Top Banner
LAPORAN KASUS POLIP NASI, HIPERTROFI TONSIL DAN RINITIS ALERGIKA Pembimbing : dr. Hj. Fitria Shebubakar, Sp.THT Disusun Oleh : Sakina J.H.Saleh (2010730160) SMF THT RS ISLAM PONDOK KOPI JAKARTA PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER FAKULTAS KEDOKTERAN & KESEHATAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA
44

LAPORAN KASUS 2

Dec 23, 2015

Download

Documents

sakinasaleh

polip hidung
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: LAPORAN KASUS 2

LAPORAN KASUS

POLIP NASI, HIPERTROFI TONSIL DAN RINITIS ALERGIKA

Pembimbing :

dr. Hj. Fitria Shebubakar, Sp.THT

Disusun Oleh :

Sakina J.H.Saleh (2010730160)

SMF THT RS ISLAM PONDOK KOPI JAKARTA

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER

FAKULTAS KEDOKTERAN & KESEHATAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA

2015

Page 2: LAPORAN KASUS 2

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya pada

kami sehingga kami dapat menyelesaikan laporan kasus dengan judul ” Polip Nasi, Hipertrofi

Tonsil dan Rinitis Alergika” sesuai pada waktu yang telah ditentukan.

Salawat serta salam semoga tercurah kepada Nabi Muhammad SAW, keluarga, serta para

pengikutnya hingga akhir zaman. Laporan ini kami buat sebagai dasar kewajiban dari suatu

proses kegiatan yang kami lakukan yang kemudian diaplikasikan dalam bentuk praktik

kehidupan sehari-hari.

Terimakasih kami ucapkan kepada seluruh pembimbing yang telah membantu kami

dalam kelancaran pembuatan laporan kasus ini, dr. Hj. Fitria Shebubakar, Sp.THT. Semoga

laporan ini dapat bermanfaat bagi kami khususnya dan bagi pembaca pada umumnya.

Kami harapkan kritik dan saran dari para pembaca untuk menambah kesempurnaan

laporan kami.

Jakarta, Februari 2015

Penyusun

Page 3: LAPORAN KASUS 2

BAB I

LAPORAN KASUS

IDENTITAS PASIEN

Nama pasien : Tn. C

Umur : 32 tahun

Jenis kelamin : Laki-laki

Alamat : Kampung Pisangan, Cakung

Tanggal Pemeriksaan : 2 Maret 2015

ANAMNESIS

Keluhan utama

Hidung tersumbat

Riwayat penyakit sekarang

Pasien datang dengan keluhan hidung tersumbat yang dirasakan sejak 2 minggu SMRS

Keluhan hidung tersumbat ini dirasakan pada hidung kiri, sedangkan pada hidung kanan

tidak dirasakan tersumbat. Keluhan ini disertai dengan terasa agak sakit di daerah hidung

dan pipi dan diatas mata kanan dan kiri serta terasa lendir di bagian tenggorokkan.

Pasien juga merasakan hidung berbau sejak 1 minggu SMRS namun tidak ada gangguan

penciuman. Selain itu pasien mengaku sering keluar lendir dari hidung berwarna bening dan

2 hari SMRS keluar darah dari hidung kiri. Keluhan ini sudah dirasakan sjak 2 bulan SMRS.

Page 4: LAPORAN KASUS 2

Pasien mengaku sering ngorok saat tidur, sakit saat menelan, sering bersin saat kena

debu ataupun bangun pagi, hidung terasa gatal sehingga sering dikucek, gatal di mata,demam

yang hilang timbul. Adanya benjolan pada rongga hidung, batuk, riwayat trauman dihidung

disangkal oleh pasien.

Riwayat penyakit dahulu

Riwayat DM, hipertensi, serta asma disangkal oleh pasien.

Riwayat penyakit keluarga : riwayat alergi disangkal-

Riwayat pengobatan : -

Riwayat alergi

Pasien mengaku tidak memiliki riwayat alergi makanan, obat-obatan.

PEMERIKSAAN FISIK

Status Generalis

Keadaan umum : Baik

Kesadaran : Compos mentis

Tanda vital :

Tensi : 110/80 mmHg

Nadi : 72 x/menit

Respirasi : 18 x/menit

Suhu : afebris

Page 5: LAPORAN KASUS 2

STATUS GENERALIS

• Kepala

Mata : Konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik .

Hidung : Sekret +/+

Telinga : Normotia, sekret -/- .

Mulut : Mukosa bibir lembab, Coated tongue (-), careis dentis -, tonsil T3 – T3,

hiperemis, faring hiperemis -

Leher : pembesaran KBG -

Toraks :

Pulmo : Vesikuler + / +, ronkhi -/- , wheezing -/-

COR : S1 - S2 murni reguler, murmur -, Gallop -

Abdomen

Inspeksi : Supel, datar, pelebaran vena -

Palpasi

o Hepar : Tidak teraba

o Splen : Tidak teraba

o Ballotement : - / -

Perkusi : Timpani

Auskultasi : BU (+) N

Ekstremitas

Atas : hangat +/+, edema -/-, RCT < 2 det, sianosis -/-

Bawah : hangat +/+, edema -/-, RCT < 2 det, sianosis -/-

Page 6: LAPORAN KASUS 2

STATUS LOKALIS

Telinga

Bagian Dextra Sinistra

Auricula

Bentuk normal,

Helix sign (-)

Tragus sign (-)

Bentuk normal

Helix sign (-)

Tragus sign (-)

Pre auricular

Bengkak (-)

nyeri tekan (-)

fistula (-)

Bengkak (-)

nyeri tekan (-)

fistula (-)

Retro auricularBengkak (-)

Nyeri tekan (-)

Bengkak (-)

Nyeri tekan (-)

MastoidBengkak (-)

Nyeri tekan (+)

Bengkak (-),

Nyeri tekan (+)

CAE

Serumen (+)

Hiperemis (-)

Sekret (-)

Serumen (+)

Hiperemis (-)

Sekret (-)

Membran timpani

Intak

Putih mengkilat

Refleks cahaya (+)

Intak

Putih mengkilat

Refleks cahaya (+)

Page 7: LAPORAN KASUS 2

Hidung

Hidung kanan Hidung kiri

Hidung luar Bentuk (normal), hiperemi (-),

nyeri tekan (-), deformitas (-)

Bentuk (normal), hiperemi (-),

nyeri tekan (-), deformitas (-)

Rinoskopi anterior

Kanan Kiri

Cavum nasi Hiperemis (+), sekret

mukopurulen (+)

Hiperemis (+), sekret

mukopurulen (+)

Meatus nasi media Mukosa hiperemis, sekret (+),

Massa (-)

Mukosa hiperemis, krusta (+),

Massa (-)

Konka nasi inferior Edema (+), mukosa hiperemi (+),

hipertrofi -

Edema (+), mukosa hiperemi

(+), hipertrofi -

Septum nasi Deviasi (+) ke kanan

Endoskopi

Meatus nasi medius Massa + : pucat, mudah digerakkan

Pemeriksaan Tenggorokan

Lidah Ulkus (-), Stomatitis (-)

Uvula Bentuk normal, posisi di tengah

Page 8: LAPORAN KASUS 2

Tonsil Dextra Sinistra

Ukuran T3 T3

Permukaan Tidak Rata Tidak Rata

Warna Hiperemis (+) Hiperemis (+)

Kripte Melebar (-) Melebar (-)

Detritus (-) (-)

Faring Mukosa hiperemis (-), dinding tidak rata, granular (-)

Leher : Pembesaran KBG -, nyeri tekan –

USULAN PEMERIKSAAN

- Ct Scan Sinus Paranasal

- Swab Tenggorokan

- Pemeriksaan Darah Rutin : Leukosit, Hb, Trombosit, eritrosit

PEMERIKSAAN PENUNJANG

- Pemeriksaan Darah

Parameter Nilai Nilai Normal

Hb 10,9 L : 13,5-17,5 g/dL

Leukosit 5,8 5-10 x 103/uL

Hematokrit 34 L : 40-50 %

Trombosit 257 150-400 x 103/uL

HEMOSTASIS

Page 9: LAPORAN KASUS 2

APTT Test 34.5 27-42 second

Median APTT 34.5 -

PT Test 16.3 12-19 second

KIMIA

Ureum 27 10-50 mg/dL

Kreatinin 0,9 0,67-1,1 mg/dL

GDS 66 L: 70-200 mg/dL

SGOT 17.10 10-35 U/L

SGPT 11.9 10-45 /L

RADIOLOGI

Foto rontgen sinus paranasal

- Tampak perselubungan sinus maksilaris sinistra, etmoidalis sinistra, dan frontalis

sinistra.

- Perubahan konka inferior dinding paranasal

Kesan : Sinusitis maklirasi sinistra, etmoidalis sinistra, dan sinusistis frontalis sinistra

: hipertrofi konka nasi bilateral

RESUME

Seorang pasien laki-laki 32 tahun datang dengan keluhan hidung tersumbat yang

dirasakan sejak 2 minggu SMRS. Keluhan hidung tersumbat ini dirasakan pada hidung kiri,

sedangkan pada hidung kanan tidak dirasakan tersumbat. Keluhan ini disertai dengan terasa

agak sakit di daerah hidung dan pipi dan diatas mata kanan dan kiri serta terasa lendir di

Page 10: LAPORAN KASUS 2

bagian tenggorokkan. Pasien juga merasakan hidung berbau sejak 1 minggu SMRS sering

keluar lendir dari hidung berwarna bening dan 2 hari SMRS keluar darah dari hidung kiri.

Keluhan ini sudah dirasakan sjak 2 bulan SMRS. Pasien mengaku sering ngorok saat tidur,

sakit saat menelan, sering bersin saat kena debu ataupun bangun pagi, hidung terasa gatal

sehingga sering dikucek, gatal di mata,demam yang hilang timbul.

Pemeriksaan fisik ditemukan cavum nasi hiperemis +/+, sekret mukopurulen +/+, massa

+ di meatus nasi media, edema +/+ konka nasi inferior, septum deviasi ke kanan.Pada tonsil

ditemukan tonsil T3-T3, hiperemis+/+.

DIAGNOSIS

Polip Nasi Sinistra

Hipertrofi Tonsil

Rhinitis Alegika

RENCANA TERAPI

- Non farmakologis

Olahraga dan istirahat yang cukup

Makanan seimbang

Edukasi pasien tentang penyakitnya dan pengobatan yang akan dijalani

- Farmakologis

Kortikosteriod: Deksametason Tab 3x4 mg selama 3 hari, kemudian 2x4mg 3 hari

selanjutnya, kemudian dilanjutkan 1x4mg pada 3 hari terakhir.

Page 11: LAPORAN KASUS 2

Dekongestan : Psuudoefedrin HCL tab 3 x 8 mg

Operasi untuk mengangkat massa pada cavum nasi sinistra (polip) Polipektomi

FESS

PROGNOSIS

Quo Ad Vitam : dubia ad bonam

Quo Ad Functionam : dubia ad bonam

Quo Ad Sanantionam : dubia ad bonam

Page 12: LAPORAN KASUS 2

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

POLIP NASI

Definisi

Polip nasi ialah massa lunak yang mengandung anyak cairan di dalam rongga hidung,

berwarna putih keabu-abuan, yang terjadi akibat inflamasi mukosa. Polip nasi merupakan

kelainan mukosa hidung berupa massa lunak yang bertangkai, berbentuk bulat atau lonjong,

berwarna putih keabuan, dengan permukaan licin dan agak bening karena mengandung banyak

cairan. Umumnya sebagian besar polip ini berasal dari celah kompleks osteomearal

(KOM) yang kemudian tumbuh ke arah rongga hidung.

Epidemiologi

Prevalensi penderita polip nasi belum diketahui pasti karena hanya sedikit laporan dari

hasil studi epidemiologi serta tergantung pada pemilihan populasi penelitian dan metode

diagnostik yang digunakan. Prevalensi polip nasi dilaporkan 1-2% pada orang dewasa di Eropa

dan 4,3% di Finlandia. Dengan perbandingan pria dan wanita 2- 4:1. Di Amerika Serikat

prevalensi polip nasi diperkirakan antara 1-4 %. Pada anak-anak sangat jarang ditemukan dan

dilaporkan hanya sekitar 0,1%. Penelitian Larsen dan Tos di Denmark memperkirakan insidensi

polip nasi sebesar 0,627 per 1000 orang per tahun (Bateman 2003, Ferguson et al.2006). Di

Indonesia studi epidemiologi menunjukkan bahwa perbandingan pria dan wanita 2-3 : 1 dengan

prevalensi 0,2%-4,3%.2,3,4

Page 13: LAPORAN KASUS 2

Etiopatogenesis

Sampai saat ini belum ada kesepakatan mengenai etiologi polip nasi, terdapat sejumlah

hipotesis mengenai asal dari polip nasi eosinofilik dan neutrofilik yang berkisar dari predisposisi

genetik, variasi anatomi, infeksi kronis, alergi inhalan, alergi makanan, sampai

ketidakseimbangan vasomotor.

Etiologi yang pasti belum diketahui tetapi ada 3 faktor penting pada terjadinya polip,

yaitu :

1. Adanya peradangan kronik yang berulang pada mukosa hidung dan sinus.

2. Adanya gangguan keseimbangan vasomotor.

3. Adanya peningkatan tekanan cairan interstitial dan edema mukosa hidung

Beberapa hipotesis dari keadaan tersebut antara lain :

Alergi

Alergi merupakan faktor yang banyak menjadi sorotan karena tiga hal, yaitu

karena sebagian besar polip hidung terdiri dari eosinofil, berhubungan dengan

asma, serta temuan klinis pada nasal yang menyerupai gejala dan tanda alergi.

Paparan alergen udara menahun, diduga berperan dalam terjadinya polip hidung

melalui inflamasi yang terus-menerus pada mukosa hidung.

Ketidak Seimbangan Vasomotor

Teori ini dikemukakan karena pada banyak kondisi tidak ditemukan adanya

tanda-tanda atopi dan tidak ada riwayat pajanan alergen yang ditemukan. Akan

tetapi pasien cenderung mengalami rinitis prodromal sebelum pada akhirnya

berkembang menjadi polip hidung. Polip hidung bisanya memiliki vaskularisasi

yang kurang dan berkurangnya inervasi vasokonstriktor. Selanjutnya gangguan

Page 14: LAPORAN KASUS 2

dalam regulasi vaskular dan peningkatan permeabilitas dapat menyebabkan edema

dan pembentukan polip.

Bernouli Fenomena

Fenomena Bernoulli terjadi karena adanya penurunan tekanan yang

selanjutnya menyebabkan konstriksi. Hal ini akan menimbulkan tekanan negatif

dalam KOM, yang mempengaruhi mukosa disekitarnya. Karena tekanan negatif ini

kemudia akan terjadi infalamasi mukosa yang selanjutnya menjadi awal

terbentuknya polip.

Terori Rupture Epithel

Rupturnya epitel dari mukosa nasal karena alergi atau karena infeksi daspat

menyebabkan prolaps dari lamina propria, yang selanjutnya akan membentuk polip.

Defek dari faktor ini mungkin semakin membesar karena pengaruh gravitasi atau

drainase vena mengalami obstruksi. Akan tetapi dari scanning dengan pengamatan

mikroskopik tidak ditemukan adanya defek epitel yang bermakna pada pasien

dengan polip hidung.

Intoleransi Aspirin

Banyak konsep yang menjelaskan bagaimana patogenesis dari intoleransi

aspirin serta hubungannya dengan polip hidung. Terdapat sindrom klinis yang

jelas, bagaimana obat-obatan NSAID khusunya aspirin dapat memicu terjadinya

rinitis dan serangan asma. Respon Cyclooxygenase (COX) umumnya sangat

berbeda pada pasien dengan intoleransi aspirin dibandingkan normal. Dapat

dibuktikan bahwa terjadi perubahan pada COX1 dan COX2 yang menghasilkan

metabolit tertentu yang akan menstimulasi cysteinyl leukotriene (Cys-LT).

Page 15: LAPORAN KASUS 2

Perubahan ini selanjutnya menyebabkan metabolisme asam arachidonat menjadi

jalur leukotriene inflamasi tinggi, yang selanjutnya akan mengurangi kadar PGE2

(yang merupakan PG antiinflamasi). Eksperi berlebihan dari LTC4 synthase

selanjutnya akan meningkatkan jumlah cysteinyl LTs, menyebabkan respon inflamasi

tak terkontrol dan inflamasi kronis.

Cystic Fibrosis

Cystic Fibrosis merupakan salah satu penyakit autosomal resesif pada

kelompok orang kulit putih. Cystic fibrosis disebabkan karena mutasi gen tunggal

pada kormosom 7 yang disebut cystic fibrosis transmembrane regulator (CFTR).

Hal ini menyebabkan tidak adanya cyclic AMP-regulated chloride chanel yang

menyebabkan impermeabilitas klorida dan peningkatan absorpsi natrium.

Peningkatan absorpsi natrium dan penurunan sekresi klorida menyebabkan

pergerakan air ke sel dan ruang interstitial, selanjutnya menimbulkan retensi ari,

pembentukan polip. Defek migrasi protein CFTR juga menyebabkan terjadinya

inflamasi kronis skunder.

Nitric Oxide

Nitric Oxida merupakan gas radikal bebas, yang memainkan peran besar

dalam terjadinya reaksi imunologis nonspesifik, regulasi dari tone vaskular,

pertahanan host, dan inflamasi pada berbagai jaringan. Radikal bebas biasanya

dipertahankan dalam keadaan seimbang oleh antioxidan defense system superoxide

dismutase , catalase dan glutahione peroxidase. Ketika radikal bebas ini dapat

melebihi kemampuan pertahanan d ari antioxidant, maka akan terjadi defek seluler,

defek jaringan, dan penyakit kronis. Ditemukan laporan akan meningkatnya kadar

Page 16: LAPORAN KASUS 2

nitric oxide dan penurunan scavangeing enzim pada pasien polip hidung

dibandingkan dengan kontrol, yang menunjukkan adanya penumpukan radikal

bebeas pada polip hidung.

Infeksi

Bagaimana infeksi dapat menjadi faktor yang juga penting terhadap

pembentukan polip, diduga terkait dengan adanya gangguan pada epitel dengan

proliferasi jaringan granulasi. Hal ini biasanya terjadi pada infeksi Streptococcus

pneumoniae, Staphylococcus aureus, atau Bacteroides fragilis (semua jenis patogen

yang sering ditemukan pada rinosinusitis). Bagaimana granuloma menginduksi

terjadinya polip hidung masih belum benar-benar dipahami.

Superantigen Hypotensis

Staphylococcus aureus ditemukan sekitar 60-70% pada daerah mukus didekat

polif masif. Organisme ini selalu memproduksi toxin, staphylococcus enterotoxin A

(SEA), staphylococcus enterotoxin B (SEB) dan toxic shock syndrome toxin-1

(TSST-1) yang akan berperan sebagai supetantigen, menyebabkan aktifasi dan

ekspansi klonal dari limfosit pada lateral hidung. Aktifasi dari limfosit ini, akan

menghasilkan sitokin Th1 dan Th2 (IFN-gama. IL-2, IL-4, IL-4), hal ini akan

menyebabkan chronic lymphocytic-eosinophil muchosal disease. Hal ini dibuktikan

dengan ditemukannya antibodi spesifik IgE terhadap SEA dan SEB sebanyak 50%

pada penderita polip hidung.

Page 17: LAPORAN KASUS 2

Manifestasi Klinis

Polip hidung dapat menyebabkan hidung tersumbat, yang selanjutnya dapat

menginduksi rasa penuh atau tekanan pada hidung dan rongga sinus. Kemudian dirasakan

hidung yang berair (rinorea) mulai dari yang jernih sampai purulen, hiposmia atau

anosmia serta dapat juga dirasakan nyeri kepala daerah frontal. Gejala lain yang dapat

timbul tergantung dari penyertanya, pada infeksi bakteri dapat disertai pula dengan post

nasal drip serta rinorea purulen. Gejala sekunder yang dapat timbul adalah bernafas

melalui mulut, suara sengau, halitosis, gangguan tidur, dan gannguan kualitas hidup.

Dapat juga menyebababkan gejala pada saluran nafas bawah, berupa batuk kronik

dan mengi, terutama pada penderita polip hidung dengan asma. Selain itu harus dicari

riwayat penyakit lain seperti alergi, asma, intoleransi aspirin.

Diagnosis

Anamnesis

Dari anamnesis didapatkan keluhan-keluhan berupa hidung tersumbat, rinorea,

hiposmia atau anosmia. Dapat pula didapatkan gejala skunder seperti bernafas melalui

mulut, suara sengau, halitosis, gangguan tidur dan gangguan aktifitas.

Pemeriksaan Fisik

Polip nasi masif dapat menyebabkan deformitas hidung luar sehingga hidung

tampak mekar karena pelebaran batang hidung. Pada pemeriksaan rinoskopi anterior

didapatkan masa pucat yang berasal dari meatus media dan mudah digerakkan.

Page 18: LAPORAN KASUS 2

Pembagian stadium polip menurut MacKay dan Lund : Stadium 1 : polip masih

terbatas pada meatus media, Stadium 2 : polip sudah keluar dari meatus media, tampak

pada rongga hidung tertapi belum memenuhi rongga hidung, Stadium 3: polip masif.

Pemeriksaan Penunjang

Naso-endoskopi

Polip pada stadium 1 dan 2 kadang-kadang tidak terlihat dari rinoskopi anterior,

akan tetapi dengan naso endoskopi dapat terlihat dengan jelas. Pada kasus polip

koanal juga sering dapat dilihat tangkai polip yang berasal dari ostium asesorius

sinus maksila.

Pemeriksaan Radiologi

Foto polos sinus paranasal (Posisi waters, AP, Caldwell dan latera) dapat

memperlihatkan adanya penebalan mukosa dan adanya batas udara cairan di dalam

sinus, tetapi kurang bermanfaat untuk polip hidung. Pemeriksaan CT scan sangat

bermanfaat untuk melihat secara jelas keadaan di hidung dan sinus paranasal

apakah ada proses radang, kelainan anatomi, polip atau sumbatan pada kompleks

osteomeatal (KOM). CT scan harus diindikasikan pada kasus polip yang gagal

diobati dengan terapi medikamnetosa, jika ada komplikasi dari sinusitis dan pada

perencanaan tindakan bedah endoskopi.

Tatalaksana

Tujuan dari tatalaksana polip hidung yaitu:

- Memperbaikai keluhan pernafasan pada hidung

- Meminimalisir gelaja

Page 19: LAPORAN KASUS 2

- Meningkatkan kemampuan penghidu

- Menatalaksanai penyakit penyerta

- Meningkatkan kulitas hidup

- Mencegah komplikasi.

Secara umum penatalaksanaan dari polip hidung yaitu melalui penatalksanaan medis

dan operatif.

Tatalaksana Medis

Polip Hidung merupakan kelainan yang dapat ditatalaksanai secara medis. Walaupun

pada beberapa kasus memerlukan penanganan operatif, serta tatalaksana agresif sebelum

dan sesudah operatif juga diperlukan.

1. Antibiotik

Polip hidung dapat menyebabkan terjadinya obstruksi sinus, yang selanjutnya

menimbulkan infeksi. Tatalaksana dengan antibiotik dapat mencegah pertumbuhan

dari polip dan mengurangi perdarahan selama operasi. Antibiotik yang diberkan

harus langsung dapat memberikan efek langsung terhadap spesies Staphylococcus,

Streptococcus, dan bakteri anaerob, yang merupakan mikroorganisme pada sinusitis

kronis.

2. Corticosteroid

Topikal Korticosteroid

Intranasal/topikal kortikosteroid merupakan pilihan pertama untuk polip hidung.

Selain itu penggunaan topikal kortikosteroid ini juga berguna pada pasien post-

operatif polip hidung, dimana pemberiannya dapat mengurangi angka kekambuhan.

Pemberian dari kortikosteroid topikal ini dapat dicoba selama 4-6 minggu dengan

Page 20: LAPORAN KASUS 2

fluticasone propionate nasal drop 400 ug 2x/hari memiliki kemampuan besar dalam

mengatasi polip hidung ringan-sedang (derajat 1-2), diamana dapat mengurangi

ukuran dari polip hidung dan keluhan hidung tersumbat.

Sitemik Kortikosteroid

Penggunaan dari kortikosteroid sistemik/oral tunggal masih belum banyak diteliti.

Penggunaanya umumnya berupa kombinasi dengan terapi kortikosteroid intranasal.

Penggunaan fluocortolone dengan total dosis 560 mg selama 12 hari atau 715 mg

selama 20 hari dengan pengurangan dosis perhari disertai pemberian budesonide

spray 0,2 mg dapat mengurangi gejala yang timbul serta memperbaiki keluhan

sinus dan mengurangi ukuran polip.

Akan tetapi dari penelitian lain, penggunaan kortikosteroid sistemik tunggal yaitu

methylprednisolone 32 mg selama 5 hari, 16 mg selama 5 hari, dan 8 mg selama 10

hari ternyata dapat memberikan efek yang signifikan dalam mengurangi ukuran

polip hidung serta gejala nasal selain itu juga meningkatkan kemampuan penghidu.

3. Terapi lainnya

Penggunaan antihistamin dan dekongestan dapat memberikan efek simtomatik akan

tetapi tidak merubah perjalanan penyakitnya. Imunoterapi menunjukkan adanya

keuntungan pada pasien dengan sinusitis fungal dan dapat berguna pada pasien

dengan polip berulang.

Terapi Pembedahan

Indikasi untuk terapi pembedahan antara lain dapat dilakukan pada pasien yang tidak

memberikan respon adekuat dengan terapi medikal, pasien dengan infeksi berulang,

Page 21: LAPORAN KASUS 2

serta pasien dengan komplikasi sinusitis, selain itu pasien polip hidung disertai

riwayat asma juga perlu dipertimbangkan untuk dilakukan pembedahan guna patensi

jalan nafas. Tindakan yang dilakukan yaitu berupa ekstraksi polip (polipektomi),

etmoidektomi untuk polip etmoid, operasi Caldwell-luc untuk sinus maxila.

Page 22: LAPORAN KASUS 2

a. Prognosis

Keluhan

Sumbatan hidung dengan 1/> gejala

Curiga keganasan

Permukaan berbenjol, mudah berdarah

Massa polip hidung

Tentukan stadium

Biopsy tatalaksana sesuai

Stad 2&3

Terapi bedah

Stad I & 2

Terapi medik

Jika mungkin : biopsy untuk tentukan tipe polip dan lakukan polipektomi reduksi

Keterangan menentukan stadium

Polip dalam MM (NE)Polip keluar dari MMPolip memenuhi rongga hidung

Persiapan pra bedah

Terapi medik :

steroid topical dan ataupolipektomi medikamentosa dengan cara :

deksametason 12 mg (3 Hr) 8 mg (3 Hr)4 mgt (3 Hr)Methylprednisolon 64 mg 10 mg (10 Hr)Prednisone 1 mg/ kgbb (10 Hr)

Terapi bedah Tidak ada perbaikan Perbaikan

mengecil

Perbaikan

hilang

Tindak lanjut dengan steroid topical

Pemeriksaan berkala sebaiknya dengan NE

sembuh

Polip rekuren :

Cari faktor alergiSteroid topicalSteroid oral tidak lebih 3-4x/ tahunKaustikOperasi ulang

Page 23: LAPORAN KASUS 2

a. Prognosis

RHINITIS ALERGI

Definisi

Rhinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi pada pasien

atopi yang sebelumnya sudah tersensitisasi dengan alergen yang sama serta dilepaskannya suatu

mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan dengan alergen spesifik tersebut (von Pirquet,

1986).

Etiologi

Rhinitis alergi dan atopi secara umum disebabkan oleh interaksi dari pasien yang secara

genetik memiliki potensi alergi dengan lingkungan. Genetik secara jelas memiliki peran penting.

Pada 20 – 30% semua populasi dan pada 10 – 15% anak semuanya atopi. Apabila kedua orang

tua atopi, maka risiko atopi menjadi 4 kali lebih besar atau mencapai 50%. Peran lingkungan

dalam dalam rinitis alergi yaitu alergen, yang terdapat di seluruh lingkungan, terpapar dan

merangsang respon imun yang secara genetik telah memiliki kecenderungan alergi.1

Adapun alergen yang biasa dijumpai berupa alergen inhalan yang masuk bersama udara

pernapasan yaitu debu rumah, tungau, kotoran serangga, kutu binatang, jamur, serbuk sari, dan

lain-lain.

Bagan 1: Penatalaksanaan Polip Nasal7

Sumber : Perhati-KL, Guideline Penyakit THT-KL di Indonesia

Page 24: LAPORAN KASUS 2

Patofisilogi

Rinitis alergi merupakan suatu penyakit inflamasi yang diawali dengan tahap sensitisasi

dan diikuti dengan reaksi alergi. Reaksi alergi terdiri dari 2 fase yaitu immediate phase allergic

reaction atau reaksi alergi fase cepat (RAFC) yang berlangsung sejak kontak dengan alergen

sampai 1 jam setelahnya dan late phase allergic reaction atau reaksi alergi fase lambat (RAFL)

yang berlangsung 2-4 jam dengan puncak 6-8 jam (fase hiperreaktivitas) setelah pemaparan dan

dapat berlangsung 24-48 jam.

Pada kontak pertama dengan alergen atau tahap sensitisasi, makrofag atau monosit yang

berperan sebagai sel penyaji (Antigen Presenting Cell/APC) akan menangkap alergen yang

menempel di permukaan mukosa hidung.

Setelah diproses, antigen akan membentuk fragmen pendek peptida dan bergabung

dengan molekul HLA kelas II membentuk komplek peptida MHC kelas II (Major

Histocompatibility Complex) yang kemudian dipresentasikan pada sel T helper (Th 0).

Kemudian sel penyaji akan melepas sitokin seperti interleukin 1 (IL 1) yang akan mengaktifkan

Th0 untuk berproliferasi menjadi Th1 dan Th 2. Th 2 akan menghasilkan berbagai sitokin seperti

IL 3, IL 4, IL 5, dan IL 13.

IL 4 dan IL 13 dapat diikat oleh reseptornya di permukaan sel limfosit B, sehingga sel

limfosit B menjadi aktif dan akan memproduksi imunoglobulin E (IgE). IgE di sirkulasi darah

akan masuk ke jaringan dan diikat oleh reseptor IgE di permukaan sel mastosit atau basofil (sel

mediator) sehingga kedua sel ini menjadi aktif. Proses ini disebut sensitisasi yang menghasilkan

sel mediator yang tersensitisasi. Bila mukosa yang sudah tersensitisasi terpapar alergen yang

sama, maka kedua rantai IgE akan mengikat alergen spesifik dan terjadi degranulasi (pecahnya

dinding sel) mastosit dan basofil dengan akibat terlepasnya mediator kimia yang sudah terbentuk

Page 25: LAPORAN KASUS 2

(Performed Mediators) terutama histamin. Selain histamin juga dikeluarkan Newly Formed

Mediators antara lain prostaglandin D2 (PGD2), Leukotrien D4 (LT D4), Leukotrien C4 (LT

C4), bradikinin, Platelet Activating Factor (PAF) dan berbagai sitokin. (IL3, IL4, IL5, IL6,GM-

CSF (Granulocyte Macrophage Colony Stimulating Factor) dan lain-lain. Inilah yang disebut

sebagai Reaksi Alergi Fase Cepat (RAFC).

Histamin akan merangsang reseptor H1 pada ujung saraf vidianus sehingga menimbulkan

rasa gatal pada hidung dan bersin-bersin. Histamin juga akan menyebabkan kelenjar mukosa dan

sel goblet mengalami hipersekresi dan permeabilitas kapiler meningkat sehingga terjadi rinore.

Gejala lain adalah hidung tersumbat akibat vasodilatasi sinusoid. Selain histamin merangsang

ujung saraf Vidianus, juga menyebabkan rangsangan pada mukosa hidung sehingga terjadi

pengeluaran Inter Cellular Adhesion Molecule 1(ICAM 1).

Pada RAFC, sel mastosit juga akan melepaskan molekul kemotaktik yang menyebabkan

akumulasi sel eosinofil dan netrofil di jaringan target. Respons ini tidak berhenti sampai disini

saja, tetapi gejala akan berlanjut dan mencapai puncak 6-8 jam setelah pemaparan. Pada RAFL

ini ditandai dengan penambahan jenis dan jumlah sel inflamasi seperti eosinofil, limfosit,

netrofil, basofil dan mastosit di mukosa hidung serta pengingkatan sitokin seperti IL3, IL4, IL5

dan Granulocyte Macrophag Colony Stimulating Factor (GM-CSF) dan ICAM1 pada sekret

hidung. Timbulnya gejala hiperaktif atau hiperresponsif hidung adalah akibat peranan eosinofil

dengan mediator inflamasi dari granulnya seperti Eosinophilic Cationic Protein (ECP),

Eosiniphilic Derived Protein(E DP ), Major Basic Protein (MBP), dan Eosinophilic Peroxidase

(EPO). Pada fase ini, selain faktor spesifik (alergen), iritasi oleh faktor non spesifik dapat

memperberat gejala seperti asap rokok, bau yang merangsang, perubahan cuaca dan kelembaban

udara yang tinggi.

Page 26: LAPORAN KASUS 2

Klasifikasi

Saat ini digunakan klasifikasi rinitis alergi berdasarkan rekomendasi dari WHO Initiative

ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma) tahun 2000, yaitu berdasarkan sifat

berlangsungnya dibagi menjadi :

1. Intermiten (kadang-kadang)

Bila gejala kurang dari 4 hari/minggu atau kurang dari 4 minggu.

2. Persisten/menetap

Bila gejala lebih dari 4 hari/minggu dan atau lebih dari 4 minggu.

Sedangkan untuk tingkat berat ringannya penyakit, rinitis alergi dibagi menjadi :

1. Ringan

Bila tidak ditemukan gangguan tidur, gangguan aktivitas harian,bersantai,

berolahraga, belajar, bekerja, dan hal-hal lain yang mengganggu.

2. Sedang-berat

Bila terdapat satu atau lebih dari gangguan tersebut diatas.

Diagnosis

Anamnesis

Gejala rinitis alergi yang khas adalah terdapatnya serangan bersin berulang. Sebetulnya

bersin merupakan gejala yang normal, terutama pada pagi hari atau bila terdapat kontak dengan

sejumlah besar debu. Hal ini merupakan mekanisme fisiologik, yaitu proses membersihkan

sendiri (self cleaning process). Bersin dianggap patologik, bila terjadinya lebih dari lima kali

setiap serangan, terutama merupakan gejala pada RAFC dan kadang-kadang pada RAFL sebagai

akibat dilepaskannya histamin.

Page 27: LAPORAN KASUS 2

Gejala lain ialah keluar ingus (rinore) yang encer dan banyak, hidung tersumbat, hidung

dan mata gatal, yang kadang-kadang disertai dengan banyak air mata keluar (lakrimasi). Rinitis

alergi sering disertai oleh gejala konjungtivitis alergi. Sering kali gejala yang timbul tidak

lengkap, terutama pada anak. Kadang-kadang keluhan hidung tersumbat merupakan keluhan

utama atau satu-satunya gejala yang diutarakan oleh pasien.

Pemeriksaan Fisik

Pada rinoskopi anterior tampak mukosa edema, basah, berwarna pucat atau livid disertai

adanya sekret encer yang banyak. Bila gejala persisten, mukosa inferior tampak hipertrofi.

Pemeriksaan nasoendoskopi dapat dilakukan bila fasilitas tersedia. Gejala spesifik lain pada anak

adalah terdapatnya bayangan gelap di daerah bawah mata yang terjadi karena stasis vena

sekunder akibat obstruksi hidung. Gejala ini disebut allergic shiner. Selain dari itu sering juga

tampak anak menggosok-gosok hidung, karena gatal, dengan punggung tangan. Keadaan ini

disebut sebagai allergic salute. Keadaan menggosok ini lama kelamaan akan mengakibatkan

timbulnya garis melintang di dorsumnasi bagian sepertiga bawah, yang disebut sebagai allergic

crease. Mulut sering terbuka dengan lengkung langit-langit yang tinggi, sehingga akan

menyebabkan gangguan pertumbuhan gigi geligi (facies adenoid). Dinding posterior faring

tampak granuler dan edema (cobblestone appearance), serta dinding lateral faring menebal.

Lidah tampak seperti gambaran peta (geographic tongue).

Tatalaksana

1. Terapi yang paling ideal adalah dengan menghindari kontak dengan allergen

penyebabnya (avoidance) dan eliminasi.

Page 28: LAPORAN KASUS 2

2. Medikamentosa

a. Antihistamin

Antihistamin yang dipakai adalah antagonis histamine H-1, yang bekerja

secara inhibitor kompetitif pada reseptor H-1 sel target, dan merupakan preparat

farmakologik yang paling sering dipakai sebagai lini pertama pengobatan rhinitis

alergi. Pemberian dapat dalam kombinasi atau tanpa kombinasi dengan

dekongestan secara peroral.

Antihistamin dibagi dalam 2 golongan yaitu golongan antihistamin

generasi 1 (klasik) dan generasi 2 (non-sedatif). Antihistamin generasi 1 bersifat

lipofilik, sehingga dapat menembus sawar darah otak (mempunyai efek pada SSP)

dan plasenta serta mempunyai efek kolinergik. Yang termasuk kelompok ini

antara lain adalah difenhidramin, klorfeniramin, prometasin, siproheptadin,

sedangkan yang dapat diberikan secara topical adalah azelastin. Antihistamin

generasi 2 bersifat lipofobik, sehingga sulit menembus sawar darah otak. Bersifat

selektif mengikat resptor H-1 perifer dan tidak mempunyai efek antikolinergik,

antiadrenergik dan pada efek pada SSP minimal (non-sedatif). 1,4

Antihistamin diabsorpsi secara oral dengan cepat dan mudah serta efektif

untuk mengatasi gejala obstruksi hidung pada fase lambat. Antihistamin non

sedative dapat dibagi menjadi dua golongan menurut keamananya. Kelompok

pertama adalah astemisol dan terfenadin yang mempunyai efek kardiotoksik.

Toksisitas terhadap jantung tersebut disebabkan repolarisasi jantung yang tertunda

dan dapat menyebabkan aritmia ventrikel, henti jantung dan bahkan kematia

Page 29: LAPORAN KASUS 2

medadak (sudah ditarik dari peredaran). Kelompok kedua adalah loratadin,

setirisin, fexofenadin, desloratadin, dan levosetirisin.

Preparat simpatomimetik golongan agonis adrenergik alfa dipakai sebagai

dekongestan hidung oral dengan atau tanpa kombinasi dengan antihistamin atau

topikal. Namun pemakaian secara topikal hanya boleh untuk beberapa hari saja

untuk menghindari terjadinya rinitis medikamentosa.

b. Dekongestan

Golongan obat ini tersedia dalam bentuk topikal maupun sistemik. Onset

obat topikal jauh lebih cepat daripada preparat sistemik., namun dapat

menyebabkan rhinitis medikamentosa bila digunakan dalam jangka waktu lama.

Obat dekongestan sistemik yang sering digunakan adalah pseudoephedrine

HCl dan Phenylpropanolamin HCl. Obat ini dapat menyebabkan vasokonstriksi

pembuluh darah. Dosis obat ini 15 mg untuk anak 2-5 tahun, 30 mg untuk anak 6-

12 tahun, dan 60 mg untuk dewasa, diberikan setiap 6 jam. Efek samping dari

obat-obatan ini yang paling sering adalah insomnia dan iritabilitas.

c. Antikolinergik

Preparat antikolinergik topikal adalah ipratropium bromide, bermanfaat

untuk mengatasi rinore, karena aktifitas inhibisi reseptor kolinergik pada

permukaan sel efektor.

d. Kortikosteroid

Preparat kortikosteroid dipilih bila gejala terutama sumbatan hidung akibat

respon fase lambat tidak berhasil diatasi dengan obat lain. Yang sering dipakai

Page 30: LAPORAN KASUS 2

adalah kortikosteroid topikal (beklometason, budesonid, flunisolid, flutikason,

mometason, furoat dan triamsinolon). Kortikosteroid topikal bekerja untuk

mengurangi jumlah sel mastosit pada mukosa hidung, mencegah pengeluaran

protei n sitotoksik dari eosinofil, mengurangi aktifitas limfosit, mencegah

bocornya plasma. Hal ini menyebabkan epitel hidung tidak hiperresponsif

terhadap rangsangan allergen (bekerja pada respon cepat dan lambat). Preparat

sodium kromoglikat topikal bekerja menstabilkan mastosit (mungkin menghambat

ion kalsium) sehingga pelepasan mediator dihambat. Pada respons fase lambat,

obat ini juga menghambat proses inflamasi dengan menghambat aktifasi sel

netrofil, eosinofil dan monosit. Hasil terbaik dapat dicapai bila diberikan sebagai

profilaksis.

3. Operatif

Tindakan konkotomi parsial (pemotongan sebagian konka inferior), konkoplasti

atau multiple outfractured, inferior turbinoplasty perlu dipikirkan bila konka inferior

hipertrofi berat dan tidak berhasil dikecilkan dengan cara kaeuterisasi memakai AgNO3

25% atau triklor asetat.

4. Imunoterapi

Cara pengobatan ini dilakukan pada alergi inhalan dengan gejala yang berat dan

sudah berlangsung lama serta dengan pengobatan cara lain tidak memberikan hasil yang

memuaskan. Tujuan dari imunoterapi adalah pembentukkan IgG blocking antibody dan

penurunan IgE. Ada 2 metode imunoterapi yang umum dilakukan yaitu intradermal dan

sublingual.