This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
LAPORAN AKHIR PRAKTIKUM FARMAKOLOGI
“PENGUJIAN EFEK ANTI DIARE”
KELOMPOK 4
KELAS PRAKTIKUM SELASA/07.00-10.00
Disusun Oleh :
Susanti 260110110021 Editor
Riska Rismawati 260110110022 Pembahasan
Mira Laila Nur Abadi 260110110023 Perhitungan
Nuraini Insiyah 260110110024 Perhitungan
Megawati 260110110025 Perhitungan
Becus Srimuang 260110110026 Teori Dasar
Raisa Muthiarani 260110110027 Pembahasan
Rena Fitriani 260110110028 Prosedur
LABORATORIUM FARMAKOLOGI
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS PADJADJARAN
2013
PERCOBAAN V
PENGUJIAN EFEK ANTI DIARE
I. TUJUAN PERCOBAAN
Mengetahui sejauh mana aktivitas obat anti diare dapat menghambat diare dengan
metode transit intestinal.
II. PRINSIP
Efek obat anti diare dalam menghambat gerak peristaltik usus dapat ditandai
dengan terhambatnya aliran tinta cina yang melewati usus
III. TEORI
Diare adalah keadaan buang-buang air dengan banyak cairan (mencret)
dan merupakan gejala-gejala dari penyakit tertentu atau gangguan lain, seperti
diuraikan dibawah ini (Yun diarrea = mengalir melalui). Kasus ini banyak
terdapat dinegara-negara berkembang dengan standar hidup yang rendah, di mana
dehidasi akibat diare merupakan salah satu penyebab kematian yang sangat
penting pada anak-anak (Tjay,2007).
Dalam lambung makanan dicerna menjadi ”bubur” (chymus), kemudian
diteruskan ke usus halus untuk diuraikan lebih lanjut oleh enzim-enzim
pencernaan. Setelah zat-zat gizi diresorpsi oleh villi ke dalam darah, sisachymus
yang terdiri dari 90% air dan sisa makanan yang sukar dicernakan, diteruskan ke
usus besar (colon). Bakteri-bakteri yang biasanya selalu berada di sini (flora)
mencernakan lagi sisa-sisa (serat-serat) tersebut, sehingga sebagian besar
daripadanya dapat diserap pula selama perjalanan melalui usus besar. Airnya juga
diresorpsi kembali, sehingga lambat laun isi usus menjadi lebih padat dan
dikeluarkan dari tubuh sebagai tinja (Tjay, 2007).
Diare akut infeksi diklasifikasikan secara klinis dan patofisiologis menjadi
diare non inflamasi dan diare inflamasi. Diare Inflamasi disebabkan invasi bakteri
dan sitotoksin di kolon dengan manifestasi sindroma disentri dengan diare yang
disertai lendir dan darah. Gejala klinis yang menyertai keluhan abdomen seperti
mulas sampai nyeri seperti kolik, mual, muntah, demam, tenesmus, serta gejala
dan tanda dehidrasi. Pada pemeriksaan tinja rutin secara makroskopis ditemukan
lendir dan/atau darah, serta mikroskopis didapati sel leukosit polimorfonuklear
(Zein, dkk, 2004).
Mekanisme terjadinya diare yang akut maupun yang kronik dapat dibagi
menjadi kelompok osmotik, sekretorik, eksudatif dan gangguan motilitas. Diare
osmotik terjadi bila ada bahan yang tidak dapat diserap meningkatkan osmolaritas
dalam lumen yang menarik air dari plasma sehingga terjadi diare. Contohnya
adalah malabsorbsi karbohidrat akibat defisiensi laktase atau akibat garam
magnesium(Zein, dkk, 2004).
Diare sekretorik bila terjadi gangguan transport elektrolit baik absorbsi yang
berkurang ataupun sekresi yang meningkat. Hal ini dapat terjadi akibat toksin
yang dikeluarkan bakteri misalnya toksin kolera atau pengaruh garam empedu,
asam lemak rantai pendek, atau laksantif non osmotik. Beberapa hormon intestinal
seperti gastrin vasoactive intestinal polypeptide (VIP) juga dapat menyebabkan
diare sekretorik(Zein, dkk, 2004).
Kelompok obat yang sering digunakan pada diare adalah :
1. kemoterapeutika untuk terapi kausal, yakni memberantas bakteri
penyebab diare. Seperti anti biotika, sulfonamida, kinolon, dan
furazolidon.
2. obstipansia untuk terapi simtomatis, yang dapat menghentikan diare
dengan beberapa cara, yakni:
a. zat-zat penekan peristaltik sehingga memberikan lebih banyak
waktu untuk resorpsi air dan elektrolit oleh mukosa usus: candu
dan alkaloidanya, derivat-derivat petidin (difenoksilat dan
loperamida), dan antikolinergika (atropin, ekstrak belladonna).
b. Adstringensia, yang menciutkan selaput lendir usus, misalnya
asam samak (tanin) dan tannalbumin, garam-garam bismut, dan
alumunium.
c. Adsorbensia, misalnya carbo adsorbens yang pada permukaannya
dapat menyerap (adsorpsi) zat-zat beracun (toksin) yang
dihasilkan oleh bakteri atau yang adakalanya berasal dari makanan
(udang, ikan). Termasuk disini adalah juga mucilagines, zat-zat
lendir yang menutupi selaput lendir usus dan lukanya dengan
suatu lapisan pelindung, umpamanya kaolin, pektin, (suatu
karbohidrat yang terdapat antara lain dalam buah apel) dan garam-
garam bismut, serta alumunium.
3. spasmolitika, yakni zat-zat dapat melepaskan kejang-kejang otot yang
sering kali mengakibatkan nyeri perut pada diare, antara lain papaverin
dan oksifenonium(Mutchler,1991).
LOPERAMIDA (IMODIUM)
Loperamida merupakan derivat difenoksilat dengan khasiat obstipasi 2-3
kali lebih kuat tetapi tanpa khasiat terhadap SSP, sehingga tidak mengakibatkan
ketergantungan. Zat ini dapat menormalkan keseimbangan resorpsi-sekresi dari
sel-sel mukosa, yaitu memulihkan se-sel yang berada dalam keadaan hipersekresi
ke keadaan resorpsi normal kembali. Mulai kerjanya lebih cepat, juga bertahan
lebih lama. Efek sampingnya sama tetapi praktis tidak timbul(Mutchler,1991).
Dosis : pada diare akut dan kronis: permulaan 2 tablet dari 2 mg, lalu
setiap 2 jam 1 tablet sampai maksimal 8 tablet seharinya. Anak-anak sampai 8
tahun: 2-3 dd 0,1 mg setiap kg bobot badan, anak-anak 8-12 tahun; pertama kali 2
mg, maksimal 8-12 mg sehari. Tidak boleh diberikan pada anak-anak di bawah
usia 2 tahun, karena fungsi hatinya belum berkembang dengan sempurna untuk
dapat menguraikan obat ini(Mutchler,1991).
Loperamid hidroklorida memiliki nama kima yaitu 4-(p-klorofenil)-4-
hidroksi-N,N-dimetil-α,α-difenil-1-piperidina butiramida monohidroklorid, adalah
sebuah opiat agonis yang banyak digunakan sebagai obat yang efektif untuk
kontrol dan mengetahui gejala yang timbul dari diare akut non-spesifik. Akhir-
akhir ini, ia juga telah dilaporkan bahwa ada beberapa loperamida dapat
digunakan sebagai agen antihiperalgesik tanpa menimbulkan efek samping berupa
rasa sakit sistem saraf pusat. Loperamida diberikan secara oral dan langsung
diabsorbsi (sekitar 40%) dalam saluran gastrointestinal untuk menjalani
metabolisme pertama di hati dan diekskresikan melalui feses melalui empede
sebagai konjugat tidak aktif (kombinasi sulfo- dan glukurono-) (Savic, 2008).
Loperamida HCl mengandung tidak kurang dari 98% dan tidak lebih dari
102,0% C29H33ClN2O2.HCl, dihitung terhadap zat yang telah dikeringkan.
Loperamida HCl berbentuk serbuk putih sampai agak kuning dan memiliki titik
lebur sekitar 2250 yang disertai dengan penguraian. Senyawa ini mudah larut
dalam metanol, isopropil alkohol, dan kloroform, tetapi sukar larut dalam air dan
asam encer (Farmakope Indonesia IV, 1995).
Struktur Kimia Loperamida HCl
Farmakologi
Loperamida HCl memperlambat motilitas usus dengan mempengaruhi
langsung dinding usus. Obat ini bekerja melalui mekanisme antikolinergik yang
mempengaruhi gerak peristaltik dan aktivitas otot sirkular dan longitudinal
dinding usus. Loperamida hidroklorida memperpanjang waktu transit isi usus
sehingga mengurangi volume dan meningkatkan viskositas feses serta mencegah
hilangnya cairan dan elektrolit. Sebagai antidiare, loperamida hidroklorida bersifat
lebih spesifik, bekerja lebih lama dan 2-3 kali lebih kuat daripada difenoksilat.
Obat ini berikatan dengan reseptor opioid tapi tidak menimbulkan euforia seperti
morfin sehingga kemungkinan penyalahgunaannya kecil (McEvoy, 1999).
Loperamida HCl dapat berinteraksi dengan digoksin, suatu zat aktif yang
digunakan untuk mengobati laju jantung atau untuk menormalkan kembali denyut
jantung yang tidak teratur. Akibat yang ditimbulkan adalah meningkatnya efek
digoksin. Dengan memperlambat gerakan usus halus, loperamida HCl menaikkan
penyerapan digoksin oleh tubuh. Efek samping merugikan mungkin terjadi karena
terlalu banyak digoksin. Gejala yang dilaporkan antara lain mual, sakit kepala, tak
ada nafsu makan, gangguan penglihatan, bingung, tak bertenaga, bradikardia atau
takhikardia, dan aritmia jantung. Efek ini dapat diperkecil bila digunakan obat
paten digoksin yang mudah larut seperti Lanoxin (Harkness, 1989).
Farmakokinetik
Kadar puncak dalam plasma dicapai dalam waktu 4 jam sesudah pemberian
obat. Jangka yang lama ini disebabkan oleh sirkulasi enterohepatik obat dan
aktivitas penghambatan motilitas usus itu sendiri. Waktu paruhnya adalah 7-14
jam. Sebagian besar obat diekskresi melalui feses. Loperamida HCl tersedia
dalam bentuk tablet 2 mg dan digunakan dengan dosis 4-8 mg/hari (Ganiswara,
1995).
Loperamida HCl dalam sediaan larutan untuk oral memiliki pH sekitar 5
dan obatnya memiliki pKa 8,6. Kapsul loperamida dan larutan oral sebaiknya
disimpan di tempat tertutup baik pada suhu kamar (McEvoy, 1999)
IV. ALAT DAN BAHAN
A. Alat
1. Alat bedah
2. Alas/meja bedah
3. Sonde Oral Mencit
4. Penggaris (pengukur jarak)
5. Timbangan hewan
6. Wadah mencit
B. Bahan
1. Fenol Barbital
2. Natrium klorida
3. Hewan percobaan : Mencit jantan, bobot rata-rata 20-25 kg
C. Gambar alat
V. PROSEDUR
Pertama – tama masing – masing mencit (telah dipuasakan 18 jam
sebelum percobaan) ditimbang dan dihitung volume dosis yang akan diberikan
bagi tiap – tiap mencit berdasarkan berat badannya. Kemudian mencit dibagi
menjadi 3 kelompok yaitu : kelompok kontrol (mencit pertama ) diberi
suspensi PGA 2 %, kelompok kedua diberikan loperamid dosis 1 ( 0.24 mg/20
gr BB ) dan mencit ketiga diberikan loperamid dosis 2 (0.48 mg/20gr BB).
Semua zat diberikan secara per oral.
Pada saat t = 45 menit kepada semua mencit diberikan tinta cina sebesar
0.1 mL/10 gr mencit secara per oral. Pada saat t = 65 menit semua mencit
dikorbankan dengan dislokasi tulang leher. Mencit yang telah mati kemudian
dibedah, ususnya dikeluarkan dan direngganggkan pada alas bedah secara hati
– hati. Dari usus yang direnggangkan tersebut diukur panjang usus yang dilalui
tinta cina mulai dari pylorus sampai ujung akhir ( ditandai dengan adanya
warna gelap ) dan panjang keseluruhan usus dari pylorus sampai rektum. Dari
data yang telah diperoleh , kemudian dihitung rasio normal jarak yang
ditempuh marker terhadap panjang usus seluruhnya. Hasil – hasil pengamatan
kemudian disajikan dalam tabel dan grafiknya dibuat.
VI. DATA PENGAMATAN
PerlakuanBB Kelompok
(g)
Panjang
Usus
(cm)
Usus
Termarker
(cm)
Rasio Rata-rata
Kontrol (PGA 2%)
1. 15 55 11 0,200
0,19972. 19,65 43 7 0,163
3. 13,5 55 13 0,236
Loperamid dosis I
(0,24 mg/20g BB)
1. 15,3 56,5 8 0,142
0,1622. 15,9 45 7 0,156
3. 16 48 9 0,188
Loperamid dosis II
(0,48 mg/20g BB)
1. 15,2 - - -
02. 14 0 0 0
3. 14 - - -
VII. PERHITUNGAN
1. DOSIS OBAT
A. Mencit Kelompok Kontrol (PGA %)
Mencit kelompok 1 ¿1520
× 0,5=0,375 ml
Mencit kelompok 2 ¿19,65
20×0,5=0,491 ml
Mencit kelompok 3 ¿13,520
×0,5=0,3375 ml
Dosis pemberian tinta cina
Mencit kelompok 1 ¿1510
×0,1=0,15 ml
Mencit kelompok 2 ¿19,65
10×0,1=0,1965 ml
Mencit kelompok 3 ¿13,510
×0,1=0,135 ml
B. Mencit Kelompok Loperamid Dosis 1
Mencit kelompok 1 ¿15,320
×0,5=0,38 25 ml
Mencit kelompok 2 ¿15,920
×0,5=0,3975 ml
Mencit kelompok 3 ¿1620
× 0,5=0,4 ml
Dosis pemberian tinta cina
Mencit kelompok 1 ¿15,310
×0,1=0,153 ml
Mencit kelompok 2 ¿15,910
×0,1=0,159 ml
Mencit kelompok 3 ¿1610
× 0,1=0,16 ml
C. Mencit Kelompok Loperamid Dosis 1
Dosis ¿ 1420
× 0,5=0,35 ml
Dosis pemberian tinta cina
Dosis ¿ 1410
× 0,1=0,14 ml
2. Presentase Efek Peristaltik Usus
Loperamid dosis I
% efek peristaltik usus = rasio ujiloperamid I
rasio kontrol× 100 =
0,16120,1986
× 100 %=81,13 %
Loperamid dosis II
% efek peristaltik usus = rasio ujiloperamid II
rasio kontrol×100 =
00,198
× 100 %=100 %
VIII. GRAFIK
Kelompok 1 Kelompok 2 Kelompok 30
0.05
0.1
0.15
0.2
0.25
Rasio
KontrolLoperamid ILoperamid II
RAsi
o
Loperamid I Loperamid II0.00%
20.00%
40.00%
60.00%
80.00%
100.00%
120.00%
% Inhibisi Peristaltik Usus
Perhitungan berdasarkan Anava (Analisis Varians)
Tabel. Efek Perlakuan Pemberian Obat terhadap Mencit
OBATRASIO JUMLAH
(J)
RATA-
RATA1 2 3
Kontrol (PGA2%)0,20
00,163 0,236 0,599 0,1997
Loperamid dosis I
(0,12mg/20g BB)
0,14
20,156 0,188 0,486 0,162
Loperamid dosis II
(0,24mg/20g BB)- 0 - 0 0
Perhitungan dengan tabel ANAVA
Hipotesis:
H0: µK = µLI= µLII= 0
H1: paling sedikit ada satu dimana µK 0
Statistik uji : = 5 % = 0,05
Ry = Rata-rata Jumlah Kuadrat
= (0,599+0,486+0)2
3+3+1 = 0,1682
Ay = Perlakuan
= (0,599 )2+(0,486 )2+(0 )2
3−0,1682
= 0,1983 – 0,1682
= 0,0301
y2 = 0,22+ 0,1632 + 0,2362 +..... + 02
= 0,2021
Ey = Residual
= y2 – Ry – Ay
= 0,2021 – 0,1682 – 0,0301
= 0,0038
Tabel Anava
SV Df JKKT
(JK/df)
Fhit
(KTperlakuan/KTresidual
Rata-rata 1 0,1682 0,1682
15,8947Perlakuan 2 0,0301 0,0151
Residual 4 0,0038 0,00095
Jumlah 7 0,2021
Statistik uji:
Ftabel = F0,05 (2,4) = 6,94
15,8947>6,94
F hit F tabel, maka Ho ditolak.
Artinya, rata-rata antar perlakuan (PGA, Loperamida dosis I, maupun Loperamida
dosis II) memberikan efek anti diare yang berbeda terhadap mencit. Maka untuk
mengetahui perlakuan mana yang memberikanefek antidiare signifikan terhadap
mencit, maka dilakukan pengujian lanjut.
Uji Scheffe
1. Hipotesis uji :
C1 = J1 – J2= Jkontrol - JLI
C2 = 2J1 – J2 – J3 = 2Jkontrol – JLI - JLII
H01 : J1 = J2 . Artinya tidak terdapat perbedaan efek obat antidiare yang
signifikan terhadap mencit.
H11 : J1≠ J2 . Artinya terdapat perbedaan efek obat antidiare yang signifikan
terhadap mencit.
atau
H02: 2J1 = J2 + J3 , Artinya tidak terdapat perbedaan efek obat antidiare yang
signifikan antara perlakuan kontrol dan 2 perlakuan lainnya (Loperamid dosis
I dan Loperamid dosis II).
H12: 2J1≠ J2 + J3, Artinya terdapat perbedaan efek obat antidiare yang
signifikan antara perlakuan kontrol dan 2 perlakuan lainnya (Loperamid dosis
I dan Loperamid dosis II)
2. Statistik uji
Q.S(Ci)
Tolak H0 jika |Cp| > Q.S(Cp)
Q.S(C1)
Q = √ (k−1 ) F tabel
S(C1) = √ KT residual (n1 (+1 )2+n2 (−1 )2)
= √ (3−1 ) 6,94 = √0,00095(3 (1 )+3 (1 ))
= 3,7256 = √0,0057 = 0,0755
Q.S(C1) = 3,7256 x 0,0755 = 0,2813
|C1| = Jkontrol - JLI= 0,599 – 0,486 = 0,113
|C1|= 0,113<Q.S(C1) =0,2813
H01diterima, artinya tidak terdapat perbedaan efek obat antidiare
(perlakuan kontrol dan Loperamid I) yang signifikan terhadap mencit.