LAPORAN KASUS
HIDROSEFALUS KOMUNIKANS POST TRAUMATIKA
Oleh:Sri MulawardaniH1A 008 023
Pembimbing:dr. Bambang Priyanto, Sp.BS
DALAM RANGKA MENGIKUTI KEPANITERAAN KLINIK MADYA BAGIAN/SMF
BEDAH FAKULTAS KEDOKTERANUNIVERSITAS MATARAM/RSUP NTB MATARAM
2013
LAPORAN KASUS
I. Identitas PasienNama: Ahmad FauziUsia: 15 tahun Jenis
kelamin: Laki-lakiSuku: SasakAgama:IslamAlamat: Dasan Baru, Keruak,
Kabupaten Lombok TimurTanggal MRS: 16 Oktober 2013Tanggal
pemeriksaan : 21 Oktober 2013No RM: 521037
II. Anamnesa A. Keluhan UtamaNyeri kepala.
B. Riwayat Penyakit SekarangPasien datang dengan keluhan nyeri
kepala sejak 1,5 bulan yang lalu (beberapa hari setelah
kecelakaan). Awalnya, nyeri kepala dirasakan goyang terutama pada
malam hari, namun akhir-akhir ini pasien mengeluhkan nyeri
kepalanya terasa seperti tertusuk-tusuk, terutama di bagian tengah
kepala, dan terus-terusan sepanjang hari. Bersamaan dengan
munculnya nyeri kepala, pasien juga mengeluhkan penglihatannya
kabur dan penglihatan ganda terutama pada mata sebelah kanan.
Keluhan-keluhan ini muncul setelah pasien mengalami kecelakaan
motor vs motor, saat itu pasien tidak menggunakan helm, sempat
pingsan dan kesadarannya menurun, muntah 1x namun tidak ada darah
yang keluar dari hidung ataupun telinga dan juga tidak kejang. Pada
saat kecelakaan, kepala pasien terbentur ke aspal sehingga terdapat
luka lecet dan bengkak sekepalan tangan pada kepala sebelah kanan
atas. Luka tersebut tidak dijahit, hanya dibersihkan dan diberikan
betadin serta disuruh kompres.
Menurut pasien, ukuran kepalanya tidak semakin membesar, dan
juga pasien tidak merasa mual ataupun muntah. Nafsu makan / minum
pasien baik, sama seperti sebelum sakit. Buang air besar dan buang
air kecil pasien juga dirasakan biasa saja seperti sebelum
kecelakaan dan tidak ada keluhan.
Riwayat pengobatan : setelah pasien mengalami kecelakaan motor,
pasien dibawa ke RSU Selong kemudian dirujuk ke RSUP NTB. Di RSUP
NTB, pasien mendapat pengobatan selama 8 hari, diinfus, beri obat
minum dan obat suntik. Saat pulang, pasien masih merasakan sakit
kepala namun sudah berkurang dari sebelumnya. Kemudian pasien
kontrol rawat jalan di poli diberi obat minum.
C. Riwayat Penyakit Dahulu1. Pasien pernah mengalami trauma
kepala (kecelakaan lalu lintas, motor vs motor) pada tanggal 26
Agustus 2013. 2. Pasien tidak pernah menjalani operasi apapun pada
bagian kepalanya.3. Pasien tidak pernah mengalami kejang dari saat
kecil hingga sekarang.4. Pasien tidak pernah mengalami sakit kepala
yang berat dan lama sebelum pasien mengalami kecelakaan.
D. Riwayat Penyakit KeluargaTidak ada keluarga pasien yang
mengalami hal serupa.
E. Riwayat alergiPasien tidak memiliki alergi makanan atau obat
apa pun.
III. Pemeriksaan FisikA. Status GeneralisKeadaan
umum:baikKesadaran : kompos mentisGCS:E4V5M6Nadi:92 x/menit,
teratur, kuat angkatFrekuensi napas:18 x/menit, teratur, tipe
pernapasan torako-abdominalTemperatur axila:36,7oCTinggi Badan:160
cmBerat badan:45 Kg
B. Pemeriksaan Fisik UmumA. KepalaKepala:normosefali, diameter
frontooksipital 57 cm, fontanela tertutup, sefal hematoma (-).Mata:
mata simetris, tampak strabismus OD (+), konjungtiva anemis (-),
sklera ikterik (-), injeksi konjungtiva (-), refleks pupil (+/+)
isokor, bentuk regular ukuran 3 mm / 3 mm, sunset phenomenon
(-).Hidung: kelainan bentuk (-), rhinorea (-)Telinga:kelainan
bentuk (-), otorrhea (-)B. LeherJejas (-), deformitas tulang
belakang leher (-), pergerakan leher bebas ke segala arah,
pembesaran KGB (-).C. ThoraxInspeksi:bentuk dan ukuran thorax
normal, pergerakan dinding dada kanan dan kiri simetris, iktus
kordis tidak tampak, jejas (-).Palpasi :pergerakan dinding dada
kanan dan kiri simetris, nyeri tekan (-)Perkusi :sonor pada kedua
lapang paruAuskultasi:cor : S1S2 tunggal regular, murmur (-),
gallop (-)pulmo : suara napas vesikuler +/+, rhonki -/-, wheezing
-/-D. AbdomenInspeksi:distensi (-), jejas (-)Auskultasi:bising usus
(+) normalPalpasi :massa (-), nyeri tekan (-), hepar dan lien tidak
terabaPerkusi :timpani pada keempat kuadran abdomenE.
EkstremitasAkral hangat: + + + +
Edema: - - -
Deformitas: - - - -C. Pemeriksaan
NeurologisGCS:E4V5M6Kesadaran:Compos mentisKepala : Posisi normal,
penonjolan (-) 1. Rangsang meningealKaku kuduk (-), Kernig Sign
(-).2. Pemeriksaan Saraf kranialisa. Nervus kranialis I:penghidu
kesan normalb. Nervus kranialis II: OD OSKetajaman penglihatan>
3/60> 3/60 (bedrest) (bedrest)Lapang pandang sama dengan sama
dengan Pemeriksa PemeriksaFunduskopi tdetdec. Nervus kranialis III,
IV, VI:Celah kelopak mata: ptosis (-), exophthalmus (-)Posisi bola
mata: strabismus eksotropia OD (+), ortoforia OS (+)Pupil: Ukuran 3
mm, berbentuk bulat, isokor, RCL (+/+), RCTL (+/+)Gerakan bola
mata: gerakan bola mata kanan ke arah luar bawah terbatas,
nistagmus (-).
ODOSKesan : terdapat gangguan pada muskulus rektus inferior OD
yang dipersarafi oleh nervus III.d. Nervus kranialis V:Refleks
kornea (+)i. SensibilitasN. V1 +/+N. V2 +/+N. V3 +/+
ii. Motorik: kontraksi otot masseter dan temporalis (+/+)
simetrisiii. Refleks kornea: (+/+)e. Nervus kranialis VII:Otot
wajah kesan simetrisi. Fungsi Motorikm. frontalism. orbicularis
occulim. orbicularis oris
IstirahatNNN
Gerak mimikNNN
ii. Fungsi SensorikPengecap 2/3 lidah bagian anterior : rasa
manis (+), asam (+), asin (+).iii. Fungsi ParasimpatikKelenjar
ludah: tidak dilakukanKelenjar lakrimalis : tes schemer tidak
dilakukanf. Nervus kranialis VIIIGangguan pendengaran (-), tes
Rinne dan Weber tidak dievaluasi.Fungsi vestibular : vertigo (-),
nistagmus (-).g. Nervus kranialis IX dan XPosisi arkus faring
(istirahat / AAH): normal, uvula di tengahRefleks menelan / muntah
: (+)Pengecap 1/3 lidah bagian posterior : rasa pahit (+)Suara:
normal, pelo (-)Takikardia / bradikardi : (-)h. Nervus kranialis
XIM. sternocleidomastoideus: Memalingkan kepala dengan / tanpa
tahanan (+) normal.M. trapezius : mengangkat bahu (+) normal.i.
Nervus kranialis XIISaat istirahat : deviasi lidah (-),
fasikulasi(-), tremor (-)Saat menjulurkan lidah : deviasi lidah
(-), fasikulasi(-), tremor (-)Pergerakan lidah : lancar ke segala
arah, simetris. Disartria : (-)
3. Refleks fisiologisi. Biseps : + /+ii. Triseps: + / +iii.
Patella: + / +iv. Achilles: + / +4. Refleks patologisi. Babinsky: -
/ -ii. Chaddok: - / -iii. Gordon: - / -iv. Oppenheim: - / -v.
Scaefer: - / -5. MotorikMotorikSuperiorInferior
DekstraSinistraDekstraSinistra
PergerakanNormalNormalNormalNormal
Kekuatan5555
Tonus OtotNormalNormalNormalNormal
Bentuk ototNormalNormalNormalNormal
6. Sensoriki. Sensasi superfisial Raba : +/+ Nyeri : + / + Suhu
: + / +ii. Sensasi dalam / proprioseptif Terasa getaran : +/+ Rasa
nyeri dalam otot: +/+ Taktil diskriminasi : +/+iii. Sensasi viseral
Lapar : +/+IV. RESUMEPasien laki-laki, usia 15 tahun, datang dengan
keluhan nyeri kepala. Nyeri kepala dirasakan sejak sejak 1,5 bulan
yang lalu, seperti tertusuk - tusuk, terutama di bagian tengah
kepala, dan terus - terusan. Penglihatan kabur dan ganda pada mata
sebelah kanan. Keluhan - keluhan ini muncul setelah pasien
mengalami kecelakaan motor sekitar 2 bulan yang lalu, saat itu
pasien tidak menggunakan helm, sempat pingsan dan kesadarannya
menurun, muntah 1x. Setelah kecelakaan pasien dirawat di RSUP NTB
selama 8 hari, selanjutnya kontrol rawat jalan. Pemeriksaan fisik :
keadaan umum baik, kesadaran CM, GCS E4V5M6, tanda vital dalam
batas normal. Pada kepala didapatkan normosefali, diameter
fronto-oksipital 57 cm, strabismus eksotropia OD (+). Pemeriksaan
neurologis didapatkan gangguan pada muskulus rektus inferior
OD.
Problems list:A. Nyeri kepalaB. Diplopia C. Post trauma kepalaD.
Strabismus eksotropia OD (+)
V. DIAGNOSIS A. Diagnosis KlinisSefalgia + Strabismus eksotropia
OD post trauma kapitisB. Diagnosis etiologis1. Curiga proses
intrakranial :a. Edema serebrib. Perdarahan otakc. Hidrosefalus d.
Abses otake. Tumor otak2. Curiga proses intraorbita :a. Papil
edemab. Kelumpuhan saraf otot penggerak bola mata (nervus IV)c.
Perdarahan badan kacaC. Diagnosis topisSupratentorial
VI. PLANNINGA. Diagnostik1. Pemeriksaan darah lengkap2. CT Scan
kepalaB. Terapi1. Medikamentosaa. Tab asetozolamid 2 x 125 mg /
harib. Tab Parasetamol 3 x 500 mgVII. PEMERIKSAAN PENUNJANGA.
Pemeriksaan Laboratorium Hasil pemeriksaan laboratorium
(11/10/2013)HB: 14,1 g/dlRBC: 4,74 x 106/lHCT: 40,3 %MCV: 85,0
fLMCH: 29,7 pgMCHC: 35,0 g/dLWBC: 5,40 x 103/lPLT: 254 x 103/lB.
Pemeriksaan CT Scan Kepala
Kesan (16/10/2013) :1. Hidrosefalus Komunikan2. Infark lobus
temporal kanan3. Edema serebri
VIII. DIAGNOSIS1. Hidrosefalus komunikan post trauma kapitis 2.
Strabismus OD
IX. PLANNING A. Planning DiagnostikFunduskopiB. Planning terapi
:Pro VP ShuntC. Planning MonitoringMelakukan home visituntuk
mengevaluasi :1. Keluhan2. Vital sign3. Status neurologisD.
Planning EdukasiPenjelasan mengenai diagnosis, tindakan yang akan
dilakukan, serta prognosis penyakit pasien.
X. PROGNOSISDubia.
XI. FOLLOW UPPada tanggal 12 November 2013 dilakukan pemeriksaan
evaluasi post VP Shunt. Pada pemeriksaan ditemukan perbaikan klinis
yaitu pasien sudah tidak mengeluhkan nyeri kepala, pandangan kabur
dan penglihatan ganda, serta tidak ada strabismus OD. Namun, pasien
mengeluhkan nyeri perut di atas simfisis pubis yang muncul beberapa
hari setelah pasien menjalani operasi.
TINJAUAN PUSTAKA
I. TRAUMA KEPALAA. Definisi Trauma Kepala Trauma kepala adalah
trauma mekanik terhadap kepala baik secara langsung ataupun tidak
langsung yang menyebabkan gangguan fungsi neurologi yaitu gangguan
fisik, kognitif, fungsi psikososial baik temporer maupun permanen
(PERDOSSI, 2006).
B. AnatomiBerdasarkan ATLS (2004), anatomi yang bersangkutan
antara lain :1. Kulit Kepala (SCALP)Kulit kepala terdiri dari 5
lapisan yang disebut sebagai SCALP yaitu :a. Skin atau kulitb.
Connective Tissue atau jaringan penyambungc. Aponeurosis atau galea
aponeurotikad. Loose areolar tissue atau jaringan penunjang
longgare. Perikranium.2. Tulang TengkorakTulang tengkorak terdiri
dari kubah (kalvaria) dan basis kranii. Kalvaria khususnya di
bagian temporal adalah tipis, namun disini dilapisi oleh otot
temporal. Basis kranii berbentuk tidak rata sehinga dapat melukai
bagian dasar otak saat bergerak akibat proses akselerasi dan
deselerasi. 3. MeningenSelaput meningen menutupi seluruh permukaan
otak dan terdiri dari 3 lapisan yaitu : duramater, araknoid dan
piamater.4. OtakOtak manusia terdiri dari serebrum, serebelum, dan
batang otak. Serebrum terdiri atas hemisfer kanan dan kiri yang
dipisahkan oleh falks serebri yaitu lipatan duramater dari sisi
inferior sinus sagitalis superior. Batang otak terdiri dari
mesensefalon (mid brain), pons, dan medula oblongata. Serebelum
bertanggung jawab dalam fungsi koordinasi dan keseimbangan,
terletak dalam fosa posterior, berhubungan dengan medula spinalis,
batang otak, dan juga kedua hemisfer serebri.5. Cairan
SerebrospinalCairan serebrospinal (CSS) dihasilkan oleh pleksus
khoroideus dengan kecepatan produksi sebanyak 20 ml / jam. 6.
TentoriumTentorium serebeli membagi rongga tengkorak menjadi ruang
supra tentorial (terdiri atas fossa kranii anterior dan fossa
kranii media) dan ruang infratentorial (berisi fosa kranii
posterior).
C. Patofisiologi Trauma KepalaPada cedera kepala, kerusakan otak
dapat terjadi dalam dua tahap yaitu cedera primer dan cedera
sekunder. Cedera primer merupakan cedera pada kepala sebagai akibat
langsung dari suatu ruda paksa, dapat disebabkan oleh benturan
langsung kepala dengan suatu benda keras maupun oleh proses
akselerasi - deselerasi gerakan kepala (Israr dkk, 2009).Pada
trauma kepala, dapat timbul suatu lesi yang bisa berupa perdarahan
pada permukaan otak yang berbentuk titik - titik besar dan kecil,
tanpa kerusakan pada duramater, dan dinamakan lesi kontusio. Lesi
kontusio di bawah area benturan disebut lesi kontusio coup, di
seberang area benturan tidak terdapat gaya kompresi, sehingga tidak
terdapat lesi. Jika terdapat lesi, maka lesi tersebut dinamakan
lesi kontusio countercoup. Kepala tidak selalu mengalami akselerasi
linear, bahkan akselerasi yang sering dialami oleh kepala akibat
trauma kapitis adalah akselerasi rotatorik. Bagaimana caranya
terjadi lesi pada akselerasi rotatorik adalah sukar untuk
dijelaskan secara terinci. Tetapi faktanya ialah, bahwa akibat
akselerasi linear dan rotatorik terdapat lesi kontusio coup,
countercoup dan intermediate. Yang disebut lesi kontusio
intermediate adalah lesi yang berada di antara lesi kontusio coup
dan countercoup (Mardjono, 2008).Akselerasi - deselerasi terjadi
karena kepala bergerak dan berhenti secara mendadak dan kasar saat
terjadi trauma. Perbedaan densitas antara tulang tengkorak
(substansi solid) dan otak (substansi semi solid) menyebabkan
tengkorak bergerak lebih cepat dari muatan intrakranialnya.
Bergeraknya isi dalam tengkorak memaksa otak membentur permukaan
dalam tengkorak pada tempat yang berlawanan dari benturan
(countrecoup) (Israr dkk,2009).Kerusakan sekunder terhadap otak
disebabkan oleh siklus pembengkakan dan iskemia otak yang
menyebabkan timbulnya efek kaskade, yang efeknya merusak otak.
Cedera sekunder terjadi dari beberapa menit hingga beberapa jam
setelah cedera awal. Setiap kali jaringan saraf mengalami cedera,
jaringan ini berespon dalam pola tertentu yang dapat diperkirakan,
menyebabkan berubahnya kompartemen intrasel dan ekstrasel. Beberapa
perubahan ini adalah dilepaskannya glutamin secara berlebihan,
kelainan aliran kalsium, produksi laktat, dan perubahan pompa
natrium pada dinding sel yang berperan dalam terjadinya kerusakan
tambahan dan pembengkakan jaringan otak. Neuron atau sel - sel
fungsional dalam otak, bergantung dari menit ke menit pada suplai
nutrien yang konstan dalam bentuk glukosa dan oksigen, dan sangat
rentan terhadap cedera metabolik bila suplai terhenti. Cedera
mengakibatkan hilangnya kemampuan sirkulasi otak untuk mengatur
volume darah sirkulasi yang tersedia, menyebabkan iskemia pada
beberapa daerah tertentu dalam otak (Lombardo, 2003).
D. Klasifikasi Trauma KepalaBerdasarkan ATLS (2004) cedera
kepala diklasifikasikan dalam berbagai aspek. Secara praktis
dikenal 3 deskripsi klasifikasi, yaitu berdasarkan; mekanisme,
beratnya cedera, dan morfologi.1. Mekanisme Cedera KepalaCedera
otak dibagi atas cedera tumpul dan cedera tembus. Cedera tumpul
biasanya berkaitan dengan kecelakaan kendaraan bermotor, jatuh,
atau pukulan benda tumpul. Cedera tembus disebabkan oleh luka
tembak ataupun tusukan.2. Beratnya Cedera KepalaGlasgow Coma Scale
(GCS) digunakan secara umum dalam deskripsi beratnya penderita
cedera otak. Penderita yang mampu membuka kedua matanya secara
spontan, mematuhi perintah, dan berorientasi mempunyai nilai GCS
total sebesar 15, sementara pada penderita yang keseluruhan otot
ekstrimitasnya flaksid dan tidak membuka mata ataupun tidak
bersuara maka nilai GCS-nya minimal atau sama dengan 3. Nilai GCS
sama atau kurang dari 8 didefinisikan sebagai koma atau cedera otak
berat. Berdasarkan nilai GCS, maka penderita cedera otak dengan
nilai GCS 9-13 dikategorikan sebagai cedera otak sedang dan
penderita dengan nilai GCS 14-15 dikategorikan sebagai cedera otak
ringan.
3. Morfologia. Fraktur KraniumMenurut Japardi (2004),
klasifikasi fraktur tulang tengkorak sebagai berikut;i. Gambaran
fraktur, dibedakan atas linier, diastase, comminuted, pressedii.
Lokasi anatomis, dibedakan atas kalvarium, basis cranii dan keadaan
luka. b. Lesi Intra Kraniali. Cedera otak difusii. Perdarahan
epiduraliii. Perdarahan subduraliv. Kontusio dan perdarahan
intraserebral
E. Pemeriksaan Awal pada Trauma KepalaPemeriksaan pada trauma
kepala menurut Greaves dan Johnson (2002) antara lain :1.
Pemeriksaan kesadaranPemeriksaan kesadaran paling baik dicapai
dengan menggunakan Glasgow Coma Scale (GCS). GCS merupakan sistem
scoring yang didasari pada tiga pengukuran, yaitu pembukaan mata,
respon motorik dan respon verbal. Skor dari masing - masing
komponen dijumlahkan dan memberikan total nilai GCS. Nilai terendah
adalah 3 sedangkan nilai tertinggi adalah 15.Menurut Japardi
(2004), GCS bisa digunakan untuk mengkategorikan pasien menjadia.
GCS < 9 : pasien koma dan cedera kepala beratb. GCS 9 13 :
cedera kepala sedangc. GCS > 13 : cedera kepala ringan2.
Pemeriksaan PupilPupil harus diperiksa untuk mengetahui ukuran dan
reaksi terhadap cahaya. Perbedaan diameter antara dua pupil yang
lebih besar dari 1 mm adalah abnormal. Pupil yang terfiksir untuk
dilatasi menunjukkan adanya penekanan terhadap saraf okulomotor
ipsilateral. Respon yang terganggu terhadap cahaya bisa merupakan
akibat dari cedera kepala.3. Pemeriksaan NeurologisPemeriksaan
neurologis dilaksanakan terhadap saraf kranial dan saraf perifer.
Tonus, kekuatan, koordinasi, sensasi dan refleks harus diperiksa
dan semua hasilnya harus dicatat
F. Prosedur Imaging dalam Diagnosa Trauma Kepala1. Foto Polos
kepalaIndikasi foto polos kepala tidak semua penderita dengan
cedera kepala diindikasikan untuk pemeriksaan kepala karena masalah
biaya dan kegunaan yang sekarang makin ditinggalkan. Jadi indikasi
meliputi jejas lebih dari 5 cm, luka tembus (tembak / tajam),
adanya korpus alineum, deformitas kepala (dari inspeksi dan
palpasi), nyeri kepala yang menetap, gejala fokal neurologis,
gangguan kesadaran. Sebagai indikasi foto polos kepala meliputi
jangan mendiagnosa foto kepala normal jika foto tersebut tidak
memenuhi syarat, Pada kecurigaan adanya fraktur depresi maka
dillakukan foto polos posisi AP / lateral dan oblique (Haryo,
2008).2. CT Scan KepalaIndikasi CT Scan adalah : a. Nyeri kepala
menetap atau muntah - muntah yang tidak menghilang setelah
pemberian obat - obatan analgesia / anti muntah.b. Adanya kejang -
kejang, jenis kejang fokal lebih bermakna terdapat lesi
intrakranial dibandingkan dengan kejang general.c. Penurunan GCS
lebih 1 poin dimana faktor - faktor ekstrakranial telah
disingkirkan (karena penurunan GCS dapat terjadi karena misal
terjadi syok, febris, dll).d. Adanya lateralisasi.e. Adanya fraktur
impresi dengan lateralisasi yang tidak sesuai, misal fraktur
depresi temporal kanan tapi terdapat hemiparese / plegi kanan.f.
Luka tembus akibat benda tajam dan pelurug. Perawatan selama 3 hari
tidak ada perubahan yang membaik dari GCS.h. Bradikardia (denyut
nadi kurang 60x / menit).i. Mengidentifikasi luasnya lesi,
perdarahan, determinan ventrikuler, dan perubahan jaringan otak.
Catatan : Untuk mengetahui adanya infark / iskemia jangan dilakukan
pada 24 - 72 jam setelah injuri (Haryo, 2008).3. Magnetic Resonance
Imaging (MRI) KepalaMagnetic Resonance Imaging (MRI) juga sangat
berguna didalam menilai prognosa. MRI mampu menunjukkan lesi di
substantia alba dan batang otak yang sering luput pada pemeriksaan
CT Scan. Ditemukan bahwa penderita dengan lesi yang luas pada
hemisfer, atau terdapat lesi batang otak pada pemeriksaan MRI,
mempunyai prognosa yang buruk untuk pemulihan kesadaran, walaupun
hasil pemeriksaan CT Scan awal normal dan tekanan intrakranial
terkontrol baik (Sastrodiningrat, 2007).4. Pemeriksaan Proton
Magnetic Resonance Spectroscopy(MRS)Pemeriksaan Proton Magnetic
Resonance Spectroscopy (MRS) menambah dimensi baru pada MRI dan
telah terbukti merupakan metode yang sensitif untuk mendeteksi
Cedera Akson Difus (CAD). Mayoritas penderita dengan cedera kepala
ringan sebagaimana halnya dengan penderita cedera kepala yang lebih
berat, pada pemeriksaan MRS ditemukan adanya CAD di korpus kalosum
dan substantia alba. Kepentingan yang nyata dari MRS di dalam
menjajaki prognosa cedera kepala berat masih harus ditentukan,
tetapi hasilnya sampai saat ini dapat menolong menjelaskan
berlangsungnya defisit neurologik dan gangguan kognitif pada
penderita cedera kepala ringan (Sastrodiningrat, 2007).
G. PenatalaksanaanPenatalaksanaan awal penderita cedara kepala
pada dasarnya memikili tujuan untuk memantau sedini mungkin dan
mencegah cedera kepala sekunder serta memperbaiki keadaan umum
seoptimal mungkin sehingga dapat membantu penyembuhan sel - sel
otak yang sakit. Penatalaksanaan cedera kepala tergantung pada
tingkat keparahannya, berupa cedera kepala ringan, sedang, atau
berat (Haryo, 2008). Prinsip penanganan awal meliputi survei primer
dan survei sekunder. Dalam penatalaksanaan survei primer hal - hal
yang diprioritaskan antara lain airway, breathing, circulation,
disability, dan exposure, yang kemudian dilanjutkan dengan
resusitasi. Pada penderita cedera kepala khususnya dengan cedera
kepala berat survei primer sangatlah penting untuk mencegah cedera
otak sekunder dan menjaga homeostasis otak(ATLS, 2004). Tidak semua
pasien cedera kepala perlu dirawat inap di rumah sakit. Indikasi
rawat antara lain:1. Amnesia post traumatika jelas (lebih dari 1
jam)2. Riwayat kehilangan kesadaran (lebih dari 15 menit)3.
Penurunan tingkat kesadaran4. Nyeri kepala sedang hingga berat5.
Intoksikasi alkohol atau obat6. Fraktura tengkorak7. Kebocoran CSS,
otorrhea atau rhinorrhea8. Cedera penyerta yang jelas9. Tidak punya
orang serumah yang dapat dipertanggungjawabkan10. CT scan abnormal
(Israr dkk, 2009).
Terapi medikamentosa pada penderita cedera kepala dilakukan
untuk memberikan suasana yang optimal untuk kesembuhan. Hal - hal
yang dilakukan dalam terapi ini dapat berupa pemberian cairan
intravena, hiperventilasi, pemberian manitol, steroid, furosemid,
barbiturat dan antikonvulsan (ATLS, 2004). Pada penanganan beberapa
kasus cedera kepala memerlukan tindakan operatif. Hasil segera yang
ingin dicapai dari operasi adalah kembalinya pergeseran garis
tengah, kembalinya tekanan intrakranial ke dalam batas normal,
kontrol pendarahan dan mencegah perdarahan ulang. lndikasi operasi
pada cedera kepala harus mempertimbangkan status neurologis, status
radiologis dan pengukuran tekanan intrakranial (Japardi,
2004)Secara umum indikasi operasi pada hematoma intrakranial : 1.
Massa hematoma kira - kira 40 cc.2. Masa dengan pergeseran garis
tengah lebih dari 5 mm.3. EDH dan SDH ketebalan lebih dari 5 mm dan
pergeseran garis tengah dengan GCS 8 atau kurang. 4. Kontusio
cerebri dengan diameter 2 cm dengan efek massa yang jelas atau
pergeseran garis tengah lebih dari 5 mm. 5. Pasien - pasien yang
menurun kesadarannya dikemudian waktu disertai berkembangnya tanda
- tanda lokal dan peningkatan tekanan intraknial lebih dari 25 mmHg
(Japardi, 2004).
lndikasi Burr hole eksplorasi dilakukan bila pemeriksaan CT Scan
tidak memungkinkan dan didapat : 1. Dilatasi pupil ipsilateral 2.
Hemiparese kontralateral 3. Lucid interval / penurunan GCS
tiba-tiba (Japardi, 2004).
Indikasi operasi pada fraktur depres : 1. Lebih dari satu tabula
2. Adanya defisit yang berhubungan dengan bagian otak di bawahnya
3. LCS leakage 4. Fraktur depres terbuka 5. Preventif growing
fracture pada anak (Japardi, 2004).
H. Kelainan dan Komplikasi Trauma Kepala1. Tekanan Intrakranial
(TIK) Meninggi Pada trauma kepala, tekanan intrakranial dapat
meninggi pada perdarahan selaput otak (hematoma epidural, hematoma
subdural, dan hematoma subaraknoidal), perdarahan di dalam jaringan
otak (kontusio serebri berat, laserasio serebri, hematoma serebri
besar, dan perdarahan ventrikel), dan kelainan pada parenkim otak
(edema serebri berat). Tekanan pada vena jugularis menaikkan TIK
yang berlangsung sementara saja. Demikian pula batuk, bersin,
mengejan yang mengakibatkan tekanan di dalam sistem vena meningkat.
Pada hipoksia terjadi dilatasi arteriol yang meningkatkan volume
darah di otak sehingga meningkatkan TIK. Pada Trauma kepala yang
dapat meningkatkan TIK adalah hematoma yang besar (lebih dari
50cc), edema yang berat, kongesti yang berat dan perdarahan
subarakhnoidal yang mengganggu aliran cairan otak di dalam ruangan
subarakhnoidea. Bila TIK meninggi, mula - mula absorbsi cairan otak
meningkat kemudian bagian - bagian sinus venosus di dalam durameter
tertekan. Bila massa desak ruangan berkembang cepat dan melebihi
daya kompensasi maka TIK akan meningkat dengan tajam. Arteri -
arteri piaarahnoidea melebar. Bila autoregulasi baik, aliran darah
akan dipertahankan pada taraf normal, akibatnya volume darah otak
bertambah. Bila TIK terus meninggi dengan cepat, aliran darah akan
menurun. Bila kenaikan TIK sangat lambat seperti pada neoplasma
jinak otak, kemungkinan TIK tidak meninggi banyak karena selain
penyerapan otak yang meningkat, otak akan mengempes dan mengalami
artrofi ditempat yang tertekan yang dapat menetralisir volume massa
desak ruang yang bertambah.2. Komplikasi Infeksi pada Trauma
KepalaKemungkinan terjadinya infeksi sekunder pada trauma kapitis
meningkat bila duramater robek terutama sekali bila terjadi di
daerah basal yang letaknya berdekatan dengan sinus - sinus tulang
dan nasofaring. Keadaan ini juga bisa terjadi bila ada fraktur
basis kranii.3. Lesi akibat Trauma Kepala pada Tingkat Sel Lesi
dapat mengenai semua jenis sel di dalam jaringan otak yaitu neuron
dengan dendrit dan aksonnya, astrosit, oligodendrosit, sel ependim
maupun sel -sel yang membentuk dinding pembuluh darah. Bila badan
sel neuron rusak, maka seluruh dendrit dan aksonnya juga akan
rusak. Kerusakan dapat mengenai percabangan dendrit dan sinaps -
sinapsnya, dapat pula mengenai aksonnya saja. Dengan kerusakan ini
hubungan antar neuron pun akan terputus. Lesi sekunder juga dapat
mengakibatkan kerusakan - kerusakan demikian.4. Epilepsi Pasca
Trauma KepalaPada sebagian penderita trauma kepala dapat terjadi
serangan kejang. Serangan ini dapat timbul dini pada minggu -
minggu pertama sesudah trauma, mungkin pula timbul berbulan bulan
sesudahnya. Epilepsi kasip cenderung terjadi pada pasien yang
mengalami serangan kejang dini, fraktur impresi dan hematoma akut.
Epilepsi juga lebih sering terjadi pada trauma yang menembus
durameter. Lesi di daerah sekitar sulkus sentralis cenderung
menimbulkan epilepsi fokal.5. Hidrosefalus Post Trauma
KepalaHidrosefalus pasca trauma/posttraumatic hydrocephalus (PTH)
merupakan komplikasi yang sering terjadi dan serius yang mengikuti
traumatic brain injury (TBI). Berdasarkan lokasi penyebab obstruksi
dibagi menjadi komunikan dan nonkomunikan. Kebanyakan kasus PTH
adalah hidrosefalus komunikan dan terdapat pembesaran khas yang
melibatkan semua bagian sistem ventrikel,. Produk darah, protein
dan fibrosis ikut dengan aliran CSS dan diabsorpsi ke dalam aliran
darah melalui granulasio araknoid. Hidrosefalus nonkomunikan
terjadi sekunder akibat penyumbatan pada bagian proksimal dari
granulasio araknoid sehingga sistem ventrikel tidak berhubungan
dengan vili araknoid yang mengakibatkan CSS terakumulasi di
ventrikel dan ventrikel membesar (Anurugo, 2008 ; Pangilinan, 2013
; Long, 2012 ; Saanin, 2010)..PTH mungkin dijelaskan sebagai
dilatasi ventrikuler tanpa pembesaran sulkal, berkaitan dengan
sindroma klinis yang mungkin beragam dari koma dalam hingga
gambaran yang khas dari hidrosefalus tekanan normal : demensia,
ataksia, dan inkontinensia urin. PTH harus ditentukan baik dengan
kriteria radiologis maupun neurologis, karena setiap kelainan harus
ada untuk menegakkan diagnosis. PTH sangat berdampak pada
morbiditas setelah TBI dan dapat mengakibatkan meningkatkan
mortalitas jika tidak dikenali dan diobati (Pangilinan, 2013 ;
Long, 2012).
II. HIDROSEFALUSA. Definisi HidrosefalusHidrosefalus berasal
dari kata hidro yang berarti air dan chepalon yang berarti kepala.
Hidrosefalus merupakan penumpukan cairan serebrospinal (CSS) secara
aktif yang menyebabkan dilatasi sistem ventrikel otak (De Jong,
2004).Hidrosefalus adalah terjadinya pengumpulan cairan otak secara
berlebihan di dalam sistem ventrikel yang normal sehingga
menyebabkan pelebaran sistem ventrikel dan terjadi peninggian
tekanan (Ashari, 2011).
B. Epidemiologi PTHOnset PTH bervariasi dari 2 minggu hingga
tahunan setelah TBI. Mazzini dkk, menemukan bahwa 50% pasien dengan
postacute phase severe TBI mengalami PTH tapi hanya 11% yang
membutuhkan pembedahan. Studi Kim dkk, mengikuti 789 pasien yang
menderita TBI, didapatkan 129 pasien yang mengalami PTH (16,3%). 64
pasien dengan PTH membutuhkan shunting. Jika PTH tidak dikenali dan
diobati, akan meningkatkan angka morbiditas dan mortalitas pasien.
Ras dan jenis kelamin tidak berpengaruh terhadap kejadian PTH.
Peningkatan usia tampak meningkatkan resiko kejadian PTH
(Pangilinan, 2013). Pemeriksaan CT Scan selama tiga bulan setelah
cedera kepala, Gardeur mendapatkan pembesaran ventrikuler pada 78%
pasien. Dongen dan Braakman melaporkan bukti atrofi serebral dari
CT scan sebanyak 86% pada pasien yang diamati satu hingga empat
tahun setelah cedera kepala tertutup yang berakibat koma paling
tidak enam minggu. Levin mempelajari area ventrikel lateral pada CT
Scan, dan mendapatkan pembesaran pada 72% kasus (Saanin,
2010).Penelitian Nor, dkk, menemukan bahwa >50% pasien PTH
terjadi setelah mengalami cedera otak berat dan 78% penyebab trauma
ini adalah kecelakaan kendaraan bermotor. Areal kaen dkk, menemukan
bahwa 31,8% pasien yang mengalami interhemispheric subdural hygroma
pada CT ulangan akan berkembang menjadi PTH ; 38,6% pasien dengan
traumatic subarachnoid haemorrhage akan berkembang menjadi PTH ;
40,9% pasien dengan perdarahan intraventrikel berkembang menjadi
PTH ; dan 45,5% pasien dengan fraktur basis kranii berkembang
menjadi PTH (Nor, et al., 2013).
C. Anatomi dan Fisiologi NormalSebagian besar (80 - 90%) CSS
dihasilkan oleh pleksus khoroidalis pada ventrikel lateralis
sedangkan sisanya (10-20%) di ventrikel III, ventrikel IV, juga
melalui difusi pembuluh-pembuluh ependim dan piamater. Kecepatan
pembentukan CSS 0,3 - 0,4 cc / menit atau antara 0,2 - 0,5% volume
total per menit dan ada yang menyebut antara 14 - 38 cc / jam.
Sekresi total CSS dalam 24 jam adalah sekitar 500 - 600 cc,
sedangkan jumlah total CSS adalah 150 cc, berarti dalam 1 hari
terjadi pertukaran atau pembaharuan dari CSS sebanyak 4 - 5 kali /
hari. Pada neonatus jumlah total CSS berkisar 20 - 50 cc dan akan
meningkat sesuai usia sampai mencapai 150 cc pada orang dewasa
(Sri, 2006).Setelah CSS diproduksi oleh pleksus khoroideus pada
ventrikel lateralis, kemudian mengalir ke ventrikel III melalui
foramen Monro. Selanjutnya melalui akuaduktus serebri (Sylvius)
menuju ventrikel IV. Dari ventrikel IV sebagian besar CSS dialirkan
melalui foramen Luschka dan Magendie menuju ruang subarakhnoid,
setinggi medula oblongata dan hanya sebagian kecil CSS yang menuju
kanalis sentralis (Sri, 2006).Dalam ruang subarakhnoid CSS
selanjutnya menyebar ke segala arah untuk mengisi ruang
subarakhnoid, serebral maupun spinal. Kecepatan aliran CSS ini
dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain tekanan CSS, tekanan
dalam sinus durameter dalam sistem vena kortikal dan tekanan pada
vili arakhnoid (Sri, 2006).Absorpsi CSS dilakukan oleh vili - vili
arakhnoid yang jumlahnya sangat banyak pada permukaan hemisferium
serebri, basis serebri dan sekeliling radiks nervi spinalis. Vili
arakhnoid yang besar dikenal sebagai granulasi arakhnoid pacchioni
yang merupakan jonjot piaarakhnoid yang luas bersama lapisan dura
yang menipis dan menonjol ke dalam ruang - ruang sinus sagitalis
superior. Vili arakhnoid terdiri dari anyaman - anyaman yang berupa
saluran. Anyaman ini bekerja sebagai katup yang memungkinkan adanya
aliran CSS yaitu dari ruang subarakhnoid menuju ke dalam aliran
darah vena pada sinus sagitalis superior. Apabila tekanan CSS
melebihi tekanan vena maka katup akan membuka dan mengalirkan CSS
ke sinus. Akan tetapi apabila tekanan vena yang meningkat maka vili
arakhnoid akan mengalami kompresi dan katup akan menutup. Perlu
diketahui bahwa kemampuan vili - vili arakhnoid mengabsorpsi CSS
adalah 2 - 4 kali lebih besar dari produksi CSS normal (Sri,
2006).
Gambar 1. Sirkulasi CSS
Pada orang dewasa, berikut adalah keadaan yang ditemui pada PTH
(Pangilinan, 2013) :1. Tekanan intrakranial normal kira - kira 8
mmHg2. Jumlah volume intrakranial sekitar 1700 mL.3. Jumlah volume
cairan serebrospinal (CSS) sekitar 104 mL.
Berdasarkan volumenya, intrakranial terdiri dari (Pangilinan,
2013) :1. Parenkim otak sekitar 80%2. Cairan serebrospinal sekitar
10%3. Darah sekitar 10%
D. Patogenesis dan Klasifikasi Hidrosefalus Post Trauma1.
PatogenesisPTH dapat terjadi akut dan kronis, terjadi dalam waktu 3
- 8 minggu setelah mengalami cedera. Ventrikel dapat membesar
dengan cepat. Hidrosefalus dapat terjadi karena obstruksi aliran
CSS di dalam ventrikel yang menyebabkan hidrosefalus obstruktif
atau karena sumbatan granulasio araknoid yang menyebabkan
hidrosefalus komunikan. Hidrosefalus obstruksif akut biasa terjadi
pada pasien yang mengalami perdarahan intraventrikel, kontusio atau
hematoma fossa posterior yang dengan mudah dapat menyumbat
ventrikel IV, menyebakan hidrosefalus obstruktif. Bekuan
supratentorial dapat menyebabkan hidrosefalus akut dari ventrikel
kontralateral. PTH kronik dapat diakibatkan oleh meningitis post
trauma atau kraniektomi dekompresif. Namun, patogenesis
hidrosefalus akibat kraniektomi dekompresif masih tidak jelas.
Hidrosefalus atau ventrikulomegali dapat juga terjadi akibat trauma
lahir. Cedera otak dan pendarahan intraventrikel paling sering
terjadi pada bayi preterm (Mahapatra, 2012)
Tabel 1. Etiologi PTH (Mahapatra, 2012)Obstruktif Komunikan
Akut IVHHematoma fossa posterior SAH
Kronis Gliosis of aquaductVentriculitiasis due to EVDPost
craniectomyMeningitis SAH
Perdarahan subaraknoid menyumbang 1 dari 3 kasus hidrosefalus
pada orang dewasa. Vili koroidalis disumbat oleh perdarahan, tetapi
masih ada hubungan antara ventrikel dan ruang subarachnoid sehingga
terbentuklah hidrosefalus komunikan. Pada perdarahan subarakhnoid
post trauma terjadi inflamasi dan eksudasi yang mengakibatkan
sumbatan pada akuaduktus Sylvius atau foramina pada ventrikel IV.
Sumbatan pada akuaduktus Sylvius akan menimbulkan pelebaran kedua
ventrikel lateralis dan ventrikel III. Sumbatan pada ventrikel IV
akan menyebabkan pelebaran kedua ventrikel lateralis, dan ventrikel
III dan akuaduktus serebri (Pangilinan, 2013 ; Mahapatra,
2012.Kelainan yang terjadi sebagai akibat dari timbunan CSS
tergantung pada saat terjadinya. Apabila terjadinya penimbunan CSS
setelah sutura menutup sempurna maka akan berlaku hipotesis Monro -
Kellie, dimana ruang kranium yang dibatasi oleh tulang - tulang
tengkorak bersama duramaternya yang relatif tidak elastis akan
membentuk suatu bangunan yang kaku. Apabila terjadi peningkatan
volume salah satu isinya (jaringan otak, darah dan CSS) akan
meningkatkan tekanan intrakranial. Apabila terjadi peningkatan yang
relatif kecil dari volume CSS tidak akan segera diikuti dengan
peningkatan tekanan intrakranial, sebab hal ini dapat dikompensasi
melalui beberapa cara, yaitu : a) Pengurangan volume darah
intrakranial terutama dalam vena - vena dan sinus - sinus
durameter, b) Peregangan dari durameter dan c) Elastisitas dari
otak. Apabila kapasitas mekanisme kompensasi tersebut terlewati,
maka tekanan intrakranial akan meningkat (Sri, 2006).2.
KlasifikasiAdam dan kawan - kawan lebih menonjolkan istilah tension
hydrocephalus, suatu keadaan dimana terdapat obstruksi aliran CSS
disuatu tempat antara ventrikel lateral dengan ruang subarakhnoid
serebri. Obstruksi dapat terjadi di dalam maupun di luar sistem
ventrikel, sehingga ada yang menyebut sebagai hidrosefalus internal
dan eksternal. Berikut adalah klasifikasi menurut Adam : a.
Hidrosefalus Tekanan TinggiMerupakan hidrosefalus yang
mengakibatkan peningkatan tekanan intrakranial, yang biasanya
disebabkan oleh obstruksi pada aliran CSS, sehingga terjadi
pendesakan dari hemisfer serebri (Sri, 2006).b. Hidrosefalus
Tekanan NormalHidrosefalus ini tidak jelas sebabnya, tetapi ada
pendapat mengatakan bahwa keadaan ini bisa terjadi akibat adanya
obstruksi parsial dari vili araknoidalis. Hidrosefalus ini sering
menyertai perdarahan subaraknoid, meningitis, trauma dan reaksi
radiasi, dimana proses - proses di atas tidak lagi progresif.
Hidrosefalus jenis ini kemungkinan diawali oleh peningkatan
sementara tekanan CSS akibat hidrosefalus tersebut, dan diikuti
segera oleh pelebaran ventrikel. Dengan pembesaran ventrikel
tersebut tekanan CSS kembali menuju normal karena pertambahan
volume tersebut bisa diimbangi dengan pelebaran ventrikel dan
proses resorpsi juga dapat menyesuaikan diri. Namun proses desak
ruang yang terjadi akibat pembesaran ventrikel tersebut tetap
terjadi sehingga mengakibatkan manifestasi klinis yang muncul
secara progresif pada pasien dengan hidrosefalus tipe ini.
Manifestasi itu antara lain cara jalan yang abnormal, inkontinensia
urin dan demensia (Harsono, 2008; Sri, 2006).
E. Manifestasi Hidrosefalus Post TraumaHidrosefalus pasca trauma
(PTH) manifestasinya sering tidak jelas / atipikal sehingga sering
terlewatkan. Hal penting yang perlu dicurigai untuk diagnosis
antara lain :1. Jika akut, pasien mungkin datang dalam keadaan koma
dan defisit neurologis fokal lainnya. Early post injury,
hidrosefalus akut dapat muncul dengan gejala peningkatan TIK
seperti sakit kepala, mual, muntah, letargi atau penurunan
kesadaran. Tanda - tandanya dapat berupa papil edema, bradikardi
dan hipoventilasi. 2. Jika kronis, pasien mungkin menunjukkan
penurunan status fungsional yang bertahap atau menunjukkan
kegagalan perbaikan (Pangilinan, 2013).
PTH mungkin muncul dengan berbagai cara. Seperti yang dilaporkan
oleh Kishore, sebagian besar sindroma muncul dalam dua minggu sejak
cedera. Ada laporan kasus tentang pembesaran ventrikular dalam
tujuh jam sejak cedera, berakibat pemburukan yang cepat dari
tingkat kesadaran serta herniasi dini. Namun tampilan yang lebih
lambat mungkin saja terjadi. Trauma yang sudah lama lebih sering
dilaporkan pada kasus hidrosefalus tekanan normal (NPH) (Saanin,
2010).PTH mungkin tampil sebagai NPH klasik, dengan demensia,
ataksia, dan inkontinensia urin. Namun perubahan tingkat kesadaran
dan bahkan koma mungkin terjadi sebagai bagian dari sindroma.
Karena cedera kepala berat sering berakibat disfungsi neurologis
luas yang berat, gambaran tersebut mungkin sulit untuk dipisahkan
dari akibat cedera otak pada fase akuta. Pemantauan TIK serta CT
Scan serial berguna pada keadaan ini. Pada fase pemulihan yang
lebih kronik, perburukan tingkat kesadaran, penurunan kapasitas
fungsional, atau semua gambaran NPH harus dianggap sebagai
pertanda. Manifestasi tidak khas, seperti masalah emosi, respon
ekstensor bilateral, kejang, dan spastisitas tungkai juga pernah
dilaporkan (Saanin, 2010).
Pemeriksaan Fisik pada PTHa. Pemeriksaan neurologis lengkap
harus dilakukan dan diulang untuk menilai perubahan dari waktu ke
waktu.b. PTH dapat menunjukkan gejala - gejala peningkatan tekanan
intrakranial seperti edema papil, defisit neurologis fokal, atau
koma. c. Berdasarkan lokasi penyebab obstruksi dibagi menjadi
komunikan dan nonkomunikan. Umumnya, PTH muncul sebagai
hidrosefalus komunikans dengan temuan berikut: a) Papil edema,
akibat peningkatan tekanan intrakranial dan transmisi melalui ruang
subarachnoid, b) Perubahan kognitif, termasuk penurunan memori,
penurunan atensi dan iritabilitas (Pangilinan, 2013).
F. Prosedur DiagnostikSelain dari gejala - gejala klinik,
keluhan pasien maupun dari hasil pemeriksaan fisik dan psikis,
untuk keperluan diagnostik hidrosefalus dilakukan pemeriksaan -
pemeriksaan tertentu berdasarkan tipenya:1. Pemeriksaan
Laboratoriuma. Pemeriksaan darah lengkap untuk mengevaluasi infeksi
dan anemia.b. Kultur dan analisis urin untuk mengevaluasi infeksi
traktus urinarius.c. Profil metabolic mengevaluasi ketidaknormalan
elektrolit, termasuk cerebral salt wasting, hipoglikemia /
hiperglikemia dan ensefalopati (uremik atau hepatik).d. TSH, fT4
untuk mengevaluasi hipotiroid atau hipertiroid.e. Analisa gas darah
untuk mengevaluasi ketidakseimbangan asam / basa (Pangilinan,
2013).2. CT Scan KepalaCT Scan kepala tanpa kontras merupakan salah
satu modalitas diagnostik yang paling sering digunakan. CT scan
kepala dapat memperlihatkan secara akurat bentuk dan ukuran dari
ventrikel, adanya gambaran perdarahan, kalsifikasi, kista, dan alat
shunt. CT scan juga dapat memperlihatkan dengan jelas tanda - tanda
peningkatan tekanan intrakranial seperti hilangnya gambaran sulkus
cerebri, hilangnya gambaran ruang subaraknoid di konveksitas,
inhibisi dari cairan cerebrospinal di substansia alba
periventrikel. Gambaran ini yang membedakan hidrosefalus dengan
ventrikulomegali karena atrofi cerebri (tidak terdapat tanda
peningkatan tekanan intrakranial) (Ashari, 2011 ; Sri, 2006).Adanya
pembesaran sistem ventrikel yang progresif pada pengulangan CT Scan
merupakan kunci untuk diagnosis PTH. Ventrikulomegali dilaporkan
sebanyak 72% pada pasien severe TBI. Pada PTH, konfigurasi
ventrikel memperlihatkan adanya pembesaran tanduk temporal
(temporal horn), bentuk tanduk frontal (frontal horn) yang cembung,
pelebaran diameter tanduk frontal dan lokasi tanduk frontal yang
lebih garis tengah. Pembesaran ventrikel ini juga menyebb\abkan
hilangnya sulkus serebralis (Long, 2012).Pada PTH, CSS merembes
melalui garis ependimal parenkim dan menyebabkan edema
interstisial. Cairan transependimal ini terlihat lusen pada CT Scan
dan lebih jelas pada T2 signal MRI (Long, 2012).Kishore menggunakan
kriteria CT scan untuk menentukan hidrosefalus :a. Tampilan tanduk
frontal ventrikel lateral yang distensi; b. Pembesaran tanduk
temporal dan ventrikel ketiga;c. Sulsi normal atau tak ada; dand.
Bila ada, pembesaran sisterna basal dan ventrikel keempat (Saanin,
2010). 3. MRIMRI merupakan pemeriksaan terpilih untuk meneliti
penyebab anatomis yang mendasari hidrosefalus. Pemeriksaan ini
dapat memperlihatkan gambaran anatomis otak dan lesi intrakranial
(tumor, vaskuler) dengan lebih baik. Aliran cepat yang melewati
aquaduktus Sylvii dapat dideteksi sebagai penurunan signal atau
flow void dalam aquaduktus Sylvii pada pasien hidrosefalus karenan
penurunan komplians dinding ventrikel III selama sistol (Ashari,
2011 ; Pangilinan, 2013 ; Long, 2012).PTH mungkin muncul sebagai
NPH klasik, pada MRI didapatkan gambaran sebagai berikut :a.
Pembesaran ventrikel yang tidak sesuai dengan atrofi sulkal,
seperti yang ditunjukkan pada gambar di bawah ini. b.
Hipersensitivitas periventrikular sangat prominen/mencolok sesuai
dengan aliran CSS transependimal CSF. Juga ditunjukkan pada gambar
di bawah ini
T2-weighted MRI showing dilatation of ventricles out of
proportion to sulcal atrophy in a patient with normal pressure
hydrocephalus. The arrow points to transependymal flow.
c. Penyerapan CSS terutama di akuaduktus dan ventrikel ketiga,
yang juga disebut jet sign (tampak akuaduktus dan ventrikel ketiga
yang gelap pada T2-weighted image, mengingat gambaran CSS itu
terang).d. Gambaran penipisan dan elevasi corpus callosum pada
sagital image.e. Di sekitar frontal horn, tampak dilatasi ventrikel
(Dalvi, 2013).
Untuk menentukan diagnosis NPH, MRI harus menunjukkan indeks
Evan minimal 0,3. Indeks Evan didefinisikan sebagai lebar ventrikel
maksimal frontal horn dibagi transversal tulang tengkorak diukur
dari bagian dalam. Dikatakan ventrikulomegali jika nilainya lebih
dari atau sama dengan 0,3. Selain itu, harus terdapat satu atau
lebih tanda di bawah ini :a. Temporal horn enlargementb.
Periventricular signal changesc. Periventricular edemad. Aqueductal
/ fourth ventricular flow void (Dalvi, 2013).
4. Radionuclide CisternographyRadioiodinated serum albumin
(RISA) diinjeksikan ke dalam ruang subarachnoid melalui pungsi
lumbal (LP) yang normalnya dapat dideteksi di dalam cisterna magna,
cisterna basalis dan ruang subarakhnoid subtentorial dalam waktu 6
jam, dengan sedikit akumulasi di dalam sistem ventrikel. Pada NPH,
RISA terakumulasi di dalam sistem ventrikel dengan keterlambatan
difusi periserebral (Pangilinan, 2013).
G. TatalaksanaSebelum pengobatan PTH, kondisi seperti infeksi,
anemia, hipoksia, gangguan kejang, uremia, dan ensefalopati harus
disingkirkan atau ditangani. Jika dicurigai adanya PTH, evaluasi
bedah saraf yang cepat sangat dianjurkan. Prinsip pengobatan pasien
dengan hidrosefalus tergantung atas dua hal yakni ada atau tidaknya
fasilitas bedah saraf di rumah sakit tempat pasien dirawat dan
gawat atau tidaknya pasien. Pengobatan PTH relative sederhana. VP
shunt adalah prosedur pilihan pada kasus hidrosefalus obstruktif.
Pada hidrosefalus komunikan, pungsi lumbal berulang atau
lumboperitoneal shunt memberikan hasil yang cukup bagus (Mahapatra,
2012 ;Pangilinan, 2013 ; Sri, 2006 ; Rokhamm, 2004).1. Terapi
MedikamentosaDapat dicoba pada pasien yang tidak gawat, terutama
pada pusat - pusat kesehatan dimana sarana bedah saraf tidak ada.
Tidak terdapat terapi medis yang dapat mengobati hidrosefalus
secara efektif. Pengelolaan hidrosefalus adalah mengurangi tekanan
intrakranial (TIK) dan mengkoreksi faktor - faktor yang menyebabkan
peningkatan TIK. Elevasi kepala dapat membantu mengurangi tekanan,
serta untuk menjaga tekanan darah darah normal. Obat dengan efek
osmotik (seperti manitol) atau yang mengurangi produksi CSS
(seperti acetazolamide) mungkin memiliki nilai yang terbatas. Oleh
karena itu, obat - obatan mungkin tidak memainkan peran utama dalam
pengobatan PTH. Bila tidak ada perubahan setelah satu minggu pasien
diprogramkan untuk operasi. Obat - obatan yang sering dipakai untuk
terapi ini adalah (Ashari, 2011 ; Pangilinan, 2013 ; Sri, 2006) :a.
Asetazolamid Asetazolamid (penghambat enzim karbonik anhidrase)
dapat mengurangi produksi cairan otak. Dosisnya dapat mencapai 100
mg / kg dan untuk mencapai efektivitas penurunan aliran
serebrospinal bermakna dibutuhkan penghambatan 99% karbonik
anhidrase. Cara pemberian dan dosis : Per oral, 2 - 3 x 125 mg /
hari dosis ini dapat ditingkatkan maksimal 1.200 mg / hari (Ashari,
2011 ;Sri, 2006).b. FurosemidMekanisme aksinya tidak diketahui,
tetapi diduga dengan mengurangi cairan ekstraselular di otak. Cara
pemberian dan dosis : Per oral, 1,2 mg / kg, 1x / hari atau injeksi
IV 0,6 mg / kg / hari (Ashari, 2011 ; Sri, 2006).2. Tindakan
Intervensi/Pembedahana. Pungsi Lumbal BerulangPungsi dari lumbal
atau dari ventrikel berkala juga dilakukan sebagai tindakan
sementara untuk mengurangi cairan otak. Mekanisme pungsi lumbal
berulang dalam hal menghentikan progresivitas hidrosefalus belum
diketahui secara pasti. Goldstein dkk menghubungkan antara manfaat
tekanan CSS yang menurun dengan absorpsi CSS yang lebih mudah.
Sedangkan Welch dan Friedmen menyatakan kecepatan absorpsi CSS akan
meningkat selama tekanan CSS naik secara perlahan - lahan, sampai
pada tekanan tertentu kecepatan absorpsi CSS akan menurun. Jadi
dengan pungsi lumbal berulang akan terjadi penurunan tekanan CSS
secara intermiten yang memungkinkan absorpsi CSS oleh vili
arakhnoidalis akan lebih mudah (Ashari, 2011 ; Sri, 2006).Sebelum
dilakukan LP, harus dilakukan CT Scan Kepala terlebih dahulu.
Resiko herniasi serebralis berhubungan dengan LP pada pasien dengan
peningkatan TIK yang tajam. Hal ini juga bermanfaat dalam
memprediksi keberhasilan shunting. Kim (2005) menemukan bahwa
perbaikan secara simptomatik setelah drainase lumbalis berperan
penting dalam memprediksi hasil shunting. Tekanan CSS normal adalah
110 mmHg. Shunting akan bermanfaat jika tekanannya 135 - 275 mmHg,
dan tidak akan membantu jika tekanannya >275 mmHg. Fungsi
kognitif dan fisik harus dinilai sebelum dan sesudah pengeluaran
CSS 50 cc. adanya perbaikan mengindikasikan bahwa shunting mungkin
bermanfaat.Tujuan tindakan ini untuk menurunkan tekanan dalam
kepala dan membantu membersihkan cairan otak dari toksik yang
terbentuk akibat proses lisis dari darah. Jika penyerapan cairan
otak tetap tidak memadai maka akan dilakukan pemasangan shunt
(Ashari, 2011). b. Terapi Operasi1) Pada pusat - pusat kesehatan
yang memiliki sarana bedah sarafTerapi operasi biasanya langsung
dikerjakan pada penderita hidrosefalus. Pada penderita yang gawat
dan sambil menunggu operasi penderita biasanya diberikan manitol
(cairan hipertonik). Dosis manitol adalah 0,5 - 2 g / kgBB / hari
yang diberikan per infus dalam jangka waktu 10 - 30 menit.2) Tidak
terdapat fasilitas bedah saraf.i. Pasien tidak gawatDiberi terapi
medikamentosa, bila tidak berhasil, pasien dirujuk ke rumah sakit
terdekat yang mempunyai fasilitas bedah saraf.ii. Pasien dalam
keadaan gawatPasien segera dirujuk ke rumah sakit terdekat yang
mempunyai fasilitas bedah saraf setelah diberikan manitol (Sri,
2006).Pemasangan pintasan / shunt dilakukan untuk mengalirkan CSS
dari ventrikel otak ke atrium kanan jantung atau ke rongga
peritoneum, yaitu pintas ventrikuloatrial atau
ventrikuloperitoneal. Pintasan terbuat dari bahan silikon khusus,
yang tidak menimbulkan reaksi radang atau penolakan sehingga dapat
ditinggalkan dalam tubuh untuk selamanya. Penyulit terjadi pada
40-50%, terutama berupa infeksi, obstruksi, atau dislokasi (Sri,
2006).
Gambar. Pintasan ventrikel2Pintasan ventrikuloperitoneal atau
ventrikulo-atrial: ujung yang masukventrikel serebrum (1),
reservoar (2), ujung yang masuk peritoneum (3),ujung yang masuk
atrium jantung (4), vena jugularis interna (5), katup pada ujung
pintasan (6).
Tindakan membuat pintasan / shunt cairan otak adalah tatalaksana
standar hidrosefalus, berupa pemasangan selang ke dalam ruang
ventrikel otak untuk kemudian mengalirkan cairan otak ke rongga
tubuh lain agar bisa diserap. Terdapat berbagai jenis alat shunt,
tetapi memiliki ciri yang serupa karena terdiri dari komponen
proksimal (selang ventrikel), katup, dan komponen distal. Selang
ventrikel dimasukkan ke intrakranial melalui sebuah lubang bor /
burr hole di frontal atau parietoksipital (biasanya sisi kanan yang
dominan). Ujung selang ventrikel diarahkan ke kornu frontal dari
ventrikel lateral, dimana tidak terdapat pleksus koroid sehingga
menggurangi resiko sumbatan selang ventrikel oleh struktur tersebut
(Ashari, 2011). Terdapat berbagai macam bentuk katup yang
diproduksi. Semuanya bertujuan untuk mengatur aliran cairan otak
melalui sistem katup satu arah. Katup yang ada saat ini diatur
berdasarkan differential pressure valves, flow - regulating valves,
dan siphon - resisting valves. Tekanan yang menyebabkan terbukanya
katup pada alat shunt disebut opening pressure. Secara umum
terdapat katup tekanan rendah, sedang, dan tinggi merujuk pada
opening pressure sekitar 5, 10, dan 15 cm H2O. Aliran cairan otak
baru akan terjadi jika tekanan intraventrikular melebihi opening
pressure dari katup alat shunt. Flow - regulating valves mampu
mempertahankan aliran cairan otak yang tetap walaupun terjadi
perubahan tekanan dan posisi. Siphon - resisting valves digunakan
untuk mencegah pengaliran berlebih dari cairan serebrospinal akibat
pengaruh gravitasi. Pilihan penggunaan jenis katup tergantung
pengalaman dari ahli bedah saraf. Sampai saat ini belum terdapat
data tentang keunggulan satu jenis katup dibanding yang lain
(Ashari, 2011).Selang distal dapat diletakkan di rongga peritoneal,
atrium kanan jantung, rongga pleura, dan kandung kemih. Tempat yang
paling sering digunakan adalah rongga peritoneum karena ruangannya
yang besar memungkinkan memasukkan selang peritoneal yang panjang
sehingga dapat mengikuti pertumbuhan tubuh dengan kebutuhan revisi
yang rendah, memiliki kemampuan absorbsi yang efisien, mudah
diakses dan jika terjadi infeksi biasanya lebih terlokalisir
(Ashari, 2011).Hasil dari pemasangan shunt ini dapat terlihat pada
minggu -minggu pertama setelah pemasangan. Sedangkan pada NPH,
hasil akhir dari pemasangan mungkin akan terlihat dalam waktu yang
lebih lama (Long, 2012).Tipe - tipe shunt serebral antara lain :
Ventrikulo - peritoneal shunt (VP shunt). Prosedur yang paling
sering dilakukan dalam terapi hidrosefalus. Cairan dialirkan dari
ventrikel lateral atau ventrikel III menuju rongga peritoneum dan
diserap menuju aliran darah. Ventriculo - atrial shunt (VA shunt).
Shunt ini mengalirkan CSS menuju atrium jantung dan langsung
bergabung dengan aliran darah. Shunt ini lebih sering digunakan
pada anak dengan hidrosefalus obstruktif. Ventriculo-cisternal
shunt (Torkildsen procedure,) digunakan pada obstruksi aliran dari
ventrikel menuju rongga subarakhnoid. Sehingga dipasangkan shunt
yang langsung menghubungan sistem ventrikel dengan rongga
subarakhnoid (Aldirch, 2001). Komplikasi dan malfungsi shunt sering
terjadi. Beberapa komplikasi shunt adalah sebagai berikut (Long,
2012) : InfeksiInfeksi shunt ditemukan pada 7 - 29 % kasus.
Kebanyakan infeksi didapatkan saat operasi dan 70 % muncul dalam 2
bulan pertama. Sekitar kasus infeksi disebabkan oleh Stafilokokus
epidermidis, yang kemudian disusul oleh S. aureus, dan organisme
gram negative lainnnya. Manifestasinya berupa demam yang ringan,
malaise, iritabilitas dan mual, namun tidak ada iritasi meningeal.
Disfungsi ShuntDisfungsi shunt mungkin muncul dengan gejala
iritabilitas, letargi, kebingungan, sakit kepala yang tidak
menghilang dengan perubahan posisi kepala. Oklusi kateter proksimal
di ventrikel merupakan tempat yang paling sering tersumbat, telah
dilaporkan pada 30% kasus disfungsi shunt. Overdrainase ventrikel
merupakan predisposisi terjadinyanya oklusi dari ujung kateter di
dinding ventrikel. Obstruksi bagian distal shunt dapat disebabkan
oleh adanya pembentukan kista dar lokulasi dari isi peritoneum di
sepanjang ujung distal kateter. Nyeri perut, adanya perabaan
pseudokista dan USG atau CT Scan abdomen dapat membantu menentukan
diagnosis. KejangPrevalensi kejang post shunting sekitar 5 - 48 %,
tetapi pada pasien PTH, kejang mungkin akibat TBI itu sendiri.
Overshunting / overdrainaseOverdrainase merupakan masalah utama
yang menyebabkan manifestasi klinis akut dan kronik serta dapat
berkembang menjadi obstruksi shunt bagian proksimal. Namun hal ini
dapat diatasi dengan sudah ditemukannya berbagai macam jenis katup
shunt. Manifestasi overdrainase yaitu pusing, orthostatic headache,
mual, muntah, letargi dan diplopia (Long, 2012).
H. PrognosisOutcome pengobatan PTH tergantung dari beberapa
faktor. Beberapa faktor yang penting adalah usia pasien, penyebab
hidrosefalus, derajat dilatasi ventrikel, kerusakan parenkim dan
kondisi pasien. Studi Tribl dan Oder menemukan bahwa outcome juga
ditentukan oleh status pasien sebelum operasi. Pasien dalam kondisi
koma, neonatus, dengan IVH dan pasien dengan kerusakan otak yang
luas, prognosisnya buruk. Dengan diagnosis dan waktu pelaksanaan
prosedur shunting yang tepat akan memberikan hasil yang baik, yaitu
sekitar 40-70% kasus Pasien biasanya mengalami perbaikan setelah
dilakukan shunt untuk PTH. (Mahapatra, 2012 ; Pangilinan,
2013).
I. KomplikasiKemungkinan komplikasi PTH antara lain :a. Herniasi
serebralb. Resiko aspirasi akibat disfagiac. Peningkatan resiko
terjatuhd. Kelainan penglihatan, pendengaran atau kepribadian
tergantung hemisfer yang terlibat (Pangilinan, 2013).
PEMBAHASAN
Pasien laki-laki, usia 15 tahun, datang dengan keluhan nyeri
kepala. Selain nyeri kepala, pasien juga mengeluhkan penglihatan
kabur dan penglihatan ganda pada mata sebelah kanan. Keluhan -
keluhan ini muncul setelah pasien mengalami kecelakaan lalu lintas.
Pemeriksaan fisik didapatkan strabismus esotropia OD (+), visus ODS
> 3/60 (bedrest). Pada pemeriksaan CT Scan kepala berseri
ditemukan hidrosefalus. Pasien didiagnosis mengalami PTH setelah
dilakukan terapi medikamentosa namun tidak berespon dan akhirnya
dilakukan operasi shunting.PTH dapat muncul dengan berbagai cara,
sebagian besar gejala muncul dalam dua minggu sejak cedera. Hal ini
sesuai dengan pasien, dimana keluhan yang dirasakan tersebut muncul
beberapa hari setelah kecelakaan. Manifestasi PTH sering tidak
jelas, PTH dapat menunjukkan gejala - gejala peningkatan tekanan
intrakranial seperti edema papil, defisit neurologis fokal, atau
koma. Pada pasien ini ditemukan nyeri kepala yang mungkin
disebabkan karena trauma kepalanya sendiri atau karena tekanan
intrakranial yang meningkat. Pada pasien ini juga ditemukan
penglihatan kabur, yang mungkin disebabkan oleh adanya edema papil.
Untuk mengetahui adanya tidaknya edema papil harus dilakukan
pemeriksaan funduskupi. Penglihatan kabur dan ganda juga dapat
disebabkan oleh adanya strabismus. Strabismus adalah penyimpangan
posisi bola mata yang terjadi oleh karena syarat - syarat
penglihatan binokuler yang tidak terpenuhi. Syarat - syarat
penglihatan binokuler normal yaitu faal masing - masing mata baik,
kerja sama dan faal masing - masing otot luar bola mata baik, dan
kemampuan fusi normal. Pada pasien ini, kemungkinan penyebab
terjadinya yaitu faal mata yang kurang baik dan kerja sama / faal
otot - otot luar bola mata yang terganggu, dalam hal ini, pasien
mengalami gangguan pada muskulus rektus inferior OD yang
dipersarafi oleh nervus kranialis III. Apabila semua cabang-cabang
nervus III terlibat, maka lesi diduga mengenai nervus III sendiri
(lesi perifer nervus III). Apabila satu otot saja yang terlibat,
maka lesi tersebut biasanya lebih sering disebabkan oleh suatu
proses di nucleus. Nucleus okulomotorius terdiri atas saraf somato
dan viseromotorik. Nucleus ini terletak di bawah mesensefalon di
bawah akuaduktus Sylvii dan terdiri dari beberapa kelompok neuron.
Kelompok-kelompok tertentu sel neuron pada nucleus ini melayani
otot ekstrinsik tertentu pula. Bagaimana mekanisme hidrosefalus
dapat menyebabkan kelainan hanya pada kelompok tertentu sel neuron
pada nucleus okulomotorius pada pada pasien ini masih belum bisa
dijelaskan secara teori.Diagnosis hidrosefalus posttrauma dapat
ditegakkan dari hasil anamnesis pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
CT Scan kepala yang berulang menunjukkan adanya pembesaran sistem
ventrikel yang progresif. Pada pasien ini, pemeriksaan CT kepala
kepala yang pertama menunjukkan adanya bekas perdarahan pada
temporal kanan dan obstruksi hidrosefalus ringan setinggi
akuaduktus sylvii, kemudian dilakukan terapi medikamentosa.
Selanjutnya, dilakukan CT Scan kepala evaluasi namun masih terdapat
hidrosefalus komunikan (tidak ada perbaikan).Penatalaksanaan pada
pasien ini ditujukan untuk menangani hidrosefalusnya. Obat -obatan
mungkin tidak memainkan peran utama dalam pengobatan PTH. Bila
tidak ada perubahan setelah satu minggu pasien diprogramkan untuk
operasi. Pada pasien ini dilakukan operasi VP Shunt. VP Shunt
dilakukan karena kita berada pada pusat kesehatan yang memiliki
sarana bedah saraf dan VP Shunt merupakan tatalaksana standar untuk
hidrosefalus. Setelah operasi VP shunt, dilakukan evaluasi ulang
pada pasien dan didapatkan perbaikan klinis berupa menghilangnya
nyeri kepala, dan penglihatan kabur dan ganda namun mengeluhkan
nyeri perut di atas simpisis pubis. Kemungkinan penyebab nyeri
perut ini adalah adanya penumpukan CSS di rongga peritoneum yang
dialirkan dari sistem ventrikel. Pada VP shunt, penyulit terjadi
pada 40 - 50% kasus, terutama berupa infeksi, obstruksi, atau
dislokasi. Namun, untuk memastikan penyebab nyeri perut ini,
diperlukan pemeriksaan lanjutan berupa pemeriksaan darah lengkap,
urine lengkap dan USG abdomen untuk menyingkirkan kemungkinan
lainnya.
DAFTAR PUSTAKA
Aldrich, E. Francois, Lawrence S. Chin, Arthur J. DiPatri, and
Howard M. Eisenberg. "Hydrocephalus." InSabiston Textbook of
Surgery,edited by Courtney M. Townsend Jr. 16th ed. Philadelphia:
W. B. Saunders Company, 2001.Anurugo, 2008, Neurologi Update :
Cedera Kepala Traumatik, RSUP Dr. Kariadi Semarang.Ashari, S.,
2011. Hidrosefalus. Dalam : W. Sadewo, ed. 2011. Sinopsis Ilmu
Bedah Saraf. Jakarta : CV Sagung Seto. Hal 167-176.ATLS, 2004,
Cedera kepala. Dalam : Advanced Trauma Life Support for Doctors.
Ikatan Ahli Bedah Indonesia, penerjemah. Edisi 7. Komisi trauma
IKABI ; 2004. 168 - 193.Dalvi et al, 2013, Normal Pressure
Hydrocephalus. Access on 13th Nov. 2013. [Availaable at :
http://emedicine.medscape.com/article/1150924-workup]De Jong, W.
2004, Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 2. Jakarta : EGC. Hal 809 -
810Ghazali Malueka, 2007, Radiologi Diagnostik, Yogyakarta :
Pustaka Cendekia.Harsono, 2008. Buku Ajar Neurologi Klinis.
Yogyakarta : Gadjah Mada University Press.Haryo, Ariwibowo et all,
2008, Art of Therapy : Sub Ilmu Bedah. Yogyakarta : Pustaka
Cendekia Press of YogyakartaIsrar dkk, 2009, Cedera Kepala dan
Trauma Kruris, Riau, Faculty of Medicine-University of
Riau.Japardi, Iskandar, 2004, Penatalaksanaan Cedera Kepala secara
Operatif. Sumatra Utara : USU Press.Lombardo. M.C., 2006, Cedera
Sistem Saraf Pusat, dalam Price & Wilson, Patofisiologi :
Konsep Klinis Proses - Proses Penyakit, Jakarta : EGCLong, D.F.,
2012, Diagnosis & Management of Late Intracranial Complications
of TBI, in Nathan, et.al. Brain Injury Medicine : Principle and
Practice, 2nd edition, pp. 583 - 592.Mahapatra & Kumar, 2012,
Post Traumatic Hydrocephalus, dalam Traumatic brain Injury, pp,
222-226 Mardjono & Sidharta, 2008, Neurologi Klinis Dasar,
Cetakan ke-12, Jakarta : Dian RakyatNor, et al, 2013, Letter to
Editor : Post Traumatic Hydrocephalus, dalam Malays J Med Sci.
Jan-Mac 2013 ; 20(1) : 95-96. Malaysia : Penerbit Universiti Sains
Malaysia, Access on 24th Oct. 2013. [Available at :
www.mjms.usm.my]Pangilinan et al. 2013. Posttraumatic
Hydrocephalus. Access on 13th Nov. 2013. Available at :
http://emedicine.medscape.com/article/326411-0verview ]PERDOSSI,
2006, Konsensus Nasional Penanganan Trauma Kapitis dan Trauma
Spinal, Jakarta : PERDOSSI.Rohkamm, R. 2004. Color Atlas of
Neurology. Thieme. New York. USA. P 29Roper A.H, Brown R.H , 2005.
Adams and Victors Principles Of Neurology. 8th Ed. New York :
McGraw Hill companiesSaanin, Syariful. 2010. Sekuele Cedera Kepala.
dalam Ilmu Bedah Saraf. FK UNAND. Access on 26th Oct. 2013.
[Availaable at
www.angeelfire.com/nc/neurosurgery/sekuele.html]Sastrodiningrat,
A.G, 2007, Pemahaman Indikator - Indikator Dini dalam Menentukan
Prognosa Cedera Kepala Berat, Sumatra Utara : USU Press.Sri M,
Sunaka N, Kari K, 2006, DEXA MEDIA. No. 1, Vol. 19, Seksi Bedah
Saraf Lab/SMF Bedah FK UNUD RSU Sanglah Denpasar Bali, Hal. 40 -
48
7