkan klasifikasi untuk kepentingan
pengobatan yaitu Morbus Hansen PB adalah Morbus Hansen dengan BTA
negatif pada pemeriksaan kerokan jaringan kulit, yaitu I, TT dan BT
menurut klasifikasi Ridley-Jopling. Bila pada tipe tersebut
disertai BTA positif, makan akan dimasukkan ke dalam Morbus Hansen
MB. Dan Morbus Hansen MB yaitu tipe BB, BL dan LL atau tipe apapun
dengan hasil BTA positif. Karena pemeriksaan kerokan jaringan kulit
tidak selalu tersedia, maka pada tahun 1995 WHO menyederhanakan
klasifikasi untuk memudahkan pengobatan di lapangan yaitu
berdasarkan hitung lesi dan jumlah saraf yang terkena. Sampai saat
ini Departemen Kesehatan Indonesia menerapkan klasifikasi menurut
WHO sebagai pedoman pengobatan penderita Morbus Hansen. Klasifikasi
tersebut bertujuan untuk menentukan regimen pengobatan, prognosis,
dan komplikasi, menentukan operasional, misalnya menemukan
pasien-pasien yang menular yang mempunyai nilai epidemiologis
tinggi sebagai target utama pengobatan dan untuk identifikasi
pasien yang kemungkinan besar akan menderita cacat. (Djuanda et al.
2010; WHO, 2012)
Tabel 1. Klasifikasi Morbus Hansen menurut WHOPausibasilar
(PB)Multibasilar (MB)
Lesi Kulit(makula datar, papul yang meninggi, nodus) Jumlah: 1-5
lesi Warna: Hipopigmentasi/ eritema Distribusi: asimetris
Anestesia: jelas Jumlah: >5 lesi Distribusi: simetris Anestesia:
kurang jelas
Kerusakan SarafHanya satu cabang sarafBanyak cabang saraf
Sumber : Pedoman Nasional Program Pengendalian Penyakit Kusta
Kemenkes RI 2012
SifatLepromatosa (LL)Borderline lepromatosa (BL)Mid borderline
(BB)
Lesi
BentukMakulaInfiltrat difusPapulNodusMakulaPlakatPapul
PlakatDome-shaped (kubah)Punched-out
JumlahTidak terhitung, praktis tidak ada kulit sehatSukar
dihitung, masih ada kulit sehatDapat dihitung, kulit sehat jelas
ada
DistribusiSimetrisHampir simetrisAsimetris
PermukaanHalus berkilatHalus berkilatAgak kasar, agak
berkilat
BatasTidak jelasAgak jelasAgak jelas
AnesthesiaTidak ada sampai tidak jelasTak jelasLebih jelas
BTA
Lesi kulitBanyak (ada globus)BanyakAgak banyak
Sekret hidungBanyak (ada globus)Biasanya negatifNegatif
Tes leprominNegatifNegatifBiasanya negatif
Tabel 2. Gambaran klinis, bakteriologik, dan imunologik Morbus
Hansen multibasilar (MB)
Sumber : Pedoman Nasional Program Pengendalian Penyakit Kusta
Kemenkes RI 2012
Tabel 3. Gambaran klinis, bakteriologik, dan imunologik Morbus
Hansen pausibasilar (PB)SifatTuberkuloid (TT)Borderline Tuberkuloid
(BT)Indeterminate (I)
Lesi
BentukMakula saja; makula dibatasi infiltrat
Makula dibatasi infiltrat; infiltrat saja
Hanya makula
JumlahSatu, dapat beberapaBeberapa atau satu dengan satelitSatu
atau beberapa
DistribusiAsimetrisMasih asimetrisVariasi
PermukaanKering bersisikKering bersisikHalus, agak berkilat
BatasJelas Jelas Dapat jelas atau dapat tidak jelas
AnesthesiaJelas Jelas Tak ada sampai tidak jelas
BTA
Lesi kulitHampir selalu negatifNegatif atau hanya 1+Biasanya
negatif
Tes leprominPositif kuat (3+)Positif lemahDapat positif lemah
atau negatif
Sumber : Pedoman Nasional Program Pengendalian Penyakit Kusta
Kemenkes RI 2012II.7. PenatalaksanaanPengobatan Morbus Hansen sejak
tahun 1971 menggunakan multi drug treatment (MDT) sesuai dengan
rekomendasi WHO. Tujuan penggunaan MDT pada terapi Morbus Hansen
yaitu sebagai usaha untuk mencegah dan mengobati resistensi,
memperpendek masa pengobatan dan mempercepat pemutusan mata rantai
penularan. Cara pemberian MDT sesuai dengan rekomendasi WHO yang
digunakan di Indonesia terbagi menjadi: (Djuanda et al. 2010)1.
Regimen MDT untuk MB (BB, BL, LL, atau semua tipe dengan BTA
positif) yaitu: Rifampisin 600 mg setiap bulan, dalam pengawasan
DDS 100 mg setiap hari Klofazimin: 300 mg setiap bulan, dalam
pengawasan, diteruskan 50 mg sehari atau 100 mg selama sehari atau
3 kali 100 mg setiap mingguMula-mula kombinasi obat ini diberikan
12 dosis dalam 12 sampai 18 bulan dengan syarat bakterioskopis
harus negatif. Apabila masih positif, pengobatan dilanjutkan sampai
bakterioskopis negatif. Selama pengobatan dilakukan pemeriksaan
klinis setiap bulan dan bakterioskopis minimal setiap 3 bulan.
Rata-rata lama pengobatan Morbus Hansen MB ini selama 2 sampai 3
tahun. Penghentian pemberian obat disebut Release From Treatment
(RFT). Setelah RFT dilakukan tindak lanjut secara klinis dan
bakterioskopis minimal setiap tahun selama 5 tahun. Jika
bakterioskopis tetap negatif dan klinis tidak terdapat lesi baru,
maka dinyatakan bebas dari pengamatan atau disebut Release From
Control (RFC).2. Regimen MDT untuk PB (I, TT, BT, dengan BTA
negatif) yaitu: Rifampisin 600 mg setiap bulan, dalam pengawasan
DDS 100 mg setiap hariKedua obat ini diberikan dalam 6 dosis selama
6 sampai 9 bulan. RFT dapat dilakukan setelah 6-9 bulan. Selama
pengobatan, harus dilakukan pemeriksaan klinis setiap bulan dan
bakterioskopis setelah 6 bulan pada akhir pengobatan. Setelah RFT,
pemeriksaan minimal dilakukan setiap tahun selama 2 tahun secara
klinis dan bakterioskopis. Jika tidak ada keaktifan baru, maka
dapat dinyatakan RFC.3. Pengobatan Lesi Tunggal: Kasus PB dengan
lesi tunggal ditatalaksana dengan Rifampisin 600 mg + Ofloksasin
400 mg + Minosiklin 100 mg (dosis tunggal).4. Pengobatan Situasi
Khusus1) Pasien yang tidak dapat mengonsumsi rifampisin (karena
efek samping atau resisten rifampisin).Dilakukan pengobatan selama
24 bulan: 6 bulan pertama: Setiap hari mengkonsumsi 50 mg
Klofazimin ditambah dengan dua dari antara (1) Ofloksasin 400 mg,
(2) Minosiklin 100 mg, dan (3) Klaritromisin 500 mg 18 bulan
berikutnya: Setiap hari konsumsi 50 mg Klofazimin, ditambah dengan
100 mg Minosiklin ATAU Ofloksasin 400 mg. Apabila tersedia,
Ofloksasin dapat diganti dengan Moksifloksasin 400 mg.2) Pasien
yang tidak dapat mengonsumsi Klofazimin (efek samping)Dapat diganti
dengan ofloksasin 400 mg, atau monisiklin 100 mg, atau
moksifloksasin 400 mg dalam regiemen MB 12 bulan. Dapat juga
diganti regimen MDT 12 bulan dengan konsumsi rifampisin 600 mg +
ofloksasin 400 mg + minosiklin 100 mg setiap bulan selama 24
bulan.3) Pasien yang tidak dapat konsumsi dapson/DDSPada regimen
pengobatan MB, DDS distop segera. Pada regimen pengobatan PB,
klofazimin dapat digunakan untuk menggantikan DDS, dengan dosis
yang sama dengan dosis pada regimen pengobatan MB.
II.8. Reaksi Morbus HansenReaksi Morbus Hansen merupakan suatu
reaksi pada penyakit Morbus Hansen yang bersifat akut pada
perjalanan penyakit yang kronis. Mekanisme reaksi ini belum jelas,
tetapi diduga karena reaksi imun pada penderita saat dilakukan
pengobatan. Terdapat dua reaksi kusta yaitu:1. ENL (Eritema Nodosum
Leprosum)ENL biasanya terjadi pada tipe Morbus Hansen MB, terutama
LL dan BL. Reaksi ini diduga terjadi karena respon imun humoral
yang membentuk kompleks imun antigen antibodi. ENL banyak terjadi
pada saat pengobatan karena banyak kuman Morbus Hansen yang mati,
sehingga banyak antigen yang dilepaskan dan bereaksi dengan
antibodi, serta mengaktifkan sistem komplemen. Gejala klinis yang
timbul pada reaksi ini berupa nodus eritema yang nyeri dengan
tempat predileksi di lengan dan tungkai. Apabila sudah mengenai
organ lain, bisa menimbulkan gejala seperti iridosiklitis, neuritis
akut, limfadenitis, artritis, orkitis dan nefritis akut.2. Reaksi
reversalReaksi reversal hanya dapat terjadi pada tipe borderline
(Li, BL, BB, BT, Ti). Yang berperan dalam terjadinya reaksi ini
yaitu sistem imunitas seluler (SIS), dimana terjadi peningkatan
secara mendadak pada SIS tersebut, sehingga biasanya tipe kusta
akan bergerak kearah TT. Mekanisme terjadinya reaksi ini juga
diperkirakan berhubungan dengan reaksi hipersensitivitas tipe
lambat. Gejala klinis reaksi reversal ialah umumnya sebagian atau
seluruh lesi akan bertambah aktif dan bisa juga timbul lesi
baru.
II.9 Kerangka teoriGambar 1. Kerangka teoriSumber : Trias
EpidemiologiSumber penularan(Faktor lingkungan)
Morbus Hansen
Daya tahan tubuh(Host)Bakteri Mycobacterium leprae(Agent)
BAB IIIDATA KLINIS
III.1. IdentitasNama Pasien: Tn. NUmur Pasien: 46 tahunJenis
Kelamin : Laki-lakiAlamat: Srengseng RT 5 RW 2Agama: IslamSuku :
BetawiSuku bangsa: IndonesiaPekerjaan: Asisten Rumah Tangga
III.2. AnamnesisAutoanamnesis dan alloanamnesis (istri) pada
tanggal 9 Mei 2015 di rumah pasien. Keluhan utamaBercak putih di
pipi kiri Keluhan tambahanTangan dan kaki terasa baal Riwayat
perjalanan penyakitPasien datang ke Puskesmas Kelurahan Srengseng
dengan keluhan bercak putih di pipi kiri sejak 3 bulan yang lalu.
Bercak putih tersebut berbentuk bulat dengan tepi kemerahan dan
berdiameter 4-5 cm. Pasien merasa bercak tersebut tidak menimbulkan
rasa gatal. Bercak di pipi kiri mulai menyebar ke dada, punggung,
paha, sekitar selangkangan, tungkai atas, tungkai bawah dan kaki
sejak 2 bulan yang lalu. Bercak awalnya rata dengan permukaan
kulit, tetapi kemudian meninggi sejak 1 bulan yang lalu. Pasien
juga merasa baal pada tempat yang terdapat bercak putih tersebut,
disertai rasa baal pada kedua tangan dan kedua kaki yang semakin
bertambah parah sejak 1 bulan terakhir. Keluhan ini berawal muncul
sejak 3 bulan yang lalu, tetapi pasien tidak menghiraukannya dan
mengganggap bercak tersebut akan hilang dengan sendirinya, sehingga
pasien tidak pergi berobat ke fasilitas kesehatan terdekat. Sampai
keluhan-keluhan tambahan yang lain muncul, sehingga mulai
mengganggu pasien dan akhirnya pasien pergi berobat ke Puskesmas.
Satu tahun yang lalu pasien pernah mengalami keluhan yang serupa,
tetapi pasien tidak pergi berobat dan pasien mengatakan keluhan
tersebut hilang dengan sendirinya setelah beberapa minggu. Keluhan
yang dirasakan pasien tidak mengganggu aktivitas sehari-hari nya,
sehingga pasien tetap beraktivitas seperti biasa dan pergi bekerja
setiap hari. Sebelumnya pasien bekerja sebagai sopir pribadi,
sekarang pasien tetap bekerja tetapi hanya mengerjakan pekerjaan
rumah tangga dirumah majikannya. Hal tersebut karena majikan pasien
takut pasien menularkan penyakitnya kepada anak-anaknya, sehingga
untuk sementara pasien tidak diperbolehkan mengendarai
kendaraannya. Pasien sudah bekerja selama 2 tahun sebagai sopir
pribadi, tetapi pasien mengaku bahwa di lingkungan tempat ia
bekerja tidak ada orang yang mengalami keluhan yang serupa.
Sebelumnya pasien pernah bekerja sebagai pegawai bank bagian
keuangan selama 5 tahun dan mandor proyek bangunan selama 10 tahun.
Dan pasien juga menyangkal bahwa terdapat orang yang mengalami
keluhan serupa dengan dirinya di lingkungan tempat ia bekerja
dahulu. Pasien tergabung dalam kegiatan Majelis Taklim di masjid
dekat rumahnya dan tidak ada anggota Majelis Taklim yang mengalami
keluhan yang sama. Riwayat buang air besar normal, lancar, teratur
satu kali sehari, warna coklat, konsistensi normal, tidak ada
lendir, tidak ada darah, tidak nyeri. Riwayat buang air kecil
lancar dengan frekuensi 4-5x sehari, warna kuning jernih, tidak
nyeri, tidak ada darah. Riwayat penyakit dahuluRiwayat darah tinggi
: DisangkalRiwayat kencing manis : DisangkalRiwayat asam urat :
DiakuiRiwayat alergi : DisangkalRiwayat penyakit kulit lain:
Disangkal Riwayat penyakit keluargaRiwayat darah tinggi :
DisangkalRiwayat kencing manis : Ibu pasienRiwayat asam urat :
DisangkalRiwayat alergi : DisangkalRiwayat penyakit kulit lain:
DisangkalRiwayat penyakit serupa : Disangkal
Riwayat imunisasiPasien mengatakan pasien tidak mendapat
imunisasi apapun sejak kecil. Riwayat makanMakan pagi : Nasi putih,
telur ceplok, nuggetMakan siang : Nasi putih, ikan bawal balado,
tempe goreng, sayur bayamMakan malam : Nasi putih, ayam goreng,
sayur lodehSelingan : Pisang goreng tepung, teh manisKesan :
Kualitas : Gizi cukup Kuantitas: Porsi yang dimakan cukup Riwayat
olahragaPasien tidak pernah berolahraga. Riwayat pengobatanPasien
pertama kali pergi berobat ke Puskesmas, kemudian pasien dirujuk ke
RS. Sitanala. Pasien rutin berobat setiap bulan. Pasien berobat
dengan menggunakan kartu BPJS.
III.3. Pemeriksaan fisikTanggal : 9 Mei 2015Pukul: 10.00
WIBTempat: Rumah Tn. NPemeriksaan umumKeadaan umum: BaikKesadaran:
Compos mentis, GCS 15 E4M6V5Status generalis: Nadi : 90 x/menit,
regular, kuat angkat Pernafasan: 20x/menit Suhu : 36,7C TD: 110/70
mmHgData antropometriBerat badan: 75 kgTinggi badan: 168 cmIMT:
25.67 kg/m2 Kesan: Obesitas tingkat 1 (Asia Pasifik)Pemeriksaan
fisik KepalaBentuk dan ukuran: Normocephali, bagian anteroposterior
mendatar, tidak terdapat benjolan.Rambut dan kulit: Rambut berwarna
hitam, terdistribusi merata, dan tidak mudah dicabut. Wajah:
Simetris Mata: Palpebra superior et inferior tidak edema,
konjungtiva anemis -/-, sklera ikterik -/-, pupil bulat, isokor,
diameter 3mm, reflek cahaya +/+, jarak antar mata normal Hidung:
Bentuk normal, deviasi septum nasi -, sekret -/-, nafas cuping
hidung -, polip - Telinga: Bentuk normal, sekret -/-, serumen -/-,
tidak ada nyeri tekan dan nyeri tarik Mulut dan bibir: Bibir
sianosis -, lidah tidak kotor, uvula di tengah, T1-T1 tenang,
faring tenang, mukosa mulut tidak ada kelainan, stomatitis -,
karies gigi - Kelenjar getah bening: Tidak teraba membesar
(submental, supraklavikular, servikal, aksila, regio colli, dan
inguinal Leher : Trakea ditengah, kelenjar tiroid tidak membesar.
ThoraxParuInspeksi : Simetris dalam diam dan pergerakan nafas ,
retraksi dinding dada (-)Palpasi : Stem fremitus kanan dan kiri
sama kuatPerkusi : Sonor di kedua lapang paruAuskultasi: Vesikuler,
ronkhi (-/-), wheezing (-/-)JantungInspeksi : Tidak tampak pulsasi
ictus cordisPalpasi : Teraba pulsasi ictus cordis di ICS V
MCLSPerkusi: Pekak, dalam batas normalAuskultasi: Bunyi Jantung I
dan II regular, Murmur (-), Gallop (-)
AbdomenInspeksi : Tampak datarAuskulatsi : Bising usus
normalPerkusi : Timpani di empat kuadran abdomenPalpasi : Supel,
nyeri tekan di ke-empat kuadran (-), hepar dan lien tidak teraba
membesar Ekstremitas : Akral hangat, edema (-/-), hipotrofi otot
(-/-) Kulit : Status dermatologikus: Regio : Seluruh tubuh
Distribusi : Generalisata Warna : Putih dengan tepi kemerahan
Ukuran : Plakat Jumlah : Multipel Efloresensi primer : Plak
Eflorensensi sekunder : - Konfigurasi : - Batas : Tegas Kuku :
Jaringan sekitar kuku tidak ditemukan kelainan Pemeriksaan saraf :
Keadaan umum : compos mentis GCS : 15, E4M6V5 Rangsang meningeal :-
Kaku kuduk (-)- Kernig sign (-)- Brudzinski I (-)- Brudzinski II
(-)- Laseq (-)- Saraf kranial : Dalam batas normal- Motorik : -
Gerak involunter (-)- Kekuatan ekstremitas atas 5/5/5/5 extremitas
bawah 5/5/5/5-Refleks fisiologis: Biseps (+/+) Trisep, (+/+)
Patella (+/+) Achilles (+/+)- Refleks patologis: Babinski (-/-)
Chaddock (-/-) Oppenheim (-/-) Gordon (-/-) Schueffner (-/-)
Hoffman-tromner (-/-) Pemeriksaan sensibilitasDi daerah lesi: Halus
kasar : Hipo-estesi di wajah, dada, punggung, selangkangan, paha,
kaki Panas dingin: Tidak dilakukan Tajam-tumpul: Hipo-estesi di
wajah, dada, punggung, selangkangan, paha, kaki Genitalia: Tidak
dilakukan pemeriksaan
III.4. Pemeriksaan Penunjang: (Bakterioskopis, tanggal 26
Februari 2015)LokasiBIMISFG
Cuping telinga kanan+1001000
Cuping telinga kiri+1
Dahi+1
Dagu+1
Jari tengah tangan kanan+1
Jari tengah tangan kiri+1
Tabel 4. Hasil pemeriksaan penunjang bakterioskopis Tn. NSumber
: Rumah Sakit Kusta Sitanala
III.5. DiagnosaDiagnosa Kerja: Morbus Hansen tipe
multibasilarDiagnosa tambahan: Obesitas tingkat 1 (Asia
Pasifik)Diagnosa banding: Ptyriasis versikolor
III.6. Terapi yang telah diberikan oleh Rumah Sakit
SitanalaFarmakologis : Paket obat Kusta tipe MB yang berisi:
Rifampisin 600 mg 1x/bulan DDS 100 mg 1x1 Klofazimin: 300 mg
1x/bulan, diteruskan 50 mg 1x1Non-farmakologis: Kontrol ke Rumah
Sakit
BAB IVDATA KELUARGA DAN LINGKUNGAN
IV.1. Struktur keluargaPasien adalah laki-laki berusia 46 tahun,
anak ketiga dari sepuluh bersaudara. Kedua orang tua pasien sudah
meninggal dunia. Pasien memiliki tiga orang anak, dua orang
laki-laki dan satu orang perempuan. Saat ini pasien tinggal serumah
bersama istri dan ketiga anaknya.
No.NamaL/PUmur (thn)Pekerjaan pokokPendidikan terakhirHub.
Dengan pasienKet.
1.Tn. NL46Asisten RTSMAPasienPasien
2.Ny. YP41Ibu RTSMAIstri
3.Tn. FRL21-S1AnakBelum menikah
4.Nn. RRP15-SMPAnakBelum menikah
5.An. AAL5-TKKAnakBelum menikah
Tabel 5. Daftar anggota keluarga Tn. N menurut jenis kelamin,
umur, pekerjaan pokok, pendidikan terakhir dan hubungan
keluargaSumber: Modifikasi penulis
IV.2. Genogram keluargaAAb: 2010RRb: 2000 FAb: 1994m:1993Ny. Yb:
1974Tn. Nb: 1969m:?m:?Tn. Eb:? D:1991Ny. Ib:?Tn. Rb:? D:2011Ny.
Sb:? D:2011
Keterangan:Laki-laki :
Perempuan :
Alm. Laki-laki :
Alm. Perempuan :
Tinggal 1 rumah :
Menikah : m
Lahir : b
Meninggal : DGambar 2. Genogram Keluarga Tn. N
IV.3. Riwayat imunisasi keluarga
Daftar KeluargaJKUmur (tahun)Vaksinasi
CampakBCGDPTPolioHB
Tn. NL46-----
Ny. YP41-----
Tn. FRL21+++++
Nn. RRP15+++++
An. AAL5+++++
Sumber : Modifikasi penulisKeterangan:JK: Jenis kelaminHB:
Hepatitis BBCG: Bacille-Calmette GuerinL: Laki-lakiDPT: Diphteri
Pertussis TetanusP: PerempuanKesimpulan: Tn. N dan Ny. Y tidak
mendapat imunisasi sama sekali, sedangkan anak-anak Tn. N mendapat
imunisasi lengkap.
IV.4. Kondisi ekonomiPenghasilan keluarga berasal dari pasien
sendiri yang bekerja sebagai sopir pribadi dengan penghasilan Rp
3.000.000,- per bulan dan kos-kosan yang berada dirumah pasien
dengan jumlah pendapatan Rp 5.500.000,- per bulan. Jadi, total
penghasilan yang pasien dapatkan dalam sebulan yaitu sekitar Rp
8.500.000,-. Uang yang didapat pasien digunakan untuk biaya
pendidikan anak-anaknya dan untuk keperluan sehari-hari. Perincian
pengeluaran rutin tiap bulan:Makanan dan minuman (Rp
50.000,-/hari): Rp 1.500.000,-Biaya pendidikan anak-anak: Rp
7.000.000,-Biaya rekening listrik dan air: Rp 600.000,-Biaya
lain-lain: Rp 400.000,-+
Total: Rp 9.500.000,-Tidak terdapat sisa uang untuk ditabung,
tetapi setiap bulan pasien kekurangan Rp 1.000.000,- dan untuk
kekurangan nya itu biasanya pasien meminjam ke ibu mertuanya.
IV.5. Pola berobatPasien pergi berobat ke Puskesmas Kelurahan
Srengseng, Kecamatan Kembangan yang berada dekat rumah pasien
menggunakan kartu BPJS.
IV.6. Pola makan sehari-hariBahan makanan sehari-hari dibeli
oleh istri pasien di pasar. Pasien seringkali makan masakan rumah
yang dimasak oleh istrinya, tetapi terkadang pasien juga membeli
makanan diluar. Menu makan keluarga dan variasi makananMakan pagi:
Nasi putih, telur ceplok, nugget, teh manis /energenMakan siang dan
malam: Nasi putih, ikan bawal balado, tempe goreng, sayur bayam,
teh manis /nasi putih, ayam goreng, mie goreng, sayur lodehMakan
selingan: Pisang goreng tepung/melon/apel/pisang/pempek, teh
manisBahan makanan dibeli di pasar yang kemudian diolah sendiri
oleh istri pasien. Pasien mengatakan jarang membeli makanan diluar,
hanya sesekali saja. Pola makan Tn. N sehari-hariMakan pagi: Nasi
putih, telur ceplok, nugget, teh manisBahanBerat (g)Energi
(kkal)Protein (g)Lemak (g)Karbohidrat (g)
Beras1003496,80,778,9
Telor 50796,45,750,35
Nugget150 1929,9612,0410,44
Minyak 201800200
Gula1037,6009,4
Subtotal837,623,1638,4999,09
Makan siang: Nasi putih, ikan bawal balado, tempe goreng, sayur
bayam, teh manisBahanBerat (g)Energi (kkal)Protein (g)Lemak
(g)Karbohidrat (g)
Beras1003496,80,778,9
Ikan bawal10085,3117,811,590
Tempe50809,1526,35
Bayam100453,50,56,5
Minyak151350150
Gula1037,6009,4
Subtotal731,9137,2619,79101,15
Selingan sore: Pisang goreng tepung, teh manisBeratBerat
(g)Energi (kkal)Protein (g)Lemak (g)Karbohidrat (g)
Pisang raja1001331,20,231,6
Tepung1035,70,890,137,73
Minyak151350150
Gula1037,6009,4
Subtotal296,32,0915,3348,73
Makan malam: Nasi putih, ayam goreng, sayur lodeh, teh
manisBahanBerat (g)Energi (kkal)Protein (g)Lemak (g)Karbohidrat
(g)
Beras1003496,80,778,9
Ayam1009518,22,50
Labu siam5014,50,30,053,25
Tempe25404,57513,175
Kacang belinjo2543,51,50,18758,9375
Jagung5019,51,10,053,7
Kacang panjang5022,51,350,152,7
Santan50641,05,03,8
Minyak10900100
Gula1037,6009,4
Subtotal775,634,82519,63751113,86
TOTAL2641,41 kkal97,335 g93,24 g362,83 g
Berat Badan: 75 kgTinggi Badan: 168 cmUsia: 46 tahunIMT: 25.67
kg/m2 Status gizi: Obesitas tingkat 1 (Asia Pasifik)BMR (tabel):
23,5 x 75 kg = 1.7762,5 kkal/hari = 73,43 kkal/jamBMR (Harris
Bennedict) = 66 + (13,7 x BB) + (5 x TB) (6,8 x U) = 66 + (13,7 x
75) + (5 x 168) (6,8 x 46) = 1.620,7 kkal/hari = 67,52
kkal/jamPerhitungan Energy ExpenditureAktivitasLama
(jam)PerhitunganTotal (kkal)
Tidur77 x 1 x 73,43514,01
Bekerja44 x 1,7 x 73,43499,32
44 x 1,5 x 73,43440,58
Berjalan11 x 3,2 x 73,43234,97
Duduk44 x 1,4 x 73,43411,20
Berdiri11 x 1,4 x 73,43102,80
Pekerjann RT11 x 1,8 x 73,43132,17
Lain-lain22 x 1,4 x 73,43205,60
242.540,65
Kebutuhan per jam: 2.540,65 kkal/24 = 105,86 kkal/jamAktivitas:
105,86/73,43 = 1,44 Aktivitas ringanProtein: 1,2 g/kgBB/hari 1,2g x
75 = 90 g/hari 90g x 4 kkal = 360 kkal/hariP/E Ratio: [(90g x 4
kkal)/ 2.540,65 kkal] x 100% = 14,16%Lemak: 25% 25/100 x 2.540,65
kkal = 635,16 kkal/hari 70,57 g/hariKarbohidrat: 100%-(25%+14,16%)
= 60,84% 60,84/100 x 2.540,65 kcal = 1545,73 kkal/hari 386,43
g/hariSelisihEnergi (kkal)Protein (g)Lemak (g)Karbohidrat (g)
Asupan2641,4197,3393,24362,83
Kebutuhan2.540,659070,57386,43
Selisih+ 100,76+ 7,33+ 22,67- 23,6
Kebiasaan minum keluargaKeperluan air sehari-hari untuk minum
didapat dari air tanah yang memiliki kedalaman 20 meter. Air
dimasak terlebih dahulu sebelum diminum. Kriteria air secara fisik:
jernih, tidak berwarna, tidak berbau, tidak berasa.
IV.7. Kondisi rumah Perumahana. Status rumah: Milik sendirib.
Lokasi rumah: Rumah pasien terletak sekitar 550m dari Puskesmas
Kelurahan Srengseng dan 80m dari Jalan Raya Srengseng. Jalan menuju
rumah dapat ditempuh menggunakan mobil, tetapi setelah memasuki
gang harus ditempuh dengan berjalan kaki. Letak rumah pasien
berdempetan dengan tetangga sebelah kanan dan kiri.c. Kondisi
bangunan Luas bangunan: 10m x 14m = 140 m2 Luas tanah: 10m x 16m =
160 m2 Rumah terdiri dari: 2 lantai (lantai bawah adalah rumah
pasien, sedangkan lantai atas merupakan kos-kosan yang disewakan)
Jumlah ruangan: 9 ruangan (1 ruang tamu, 1 ruang keluarga, 3 kamar
tidur, 1 ruang shalat, 1 kamar mandi, 1 dapur, 1 ruang penyimpanan)
Kebersihan rumah: Kebersihan rumah terjaga dengan baik Dinding
rumah: Terbuat dari batu bata yang dilapisi semen Atap rumah:
Terbuat dari genteng Langit-langit: Terbuat dari triplek Lantai
rumah: Terbuat dari keramik di seluruh ruanganJumlah orang dalam
rumah: 5 orangJumlah keluarga dalam rumah: 1 keluarga Alat
kesejahteraan dalam keluargaDi dalam rumah terdapat 1 buah televisi
lcd berukuran 32 inch, 1 buah televisi tabung dengan ukuran 21
inch, 1 buah VCD player, 1 buah kulkas, 1 buah kipas angin, 1 buah
rice cooker, 1 dispenser, 1 buah kompor gas, 1 buah mesin cuci, 2
buah sepeda motor, 4 buah handphone, 1 buah laptop.
VentilasiInsidentil:Pintu depan: 1 x 2 x 1 = 2 m2Permanen:Jendela
persegi panjang non fungsional: 2 x 1.5 x 1.8= 5.4 m2Jendela
persegi panjang fungsional: 1 x 1.5 x 1.8= 2.7 m2Total = 10.
1m2Persentase ventilasi total:10.1 / 140 x 100%= 7,21 %Persentase
ventilase insidentil: 2 / 140 x 100%= 1.42 %Persentase ventilasi
permanen: 8.1 / 140 x 100%= 5.78 %Rumah yang ideal memilili
ventilasi ideal 15% dari luas lantai, maka ventilasi rumah pasien
sebesar 7,21% belum memenuhi kriteria ventilasi rumah yang ideal
dan secara fungsional sangat kurang, karena jendela fungsional yang
selalu terbuka hanya 1. Ventilasi permanen memenuhi kriteria,
karena jumlah minimal ventilasi permanen adalah 5%, sedangkan
ventilasi permanen di rumah Tn. N yaitu 5,78%. Ventilasi insidentil
tidak memenuhi kriteria, karena jumlahnya kurang dari 10%. Saat
kami berkunjung kerumah pasien, udara yang kami rasakan sangat
pengap, karena sangat sedikit ventilasi yang dibuka dirumah pasien.
PencahayaanPencahayaan dirumah pasien kurang baik, karena semua
jendela dan gorden nya ditutup sepanjang hari dan jarang sekali
dibuka, sehingga hanya bagian ruang tamu yang dekat dengan pintu
masuk yang mendapat cahaya matahari. Sedangkan pencahayaan di
ruangan lainnya menggunakan lampu. Terdapat 8 buah lampu TL
(tubular lamp) dengan daya masing-masing 15 watt. Listrik
dinyalakan sepanjang hari. Air bersihKeperluan air untuk kebutuhan
sehari-hari didapat dari air tanah yang memiliki kedalaman 20 meter
yang digunakan untuk minum, mandi, memasak mencuci motor dan
mencuci pakaian. Kriteria air secara fisik yaitu jernih, tidak
berwarna, tidak berbau dan tidak berasa. Kamar mandiKamar mandi
berada di dalam rumah, berjumlah 1 buah yang terletak disebelah
dapur. Terdiri dari bak mandi berisi air untuk mandi dan jamban
jongkok. Lantai kamar mandi terbuat dari keramik. Kebersihan kamar
mandi cukup terjaga dengan baik. Luas kamar mandi 2m x 2m.
JambanJamban berukuran sekitar 35 cm x 50cm, berjenis leher
angsa dan berada dalam kamar mandi. Septic tankJarak septic tank ke
sumur bor adalah 10 m. Pembuangan sampahSampah rumah tangga
dikumpulkan di bak sampah di depan rumah dan diambil oleh petugas
kebersihan. Sampah di lingkungan rumah dan dirumah pasien tidak
berserakan, sehingga rumah pasien selalu terlihat bersih setiap
harinya. Pembuangan limbahAir limbah yang berasal dari kamar mandi
dan dapur pasien dialirkan melalui pipa yang berada di dalam tanah
dan mengalir sampai ke selokan di samping depan rumah. Selokan
mengalir lancar, bersih, dan tidak ada sampah yang menumpuk.
IV.8. Denah lokasiTanah kosonggRumah Pasien
Jalan BIIJalan H. Mandor SalimJalan Srengseng RayaSMP ABATASMA
ABATAKantor Kelurahan SrengsengHaltePuskesmas Kel.
SrengsengWarungMakan
Gambar 3. Denah lokasi rumah pasienSumber : Google maps
IV.9. Denah rumah
10 m
4,5 m3,5 m2 m
1,5 mDapur
3 m
Kamar mandi
Kamar tidur
3 m
1,5 mRuang makan
R. shalat
Kamar tidur
12 m4,5 m3 m
14 mRuang keluarga
Ruang tamu
Kamar tidur
3 m6,5 m
1,5 m
3,5 m5,5 m
Skala 1:100Gambar 4. Denah rumahSumber : Modifikasi penulis
IV.10. Mandala of healthBody Tn. N laki-laki berusia 46 tahun
dengan Morbus Hansen tipe Multi Basiler dan Obesitas tingkat IMind
Tn. N menganggap bahwa penyakitnya tidak perlu diobati dan akan
hilang dengan sendirinya Tn. N menganggap bahwa penyakitnya tidak
menular Tn. N merasa malu akan penyakit yang dideritanya Tn. N
merasa tidak ada masalah dengan berat badannyaSpirit Tn. N memiliki
kemauan untuk sembuh dari penyakitnya dan tidak ada kemauan untuk
menurunkan berat badanLevel pertama Human biology Tidak terdapat
faktor genetik pada penyakit Tn. N Family Tn. N tinggal bersama
istri dan ketiga orang anaknya Personal behavior Tn. N tidak pernah
berolahraga Tn. N tidak teratur minum obat Psycho-socio-economic
environment Tn. N tidak tahu dan tidak mengerti tentang penyakit
yang ia derita yaitu Morbus Hansen Tn. N merasa malu akan penyakit
yang dideritanya Pekerjaan Tn. N menjadi terganggu akibat penyakit
yang dideritanya Tn. N mengkhawatirkan biaya pengeluaran yang lebih
besar daripada pemasukan Tn. N tidak tahu bahwa berat badannya
sekarang terlalu gemuk
Physical environment Rumah Tn. N berhimpitan dengan rumah
tetangga sebelahnya sehingga cahaya matahari yang masuk kedalam
rumah sangat kurang Ventilasi di rumah Tn. N kurangLevel kedua Sick
care system Kurangnya edukasi tentang penyakit Morbus Hansen
terutama tentang cara penularan dan mencegah komplikasi yang dapat
terjadi Kurangnya edukasi tentang status gizi Work Tn. N bekerja
sebagai asisten Rumah Tangga selama 2 tahun terakhir Semenjak
sakit, Tn. N tidak diizinkan untuk menyetir tetapi hanya bekerja
membantu pekerjaan Rumah Tangga dirumah majikannya Tn. N dahulu
bekerja sebagai mandor proyek bangunan selama 10 tahun kemudian
berpindah pekerjaan menjadi pegawai bank bagian keuangan selama 5
tahun Lifestyle -Level ketiga Community Tn. N ikut serta dalam
Majelis Taklim di masjid dekat rumahnya selama 10 tahun. Tidak ada
anggota yang mengalami keluhan serupa dengan Tn. N pada Majelis
Taklim tersebut. Human made environment Sirkulasi udara dalam rumah
kurang baik karena rumah pasien berdempetan dengan rumah sekitarnya
Culture Masyarakat menggangap penyakit kusta merupakan penyakit
yang memalukan Masyarakat menggangap orang yang menderita penyakit
kusta harus diasingkan karena dapat menular Biosphere Global
warming Mandala of health Tn. NSick care system1. Kurangnya edukasi
tentang penyakit Morbus Hansen terutama tentang cara penularan dan
mencegah komplikasi yang dapat terjadi2. Kurangnya edukasi tentang
status gizi
Work1. Tn. N bekerja sebagai Asisten RT selama 2 th2. Semenjak
sakit, Tn. N tidak diizinkan menyetir tetapi hanya bekerja membantu
pekerjaan RT dirumah majikannya3. Tn. N dahulu bekerja sebagai
mandor proyek bangunan selama 10 tahun kemudian berpindah pekerjaan
menjadi pegawai bank bagian keuangan selama 5 tahun
CommunityTn. N ikut serta dalam Majelis Taklim di masjid dekat
rumahnya selama 10 tahun. Tidak ada anggota yang mengalami keluhan
serupa dengan Tn. NHuman biologyTidak terdapat faktorgenetik pada
penyakit Tn. N
Personal behavior1. Tn. N tidak pernah berolahraga2. Tn N tidak
teratur minum obatFamily: Tn. N tinggal bersama istri dan ketiga
orang anaknya
Spirit: Tn. N memiliki kemauan untuk sembuh dari penyakitnya dan
tidak ada kemaunan untuk menurunkan BBMind1. Tn. N menganggap bahwa
penyakitnya tidak perlu diobati dan akan hilang dengan sendirinya2.
Tn. M merasa malu akan penyakitnya3. Tn.N menganggap bahwa
penyakitnya tidak menular4. Tn. N merasa tidak ada masalah dgn
BBnya
Human made environmentSirkulasi udara dalam rumah kurang baik
karena berdempetan dengan rumah sekitarnyaPsycho-socio-economic
environment1. Tn. N tidak tahu dan tidak mengerti tentang penyakit
yang ia derita yaitu Morbus Hansen2. Tn. N mengkhawatirkan biaya
pengeluaran yang lebih besar daripada pemasukan3. Tn. N merasa malu
akan penyakit yang dideritanya4. Pekerjaan Tn. N menjadi terganggu
akibat penyakit yang dideritanya.5. Tn. N tidak tahu bahwa BB skr
terlalu gemukBodyLaki-laki berusia 46 tahundengan Morbus Hansentipe
Multi Basiler dan Obesitas IPhysical environment1. Rumah Tn. N
berhimpitan dengan rumah tetangga sebelahnya sehingga cahaya
matahari yang masuk kedalam rumah sangat kurang2. Ventilasi di
rumah Tn. N kurang
Gambar 5. Mandala of health Tn. NCulture1. Masyarakat menggangap
penyakit kusta merupakan penyakit yang memalukan2. Masyarakat
menggangap orang yang menderita penyakit kusta harus diasingkan
karena menular
Lifestyle -Biosphere: Global warming
BAB VDIAGNOSTIK HOLISTIK
V.1 Ringkasan (Resume)Telah diperiksa seorang laki-laki 46 tahun
datang dengan keluhan bercak putih di pipi kiri sejak 3 bulan yang
lalu. Bercak putih tersebut tidak gatal, berbentuk bulat dengan
tepi kemerahan dan berdiameter 4-5 cm. Bercak di pipi kiri mulai
menyebar ke dada, punggung, paha, sekitar selangkangan, tungkai
atas, tungkai bawah dan kaki sejak 2 bulan yang lalu. Bercak
awalnya rata dengan permukaan kulit, tetapi kemudian meninggi sejak
1 bulan yang lalu. Pasien juga merasa baal pada tempat yang
terdapat bercak putih tersebut, disertai rasa baal pada kedua
tangan dan kedua kaki yang semakin bertambah parah sejak 1 bulan
terakhir. Keluhan ini berawal muncul sejak 3 bulan yang lalu,
tetapi pasien tidak menghiraukannya dan mengganggap bercak tersebut
akan hilang dengan sendirinya, sehingga pasien tidak pergi berobat
ke fasilitas kesehatan terdekat. Pada saat ini pasien berobat
secara teratur di Rumah Sakit Kusta Sitanala.Dari pemeriksaan fisik
didapatkan:IMT: 25.67 kg/m2Kesan: Obesitas tingkat 1 (Asia
Pasifik)Kulit: Status dermatologikus : Regio : Seluruh tubuh
Distribusi : Generalisata Warna : Putih dengan tepi kemerahan
Ukuran : Plakat Jumlah : Multipel Efloresensi primer : Plak
Efloresensi sekunder : - Konfigurasi : - Batas : TegasKuku:
jaringan sekitar kuku tidak ditemukan kelainan
Pemeriksaan sensibilitasDi daerah lesi: Halus kasar :
hipo-estesi di wajah, dada, punggung, selangkangan, paha, kaki
Panas dingin: tidak dilakukan Tajam-tumpul: hipo-estesi di wajah,
dada, punggung, selangkangan, paha, kakiPemeriksaan
Penunjang:LokasiBIMISFG
Cuping telinga kanan+1001000
Cuping telinga kiri+1
Dahi+1
Dagu+1
Jari tengah tangan kanan+1
Jari tengah tangan kiri+1
Sumber: Rumah Sakit Kusta SitanalaTerapi yang telah diberikan
oleh RS SitanalaFarmakologis: Paket obat Kusta tipe MB yang berisi:
Rifampisin 600 mg 1x/bulan DDS 100 mg 1x1 Klofazimin: 300 mg
1x/bulan, diteruskan 50 mg 1x1Non-farmakologis: Kontrol ke Rumah
Sakit dan minum obat teratur
V.2. Diagnosis holistik Axis I (aspek personal) Bercak putih
dengan tepi kemerahan yang menyebar ke seluruh tubuh Tangan dan
kaki baal Axis II (aspek klinis) Diagnosa Utama: Morbus Hansen
Diagnosa tambahan: Obesitas tingkat I (Asia Pasifik) Diagnosa
banding: Ptyriasis versikolor
Axis III (aspek internal) Kurangnya pengetahuan pasien tentang
penyakit yang dialaminya Pasien tidak teratur minum obat Tn. N
menganggap bahwa penyakitnya tidak menular Tn. N tidak pernah
berolahraga Tn. N suka makanan bersantan Axis IV (aspek eksternal)
Kurangnya dukungan keluarga dalam mengawasi pasien untuk minum obat
(tidak ada PMO) Kurangnya pengetahuan keluarga terhadap penyakit
pasien (penyebab, faktor risiko, cara penularan, pengobatan,
pencegahan, komplikasi dan prognosis) Tempat tinggal pasien kurang
mendapat cahaya matahari dikarenakan jendela dan pintu di rumah
pasien sering ditutup Tempat tinggal pasien kurang memiliki
ventilasi sehingga sirkulasi udara tidak lancar Adanya pandangan
masyarakat sekitar bahwa penyakit kusta merupakan penyakit yang
memalukan dan harus diasingkan karena menular Biaya pengeluaran
yang lebih besar daripada pemasukan Axis V (status fungsional)
Status fungsional (5): Mampu melakukan tugas sehari-hari tanpa
hambatan.
V.3. Diagnosa Keluarga Bentuk Keluargaa. Keturunan :
Patrilinierb. Perkawinan: Monogamic. Pemukiman: Matrilokald. Jenis
Keluarga: Inti familye. Kekuasaan : Patriakal Fungsi Keluarga
Fisiologis (APGAR) Adaptation:Anak anak pasien dapat mengikuti
saran kedua orang tua terhadap keputusan yang akan diambil. Pasien
dapat mendukung dan memberi masukan yang lebih baik dalam
pendidikan dan pekerjaan anak-anaknya. (2) Partnership:Komunikasi
antara pasien dan istri berlangsung baik, dapat saling berbagi dan
saling mengisi. Namun komunikasi antara pasien dengan anak-anaknya
berlangsung kurang baik dikarenakan waktu untuk berkomunikasi
sangat sedikit karena pasien sibuk bekerja dan berbagai aktifitas
sosial masyarakat lainnya. (1) Growth:Dukungan keluarga terhadap
masalah kesehatan pasien masih kurang dikarenakan ketidaktahuan
anggota keluarga mengenai kusta dan kesibukan masing-masing anggota
keluarga. (1) Affection:Hubungan kasih sayang berlangsung baik
namun kurangnya interaksi antar anggota keluarga. (1)
Resolve:Pasien dan istri merasa kurang puas terhadap kebersamaan
dan waktu yang dihabiskan bersama dengan anak-anaknya dikarenakan
kurangnya waktu dan kesibukan masing-masing. (1). Total skor: 6
(cukup) Patologis (SCREEM) Social: Interaksi keluarga dengan
lingkungan sekitar baik. Culture: Keluarga pasien menghormati dan
menghargai budaya, tatakrama, sopan-santun masyarakat di lingkungan
tempat tinggal pasien. Religious : Setiap anggota keluarga taat
beribadah sholat 5 waktu dan mengaji. Economic : Status ekonomi
keluarga kurang cukup untuk memenuhi hidup sehari-hari. Education:
Tingkat pendidikan terakhir pasien dan istrinya yaitu SMA,
sedangkan ketiga anak pasien masih bersekolah dengan tingkat
pendidikan terakhir S1, SD dan TKK. Medical: Pelayanan kesehatan
keluarga ditanggung BPJS.
V.4. Siklus Keluarga (Duvall)
1. Tahap awal perkawinan2. Tahap keluarga dengan bayi3. Tahap
keluarga dengan anak pra sekolah4. Tahap keluarga dengan anak usia
sekolah5. Tahap keluarga dengan anak usia remaja6. Tahap keluarga
dengan anak anak meninggalkan orang tua7. Tahap orang tua usia
menengah8. Tahap keluarga jompo1
28
3
4
75
Gambar 6. Siklus Keluarga (Duvall)Sumber a: Modifikasi
penulis6
BAB VIRENCANA PENATALAKSAAN HOLISTIKDAN KOMPREHENSIF
VI.1.Axis I (aspek personal)Setelah mendapatkan axis I pada Tn.
N, maka disusun rencana penatalaksaan sebagai berikut:Gejala:
Bercak putih dengan tepi kemerahan di seluruh tubuhRencana
penatalaksanaan: Farmakologis: Tidak ada Non farmakologis:
Menjelaskan tentang penyakit yang dialami, pengobatan, komplikasi
dan prognosis Menggunakan masker Tangan dan kaki baalRencana
penatalaksanaan: Farmakologis: Vitamin B12 25 g 3x1 Non
farmakologis: Tidak ada
VI.2.Axis II (aspek klinis)Setelah mendapatkan axis II pada
Tn.N, maka disusun rencana penatalaksanaan sebagai
berikut:Diagnosa: Diagnosa utama: Morbus Hansen tipe Multi
BasilerRencana penatalaksanaan: Farmakologis (12-18 bulan)
Rifampisin 600 mg 1x/bulan DDS 100 mg 1x1 Klofazimin: 300 mg
1x/bulan, diteruskan 50 mg 1x1
Non farmakologis: Menjelaskan tentang cara minum obat, efek
samping yang dapat terjadi dan memotivasi pasien untuk minum obat
secara teratur Memberikan informasi tentang cara penularan dan
pencegahan agar tidak menularkan ke orang lain terutama keluarga
pasien dan orang-orang di tempat ia bekerja Diagnosa tambahan:
Obesitas tingkat I (Asia Pasifik)Rencana penatalaksanaan:
Farmakologis: Tidak ada Non farmakologis: Mengurangi jumlah kalori
yang dimakan sebesar 500-1000 kkal/hari Konsumsi makanan tinggi
serat (buah dan sayur) Makan perlahan-lahan Porsi makan terbagi
5-6x/hari Makan terakhir 3 jam sebelum tidur Berolahraga minimal
minimal 3x/minggu dan setiap kali berolahraga minimal 50 menit
Karena Tn. N menderita Obesitas I, maka dari asupan (menu) yang
dianjurkan dikurangi 500-1000 kcal/hari 2.540,65 1000 = 1540,65
kcal/hariJadi menu yang dianjurkan yaitu 1540,65 kcal/hariJumlah
kalori: 1540,65 kcal/hariProtein: 1,2 g/kgBB/hari 1,2 g x 75 = 90
g/hari 90g x 4 kcal = 360 kcal/hariP/E Ratio: [(90 g x 4
kcal)/1540,65 kcal] x 100% = 23,36 %Lemak: 25% 25/100 x 1540,65
kcal = 385,16 kcal/hari 42,79 g/hariKarbohidrat: 100%-(25%+23,36%)
= 51,64 % 51,64/100 x 1540,65 kcal = 795,59 kcal/hari 198,89
g/hari
Menu Anjuran Untuk Tn. NMakan Pagi : Nasi, pepes ikan bawal,
sayur tahu bayam beningBerat (g)Energi (kkal)Protein (g)Lemak
(g)Karbohidrat (g)
Beras1003496,80,778,9
Ikan bawal5045,59,50,850
Tahu5039,53,92,30,8
Bayam100453,50,56,5
Minyak545050
Subtotal52423,79,3586,2
Selingan pagi: Pepaya, es kacang merahBerat (g)Energi
(kkal)Protein (g)Lemak (g)Karbohidrat (g)
Pepaya100520,5012,4
Kacang merah5017311,550,8529,75
Subtotal22512,050,8542,15
Makan siang : Nasi, ayam rebus, tempe, cah kangkungBerat
(g)Energi (kkal)Protein (g)Lemak (g)Karbohidrat (g)
Beras100 3496,80,778,9
Ayam 1009518,21,250
Tempe50809,1526,35
Kangkung1003630,35,4
Minyak10900100
Subtotal65037,1514,2590,65
Selingan sore : Pisang ambonBerat (g)Energi (kkal)Protein
(g)Lemak (g)Karbohidrat (g)
Pisang ambon1009,81,20,222, 58
Subtotal9,81,20,222, 58
Makan malam : nasi, telur balado sayur labu siam jagung
mudaBerat (g)Energi (kkal)Protein (g)Lemak (g)Karbohidrat (g)
Beras1003496,80,778,9
Telur50796,45,750,35
Minyak545050
Labu siam100290,60,16,5
Jagung muda5019,51,10,053,7
Subtotal48114,911,689,5
Total1.889,88936,25331,08
SelisihEnergi (kkal)Protein (g)Lemak (g)Karbohidrat (g)
Asupan1.889,88936,25331,08
Kebutuhan1540,659042,79198,89
Selisih+ 349,15- 1- 6,54+ 132,19
Diagnosa banding: Ptyriasis VersikolorRencana penatalaksanaan:
Farmakologis: Tidak ada Non farmakologis: Tidak ada
VI.3.Axis III (aspek internal)Setelah mendapatkan axis III pada
Tn.N, maka disusun rencana penatalaksanaan sebagai berikut:Aspek:
Kurangnya pengetahuan pasien tentang penyakit yang
dialaminyaRencana penatalaksanaan: Memberikan informasi tentang
penyakit Morbus Hansen yang dialami pasien terutama mengenai
penyebab, faktor risiko, cara penularan, pengobatan, pencegahan,
komplikasi dan prognosis Pasien tidak teratur minum obatRencana
penatalaksanaan: Memotivasi pasien agar minum obat secara teratur
dan memberi tahu pasien dampak yang akan terjadi apabila tidak
minum obat secara teratur Memberi pasien poster kalender yang
berisi jadwal pasien untuk minum obat yang harus di tempel sticker
setiap hari, sehingga pasien tidak lupa untuk minum obat setiap
hari Memberi tahu keluarga agar ikut mengingatkan dan memotivasi
pasien untuk minum obat setiap hari dan menjadi PMO (Pengawas
Menelan Obat) secara bergantian Tn. N menganggap bahwa penyakitnya
tidak menularRencana penatalaksanaan: Menjelaskan tentang cara
penularan penyakit kusta dan cara pencegahannya Tn. N tidak pernah
berolahragaRencana penatalaksanaan: Menganjurkan pasien agar
berolahraga minimal 3x/minggu dan setiap kali berolahraga minimal
50 menit Tn. N suka makanan bersantanRencana penatalaksanaan:
Memberi tahu pasien agar mengurangi konsumsi makanan bersantan
VI.4.Axis IV (aspek eksternal)Setelah mendapatkan axis IV pada
Tn.N, maka disusun rencana penatalaksanaan sebagai berikut:Aspek:
Kurangnya dukungan keluarga dalam mengawasi pasien untuk minum obat
(tidak ada PMO)Rencana penatalaksanaan: Memberi tahu keluarga agar
ikut mengingatkan dan memotivasi pasien untuk minum obat setiap
hari dan menjadi PMO secara bergantian Kurangnya pengetahuan
keluarga terhadap penyakit pasien (penyebab, faktor risiko, cara
penularan, pengobatan, pencegahan, komplikasi dan prognosis)Rencana
penatalaksanaan: Memberikan informasi tentang penyakit Morbus
Hansen yang dialami pasien terutama mengenai penyebab, faktor
risiko, cara penularan, pengobatan, pencegahan, komplikasi dan
prognosis Tempat tinggal pasien kurang mendapat cahaya matahari
dikarenakan jendela dan pintu dirumah pasien sering ditutupRencana
penatalaksanaan: Menyarankan kepada pasien dan keluarga untuk
membuka lebih banyak pintu dan jendela yang agar rumah lebih banyak
mendapat cahaya matahari Tempat tinggal pasien kurang memiliki
ventilasi sehingga udara sirkulasi udara tidak lancarRencana
penatalaksanaan: Menyarankan pasien dan keluarga agar lebih sering
membuka pintu dan jendela di rumah Adanya pandangan masyarakat
sekitar bahwa penyakit kusta merupakan penyakit yang memalukan dan
harus diasingkan karena dapat menularRencana penatalaksanaan:
Memberikan pengertian tentang pandangan yang benar tentang penyakit
kusta Biaya pengeluaran yang lebih besar daripada pemasukanRencana
penatalaksanaan: Menyarankan pasien dan keluarga untuk berhemat dan
menyarankan istri pasien untuk membantu penghasilan dengan membuat
warung kecil-kecilan di depan rumah pasien
VI.5.Axis V (aspek fungsional)Setelah mendapatkan axis V pada
Tn.N, maka disusun rencana penatalaksanaan sebagai berikut:Status
fungsional: 5 (Mampu melakukan tugas sehari-hari tanpa
hambatan)Rencana penatalaksanaan: Tidak dilakukan
BAB VIIINTERVENSI, HASIL INTERVENSI DAN PROGNOSIS
VII.1.Intervensi dan hasil intervensiKunjungan ke rumah pasien
dilakukan pada tanggal 11 Mei 2015 sampai dengan 16 Mei 2015.
Setiap kunjungan ke rumah pasien dilakukan anamnesis, pemeriksaan
fisik dan pengamatan keadaan di dalam dan luar rumah. Intervensi
dilakukan mulai tanggal 21 Mei 2015. Pengamatan hasil intervensi
dilakukan pada tanggal 25 Mei 2015, 29 Mei 2015 dan 3 Juni
2015.
VII.1.1. Axis I (aspek personal)Setelah dilakukan
penatalaksanaan axis I pada Tn. N maka didapatkan hasil intervensi
sebagai berikut:Gejala: Bercak putih dengan tepi kemerahan di
seluruh tubuhRencana penatalaksanaan: Farmakologis: Tidak ada Non
farmakologis: Menjelaskan tentang penyakit yang dialami,
pengobatan, komplikasi dan prognosis Menggunakan maskerHasil
intervensi: Farmakologis: Tidak ada Non farmakologis: Pasien sudah
dapat menjelaskan tentang penyakit yang dialami, pengobatan,
komplikasi dan prognosis secara sederhana Pasien sudah menggunakkan
masker setiap pergi keluar rumah Tangan dan kaki baalRencana
penatalaksanaan: Farmakologis: Vitamin B12 25 g 3x1 Non
farmakologis: Tidak adaHasil intervensi: Farmakologis: Pasien sudah
mendapatkan dan meminum vit B12 25 g 3x1 Tanggal 29 Mei 2015
keluhan tangan dan kaki baal belum berkurang Non farmakologis:
Tidak ada
VII.1.2. Axis II (aspek klinis)Setelah dilakukan penatalaksanaan
axis II pada Tn. N maka didapatkan hasil intervensi sebagai
berikut:Diagnosa: Diagnosa utama: Morbus Hansen tipe Multi
BasilerRencana penatalaksanaan: Farmakologis (12-18 bulan):
Rifampisin 600 mg 1x/bulan DDS 100 mg 1x1 Klofazimin: 300 mg
1x/bulan, diteruskan 50 mg 1x1 Non farmakologis: Menjelaskan
tentang cara minum obat, efek samping yang dapat terjadi dan
memotivasi pasien untuk minum obat secara teratur Memberikan
informasi tentang cara penularan dan pencegahan agar tidak
menularkan ke orang lain terutama keluarga pasien dan orang-orang
di tempat ia bekerjaHasil intervensi: Farmakologis: Pasien sudah
mendapatkan satu blister paket obat kusta tipe MB untuk 1 bulan
yang berisi Rifampisin, DDS dan Klofazimin dan meminumnya satu hari
sekali Tanggal 25 Mei 2015 keluhan bercak putih dengan tepi
kemerahan belum berkurang Non farmakologis: Pasien sudah mengetahui
dan dapat menjelaskan kembali tentang cara minum obat, efek samping
yang dapat terjadi dan pasien sudah teratur minum obat setiap hari
Pasien sudah mengetahui dan dapat menjelaskan kembali tentang cara
penularan penyakit kusta dan cara pencegahannya agar tidak menular
terutama keluarga yang tinggal satu rumah dan orang-orang yang
berada di tempat ia bekerja Diagnosa tambahan: Obesitas tingkat I
(Asia Pasifik)Rencana penatalaksanaan: Farmakologis: Tidak ada Non
farmakologis: Mengurangi jumlah kalori yang dimakan sebesar
500-1000 kkal/hari Konsumsi makanan tinggi serat (buah dan sayur)
Makan perlahan-lahan Porsi makan terbagi 5-6x/hari Makan terakhir 3
jam sebelum tidur Berolahraga minimal minimal 3x/minggu dan setiap
kali berolahraga minimal 50 menitHasil intervensi: Farmakologis:
Tidak ada Non farmakologis: Pasien sudah mengurangi porsi makan
sehari-hari (sesuai dengan menu yang dianjurkan) Pasien sudah
mengkonsumsi buah-buahan tetapi hanya 2x/minggu Pasien masih sulit
untuk makan secara perlahan-lahan karena tidak terbiasa Pasien
masih tidak bisa untuk membagi porsi makannya menjadi 5-6x/hari
karena terhalang pekerjaan dan kegiatan di masjid Pasien sudah
menuruti untuk makan terakhir maksimal 3 jam sebelum tidur Pasien
masih belum berolahraga karena terhalang pekerjaan dan kegiatan di
masjid pada kunjungan tanggal 25 Mei 2015 Diagnosa banding:
Ptyriasis VersikolorRencana penatalaksanaan: Farmakologis: Tidak
ada Non farmakologis: Tidak adaHasil intervensi: Farmakologis:
Tidak ada Non farmakologis: Tidak ada
VII.1.2. Axis III (aspek internal)Setelah dilakukan
penatalaksanaan axis III pada Tn. N maka didapatkan hasil
intervensi sebagai berikut:Aspek: Kurangnya pengetahuan pasien
tentang penyakit yang dialaminyaRencana penatalaksanaan: Memberikan
informasi tentang penyakit Morbus Hansen yang dialami pasien
terutama mengenai penyebab, faktor risiko, cara penularan,
pengobatan, pencegahan, komplikasi dan prognosisHasil intervensi:
Pasien sudah mengetahui dan mengerti tentang penyakitnya secara
benar sehingga pasien tidak memiliki pandangan dan informasi yang
salah tentang penyakitnya yang ia dapatkan dari internet Pasien
tidak teratur minum obatRencana penatalaksanaan: Memotivasi pasien
agar minum obat secara teratur dan memberi tahu pasien dampak yang
akan terjadi apabila tidak minum obat secara teratur Memberi pasien
poster kalender yang berisi jadwal pasien untuk minum obat yang
harus di tempel sticker setiap hari, sehingga pasien tidak lupa
untuk minum obat setiap hari Memberi tahu keluarga agar ikut
mengingatkan dan memotivasi pasien untuk minum obat setiap hari dan
menjadi PMO (Pengawas Menelan Obat) secara bergantianHasil
intervensi: Pasien sudah mengetahui dampak yang akan terjadi
apabila tidak minum obat secara teratur tetapi masih belum minum
obat secara teratur pada kunjungan tanggal 29 Mei 2015 Pasien sudah
minum obat secara teratur pada kunjungan tanggal 3 Juni 2015 Pasien
sudah menempel sticker setiap hari pada kalender setelah ia meminum
obat pada kunjungan tanggal 3 Juni 2015 Keluarga pasien sudah
berpartisipasi dalam membantu dan memotivasi pasien untuk minum
obat secara teratur setiap hari tetapi masih sulit untuk menjadi
PMO secara bergantian pada kunjungan tanggal 29 Mei 2015 Tn. N
menganggap bahwa penyakitnya tidak menularRencana penatalaksanaan:
Menjelaskan tentang cara penularan penyakit kusta dan cara
pencegahannyaHasil intervensi: Pasien sudah mengerti dan mengetahui
tentang cara penularan dan pencegahan penyakitnya agar tidak
menular Tn. N tidak pernah berolahragaRencana penatalaksanaan:
Menganjurkan pasien agar berolahraga minimal 3x/minggu dan setiap
kali berolahraga minimal 50 menitHasil intervensi: Pasien masih
belum berolahraga karena terhalang pekerjaan dan kegiatan di masjid
pada kunjungan tanggal 25 Mei 2015 Tn. N suka makanan
bersantanRencana penatalaksanaan: Memberi tahu pasien agar
mengurangi konsumsi makanan bersantanHasil intervensi: Pasien sudah
mengurangi konsumsi makanan bersantan dan mengikuti anjuran menu
yang telah diberikan pada kunjungan tanggal 25 Mei 2015
VII.1.2. Axis IV (aspek eksternal)Setelah dilakukan
penatalaksanaan axis IV pada Tn. N maka didapatkan hasil intervensi
sebagai berikut Aspek: Kurangnya dukungan keluarga dalam mengawasi
pasien untuk minum obat (tidak ada PMO)Rencana penatalaksanaan:
Memberi tahu keluarga agar ikut mengingatkan dan memotivasi pasien
untuk minum obat setiap hari dan menjadi PMO secara bergantianHasil
intervensi: Keluarga sudah ikut berperan dalam mengingatkan dan
memotivasi pasien untuk minum obat setiap hari dan masih sulit
untuk menjadi PMO secara bergantian pada tanggal 29 Mei 2015
Kurangnya pengetahuan keluarga terhadap penyakit pasien (penyebab,
faktor risiko, cara penularan, pengobatan, pencegahan, komplikasi
dan prognosis)Rencana penatalaksanaan: Memberikan informasi tentang
penyakit Morbus Hansen yang dialami pasien terutama mengenai
penyebab, faktor risiko, cara penularan, pengobatan, pencegahan,
komplikasi dan prognosisHasil intervensi: Keluarga pasien sudah
mengetahui dan dapat menjelaskan kembali secara sederhana tentang
penyakit Morbus Hansen yang dialami pasien terutama mengenai
penyebab, faktor risiko, cara penularan, pengobatan, pencegahan,
komplikasi dan prognosis Tempat tinggal pasien kurang mendapat
cahaya matahari dikarenakan jendela dan pintu dirumah pasien sering
ditutupRencana penatalaksanaan: Menyarankan kepada pasien dan
keluarga untuk membuka lebih banyak pintu dan jendela yang agar
rumah lebih banyak mendapat cahaya matahariHasil intervensi: Pasien
masih belum dapat membuka lebih banyak pintu dan jendela dirumahnya
pada kunjungan tanggal 25 Mei 2015 Tempat tinggal pasien kurang
memiliki ventilasi sehingga udara sirkulasi udara tidak
lancarRencana penatalaksanaan: Menyarankan pasien dan keluarga agar
lebih sering membuka pintu dan jendela di rumahHasil intervensi:
Pasien dan keluarga masih belum bisa lebih sering membuka pintu dan
jendela di rumah pada kunjungan tanggal 25 Mei 2015 Adanya
pandangan masyarakat sekitar bahwa penyakit kusta merupakan
penyakit yang memalukan dan harus diasingkan karena dapat
menularRencana penatalaksanaan: Memberikan pengertian tentang
pandangan yang benar tentang penyakit kustaHasil intervensi:
Pandangan masyarakat sekitar masih belum dapat diubah Biaya
pengeluaran yang lebih besar daripada pemasukanRencana
penatalaksanaan: Menyarankan pasien dan keluarga untuk berhemat dan
menyarankan istri pasien untuk membantu penghasilan dengan membuat
warung kecil-kecilan di depan rumah pasien
Hasil intervensi: Pasien dan keluarga belum dapat berhemat dan
istri pasien tidak mau membuka warung kecil-kecilan dirumah karena
merasa malu
VII.1.2. Axis V (aspek fungsional)Setelah dilakukan
penatalaksanaan axis V pada Tn. N maka didapatkan hasil intervensi
sebagai berikut yang terdapat dalam tabel dibawah ini.Status
fungsional: 5 (Mampu melakukan tugas sehari-hari tanpa
hambatan)Rencana penatalaksanaan: Tidak dilakukanHasil intervensi:
Tidak ada
VII.2. Prognosis morbus Hansen Ad vitam: bonam Ad functionam:
dubia ad bonam Ad sanationam: dubia
BAB VIIIKESIMPULAN DAN SARAN
VIII.1. Kesimpulan Dapat disimpulkan bahwa sumber penularan dari
penyakit yang diderita Tn.N belum dapat diketahui secara pasti,
tetapi dicurigai sumber penularan kemungkinan saat Tn. N bekerja
sebagai konsultan properti Faktor-faktor internal berdasarkan
Mandala of Health yang dapat menyebabkan tidak teratasinya penyakit
Morbus Hansen dan obesitas pada Tn. N adalah: Kurangnya pengetahuan
pasien tentang penyakit yang dialaminya Pasien tidak teratur minum
obat Tn. N menganggap bahwa penyakitnya tidak menular Tn. N tidak
pernah berolahraga Faktor faktor eksternal berdasarkan Mandala of
Health yang dapat menyebabkan tidak teratasinya penyakit Morbus
Hansen dan obesitas pada Tn. N adalah: Kurangnya dukungan keluarga
dalam mengawasi pasien untuk minum obat (tidak ada PMO) Kurangnya
pengetahuan keluarga terhadap penyakit pasien (penyebab, faktor
risiko, cara penularan, pengobatan, pencegahan, komplikasi dan
prognosis) Tempat tinggal pasien kurang mendapat cahaya matahari
dikarenakan jendela dan pintu dirumah pasien sering ditutup Tempat
tinggal pasien kurang memiliki ventilasi sehingga sirkulasi udara
tidak lancar Adanya pandangan masyarakat sekitar bahwa penyakit
kusta merupakan penyakit yang memalukan dan harus diasingkan karena
menular Diketahuinya alternatif jalan keluar untuk mengatasi
permasalahan yang ada Alternatif permasalahan internal Memberikan
informasi tentang penyakit Morbus Hansen yang dialami pasien
terutama mengenai penyebab, faktor risiko, cara penularan,
pengobatan, pencegahan, komplikasi dan prognosis Memotivasi pasien
agar minum obat secara teratur dan memberi tahu pasien dampak yang
akan terjadi apabila tidak minum obat secara teratur Memberi pasien
poster kalender yang berisi jadwal pasien untuk minum obat yang
harus di tempel sticker setiap hari, sehingga pasien tidak lupa
untuk minum obat setiap hari Memberi tahu keluarga agar ikut
mengingatkan dan memotivasi pasien untuk minum obat setiap hari dan
menjadi PMO (Pengawas Menelan Obat) secara bergantian Menjelaskan
tentang cara penularan penyakit kusta dan cara pencegahannya agar
tidak menular pada keluarga juga pada orang-orang di tempat ia
bekerja Menganjurkan pasien agar berolahraga minimal 3x/minggu dan
setiap kali berolahraga minimal 50 menit Memberi tahu Tn. N agar
mengurangi konsumsi makanan bersantan Alternatif permasalahan
eksternal Memberi tahu keluarga agar ikut mengingatkan dan
memotivasi pasien untuk minum obat setiap hari dan menjadi PMO
secara bergantian Memberikan informasi tentang penyakit Morbus
Hansen yang dialami pasien terutama mengenai penyebab, faktor
risiko, cara penularan, pengobatan, pencegahan, komplikasi dan
prognosis Menyarankan kepada pasien dan keluarga untuk membuka
lebih banyak pintu dan jendela yang agar rumah lebih banyak
mendapat cahaya matahari Menyarankan pasien dan keluarga agar lebih
sering membuka pintu dan jendela di rumah Memberikan pengertian
tentang pandangan yang benar tentang penyakit kusta Menyarankan
pasien dan keluarga untuk berhemat dan menyarankan istri pasien
untuk membantu penghasilan dengan membuat warung kecil-kecilan di
depan rumah pasien
VIII.2. Saran untuk pasien dan keluarga1. Memberitahu pasien
untuk tetap kontrol penyakitnya ke RS Sitanala dan minum obat
secara teratur setiap harinya.2. Menyarankan pasien untuk menambah
ventilasi di rumah.3. Memberitahu keluarga untuk mengingatkan dan
memotivasi pasien untuk minum obat secara teratur dan rutin kontrol
ke RS Sitanala.4. Mengharuskan pasien untuk menjaga kebersihan diri
dan lingkungan tempat tinggal.
VIII.3. Saran untuk tim selanjutnya1. Memonitor gejala klinis,
komplikasi, dan melanjutkan intervensi yang telah dijalankan.2.
Memantau kepatuhan minum obat pasien dan frekuensi kontrol ke RS
Sitanala.
VIII.4. Saran untuk puskesmas1. Menyarankan puskesmas untuk
melakukan penyuluhan mengenai kusta.2. Menyarankan agar puskesmas
memantau perkembangan pasien dan penularannya ke warga sekitar.
Daftar Pustaka
Azwar, A. (1994). Program menjaga mutu pelayanan kesehatan,
Yayasan PenerbitanIDI, Jakarta: 6.Departemen Kesehatan RI
Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan
Lingkungan. (2013). Profil pengendalian penyakit dan penyehatan
lingkungan tahun 2012.Departemen Kesehatan RI. (1996). Dokter
Keluarga. [Diakses: 10 Mei 2015]. Diunduh dari:
http://www.ppjk.depkes.go.id/index2.php?option=com_content&do_pdf=1&id=63Departemen
Kesehatan RI. (2013). Program Pengendalian Penyakit Kusta di
Indonesia. [Diakses: 10 Mei 2015]. Diunduh dari:
http://pppl.depkes.go.id/berita?id=948)
Djuanda A, Kosasih A, Wiryadi, et al. (2010). Ilmu penyakit
kulit dan kelamin : Edisi 6. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia: hal. 73-83.Kementrian Kesehatan
RI Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit Dan Penyehatan
Lingkungan. (2012). Pedoman Nasional Program Pengendalian Penyakit
Kusta.Walker SL, Lockwood DNJ. (2006). The clinical and
immunological features of leprosy. Br Med Bull. [Diakses: 10 Mei
2015]; 77-78:103-121. Diunduh dari:
http://bmb.oxfordjournals.org/content/77-78/1/103.full.pdf+htmlWolff
K, Doldsmith, Stevern, Barbara. (2012). Fitzpatricks Dermatology in
GeneralMedicine 8th ed. USA : McGraw Hill.World Health
Organization. (2012). Leprosy elimination. [Diakses: 10 Mei 2015].
Diunduh dari: http://www.who.int/lep/en/a
. Leprosy. [Diakses: 10 Mei 2015]. Diunduh dari:
http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs101/en/
Bagian Ilmu Kesehatan MasyarakatFakultas Kedokteran Universitas
TarumanagaraPeriode 27 April 2015 - 20 Juni 2015 59