UJI DISOLUSI TABLET RANITIDIN
I. TUJUAN
1. Mahasiswa dapat melakukan uji disolusi dengan menggunakan
alat uji disolusi
2. Praktikan dapat mengetahui laju disolusi obat ranitidin di
dalam pelarut aquadest yang dianalogkan dengan cairan tubuh dan
dapat melakukan penetapan kadar disolusi obat dalam tubuh.II.
PRINSIP
1. Uji Disolusi
Disolusi adalah proses dimana zat padat melarut, dimana secara
prinsip dikendalikan oleh afinitas antara zat padat dengan
pelarut.2. Spektrofotometer UV-VisSpektrofotometri
ultravioletmengacu pada spektroskopi serapan pada daerah panjang
gelombang UV dan visible. Penyerapan pada rentang terlihat secara
langsung mempengaruhi persepsi warna bahan kimiayang terlibat.
Dalam wilayah spektrum elektromagnetik, molekul mengalami transisi
elektronik. Teknik inimelengkapi spektroskopi fluoresensi.
Fluoresensi berkaitandengan transisi dari keadaan tereksitasi ke
keadaan dasar,sementara langkah-langkah penyerapan transisi dari
keadaan dasar kekeadaan tereksitasi. Secara umum, prinsip kerja
Spektrofotometer UV-Vis berdasarkan pada :
Transmitansi
Nilai dari Transmitansi berbanding terbalik dengan absorbansi
Absorbansi
Cahaya akan diserap jika energi cahaya tersebut sesuai dengan
energi yang dibutuhkan untuk mengalami perubahan dalam molekul.
Absorbansi larutan bertambah dengan pengurangan kekuatan sinar
3. Hukum Lambert BeerJika suatu cahaya monokromatis dengan
kekuatan Po dilewatkan kepada balok yang tegak lurus pada permukaan
dengan ketebalan b dan mengandung n partikel pengabsorbsi, maka
kekuatan cahaya menurun menjadi P dengan persamaan umum :
P = Po 10-abc
-log P/P = abc
-log T = abc
A = abc
Dimana;
T : transmisi
A : absorbansia : absorptivitas (tergantung satuan [ ] ); a(ppm)
dan (Molar)
b : tebal media/kuvet
c : konsentrasi larutanIII. TEORI DASAR
Tipe Instrumen SpektrofotometerPada umumnya terdapat dua tipe
instrumen spektrofotometer, yaitusingle-beamdandouble-beam
(Hamdani, 2010). Single-beam instrumentSingle-beam instrumentdapat
digunakan untuk kuantitatif dengan mengukur absorbansi pada panjang
gelombang tunggal.Single-beam instrumentmempunyai beberapa
keuntungan yaitu sederhana, harganya murah, dan mengurangi biaya
yang ada merupakan keuntungan yang nyata. Beberapa instrumen
menghasilkansingle-beam instrumentuntuk pengukuran sinar ultra
violet dan sinar tampak. Panjang gelombang paling rendah adalah 190
sampai 210 nm dan paling tinggi adalah 800 sampai 1000
nm.Double-beam instrumentDouble-beamdibuat untuk digunakan pada
panjang gelombang 190 sampai 750 nm.Double-beaminstrumentdimana
mempunyai dua sinar yang dibentuk oleh potongan cermin yang
berbentuk V yang disebut pemecah sinar. Sinar pertama melewati
larutan blangko dan sinar kedua secara serentak melewati sampel,
mencocokkan fotodetektor yang keluar menjelaskan perbandingan yang
ditetapkan secara elektronik dan ditunjukkan oleh alat pembaca
(Hamdani, 2010).
Hal-hal yang harus diperhatikan dalam analisis spektrofotometri
UV-VisAda beberapa hal yang harus diperhatikan dalam analisis
dengan spektrofotometri UV-Vis terutama untuk senyawa yang semula
tidakberwarna yang akan dianalisis dengan spektrofotometri visibel
karena senyawa tersebut harus diubah terlebih dahulu menjadi
senyawa yang berwarna (Hamdani, 2010). Berikut adalah
tahapan-tahapan yang harus diperhatikan :
a. Pembentukan molekul yang dapat menyerap sinar UV-VisHal ini
perlu dilakukan jika senyawa yang dianalisis tidak menyerap pada
daerah tersebut. Cara yang digunakan adalah dengan merubah menjadi
senyawa lain atau direaksikan dengan pereaksi tertentu. Pereaksi
yang digunakan harus memenuhi beberapa persyaratan yaitu :1.
Reaksinya selektif dan sensitif.2. Reaksinya cepat, kuantitatif,
dan reprodusibel.3. Hasil reaksi stabil dalam jangka waktu yang
lama.4. Waktu operasional(Hamdani, 2010).
Cara ini biasa digunakan untuk pengukuran hasil reaksi atau
pembentukan warna. Tujuannya adalah untuk mengetahui waktu
pengukuran yang stabil. Waktu operasional ditentukan dengan
mengukur hubungan antara waktu pengukuran dengan absorbansi
larutan.Pemilihan panjang gelombangPanjang gelombang yang digunakan
untuk analisis kuantitatif adalah panjang gelombang yang mempunyai
absorbansi maksimal. Ada beberapa alasan mengapa harus menggunakan
panjang gelombang maksimal, yaitu :1. Pada panjang gelombang
maksimal, kepekaannya juga maksimal karena pada panjang gelombang
maksimal tersebut, perubahan absorbansi untuk setiap satuan
konsentrasi adalah yang paling besar.2. Disekitar panjang gelombang
maksimal, bentuk kurva absorbansi datar dan pada kondisi tersebut
hukum lambert-beer akan terpenuhi.3. Jika dilakukan pengukuran
ulang maka kesalahan yang disebabkan oleh pemasangan ulang panjang
gelombang akan kecil sekali, ketika digunakan panjang gelombang
maksimal (Hamdani, 2010).
Keuntungan SpektrofotometerKeuntungan dari spektrofotometer
adalah :1. Penggunaannya luas, dapat digunakan untuk senyawa
anorganik, organik dan biokimia yang diabsorpsi di daerah ultra
lembayung atau daerah tampak.2. Sensitivitasnya tinggi, batas
deteksi untuk mengabsorpsi pada jarak 10-4sampai 10-5M. Jarak ini
dapat diperpanjang menjadi 10-6sampai 10-7M dengan prosedur
modifikasi yang pasti.3. Selektivitasnya sedang sampai tinggi, jika
panjang gelombang dapat ditemukan dimana analit mengabsorpsi
sendiri, persiapan pemisahan menjadi tidak perlu.4. Ketelitiannya
baik, kesalahan relatif pada konsentrasi yang ditemui dengan tipe
spektrofotometer UV-Vis ada pada jarak dari 1% sampai 5%. Kesalahan
tersebut dapat diperkecil hingga beberapa puluh persen dengan
perlakuan yang khusus.5. Mudah, spektrofotometer mengukur dengan
mudah dan kinerjanya cepat dengan instrumen modern, daerah
pembacaannya otomatis
(Permanasari, 2011).
Disolusi
Disolusi obat adalah suatu proses pelarutan senyawa aktif dari
bentuk sediaan padat ke dalam media pelarut. Pelarut suatu zat
aktif sangat penting artinya bagi ketersediaan suatu obat sangat
tergantung dari kemampuan zat tersebut melarut ke dalam media
pelarut sebelum diserap ke dalam tubuh. Sediaan obat yang harus
diuji disolusinya adalah bentuk padat atau semi padat, seperti
kapsul, tablet atau salep (Fikri, 2007).Agar suatu obat diabsorbsi,
mula-mula obat tersebut harus larut dalam cairan pada tempat
absorbsi. Sebagai contoh, suatu obat yang diberikan secara oral
dalam bentuk tablet atau kapsul tidak dapat diabsorbsi sampai
partikel-partikel obat larut dalam cairan pada suatu tempat salam
slauran lambung usus. Dalam hal ini di mana kelarutan suatu obat
tergantung dari apakah medium asam atau medium basa, obat tersebut
akan dilarutkan berturut-turut dalam lambung dan dalam usus halus.
Proses melarutnya suatu obat disebut disolusi (Shargel &
Andrew, 1988).
Mekanisme disolusi, tidak dipengaruhi oleh kekuatan kimia atau
reaktivitas partikel-partikel padat terlarut ke dalam zat cair,
dengan mengalami dua langkah berturut-turut: 1. Larutan dari zat
padat pada permukaan membentuk lapisan tebal yang tetap atau film
disekitar partikel2. Difusi dari lapisan tersebut pada massa dari
zat cair.Langkah pertama, larutan berlangsung sangat singkat.
Langka kedua, difusi lebih lambat dan karena itu adalah langkah
terakhir
(Fikri, 2007).
Adapun mekanisme disolusi dapat digambarkan sebagai berikut
:
Difusi layer model (theori film)
Pada waktu suatu partikel obat mengalami disolusi,
molekul-molekul obat pada permukaan mula-mula masuk ke dalam
larutan menciptakan suatu lapisan jenuh obat-larutan yang
membungkus permukaan partikel obat padat. Lapisan larutan ini
dikenal sebagai lapisan difusi. Dari lapisan difusi ini,
molekul-molekul obat keluar melewati cairan yang melarut dan
berhubungan dengan membran biologis serta absorpsi terjadi. Jika
molekul-molekul obat terus meninggalkan lapisan difusi,
molekul-molekul tersebut diganti dengan obat yang dilarutkan dari
permukaan partikel obat dan proses absorpsi tersebut berlanjut
(Shargel & Andrew, 1988).
Jika proses disolusi untuk suatu partikel obat tertentu adalah
cepat, atau jika obat diberikan sebagai suatu larutan dan tetap ada
dalam tubuh seperti itu, laju obat yang terabsorpsi terutama akan
tergantung pada kesanggupannya menembus pembatas membran. Tetapi,
jika laju disolusi untuk suatu partikel obat lambat, misalnya
mungkin karena karakteristik zat obat atau bentuk dosis yang
diberikan, proses disolusinya sendiri akan merupakan tahap yang
menentukan laju dalam proses absorpsi. Perlahan-lahan obat-obat
yang larut tidak hanya bisa diabsorpsi pada suatu laju rendah,
obat-obat tersebut mungkin tidak seluruhnya diabsorpsi atau dalam
beberapa hal banyak yang tidak diabsorpsi setelah emberian oral,
karena batasan waktu alamiah bahwa obat bisa tinggal dalam lambung
atau saluran usus halus. Dengan demikian, obat-obat yang sukar
larut atau produk obat yang formulasinya buruk bisa mengakibatkan
absorpsi tidak sempurna dari obat tersebut serta lewatnya dalam
bentuk tidak berubah-keluar sistem melalui feses (Shargel &
Andrew, 1988)KECEPATAN PELARUTAN
Kecepatan pelarutan memberikan informasi tentang profil proses
pelarutan persatuan waktu. Hukum yang mendasarinya telah ditemukan
oleh Noyes dan Whitney sejak tahun 1897 dan diformulasikan secara
matematik sebagai berikut :
dc = k ( Cs - Ct )
dt
dc / dt= kecepatan pelarutan ( perubahan konsentrasi per satuan
waktu )
Cs= kelarutan (konsentrasi jenuh bahan dalam bahan pelarut )
Ct= konsentrasi bahan dalam larutan untuk waktu t K= konstanta
yang membandingkan koefisien difusi, voume larutan
jenuh dan tebal lapisan difusi
(Lachman, et al.,1994).
Persamaan tersebut menyatakan bahwa tetapnya luas permukaan dan
konstan-nya suhu, menyebabkan kecepatan pelarutan tergantung dari
gradien konsentasi antara konsentasi jenuh dengan konsentrasi pada
waktu t (Lachman, et al.,1994).
Pada saat melarutnya zat padat di sekelilingnya akan terbentuk
lapisan tipis dari larutan jenuhnya, dari lapisan ini akan terjadi
difusi ke bagian sisi larutan di sekitarnya. Dengan mensubtitusikan
hukum difusi pertama Ficks ke dalam persamaan Nernst, Brunner dan
Bogoski dapat memberikan kemungkinan perbaikan kecepatan pelarutan
secara konkret.
dc / dt = D . F ( Cs Ct )
h . V
dc / dt
= Kecepatan pelarutan
D
= Koefisin difusi bahan obat dalam bahan pelarut (lapisan
difusi)
F
= Permukaan partikel bahan obat tak larut
h
= Tebal lapisan difusi yang mengelilingi partikel bahan obat
V
= Volume larutan
Cs
= Konsentrasi jenuh
Ct
= Konsentrasi bahan obat pada waktu t
(Lachman, et al.,1994).
Kecepatan pelarutan ternyata berbanding lurus dengan luas
permukaan bahan padat, koefisien difusi, serta berbanding lurus
juga dengan turunnya konsentrasi pada waktu t. Kecepatan pelarutan
ini juga berbanding terbalik dengan tebal lapisan difusi (Lachman,
et al.,1994).UJI DISOLUSI OBAT
Uji hancur pada suatu tablet didasarkan pada kenyataan bahwa,
tablet itu pecah menjadi partikel-partikel kecil, sehingga daerah
permukaan media pelarut menjadi lebih luas, dan akan berhubungan
dengan tersedianya obat dalam cairan tubuh. Namun, sebenarnya uji
hancur hanya menyatakan waktu yang diperlukan tablet untuk hancur
di bawah kondisi yang ditetapkan. Uji ini tidak memberikan jaminan
bahwa partikel-partikel itu akan melepas bahan obat dalam larutan
dengan kecepatan yang seharusnya. Oleh sebab itu, uji disolusi dan
ketentuan uji dikembangkan bagi hampir seluruh produk tablet. Laju
absorpsi dari obat-obat bersifat asam yang diabsorpsi dengan mudah
dalam saluran pencernaan sering ditetapkan dengan laju larut obat
dalam tablet (Voigt, 1995).
Agar diperoleh kadar obat yang tinggi di dalam darah, maka
kecepatan obat dan tablet melarut menjadi sangat menentukan. Karena
itu, laju larut dapat berhubungan langsung dengan efikasi
(kemanjuran) dan perbedaan bioavaibilitas dari berbagai formula.
Karena itu, dilakukannya evaluasi mengenai apakah suatu tablet
melepas kandungan zat aktifnya atau tidak bila berada di saluran
cerna, menjadi minat utama dari para ahli farmasi (Voigt,
1995).Diperkirakan bahwa pelepasan paling langsung obat dari
formula tablet diperoleh dengan mengukur bioavaibilitas in vivo.
Ada berbagai alasan mengapa penggunaan in vivo menjadi sangat
terbatas, yaitu lamanya waktu yang diperlukan untuk merencanakan,
melakukan, dan mengitepretasi; tingginya keterampilan yang
diperlukan bagi pengkajian pada manusia.; ketepatan yang rendah
serta besarnya penyimpangan pengukuran; besarnya biaya yang
diperlukan; pemakaian manusia sebagai obyek bagi penelitian yang
nonesensial; dan keharusan menganggap adanya hubungan yang sempurna
antara manusia yang sehat dan tidak sehat yang digunakan dalam uji.
Dengan demikian, uji disolusi secara in vitro dipakai dan
dikembangkan secara luas, dan secara tidak langsung dipakai untuk
mengukur bioavabilitas obat, terutama pada penentuan pendahuluan
dari faktor-faktor formulasi dan berbagai metoda pembuatan yang
tampaknya akan mempengaruhi bioavaibilitas. Seperti pada setiap uji
in vitro, sangat penting untuk menghubungkan uji disolusi dengan
tes bioavaibilitas in vitro (Voigt, 1995).
Ada dua sasaran dalam mengembangkan uji disolusi in vitro yaitu
untuk menunjukkan :
1. Penglepasan obat dari tablet kalau dapat mendekati 100%
2. Laju penglepasan obat seragam pada setiap batch dan harus
sama dengan laju penglepasan dari batch yang telah dibuktikan
bioavaibilitas dan efektif secara klinis.
(Voigt, 1995).
Suplemen 3 dari USPXX/NFXV menetapkan bahwa salah satu dari dua
alat yang dicantumkan harus digunakan dalam pada penentuan laju
larut (laju disolusi). Toleransi uji dinyatakan sebagai persen
jumlah atau kadar di etiket obat dari obat yang larut selama batas
waktu. Tes kecepatan melarut telah didesain untuk mengukur berapa
kecepatan zat aktif dari satu tablet atau kapsul melarut ke dalam
larutan. Hal ini perlu diketahui sebagai indikator kualitas dan
dapat memberikan informasi sangat berharga tentang konsistensi dari
batch satu ke batch lainnya. Tes disolusi ini didesain untuk
membandingkan kecepatan melarutnya suatu obat, yang ada di dalam
suatu sediaan pada kondisi dan ketentuan yang sama dan dapat
diulangi (Voigt, 1995).
Kecepatan disolusi sediaan sangat berpengaruh terhadap respon
klinis dari kelayakan sistem penghantaran obat. Disolusi menjadi
sifat sangat penting pada zat aktif yang dikandung oleh sediaan
obat tertentu, dimana berpengaruh terhadap kecepatan dan besarnya
ketersediaan zat aktif dalam tubuh. Jika disolusi makin cepat, maka
absorbsi makin cepat. Zat aktif dari sediaan padat (tablet, kapsul,
serbuk, seppositoria), sediaan system terdispersi (suspensi dan
emulsi), atau sediaan-sediaan semisolid (salep,krim,pasta)
mengalami disolusi dalam media/cairan biologis kemudian diikuti
absorbsi zat aktif ke dalam sirkulasi sistemik (Ansel, 1998).
Kecepatan disolusi dalam berbagai keadaan dapat menjadi tahap
pembatasan kecepatan zat aktif ke dalam cairan tubuh. Apabila zat
padat ada dalam saluran cerna, mama terdapat dua kemungkinan tahap
pembatasan kecepatan zat aktif tersebut, yaitu :
Zat aktif mula-mula harus larut
Zat aktif harus dapat melewati membrane saluran cerna
(Ansel, 1998).
Analisis kecepatan disolusi zat aktif dari sediaannya merupakan
analisis yang penting dalam pengujian mutu untuk sediaan-sediaan
obat. Analisis disolusi telah masuk persyaratan wajib USP untuk
persyaratan tablet dan kapsul, sejak tahun 1960. Berbagai studi
telah berhasil dalam korelasi disolusi invivo dengan disolusi
invitro. Namun, disolusi bukan merupakan suatu peramal koefisien
terapi, tetapi disolusi lebih merupakan parameter mutu yang dapat
memberikan informasi berharga tentang ketersediaan hayati dari
suatu produk. (Ansel, 1998).
Pengembangan dan penggunaan uji disolusi invitro untuk
mengevaluasi dan menggambarkan disolusi dan absorbsi invitro
bertujuan :
Untuk mengetahui kepentingan bahwa sifat-sifat fisikokimia yang
ada dalam model disolusi dapat berarti atau berpengaruh dalam
proses invivo apabila dikembangkan suatu model yang berhasil meniru
situasi invivo Untuk menyaring zat aktif penting dikaitkan dengan
formulasinya dengan sifat disolusi dan absorbsinya sesuai. Sistem
uji disolusi invitro dapat digunakan sebagai prosedur pengendalian
mutu untuk produk akhir. Menjamin kesetaraan hayati (bioekivalen)
dari batch yang berbeda dari bentuk sediaan solid apabila korelasi
antara sifat disolusi dan ketersdiaan hayati telah ditetapkan.
Metode yang baik sekali dan handal untuk memantau proses formulasi
dan manufaktur. Penetapan kecepatan disolusi intrinsik berguna
untuk mengetahui sifat disolusi zat aktif yang baru. Agar sistem
disolusi invitro bernilai maka system harus meniru secara dekat
sistem invivo sampai tingkat invitro-invivo yang konsisten
tercapai. Oleh karena itu keuntungan dalam biaya, tebnaga kerja,
kemudahan dapat diberikan dengan penggunaan system
(Voigt, 1995).
Faktor yang mempengaruhi Disolusi
1. Suhu
Suhu akan mempengaruhi kecepatan melarut zat. Perbedaan sejauh
lima persen dapat disebabkan oleh adanya perbedaan suhu satu
derajat (Lachman, et al.,1994).2. MediumMedia yang paling umum
adalah air, buffer dan 0,1 N HCl. Dalam beberapa hal zat tidak
larut dalam larutan air, maka zat organik yang dapat merubah sifat
ini atau surfaktan digunakan untuk menambah kelarutan. Gunanya
adalah untuk membantu kondisi sink sehinggan kelarutan obat di
dalam medium bukan merupakan faktor penentu dalam proses disolusi.
Untuk mencapai keadaan sink maka perbandingan zat aktif dengan
volume medium harus dijaga tetap pada kadar 3-10 kali lebih besar
daripada jumlah yang diperlukan bagi suatu larutan jenuh (Lachman,
et al.,1994).Masalah yang mungkin mengganggu adalah adanya gas dari
medium sebelum digunakan. Gelembung udara yang terjadi dalam medium
karena suhu naik dapat mengangkat tablet, sehingga dapat menaikkan
kecepatan melarut (Lachman, et al.,1994).3. Kecepatan
PerputaranKenaikan dalam pengadukan akan mempercepat kelarutan.
Umumnya kecepatan pengadukan adalah 50 atau 100 rpm. Pengadukan di
atas 100 rpm tidak menghasilkan data yang dapat dipakai untuk
membeda-bedakan hasil kecepatan melarut. Bilamana ternyata bahwa
kecepatan pengadukan perlu lebih dari 100 rpm maka lebih baik untuk
mengubah medium daripada menaikkan rpm. Walaupun 4% penyimpangan
masih diperbolehkan, sebaiknya dihindarkan (Lachman, et
al.,1994).4. Ketepatan Letak Vertikal Poros
Disini termasuk tegak lurusnya poros putaran dayung atau
keranjang, tinggi dan ketepatan posisi dayung/ keranjang yang harus
sentris. Letak yang kurang sentral dapat menimbulkan hasil yang
tinggi, karena hal ini akan mengakibatkan pengadukan yang lebih
hebat di dalam bejana (Lachman, et al.,1994).5. Goyangnya
porosGoyangnya poros dapat mengakibatkan hasil yang lebih tinggi
karena dapat menimbulkan pengadukan yang lebih besar di dalam
medium. Sebaiknya digunakan poros dan bejana yang sama dalam posisi
sama bagi setiap percobaan karena masalah yang timbul karena adanya
poros yang goyang akan dapat lebih mudah dideteksi (Lachman, et
al.,1994).
Uraian Bahan
Ranitidin Hidroklorida
Ranitidin tablet mengandung ranitidin hidroklorida dengan jumlah
setara tidak kurang dari 90% dan tidak lebih dari 110% dari jumlah
label dari ranitidine.
RM
: C13H22N4O3S
Tempat penyimpanan : Pada wadah tertutup rapat dan terhindar
dari cahaya
Kegunaan dan khasiat : Zat aktif, mengobati ulkus peptikumdan
gastroesophageal refluks, antihistamin (USP, 2007).
Air suling
Nama Resmi
: Aqua destillata
Sinonim
: Aquadest
RM / BM
: H2O / 18,02
Pemerian: Cairan jernih; tidak berwarna; tidak berbau; tidak
mempunyai rasa.
Penyimpanan
: Dalam wadah tertutup baik.
Kegunaan
: Sebagai medium disolusi
(FI III, 1979).IV. ALAT DAN BAHAN
4.1 Alat
1. Bulb Pipet
2. Botol Vial
3. Disolution tester
4. Gelas beaker
5. Labu ukur
6. Pipet volume
7. Spektrofotometer UV Vis
8. Spuit dan Filter
9. Timbangan digital
4.2 Bahan
1. Aquadest2. Tablet Ranitidin
4.3 Gambar Alat
Bulb Pipet
Botol Vial
Disolution tester
Gelas beaker
Kertas Saring
Labu ukur
Pipet volume
Spektrofotometer UV Vis
Spuit dan Filter
Timbangan digital
V. PROSEDURPada praktikum kali ini dilakukan uji disolusi dari
tablet ranitidin 150 mg. Pertama tama, dilakukan studi pustaka
mengenai sifat sifat dari tablet ranitidin pada Farmakope Indonesia
edisi IV. Pada studi pustaka tersebut dilihat data berupa
kelarutan, panjang gelombang maksimum dan langkah uji disolusi
untuk tablet ranitidin.
Setelah itu, dilakukan pembuatan kurva baku ranitidin dengan
cara menimbang sebanyak 500 mg baku ranitidin dan dilarutkan 20 ml
aquades di dalam labu ukur, sehingga diperoleh konsentrasi larutan
baku awal sebesar 250 ppm. Larutan baku stock 250 ppm ini kemudian
diukur absorbansinya. Setelah itu, dilakukan pengenceran dengan
memperkirakan nilai absorbansinya agar memenuhi persyaratan
absorbansi hukum Lambert-Beer (0,2-0,8 A).
Pengenceran dibuat dalam 5 variasi konsentrasi yaitu 30, 35, 40,
45, 50 ppm. Untuk membuat larutan baku ranitidine dengan
konsentrasi 30 ppm dilakukan dengan cara: sebanyak 2,4 ml larutan
stock 250 ppm dipipet, dimasukkan ke dalam labu ukur 20 ml dan
diadd dengan akuades hingga tanda batas, dikocok hingga homogen.
Konsentrasi baku 35 ppm dibuat dengan cara: sebanyak 2,8 ml larutan
stock 250 ppm dipipet, dimasukkan ke dalam labu ukur 20 ml dan
diadd dengan akuades hingga tanda batas, dikocok hingga homogen.
Konsentrasi 40 ppm dibuat dengan cara: sebanyak 3.2 ml larutan
stock 250 ppm dipipet, dimasukkan ke dalam labu ukur 20 ml dan
diadd dengan akuades hingga tanda batas, dikocok hingga homogen.
Konsentrasi baku 45 ppm dibuat dengan cara: sebanyak 3,6 ml larutan
stock 250 ppm dipipet, dimasukkan ke dalam labu ukur 20 ml dan
diadd dengan akuades hingga tanda batas, dikocok hingga homogen.
Sedangkan untuk membuat larutan 50 ppm dilakukan dengan cara:
sebanyak 4 ml larutan stock 250 ppm dipipet, dimasukkan ke dalam
labu ukur 20 ml dan diadd dengan akuades hingga tanda batas,
dikocok hingga homogen. Kemudian dari masing masing labu dengan
konsentrasi yang berbeda tersebut diukur absorbansinya dengan
spektrofotometer UV pada panjang gelombang maksimum. Hasil
absorbansi tersebut dicatat dan dihitung persamaan garis yang
dihasilkan serta dibuat kurva bakunya.Selanjutnya adalah melakukan
uji disolusi. Pertama-tama, disiapkan 3 gelas beaker yang
masing-masing berisi 900 ml air, yang kemudian dimasukkan ke dalam
3 tabung berbeda pada alat Disolution tester. Selanjutnya,
dipanaskan hingga mencapai suhu 370C (sesuai dengan suhu tubuh
manusia). Setelah mencapai suhu 370C, 3 buah tablet ranitidin
dimasukan ke dalam ketiga tabung yang telah diatur kecepatannya.
Diambil cuplikan dari dalam ketiga tabung secara bersama-sama pada
waktu 5, 10, 20, 30, 40, dan 45 menit. Pada setiap pengambilan,
dimasukkan aquadest ke dalam tabung sesuai dengan volume cuplikan
yang diambil.Kemudian, dilakukan pengenceran 2 ml setiap cuplikan
menjadi 20 ml dengan medium (pengenceran 10 kali) dan dilakukan
pengukuran absorbansi masing-masing cuplikan dengan menggunakan
alat spektrofotometer UV Vis pada panjang gelombang 314 nm.
Selanjutnya dihitung konsentrasi masing-masing cuplikan.
Gambar 1. Kurva Baku RanitidinVI. DATA PENGAMATAN
NoPerlakuanHasil
1Data disolusi ranitidineMedia disolusi: 900 ml air
Alat tipe 2 : 50 rpm
Waktu : 45 menit
Toleransi : Lakukan penetapan jumlah C13H22N4O3S yang terlarut
dengan mengukur filtrat larutan uji jika perlu diencerkan dengan
air. Serapan baku ranitidine BPFI dalam media yang sama pada
panjang gelombang 314 nm dalam waktu 45 menit harus larut tidak
kurang dari 80% (q) C13H22N4O3S dari jumlah yang tertera di
etiket
(FI IV, 1995 hal 734)
2Persiapan uji disolusi
Diambil 3 tablet ranitidine
3 tube disolusi diisi dengan air 900 ml
3Pemanasan media disolusi hingga 37oC
Diatur rpm dari alat disolusiMedia disolusi dan air diluar media
disolusi bersuhu 37oC
4Tablet dimasukan kedalam tube disolusiTablet dalam tube
5Media disolusi diambil sebnyaak 5 ml, pada t=10 menit, 20
menit, 30 menit, 40 menit dan 45 menit. Setiap pengambilan media
kedalam tube ditambahkan aquades ketube disolusi dengan volume yang
sama
6Diukur absorbansinya untuk setiap tube pada t=10 menit, 20
menit, 30 menit, 40 menit dan 45 menit.Tube 1
Tube 2
Tube 3
t10 0,2086
0,5267
0,3418
t200,6387
0,3920
0,3850
t30 0,6222
0,3907
0,3762
t400,7025
0,3954
0,3779
t450,2608
0,3857
0,7691
7Pembuatan kurva baku
Pembuatan larutan induk 250 ppm
Pengenceran dari 250 ppm menjadi 50 ppm, 45 ppm, 40 ppm, 35 ppm,
dan 30 ppm
Diukur absorbansinyaKonsentrasi
Absorbansi
30
0,3103
35
0,3276
40
0,3735
45
0,4251
50
0,5429
VII. PERHITUNGAN
Konsentrasi awal Ranitidin= 250 ppm
Absorbansi Baku
Kurva Baku dan Persamaan Garis
Gambar 1. Kurva Baku Ranitidin
Y = ax-bKeterangan :
x = konsentrasi
y = absorbansi
Pengenceran Ranitidin Baku
a. 30 ppm
V1 x N1 = V2 x N2V1 x 250 ppm = 20 ml x 30 ppm
V1 = 2, 4 ml
Jadi, volume aquadest yang ditambahkan kedalam labu ukur adalah
17,6 mL
b. 35 ppm
V1 x N1 = V2 x N2V1 x 250 ppm = 20 ml x 35 ppm
V1 = 2, 8 ml
Jadi, volume aquadest yang ditambahkan kedalam labu ukur adalah
17,2 mL
c. 40 ppm
V1 x N1 = V2 x N2V1 x 250 ppm = 20 ml x 40 ppm
V1 = 3,2 ml
Jadi, volume aquadest yang ditambahkan kedalam labu ukur adalah
16,8 mL
d. 45 ppm
V1 x N1 = V2 x N2V1 x 250 ppm = 20 ml x 45 ppm
V1 = 3,6 ml
Jadi, volume aquadest yang ditambahkan kedalam labu ukur adalah
16,4 mL
e. 50 ppm
V1 x N1 = V2 x N2V1 x 250 ppm = 20 ml x 50 ppm
V1 = 4 ml
Jadi, volume aquadest yang ditambahkan kedalam labu ukur adalah
16 mL
Perhitungan Sampel
TubeWaktu (menit)Absorbansi (nm)Konsentrasi (mg)
Tube 1100, 208613,6
200, 638751,66
300, 6223502,1
400, 7026573,1
450, 2609182,3
Tube 2100, 5268417,6
200, 392298,3
300, 3908297,2
400, 3954301,3
450, 3858292,8
Tube 3100, 3418253,89
200, 3851292,21
300, 3763284,42
400, 3779285,84
450, 7691632,03
Kurva hasil disolusi
Perhitungan Konsentrasi
a. Tube 1
y = 0,0113 x + 0,0549 T10 menit, absorbansi = 0, 2086
y
= 0,0113 x + 0,0549
0, 2086= 0,0113 x + 0.0549
x
= 13, 6 mg
karena dilakukan pengenceran sebanyak 1/10 kali nya, maka
konsentrasi = 13, 6 mg x 10
= 136 mg
T20 menit, absorbansi = 0. 6387
y
= 0,0113 x + 0,0549
0, 6387 = 0,0113 x + 0,0549
x= 51,66 mg
karena dilakukan pengenceran sebanyak 1/10 kali nya, maka
konsentrasi = 51,66 x 10
= 516,66 mg
T30menit, absorbansi = 0,6223
y
= 0,0113 x + 0,0549
0, 6223 = 0,0113 x + 0,0549
x
= 50,21 mg
karena dilakukan pengenceran sebanyak1/10 kali nya, maka
konsentrasi= 50,21 x 10
= 502,1 mg
T40menit, absorbansi = 0, 7026
y
= 0,0113 x + 0,0549
0,7026
= 0,0113 x + 0,0549
x
= 57,31 mg
karena dilakukan pengenceran sebanyak 1/10 kali nya, maka
konsentrasi = 57,31 x 10
= 573,1 mg
T45menit , absorbansi = 0,2609
y
= 0,0113 x + 0,0549
0,2609
= 0,0113 x + 0,0549
x
= 18,23 mg
karena dilakukan pengenceran sebanyak 1/10 kali nya, maka
konsentrasi = 18,23 x 10
= 182,3 mgb. Tube 2
y = 0,0113 x + 0,0549 T10 menit, absorbansi = 0,5268
y
= 0,0113 x + 0,0549
0,5268
= 0,0113 x + 0.0549
x
= 41,76 mg
karena dilakukan pengenceran sebanyak 1/10 kali nya, maka
konsentrasi = 41,76 mg x 10
= 417,6 mg
T20 menit, absorbansi = 0,392
y
= 0,0113 x + 0,0549
0, 392 = 0,0113 x + 0,0549
x
= 29, 83 mg
karena dilakukan pengenceran sebanyak 1/10 kali nya, maka
konsentrasi = 29,83 x 10
= 298,3 mg
T30menit, absorbansi = 0,3908
y
= 0,0113 x + 0,0549
0, 3908 = 0,0113 x + 0,0549
x
= 29,72 mg
karena dilakukan pengenceran sebanyak1/10 kali nya, maka
konsentrasi= 29,72 x 10
= 297,2 mg
T40menit, absorbansi = 0,3954
y
= 0,0113 x + 0,0549
0,3954
= 0,0113 x + 0,0549
x
= 30,13 mg
karena dilakukan pengenceran sebanyak 1/10 kali nya, maka
konsentrasi = 30,13 x 10
= 301,3 mg
T45menit , absorbansi = 0,3858
y
= 0,0113 x + 0,0549
0,3858
= 0,0113 x + 0,0549
x
= 29,28 mg
karena dilakukan pengenceran sebanyak 1/10 kali nya, maka
konsentrasi = 29,28 x 10
= 292,8 mg
c. Tube 3
y = 0,0113 x + 0,0549 T10 menit, absorbansi = 0,3418
y
= 0,0113 x + 0,0549
0,3418
= 0,0113 x + 0.0549
x
= 25,389
karena dilakukan pengenceran sebanyak 1/10 kali nya, maka
konsentrasi = 25,389 x 10
= 253,89
T20 menit, absorbansi = 0,3851
y
= 0,0113 x + 0,0549
0, 3851 = 0,0113 x + 0,0549
x
= 29,2212
karena dilakukan pengenceran sebanyak 1/10 kali nya, maka
konsentrasi = 29,2212 x 10
= 292,212 mg
T30menit, absorbansi = 0,3763
y
= 0,0113 x + 0,0549
0, 3763 = 0,0113 x + 0,0549
x
= 28,442 mg
karena dilakukan pengenceran sebanyak1/10 kali nya, maka
konsentrasi= 28,442 x 10
= 284,42 mg
T40menit, absorbansi = 0,3779
y
= 0,0113 x + 0,0549
0,3779
= 0,0113 x + 0,0549
x
= 28,5840 mg
karena dilakukan pengenceran sebanyak 1/10 kali nya, maka
konsentrasi = 28,5840 x 10
= 285,840 mg T45menit , absorbansi = 0,7691
y
= 0,0113 x + 0,0549
0,7691
= 0,0113 x + 0,0549
x
= 63,2035 mg
karena dilakukan pengenceran sebanyak 1/10 kali nya, maka
konsentrasi = 63,2035 x 10
= 632,035 mgVIII. PEMBAHASAN
Disolusi merupakan proses melarutnya suatu obat pada tempat
absorpsi. Proses melarutnya obat dalam tubuh dapat diketahui
melalui pengujian disolusi obat. Uji disolusi digunakan untuk
menentukan kesesuaian dengan persyaratan disolusi yang tertera
dalam masing-masing monografi untuk sediaan tablet dan kapsul,
kecuali pada etiket dinyatakan bahwa tablet harus dikunyah. Dalam
percobaan ini, dilakukan uji disolusi terhadap tablet. Percobaan
ini dilakukan dengan menggunakan alat disolusi yang dirancang
sesuai dengan kerja saluran gastrointestinal manusia. Larutan uji
yang digunakan disesuaikan dengan keadaan tubuh manusia
sebenarnya.
1. Pembuatan kurva baku kalibrasi
Hal pertama yang dilakukan dalam membuat kurva baku kalibrasi
dari bahan baku ranitidin HCl adalah dengan mencari maksimum dari
ranitidin HCl. Menurut farmakope indonesia edisi 4 halaman 734
dapat diketahui bahwa maksimum dari ranidin HCl adalah 314 nm.
Selain mencari maksimum proses selanjutnya adalah mencari prosedur
disolusi. Parameter yang harus diperhatikan dalam uji disolusi ini
adalah :
a. Media disolusi
Media disolusi adalah suatu larutan yang digunakan untuk menjadi
medium obat dapat melarut dalam hal ini ranitidin HCl media
disolusinya adalah air sebanyak 900 ml.
b. Alat tipe 2
Maksudnya adalah kecepatan dari alat yang digunakan harus
disesuaikan. Untuk ranitidin HCl diperlukan sekitar 50 rpm.
c. WaktuWaktu disini adalah lamanya proses disolusi dilakukan.
Untuk ranitidin HCl waktu yang dibutuhkan adalah 45 menit.
Sebelum melakukan uji disolusi terhadap tablet , dibuat larutan
baku dengan konsentrasi berbeda-beda (30 ppm, 35 ppm, 40 ppm, 45
ppm dan 50 ppm ). Pertama-tama dilakukan pembuatan kurva baku
ranitidin dengan cara menimbang sebanyak 0,005 gram (5 mg) baku
ranitidin dan dilarutkan 20 ml akuades dalam labu ukur sehingga
diperoleh konsentrasi larutan baku induk sebesar 250 ppm. Fungsi
pembuatan larutan baku 250 ppm ini adalah untuk memudahkan dalam
proses pembuatan variasi konsentrasi dari baku ranitidin HCl
Kemudian dilakukan pengenceran dengan cara sebanyak 2,4 ml larutan
baku 250 ppm dimasukkan dalam labu ukur 20 ml dan di ad kan hingga
tanda batas dengan akuades, dikocok hingga homogen, didapatkan
larutan dengan konsentrasi sebesar 30 ppm. Labu dengan konsenterasi
30 ppm tersebut kemudian dibaca absorbansinya dengan alat
spektrofotometer UV pada panjang gelombang maksimum.
Selanjutnya, karena absorbansi pada 30 ppm tersebut memenuhi
rentang absorbansi (0,2 - 0,8 A) dilakukan beberapa pengenceran
untuk membuat larutan baku dengan konsentrasi 35, 40, 45 dan 50
ppm. Untuk membuat larutan baku ranitidin dengan konsentrasi 35 ppm
dilakukan dengan cara: sebanyak 2,8 ml larutan baku induk 250 ppm
dipipet, dimasukkan ke dalam labu ukur 20 ml dan di-ad dengan
akuades hingga tanda batas, dikocok hingga homogen. Konsentrasi
baku 40 ppm dibuat dengan cara: sebanyak 3,2 ml larutan baku induk
250 ppm dipipet, dimasukkan ke dalam labu ukur 20 ml dan diad kan
dengan akuades hingga tanda batas, dikocok hingga homogen.
Konsentrasi 45 ppm dibuat dengan cara, sebanyak 3,6 ml larutan baku
induk 250 ppm dipipet, dimasukkan ke dalam labu ukur 20 ml dan di
ad kan dengan akuades hingga tanda batas, dikocok hingga homogen.
Sedangkan untuk membuat larutan 50 ppm dilakukan dengan cara:
sebanyak 4 ml larutan baku induk 250 ppm dipipet, dimasukkan ke
dalam labu ukur 20 ml dan di ad dengan akuades hingga tanda batas,
dikocok hingga homogen. Kemudian dari masing masing labu dengan
konsentrasi yang berbeda tersebut diukur absorbansinya dengan
spektrofotometer UV pada panjang gelombang maksimum.
Larutan baku ini digunakan untuk memperoleh nilai absorbansi
baku ranitidin pada pengukuran menggunakan spektrofotometer ultra
violet dengan panjang gelombang 314 nm (panjang gelombang serapan
maksimum larutan baku ranitidin BPFI). Setelah semua variasi
konsentrasi selesai dibuat, pengukuran serapan/absorbansi dilakukan
dengan spektroskopi sinar UV. Kuvet yang akan digunakan dikalibrasi
terlebih dahulu dengan cara diisi dengan aquadest, lalu disesuaikan
nilai absorbansinya hingga menunjukkan angka nol. Kalibrasi ini
bertujuan untuk menghindari kesalahan perhitungan konsentrasi.
Kuvet dibilas dengan larutan yang akan dihitung konsentrasinya
sebanyak tiga kali, sehingga kuvet hanya berisi larutan uji tanpa
pengotor. Pengotor dapat menyamarkan perhitungan konsentrasi karena
pengotor dapat memberikan absorbansi. Sebelum zat dimasukkan ke
dalam spektrofotometer ultraviolet, kuvet dibersihkan menggunakan
tissue bersih. Jika tidak dibersihkan, mungkin pengotor yang
berasal dari praktikan, seperti uap air dan lemak yang berasal dari
tangan praktikan dapat menempel pada kuvet dan memberikan
absorbansi, sehingga hasil akhir absorbansi tidak sesuai dengan
literatur. Pada pengukuran dengan menggunakan spektrofotometer,
terlebih dahulu dilakukan pemilihan panjang gelombang untuk
pengukuran. Panjang gelombang untuk pengukuran, dipilih panjang
gelombang yang menunjukkan nilai absorpsi maksimum. Keuntungan
pengukuran dengan menggunakan spektrofotometer yaitu mempunyai
sensitivitas yang relatif tinggi, pengerjaannya mudah sehingga
pengukuran yang dilakukan cepat, dan mempunyai spesifisitas yang
relatif tinggi.
Pengukuran dilakukan pada maksimum supaya dihasilkan serapan
yang maksimum. Alat spektrofotometri yang digunakan memiliki dua
tempat kuvet (double beam). Kuvet pertama berfungsi untuk tempat
blanko. Kuvet kedua berfungsi untuk tempat sampel. Sampel kemudian
diukur absorbansinya. Pengukuran absorbansi hendaknya dimulai dari
sampel yang konsentrasinya kecil agar tidak mempengaruhi pengukuran
konsentrasinya lainnya. Setiap akan mengganti sampel dengan
konsentrasi yang berbeda, kuvet hendaknya dibilas dengan pelarut
sampel agar tidak ada sisa sampel yang sebelumnya yang dapat
mempengaruhi nilai dari absorbansi.
Prinsip dari spektrofotometri yaitu jika suatu molekul dikenai
suatu radiasi elektromagnetik pada frekuensi yang sesuai sehingga
energi molekul tersebut ditingkatkan ke level yang lebih tinggi
(molekul mengalami eksitasi), maka terjadi peristiwa penyerapan
(absorpsi) energi oleh molekul. Banyaknya sinar yang diabsorpsi
pada panjang gelombang tertentu sebanding dengan banyaknya molekul
yang menyerap radiasi, sehingga spektra absorpsi juga dapat
digunakan untuk analisis kuantitatif.
Pada spektrum UV-Vis ini yang memberikan serapan karena adanya
gugus kromofor pada suatu senyawa. Gugus kromofor merupakan semua
gugus atau atom dalam senyawa organik yang mampu menyerap sinar UV
dan sinar tampak. Selain itu juga ada yang dinamakan gugus ausokrom
yang merupakan gugus fungsional yang mempunyai elekton bebas
seperti OH-, O-, dan CH3O- yang memberikan transisi n *. Terikatnya
gugus ausokrom pada gugus kromofor akan mengakibatkan pergeseran
pita absorbs menuju ke panjang gelombang yang lebih besar
(batochromic) disertai dengan peningkatan intensitas yang disebut
hiperkromik.
Hukum lambert-beer menyatakan bahwa konsentrasi suatu zat
berbanding lurus dengan jumlah cahaya yang diabsorpsi, atau
berbanding terbalik dengan logaritma cahaya yang
ditransmisikan.
Dimana :
A = absorban
a = absorptivitas
b = jalannya sinar pada larutan
c = konsentrasi
T = Transmitan
Transmitans (T) didefinisikan sebagai rasio cahaya yang
ditransmisikan (I) terhadap cahaya yang datang (Io).
Setelah diukur dengan menggunakan spektrofotometer UV-Vis, hasil
absorbansi yang didapat adalah 0,3103; 0,32765; 0,37035; 0,4251 dan
0,54295. Dengan demikian semua hasil absorbansi ranitidine yang
diperoleh telah memenuhi syarat Hukum Lambert-Beer (Absorbansi= 0,2
0,8). Setelah itu dilakukan perhitungan untuk menentukan persamaan
garis linear. Adapun persamaan garis linear yang diperoleh adalah y
= 0,0113x 0,0549. Selanjutnya dilakukan pembuatan kurva baku dengan
memplotting konsentrasi larutan standar sebagai sumbu x dan
absorbansi sebagai sumbu y.2. Uji disolusi
Setelah pembuatan kurva baku selesai, maka dilakukan uji
disolusi. Uji disolusi (in vitro) dilakukan untuk mengukur jumlah
zat aktif yang terdisolusi dalam media cair yang diketahui
volumenya pada suatu waktu tertentu dan alat tertentu. Penentuan
konsentrasi zat aktif yang terlarut dalam berbagai waktu akan
memberi informasi tentang :
Kecepatan disolusi zat aktif dari sediaan padat
Jumlah maksimal zat aktif yang akan larut
Kinetika kecepatan disolusi
Untuk uji disolusi ini obat yang digunakan adalah tablet
ranitidin HCl yang ada dipasaran. Dalam uji disolusi, ada beberapa
parameter yang harus diperhatikan. Pada Farmakope Edisi IV halaman
734, tertera bahwa media disolusi adalah suatu larutan yang
digunakan untuk menjadi medium obat dapat melarut dalam hal ini
ranitidin HCl media disolusinya adalah air sebanyak 900 ml,
kecepatan dari alat yang digunakan untuk ranitidin HCl diperlukan
sekitar 50 rpm, dan dalam waktu 45 menit harus larut tidak kurang
dari 80% dari jumlah yang tertera pada etiket.
Tahapan yang dilakukan pertama kali adalah mengisi air ke medium
disolusi dengan air sebanyak 900 ml. Kemudian setelah itu
memastikan suhu alat disolusi harus 37oC. Hal ini dilakukan karena
untuk membuat alat semirip mungkin dengan suhu tubuh normal.
Setelah sebanyak 3 tablet ranitidine 150 mg dimasukkan ke dalam
masing masing labu berstirer yang jumlahnya 3 labu dan telah diisi
aquades sebanyak 900 ml. Setelah itu alat dijalankan dan pada menit
ke 10, 20, 30, 40, dan 45 diambil dari medium disolusi sejumlah
sampel dengan alat penghisap (syringe) sebanyak 5 ml. Sampel
dimasukkan ke dalam botol vial dan labu diisi lagi dengan aquades
sebanyak 5 ml. Selanjutnya dilakukan pengukuran absorbansinya
dengan spektroskopi uv - visible. Hasil yang diperoleh adalah
WaktuTube
Tube 1Tube 2Tube 3
10 menit0.208600.526750.34180
20 menit0.638700.392050.38505
30 menit0.622250.390750.37625
40 menit0.702550.395400.37790
45 menit0.260850.385750.76910
Absorbansi yang dihasilkan masih berada dalam rentang hukum
lambert beer (0,2-0,8). Dari hasil absorbansi, konsentrasi
ranitidine yang terlarut setiap 10 menit dapat diketahui. Caranya
adalah dengan memasukkan hasil absorbansi diatas kedalam persamaan
linier y = 0,0113 x + 0,0549 yang diperoleh dari kurva baku.
Setelah dihitung, maka diperoleh bahwa konsentrasi (mg) ranitidine
yang terdisolusi cukup fluktuatif disetiap pengujian. Hal ini dapat
diamati pada kurva berikut
Kefluktuatifan yang terjadi pada konsentrasi yang diambil dalam
uji disolusi ini menunjukkan bahwa konsentrasi obat yang
terdisolusi juga dipengaruhi oleh waktu pengujian. Faktor lain yang
mempengaruhi disolusi obat adalah sifat fisikokimia, faktor
formulasi, dan faktor fisiologi manusia.IX. KESIMPULAN
1. Uji disolusi dilakukan menggunakan suatu alat yang dirancang
sesuai dengan kerja saluran gastrointestinal manusia. 2. Hasil dari
uji disolusi menunjukan bahwa konsentrasi (mg) ranitidine yang
terdisolusi cukup fluktuatif disetiap pengujian. Hal ini dapat
dipengaruhi oleh waktu pengujian, sifat fisikokimia, faktor
formulasi, dan faktor fisiologi manusia.X. DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2007. The United States Pharmacopoeia 30 The National
Formulary 25. United States Pharmacopoeia Convention, Inc.
Electronic version.
Ansel, C Howard. 1989. Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi. Edisi
keempat. Penerjemah Farida Ibrahim. Jakarta : Universitas Indonesia
Press.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 1979. Farmakope
Indonesia. Edisi ke-3. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik
Indonesia
Fikri. 2007. Available online at
mfi.farmasi.ugm.ac.id/files/news/1._17-2-2007-FIKRI.pdf [Diakses
pada tanggal 12 April 2013]
Hamdani. 2010. Available online at
http://catatankimia.com/catatan/tipe-dan-analisis-spektrofotometri-uv-vis.html
[Diakses pada tanggal 12 April 2013]
Lachman, Leon, Lieberman, Hebert, Kahig, Joseph. 1994. Teori dan
Praktek Farmasi Industri. Edisi ketiga. Penerjemah Siti Suyatmi.
Jakarta: Universitas Indonesia Press.
Permanasari, Anna. 2011. Available online at
Aanna-permanasari.staf.upi.edu%2Ffiles%2F2011%2F03%2FSpektro-UV-Vis.pdf
[Diakses pada tanggal 12 April 2013]
Shargel, Leon, dan Andrew B.C.Y.U. 1988. Biofarmasi dan
Farmakokinetika Terapan. Edisi II. Penerjemah Dr. Fasich, Apt. dan
Dra. Siti Sjamsiah, Apt. Surabaya : Airlangga University Press.
Voigt, 1995. Buku Pelajaran Teknologi Farmasi. Yogyakarta :
Universitas Gadjah Mada Press.Massa larutan dengan konsentrasi =
Ct
Kristal
Lapisan film (h) dgn konsentrasi = Cs