10 BAB II LANDASAN TEORI II.1 Asuransi Syariah II.1.1. Pengertian Asuransi Sesuai dengan ketetapan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 1992 Tentang Usaha Perasuransian, definisi asuransi adalah: Perjanjian antara dua pihak atau lebih, di mana pihak penanggung mengikatkan diri kepada tertanggung, dengan menerima premi asuransi, untuk memberikan penggantian kepada tertanggung karena kerugian, kerusakan, atau kehilangan keuntungan yang diharapkan, atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin akan diderita tertanggung, yang timbul dari suatu peristiwa yang tidak pasti; atau untuk memberikan suatu pembayaran yang didasarkan atas meninggal atau hidupnya seseorang yang dipertanggungkan. II.1.2. Pengertian Asuransi Syariah Saat ini eksistensi asuransi syariah di Indonesia masih didasarkan pada Surat Keputusan Direktorat Jenderal Lembaga Keuangan Nomor: Kep. 4499/LK/2000 tentang jenis, penilaian, dan pembatasan investasi perusahaan asuransi dan perusahaan reasuransi dengan sistem syariah. Sedangkan pedoman umum mengenai asuransi syariah diatur dalam Fatwa Dewan Syariah Nasional-Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) Nomor 21/DSN-MUI/X/2001. Tujuan adanya fatwa ini adalah sebagai panduan awal operasional asuransi syariah di Indonesia. Berdasarkan ketetapan pertama
30
Embed
LANDASAN TEORI II.1 Asuransi Syariah Perjanjian antara dua ...thesis.binus.ac.id/doc/Bab2/2011-2-00480-AK Bab2001.pdf · II.1 Asuransi Syariah II.1.1. ... kerusakan, atau kehilangan
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
10
BAB II
LANDASAN TEORI
II.1 Asuransi Syariah
II.1.1. Pengertian Asuransi
Sesuai dengan ketetapan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2
Tahun 1992 Tentang Usaha Perasuransian, definisi asuransi adalah:
Perjanjian antara dua pihak atau lebih, di mana pihak penanggung mengikatkan diri kepada tertanggung, dengan menerima premi asuransi, untuk memberikan penggantian kepada tertanggung karena kerugian, kerusakan, atau kehilangan keuntungan yang diharapkan, atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin akan diderita tertanggung, yang timbul dari suatu peristiwa yang tidak pasti; atau untuk memberikan suatu pembayaran yang didasarkan atas meninggal atau hidupnya seseorang yang dipertanggungkan.
II.1.2. Pengertian Asuransi Syariah
Saat ini eksistensi asuransi syariah di Indonesia masih didasarkan pada
Surat Keputusan Direktorat Jenderal Lembaga Keuangan Nomor:
Kep. 4499/LK/2000 tentang jenis, penilaian, dan pembatasan investasi
perusahaan asuransi dan perusahaan reasuransi dengan sistem syariah.
Sedangkan pedoman umum mengenai asuransi syariah diatur dalam
Fatwa Dewan Syariah Nasional-Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) Nomor
21/DSN-MUI/X/2001. Tujuan adanya fatwa ini adalah sebagai panduan awal
operasional asuransi syariah di Indonesia. Berdasarkan ketetapan pertama
11
mengenai ketentuan umum poin pertama yang terdapat di dalam pedoman umum
ini, disebutkan bahwa definisi asuransi syariah adalah:
Usaha saling melindungi dan tolong menolong di antara sejumlah orang/pihak melalui investasi dalam bentuk aset atau tabarru’ yang memberikan pola pengembalian untuk menghadapi resiko tertentu melalui akad (perikatan) yang sesuai dengan syariah.
Menurut PSAK 108, paragraf 7, definisi asuransi syariah adalah:
Sistem menyeluruh yang pesertanya mendonasikan sebagian atau seluruh kontribusinya yang digunakan untuk membayar klaim atas kerugian akibat musibah pada jiwa, badan, atau benda yang dialami oleh sebagian peserta yang lain. Donasi tersebut merupakan donasi bersyarat yang harus dipertanggungjawabkan oleh entitas asuransi syariah. Peranan entitas asuransi syariah dibatasi hanya mengelola operasi asuransi dan menginvestasikan dana peserta.
II.1.3. Perbedaan Asuransi Syariah dengan Asuransi Konvensional
Menurut Syakir Sula (2004:293), terdapat beberapa perbedaan antara
Asuransi Syariah dengan Asuransi Konvensional yang dijelaskan dalam tabel
sebagai berikut:
12
Tabel 2.1 Perbedaan Asuransi Syariah dan Asuransi Konvensional
No. Hal yang
Membedakan Asuransi Konvensional Asuransi Syariah
1. Konsep Perjanjian antara dua pihak atau lebih, dengan mana pihak penanggung mengikatkan diri kepada tertanggung, dengan menerima premi asuransi, untuk memberikan penggantian kepada tertanggung atas klaim yang diajukan.
Sekumpulan orang yang saling membantu, saling menjamin, dan bekerja sama, dengan cara masing-masing mengeluarkan dana tabarru’.
2. Unsur Gharar, Maisir, dan Riba
Masih terdapat adanya unsur gharar, maisir, dan riba.
Harus bersih dari segala praktik gharar, maisir, dan riba.
3. Dewan Pengawas Syariah
Tidak ada, hanya diawasi oleh Undang-Undang dan Peraturan-Peraturan Pemerintah.
Ada, yang berfungsi untuk mengawasi pelaksanaan operasional perusahaan agar terbebas dari praktik-praktik muamalah yang bertentangan dengan prinsip-prinsip syariah.
Akad tabarru’ dan akad tijarah (mudharabah, wakalah, wadiah, syirkah, dan sebagainya).
5. Penanganan Risiko
Transfer of Risk, di mana terjadi perpindahan risiko dari tertanggung kepada penanggung.
Sharing of Risk, di mana terjadi proses saling menanggung risiko antara satu peserta dengan peserta lainnya.
6. Pengelolaan Dana
Tidak ada pemisahan dana, antara dana peserta dengan dana perusahaan yang berakibat terjadinya dana hangus.
Terdapat pemisahan antara dana tabarru’ dengan dana perusahaan, sehingga tidak mengenal istilah dana hangus.
7. Investasi Bebas melakukan investasi dalam batas-batas ketentuan perundang-undangan, dan tidak dibatasi pada halal dan haramnya objek atau sistem investasi yang digunakan.
Dapat melakukan investasi sesuai ketentuan perundang-undangan, sepanjang tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip syariah Islam. bebas dari riba dan tempat-tempat investasi yang terlarang.
8. Kepemilikan Dana
Dana yang terkumpul dari premi tertanggung seluruhnya menjadi milik perusahaan. Perusahaan bebas menggunakan dan menginvestasikan ke mana saja.
Dana yang terkumpul dari peserta dalam bentuk iuran atau kontribusi, tetap merupakan milik peserta, entitas asuransi syariah hanya sebagai pemegang amanah dalam mengelola dana tersebut.
9. Sumber Pembayaran Klaim
Berasal dari rekening perusahaan, sebagai konsekuensi penanggung terhadap tertanggung.
Sumbernya diperoleh dari rekening tabarru’, di mana peserta saling menanggung. Jika salah satu peserta mendapat musibah, maka peserta lainnya ikut menanggung bersama risiko tersebut.
10. Keuntungan Diperoleh dari surplus Diperoleh dari surplus
13
(Profit) underwriting, komisi reasuransi, dan hasil investasi seluruhnya adalah keuntungan perusahaan.
underwriting, komisi reasuransi, dan hasil investasi, bukan seluruhnya menjadi milik perusahaan, tetapi dilakukan bagi hasil dengan peserta.
Sumber: Muhammad Syakir Sula, Asuransi Syariah (Life and General), 2004.
1. Konsep
Dalam asuransi konvensional, konsepnya adalah untuk mengurangi
risiko individu atau institusi (tertanggung) dan mengalihkannya kepada
perusahaan asuransi (penanggung) melalui suatu perjanjian (kontrak).
Tertanggung membayar sejumlah uang sebagai tanda perikatan, dan penanggung
berjanji membayar ganti rugi sekiranya terjadi suatu peristiwa sebagaimana yang
diperjanjikan dalam kontrak asuransi (polis).
Sedangkan konsep asuransi syariah adalah terjadinya saling memikul
risiko di antara sesama peserta. Sehingga, antara satu peserta dengan yang
lainnya menjadi penanggung atas risiko yang muncul. Saling pikul risiko ini
dilakukan atas dasar saling menolong dalam kebaikan dengan cara masing-
masing peserta mengeluarkan dana tabarru’ atau dana kebajikan yang ditujukan
untuk menanggung risiko. Definisi ini sesuai dengan Firman Allah yang tertuang
dalam QS. Al-Maidah ayat 2, yang artinya:
“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.”
2. Unsur Gharar, Maisir, dan Riba
Semua asuransi konvensional yang ada saat ini masih mengandung
unsur gharar, maisir, dan riba. Gharar terjadi apabila, antara tertanggung dan
14
penanggung saling tidak mengetahui apa yang akan terjadi, kapan musibah akan
menimpa, dan sebagainya. Inilah yang disebut gharar atau ketidakjelasan atau
ketidakpastian yang dilarang dalam Islam, karena asuransi konvensional telah
‘menjual’ ketidakpastian dengan kepastian.
Secara harfiah, maisir memiliki makna memperoleh sesuatu dengan
sangat mudah tanpa kerja keras atau mendapat keuntungan tanpa bekerja. Maisir
disebut juga berjudi. Dalam industri asuransi konvensional, maisir dapat terjadi
dalam tiga hal, yaitu:
a. Ketika seorang pemegang polis mendadak terkena musibah sehingga
memperoleh hasil klaim, padahal baru sebentar menjadi klien asuransi dan
baru sedikit membayar premi. Jika ini terjadi, nasabah diuntungkan.
b. Sebaliknya, jika hingga akhir masa perjanjian tidak terjadi sesuatu,
sementara ia sudah membayar premi secara penuh/lunas, maka perusahaanlah
yang diuntungkan.
c. Apabila pemegang polis dengan sebab-sebab tertentu membatalkan
kontraknya sebelum masa reversing period, maka yang bersangkutan tidak
akan menerima kembali uang yang telah dibayarkan atau uangnya dianggap
hangus.
Riba secara teknis artinya adalah pengambilan tambahan dari harta
pokok atau modal secara bathil. Menurut Syeikh Yusuf Al-Qardhawi yang
dikemukakan oleh Muhammad Syakir Sula (2004:299), asuransi konvensional
itu sama dengan judi, karena tertanggung mengharapkan harta jaminan atau
tanggungan melebihi jumlah pembayaran preminya. Oleh sebab itu, dalam
15
asuransi tersebut juga ada unsur ribanya. Kemudian terdapat unsur gharar dalam
perhitungan uang yang akan dikembalikan, karena sangat bergantung pada
perkembangan saat tanggungan itu harus dibayarkan penanggung.
Asuransi syariah, harus terbebas dari tiga unsur tersebut. Hal ini dapat
dilihat dalam sistem operasional yang dilakukan, di mana dalam mekanisme
pengelolaan dananya ada pemisahan antara dana perusahaan dengan dana
tabarru’ peserta secara kolektif. Tujuan dari pemisahan ini untuk menghindarkan
adanya pencampuran dana. Sehingga, asuransi syariah dapat terhindar dari maisir
dan gharar. Adapun masalah riba dapat dieliminasi dengan menggunakan
instrumen syariah sebagai pengganti sistem riba, misalnya mudharabah, wadiah,
wakalah, dan sebagainya.
Larangan terhadap berjudi terdapat dalam QS. Al-Maidah:90 sebagai
berikut:
“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.”
Sedangkan larangan terhadap riba terdapat dalam banyak ayat, salah
satunya adalah seperti yang terdapat dalam QS. Al-Baqarah:278-279 seperti
beikut:
“Hai orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.”
16
3. Dewan Pengawas Syariah
Asuransi konvensional tidak memiliki Dewan Pengawas Syariah (DPS)
untuk mengawasi hal-hal yang terkait dengan prinsip-prinsip muammalah serta
akad-akad dalam transaksi asuransi. Namun demikian, bukan berarti asuransi
konvensional tersebut tanpa aturan, karena ia diatur oleh negara di dalam
Undang-Undang dan Peraturan-Peraturan Pemerintah.
Dewan Pengawas Syariah merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari
Dewan Syariah Nasional-Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI). Peran utamanya
adalah untuk mengawasi jalannya operasional sehari-hari Lembaga Keuangan
Syariah (LKS) agar selalu sesuai dengan ketentuan-ketentuan syariah.
Fungsi DPS adalah: (1) melakukan pengawasan secara periodik pada
LKS yang berada di bawah pengawasannya, (2) berkewajiban mengajukan usul-
usul pengembangan LKS kepada pimpinan lembaga yang bersangkutan dan
kepada DSN, (3) melaporkan perkembangan produk dan operasional LKS yang
diawasinya kepada DSN sekurang-kurangnya dua kali dalam satu tahun
anggaran, (4) merumuskan permasalahan-permasalahan yang memerlukan
pembahasan-pembahasan DSN.
4. Akad atau Perjanjian
Akad pada asuransi konvensional adalah akad mu’awadhah, yaitu suatu
kontrak atau perjanjian di mana pihak yang memberikan sesuatu kepada pihak
lain, berhak menerima penggantian dari pihak yang diberinya. Penanggung
memperoleh premi-premi asuransi sebagai pengganti dari uang pertanggungan
yang telah dijanjikan pembayarannya. Sedangkan tertanggung memperoleh uang
17
pertangungan jika terjadi peristiwa atau bencana sebagai pengganti dari premi-
premi yang telah dibayarkannya.
Dalam asuransi syariah, akad yang digunakan adalah akad tijarah
dan/atau akad tabarru’. Akad tijarah yang dimaksud adalah semua bentuk akad
yang dilakukan untuk tujuan komersil, misalnya mudharabah, musyarakah,
kafalah, wakalah, dan jua’lah. Sedangkan akad tabarru’ adalah semua bentuk
yang dilakukan untuk tujuan kebaikan dan tolong-menolong, bukan semata untuk
tujuan komersil. Dalam akad tabarru’, peserta memberikan derma dengan tujuan
untuk membantu seseorang yang sedang dalam kesusahan yang sangat
dianjurkan dalam syariat Islam.
5. Penanganan Risiko
Menurut Abdullah Amrin (2011:43), dalam asuransi konvensional,
terjadi perpindahan risiko (transfer of risk) dari nasabah kepada perusahaan.
Sebagai gantinya, perusahaan akan menerima uang premi dari nasabah, dan
nasabah akan memperoleh perlindungan dari suatu kejadian. Premi asuransi
tersebut merupakan prasyarat adanya perjanjian asuransi, karena tanpa adanya
premi tidak akan ada asuransi (No Premium, No Insurance).
Menurut Syakir Sula (2004:303), proses hubungan peserta dan
perusahaan dalam mekanisme pertanggungan pada asuransi syariah adalah saling
menanggung risiko (sharing of risk). Apabila terjadi musibah, maka semua
peserta asuransi syariah saling menanggung risiko tersebut. Dengan demikian,
tidak terjadi perpindahan risiko dari peserta ke perusahaan karena dalam
praktiknya, kontribusi (premi) yang dibayar oleh peserta tidak terjadi apa yang
18
disebut transfer of fund, karena status kepemilikan dana tersebut tetap melekat
pada peserta sebagai pemilik dana.
Gambar 2.1 Konsep Perpindahan Risiko dalam Asuransi Konvensional
Sumber: Muhaimin Iqbal, Asuransi Umum Syariah, 2006
Gambar 2.2
Konsep Berbagi Risiko Dalam Asuransi Syariah
Pembayaran Klaim
*sebagai wakil untuk
mengelola Dana Takaful dan mengelola Risiko
Pengumpulan Kontribusi
Sumber: Muhaimin Iqbal, Asuransi Umum Syariah, 2006
PESERTA
Entitas pengelola Asuransi Syariah*
Risiko 1
Risiko 2
Dana
Takaful
(kontribusi
dikumpul-
kan di sini,
Klaim juga
dibayar
dari dana
ini)
Risiko 3
Klaim dibayar oleh Penanggung ke Tertanggung
Risiko dipindahkan ke Penanggung dengan imbalan premi
TERTANGGUNG
PENANGGUNG
Risiko 1
Risiko 2
Risiko 3
19
6. Pengelolaan Dana
Dalam asuransi konvensional, tidak ada pemisahan antara dana peserta
dengan dana tabarru’. Semua bercampur menjadi satu dan status dana tersebut
menjadi dana perusahaan. Sebagai akibatnya, peserta tidak dapat dengan leluasa
mengambil kembali dananya pada saat-saat mendesak untuk produk asuransi
jiwa yang mengandung saving, kecuali dalam status meminjam (pinjaman polis).
Pada asuransi syariah, untuk produk-produk yang mengandung unsur
saving (tabungan), dana yang dibayarkan peserta langsung dibagi ke dalam dua
rekening, yaitu rekening peserta dan rekening tabarru’. Kemudian total dana
diinvestasikan, dan hasil investasi dibagi secara proporsional antara peserta
dengan entitas pengelola berdasarkan skema bagi hasil yang telah ditetapkan
sebelumnya. Sedangkan untuk produk yang tidak mengandung unsur tabungan,
total kontribusi dana dari peserta diinvestasikan, kemudian hasil investasi dibagi
antara peserta dengan entitas pengelola sesuai skema bagi hasil yang telah
ditetapkan.
7. Investasi Dana
Menurut peraturan pemerintah, investasi wajib dilakukan pada jenis
investasi yang aman dan menguntungkan serta memiliki likuiditas yang sesuai
dengan kewajiban yang harus dipenuhi.
Sedangkan asuransi syariah hanya boleh menginvestasikan dananya
kepada Bank-Bank Syariah, Obligasi Syariah, Pasar Modal Syariah, Leasing
Syariah, Pegadaian Syariah, serta instrumen bisnis lainnya dengan tetap
menggunakan akad-akad yang dibenarkan oleh syariat Islam.
20
PERUSAHAAN
30% (CONTOH)
PESERTA
70% (CONTOH)
PREMI TAKAFUL
TOTAL DANA
REKENING TABUNGAN
REKENING TABARRU’
REKENING TABUNGAN
REKENING TABARRU’
REKENING TABUNGAN
MANFAAT TAKAFUL
DIBAYAR-KAN PADA PESERTA
DIBAYAR-KAN PADA PESERTA
INVESTASI
HASIL
INVESTASI
BIAYA
OPERASIONAL
KEUNTUNGAN PERUSAHAAN
Gambar 2.3 Mekanisme Pengelolaan Dana Pada Produk yang Mengandung
Unsur Tabungan
Sumber: Muhammad Syakir Sula, Asuransi Syariah (Life and General), 2004.
21
PERUSAHAAN
HUBUNGAN
AL-MUDHARABAH
PESERTA
BIAYA OPERASIONAL
KEUNTUNGAN PERUSAHAAN
INVESTASI
HASIL
INVESTASI
PREMI TAKAFUL
TOTAL DANA
BEBAN ASURAN-
SI
SURPLUS OPERASI
BAGIAN PERUSAHAAN
TOTAL DANA
BAGIAN PESERTA
CADANGAN DANA TABARRU’
Gambar 2.4 Mekanisme Pengelolaan Dana/Premi pada Produk Non Saving
Sumber: Muhammad Syakir Sula, Asuransi Syariah (Life and General), 2004.
8. Kepemilikan Dana
Dalam asuransi konvensional, dana yang terkumpul dari premi peserta
seluruhnya menjadi milik perusahaan. Perusahaan bebas menggunakan dan
menginvestasikan dana tersebut kemana saja.
Sedangkan dalam asuransi syariah, dana yang terkumpul dari peserta
dalam bentuk kontribusi merupakan milik peserta. Perusahaan hanya sebagai
pemegang amanah dalam mengelola. Dana tersebut, kecuali dana tabarru’, dapat
diambil kapan saja oleh peserta dan tidak dikenakan biaya apapun.
22
9. Sumber Pembayaran Klaim
Pada asuransi konvensional, sumber pembayaran klaim adalah dari
rekening perusahaan dan murni bisnis. Klaim yang dibayarkan perusahaan
adalah bagian dari kewajiban imbal balik yang diatur dalam akad atau perjanjian
asuransi.
Pada asuransi syariah, sumber pembayaran klaimnya diperoleh dari
rekening tabarru’. Yaitu, rekening dana tolong-menolong dari seluruh peserta,
yang sejak awal sudah diniatkan dengan ikhlas oleh peserta untuk keperluan
saudara-saudaranya.
10. Keuntungan (Profit)
Pada asuransi konvensional, keuntungan diperoleh dari surplus
underwriting, komisi reasuransi, dan hasil investasi dalam satu tahun, yang kelak
dalam RUPS akhir tahun dibagikan kepada pemegang saham atau dikembalikan
lagi kepada perusahaan sebagai penyertaan modal.
Profit pada asuransi syariah, diperoleh dari surplus underwriting, komisi
reasuransi, dan hasil investasi. Namun profit ini bukan seluruhnya milik
perusahaan. Nantinya akan dilakukan bagi hasil antara perusahaan dengan
peserta sebagaimana yang telah diperjanjikan.
II.1.4. Tujuan Asuransi Syariah
Menurut Muhammad Syakir Sula (2004:321), tujuan asuransi syariah
ada empat, yaitu:
23
1. Misi Aqidah
Ekonomi Islam adalah ekonomi Ilahiah karena titik berangkatnya dari Allah
dan tujuannya adalah untuk mencari ridha Allah.
2. Misi Ibadah (Ta’awun)
Asuransi syariah adalah asuransi yang bertumpu pada konsep tolong-
menolong dalam kebaikan dan ketakwaan, dan perlindungan. Juga
menjadikan semua peserta sebagai keluarga besar yang saling menanggung.
3. Misi Iqhtishodi (Ekonomi)
Berdirinya asuransi syariah akan meningkatkan kesadaran berasuransi.
Sehingga, di samping ikut memperkuat sumber daya keuangan dalam negeri,
juga akan memberikan dampak kontraksi moneter untuk menahan laju inflasi.
Dengan optimalnya investasi yang dilakukan sesuai dengan prinsip syariah,
maka akan dapat membantu pertumbuhan ekonomi secara maksimal.
4. Misi Pemberdayaan Umat (Sosial)
Sebagaimana misi yang diemban asuransi pada umumnya, pada asuransi
syariah misi mengemban sosial terasa lebih melekat pada dirinya, melalui
produk-produk yang dirancang khusus untuk lebih mengarah kepada
kepentingan sosial dan pemberdayaan umat daripada kepentingan komersial.
Karena jika diamati, nasabah dari asuransi konvesional didominasi oleh
kalangan menengah ke atas. Berbeda dengan asuransi syariah yang
pesertanya dari berbagai lapisan masyarakat bisa mendapatkan kesempatan
untuk memperoleh perlindungan sesuai kemampuan masing-masing secara
berkelompok mengambil produk tersebut.
24
II.1.5. Prinsip Asuransi Syariah
Menurut Abdullah Amrin (2011:71), prinsip-prinsip pengelolaan
asuransi syariah beberapa di antaranya adalah sebagai berikut:
1. Prinsip Tauhid
Dilihat dari sisi perusahaan, asas yang digunakan bukanlah semata-mata
meraih keuntungan dan peluang pasar. Namun, niatan awalnya adalah untuk
mengimplementasikan nilai syariah dalam dunia asuransi. Sedangkan dari
sisi peserta, tujuan berasuransi syariah adalah untuk bertransaksi dalam
bentuk tolong-menolong, bukan semata-mata mencari “perlindungan”
apabila terjadi musibah.
2. Prinsip Keadilan
Asuransi syariah harus benar-benar bersikap adil dalam membuat pola
hubungan antara peserta dengan entitas pengelola, terkait dengan hak dan
kewajiban masing-masing. Asuransi syariah tidak boleh mendzalimi peserta
dengan hal-hal yang menyulitkan dan merugikan, seperti adanya unsur dana
hangus.
3. Prinsip Tolong-Menolong
Hakikat asuransi syariah adalah tiap peserta ikut bersumbangsih dalam
menolong peserta lainnya yang mengalami musibah. Karena pembayaran
klaim berasal dari dana tabarru’ dari peserta. Oleh karena itu, entitas
pengelola tidak berhak mengklaim atau mengambil dana tabarru’ nasabah.
Perusahaan hanya mendapatkan ujrah (fee) atas pengelolaan dana tabarru’
25
tersebut, yang dibayarkan oleh peserta bersamaan dengan pembayaran
kontribusi (premi).
4. Prinsip Amanah
Entitas pengelola dituntut untuk amanah dalam segala hal seperti mengelola
dana premi dan proses klaim. Perusahaan tidak boleh semena-mena dalam
mengambil keuntungan, yang berdampak pada ruginya peserta. Demikian
juga pesertanya, tidak boleh mengada-ada sesuatu kejadian atau musibah
demi mendapatkan pembayaran klaim.
5. Prinsip Saling Rida
Peserta rela dananya dikelola oleh entitas pengelola yang amanah dan
profesional, dan rela dananya dialokasikan untuk peserta lainnya yang
mengalami musibah. Sedangkan entitas pengelola, rela terhadap amanah
yang diembankan peserta dalam mengelola kontribusi (premi) mereka.
6. Prinsip Menghindari Gharar, Maisir, dan Riba
Untuk menghindari gharar, maisir, dan riba, entitas pengelola harus
menerapkan konsep sharing of risk yang bertumpu pada akad tabarru’.
II.2 Pendapatan
II.2.1. Pengertian Pendapatan
Menurut PSAK No. 23 paragraf 6, pendapatan adalah sebagai berikut.
Arus masuk bruto dari manfaat ekonomi yang timbul dari aktivitas normal entitas selama suatu periode jika arus masuk tersebut mengakibatkan kenaikan ekuitas yang tidak berasal dari kontribusi penanaman modal.
26
II.2.2. Jenis-Jenis Pendapatan dalam Asuransi Syariah
Menurut PSAK 108, pendapatan asuransi syariah dibagi menjadi dua, yaitu:
1. Pendapatan Dana Tabarru’
Pendapatan atas kontribusi yang diterima dari peserta dimasukkan
ke dalam rekening khusus dana tabarru’ milik peserta asuransi syariah
secara kolektif yang terpisah dari rekening pendapatan perusahaan. Bila ada
surplus atas underwriting dana tabarru’, maka akan masuk ke rekening dana
tabarru’ ini. Selain itu, tambahan atas dana tabarru’ juga berasal dari hasil
investasi dengan menggunakan dana tabarru’ yang dilakukan oleh entitas
pengelola. Pendapatan dana tabarru’ ini tidak dapat diakui sebagai
pendapatan perusahaan. Pendapatan dana tabarru’ digunakan untuk
membayar klaim yang diajukan oleh peserta.
2. Pendapatan Perusahaan
Menurut Muhaimin Iqbal (2006:119), pendapatan perusahaan
asuransi syariah dapat berasal dari:
a) Transaksi Mudharabah
Merupakan transaksi antara pemilik modal dengan pengelola, di mana
keuntungan dibagi menurut rasio atau persentase yang disepakati kedua
belah pihak. Dalam hal antara dana tabarru’ peserta dan perusahaan,
perusahaan adalah sebagai pengelola dana, sedangkan peserta sebagai
pemilik dananya. Namun, perusahaan adalah sebagai pemilik dari dana
27
perusahaan, yang bisa menginvestasikan dananya ke tempat lain untuk
dikelola sesuai ketentuan syariah.
b) Transaksi Wakalah
Dalam transaksi ini, satu pihak mengangkat dan memberi kewenangan
kepada pihak lain (Wakil) untuk bertindak atas namanya. Wakil dapat
membebankan biaya kepada pihak yang diwakilinya. Dalam hal asuransi
syariah, peserta asuransi adalah pemilik dana tabarru’ dan perusahaan
asuransi adalah sebagai pengelola dana tabarru’. Atas usaha perusahaan
asuransi syariah dalam mengelola dana peserta, maka perusahaan berhak
mendapatkan fee.
Gambar 2.5 Model Finansial Asuransi Syariah dengan Prinsip Mudharabah
Sumber: Muhaimin Iqbal, Asuransi Umum Syariah dalam Praktik, 2006
Mudharabah ..... %
Qardh/Donasi
Mudharabah....%
Dana Pemegang
Saham
Investasi
Dana takaful: Biaya Underwriting & Cadangan
(Cad. Kontribusi, Klaim, Reasuransi)
Biaya-Biaya Pengelolaan
Kontribusi Peserta
Surplus (Bila Ada)
28
Gambar 2.6 Model Finansial Asuransi Syariah dengan Prinsip Wakalah
Sumber: Muhaimin Iqbal, Asuransi Umum Syariah dalam Praktik, 2006
Asumsi Kontrak Mudharabah
Peserta A
Periode Kesertaan 01/01/2004-31/12/2004
Nilai Kendaraan Rp 100,000,000
Rate Kontribusi 2,57%
Biaya yang Disepakati:
- Perantara 12,50% - Biaya Manajemen 12,50%
Biaya XOL 5,00%
Rata-Rata Hasil Investasi Tahunan 7,00%
Bila tidak ada klaim dalam 9 bulan pertama kontrak, maka perhitungan pendapatannya adalah sebagai berikut.
Bagian Peserta ...%
Qardh Hasan
Investasi Prestasi ..... %
Dana Pemegang
Saham
Investasi
Dana Takaful:
Biaya-Biaya: Underwriting, Klaim, Cadangan,
Reasuransi,dsb
Kontribusi Peserta
Surplus (Bila Ada)
Upah Wakalah
29
Perhitungan Pendapatan untuk Periode yang Berakhir 30/9/2004:
II.2.3. Asumsi Dasar Atas Pendapatan Asuransi Syariah
Menurut Kerangka Dasar Penyusunan dan Penyajian Laporan Keuangan
Syariah (2007:15), berikut adalah penjelasan mengenai implementasi akuntansi
pada asuransi syariah.
1. Untuk mencapai tujuannya, laporan keuangan syariah disusun atas dasar
akrual. Dengan dasar ini, pengaruh transaksi dan peristiwa lain diakui pada
saat kejadian (dan bukan pada saat kas atau setara kas diterima atau dibayar)
dan diungkapkan dalam catatan akuntansi serta dilaporkan dalam laporan
keuangan periode yang bersangkutan.
31
2. Penghitungan pendapatan untuk tujuan pembagian hasil usaha
menggunakan dasar kas. Dalam hal prinsip pembagian hasil usaha
berdasarkan bagi hasil, pendapatan atau hasil yang dimaksud adalah
keuntungan bruto (gross profit).
3. Pos yang memenuhi definisi suatu unsur diakui kalau:
(a) Ada kemungkinan bahwa manfaat ekonomi yang berkaitan dengan pos
tersebut akan mengalir dari atau ke dalam entitas syariah; dan
(b) Pos tersebut mempunyai nilai atau biaya yang dapat diukur dengan andal.
4. Biaya atau nilai harus diestimasi; estimasi yag layak merupakan bagian
esensial dalam penyusunan laporan keuangan tanpa mengurangi tingkat
keandalan.
5. Sejumlah dasar pengukuran yang berbeda digunakan dalam derajat dan
kombinasi yag berbeda dalam laporan keuangan. Berbagai dasar pengukuran
tersebut adalah sebagai berikut:
(a) Biaya historis. Ases dicatat sebesar pengeluaran kas yang dibayar atau
sebesar nilai wajar dari imbalan yang diberikan untuk memperoleh aset
tersebut pada saat perolehan.
(b) Biaya kini (current cost). Aset dinilai dalam jumlah kas yang seharusnya
dibayar bila aset yang sama atau setara aset diperoleh sekarang.
(c) Nilsi realisasi/penyelesaian. Aset dinyatakan dalam jumlah kas yang
dapat diperoleh sekarang dengan menjual aset dalam pelepasan normal.
32
II.2.4. Perbedaan Antara Akuntansi Asuransi Konvensional dan Akuntansi
Asuransi Syariah
Berdasarkan International Course on: “Islamic Insurance and Takaful”
yang diselenggarakan pada tahun 2005 oleh Islamic Development Bank, Islamic
Insurance Society, Lembaga Pengembangan Kepemimpinan Global, dan
PT Tugu Pratama Indonesia General Insurance, perbedaan antara akuntansi
asuransi konvensional dan akuntansi asuransi syariah adalah seperti yang
terdapat dalam tabel berikut.
Tabel 2.2 Perbedaan Antara Akuntansi Asuransi Konvensional
dan Akuntansi Asuransi Syariah
No. Hal yang Membedakan Asuransi Konvensional Asuransi Syariah
1. Pengakuan Pendapatan Menggunakan Accrual Basis. Menggunakan Accrual Basis dan Cash Basis.
2. Akun Satu Akun: Akun Perusahaan
Dua Akun: 1. Akun
Peserta 2. Akun
Perusahaan 3. Premi/Kontribusi Diakui 100% sebagai
pendapatan perusahaan. Hanya pendapatan wakalah yang diakui sebagai pendapatan perusahaan, sisanya adalah milik peserta secara kolektif.
4. Surplus atas Underwriting 100% menjadi pendapatan perusahaan.
100% menjadi milik peserta secara kolektif yang dapat didistribusikan atau ditahan untuk kewajiban di masa depan.
5. Defisit atas Underwriting 100% ditanggung oleh perusahaan.
100% ditanggung menggunakan dana Takaful.
Sumber: International Course on:’Islamic Insurance and Takaful”, 2005.
33
II.3 Pengakuan, Pengukuran, Penyajian, dan Pengungkapan Pendapatan
Berdasarkan PSAK 108: Akuntansi Transaksi Asuransi Syariah
II.3.1 Pengakuan dan Pengukuran
Pengakuan
1. Kontribusi dari peserta diakui sebagai bagian dari dana tabarru’ dalam dana peserta. (Paragraf 14)
2. Dana tabarru’ yang diterima tidak diakui sebagai pendapatan, karena entitas asuransi syariah tidak berhak untuk menggunakan dana tersebut untuk keperluannya, tetapi hanya mengelola dana sebagai wakil para peserta. (Paragraf 15)
3. Selain dari kontribusi peserta, tambahan dana tabarru’ juga berasal dari hasil investasi dan akumulasi cadangan surplus underwriting dana tabarru’. Investasi oleh entitas pengelola dilakukan (dalam kedudukan sebagai entitas pengelola) antara lain, sebagai wakil peserta (wakalah) atau pengelola dana (mudharabah atau mudharabah musytarakah). (Paragraf 16)
4. Bagian pembayaran dari peserta untuk investasi diakui sebagai: a. Dana syirkah temporer jika menggunakan akad mudharabah atau
mudharabah musyarakah; dan atau b. Kewajiban jika menggunakan akad wakalah. (Paragraf 17)
5. Pada saat entitas pengelola menyalurkan dana investasi yang menggunakan akad wakalah bil ujrah, entitas mengurangi kewajiban dan melaporkan penyaluran tersebut dalam laporan perubahan dana investasi terikat. (Paragraf 18)
6. Perlakuan akuntansi untuk investasi dengan menggunakan akad mudharabah, atau mudharabah musytarakah mengacu pada PSAK yang relevan. (Paragraf 19)
7. Bagian kontribusi untuk ujrah/fee diakui sebagai pendapatan dalam laporan laba rugi dan menjadi beban dalam laporan surplus defisit underwrtiting dana tabarru’. (Paragraf 20)
Pengukuran setelah Pengakuan Awal
1. Penetapan besaran pembagian surplus underwriting dana tabarru’ tergantung kepada peserta secara kolektif, regulator atau kebijakan manajemen. a. seluruh surplus sebagai cadangan dana tabarru’; b. sebagian sebagai cadangan dana tabarru’ dan sebagian lainnya
didistribusikan kepada peserta; atau c. sebagian sebagai cadangan dana tabarru’, sebagian didistribusikan kepada
peserta, dan sebagian lainnya didistribusikan kepada entitas pengelola. (Paragraf 21)
34
2. Bagian surplus underwriting dana tabarru’ yang didistribusikan kepada peserta dan bagian surplus underwriting dana tabarru’ yang didistribusikan kepada entitas pengelola diakui sebagai pengurang surplus dalam laporan perubahan dana tabarru’. (Paragraf 22)
3. Surplus underwriting dana tabarru’ yang diterima entitas pengelola diakui sebagai pendapatan dalam laporan laba rugi, dan surplus underwriting dana tabarru’ yang didistribusikan kepada peserta diakui sebagai kewajiban dalam neraca. (Paragraf 23)
4. Jika terjadi defisit underwriting dana tabarru’, maka entitas pengelola wajib menanggulangi kekurangan tersebut dalam bentuk pinjaman (qardh). Pengembalian qardh tersebut kepada entitas pengelola berasal dari surplus dana tabarru’ yang akan datang. (Paragraf 24)
II.3.2. Penyajian
1. Bagian surplus underwriting dana tabarru’ yang didistribusikan kepada peserta disajiakan secara terpisah pada pos “bagian surplus underwriting dana tabarru’ yang didistribusikan kepada peserta” dan bagian surplus yang didistribusikan kepada entitas pengelola disajikan secara terpisah pada pos “bagian surplus underwriting dana tabarru’ yang didistribusikan kepada pengelola” dalam laporan perubahan dana tabarru’. (Paragraf 32)
2. Penyisihan teknis disajikan secara terpisah pada kewajiban dalam neraca. (Paragraf 33)
3. Dana tabarru’ disajikan sebagai dana peserta yang terpisah dari kewajiban dan ekuitas dalam neraca (laporan posisi keuangan). (Paragraf 34)
4. Cadangan dana tabarru’ disajikan secar terpisah pada laporan perubahan dana tabarru’. (Paragraf 35)
II.3.3. Pengungkapan
1. Entitas pengelola mengungkapkan terkait kontribusi, mencakup tetapi tidak terbatas pada: a. Kebijakan akuntansi untuk:
(i) Kontribusi yang diterima dan perubahannya; (ii) Pembatalan polis asuransi dan konsekuensinya
b. Piutang kontribusi dari peserta, entitas asuransi, dan reasuransi; c. Rincian kontribusi berdasarkan jenis asuransi; d. Jumlah dan persentase komponen kontribusi untuk bagian risiko dan
ujrah dari total kontribusi per jenis asuransi; e. Kebijakan perlakuan surplus atau defisit underwriting dana tabarru’. f. Jumlah pinjaman (qardh) untuk menutup defisit underwriting (jika ada).
(Paragraf 36)
2. Entitas pengelola mengungkapkan terkait dengan dana investasi, mencakup tetapi tidak terbatas pada: a. Kebijakan akuntasi untuk pengelolaan dana investasi yang berasal dari
peserta; dan
35
b. Rincian jumlah dana investasi berdasarkan akad yang digunakan dalam pengumpulan dan pengelolaan dana investasi. (Paragraf 37)
3. Entitas pengelola mengungkapkan terkait penyisihan teknis, tetapi tidak terbatas pada: a. Jenis penyisihan teknis (saldo awal, jumlah yang ditambahkan dan
digunakan selama periode berjalan, dan saldo akhir); b. Dasar yang digunakan dalam penentuan jumlah untuk setiap penyisihan
teknis dan perubahan basis yang digunakan. (Paragraf 38)
4. Entitas pengelola mengungkapkan terkait cadangan dana tabarru’, mencakup tetapi tidak terbatas pada: a. Dasar yang digunakan dalam penentuan dan pengukuran cadangan dana
tabarru’; b. Perubahan cadangan dana tabarru’ per jenis tujuan pencadangannya
(saldo awal, jumlah yang ditambahkandan digunakan selama periode berjalan, dan saldo akhir);
c. Pihak yang menerima pengalihan saldo cadangan dana tabarru’ jika terjadi likuidasi atas produk atau entitas;
d. Jumlah yang dijadikan sebagai dasar penentuan distribusi surplus underwriting. (Paragraf 39)
5. Entitas pengelola mengungkapkan aset dan kewajiban yang menjadi milik dana tabarru’. (Paragraf 40)
II.4 Akuntansi Dana Peserta
Dana peserta adalah kumpulan dana kontribusi premi dari para peserta
asuransi syariah yang diperuntukkan untuk dana tolong-menolong sesama
peserta, baik itu berupa klaim, reasuransi dan cadangan-cadangan, serta
diinvestasikan untuk pengembangan kumpulan dana peserta. Dari bagian dana
peserta tersebut juga digunakan untuk membayar biaya pengelolaan kepada
operator.
1. Jurnal untuk mencatat kontribusi pada saat tanggal terbit polis pada
Asuransi Umum Syariah.
a) Langsung Asuransi
Dr. Piutang Kontribusi Langsung Asuransi xxx
36
Cr. Pendapatan Kontribusi Langsung xxx
b) Reasuransi
Dr. Piutang Kontribusi Langsung Reasuransi Masuk xxx Cr. Pendapatan Kontribusi Langsung Reasuransi Masuk xxx Dr. Pendapatan Kontribusi Langsung Reasuransi Keluar xxx Cr. Utang Reasuransi Kontribusi Koasuransi xxx
2. Jurnal pada saat penerimaan kontribusi pada Asuransi Umum Syariah.
a) Langsung Asuransi
Dr. Kas/Bank Dana Peserta xxx Cr. Piutang Kontribusi Langsung Asuransi xxx
b) Reasuransi
Dr. Kas/Bank Dana Peserta xxx Cr. Piutang Kontribusi Langsung Reasuransi Masuk xxx Dr. Utang Kontribusi Reasuransi xxx Cr. Kas/Bank Dana Peserta xxx
3. Jurnal untuk Ujrah Dibayar pada saat tanggal terbit polis.
Dr. Beban Ujrah Dibayar xxx Cr. Utang Ujrah Dibayar xxx
4. Jurnal pada saat pembayaran ujrah.
Dr. Utang Ujrah Dibayar xxx Cr. Kas/Bank Dana Peserta xxx
5. Jurnal untuk Surplus Operasi Reasuransi pada saat diterima nota.
Dr. Piutang Surplus Operasi xxx Cr. Surplus Operasi Reasuransi xxx
6. Jurnal pada saat penerimaan pembayaran surplus operasi reasuransi.
Dr. Kas/Bank Dana Peserta xxx Cr. Piutang Surplus Operasi Reasuransi xxx
37
II.5 Akuntansi Dana Pengelola
Dana Pengelola adalah dana yang dimiliki oleh perusahaan asuransi
syariah yang berasal dari modal disetor atau modal kerja serta pendapatan ujrah
dari Dana Peserta, hasil investasi dan bagian share bagi hasil atau surplus operasi
dana peserta. Dana ini diperuntukkan untuk biaya operasional perusahaan
asuransi syariah termasuk membayar biaya intermediary.
1. Jurnal untuk Ujrah Diterima pada saat tanggal terbit polis.
Dr. Piutang Ujrah xxx Cr. Ujrah Diterima xxx
2. Jurnal pada saat penerimaan ujrah.
Dr. Kas/Bank Dana Pengelola xxx Cr. Piutang Ujrah xxx
3. Jurnal untuk Surplus Operasi Dana Peserta pada saat penetapan alokasi
surplus.
Dr. Piutang Alokasi Surplus xxx Cr. Alokasi Surplus Dana Peserta xxx
4. Jurnal pada saat penerimaan alokasi surplus.
Dr. Kas/Bank Dana Pengelola xxx Cr. Piutang Alokasi Surplus xxx
II.6 Penelitian Terdahulu oleh Bey Sapta Utama dan Ardhyarini Hapsari.
Bey Sapta Utama melakukan penelitian dengan judul “Perbandingan
Analisis Investasi di Perusahaan Asuransi Jiwa Syariah dan Konvensional pada
tahun 2003. Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis alokasi investasi
optimal di perusahaan asuransi jiwa syariah dan membandingkannya dengan
38
perusahaan asuransi konvensional, terutama dalam hal tingkat bagi hasil
portofolio dan variabilitas atau standar deviasinya. Dari penelitian ini
disimpulkan bahwa instrumen investasi yang terpenting dalam asuransi syariah
adalah deposito mudharabah. Alokasi optimal deposito mudharabah dapat
dicapai dengan mengintrodusir satu instrumen baru yakni Sertifikat Wadiah Bank
Indonesia (SWBI) dan melakukan relokasi deposito antar bank.
Perbandingan penelitian penulis dengan penelitian yang dilakukan oleh
Bey yaitu (1) penulis melakukan penelitian di perusahaan asuransi umum
syariah, (2) tujuan penelitian penulis adalah untuk menganalisis tentang
perlakuan akuntansi pendapatan asuransi umum syariah atas pendapatan dana
tabarru’ dan pendapatan perusahaan, (3) penulis tidak melakukan perbandingan
antara asuransi umum syariah dengan asuransi umum konvensional.
Penelitian selanjutnya adalah yang dilakukan oleh Ardhyarini Hapsari
pada tahun 2004 dengan judul “Pengakuan Pendapatan Transaksi Gadai Syariah
(Studi Kasus pada Perum Pegadaian Unit Layanan Gadai Syariah). Tujuan dari
penelitian ini adalah untuk menganalisis mengenai pengakuan, penilaian,
pengukuran, penyajian, dan pengungkapan atas pendapatan bagi hasil dalam
gadai syariah. Pada saat itu Ardhyarini masih mengacu pada PSAK 59 mengenai
Akuntansi Mudharabah. Kesimpulan dari penelitian ini adalah bagi hasil diakui
pada saat terjadinya atas dasar akrual. Perhitungan pendapatan untuk tujuan bagi
hasil kepada pihak lain menggunakan dasar kas. Bagi hasil yang diterima diakui
sebagai pendapatan lain-lain.
39
Perbandingan antara penelitian yang penulis lakukan dengan penelitian
yang dilakukan oleh Ardhyarini adalah (1) saat ini akuntansi mudharabah diatur
dalam PSAK 105, (2) penelitian penulis meliputi pengakuan, pengukuran,
penyajian, dan pengungkapan pengakuan pendapatan dana tabarru’ dan