BAB VIII ANALISIS KEBIJAKAN Pemerintah selaku agen perubahan dan pembangunan bertugas melakukan pembinaan atas penyelenggaraan pembangunan. Pembinaan kepada pemerintah daerah meliputi koordinasi, pemberian pedoman dan standar pelaksanaan urusan pemerintahan melalui berbagai kebijakan public. Hal tersebut sesuai dengan era otonomi daerah dimana masing-masing daerah diberikan otonom dalam mengelolah sumber daya alamnya sesuai karakteristik daerah dengan tujuan meningkatkan kesejahteraan rakyat daerahnya dalam kerangka Republik Indonesia. Pesatnya laju pembangunan terutama pada era otonomi daerah saat ini menimbulkan beberapa masalah dan dampak terhadap kualitas lingkungan antara lain degradasi air. Memang dampak negative dari suatu kegiatan pembangunan sulit untuk dihilangkan sepenuhnya. Untuk memngurangi dampak negatife perlu diambil langkah-langkah nyata salah satunya adalah melalui kebijakan pemerintah yang menjamin agar lingkungan tetap terjaga dan keberlanjutan pembangunan dapat dimaksimalkan termasuk dalam sumber daya air. 8.1 Analisis Konten Analisis konten (isi) adalah melihat aspek konten (isi) sumber daya air lintas wilayah apakah sudah diatur oleh undang-undang maupun peraturan dibawahnya. Beberapa produk hukum tentang sumber daya air khususnya yang terkait air bersih akan dianalisis baik analisis content maupun analisis legal review antara lain: 1. Undang-undang Republik Indonesia No.5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. 2. Undang-undang Republik Indonesia No. 7 Tahun 2004 Tentang Sumber Daya Air. 3. Undang-undang Republik Indonesia No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
40
Embed
BAB VIII ANALISIS KEBIJAKAN - repository.ipb.ac.id · dengan pengembangan prasaran dan sarana sanitasi sebagaimana dimaksud dalam ... 20/PRT/M/2006 tentang Kebijakan Dan Strategi
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
BAB VIII
ANALISIS KEBIJAKAN
Pemerintah selaku agen perubahan dan pembangunan bertugas melakukan
pembinaan atas penyelenggaraan pembangunan. Pembinaan kepada pemerintah
daerah meliputi koordinasi, pemberian pedoman dan standar pelaksanaan urusan
pemerintahan melalui berbagai kebijakan public. Hal tersebut sesuai dengan era
otonomi daerah dimana masing-masing daerah diberikan otonom dalam
mengelolah sumber daya alamnya sesuai karakteristik daerah dengan tujuan
meningkatkan kesejahteraan rakyat daerahnya dalam kerangka Republik
Indonesia.
Pesatnya laju pembangunan terutama pada era otonomi daerah saat ini
menimbulkan beberapa masalah dan dampak terhadap kualitas lingkungan antara
lain degradasi air. Memang dampak negative dari suatu kegiatan pembangunan
sulit untuk dihilangkan sepenuhnya. Untuk memngurangi dampak negatife perlu
diambil langkah-langkah nyata salah satunya adalah melalui kebijakan pemerintah
yang menjamin agar lingkungan tetap terjaga dan keberlanjutan pembangunan
dapat dimaksimalkan termasuk dalam sumber daya air.
8.1 Analisis Konten
Analisis konten (isi) adalah melihat aspek konten (isi) sumber daya air
lintas wilayah apakah sudah diatur oleh undang-undang maupun peraturan
dibawahnya. Beberapa produk hukum tentang sumber daya air khususnya yang
terkait air bersih akan dianalisis baik analisis content maupun analisis legal review
antara lain:
1. Undang-undang Republik Indonesia No.5 Tahun 1990 tentang Konservasi
Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya.
2. Undang-undang Republik Indonesia No. 7 Tahun 2004 Tentang Sumber Daya
Air.
3. Undang-undang Republik Indonesia No. 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah.
223
4. Undang-undang Republik Indonesia No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan
Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah.
5. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 16 Tahun 2005 Tentang
Pengembangan Sistem Penyediaan Air Minum.
Analisis konten (isi) terhadap Undang-undang No. 7 Tahun 2004, Undang-
undang No. 5 Tahun 1990, Undang-undang 32 Tahun 2009, Peraturan Pemerintah
Nomor 38, Peraturan Pemerintah Nomor 42, Peraturan Pemerintah No. 16 Tahun
2005, Permen PU nomor 20 Tahun 2006, Permen PU No. 18 Tahun 2007. Hasil
analisis konten terhadap peraturan perundang-undangan terkait sumber daya air
nampak pada lampiran
8.1.1 UU No. 7 Tahun 2004 Tentang Sumber Daya Air
Undang-undang No.7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air lebih
menekankan kepada, pengelolaan, wilayah sungai, pemerintah daerah
pengendalian, konservasi, keterpaduan dan pemerintah daerah. Hal ini
menunjukkan bahwa kebijakan pengelolaan sumber daya air memperhatikan
bahwa pengelolaan wilayah sungai agar tetap dikendalikan dan memperhatikan
kepentingan daerah secara terpadu serta memperhatikan konservasi sumber daya
air. UU No. 7 Tahun 2004, maupun UU No 5 Tahun 1990 serta PP No. 42 Tahun
2008 dan PP No. 43 Tahun 2008, serta Permen PU No. 20 Tahun 2006 tentang
KSNP SPAM dan Permen PU No. 18 tentang Strategi Pengembangan SPAM
tidak satupun yang menyinggung tentang kebijakan pendanaan konservasi
sumberdaya alam dan hayati maupun pendanaan konservasi air .
Pasal 40 UU No. 7 Tahun 2004 terdiri dari 9 ayat, ayat (1).Pemenuhan
kebutuhan air baku untuk air minum rumah tangga sebagaimana dimaksud dalam
pasal 34 ayat (1) dilakukan dengan pengembangan sistem penyediaan air minum,
ayat (2) Pengembangan SPAM sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi
tanggung jawab Pemerintah dan Pemerintah Daerah, ayat (3) Badan Usaha Milik
Negara dan/ atau Badan Usaha Milik Daerah merupakan penyelenggaran
pengembangan SPAM, ayat (4) Koperasi, Badan Usaha Swasta dan masyarakat
dapat berperan serta dalam penyelenggaraan pengembangan SPAM, ayat (5)
224
Pengaturan terhadap pengembangan sistem penyediaan air munim bertujuan untuk
a). Terciptanya pengelolaan dan pelayanan air minum yang berkualitas dengan
harga terjangkau, b. Tercapainya kepentingan yang seimbang antara konsumen
dan penyedia jasa pelayanan, dan c. Meningkatnya efisiensi dan cakupan
pelayanan air minum.
Pasal 34 ayat (6) Pengaturan pengembangan SPAM sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diselenggarakan secara terpadu
dengan pengembangan prasaran dan sarana sanitasi sebagaimana dimaksud dalam
pasal 21 ayat (2) huruf d; ayat (7). Untuk mencapai tujuan pengaturan
pengembangan SPAM dan sanitasi sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dan ayat
(6), pemerintah dapat membentuk badan yangn berada di bawah dan bertanggung
jawab kepada mentri yang membidangi sumber daya air; ayat (8) Ketentuan
pengembangan SPAM, BUMN dan/ atau BUMD penyelenggara pengembangan
SPAM, peran serta koperasi, bus dan masyarakat dalam penyelenggaraan
pengembangan SPAM dan pembentukan badan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), ayat (2), ayat (3), ayat (4 ),dan ayat (7) diatur lebih lanjut dengan peraturan
pemerintah.
Undang-undang Nomor 7 tahun 2004 tentang Sumber Daya Air terdiri atas
18 Bab dengan 100 pasal. Undang-undang Nomor 5 tahun 2007 telah
menyinggung masalah konservasi sumber daya air sebanyak 6 pasal serta
pendayagunaan sumber daya air sebanyak 25 pasal, lampiran. Undang undang
SDA memuat hampir semua aspek yang berkaitan dengan pengelolaan sumber
daya air bahkan dalam pengaturan berbagai aspek menunjukkan keseimbangan,
untuk itu UU SDA ini merupakan produk hukum yang relatif komprehensi
subatansinya. Keseimbangan perhatian terhadap nilai ekonomis produksi dengan
konservasi sudah ditunjukkan dalam Pasal 2,3, Pasal 4. Dalam ketiga pasal
tersebut dinyatakan bahwa Sumber Daya Ari mempunyai fungsi sosial,
lingkungan hidup, dan ekonomi yang harus diwujudkan secara selaras. SDA harus
dikelolah secara menyeluruh, terpadu dan berwawasan lingkungan hidup dengan
tujuan mewujudkan kemanfaatan sumber daya air yang berkelanjutan untuk
sebesar-besarnya kemakmuran rakayat. Sumber daya air dikelola berdasarkan asas
225
kelestarian, keseimbangan, kemanfaatan umum, keterpaduan dan keserasian,
keadilan, kemandirian, serta transparansi dan akuntabilitas.
Undang-undang SDA mengarahkan agar pengeloaan SDA sejak dari
perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, dan evaluasi harus diarahkan pada upaya
keselarasan antara konservasi dan pendayagunaan SDA serta pengendalian daya
rusak air. Asas kelestarian dan asas kesesimbangan harus dijadikan pedoman agar
pengelolaan SDA harus menjaga keberlanjutan eksistensi dan dungsi SDA baik
secara sosial maupun secara ekonomis. Pengaturan tentang keharusan melakukan
konservasi diatur melalui Pasal 20 s/d Pasal 25. Ketentuan konservasi
dimaksudkan untuk menjaga keberlangsungan keberadaan daya dukung, daya
tampung, dan fungsi SDA. Upaya konservasi dilakukan melalui kegiatan
perlindungan dan pengendalian pencemaran air. UU SDA juga melarang bagi
siapapun melakukan kegiatan yang menyebabkan rusaknya sumber air dan
prasarananya, pencemaran air, dan menganggu pengawetan air.
Pasal 5 menentukan bahwa negara menjamin hak setiap orang untuk
mendapatkan air bagi pemenuhan kebutuhan pokoknya sehari-hari. Negara
mempunyai kewajiban agar kebutuhan yang minimal sehari-hari akan air dari
perseorangan dan badan hukum dapat terpenuhi.Sedangkan pasal 29 ayat (2) dan
Pasal 34 ayat (1) memberikan jaminan dan pemenuhan kebutuhan minimal untuk
kegitan manusia seperti kegiatan hidup sehari hari, sanitasi lingkungan, pertanian,
ketenagaaan, industri, pertambangan, perhubungan, kehutanan dan
keanekaragaman hayati, olah raga, rekreasi dan pariwisata, ekosistem, estitika,
dan kebutuhan lain yang ditetapkan peraturan perundang-undangan. Jadi ada dua
kegiatan yang ditempatkan sebagai prioritas utama dalam perolehan dan
pemanfaatan air yaitu kebutuhan pokok masyarakat sehari-hari dan irigasi
pertanian rakyat. Kebutuhan pokok masyarakat sehari-hari mencakup untuk
mandi, cuci, masak, dan air minum, sedangkan ketersediaan air bagi pengairan
tanah pertanian rakyat diutamakan yang terlertak dalam jaringan saluran irigasi
aitu antrair laut yang ada di daratan untuk usaha budidaya tambak atau sistem
pendingin mesin atau penyulingan air laut untuk air minum.
226
Semangat desentralisasi tampaknya mendasari pembentukan UUSDA ini
karena pemberian kewenangan otonomi juga sampai ke pemerintahan desa.
Artinya kewenangan pengelolaan SDA yang bersumber dari Hak Penguasaan
Negara tidak hanya dilaksanakan oleh Pemerintah Pusat, namun dengan
menggunakan prinsip pembagian kewenangan, Pemdah dan Pemerintah Desa juga
diberi kewenangan melaksanakannya. Pasal 6 ayat (2) menentukan bahwa
penguasaan (Negara) atas sumber daya air sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diselenggarakan oleh Pemerintah dan atau Pemdah. Hak penguasaan negara dapat
saja bersifat desentralisasi mutlak yaitu antara kewenangan yang dipunyai oleh
Pemerintah dengan yang diserahkan berbeda, namun juga dapat bersifat
desentralisasi yang mengarah pembagian kewenangan yaitu antara kewenangan
Pemerintah Pusat dan Pemda sama dengan perbedaan dalam luas ruang lingkup
berlakungan kewenangan tersebut.
Hak Guna Air (HGA) merupakan wewenang untuk memperoleh dan
memakai atau mengusahakan air untuk berbagai keperluan. Hak Guna Air diatur
dalam pasal 7, HGA dibedakan antara Hak Guna Pakai Air (HGPA) yaitu
kewenangan untuk memperoleh dan memakai air seHGPA dan HGUA tidak jelas,
karena secara UU No. 7 Tahun 2004 tidak secara konsisten menggunakan
keduanya sebagai alas hak bagi siapapun untuk memakai atau mengusahakan air.
Alas hak yang memberikan kewenangana adalah ijin yang diberikan oleh
Pemerintah atau Pemda. Ijin diperlukan jika pemakaian air harus mengubah
kondisi alami sumber air, pemakaian dalam jumlah besar, dan pemakaian air
untuk pertanian rakyat yang berada di luar sistem irigasi yang sudah ada.
Privatisasi sumber daya air nampak pada nuansa UU No 7 Tahun 2004
tentang SDA. UU No 7 Tahun 2004 tentang SDA memperkenalkan istilah air
bukan barang publik (sosial) namun mengarah kepada komoditas ekonomi.
Dengan UU No. 7 Tahun 2004 membuka peluang pengusahaan air dan atau
privatisasi air. Menurut Sanim (2011), lambannya reformasi institusi dan
ketidakpastian legal formal di sektor air, secara bersamaan privatisasi air sendiri
sudah dijalankan oleh Pemerintah Indonesia, khususnya privatisasi Perusahaan
Daerah Air Minum (PDAM) antara lain:
227
1. Tahun 1977, World Bank mensponsori privatisasi air di Jakarta, dibagi
kepada Thames Water (Inggris) dan Suwez-Lyonnaise (France).
2. Privatisasi PDAM Batam dan Palembang oleh Biwater (Inggris).
3. Privatisasi PDAM Pekanbaru dan Manado.
4. Privatisasi air oleh Ondo-Suez yang beroperasi di Jakarta, Medan,
Semarang, dan Tangerang, serta
5. Privatisasi air di Sidoarjo oleh Vivendi (Feance).
Hingga saat ini, privatisasi air di Indonesia difokuskan pada sektor sanitasi
atau penyediaan air bersih perkotaan. Keterlibatan swasta berupa penyediaan
prasarana, distribusi, dan penarikan retribusi pemakaian air dari konsumen.
Mereka menfokuskan pada wilayah perkotaan disebabkan adanya kemudahan
dalam investasi prasarana distribusi air dan kemampuan konsumen untuk
membanyar (willingness to pay) yang tinggi. Prasarana distribusi air di perkotaan
relatif sudah terbangun. Sementara di perdesaan, cakupan pengelolaan air akan
membutuhkan investasi prasarana yang cukup besar, willingness to pay
masyarakat perdesaan yang lemah dan persoalan peggunaaan air irigasi oleh
petani (Sanim, 2011).
Hasil analisis konten dan analisis legal review terhadap undang-undang
yang berkaitan dengan sumber daya air, dapat disimpulkan bahwa perlunya
dilakukan restrukturisasi dan reformasi pengelolaan sumber daya air. Karena
sektor air di Indonesia tidak mampu memenuhi pertumbuhan dan berbagai
tuntutan sebagai konsekwensi meningkatnya populasi penduduk, termasuk
penduduk DKI Jakarta yang meningkat pesat. Kebutuhan air untuk keperluan
rumah tangga, industri, dan mall serta pertanian meningkat dan gagal dipenuhi
oleh pemerintah. Restrukturisasi juga perlu dilakukan berkaitan deengan
kecenderungan yang berlaku, khususnya UU No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber
Daya Air. Jika sebelum adanya UU No. 7 Tahun 2007, tentang Sumber Daya Air,
swasta hanya terlibat pada pengusahaan dan pengelolaan air minum, maka saat ini
swasta dimungkinkan berperan pada seluruh bidang perairan, dari penyediaan air
bersih, air minum, hingga pemenuhan air baku untuk pertanian. Bentuk kerjasama
228
dapat berupa kontrak BOT, perusahaan patungan, kontrak pelayanan, kontrak
manajemen, kontrak konsesi, kontrak sewa dan sebagainya.
Laporan Pemerintah Indonesia pada World Water Forum III di Kyoto,
Jepang, menyatakan bahwa 80 persen populasi belum memiliki akses kepada air
yang mengalir (running water). Hal ini menunjukkan bahwa pemerintah
sesungguhnya masih memiliki kewajiban yang besar untuk dapat memenuhi
kewajiban tersebut, diperlukan sumber dana yang besar untuk pembangunan
infrastruktur pengairan, pemulihan dan perawatan sumber daya air. Diperkirakan,
pemerintah membutuhkan dana sebesar 5,1 triliun rupiah setiap tahun untuk
menyediakan air bersih bagi 40 persen populasi hingga 2015.
Beberapa peraturan perundang-undangan dibawah UU Nomor 7 Tahun
2004 tentang Sumber Daya Air antara lain Peraturan Presiden Republik Indonesia
Nomor 13 Tahun 2010 tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 67
Tahun 2005 Tentang Kerjasama Pemerintah Dengan Badan Usaha Dalam
Penyediaan Infrastruktur, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 16
Tahun 2005 tentang Pengembangan Sistem Penyediaan Air Minum, Peraturan
Menteri Pekerjaan Umum Nomor: 294/PRT/M2005 tentang Badan Pendukung
Pengembangan Sistem Penyediaan Air Minum, Peraturan Menteri Pekerjaan
Umum Nomor: 18/PRT/M/2007 tentang Penyelanggaraan Pengembangan Sistem
Penyediaan Air Minum, dan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor:
20/PRT/M/2006 tentang Kebijakan Dan Strategi Nasional Pengembangan Sistem
penyediaan Air minum (KSNP – SPAM).
8.1.1.1 Perpres No. 12 Tahun 2008 tentang Dewan Sumberdaya Air
Perpres No. 12 Tahun 2008 tentang Dewan Sumberdaya Air tidak hanya
mengatur sehubungan dengan susunan organisasi dan tata kerja Dewan Sumber
Daya Air tetapi juga pembentukan, kedudukan, tugas dan fungsi, susunan
organisasi dan tata kerja, hubungan kerja antar dewan sumberdaya air; dan
pembiayaan. Pengaturan Dewan Sumber Daya Air dalam Undang-undang No. 7
Tahun 2004 tentang Sumberdaya Air terdapat dalam Pasal 86 ayat 1– 4. Undang-
undang No. 7 Tahun 2004 tentang Sumberdaya Air. Bagian menimbang pada
Perpres No. 12 Tahun 2008 tentang Dewan Sumberdaya Air hanya
mencantumkan Pasal 86 ayat 4.
229
Undang Undang-Undang No. 7 Tahun 2004 tentang Sumberdaya Air
sebagai satu-satunya dasar pertimbangan pembentukan Dewan Sumber Daya Air.
Pasal 86 ayat 4 Undang Undang-Undang No. 7 Tahun 2004 tentang Sumberdaya
Air hanya mengatur bahwa susunan organisasi dan tata kerja wadah koordinasi
(Dewan Sumber Daya Air) akan diatur lebih lanjut dengan Keputusan Presiden.
Pasal 86 ayat 4 Undang-Undang No. 7 Tahun 2004 tentang Sumberdaya Air
dengan sangat jelas menyebutkan bahwa pengaturan tentang susunan organisasi
dan tata kerja wadah koordinasi (Dewan Sumber Daya Air) akan diatur lebih
lanjut dengan Keputusan Presiden tetapi pengaturan lebih lanjut sebagai amanat
tersebut dilakukan dengan Peraturan Presiden sehingga perlu ditelusuri dan di
telaah lebih lanjut sehubungan dengan kedudukan peraturan presiden dengan
keputusan presiden. Tetapi yang jelas, amanat Undang-Undang adalah melalui
Keputusan Presiden tetapi justru diatur dengan Peraturan Presiden.
Susunan organisasi Dewan SDA Nasional terdiri dari ketua merangkap
anggota yang dijabat oleh Menko Perekonomian, ketua harian merangkap anggota
yang dijabat oleh Menteri dan anggota yang akan diisi oleh unsur pemerintah dan
non pemerintah. Susunan organisasi dimana ketua dijabat oleh Menko
Perekonomian sebenarnya sudah menunjukan watak dan corak pengelolaan
dan/atau pemanfaatan sumberdaya air nasional, yaitu menempatkan air sebagai
barang ekonomi semata. Air akan di tempatkan dan dimanfaatkan bagi
pemenuhan pemasukan Negara dalam konteks anggaran. Watak dan corak yang
akan mencerminkan keberpihakan pengelolaan dan/atau pemanfaatan sumberdaya
air pada kesejahteraan rakyat adalah ketika posisi ketua di jabat oleh Menko
Kesejahteraan Rakyat (Kesra). Menko Perekonomian akan lebih berorientasi pada
sector ekonomi sebagai pilar utamanya sedangkan Menko Kesra akan lebih
beroreintasi pada kesejahtaraan rakyat. Menko Kesra sendiri tidak mendapatkan
posisi apa pun dalam Dewan SDA Nasional. (Adhiyul, 2011)
Pasal 86 ayat 3 Undang-Undang No. 7 Tahun 2004 tentang Sumberdaya Air
menyebutkan bahwa wadah koordinasi, yaitu Dewan SDA Nasional di tingkat
nasional beranggotakan unsur pemerintah dan unsur nonpemerintah dalam
230
jumlah yang seimbang atas dasar prinsip keterwakilan. Penjelasan pasal tersebut
menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan seimbang adalah jumlah anggota yang
proporsional antara unsur pemerintah dan unsur nonpemerintah. Perpres No. 12
Tahun 2008 tentang Dewan Sumberdaya Air tidak menunjukan proporsional
jumlah anggota antara unsur pemerintah dan unsur nonpemerintah. Anggota dari
unsure pemerintah sesuai dengan Pasal 18 Perpres No. 12 Tahun 2008 tentang
Dewan Sumberdaya Air adalah berjumlah 22 anggota, sedangkan jumlah angota
dari unsur non pemerintah hanya 11 anggota. Perbandingan antara unsur
pemerintah dan unsur nonpemerintah adalah 2:1. Hal ini jelas bertentangan
dengan Pasal 86 ayat 3 Undang-Undang No. 7 Tahun 2004 tentang Sumberdaya
Air.
Keanggotaan Dewan SDA Nasional dari unsur non pemerintah sesuai
dengan Pasal 18 Perpres No. 12 Tahun 2008 tentang Dewan Sumberdaya Air
tidak mencerminkan prinsip keterwakilan sebagaimana yang terdapat dalam
Penjelasan Pasal 86 ayat 3 Undang-Undang No. 7 Tahun 2004 yang menyebutkan
bahwa yang dimaksud dengan prinsip keterwakilan adalah terwakilinya
kepentingan unsur-unsur yang terkait, misalnya sektor, wilayah, serta kelompok
pengguna dan pengusaha sumber daya air. Keterwakilan rakyat selaku kelompok
pengguna sumberdaya air hanya terwakili dalam komposisi anggota dari unsur
non pemerintah adalah keterwakilan langsung bagi rakyat selaku pengguna
sumberdaya air maksimal hanya terdapat dalam 2 unsur, keterwakilan langsung
bagi pengusaha sumberdaya air terwakili dalam 7 unsur, keterwakilan langsung
bagi kalangan lingkungan hanya terwakili dalam 2 unsur.Komposisi keanggotaan
Dewan SDA Nasional dari unsur non pemerintah menunjukkan bahwa pandangan
pemerintah sehubungan dengan keterwakilan dari unsur non pemerintah lebih
mengakomodasi kepentingan pengusaha sumberdaya air.
Undang-Undang No. 7 Tahun 2004 tentang Sumberdaya Air telah
memposisikan organisasi masyarakat dan/atau lembaga swadaya masyarakat
secara ambigu. Dalam konteks keanggotaan Dewan Sumberdaya Air, organisasi
masyarakat dan/atau lembaga swadaya masyarakat hanya diposisikan sebagai
pihak yang “dapat” dilibatkan sebagai narasumber sebagaimana yang terdapat
231
dalam Penjelasan Pasal 86 ayat 3 Undang-Undang No. 7 Tahun 2004 tentang
Sumberdaya Air.
Kalimat “dapat” memberikan gambaran bahwa masukan dari organisasi
masyarakat dan/atau lembaga swadaya masyarakat tidak menjadi suatu keharusan.
Dampak yang akan muncul adalah besarnya kemungkinan pengabaian masukan
organisasi masyarakat dan/atau lembaga swadaya masyarakat dalam pengelolaan
dan/atau pemanfaatan sumberdaya air. Posisi organisasi masyarakat dan/atau
lembaga swadaya masyarakat hanya sebagai narasumber, artinya organisasi
masyarakat dan/atau lembaga swadaya masyarakat belum benar-benar
mendapatkan pengakuan penuh dari pemerintah sebagai salah satu subjek dalam
pengelolaan dan/atau pemanfaatan sumberdaya air.
Pasal 92 Undang-Undang No. 7 Tahun 2004 tentang Sumberdaya Air
menyebutkan bahwa organisasi yang bergerak pada bidang sumber daya air
berhak mengajukan gugatan terhadap orang atau badan usaha yang melakukan
kegiatan yang menyebabkan kerusakan sumber daya air dan/atau prasarananya,
untuk kepentingan keberlanjutan fungsi sumber daya air. Penjelasan pasal ini
menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan organisasi yang bergerak di bidang
sumber daya air antara lain adalah organisasi pengguna air, organisasi pemerhati
masalah air, lembaga pendidikan, lembaga swadaya masyarakat bidang sumber
daya air, asosiasi profesi, dan/atau bentuk organisasi masyarakat lainnya yang
bergerak di bidang sumber daya air. Pasal 92 Undang-Undang No. 7 Tahun 2004
tentang Sumberdaya Air dengan sangat jelas dan terang mengakui keberadaan
organisasi masyarakat dan/atau lembaga swadaya masyarakat sebagai suatu
subjek hukum dalam pengelolaan dan/atau pemanfaatan sumberdaya air karena
mendapatkan hak gugat atas sumberdaya air.
Perpres No. 12 Tahun 2008 tentang Dewan Sumberdaya Air, memposisikan
organisasi masyarakat dan/atau lembaga swadaya masyarakat hanya sebagai
“narasumber” sesuai dengan Pasal 21 jis Pasal 30 dan Pasal 37 Perpres No. 12
Tahun 2008 tentang Dewan Sumberdaya Air, yaitu “Dalam melaksanakan
persidangan, Dewan SDA (Nasional, Propinsi, Kabupaten/Kota) dapat
232
mengundang narasumber dari instansi pemerintah, perguruan tinggi, lembaga
swadaya masyarakat, atau masyarakat terkait”. Klausul-klausul yang
memposisikan organisasi masyarakat dan/atau lembaga swadaya masyarakat yang
terdapat dalam Undang-undang No. 7 Tahun 2004 tentang Sumberdaya Air dan
Perper No. 12 Tahun 2008 tentang Dewan Sumberdaya Air menunjukkan bahwa
pemerintah beranggapan organisasi masyarakat dan/atau lembaga swadaya
masyarakat sebagai elemen utama dalam pengelolaan dan/atau pemanfaatan
sumberdaya air. Keterlibatan masyarakat dalam keanggotaan Dewan Sumber
Daya Air masih belum seimbang yaitu hanya dua orang dimana keterlibatan
gender (wanita) belum banyak dibahas, padahal wanita paling banyak pengguna
air di rumah tangga.
8.1.1.2 Permen PU No. 20/PRT/M/2006 tentang KNSP-SPAM
Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No 20/PRT/M/2006 tentang
Kebijakan dan Strategi Nasional Pengembangan SPAM (KNSP-SPAM), Pasal 1
Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan Kebijakan dan Strategi
Nasional Pengembangan Sistem Penyediaan Air Minum, yang selanjutnya
disingkat KNSP – SPAM, merupakan pedoman untuk pengaturan
penyelenggaraan dan pengembangan sistem penyediaan air minum, baik bagi
pemerintah pusat maupun daerah, dunia usaha, swasta dan masyarakat.
Sedangkan Pasal 2 KNSP–SPAM digunakan sebagai pedoman untuk
pengaturan, penyelenggaraan, dan pengembangan sistem penyediaan air munim
berkualitas baik di tingkat pusat, maupun daerah sesuai dengan kondisi daerah
setempat . Pada Pasal 4 ayat (1) Dalam hal daerah belum mempunyai pengaturan
sebagaimana dimaksud dalam pasal 2, maka ketentuan dan rencana
pengembangan sistem penyediaan air minum di daerah perlu disiapkan dan
ditetapkan dengan Peraturan Daerah, mengacu pada peraturan menteri ini.
Pada ayat (2) Bagi daerah yang telah mempunyai Peraturan Daerah
Tentang Pengembangan Sistem Penyediaan Air Minum sebelum Peraturan
Menteri ini diterbitkan, agar Peraturan Daerah tersebut di sesuaikan berdasarkan
ketentuan – ketentuan yang dimaksud dalam Peraturan Menteri ini.
233
8.1.1.3 Permen PU No 18/PRT/M/2007 tentang Penyelenggaraan SPAM
Isi Peraturan Mentri Pekerjaan Umum No 18/PRT/M/2007 tentang
Penyelenggaraan Pengembangan SPAM, pada Bab VIII Pengaturan di daerah
pada pasal 62 terdiri dari dua ayat antara lain: ayat (1) Untuk pedoman
pelaksanaan penyediaan prasarana air minum di daerah perlu di buat Peraturan
Daerah yang didasarkan pada ketentuan–ketentuan dalam peraturan mentri ini.
Ayat (2) Dalam hal daerah belum mempunyai Peraturan Daerah
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), maka terhadap pelaksanaan penyediaan
prasarana dan sarana air minum di daerah diberlakukan ketentuan – ketentuan
dalam peraturan mentri ini.
Pasal 62 ayat 2 memberikan kewenangan kepada daerah untuk
menetapkan kebijakan daerah berupa perda tentang air bersih (air minum) maka
akan menimbulkan berbagai bentuk perda dalam pengelelolaan air bersih. Jika hal
ini terjadi maka dimungkinkan terjadi konflik kepentingan terkait air. Konflik air
dan tumpang tindih kepentingan akan air antar perda wilayah a dengan wilayah b
dikarenakan masing-masing pemerintah daerah mengacu dan berpegang teguh
pada pelaksanaan perda tersebut. Maka diperlukan model perda air minum (air
bersih) yang ditetapkan oleh pemerintah pusat sebagai suatu Norma Standar
Prosedur Manual (NSPK) bagi daerah.
Karena penyediaan air merupakan wewenang pemerintah pusat dan daerah
maka, perlu dipikirkan kebijakan lintas wilayah yang mengakomodir pengelolaan
air bersih secara lintas wilayah yang berbasis otonomi daerah. Kerjasama antar
wilayah harus tetap dalam koridor nasional artinya bahwa kerjasama lintas
wilayah dalam pengelolaan air bersih harus dipandu oleh Pemerintah Pusat
segbagai penengah dan pengawas kerjasama tersebut dikaernakan wilayah sungai
tidak dapat dibatasi oleh satuan wilayah administrasi.
Pengelolaan yang dibahasakan sebagai penataan ruang dilakukan sebagai
suatu sistem proses (i) perencanaan tata ruang, (ii) pemanfaatan ruang, dan (iii)
pengendalian pemanfaatan rauang. Dengan demikian harus difahami bahwa
penataan ruang adalah sebuah sistem yang berkelanjutan. Dimulai dari
perencanaan terhadap ruang, dilanjutkan dengan pemanfaatan ruang, dan diakiri
dengan pengawasan dan pengendalian pemanfaatan ruang tersebut. Penataan
234
ruang tersebut diselenggarakan berdasarkan asas; (i) keterpaduan; (2) keserasian,
keselarasan, dan keseimbangan, (iii) keberlanjutan, (iv) keberdayagunaan dan
keberhasilgunaan (v) keterbukan; (vi) kebersamaan dan kemitraan: (vii)
perlindungan kepentingan umum (viii) kepastian hukum dan keadilan; dan (ix)
akuntabilitas. Dalam implementasi, penataan ruang mengklasifikasikan penataan
ruang didasarkan pada lima hal, pertama, sistem penataan ruang; kedua, fungsi
utama kawasan, ketiga: wilayah adminstrasi: keempat, kegiatan kwasan dan
kelima: nilai stategi kawasan.
Pada konstek Good governance yang dicirikan melalui prinsip transparansi
dan akutanbilitas, UUPR merumuskan kannya melalaui hak dan peran serta
masyarakat (pasal 60) dan pasal 65) serta rumusan mengenai potensi penjatuhan
sanksi pidana (tanggung gugat) bagi pejabat pemerintah yang menerbitkan ijin
yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang (pasal 73). Perumusan tanggung
gugat bagi pejabat pemerintah dalam konsteks ini oleh UUPR bisa dibaca sebagai
langkah maju yang menegaskan bahwa kebijakan pemerintah tidak selamanya
steriil dari potensi penyimpangan (absuse of power). Oleh karena itu, harus ada
mekaniseme yang bisa digunakan untuk menyikkapinya.
8.1.2 Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 Pemerintah Daerah
Undang-undang No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah terdiri
dari 16 bab dan 240 pasal. Pada pasal 10 ayat 1 mengamanatkan bahwa
pemerintah daerah menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi
kewenangannya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh Undang-undang ini
ditentukan menjadi urusan pemerintah. Urusan peemerintahan yang menjadi
urusan pemerintah meliputi politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi,
moneter dan fiskal nasional dan agama.
Penyelenggaraan urusan pemerintahan dibagi berdasarkan eksternalitas,
akutanbilitas, dan efisiensi dengan memperhatikan keserasian hubungan antar
susunan pemerintahan, UU No. 32 Tahun 2004 Pasal 11 ayat 1. Adapun yang
dimaksud dengan eksternalitas yang dimuat dalam penjelaasan Peraturan
Pemerintah No. 38 Tahun 2007 adalah kriteria pembagian urusan pemerintahan
dengan memperhatikan dampak yang timbul sebagai akibat dari penyelenggaraan
suatu urusan pemerintahan. Apabila dampak yang ditimbulkan bersifat lokal,
235
maka urusan pemerintahan tersebut menjadi kewenangan pemerintahan daerah
kabupaten/kota. Sedangkan apabila dampaknya bersifat lintas kabupaten/kota
dan/atau/regional maka urusan pemerintahan itu menjadi kewenangan pemerintah
provinsi, dan apabila dampaknya bersifat lintas provinsi dan/atau nasional, maka
urusan itu menjadi kewenangan Pemerintah.
Pasal 12 ayat 1 menjelaskan bahwa urusan pemerintahan yang diserahkan
kepada daerah disertai dengan sumber pendanaan, pengalihan sarana dan
prasarana, serta kepegawaian sesuai dengan urusan yang didesentralisasikan.
Urusan pemerintah yang dilimpahkan kepda Gubernur disertai dengan pendanaan
sesuai dengan urusan yang didekonsentrasikan. Pasal 13 urusan wajib yang
menjadi kewenangan pemerintahan daerah provinsi merupakan urusan dalam
skala privinsi yang meliputi penangan kesehatan, penanggulangan masalah sosial
lintas kabupaten/ kota, penyediaan sarana dan prasarana umum, pengendalian
lingkungan hidup dan peyelenggaraan pelayanan dasar lainnya yanb belum dapat
dilaksanakan oleh kabupaten dan/ kota.
Undang-undang No. 32 Tahun 2004 Pasal 14 menempatkan urusan
penyediaan prasarana dan sarana umum serta pelayanan dasar bagi masyarakat di
kabupaten/kota sebagai “urusan wajib pemerintah kabupaten/kota”. Tentunya
lingkup atau pengertian dan urusan penyediaan prasarana dan sarana umum serta
pelayanan dasar bagi masyarakat di kabupaten/ kota tersebut mencakup pula
penyediaan air minum bagi masyarakat. Pembangunan sarana dan prasarana
terkait air bersih selain menjadi kewenangan pemerintah pusat juga menjadi
kewenangan pemerintah provinsi serta kewenangan pemerintah daerah.
Namun perhatian yang besar terdahap sektor air minum ini belum diimbangi
dengan perhatian yang besar terhadap sektor sanitasi yang mencakup limbah
domestik dan persampahan. Penduduk yang memiliki akses kepada jamban yang
aman baru 48,52% (BPS 2000) dan yang dilayani sistem perpipaan baru mencapai
2,33% di 11 kota, itu pun sebagian besar belum memenuhi standar kualitas yang
ditentulan. Sisanya yang sebagian besar lagi membuang limbahnya tanpa
pengolahan ke lingkungan, terutama ke badan-badan airah.
Hubungan antara pemerintah daerah dalam bidang pelayanan umum
dituangkan pada pasal 16 ayat 1-3. Pada pasal 16 ayat 2 hubungan dalam bidang
236
pelayanan umum antar pemerintahan daerah meliputi kerjasama antar
pemerintahan daerah dalam penyelenggaran pelayanan umum dan pengelolaan
perizinan bersama bidang pelayanan umum. Lebih lanjut pada pasal 17 ayat 1
dijelaskan hubungan dalam bidang pemanfaatan sumber daya alam dan sumber
daya lainnya antara Pemerintah dan pemerintah daerah meliputi kewengangan,
Pemanfaatan air laut untuk mencukupi kebutuhan masyarakat DKI dengan
metode desalinasi dan ultraviolet. Air laut memiliki kapasitas yang sangat
besar dan belum dimanfaatkan untuk kebutuhan air bersih. Namun kondisi
dan kualitas air laut DKI Jakarta yang asin dan tercemar logam berat perlu
dilakukan metode reverse osmoses.
Penggunaan air laut untuk air bersih sudah diuji coba dilaksanakan di
daerah Bali. Air laut diambil pada kedalaman 300 meter dibawah permukaan,
kemudian dinaikkan dan dimasukan kedalam tangki untuk menjaga suhu air .
257
Setelah itu dilakukan pemisahan air dari garam laut (desalinasi), yang
menghasilkan air tawar kurang lebih sebesar 50%nya. Selanjutnya dilakukan
proses kimiawi, biologi, dan fisika. Metode ultraviltrasi diperlukan agar
kuman-kuman yang terdapat pada air tersebut dapat dilemahkan. Selanjutnya,
sebelum air tersebut didistribusikan kepada masyarakat, perlu dilakukan
pengecekan melalui laboratorium untuk memastikan apakah air hasil
desalinasi sudah sesuai dengan baku mutu.
8.4.2 Role Sharing (Bagi Peran ) Pengelolaan Air Baku untuk Air Bersih
Pengelolaan air bersih bersifat kompleks dan melibatkan beberapa stake
holders, misalnya pemerintah, pemda, PAM, Kementrian PU, Kementrian
Keuangan, Kementrian Kesehatan, Kementrian ESDM, LSM, masyarakat dan
swasta (telah dibahas pada bab sebelumnya tentang analisis kelembagaan). Untuk
itu dalam pengelolaan air tidak dapat mengandalkan lembaga yang tunggal,
pengelolaan air di era otonomi daerah seperti sekarang ini harus berdasarkan
kepada prinsip-prinsip keadilan, keseimbangan, berwawasan lingkungan dan
berdasarkan prinsip-prinsip good governance (tata pemerintahan yang baik), yaitu
dengan melibatkan semua stakeholder yang berkepentingan dalam proses
pengelolaan air. Institusi inti dan usulan atau bagi peran dalam pengelolaan air
lintas wilayah dapat diringkas pada role sharing Tabel 52
258
Tabel 52. Role Sharing pengelolaan air bersih lintas wilayah berbasis otonomi
daerah
Institusi Peran
Pemerintah Pusat - Memfasilitasi pemerintah kabupaten kota untuk melaksanakan program pemberdayaan masyarakat al.
- Memenuhi kebutuhan minimun air bersih masyarakat .
- Kementrian Kesehatan dengan program Pola Hidup Bersih dan Sehat (PHBS), penetapan dan pengawasan kualitas air.
- Kementrian Pekerjaan Umum dengan program sanitasi masyarakat (Sanimas), sosialisasi 3R, pembangunan sarana dan prasarana yang menjadi wewenang pusat (skala nasional), mengelolah sungai lintas negara, sungai lintas propinsi dan sungai strategis nasional.
- Kementrian Kehutanan dengan program pelestarian hutan
- BKKBN program KB untuk menekan laju pertumbuhan penduduk
- Kementrian Lingkungan Hidup untuk mencegah pencemaran lingkungan oleh Industri
DKI Jakarta - Berinisiatif untuk mengidentifikasi sumber air baku di wilayah DKI Jakarta.
- Melakukan koordinasi dengan instansi terkait lintas propinsi dan lintas kabupaten/kota serta mendiskusikan permasalahan yang ada dalam pemanfaatan air sungai lintas provinsi.
- Melakukan evaluasi status mutu air sungai DKI Jakarta dan melakukan studi kelayakan pemanfaatan air sungai.
- Melakukan normalisasi sungai dan program prokasi.
- Menerapkan Law Enforcement bagi pelaku pencemaran lingkungan terutama di sungai. - Mewajibkan Industri melaksanakan progam
Reduce, reuse dan recycle dengan cara membuat instalasi pengolahan limbah industri dan mengolahnya kembali dan membuat studi kelayakan untuk pemindahan industri besar ke daerah di luar DKI Jakarta.
- Mewajibkan Hotel melakukan progam reduce dan reuse dengan cara mengganti equipment kamar mandi menjadi yang otomatic
- Menaikkan tarif pajak air tanah akan diperoleh dana untuk konservasi air tanah
259
Institusi Peran
- Memberikan subsidi air untuk keperluan masyarakat miskin dan meningkatkan akses kepada air bersih.
- Berkoordinasi dengan BKKBN untuk menekan laju pertumbuhan penduduk. .
PDAM - Mengurangi kebocoran - Meningkatkan pelayanan dan menambah jumlah
sambungan rumah - Ikut terlibat dalam program pelestarian DAS
hulu. - Meningkatkan teknologi modern untuk
pengelolaan. - Melakukan kajian terhadap program desalinasi. - Mengawasi kualitas air bersih dan pelayanan
air bersih di DKI Jakarta.
PJT II - Melaksanakan konservasi air di das yang
menjadi wewenangnya, memelihara dan menjaga
kestabilan debit di Bendungan Jatiluhur . LSM - Ikut terlibat dalam proses pemerdayaan
masyarakat - Mengawasi pemanfaatan lahan dan mencegah
konversi lahan serta terlibat dalam proses reboisasi
- Turut mengawasi kualitas air bersih dan pelayanan air bersih di DKI Jakarta.
Masyarakat - Terlibat langsung dalam pelaksanaan reboisasi hutan, terasering pada tegalan.
- Ikut mencegah pencemaran dengan tidak lagi memuang limbah rumah tangga kedalam sungai atau selokan.
- Melaksanakan program hemat air dengan metode / program 3R.
- Mewakili komponen masyarakat dalam dewan SDA dan lain-lain.
Perguruan tinggi - Melakukan penelitian R & D terkait pemenuhan air bersih baik teknis maupun kebijakan pengelolaan air bersih lintas wilayah.
- Mendesain metoda metoda sosialisasi pemberdayaan masyarakat.
Pemerintah provinsi Jabar
dan Tangeran Banten - Memfalitasi koordinasi antara pemerintah
kabupaten kota (Kota Bogor, Karawang, Bekasi, Purwakarta, Subang, Cianjur, Sukabumi) terkiat dengan pemanfaatan sumber air di sungai lintas
260
Institusi Peran
provinsi dan lintas kabupaten/kota. - Memfasilitasi koordinasi antara pemerintah
kabupaten kota dengan Pemerintah Pusat
BP SPAM - Melaksanakan tugas dan fungsi BPSPAM terkait pengembangan sistem penyediaan air minum sebagai mana yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan.
- Melaksanakan kebijakan yang sudah digariskan.
Untuk mensukseskan DKI Jakarta yang berketahanan air, maka seluruh
stakeholder harus berperan pada tugas dan fungsinya masing-masing. Pemenuhan
air bersih DKI Jakarta selain membutuhkan kerjasama lintas wilayah dan lintas
sektoral dan bersifat holistik, juga membutuhkan peran semua pihak. Untuk
mencukupi kebutuhan air bersih DKI Jakarta tidak hanya dapat dilakukan dengan
memperbaiki sisi supply tetapi juga perlu pengendalian sisi demand (permintaan/
pemanfaatan). Dari sisi deman program pengendalian dapat dilakukan melalui
pengendalian jumlah penduduk (BKKBN) dan Dinas Kependudukan, program
hemat air (3R) dan program pengendalian perijinan (DKI Jakarta).
Berdasarkan skenario kebijakan dan role sharing dapat disusun suatu perkiraan
pendanaan biaya yang diperlukan untuk masing-masing program kegiatan baik
untuk kegiatan 3R, pemanfaatan DAS BKT, pembayaran PES, desalinasi dan
pipanisasi dari Jatiluhur serta perbaikan kebocoran pada pipa distribusi.
261
Tabel 53. Perkiraan biaya dan kapasitas air yang diperoleh