1 BAB I PENDAHULUAN A. Analisis Situasi Penduduk Indonesia yang (dulu) sebagian besar hidup dari bertani, dewasa ini semakin bergeser dan menjadi beragam pola penghidupannya, terutama di kota besar seperti Surabaya. Bertani bukan lagi menjadi primadona dalam mengais rupiah. Ini juga menyebabkan lahan pertanian yang dulunya terbentang luas berubah menjadi gedung-gedung bertingkat, ruko, maupun perumahan. Keadaan petani semakin terjepit antara realitas hidup bahwa penghasilan dari bertani tidak lagi mencukupi untuk masa depan bahkan untuk memenuhi kehidupan sehari-haripun masih kurang, sedangkan sisi lain, tidak ada ketrampilan lain yang dimiliki selain bercocok tanam. Disinilah peranan kelompok tani sangat diperlukan. Kelompok tani selain berfungsi sebagai wadah bagi petani dalam mengembangkan keilmuan dan ketrampilannya berkaitan dengan pertanian, juga sebagai sarana menyampaikan ketrampilan-ketrampilan baru yang masih berkaitan dengan tanaman maupun informasi lain yang berkenaan dengan kesejahteraan keluarga, seperti peningkatan pengetahuan tentang gizi dan tanaman obat keluarga. “Mayangsari” adalah nama dari kelompok tani yang berada di Kelurahan Kebonsari kecamatan Jambangan, Surabaya. Kelompok tani “Mayangsari” ini diketuai oleh Ny. Thohirman, yang dikukuhkan sebagai Kontak Tani pada tanggal 4 Desember 1985 Soetarto KS. B. BA selaku Ketua Forum Koordinasi Penyuluhan Pertanian Kodya Surabaya waktu itu. Kegiatannya kelompok tani “Mayangsari” tidak jauh berbeda dengan kelompok tani lainnya. Namun karena keberadaannya di perkotaan maka ada beberapa kelebihan, antara lain lebih cepat dalam menyerap informasi dan mayoritas anggotanya memiliki pendidikan yang cukup (minimal lulus SMP). Kegiatannya pun lebih bervariasi dan tidak hanya monoton mengenai pertanian melainkan juga mengadakan pelatihan seperti yang pernah dilakukan adalah membuat saos tomat dan saos sambal. Penekanan kegiatan kelompok tani Mayangsari sedikit berbeda dengan kelompok tani pada umumnya. Karena mata pencaharian pokok bukan di sektor pertanian (bertani) maka diharapkan dengan bercocok tanam dapat menambah pendapatan sehingga nantinya mampu meningkatkan kesejahteraan keluarga.
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Analisis Situasi
Penduduk Indonesia yang (dulu) sebagian besar hidup dari bertani,
dewasa ini semakin bergeser dan menjadi beragam pola penghidupannya,
terutama di kota besar seperti Surabaya. Bertani bukan lagi menjadi primadona
dalam mengais rupiah. Ini juga menyebabkan lahan pertanian yang dulunya
terbentang luas berubah menjadi gedung-gedung bertingkat, ruko, maupun
perumahan. Keadaan petani semakin terjepit antara realitas hidup bahwa
penghasilan dari bertani tidak lagi mencukupi untuk masa depan bahkan untuk
memenuhi kehidupan sehari-haripun masih kurang, sedangkan sisi lain, tidak ada
ketrampilan lain yang dimiliki selain bercocok tanam.
Disinilah peranan kelompok tani sangat diperlukan. Kelompok tani selain
berfungsi sebagai wadah bagi petani dalam mengembangkan keilmuan dan
ketrampilannya berkaitan dengan pertanian, juga sebagai sarana menyampaikan
ketrampilan-ketrampilan baru yang masih berkaitan dengan tanaman maupun
informasi lain yang berkenaan dengan kesejahteraan keluarga, seperti
peningkatan pengetahuan tentang gizi dan tanaman obat keluarga.
“Mayangsari” adalah nama dari kelompok tani yang berada di Kelurahan
Kebonsari kecamatan Jambangan, Surabaya. Kelompok tani “Mayangsari” ini
diketuai oleh Ny. Thohirman, yang dikukuhkan sebagai Kontak Tani pada tanggal
4 Desember 1985 Soetarto KS. B. BA selaku Ketua Forum Koordinasi
Penyuluhan Pertanian Kodya Surabaya waktu itu.
Kegiatannya kelompok tani “Mayangsari” tidak jauh berbeda dengan
kelompok tani lainnya. Namun karena keberadaannya di perkotaan maka ada
beberapa kelebihan, antara lain lebih cepat dalam menyerap informasi dan
mayoritas anggotanya memiliki pendidikan yang cukup (minimal lulus SMP).
Kegiatannya pun lebih bervariasi dan tidak hanya monoton mengenai pertanian
melainkan juga mengadakan pelatihan seperti yang pernah dilakukan adalah
membuat saos tomat dan saos sambal.
Penekanan kegiatan kelompok tani Mayangsari sedikit berbeda dengan
kelompok tani pada umumnya. Karena mata pencaharian pokok bukan di sektor
pertanian (bertani) maka diharapkan dengan bercocok tanam dapat menambah
pendapatan sehingga nantinya mampu meningkatkan kesejahteraan keluarga.
2
Hal ini sesuai dengan tujuan pendirian kelompok tani ini, sedangkan misi yang
diemban adalah membentuk keluarga sehat dan sejahtera.
Banyak kegiatan yang telah dilakukan, baik internal dalam lingkungan
kelurahan misalnya pelatihan teknik pembibitan (mencangkok dan okulasi),
menanam tanaman hias dalam pot, serta beternak ayam, maupun kegiatan
eksternal dengan mengikuti pelatihan-pelatihan. Tidak jarang kelompok tani
Mayangsari ini mendapat penghargaan berupa pohon untuk ditanam oleh
anggota agar nantinya dapat diambil hasilnya (baik bunga maupun buah).
Pada tahun 1990-an, Bapak Purnomo Kasidi (waktu itu menjadi Walikota
Surabaya) pernah mencanangkan gerakan sejuta pohon diseluruh Surabaya.
Kelompok tani Mayangsari memperoleh 5000 bibit pohon mangga untuk ditanam
di halaman rumah penduduk maupun di pinggir-pinggir jalan. Hasil buah nantinya
boleh dinikmati sendiri maupun dijual.
Pada tahun 2002, PT Unilever bekerjasama dengan Dinas Pemantapan
Pangan Kota Surabaya juga memberikan 1000 bibit pohon pace dalam rangka
pemasyarakatan buah pace sebagai jus dan kripik pace. Pohon pace ini ditanam
disekitar rumah anggota dan dipinggir jalan. Pada akhirnya hasil buah pace ini
juga dimanfaatkan sebagai jamu.
Berangkat dari gambaran tersebut dapat dilihat potensi sumber daya alam
kelompok tani Mayangsari yang sudah memiliki ribuan pohon mangga dan pace,
yang selama ini hanya diambil buahnya saja. Alangkah baiknya jika pemanfaatan
sumber daya alam tersebut dapat ditingkatkan dan lebih lanjut dapat menjadi
alternatif penambah penghasilan anggota kelompok tani Mayangsari.
B. Perumusan Masalah
Secara umum, permasalahan yang dihadapi kelompok tani Kelurahan
Kebonsari sebagai wadah petani adalah berkaitan dengan masih terbatasnya
ketrampilan memanfaatkan bahan alam yang ada disekitarnya sebagai alternatif
usaha, yang meliputi :
1. Tersedianya banyak bahan alami berupa pohon mangga dan pace yang
diperoleh dari sumbangan pemerintah dan swasta yang selama ini belum
dimanfaatkan secara maksimal, hanya diambil buahnya saja.
2. Kegiatan kelompok tani pada umumnya masih terpusat pada bidang
pertanian.
3. Jarang diadakan kegiatan yang menyangkut pemberian pelatihan non
pertanian.
3
C. Tujuan Tujuan dilaksanakannya pelatihan ini adalah sebagai berikut :
1. Untuk memberikan pengetahuan dan ketrampilan tentang pembuatan batik
tritik jumput dengan pewarna alami kepada anggota kelompok tani
Mayangsari di Kelurahan Kebonsari, Jambangan, Surabaya.
2. Mengembangkan kreatifitas dalam memanfaatkan waktu luang anggota
kelompok tani Mayangsari Kelurahan Kebonsari, Jambangan, Surabaya.
3. Menjalin kemitraan dengan masyarakat sekitar.
D. Manfaat Adapun manfaat yang dapat diperoleh antara lain sebagai berikut :
1. Bagi kelompok tani Mayangsari Kelurahan Kebonsari, pelatihan bermanfaat
untuk menambah pengetahuan dan ketrampilan tentang pembuatan batik
tritik jumput terutama dengan pemanfaatan bahan alam sebagai pewarnanya,
sekaligus mengembangkan kreatifitas dalam memanfaatkan waktu luang.
2. Bagi Pelaksana Pelatihan, kegiatan ini merupakan salah satu bentuk
pelaksanaan Tridarma Perguruan Tinggi yaitu pengabdian kepada
masyarakat.
3. Bagi Lembaga Pendidikan khususnya Jurusan Seni Rupa, kegiatan ini
bermanfaat untuk menjalin kemitraan dan membina hubungan baik dengan
masyarakat.
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tekstil Celup Ikat
Batik dan celup ikat, secara teknis pada dasarnya mempunyai kesamaan.
Keduanya menggunakan bahan perintang untuk menghias permukaan kain dan
disebut dengan celup rintang. Perbedaannya, batik menggunakan
lilin/malam/bubur ketan untuk menghalangi masuknya warna sedangkan celup
ikat menggunakan tali, benang ataupun karet untuk menghalangi masuknya
warna. Teknik ini merupakan teknik rekalatar yang tertua. Kemudian berkembang
di Jawa yang disebut tritik, jumput, atau pelangi, sedangkan di Bali, Palembang,
juga Kalimantan disebut kain sasirangan.
Dalam bahasa Indonesia tritik berarti menetes secara berkesinambungan
dalam tetesan kecil dan etimologinya berhubungan dengan batik. Kata teritik
sendiri menangkap secara tepat dari salah satu metode yang diberi nama
sebagai penggunaan dari menjahit untuk membuat titik-titik kecil berwarna. Garis
lurus dapat pula dibuat dari tritik dan digunakan sebagai outline. Metode teritik
ditemukan di Jawa Tengah yang digunakan untuk menghiasi kemben (penutup
dada) dan dodot (baju adat Jawa). ( Hitchcock, 1991)
Teknik ikat dan jahit merupakan karakteristik pembuatan kain jumputan di
Jawa. memiliki corak geometris dengan isian tritik. Pewarnaan dengan
pencelupan maupun coletan dan ada kalanya dipadukan dengan teknik batik.
Di Palembang teknik celup ikat yang umum digunakan dan menjadi ciri
khas adalah dengan mengikat bagian-bagian kain yang telah dijelujur menurut
coraknya. Pewarnaan dengan teknik celup, colet, dan dilapisi dengan warna
emas/prada. Corak yang umum digunakan adalah geometris dan bentuk-bentuk
vegetal.
Di Kalimantan, celup ikat dihasilkan dengan cara ikat jahit tanpa
pewarnaan dengan colet. Umumnya corak yang ditampilkan berupa baris-baris
bergelombang maupun bunga-bunga dengan gabungan banyak warna yang
dihasilkan dari pencelupan berulang.
Celup ikat dengan jahit jelujur merupakan karakteristik kain-kain
tradisional sedangkan teknik lipat dan ikat mulai diterapkan pada kain-kain baru.
Di Asia, Cina menjadi bangsa tertua yang mengembangkan celup ikat. Di India
terutama di Rajastan dan Gujarat, celup ikat banyak diterapkan pada busana
5
tradisional “sari”. Demikian halnya di Jepang, celup ikat banyak digunakan untuk
“kimono”, dengan corak yang sangat halus, rinci dan dipadukan dengan teknik
tenun. Celup ikat juga berkembang di Kamboja, Ciprus, Damaskus dan Korea.
Di Afrika khususnya daerah Guinea, Sudan Barat, Kamerun, Kongo, dan
Gran Chaco, celup ikat diterapkan pada kain berukuran besar dengan motif
geometris penuh. Teknik lipat dan ikat yang juga ciri khas Afrika umunya
menggunakan paduan warna latar gelap dengan nuangsa warna kuning. Celup
ikat Tunisia, Algire dan Libia diterapkan pada busana serta perlengkapan lainnya.
Celup ikat ini juga berkembang di Amerika, seperti Kolombia, Peru dan Meksiko.
(Ratyaningrum, 2004)
Teknik pembentukan corak pada celup ikat meliputi : jumput, lipat, gulung,
dan jahit jelujur. Adapun penjelasan dari teknik tersebut adalah sebgai berikut :
♦ Teknik Jumput caranya adalah dengan memegang bagian kain dengan ujung
jari, kemudian kain ditarik keatas sehingga membentuk kerucut. Bagian
bawah dari puncak kemudian diikat, baik dengan ikatan tunggal maupun
jamak.
♦ Teknik Lipat caranya adalah dengan melipat kain dengan lipatan sedemikian
rupa sehingga menghasilkan bentuk geometris tertentu.
♦ Teknik Gulung caranya adalah dengan menggulung kain kemudian diikat
atau dijahit, dengan demikian kemungkinan warna tidak merata.
♦ Teknik Jelujur caranya adalah dengan menjahit jelujur kain menurut motif
tertentu kemudian hasil jelujuran ditarik benangnya sehingga kain terkerut-
kerut.
B. Bahan dan Alat Batik Tritik dan Jumput Kain tritik dihasilkan dengan menjahit (Jawa: nritik) dan menyimpul secara
menyilang bagian-bagian tertentu pada kain. Benang terbaik untuk membuat
tritikan adalah benang yang terbuat dari serat daun nanas karena memiliki
kelebihan tahan panas, sangat kuat tetapi mempunyai daya lentur rendah.
Sedangkan kain jumput dibuat dengan cara mengambil sedikit bagian
(Jawa: njumput) dari kain untuk diikat kuat-kuat sehingga ketika diwarna bagian
yang terikat tersebut tidak termasuki warna.
a. Kain
Pembuatan batik jumput sebaiknya menggunakan jenis kain yang
berbahan kapas atau bahan lain yang tidak banyak mengandung plastik,
6
sehingga tidak mengalami kesulitan saat pewarnaan. Kain yang umumnya
digunakan adalah jenis sutra dan katun.
b. Jarum jahit
Jarum jahit digunakan untuk membuat tiritik dengan cara menjahit
jelujur bagian motif yang diinginkan. Jarum yang digunakan sebaiknya yang
berukuran sedang, karena benang yang digunakan berukuran lebih besar
dari benang jahit umumnya.
c. Serat Nanas/Benang nylon
Sebenarnya bahan terbaik untuk membuat tritik adalah serat nanas.
Namun demikian benang nylon jiga dapat digunakan karena benang nylon
terbuat dari bahan sintetis dan dapat menghalangi masuknya zat warna pada
kain dengan cukup baik.
d. Pengikat
Pengikat yang berfungsi untuk menghalangi masuknya warna pada
kain ini dapat berupa tali rafia, karet gelang, serat nanas, benang nylon, dsb.
Baik pada jumput maupun tritik jika pengikatan kurang kuat maka hasilnya
menjadi kurang sempurna.
e. Kelereng, batuan, biji-bijian, kancing baju, manik-manik, stik es krim, dan
sebagainya.
Kelereng, batuan, biji-bijian, kancing baju, manik-manik, stik es krim,
atau bahan lainnya dapat digunakan sebagai isian untuk pembuatan batik
jumput. Dengan adanya isi, pengikatan bisa menjadi lebih mudah. Kancing
baju bisa dijahitkan pada kain yang telah dilipat-lipat sehingga menghasilkan
motif tersendiri. Demikian juga dengan stik es krim. Melalui pengikatan yang
sedemikian rupa maka akan dapat dihasilkan motif yang beragam.
f. Pewarna batik
Pewarna batik secara garis besar dibagi atas zat warna alam dan zat
warna sintetis. Tentang pewarna batik ini secara lebih lanjut dibahas pada
bagian selanjutnya.
C. Macam-macam Zat Pewarna Pada Batik Dilihat dari asal bahan dasarnya zat pewarna pada batik dapat dibagi
menjadi dua, yaitu :
1. Zat Warna Alam (ZWA)
Hampir semua tumbuhan di sekitar kita, baik tumbuhan liar maupun
yang sengaja ditanam, dapat dimanfaatkan sebagai pewarna karena masing-
masing mengandung pigmen warna. Kadang keberadaan mereka tidak kita
7
lirik karena dianggap tidak memiliki nilai sosial ekonomi, misalnya putri malu,
pacar air, kemikir sayur, dan lain-lain.
Bagian tumbuhan yang mengandung ZWA tidak sama antara satu
dengan lainnya. Zat Warna Alam dapat terkandung dalam kayu, kulit kayu,
daun, bunga, kulit akar, buah/biji, dsb. Sumber-sumber ZWA akan
menghasilkan warna dan ketahanan yang berbeda jika diterapkan pada
media katun, sutera, wool, maupun lainnya, dan itu tergantung pada jenisnya.
Berikut disajikan tabel contoh tumbuhan yang dapat menghasilkan
warna alam.
No. Nama lokal Bagian yang menghasilkan warna Arah warna
1 Tom, nila Daun Biru 2 Tingi Kulit batang Coklat 3 Tegeran Pohon/kayu Kuning
4 Jambal Kulit batang Kuning abu-abu
5 Putri malu Bunga, daun Kuning kehijauan
6 Teh-tehan merah Daun Ungu 7 Nangka/Jack fruit Pohon/kayu Kuning
8 Jati/Teak Daun muda/pupus Merah kecoklatan
9 Bawang merah/Union Kulit buah Coklat 10 Mahoni/Mahogany Pohon/kayu, daun Coklat
11 Mengkudu/Indian Mulberry Kulit akar Merah
12 Pisang Bonggol Ungu 13 Secang/Brazilwood Pohon/kayu Merah 14 Tali putri Semua bagian Kuning
15 Apokat/Avocado Daun, kulit buah Hijau kecoklatan
16 Pacar kuku/Inai henna Daun Oranye
17 Pacar air Daun, bunga Kuning kehijauan
18 Kesumba/Annato seed Kulit biji Oranye 19 Kenikir sayur Daun Kuning matang 20 Pinang/Jambe/Cutch Buah Coklat 21 Bunga sepatu Bunga Violet/ungu 22 Gude Kulit buah Ungu 23 Mangga/Mango Daun, kulit batang Hijau 24 Randu Daun Abu-abu 25 Jambu biji/Guava Daun Hijau tua
Untuk dapat menghasilkan warna, ZWA ini memerlukan bahan
pembantu, misalnya tawas, tunjung, air kapur, gula jawa, cuka, jeruk nipis,
tape, pijer (borax), sendawa, gula batu dan prusi.
8
Secara garis besar ZWA dapat dikelompokkan menjadi 4 kelompok, yaitu :
a. Zat warna mordan (alam). Kebanyakan ZWA tergolong pada zat warna
mordan sehingga agar ZWA dapat menempel dengan baik proses
pewarnaan harus melalui penggabungan dengan kompleks oksida logam
membentuk zat warna yang tidak larut. Proses ini disebut mordanting.
Contoh zat warna kelompok ini adalah kulit akar pace.
b. Zat warna direk merupakan zat warna yang melekat di serat kain
berdasarkan ikatan hidrogen sehingga ketahannya rendah, misalnya zat
warna dari kunyit.
c. Zat warna asam/basa merupakan zat warna yang mempunyai gugus
kombinasi asam dan basa. Zat warna kelompok ini tepat untuk
pewarnaan pada sutra atau wol, tetapi tidak memberikan warna yang
permanen pada katun.
d. Zat warna bejana merupakan zat warna yang mewarnai serta melalui
proses reduksi-osksidasi (redoks). Dikenal sebagai warna paling tua di
dunia, dengan ketahanan warna yang paling unggul dibandingkan 3 jenis
zat warna sebelumnya (diatas). Contoh zat warna ini adalah yang berasal
dari daun tom (nila).
2. Zat Warna Sintetis (ZWS) adalah zat warna buatan, biasanya tersedia dalam
bentuk serbuk. Contohnya adalah Napthol, Indigosol, Rapid dan Rhemasol.
Zat warna sintetis umumnya memiliki ketahanan warna yang cukup bagus,
warna yang ditawarkan cukup beragam, penggunaanya mudah dan harganya
relatif murah. Zat warna sintetis biasanya tersedia dalam bentuk serbuk.
Karena dalam penerapan IPTEKS kali ini zat warna yang digunakan
adalah ZWA maka tentang ZWS tersebut tidak dibahas lebih lanjut. ZWA yang
digunakan adalah daun mangga dan akar pace, mengingat di lokasi disekitar
khalayak (Kebonsari) banyak tersedia sumber zat warna alami tersebut.
D. Cara Pengambilan Zat Warna Alam Cara pengolahan maupun waktu yang diperlukan untuk mengolah ZWA
sebenarnya tergantung pada sumber ZWA itu sendiri. Zat warna alam diperoleh
secara eskstrasi (baik pada suhu tinggi maupun rendah) dari bagian tanaman
yang merupakan sumbernya, menggunakan pelarut air. Dengan cara ini maka
ekstrak zat warna alami yang terambil bervariasi, tergantung pada jenis sumber
zat warna alam itu sendiri. Berikut ini contoh pengambilan zat warna dari
beberapa sumbernya. (Lestari, 2004).
9
a. Daun mangga
Pengambilan zat warna alam dari daun mangga akan menghasilkan arah
warna hijau. Caranya pengambilannya yaitu sebagai berikut :
1. Rebus 100 gr daun mangga dalam 1 liter air.
2. Biarkan mendidih, tunggu hingga volume air berkurang 20-40%.
3. Pisahkan ekstrak dengan sumbernya.
Adapun cara penggunaannya adalah sebagai berikut :
1. Untuk pengunaan pada batik tulis, ekstrak didiamkan dulu hingga agak
dingin agar tidak merusak lilin. Sedangkan untuk penggunaan pada batik
tritik jumput, ekstrak bisa didiamkan sejenak (agak dingin) atau bisa juga