LAPORAN ANALISIS KEBIJAKAN MODEL PENGEMBANGAN AGRIBISNIS PADI: Analisis Ekonomi dan Kelembagaan Pemanfaatan Alsintan Tim Peneliti: Handewi P. Saliem Sumaryanto Henny Mayrowani Adang Agustian Syahyuti PUSAT SOSIAL EKONOMI DAN KEBIJAKAN PERTANIAN KEMENTERIAN PERTANIAN 2016
67
Embed
LAPORAN ANALISIS KEBIJAKAN MODEL PENGEMBANGAN …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2016_08.pdf · LAPORAN ANALISIS KEBIJAKAN MODEL PENGEMBANGAN AGRIBISNIS PADI: Analisis
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
LAPORAN ANALISIS KEBIJAKAN
MODEL PENGEMBANGAN AGRIBISNIS PADI:
Analisis Ekonomi dan Kelembagaan Pemanfaatan Alsintan
Tim Peneliti:
Handewi P. Saliem
Sumaryanto Henny Mayrowani Adang Agustian
Syahyuti
PUSAT SOSIAL EKONOMI DAN KEBIJAKAN PERTANIAN KEMENTERIAN PERTANIAN
2016
LEMBAR PENGESAHAN
1. Judul RPTP/RDHP/RKTM : Analisis Kebijakan: Model Pengembangan
Agribisnis Padi 2. Unit Kerja : Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian
3. Alamat Unit Kerja : Jalan Jend. A. Yani 70 Bogor 4. Sumber Dana : APBN 5. Status Penelitian : Baru
6. Penanggung Jawab a. Nama : Dr. Ir. Handewi P. Saliem
b. Pangkat : Pembina Utama/IV-e c. Jabatan : Peneliti Utama
7. Lokasi : Jawa Tengahdan Sulawesi Selatan 8. Agroekosistem : Lahan Sawah 9. Tahun Mulai : 2016
10. Tahun Selesai : 2016 11. Output Tahunan : Rekomendasi Kebijakan Pengembangan
Agribisnis Padi 12. Output Akhir : Rekomendasi Kebijakan Pengembangan
Agribisnis Padi
13. Biaya : Rp 49.975.000
Kepala Bidang Program dan
Evaluasi
Penanggung Jawab,
Dr.Ir. Ketut Kariyasa, MS Dr. Ir.Handewi. P. Saliem, MS NIP.19690419 199803 1002 NIP. 19570604 198103 2001
Mengetahui,
Kepala Unit Kerja
Dr. Ir. Abdul Basit, MS NIP. 196109291986031003
i
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR ISI
i
DAFTAR TABEL ii
DAFTAR GAMBAR iii
I PENDAHULUAN 1
1.1. Latar belakang 1
1.2. Tujuan 3
1.3. Keluaran 3
1.4. Perkiraan Dampak 3
II METODOLOGI 4
2.1. Lokasi Penelitian 4
2.2. Jenis dan Sumber Data 4
2.3. Metode Analisis 4
III HASIL DAN PEMBAHASAN 5
3.1. Kinerja, Ketersediaan dan Pemanfaatan Alsintan 5
3.1.1. Potensi Lahan dan Pola Tanam 5
3.1.2. Ketersediaan dan Kebutuhan Alsintan 9
3.1.3. Analisis Biaya dan Manfaat dari Penggunaan Alsintan 16
3.2. Analisis Kelembagaan PengelolaanAlsintan 27
3.2.1. Peran Kelembagaan Agribisnis 27
3.2.2. Kelembagaan PengelolaanAlsintan 35
3.3. Prospek dan Kendala Pengembangan Agribisnis Padi Skala
Komersial 52
3.4. Pengembangan Kelembagaan Agribisnis Padi Skala Konersial 55
IV KESIMPULAN DAN REKOMENDASI KEBIJAKAN 59
DAFTAR PUSTAKA 62
ii
DAFTAR TABEL
Tabel Halaman
1 Luas baku lahan sawah berdasarkan indeks pertanaman padi di
Kabupaten Cilacap, 2014 5
2 Luas baku lahan sawah berdasarkan indeks pertanaman padi per
kecamatan di Kabupaten Cilacap, 2014 6
3 Luas baku lahan sawah berdasarkan index pertanaman padi di
Kabupaten Soppeng, 2014 7
4 Potensi lahan sawah Kabupaten Soppeng, 2015 8
5 Luas baku lahan sawah berdasarkan indeks pertanaman padi per
kecamatan di Kabupaten Soppeng, 2015 8
6 Ketersediaan alsintan per jenis menurut kecamatan di Kabupaten
Cilacap, 2015 (unit) 10
7 Rasio luas tanam dengan jumlah alsintan per jenis menurut
kecamatan di Kabupaten Cilacap, 2015 (Ha) 12
8 Jumlah penduduk bekerja pada lapangan kerja pertanian per
kecamatan di Kabupaten Cilacap, 2013 (orang) 13
9 Ketersediaan alsintan per jenis menurut kecamatan di Kabupaten
Soppeng, 2015 (unit) 14
10 Rasio luas tanam dengan jumlah alsintan per jenis menurut
kecamatan di Kabupaten Soppeng, 2015 15
11 Rasio luas tanam dengan jumlah pompa air menurut kecamatan
di Kabupaten Soppeng, 2015 16
12 Struktur ongkos dan sewa traktor tangan di UPJA Desa Bojong
Cilacap, 2015 (Rp/ha) 17
13 Struktur ongkos dan sewa traktor tangan di UPJA Semangat
Kelurahan Appanang, Kec. Liliriaja, Kab. Soppeng, 2015 (Rp/ha) 19
14 Struktur ongkos dan sewa traktor roda-4 di UPJA Semangat
Kelurahan Appanang, Kec. Liliriaja, Kab. Soppeng, 2015 (Rp/ha) 19
15 Struktur ongkos dan sewa transplanter di UPJA Desa Bojong 21
Cilacap, 2015
16 Struktur ongkos dan sewa power thresher di UPJA Desa Bojong
Cilacap, 2015 23
17 Struktur ongkos dan sewa Mini Combine Harvester di UPJA Desa
Bojong, Cilacap,2015 24
18 Struktur ongkos dan sewa Combine Harvesterdi UPJA Semangat
Kelurahan Appanang, Kec. Liliriaja, Kab. Soppeng, 2015 (Rp/ha) 26
19 Keragaan agribisnis padi dalam penggunaan alat dan mesin
pertanian pada kedua lokasi studi, 2016 31
20 Tingkat penerapan mekanisasi agribisnis padi di Kabupaten
Cilacap, 2016 33
21 Tingkat penerapan mekanisasi agribisnis padi di Kabupaten
Soppeng, 2016 34
iii
22 Kelas kemampuan UPJA dan karakteristiknya 41
23 Pengelolaan alsintan pada UPJA Setia Dadi, Kabupaten Cilacap
berdasarkan pedoman dan kondisi existing, tahun 2016 44
24 Pengelolaan alsintan pada UPJA Semangat, Kabupaten Soppeng
berdasarkan pedoman dan kondisi existing, tahun 2016 47
25 Aturan main dalam penggunaan jasa alsin yang dikelola UPJA
Semangan di Kabupaten Soppeng, 2016 49
27 Analisa Usahatani Padi pada Percontohan Pertanian Modern (PPM)
dan Konvensional di Kelurahan Appanang, Kec Liliriaja,
Kab. Soppeng, MH 2014/2015 (Rp/ha) 51
DAFTAR GAMBAR
Gambar
Halaman
1
Luas baku lahan sawah menurut IP diKabupaten Cilacap,
2014 7
1
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Beras sebagai bahan pangan pokok memiliki nilai startegis dilihat dari dari
berbagai aspek. Dari sisi produsen, usahatani padi membutuhkan banyak tenaga
kerja yang terlibat dan menjadi sumber mata pencaharian, dalam pengolahan
banyak tenaga kerja yang bekerja di penggilingan skala kecil maupun skala besar,
dari usaha individu, usaha rumah tangga maupun perusahaan besar. Dari sisi
pemasaran, banyak melibatkan pedagang, mulai tingkat desa, kecamatan,
kabupaten, provinsi, antar pulau maupun eksportir/importir. Dari sisi konsumen,
beras merupakan pangan pokok sebagian besar penduduk Indonesia. Berdasar hal
tersebut sangatlah bijak bahwa Pemerintah memberikan perhatian yang serius pada
masalah perberasan di Indonesia. Pengalaman menunjukkan bahwa ketidakstabilan
harga dan ketersediaan beras dapat berdampak luas menjadi krisis ekonomi, sosial,
dan politik.
Terkait dengan kebijakan perberasan, Kementerian Pertanian telah
menetapkan target swasembada padi (dalam Program UPSUS Pajale) dapat dicapai
untuk tiga tahun ke depan. Pencapaian swasembada antara diupayakan dengan
peningkatan produksi padi melalui intensifikasi, ektensifikasi dan rehabilitasi sarana
irigasi serta bantuan alat mesin pertanian. Beberapa kendala yang dihadapi dalam
upaya peningkatan produksi padi antara lain adalah produktivitas yang cenderung
stagnan bahkan menurun, jaringan irigasi sebagian besar tidak berfungsi,
ketersediaan sarana produksi terutama benih pupuk di tingkat petani yang belum
sepenuhnya memenuhi 6 tepat (tepat jenis, jumlah, kualitas, waktu, tempat dan
harga). Selain itu, masalah kelembagaan mulai dari penyediaan sarana produksi,
budidaya, pengolahan dan pemasaran padi – beras merupakan masalah klasik yang
sampai saat ini belum terselesaikan dengan tuntas. Hal lain yang penting adalah
terkait dengan upaya meningkatkan kesejahteraan petani (padi), pada kondisi saat
ini skala usaha petani yang relatif sempit (< 0.5 Ha, tidak memenuhi skala ekonomi)
sehingga sulit meningkatkan kesejahteraan petani padi jika hanya mengandalkan
pendapatan dari usahatani padi. Nilai tambah dari berbagai produk olahan berbahan
baku padi belum dinikmati oleh petani.
2
Permasalahan dan kendala peningkatan produksi padi tersebut juga dialami
oleh beberapa negara lain di Asia dimana mekanisasi pertanian menjadi salah satu
solusinya. Kasus di Vietnam misalnya, dikembangkan “The Small Farmer, Large
Field”, dimana kelembagaan pengelolaan usahatani secara luas (komersial)
menggunakan mekanisasi pertanian yang diawali dengan proses konsolidasi lahan
(Mohanty, 2015).
Pertanian modern yang sedang dikembangkan Kementerian Pertanian dengan
menggunakan full mekanisasi (di hulu sampai hilir) ditujukan untuk meningkatkan
produksi dan pendapatan petani juga diharapkan menarik minat generasi muda
untuk terlibat di sektor pertanian, pada dasarnya dapat dipertimbangkan sebagai
upaya untuk menumbuhkan model pengembangan agribisnis padi (Badan Litbang
Pertanian, 2015). Namun demikian, dalam implementasinya pengembangan model
pertanian modern masih menghadapai beberapa kendala terutama terkait masalah
skala usaha petani yang sempit dan terpencar serta masalah sosial dan
kelembagaan pengelolaan alsintan di tingkat usahatani (PSEKP, 2015). Berdasar hal
tersebut, kajian tentang model kelembagaan agribisnis padi skala komersial menjadi
relevan untuk dilakukan.
Agribisnis (baku menurut KBBI: agrobisnis) adalah bisnis berbasis usaha
pertanian atau bidang lain yang mendukungnya, baik di sektor hulu maupun di hilir.
Penyebutan "hulu" dan "hilir" mengacu pada pandangan pokok
bahwa agribisnis bekerja pada rantai sektor pangan (food supply chain). Berdasar
definisi tersebut, dalam analisis ini, agribisnis padi mencakup beberapa komponen
sub sistem yaitu, sub sistem usaha tani/yang memproduksi bahan baku (padi); sub
sistem pengolahan hasil pertanian (dari padi menjadi beras), dan sub sistem
pemasaran padi (gabah) dan beras. Model pengembangan agribisnis padi seperti
apakah yang perlu dikembangkan agar para pelaku yang terlibat dalam agribisnis
padi dapat menikmati nilai tambah secara proporsional sesuai dengan kontribusinya
dalam usaha agribisnis tersebut? Kelembagaan seperti apakah yang perlu
dikembangkan di masing-masing sub sistem tersebut ? Bagaimana mekanisme
keterkaitan antar sub sistem tersebut dalam suatu rantai nilai yang efisien ?
Mengingat aspek mekanisasi atau alat mesin pertanian di sub sistem usahatani (on
3
farm) dan pengolahan merupakan salah satu Kajian ini bertujuan untuk menjawab
beberapa pertanyaan tersebut.
1.2. Tujuan
Secara umum tujuan umum kajian ini adalah merumuskan model kelembagaan
agribisnis padi skala komersial. Secara khusus tujuan kajian ini adalah :
1. Mengkaji tambahan manfaat dari penggunaan alat mesin pertanian dalam
rantai agribisnis padi skala komersial
2. Mengkaji kelembagaan pengelolaan alat mesin pertanian pada tingkat
usahatani dan pengolahan pada sistem agribisnis skala komersial
Jumlah 49.935 272,87 60,90 297,23 2.080,63 1.664,50 4.539,55 Sumber : Dinas Pertanian TPH Kab. Soppeng (2015)
3.1.3. Analisis Biaya dan Manfaat dari Penggunaan Alsintan
Analisis Usaha Traktor Pada Kelompok UPJA Desa Bojong Kecamatan Kawunganten, Kabupaten Cilacap
UPJA Desa Bojong memiliki 10 unit traktor tangan yang diusahakan untuk
melayani pengolahan lahan petani di desa Bojong. Untuk mengetahui kelayakan
usaha traktor ini, maka berikut disajikan analisis finansial usaha traktor tangan.
Sesuai dengan data dan spesifikasi traktor yang dimiliki UPJA adalah sebagai berikut:
(a) Keputusan Peraturan Desa sesuai rapat UPJA tentang penetapan wilayah kerja
traktor yaitu seluas 10-12 hektar sawah layanan per unit traktor, (b) harga traktor
tangan adalah Rp 15,5 juta/unit, (c) umur ekonomis traktor adalah 15 tahun dan
masa olah tanah adalah 2 kali per tahun yaitu selama 30 hari selama 2 kali musim
tanam, (d) Nilai sisa traktor setelah 15 tahun adalah Rp 4 juta (26%) dan (e) harga
sewa traktor sebesar Rp 900 ribu/ha. Pada Tabel 12 disajikan analisis finansial usaha
traktor tangan di lokasi kajian.
17
Berdasarkan data pada Tabel 12 terlihat bahwa dengan nilai sewa traktor
sebesar Rp 900 ribu/ha, total biaya usaha jasa traktor senilai Rp 569 ribu/ha atau
sebesar 63,25% terhadap penerimaan, dan keuntungan usaha traktor sebesar Rp
331 ribu/ha atau sekitar 36,77% dari penerimaan serta perolehan R/C rasio sebesar
1,58. Komponen terbesar dari biaya usaha traktor adalah untuk operator mencapai
40%, diikuti dengan biaya bahan bakar yaitu sebesar 12,50% dari total penerimaan.
Berdasarkan informasi dari kelompok UPJA, sebenarnya luas lahan layanan
yang dengan hanya 12 hektar itu kurang memadai, karena pengembalian investasi
traktor harus dicapai maksimal sesuai dengan jangka usia ekonomisnya. Idealnya
untuk pengembalian yang lebih cepat yaitu 5 tahun maka luas layanan pengolahan
lahan minimal harus sekitar 25 hektar per musim tanam dengan asumsi semua
faktor input (BBM, Oli dan Spare part adalah konstan). Analisis ini belum
memperhitungkan perbedaan biaya operasional pada MT1 (MK1), dimana pada MK1
penggunaan bahan bakar relatif lebih efisien mencapai 3-4 liter, sehingga tingkat
keuntungan akan lebih besar sekitar 5% dari pada musim MT-I, karena pada MT-II
tidak dilakukan pembajakan karena lahan sawah masih tergenang air (basah).
Upaya untuk memperpendek pengembalian investasi, maka UPJA telah
mengembangkan wilayah layanan pengolahan tanam ke daerah lain, termasuk ke
luar daerah jika memungkinkan.
Tabel 12. Struktor ongkos dan sewa traktor tangan di UPJA Desa Bojong Cilacap, 2015 (Rp/ha)
No. Komponen Satuan Volume Harga (Rp.sat)
Nilai (Rp) Pangsa (%)
1 Biaya:
1.1. BBM Liter 15,00 7.500 112.500 12,50
1.2. Oli:
-
a. Mesin Liter 0,60 30.000 18.000 2,00
b. Gardan Liter
2.494 0,28
c. Gemuk/stempet Kg
2.493 0,28
1.3. Spare part & service Unit
41.667 4,63
1.4. Penyusutan -
31.944 3,55
1.5. Operator -
360.000 40,00
1.7.Total -
569.098 63,23
2 Pendapatan dari Sewa Ha 1,00 900.000 900.000 100,00
3 Keuntungan -
330.902 36,77
4 R/C rasio
1.58
Sumber : Data Hasil Wawancara dengan Ketua UPJA, 2015
18
Secara umum dapat dikemukakan bahwa dalam mendukung pertanian modern,
kehadiran alat untuk pengolahan lahan sangatlah penting. Traktor telah lama
penggunaannya secara luas dimasyarakat, sehingga dalam perkembangannya rasio
pengelolaan traktor dengan luas lahan yang ada untuk diolahnya di lokasi kajian
semakin mengecil. Upaya meningkatkan kinerja usaha traktor yang dilakukan oleh
UPJA tentu harus melebarkan jangkauannya ke wilayah yang memang alsintannya
masih terbatas.
Analisis Usaha Traktor Pada UPJA Kelurahan Appanang, Kecamatan Liliriaja, Kabupaten Soppeng. Dalam pengolahan lahan, traktor tangan (traktor roda-2) sudah banyak
digunakan petani. Pada proyek PPM ini diperkenalkan TR-4 untuk mempercepat
kegiatan pengolahan lahan. Kemampuan traktor tangan/kecil (roda 2) ini hanya
dapat mengolah lahan sekitar 0,3 – 0,5 ha/hari. Sedangkan traktor besar bisa
mengolah tanah 2,5 ha per hari. Biasanya dalam pengolahan lahan selalu
mengkombinasikan traktor besar dan kecil. Pada saat pengolahan lahan awal
menggunakan traktor besar, dan untuk meratakannya menggunakan traktor kecil.
Kapasitas traktor tangan yang diusahakan pada UPJA Semangat Kelurahan
Appanang adalah 60 hari per tahun. Harga traktor tangan kecil yang digunakan
adalah Rp 20 juta dengan umur ekonomi 10 tahun, sehingga penyusutan dapat
diperhitungkan sebesar Rp 126.650 per tahun per ha. Harga sewa traktor yang Rp
berlaku di lokasi ini adalah Rp 1.200.000 per ha. Analisis finansial usaha traktor
tangan di lokasi kajian disajikan pada Tabel 13. Total biaya usaha jasa traktor
tangan adalah Rp 721.650, komponen biaya terbesar adalah biaya operator dan
penyusutan. Dari penerimaan sewa sebesar Rp 1.200.000 per ha maka keuntungan
yang diperoleh dari usaha penyewaan traktor tangan adalah Rp 478.350, dengan
R/C rasio sebesar 1,66. Kondisi ini dianggap cukup menguntungkan.
19
Tabel 13. Struktur ongkos dan sewa traktor tangan di UPJA Semangat Kelurahan Appanang, Kecamatan Liliriaja, Kabupaten Soppeng, 2015 (Rp/ha)
No. Komponen Satuan Volume
Harga
(Rp.sat)
Nilai
(Rp)
Pangsa
(%)
1 Biaya:
1.1. BBM liter 10 7.000 70.000 9,70
1.2. Oli dan pelumas 75.000 10,39
1.3. Pemeliharaan dan perawatan 50.000 6,93
1.4. Penyusutan 126.650 17,55
1.5. Operator 400.000 55,43
1.6.Total 721.650 100,00
2 Pendapatan dari Sewa ha 1 1.200.000 1.200.000
3 Keuntungan 478.350
4 R/C rasio 1,66
Secara umum dapat dikemukakan bahwa dalam mendukung pertanian
modern, kehadiran alat untuk pengolahan lahan sangatlah penting. Traktor telah
lama penggunaannya secara luas di masyarakat, sehingga usahanya cukup
menguntungkan. Namun traktor besar belum lama diperkenalkan, walaupun
demikian petani sangat menyukainya karena dapat bekerja lebih cepat. Kapasitas
kerja traktor roda–4 (TR4) di UPJA Semangat adalah 2,5 ha per hari, luas lahan 1
(satu) ha bisa dikerjakan dalam waktu 4 jam.
Tabel 14. Struktur ongkos dan sewa traktor roda - 4 di UPJA Semangat Kelurahan Appanang, Kecamatan Liliriaja, Kabupaten Soppeng, 2015 (Rp/ha)
No. Komponen Satuan Volume
Harga
(Rp.sat) Nilai (Rp)
Pangsa
(%)
1 Biaya:
1.1. BBM Liter 12 7.000 84.00 10,01
1.2. Oli dan pelumas
70.000 8,34
1.3. Pemeliharaan dan perawatan Unit 71.250 8,49
1.4. Penyusutan - 213.750 25,48
1.5. Operator - 400.000 47,68
1.6.Total - 839.000 100,00
2 Pendapatan dari Sewa ha 1 1.200.000 1.200.000
3 Keuntungan - 361.000
4 R/C rasio 1,43
20
Saat ini TR-4 yang dikelola UPJA Semangat baru bisa bekerja sebanyak 48
hari per tahun. Dari struktur ongkos penyewaan TR-4 pada Tabel 14, total biaya
penyewaan TR-4 adalah Rp 839.000, komponen biaya terbesar adalah untuk
operator (47,68%) dan biaya penyusutan (25,48%). Dengan pendapatan dari sewa
sebesar Rp 1.200.000 per ha, diperoleh keuntungan Rp 361.000 per ha dengan R/C
rasio 1,43. Upaya meningkatkan kinerja usaha traktor yang dilakukan oleh UPJA
masih memungkinkan di wilayah UPJA tersebut atau di desa sekitar kecamatan
domisili UPJA tersebut. Membangun jaringan kerja merupakan upaya untuk
meningkatkan pengembangan UPJA, sehingga kapasitas alat dapat ditingkatkan.
Analisis Usaha Transplanter pada kelompok UPJA Desa Bojong Kecamatan Kawunganten- Cilacap UPJA Desa Bojong memiliki 3 unit transplanter yang diusahakan untuk
melayani penanaman padi pada lahan petani di desa Bojong. Untuk mengetahui
kelayakan usaha transplanter ini, maka berikut analisis finansial usaha transplanter.
Sesuai dengan data dan spesifikasi transplanter kelompok UPJA yaitu sebagai
berikut: (a) situasi dan kondisi ketebalan lumpur yang ada di sawah desa Bojong,
sehingga luas layanan yaitu 11 hektar sawah layanan per musim per unit
transplanter, (b) harga transplanter adalah Rp 75 juta, (c) umur ekonomis
transpalnter adalah 10 tahun dan masa tanam adalah 2 kali per tahun, yaitu periode
waktu tanamanya 20-30 hari dalam 2 kali musim tanam, (d) Nilai sisa transplanter
setelah 10 tahun adalah 10% (Rp 7,5 juta) dan (e) harga sewa transplanter sebesar
Rp 1,4 juta/ha. Berikut pada Tabel 2 disajikan analisis finansial usaha transplanter di
lokasi kajian.
Berdasarkan data tersebut menunjukkan bahwa dengan nilai sewa transplanter
Rp 1,4 juta/ha, total biaya usaha jasa transplanter senilai Rp 868 ribu/ha atau
sebesar 61,975% terhadap penerimaan, dan keuntungan usaha traktor sebesar Rp
532 ribu/ha atau sekitar 38,03% dari penerimaan serta perolehan R/C rasio sebesar
1,61. Komponen terbesar dari biaya usaha traktor adalah biaya penyusutan
mencapai 22,53% dari total penerimaan dan biaya pengadaan benih dan
pengerjaannya mencapai 15,82%, sedangkan operator adalah urutan ketiga yaitu
sebesar 15% (Tabel 15).
21
Tabel 15. Struktor ongkos dan sewa transplanter di UPJA Desa Bojong Cilacap, 2015
No. Komponen Satuan Volume Harga
(Rp.sat)
Nilai (Rp) Pangsa
(%)
1 Biaya penyediaan Benih :
1.1. Benih Padi kg 24,5 7.000 171.500 12,25
1.2. Tenaga pembenihan HOK 1 50.000 50.000 3,57
2 Biaya:
-
2.1. BBM liter 7,00 7.400 51,800 3.70
2.2. Oli:
-
a. Mesin liter 0,05 30.000 1.500 0,11
b. Hidroulik liter 0,05 40.000 2.000 0,14
c. Gemuk/stempet kg
2,493 0,18
2.3. Spare part & service unit
62.843 4,49
2.4. Penyusutan -
315.421 22,53
2.5. Operator -
210.000 15,00
2.7.Total -
867.556 61,97
3 Pendapatan dari Sewa ha 1,00 1.400.000 1.400.000 100,00
4 Keuntungan -
532.444 38,03
5 R/C rasio
1,61
Sumber : Data Hasil Wawancara dengan Ketua UPJA, 2015
Menurut informasi dari kelompok UPJA, sebenarnya luas lahan layanan yang
dengan hanya 11 hektar itu sangat kurang memadai, karena pengembalian
investasi transplanter harus dicapai maksimal sesuai dengan jangka usia
ekonomisnya. Idealnya untuk pengembalian yang lebih cepat yaitu 5 tahun, luasan
arela yang dilayani transplanter minimal mencapai BEP adalah sekitar 19 ha/musim
tanam. Kendala utama pengembangan Transplanter secara umum di Kabupaten
Cilacap adalah: (a) jenis dan kondisi lahan yang memungkinkan digunakan
transplanter pada MH dan MK, (2) retensi tenaga kerja manual tanam masih cukup
tinggi, karena mereka mengharapkan keikutsertaan dalam panen. Upaya untuk
memperpendek pengembalian investasi, maka UPJA telah mengembangkan wilayah
layanan penanam sampai ke daerah lain.
Secara umum pada penggunaan alat transplanter dalam rangka mendukung
pertanian dapat dikemukakan bahwa kehadiran alat untuk penanaman sangatlah
penting. Namun, jumlah alat trasplanter masih terbatas jumlahnya, sehingga rasio
luas lahan untuk diolahnya terhadap alat transplanter di lokasi kajian masih besar,
artinya peluang pengembangan alat mekanisasi transplanter masih sangat besar.
Dengan demikian, upaya meningkatkan pengadaan alat transplanter dan juga
kelembagaan pengelolaannya masih perlu terus ditingkatkan.
22
Untuk kasus UPJA di Kelurahan Appanang, transplanter belum diusahakan,
beberapa petani yang menggunakan kebanyakan petani anggota Gapoktan/Keltan
yang hanya meminjam dimana biaya operasional seperti BBM dan operator
ditanggung sendiri oleh petani yang meminjam alat tanam tersebut. Hal ini karena
transplanter merupakan alsintan yang masih relatif baru diperkenalkan di Kelurahan
Appanang.
Analisis Usaha Power Tresher pada kelompok UPJA Desa Bojong
Kecamatan Kawunganten, Kabupaten Cilacap
UPJA Desa Bojong memiliki 5 unit power tresher yang diusahakan untuk
melayani pengolahan lahan petani di desa Bojong. Untuk mengetahui kelayakan
usaha ini, maka berikut disajikan analisis finansial usaha power tresher. Sesuai
dengan data dan spesifikasi power tresher yang dimiliki UPJA adalah sebagai
berikut: (a) Sesuai rapat kelompok UPJA tentang penetapan wilayah power tresher
yaitu seluas 15 hektar sawah layanan per unit power tresher, (b) harga power
tresher adalah Rp 12 juta/unit, (c) umur ekonomis power tresher adalah sekitar 8-10
tahun dan masa panen adalah 2 kali per tahun dimana periode kerja tresher dalam
satu kali musim panen sekitar 3 minggu (21 hari), (d) Nilai sisa power tresher
setelah 8-10 tahun adalah Rp 1,2 juta (10%) dan (e) harga sewa power tresher
sebesar Rp 720 ribu/ha. Pada Tabel 16 disajikan analisis finansial usaha power
tresher di lokasi kajian di Kabupaten Cilacap.
Berdasarkan data tersebut menunjukkan bahwa dengan nilai sewa power
tresher Rp 720 ribu/ha, total biaya usaha jasa power tresher senilai Rp 263 ribu/ha
atau sebesar 36,59% terhadap penerimaan, dan keuntungan usaha power tresher
sebesar Rp 457 ribu/ha atau sekitar 63,41% dari penerimaan serta perolehan R/C
rasio sebesar 2,73. Komponen terbesar dari biaya usaha power tresher adalah biaya
operator mencapai 16,67% dari total penerimaan dan penyusutan mencapai 6,25%.
Pada kegiatan usaha jasa power tresher ini (UPJA), setiap petani yang
menggunakan jasa panen alsintan power tresher harus membayar (mengeluarkan)
sebanyak 25 kg per setiap 1 ton hasil panen. Dari hasil tersebut, maka UPJA harus
mengalokasikan 1/7 untuk bagian operator dan yang membantu operasional power
tresher dan sisanya untuk bagian UPJA tersebut.
23
Tabel 16. Struktor ongkos dan sewa power tresher di UPJA Desa Bojong Cilacap,
2015
No. Komponen Satuan Volume Harga
(Rp.sat) Nilai (Rp)
Pangsa
(%)
1 Biaya:
1.1. BBM Liter 3,57 7.400 26.418 3,67
1.2. Oli: 0,00
a. Mesin Liter 0,714 30.000 21.429 2,98
b. Gardan Liter 0,5 30.000 15.000 2,08
c. Gemuk/stempet Kg 15.000 2,08
1.3. Spare part & service Unit 20.605 2,86
1.4. Penyusutan - 45.000 6,25
1.5. Operator - 120.000 16,67
1.7.Total - 263.452 36,59
2 Pendapatan dari Sewa Ha 1 720.000 720.000 100,00
3 Keuntungan - 456.548 63,41
4 R/C rasio 2,73
Sumber : Data Hasil Wawancara dengan Ketua UPJA, 2015
Menurut informasi dari kelompok UPJA, bahwa rataan luas lahan layanan
power tresher saat ini sekitar 15 yang dinilai masih kurang memadai. Idealnya area
layanan power tresher seluas 30 ha/musim. Namun bila dianalisis secara
keseluruhan dengan terdapatnya power tresher yang masuk dari daerah lain, kondisi
power tresher saat ini tidak dikeluhkan kekurangan oleh petani disaat panen padi.
Saat ini, kegiatan panen padi sawah di Cilacap sebagian besar menggunakan power
tresher, dan sebagian kecil sesuai dengan kondisi dan kesesuaian lahannya telah
menggunakan alat panen mini combine harvester.
Secara umum pada penggunaan alat panen power tresher dalam rangka
mendukung pertanian dapat dikemukakan bahwa kehadiran alat untuk penanaman
sangatlah penting. Jumlah alat power tresher di lokasi kajian Desa Bojong memang
masih kurang, namun dalam lingkup Kabupaten keberadaan alsintan ini sudah
cukup. Dengan demikian, upaya meningkatkan pengadaan power tresher secara
khusus dapat disediakan pada daerah yang masih membutuhkannya, atau melalui
relokasi/optimalisasi penggunaan alsintan power tresher dari wilayah yang cukup ke
wilayah yang masih kekurangan.
24
Analisis Usaha Combine Harvester pada kelompok UPJA Desa Bojong Kecamatan Kawunganten- Cilacap
UPJA Desa Bojong memiliki 4 unit power mini Combine Harvester yang
diusahakan untuk melayani pengolahan lahan petani di desa Bojong. Untuk
mengetahui kelayakan usaha ini, maka berikut disajikan analisis finansial usaha
power tresher. Sesuai dengan data dan spesifikasi Combine Harvester yang dimiliki
UPJA adalah sebagai berikut: (a) Sesuai rapat kelompok UPJA tentang wilayah yang
memungkin kondisi lahannya dpat dilayani dalam panenya oleh Combine Harvester
adalah bisa seluas 50 hektar sawah layanan per unit Combine Harvester, (b) harga
mini Combine Harvester adalah Rp 240 juta/unit, (c) umur ekonomis Combine
Harvester adalah sekitar 10 tahun dan masa panen adalah 2 kali per tahun dimana
periode kerja Combine Harvester dalam satu kali musim panen sekitar 3 minggu (21
hari), (d) Nilai sisa Combine Harvester setelah 10 tahun adalah Rp 24 juta (10%)
dan (e) harga sewa Combine Harvester sebesar Rp 2,97 juta/ha. Pada Tabel 17
disajikan analisis finansial usaha Combine Harvester di lokasi kajian.
Tabel 17. Struktor ongkos dan sewa Mini Combine Harvester di UPJA Desa Bojong
Cilacap, 2015
No. Komponen Satuan Volume Harga
(Rp.sat) Nilai (Rp)
Pangsa (%)
1 Biaya:
1.1. BBM Liter 7,00 6.900 48.300 1,63
1.2. Oli:
a. Mesin Liter 0,37 30.000 11.100 0,37
b. Gardan Liter 0,25 30.000 7.500 0,25
c. Gemuk/stempet Kg 5.000 0,17
1.3. Spare part & service Unit 112.000 3,77
1.4. Penyusutan - 78.000 2,63
1.5. Operator - 1.600.000 53,85
1.7.Total - 1.861.900 62,66
2 Pendapatan dari Sewa Ha 1 2.971.429 2.971.429 100,00
3 Keuntungan - 1.109.529 37,34
4 R/C rasio 1,60
Sumber : Data Hasil Wawancara dengan Ketua UPJA, 2015
25
Data pada Tabel 17 menunjukkan bahwa dengan nilai sewa Combine Harvester
Rp 2,97 juta/ha, total biaya usaha jasa Combine Harvester senilai Rp 1,86 juta/ha
atau sebesar 62,66% terhadap penerimaan, dan keuntungan usaha Combine
Harvester sebesar Rp 1,11 juta/ha atau sekitar 37,34% dari penerimaan serta
perolehan R/C rasio sebesar 1,60. Komponen terbesar dari biaya usaha Combine
Harvester adalah biaya operator mencapai 53,85% dari total penerimaan, biaya
spare part sekitar 3,77% dan penyusutan hanya mencapai 2,63%.
Pada kegiatan usaha jasa Combine Harvester ini (UPJA), setiap petani yang
menggunakan jasa panen alsintan Combine Harvester harus membayar
(mengeluarkan) dengan sistem 1:7, yaitu jika mendapat 7 ton hasil panen maka
Combine Harvester memperoleh 1 ton bagian. Dari bagian Combine Harvester
tersebut, sekitar 35% dialokasikan untuk operator dan yang membantu operasional
Combine Harvester dan sisanya 65% untuk bagian UPJA tersebut.
Menurut informasi dari kelompok UPJA, bahwa rataan luas lahan layanan
Combine Harvester sekitar 50 ha. Ideal combine harvester tercapai kondisi impas
minimal dapat melakukan kegiatan panen rata-rata sekitar 35 ha/tahun. Adapun
alasan masih rendahnya penggunaan combine harvester pada sistem panen di lokasi
kajian disebebkan oleh: (a) jumlah combine Harvester masih terbatas, dimana UPJA
baru memiliki 3 unit, (b) kondisi lahan, terutama pada MT-I tidak memungkinkan
menggunakan combine harvester, dan (c) masih adanya retensi dari tenaga kerja
panen yang masih cukup tinggi, sehingga UPJA tidak terlalu bersemangat untuk
menggunakan Combine Harvester, walaupun untuk memperoleh Combine harvester
cukup mudah baik dengan cara sewa atau pembelian melalui kredit.
Selain itu, masih terbatasnya penggunaan combine harvester di Kabupaten
Cilacap antara lain disebabkan kondisi lahan yang ada, dan harga combine harvester
pun cukup mahal sekitar Rp 280 juta/unit untuk ukuran 60 PK. Combine harvester
tidak bisa digunakan bila kondisi lahannya adalah lahan basah dengan kedalaman >
20 cm dan kondisi tanah di bawahnya lembek. Untuk mengoptimalkan peran mesin
harvester, UPJA telah melakukan ekspansi lokasi panen ke luar Jawa yaitu ke
Sumatera. Oleh karena itu, dalam kegiatan panen padi sawah di Cilacap masih
sangat kecil menggunakan alat panen combine harvester. Kedepan penggunaan
26
combine harvester dapat ditingkatkan menjadi dua kali lipat dibandingkan dengan
jumlah yang ada saat ini.
Analisis Usaha Combine Harvester Pada UPJA Kelurahan Appanang, Kecamatan Liliriaja, Kabupaten Soppeng.
Pengusahaan combine harvester cukup baik di Kelurahan Appanang, karena
dianggap bisa mengatasi masalah panen. Kurangnya tenaga kerja akibat persaingan
dengan usaha perkebunan, dimana upah pada usaha perkebunan lebih besar
daripada upah usahatani padi, menyebabkan combine harvester sangat dibutuhkan.
Analisis finansial pengusahaan combine harvester di Kelurahan Appanang, diperoleh
R/C rasio sebesar 2,30, berarti usaha tersebut cukup menguntungkan. Hal ini
didukung oleh pernyataan pengurus UPJA bahwa keuntungan UPJA terutama
diperoleh dari usaha penyewaan combine harvester. Komponen biaya terbesar
(64,72%) adalah upah operator, yang biasanya terdiri dari 5–6 orang sebesar Rp
720.000. Keuntungan yang diperoleh adalah Rp 1.443.000 per ha (Tabel 18).
Tabel 18. Struktur ongkos dan sewa combine harvester di UPJA Semangat Kelurahan
Appanang, Kecamatan Liliriaja, Kabupaten Soppeng, 2015 (Rp/Ha)
No. Komponen Satuan Volume Harga
(Rp.sat) Nilai (Rp)
Pangsa
(%)
1 Biaya:
1.1. BBM liter 10 7.000 70.000 6,29
1.2. Oli dan pelumas 12.500 1,12
1.3. Pemeliharaan dan perawatan 100.000 8,99
1.4. Penyusutan 210.000 18,88
1.5. Operator 720.000 64,72
1.6.Total 1.112.500 100,00
2 Pendapatan dari Sewa ha 1 2.556.000 2.556.000
3 Keuntungan 1.443.500
4 R/C rasio 2,30
Wilayah pengusahaan combine harvester saat ini masih terbatas di sekitar
Kelurahan Appanang. Kapasitas bisa diperluas dengan membangun jaringan kerja
dengan petani di wilayah lain yang waktu panennya sedikit berbeda dengan wilayah
Kelurahan Appanang. Kapasitas kerja combine harvester UPJA Semangat Kelurahan
27
Appanang baru mencapai 60 hari kerja per tahun untuk melayani hamparan sawah
di Kelurahan Appanang. Dengan kecepatan kerja 5 jam per ha dalam sehari bisa
melayani 2 ha sehingga dalam 1 tahun bisa melayani kira-kira 120 ha. Biaya sewa
diperhitungkan dengan natura yaitu 1 karung gabah per 10 karung yang berhasil di
panen. Produksi gabah per hektar rata-rata 90 karung GKP dengan harga gabah Rp
3.550/kg. Setelah diperhitungkan dengan rupiah, pendapatan dari sewa adalah Rp
2.556.000 per ha. Harga combine harvester yang diusahakan UPJA Kelurahan
Appanang adalah Rp 280 juta, dengan umur ekonomis 10 tahun.
3.2.Analisis Kelembagaan Pengelolaan Alsintan
3.2.1.Peran Kelembagaan Agribisnis Padi
Kelembagaan agribisnis padi dapat mencakup kelembagaan penyediaan input,
kelembagaan pengelolaan usahatani, panen dan pasca panen. Pada pengelolaan
usahatani pada daerah yang mendapat pelayanan Usaha Pengelolaan Jasa Alsintan
(UPJA) sepenuhnya dilaksanakan oleh petani. Hanya saja petani menggunakan jasa
Alsintan untuk melakukan pengolahan tanah, penanaman, dan pemanenan.
Seperti telah diuraikan sebelumnya bahwa total luas lahan sawah di lokasi
kajian Desa Bojong, Kecamatan Kawunganten mencapai 921 hektar, yang
mencakup: lahan pemilikan perorangan seluas 531 ha, lahan bengkok seluas 100 ha,
dan lahan Perhutani (sawah) seluas 290 ha. Pada lokasi tersebut, penanaman lahan
seluruhnya menggunakan jasa traktor yang ada di desa tersebut. Jumlah traktor
keseluruhan terdapat 72 unit dimana 10 diantaranya adalah milik UPJA. UPJA
melakukan inisiatif melakukan pertemuan/rembugan diantara para pemilik
transplanter perorangan yang dihadiri oleh seluruh aparat desa termasuk Babinsa
untuk menetapkan Perdes (Peraturan Desa) tentang pengaturan luas maksimal
pelayanan untuk masing-masing traktor yang ada di Desa Bojong. Diantara
keputusan yang dibuat adalah: (a) menetapkan luas maksimal pelayanan masing-
masing traktor yaitu berkisar antara 10-12 hektar per unit traktor. Hal ini dengan
mempertimbangkan jadwal pengaturan air, jadwal tanam, dan jumlah traktor, (b)
menetapkan besaran biaya atau upah traktor untuk pengolahan tanah sampai siap
tanam, dimana untuk tahun 2014/2015 ditetapkan sebesar Rp 900.000 per hektar,
yang tidak dibedakan antara musim MT-I (MH) dengan MT-II (MK1), dan (c)
28
menetapkan larangan adanya traktor dari luar daerah/desa untuk melakukan
pengolahan lahan sawah di Desa Bojong, hal ini tentu dengan memperhatikan
bahwa jumlah traktor di desa ini sudah melebihi luas areal yang ideal untuk satu unit
traktor, yaitu idealnya adalah 15-20 hektar per musim.
Secara sosiologis, penggunaan traktor di desa ini sudah sangat diterima dan
bahkan terindikasi kelebihan alat traktor. Hal yang mendasari bahwa masyarakat
bahwa traktor ini diterima secara social adalah : (a) ketersediaan tenaga kerja untuk
mengolah sudah kurang, bahkan untuk tanaga kerja muda sudah tidak ada, karena
opportunity cost tenaga kerja di luar sektor pertanian lebih tinggi dan lebih
bergengsi, (b) waktu yang dibutuhkan dalam pengolahan lahan sangat cepat untuk
mengejar jadwal tanam, sehingga yang memungkinkan adalah dengan
menggunakan traktor, (c) lebih efisien bagi sisi pemilik lahan, dan (d) tidak ada
ketergantungan, karena traktor setiap saat senantiasa stand by.
Sementara terkait dengan mengadaan input seperti benih, pupuk dan pestisida.
Untuk benih dan pestisida petani dapat melakukan dua pilihan yaitu langsung
membeli ke kios saprotan atau dapat juga memperoleh melalui kelompok atau
gapoktan. Bagi petani yang langsung membelinya ke kios saprotan adalah petani
yang memiliki sumberdaya modal yang cukup, yang memang harganya lebih murah
namun harus dibayar secara tunai. Sementara petani yang kurang mampu biasanya
memperoleh dari Kelompok tani atau Gapoktan, dimana pembayarannya adalah
dengan cara di bayar setelah panen, namun konsekuensinya harga diperhitungkan
berbeda (sedikit lebih mahal). Selanjutnya untuk memperoleh pupuk hampir
seluruhnya memperoleh melalui kelompok atau gapoktan, karena perencanaan
pengadaan dan perolehan pupuk menyesuaikan dengan RDKK yang sudah di
rencanakan dan dikelola oleh kelompok. Bagi petani keberadaan kelompok atau
gapoktan sangat menolong, terutama jika terjadi musibah serangan OPT dan
kekeringan. Dengan kondisi kegagalan panen, maka akan ada penangguhan
pembayaran sarana produksi ke kelompok atau gapoktan, yang didalamnya juga
merupakan kelompok UPJA.
Selain itu, pada UPJA juga tersedia pelayanan jasa tanam dengan alat
transplanter. Pada pengelolaan usahatani khususnya adalah pengadaan benih padi,
maka ketersedian benih dengan mempertimbangkan varietas, ketepatan, dosis benih
29
sangat penting untuk diperhatikan. Hal ini disebabkan, ketika petani menggunakan
jasa transplanter, maka pengadaan benih dan persemaiannya tidak mungkin
dilakukan oleh petani, akan tetapi dipenuhi oleh pemilik UPJA. Sistem persemaian
dengan menggunakan transplanter memerlukan keahlian yang cukup memadai atau
berbeda dengan sistem persemaian tapin (tanam pindah). Dengan demikian adopsi
inovasi khususnya penggunaan varietas unggul dan efisiensi penggunaan benih padi
menjadi sangat ideal jika menggunakan transplanter. Namun disayangkan
penggunaan transplanter memiliki keterbatasan terutama pada MT-I (MH), sehingga
dari 921 hektar sawah hanya baru sekitar sekitas 50 hektar saja yang menggunakan
jasa transplanter. Pada saat MH, penggunaan transplanter terkendala oleh
kedalaman lumpur sawah. Disamping itu, untuk jasa tanam masih bersaing dengan
kelompok tanam manual, dimana pada kondisi saat ini masih mengharapkan
lapangan pekerjaan untuk kegiatan tanam tersebut. Hal ini mengingat, aktivitas
kegiatan tanam yang dilakukan secara manual berkaitan dengan kesempatan
memanen hasil padi yang ditanamnya.
Penyediaan benih yang berkualitas pada petani atau sawah yang sudah
mendapat palayanan jasa transplanter dapat dilakukan oleh UPJA dan menjadi
bagian usaha UPJA dalam penyediaan benih. Pada luasan 50 hektar, UPJA dapat
melakukan penangkaran benih dari label biru untuk dijadikan label ungu, sehingga
kualitas benih dapat terkontrol, atau UPJA dapat menyesuaikan penggunaan varietas
sesuai dengan perkembangan pasar gabah dan mempertimbangkan eksplosif hama
penyakit. Jumlah benih yang digunakan per hektarnya pun juga dapat dikontrol,
sehingga menjadi lebih efisien dan pertumbuhan anakan akan menjadi lebih baik.
Selain itu, bagi petani yang penggunaan jasa transplanter lebih cepat dan lebih
murah dibanding dengan harus menggunakan jasa tanam manual. Upaha jasa
tanam manual cukup mahal yaitu Rp 45.000 per hari, sedangkan jika dengan
pelaksanaan borongan 16 orang x Rp 45.000. Pada tanam manual, petani juga harus
menyiapkan benih dan pengolahan perbenihan sendiri.
Pada kelembagaan pengelolaan panen, di lokasi kajian Desa Bojong Kecamatan
Kawunganten sebagian besar masih menggunakan panen sistem manual, dimana
panen menggunakan tenaga rombongan sekitar 10-15 orang dengan menggunakan
sabit dan dirontokan dengan menggunakan power thresher. Adapun upah yang
30
diberikan adalah 1/7 bagian pemanen, dan 6/7 bagian pemilik lahan sawah. Pada
bagian 1/7 tersebut, sekitar 25 kg per bau (1 bau= 0,714 ha) diberikan untuk biaya
thresher.
Pada luasan sawah yang terdapat di Desa Bojong, masih terdapat sekitar 750
hektar sistem panennya menggunakan manual. Adapun alasan masih tingginya
luasan lahan sawah dengan sistem panen manual adalah: (a) jumlah combine
Harvester masih terbatas, dimana UPJA baru memiliki 3 unit, (b) kondisi lahan,
terutama pada MT-I tidak memungkinkan menggunakan combine harvester, dan (c)
masih adanya retensi dari tenaga kerja panen yang masih cukup tinggi, sehingga
UPJA tidak terlalu bersemangat untuk menggunakan Combine Harvester, walaupun
sebenarnya untuk memperoleh Combine harvester cukup mudah baik dengan cara
sewa atau pun pembelian melalui kredit. Untuk mengoptimalkan peran mesin
harvester, UPJA telah melakukan ekspansi lokasi panen ke luar Jawa yaitu ke
Sumatera.
Sementara itu, pada kegiatan panen manual sesungguhnya juga terdapat
kendala yang dihadapi petani, yaitu: (a) kehilangan hasil masih relatif tinggi, karena
ada ”moral hazard” dimana ada kelompok panen yang terkadang diantaranya juga
sebagai pemilik bebek, sehingga gabah banyak tercecer dan malai juga masih
banyak yang tidak terpanen, (b) pengerjaannya lebih lama, (c) jaminan ketersediaan
tenaga penen tidak terjamin, dan (d) biaya panen relatif lebih mahal.
Selanjutnya pada kelembagaan pengelolaan pemasaran hasil, sebagian besar
petani biasanya menjual hasilnya dalam bentuk gabah kering panen (GKP), setelah
mereka menyisihkan gabah untuk keperluan rumah tangganya. Penjualan gabah
dapat dilakukan dengan dua cara yaitu dijual ke kelompok tani atau UPJA, atau juga
petani dapat menjual gabahnya ke para tengkulak.
Gabah yang dibeli kelompok tani/UPJA selanjutnya dijual sesuai permintaan
gabah dari BULOG Kabupaten Ciamis. BULOG biasanya membeli gabah sesuai
persyaratan/spesifikasi tertentu yang harus dipenuhi kelompok tani/UPJA, dan
biasanya volumenya telah ditentukan. Harga gabah yang diterima UPJA berbeda
antara musim MT-I dan MT-II, pada MT-II harga gabah mencapai Rp 4.200/kg dan
pada MT-I hanya sekitar Rp. 3.800/kg. Pada kedua musim tersebut, harga gabah di
masyarakat umumnya berada di atas harga patokan pembelian Pemerintah,
31
sehingga pemerintah untuk pengadaan stok gabah otomatis harus membeli dengan
harga yang sama dengan harga yang terdapat di masyarakat.
Cukup berkembangnya UPJA Sido Dadi tidak terlepas dari keaktifan dan
soliditas pengurus UPJA terutama Ketuanya. Jumlah pengurus UPJA sebanyak 4
orang, dan anggota melingkupi petani di Desa Bojong. Luas Lahan sawah di Desa
Bojong mencapai 921 hektar, yang mencakup: lahan pemilikan perorangan seluas
531 ha, lahan bengkok seluas 100 ha, dan lahan Perhutani (sawah) seluas 290 ha.
Tabel 19 menyajikan informasi tentang keragaan agribisnis padi di kedua lokasi
studi, yakni di dua kabupaten contoh Kabupaten Cilacap (Jateng) dan Kabupaten
Soppeng (Sulsel). Sistem agribisnis yang dideskripsikan disini dibatasi hanya pada
konteks penggunaan alat dan mesin pertanian pada keseluruhan prosesnya, dari
hulu sampai ke hilir.
Tabel 19. Keragaan agribisnis padi dalam penggunaan alat dan mesin pertanian
pada kedua lokasi studi, 2016
Aspek agribisnis Kabupaten Cilacap
Kabupaten Soppeng
1. Pengolahan tanah
Umumnya sudah
menggunakan traktor, kecuali di daerah tanah kering dataran tinggi dan wilayah
rawa
Umumnya sudah menggunakan
traktor
2. Pasokan air irigasi Pada daerah irigasi menggunakan air permukaan, sedangkan
sebagian menggunakan pompa air permukaan.
Daerah irigasi menggunakan air permukaan, sedangkan sebagian menggunakan pompa air
permukaan.
3. Penanaman Seluruhnya masih tanam
menggunakan tenaga penanam berupa rombongan tanam
Sudah mulai menggunakan
transplanter, walaupun baru sebagian kecil.
4. Pemotongan batang
padi
Umumnya menggunakan
sabit, combine harvester baru berjalan pada 1-2 desa
Menggunakan sabit. Combine
harvester sudah banyak digunakan terutama di Kecamatan Liliriaja.
5. Perontokan Menggunakan tresher dan
perontokan secara manual. Hanya wilayah Cilacap bagian Timur yang bisa
menggunakan combine harvester, sedangkan bagian
Barat yang merupakan
Combine harvester sudah banyak
digunakan, karena terbatasnya tenaga kerja.
32
Aspek agribisnis Kabupaten Cilacap
Kabupaten Soppeng
dataran tinggi dengan lahan sempit-sempit lebih senang
menggunakan tresher. 6. Pengeringan gabah Umumnya menggunakan
sinar matahari. Beberapa alat pengering yang dimiliki
masyarakat dan Bulog belum berfungsi.
Dijemur dibawah sinar matahari
7. Penggilingan padi Seluruhnya sudah menggunakan huller, baik
penggilingan kecil maupun besar.
Seluruhnya sudah menggunakan huller, baik penggilingan kecil
maupun besar.
Jika dibandingkan dengan konsep Pertanian Modern sebagaimana
diprogramkan oleh Kementerian Pertanian, sebagian subsistem telah sejalan dan
sebagian belum. Dalam konsep Pertanian Modern oleh Kementan, semestinya semua
sub sistem dijalankan dengan alat dan mesin pertanian.
Dalam buku “Petunjuk Pelaksanaan Kegiatan Percontohan Pertanian Modern
Tahun 2015” (Ditjen Sarana dan Prasarana, 2015), disebutkan bahwa mulai tahun
2014 telah dilaksanakan Kegiatan Percontohan Pertanian Modern di 3 (tiga)
kabupaten pada 2 (dua) provinsi. Sementara pada tahun 2015 kegiatan diperluas
di 15 kabupaten pada 8 (delapan) provinsi. Kegiatan Percontohan Pertanian Modern
adalah kegiatan usaha tani yang dilaksanakan dengan penerapan mekanisasi
pertanian dengan pemanfaatan bantuan kegiatan peningkatan kemampuan UPJA
dalam bidang pelayanan jasa alsintan mulai kegiatan pengolahan tanah, penanaman
bibit sampai dengan panen dengan cakupan pelayanan seluas minimal 100 ha.
Sesuai dengan MOU Kementan dengan Asosiasi Pemerintah Provinsi Seluruh
Indonesia (APPSI) tahun 2014, kegiatan Percontohan Pertanian Modern seluas
minimal 100 Ha di masing-masing Provinsi. Dalam skema ini, peran serta kelompok
tani/Gapoktan dan Usaha Pelayanan Jasa Alsintan (UPJA) merupakan komponen
penting.
Dengan demikian, dari 7 (tujuh) subsistem produksi padi/gabah sebagaimana
pada tabel di atas, tingkat penerapan pertanian modern di Kabupaten Cilacap secara
umum telah berada pada kondisi sedang. Sebagian subsistem telah dijalankan
dengan alsintan sedangkan sebagian belum (Tabel 20).
33
Tabel 20. Tingkat penerapan mekanisasi agribisnis padi di Kabupaten Cilacap, 2016
Tingkat
mekanisasi dan
kegiatan
Karakteristik
Tinggi
1.Penggilingan
padi
Seluruh hasil panen sudah seluruhnya menggunakan huller,
meskipun tingkat teknologi hullernya beragam.
2.Pengolahan
tanah
Sudah semua sawah menggunakan traktor, umumnya berupa
traktor roda dua. Jumlah traktor roda 2 sudah berlebih,
sehingga under capacity, dimana masing-masing alat hanya
beroperasi maksimal 15 ha per MT. Traktor roda 4 kurang
sesuai dengan wilayah Cilacap dimana banyak lahan sawah
sempit-sempit dengan format pematang yang tidak sejajar,
terutama di dataran tinggi.
Sedang
3.pemenuhan air
irigasi
Sebagian areal sawah mengandalkan pompa, sementara
sebagian besar menggunakan air irigasi. Mesin pompa yang
digunakan merupakan pompa portable dengan ukuran kecil.
4.Perontokan
gabah
umumnya menggunakan tresher, namun di sebagian wilayah
masih secara manual dengan dipukulkan ke kayu. Baru 1 alat
combine harvester yang sudah diperasikan dari 29 unit alat yang
sudah ada saat ini
Rendah
5.Penanaman Baru 1-2 unit alat transplater yang sudah dioperasikan, dari 46
unit total alat trasnplanter tahun 2016.
6.pemotongan
batang padi
Umumnya menggunakan sabit secara manual, yang
dikombinasikan dengan perontokan dengan tresher. Pemanenan
dilakukan regu pemanen baik yang disewa oleh pemilik tanah
atau buruh yang dibawa pedagang pengumpul.
7.Pengeringan
gabah
Seluruhnya menggunakan sinar matahari. Pengeringan menjadi
kendala di musim penghujan, sedangkan alat pengering yang
ada, baik bantuan Pemda ataupun milik Bulog, tidak beroperasi.
34
Tabel 21. Tingkat penerapan mekanisasi agribisnis padi di Kabupaten Soppeng, 2016
Tingkat
mekanisasi dan
kegiatan
Karakteristik
Tinggi
1.Penggilingan
padi
Seluruh hasil panen sudah seluruhnya menggunakan huller,
meskipun tingkat teknologi hullernya beragam.
2.Pengolahan
tanah
Sudah semua sawah menggunakan traktor, umumnya berupa
traktor roda dua. Traktor roda 4 sudah mulai digunakan
Sedang
3.pemenuhan air
irigasi
Sebagian areal sawah sebagian besar menggunakan air irigasi,
tetapi ada sebagian yang menggunakan pompa air.
4.Panen dan
perontokan
Umumnya sudah menggunakan combine harvester. Hanya
daerah berbukit yang masih menggunakan sabit dan power
thesher.
Rendah
5.Penanaman Rice transplanter baru diperkenalkan, baru beberapa kelompok
tani yang menggunakan
6. Pengeringan
gabah
Seluruhnya menggunakan sinar matahari. Pengeringan menjadi
kendala di musim penghujan, sedangkan alat pengering yang
ada, baik bantuan Pemda ataupun milik Bulog, tidak beroperasi.
Penggunaan alsin khususnya traktor roda 2 (hand tractor) sudah merupakan
hal yang biasa bagi petani setempat. Combine harvester sudah digunakan oleh
petani di sekitar lokasi percontohan karena kekurangan tenaga panen. Rice
transplanter merupakan hal baru namun itu pun sudah pernah dilihat di desa lain.
Hanya traktor roda 4 yang benar-benar baru bagi petani setempat. Awalnya petani
setempat ragu untuk menggunakannya, karena hasil bajakannya berupa bongkahan-
bongkahan besar. Namun setelah dipraktikkan, membajak dengan traktor roda 4
dan diikuti dengan roda 2 dan hasilnya berupa lahan yang siap tanam, maka petani
35
mulai tertarik untuk menggunakan traktor roda 4 (satu paket dengan TR2). Adopsi
penggunaan traktor roda 4 juga didukung oleh fakta bahwa pekerjaan mengolah
tanah bisa dilakukan secara lebih cepat dibandingkan dengan traktor roda 2, dari
biasanya 3 hari kerja/ha menjadi 4 jam/ha. Alsin yang belum dimiliki oleh UPJA
adalah Rice Milling Unit (RMU).
3.2.2.Kelembagaan Pengelolaan Alsintan
Kelembagaan pengelolaan alsintan di Kabupaten Cilacap tidak terlepas dari
kelembagaan UPJA sesungguhnya telah lama berkembang. Kelembagaan UPJA
berkembang sejak dikeluarkannya Permentan No.25/2008 tentang Pedoman
Penumbuhan dan Pengembangan Usaha Pelayanan Jasa Alat dan Mesin Pertanian.
Dengan dikeluarkannya Permentan ini, Pemerintah Daerah khususnya di Cilacap
diberi mandat untuk membina dan memfasilitasi UPJA yang terdapat di daerahnya
masing-masing, sehingga UPJA tersebut dapat menuju ke arah kelembagaan yang
profesional.
UPJA merupakan lembaga ekonomi perdesaan yang bergerak di bidang
pelayanan jasa dalam rangka optimalisasi penggunaan alat dan mesin pertanian
untuk mendapatkan keuntungan usaha baik di dalam maupun di luar kelompok tani/
gapoktan. Latar belakang kegiatan penumbuhan dan pengembangan UPJA ini antara
lain adalah: (1) masih kurang optimalnya kepemilikan alsintan oleh petani, (2) masih
rendahnya tingkat penguasaan informasi dan teknologi dalam pengelolaan
mekanisasi pertanian, dan (3) terdapatnya indikasi penurunan daya dukung lahan
pertanian. Sementara tujuan penumbuhan dan pengembangan UPJA adalah untuk
mendorong pengembangan dan kemajuan kinerja UPJA, mengoptimalkan
pemanfaatan alsintan dari aspek teknis, ekonomis, organisasi dan aspek penunjang.
UPJA mempunyai fungsi sebagai pelayanan jasa alsintan dalam penanganan
budidaya (penyiapan lahan, pemberian air irigasi, penanaman, pemeliharaan,
perlindungan tanaman), pelayanan pengolahan hasil pertanian (jasa pemanenan,
perontokan, pengeringan dan penggilingan padi), dan secara luas mendorong
pengembangan produk dalam rangka peningkatan nilai tambah yang pada akhirnya
akan meningkatkan kesejahteraan petani. Ke depannya pengembangan UPJA
meliputi berbagai subsistem yaitu Kelembagaan UPJA, Penyediaan alsintan, suku
36
cadang, pelayanan, perbaikan, perbengkelan, pengguna jasa alsintan (kelompok
tani, gapoktan, P3A), Permodalan dan pendanaan, Pembinaan dan pengendalian
oleh instansi.
Pengembangan mekanisasi di Jawa Tengah (Jateng) dan khususnya di
Kabupaten Cilacap didukung tumbuhnya bengkel alat mesin pertanian (alsintan).
Data pda tahun 2013, di Jawa Tengah telah terdapat 11 bengkel alsintan yang
dibina oleh Balai Alsintan Jateng yang tergabung ke dalam Paguyuban Bengkel Alsin
Jawa Tengah. Bengkel alsin mulai berkembang karena semakin banyak petani yang
menggunakan alsintan untuk menggarap lahan pertaniannya, antara lain
penggunaan traktor untuk mengolah lahan pertanian.
Kegiatan yang dilakukan oleh bengkel alsintan tidak hanya sebatas pada
perbaikan alsintan saja melainkan merancang teknologi alsintan yang dapat
disesuaikan dengan pemesanan. Melalui kelembagaan UPJA dan Paguyuban Bengkel
Alsintan di Jateng, maka bahwa Jateng yang merupakan salah satu sentra produksi
pangan, sangat didukung oleh kondisi mekanisasi pertanian yang maju.
Pada tahun 2015, guna mendukung swasembada pangan di Kabupaten
Cilacap, sebanyak 49 mesin traktor tangan dan 22 pompa air merupakan bantuan
dari Presiden RI. Upaya tersebut dalam rangka meningkatkan produksi melalui
peningkatan Indeks Pertanaman (IP), sehingga diperlukan tambahan jumlah alat
mesin, khususnya untuk tanaman pangan. Kebijakan pengembangan mekanisasi
pertanian harus mampu meningkatkan produktivitas, efisiensi, mutu dan nilai
tambah, mendorong tumbuhnya industri alat dan mesin dalam negeri dan
mendorong kemitraan antara industri besar dan UKM. Strategi yang perlu ditempuh
dalam pengembangan mekanisasi pertanian adalah membangun industri pertanian
di pedesaan berbasis mekanisasi pertanian pada sentra produksi. Unit traktor tangan
diserahkan kepada 49 kelompok tani, Gapoktan dan Unit Pengelola Jasa Alsintan
(UPJA) di 20 kecamatan. Sementara 22 mesin pompa air diserahkan kepada 22
kelompok tani, Gapoktan dan P3A di 13 wilayah kecamatan.
Berdasarkan data Dinas Pertanian dan Peternakan Kabupaten Cilacap (2015),
bahwa jumlah kelompok tani di Kabupaten Cilacap berjumlah sekitar 2.033 kelompok
dan jumlah gapoktan sebanyak 279. Adapun jumlah kelompuk Usaha Pengelola Jasa
Alsintan (UPJA) sebanyak 115 UPJA. Jumlah UPJA terbanyak terdapat di Kecamatan
37
Gandrungmangu sebanyak 23 UPJA, dan UPJA yang paling aktif terdapat di
Kecamatan Kawunganten. Jumlah UPJA di Kawunganten berjumlah 2 UPJA, dan
UPJA teraktif adalah UPJA Setia Dadi.
UPJA Setia Dadi berada di Desa Bojong-Kawunganten yang berdiri sejak tahun
2014 dan berbadan hukum dengan akta notaris. UPJA ini pada awal berdirinya
hanya memiliki 2 unit alsintan yaitu hand traktor, dan saat ini telah memiliki antara
lain: (1) Hand traktor 10 unit, (2) PowerTresher 5 unit, (3) Dryer: 1 unit, (3)
Transplanter: 1 unit, (4) Combine Harvester: 3 unit, (5) RMU: 1 unit, (6) Alat
Bengkel 1 unit.
Adapun daerah operasional kegiatan UPJA Setia Dadi yaitu meliputi seluruh
Kecamatan di Kabupaten Cilacap, Kabupaten Jepara, Kabupaten Subang, dan
bahkan luar Jawa seperti Palembang dan Lampung. Areal operasional ini terutama
pada kegiatan aktivitas panen dengan alat panen Combine Harvester. UPJA ini juga
sebagai tempat belajar UPJA lain dan petani/kelompok tani dari berbagai daerah
seperti, dari: dalam Kabupaten Cilacap sendiri, Kabupaten Jepara, Kabupaten Tegal,
Kabupaten Klaten, Kabupaten Purbalingga, Kabupaten Banyumas, Kabupaten
Semarang, Provinsi Papua, Riau, Sulawesi Selatan dan Maluku.
Program Bantuan Alsintan untuk Mewujudkan Pertanian Modern
Dalam buku Pedoman Pelaksanaan Penyaluran Bantuan Alat Dan Mesin
Pertanian TA 2015 dijelaskan bahwa untuk kegiatan bantuan alsintan pengadaan di
pusat berupa Traktor Roda 2 (10.000 unit), Pompa Air (3.425 unit), Rice
Transplanter (5.000 unit) dan Traktor Roda 4 untuk Tanaman Pangan (1.000 unit).
Sedangkan untuk kegiatan bantuan alsintan pengadaan di provinsi berupa Traktor
Roda 2 (10.000 unit) dan Pompa Air (3.425 unit). Jenis dan spesifikasi alsintan
disesuaikan dengan kebutuhan dan kondisi spesifik lokasi di masing-masing daerah.
Alsintan yang diadakan merupakan alsintan yang sudah mempunyai Sertifikat Produk
Pengguna Tanda Standard Nasional Indonesia (SPPT SNI) dan atau sudah memiliki
Test Report dari lembaga penguji alsintan yang terakreditasi.
Kriteria lokasi untuk kegiatan bantuan alsintan untuk pengadaan di pusat
maupun di provinsi mempertimbangkan beberapa hal, yakni: (a) Diprioritaskan pada
daerah sentra produksi tanaman pangan; (b) Mempertimbangkan kondisi lokal
38
spesifik yang secara teknis memenuhi persyaratan untuk operasional alat dan mesin
pertanian; dan (c) Mempertimbangkan daerah yang tingkat kejenuhan alsin masih
rendah serta memiliki komitmen yang kuat dalam mendukung program peningkatan
produksi pertanian dengan melihat proposal yang disampaikan ke provinsi maupun
ke pusat.
Penerima bantuan Alsintan, baik kelompok tani, Gapoktan, maupun UPJA;
harus memenuhi persyaratan yakni dinyatakan layak setelah diverifikasi oleh Dinas
Pertanian Kabupaten/Kota setempat, bersedia mengikuti semua kewajiban yang
diberikan dan bertanggung jawab dalam operasional alsintan, serta bersedia
memanfaatkan dan mengelola alat dan mesin pertanian.
Sedangkan untuk pengelola dalam bentuk Brigade, penerima bantuan adalah
Pemerintah Daerah Provinsi/ Kabupaten (pengadaan bantuan alsintan di pusat),
dengan persyaratan sebagai berikut: (a) Bersedia mengelola bantuan alsintan dalam
bentuk Brigade Tanam, (2) Bersedia menyediakan gudang penyimpanan alsintan,
(3) Bersedia memobilisir alsintan antar Kabupaten/ Kecamatan, dan (4)
Mengalokasikan dana APBD I/II untuk biaya pemeliharaan alsintan.
Alsintan yang didistribusikan harus segera dimanfaatkan oleh penerima
bantuan. Apabila hasil evaluasi pemanfaatan alsintan oleh Penerima bantuan tidak
dimanfaatkan optimal, maka Dinas Pertanian Kabupaten/Kota dapat merelokasi
alsintan tersebut ke kelompok lainnya di wilayah kecamatan yang sama/antar
kecamatan. Apabila diperlukan relokasi antar kabupaten/kota, maka menjadi
kewenangan Kepala Dinas Pertanian Provinsi.
Dalam Pedoman Umum Pengembangan UPJA dan LDM Direktorat
Penanganan Pasca Panen, Ditjen Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian,
program pembangunan pertanian yang berorientasi pada sistem dan usaha
agribisnis, pada pokoknya harus dikembangkan agar sesuai dengan proses
pergeseran mendasar dari masyarakat tradisional/subsisten menjadi masyarakat
modern berbasis pertanian yang merupakan rangkaian upaya untuk memfasilitasi,
melayani dan mendorong berkembangnya usaha pertanian secara komersial untuk
meningkatkan nilai tambah produk, pendapatan dan kesejahteraan masyarakat tani.
Upaya-upaya pembangunan pertanian tersebut dilaksanakan dengan
pendekatan sistem dan usaha agribisnis yang berarti mencakup upaya-upaya pada
39
keseluruhan subsistem agribisnis yang meliputi subsistem hulu yang termasuk di
dalamnya adalah sarana produksi pertanian (agrokimia, sarana alsin pertanian,
perbenihan/pembibitan); subsistem produksi pertanian (budidaya tanaman pangan,
hortikultura, perkebunan dan peternakan); dan subsistem hilirnya yang termasuk di
antaranya pengolahan, pemasaran dan distribusi hasil pertanian serta sub sistem
jasa pendukungnya.
Penerapan dan pengembangan sarana alat mesin pasca panen dalam
mendukung pembangunan agroindustri dan agribisnis mempunyai peranan yang
sangat penting dalam rangka meningkatkan efisiensi, produktivitas dan perbaikan
mutu hasil pertanian. Sarana alat mesin pasca panen merupakan salah satu
masukan teknologi yang mendukung pengembangan sistem dan usaha agribisnis
yang berdaya saing, berkerakyatan, berkelanjutan dan terdesentralisasi, dimana
keberadaannya sangat dibutuhkan oleh masyarakat tani di pedesaan.
Penggunaan alat dan mesin pertanian termasuk mesin pasca panen
diharapkan dapat mempercepat alih teknologi kepada masyarakat tani, menciptakan
lapangan kerja, meningkatkan nilai tambah, memperbaiki penanganan panen dan
pasca panen, menurunkan kehilangan hasil dan perbaikan mutu hasil yang pada
akhirnya akan berdampak kepada peningkataan kinerja dari perusahaan/industri
pengolahan pangan serta terbentuknya proses industrialisasi dalam menunjang
pembangunan agroindustri di pedesaan. Jenis-jenis alat mesin pasca panen yang
dapat dioperasionalkan oleh UPJA mencakup mesin pemanen (reaper), mesin
perontok (thresher), mesin pembersih (cleaner), mesin penggilingan padi (RMU),
mesin pengering (dryer), mesin pemisah (grader), mesin pengarungan (bag closer),
dan mesin pengemas.
Pada tahun 2015, pemerintah telah menyalurkan sekitar 356.883 unit alsintan
dari pagunya sebanyak 357.253 unit. Beragam alsintan tersebut diserahkan melalui
anggaran pemerintah pusat dan pemerintah provinsi. Selain alsintan untuk produksi,
juga diserahkan beragam alsintan untuk pra panen, pasca panen dan penggilingan
padi. Total anggaran bantuan alsintan pada tahun 2015 sebesar Rp 3,291 triliun.
Jenis-jenis alsintan yang disalurkan pemerintah antara lain: traktor roda 2, traktor
roda 4, pompa air, transplanter, combane harvester, indojarwo transplanter,
8 orang/CH) dapat Rp5.000/karung, operator Rp3000/karung, 5-
6 ha/hari. Setiap total 3-4 bulan kerja/tahun di dalam dan luar
desa
Sumber: Hasil wawancara dengan petani, pengurus UPJA Semangat, dan pengurus
Gapoktan Appanang, Kabupaten Soppeng, 2015
Dalam kaitannya dengan UPJA, gapoktan memprioritaskan penggunaan UPJA
setempat dalam penggunaan jasa alsin untuk kegiatan usahatani. Sebagai pengguna
jasa alsin yang dikelola oleh UPJA Semangat, Gapoktan Appanang juga dilibatkan
dalam pembahasan aturan main penggunaan alsin.
Pengelolaan Alsintan dalam Brigade Alsintan
Selain dalam organsiasi petani (UPJA, kelompok tani dan Gapoktan), sebagian
alsin juga dikelola oleh Brigade Alsintan. Ini merupakan organisasi di level provinsi
dan juga di level Kabupaten dan Kota yang memiliki struktur organisasi pengelolaan
yang terdiri atas unsur Pemda dan jajaran TNI. Pengelolaan Brigade Alsintan
dilaksanakan oleh Dinas Pertanian bersama-sama dengan Korem/Kodim untuk
mendukung kelancaran penerapan tanam serempak dalam rangka pelayanan kepada
petani/kelompok tani yang membutuhkan layanan penggunaan alsintan dengan
50
mempertimbangkan keberadaan/operasional UPJA di daerah tersebut. Alat dan
mesin dikelola oleh Brigade namun operasional pemanfaatan alsintan dibebankan
kepada pengguna jasa yakni petani.
Dalam rangka mendukung pengembangan Brigade Tanam, Kementerian
Pertanian mengadakan bantuan alsintan berupa 50 unit Traktor Roda 2 di 16
Propinsi di Indonesia. Meskipun sebagian alat ditempatkan di Kodim setempat,
penerima dan pengelola adalah Dinas Pertanian Provinsi atau Kabupaten. Di
Kabupaten Cilacap dan Soppeng, ditemukan kendala utamanya kemampuan
memobilisir alat dan membiayai operasionalnya. Dalam aturan disebutkan bahwa
mobilisasi alat perlu didukung dengan APBD, faktanya dukungan ini belum ada.
Brigade Alsintan lahir dari upaya mencapai gerak cepat untuk memanfaatkan
iklim yang tak menentu. Ketika air cukup, lahan sawah perlu segera dibajak.
Mekanisasi menjadi pilihan, termasuk melibatkan Komando Distrik Militer (Kodim) di
sentra-sentra produksi padi. Pembentukan Brigade Alsintan Dinas diharapkan bisa
menutup kekurangan manajemen alsintan di kalangan petani melalui Poktan,
Gapoktan dan UPJA. Target operasional brigade adalah bukan hanya mempercepat
dan menambah luas areal penanaman, melainkan juga agar jadwal tanam bisa
berjalan secara serempak.
Optimalisasi pemanfaatan alsintan dalam skala luas melalui Brigade Alsintan
ke depan, Dinas Pertanian di tingkat Kabupaten harus mampu mengambil peran
tersebut dengan dukungan instansi/pihak-pihak terkait serta dukungan informasi
dari: (a) UPTD terkait tentang pemetaan luasan dan jadwal tanam padi, jadwal
panen, kebutuhan alsintan menurut jenis, tipe, jumlah, wilayah dan luasannya; (b)
Pengamat Hama tentang luasan serangan, informasi dini potensi adanya serangan
OPT, dsb.
Analisis Usahatani Padi Konvensional vs Penggunaan Alsintan
Untuk memberikan gambaran analisis finasial usahatani padi dengan
menggunakan alsintan penuh (usahatani pada Percontohan Pertanian Modern-PPM)
dan usahatani konvensional, dianalisis keragaan usahatani padi di Soppeng seperti
disajikan pada Tabel 25.
51
Tabel 27. Analisis Usahatani Padi pada Percontohan Pertanian Modern (PPM) dan Konvensional di Kelurahan Appanang, Kecamatan Liliriaja, Kabupaten
Soppeng, MH 2014/2015 (Rp/ha)
No. Uraian PPM (A) Non-PPM (B) Perubahan (A-B)
%
A Biaya
I Sarana produksi
Benih 220.000 360.000 -38,9
Pupuk
- Urea 180.000 360.000 -50
- NPK 345.000 690.000 -50
-PPC/POC 60.000 0 100
- pupuk kandang 500.000 0 100
Obat-obatan 225.000 300.000 -25
Subtotal 1.530.000 1.710.000 -11,7
II Tenaga kerja
Olah tanah 1.450.000 1.750.000 -17,14
Menggaru/meratakan tanah 0 340.000 -100
Merapikan pematang 340.000 340.000 0
Persemaian 0 170.000 -100
Cabut dan angkut bibit* 0 340.000 -100
Tanam 575.000 900.000 -36,11
Pemupukan 85.000 170.000 -50
Penyiangan 340.000 340.000 0
Penyemprotan 170.000 170.000 0
Panen + perontokkan 2.857.750 2.502.500 14,2
Subtotal 5.817.750 7.022.500
III Lainnya
- pajak lahan/musim 0 0 0
- pengairan (tadah hujan) 285.775 250.250 14,2
- sewa lahan/musim 3.000.000 3.000.000 0
Subtotal 3.285.775 3.250.250 1,09
Biaya total 10.633.525 11.982.750 -9,87
B Penerimaan** 28.577.500 23.785.000 20,15
C Keuntungan atas biaya total 17.943.975 11.802.250 51,51
RCR atas biaya total 2,69 1,98
Sumber data : Hasil wawancara dengan petani di Kelurahan Appang, Kabupaten Soppeng, 2016 * Cabut benih petani non-PPM dilakukan 4 org @ Rp 60.000/HOK plus makan Rp 100.000 , total Rp 340.000/ha
** GKP @ Rp 3550/kg
Dalam penggunaan sarana produksi, Percontohan Pertanian Modern (PPM)
mengintroduksi penggunaan sarana produksi yang lebih sedikit dibandingkan
kebiasaan petani setempat. Perbedaan tersebut yaitu : (1) Benih : petani 40-45