i
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah, S.W.T. atas terlaksananya penyusunan
Laporan Akhir dari Evaluasi Kinerja Pembangunan Daerah (EKPD) Provinsi Sumatera
Barat tahun 2009.
Evaluasi Kinerja Pembangunan Daerah tahun 2009, dilaksanakan untuk menilai
keberhasilan pelaksanaan dari program dan kegiatan berdasarkan indikator dan sasaran
yang telah disepakati. Evaluasi ini diharapkan dapat menjawab pertanyaan apakah
perencanaan pembangunan telah berjalan pada jalur yang benar berdasarkan sasaran
pembangunan yang telah ditetapkan.
Dari hasil kegiatan Evaluasi Kinerja Pembangunan Daerah Tahun 2009 di Provinsi
Sumatera Barat ini, terungkap capaian indikator pembangunan daerah yang dibandingkan
dengan capaian pembangunan nasional untuk mengukur relevansi dan efektifitas
pembangunan. Diharapkan laporan evaluasi ini akan menghasilkan bahan masukan
penyusunan RPJMN Tahun 2010-2014.
Pada kesempatan ini, kami ingin menyampaikan terima kasih kepada semua pihak atas
segala bantuan dan partisipasinya dalam penyusunan Draft Laporan Akhir ini, terutama
sekali kepada Bappenas melalui Deputi Bidang Evaluasi Kinerja Pembangunan atas
kepercayaan dan kerjasamanya. Terima kasih juga kami sampaikan kepada jajaran
Bappeda dan Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) Sumatera Barat yang telah
memberikan dukungan penuh dalam penyelesaian laporan.
Padang, Desember 2009
Prof. Dr. Ir. H. Musliar Kasim, MS Rektor Universitas Andalas
ii
DAFTAR ISI
Halaman
Kata Pengantar .............................................................................................. i
Daftar Isi ......................................................................................................... ii
Daftar Gambar ................................................................................................ iii
Daftar Grafik ................................................................................................... iv
Daftar Tabel ................................................................................................... v
BAB I PENDAHULUAN 1
1.1. Latar Belakang dan Tujuan ........................................................... 1
1.2. Keluaran ........................................................................................ 2
1.3. Metodologi ..................................................................................... 2
1.4. Sistematika Penulisan Laporan ..................................................... 10
BAB II HASIL EVALUASI 11
2.1. TINGKAT PELAYANAN PUBLIK DAN DEMOKRASI ................... 19
2.1.1. Capaian Indikator ............................................................. 19
2.1.2. Rekomendasi Kebijakan ................................................... 24
2.2. TINGKAT KUALITAS SUMBER DAYA MANUSIA ....................... 25
2.2.1. Capaian Indikator ............................................................... 25
2.2.2. Rekomendasi Kebijakan ................................................... 28
2.3. TINGKAT PEMBANGUNAN EKONOMI ....................................... 32
2.3.1. Capaian Indikator .............................................................. 32
2.3.2. Analisis Capaian Indikator Spesifik dan Menonjol ........... 35
2.3.3. Rekomendasi Kebijakan ................................................... 36
2.4. KUALITAS PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM ................... 37
2.4.1. Capaian Indikator .............................................................. 37
2.4.2. Rekomendasi Kebijakan ................................................... 40
2.5. TINGKAT KESEJAHTERAAN SOSIAL ........................................ 42
2.5.1. Capaian Indikator .............................................................. 42
2.5.2. Rekomendasi Kebijakan ................................................... 45
BAB III KESIMPULAN 47
LAMPIRAN
v
DAFTAR TABEL
Halaman Tabel :
Tabel 1.3.1. Tingkat Capaian Hasil Pembangunan Provinsi, % ………………............. 6
Tabel 3.1. Ringkasan Hasil Evaluasi Capaian Pembangunan
Provinsi Sumatera Barat. …………………………………………………… 49
Tabel 3.2. Capaian Hasil Pembangunan Provinsi Sumatera Barat
Terhadap Nasional (%) …………………………………………………….. 49
iv
DAFTAR GRAFIK
Halaman
Grafik
Grafik 1.3.1. Tingkat Kesejahteraan Sosial Nasional dan Provinsi
Sumatera Barat ................................................................................... 9
Grafik 2.1.A. Tingkat Pelayanan Publik Nasional dan Provinsi Sumatera Barat ........ 20
Grafik 2.1.B. Tingkat Kualitas Pembangunan Demokrasi Nasional dan Provinsi
Sumatera Barat .................................................................................. 22
Grafik 2.2. Tingkat Kualitas Sumber Daya Manusia Nasional dan
Provinsi Sumatera Barat ..................................................................... 25
Grafik 2.3. Tingkat Pembangunan Ekonomi Nasional dan Provinsi
Sumatera Barat ..................................................................................... 33
Grafik 2.4. Tingkat Kualitas Pengelolaan Sumber Daya Alam dan
Lingkungan Hidup Nasional dan Provinsi
Sumatera Barat ................................................................. ................... 38
Grafik 2.5. Tingkat Kesejahteraan Sosial Nasional dan Provinsi
Sumatera Barat ..................................................................................... 43
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang dan Tujuan
Pembangunan daerah merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari pembangunan
nasional. Pada hakekatnya pembangunan daerah adalah upaya terencana untuk
meningkatkan kapasitas daerah dalam mewujudkan masa depan daerah yang lebih baik
dan kesejahteraan bagi semua masyarakat.
Hal ini sejalan dengan amanat UU No. 32 tahun 2004 yang menegaskan bahwa
Pemerintah Daerah diberikan kewenangan secara luas untuk menentukan kebijakan dan
program pembangunan di daerah masing-masing.
Evaluasi kinerja pembangunan daerah (EKPD) 2009 dilaksanakan untuk menilai relevansi
dan efektivitas kinerja pembangunan daerah dalam rentang waktu 2004-2008. Evaluasi ini
juga dilakukan untuk melihat apakah pembangunan daerah telah mencapai tujuan /
sasaran yang diharapkan dan apakah masyarakat mendapatkan manfaat dari
pembangunan daerah tersebut.
Secara kuantitatif, evaluasi ini akan memberikan informasi penting yang berguna sebagai
alat untuk membantu pemangku kepentingan dan pengambil kebijakan pembangunan
dalam memahami, mengelola dan memperbaiki apa yang telah dilakukan sebelumnya.
Hasil evaluasi digunakan sebagai rekomendasi yang spesifik sesuai kondisi lokal guna
mempertajam perencanaan dan penganggaran pembangunan pusat dan daerah periode
berikutnya, termasuk untuk penentuan alokasi Dana Alokasi Khusus (DAK) dan Dana
Dekonsentrasi (DEKON).
2
1.2. Keluaran
Keluaran yang diharapkan dari pelaksanaan EKPD 2009 meliputi:
• Terhimpunnya data dan informasi evaluasi kinerja pembangunan di Provinsi Sumatera
Barat.
• Tersusunnya hasil analisa evaluasi kinerja pembangunan di Provinsi Sumatera Barat.
1.3. Metodologi
Dalam penyusunan EKPD 2009 ini disusun dalam bentuk kerangka kerja yang melalui
beberapa tahapan kegiatan utama yaitu:
(1) Penentuan indikator hasil (outcomes) yang memiliki pengaruh besar terhadap
pencapaian tujuan pembangunan daerah;
(2) Pemilihan pendekatan dalam melakukan evaluasi; dan
(3) Pelaksanaan evaluasi serta penyusunan rekomendasi kebijakan, sebagaimana
terlihat pada Gambar 1.3.1. Ketiga tahapan tersebut diuraikan sebagai berikut:
(1) Penentuan Indikator Hasil (outcomes)
Indikator kinerja dari tujuan / sasaran pembangunan daerah merupakan indikator dampak
(impacts) yang didukung melalui pencapaian 5 kategori indikator hasil (outcomes) terpilih.
Pengelompokan indikator hasil serta pemilihan indikator pendukungnya, dilakukan
dengan memperhatikan kaidah-kaidah sebagai berikut:
• Specific, atau indikator dapat diidentifikasi dengan jelas;
• Relevant, mencerminkan keterkaitan secara langsung dan logis antara target output
dalam rangka mencapai target outcomes yang ditetapkan; serta antara target
outcomes dalam rangka mencapai target impact yang ditetapkan;
• Measurable, jelas dan dapat diukur dengan skala penilaian tertentu yang disepakati,
dapat berupa pengukuran secara kuantitas, kualitas dan biaya;
• Reliable, indikator yang digunakan akurat dan dapat mengikuti perubahan tingkatan
kinerja;
• Verifiable, memungkinkan proses validasi dalam sistem yang digunakan untuk
menghasilkan indikator;
3
• Cost-effective, kegunaan indikator sebanding dengan biaya pengumpulan data.
Pengelompokan 5 kategori indikator hasil (outcomes) yang mencerminkan tujuan /
sasaran pembangunan daerah meliputi:
1. Tingkat Pelayanan Publik dan Demokrasi.
2. Tingkat Kualitas Sumber Daya Manusia.
3. Tingkat Pembangunan Ekonomi
4. Kualitas Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup.
5. Tingkat Kesejahteraan Sosial.
Gambar 1.3.1. : Kerangka Kerja EKPD 2009
5 FOKUS PEMBAHASAN
RELEVANSI dan EFEKTIVITAS
REKOMENDASI
4
(2) Pemilihan Pendekatan Dalam Melakukan Evaluasi
Hubungan antara tingkat indikator dengan pendekatan pengukuran kinerja dapat dilihat
dalam Gambar 1.3.2 yaitu:
• Relevansi untuk menilai sejauhmana pembangunan yang dijalankan relevan terhadap
sasaran atau kebutuhan daerah dalam menjawab permasalahannya.
• Efektivitas untuk melihat apakah pembangunan yang dilakukan berkontribusi terhadap
pencapaian, baik tujuan spesifik maupun umum pembangunan daerah.
• Efisiensi untuk mengetahui bagaimana masukan (inputs) dirubah menjadi keluaran
(outputs).
• Efektivitas biaya untuk menggambarkan hubungan antara input dengan outcomes
pembangunan.
• Kualitas yaitu pengukuran derajat kesesuaian antara hasil-hasil pembangunan dengan
kebutuhan dan harapan masyarakat.
• Waktu yaitu ketepatan waktu / periode pencapaian kinerja yang ditetapkan.
• Produktivitas untuk melihat nilai tambah dari setiap tahapan proses pembangunan
dibandingkan dengan sumber daya yang digunakan.
Gambar 1.3.2 . Hubungan antara Indikator dan Pendekatan Dalam Melakukan
Evaluasi
5
Mengingat keterbatasan waktu dan sumber daya dalam pelaksanaan EKPD 2009, maka
untuk menilai kinerja pembangunan daerah dengan pendekatan evaluasi hanya meliputi:
a) Relevansi dan
b) Efektivitas pencapaian.
a) Analisis Relevansi
Relevansi digunakan untuk menganalisa sejauhmana tujuan / sasaran pembangunan
yang direncanakan mampu menjawab permasalahan utama / tantangan. Dalam hal ini,
relevansi pembangunan daerah dilihat apakah tren capaian pembangunan daerah sejalan
atau lebih baik dari capaian pembangunan nasional.
Variabel yang digunakan untuk menentukan relevansi capaian hasil (outcomes)
pembangunan adalah:
(1) Beberapa Indikator Pendukung atau indikator outputs (keluaran) yang secara
bersamaan akan menggambarkan capaian hasil (outcomes) pembangunan bidang
tertentu. Misalnya Kesejahteraan Sosial terdiri dari 5 buah indikator pendukung.
(2) Indikator hasil (outcomes) adalah rata-rata dari capaian indikator pendukung per
tahun.
(3) Tren atau laju pertumbuhan dari capaian indikator outcomes per tahun (tahun 2005
sampai 2008). Tren tidak dapat dihitung dengan analisa regresi. Kelemahan analisa
regresi dalam kasus ini adalah: terbatasnya jumlah observasi (5 observasi) dan
sebahagian besar observasi berfluktuasi atau deviasinya cukup besar akibat faktor
eksternal sehingga hasilnya cenderung tidak significant. Jika dalam analisis regresi
tersebut dilakukan penambahan jumlah observasi dengan data diluar periode EKPD
2009 atau data sebelum periode RPJMN 2004-2009, maka analisis tidak sesuai
dengan tujuan EKPD 2009.
Capaian hasil pembangunan dapat dikatakan RELEVAN jika memenuhi dua syarat
berikut:
(1) Tren capaian indikator outcomes pembangunan daerah sejalan dengan nasional.
Artinya jika tren nasional menurun, maka daerah juga menunjukkan hasil yang
menurun demikian pula sebaliknya jika menaik.
6
(2) Tren capaian indikator outcomes pembangunan daerah lebih baik dari capaian
pembangunan nasional. Artinya laju pertumbuhan indikator outcomes daerah lebih
besar dari nasional.
Kesimpulan dari analisis relevansi adalah: RELEVAN atau TIDAK RELEVAN. Diperlukan
penjelasan lebih mendalam kenapa hasil analisis tersebut Relevan atau Tidak Relevan.
Kalau ada kesimpulan dengan kategori KURANG atau SANGAT RELEVAN, maka
diperlukan metoda penentuan kategori tersebut secara kuantitatif.
Analisis Tingkat Capaian Hasil (Outcomes)
Tingkat capaian hasil (outcomes) pembangunan Provinsi dapat dikelompokkan dalam
beberapa kategori (lihat Tabel 1.3.1). Tingkat capaian hasil pembangunan dihitung
dengan membandingkan rata-rata capaian daerah dengan rata-rata capaian nasional atau
rata-rata capaian daerah dibagi dengan rata-rata capaian nasional (dalam %). Intervalnya
dapat dilihat pada Tabel 1.3.1.
Tabel 1.3.1. : Tingkat Capaian Hasil Pembangunan Provinsi, %
No Kategori Interval (%)
1. Sangat Tinggi > 110
2. Tinggi 100 -110
3. Sedang 70 – 99
4. Rendah 30 – 69
5. Sangat Rendah < 30
b) Analisis Efektivitas
Efektivitas untuk melihat apakah pembangunan yang dilakukan berkontribusi terhadap
pencapaian, baik tujuan spesifik maupun umum dari pembangunan daerah.
Dengan demikian Efektivitas digunakan untuk mengukur dan melihat kesesuaian antara
hasil (outcomes) dan dampak (impact) pembangunan terhadap tujuan yang diharapkan.
Efektivitas pembangunan dapat dilihat dari sejauhmana capaian pembangunan daerah
membaik dibandingkan dengan tahun sebelumnya.
7
(3) Pelaksanaan evaluasi serta penyusunan rekomendasi kebijakan
Pelaksanaan evaluasi melalui 6 tahap yaitu :
1) Tahap pertama evaluasi dimulai dengan mengidentifikasi permasalahan dan
tantangan utama pembangunan daerah serta mengidentifikasi tujuan pembangunan
daerah.
2) Tahap kedua adalah melengkapi dan mengoreksi Tabel Capaian.
3) Tahap ketiga yaitu melakukan penilaian berkaitan dengan relevansi dan efektivitas
pencapaian.
4) Tahap keempat adalah melakukan identifikasi berbagai alasan atau isu yang
menyebabkan capaian pembangunan daerah (tidak) relevan dan (tidak) efektif. Tim
Evaluasi Provinsi menjelaskan “How and Why” berkaitan dengan capaian
pembangunan daerah. Data yang digunakan sebagai dasar analisis adalah data
indikator outputs dalam persentase yang dipakai juga data lain yang terkait dengan
indikator hasil. Dalam hal ini juga dapat dimanfaatkan hasil penelitian yang tersedia.
5) Tahap kelima adalah menyusun rekomendasi untuk mempertajam perencanaan dan
penganggaran pembangunan periode berikutnya.
6) Tahap keenam, Bappenas melakukan perbandingan kinerja terkait hasil evaluasi di
atas berupa review dan pemetaan berdasarkan capaian tertinggi sampai terendah.
Metode yang digunakan untuk menentukan capaian 5 kelompok indikator hasil adalah
sebagai berikut:
(1) Indikator hasil (outcomes) disusun dari beberapa indikator keluaran (outputs) terpilih
yang memberikan kontribusi besar untuk pencapaian indikator hasil (outcomes).
(2) Pencapaian indikator hasil (outcomes) dihitung dari nilai rata-rata indikator outputs
dengan nilai satuan yang digunakan adalah persentase.
(3) Indikator outputs yang satuannya bukan berupa persentase, maka tidak dimasukkan
dalam rata-rata, melainkan ditampilkan tersendiri.
Indikator keluaran (outputs) Indikator hasil (outcomes)
(4) Apabila indikator hasil (outcomes) dalam satuan persentase memiliki makna negatif,
maka sebelum dirata-ratakan nilainya harus diubah atau dikonversikan terlebih dahulu
menjadi (100%) – (persentase pendukung indikator negatif).
8
(5) Sebagai contoh adalah nilai indikator pendukung persentase kemiskinan semakin
tinggi, maka kesejahteraan sosialnya semakin rendah.
(6) Pencapaian indikator hasil adalah jumlah nilai dari pendukung indikator hasil dibagi
jumlah dari pendukung indikator hasil dibagi dengan jumlah dari pendukung indikator
hasil.
Pengolahan Data
Hasil pengolahan Data dalam bentuk grafik (lihat Grafik 1.3.1). yang menunjukkan tingkat
capaian indikator hasil (outcomes) pembangunan bidang tertentu dan tingkat tren (laju
pertumbuhan) per tahun dari capaian indikator hasil (outcomes) tersebut, lihat contoh.
Contoh: Tingkat Kesejahteraan Sosial.
Indikator Tingkat Kesejahteraan Sosial didukung oleh:
1) Persentase penduduk miskin
2) Tingkat pengangguran terbuka
3) Persentase pelayanan kesejahteraan sosial bagi anak
4) Persentase pelayanan kesejahteraan sosial bagi lanjut usia
5) Persentase pelayanan dan rehabilitasi sosial
Semua pendukung komponen indikator hasil ini bermakna negatif, sehingga cara
menghitung Indikator Outcomes Kesejahteraan Sosial adalah sebagai berikut:
Indikator Hasil (outcomes) Kesejahteraan Sosial = {(100% - persentase penduduk miskin)
+ (100% - tingkat pengangguran terbuka) + (100% - persentase pelayanan kesejahteraan
sosial bagi anak) + (100% - persentase pelayanan kesejahteraan sosial bagi lanjut usia) +
(100% - persentase pelayanan dan rehabilitasi sosial} / 5
Cara Menghitung tren: Tren atau Pertumbuhan (%) = (rata-rata tahun berjalan – rata-rata
tahun sebelumnya) / rata-rata tahun sebelumnya.
9
Grafik 1.3.1. : Tingkat Kesejahteraan Sosial Nasional dan Provinsi
Sumatera Barat
91.50
92.00
92.50
93.00
93.50
94.00
94.50
95.00
95.50
2004 2005 2006 2007 2008
Cap
aian
Indi
kato
r Out
com
e
-1.00
-0.80
-0.60
-0.40
-0.20
0.00
0.20
0.40
0.60
0.80
Tren
Cap
aian
Indi
kato
r Out
com
e
Tingkat Kesejahteraan Sosial Prov Sumatera Barat (outcomes)
Tingkat Kesejahteraan Sosial Nasional (outcomes)
Tren Provinsi
Tren Nasional
Dalam mengumpulkan data dan informasi, teknik yang digunakan dapat melalui:
1. Pengumpulan Data Primer dan Pengamatan langsung
Pengamatan langsung kepada masyarakat sebagai subjek dan objek pembangunan di
daerah, diantaranya dalam bidang sosial, ekonomi, pemerintahan, politik, lingkungan
hidup dan permasalahan lainnya yang terjadi di wilayah provinsi terkait. Data primer
diperoleh melalui Focuss Group Discussion (FGD) dengan pemangku kepentingan
pembangunan daerah. Tim Evaluasi Provinsi menjadi fasilitator rapat / diskusi dalam
menggali masukan dan tanggapan peserta diskusi.
2. Pengumpulan Data Sekunder
Data dan informasi yang telah tersedia pada instansi pemerintah seperti BPS daerah,
Bappeda dan Satuan Kerja Perangkat Daerah terkait.
Hasil Analisis:
Tidak relevan : Tren daerah
lebih rendah dari nasional.
Tidak efektif: Terdapat tren
atau pertumbuhan negatif
pada tahun 2005 dan 2006..
Perlu penjelasan How dan
Why tentang Hasil Analisis
tersebut.
10
1.4. Sistematika Penulisan Laporan Bab I PENDAHULUAN
Bab II HASIL EVALUASI
2.1. TINGKAT PELAYANAN PUBLIK DAN DEMOKRASI
2.1.1. Capaian Indikator
2.1.2. Rekomendasi Kebijakan
2.2. TINGKAT KUALITAS SUMBER DAYA MANUSIA
2.2.1. Capaian Indikator
2.2.2. Rekomendasi Kebijakan
2.3. TINGKAT PEMBANGUNAN EKONOMI
2.3.1. Capaian Indikator
2.3.2. Analisis Capaian Indikator Spesifik dan Menonjol
2.3.3. Rekomendasi Kebijakan
2.4. KUALITAS PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM
2.4.1. Capaian Indikator
2.4.2. Rekomendasi Kebijakan
2.5. TINGKAT KESEJAHTERAAN SOSIAL
2.5.1. Capaian Indikator
2.5.2. Rekomendasi Kebijakan
Bab III KESIMPULAN
Lampiran
11
BAB II
HASIL EVALUASI
Berdasarkan permasalahan, tantangan serta keterbatasan yang dihadapi Provinsi
Sumatera Barat, maka ditetapkan Visi Pembangunan Daerah Provinsi Sumatera Barat
Tahun 2006-2010 yaitu mewujudkan Sumatera Barat yang Tangguh, Bersih dalam
Semangat Kebersamaan. Visi Sumatera Barat 2010 dijabarkan dalam tiga aspek
pembangunan sebagai berikut :
1) Terwujudnya masyarakat religius yang maju dan berbudaya
2) Terwujudnya pemerintahan yang menjunjung tinggi hukum, adil dan demokratis.
3) Terwujudnya perekonomian yang mampu menyediakan lapangan pekerjaan dan
kehidupan yang layak secara berkelanjutan.
Berdasarkan visi pembangunan daerah, maka ditetapkan Misi Pembangunan Daerah
Provinsi Sumatera Barat Tahun 2006-2010 yaitu :
1) Mewujudkan sumberdaya manusia yang berkualitas dan mempunyai tanggung jawab
bernegara dan berbangsa.
2) Mewujudkan pemerintahan yang baik dan bersih.
3) Mewujudkan masyarakat yang sejahtera dan berkeadilan.
Dalam upaya mewujudkan visi dan menjalankan misi pembangunan daerah tahun 2006-
2010, maka ditetapkan Strategi Pokok Pembangunan Daerah 2006-2010 sebagai berikut :
1. Pengembangan SDM yang mampu bersaing diera globalisasi. Strategi ini diarahkan
untuk menciptakan masyarakat berkualitas yang mentaati perundangan dan peraturan
serta mampu bersaing ditingkat regional dan internasional. Ketauladan, kebersamaan,
kejujuran dan penguasaan ilmu pengetahuan serta sehat jasmani dan rohani
merupakan prasyarat penting untuk dapat tercapainya tujuan pembangunan terutama
dalam penyelenggaraan pemerintah yang baik dan bersih serta peningkatan
hubungan sosial-budaya dan ekonomi dengan dunia luar.
2. Penciptaan iklim yang kondusif bagi pembangunan yang berkeadilan. Strategi ini
diarahkan untuk mewujudkan stabilitas sosial-ekonomi, kemandirian, pertumbuhan
12
ekonomi yang cepat, pemerataan hasil dan kesempatan dalam pembangunan,
jaminan dan kepastian hukum yang dapat mempercepat pelaksanaan pembangunan.
Keterbatasan potensi SDA dan kurang menguntungkannya letak Provinsi Sumatera
Barat secara geografis memerlukan iklim yang dapat mendukung masuknya arus
modal, barang dan orang / wisatawan ke Provinsi ini.
3. Pemenuhan hak dasar rakyat. Strategi ini diarahkan untuk pemenuhan hak dasar
rakyat dalam bentuk bebas dari kemiskinan atau terpenuhinya kebutuhan hidup
(sandang, pangan dan papan), bebas dari pengangguran atau tersedianya pekerjaan
yang layak, bebas dari keterbelakangan atau terpenuhinya layanan pendidikan dan
kesehatan, bebas dari ketidakadilan, penindasan, rasa takut, dan kebebasan
mengemukakan pemikiran dan pendapat. Tanpa terpenuhinya hak dasar rakyat
secara proporsional akan sulit diharapkan partisipasi masyarakat dan kebersamaan
didalam pelaksanaan pembangunan. Strategi ini juga ditujukan untuk mempersiapkan
landasan pembangunan yang kokoh yang diperlukan bagi pembangunan yang
berkelanjutan dan kehidupan generasi mendatang yang lebih baik.
Tujuan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Sumatera Barat tahun 2006-
2010 adalah untuk dapat menjawab kebutuhan daerah serta dapat meminimalkan
permasalahan yang ada terutama berkaitan dengan agenda pembangunan daerah yaitu :
(1) Meningkatkan Kualitas Kehidupan Beragama dan Sosial Budaya; (2) Membangun
Sumberdaya Manusia Berkualitas; (3) Menyelenggarakan Pemerintahan yang Baik dan
Bersih; (4) Membangun Ekonomi yang Tangguh dan Berkeadilan; (5) Mengembangkan
Infrastruktur yang Mendorong Percepatan Pembangunan; (6) Mempercepat Penurunan
Tingkat Kemiskinan dan (7) Memberdayakan Nagari sebagai Basis Pembangunan.
Dalam uraian berikut akan dijelaskan permasalahan dan tantangan utama pembangunan
daerah untuk masing-masing indikator outcomes.
A. Pelayanan Publik dan Demokrasi
Permasalahan dan tantangan utama dalam pelayanan publik di Provinsi Sumatera Barat
adalah :
1. Hambatan yuridis Pasal 36 Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah dirasa sangat menghambat penyidikan tindak pidana yang
dilakukan oleh Kepala Daerah karena baru boleh dilakukan setelah adanya
persetujuan tertulis dari Presiden atas permintaan penyidik. Apalagi proses tersebut
13
membutuhkan waktu 60 hari sejak diterimanya permohonan kemudian baru proses
penyelidikan dan penyidikan dapat dilakukan. Dengan kata lain hambatan struktural
berupa perizinan untuk memproses pejabat yang diduga melakukan tindak pidana
korupsi prosesnya sangat lama.
2. Tidak terdapat Lembaga Sosial Masyarakat (LSM) maupun Lembaga-Lembaga Non
Pemerintah (NGO) yang intens memperhatikan, memantau dan mengawal korupsi
sekaliber Indonesian Corruption Watch (ICW) karena itu kasus yang ditangani hanya
semata-mata berdasarkan temuan Kejaksaan saja.
3. Penggantian Pejabat penegak hukum terlalu cepat, sehingga program penanganan
korupsi yang sudah dicanangkannya belum jalan / tuntas, akibatnya penanganan
kasus kurang terlihat kontinuitasnya.
4. Penanganan korupsi nampaknya masih setengah hati dan terkenal dengan konsep
tebang pilih. Selain itu penegakkan hukum terutama pemberantasan korupsi masih
sarat dengan kepentingan politik.
5. Komitmen Kepala Daerah untuk memberantas korupsi hanya sebatas wacana karena
setelah diadakan MoU, penanganan berhenti sampai disana dan tidak ada follow up-
nya
6. Manajemen pengelolaan keuangan daerah belum transparan dan akuntabel sehingga
beban keuangan ke kas daerah cenderung diatur dengan Peraturan Gubernur saja,
sehingga terjadi penyelundupan norma.
7. Belum adanya Program Legislasi Daerah (Prolegda) yang akurat terukur sesuai
dengan kebutuhan rakyat.
8. Terdapatnya egoisme sektoral dinas maupun kantor dalam menyatukan pemberian
pelayanan pada satu kantor Pelayanan Satu Pintu (Penataan Organisasi Pemda).
9. Belum mempunyai birokrasi yang mengartikulasikan keinginan rakyat.
10. Peningkatan kualitas aparatur mempunyai predikat S-1 belum terprogram secara baik
dan juga belum didukung alokasi budget yang membuka kesempatan lebih luas /
banyak bagi aparatur untuk mengikuti pendidikan tambahan.
11. Upaya peningkatan strata pendidikan aparatur lebih mengutamakan peningkatan pada
aparatur yang lebih senior sehingga untuk jangka panjang tidak relevan dengan
peningkatan strata pendidikan.
14
12. Kebijakan pengangkatan pegawai honorer akan menurunkan persentase aparatur
yang sudah mencapai S-1. (Perlu kebijakan penerimaan pegawai dengan standar
yang jelas).
B. Tingkat Kualitas Sumber Daya Manusia
Persoalan pemerataan pendidikan selalu menjadi tantangan bagi pembangunan
sumberdaya manusia berkualitas. Ketimpangan terhadap akses pendidikan di Sumatera
Barat terjadi pada berbagai level baik pada level region antar daerah maupun intra daerah
kabupaten / kota, kelompok umur, pendapatan dan gender serta berbagai karakteristik
sosial-ekonomi lainnya. Rasio guru bidang studi tidak merata pada setiap sekolah
terutama yang berada di pedesaan. Kualitas dan jumlah fasilitator pendidikan non-formal
masih belum memenuhi harapan mulai dari pendidikan anak usia dini, pendidikan
kesetaraan, pendidikan kecakapan hidup, pendidikan pemberdayaan perempuan sampai
pada pendidikan keagamaan.
Sumatera Barat menghadapi tantangan untuk menyediakan tenaga kesehatan secara
merata untuk setiap daerah agar masyarakat mendapatkan layanan kesehatan dasar.
Disparitas umumnya terjadi antara daerah kota dan desa. Peningkatan derajat kesehatan
masyarakat erat kaitannya dengan ketersediaan akses masyarakat terhadap layanan
kesehatan berkualitas. Kemiskinan dan buruknya derajat kesehatan berjalan seiring,
kemiskinan menyebabkan status kesehatan seseorang rendah dan tidak mampu
membayar biaya kesehatan serta rentan terhadap serangan penyakit.
Tujuan utama program keluarga berencana adalah menurunkan tingkat kelahiran dan
mewujudkan keluarga kecil keluarga berkualitas. Pada umumnya masyarakat sudah
mempunyai persepsi yang positif terhadap pelaksanaan program KB namun kalangan
masyarakat miskin dan pedesaan masih mengalami banyak kendala dalam
mensukseskan program KB baik di tingkat Nasional maupun di daerah.
C. Tingkat Pembangunan Ekonomi
Permasalahan dan tantangan utama dalam pembangunan ekonomi di Provinsi Sumatera
Barat secara umum adalah:
1. Kesempatan kerja masih terbatas. Selain disebabkan oleh rendahnya kegiatan
perekonomian daerah, terbatasnya kesempatan kerja juga disebabkan oleh
pertumbuhan jumlah penduduk atau angkatan kerja yang kurang diimbangi oleh
15
tingkat pertumbuhan ekonomi daerah yang cukup tinggi sehingga kesejahteraan
rakyat belum dapat meningkat seperti yang diharapkan. Akibatnya masalah
kemiskinan dan pengangguran masih merupakan tantangan dimasa depan kecuali
pertumbuhan ekonomi Provinsi Sumatera Barat dapat dipacu lebih cepat sehingga
kesempatan kerja semakin luas.
2. Struktur ekonomi belum seimbang. Perekonomian Sumatera Barat masih didominasi
oleh sektor pertanian dan perekonomian akan semakin sulit berkembang karena
keterbatasan lahan dan rendahnya pemanfaatan teknologi. Disamping itu
pertumbuhan sektor pertanian dan industri masih relatif rendah dimana sebagian
besar tenaga kerja diserap oleh kedua sektor tersebut. Dengan demikian peningkatan
produktivitas sektor pertanian dan perluasan sektor industri merupakan tantangan
utama di masa depan.
3. Komposisi Ekspor didominasi produk pertanian. Akibat belum berkembangnya sektor
industri karena rendahnya investasi, terbatasnya sumberdaya alam dan sumberdaya
manusia yang mendukung pembangunan sektor industri maka produksi dan ekspor
Sumatera Barat masih didominasi oleh produk primer atau bahan setengah jadi
dengan nilai tambah relatif rendah. Keadaan ini juga mengakibatkan rendahnya
penciptaan lapangan pekerjaan baru.
4. Pemanfaatan IPTEK masih rendah. Rendahnya penggunaan IPTEK maju
mengakibatkan rendahnya produktivitas dan daya saing (harga dan kualitas) produk
yang dihasilkan sehingga pemasaran produk selalu merupakan masalah utama.
Rendahnya produktivitas sektor pertanian disebabkan belum optimalnya penggunaan
bibit unggul, pembangunan sarana-prasarana pendukung, peningkatan keterampilan
tenaga kerja dan permodalan. Akses terhadap teknologi baru dan pengembangan
kelembagaan penelitian perlu ditingkatkan di masa depan.
5. Investasi DN dan LN masih terbatas. Khusus di Sumatera Barat keterbatasan lahan,
sumberdaya alam dan tenaga kerja terampil non pertanian merupakan hambatan
utama dalam kegiatan penanaman modal, terutama disektor industri. Investasi yang
dapat dikembangkan di Sumatera Barat adalah investasi dibidang jasa dan industri
yang memanfaatkan tenaga terampil. Tantangan bagi Sumatera Barat kedepan
adalah mengembangkan bidang pendidikan yang dapat menghasilkan tenaga terampil
untuk industri jasa dan manufaktur. Dengan kata lain insentif untuk investor yang perlu
dikembangkan adalah insentif non fiskal yaitu penyediaan tenaga kerja yang terampil
dan berpendidikan tinggi.
16
6. Infrastruktur yang terbatas. Infrastruktur yang mendudukung sektor utama (pertanian)
relatif masih kurang sehingga sulit untuk memacu pertumbuhan yang tinggi. Demikian
pula infrastruktur yang mendukung sektor jasa dan industri seperti tenaga listrik,
transportasi, dan pelabuhan darat dan laut masih rendah kualitas dan kuantitasnya.
Permasalahan masa datang adalah ketersediaan dana pembangunan daerah untuk
menyediakan infrastruktur dalam jangka pendek untuk menarik investasi potensial
dimasa depan. Pusat-pusat pertumbuhan di Sumatera Barat harus dapat terhubungi
dengan transportasi jalan raya standar Asean sehingga dapat mengurangi dampak
dari bencana alam yang sering terjadi.
D. Kualitas Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup
Permasalahan dan tantangan utama dalam kualitas pengelolaan sumberdaya alam dan
lingkungan hidup di Provinsi Sumatera Barat secara umum adalah :
1. Hutan sebagai bagian sumberdaya alam yang memiliki arti dan peran dalam berbagai
aspek kehidupan sosial, pembangunan dan lingkungan hidup harus dikelola dan
dilindungi dari berbagai tindakan yang berakibat rusaknya ekosistem hutan. Sebagai
suatu sumberdaya alam, hutan kedudukannya agak berbeda dengan sumberdaya
alam lainnya karena kualitas sumberdaya hutan sangat berpengaruh pada keadaan
sumberdaya alam lainnya seperti sumberdaya air, lahan, lingkungan dan
keanekaragaman hayati (biodiversity).
2. Secara ekonomi nilai ekspor hasil hutan Provinsi Sumatera Barat cenderung menurun
karena sumberdaya kayu yang dapat diperdagangkan dari hutan produksi menurun
seiring semakin menurunnya produksi hutannya. Pengambilan kayu saat ini diduga
sudah masuk kedalam kawasan lindung bahkan kawasan cagar alam. Data dari citra
satelit yang dikeluarkan oleh Balai Rehabilitasi Lahan dan Konservasi Tanah (BRLKT)
/ BPDAS Agam Kuantan melaporkan dari 200.000 Ha kawasan hutan yang difoto
melalui citra satelit yang terdiri dari hutan lindung dan hutan produksi terbatas
memperlihatkan bahwa 22% dari hutan lindung telah ditebang selama satu dekade
belakang, sedangkan hutan produksi telah terbagi habis kepada sejumlah pemegang
HPH.
3. Penurunan hasil hutan akibat eksploitasi besar-besaran tersebut tampak jelas dari
penurunan volume hasil hutan utama (kayu bulat dan kayu olahan). Sebaliknya hasil
hutan non kayu (rotan, damar, tabu-tabu, getah pinus dan sarang burung walet)
cenderung meningkat. Berakhirnya masa eksploitasi hasil kayu juga dirasakan oleh
17
perusahaan HPH karena eksploitasi kayu dalam skala besar saat ini dinilai sudah
tidak menguntungkan dibandingkan dengan investasi yang dibutuhkan. Dengan
demikian pengelolaan sumberdaya kehutanan mencakup aspek-aspek: (i)
Menurunnya produksi kayu, (ii) Menurunnya kualitas hutan, (iii) Menurunnya kapasitas
hutan sebagai penyangga tata air regional; (iv) Bermukimnya masyarakat miskin
disekitar hutan dan (v) Lemahnya pengamanan hutan.
4. Sumberdaya perikanan belum dikelola secara baik dan cenderung berlebihan
sehingga menimbulkan kerusakan fisik habitat ekosistem pesisir dan perairan karang.
Sumberdaya kelautan Provinsi Sumatera Barat merupakan potensi yang cukup besar
untuk menggerakkan pembangunan dan peningkatan pendapatan masyarakat. Luas
potensi perairan lepas pantai menurut Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) serta pulau-
pulau di Kepulauan Mentawai sekitar 186.580 km2 dengan panjang garis pantai 375
km mulai dari Kabupaten Pasaman Barat sampai Pesisir Selatan.
5. Adanya konflik penggunaan ruang baik antar pengguna didalam provinsi maupun
diluar.
6. Terumbu karang sudah mengalami kerusakkan yang relatif berat dimana 60%
dikategorikan sebagai sangat rusak.
7. Lemahnya penegakan hukum sehingga sering muncul tindakan yang cenderung
merusak sumberdaya perikanan dan kelautan.
8. Kemiskinan masyarakat nelayan pesisir yang umumnya bermata pencaharian dari
penangkapan ikan sehingga sering melakukan kegiatan penangkapan tanpa
memperhatikan kelestarian lingkungan.
9. Ketidakpastian dan ketidakstabilan harga ikan yang menyebabkan kurang terjaminnya
penerimaan dan tingkat pendapatan.
10. Lemahnya akses sumberdaya modal dan pasar yang berakibat pada kurangnya
perkembangan usaha penangkapan dan budi daya perikanan.
11. Lemahnya kemampuan nelayan sehingga hasil tangkapan relatif rendah.
12. Teknologi penangkapan ikan yang dimiliki oleh nelayan relatif rendah sehingga
kapasitas nelayan dalam penangkapan ikan sangat terbatas sekali. Sementara itu
dengan beroperasinya kapal-kapal nelayan yang berasal dari provinsi lain atau negara
lain dengan alat tangkap yang super canggih akan merugikan petani nelayan yang
kecil. Malahan sering terjadi konflik antara nelayan lokal dengan nelayan yang berasal
di luar kawasan.
18
13. Belum memadainya sarana pasca panen berupa pengawetan ikan, sehingga akan
berpengaruh pada harga ikan apabila terjadi over produksi ikan, maka harga akan
turun.
14. Rendahnya daya saing poduk perikanan Provinsi Sumatera Barat.
15. Sumberdaya alam bersifat tidak dapat diperbaharui (non-renewable) lokasinya di
daerah pesisir dan laut.
16. Peraturan perundangan yang mengatur interaksi diantara pengguna, nilai dan harga
sumberdaya alam belum jelas.
E. Kesejahteraan Sosial
Permasalahan dan tantangan utama dalam peningkatan kesejahteraan sosial di Provinsi
Sumatera Barat secara umum adalah :
1. Struktur ekonomi Provinsi Sumatera Barat masih lemah sehingga jumlah kemiskinan
masih tinggi. Penduduk miskin yang sebagian besar termasuk kedalam kategori
kemiskinan kronis (chronic poverty) yaitu kemiskinan yang terjadi terus menerus
sehingga membutuhkan penanganan serius, terpadu secara lintas sektor dan
berkelanjutan. Selain itu, penduduk miskin yang tergolong kedalam kemiskinan
sementara (transient poverty) yang diindikasikan dengan menurunnya pendapatan
dan kesejahteraan masyarakat secara sementara. Hal ini disebabkan oleh perubahan
kondisi perekonomian, bencana alam yang kejadiannya sulit diperkirakan secara
cepat dan tepat, dan bencana sosial.
2. Masih tingginya jumlah pengangguran karena sedikitnya ketersediaan lapangan kerja.
3. Masih adanya masalah-masalah sosial seperti keterlantaran, kecacatan,
ketunasosialan, kerawanan sosial ekonomi, penyimpangan perilaku, keterpencilan,
eksploitasi dan diskriminasi serta kerentanan sosial warga masyarakat yang semua ini
berpotensi menimbulkan meningkatnya penyandang masalah kesejahteraan sosial
(PMKS)
4. Meningkatnya jumlah anak terlantar, anak jalanan, balita terlantar dan anak nakal. Hal
ini bisa disebabkan meningkatnya populasi anak yang menghadapi perlakuan salah
yaitu anak-anak yang menjadi korban kekerasan atau dieksploitasi dan terpaksa
bekerja ditempat-tempat yang memiliki resiko tinggi.
5. Masalah kecacatan dirasakan semakin berat jika terkait dengan masalah sosial
lainnya seperti kemiskinan. Kondisi seperti ini menyebabkan hak penyandang cacat
19
untuk tumbuh kembang dan berkreasi tidak dapat terpenuhi. Belum cukupnya sarana
dan prasarana pelayanan sosial dan kesehatan terutama aksesibilitas terhadap
pelayanan umum yang dapat mempermudah kehidupan penyandang cacat dan
penyediaan lapangan kerja bagi mereka.
6. Meningkatnya jumlah tuna sosial seperti gelandangan, pengemis, tuna susila, bekas
narapidana.
7. Masih kurangnya jumlah tenaga lapangan dibidang kesejahteraan sosial yang terdidik,
terlatih dan berkemampuan. Hal ini disebabkan oleh terbatasnya jangkauan dan
kemampuan pelaku pembangunan kesejahteraan sosial dari unsur masyarakat
sebagai sumber dan potensi kesejahteraan sosial, serta penataan sistem pendataan,
pelaporan dan jalur koordinasi ditingkat Nasional dan daerah. Permasalahan serius
yang harus ditangani adalah masih lemahnya koordinasi kerja antar instansi di tingkat
Nasional dan daerah, dan belum tertatanya sistem dan standar pelayanan minimal
dibidang kesejahteraan sosial.
8. Perlindungan sosial yang ada saat ini seperti sistem jaminan sosial, masih belum
banyak memberikan manfaat yang berarti bagi masyarakat. Penyelenggaraan jaminan
sosial telah banyak dilaksanakan baik oleh lembaga pemerintah maupun swasta.
Undang-undang No. 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional belum
dapat dilaksanakan sesuai dengan harapan.
9. Bantuan sosial yang diperuntukkan bagi penduduk miskin juga masih terbatas yaitu
antara lain pada bidang pendidikan dan kesehatan. Hal ini disebabkan oleh
pembiayaan untuk perlindungan sosial yang saat ini masih terbatas pada pembiayaan
bantuan sosial yang bersumber dari APBN dan APBD.
2.1. TINGKAT PELAYANAN PUBLIK DAN DEMOKRASI
2.1.1. Capaian Indikator
Indikator output yang digunakan untuk melihat perkembangan indikator hasil (outcomes)
dari Tingkat Pelayanan Publik dan Demokrasi dibagi atas dua kelompok indikator
pendukung yaitu: a) Pelayanan Publik dan b) Demokrasi.
A. Pelayanan Publik
Indikator pendukung dalam menentukan keberhasilan pelayanan publik yang digunakan
adalah :
20
1) Persentase jumlah kasus korupsi yang ditangani dibanding dengan kasus korupsi
yang dilaporkan.
2) Persentase aparatur yang berijazah sarjana satu (S-1).
3) Persentase Kabupaten / Kota yang memiliki Peraturan Daerah Pelayanan 1 (satu)
atap.
Grafik 2.1.A : Tingkat Pelayanan Publik Nasional dan Provinsi Sumatera Barat
0
10
20
30
40
50
60
70
2004 2005 2006 2007 2008
Cap
aian
Indi
kato
r Out
com
e
0
5
10
15
20
25
30
35
40
45
Tren
Cap
aian
Indi
kato
r Out
com
e
Tingkat Pelayanan Publik Provinsi Sumatera Barat (outcomes)
Tingkat Pelayanan Publik Nasional (outcomes)
Tren Provinsi
Tren Nasional
Analisis Relevansi
Berdasarkan Grafik 2.1.A. terlihat bahwa tren capaian pembangunan pelayanan publik
Provinsi Sumatera Barat searah dan relatif lebih baik (kecuali pada tahun 2006) dari
capaian pembangunan Nasional sehingga dapat dikatakan relevan.
Faktor penyebab lebih baiknya peningkatan pelayanan publik di Provinsi Sumatera Barat
adalah :
INDIKATOR PENDUKUNG 1. Persentase jumlah kasus korupsi yang ditangani dibanding dengan kasus korupasi yang dilaporkan. 2. Persentase aparatur yang berijazah sarjana satu (S-1). 3. Persentase Kabupaten / Kota yang memiliki Peraturan Daerah Pelayanan 1 (satu) atap
21
1. Dengan adanya agenda pemberantasan korupsi dan dibentuknya KPK secara
bertahap telah membawa pengaruh pada penanganan korupsi di daerah sehingga
implementasinya pada tahun 2007 membawa peningkatan penanganan korupsi.
2. Jumlah Kabupaten / Kota yang memiliki Peraturan Daerah Pelayanan satu atap
setiap tahun meningkat yang sebelumnya telah dirintis oleh Kabupaten Solok dan
Kabupaten Tanah Datar. Dengan dibentuknya Organisasi Tata Kerja Pemerintahan
Daerah berdasarkan PP 41 tahun 2008 maka daerah semakin terpicu membuat
aturan dan membentuk kantor pelayanan satu atap (baca satu pintu, untuk
membedakan dengan SAMSAT).
Analisis Efektivitas
Capaian pembangunan Provinsi Sumatera Barat menunjukkan peningkatan setiap
tahunnya, sehingga dapat dikatakan efektif. Keberhasilan ini disebabkan oleh:
1. Keberhasilan pembangunan dalam bidang Pelayanan Publik sangat ditentukan oleh
kualitas SDM terutama dalam bidang pendidikan. Jika dibandingkan persentase
pegawai yang telah mencapai pendidikan S-1 di Provinsi Sumatera Barat dengan
pegawai secara Nasional, kondisi pegawai yang telah berpendidikan S-1 di Provinsi
Sumatera Barat jauh lebih banyak dan marjinnya mencapai 5%.
2. Upaya pembangunan pelayanan publik diprioritaskan pada beberapa jenis pelayanan
publik dan telah menggunakan teknologi informasi / elektronik, seperti tender
pengadaan barang publik yang dikenal dengan service excellence. Partisipasi publik
dalam upaya peningkatan kualitas pelayanan karena telah diberi kesempatan
melakukan kontrol terhadap pemerintah. Masyarakat dapat mempertanyakan segala
persoalan tentang pelayanan yang dilakukan oleh pemerintah melalui media massa
dan pemerintah menjawab atau memberikan penjelasan.
3. Salah satu indikator keberhasilan dalam bidang pelayanan publik adalah terciptanya
pelayanan yang cepat, mudah dan tidak berbelit. Hal itu dapat diwujudkan melalui
pemberian Pelayanan 1 (satu) Pintu. Pada tahun 2004 terdapat 7 kabupaten dan kota
yang memiliki sistem pelayanan 1 (satu) pintu meskipun belum diatur dalam Peraturan
Daerah. Untuk tahun selanjutnya tidak ada data yang di up date. Namun beberapa
kabupaten telah mengikuti pemberian pelayanan 1 (satu) pintu seperti Kabupaten
Agam, Kota Solok, Kota Payakumbuh, Kota Padang, Kota Padang Panjang.
22
B. Demokrasi
Indikator pendukung dalam menentukan keberhasilan pelayanan demokrasi yang
digunakan adalah :
1) Tingkat partisipasi politik masyarakat dalam Pemilihan Kepala Daerah Provinsi.
2) Tingkat partisipasi politik masyarakat dalam Pemilihan Legislatif.
3) Tingkat partisipasi politik masyarakat dalam Pemilihan Presiden.
Grafik 2.1.B : Tingkat Pembangunan Demokrasi Nasional dan Provinsi
Sumatera Barat
56.0058.0060.0062.0064.0066.0068.0070.0072.0074.0076.0078.00
2004 2005 2008
Cap
aian
Indi
kato
r Out
com
e
-14.00
-12.00
-10.00
-8.00
-6.00
-4.00
-2.00
0.00Tr
en C
apai
an In
dika
tor
Out
com
e
Tingkat Demokrasi Prov Sumatera Barat (outcomes)
Tingkat Demokrasi Nasional (outcomes)
Tren Provinsi
Tren Nasional
Analisis Relevansi
Sehubungan dengan tidak dilakukannya pemilihan legislatif dan Kepala Daerah /
Gubernur pada tahun 2006 dan 2007 maka data tidak lengkap. Berdasarkan Grafik 2.1.B
terlihat bahwa tren capaian pembangunan Provinsi Sumatera Barat dan Nasional
menunjukkan kecendrungan menurun dimana capaian pembangunan Provinsi Sumatera
Barat tidak lebih baik dari capaian Nasional karena penurunan capaian di Sumatera Barat
INDIKATOR PENDUKUNG 1. Tingkat partisipasi politik
masyarakat dalam Pemilihan Kepala Daerah Provinsi. 2. Tingkat partisipasi politik
masyarakat dalam Pemilihan Legislatif. 3. Tingkat partisipasi politik
masyarakat dalam Pemilihan Presiden.
23
lebih cepat. Dengan demikian capaian pembangunan demokrasi di Provinsi Sumatera
Barat tidak relevan. Keadaan ini disebabkan oleh:
(1) Timbulnya sikap apatis disebagian warga negara karena mereka beranggapan
keikutsertaan mereka memilih tidak akan memberi manfaat secara individu maupun
secara kolektif bagi mereka.
(2) Pemilihan yang dilakukan mengingkari ikrar bersama Partai Politik dan Calon
Legislatif untuk melaksanakan pemilihan yang dikenal dengan konsep ”Pemilu
Badunsanak”, artinya hubungan antara parpol peserta pemilu dan Calon Legislatif
ibarat hubungan adik kakak, hubungan saudara, bukan hubungan kompetitif yang
memacu permusuhan. Hal ini disebabkan karena karakteristik mayoritas pemilih di
Provinsi Sumatera Barat warga Minang yang dianggap lebih egaliter dan
demokratis.
(3) Selain itu faktor pendidikan masyarakat yang semakin meningkat, sehingga
mempunyai korelasi signifikan dengan kesadaran politik warga.
(4) Faktor lain adalah kelemahan data kependudukan / daftar calon pemilih tetap
walaupun dapat teratasi dengan Keputusan Mahkamah Konstitusi yang
membolehkan warga memberikan hak suaranya dengan menggunakan Kartu
Penduduk (KTP).
Analisis Efektivitas
Capaian pembangunan bidang demokrasi Provinsi Sumatera Barat tidak efektif karena
tingkat partisipasi masyarakat menurun. Faktor penyebab kurang efektifnya capaian
pembangunan demokrasi adalah :
1. Timbulnya sikap apatis disebagian warga negara karena mereka beranggapan
keikutsertaan mereka memilih dirasakan akan memberi manfaat secara pribadi bagi
mereka.
2. Seringnya pelaksanaan pemilihan dalam waktu hampir bersamaan (terutama
Pemilihan Kepala Daerah) akhirnya berujung keributan suasana kacau, sehingga
pemilihan tidak menarik untuk mereka ikuti.
3. Seringkalinya agenda pemilihan yang diikuti warga, sehingga membuat warga bosan
dengan agenda pemilihan. Dalam 5 tahun dapat berlangsung sebanyak 5 kali
(Pemilihan Bupati / Walikota, Pemilihan Gubernur, Pemilihan Legislatif, Pemilihan
Presiden).
24
4. Buruknya pengelolaan data kependudukan, sehingga banyak warga yang tidak
terdaftar, sehingga tidak dapat menyampaikan partisipasi politiknya dalam pemilihan.
2.1.2. Rekomendasi Kebijakan
A. Pelayanan Publik
1. Mencabut mekanisme prosedural perizinan pemeriksaan bagi pejabat politik yang
diduga / sangka melakukan tindak pidana korupsi (peraturan yang lebih demokratis)
dengan menerapkan asas equlity before the law.
2. Menghindari mutasi pejabat penegak hukum yang terkesan mendadak dan harus ada
kesinambungan kinerja.
3. Membentuk Perwakilan KPK di Tingkat Provinsi.
4. Meningkatkan pengelolaan keuangan daerah agar lebih transparan dan akuntabel,
dimana selama ini beban keuangan ke kas daerah cenderung diatur dengan
Peraturan Gubernur saja sehingga terjadi penyelundupan norma.
5. Meningkatkan partisipasi publik dan kontrol publik dalam setiap tahapan dari siklus
pengelolaan keuangan daerah.
6. Membentuk Program Legislasi Daerah (Prolegda) yang akurat terukur sesuai dengan
kebutuhan dan aspirasi rakyat.
7. Menghilangkan egoisme sektoral antar dinas dan kantor untuk menyatukan pemberian
pelayanan pada satu kantor (Penataan Organisasi Pemda).
B. Demokrasi
1. Melaksanakan pemilihan Kepala Daerah yang serentak dalam jangka pendek untuk
mengurangi kejenuhan pemilih serta dapat melakukan efisiensi biaya.
2. Memberi interval waktu Pemilihan Legislatif dengan Pemilihan Presiden supaya
pelaksanaannya jangan dalam 1 (satu) tahun anggaran. Selain mengakibatkan
pemilih / warga dapat bosan, seringnya pemilihan akan berakibat kinerja pemerintah
akan terganggu.
3. Membenahi / meningkatkan pengelolaan data kependudukan sehingga akurasi data
kependudukan dapat dipercaya, dengan data tersebut akan disusun / menjadi dasar
penyusunan daftar pemilih sementara dan daftar pemilih tetap.
25
2.2. TINGKAT KUALITAS SUMBERDAYA MANUSIA
2.2.1. Capaian Indikator
Untuk mengukur capaian pembangunan sumberdaya manusia digunakan 11 indikator
outputs yang mencakup bidang pendidikan (Angka Partisipasi Murni SD/MI, Angka Putus
Sekolah SD, Angka Putus Sekolah SMP/MTs, Angka Putus Sekolah Menengah, Angka
Melek Huruf 15 Tahun Ke Atas, Persentase Guru Yang Layak Mengajar SMP/MTs,
Persentase Guru Yang Layak Mengajar Sekolah Menengah), bidang kesehatan
(Prevalensi gizi kurang, Persentase tenaga kesehatan per penduduk) dan bidang
Keluarga Berencana (Persentase penduduk ber-KB, Persentase laju pertumbuhan
penduduk). Semua indikator diatas akan digunakan untuk menilai keberhasilan program
peningkatan kualitas SDM di daerah Sumatera Barat selama periode 2004-2008.
Grafik 2.2. : Tingkat Kualitas Sumber Daya Manusia Nasional dan Provinsi
Sumatera Barat
75.00
76.00
77.00
78.00
79.00
80.00
81.00
82.00
83.00
84.00
85.00
2004 2005 2006 2007 2008
Cap
aian
Indi
kato
r Out
com
e
-0.4
-0.2
0
0.2
0.4
0.6
0.8
1
1.2
1.4
1.6
Tren
Cap
aian
Indi
kato
r Out
com
e
Tingkat Kualitas SDM Prov Sumatera Barat (outcomes)
Tingkat Kualitas SDM Nasional (outcomes)
Tren Provinsi
Tren Nasional
Analisis Relevansi
Grafik diatas menunjukkan bahwa tren capaian indikator hasil (outcomes) pembangunan
SDM Provinsi Sumatera Barat menunjukkan kecenderungan penurunan untuk periode
Indikator Pendukung
1. Angka Partisipasi Murni SD/MI.
2. Angka Putus Sekolah SD.
3. Angka Putus Sekolah SMP/MTs.
4. Angka Putus Sekolah Menengah
5. Angka Melek Aksara 15 tahun Keatas
6. Persentase Jumlah Guru Yang Layak Mengajar SMP/MTs
7. Persentase Jumlah Guru Yang Layak Mengajar Sekolah Menengah
8. Prevalensi Gizi kurang (%)
9. Persentase tenaga kesehatan per penduduk
10. Persentase penduduk ber-KB
11. Persentase laju pertumbuhan penduduk
26
2004-2008. Walaupun tren capaian hasil pembangunan SDM cenderung menurun, grafik
diatas menunjukkan bahwa capaian indikator hasil pembangunan SDM Sumbar selalu
jauh lebih tinggi dari capaian pembangunan Nasional untuk tahun 2005, 2006 dan 2008,
kecuali pada tahun 2007 terlihat bahwa capaian pembangunan SDM Nasional sedikit
lebih tinggi dari capaian pembangunan SDM Sumatera Barat. Secara umum dapat
disimpulkan bahwa capaian pembangunan SDM di Provinsi Sumatera Barat dapat
dikatakan sudah relevan karena berada jauh diatas tren Nasional. Faktor-faktor yang bisa
menjelaskan bahwa tren indikator hasil pembangunan SDM Sumbar sudah relevan
dengan target pembangunan Nasional, jika dianalisis berdasarkan masing-masing
indikator yang digunakan adalah sebagai berikut:
1. Peningkatan APM berkontribusi terhadap pencapaian indikator hasil pembangunan
SDM. Beberapa terobosan kebijakan sudah dilakukan untuk meningkatkan akses dan
perluasan kesempatan belajar bagi semua anak usia pendidikan dasar dengan target
utama daerah dan masyarakat miskin, terpencil dan terisolasi. Program Nasional
Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) cukup membantu dalam peningkatan akses
terhadap pendidikan dasar.
2. Rata-rata nilai akhir SMP/MTs sebagai salah satu indikator peningkatan kualitas
pendidikan menunjukkan perkembangan berarti. Rata-rata nilai akhir SMP/MTs pada
tahun 2004 adalah 5,42 sementara tahun 2008 menjadi 6,56. Rata-rata nilai akhir
SMA/SMK/MA memperlihatkan peningkatan dari 4,25 tahun 2004 menjadi 6,69 pada
tahun 2008.
3. Presentase angka putus sekolah SD terlihat cukup tinggi pada tahun 2005, yaitu
7,58%, dan ini mengalami penurunan drastis pada tahun 2007 menjadi 2,59, dan 1,81
tahun 2008. Sementara angka putus sekolah SMP/MTs sebaliknya mencatat
peningkatan cukup signifikan dari 1,55% (2004) menjadi 3,48% (2007). Pada tingkat
SMU, angka putus sekolah terlihat stagnan sekitar 3,5%, walapun terlihat bahwa
angka ini pernah mencatat nilai paling kecil pada tahun 2005 (2,64%). Tapi
kecenderungan angka putus sekolah SD dan Menengah mengalami penurunan. Ini
memerlukan terobosan kebijakan untuk menyelesaikan agenda pendidikan dasar 9
tahun.
4. Presentase guru yang layak mengajar pada tingkat pendidikan SMP/MTs sebesar
79,03% tahun 2004, menjadi 86,14% tahun 2007. Sementara itu pada tingkat SMU,
presentase guru yang layak mengajar lebih tinggi secara rata-rata, yaitu sekitar 86%
pada tahun 2008.
27
5. Kualitas pembangunan manusia diukur oleh Indeks Pembangunan Manusia (IPM).
IPM Sumatera Barat menunjukkan peningkatan dari 62,34 tahun 2004 menjadi 67,00
pada tahun 2008. Walaupun angka ini masih berada dibawah IPM Nasional (70,5),
laju pertumbuhan IPM Sumatera Barat menunjukkan peningkatan yang lebih tinggi
dari laju pertumbuhan IPM Nasional. Ini menggambarkan upaya serius yang sudah
dilakukan Sumbar untuk meningkatkan IPM dalam 4 tahun terakhir. Peningkatan IPM
sebagian kecil bisa menjelaskan tingkat relevansi pembangunan SDM Sumatera Barat
yang jauh lebih tinggi dari capaian Nasional.
Analisis Efektivitas
Grafik diatas menunjukkan perkembangan capaian indikator pembangunan kualitas SDM
Provinsi Sumatera Barat. Capaian indikator pembangunan SDM Sumatera Barat
menunjukkan perbaikan dari tahun ke tahun sama halnya dengan perbaikan yang dialami
secara Nasional. Indikator ini menunjukkan bahwa pembangunan pendidikan Sumatera
Barat sudah efektif mencapai tujuan yang ditetapkan dalam strategi pembangunan yang
tercantum dalam RPJM. Pada sektor pendidikan misalnya, efektifitas pembangunan
sektor pendidikan diperlihatkan pula perbaikan disemua indikator pendukung seperti
Angka Partisipasi Murni SD/MI, Angka Putus Sekolah SD, Angka Putus Sekolah
Menengah, Angka melek aksara 15 tahun keatas, Persentase jumlah guru yang layak
mengajar SMP/MTs. Secara lebih spesifik, efektifnya pembangunan sektor pendidikan
Sumatera Barat dapat didukung oleh fakta berikut:
1. Umur harapan hidup di Provinsi Sumatera Barat sudah menunjukkan perbaikan dari
tahun ke tahun. Umur harapan hidup mengalami peningkatan dari 68,2 pada tahun
2005 menjadi 68,80 pada tahun 2007. Meningkatnya angka harapan hidup merupakan
refleksi keberhasilan pembangunan bidang kesehatan dan kemajuan derajat
kesehatan masyarakat.
2. Angka kematian bayi di Sumatera Barat telah mengalami perbaikan dari tahun 2004
ke 2008. Angka kematian bayi per 1.000 kelahiran hidup menunjukkan pengurangan
secara konsisten: 42,25 per 1.000 kelahiran tahun 2004; dan 36,5 tahun 2005. Hasil
riset menunjukkan tiga faktor utama penyebab kematian bayi diantaranya adalah
penyakit ISPA, diare dan kekurangan gizi. Jenis penyakit lainnya yang juga relevan
berkontribusi adalah berat bayi rendah, tetanus dan kekurangan zat gizi mikro. Faktor-
faktor ini semakin dominan terlihat pada kelompok rumah tangga miskin serta
kelompok penduduk yang jauh dari layanan kesehatan dasar. Jadi, persoalan
penurunan angka kematian bayi bervariasi sesuai dengan faktor yang
28
menyebabkannya. Faktor lingkungan juga dominan menyebabkan masih tingginya
angka kematian bayi. Juga, pendidikan yang rendah disertai dengan kekurangan
akses terhadap pelayanan yang diperoleh khususnya ibu, baik semasa hamil, maupun
setelah melahirkan juga bisa menimbulkan tingginya angka kematian bayi.
3. Sumatera Barat cukup konsisten dalam mengurangi angka kematian ibu. Angka
kematian ibu per 100.000 kelahiran hidup menunjukkan penurunan dari 240 tahun
2005 menjadi 229 pada tahun 2007. Penurunan angka kematian ibu menunjukkan
membaiknya pelayanan pre- dan post-natal untuk ibu hamil dan melahirkan. Salah
satu upaya yang perlu dilakukan untuk mengurangi AKI adalah dengan meningkatkan
pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan yang saat ini baru mencapai 82 persen
(Susenas 2007). Mengingat outcomes pembangunan adalah fungsi dari berbagai
faktor, upaya penurunan AKI juga perlu didukung dengan perbaikan keadaan gizi ibu
hamil, pendidikan ibu, peran perempuan, penanggulangan kemiskinan, serta
peningkatan sarana prasarana pelayanan kesehatan, diantaranya ketersediaan
kendaraan dan mutu sarana transportasi.
4. Perkembangan perbaikan status gizi balita di Sumatera Barat bila diukur dari berat
badan menurut umur untuk kelompok usia 0-59 bulan memperlihatkan perkembangan
yang fluktuatif. Pada tahun 2007, prevalensi gizi kurang menurun signifikan menjadi
13,50.
5. Hasil pembangunan keluarga berencana di Sumatera Barat terlihat sangat relevan
selama periode 2004-2008. Tren tingkat kualitas pembangunan KB di Sumatera Barat
selalu lebih baik jika dibandingkan dengan tingkat kualitas pembangunan KB
Nasional. Jika pada tahun 2004, cakupan KB adalah sekitar 78%, maka pada tahun
2008 angka ini meningkat tajam hampir mencapai 90%. Keberhasilan Sumatera Barat
dalam meningkatkan persentase cakupan penduduk ber-KB mempunyai asosiasi
dengan tingkat penyuluhan dan peningkatan kesadaran masyarakat untuk
merencanakan kelahiran.
2.2.2. Rekomendasi Kebijakan
1. Meningkatkan capaian pemerataan pendidikan. Peningkatan pemerataan pendidikan
diprioritaskan pada tiga daerah yang memiliki resiko pencapaian pemerataan
pendidikan rendah. Daerah-daerah yang dianggap penting didisain pelayanan dan
pemodelan penyelenggaraan pendidikan adalah (i) Daerah terpencil yang hanya
akses pada fasilitas pendidikan dasar dan sekolah satu atap, (ii) Daerah kawasan
29
perkebunan, (iii) Daerah kawasan tepi pantai. Selain dari ketiga daerah juga disertai
dengan anak anak yang berasal dari keluarga miskin. Oleh karenanya dalam
kerangka pencapaian pendidikan untuk semua, maka prioritas pendidikan adalah
untuk mencapai pemerataan pendidikan pada jenjang pendidikan dasar, sekaligus
untuk menurunkan tingkat kebodohan dan keterampilan kelompok masyarakat, yang
relatif miskin.
2. Memantapkan ketersediaan alat pembelajaran, mutu guru, dan aksesibilitas anak didik
terhadap pendidikan umum dan agama. Sekolah yang menjadi prioritas adalah
dimana sekolah tersebut memiliki mutu yang rendah, lebih khusus sekolah yang jauh
dari fasilitas publik, dan sekolah yang diselenggarakan oleh swasta, baik sekolah
umum maupun sekolah yang bernaung dibawah yayasan keagamaan.
3. Melanjutkan program beasiswa untuk keluarga miskin. Seluruh keluarga miskin mesti
dibantu melalui program pemberian beasiswa baik yang diberikan melalui dana APBD
maupun yang dikembangkan melalui partisipasi masyarakat.
4. Mengembangkan bahan bacaan minimal. Di seluruh sekolah dasar dan sekolah
menengah pertama, buku ajar tersedia lengkap untuk mata ajar Sains, Bahasa
Indonesia dan Matematika. Oleh karena jumlah kelas berada semenjak pendidikan
dasar sampai kelas SMP, maka diperlukan 3 jenis buku pada masing masing jenjang
kelas untuk seluruh jenjang pendidikan, setidaknya Matematika, Sains dan Bahasa
Indonesia.
5. Mengatasi buta aksara dan kebodohan. Tahun 2012 sekitar 2% saja dari kelompok
usia penduduk berusia 15 tahun keatas yang tidak dapat baca tulis. Program strategis
untuk mengatasi hal ini ada dua. Pertama adalah melanjutkan Program Paket A dan
Paket B. Kedua adalah menyelenggarakan keterampilan kerja sekitar 25% dari
mereka yang buta huruf.
6. Mengalokasikan jumlah anggaran yang lebih besar untuk pendidikan sekolah
menengah pertama dengan syarat efisiensi pengeluaran pemerintah yang lebih pro-
poor seperti penajaman bantuan beasiswa bagi siswa yang berasal dari kelompok
keluarga kurang beruntung. Rekomendasi ini dilatarbelakangi oleh tingginya angka
lulusan SD yang tidak melanjutkan (transisi) pendidikan ke level SMP/SMA
merupakan fenomena yang meruyak pasca krisis ekonomi. Jumlah siswa SMP yang
tidak melanjutkan ke SMA lebih tinggi pada saat ini, dibanding pada masa lampau.
Problem akses pendidikan memang lebih signifikan untuk tingkat pendidikan SMP.
Pada jenjang ini masih terdapat perbedaan jumlah partisipasi yang sangat besar
30
diantara kelompok masyarakat dengan jumlah pendapatan yang berbeda, sesuatu
yang tidak menjadi masalah pada level SD. Seorang anak yang berasal dari keluarga
miskin mempunyai kemungkinan 20 persen lebih rendah untuk melanjutkan ke tingkat
pendidikan SMP dibandingkan anak yang tidak berasal dari keluarga miskin. Dalam
hal ini kebijakan pendidikan pemerintah pada level pendidikan menengah dan tinggi
memang cenderung pro-rich (World Bank, 2006).
7. Mengkaitkan pembangunan pendidikan kedepan dengan kerusakan infrastruktur
pendidikan trauma yang dialami oleh guru sekolah dan murid akibat gempa bumi 30
September 2009. Pembangunan kembali infrastruktur dan fasilitas sekolah mesti
diikuti dengan trauma healing guru dan murid sekolah. Bangunan sekolah yang masih
dipakai untuk proses belajar mengajar, padahal secara fisik kelihatan mengalami
kerusakan berat, menengah dan ringan perlu dilakukan pengujian struktur bangunan
secara teknis untuk memastikan bahwa sekolah yang rusak tersebut masih aman
untuk digunakan.
8. Mengikutsertakan partisipasi masyarakat dalam proses rehabilitasi sekolah sangat
diperlukan. Banyak studi yang menunjukkan bahwa infrastruktur yang dibangun atas
partisipasi masyarakat lebih kecil biayanya pada kualitas yang memadai,
dibandingkan infrastruktur yang diperoleh melalui proses tender pengadaan barang
dan jasa.
9. Merevitalisasi pelayanan kesehatan dasar seperti penyegaran kembali pelaksanaan
program di Puskesmas dan Posyandu. Kegiatan Posyandu selama ini seperti sudah
tidak ada, padahal cukup efektif dalam mengurangi gizi buruk, angka kematian bayi
dan ibu.
10. Meningkatkan kampanye tentang hidup sehat, perilaku nutrisi dan perilaku kebersihan
serta sanitasi lingkungan dengan meningkatkan koordinasi lintas sektoral, LSM, dan
organisasi masyarakat.
11. Memperbaiki akses terhadap air bersih penduduk tepi sungai, pantai dan kelompok
miskin.
12. Meningkatkan pemanfaatan pelayanan kesehatan oleh kelompok masyarakat miskin
dan terisolir dengan terobosan program dan skim pembiayaan kesehatan pada
kelompok miskin.
13. Penyediaan asuransi kesehatan terutama micro insurance juga sangat diperlukan bagi
masyarakat untuk jangka menengah dan panjang untuk mengurangi dampak yang
diakibatkan oleh shock. Peningkatan cakupan pelayanan kesehatan bagi penduduk
31
miskin dan kurang mampu melalui inovasi program jaminan pelayanan kesehatan bagi
masyarakat miskin. Askeskin perlu dilanjutkan dan efektivitasnya perlu ditingkatkan.
Anggaran daerah agar lebih pro miskin (pro-poor budgeting).
14. Rekonstruksi bangunan rumah sakit dan fasilitas kesehatan (sebagaimana lainnya)
harus mengikuti standar bangunan yang tahan gempa. Rumah sakit harusnya menjadi
bangunan yang tetap bertahan dari goncangan gempa karena akan menjadi tempat
penyelamatan korban bencana.
15. Kondisi Pasca Gempa Bumi 30 September 2009 diperkirakan akan menganggu
kinerja bidang kesehatan selama beberapa tahun kedepan. Total kerusakan dan
kerugian dibidang kesehatan sebagai akibat gempa bumi 30 September 2009
mencapai angka Rp. 611 miliar. Kerusakan pada infrastruktur kesehatan akan
mempengaruhi penyediaan layanan dasar kesehatan kepada sekitar 25% penduduk
Sumatera Barat. Dalam jangka menengah dan panjang intervensi pemerintah sangat
diperlukan disamping untuk emergency relief. Kerusakan bangunan dan peralatan
medis terjadi pada 8 daerah kabupaten dan kota sehingga dapat menurunkan kualitas
dan kapasitas pelayanan kesehatan bagi masyarakat yang memerlukannya. Upaya
pemulihan pelayanan kesehatan masyarakat dan meningkatkan kembali kinerja
pembangunan bidang kesehatan ini akan memerlukan dana dalam jumlah besar dan
waktu yang relatif panjang.
16. Peningkatan akses dan kualitas pelayanan KB dan kesehatan reproduksi bagi
keluarga miskin. Menurunkan tingkat kelahiran dengan cara meningkatkan pelayanan
KB kepada keluarga miskin. Untuk itu perlu dilakukan revitalisasi organisasi dan
kelembagaan KB dengan mengikutsertakan masyarakat seperti halnya telah dilakukan
dengan baik di zaman Orde Baru.
17. Meningkatkan advokasi, komunikasi dan pendidikan masyarakat dalam rangka
meningkatkan partisipasi dalam program KB. Kegiatan ini perlu didukung dengan
penyediaan alat, obat dan pelayanan KB terutama bagi target akseptor pada keluarga
miskin dan masyarakat pedesaan.
18. Memberdayakan petugas lapangan dengan cara meningkatkan pemahaman tentang
program KB, memberikan keterampilan teknis KB dan menggunakan komunikasi yang
efektif dan disesuaikan dengan target akseptor.
32
2.3. TINGKAT PEMBANGUNAN EKONOMI
2.3.1. Capaian Indikator
Indikator output yang digunakan untuk melihat perkembangan indikator hasil (outcomes)
dari tingkat pembangunan ekonomi adalah:
1) Laju pertumbuhan ekonomi (%)
2) Persentase ekspor terhadap PDRB
3) Persentase output manufaktur terhadap PDRB
4) Persentase output UMKM terhadap PDRB
5) Laju inflasi (%)
6) Persentase pertumbuhan realisasi PMA (Penanaman Modal Asing)
7) Persentase pertumbuhan realisasi PMDN (Penanaman Modal Dalam Negeri).
Dari 7 indikator ini hanya tingkat inflasi yang dikonversikan atau dikurangi dari 100
sebelum dihitung rata-rata dari indikator tersebut. Hasil analisis data indikator pendukung
selama periode 2004-2008 dapat dilihat pada Grafik 2.3.
Analisis Relevansi
Dari Grafik 2.3. terlihat bahwa capaian pembangunan Provinsi Sumatera Barat dapat
dikatakan tidak relevan karena tren capaian pembangunan Sumatera Barat tidak sejalan
dan jauh lebih rendah dari capaian pembangunan Nasional walaupun pada tahun 2006
capaian Provinsi Sumatera Barat lebih baik. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor:
1. Struktur ekonomi Sumatera Barat yang didominasi oleh sektor pertanian demikian
pula komoditi ekspornya yang didominasi komoditi primer sehingga persentase
output manufaktur terhadap PDRB sangat rendah dibandingkan dengan Nasional.
2. Struktur ekonomi demikian juga dapat dilihat dari output UKM. Peningkatan
persentase output UKM terhadap PDRB yaitu dari 25,43% pada tahun 2004
menjadi 32,47% (2007) dan diperkirakan 31% pada tahun 2008. Sedangkan
peranan output UMKM tingkat Nasional cenderung menurun selama periode yang
sama yaitu dari 55,40% (2004) menjadi 52,70% (2008). Kondisi ini menunjukkan
perekonomian Provinsi Sumatera Barat masih didominasi UKM dan belum terkait
dengan permintaan luar negeri sehingga pengembangan ekonomi belum bisa
dipacu lebih cepat.
33
Grafik 2.3. : Tingkat Pembangunan Ekonomi Nasional dan Provinsi
Sumatera Barat
0.00
10.00
20.00
30.00
40.00
50.00
60.00
2004 2005 2006 2007 2008
Cap
aian
Indi
kato
r Out
com
e
-100.00
-50.00
0.00
50.00
100.00
150.00
200.00
Tren
Cap
aian
Indi
kato
r Out
com
eTingkat Pembangunan Ekonomi Prov Sumatera Barat (outcomes)
Tingkat Pembangunan Ekonomi Nasional (outcomes)
Tren Provinsi
Tren Nasional
3. Struktur ekonomi juga mempengaruhi arus perdagangan Sumatera Barat
sehingga persentase ekspor terhadap PDRB lebih rendah dari Nasional. Dengan
kata lain Sumbar belum dapat meningkatkan nilai tambah yang dapat dinikmati
oleh rakyat Sumbar sehingga pendapatan per kapita Provinsi Sumbar lebih rendah
dari Nasional.
4. Dalam kurun waktu 2004 sampai 2008 rata-rata pertumbuhan realisasi PMA di
tingkat Nasional menunjukkan angka jauh lebih tinggi dari Sumatera Barat
demikian juga PMDN. Perbedaan tingkat pertumbuhan disebabkan adanya
perbedaan yang cukup signifikan dibidang potensi sumber daya alam, dukungan
infrastruktur dan potensi pasar.
5. Kondisi keamanan dalam negeri kurang kondusif, gejolak politik membawa
pengaruh kepada stabilitas ekonomi secara keseluruhan. Dalam periode 2004-
2008 telah dilaksanakan beberapa kali pemilihan umum tingkat nasional, provinsi
dan kabupaten/kota. Meningkatnya dinamika politik disekitar waktu pemilihan
umum tersebut berpengaruh negatif terhadap perkembangan realisasi investasi di
daerah Sumatera Barat.
INDIKATOR PENDUKUNG
1. Laju Pertumbuhan Ekonomi
2. Persentase Ekspor terhadap PDRB
3. Persentase Output Manufaktur terhadap PDRB
4. Persentase Output UMKM terhadap PDRB
5. Laju Inflasi
6. Persentase Pertumbuhan Realisasi Investasi PMA
7. Persentase Pertumbuhan Realisasi Investasi PMDN
34
6. Potensi sumber alam dan ekonomi daerah relatif rendah sehingga tidak bisa
menarik investor skala besar dari luar daerah dan luar negeri untuk menanam
modalnya di daerah Sumatera Barat.
Analisis Efektivitas
Capaian pembangunan Provinsi Sumatera Barat dapat dikatakan tidak efektif karena
capaian pembangunan Provinsi Sumatera Barat tidak menunjukkan keadaan yang lebih
baik dari tahun ke tahun.
1. Pada awalnya memperlihatkan kecenderungan yang membaik dibandingkan
dengan tahun-tahun sebelumnya tetapi pada tahun 2008 terjadi penurunan.
Walaupun negatif tetapi tingkat pertumbuhan (tren) pada tahun 2006 dan 2008
lebih baik dari Nasional.
2. Struktur ekonomi yang menghasilkan produk berbasis sumberdaya lokal atau
rendah kandungan impornya dengan pasar utamanya provinsi tetangga
mengakibatkan rendahnya ekspor terhadap PDRB demikian juga output
manufaktur. Produk utama Provinsi Sumatera Barat merupakan pasokan bagi
provinsi tetangga seperti Provinsi Riau, Kepri dan Jambi. Kondisi demikian
merupakan tantangan masa depan untuk meningkatkan hasil pembangunan
Provinsi Sumbar.
3. Arus investasi yang rendah di Provinsi Sumatera Barat disebabkan oleh beberapa
faktor sebagai berikut:
a) Infrastruktur kurang memadai sehingga mengakibatkan tingginya biaya
operasional ditambah lagi dengan masalah kekurangan suplai tenaga listrik
yang membuat daya saing investasi daerah menjadi sangat rendah.
b) Sulitnya mendapatkan info dan data potensi ekonomi yang akurat sehingga
calon investor merasa sulit dan lambat dalam pengambilan keputusan
investasinya
c) Permasalahan rendahnya pertumbuhan realisasi investasi di Sumatera Barat
disebabkan antara lain; potensi sumber alam dan ekonomi daerah relatif
rendah, infrastruktur kurang memadai dan pelayanan publik yang masih
banyak dikeluhkan oleh calon investor. Peningkatan investasi PMA dan PMDN
di Sumatera Barat juga masih terkendala karena keterbatasan lahan, sumber
daya alam dan tenaga kerja terampil non pertanian.
35
d) Prosedur pengurusan izin-izin investasi belum tersosialisasi dengan baik,
masyarakat masih harus banyak bertanya tentang prosedur investasi dan
harus berurusan dengan beberapa instansi pemberi izin secara terpisah.
e) Adanya kebijakan pemerintah (peraturan daerah) yang saling bertentangan di
bidang pelayanan investasi misalnya soal wewenang perizinan dan retribusi
daerah
f) Adanya konflik beberapa perusahaan perkebunan besar dengan petani plasma
dalam pola kemitraan (PIR) yang disebabkan sebagian oleh perjanjian
kemitraan yang tidak tegas dan lemahnya penegakan hukum dalam hal terjadi
konflik antara inti dan plasma
g) Adanya premanisme dibeberapa daerah yang sangat menganggu kelancaran
kegiatan bisnis dan menyita waktu serta pemikiran para eksekutif pengambil
keputusan dalam investasi
2.3.2. Analisis Capaian Indikator Spesifik dan Menonjol
1. Indikator yang lebih menonjol di Provinsi Sumatera Barat adalah tingkat pertumbuhan
ekonomi rata-rata dimana mencapai angka yang relatif lebih tinggi dari pertumbuhan
ekonomi Nasional selama periode 2004-2008. Tingkat pertumbuhan ekonomi Provinsi
Sumatera Barat yang tinggi tidak terlepas dari struktur ekonomi dan komposisi ekspor.
produk utama Provinsi Sumatera Barat adalah produk pertanian dan produk agro-
industry yang berbasis sumberdaya lokal dimana komponen impornya relatif sangat
kecil. Kondisi demikian membuat perkembangan ekonomi Provinsi Sumatera Barat
relatif kurang terpengaruh oleh krisis financial global.
2. Indikator lain yang menonjol tetapi menunjukkan kinerja kurang memuaskan adalah
investasi baik PMA maupun PMDN di Provinsi Sumatera Barat. Rendahnya
pertumbuhan realisasi investasi di Provinsi Sumatera Barat sangat erat hubungannya
dengan terbatasnya potensi sumberdaya alam, infrastruktur dan lokasi yang relatif
terisolir dari pusat pertumbuhan di Pulau Sumatera. Upaya untuk memacu arus
investasi ke Provinsi Sumatera Barat berdasarkan kondisi daerah saat ini adalah
meningkatkan kualitas SDM sehingga di Provinsi Sumatera Barat tersedia tenaga
intelektual dan tenaga berketerampilan tinggi yang dapat menarik investor untuk
mengembangkan industri berteknologi tinggi seperti industri manufaktur yang
menghasilkan komponen dari produk elektronik, computer, dll.
36
2.3.3. Rekomendasi Kebijakan
1. Di Provinsi Sumatera Barat sebaiknya dikembangkan industri berbasis
sumberdaya lokal dengan menggunakan teknologi tinggi atau knowledge based
industries sehingga terjadi peningkatan nilai tambah.
2. Insentif yang perlu dikembangkan adalah insentif non-fiskal yaitu tersedianya SDM
terampil berkualitas tinggi. Oleh karena itu perlu dikembangkan pendidikan
keterampilan dengan standar internasional pada setiap tingkatan pendidikan
keterampilan.
3. Perlu segera dibangun infrastruktur seperti irigasi, tenaga listrik, transportasi
standard ASEAN dan air bersih yang mendukung pengembangan agro-industri
berteknologi tinggi. Transportasi standard ASEAN artinya kualitas fisik dan
kenyamanan transportasi yang dapat mengantisipasi terjadinya bencana alam
seperti gempa dan longsor. Pembangunan infrastruktur semakin mendesak
terutama sekali karena terjadinya kerusakan infrastruktur dan bangunan akibat dari
gempa 30 September 2009 yang lalu.
4. Untuk membuka lapangan kerja disektor pertanian maka teknologi modern harus
dimanfaatkan pada setiap level usaha (dari sekala kecil hingga besar). Kegiatan
Litbang (Penelitian dan Pengembangan) harus ditingkatkan sehingga dapat
menghasilkan teknologi modern yang dibutuhkan. Teknologi baru juga dapat
berasal dari lembaga penelitian diluar Sumatera Barat atau luar negeri. Di Provinsi
Sumatera Barat terdapat beberapa lembaga mandat nasional yang potensial untuk
dikembangkan seperti Balai Penelitian Buah (Balibu), Balai Penelitian Pertanian
(Balitan), Stasiun Pengembangan Ternak Besar. Lembaga penelitian ini sebaiknya
dipacu pengembangannya untuk dapat melayani kebutuhan IPTEK modern di
Pulau Sumatera.
5. Provinsi Sumatera Barat harus tetap dipertahankan sebagai sumber bahan
pangan bernilai tambah tinggi yang berasal dari peternakan, perikanan, sayur-
sayuran, buah-buahan untuk wilayah Sumatera.
6. Upaya peningkatan investasi di Sumatera Barat antara lain adalah:
a) Memberikan kemudahan perizinan, misalnya pelayanan cepat dan transparan
serta memberi kemudahan akses kepada instansi pemberi izin melalui internet,
pos atau kontak langsung dengan petugas pelayanan yang terampil dan
profesional.
37
b) Memberikan keringanan beban PBB dan retribusi daerah sesuai dengan
kewenangan yang dimiliki pemerintah daerah.
c) Menyediakan info dan data dasar ekonomi dan potensi investasi yang akurat
dan lengkap melalui web-site dan media cetak yang mudah diakses oleh
masyarakat.
d) Menyediakan data profil pengusaha lokal yang siap bermitra dan menyediakan
media untuk mempertemukan calon investor dari luar daerah dengan
pengusaha lokal yang akan menjadi mitra bisnisnya.
e) Memberikan pelayanan prima kepada investor dan pengusaha umumnya baik
pada tahap persiapan maupun setelah memasuki tahap operasional
perusahaannya.
f) Menjalankan program promosi investasi yang efektif melalui kegiatan expo,
business meeting, seminar dan menyebarkan leaflet dan booklet panduan
investasi di daerah Sumatera Barat
g) Melaksanakan program pengawasan dan pengendalian investasi dalam rangka
ikut mengatasi lebih dini permasalahan investasi di lapangan
h) Mendorong tumbuhnya forum komunikasi investor dan pengusaha dalam
rangka meingkatkan efektivitas kerjasama bisnis.
2.4. KUALITAS PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM
2.4.1. Capaian Indikator
Indikator output yang digunakan untuk melihat perkembangan indikator hasil (outcomes)
dari kualitas pengelolaan sumber daya alam adalah : (i) Persentase luas lahan rehabilitasi
dalam hutan terhadap lahan kritis dan (ii) Persentase terumbu karang dalam keadaan
baik. Hasil analisis data indikator pendukung selama periode 2004-2008 dapat dilihat
pada Grafik 2.4.
Analisis Relevansi
Dari Grafik 2.4 terlihat bahwa capaian pembangunan Provinsi Sumatera Barat dapat
dikatakan tidak relevan karena tren capaian pembangunan Provinsi Sumatera Barat tidak
sejalan dan lebih rendah dari capaian pembangunan Nasional. Tren ini tidak sesuai
dengan harapan pembangunan dibidang sumberdaya alam karena seharusnya capaian
38
Grafik 2.4. : Kualitas Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan
Hidup Nasional dan Provinsi Sumatera Barat
0.00
2.00
4.00
6.00
8.00
10.00
12.00
14.00
16.00
18.00
2004 2005 2006 2007 2008
Cap
aian
Indi
kato
r Out
com
e
-60.00
-40.00
-20.00
0.00
20.00
40.00
60.00
80.00
100.00
120.00
140.00
160.00
Tren
Cap
aian
Indi
kato
r O
utco
me
Kualitas Pengelolaan SDA Prov Sumatera Barat (outcomes)
Kualitas Pengelolaan SDA Nasional (outcomes)
Tren Provinsi
Tren Nasional
pembangunan semakin besar atau meningkat. Rendahnya hasil pembangunan
sumberdaya alam dan lingkungan hidup di Provinsi Sumatera Barat antara lain
disebabkan :
1. Rendahnya upaya peningkatan rehabilitasi hutan dibandingkan dengan percepatan
luas lahan kritis. Artinya luas lahan kritis meningkat lebih cepat daripada luas hutan
yang dapat direhabilitasi. Meningkatnya luas lahan kritis disebabkan oleh (a)
Rendahnya disiplin aparatur dan penegakan hukum, sehingga sering terjadinya
perusakan hutan dan pencurian kayu hampir pada setiap kawasan; (b) Infrastruktur
untuk mendukung sektor kehutanan relatif masih kurang dan sangat terbatas, seperti
menara pengawasan, perangkat untuk polisi hutan dan aksesibilitas patroli hutan; (c)
Rendahnya daya dukung kawasan konservasi sebagai akibat alih fungsi lahan
sehingga merubah karakter hidrologis kawasan dimana kawasan yang sebelumnya
basah menjadi kering.
2. Terbatasnya program dan dana untuk meningkatkan kegiatan rehabilitasi hutan.
Diperlukan kerjasama pembiayaan program rehabilitasi antar Pemerintah Provinsi
untuk peningkatan rehabilitasi hutan walaupun kawasan hutan tidak pada wilayah
INDIKATOR PENDUKUNG 1. Persentase luas lahan
rehabilitasi dalam hutan terhadap lahan kritis
2. Persentase terumbu karang
dalam keadaan baik
39
suatu provinsi tertentu tetapi hutan menentukan kelestarian sumberdaya air terutama
melalui sungai lintas provinsi tersebut.
3. Terumbu karang sudah mengalami kerusakan yang relatif berat dimana 60%
dikategorikan sebagai sangat rusak. Hal ini disebabkan karena;
a) Telah berubahnya ketersediaan dan kondisi sumberdaya kelautan di Provinsi
Sumatera Barat sesuai dengan pemanfaatan yang sudah dilakukan pada waktu
sebelumnya. Panjang garis pantai daratan Provinsi Sumatera Barat berhadapan
dengan Samudera Hindia mempunyai gelombang besar dan memberikan potensi
untuk terjadinya abrasi pantai. Kerusakan terumbu karang berkaitan erat dengan
permasalahan tehnologi pemanfaatan, pelestarian, konservasi, pengolahan limbah
dan daur ulang serta rehabilitasi sumberdaya kelautan.
b) Adanya permasalahan yang berkaitan dengan ketersediaan kerangka hukum dan
kelembagaan di daerah untuk pengelolaan. Kurangnya pengawasan dan
pengendalian melalui pembuatan peraturan daerah, monitoring dan evaluasi yang
diperlukan untuk perbaikan sistem manajemen dan peningkatan pengelolaan dan
penegakan hukum.
c) Kurang baiknya sistem manajemen yang menerapkan pendekatan pengelolaan
sumber daya alam secara terpadu antara pemanfaatan dan konservasi untuk
menjaga kondisi fisik sumberdaya pada tingkat yang dapat memberi manfaat
secara berkelanjutan.
d) Masih kurangnya kapasitas kelembagaan dan kemampuan teknis pengelolaan
sumberdaya alam baik oleh pemerintah maupun masyarakat dalam kerangka
penerapan prinsip-prinsip berkelanjutan.
Analisis Efektivitas
Pembangunan Provinsi Sumatera Barat dapat dikatakan tidak efektif karena capaian
pembangunan sumberdaya alam Provinsi Sumatera Barat memperlihatkan kecendrungan
yang memburuk dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya dan pada tahun terakhir
terjadi penurunan yang cukup signifikan
1. Penurunan capaian pembangunan ini seperti dijelaskan di atas lebih banyak
disebabkan oleh meningkatnya lahan kritis sehingga peningkatan persentase luas
lahan rehabilitasi dalam hutan terhadap lahan kritis semakin rendah. Hal ini terlihat
dari Luasnya hutan dan lahan kurang produkstif dan kritis yang mencapai 512 Ha
40
sementara laju Rehabilitasi Hutan dan Lahan dalam 5 tahun terakhir terbatas
hanya 15.000 – 20.000 Ha/tahun.
2. Kondisi terumbu karang tempat berkembang biaknya beberapa jenis ikan, sudah
mengalami kerusakan yang relatif berat hampir mencapai 60% dikategorikan
sebagai sangat rusak. Terumbu karang banyak digunakan untuk bahan bangunan.
3. Penurunan capaian pembangunan sumberdaya alam juga dipicu oleh; (i) Konflik
status hutan terkait dengan hukum adat (tanah ulayat) dengan adanya klaim
penguasaan tanah dalam kawasan hutan oleh masyarakat, (ii) Melanggar jalur
penangkapan ikan (fishing ground), (iii) Menggunakan alat tangkap yang dilarang
seperti Trawl, penggunaan dinamit, sianida / racun (iv) Membuang limbah industri
dan dari kapal (oli bekas) kelaut, dan (v) Kemiskinan dan pengangguran
masyarakat sekitar hutan yang menyebabkan maraknya penebangan liar,
perambahan hutan.
3.4.2. Rekomendasi Kebijakan
Berdasarkan kondisi sumberdaya alam di Provinsi Sumatera Barat di atas maka perlu
dikembangkan beberapa program kebijakan pembangunan sumberdaya alam yang
terpadu dengan semua kepentingan baik secara sosial, politik, ekonomi dan ekologis.
Diharapkan program tersebut mampu meningkatkan partisipasi masyarakat dalam
mengelola sumberdaya alam melalui antara lain :
1. Melestarikan sumberdaya hutan dilakukan melalui : (i) Menjalin kerjasama dengan
provinsi tetangga dalam kaitannya jasa lingkungan, (ii) Rehabilitasi hutan bekas
tebangan, (iii) Pengembangan teknologi pengolahan hasil kayu terutama dalam
penekanan limbah dan (iv) Memperlambat tingkat eksploitasi untuk mempercepat
rehabilitasi hutan.
2. Memberdayakan ekonomi masyarakat sekitar hutan melalui kegiatan yang sangat
strategis untuk menjaga dan melestarikan hutan supaya terhindar dari kerusakan,
antara lain dengan : (i) Pengembangan hutan kemasyarakatan berbasis nagari
melalui revitalisasi hukum adat (khususnya yang berkaitan dengan tanah ulayat)
sepanjang ini memungkinkan, (ii) Pemberdayaan masyarakat dalam pengamanan
hutan, (iii) Pemberian hak pengelolaan hutan (HPH) dalam sekala kecil atau lokal
brdasarkan cakupan kewilayahan yang dikelola oleh koperasi, (iv) Pemanfaatan
kawasan hutan untuk hasil non kayu pada hutan lindung dan hutan produksi, (v)
Pengembangan industri kecil dan menengah berbasis hasil hutan atau non kayu, (vi)
41
Pengembangan sistem agroforestry pada kawasan hutan dekat permukiman dengan
tidak merubah fungsi hutan, (vii) Peningkatan kegiatan penyuluhan dan
pendampingan dalam pengelolaan hutan kepada masyarakat luas atau
stakeholders, dan (viii) Diversifikasi hasil hutan seperti lebah madu, rotan, bambu,
buah-buahan dan pengembangan pariwisata dalam bentuk ecoturism.
3. Mengembangkan pengendalian sumberdaya kelautan berbasis kemitraan antara
Pemerintah, Lembaga Non Pemerintah, Swasta, masyarakat pesisir, serta
stakeholders yang terkait secara partisipatif. Terutama dalam upaya rehabilitasi
ekosistem mangrove, pembuatan terumbu karang buatan untuk membantu
rehabilitasi terumbu karang yang telah rusak, pengayaan berbagai jenis ikan laut,
penyediaan rupon untuk memudahkan nelayan menangkap ikan.
4. Meningkatkan pemanfaatan dan pengendalian tata ruang laut dan wilayah pesisir.
Menginventarisir potensi sumberdaya kelautan baik hayati (terumbu karang,
mangrove, padang lamun, esturia ikan) maupun non hayati pada tingkat provinsi
dan menyusun tata ruang wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil untuk
mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya sekaligus mencegah konflik diantara
pengguna.
5. Meningkatkan kinerja pelayanan aparatur berdasarkan standar pelayanan minimal
untuk mewujudkan kepemerintahan yang baik / amanah (good governance) yang
merupakan prasyarat bagi setiap pemerintahan untuk memenuhi aspirasi
masyarakat, dengan meningkatkan kinerja pelayanan aparatur melalui; (i) Pelatihan
untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan aparatur Pemerintah, (ii)
Penataan organisasi pemerintah, (iii) Penyediaan sarana dan prasarana dalam
penunjang kerja dan (iv) Meningkatkan pelayanan pemerintah dalam
mengembangkan kemitraan usaha.
6. Meningkatkan pengamanan dan pengawasan sumberdaya alam dilaksanakan
melalui : (i) Meningkatan partisipasi masyarakat, sehingga Pemerintah dapat
mengurangi beban dalam kegiatan operasi dan pengamanan sumberdaya alam, (ii)
Meninjau kembali fungsi kawasan yang telah ditetapkan (iii) Menegakkan aturan
pengamanan sumberdaya alam dengan menempatkan masyarakat sebagai
komponen utama penegakan aturan dan pengembangan sanksi sosial dan hukum
yang kuat terhadap pelanggaran, (iv) Memperkuat Control Public melalui
keterbukaan media dan kesadaran politik masyarakat tentang hak dan
kewajibannya, dan menggali nilai sosial budaya masyarakat berkaitan dengan
pemanfaatan perlindungan sumberdaya alam.
42
7. Mengembangkan sistem informasi sumberdaya alam Provinsi Sumatera Barat untuk
mendukung pengambilan keputusan produksi, konservasi dan penanganan berbagai
bentuk bencana alam.
2.5. TINGKAT KESEJAHTERAAN SOSIAL
2.5.1. Capaian Indikator
Indikator hasil (outcomes) dari Tingkat Kesejahteraan Sosial berdasarkan kepada 5 (lima)
indikator output sebagai berikut yaitu :
1) Persentase penduduk miskin;
2) Tingkat pengangguran terbuka;
3) Persentase pelayanan kesejahteraan sosial bagi anak / Persentase jumlah anak
(terlantar, jalanan, balita terlantar, dan nakal) yang dilayani oleh Departemen Sosial;
4) Persentase pelayanan kesejahteraan sosial bagi lanjut usia / Persentase jumlah
lanjut usia yang dilayani oleh Departemen Sosial;
5) Persentase pelayanan dan rehabilitasi sosial / Persentase jumlah (penyandang cacat,
tunasosial dan korban penyalahgunaan narkoba) yang dilayani oleh Departemen
Sosial.
Analisis Relevansi Berdasarkan Grafik 2.5 terlihat bahwa capaian pembangunan Provinsi Sumatera Barat
dapat dikatakan tidak relevan karena tren capaian pembangunan Sumatera Barat tidak
sejalan dan lebih dari capaian pembangunan Nasional. Hal ini disebabkan oleh beberapa
faktor yaitu :
1. Persentase miskin masih tinggi pada tahun 2005 dan 2006. Kemiskinan yang
bersifat konsekuensial yang terjadi akibat kejadian lain atau faktor eksternal diluar
si miskin. Kemiskinan yang disebabkan oleh perubahan kondisi perekonomian,
bencana sosial dan bencana alam.
2. Masih tingginya tingkat pengangguran terbuka karena masih terbatasnya
kesempatan dan ketersediaan lapangan pekerjaan dan mata pencaharian yang
berkesinambungan. Terbatasnya akses dan masih rendahnya mutu kualitas
pendidikan yang membuat kalah dalam persaingan dunia kerja. Hal ini juga
disebabkan struktur ekonomi masih agraris dan program pemerintah kurang
43
mendorong pengembangan UMKM / sektor industri yang bisa menyerap banyak
tenaga kerja.
Grafik 2.5. : Tingkat Kesejahteraan Sosial Nasional dan Provinsi
Sumatera Barat
91.50
92.00
92.50
93.00
93.50
94.00
94.50
95.00
95.50
2004 2005 2006 2007 2008
Cap
aian
Indi
kato
r Out
com
e
-1.00
-0.80
-0.60
-0.40
-0.20
0.00
0.20
0.40
0.60
0.80
Tren
Cap
aian
Indi
kato
r Out
com
e
Tingkat Kesejahteraan Sosial Prov Sumatera Barat (outcomes)
Tingkat Kesejahteraan Sosial Nasional (outcomes)
Tren Provinsi
Tren Nasional
3. Meningkatnya persentase anak terlantar, jalanan, balita terlantar dan anak nakal
yang dilayani oleh Departemen Sosial sebagian besar merupakan dampak
kemiskinan dan pengangguran. Akibat ketidakmampuan dan ketidakberuntungan
sosial tadi mereka menjadi terlantar. Masalah ini dapat menyebabkan daerah
kehilangan generasi karena anak muda tidak memiliki kapasitas dan kapabilitas.
4. Menurunnya persentase jumlah lanjut usia yang dilayani oleh Departemen Sosial
karena pada umumnya para lanjut usia tinggal dan dilayani oleh keluarga terdekat,
anak atau saudara.
5. Menurunnya jumlah pelayanan untuk penyandang cacat, tunasosial dan korban
penyalahgunaan narkoba oleh Departemen Sosial. Hal ini disebabkan banyak
keluarga yang anggota keluarga yang menjadi korban narkoba mengobati sendiri
dan tidak menginformasikan kepada pihak luar karena mereka ingin melindungi
INDIKATOR PENDUKUNG
1. Persentase Penduduk Miskin ;
2. Tingkat Pengangguran Terbuka ;
3. Persentase pelayanan
kesejahteraan sosial bagi
anak/Presentase jumlah anak
(terlantar, jalanan, balita terlantar,
dan nakal) yang dilayani oleh
Dep.sos
4. Persentase pelayanan
kesejahteraan sosial bagi lanjut
usia/Presentase jumlah lanjut usia
yang dilayani oleh Dep.sos
5. Persentase Pelayanan dan
rehabilitasi sosial / Persentase
jumlah (penyandang cacat,
tunasosial, dan korban penyalahgunaan narkoba)
yang dilayani oleh Dep.sos
44
anggota keluarga mereka tersebut. Untuk penyandang cacat, juga mengalami hal
yang sama.
6. Secara umum, kondisi pelayanan dan rehabilitasi sosial yang diselenggarakan
oleh panti-panti sosial masih terbatas. Hal ini disebabkan terbatasnya dana untuk
program jaminan, perlindungan dan asuransi kesejahteraan sosial. Kurangnya
pemberdayaan pekerja sosial untuk memberikan pelatihan dan pendidikan
kewirausahaan bagi anak-anak terlantar tersebut. Kurang aktifnya karang taruna,
rumah singgah, LSM, yayasan sosial dalam menyusun program kegiatan sebagai
wadah menyalurkan kreativitas bagi mereka.
Analisis Efektivitas
Berdasarkan Grafik 2.5. terlihat capaian pembangunan Provinsi Sumatera Barat dapat
dikatakan tidak efektif. Hal ini disebabkan oleh :
(1) Meningkatnya persentase penduduk miskin pada tahun 2005 dan 2006 karena
lemahnya kondisi ekonomi rumah tangga akibat krisis ekonomi, sehingga
menurunkan daya beli masyarakat. Kurangnya sosialisasi pemberian bantuan usaha
untuk keluarga miskin, sehingga pemberian bantuan belum tepat guna. Belum
maksimalnya beberapa program pemerintah seperti Program Inpres Desa Tertinggal
(IDT), Pembangunan Prasarana Pendukung Desa Tertinggal (P3DT), Program
Pengembangan Kecamatan (PPK), Program Penanggulangan Kemiskinan
Perkotaan (P2KP) dan Jaringan Pengaman Sosial (JPS).
(2) Meningkatnya angka pengangguran terbuka terutama karena belum
berkembangnya sektor industri manufaktur dan rendahnya keterampilan pekerja.
(3) Meningkatnya jumlah anak terlantar disebabkan meningkatnya jumlah anak-anak
yang putus sekolah sehingga mereka harus diberdayakan pendapatan untuk
membantu keluarga mereka. Disamping itu lembaga pelayanan sosial masyarakat
atau swasta. Lembaga pelayanan sosial yang ada belum bisa memberikan
kontribusi pelatihan, pendidikan dan keterampilan kewirausahaan yang mandiri yang
dapat dijadikan modal hidup bagi anak-anak terlantar dan jalanan.
45
2.5.2. Rekomendasi Kebijakan
Untuk meningkatkan relevansi dan efektivitas program pembangunan Nasional dan
daerah dalam bidang kesejahteraan sosial maka dapat direkomendasikan sebagai
berikut:
1. Perlunya sinkronisasi kegiatan perencanaan, pelaksanaan dan pemantauan (dengan
melibatkan LSM dan Perguruan Tinggi) untuk bidang dan program sosial yang
dilaksanakan Nasional dengan Provinsi. Mengintegrasikan program anti kemiskinan
dengan berbagai pelaku termasuk perantau dengan kearifan lokal sebagai gerakan
bersama untuk mengatasi akar masalah kemiskinan. Fokus kepada proses
pemberdayaan komunitas miskin dengan program ekonomi dan sosial yang terpadu
supaya terbangun generasi penerus yang sehat dan kuat serta cerdas dan mandiri.
Berbagai program Nasional seperti PNPM perlu diakomodasikan dalam gerakan yang
terintegrasi dengan Program Anti Kemiskinan Sumatera Barat. Peningkatan
kepedulian dan partisipasi keluarga tidak miskin dan perantau dalam menanggulangi
kemiskinan. Peningkatan sosialisasi program bantuan untuk penduduk miskin
khususnya, dan program kesejahteraan sosial lainnya. Peningkatan kerjasama lintas
sektor dunia usaha dalam usaha kesejahteraan sosial. Kesemua itu dilakukan dengan
pemberdayaan sosial, kemitraan, partisipasi dan advokasi sosial.
2. Memberikan perlindungan terhadap dampak krisis untuk mengatasi pengangguran
terbuka dan membuka akses terhadap kebijakan stimulus. Fokus kepada peningkatan
upaya bersama yang berbasis kepada jejaring bisnis terutama peningkatan arus
perantauan untuk mengurangi tekanan terhadap daya serap angkatan kerja di daerah.
Upaya ini perlu dikaitkan dengan peningkatan kapasitas terutama soft-skill untuk
merantau.
3. Mengembangkan gerakan anti kehilangan generasi. Gerakan ini menjadi titik masuk
melalui gerakan lintas pelaku pembangunan termasuk pemerintah antara lain berupa
program beasiswa dan orangtua asuh. Fokus kepada perubahan orientasi dari
mengatasi masalah kepada antisipasi tumbuh dan kembang masalah, sehingga dapat
dikurangi dampaknya dalam jangka panjang.
4. Memberdayakan karang taruna, LSM, organisasi atau yayasan sosial dan organisasi
profesi. Mengembangkan wahana kesejahteraan sosial berbasis masyarakat ini
diharapkan agar komunitas lokal terdorong untuk berpartisipasi.
5. Meningkatkan penyuluhan dan pemberdayaan keluarga miskin agar mereka bisa
mandiri dan mampu menjalankan fungsinya sebagai orang tua. Pemberdayaan
46
masyarakat diupayakan melalui peningkatan kapasitas SDM agar dapat bersaing
memasuki pasar tenaga kerja dan kesempatan berusaha yang dapat menciptakan
dan meningkatkan pendapatan rumah tangga. Menciptakan kesempatan berusaha
pada usaha tani padi dan usaha tani non padi (on-farm), dan non-farm.
6. Meningkatkan kualitas dan profesional pekerja sosial dan tenaga pelayanan
kesejahteraan sosial. Lebih memberdayakan pekerja sosial masyarakat dan tenaga
kesejahteraan sosial masyarakat dengan meningkatkan pengetahuan dan
kemampuan melalui pelatihan. Untuk memotivasi tenaga kesejahteraan sosial bisa
dilakukan seleksi tenaga kesejahteraan sosial yang berprestasi.
7. Pengelolaan ekonomi makro untuk menjamin stabilitas, pertumbuhan ekonomi,
perluasan kesempatan kerja dan pengurangan kesenjangan.
8. Pemberdayaan masyarakat dilakukan dengan pendampingan sosial oleh pekerja
sosial di lapangan meliputi kegiatan pelatihan dan advokasi. Pelatihan dilakukan
terutama untuk meningkatkan keterampilan keluarga miskin dalam mengatasi
masalah dan memenuhi kebutuhan hidupnya (seperti motivasi, peningkatan
kesadaran dan pelatihan kemampuan, manajemen diri, mobilisasi sumber dan
pengembangan jaringan sosial. Advokasi adalah bentuk pembelaan dan
keberpihakkan kepada masyarakat miskin
47
BAB III
KESIMPULAN
A. Tingkat Pelayanan Publik dan Demokrasi.
Capaian pembangunan pelayanan publik searah dan relatif lebih baik (kecuali pada tahun
2008) dari capaian pembangunan Nasional sehingga dapat dikatakan relevan. Hal itu
disebabkan karena adanya agenda pembangunan pemberantasan korupsi dan
dibentuknya KPK serta semakin banyaknya dibentuk Kantor Pelayanan Satu Pintu
dengan kualitas SDM lebih baik. Namun masih diperlukan langkah-langkah perbaikan
dimasa yang akan datang karena tingkat kebutuhan masyarakat makin meningkat.
Capaian pembangunan demokrasi di Provinsi Sumatera Barat dan Nasional menunjukkan
kecendrungan menurun dimana capaian pembangunan Provinsi Sumatera Barat tidak
lebih baik dari capaian Nasional. Karena adanya penurunan adanya capaian di Sumatera
Barat dengan demikian pembangunan demokrasi tidak relevan dan pembangunan
demokrasi tidak efektif karena partisipasi masyarakat menurun.
B. Tingkat Kualitas Sumber Daya Manusia.
Capaian pembangunan SDM di Provinsi Sumatera dapat dikatakan relevan karena
berada jauh di atas tren nasional. Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM)
cukup berhasil meningkatkan APM. Disamping itu rata-rata nilai akhir SMP/MTs sebagai
salah satu indikator peningkatan kualitas pendidikan menunjukkan perkembangan berarti.
Presentase angka putus sekolah cukup tinggi, tetapi kecenderungan Angka Putus
Sekolah (APS) SD dan Sekolah Menengah mengalami penurunan. Presentase guru yang
layak mengajar meningkat dan laju pertumbuhan IPM Sumatera Barat menunjukkan
peningkatan yang lebih tinggi dari laju pertumbuhan IPM nasional.
Perkembangan indikator outcomes menunjukkan bahwa pembangunan pendidikan
Sumatera Barat dapat dikatakan efektif. Efektifnya pembangunan sektor pendidikan
Sumatera Barat dapat didukung oleh fakta bahwa umur harapan hidup di Provinsi
Sumatera Barat sudah menunjukkan perbaikan dari tahun ke tahun. Angka kematian bayi
di Sumatera Barat telah mengalami perbaikan dari tahun 2004 ke 2008 bersamaan
dengan penurunan angka kematian ibu sebagai akibat membaiknya pelayanan pre- dan
post-natal untuk ibu. Kualitas pembangunan KB di Sumatera Barat selalu lebih baik jika
48
dibandingkan dengan tingkat kualitas pembangunan KB nasional. Keberhasilan Sumatera
Barat dalam meningkatkan persentase penduduk ber-KB berasosiasi dengan tingkat
penyuluhan dan peningkatan kesadaran masyarakat untuk merencanakan kelahiran.
C. Tingkat Pembangunan Ekonomi.
Capaian pembangunan ekonomi Provinsi Sumatera Barat tidak relevan dan tidak efektif
karena struktur ekonomi yang didominasi sektor pertanian mengakibatkan persentase
ekspor terhadap PDRB dan output manufaktur terhadap PDRB lebih rendah dari nasional.
Disamping itu rendahnya realisasi investasi baik PMDN maupun PMA dibandingkan
nasional juga mempengaruhi perkembangan ekonomi Sumatera Barat sehingga
pendapatan per kapita Provinsi Sumatera Barat juga berada dibawah nasional. Lemahnya
infrastruktur dan terbatasnya sumberdaya alam merupakan faktor utama rendahnya arus
investasi ke Sumatera Barat.
D. Kualitas Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup.
Capaian pengelolaan SDA tidak relevan dan tidak efektif karena karena kegiatan
rehabilitasi lahan dalam hutan dan pelestarian terumbu karang tidak mampu mengikuti
peningkatan capaian nasional. Keadaan ini disebabkan keterbatasan dana dan lemahnya
penegakan hukum disamping tingkat perekonomian rakyat yang terkait dengan sektor ini
relatif tertingggal sehingga kerusakan hutan dan terumbu karang sulit ditekan.
E. Tingkat Kesejahteraan Sosial.
Capaian pembangunan kesejahteraan sosial Provinsi Sumatera Barat tidak relevan dan
tidak efektif walaupun capaian indikator outcomes lebih tinggi dari nasional. Hal ini
disebabkan karena rata-rata persentase penduduk miskin jauh lebih rendah dari nasional
sedangkan indikator pendukung lainnya relatif sama. Disamping itu terbatasnya lapangan
pekerjaan karena struktur ekonomi yang agraris mengakibatkan tingkat pengangguran
terbuka lebih tinggi dari nasional.
Capaian pembangunan kesejahteraan sosial provinsi Sumatera Barat dapat dikatakan
tidak efektif karena terjadi peningkatan penduduk miskin pada tahun 2005 dan 2006
sehingga capaian pembangunan tidak lebih baik dari sebelumnya.
49
Tabel 3.1. Ringkasan Hasil Evaluasi Capaian Pembangunan Provinsi Sumatera Barat.
INDIKATOR OUTCOMES Hasil Evaluasi
Relevan Efektif Hasil Capaian
1. Tingkat Pelayanan Publik Ya Ya Rendah
Tingkat Demokrasi Tidak Tidak Sedang
2. Tingkat Kualitas SDM Ya Ya Tinggi
3. Tingkat Pembangunan Ekonomi Tidak Tidak Rendah
4. Tingkat Pengelolaan SDA Tidak Tidak Rendah
5. Tingkat Kesejahteraan Sosial Tidak Tidak Tinggi
Tingkat Capaian Hasil (Outcomes)
Tingkat capaian hasil (outcomes) pembangunan Provinsi dapat dikelompokkan dalam
beberapa kategori, Lihat Tabel berikut:
Tabel 3.2. Capaian Hasil Pembangunan Provinsi Sumatera Barat Terhadap Nasional (%)
INDIKATOR OUTCOMES
Sangat Tinggi Tinggi Sedang Rendah
Sangat Rendah
>105 100-105 70-99 30-69 < 30
1. Tingkat Pelayanan Publik 61,78
Tingkat Demokrasi 90,74
2. Tingkat Kualitas SDM 102,62
3. Tingkat Pembangunan Ekonomi 59,88
4. Tingkat Pengelolaan SDA 42,85
5. Tingkat Kesejahteraan Sosial 100,92