Page 1
LAPORAN KASUS
POLIP NASI, HIPERTROFI TONSIL DAN RINITIS ALERGIKA
Pembimbing :
dr. Hj. Fitria Shebubakar, Sp.THT
Disusun Oleh :
Sakina J.H.Saleh (2010730160)
SMF THT RS ISLAM PONDOK KOPI JAKARTA
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER
FAKULTAS KEDOKTERAN & KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA
2015
Page 2
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya pada
kami sehingga kami dapat menyelesaikan laporan kasus dengan judul ” Polip Nasi, Hipertrofi
Tonsil dan Rinitis Alergika” sesuai pada waktu yang telah ditentukan.
Salawat serta salam semoga tercurah kepada Nabi Muhammad SAW, keluarga, serta para
pengikutnya hingga akhir zaman. Laporan ini kami buat sebagai dasar kewajiban dari suatu
proses kegiatan yang kami lakukan yang kemudian diaplikasikan dalam bentuk praktik
kehidupan sehari-hari.
Terimakasih kami ucapkan kepada seluruh pembimbing yang telah membantu kami
dalam kelancaran pembuatan laporan kasus ini, dr. Hj. Fitria Shebubakar, Sp.THT. Semoga
laporan ini dapat bermanfaat bagi kami khususnya dan bagi pembaca pada umumnya.
Kami harapkan kritik dan saran dari para pembaca untuk menambah kesempurnaan
laporan kami.
Jakarta, Februari 2015
Penyusun
Page 3
BAB I
LAPORAN KASUS
IDENTITAS PASIEN
Nama pasien : Tn. C
Umur : 32 tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Alamat : Kampung Pisangan, Cakung
Tanggal Pemeriksaan : 2 Maret 2015
ANAMNESIS
Keluhan utama
Hidung tersumbat
Riwayat penyakit sekarang
Pasien datang dengan keluhan hidung tersumbat yang dirasakan sejak 2 minggu SMRS
Keluhan hidung tersumbat ini dirasakan pada hidung kiri, sedangkan pada hidung kanan
tidak dirasakan tersumbat. Keluhan ini disertai dengan terasa agak sakit di daerah hidung
dan pipi dan diatas mata kanan dan kiri serta terasa lendir di bagian tenggorokkan.
Pasien juga merasakan hidung berbau sejak 1 minggu SMRS namun tidak ada gangguan
penciuman. Selain itu pasien mengaku sering keluar lendir dari hidung berwarna bening dan
2 hari SMRS keluar darah dari hidung kiri. Keluhan ini sudah dirasakan sjak 2 bulan SMRS.
Page 4
Pasien mengaku sering ngorok saat tidur, sakit saat menelan, sering bersin saat kena
debu ataupun bangun pagi, hidung terasa gatal sehingga sering dikucek, gatal di mata,demam
yang hilang timbul. Adanya benjolan pada rongga hidung, batuk, riwayat trauman dihidung
disangkal oleh pasien.
Riwayat penyakit dahulu
Riwayat DM, hipertensi, serta asma disangkal oleh pasien.
Riwayat penyakit keluarga : riwayat alergi disangkal-
Riwayat pengobatan : -
Riwayat alergi
Pasien mengaku tidak memiliki riwayat alergi makanan, obat-obatan.
PEMERIKSAAN FISIK
Status Generalis
Keadaan umum : Baik
Kesadaran : Compos mentis
Tanda vital :
Tensi : 110/80 mmHg
Nadi : 72 x/menit
Respirasi : 18 x/menit
Suhu : afebris
Page 5
STATUS GENERALIS
• Kepala
Mata : Konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik .
Hidung : Sekret +/+
Telinga : Normotia, sekret -/- .
Mulut : Mukosa bibir lembab, Coated tongue (-), careis dentis -, tonsil T3 – T3,
hiperemis, faring hiperemis -
Leher : pembesaran KBG -
Toraks :
Pulmo : Vesikuler + / +, ronkhi -/- , wheezing -/-
COR : S1 - S2 murni reguler, murmur -, Gallop -
Abdomen
Inspeksi : Supel, datar, pelebaran vena -
Palpasi
o Hepar : Tidak teraba
o Splen : Tidak teraba
o Ballotement : - / -
Perkusi : Timpani
Auskultasi : BU (+) N
Ekstremitas
Atas : hangat +/+, edema -/-, RCT < 2 det, sianosis -/-
Bawah : hangat +/+, edema -/-, RCT < 2 det, sianosis -/-
Page 6
STATUS LOKALIS
Telinga
Bagian Dextra Sinistra
Auricula
Bentuk normal,
Helix sign (-)
Tragus sign (-)
Bentuk normal
Helix sign (-)
Tragus sign (-)
Pre auricular
Bengkak (-)
nyeri tekan (-)
fistula (-)
Bengkak (-)
nyeri tekan (-)
fistula (-)
Retro auricularBengkak (-)
Nyeri tekan (-)
Bengkak (-)
Nyeri tekan (-)
MastoidBengkak (-)
Nyeri tekan (+)
Bengkak (-),
Nyeri tekan (+)
CAE
Serumen (+)
Hiperemis (-)
Sekret (-)
Serumen (+)
Hiperemis (-)
Sekret (-)
Membran timpani
Intak
Putih mengkilat
Refleks cahaya (+)
Intak
Putih mengkilat
Refleks cahaya (+)
Page 7
Hidung
Hidung kanan Hidung kiri
Hidung luar Bentuk (normal), hiperemi (-),
nyeri tekan (-), deformitas (-)
Bentuk (normal), hiperemi (-),
nyeri tekan (-), deformitas (-)
Rinoskopi anterior
Kanan Kiri
Cavum nasi Hiperemis (+), sekret
mukopurulen (+)
Hiperemis (+), sekret
mukopurulen (+)
Meatus nasi media Mukosa hiperemis, sekret (+),
Massa (-)
Mukosa hiperemis, krusta (+),
Massa (-)
Konka nasi inferior Edema (+), mukosa hiperemi (+),
hipertrofi -
Edema (+), mukosa hiperemi
(+), hipertrofi -
Septum nasi Deviasi (+) ke kanan
Endoskopi
Meatus nasi medius Massa + : pucat, mudah digerakkan
Pemeriksaan Tenggorokan
Lidah Ulkus (-), Stomatitis (-)
Uvula Bentuk normal, posisi di tengah
Page 8
Tonsil Dextra Sinistra
Ukuran T3 T3
Permukaan Tidak Rata Tidak Rata
Warna Hiperemis (+) Hiperemis (+)
Kripte Melebar (-) Melebar (-)
Detritus (-) (-)
Faring Mukosa hiperemis (-), dinding tidak rata, granular (-)
Leher : Pembesaran KBG -, nyeri tekan –
USULAN PEMERIKSAAN
- Ct Scan Sinus Paranasal
- Swab Tenggorokan
- Pemeriksaan Darah Rutin : Leukosit, Hb, Trombosit, eritrosit
PEMERIKSAAN PENUNJANG
- Pemeriksaan Darah
Parameter Nilai Nilai Normal
Hb 10,9 L : 13,5-17,5 g/dL
Leukosit 5,8 5-10 x 103/uL
Hematokrit 34 L : 40-50 %
Trombosit 257 150-400 x 103/uL
HEMOSTASIS
Page 9
APTT Test 34.5 27-42 second
Median APTT 34.5 -
PT Test 16.3 12-19 second
KIMIA
Ureum 27 10-50 mg/dL
Kreatinin 0,9 0,67-1,1 mg/dL
GDS 66 L: 70-200 mg/dL
SGOT 17.10 10-35 U/L
SGPT 11.9 10-45 /L
RADIOLOGI
Foto rontgen sinus paranasal
- Tampak perselubungan sinus maksilaris sinistra, etmoidalis sinistra, dan frontalis
sinistra.
- Perubahan konka inferior dinding paranasal
Kesan : Sinusitis maklirasi sinistra, etmoidalis sinistra, dan sinusistis frontalis sinistra
: hipertrofi konka nasi bilateral
RESUME
Seorang pasien laki-laki 32 tahun datang dengan keluhan hidung tersumbat yang
dirasakan sejak 2 minggu SMRS. Keluhan hidung tersumbat ini dirasakan pada hidung kiri,
sedangkan pada hidung kanan tidak dirasakan tersumbat. Keluhan ini disertai dengan terasa
agak sakit di daerah hidung dan pipi dan diatas mata kanan dan kiri serta terasa lendir di
Page 10
bagian tenggorokkan. Pasien juga merasakan hidung berbau sejak 1 minggu SMRS sering
keluar lendir dari hidung berwarna bening dan 2 hari SMRS keluar darah dari hidung kiri.
Keluhan ini sudah dirasakan sjak 2 bulan SMRS. Pasien mengaku sering ngorok saat tidur,
sakit saat menelan, sering bersin saat kena debu ataupun bangun pagi, hidung terasa gatal
sehingga sering dikucek, gatal di mata,demam yang hilang timbul.
Pemeriksaan fisik ditemukan cavum nasi hiperemis +/+, sekret mukopurulen +/+, massa
+ di meatus nasi media, edema +/+ konka nasi inferior, septum deviasi ke kanan.Pada tonsil
ditemukan tonsil T3-T3, hiperemis+/+.
DIAGNOSIS
Polip Nasi Sinistra
Hipertrofi Tonsil
Rhinitis Alegika
RENCANA TERAPI
- Non farmakologis
Olahraga dan istirahat yang cukup
Makanan seimbang
Edukasi pasien tentang penyakitnya dan pengobatan yang akan dijalani
- Farmakologis
Kortikosteriod: Deksametason Tab 3x4 mg selama 3 hari, kemudian 2x4mg 3 hari
selanjutnya, kemudian dilanjutkan 1x4mg pada 3 hari terakhir.
Page 11
Dekongestan : Psuudoefedrin HCL tab 3 x 8 mg
Operasi untuk mengangkat massa pada cavum nasi sinistra (polip) Polipektomi
FESS
PROGNOSIS
Quo Ad Vitam : dubia ad bonam
Quo Ad Functionam : dubia ad bonam
Quo Ad Sanantionam : dubia ad bonam
Page 12
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
POLIP NASI
Definisi
Polip nasi ialah massa lunak yang mengandung anyak cairan di dalam rongga hidung,
berwarna putih keabu-abuan, yang terjadi akibat inflamasi mukosa. Polip nasi merupakan
kelainan mukosa hidung berupa massa lunak yang bertangkai, berbentuk bulat atau lonjong,
berwarna putih keabuan, dengan permukaan licin dan agak bening karena mengandung banyak
cairan. Umumnya sebagian besar polip ini berasal dari celah kompleks osteomearal
(KOM) yang kemudian tumbuh ke arah rongga hidung.
Epidemiologi
Prevalensi penderita polip nasi belum diketahui pasti karena hanya sedikit laporan dari
hasil studi epidemiologi serta tergantung pada pemilihan populasi penelitian dan metode
diagnostik yang digunakan. Prevalensi polip nasi dilaporkan 1-2% pada orang dewasa di Eropa
dan 4,3% di Finlandia. Dengan perbandingan pria dan wanita 2- 4:1. Di Amerika Serikat
prevalensi polip nasi diperkirakan antara 1-4 %. Pada anak-anak sangat jarang ditemukan dan
dilaporkan hanya sekitar 0,1%. Penelitian Larsen dan Tos di Denmark memperkirakan insidensi
polip nasi sebesar 0,627 per 1000 orang per tahun (Bateman 2003, Ferguson et al.2006). Di
Indonesia studi epidemiologi menunjukkan bahwa perbandingan pria dan wanita 2-3 : 1 dengan
prevalensi 0,2%-4,3%.2,3,4
Page 13
Etiopatogenesis
Sampai saat ini belum ada kesepakatan mengenai etiologi polip nasi, terdapat sejumlah
hipotesis mengenai asal dari polip nasi eosinofilik dan neutrofilik yang berkisar dari predisposisi
genetik, variasi anatomi, infeksi kronis, alergi inhalan, alergi makanan, sampai
ketidakseimbangan vasomotor.
Etiologi yang pasti belum diketahui tetapi ada 3 faktor penting pada terjadinya polip,
yaitu :
1. Adanya peradangan kronik yang berulang pada mukosa hidung dan sinus.
2. Adanya gangguan keseimbangan vasomotor.
3. Adanya peningkatan tekanan cairan interstitial dan edema mukosa hidung
Beberapa hipotesis dari keadaan tersebut antara lain :
Alergi
Alergi merupakan faktor yang banyak menjadi sorotan karena tiga hal, yaitu
karena sebagian besar polip hidung terdiri dari eosinofil, berhubungan dengan
asma, serta temuan klinis pada nasal yang menyerupai gejala dan tanda alergi.
Paparan alergen udara menahun, diduga berperan dalam terjadinya polip hidung
melalui inflamasi yang terus-menerus pada mukosa hidung.
Ketidak Seimbangan Vasomotor
Teori ini dikemukakan karena pada banyak kondisi tidak ditemukan adanya
tanda-tanda atopi dan tidak ada riwayat pajanan alergen yang ditemukan. Akan
tetapi pasien cenderung mengalami rinitis prodromal sebelum pada akhirnya
berkembang menjadi polip hidung. Polip hidung bisanya memiliki vaskularisasi
yang kurang dan berkurangnya inervasi vasokonstriktor. Selanjutnya gangguan
Page 14
dalam regulasi vaskular dan peningkatan permeabilitas dapat menyebabkan edema
dan pembentukan polip.
Bernouli Fenomena
Fenomena Bernoulli terjadi karena adanya penurunan tekanan yang
selanjutnya menyebabkan konstriksi. Hal ini akan menimbulkan tekanan negatif
dalam KOM, yang mempengaruhi mukosa disekitarnya. Karena tekanan negatif ini
kemudia akan terjadi infalamasi mukosa yang selanjutnya menjadi awal
terbentuknya polip.
Terori Rupture Epithel
Rupturnya epitel dari mukosa nasal karena alergi atau karena infeksi daspat
menyebabkan prolaps dari lamina propria, yang selanjutnya akan membentuk polip.
Defek dari faktor ini mungkin semakin membesar karena pengaruh gravitasi atau
drainase vena mengalami obstruksi. Akan tetapi dari scanning dengan pengamatan
mikroskopik tidak ditemukan adanya defek epitel yang bermakna pada pasien
dengan polip hidung.
Intoleransi Aspirin
Banyak konsep yang menjelaskan bagaimana patogenesis dari intoleransi
aspirin serta hubungannya dengan polip hidung. Terdapat sindrom klinis yang
jelas, bagaimana obat-obatan NSAID khusunya aspirin dapat memicu terjadinya
rinitis dan serangan asma. Respon Cyclooxygenase (COX) umumnya sangat
berbeda pada pasien dengan intoleransi aspirin dibandingkan normal. Dapat
dibuktikan bahwa terjadi perubahan pada COX1 dan COX2 yang menghasilkan
metabolit tertentu yang akan menstimulasi cysteinyl leukotriene (Cys-LT).
Page 15
Perubahan ini selanjutnya menyebabkan metabolisme asam arachidonat menjadi
jalur leukotriene inflamasi tinggi, yang selanjutnya akan mengurangi kadar PGE2
(yang merupakan PG antiinflamasi). Eksperi berlebihan dari LTC4 synthase
selanjutnya akan meningkatkan jumlah cysteinyl LTs, menyebabkan respon inflamasi
tak terkontrol dan inflamasi kronis.
Cystic Fibrosis
Cystic Fibrosis merupakan salah satu penyakit autosomal resesif pada
kelompok orang kulit putih. Cystic fibrosis disebabkan karena mutasi gen tunggal
pada kormosom 7 yang disebut cystic fibrosis transmembrane regulator (CFTR).
Hal ini menyebabkan tidak adanya cyclic AMP-regulated chloride chanel yang
menyebabkan impermeabilitas klorida dan peningkatan absorpsi natrium.
Peningkatan absorpsi natrium dan penurunan sekresi klorida menyebabkan
pergerakan air ke sel dan ruang interstitial, selanjutnya menimbulkan retensi ari,
pembentukan polip. Defek migrasi protein CFTR juga menyebabkan terjadinya
inflamasi kronis skunder.
Nitric Oxide
Nitric Oxida merupakan gas radikal bebas, yang memainkan peran besar
dalam terjadinya reaksi imunologis nonspesifik, regulasi dari tone vaskular,
pertahanan host, dan inflamasi pada berbagai jaringan. Radikal bebas biasanya
dipertahankan dalam keadaan seimbang oleh antioxidan defense system superoxide
dismutase , catalase dan glutahione peroxidase. Ketika radikal bebas ini dapat
melebihi kemampuan pertahanan d ari antioxidant, maka akan terjadi defek seluler,
defek jaringan, dan penyakit kronis. Ditemukan laporan akan meningkatnya kadar
Page 16
nitric oxide dan penurunan scavangeing enzim pada pasien polip hidung
dibandingkan dengan kontrol, yang menunjukkan adanya penumpukan radikal
bebeas pada polip hidung.
Infeksi
Bagaimana infeksi dapat menjadi faktor yang juga penting terhadap
pembentukan polip, diduga terkait dengan adanya gangguan pada epitel dengan
proliferasi jaringan granulasi. Hal ini biasanya terjadi pada infeksi Streptococcus
pneumoniae, Staphylococcus aureus, atau Bacteroides fragilis (semua jenis patogen
yang sering ditemukan pada rinosinusitis). Bagaimana granuloma menginduksi
terjadinya polip hidung masih belum benar-benar dipahami.
Superantigen Hypotensis
Staphylococcus aureus ditemukan sekitar 60-70% pada daerah mukus didekat
polif masif. Organisme ini selalu memproduksi toxin, staphylococcus enterotoxin A
(SEA), staphylococcus enterotoxin B (SEB) dan toxic shock syndrome toxin-1
(TSST-1) yang akan berperan sebagai supetantigen, menyebabkan aktifasi dan
ekspansi klonal dari limfosit pada lateral hidung. Aktifasi dari limfosit ini, akan
menghasilkan sitokin Th1 dan Th2 (IFN-gama. IL-2, IL-4, IL-4), hal ini akan
menyebabkan chronic lymphocytic-eosinophil muchosal disease. Hal ini dibuktikan
dengan ditemukannya antibodi spesifik IgE terhadap SEA dan SEB sebanyak 50%
pada penderita polip hidung.
Page 17
Manifestasi Klinis
Polip hidung dapat menyebabkan hidung tersumbat, yang selanjutnya dapat
menginduksi rasa penuh atau tekanan pada hidung dan rongga sinus. Kemudian dirasakan
hidung yang berair (rinorea) mulai dari yang jernih sampai purulen, hiposmia atau
anosmia serta dapat juga dirasakan nyeri kepala daerah frontal. Gejala lain yang dapat
timbul tergantung dari penyertanya, pada infeksi bakteri dapat disertai pula dengan post
nasal drip serta rinorea purulen. Gejala sekunder yang dapat timbul adalah bernafas
melalui mulut, suara sengau, halitosis, gangguan tidur, dan gannguan kualitas hidup.
Dapat juga menyebababkan gejala pada saluran nafas bawah, berupa batuk kronik
dan mengi, terutama pada penderita polip hidung dengan asma. Selain itu harus dicari
riwayat penyakit lain seperti alergi, asma, intoleransi aspirin.
Diagnosis
Anamnesis
Dari anamnesis didapatkan keluhan-keluhan berupa hidung tersumbat, rinorea,
hiposmia atau anosmia. Dapat pula didapatkan gejala skunder seperti bernafas melalui
mulut, suara sengau, halitosis, gangguan tidur dan gangguan aktifitas.
Pemeriksaan Fisik
Polip nasi masif dapat menyebabkan deformitas hidung luar sehingga hidung
tampak mekar karena pelebaran batang hidung. Pada pemeriksaan rinoskopi anterior
didapatkan masa pucat yang berasal dari meatus media dan mudah digerakkan.
Page 18
Pembagian stadium polip menurut MacKay dan Lund : Stadium 1 : polip masih
terbatas pada meatus media, Stadium 2 : polip sudah keluar dari meatus media, tampak
pada rongga hidung tertapi belum memenuhi rongga hidung, Stadium 3: polip masif.
Pemeriksaan Penunjang
Naso-endoskopi
Polip pada stadium 1 dan 2 kadang-kadang tidak terlihat dari rinoskopi anterior,
akan tetapi dengan naso endoskopi dapat terlihat dengan jelas. Pada kasus polip
koanal juga sering dapat dilihat tangkai polip yang berasal dari ostium asesorius
sinus maksila.
Pemeriksaan Radiologi
Foto polos sinus paranasal (Posisi waters, AP, Caldwell dan latera) dapat
memperlihatkan adanya penebalan mukosa dan adanya batas udara cairan di dalam
sinus, tetapi kurang bermanfaat untuk polip hidung. Pemeriksaan CT scan sangat
bermanfaat untuk melihat secara jelas keadaan di hidung dan sinus paranasal
apakah ada proses radang, kelainan anatomi, polip atau sumbatan pada kompleks
osteomeatal (KOM). CT scan harus diindikasikan pada kasus polip yang gagal
diobati dengan terapi medikamnetosa, jika ada komplikasi dari sinusitis dan pada
perencanaan tindakan bedah endoskopi.
Tatalaksana
Tujuan dari tatalaksana polip hidung yaitu:
- Memperbaikai keluhan pernafasan pada hidung
- Meminimalisir gelaja
Page 19
- Meningkatkan kemampuan penghidu
- Menatalaksanai penyakit penyerta
- Meningkatkan kulitas hidup
- Mencegah komplikasi.
Secara umum penatalaksanaan dari polip hidung yaitu melalui penatalksanaan medis
dan operatif.
Tatalaksana Medis
Polip Hidung merupakan kelainan yang dapat ditatalaksanai secara medis. Walaupun
pada beberapa kasus memerlukan penanganan operatif, serta tatalaksana agresif sebelum
dan sesudah operatif juga diperlukan.
1. Antibiotik
Polip hidung dapat menyebabkan terjadinya obstruksi sinus, yang selanjutnya
menimbulkan infeksi. Tatalaksana dengan antibiotik dapat mencegah pertumbuhan
dari polip dan mengurangi perdarahan selama operasi. Antibiotik yang diberkan
harus langsung dapat memberikan efek langsung terhadap spesies Staphylococcus,
Streptococcus, dan bakteri anaerob, yang merupakan mikroorganisme pada sinusitis
kronis.
2. Corticosteroid
Topikal Korticosteroid
Intranasal/topikal kortikosteroid merupakan pilihan pertama untuk polip hidung.
Selain itu penggunaan topikal kortikosteroid ini juga berguna pada pasien post-
operatif polip hidung, dimana pemberiannya dapat mengurangi angka kekambuhan.
Pemberian dari kortikosteroid topikal ini dapat dicoba selama 4-6 minggu dengan
Page 20
fluticasone propionate nasal drop 400 ug 2x/hari memiliki kemampuan besar dalam
mengatasi polip hidung ringan-sedang (derajat 1-2), diamana dapat mengurangi
ukuran dari polip hidung dan keluhan hidung tersumbat.
Sitemik Kortikosteroid
Penggunaan dari kortikosteroid sistemik/oral tunggal masih belum banyak diteliti.
Penggunaanya umumnya berupa kombinasi dengan terapi kortikosteroid intranasal.
Penggunaan fluocortolone dengan total dosis 560 mg selama 12 hari atau 715 mg
selama 20 hari dengan pengurangan dosis perhari disertai pemberian budesonide
spray 0,2 mg dapat mengurangi gejala yang timbul serta memperbaiki keluhan
sinus dan mengurangi ukuran polip.
Akan tetapi dari penelitian lain, penggunaan kortikosteroid sistemik tunggal yaitu
methylprednisolone 32 mg selama 5 hari, 16 mg selama 5 hari, dan 8 mg selama 10
hari ternyata dapat memberikan efek yang signifikan dalam mengurangi ukuran
polip hidung serta gejala nasal selain itu juga meningkatkan kemampuan penghidu.
3. Terapi lainnya
Penggunaan antihistamin dan dekongestan dapat memberikan efek simtomatik akan
tetapi tidak merubah perjalanan penyakitnya. Imunoterapi menunjukkan adanya
keuntungan pada pasien dengan sinusitis fungal dan dapat berguna pada pasien
dengan polip berulang.
Terapi Pembedahan
Indikasi untuk terapi pembedahan antara lain dapat dilakukan pada pasien yang tidak
memberikan respon adekuat dengan terapi medikal, pasien dengan infeksi berulang,
Page 21
serta pasien dengan komplikasi sinusitis, selain itu pasien polip hidung disertai
riwayat asma juga perlu dipertimbangkan untuk dilakukan pembedahan guna patensi
jalan nafas. Tindakan yang dilakukan yaitu berupa ekstraksi polip (polipektomi),
etmoidektomi untuk polip etmoid, operasi Caldwell-luc untuk sinus maxila.
Page 22
a. Prognosis
Keluhan
Sumbatan hidung dengan 1/> gejala
Curiga keganasan
Permukaan berbenjol, mudah berdarah
Massa polip hidung
Tentukan stadium
Biopsy tatalaksana sesuai
Stad 2&3
Terapi bedah
Stad I & 2
Terapi medik
Jika mungkin : biopsy untuk tentukan tipe polip dan lakukan polipektomi reduksi
Keterangan menentukan stadium
Polip dalam MM (NE)Polip keluar dari MMPolip memenuhi rongga hidung
Persiapan pra bedah
Terapi medik :
steroid topical dan ataupolipektomi medikamentosa dengan cara :
deksametason 12 mg (3 Hr) 8 mg (3 Hr)4 mgt (3 Hr)Methylprednisolon 64 mg 10 mg (10 Hr)Prednisone 1 mg/ kgbb (10 Hr)
Terapi bedah Tidak ada perbaikan Perbaikan
mengecil
Perbaikan
hilang
Tindak lanjut dengan steroid topical
Pemeriksaan berkala sebaiknya dengan NE
sembuh
Polip rekuren :
Cari faktor alergiSteroid topicalSteroid oral tidak lebih 3-4x/ tahunKaustikOperasi ulang
Page 23
a. Prognosis
RHINITIS ALERGI
Definisi
Rhinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi pada pasien
atopi yang sebelumnya sudah tersensitisasi dengan alergen yang sama serta dilepaskannya suatu
mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan dengan alergen spesifik tersebut (von Pirquet,
1986).
Etiologi
Rhinitis alergi dan atopi secara umum disebabkan oleh interaksi dari pasien yang secara
genetik memiliki potensi alergi dengan lingkungan. Genetik secara jelas memiliki peran penting.
Pada 20 – 30% semua populasi dan pada 10 – 15% anak semuanya atopi. Apabila kedua orang
tua atopi, maka risiko atopi menjadi 4 kali lebih besar atau mencapai 50%. Peran lingkungan
dalam dalam rinitis alergi yaitu alergen, yang terdapat di seluruh lingkungan, terpapar dan
merangsang respon imun yang secara genetik telah memiliki kecenderungan alergi.1
Adapun alergen yang biasa dijumpai berupa alergen inhalan yang masuk bersama udara
pernapasan yaitu debu rumah, tungau, kotoran serangga, kutu binatang, jamur, serbuk sari, dan
lain-lain.
Bagan 1: Penatalaksanaan Polip Nasal7
Sumber : Perhati-KL, Guideline Penyakit THT-KL di Indonesia
Page 24
Patofisilogi
Rinitis alergi merupakan suatu penyakit inflamasi yang diawali dengan tahap sensitisasi
dan diikuti dengan reaksi alergi. Reaksi alergi terdiri dari 2 fase yaitu immediate phase allergic
reaction atau reaksi alergi fase cepat (RAFC) yang berlangsung sejak kontak dengan alergen
sampai 1 jam setelahnya dan late phase allergic reaction atau reaksi alergi fase lambat (RAFL)
yang berlangsung 2-4 jam dengan puncak 6-8 jam (fase hiperreaktivitas) setelah pemaparan dan
dapat berlangsung 24-48 jam.
Pada kontak pertama dengan alergen atau tahap sensitisasi, makrofag atau monosit yang
berperan sebagai sel penyaji (Antigen Presenting Cell/APC) akan menangkap alergen yang
menempel di permukaan mukosa hidung.
Setelah diproses, antigen akan membentuk fragmen pendek peptida dan bergabung
dengan molekul HLA kelas II membentuk komplek peptida MHC kelas II (Major
Histocompatibility Complex) yang kemudian dipresentasikan pada sel T helper (Th 0).
Kemudian sel penyaji akan melepas sitokin seperti interleukin 1 (IL 1) yang akan mengaktifkan
Th0 untuk berproliferasi menjadi Th1 dan Th 2. Th 2 akan menghasilkan berbagai sitokin seperti
IL 3, IL 4, IL 5, dan IL 13.
IL 4 dan IL 13 dapat diikat oleh reseptornya di permukaan sel limfosit B, sehingga sel
limfosit B menjadi aktif dan akan memproduksi imunoglobulin E (IgE). IgE di sirkulasi darah
akan masuk ke jaringan dan diikat oleh reseptor IgE di permukaan sel mastosit atau basofil (sel
mediator) sehingga kedua sel ini menjadi aktif. Proses ini disebut sensitisasi yang menghasilkan
sel mediator yang tersensitisasi. Bila mukosa yang sudah tersensitisasi terpapar alergen yang
sama, maka kedua rantai IgE akan mengikat alergen spesifik dan terjadi degranulasi (pecahnya
dinding sel) mastosit dan basofil dengan akibat terlepasnya mediator kimia yang sudah terbentuk
Page 25
(Performed Mediators) terutama histamin. Selain histamin juga dikeluarkan Newly Formed
Mediators antara lain prostaglandin D2 (PGD2), Leukotrien D4 (LT D4), Leukotrien C4 (LT
C4), bradikinin, Platelet Activating Factor (PAF) dan berbagai sitokin. (IL3, IL4, IL5, IL6,GM-
CSF (Granulocyte Macrophage Colony Stimulating Factor) dan lain-lain. Inilah yang disebut
sebagai Reaksi Alergi Fase Cepat (RAFC).
Histamin akan merangsang reseptor H1 pada ujung saraf vidianus sehingga menimbulkan
rasa gatal pada hidung dan bersin-bersin. Histamin juga akan menyebabkan kelenjar mukosa dan
sel goblet mengalami hipersekresi dan permeabilitas kapiler meningkat sehingga terjadi rinore.
Gejala lain adalah hidung tersumbat akibat vasodilatasi sinusoid. Selain histamin merangsang
ujung saraf Vidianus, juga menyebabkan rangsangan pada mukosa hidung sehingga terjadi
pengeluaran Inter Cellular Adhesion Molecule 1(ICAM 1).
Pada RAFC, sel mastosit juga akan melepaskan molekul kemotaktik yang menyebabkan
akumulasi sel eosinofil dan netrofil di jaringan target. Respons ini tidak berhenti sampai disini
saja, tetapi gejala akan berlanjut dan mencapai puncak 6-8 jam setelah pemaparan. Pada RAFL
ini ditandai dengan penambahan jenis dan jumlah sel inflamasi seperti eosinofil, limfosit,
netrofil, basofil dan mastosit di mukosa hidung serta pengingkatan sitokin seperti IL3, IL4, IL5
dan Granulocyte Macrophag Colony Stimulating Factor (GM-CSF) dan ICAM1 pada sekret
hidung. Timbulnya gejala hiperaktif atau hiperresponsif hidung adalah akibat peranan eosinofil
dengan mediator inflamasi dari granulnya seperti Eosinophilic Cationic Protein (ECP),
Eosiniphilic Derived Protein(E DP ), Major Basic Protein (MBP), dan Eosinophilic Peroxidase
(EPO). Pada fase ini, selain faktor spesifik (alergen), iritasi oleh faktor non spesifik dapat
memperberat gejala seperti asap rokok, bau yang merangsang, perubahan cuaca dan kelembaban
udara yang tinggi.
Page 26
Klasifikasi
Saat ini digunakan klasifikasi rinitis alergi berdasarkan rekomendasi dari WHO Initiative
ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma) tahun 2000, yaitu berdasarkan sifat
berlangsungnya dibagi menjadi :
1. Intermiten (kadang-kadang)
Bila gejala kurang dari 4 hari/minggu atau kurang dari 4 minggu.
2. Persisten/menetap
Bila gejala lebih dari 4 hari/minggu dan atau lebih dari 4 minggu.
Sedangkan untuk tingkat berat ringannya penyakit, rinitis alergi dibagi menjadi :
1. Ringan
Bila tidak ditemukan gangguan tidur, gangguan aktivitas harian,bersantai,
berolahraga, belajar, bekerja, dan hal-hal lain yang mengganggu.
2. Sedang-berat
Bila terdapat satu atau lebih dari gangguan tersebut diatas.
Diagnosis
Anamnesis
Gejala rinitis alergi yang khas adalah terdapatnya serangan bersin berulang. Sebetulnya
bersin merupakan gejala yang normal, terutama pada pagi hari atau bila terdapat kontak dengan
sejumlah besar debu. Hal ini merupakan mekanisme fisiologik, yaitu proses membersihkan
sendiri (self cleaning process). Bersin dianggap patologik, bila terjadinya lebih dari lima kali
setiap serangan, terutama merupakan gejala pada RAFC dan kadang-kadang pada RAFL sebagai
akibat dilepaskannya histamin.
Page 27
Gejala lain ialah keluar ingus (rinore) yang encer dan banyak, hidung tersumbat, hidung
dan mata gatal, yang kadang-kadang disertai dengan banyak air mata keluar (lakrimasi). Rinitis
alergi sering disertai oleh gejala konjungtivitis alergi. Sering kali gejala yang timbul tidak
lengkap, terutama pada anak. Kadang-kadang keluhan hidung tersumbat merupakan keluhan
utama atau satu-satunya gejala yang diutarakan oleh pasien.
Pemeriksaan Fisik
Pada rinoskopi anterior tampak mukosa edema, basah, berwarna pucat atau livid disertai
adanya sekret encer yang banyak. Bila gejala persisten, mukosa inferior tampak hipertrofi.
Pemeriksaan nasoendoskopi dapat dilakukan bila fasilitas tersedia. Gejala spesifik lain pada anak
adalah terdapatnya bayangan gelap di daerah bawah mata yang terjadi karena stasis vena
sekunder akibat obstruksi hidung. Gejala ini disebut allergic shiner. Selain dari itu sering juga
tampak anak menggosok-gosok hidung, karena gatal, dengan punggung tangan. Keadaan ini
disebut sebagai allergic salute. Keadaan menggosok ini lama kelamaan akan mengakibatkan
timbulnya garis melintang di dorsumnasi bagian sepertiga bawah, yang disebut sebagai allergic
crease. Mulut sering terbuka dengan lengkung langit-langit yang tinggi, sehingga akan
menyebabkan gangguan pertumbuhan gigi geligi (facies adenoid). Dinding posterior faring
tampak granuler dan edema (cobblestone appearance), serta dinding lateral faring menebal.
Lidah tampak seperti gambaran peta (geographic tongue).
Tatalaksana
1. Terapi yang paling ideal adalah dengan menghindari kontak dengan allergen
penyebabnya (avoidance) dan eliminasi.
Page 28
2. Medikamentosa
a. Antihistamin
Antihistamin yang dipakai adalah antagonis histamine H-1, yang bekerja
secara inhibitor kompetitif pada reseptor H-1 sel target, dan merupakan preparat
farmakologik yang paling sering dipakai sebagai lini pertama pengobatan rhinitis
alergi. Pemberian dapat dalam kombinasi atau tanpa kombinasi dengan
dekongestan secara peroral.
Antihistamin dibagi dalam 2 golongan yaitu golongan antihistamin
generasi 1 (klasik) dan generasi 2 (non-sedatif). Antihistamin generasi 1 bersifat
lipofilik, sehingga dapat menembus sawar darah otak (mempunyai efek pada SSP)
dan plasenta serta mempunyai efek kolinergik. Yang termasuk kelompok ini
antara lain adalah difenhidramin, klorfeniramin, prometasin, siproheptadin,
sedangkan yang dapat diberikan secara topical adalah azelastin. Antihistamin
generasi 2 bersifat lipofobik, sehingga sulit menembus sawar darah otak. Bersifat
selektif mengikat resptor H-1 perifer dan tidak mempunyai efek antikolinergik,
antiadrenergik dan pada efek pada SSP minimal (non-sedatif). 1,4
Antihistamin diabsorpsi secara oral dengan cepat dan mudah serta efektif
untuk mengatasi gejala obstruksi hidung pada fase lambat. Antihistamin non
sedative dapat dibagi menjadi dua golongan menurut keamananya. Kelompok
pertama adalah astemisol dan terfenadin yang mempunyai efek kardiotoksik.
Toksisitas terhadap jantung tersebut disebabkan repolarisasi jantung yang tertunda
dan dapat menyebabkan aritmia ventrikel, henti jantung dan bahkan kematia
Page 29
medadak (sudah ditarik dari peredaran). Kelompok kedua adalah loratadin,
setirisin, fexofenadin, desloratadin, dan levosetirisin.
Preparat simpatomimetik golongan agonis adrenergik alfa dipakai sebagai
dekongestan hidung oral dengan atau tanpa kombinasi dengan antihistamin atau
topikal. Namun pemakaian secara topikal hanya boleh untuk beberapa hari saja
untuk menghindari terjadinya rinitis medikamentosa.
b. Dekongestan
Golongan obat ini tersedia dalam bentuk topikal maupun sistemik. Onset
obat topikal jauh lebih cepat daripada preparat sistemik., namun dapat
menyebabkan rhinitis medikamentosa bila digunakan dalam jangka waktu lama.
Obat dekongestan sistemik yang sering digunakan adalah pseudoephedrine
HCl dan Phenylpropanolamin HCl. Obat ini dapat menyebabkan vasokonstriksi
pembuluh darah. Dosis obat ini 15 mg untuk anak 2-5 tahun, 30 mg untuk anak 6-
12 tahun, dan 60 mg untuk dewasa, diberikan setiap 6 jam. Efek samping dari
obat-obatan ini yang paling sering adalah insomnia dan iritabilitas.
c. Antikolinergik
Preparat antikolinergik topikal adalah ipratropium bromide, bermanfaat
untuk mengatasi rinore, karena aktifitas inhibisi reseptor kolinergik pada
permukaan sel efektor.
d. Kortikosteroid
Preparat kortikosteroid dipilih bila gejala terutama sumbatan hidung akibat
respon fase lambat tidak berhasil diatasi dengan obat lain. Yang sering dipakai
Page 30
adalah kortikosteroid topikal (beklometason, budesonid, flunisolid, flutikason,
mometason, furoat dan triamsinolon). Kortikosteroid topikal bekerja untuk
mengurangi jumlah sel mastosit pada mukosa hidung, mencegah pengeluaran
protei n sitotoksik dari eosinofil, mengurangi aktifitas limfosit, mencegah
bocornya plasma. Hal ini menyebabkan epitel hidung tidak hiperresponsif
terhadap rangsangan allergen (bekerja pada respon cepat dan lambat). Preparat
sodium kromoglikat topikal bekerja menstabilkan mastosit (mungkin menghambat
ion kalsium) sehingga pelepasan mediator dihambat. Pada respons fase lambat,
obat ini juga menghambat proses inflamasi dengan menghambat aktifasi sel
netrofil, eosinofil dan monosit. Hasil terbaik dapat dicapai bila diberikan sebagai
profilaksis.
3. Operatif
Tindakan konkotomi parsial (pemotongan sebagian konka inferior), konkoplasti
atau multiple outfractured, inferior turbinoplasty perlu dipikirkan bila konka inferior
hipertrofi berat dan tidak berhasil dikecilkan dengan cara kaeuterisasi memakai AgNO3
25% atau triklor asetat.
4. Imunoterapi
Cara pengobatan ini dilakukan pada alergi inhalan dengan gejala yang berat dan
sudah berlangsung lama serta dengan pengobatan cara lain tidak memberikan hasil yang
memuaskan. Tujuan dari imunoterapi adalah pembentukkan IgG blocking antibody dan
penurunan IgE. Ada 2 metode imunoterapi yang umum dilakukan yaitu intradermal dan
sublingual.