Laporan Praktikum
Hari, tanggal: Rabu, 28 April 2015
Teknologi Bioindustri
Dosen : Dr. Ir. Mulyorini R, Msi.
Asisten : 1. Linda A (F34110026)
2. M Raja Ihsan (F34110118)
PRODUKSI BIOINSEKTISIDA (KULTIVASI CAIR DAN PADAT)Oleh :
Kelompok 2
Icha Pebriyanti (F34120108)
Andi Reza Rohadian(F34120139)
Ramanda Anugrah A(F34120146)
Fachri Muhammad(F34120149)
Noviza Hayatinur(F34120152)
Siti Nurjannah
(G44110018)
DEPARTEMEN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015PENDAHULUANLatar BelakangPada masa sekarang, para petani
tidak begitu gelisah dengan hama serangga yang menyerang tanaman
pertanian mereka. Hal itu disebabkan telah banyak produk hasil
teknologi yang banyak beredar untuk membasmi hama serangga yang
sering disebut pestisida. Pestisida biologi saat ini banayak
dipakai adalah jenis insektisisda biologi (mikroorganisme
pengendali serangga) dan jenis fungisida biologi (mikroorganisme
pengendali jamur)
Insektisida biologi dapat dibuat dari beberapa macam tumbuhan,
hewan, bahkan mikroorganisme. Insektisida yang dibuat dari
mikroorganisme umumnya termasuk dalam insektisida hayati karena
mikroorganisme tersebut tdak diubah dalam tubuh mikroorganisme
tersebut terdapat substansi atau bahan aktif yang dapat membunuh
hama atau serangga sejenisnya apabila bahan aktif tersebut masuk ke
dalam tubuh hama atau serangga.
Insektisida mempunyai peranan yang sangat penting dalam
pertanian dan perindustrian, khususnya untuk melindungi hasil
pertanian. Meskipun demikian, penggunaan insektisida yang tidak
terbatas selama beberapa dekade telah mengakibatkan dampak yang
negatif terhadap lingkungan dan spesies non-target. Selain itu,
insektisida kimia dengan dosis dan frekuensi yang tinggi menjadikan
serangga vektor penyakit menjadi resisten terhadap insektisida
kimia yang menyebabkan serangga target tetap hidup dan merusak
hasil-hasil pertanian. Untuk mengatasi permasalahan tersebut, maka
bioinsektisida merupakan salah satu alternatifnya.
Mikroorganisme yang dapat berfungsi sebagai bionsektisida yaitu
bakteri dan virus. Virus merupakan mikroorganisme yang memberi
harapan sebagai pemberantas hama atau pengendali hama. Virus hanya
bekerja terhadap satu atau beberapa spesies dan tidak merusak
organism lain dalam lingkungannya. Namun kendala dari pengembangan
virus adalah harus dikembangkan pada inang yang hidup, yang berarti
harus memelihara spesies tersebut.
Dari kendala pengembangan virus tersebut menimbulkan banyak
insktisida kimia yang diproduksi dan telah beredar di masyarakat.
Namun penggunaan insektisida kimia secara terus menerus untuk
membasmi hama serangga dapat menyebabkan hama serangga tersebut
menjadi kebal (resisten), Tetapi dengan insektisida bakteri yang
dibuat secara bioteknologi maka problem resisten ini dapat diatasi.
Selain itu, insektisida bakteri ini tidak berbahaya terhadapa
lingkungan. Salah satu jenis bakteri yang digunakan untuk membuat
insektisida adalah Bacillus thuringiensis aizawai
TujuanPraktikum kali ini bertujuan untuk mempelajari laju
pertumbuhan dan yield pada produksi bioinsektisida baik dengan
kultivasi cair maupun dengan kultivasi substrat
padat.METODOLOGIAlat dan BahanPada praktikum kali ini alat yang
digunakan adalah autoklaf, inkubator goyang, labu erlenmeyer, pH
meter, spektrofotometer, petri dish, oven. Sementara bahan yang
digunakan adalah Nutrien broth, Bacillus thuringiensis aizawai,
urea, MgSO4.7H2O, FeSO4.7H2O, ZnsO4.7H2O, MnSO4.7H2O, CaCO3.Metode
Tahap Propagasi
Tahap Fermentasi
Pengambilan Sampel pH
OD 660 nm
Biomassa Kering Viable Spore Count (VSC)
Produksi Bioetanol dengan Teknik Kultivasi Substrat Padat
HASIL DAN PEMBAHASANHasil Pengamatan[Terlampir]
PembahasanBioinsektisida adalah jenis pestisida yang bahan
aktifnya merupakan mikroorganisme seperti bakteri Bacillus
thuringiensis, cendawan Beaveria sp, Metarrhizium sp, dan virus
Spodotera litura nuclea polyhidrosis. Bioinsektisida merupakan
bahan yang mengandung senyawa toksik yang berfungsi untuk membunuh
atau menghambat perkembangan spesies insekta yang dapat dihasilkan
oleh tumbuhan maupun yang menggunakan organisme hidup seperti
virus, bakteri, dan jamur. Sifat insektisida ini aman terhadap
organisme non-target, manusia dan lingkungan. Sampai saat ini telah
banyak penelitian untuk memperoleh bioinsektisida yang ampuh dan
ramah lingkungan, salah satunya bioinsektisida mikrobial yang
diperoleh dari Bacillus thuringiensis (B.t) yang bersifat aman
karena memiliki derajat spesifisitas yang tinggi dan relatif kecil
terjadinya resistensi (kekebalan) pada serangga hama. Bacillus
thuringiensis aizawai merupakan salah satu jenis bakteri yang
banyak dimanfaatkan dalam produksi bioinsektisida microbial (Behle
et al, 1999).
Mikroba yang digunakan dalam pembuatan bioinsektisida adalah
Bacillus thuringiensis (B.t) yaitu bakteri bersel vegetatif
berbentuk batang, gram positif, bersifat aerob tapi umumnya anaerob
fakultatif, mempunyai flagela dan membentuk spora. Koloni Bacillus
thuringiensis berbentuk bulat dengan tepian berkerut, memiliki
diameter 5-10 milimeter, berwarna putih, elevasi timbul dan
permukaan koloni kasa. Banyak strain dari bakteri ini yang
menghasilkan protein yang beracun bagi serangga. Spora yang
dibentuk oleh Bacillus thuringiensis berbentuk oval, berwarna hijau
kebiruan dan berukuran 1.0-1.3 mikrometer dan Bacillus
thuringiensis membentuk kristal protein (-endotoksin) bersamaan
dengan terbentuknya spora. Bakteri ini mempunyai endospora
subterminal berbentuk oval dan selama sporulasi menghasilkan satu
kristal protein dalam setiap selnya (Gill et al, 1992).
Berbagai isolat Bacillus thuringiensis dengan berbagai jenis
kristal protein yang dikandungnya telah teridentifikasi setelah
diketahui besarnya potensi dari protein kristal Bacillus
thuringiensis sebagai agen pengendali serangga. Sampai saat ini
telah diidentifikasi kristal protein yang beracun terhadap larva
dari berbagai ordo serangga yang menjadi hama pada tanaman pangan
dan hortikultura. Kebanyakan dari kristal protein tersebut lebih
ramah lingkungan karena mempunyai target yang spesifik sehingga
tidak mematikan serangga bukan sasaran dan mudah terurai sehingga
tidak menumpuk dan mencemari lingkungan. Bacillus thuringiensis
aizawai termasuk salah satu bakteri yang telah banyak digunakan
untuk memproduksi bioinsektisida. Bacillus thuringiensis aizawai
sangat efektif mengendalikan larva ordo Lepidoptera dan Diptera,
terutama ulat daun kubis dan hama-hama sayuran lainnya (Lereclus et
al, 1993). Salah satu hama ordo Lepidoptera yang banyak menyebabkan
kerusakan pada pertanian adalah Croccidolomia pavonana, yang
merupakan hama utama pada tanaman kubis yang juga menyerang tanaman
Brassicaceae lainnya. Serangan C. pavonana dapat menyebabkan
kehilangan hasil kubis sebesar 65%. Hama ini sangat merusak karena
larva memakan daun baru di bagian tengah tanaman kubis. Saat bagian
tengah telah hancur, larva pindah ke ujung daun dan kemudian turun
ke daun yang lebih tua. Kebanyakan tanaman yang terserang akan
hancur seluruhnya jika ulat krop kubis tidak dikendalikan
(Kementrian Pertanian RI, 2010). Bacillus thuringiensis aizawai
menghasilkan protein yang bersifat insektisida yaitu -endotoksin
atau kristal protein yang akan berikatan dengan reseptor spesifik
dalam sel larva Crocidolomia pavonana, sehingga terjadi lisis sel
yang dapat menyebabkan kematian pada serangga target.
Bioinsektisida digunakan untuk menanggulangi gangguan hama
seperti serangga atau tunggau. Insektisida ini secara spesifik akan
menyerang serangga yang menjadi sasaran dan tidak menyerang
serangga lainnya. Insektisida ini bekerja dengan cara menginfeksi
hama sehingga hama tidak dapat lagi mampu merusak tanaman.
Bioinsektisida dari mikroorganisme ini memilki efektivitas yang
sama dengan pestisida yang berbasis bahan kimia.
Bioinsektisida juga digunakan untuk menggantikan penggunaan
insektisida kimia yang telah banyak menimbulkan kerugian bagi
lingkungan. Selain itu, pemakaian insektisida kimia dengan dosis
dan frekuensi yang tinggi dapat menjadikan serangga target menjadi
resisten terhadap insektisida kimia tersebut. Sedangkan keunggulan
bioinsektisida menurut Behle et al. (1999), antara lain spesifik
terhadap hama serangga, aman dan ramah lingkungan, serta tidak
mengakibatkan residu pada hasil pertanian dan tanah. Cara kerja
pestisida terhadap hama dapat dibedakan menjadi 4, yaitu:1.
Pestisida kontak, berarti mempunyai daya bunuh setelah tubuh
sasaran terkena pestisida.
2. Pestisida sistemik, berarti dapat ditranslokasikan ke
berbagai bagian tanaman melalui jaringan. Hama akan mati kalau
mengisap cairan tanaman.
3. Pestisida lambung, berarti mempunyai daya bunuh setelah jasad
sasaran memakan petisida.
4. Pestisida fumigan, berarti mempunyai daya bunuh setelah jasad
sasaran terkena uap atau gas.
Keunggulan bioinsektisida menurut Behle et al (1999) yaitu
spesifik terhadap hama serangga, aman dan ramah lingkungan, dan
tidak mengakibatkan residu pada hasil pertanian dan tanah. Proses
infeksi bakteri Bacillus thuringiensis pada hama tanaman dimulai
dengan larva ulat memakan tanaman yang telah mengandung spora dan
kristal protein Bacillus thuringiensis. Lalu dalam beberapa menit
kristal protein berikatan dengan reseptor spesifik pada dinding
usus dan ulat berhenti makan. Beberapa menit kemudian dinding usus
pecah sehingga spora dan bakteri masuk ke dalam jaringan tubuh,
toksin pun larut dalam darah, maka dalam 1-2 hari ulat akan
mati.
Bioinsektisida memiliki kelebihan dan kelemahan dibanding dengan
insektisida kimia. Kelebihan tersebut diantaranya aktifitas dengan
spektrum luas, tidak memberikan efek negatif pada vertebrata
termasuk manusia serta tanaman, mudah diproduksi, memiliki respon
cepat terhadap serangga target, sifat relatif stabil selama
penyimpanan, dan sejauh ini belum dilaporkan adanya resistensi.
Sementara kelemahan bioinsektisida dibanding dengan insektisida
kimia yaitu tidak tahan terhadap sinar ultraviolet dan spora dan
kristal harus termakan agar berefek insektisida.
Cara produksi bioinsektisida terdiri dari media pertumbuhan,
kondisi kultivasi, dan pemanenan. Media merupakan salah satu faktor
yang sangat berpengaruh pada proses fermentasi Bacillus
thuringiensis. Menurut Dulmage et al. (1990) medium basal untuk
pertumbuhan Bacillus thuringiensis terdiri dari garam, glukosa, dan
asam amino seperti asam glutamat, asam aspartat dan alanin dalam
konsentrasi yang cukup untuk mendukung pertumbuhan dan sporulasi
Bacillus thuringiensis. Karbon adalah bahan utama untuk mensintesis
sel baru atau produk sel. Beberapa sumber karbon yang dapat
digunakan untuk memproduksi bioinsektisida dari Bacillus
thuringiensis dengan fermentasi terendam adalah glukosa, sirup
jagung, dekstrosa, sukrosa, laktosa, gula, minyak kedelai, dan
molase dari bit dan tebu (Dulmage dan Rhodes 1971).Proses produksi
bioinsektisida memerlukan suatu media sebagai tempat hidup bagi
bakteri yang akan digunakan untuk memproduksi bioinsektisida. Media
untuk memproduksi bioinsektisida terdiri dari dua bentuk yaitu
media padat dan media cair. Pertama akan dijelaskan mengenai media
padat yang merupakan media berbentuk padat yang mengandung agar 1
1.5%, misalnya nutrien agar. Jika ke dalam media ditambahkan agar,
jumlah agar yang ditambahkan tergantung kepada jenis atau kelompok
mikroba yang ditumbuhkan. Ada yang memerlukan kadar air tinggi
sehingga penambahan agar harus sedikit tetapi ada pula yang
memerlukan kandungan air rendah sehingga penambahan agar harus
lebih banyak. Media padat umumnya dipergunakan untuk menumbuhkan
bakteri, jamur, dan kadang-kadang mikroalga terutama dalam
peremajaan dan pemeliharaan kultur murni dalam bentuk agar miring
(Pablo 2012). Kemudian, terdapat media cair yang merupakan media
berbentuk cair yang tidak mengandung agar, misalnya nutrien broth.
Umumnya media cair digunakan untuk menambah biomassa sel . Kalau ke
dalam media tidak ditambahkan zat pemadat. Media cair dipergunakan
untuk penumbuhan bakteri, ragi dan mikroalga (Pablo 2012).
Pada proses produksi bioinsektisida ini digunakan media padat
berupa onggok yang berguna sebagai sumber karbon karena pada onggok
masih mengandung pati yang berkisar 60 70% berat kering onggok.
Onggok sendiri merupakan limbah padat yang berasal dari proses
pengolahan ubi kayu menjadi tapioka. Onggok merupakan limbah utama
hasil proses pengepresan (Abbas et al. dalam Winarno 1985). Onggok
memiliki daya tahan yang relatif lama pada saat keadaan kering
dibandingkan pada saat keadaan basah. Hal ini dikarenakan pada saat
keadaan basah onggok mudah sekali ditumbuhi oleh kapang dan terjadi
pembusukan. Pemanfaatan onggok masih terbatas dan umumnya digunakan
sebagai makanan ternak (Damarjati 1985). Onggok juga dapat
digunakan sebagai substrat untuk produksi selulase, amilase,
amiloglukosidase dan angkak (Jenie dan Fachda 1991). Komposisi
kimia onggok dapat dilihat pada Tabel 1 dibawah ini.
Komponen (%)Tjiptadi (1982)Anonim (1984)
Air16,8613,39
Abu8,504,90
Serat Kasar8,1411,02
Lemak0,250,15
Protein6,420,58
Pati62,9768,79
Karbohidarat71,1179,81
Tabel 1. Komposisi Onggok
Berdasarkan fakta ini maka timbul gagasan untuk memanfaatkan
onggok tapioka sebagai salah satu alternatif substrat untuk
memproduksi bioinsektisida dengan teknologi sederhana namun
memiliki sifat toksisitas yang baik terhadap hama. Onggok tapioka
digunakan sebagai sumber karbon. Sedangkan media cair yang
digunakan dalam pembuatan bioinsektisida ini adalah limbah tahu.
Limbah cair pabrik tahu ini memiliki kandungan senyawa organik yang
tinggi. Tanpa proses penanganan dengan baik, limbah tahu dapat
menyebabkan dampak negatif seperti polusi air, sumber penyakit, bau
tidak sedap, meningkatkan pertumbuhan nyamuk, dan menurunkan
estetika lingkungan sekitar.
Limbah cair tahu mengandung protein, glukosa dan komponen
lainnya dengan kadar yang relatif tinggi. Kandungan nutrisi
tersebut menyebabkan limbah cair tahu mempunyai potensi sebagai
media untuk memproduksi spora Bacillus thuringiensis. Mengingat
bahwa limbah cair tahu umumnya dibuang ke sungai, maka pemanfaatan
ini sekaligus akan memberikan manfaat dalam mengurangi pencemaran
lingkungan.
Penggunaan media limbah cair tahu adalah salah satu alternatif
untuk memacu pertumbuhan toksin Bacillus thuringiensis dengan harga
yang lebih murah. Penggunaan media limbah cair tahu ini akan
membuat biaya pembuatan toksin menjadi jauh lebih murah sebab tidak
memerlukan media sintesis lagi. Limbah cair tahu digunakan sebagai
sumber nitrogen (Silvina et al. 2012). Biokontrol dari Bacillus
thuringiensis merupakan biokontrol yang efektif untuk membunuh
jentik nyamuk tetapi memiliki harga yang cukup mahal untuk
negara-negara berkembang seperti Indonesia. Substansi aktif dari
Bacillus thuringiensis adalah spora yang dibentuk oleh Bacillus
thuringiensis dibuat dengan menggunkan media yang relatif mahal
oleh karena itu dalam praktikum ini digunakan media yang relatif
murah, salah satunya dengan menggunakan media limbah cair tahu.
Adapun keuntungan dari penggunaan media limbah cair tahu yakni
:
1. Bahan Media yang Murah
Saat ini biokontrol Bacillus thuringiensis dibuat dengan
menumbuhkan strain Bacillus thuringiensis pada media sintetis yang
biayanya relatif mahal, sehingga untuk 10 tablet dijual seharga 20
dollar. Sedangkan jika produksi Bacillus thuringiensis dengan
menggunakan media Nutrient Broth (NB), yang dalam satu liternya
mengandung 3 gr beef extract dan 5 gr tryptone maka perincian biaya
yang dihabiskan sebesar Rp. 25.000 per liter. Sedangkan untuk
membuat media NB sebanyak 100 liter maka biaya yang dibutuhkan
sebesar Rp. 2.500.000.
Penggunaan media limbah cair tahu adalah salah satu alternatif
untuk memacu pertumbuhan toksin Bacillus thuringiensis yang lebih
murah. Dengan menggunakan media limbah cair tahu ini biaya
pembuatan toksin menjadi jauh lebih murah sebab tidak memerlukan
media sintetis lagi. Sehingga dapat terjangkau oleh masyarakat.
2. Mengurangi Pencemaran Lingkungan Perairan
Pemerintah akhir-akhir ini sangat menekankan era "sadar
lingkungan" dan mengharuskan semua industri membuat analisis
masalah dampak lingkungan (AMDAL) sesuai dengan SK Menteri KLH
No.52 Tahun 1986 dan SK Menteri KLH No.29 Tahun 1986 serta SK
Menteri KLH No.03 Tahun 1991 Tentang Peraturan Pembuangan Limbah.
Bagi industri baik yang sudah beroperasi maupun yang akan dibangun
serta yang air limbahnya dibuang ke perairan harus memenuhi standar
baku mutu limbah yang telah ditentukan. Berdasarkan data dari
statistik yang ada industri pengolahan tahu di Indonesia sebanyak
4.000 unit yang tersebar di Jawa Barat dan berbagai daerah lainnya.
Jika ditinjau dari komposisi kimianya, ternyata air limbah cair
tahu mengandung nutrien-nutrien (protein, karbohidrat, dan
bahan-bahan lainnya) yang jika dibiarkan dibuang begitu saja ke
sungai justru dapat menimbulkan pencemaran perairan. Selama ini
limbah industri tahu dibuang begitu saja tanpa ada pengolahan lebih
lanjut. Limbah cair tahu ternyata bisa digunakan sebagai media
pertumbuhan Bacillus thuringiensis yang bermanfaat sebagai
bioinsektisida larva nyamuk. Dengan ditemukannya manfaat limbah
cair tahu tersebut maka diharapkan nantinya limbah tersebut dapat
digunakan dan tidak lagi mencemari lingkungan sekitar.
3. Mudah untuk Mendapatkannya
Pertumbuhan industri tahu sebagai industri rumah tangga cukup
banyak. Banyaknya industri pengolahan tahu tersebut menjadi cukup
mudah untuk mendapatkan limbah buanganya. Sehingga dalam proses
produksinya tidak terlalu mengalami kesulitan dalam mencari bahan
sebagai media pertumbuhan Bacillus thuringiensis.
Proses produksi bioinsektisida dikenal dengan nama fermentasi.
Fermentasi adalah suatu proses biokimia yang menghasilkan energi
dimana komponen organiknya bertindak sebagai penerima elektron
(Fardiaz 1988). Fermentasi media padat merupakan proses fermentasi
yang substratnya tidak larut dan tidak mengandung air bebas, tetapi
cukup mengandung air untuk keperluan hidup mikroba. Sebaliknya
fermentasi cair adalah proses fermentasi yang substratnya larut
atau tersuspensi dalam fase cair (Chalal 1985).
Teknik kultivasi secara terendam dapat dilakukan dengan sistem
tertutup pada fermentor. Pada umumnya, jenis fermentor yang
digunakan adalah fermentor tangki berpengaduk karena merupakan
jenis fermentor yang paling sederhana. Fermentor ini digunakan
untuk substrat yang mempunyai viskositas tinggi dan berbentuk
koloid tanpa mengakibatkan penyumbatan, serta enzim terimobilisasi
dengan aktivitas rendah (Machfud et al. 1989). Proses fermentasi
terendam dapat dilakukan dengan tiga cara yaitu fermentasi sistem
tertutup (batch process), fermentasi kontinyu, dan fermentasi
sistem tertutup dengan penambahan substrat pada selang waktu
tertentu atau semi kontinyu (fed batch process). Bernhard dan Utz
(1993), menyatakan bahwa produksi bioinsektisida Bacillus
thuringiensis pada umumnya dilakukan dengan fermentasi sistem
tertutup karena hasil akhir yang diharapkan adalah spora dan
kristal protein yang dibentuk selama proses sporulasi. Menurut
Dulmage (1990), faktor-faktor yang mempengaruhi proses fermentasi
Bacillus thuringiensis adalah komposisi media dan kondisi untuk
pertumbuhan mikroba seperti pH, oksigen dan temperatur.
Selanjutnya adalah fermentasi dengan substrat padat. Fermentasi
substrat padat berkaitan dengan pertumbuhan mikroorganisme pada
bahan padat dalam ketiadaan atau hampir ketiadaan air bebas.
Tingkat lebih atas dari fermentasi substrat padat (yaitu sebelum
air bebas tampak) merupakan fungsi penyerapan (absorbancy), dan
dengan demikian kadar airnya pada gilirannya tergantung pada jenis
substrat yang digunakan. Aktivitas biologis menurun bila kandungan
air substrat sekitar 12%, dan semakin mendekati nilai ini,
aktivitas mikrobiologis semakin tertahan. Fermentasi substrat padat
tidak memperhatikan fermentasi slurry (yaitu cairan dengan
kandungan zat padat taklarut yang tinggi) ataupun fermentasi
substrat padat dalam media cair. Substrat yang paling banyak
digunakan dalam fermentasi substrat padat adalah biji-bijian
serealia, kacang-kacangan, sekam gandum, bahan yang mengandung
linoselulosa (seperti kayu dan jerami), dan berbagai bahan lain
yang berasal dari tanaman dan hewan. Senyawaan tersebut selalu
berupa molekul primer, tak larut atau sedikit larut dalam air,
tetapi murah, mudah diperoleh dan merupakan sumber hara yang tinggi
(Prawira 2007).
Pada umumnya fermentasi terendam atau fermentasi cair lebih
disukai karena menjaga kesterilan kultur serta proses pemanenan dan
pengaturan parameter proses produksi atau fermentasi yang lebih
sederhana dan dapat menghasilkan rendemen yang lebih tinggi. Selain
itu, produk hasil fermentasi cair dapat langsung digunakan
dibandingkan hasil fermentasi semi padat yang sulit disuspensikan
karena ada kecenderungan menggumpal. Akan tetapi penggunaan media
cair ini relatif lebih mahal. Sedangkan untuk media padat memiliki
kelebihan harga lebih murah dan bahan lebih mudah didapatkan. Namun
penggunaan media padat menghasilkan rendemen produk yang lebih
rendah, dan lebih sulit dalam memisahkan hasilnya.
Faktor faktor yang mempengaruhi kultivasi dari Bacillus
thuringiensis sangat beragam. Berikut ini akan dijelaskan faktor
faktor yang mempengaruhinya. Pada komposisi media merupakan faktor
yang sangat mempengaruhi kultivasi Bacillus thuringiensis selain
kondisi pertumbuhan seperti pH, oksigen, dan temperatur (Dulmage
dan Rhodes 1971). Glukosa dan onggok tapioka digunakan untuk
sintesis sel baru atau produksi sel karena merupakan sumber karbon.
Konsentrasi sumber karbon yang terlalu tinggi dapat menyebabkan pH
media turun menjadi 5.6 5.8. Kondisi ini dapat menghambat atau
menghentikan pertumbuhan Bacillus thuringiensis demikian pula
halnya dengan konsentrasi glukosa yang terlalu rendah (Vandekar dan
Dulmage 1982).
Bakeri Bacillus thuringiensis pertama kali ditemukan di Jepang
pada tahun 1901 dari penyakit pada jentik ulat sutera. Ishiwata
adalah orang yang pertama kali mengisolasikan Bacillus
thuringiensis dari larva ulat sutera yang mati. Namun pada saat
itu, bakteri tersebut belum dikenal sebagai Bacillus thuringiensis.
Baru pada tahun 1911, Berliner menemukan sejenis bakteri yang sama
dengan yang ditemukan oleh Ishiwata dari kumbang tepung
Mediteranian (Mediterraneanflour moth), Anagasta kuehniella yang
mati (Swadener, 1994). Bakteri ini kemudian dinamakan dengan
Bacillus thuringiensis.
Bioinsektisida Bacillus thuringiensis merupakan 90-95 % dari
bioinsektisida yang dikomersialkan untuk dipakai oleh petani di
berbagai negara. Kristal protein yang dihasilkan Bacillus
thuringiensis bersifat selektif (hanya toksik terhadap serangga
sasaran), aman terhadap organisme bukan sasaran dan manusia, serta
tidak menimbulkan residu yang dapat mencemari lingkungan.
Bioinsektisida berbahan aktif kristal protein diproduksi dengan
cara kultivasi bakteri dalam media dan kondisi pertumbuhan yang
optimum. Kondisi kultivasi media berpengaruh terhadap toksisitas
bioinsektisida yang dihasilkan. Formulasi media fermentasi yaitu
rasio C/N berpengaruh terhadap produksi bioinsektisida, densitas
optik dan pembentukan spora dari Bacillus thuringiensis
(Rahayuningsih, 2003).
Menurut Gumbira (1987), faktor lingkungan yang berpengaruh
terhadap pertumbuhan sel dan pembentukan produk adalah suhu dan pH
awal medium. Spora dan kristal protein dihasilkan pada saat akhir
dari fase logaritmik. Kondisi kultur dalam medium fermentasi
berpengaruh terhadap pembentukan spora dan kristal protein. Menurut
Morris et al., (1996), derajat keasaman (pH) berpengaruh terhadap
produksi spora dan kristal protein. Suhu berpengaruh terhadap
pertumbuhan sel, tetapi tidak ada hubungan secara langsung antara
pertumbuhan sel dengan produksi kristal protein. Struktur dan
susunan asam-asam amino di dalam toksin berpengaruh terhadap
toksisitas bioinsektisida. Pembentukan produk oleh mikroorganisme
tergantung pada suhu yang sama dengan pertumbuhan, tetapi suhu yang
optimum untuk pertumbuhan dan pembentukan produk tidak harus sama.
Untuk menentukan suhu yang optimum diperlukan hubungan antara suhu
dengan produk yang dihasilkan.
Hampir semua mikroorganisme memiliki kisaran suhu untuk tumbuh
dan berkembang. Suhu yang optimal untuk produksi sel atau produk
sel dapat ditentukan secara empiris. Biasanya suhu yang optimal
berada sedikit dibawah suhu maksimal untuk pertumbuhannya dan suhu
yang paling baik untuk pembentukan produk sering tidak sama untuk
pertumbuhan maksimalnya (Dulmage dan Rhodes, 1971). Bacillus
thuringiensis dapat tumbuh dengan medium buatan dengan suhu
pertumbuhan berkisar antara 15 - 40(C. Menurut Gumbira (1987),
terdapat tiga jenis kurva suhu pertumbuhan mikoorganisme, yaitu
psikrofilik, mesofilik dan termofilik. Mikroorganisme yang
kecepatan pertumbuhannya dibawah 20(C disebut psikrofilik, yang
diantara 30-35(C disebut mesofilik dan diatas 50(C disebut
termofilik. Pola pertumbuhan ketiga kurva tersebut hampir sama,
jika suhu dinaikkan ke arah suhu pertumbuhan optimal maka kecepatan
tumbuh rata-rata akan meningkat dua kalinya pada kisaran suhu 10(C.
Di atas suhu pertumbuhan optimum maka kecepatan tumbuh akan menurun
secara cepat berlawanan dengan naiknya suhu.Bacillus thuringiensis
dapat tumbuh pada medium yang memiliki pH pada kisaran 5.5 - 8.5
dan tumbuh optimum pada pH 6.5 - 7.5 (Benhard dan Utz, 1993).
Selama fermentasi pH dapat berubah dengan cepat tergantung pada
penggunaan karbohidrat (menurunkan pH) dan protein (menaikkan pH).
Nilai pH dapat dikendalikan dengan memelihara keseimbangan antara
senyawa gula dan nitrogen (Quinlan dan Lisansky, 1985).
Mikroorganisme membutuhkan sumber air, sumber karbon, nitrogen,
unsur mineral, dan faktor pertumbuhan dalam medium pertumbuhannya
(Vandekardan Dulmage, 1982). Beberapa sumber karbon dapat digunakan
untuk fermentasi Bacillus thuringiensis secara terendam antara lain
glukosa, sirup jagung, tepung jagung, dekstrosa, sukrosa, laktosa,
pati, minyak kedelai, dan molase dari bit atau tebu. Sumber
nitrogen yang dapat digunakan adalah tepung kedelai, tepung biji
kapas (proflo), corn steep, gluten jagung, ekstrak khamir, pepton,
kedelai, tepung ikan, tripton dan kasein.
Bacillus thuringiensis adalah racun perut bagi serangga hama dan
merupakan bakteri yang menghasilkan kristal protein yang bersifat
membunuh serangga (insektisida) sewaktu mengalami proses
sporulasinya (Hofte dan Whiteley, 1989). Kristal protein yang
bersifat insektisidal ini sering disebut dengan -endotoksin.
Kristal protein yang ada pada Bacillus thuringiensis ini sebenarnya
merupakan pro-toksin yang jika larut dalam usus serangga akan
berubah menjadi poli-peptida yang lebih pendek serta mempunyai
sifat insektisidal. Kristal protein yang dimakan oleh serangga akan
dipecah oleh enzim protease di bagian tengah dalam saluran
pencernaan menjadi molekul toksik. Toksin tersebut akan
mempengaruhi permeabilitas membran sel, mikrovili pada sel-sel
epitalium yang dapat menyebabkan paralisis saluran makanan dan
berubahnya keseimbangan Ph hemophilia, yang kemudian dapat
menyebabkan kematian.
Bacillus thuringiensis ini dapat menyebabkan terbentuknya
pori-pori (lubang yang sangat kecil) di sel membran saluran
pencernaan dan dapat mengganggu keseimbangan osmotic dari sel-sel
tersebut. Karena keseimbangan osmotic terganggu, maka serangga atau
hama akan mati. Kematian serangga biasanya terjadi dalam waktu 3-5
hari, akan tetapi ada larva yang dapat bertahan hidup lebih lama.
Tanda-tanda awal serangan bakteri Bacillus thuringiensis pada
serangga yaitu aktivitas makan serangga menurun bahkan berhenti.
Serangga menjadi lemah dan kurang tanggap terhadap sentuhan.
Setelah mati, serangga kelihatan berwarna cokelat tua atau
hitam.
Proses toksisitas kristal protein sebagai bahan aktif
bioinsektisida dimulai dengan termakannya kristal protein oleh
serangga. Kristal protein ini akan dipecah oleh enzim protease pada
kondisi basa dalam usus tengah serangga sehingga melepaskan
-endotoksin yang bersifat toksin. Toksin ini akan berinteraksi
dengan reseptor-reseptor pada sel-sel epithelium usus tengah larva
serangga yang rentan. Setelah toksin ini bereaksi, maka akan
menyebabkan terbentuknya lubang-lubang pada membran sel sehingga
dapat mengganggu keseimbangan osmotik sel dan mengakibatkan
terjadinya pembengkakan yang menyebabkan larva berhenti makan dan
mati. Apabila serangga target tersebut tidak rentan terhadap aksi
-endotoksin secara langsung, maka dampak dari pertumbuhan spora di
dalam tubuh serangga tersebut yang akan menyebabkan kematiannya.
Spora tersebut akan berkecambah dan menyebabkan membran usus
serangga rusak. Replikasi dari spora akan membuat jumlah spora
dalam tubuh serangga semakin banyak dan menyebabkan perluasan
infeksi di dalam tubuh serangga yang pada akhirnya menyebabkan
serangga tersebut mati (Swadener, 1994).
Salah satu parameter yang diujikan dalam pembuatan
bioinsektisida dari bakteri Bacillus thuringiensis aizawai adalah
nilai pH. Pengujian terhadap pH ini merupakan cara untuk memantau
kondisi dari bakteri tersebut. Dengan mengetahui nilai pH selama
proses fermentasi, maka dapat diketahui berapa rentang nilai pH
untuk bakteri yang digunakan dan berapa nilai pH optimumnya.
Setelah diketahui, kita dapat mengontrol pH tersebut supaya selalu
pada kondisi optimum atau minimal pada rentang hidup dari bakteri
(Quinlan dan Lisansky, 1985).Kendala utama dalam produksi
bioinsektisida adalah bahan baku fermentasi yang masih impor. Pada
umumnya, fermentasi Bacillus thuringiensis menggunakan dekstrosa
karena dekstrosa kaya akan sumber karbon. Solusinya yaitu dari
dekstrosa dapat digunakan bahan-bahan yang memiliki kadar pati yang
cukup tinggi, misalkan pati singkong. Kadar pati yang tinggi
menunjukkan bahwa terdapat banyak karbon pada sumber tersebut.
Sumber karbon juga bisa didapatkan dari bahan-bahan yang memiliki
kadar gula yang cukup tinggi. Selain itu sumber karbon dari
dekstrosa dapat pula digunakan selulosa karena selulosa kaya akan
sumber karbon. Namun, untuk menggunakan selulosa sebagai sumber
karbon harus dihidrolisis terlebih dahulu menjadi gula-gula
sederhana sehingga dapat digunakan oleh bakteri tersebut. (Darwis
et al 2012).
Salah satu parameter yang diujikan dalam pembuatan
bioinsektisida dari bakteri Bacillus thuringiensis aizawai adalah
nilai pH. Pengujian terhadap pH ini merupakan cara untuk memantau
kondisi dari bakteri tersebut. Dengan mengetahui nilai pH selama
proses fermentasi, maka dapat diketahui berapa rentang nilai pH
untuk bakteri yang digunakan dan berapa nilai pH optimumnya.
Setelah diketahui, kita dapat mengontrol pH tersebut supaya selalu
pada kondisi optimum atau minimal pada rentang hidup dari bakteri
(Quinlan dan Lisansky, 1985).Berdasarkan data hasil praktikum
diperoleh nilai pH yang berbeda-beda pada produksi bioinsektisida
dengan fermentasi cair. Pada jam ke 0 hingga 120 diperoleh nilai pH
akhir sebesar 8. Pada jam ke 0 hingga jam ke 96 terjadi peningkatan
pH yang awalnya 5, sedangkan jam ke 120 tidak terjadi perubahan pH.
Pada produksi bioinsektisida dengan kultivasi padat pada jam ke 0
hingga 120 mengalami peningkatan. Bila dibandingkan dengan
literatur terdapat beberapa perbedaan hasil nilai pH. Menurut
literatur, Bacillus thuringiensis aizawai merupakan organisme
(bakteri) mesofilik, dimana kisaran suhu pertumbuhannya 15-45oC
dengan suhu optimum 26-30oC dan kisaran pH pertumbuhannya ialah
5.5-8.5 dengan pH optimum 6.5-7.5 (Benhard dan Utz, 1993).
Literatur lainnya menyatakan bahwa pertumbuhan optimum sebagian
bakteri terjadi pada pH sekitar 7. Nilai pH awal media fermentasi
sering kali diatur dengan menggunakan larutan penyangga atau dengan
penambahan alkali atau asam steril. Nilai pH awal untuk media
fermentasi Bacillus thuringiensis aizawai ditentukan pada kisaran
6.8-7.2. Selama fermentasi pH dapat berubah dengan cepat tergantung
pada penggunaan karbohidrat dan protein. Penggunaan karbohidrat
yang terlalu banyak daripada protein dapat menurunkan pH, sedangkan
penggunaan protein yang terlalu banyak daripada karbohidrat dapat
menaikkan pH. Nilai pH dapat dikendalikan dengan memelihara
keseimbangan antara senyawa gula dan nitrogen (Quinlan dan
Lisansky, 1985).
Perbedaan nilai pH antara hasil praktikum dengan literatur yang
ada tidak terlalu signifikan karena masih berkisar pada pH yang
sesuai dengan pertumbuhan Bacillus thuringiensis aizawai. Adapun
perubahan pH terjadi karena adanya enzim urease pada Bacillus
thuringiensis aizawai. Enzim urease akan mengubah urea menjadi
amonium bikarbonat dengan reaksi kimia:
(NH2)2CO + 3H2O urease (NH4)2HCO3 + OH
Reaksi kimia tersebut menyebabkan urea terlarut dalam air
sehingga terjadi peningkatan pH hingga 8,5 (James, 1983). Literatur
tersebut menjelaskan adanya perubahan pH menjadi basa, adapun nilai
yang berbeda dapat disebabkan pembacaan alat yang digunakan yaitu
kertas pH tidak tepat.
Peningkatan kembali nilai pH selama fermentasi disebabkan oleh
pemanfaatan kembali asam asetat yang terakumulasi dalam medium
untuk memproduksi polihidroksilat (PHB). PHB selanjutnya akan
digunakan sebagai energi selama proses spirulasi. Selain itu
kenaikan pH juga disebabkan karena terakumulasinya bahan-bahan
alkali hasil metabolisme urea (Benoit, 1990).Pembahasan selanjutnya
yaitu mengenai pengaruh lama fermentasi dengan nilai optical
density (OD). OD merupakan salah satu metode langsung untuk
mengetahui pertumbuhan sel. Panjang gelombang yang digunakan pada
prtaktikum kali ini yaitu 660 nm. Semakin tinggi nilai OD
menunjukkan semakin keruh larutan tersebut, hal tersebut disebabkan
adanya pertumbuhan sel yang membuat kandungan sel di dalam larutan
menjadi meningkat. Pertumbuhan sel Bacillus thuringiensis aizawai
akan memasuki fase stasioner dimana pertumbuhan sel mulai melambat
atau terkesan statis pada jam ke 36 dan umumnya pertumbuhan optimum
pada sekitar jam ke 30 fermentasi (Benhard, 1993). Hasil yang
diperoleh untuk nilai OD pada praktikum berbeda dengan literatur
yang ada dimana terjadi fluktuasi nilai OD. Nilai OD tersebut
secara berurutan mulai dari jam ke 0 hingga jam ke 120 adalah 84,
64.8, 69.6, 79.8, 68.4 dan 59.8.
Perbedaan hasil praktikum dengan literatur tersebut dapat
terjadi karena adanya ketidaktelitian praktikan dalam mengukur
nilai OD saat menggunakan spektrofotometer, perbedaan medium, serta
perbedaan bahan baku yang menyebabkan nutrisi yang diperoleh
mikroba dalam pertumbuhannya berbeda.Pengujian selanjutnya yaitu
uji biomassa kering. Pengujian biomassa kering yaitu pengukuran
selisih massa biomassa setelah dan sebelum proses fermentasi.
Selama proses fermentasi, biomassa akan tumbuh dan secara tidak
langsung massa nya akan meningkat. Peningkatan massa ini akan
terjadi seiring waktu fermentasi sampai terjadi fase stasioner
(Gumbira, 1987). Berdasarkan hasil praktikum, diperoleh data yang
menunjukkan adanya penurunan dan peningkatan seiring bertambahnya
waktu fermentasi. Adapun nilainya dari jam ke 0 hingga jam ke 120
dalam gram yaitu 1.03; 0.93; 1.03; 1.03; 1.08; dan 1.05. Data yang
diperoleh telah sesuai dengan literatur yang menyatakan bahwa
semakin lama produk fermentasi dilakukan akan terbentuk hasl
biomassa yang semakin banyak pula hingga mulai memasuki ke tahap
stasioner, dimana pertumbuhan sel mulai statis atau tidak ada
pertumbuhan lagi (Gumbira, 1987). Selisih nilai biomasa tertinggi
terdapat dari jam ke 72 hingga 96 hal tersbut menandakan
pertumbuhan sel paling maksimum. Nilai bobot kering biomassa
tertinggi tidak selalu memberikan jumlah sel tertnggi. Hal tersebut
disebabkan pengukuran terhadap bobot kering biomassa tidak hanya
mengukur jumlah sel hidup saja, sel mati, spora dan bahan lain yang
tidak terlarut juga akan mempengaruhi hasil. Pada literatur
diperoleh biomassa kering terbanyak pada jam ke 30, akan tetapi
bakteri yang digunakan untuk bioinsektida adalah Bacillus
thuringiensisisraelensis, perbedaan jenis mikroba ini menyebabkan
waktu atau laju maksimum saat pertumbuhan biomassa berbeda..
Perbedaan hasil praktikum dengan literatur dapat terjadi karena
jenis mikroba yang digunnakan berbeda, selain itu juga dapat
disebabkan karena jenis medium dan bahan baku pembuatan medium
berbeda sehingga mempengaruhi nutrisi yang diperoleh untuk
pertumbuhan mikroba. Selain itu juga dapat disebabkan karena adanya
kesalahan praktikan dalam menghitung biomassa (Salamah,
2002).Pembahasan selanjutnya yaitu mengenai nilai VSC. VSC (Viable
Spore Count) merupakan uji yang digunakan untuk menganalisa jumlah
spora hidup yang terkandung dalam campuran spora kristal. Pada uji
ini, sampel yang akan diukur terlebih dahulu diencerkan secara
serial kemudian diberi renjatan panas dengan tujuan untuk membunuh
sel-sel vegetatif yang ada pada cairan kultivasi. Pada praktikum
kali ini, pengujian dilakukan untuk mengetahui pertumbuhan spora
pada media cair dan media padat. Penentuan nilai VSC dilakukan
hanya pada jam ke 24-72, hal tersebut karena pada jam ke 0 spora
belum bertumbuh dan pada jam ke 96 pertumbuhan spora dianggap telah
menurun. Hasil VSC mengalami peningkatan seiring dengan pertambahan
waktu fermentasi. Adapun nilai pada VSC dengan media cair dari jam
ke 24-72 pada pengenceran 10-4 yaitu TSUD, TBUD, dan TBUD. Nilai
VSC pada pengenceran 10-5 dari jam ke 24-96 yaitu TSUD, 94 dan
TSUD. Nilai VSC pada pengenceran 10-6 dari jam ke 24-96 yaitu TSUD,
32 dan TSUD. Terdapat perbedaan pertambahan nilai spora pada setiap
pengenceran dimana semakin tinggi pengencerannya maka jumlah spora
yang tumbuh semakin sedikit. Pada literatur nilai tertinggi spora
terjadi pada jam ke 30 dengan pertambahan nilai spora terbanyak
pada jam ke 24-30, dimana data mulai stasioner setelah jam ke 30
(Salamah, 2002).Adapun perbedaan yang terjadi pada hasil praktikum
dengan literatur dapat disebabkan oleh beberapa faktor. Diantaranya
karena bahan baku yang digunakan berbeda sehingga kandungan nutrisi
didalamnnya berbeda serta mikroba yang digunakan berbeda pada
literatur yaitu Bacillus thuringiensisisraelensis. Selain itu juga
dapat disebabkan karena kesalahan praktikan terutama saat inokulasi
dan perhitungan jumlah spora yang terbentuk, sehingga menghasilkan
data yang berbeda.PENUTUPKesimpulanBioinsektisida merupakan bahan
yang berfungsi untuk membunuh atau menghambat perkembangan spesies
insekta yang dapat dihasilkan oleh tumbuhan maupun yang menggunakan
organisme hidup seperti virus, bakteri, dan jamur. Insektisida ini
mengandung senyawa toksik yang secara spesifik akan menyerang
serangga yang menjadi sasaran dan tidak menyerang serangga lainnya.
Oleh karena itu bioinsektisida aman terhadap organisme non-target,
manusia dan lingkungan. Bioinsektisida memilki efektivitas yang
sama dengan pestisida yang berbasis bahan kimia. Maka dari itu,
dengan penggunaan bioinsektisida diharapkan dapat mengurangi
pemakaian insektisida kimia yang telah banyak menimbulkan kerugian
bagi lingkungan.Penelitian untuk memperoleh bioinsektisida yang
ampuh dan ramah lingkungan sampai saat ini telah banyak dilakukan.
Salah satu hasilnya adalah bioinsektisida mikrobial yang diperoleh
dari Bacillus thuringiensis (B.t) yang bersifat aman karena
memiliki derajat spesifisitas yang tinggi dan relatif kecil
terjadinya resistensi (kekebalan) pada serangga hama. Bacillus
thuringiensis aizawai merupakan salah satu jenis bakteri yang
banyak dimanfaatkan dalam produksi bioinsektisida microbial.
Produksi bioinsektisida dengan kultur Bacillus thuringiensis
dapat dilakukan dengan kultivasi/fermentasi padat atau semi padat
(semi solid fermentation) dan cair atau terendam (submerged
fermentation). Fermentasi terendam atau cair lebih disukai karena
menjaga kesterilan kultur serta proses pemanenan dan pengaturan
parameter proses produksi atau fermentasi yang lebih sederhana.
Selain itu, produk hasil fermentasi cair dapat langsung digunakan
dibandingkan hasil fermentasi semi padat yang sulit disuspensikan
karena ada kecenderungan menggumpal.Pada praktikum bioinsektisida
ini dilakukan beberapa uji parameter, diantaranya uji pH, OD
(optical density), biomassa, dan VSC (Viable Spore Count). Menurut
literatur Bacillus thuringiensis aizawai memiliki pH pertumbuhan
5.5-8.5 dengan pH optimum 6.5-7.5. Uji parameter pH menunjukkan
hasil praktikum yang diperoleh tidak terlalu signifikan dengan
literatur karena masih berkisar pada pH yang sesuai dengan
pertumbuhan Bacillus thuringiensis aizawai. Selama fermentasi,
terjadi kenaikan dan penurunan pH. Nilai pH berubah-ubah dengan
cepat tergantung pada penggunaan karbohidrat dan protein.
Penggunaan karbohidrat yang terlalu banyak daripada protein dapat
menurunkan pH, sedangkan penggunaan protein yang terlalu banyak
daripada karbohidrat dapat menaikkan pH.
Uji OD (Optical Density) merupakan salah satu metode langsung
untuk mengetahui pertumbuhan sel. Semakin tinggi nilai OD
menunjukkan semakin keruh larutan tersebut, hal tersebut disebabkan
adanya pertumbuhan sel yang membuat kandungan sel di dalam larutan
menjadi meningkat. Hasil uji yang diperoleh untuk nilai OD pada
praktikum bernilai negatif untuk setiap kelompok, hasil ini sangat
berbeda dengan literatur. Nilai negatif menandakan larutan yang
diuji lebih bening bila dibandingkan dengan blangko, hal tersebut
dirasa janggal karena di dalam larutan yang diuji terdapat sel
bioinsektisida yang membuat larutan lebih keruh jika dibandingkan
dengan blangko. Pengujian biomassa kering yaitu pengukuran selisih
massa biomassa setelah dan sebelum proses fermentasi. Berdasarkan
hasil praktikum, diperoleh data yang menunjukkan adanya peningkatan
seiring bertambahnya waktu fermentasi. Data yang diperoleh telah
sesuai dengan literatur yang menyatakan bahwa semakin lama
fermentasi dilakukan maka akan terbentuk hasil biomassa yang
semakin banyak pula. Peningkatan massa ini akan terjadi seiring
waktu fermentasi sampai terjadi fase stasioner, dimana pertumbuhan
sel mulai statis atau tidak ada pertumbuhan lagi.
VSC (Viable Spore Count) merupakan uji yang digunakan untuk
menganalisa jumlah spora hidup yang terkandung dalam campuran spora
kristal. Pada praktikum kali ini, pengujian dilakukan untuk
mengetahui pertumbuhan spora pada media cair dan media padat.
Penentuan nilai VSC dilakukan hanya pada jam ke 24-72, hal tersebut
karena pada jam ke 0 spora belum bertumbuh dan pada jam ke 96
pertumbuhan spora dianggap telah menurun. Hasil VSC mengalami
peningkatan seiring dengan pertambahan waktu fermentasi. Adapun
nilai pada VSC dengan media cair dari jam ke 24-72 pada pengenceran
10-4 yaitu TSUD, TBUD, dan TBUD. Nilai VSC pada pengenceran 10-5
dari jam ke 24-96 yaitu TSUD, 94 dan TSUD. Nilai VSC pada
pengenceran 10-6 dari jam ke 24-96 yaitu TSUD, 32 dan TSUD.
Terdapat perbedaan pertambahan nilai spora pada setiap pengenceran
dimana semakin tinggi pengencerannya maka jumlah spora yang tumbuh
semakin sedikit. Pada literatur nilai tertinggi spora terjadi pada
jam ke 30 dengan pertambahan nilai spora terbanyak pada jam ke
24-30, dimana data mulai stasioner setelah jam ke 30. Literatur
tersebut menggunakan bakteri Bacillus thuringiensisisraelensis, hal
ini mungkin merupakan salah satu faktor perbedaan hasil
tersebut.SaranPraktikum bioinsektisida ini sangat berguna sehingga
dibutuhkan perhatian untuk memahami tahapan proses yang sesuai
prosedur. Pemahaman tentang prosesnya sangat berpengaruh terhadap
keberhasilan setiap uji serta pemahaman penggunaan alat sehingga
praktikan dapat dengan cepat dan cermat dalam melaksanakan
praktikum.DAFTAR PUSTAKA
Abbas, S., Halim dan S. T. Amidarmo. 1985. Limbah Tanaman Ubi
kayu. Di dalam F.G Winarno (editor). Monografi Limbah Pertanian.
Kantor Menteri Muda Urusan Peningkatan Produksi Pangan,
JakartaBehle, et all. 1999. Makalah Formulations Forum 99.
Formulating Bionsecticides To Improve Residual Activity. University
Peoria. Illinois
Bernhard, K. dan R. Utz. 1993. Production of Bacillus
thuringiensis Insecticide for Experimental and Commercial Uses. Di
dalam P. F. Enwistle, J. S. Cory, M. J. Bailey dan S. Higgs
(editor). Bacillus thuringiensis, An Enviromental Biopesticide :
Theory and Practice. John Wiley and Son, Chichester :
255-266.Benoit et al. 1990. Fermentation During Growth and
Sporulation of Bacillus thuringiensis. New York: Lett, Appl.
Microbiol.Chalal, D.S. 1985. Solid State Fermentation with
Trichoderma ressei. Application Environment. Microbiology
49(1):205-210.
Damardjati, D. S. 1985. Strategi Penelitian Limbah Ubi Kayu di
Indonesia. Di dalam F. G. Winarno (ed). Monografi Limbah Pertanian.
Kantor Mentri Muda Urusan Peningkatan Produksi Pangan, Jakarta.
Darwis AA, Khaswar S, Ummi S.2012.Kajian Produksi Bioinsektisida
dari Bacillus thuringiensis subsp israelensis Pada Media Tapioka.
Jurnal Teknologi Industri Pertanian Vol. 14(1) hal 1-5.
Departemen Pertanian. 2010. Rancangan Rencana Strategis
Kementerian Pertanian 2010-2014. Kementerian Pertanian Republik
Indonesia. Jakarta.
Dulmage, H. T., J. A. Correa and G. G. Morales. 1990. Potential
of Improved Formulation of Bt through Standardization and
Cultivation Development. Di dalam Bacterial Control of Mosquitoes
and Blackfleis : Biochemistry, Genetics and Application of Bt and
Bacillus sphaericus. Eds : H. D. Barjac and D. J. Sutherland.
Rutgers University Press. New Brunswick, New Jersey, USA. 110
133.
Dulmage, H. T. And Rhodes, R.A. 1971. Production of Pathogens in
Artificial Media, pp.507-540 In : Burges, H.D. (ed). Microbial
Control of Pest and Plant Diseases 1970-1980. New York : Acad
press.
Gill, S. S., E. A. Cowles, dan P. V, Pietrantonio. 1992. The
Mode of Action of Bacillus thuringiensis. Endotoxin. Annu, Rev.
Entomol. 37 : 615 636
Gumbira Said, E. 1987. Bioindustri. Jakarta: Penebar
Swadaya.
Hofte H, Whiteley HR. 1989. Insecticidal Crystal Protein of
Bacillus thuringiensis. Microbial Rev 53 : 242-255.
Jenie, B.S. L. dan Fachda. 1991. Pemanfatan Onggok dan Dedak
Padi Untuk Produksi Pigmen Angkak Oleh Monescus purpureus.
Pertemuan Ilmiah Tahunan. Perhimpunan Mikrobiologi Indonesia,
Bogor
Lereclus D, A Delecluse, MM Lecaded. 1993. Diversity of Bacillus
thuringiensis toxins and genes. Bacillus thuringiensis, an
environmental biopesticides: theory and practices. John Willey and
Sons.
Machfud et al. 1989. Teknik Optimasi Rekayasa Proses Pangan.
Bogor: PAU Pangan dan Gizi, Institut pertanian Bogor.
Morris O.N., Converse V., Kanagaratnam P., and Davies J.S. 1996.
Effect of Cultural Condition on Spore-Crystal Yield and Toxycity of
Bacillus thuringiensis subs. Aizawai (HD133). Journal of
Invertebrate Patology 67, 129-136.
Pablo, Julian. 2012. Kultivasi Mikroba. [Terhubung berkala]
http://matakuliahbiologi.blogspot.com/2012/04/kultivasi-mikroba.html
(4 Mei 2015)Prawira, Y. 2012. Fermentasi Substrat Padat.
http://www.yprawira.com [28 April 2013]
Quinlan, R.J. dan S.G Lisansky. 1985. Mikrobial Insecticides.
Weinheim: Verlag Chemist.
Rahayuningsih, M. 2003. Toksisitas dan Perbedaaan Aktivitas
DipterosidalBioinsektisida Bacillus thuringiensis var. israelensis
Tipe Liar dan Mutanpada berbagai Formulasi Media dan Kondisi
Kultivasi. Disertasi. ProgramPascasarjana Institut Pertanian Bogor,
Bogor.Salamah, U. 2002. Kajian Produksi Bioinsektisida dari
Bacillus thuringiensis subsp. Israelensis Pada Media Tapioka.
[Terhubung berkala].
http://repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/16303/F02usa.pdf?sequence=2
(7 Mei 2015)Silvina, D et al.2012.Pemanfaatan Limbah Cair Industri
Pengolahan Tahu Untuk Memproduksi Spora Bacillus Thuringiensis
Serovar Israelensis Dan Aplikasinya Sebagai Biokontrol Larva Nyamuk
(karya tulis PKM). Universitas Udayana, Denpasar
Swadener, C. 1994. Bt. Journal of Pesticides Reform vol. 14.
No.3 : 13 20. Northwest Coalition for Alternative to Pesticides.
Canada.
Vendekar, M and H. T. Dulmage. 1982. Guidelines for Production
Bacillus thuringiensis H-14. Special Programme for Research and
Training in Tropical Diseases. Geneva, Switzerland.JOBDESC
PRAKTIKUM DAN LAPORANNo.NamaNIMPraktikumLaporanTTD
1.Icha PebriyantiF34120108Membuat media propagasi dan pengamatan
kultivasi cair (OD)Bahas data, penutup dan finishing
2.Andi RezaF34120139Membuat kultivasi padat
3.Ramanda AnugrahF34120146Membuat kultivasi cair dan blanko,
pengamatan biomassaPendahuluan, metodologi, pembahasan
4.Fachri MF34120149Membuat kultivasi cair
5.Noviza HayatinurF34120152Membuat dan pengamatan terhadap
kultivasi padat
6.Siti NurjannahG44110018Membuat media propagasi dan kultivasi
padat