12 BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1 Teori Umum 2.1.1 Teori Komunikasi Massa a. Pengertian Pada masa sekarang ini, dengan semakin majunya perkembangan teknologi serta pertambahan populasi manusia yang semakin besar dan banyak. Penyebaran informasi dan proses komunikasi telah menjadi suatu hal yang sentral dan bahkan menjadi kebutuhan dasar manusia. Setiap hari manusia haus akan informasi mengenai apa yang terjadi di dunia. Dan untuk itu maka dibutuhkanlah suatu media sebagai penyambung pesan antara komunikator yakni berupa pihal-pihak atau institusi tertentu kepada masyarakat. Proses komunikasi ini disebut sebagai komunikasi massa, yakni jika diartikan secara sederhana adalah proses penyampaian pesan (informasi) melalui media massa yang ditujukan kepada khalayak ramai yang sifatnya heterogen dan global. Sehingga dikarenakan audiens atau penerima pesan dari komunikasi massa ini bersifat heterogen, maka pesan yang disampaikan juga bersifat umum, jadi dapat menjangakau banyak orang dan bukan hanya kalangan tertentu saja. Pada dasarnya komunikasi massa merupakan komunikasi satu arah seperti halnya pidato atau orasi yang dikemukakan kepada khalayak banyak. Namun yang membuat perbedaan serta karakteristik disini adalah komunikasi
34
Embed
LANDASAN TEORI Teori Umum a. - library.binus.ac.id · gambaran dan citra realitas sosial. ... jika tidak sedang dalam rangka pemilu, ... dengan perkelahian dan konflik yang menampilkan
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
12
BAB 2
LANDASAN TEORI
2.1 Teori Umum
2.1.1 Teori Komunikasi Massa
a. Pengertian
Pada masa sekarang ini, dengan semakin majunya perkembangan
teknologi serta pertambahan populasi manusia yang semakin besar dan banyak.
Penyebaran informasi dan proses komunikasi telah menjadi suatu hal yang
sentral dan bahkan menjadi kebutuhan dasar manusia. Setiap hari manusia haus
akan informasi mengenai apa yang terjadi di dunia. Dan untuk itu maka
dibutuhkanlah suatu media sebagai penyambung pesan antara komunikator
yakni berupa pihal-pihak atau institusi tertentu kepada masyarakat.
Proses komunikasi ini disebut sebagai komunikasi massa, yakni jika
diartikan secara sederhana adalah proses penyampaian pesan (informasi) melalui
media massa yang ditujukan kepada khalayak ramai yang sifatnya heterogen
dan global. Sehingga dikarenakan audiens atau penerima pesan dari komunikasi
massa ini bersifat heterogen, maka pesan yang disampaikan juga bersifat umum,
jadi dapat menjangakau banyak orang dan bukan hanya kalangan tertentu saja.
Pada dasarnya komunikasi massa merupakan komunikasi satu arah
seperti halnya pidato atau orasi yang dikemukakan kepada khalayak banyak.
Namun yang membuat perbedaan serta karakteristik disini adalah komunikasi
13
massa dalam proses pengkomunikasiannya menggunakan suatu medium (media
massa) – baik media cetak (surat kabar, majalah) atau elektronik (radio, televisi,
dan film), sekarang bahkan sudah ada media cyber / online yakni internet.
Komunikasi massa relative memakan biaya yang lebih mahal karena
kompleksnya peralatan yang dibutuhkan untuk membiayai medianya. Selain itu
biasanya media massa dikelola oleh suatu lembaga atau orang yang
delembagakan, dan ditujukan kepada sejumlah besar otang yang tersebar di
banyak tempat, anonym, dan heterogen.6 Adapun secara sederhana fungsi
komunikasi massa sendiri adalah;
1. To inform (menginformasikan)
2. To entertaint (memberi hiburan)
3. To educate (mendidik)
4. To persuade (membujuk)
5. transmission of the culture (transmisi budaya)
Menurut McQuail terdapat beberapa asumsi pokok yang menyangkut
akan arti penting media massa7 beberapa asumsi tersebut adalah:
1. Media merupakan asumsi yang berkembang dan kerap kali mengalami
perubahan. Media juga telah berkembang menjadi suatu industri sendiri yang
memiliki peraturan serta norma-norma yang menghubungkan institusi
tersebut dengan masyarakat dan institusi sosial lainnya.
6 Deddy Mulyana, Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar, (Bandung : Rosda, 2008), hlm.
2. Media massa merupakan alat control, manajemen, dan inovasi dalam
masyarakat.
3. Media massa merupakan sarana untuk menampilkan pristiwa-peristiwa
dalam masyarakat.
4. Media kerap kali berperan sebagai penunjang pengembang kebudayaan. Dan
tidak hanya pengembangan bentuk seni dan symbol, tetapi juga dalam
pengembangan tata cara, mode, gaya hidup, dan norma-norma.
5. Media telah menjadi sumber dominan bagi masyarakat untuk memperoleh
gambaran dan citra realitas sosial.
b. Ciri-ciri Komunikasi Massa
Adapun jika disimpulkan dari penjelasan pada sub-bab sebelumnya, dapat
diuraikan bahwa komunikasi massa memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
- Komunikator dalam komunikasi massa melembaga
- Komunikan dalam media massa bersifat heterogen
- Pesannya bersifat umum
- Komunikasinya berlangsung satu arah
- Komunikasi massa mengandalkan peralatan teknis
- Komunikasi massa dikontrol oleh gatekeeper
Dari ciri-ciri diatas dapat kita simpulkan bahwa tidak semua komunikasi satu
arah yang dilakukan di khalayak ramai dapat dikategorikan sebagai komunikasi
massa.
15
c. Dimensi Komunikasi Massa
Dalam analisis media massa dikenal adanya dua jenis dimensi
komunikasi), yaitu8:
- Dimensi pertama
Dimensi yang memandang dari sisi media kepada masyarakat luas beserta
institusi-institusinya. Pandangan ini menggambarkan keterkaitan media
dengan berbagai institusi lain seperti politik, ekonomi, sosial, pendidikan,
agama, seni, dan sebagainya. Teori-teori yang menjelaskan keterkaitan
tersebut, mengkaji posisi atau kedudukan media dalam masyarakat dan
terjadinya saling mempengaruhi antara berbagai struktur kemasyarakatan
dengan media. Pendekatan ini merupaka dimensi makro dari teori
komunikasi massa.
- Dimensi kedua
Dimensi ini melihat kepada hubungan antara media dengan audiens, baik
secara kelompok maupun individual. Teori-teori mengenai hubungan antar
media dan audiens, terutama menekankan pada individu-individu dan
kelompok sebagai hasil interaksi dengan media. Pendekatan ini disebut
sebagai dimensi mikro dari teori komunikasi massa.
8 Syaiful Rohim, Teori Komunikasi: Perspektif, Ragam, dan Aplikasi, (Jakarta: Rineka Cipta, 2009), hlm. 161.
16
d. Pengaruh Media Massa
Komunikasi massa harus bisa menjelaskan berbagai fenomena yang
berkaitan erat dengan aktivitas manusia. Karena itu media massa merupakan alat
utama dalam komunikasi massa. Media massa berperan penting dalam proses
komunikasi massa dan berpengaruh dalam membangun opini rakyat. Hal ini
serupa dengan pendapat McDevitt yang menyatakan bahwa;
“Media cukup efektif dalam membangun kesadaran warga mengenai suatu masalah (isu).” Dan Lindsey yang berpendapat, “Media memiliki peran sentral dalam menyaring informasi dan membentuk opini masyarakat”9 Contoh sederhana dari pengaruh media massa ini adalah misalnya ketika
ada pemberitaan mengenai bencana kelaparan di Afrika, secara emosional tanpa
disadari audiens telah dipengaruhi. Mereka yang menyaksikan pemberitaan
tersebut kerap kali merasa iba dan terenyuh melihat kondisi anak-anak Afrika
yang menderita kekurangan gizi, padahal audiens tidak menyaksikan kejadian
tersebut secara langsung melainkan melalui media televisi atau mungkin koran.
Berdasarkan hal tersebut dapat kita lihat bahwa media seringkali
dimanfaatkan sebagai media pencitraan. Lembaga-lembaga atau oknum-oknum
tertentu bahkan memanfaatkan kekuatan media yang satu ini untuk
menampilkan image atau sosok mereka yang berbeda untuk dikenal oleh
masyarakat. Seperti misalnya pada masa kampanye untuk pemilihan umum,
banyak kita dapati tokoh-tokoh masyarakta yang ikut serta sebagai calon
Cikal bakal Amerika muncul sebagai negara adikuasa berawal ketika
masa perang dunia II. Ketika itu terdapat dua negara adikuasa yang muncul
sebagai negara pemenang perang yang berhasil mengalahkan blok fasis (Jepang,
Jerman, dan Italia), yakni Amerika dan Uni Soviet. Kedua negara ini memiliki
pandangan yang berbeda secara ideologis, Amerika Serikat yang berideologi
kapitalis-liberal dengan Uni Soviet yang berideologi sosialis-komunis. Kedua
negara itupun kemudian bersitegang dan berkompetisi secara politik dan militer
Akibatnya dunia terpecah menjadi dau antara blok barat (Amerika Serikat) dan
blok timur (Uni Soviet). Inilah yang menyebabkan adanya perang dingin. Baru
kemudian pada tahun 1991 Uni Soviet terpecah dan banyak negara-negara yang
tergabung dengannya memerdekan diri, membuat Amerika Serikat yang masih
bertahan keluar sebagai pemenang perang dan tetap memikul predikat sebagai
negara adikuasa.
Sejak saat itu Amerika menjadi satu-satunya negara adikuasa yang
melibatkan diri di begitu banyak peristiwa internasional. Baik untuk misi
perdamaian, maupun misi-misi kemanusiaan, dan hak asasi, serta kegiatan
internasional lainnya
Pada masa sekarang ini meskipun telah terjadi begitu banyak
perkembangan dunia baik dari segi ekonomi, politik, teknologi, budaya, dan
sebagainya, banyak negara-negara yang tadinya berkembang kini muncul
sebagai competitor Amerika. Salah satu negara yang nampak mencolok
pertumbuhannya adalah Cina. Cina bahkan disebut-sebut sebagai calaon negara
33
adikuasa berikutnya. Namun setelah sekian lama memegang predikat negara
adikuasa, Amerika terlihat masih tetap bisa bertahan. Meskipun tidak diketahui
sampai berapa lama lagi.
2.2.2. Semiotika
Kata semiotika berasal dari bahasa Yunani, ‘semeion’ yang berarti tanda,
atau ‘seme’ yang berarti penafsir tanda.20 Secara sederhana semiotik dapat
diartikan sebagai suatu ilmu atau metode analisis untuk mengkajii tanda. Sampai
sekarang kajian semiotik dibedakan menjadi dua, yakni semiotika komunikasi
dan semiotika signifikasi. Yang pertama menekankan kepada teori tentang
produksi tanda yang salah satu diantaranya mengasumsikan adanya enam faktor
dalam berkomunikasi, yaitu pengirim, penerima kode (sistem tanda), pesan,
saluran komunikasi, dan acuan. Sedangkan yang kedua memberikan tekanan
pada teori tanda dan pemahamannya dalam suatu konteks tertentu21. Berikut
adalah rumusan istilah semiotik:
S ( s, i, e, r, c )
S = Semiotic Relation (hubungan semiotik)
s = Sign (tanda)
i = Interpreter (penafsir)
e = Effect (pengaruh)
20 Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, (Bandung: Rosdakarya, 2009), hlm. 16.
21 Ibid, hlm. 15.
34
r = Reference (rujukan)
c = Context (konteks)
Berdasarkan rumusan diatas dapat diartikan bahwa relasi atau hubungan
semiotika dari suatu subjek tertentu harus melihat atau mempertimbangkan
tanda, tafsiran atau makna, efek atau kira-kira pengaruh apa yang ditimbulkan,
rujukan atau referensi atau landasan penafsiran suatu makna dan pengaruhnya,
yang berdasarkan konteks tertentu (diciptakan atau dikonstruksikan). Secara
garis besar semiotik digolongkan menjadi tiga konsep dasar, yaitu semiotik
pragmatik (semiotic pragmatic), semiotik sintatik (semiotic syntactic), dan
semiotik semantik (semiotic semantic).
1. Semiotik Pragmatik (semiotic pragmatic)
Semiotik Pragmatik menguraikan tentang asal usul tanda, kegunaan tanda
menurut yang menerapkan tanda tersebut dan bagi yang
menginterpretasikannya, serta makna atau efek tanda tersebut bagi yang
menginterpretasikan makna tanda terebut.
2. Semiotik Sintaktik (semiotic syntactic)
Semiotik Sintaktik menguraikan tentang kombinasi tanda tanpa memperhatikan
‘makna’nya ataupun hubungannya terhadap perilaku subyek. Semiotic. Jadi
semiotik ini mengabaikan perngaruh atau tidak memperhatikan dampak yang
dialami oleh subyek yang menginterpretasikan tanda tersebut.
35
3. Semiotik Semantik (semiotic semantic)
Semiotik Sematik menguraikan tentang pengertian suatu tanda sesuai dengan
‘arti’ yang disampaikan oleh tanda itu sendiri. Sehingga semiotik ini bersefat
objektif jika dibandingkan dengan dua kategori semiotik lainnya yang telah
dijabarkan sebelumnya.
2.2.2.1. Teori Semiotika Roland Barthes
Ada sederet nama tokoh dan pakar yang telah menyumbangkan pikiran
mereka dalam meneliti dan menghasilkan perkembangan teori semiotika, sebut
saja Charles Sanders Pierce, Louse Hjemslev, Saussure, dan masih banyak lagi
nama-nama lainnya. Namun pada skripsi ini, penulis hanya akan menjelaskan
dan menjabarkan mengenai teori semiotik menurut Roland Barthes. Sebab untuk
penyusunan skripsi ini, penulis akan menggunakan teori semiotik Roland
Barthes sebagai landasan teori untuk mengkaji dan menganalisa permasalahan
dalam skripsi ini, yang berkaitan tentang representasi Amerika sebagai negara
adikuasa dalam film Transformers: Revenge of The Fallen. Adapun teori Roland
Barthes yang dipakai karena dirasa teori ini sesuai dan mendukung penulis untuk
melakukan kajian ini.
Meskipun pada awalnya semiotika diterapkan kepada ilmu linguistic
modern, yakni ilmu yang mempelajari tentang bahasa baik tulis maupun lisan,
tapi menurut Roland Barthes, semiotika juga dapat digunakan sebagai
pendekatan untuk mempelajari ‘other than language’. Dalam konteks inilah
Barthes akhirnya menyeyogiakan, bahwa dalam mempelajari semiotika
36
hendaknya jangan berhenti hanya pada bahasa semata, melainkan semiotika
harus menjadi ‘general science of sign’ (Sunardi: 2007). Adapun berdasarkan
pernyataan Barthes tersebut maka dapat dikatakan bahwa unit analisa semiotik
sendiri mencakup: literature, film, iklan, majalah, koran, tv/radio, yang sarat
dengan tanda dan pemaknaan.
a. Denotasi dan Konotasi
Dalam teorinya Roland Barthes mengembangkan semiotika menjadi 2
tingkatan, yaitu tingkat denotasi dan konotasi. Denotasi menjelaskan tentang
hubungan penanda dan petanda terhadap realitas, dan menghasilkan makna
eksplisit atau makna sebenarnya yang langsung dan pasti. Sedangkan konotasi
menjelaskan hubungan penanda dan petanda yang didalamnya mengandung
makna yang tersirat atau tidak langsung.
Roland Barthes lahir pada tahun 1915 dari keluarga kelas menengah
Protestan di Cherboug dan dibesarkan di Bayonne, barat daya Perancis, adalah
seorang intelektual dan dikenal sebagai kritikus sasstra Perancis, sehingga dapat
dikatakan pengembangan teori semiotikanya banyak diaplikasikan untuk
melakukan kajian sastra. Barthes berpendapat bahwa bahasa adalah sebuah
sistem tanda yang mencerminkanasumsi-asumsi dari suatu masyarakat tertentu
dalam wantu tertentu.
Roland Barthes sendiri adalah seorang pemikir struturalis yang getol
mempraktekan model liguistik dan semiologi Saussarean, maka dari itu teori
semiotik Barthes ini merupakan pengembangan dari teori semiotika Ferdinand
37
De Saussure. Teori yang dikemukan Saussure cenderung mengemukakan
tentang cara kompleks pembentukan kalimat dan cara bentuk-bentuk kalimat
dalam menentukan suatu makna, tetapi kurang tertarik pada kenyataan bahwa
kalimat yang sama bisa saja menyampaikan makna yang berbeda berdesarkan
interpretasi orang yang berada dalam situasi yang berbeda. Pemikiran inilah
yang kemudian dikemukakan oleh Roland Barthes dengan menekankan interaksi
antara teks dengan pengalaman personal dan cultural penggunanya, interaksi
antara konvensi dalam teks dengan konvensi yang dialami personal dan cultural
orang yang menginterpretasikannya. Gagasan Barthes ini dikenal dengan “Order
of Signification”, yang mencakup denotasi (makna sesuai kamus) dan konotasi
(makna ganda yang timbul dari pengalama cultural dan personal). Inilah yang
menjadi perbedaan Saussure dan Barthes.
Sepanjang hidupnya Barthes telah menulis banyak buku, berikut adalah
beberapa buku karangannya yang membahas mengenai pandangannya dalam
bidang semiotika; pada tahun 1964 ia menerbitkan buku berjudul Elements of
Semiology (Unsur Semiologi), dalam bukunya ini ia menjabarkan tentang
prinsip-prinsip linguistic dan relevansinya dalam bidang-bidang lain, kemudian
pada tahung 1967 terbit bukunya yang berjudul The Fashion System (Sistem
Mode), buku ini merupakan suatu uji coba untuk merapkan analisa structural
atas mode pakaian wanita. Barthes menunjukan bahwa dibalik mode pakaian
wanita terdapat suatu sistem. Ia menyelidiki artikel-artikel tentang mode dalam
majalah dari tahun 1958 – 1959. Dari situ ia menafsirkan bahwa mode
merupakan suatu ‘bahasa’ dan ada sesuatu yang ingin ‘dibicarakan’ oleh suatu
38
mode tertentu terhadap apa yang tengah terjadi saat itu. Dari sini kemudian
orang-orang mulai mengembangkan teori Roland Barthes untuk dipakai dalam
kajian semiotika dalam berbagai bidang, salah satunya perfilman.
Terdapat lima kode yang ditinjau oleh Barthes dalam kajian semiotiknya,
yakni22:
- Kode hermeneutic atau kode teka-teki berkisar pada harapan audiens untuk
mendapatkan ‘kebenaran’ bagi pertanyaan yang muncul dalam teks. Kode
teka-teki merupakan unsure struktur yang utama dalam narasi tradisional.
- Kode semik atau kode konotatif menawarkan banyak sisi, yang timbul atau
dibangun oleh audiens dalam proses menyusun teks atau informasi yang
dijabarkan.
- Kode simbolik merupakan aspek pengkodean fiksi yang paling khas karena
menampilkan symbol-simbol tertentu untuk merepresentasikan suatu hal
yang khas.
- Kode proaretik atau kode tindakan/lakuan, menurut Barthes semua lakuan
dapat dikodifikasi dan memiliki makna tertentu.
- Kode gnomik atau kode cultural, kode ini merupakan acuan teks ke
benda0benda yang sudah diketahui dan dikodifikasi terhadap suatu budaya
tertentu
Tujuan dari analisis Barthes ini menurut Lechte23, bukan hanya untuk
membangun sistem klarifikasi unsur-unsur narasi yang sangat formal, namun
22 Ibid, hlm. 65. 23 Ibid, hlm. 66.
39
lebih banyak untuk menunjukan bahwa tindakan yang paling masuk akal, rincian
yang paling meyakinkan, atau teka-teki yang paling menarik, merupakan produk
buatan, dan bukan tiruan dari yang nyata.
Salah satu hal penting yang dikaji oleh Barthes dalam studinya mengenai
sistem tanda ini adalah peran pembaca atau audiens. Dikatakan bahwa konotasi
membutuhkan keaktifan pembaca agar dapat berfungsi. Ia kemudian
menciptakan peta tentang bagaimana tanda bekerja.
Berikut ini gambar peta yang dibuat oleh Barhes untuk menjelaskan
bagaimana suatu tanda bekerja, berdasarkan pemahaman teori yang
dikemukakannya:
2. Signified (petanda)
2. Signified (petanda)
3. Denotative sign (tanda denotative)
4. Connotative Signifier (Penanda Konotatif)
5. Connotatif Signified (Petanda Konotatif)
6. Connotative Sign (Tanda Konotatif)
Gambar 2.2. Peta Tanda Roland Barthes
40
Dari peta diatas dapat dilihat tanda denotative (3) terdiri atas penanda (1)
dan petanda (2). Namun demikian pada saat yang bersamaan tanda denotative
juga adalah penanda konotatif (4). Hal inilah yang menjadi sumbangan Barthes
dalam kajian semiotik, dimana makna konotasi tidak sekedar merupakan makna
tambahan (lain) tapi juga mengandung makna denotasi yang melandasi
keberadaannya. Jadi pada dasarnya pengertian makna denotasi dan konotasi
secara umum agak berbeda dengan pemahaman Barthes. Jika menurut
pandangan umum denotasi merupakan makna harafiah atau makna sebenarnya
sedang konotasi merupakan makna tersirat, menurut anggapan Barthes denotasi
sendiri merupakan proses signifikasi tahap pertama, dan konotasi adalah
signifikasi tahap kedua. Sehingga oleh Barthes denotasi diasosiasikan dengan
ketertutupan makna, mungkin ini dikarenakan orang cenderung berhenti pada
tahap signifikasi pertama tanpa mau repot-repot memikirkan makna konotasi
tertentu dibalik suatu tanda.
b. Mitos
Dalam kajain semiotik ini, Barthes juga melihat aspek lain yang ada
dalam proses signifikasi tanda, yakni ‘mitos’ yang menandai suatu masyarakat.
Menurut Barthes, mitos terjadi pada tingkat kedua sistem penandaan, jadi
setelah terbentuk sistem sign-signifier-signified, tanda tersebut akan menjadi
penanda baru yang kemudian memiliki peranda kedua dan membentuk tanda
baru. Jadi intinya adalah tanda yang memiliki makna konotasi kemudian
41
berkembang jadi denotasi, maka makna denotasi tersebut akan menjadi mitos.24
Contohnya; pohon beringin yang lebat kerap menimbulkan konotasi ‘keramat’
karena dianggap sebagai hunian makhluk halus. Konotasi keramat ini lalu
berkembang dan menjadi asumsi umum dan melekat pada symbol pohon
beringin. Sehingga image pohon beringin itu keramat bukan lagi suatu konotasi
tapi berubah menjadi denotasi pada pemaknaan tahap dua. Pada tahap ini, pohon
beringin yang keramat akhirnya menjadi suatu mitos. , sehingga pohon beringin
yang keramat bukan lagi menjadi sebuah konotasi tapi berubah menjadi denotasi
pada pemaknaan tingkat kedua. Pada tahap ini, “pohon beringin yang keramat”
akhirnya dianggap sebagai sebuah Mitos.
2.2.2.2. Semiotika Film
Film merupakan bidang kajian yang sangat relevan bagi analisis
semiotika. Hal ini sama seperti yang diungkapkan oleh van Zoest (Sobur,
2009:128), film dibangun dengan tanda semata-mata. Tanda itu termasuk
berbagai sitem tanda yang bekerja sama dengan baik untuk mencapai efek yang
diharapkan. Ini tentunya berbeda dengan gambar fotografi yang statis, rangkaian
gambar dalam film cenderung mengasilkan imajinasi yang sarat dengan
penandaan. Van Zoest menjelaskan:
Di sini tentunya harus dibedakan antara suara yang langsung mengiringi gambar (kata-kata yang diucapkan, derit pintu, dan sebagainya) dan music film yang mengiringiny. Suara tipe pertama sebenarnya secara semiotika berfungsi tidak terlalu berbeda dengan
24 Sumber: http://junaedi2008.blogspot.com/2009/01/teori-semiotik.html; 01.28; 5 Mei 2012
42
gambar-gambarnya. Suara, sama seperti gambar, merupakan unsure dalam cerita film yang dituturkan dan dapat disebutkan, dikategorisasikan, dan dianalisis, dengan cara yang juga sebanding. Suara, sebagai tanda, terjalin sangat erat hubungannya dengan tanda gambar. Suara bersama tanda gambar membuat tanda-tanda yang kompleks. Tanda-tanda kompleks ini memang ikonis, tapi kekuatan keberadaannya pada akhirnya diperoleh dari indeksikalitas. Karena realitas yang ditampilkan seluruhnya atau sebagian, tidak hanya mirip, tapi juga memiliki keterkaitan dengan realitas kita.25 Oleh karena itu menurut Alex Sobur dalam bukunya yang berjudul
Semiotika Komunikasi, gambar yang dinamis dalam film merupakan ikoniis
bagi realitas yang dinotasikannya. Sobur juga mengatakan bahwa film pada
umumnya dibangun dengan banyak tanda. Film juga pada dasarnya melibatkan
bentuk-bentuk simbol visual dan linguistik untuk mengodekan pesan yang
sedang disampaikan. Metafora visual seringkali menyinggung objek-objek dan
simbol-dimbol dunia nyata serta mengonotasikan makna-makna sosial budaya.
Jadi dalam mengkaji tanda-tanda dalam film melalui kajian semiotika,
kita dapat menelaah lebih jau makna suatu film lebih daripada jalan ceritanya.
Dalam film kita dapat melihat aspek-aspek idelogi, kultur, nilai-nilai, ataupun
fenomena yang terjadi dalam realita. Seringkali tanda-tanda dalam film ini
menjadi agak bias dikarenakan pengemasan film yang sangat mendukung,
sehingga fokus penonton sering kali tertuju kepada jalan cerita film tersebut
daripada makna-makan yang tergambar dibalik simbol-simbol yang ditampilkan
dalam sepanjang pemutaran film.
Simbol-simbol inilah yang kemudian dimanfaatkan untuk membangun
realitas dalam film yang meskipun bertolak dari relita dunia nyata, namun
25 Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, (Bandung: Rosdakarya, 2009), hlm. 129
43
dipilah-pilah sedemikianrupa sehingga menjadi realitas film tersendiri,
disesuaikan dengan tujuan pembuatan film tersebut. Perhatikan tabel berikut: