This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
LAPORAN PRAKTIKUM FARMASI KLINIK
MENGENAL DRUG RELATED PROBLEMS (DRP)
INDIKASI BELUM DITERAPI DAN GAGAL MENDAPATKAN OBAT
KELOMPOK 2A
1. NISSA SUSANTI (M3510054)
2. NITA WAHYU (M3510055)
3. NOFI TRI (M3510056)
4. NOVA KARLINA (M3510057)
5. NOVERIMA (M3510058)
6. NUGRAENI BUDI (M3510059)
7. OKSA SETYA (M3510060)
8. PRAKHAS (M3510061)
9. PUTRI K (M3510062)
10. QURROTUL A’YUN (M3510063)
TANGGAL PRAKTIKUM : 05 MARET 2012
PROGRAM STUDI D3 FARMASI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA
2012
ACARA I
MENGENAL DRUG RELATED PROBLEMS (DRP)
INDIKASI BELUM DITERAPI DAN GAGAL MENDAPATKAN OBAT
I. TUJUAN PRAKTIKUM
Dapat mengenal dan mengidentifikasi DRP kategori indikasi tidak terapi dan
gagal mendapatkan obat.
II. TINJAUAN PUSTAKA
Drug related problem’s merupakan masalah yang terkait dengan
pengobatan yang dapat menyebabkan pengobatan menjadi tidak optimal,
bahkan dapat menyebabkan kejadian yang merugikan bagi pasien. Drug
related problem dibagi menjadi 7 macam antara lain :
1. Terapi tanpa indikasi
2. Indikasi belum diterapi
3. Sub dosis
4. Dosis berlebih
5. Terapi obat salah
6. Reaksi obat merugikan
7. Gagal menerima obat (Kundarto,2011).
DRP merupakan kejadian yang tidak diharapkan dari pengalaman
pasien akibat atau diduga akibat terapi obat sehingga kenyataannya potensial
mengganggu keberhasilan penyembuhan yang diharapkan. Kategori DRP
meliputi indikasi yang tidak diterapi, obat dengan indikasi yang tidak sesuai,
obat salah, interaksi obat, overdosis, dosis subterapi, Adverse Drug
Reactions dan kegagalan dalam menerima obat (Yasin dan Supriyanti,
2009).
Indikasi tidak diterapi dimungkinkan disebabkan oleh :
1. Kondisi medis baru
2. Butuh terapi kombinasi
3. Penyakit kronis
Gagal mendapatkan Obat kemungkunan disebabkan oleh :
1. Obat Mahal atau produk tidak tersedia
2. Efek samping obat membuat tidak patuh
3. Aturan pakai obat tidak tepat
4. Pasien belum mengerti konsep pengobatannya
5. Pasien merasa sudah sembuh
(Farida , 2012).
Hipertensi merupakan suatu penyakit dengan kondisi medis yang
beragam. Pada kebanyakan pasien etiologi patofisiologi-nya tidak diketahui
(essensial atau hipertensi primer). Hipertensi primer ini tidak dapat
disembuhkan tetapi dapat di kontrol. Kelompok lain dari populasi dengan
persentase rendah mempunyai penyebab yang khusus, dikenal sebagai
hipertensi sekunder. Banyak penyebab hipertensi sekunder; endogen
maupun eksogen. Bila penyebab hipertensi sekunder dapat diidentifikasi,
hipertensi pada pasien-pasien ini dapat disembuhkan secara potensial (Tim
penyusun, 2006).
Klasifikasi tekanan darah untuk usia 18 tahun atau lebih berdasarkan JNC
VII, 2003.
Klasifikasi Sistole (mmHg) Diastole (mmHg)
Normal < 120 < 80
Prehipertensi 120 – 139 80 – 89
Hipertensi
Tingkat 1 140 – 159 90 – 99
Tingkat 2 >160 >100
(Anonim b, 2009)
Pedoman umum terapi hipertensi
Keputusan untuk memulai pengobatan hipertensi tidak hanya
ditewntukan oleh tingginya tekanan darah (TD), tetapi juga oleh adanya
faktor resiko kardiovaskular lainnya, dan adanya TOD. Makin tinggi TD,
adanya faktor resiko kardiovaskular yang lain, dan/atau sudah adanya TOD,
makin tinggi resiko terjadinya morbiditas dan mortalitas kardiovaskular.
Bagi mereka ini, manfaat pengobatan hipertensi makin besar. Sebaliknya,
pada hipertensi ringan tanpa disertai resiko lain atau TOD, manfaat
pengobatan hipertensi kecil sekali, sehingga penderita mungkin lebih
dirugikan oleh adanya efek samping yang ditimbulkan oleh antihipertensi.
Berdasarkan pertimbangan manfaat dan kerugian ini, maka JNC-V
menggunakan rekomendasi berikut untuk memulai pengobatan hipertensi
pada orang dewasa (Anonim a, 2001).
TD yang meningkat pada pengukuran pertama harus dipastikan dengan
pemeriksaan ulang selang satu sampai beberapa minggu sebelum diputuskan
untuk diobati. Kecuali bila TD sangat tinggi atau disertai TOD, maka
penderita perlu segera diobati (Anonim a, 2001)..
Rekomendasi untuk memulai pengobatan hipertensi berdasarkan pengukuran TD
pertama.
Pengukuran PertamaFollow-up yang dianjurkan
TDD TDS
< 85 < 130 Periksa ulang dalam 2 tahun
85 – 89 130 - 139 Periksa ulang dalam 1 tahun.
bila TD menetap, terapkan modifikasi pola hidup.
90 – 99 140 - 159 Pastikan dalam 2 bulan :
- TDD 90 - 94 dan/atau TDS 140 - 149 tanpa faktor
resiko utama lain : terapkan modifikasi pola hidup
sehat dan periksa ulang setiap 3 - 6 bulan.
- TDD 90 - 94 dan/atau TDS 140 - 149 dengan
faktor resiko utama lain : TDD 95 - 99 dan/atau
TDS 150 - 159 tanpa/dengan faktor resiko lain :
terapkan modifikasi pola hidup selama 3 - 6 bulan
dan berikan antihipertensi bila TD menetap.
100 - 109 160 - 179 Pastikan dan obati dalam 1 bulan.
110 - 119 180 - 209 Pastikan dan obati dalam 1 minggu.
Modifikasi pola hidup
Modifikasi pola hidup berikut berguna untuk menurunkan TD pada
hipertensi, meningkatkan efek antihiprtensi, mencegah penignkatan TD pada
mereka dengan TD normal tinggi, dan/atau mengurangi resiko
kardiovaskular secara keseluruhan :
1. Menurunkan berat badan bila gemuk.
2. Latihan fisik/beolahraga secara teratur.
3. Mengurangi makan garam menjadi < 2,3 g natrium atau < 6 g NaCl
sehari.
4. Makan K, Ca, Mg yang cukup dari diet.
5. Membatasi minum alkohol (maksimal 20-30 ml etanol sehari).
6. Berhenti merokok serta mengurangi makan kolesterol dan lemak jenuh
untuk kesehatan kardiovaskular secara keseluruhan.
Kombinasi (1), (2), (3) dan (5) yang diterapkan pada penderita hipertensi
ringan selama rata-rata 4,4 tahun ternyata dapat menurunkan TD sekitar 9/9
mmHg (Anonim a, 2001).
Terapi Farmakologi
Tujuan utama dari pengobatan farmakologi untuk hipertensi adalah
menurunkan morbiditas dan mortalitas akibat hipertensi dengan memelihara
tekanan darah sistolik dibawah 140 mmHg, tekanan diastolic dibawah 90
mmHg disamping mencegah resiko penyakit kardiovaskuler lainnya
(Budisetyo, 2001).
Ada 9 kelas obat antihipertensi . Diuretik, penyekat beta, penghambat
(ARB), dan antagonis kalsium dianggap sebagai obat antihipertensi utama.
Obat-obat ini baik sendiri atau dikombinasi, harus digunakan untuk
mengobati mayoritas pasien dengan hipertensi karena bukti menunjukkan
keuntungan dengan kelas obat ini. Beberapa dari kelas obat ini (misalnya
diuretik dan antagonis kalsium) mempunyai subkelas dimana perbedaan
yang bermakna dari studi terlihat dalam mekanisme kerja, penggunaan klinis
atau efek samping. Penyekat alfa, agonis alfa 2 sentral, penghambat
adrenergik, dan vasodilator digunakan sebagai obat alternatif pada pasien-
pasien tertentu disamping obat utama (Tim penyusun, 2006).
Secara umum, efek samping beta-bloker (termasuk labetolol) berupa
bronkospasme, karena itu beta-bloker (termasuk labetolol) tidak boleh
diberikan pada penderita asma (Anonim a, 2001).
Diuretik, terutama golongan tiazid, adalah obat lini pertama untuk kebanyakanpasien dengan hipertensi. Bila terapi kombinasi diperlukan untuk mengontroltekanan darah, diuretik salah satu obat yang direkomendasikan. Empat subkelasdiuretik digunakan untuk mengobati hipertensi: tiazid, loop, agen penahan kalium,dan antagonis aldosteron. Diuretik penahan kalium adalah obat antihipertensi yanglemah bila digunakan sendiri tetapi memberikan efek aditif bila dikombinasidengan golongan tiazid atau loop. Selanjutnya diuretik ini dapat menggantikankalium dan magnesium yang hilang akibat pemakaian diuretik lain. Antagonisaldosteron (spironolakton) dapat dianggap lebih poten dengan mula kerja yang lambat (s/d 6 minggu untuk spironolakton).
1. DESKRIPSI KASUS
Seorang pasien datng ke Apotek untuk memeriksaan tekanan darahnya
atas saran dari tetangganya, dan hasil pengukuran darah adalah 140/95
mmHg. Seminggu yang lalu pasien datang k Puskesmas dan mengeluhkan
pusing berat otot pundak terasa tegang dan menggigil. Kemudian pasien
mendaatkan terapi Sumagesic 4x sehari dan Diazepam 2mg 2x sehari.
Namun sampi saat pasien memeriksakan tekanan darahnya pasien masih
sering mengeluhkan pusing khususnya kepala belakang tetai tidak seberat
sebelumnya.
2. ANALISA KASUS
Bapak A ini mengalami gatal-gatal yang belum diketahui
penyebabnya, dimungkinkan gatal-gatal ini karena adanya penyakit kulit
yang disebabkan karena biang keringat, adanya infeksi jamur atau mikroba,
atau bisa juga karena alergi. Maka dari itu sebelum dilakukan
pengobatan/terapi untuk mengurangi/mengobati rasa gatal tersebut,
sebaiknya perlu ditanyakan terlebih dahulu kepada pasien apakah pasien
tersebut memiliki riwayat alergi atau tidak. Jika pasien tidak memiliki
riwayat alergi maka sebaiknya diberikan antiseptik ekstern (bedak salicyl,
herocyn, caladine lotion, dsb).
Jika ternyata pasien memang memiliki riwayat alergi maka
pemakaian obat CTM sebagai obat untuk mengurangi rasa gatal sudah tepat
karena CTM termasuk dalam obat anti histamin. Namun, karena bapak A ini
berprofesi sebagai sopir angkot, maka perlu dipertimbangkan kembali
pemakaian CTM. Hal ini disebabkan, mengingat efek samping CTM yaitu
sedasi (menyebabkan rasa kantuk). Maka, hal ini dapat mengganggu profesi
beliau sebagai sopir angkot dan dapat membahayakan diri Bapak A dan
orang lain. Oleh sebab itu, perlu adanya terapi obat lain dengan indikasi
yang sama, tapi efek samping lebih ringan.
Alternatif antihistamin yang dapat digunakan adalah loratadin, dimana
loratadine merupakan antihistamin generasi II yang memiliki efek
nonsedative (tidak menyebabkan mengantuk) dan efek sampingnya relatif
lebih kecil.
Dapat disimpulkan bahwa bila bapak A mengalami gatal-gatal yang
disebabkan bukan karena alergi melainkan ada penyebab lain (biang
keringat, infeksi jamur/mikroba, dsb) maka penggunaan CTM untuk
menghilangkan rasa gatal tersebut termasuk ke dalam DRP’s jenis terapi
obat salah. Namun bila ternyata penyebab gatal adalah karena alergi maka
penggunaan CTM bukan termasuk kedalam terapi obat salah.
Sedangkan tekanan darah Bapak A sebesar 165/105 mmHg ( tekanan
sistole 165 mmHg, tekanan diastole 105 mmHg), menurut JNC VII tekanan
darah untuk bapak A terklasifikasikan dalam hipertensi tingkat II, dalam
kasus ini untuk terapi digunakan obat antihipertensi yang berupa captopril
12,5 mg yang diambil dari kotak obat, karena si bapak A malas berobat dan
bapak A juga mengikuti istrinya yang cocok minum captopril. Sedangkan
efek samping dari captopril ini adalah batuk kering hal ini termasuk dalam
DPR yaitu reaksi obat yang merugikan. Selain itu, bapak A juga memiliki
riwayat asma, dimana penggunan obat ACE-bloker tidak dianjurkan karena
efek sampingnya dapat menyebabkan edema angioneurotik, yaitu pada
pasien terjadi pembengkakan pada hidung, bibir, tenggorokan, laring, dan
sumbatan jalan napas yang bisa berakibat fatal. Efek samping ini terjadi
beberapa jam setehah pemberian ACE-inhibitor (ACE-bloker), sehingga
pada pasien dengan riwayat asma akan semakin susah bernafas (mengalami
sesak napas).
Oleh karena itu, untuk terapi ini diganti obat hipertensi yang bersifat
antagonis kalsium. Katopril diganti dengan amlodipin dengan pertimbangan
obat antagonis kalsium. Namun idealnya untuk hipertensi tingkat
Iipengobatan dilakukan dengan kombinasi, namun menurut kelompok kami
digunakan terapi bertahap hal ini dikarenakan agar tidak terjadi hipotensi.
Obat antagonis kalsium menyebabkan melebarnya pembuluh darah dengan
mekanisme yang benar-benar berbeda yaitu dengan menghambat masuknya
ion kalsium melewati slow channel yang terdapat pada membran sel
(sarkolema).
3. EVALUASI OBAT TERPILIH
1. Bedak salisilat
Mekanisme kerja : Asam salisilat tidak diserap oleh kulit, tetapi
membunuh sel epidermis dengan sangat cepat tanpa memberikan efek
langsung pada sel dermis. Setelah pemakaian beberapa hari akam
menimbulkan lapisan-lapisan kulit baru(keratolitikum).
Dosis dan penggunaan : Taburkan setelah habis mandi atau bila
berkeringat.
Efek samping : iritasi ringan
Contoh produk :
Caladine ( yupharin) harga Rp. 5200 / 100 gram powder