Top Banner
Kumpulan Artikel Majalah Asy Syariah Edisi PEMILU (PENTING) Daftar isi: Meminta Jabatan oleh Ustadz Abu Ishaq Muslim Al Atsary Pemberontakan dengan Lisan Lebih Berbahaya Daripada Pemberontakan Bersenjata oleh Tim Redaksi Asy Syariah Hukum Mayoritas Dalam Syariat Islam Oleh Al-Ustadz Ruwaifi’ bin Sulaimi Al-Atsari Siapakah Ahlu Syura? Oleh Tim Redaksi Asy Syariah Bolehkah Bergabung dengan Partai Politik? Oleh Tim Redaksi Asy Syariah Mau Kemana Partai Islam? Oleh Tim Redaksi Asy Syariah Memaknai Politik Syar’i Oleh Al-Ustadz Ruwaifi’ bin Sulaimi Demi Suara, Apapun Dilakukan Oleh Al-Ustadz Abulfaruq Ayip Syafruddin Partai Islam Partai Dakwah? Oleh Al-Ustadz Abulfaruq Ayip Syafruddin Demokrasi Adalah Liberalisasi Oleh Al-Ustadz Abulfaruq Ayip Syafruddin Kisah Nabi Yusuf dan Meminta Jabatan Oleh Al-Ustadz Qomar Suaidi, Lc Jangan Berebut Jabatan Bertameng Al-Qur`an Oleh Al-Ustadz Abu Ubaidah Syafruddin Demi Sebuah Kursi Kedudukan Oleh Al-Ustadz Abu Nasim Mukhtar
60

Kumpulan Artikel Majalah Asy Syariah Edisi PEMILU (PENTING)

Jun 11, 2015

Download

Documents

ninetriple1

Kumpulan Artikel Majalah Asy Syariah Edisi PEMILU (PENTING)

•Meminta Jabatan oleh Ustadz Abu Ishaq Muslim Al Atsary
•Pemberontakan dengan Lisan Lebih Berbahaya Daripada Pemberontakan Bersenjata oleh Tim Redaksi Asy Syariah
•Hukum Mayoritas Dalam Syariat Islam Oleh Al-Ustadz Ruwaifi’ bin Sulaimi Al-Atsari
•Siapakah Ahlu Syura? Oleh Tim Redaksi Asy Syariah
•Bolehkah Bergabung dengan Partai Politik? Oleh Tim Redaksi Asy Syariah
•Mau Kemana Partai Islam? Oleh Tim Redaksi Asy Syariah
•Memaknai Politik Syar’i Oleh Al-Ustadz Ruwaifi’ bin Sulaimi
•Demi Suara, Apapun Dilakukan Oleh Al-Ustadz Abulfaruq Ayip Syafruddin
•Partai Islam Partai Dakwah? Oleh Al-Ustadz Abulfaruq Ayip Syafruddin
•Demokrasi Adalah Liberalisasi Oleh Al-Ustadz Abulfaruq Ayip Syafruddin
•Kisah Nabi Yusuf dan Meminta Jabatan Oleh Al-Ustadz Qomar Suaidi, Lc
•Jangan Berebut Jabatan Bertameng Al-Qur`an Oleh Al-Ustadz Abu Ubaidah Syafruddin
•Demi Sebuah Kursi Kedudukan Oleh Al-Ustadz Abu Nasim Mukhtar
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: Kumpulan Artikel Majalah Asy Syariah Edisi PEMILU (PENTING)

Kumpulan Artikel Majalah Asy Syariah Edisi PEMILU (PENTING)

Daftar isi:

• Meminta Jabatan oleh Ustadz Abu Ishaq Muslim Al Atsary

• Pemberontakan dengan Lisan Lebih Berbahaya Daripada Pemberontakan Bersenjata oleh Tim Redaksi Asy Syariah

• Hukum Mayoritas Dalam Syariat Islam Oleh Al-Ustadz Ruwaifi’ bin

Sulaimi Al-Atsari

• Siapakah Ahlu Syura? Oleh Tim Redaksi Asy Syariah

• Bolehkah Bergabung dengan Partai Politik? Oleh Tim Redaksi Asy

Syariah

• Mau Kemana Partai Islam? Oleh Tim Redaksi Asy Syariah

• Memaknai Politik Syar’i Oleh Al-Ustadz Ruwaifi’ bin Sulaimi

• Demi Suara, Apapun Dilakukan Oleh Al-Ustadz Abulfaruq Ayip

Syafruddin

• Partai Islam Partai Dakwah? Oleh Al-Ustadz Abulfaruq Ayip Syafruddin

• Demokrasi Adalah Liberalisasi Oleh Al-Ustadz Abulfaruq Ayip Syafruddin

• Kisah Nabi Yusuf dan Meminta Jabatan Oleh Al-Ustadz Qomar Suaidi, Lc

• Jangan Berebut Jabatan Bertameng Al-Qur`an Oleh Al-Ustadz Abu

Ubaidah Syafruddin

• Demi Sebuah Kursi Kedudukan Oleh Al-Ustadz Abu Nasim Mukhtar

Page 2: Kumpulan Artikel Majalah Asy Syariah Edisi PEMILU (PENTING)

Meminta Jabatan oleh Ustadz Abu Ishaq Muslim Al Atsary

Meminta jabatan atau mencalonkan diri dalam etika politik merupakan hal

lumrah. Padahal Islam melarang keras perbuatan yang berakar dari budaya Barat

ini. Hadits berikut memberikan penjelasan secara gamblang bagaimana

sesungguhnya Islam memandang sebuah jabatan yang telah menjadi simbol status

sosial ini.

Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam pernah menasehatkan kepada

Abdurrahman bin Samurah radliallahu 'anhu:

� ���ل ا���رة ,�� ��� ا�� ��� � ���ة )). ����� �� *�� ����( أ�'& �%��� و إن أ� �� + إن أ� �,-.�� ((�� ����( وآ%& إ��

"Wahai Abdurrahman bin Samurah, janganlah engkau meminta kepemimpinan.

Karena jika engkau diberi tanpa memintanya, niscaya engkau akan ditolong (oleh

Allah dengan diberi taufik kepada kebenaran). Namun jika diserahkan kepadamu

karena permintaanmu, niscaya akan dibebankan kepadamu (tidak akan ditolong)."

Hadits ini diriwayatkan Al-Imam Bukhari dalam Shahih-nya no. 7146 dengan

judul “Siapa yang tidak meminta jabatan, Allah akan menolongnya dalam

menjalankan tugasnya” dan no. 7147 dengan judul “Siapa yang minta jabatan

akan diserahkan kepadanya (dengan tidak mendapat pertolongan dari Allah dalam

menunaikan tugasnya)”. Diriwayatkan pula oleh Al-Imam Muslim dalam Shahih-

nya no. 1652 yang diberi judul oleh Al-Imam Nawawi “Bab larangan meminta

jabatan dan berambisi untuk mendapatkannya”.

Masih berkaitan dengan permasalahan di atas, juga didapatkan riwayat dari Abu

Dzar Al Ghifari radliallahu 'anhu. Ia berkata: "Wahai Rasulullah shallallahu 'alaihi

wasallam, tidakkah engkau menjadikanku sebagai pemimpin?" Mendengar

permintaanku tersebut, beliau menepuk pundakku seraya bersabda:

(( 1�23 + �� أ��,( ,�� أ� ذر4 إ, �� �;م ا9����( 78ي و ,�ا�( ,و إ, �� أ8?ه� =9>�� ,و إ,�و أد ى ا� ?ي ,إ���. B�%� ))

"Wahai Abu Dzar, engkau seorang yang lemah sementara kepemimpinan itu

adalah amanah. Dan nanti pada hari kiamat, ia akan menjadi kehinaan dan

penyesalan kecuali orang yang mengambil dengan haknya dan menunaikan apa

yang seharusnya ia tunaikan dalam kepemimpinan tersebut." (HR. Muslim no.

1825)

Dalam riwayat lain, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:

�� ��ل ���I ,و إ,>F أ�GH �+ �� أ�F�D'� GH ,إ,>F أراك 23��D ,�� أ� ذر4))�;� ���� �ن اJ'�� و � ))

"Wahai Abu Dzar, aku memandangmu seorang yang lemah, dan aku menyukai

untukmu apa yang kusukai untuk diriku. Janganlah sekali-kali engkau memimpin

dua orang dan jangan sekali-kali engkau menguasai pengurusan harta anak yatim."

(HR. Muslim no. 1826)

Al-Imam Nawawi rahimahullah membawakan kedua hadits Abu Dzar di atas

dalam kitab beliau Riyadlus Shalihin, bab “Larangan meminta jabatan

kepemimpinan dan memilih untuk meninggalkan jabatan tersebut jika ia tidak

pantas untuk memegangnya atau meninggalkan ambisi terhadap jabatan”.

Page 3: Kumpulan Artikel Majalah Asy Syariah Edisi PEMILU (PENTING)

Kepemimpinan yang diimpikan dan diperebutkan

Menjadi seorang pemimpin dan memiliki sebuah jabatan merupakan impian

semua orang kecuali sedikit dari mereka yang dirahmati oleh Allah. Mayoritas

orang justru menjadikannya sebagai ajang rebutan khususnya jabatan yang

menjanjikan lambaian rupiah (uang dan harta) dan kesenangan dunia lainnya.

Sungguh benar apa yang disabdakan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam ketika

beliau menyampaikan hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairah radliallahu

'anhu:

�=L�;ن �%K ا���رة ))� IM ((و ��M;ن ,�ا�( �;م ا�9���( ,إ,"Sesungguhnya kalian nanti akan sangat berambisi terhadap kepemimpinan,

padahal kelak di hari kiamat ia akan menjadi penyesalan." (HR. Bukhari no. 7148)

Bagaimana tidak, dengan menjadi seorang pemimpin, memudahkannya untuk

memenuhi tuntutan hawa nafsunya berupa kepopuleran, penghormatan dari orang

lain, kedudukan atau status sosial yang tinggi di mata manusia, menyombongkan

diri di hadapan mereka, memerintah dan menguasai, kekayaan, kemewahan serta

kemegahan.

Wajar kalau kemudian untuk mewujudkan ambisinya ini, banyak elit politik atau

'calon pemimpin' di bidang lainnya, tidak segan-segan melakukan politik uang

dengan membeli suara masyarakat pemilih atau mayoritas anggota dewan. Atau

'sekedar' uang tutup mulut untuk meminimalisir komentar miring saat

berlangsungnya masa pencalonan atau kampanye, dan sebagainya. Bahkan yang

ekstrim, ia pun siap menghilangkan nyawa orang lain yang dianggap sebagai rival

dalam perebutan kursi kepemimpinan tersebut. Atau seseorang yang dianggap

sebagai duri dalam daging yang dapat menjegal keinginannya meraih posisi

tersebut. Nasalullah as salamah wal `afi`ah.

Berkata Al Muhallab sebagaimana dinukilkan dalam Fathul Bari (13/135):

"Ambisi untuk memperoleh jabatan kepemimpinan merupakan faktor yang

mendorong manusia untuk saling membunuh. Hingga tertumpahlah darah,

dirampasnya harta, dihalalkannya kemaluan-kemaluan wanita (yang mana itu

semuanya sebenarnya diharamkan oleh Allah) dan karenanya terjadi kerusakan

yang besar di permukaan bumi."

Seseorang yang menjadi penguasa dengan tujuan seperti di atas, tidak akan

mendapatkan bagiannya nanti di akhirat kecuali siksa dan adzab. Allah subhanahu

wa ta`ala berfirman:

��9 ��%� )�N�2���دا وا. �� ����ون �%;Qا .F اPرض و ��? %� ��%2R, 8�ةSار ا �%+ ا��

"Itulah negeri akhirat yang Kami jadikan untuk orang-orang yang tidak ingin

menyombongkan diri di muka bumi dan tidak pula membuat kerusakan. Dan akhir

yang baik itu hanya untuk orang-orang yang bertakwa." (Al-Qashshash: 83)

Al-Hafidh Ibnu Katsir rahimahullah dalam tafsirnya mengatakan: "Allah ta`ala

mengabarkan bahwasanya negeri akhirat dan kenikmatannya yang kekal yang

tidak akan pernah lenyap dan musnah, disediakan-Nya untuk hamba-hamba-Nya

yang beriman, yang tawadhu` (merendahkan diri), tidak ingin merasa tinggi di

muka bumi yakni tidak menyombongkan diri di hadapan hamba-hamba Allah

yang lain, tidak merasa besar, tidak bertindak sewenang-wenang, tidak lalim, dan

tidak membuat kerusakan di tengah mereka." (Tafsir Ibnu Katsir, 3/412)

Page 4: Kumpulan Artikel Majalah Asy Syariah Edisi PEMILU (PENTING)

Berkata Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah: “Seseorang yang meminta jabatan

seringnya bertujuan untuk meninggikan dirinya di hadapan manusia, menguasai

mereka, memerintahkannya dan melarangnya. Tentunya tujuan yang demikian ini

jelek adanya. Maka sebagai balasannya, ia tidak akan mendapatkan bahagiannya

di akhirat. Oleh karena itu dilarang seseorang untuk meminta jabatan.” (Syarh

Riyadlus Shalihin, 2/469)

Sedikit sekali orang yang berambisi menjadi pimpinan, kemudian berpikir tentang

kemaslahatan umum dan bertujuan memberikan kebaikan kepada hamba-hamba

Allah dengan kepemimpinan yang kelak bisa ia raih. Kebanyakan mereka justru

sebaliknya, mengejar jabatan untuk kepentingan pribadi dan kelompoknya.

Program perbaikan dan janji-janji muluk yang digembar-gemborkan sebelumnya,

tak lain hanyalah ucapan yang manis di bibir. Hari-hari setelah mereka menjadi

pemimpin lah yang kemudian menjadi saksi bahwa mereka hanyalah sekedar

mengobral janji kosong dan ucapan dusta yang menipu. Bahkan yang ada, mereka

berbuat zalim dan aniaya kepada orang-orang yang dipimpinnya. Ibaratnya ketika

belum mendapatkan posisi yang diincar tersebut, yang dipamerkan hanya

kebaikannya. Namun ketika kekuasaan telah berada dalam genggamannya,

mereka lantas mempertontonkan apa yang sebenarnya diinginkannya dari jabatan

tersebut. Hal ini sesuai dengan pepatah musang berbulu domba. Ini sungguh

merupakan perbuatan yang memudharatkan diri mereka sendiri dan nasib orang-

orang yang dipimpinnya.

Betapa rakus dan semangatnya orang-orang yang menginginkan jabatan ini,

sehingga Rasullah shallallahu alaihi wasallam menggambarkan kerakusan

terhadap jabatan lebih dari dua ekor serigala yang kelaparan lalu dilepas di tengah

segerombolan kambing. Beliau bersabda:

(( B'��� �ف Uا���ل و ا� K%� �ص ا���ء� �� ��� ��.� I'* F. X��2ن أرY�Z ��نYذ �� )) “Tidaklah dua ekor serigala yang lapar dilepas di tengah gerombolan kambing

lebih merusak daripada merusaknya seseorang terhadap agamanya disebabkan

ambisinya untuk mendapatkan harta dan kedudukan yang tinggi.” (HR. Tirmidzi

no. 2482, dishahihkan Syaikh Muqbil dalam Ash Shahihul Musnad, 2/178).

Sifat seorang pemimpin

Di tengah gencarnya para elit politik menambang suara dalam rangka memperoleh

kursi ataupun jabatan, maka layak sekali apabila hadits yang diriwayatkan dari

Abdurrahman bin Samurah dan Abu Dzar di atas dihadapkan kepada mereka,

khususnya lagi pada hadits Abu Dzar yang menyebutkan kriteria yang harus

diperhatikan dan merupakan hal mutlak jika ingin menjadi pemimpin. Rasulullah

shallallahu alaihi wasallam berkata kepada Abu Dzar radliallahu anhu: "Wahai

Abu Dzar, engkau seorang yang lemah”. Ucapan seperti ini bila disampaikan

secara terang-terangan memang akan memberatkan bagi yang bersangkutan dan

akan membekas di hatinya. Namun amanahlah yang menuntut hal tersebut. Maka

hendaknya dijelaskan kepada orang tersebut mengenai sifat lemah yang melekat

padanya. Namun jika seseorang itu kuat, maka dikatakan padanya ia seorang yang

kuat. Dan sebaliknya, bila ia seorang yang lemah maka dikatakan sebagaimana

adanya. Yang demikian ini merupakan satu nasehat. Dan tidaklah berdosa orang

yang mengucapkan seperti ini bila tujuannya untuk memberikan nasehat bukan

untuk mencela atau mengungkit aib yang bersangkutan.

Berkata Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah: “Makna ucapan Nabi shallallahu

'alaihi wasallam kepada Abu Dzar adalah beliau melarang Abu Dzar menjadi

Page 5: Kumpulan Artikel Majalah Asy Syariah Edisi PEMILU (PENTING)

seorang pemimpin karena ia memiliki sifat lemah, sementara kepemimpinan

membutuhkan seorang yang kuat lagi terpercaya. Kuat dari sisi ia punya

kekuasaan dan perkataan yang didengar/ ditaati, tidak lemah di hadapan manusia.

Karena apabila manusia menganggap lemah seseorang, maka tidak tersisa

kehormatan baginya di sisi mereka, dan akan berani kepadanya orang yang paling

dungu sekalipun, sehingga jadilah ia tidak teranggap sedikitpun. Akan tetapi

apabila seseorang itu kuat, dia dapat menunaikan hak Allah, tidak melampaui

batasan-batasan-Nya, dan punya kekuasaan. Maka inilah sosok pemimpin yang

hakiki." (Syarh Riyadhus Shalihin, 2/472).

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam juga menyatakan kepada Abu Dzar bahwa

kepemimpinan itu adalah sebuah amanah. Karena memang kepemimpinan itu

memiliki dua rukun, kekuatan dan amanah, hal ini dikatakan oleh Syaikhul Islam

Ibnu Taimiyah rahimahullah dengan dalil:

إن 8�� �� ا��Z��ت ا9�;يG ا�����

“Sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada

kita) ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya.” (Al-Qashash: 26)

Berkata penguasa Mesir kepada Yusuf alaihis salam:

+ ا��;م ���'� M��� أ��� إ,

“Sesungguhnya kamu mulai hari ini menjadi seorang yang berkedudukan tinggi

lagi dipercaya pada sisi kami.” (Yusuf: 54)

Allah ta`ala menyebutkan sifat Jibril dengan menyatakan:

I��9�;ل ر�;ل آ B .إ,;N �ذي�M� � .ة �'� ذي ا2��ش�أ� IJ ع� �

“Sesungguhnya Al Qur’an itu benar-benar firman Allah yang dibawa oleh utusan

yang mulia (Jibril), yang mempunyai kekuatan, yang mempunyai kedudukan

tinggi di sisi Allah, yang memiliki Arsy, yang ditaati di kalangan malaikat lagi

dipercaya.” (At-Takwir: 19-21)

Beliau rahimahullah berkata: “Amanah itu kembalinya kepada rasa takut pada

Allah, tidak menjual ayat-ayat Allah dengan harga yang sedikit, dan tidak takut

kepada manusia. Inilah tiga perangai yang Allah tetapkan terhadap setiap orang

yang memutuskan hukuman atas manusia. Allah berfirman:

و�� IM=� I� �� أ,7ل ا_ .�و�+ هI ا�M�.�ون �%N �'�J F���a �وا�U� � Uc�;ا ا�' �س واU8;ن و .

“Maka janganlah kalian takut kepada mereka, tapi takutlah kepada-Ku. Dan

jangan pula kalian menjual ayat-ayat-Ku dengan harga yang sedikit. Siapa yang

tidak berhukum dengan apa yang Allah turunkan maka mereka itu adalah orang-

orang kafir.” (Al Maidah: 44) (As-Siyasah Asy-Syar`iyyah, hal. 12-13)

Al-Imam Qurthubi rahimahullah menyebutkan beberapa sifat dari seorang

pemimpin ketika menafsirkan ayat:

��N Fل � �'�ل ���ي �س إ���� �Nل و�� ذر>�'%� +%��Z F<,ل إ�N �� وإذ ا�%K إ�اه�I ر BGM%��ت .�������� dا�

Page 6: Kumpulan Artikel Majalah Asy Syariah Edisi PEMILU (PENTING)

“Dan ingatlah ketika Ibrahim diuji Tuhannya dengan beberapa kalimat (perintah

dan larangan), kemudian Ibrahim menunaikannya. Allah berfirman:

'Sesungguhnya Aku akan menjadikanmu sebagi Al-Imam (pemimpin) bagi

seluruh manusia'. Ibrahim berkata: '(Dan saya mohon juga) dari keturunanku'.

Allah berfiman: 'Janji-Ku (ini) tidak mengenai orang-orang yang dzalim'." (Al-

Baqarah: 124)

Beliau berkata: “Sekelompok ulama mengambil dalil dengan ayat ini untuk

menyatakan seorang Al-Imam (pemimpin) itu harus dari kalangan orang yang

adil, memiliki kebaikan dan keutamaan, juga dengan kekuatan yang dimilikinya

untuk menunaikan tugas kepemimpinan tersebut.” (Al-Jami`li Ahkamil Qur’an,

2/74)

Sebenarnya masih ada beberapa syarat pemimpin yang tidak disebutkan di sini

karena ingin kami ringkas. Mudah-mudahan, pada kesempatan yang lain bisa

kami paparkan.

Nasehat bagi mereka yang sedang berlomba merebut jabatan/ kepemimpinan

Kepemimpinan adalah amanah, sehingga orang yang menjadi pemimpin berarti ia

tengah memikul amanah. Dan tentunya, yang namanya amanah harus ditunaikan

sebagaimana mestinya. Dengan demikian tugas menjadi pemimpin itu berat.

Sehingga sepantasnya yang mengembannya adalah orang yang cakap dalam

bidangnya. Karena itulah Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam melarang orang

yang tidak cakap untuk memangku jabatan karena ia tidak akan mampu

mengemban tugas tersebut dengan semestinya. Rasulullah shallallahu alaihi

wasallam juga bersabda:

)�� �d� ا��,�. ),��P>& ا�ل : لاق .إذا 3�N ؟��� إذا و�>� اP�� إK� *�� أه%�� ا,�d� ا�� ��( :آ�1 إ�3�“Apabila amanah telah disia-siakan, maka nantikanlah tibanya hari kiamat. Ada

yang bertanya: 'Wahai Rasulullah, apa yang dimaksud dengan menyia-nyiakan

amanah?' Beliau menjawab: 'Apabila perkara itu diserahkan kepada selain ahlinya,

maka nantikanlah tibanya hari kiamat".” (HR. Bukhari no. 59)

Selain itu, jabatan tidak boleh diberikan kepada seseorang yang memintanya dan

berambisi untuk mendapatkannya. Abu Musa radliallahu 'anhu berkata: "Aku dan

dua orang laki-laki dari kaumku pernah masuk menemui Rasulullah shallallahu

'alaihi wasallam. Maka salah seorang dari keduanya berkata: "Angkatlah kami

sebagai pemimpin, wahai Rasulullah". Temannya pun meminta hal yang sama.

Bersabdalah Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam:

(( B�%� �ص� �� � (( إ,� � ,;F� ه?ا �� B��� و "Kami tidak menyerahkan kepemimpinan ini kepada orang yang memintanya dan

tidak pula kepada orang yang berambisi untuk mendapatkannya." (HR. Bukhari

no. 7149 dan Muslim no. 1733)

Hikmah dari hal ini, kata para ulama, adalah orang yang memangku jabatan

karena permintaannya, maka urusan tersebut akan diserahkan kepada dirinya

sendiri dan tidak akan ditolong oleh Allah, sebagaimana sabda Rasulullah

shallallahu 'alaihi wasallam kepada Abdurrahman bin Samurah di atas :"Bila

engkau diberikan dengan tanpa memintanya, niscaya engkau akan ditolong (oleh

Allah dengan diberi taufik kepada kebenaran). Namun bila diserahkan kepadamu

karena permintaanmu niscaya akan dibebankan kepadamu (tidak akan ditolong)."

Siapa yang tidak ditolong maka ia tidak akan mampu. Dan tidak mungkin jabatan

itu diserahkan kepada orang yang tidak cakap. (Syarah Shahih Muslim, 12/208,

Fathul Bari, 13/133, Nailul Authar, 8/294)

Page 7: Kumpulan Artikel Majalah Asy Syariah Edisi PEMILU (PENTING)

Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata: "Sepantasnya bagi seseorang

tidak meminta jabatan apa pun. Namun bila ia diangkat bukan karena

permintaannya, maka ia boleh menerimanya. Akan tetapi jangan ia meminta

jabatan tersebut dalam rangka wara' dan kehati-hatiannya dikarenakan jabatan

dunia itu bukanlah apa-apa.” (Syarh Riyadlus Shalihih, 2/470)

Al-Imam Nawawi rahimahullah berkata ketika mengomentari hadits Abu Dzar:

"Hadits ini merupakan pokok yang agung untuk menjauhi kepemimpinan terlebih

lagi bagi seseorang yang lemah untuk menunaikan tugas-tugas kepemimpinan

tersebut. Adapun kehinaan dan penyesalan akan diperoleh bagi orang yang

menjadi pemimpin sementara ia tidak pantas dengan kedudukan tersebut atau ia

mungkin pantas namun tidak berlaku adil dalam menjalankan tugasnya. Maka

Allah menghinakannya pada hari kiamat, membuka kejelekannya, dan ia akan

menyesal atas kesia-siaan yang dilakukannya. Adapun orang yang pantas menjadi

pemimpin dan dapat berlaku adil, maka akan mendapatkan keutamaan yang besar

sebagaimana ditunjukkan oleh hadits-hadits yang shahih seperti hadits: "Ada tujuh

golongan yang Allah lindungi mereka pada hari kiamat, di antaranya Al-Imam

(pemimpin) yang adil". Dan juga hadits yang disebutkan setelah ini tentang orang-

orang yang berbuat adil nanti di sisi Allah (pada hari kiamat) berada di atas

mimbar-mimbar dari cahaya. Demikian pula hadits-hadits lainnya. Kaum

muslimin sepakat akan keutamaan hal ini. Namun bersamaan dengan itu karena

banyaknya bahaya dalam kepemimpinan tersebut, Rasulullah shallallahu 'alaihi

wasallam memperingatkan darinya, demikian pula ulama. Beberapa orang yang

shalih dari kalangan pendahulu kita mereka menolak tawaran sebagai pemimpin

dan mereka bersabar atas gangguan yang diterima akibat penolakan tersebut."

(Syarah Shahih Muslim, 12/210-211)

Ada sebagian orang menyatakan bolehnya meminta jabatan dengan dalil

permintaan Nabi Yusuf alaihis salam kepada penguasa Mesir:

Pا �Y78ا K%� F'%2ZاI�%� h�D� F<,رض إ

"Jadikanlah aku bendaharawan negara (Mesir), sesungguhnya aku adalah orang

yang pandai menjaga lagi berpengetahuan." (Yusuf: 55)

Maka dijawab, bahwa permintaan beliau alaihis salam ini bukan karena ambisi

beliau untuk memegang jabatan kepemimpinan. Namun semata karena keinginan

beliau untuk memberikan kemanfaatan kepada manusia secara umum sementara

beliau melihat dirinya memiliki kemampuan, kecakapan, amanah dan menjaga

terhadap apa yang tidak mereka ketahui. (Taisir Al-Karimur Rahman, hal. 401)

Al-Imam Syaukani berkata: "Nabi Yusuf alahis salam meminta demikian karena

kepercayaan para Nabi terhadap diri mereka dengan sebab adanya penjagaan dari

Allah terhadap dosa-dosa mereka (ma`shum). Sementara syariat kita yang sudah

kokoh (tsabit) tidak bisa ditentang oleh syariat umat yang terdahulu sebelum kita,

karena mungkin meminta jabatan dalam syariat Nabi Yusuf alaihis salam pada

waktu itu dibolehkan." (Nailul Authar, 8/ 294)

Ketahuilah wahai mereka yang sedang memperebutkan kursi jabatan dan

kepemimpinan, sementara dia bukan orang yang pantas untuk mendudukinya,

kelak pada hari kiamat kedudukan itu nantinya akan menjadi penyesalan karena

ketidakmampuannya dalam menunaikan amanah sebagaimana mestinya. Berkata

Al-Qadli Al-Baidlawi: “Karena itu tidak sepantasnya orang yang berakal,

bergembira dan bersenang-senang dengan kelezatan yang diakhiri dengan

penyesalan dan kerugian.” (Fathul Bari, 13/134)

Page 8: Kumpulan Artikel Majalah Asy Syariah Edisi PEMILU (PENTING)

Faedah hadits

1. Kepemimpinan, jabatan, kekuasaan, dan kedudukan tidak boleh diberikan

kepada orang yang memintanya, berambisi untuk meraihnya, dan menempuh

segala cara untuk dapat mendapatkannya

2. Orang yang paling berhak menjadi pemimpin, penguasa, dan memangku

jabatan/ kedudukan adalah orang yang menolak ketika diserahkan kepemimpinan,

jabatan dan kedudukan tersebut dalam keadaan ia benci dan tidak suka dengannya.

3. Kepemimpinan adalah amanah yang besar dan tanggung jawab yang berat.

Maka wajib bagi orang yang menjadi pemimpin untuk memperhatikan hak orang-

orang yang di bawah kepemimpinannya dan tidak boleh mengkhianati amanah

tersebut.

4. Keutamaan dan kemuliaan bagi seseorang yang menjadi pemimpin dan

penguasa apabila memang ia pantas memegang kepemimpinan dan kekuasaan

tersebut, sama saja ia seorang pemimpin negara yang adil, ataukah bendahara

yang terpercaya atau karyawan yang menguasai bidangnya.

5. Ajakan kepada manusia agar jangan berambisi untuk meraih kedudukan

tertentu, khususnya bila ia tidak pantas mendapat kedudukan tersebut.

6. Kerasnya hukuman bagi orang yang tidak menunaikan kepemimpinan dengan

semestinya, tidak memperhatikan hak orang-orang yang dipimpin dan tidak

melakukan upaya optimal dalam memperbagus urusan kepemimpinannya.

Wallahu ta`ala a`lam bishawwab ***

1) Dan terlebih lagi bila memimpin lebih dari dua orang (Syarh Riyadlus Shalihin,

2/472)

Pemberontakan dengan Lisan Lebih Berbahaya Daripada

Pemberontakan Bersenjata

oleh Tim Redaksi Asy Syariah

Fadhilatusy Syaikh Dr. Shalih As-Sadlan ditanya: “Wahai syaikh, menurut

pemahaman saya, Anda tidak mengkhususkan pemberontakan itu hanya dengan

pedang tetapi termasuk juga pemberontakan yang dilakukan dengan lisan?”

Beliau menjawab:

“Ini pertanyaan penting karena sebagian dari saudara-saudara kita telah

melakukannya dengan niat baik dalam keadaan meyakini bahwa pemberontakan

itu hanya dengan pedang saja. Padahal pada hakekatnya pemberontakan itu tidak

hanya dengan pedang dan kekuatan saja, atau penentangan dengan cara-cara yang

sudah diketahui secara umum. Tetapi pemberontakan yang dilakukan dengan lisan

(ucapan) justru lebih dahsyat dari pemberontakan dengan senjata karena

pemberontakan dengan pedang dan kekerasan justru dilahirkan dari

pemberontakan dengan lisan.

Maka kita ucapkan kepada mereka saudara-saudara kita yang terbawa oleh emosi

yang kami berprasangka baik kepada mereka bahwa mereka berniat baik -

Page 9: Kumpulan Artikel Majalah Asy Syariah Edisi PEMILU (PENTING)

Insyaallah Ta’ala- agar mereka menenangkan dirinya. Dan kami katakan kepada

mereka: tenang dan sabarlah, karena kekerasan dan kebencian kalian akan

membawa dampak yang jelek pada hati. Kemudian hati tersebut akan melahirkan

emosi yang tidak kenal kecuali kekerasan dan pemberontakan. Di samping itu

juga akan membuka pintu bagi orang-orang yang memiliki kepentingan untuk

mengucapkan apa yang dikehendaki oleh hawa nafsunya apakah hak ataupun

batil.

Tidak diragukan lagi bahwa memberontak dengan lisan, atau dengan

menggunakan pena dan tulisan, dengan penyebaran kaset-kaset, tabligh akbar,

maupun ceramah-ceramah umum dengan cara membakar emosi massa, serta tidak

dengan cara yang syar’i, maka saya yakin bahwa ini adalah dasar (pemicu)

lahirnya pemberontakan dengan senjata.

Saya memperingatkan dari perbuatan seperti ini dengan sekeras-kerasnya

peringatan, dan saya katakan kepada mereka: “Kalian harus melihat dan

mempertimbangkan apa hasilnya? Dan hendaklah melihat kepada pengalaman

orang yang telah melakukan sebelumnya dalam masalah ini!” Hendaklah mereka

melihat kepada fitnah-fitnah yang dialami oleh sebagian masyarakat Islam, apakah

sebabnya? Apakah langkah pertama sehingga mereka sampai kepada keadaan

yang seperti ini. Jika kita telah mengetahui yang demikian maka akan kita ketahui

bahwa memberontak dengan ucapan lisan dan menggunakan media massa untuk

membangkitkan kebencian, membakar emosi, dan kekerasan akan melahirkan

fitnah dalam hati.” (lihat ‘Ulama Su’udiyyah Yu’akkiduna ‘Alal Jama’ah Wa

Wujubus Sam’i Wath Tha’ah Li Wulatil Amri, hal. 5-6)

Hukum Mayoritas Dalam Syariat Islam Oleh Al-Ustadz Ruwaifi’ bin Sulaimi Al-Atsari

Telah menjadi sunnatullah kalau kebanyakan manusia merupakan para penentang

kebenaran. Maka menjadi ironi, ketika kebenaran kemudian diukur dengan suara

mayoritas.

Apa Itu Hukum Mayoritas ?

Yang dimaksud dengan hukum mayoritas dalam pembahasan ini adalah suatu

ketetapan hukum di mana jumlah mayoritas merupakan patokan kebenaran dan suara

terbanyak merupakan keputusan yang harus diikuti, walaupun ternyata bertentangan

dengan Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah .

Sejauh manakah keabsahan hukum mayoritas ini? Untuk mengetahui jawabannya,

perlu ditelusuri terlebih dahulu oknumnya (pengusungnya), yang dalam hal ini adalah

manusia, baik tentang hakekat jati dirinya, sikapnya terhadap para rasul, atau pun

keadaan mayoritas dari mereka, menurut kacamata syari’at. Karena dengan diketahui

keadaan oknum mayoritas, maka akan diketahui pula sejauh mana keabsahan hukum

tersebut.

Hakekat Jati Diri Manusia

Manusia adalah satu-satunya makhluk Allah yang menyatakan diri siap memikul

“amanat berat” yang tidak mampu dilakukan oleh makhluk-makhluk besar seperti

Page 10: Kumpulan Artikel Majalah Asy Syariah Edisi PEMILU (PENTING)

langit, bumi dan gunung-gunung. Padahal makhluk yang bernama manusia ini berjati

diri dzalum (amat zhalim) dan jahul (amat bodoh). Allah berfirman:

آ�ن B �� و��%�� ا�,��ن إ,'� �9Dkوأ ��إ, � 3��'� اK%� ),��P ا�� ��وات واPرض وا�R��ل .��� أن �=�%'l�;�Z ��;% “Sesungguhnya Kami telah tawarkan amanat kepada langit, bumi dan gunung-

gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan

mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu

amat dzalim dan amat bodoh.” (Al-Ahzaab: 72)

Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullah berkata: ”Allah Ta’ala

mengangkat permasalahan amanat yang Dia amanatkan kepada para mukallafiin,

yaitu amanat menjalankan segala yang diperintahkan dan menjauhi segala yang

diharamkan, baik dalam keadaan tampak maupun tidak tampak. Dia tawarkan amanat

itu kepada makhluk-makhluk besar; langit, bumi dan gunung-gunung sebagai tawaran

pilihan bukan keharusan, ”Bila engkau menjalankan dan melaksanakannya niscaya

bagimu pahala, dan bila tidak, niscaya kamu akan dihukum.” Maka makhluk-makhluk

itu pun enggan untuk memikulnya karena khawatir akan mengkhianatinya, bukan

karena menentang Rabb mereka dan bukan pula karena tidak butuh terhadap pahala-

Nya. Kemudian Allah tawarkan kepada manusia, maka ia pun siap menerima amanat

itu dan siap memikulnya dengan segala kedzaliman dan kebodohan yang ada pada

dirinya, maka amanat berat itu pun akhirnya dipikul olehnya” (Taisiirul Kariimir

Rahman, hal. 620)

Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, Yang Maha Kuasa lagi Maha

Bijaksana tidaklah membiarkan manusia mengarungi kehidupan dengan memikul

amanat berat tanpa bimbingan Ilahi. Maka Dia pun mengutus para rasul sebagai

pembimbing mereka dan menurunkan Kitab Suci agar berpegang teguh dengannya

dan mengambil petunjuk darinya. Allah berfirman:

n�9�� س� ��ب وا���7ان ��9;م ا�'Mا� I� 9�� أر�%'� ر�%'� ����>'�ت وأ,2� �'�7“Sungguh Kami telah mengutus Rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang

nyata, dan Kami turunkan bersama mereka Kitab Suci dan neraca (keadilan) supaya

manusia dapat melaksanakan keadilan.” (Al-Hadiid: 25)

Sikap Manusia Terhadap Para Rasul yang Membimbing Mereka

Namun, demikianlah umat manusia… para rasul yang membimbing mereka itu justru

ditentang, didustakan dan dihinakan.

Allah berfirman:

ا�92�ب ���k pي;N B �I آ�,& �����I ر�%�I ����>'�ت .DM�وا .8�?هI ا_ إ, ذ�+ �,

“Yang demikian itu dikarenakan telah datang para rasul kepada mereka dengan

membawa bukti-bukti nyata, lalu mereka kafir (menentang para rasul tersebut), maka

Allah mengadzab mereka. Sesungguhnya Dia Maha Kuat lagi Maha Dahsyat

hukuman-Nya.”

(Al-Mukmin: 22)

��'��ب ا��M�وا �G7'�ت وا�����ءوا �Z +%�N �� X�ك .9� آ?ب ر; .-ن آ?

“Jika mereka mendustakan kamu (Muhammad), maka sesungguhnya para rasul

sebelummu pun telah didustakan (pula), mereka membawa mukjizat-mukjizat yang

nyata, Zabur dan Kitab yang memberi penjelasan yang sempurna." (Ali Imran: 184)

Page 11: Kumpulan Artikel Majalah Asy Syariah Edisi PEMILU (PENTING)

;N I�%�N & آ?q=�ا B ا;r���� Xs���� د�;ا�Zو t8�?و�� I�� ;�� ) م ,;ح واP�7اب �� 2�هI وه� & آGX أ��M. I�1 آ�ن �9�ب�?8�.

“Sebelum mereka, kaum Nuh dan golongan-golongan yang bersekutu sesudah mereka

telah mendustakan (rasul), dan tiap-tiap umat telah merencanakan makar terhadap

rasul mereka untuk menawannya, dan mereka membantah dengan (alasan) yang batil

untuk melenyapkan kebenaran dengan yang batil itu, oleh karena itu Aku adzab

mereka. Maka betapa (pedihnya) adzab-Ku.” (Al-Mukmin: 5)

7ءون���� B آ�,;ا �� I��7ىء N �� X���%+ .=�ق �� ?�� c��وا �'� و9�� ا�

“Dan sungguh telah diperolok-olokkan beberapa rasul sebelum kamu, maka turunlah

kepada orang yang mencemoohkan para rasul itu adzab atas apa yang selalu mereka

perolok-olokkan.” (Al-Anbiyaa’: 41)

Bagaimanakah Keadaan Mayoritas Dari Mereka ?

Bila kita merujuk kepada Al-Qur’anul Karim, maka kita akan dapati bahwa keadaan

mayoritas umat manusia adalah:

1. Tidak beriman

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

ن;'�v� � أآw� ا�' �س �M>+ و�ر �� Gq=�ا B إ,

“Sesungguhnya (Al-Qur’an) itu benar-benar dari Tuhanmu, tetapi mayoritas manusia

tidak beriman.” (Huud: 17)

2. Tidak bersyukur

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

� _ا أآw� ا�' �س � MU��ونإن�Mس و�� ?و .K%� Xr ا�'“Sesungguhnya Allah mempunyai karunia terhadap manusia, tetapi mayoritas

manusia tidak bersyukur.” (Al-Baqarah: 243)

3. Benci kepada kebenaran

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

�آ�ره;ن <q=%� I�آwأآ �Mو� <q=�� Iآ�' Z �9 “Sesungguhnya Kami benar-benar telah membawa kebenaran kepada kalian, tetapi

mayoritas dari kalian membenci kebenaran itu.” (Az-Zukhruf: 78)

4. Fasiq (keluar dari ketaatan)

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

9�;ن�D� �ا �� ا�'�س�wآ وإن“Dan sesungguhnya mayoritas manusia adalah orang-orang yang fasiq.”

(Al-Maidah: 49)

5. Lalai dari ayat-ayat Allah.

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

�س �� ءا��'� �x�.%;نوإن آw��ا �� ا�'“Dan sesungguhnya mayoritas dari manusia benar-benar lalai dari ayat-ayat Kami.”

(Yunus: 92)

6. Menyesatkan orang lain dengan hawa nafsu mereka.

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

� ن;G%r� � Ix�I%� �وإن آw��ا �Yه;ا

Page 12: Kumpulan Artikel Majalah Asy Syariah Edisi PEMILU (PENTING)

“Sesungguhnya mayoritas (dari manusia) benar-benar hendak menyesatkan (orang

lain) dengan hawa nafsu mereka tanpa ilmu.” (Al-An’aam: 119)

7. Tidak mengetahui agama yang lurus.

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

�<2�%�;نذ�+ ا�� � أآw� ا�' �س �Mو� I<�9ا� � “Itulah agama yang lurus, tetapi mayoritas manusia tidak mengetahui.” (Yusuf: 40)

8. Mengikuti persangkaan belaka.

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

Iوإن ه � dا� � 2�;ن إ� L�c�;ن إن �� إ“Mereka (mayoritas manusia) tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka, dan

mereka tidak lain hanyalah berdusta (terhadap Allah).” (Al-An’aam: 116)

9. Penghuni Jahannam.

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

�,و9�� ذرأ y,�وا <�R��ا �� ا�wآ I '�R� “Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk isi Jahannam mayoritas dari jin dan

manusia.” (Al-A’raaf: 179)

Refleksi terhadap Hukum Mayoritas

Dari apa yang telah lalu, akhirnya kita pun mengetahui bahwa ternyata oknum

mayoritas tersebut (manusia) berjati diri amat dzalim dan amat bodoh,

penentangannya terhadap para rasul yang membimbing mereka luar biasa, demikian

pula mayoritas dari mereka tidak beriman, tidak bersyukur, benci kepada kebenaran,

keluar dari ketaatan, lalai dari ayat-ayat Allah , menyesatkan orang lain dengan

hawa nafsu dan tanpa ilmu, tidak mengetahui agama yang lurus, mengikuti

persangkaan belaka, dan penghuni Jahannam.

Demikianlah kacamata syari’at memandang oknum mayoritas. Bila demikian

kenyataannya, lalu bagaimana dengan hukum mayoritas itu sendiri???

Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab menggolongkan hukum mayoritas ini ke

dalam kaidah-kaidah yang dipegangi oleh orang-orang jahiliyyah, bahkan termasuk

kaidah terbesar yang mereka punyai. Beliau berkata: “Sesungguhnya di antara kaidah

terbesar mereka adalah berpegang dan terbuai dengan jumlah mayoritas, mereka

menilai suatu kebenaran dengannya dan menilai suatu kebatilan dengan

kelangkaannya dan dengan sedikitnya orang yang melakukan..(Kitab Masail Al-

ahiliyyah, masalah ke-5).

Asy-yaikh Shalih bin Fauzan Al-auzan berkata: “Di antara masalah jahiliyyah adalah;

bahwa mereka menilai suatu kebenaran dengan jumlah mayoritas, dan menilai suatu

kesalahan dengan jumlah minoritas, sehingga sesuatu yang diikuti oleh kebanyakan

orang berarti benar, sedangkan yang diikuti oleh segelintir orang berarti salah. Inilah

patokan yang ada pada diri mereka di dalam menilai yang benar dan yang salah.

Padahal patokan ini tidak benar, karena Allah Jalla wa ‘Alaa berfirman:

ن;L�c� � وإن هI إ� dا� � 2�;ن إ� وإن � z أآF. ���w اPرض G%r�;ك �� ���X ا_ إن �“Dan jika kamu menuruti mayoritas orang-orang yang ada di muka bumi ini, niscaya

mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti

persangkaan belaka, dan mereka tidak lain hanyalah berdusta (terhadap Allah )."

(Al-An’aam: 116)

Dia juga berfirman:

2�%�;ن � أآw� ا�' �س �Mو� “Tetapi mayoritas manusia tidak mengetahui.” (Al-A’raaf: 187)

9�;ن�D� I�هwأآ �,�Zوإن و ��� �� I�هwآ P �,�Zو�� و

Page 13: Kumpulan Artikel Majalah Asy Syariah Edisi PEMILU (PENTING)

“Dan Kami tidak mendapati mayoritas mereka memenuhi janji. Sesungguhnya Kami

mendapati mayoritas mereka orang-orang yang fasik.” (Al-A’raaf: 102) Dan lain

sebagainya.” (Syarh Masail Al-Jahiliyyah, hal. 60).

Bila demikian hakekat permasalahannya, maka betapa ironisnya pernyataan para

budak demokrasi bahwa “suara rakyat adalah suara Tuhan”. Suatu pernyataan sesat

yang memposisikan suara rakyat (mayoritas) pada tingkat tertinggi yang tak akan

pernah salah bak suara Tuhan. Mau dikemanakan firman-firman Allah di atas?! Yang

lebih tragis lagi, orang-orang yang mengkampanyekan diri sebagai “partai islam”…..,

siang dan malam berteriak “tegakkan syari’at Islam!!”, namun sejak awal

kampanyenya yang dibidik adalah suara terbanyak, tak mau tahu suara siapakah itu.

Dan ketika duduk di kursi dewan, teriakannya pun hanya sampai pada kata

“tegakkan” sedangkan kata “syari’at Islam” tak lagi terdengar. Jangankan

menegakkan syari’at Islam, menampakkan syiar Islam pada dirinya saja masih harus

mempertimbangkan sekian banyak pertimbangan.

Terlebih lagi tatkala rapat dan sidang digelar, hasilnya pun berujung pada suara

terbanyak. Tak mau tahu, suara siapakah itu….. tak mau peduli, apakah sesuai dengan

syariat Islam ataukah justru menguburnya….. tak mau pusing, apakah

menguntungkan umat Islam ataukah justru menelantarkannya. Dan ketika hasil sidang

tersebut diprotes karena tak selaras dengan syari’at Islam, maka dia pun orang yang

pertama kali berkomentar bahwa ini adalah suara mayoritas anggota dewan….., kita

harus mempunyai sikap toleransi yang tinggi….., kita harus menjunjung tinggi

demokrasi, dan lain sebagainya. Padahal kalau dia belum duduk di kursi dewan,

barangkali dialah orang pertama yang menggelar demo1 dengan berbagai macam

atribut dan spanduknya. Wallahul Musta’an.

Demikianlah bila hukum mayoritas dikultuskan. Kesudahannya, akan semakin jauh

dari hukum Allah, akan semakin buta tentang syari’at Islam, bahkan akan menjadi

penentang terhadap hukum Allah dan syari’at-Nya.

Para pembaca yang dirahmati Allah….. sesungguhnya masih ada fenomena lain yang

perlu untuk direfleksi, yaitu dijadikannya hukum mayoritas sebagai tolak ukur suatu

dakwah. Apabila seorang da’i mempunyai banyak pengikut, ceramahnya diputar di

seluruh radio nusantara dan akhirnya bergelar “da’i sejuta umat” maka dakwahnya

pun pasti benar. Sebaliknya bila seorang da’i pengikutnya hanya sedikit, maka

dakwahnya pun dicurigai, bahkan terkadang divonis sesat. Padahal Allah telah

berfirman tentang Nabi Nuh :

X�%N � و��ءا�� B2� إ“Dan tidaklah beriman bersamanya (Nuh) kecuali sedikit.” (Huud: 40)

Rasulullah bersabda:

I�Pا F%� &3��, nه وB2� ا��F� نوا�' ,.�أ�& ا�' Z و�B2 ا�� XZ وا��F�, ��أ B2� y��و F� ..... وا�'“Telah ditampakkan kepadaku umat-umat, maka aku melihat seorang nabi

bersamanya kurang dari 10 orang, seorang nabi bersamanya satu atau dua orang, dan

seorang nabi tidak ada seorang pun yang bersamanya….” (HR. Al Bukhari no: 5705,

5752, dan Muslim no:220, dari hadits Abdullah bin Abbas).

Asy-Syaikh Sulaiman bin Abdullah Alus Syaikh berkata: “Dalam hadits ini terdapat

bantahan bagi orang yang berdalih dengan hukum mayoritas dan beranggapan bahwa

kebenaran itu selalu bersama mereka. Tidaklah demikian adanya, bahkan yang

semestinya adalah mengikuti Al-Qur’an dan As-Sunnah bersama siapa saja dan di

mana saja”.

(Taisir Al-‘Azizil Hamid, hal.106).

Page 14: Kumpulan Artikel Majalah Asy Syariah Edisi PEMILU (PENTING)

Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin berkata: “Tidak boleh tertipu dengan

jumlah mayoritas, karena jumlah mayoritas terkadang di atas kesesatan, Allah

berfirman:

إ Iوإن ه � dا� � 2�;ن إ� L�c�;نوإن � z أآF. ���w اPرض G%r�;ك �� ���X ا_ إن �� “Dan jika kamu menuruti mayoritas orang-orang yang ada di muka bumi ini, niscaya

mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti

persangkaan belaka, dan mereka tidak lain hanyalah berdusta (terhadap Allah ).”

(Al-An’aam: 116)

Jika kita melihat bahwa mayoritas penduduk bumi berada dalam kesesatan, maka

janganlah tertipu dengan mereka. Jangan pula engkau katakan: “Sesungguhnya orang-

orang melakukan demikian, mengapa aku eksklusif tidak sama dengan mereka?” (Al-

Qaulul Mufid ‘Ala Kitabit Tauhid, Juz 1 hal. 106)

Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan berkata: “Maka tolak ukurnya bukanlah

banyaknya pengikut suatu madzhab atau perkataan, namun tolak ukurnya adalah

benar ataukah batil. Selama ia benar walaupun yang mengikutinya hanya sedikit atau

bahkan tidak ada yang mengikutinya, maka itulah yang harus dipegang (diikuti),

karena ia adalah keselamatan. Dan selamanya sesuatu yang batil tidaklah terdukung

(menjadi benar-pen) dikarenakan banyaknya orang yang mengikutinya. Inilah tolak

ukur yang harus selalu dipegangi oleh setiap muslim.” Beliau juga berkata: “Maka

tolak ukurnya bukanlah banyak (mayoritas) atau pun sedikit (minoritas), bahkan tolak

ukurnya adalah al haq (kebenaran), barangsiapa di atas kebenaran- walaupun

sendirian- maka ia benar dan wajib diikuti, dan jika mayoritas (manusia) berada di

atas kebatilan maka wajib ditolak dan tidak boleh tertipu dengannya. Jadi tolak

ukurnya adalah kebenaran, oleh karena itu para ulama berkata: “Kebenaran tidaklah

dinilai dengan orang, namun oranglah yang dinilai dengan kebenaran. Barangsiapa di

atas kebenaran maka ia wajib diikuti”. (Syarh Masail Al-Jahiliyyah, hal.61)

Asy-Syaikh Abdurrahman bin Hasan Alus Syaikh berkata: “Hendaknya seorang

muslim berhati-hati agar tidak tertipu dengan jumlah mayoritas, karena telah banyak

orang-orang yang tertipu (dengannya), bahkan orang-orang yang mengaku berilmu

sekalipun. Mereka berkeyakinan di dalam beragama sebagaimana yang diyakini oleh

orang-orang bodoh lagi sesat (mengikuti mayoritas manusia -pen) dan tidak mau

melihat kepada apa yang dikatakan oleh Allah dan Rasul-Nya”. (Qurratu Uyunil

Muwahhidin, dinukil dari ta’liq Kitab Fathul Majid, hal. 83, no. 1)

Bagaimanakah jika mayoritas berada di atas kebenaran?

Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan berkata: “Ya, jika mayoritas manusia

berada di atas kebenaran, maka ini sesuatu yang baik. Akan tetapi sunnatulloh

menunjukkan bahwa mayoritas (manusia) berada di atas kebatilan.

��'�v� &L�� ;�س و� و�� أآw� ا�'“Dan mayoritas manusia tidak akan beriman, walaupun kamu (Muhammad) sangat

menginginkannya” (Yusuf: 103)

وإن � z أآF. ���w اPرض G%r�;ك �� ���X ا_“Dan jika engkau menuruti mayoritas orang-orang yang ada di muka bumi ini,

niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah”. (Al-An’aam: 116).” (Syarh

Masail Al-Jahiliyyah, hal.62).

Penutup

Dari pembahasan yang telah lalu, dapatlah diambil suatu kesimpulan bahwasanya

hukum mayoritas bukan dari syari’at Islam, sehingga ia tidak bisa dijadikan sebagai

tolak ukur suatu dakwah, manhaj dan perkataan. Tolak ukur yang hakiki adalah

Page 15: Kumpulan Artikel Majalah Asy Syariah Edisi PEMILU (PENTING)

kebenaran yang dibangun di atas Al-Qur’an dan As-Sunnah dengan pemahaman As-

Salafus-Shalih.

Atas dasar ini maka sistem demokrasi yang menuhankan suara mayoritas adalah batil.

Demikian pula sikap mengukur benar atau tidaknya suatu dakwah, manhaj dan

perkataan dengan hukum mayoritas, merupakan perbuatan batil dan bukan dari

syari’at Islam.

Wallahu A’lam Bish Shawab.

Siapakah Ahlu Syura? Oleh Tim Redaksi Asy Syariah

Dalam demokrasi, orang mengenal istilah one man one vote. Dengan satu orang

satu suara, maka tak ada lagi istilah muslim atau kafir, ulama atau juhala, ahli

maksiat atau orang shalih, dan seterusnya. Semua suara bernilai sama di hadapan

‘hukum’. Walhasil, keputusan yang terbaik adalah keputusan yang diperoleh

dengan suara mayoritas. Lalu bagaimana dengan sistem Islam? Siapakah yang

patut didengar suaranya?

Dalam ketatanegaraan Islam, dikenal istilah 'ahli syura'. Posisinya yang sangat

penting membuat keberadaannya tidak mungkin dipisahkan dengan struktur

ketatanegaraan. Karena bagaimanapun bagusnya seorang pemimpin, ia tetap tidak

akan pernah lepas dari kelemahan, kelalaian, atau ketidaktahuan dalam beberapa

hal. Sampai-sampai Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam pun

diperintahkan untuk melakukan syura. Apalagi selain beliau tentunya. Asy-Syaikh

Abdurrahman As-Sa'di rahimahullah mengatakan: "Jika Allah mengatakan kepada

Rasul-Nya -padahal beliau adalah orang yang paling sempurna akalnya, paling

banyak ilmunya, dan paling bagus idenya- 'Maka bermusyawarahlah dengan

mereka dalam urusan itu', maka bagaimana dengan yang selain beliau?" (Taisir

Al-Karimirrahman, hal. 154)

Kata asy-syura (رى;Uا�) adalah ungkapan lain dari kata musyawarah (ورة�U�) atau

masyurah (رة;U�) yang dalam bahasa kita juga dikenal dengan musyawarah,

sehingga ahli syura adalah orang-orang yang dipercaya untuk diajak

bermusyawarah.

Disyariatkannya Syura

Allah ta'ala berfirman:

��Pا F. Iوره�kو "Maka bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu." (Ali Imran: 159)

Juga Allah memuji kaum mukminin dengan firman-Nya:

;9D'� Iه�'Nرز � نوأ��هk I;رى �'�I و��

"Dan urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah dan mereka menafkahkan

sebagian yang kami rizkikan kepada mereka." (Asy-Syura: 38)

Kedua ayat yang mulia itu menunjukkan tentang disyariatkannya bermusyawarah.

Ditambah lagi dengan praktek Nabi shallallahu 'alaihi wasallam yang sering

melakukannya dengan para shahabatnya seperti dalam masalah tawanan perang

Badr, kepergian menuju Uhud untuk menghadapi kaum musyrikin, menanggapi

tuduhan orang-orang munafiq yang menuduh 'Aisyah berzina, dan lain-lain.

Page 16: Kumpulan Artikel Majalah Asy Syariah Edisi PEMILU (PENTING)

Demikian pula para shahabat beliau berjalan di atas jalan ini. (lihat Shahih Al-

Bukhari, 13/339 dengan Fathul Bari)

Ibnu Hajar berkata: "Para ulama berselisih dalam hukum wajibnya." (Fathul Bari,

13/341)

Pentingnya Syura

Syura teramat penting keberadaannya sehingga para ulama, di antaranya Al-

Qurthubi, mengatakan: "Syura adalah keberkahan." (Tafsir Al-Qurthubi, 4/251)

Al-Hasan Al-Bashri mengatakan: "Tidaklah sebuah kaum bermusyawarah di

antara mereka kecuali Allah akan tunjuki mereka kepada yang paling utama dari

yang mereka ketahui saat itu." (Ibnu Hajar mengatakan: "Diriwayatkan oleh Al-

Bukhari dalam Al-Adabul Mufrad dan Ibnu Abi Hatim dengan sanad yang kuat."

Lihat Fathul Bari, 13/340)

Asy-Syaikh Abdurrahman As-Sa'di dalam Tafsir-nya menyebutkan faidah-faidah

musyawarah di antaranya:

1. Musyawarah termasuk ibadah yang mendekatkan kepada Allah.

2. Dengan musyawarah akan melegakan mereka (yang diajak bermusyawarah)

dan menghilangkan ganjalan hati yang muncul karena sebuah peristiwa. Berbeda

halnya dengan yang tidak melakukan musyawarah. Sehingga dikhawatirkan orang

tidak akan sungguh-sungguh mencintai dan tidak menaatinya. Seandainya menaati

pun, tidak dengan penuh ketaatan.

3. Dengan bermusyawarah, akan menyinari pemikiran karena menggunakan pada

tempatnya.

4. Musyawarah akan menghasilkan pendapat yang benar, karena hampir-hampir

seorang yang bermusyawarah tidak akan salah dalam perbuatannya. Kalaupun

salah atau belum sempurna sesuatu yang ia cari, maka ia tidak tercela. (Taisir Al-

Karimirrahman, hal. 154)

Apa yang Perlu Dimusyawarahkan?

Para ulama berbeda pendapat dalam mempermasalahkan hal-hal yang

sesungguhnya Nabi shallallahu 'alaihi wasallam diperintahkan Allah untuk

bermusyawarah dengan para shahabatnya sebagaimana tersebut dalam surat Ali

Imran: 159. Dalam hal ini, Ibnu Jarir menyebutkan beberapa pendapat:

1. Pada masalah strategi peperangan, menghadapi musuh untuk melegakan para

shahabatnya, dan untuk mengikat hati mereka kepada agama ini. Serta agar

mereka melihat bahwa Nabi juga mendengar ucapan mereka.

2. Justru Nabi shallallahu 'alaihi wasallam diperintahkan untuk bermusyawarah

dalam perkara itu meskipun beliau mempunyai pendapat yang paling benar karena

adanya keutamaan/ fadhilah dalam musyawarah.

3. Allah perintahkan beliau untuk bermusyawarah padahal beliau sesungguhnya

sudah cukup dengan bimbingan dari Allah. Hal ini dalam rangka memberi contoh

kepada umatnya sehingga mereka mengikuti beliau ketika dilanda suatu masalah,

dan ketika mereka bersepakat dalam sebuah perkara, maka Allah akan

memberikan taufiq-Nya kepada mereka kepada yang paling benar. (Tafsir Ath-

Thabari, 4/152-153 dengan diringkas)

4. Sebagian ulama berpendapat bahwa maksudnya adalah musyawarah pada hal-

hal yang Nabi shallallahu 'alaihi wasallam belum diberi ketentuannya tentang

perkara tersebut secara khusus.

5. Maksudnya yaitu pada urusan keduniaan secara khusus.

Page 17: Kumpulan Artikel Majalah Asy Syariah Edisi PEMILU (PENTING)

6. Pada perkara agama dan kejadian-kejadian yang belum ada ketentuannya dari

Allah yang harus diikuti. Juga pada urusan keduniaan yang dapat dicapai melalui

ide dan perkiraan yang kuat. (Ahkamul Qur'an karya Al-Jashshash, 2/40-42)

Pendapat terakhir inilah yang dianggap paling kuat oleh Al-Jashshash dengan

alasan-alasan yang disebut dalam buku beliau. Lalu beliau juga berkata: "Dan

pasti musyawarah Nabi pada hal-hal yang belum ada nash atau ketentuannya dari

Allah. Di mana tidak boleh bagi beliau melakukan musyawarah pada hal-hal yang

telah ada ketentuannya dari Allah. Dan ketika Allah tidak mengkhususkan urusan

agama dari urusan dunia ketika memerintahkan Nabi-Nya untuk musyawarah,

maka pastilah perintah untuk musyawarah itu pada semua urusan. Dan nampaknya

pendapat ini pula yang dikuatkan oleh Ibnu Hajar dalam kitabnya Fathul Bari

(13/340) setelah menyebutkan pendapat-pendapat di atas. Juga oleh Asy-Syaikh

Abdurrahman As-Sa'di dalam Tafsir-nya (hal. 154) seperti yang terpahami dari

ucapan beliau. Jadi tidak semua perkara dimusyawarahkan sampai-sampai sesuatu

yang telah ditentukan syariat pun dimusyawarahkan, tapi bagian tertentu saja

seperti yang dijelaskan di atas.

Yang mendukung hal ini adalah bacaannya Abdullah bin 'Abbas:

��P2| ا F. Iوره�kو "Maka bermusyawarahlah dengan mereka dalam sebagian urusan itu." (Tafsir Al-

Qurthubi, 4/250)

Semua hal di atas kaitannya dengan musyawarah yang dilakukan oleh Nabi. Maka

yang boleh dimusyawarahkan oleh umatnya perkaranya semakin jelas, yaitu pada

hal-hal yang belum ada nash atau ketentuannya baik dari Allah atau Rasul-Nya.

Artinya, jika telah ada ketentuannya dari syariat, maka tidak boleh melampauinya.

Dan mereka harus mengikuti ketentuan syariat tersebut. Allah ta'ala berfirman:

I�%� z��� _ا �� ا� ?�� {�';ا � �9�>�;ا �� ��ي ا_ ور�;B� وا� 9; ا_ إنGأ� �� "Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian mendahului Allah dan Rasul-

Nya dan bertakwalah kalian kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mendengar

dan Maha Mengetahui." (Al-Hujurat: 1)

Al-Imam Al-Bukhari mengatakan: "Maka Abu Bakar tidak memilih musyawarah

jika beliau memiliki hukum dari Rasulullah…" [Shahih Al-Bukhari, 13/339-340

dengan Fathul Bari]

Dan sebaliknya. Jika sudah ada ketentuannya dalam syariat namun mereka tidak

mengetahuinya, atau lupa, atau lalai, maka boleh bermusyawarah untuk

mengetahui ketentuan syariat dalam perkara tersebut, bukan untuk menentukan

sesuatu yang berbeda dengan ketentuan syariat. Al-Imam Asy-syafi'i mengatakan:

"Seorang hakim/ pemimpin diperintahkan untuk bermusyawarah karena seorang

penasehat akan mengingatkan dalil-dalil yang dia lalaikan dan menunjuki dalil-

dalil yang tidak dia ingat, bukan untuk bertaqlid kepada penasehat tersebut pada

apa yang dia katakan. Karena sesungguhnya Allah tidak menjadikan kedudukan

yang demikian (diikuti dalam segala hal) itu bagi siapapun setelah Nabi (Fathul

Bari, 13/342). Al-Bukhari mengatakan: "Dan para imam setelah wafatnya Nabi,

bermusyawarah pada hal-hal yang mubah dengan para ulama yang amanah untuk

mengambil yang paling mudah. Dan jika jelas bagi mereka Al Qur'an maupun As

Sunnah, maka mereka tidak melampauinya untuk (kemudian) mengambil

selainnya. Hal itu dalam rangka meneladani Nabi…" (Shahih Al-Bukhari, 13/339-

340 dengan Fathul Bari. Lihat pula hal. 342 baris 18)

Ibnu Taimiyyah mengatakan: "Dan jika seorang (pemimpin) bermusyawarah

dengan mereka (ahli syura) kemudian sebagian mereka menjelaskan kepadanya

Page 18: Kumpulan Artikel Majalah Asy Syariah Edisi PEMILU (PENTING)

sesuatu yang wajib dia ikuti baik dari Kitabullah atau Sunnah Rasul-Nya atau

ijma' kaum muslimin, maka dia wajib mengikutinya dan tiada ketaatan kepada

siapapun pada hal-hal yang menyelisihinya. Adapun jika pada hal-hal yang

dipersilisihkan kaum muslimin, maka mestinya dia meminta pendapat dari

masing-masing mereka beserta alasannya, lalu pendapat yang paling mirip dengan

Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya itulah yang ia amalkan." (Siyasah Syar'iyyah

karya Ibnu Taimiyyah, hal. 133-134 dinukil dari Fiqh Siyasah Syar'iyyah, hal. 58)

Al-Qurthubi mengatakan: "Syura terjadi karena perbedaan pendapat. Maka

seseorang yang bermusyawarah hendaknya melihat perbedaan tersebut kemudian

melihat kepada pendapat yang paling dekat kepada Al Qur'an dan As sunnah jika

ia mampu. Lalu jika Allah membimbingnya kepada yang Allah kehendaki, maka

hendaknya ia ber-'azam/ bertekad untuk kemudian melakukannya dengan

bertawakkal kepada Allah. Di mana inilah ujung dari ijtihad yang diminta dan

dengan inilah Allah perintahkan Nabi-Nya dalam ayat ini (Ali 'Imran: 159)."

(Tafsir Al-Qurthubi, 4/252)

Siapakah Ahli Syura?

Ini merupakan pembahasan yang sangat penting mengingat ahli syura sangat besar

andilnya dalam menentukan sebuah keputusan, baik ataupun buruk. Sehingga jika

tidak dipahami secara benar, akan berakibat sangat fatal. Ketika seseorang salah

dalam menentukan ahli syura yaitu dengan memilih orang yang tidak memiliki

kriteria yang ditentukan syariat, maka ini menjadi alamat kehancuran. Saking

pentingnya hal ini, Al-Imam Al-Bukhari bahkan menulis bab khusus dalam kitab

Shahih-nya yang berjudul: Orang Kepercayaan Pemimpin dan Ahli Syuranya.

Lalu beliau menyebutkan sebuah hadits dari Abu Sa'id Al-Khudri bahwa Nabi

shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:

B� &,آ� ���ن�� 2~ ا_ �� ,4F� و� ا��%8 �� 1%c�D( إ,� : B�%� BGr=�2���وف و� t���� ),� K��2� _ا I�� �� 2���;م�. B�%� BGr=�و <� U�� t���� ),� و "Tidaklah Allah mengutus seorang nabi dan tidaklah menjadikan seorang khalifah

kecuali ia akan punya dua orang kepercayaan. Salah satunya memerintahkannya

kepada yang baik dan menganjurkannya, dan yang lain memerintahkan kepada

yang jelek dan dan menganjurkan kepadanya. Maka orang yang terlindungi adalah

yang dilindungi oleh Allah." (Shahih, HR. Al-Bukhari, kitab Al-Ahkam Bab

Bithanatul Imam, no: 7198)

Dari hadits ini dipahami, ada tiga macam pemimpin: ada yang cenderung kepada

yang baik, ada yang cenderung kepada yang buruk, dan ada yang terkadang

cenderung kepada yang baik dan terkadang kepada yang buruk. (Fathul Bari,

13/390-391)

Atas dasar ini, akan dinukilkan keterangan para ulama yang menjelaskan siapa

sebenarnya yang berhak untuk duduk di majelis permusyawaratan. Dalam hal ini

Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:

v���ا�����Uر �"Seorang yang diminta musyawarahnya adalah orang yang dipercaya." (HR. Abu

Dawud dan Ibnu Majah, dishahihkan oleh Al-Albani dalam Ash-Shahihul Jami'

no. 6700. Lihat pula Ash-Shahihah no. 1641)

Hadits ini mengisyaratkan bahwa ahli syura haruslah orang yang amanah karena

tidak mungkin seseorang yang tidak amanah akan dipercaya. Dalam firman Allah:

��Pا F. Iوره�kو "Maka bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu."

Page 19: Kumpulan Artikel Majalah Asy Syariah Edisi PEMILU (PENTING)

Ibnu 'Abbas mengatakan: "Maksudnya Abu Bakr dan 'Umar." (Sanadnya shahih

diriwayatkan oleh An-Nahhas dalam An-Nasikh wal Mansukh, dan Al-Hakim dan

dishahihkan oleh beliau dan oleh Adz-Dzahabi. Lihat Madarikun Nazhar, hal.

289)

Demikianlah beliau shallallahu 'alaihi wasallam bermusyawarah dengan Abu Bakr

dan 'Umar dalam masalah tawanan perang Badr dan dalam masalah lainnya. Juga

dengan 'Ali bin Abu Thalib dalam masalah kejadian Ifk –yaitu tuduhan zina

kepada 'Aisyah- (Shahih Al-Bukhari no. 7369) dan juga shahabat yang lain. Yang

jelas, Nabi tidak mengajak musyawarah kepada seluruh para shahabatnya dalam

setiap hal. Akan tetapi memilih mereka yang pantas dalam perkara tersebut.

Ahli syura Abu Bakr, Maimun bin Mihran mengatakan: "Bahwa Abu Bakr jika

mendapati sebuah masalah maka beliau melihat kepada Kitabullah. Jika beliau

mendapatkan sesuatu yang memutuskan perkara itu, maka beliau putuskan

dengannya. Dan jika beliau mengetahuinya dari Sunnah Nabi, maka beliaupun

memutuskan dengannya. Bila tidak beliau ketahui, beliau keluar kepada kaum

muslimin dan bertanya kepada mereka tentang Sunnah Nabi (pada perkara

tersebut). Dan bila hal itu tidak mampu (menyelesaikan), maka beliau panggil

tokoh-tokoh kaum muslimin dan para ulama mereka lalu beliau bermusyawarah

dengan mereka." (Ibnu Hajar mengatakan: "Diriwayatkan oleh Al-Baihaqi dengan

sanad yang shahih.” Lihat Fathul Bari, 13/342)

Ahli syura 'Umar bin Al-Khaththab, Ibnu 'Abbas mengatakan: "Para qurra adalah

orang-orang majelisnya 'Umar dan ahli syuranya, baik yang tua atau yang muda."

(Shahih, HR. Al-Bukhari no. 7286, lihat Fathul Bari, 13/250). Ibnu Hajar

mengatakan: "Al-Qurra maksudnya para ulama yang ahli ibadah." (Fathul Bari,

13/258)

Di antara mereka adalah Abdullah bin 'Abbas sendiri, sebagaimana beliau

kisahkan: "Umar memasukkan aku bersama orang-orang tua yang pernah ikut

perang Badr, maka seolah-olah sebagian mereka marah dan mengatakan:

'Mengapa 'Umar memasukkan pemuda ini bersama kita padahal kita pun punya

anak-anak semacam dia'. Maka 'Umar mengatakan: 'Hal itu berdasarkan apa yang

kalian ketahui (yakni bahwa dia dari keluarga Nabi dan dari sumber ilmu)'." (HR.

Al-Bukhari, 6/28, lihat Bahjatun Nazhirin, 1/195)

Riwayat ini menunjukkan bahwa majlis syuranya 'Umar adalah para shahabat ahli

Badr karena mereka lebih utama daripada yang lain. Kemudian 'Umar

mengikutkan Ibnu 'Abbas bersama mereka karena ilmu yang dimilikinya, di mana

ilmu beliau bahkan melebihi sebagian shahabat ahli Badr karena beliau didoakan

oleh Nabi: "Ya Allah, pahamkan dia tentang agama dan ajari dia takwil."

(Madarikun Nazhar, hal. 162)

Dalam kejadian yang lain, Ibnu 'Abbas mengatakan: "Ketika itu, saya berada di

tempat singgahnya Abdurrahman bin 'Auf di Mina dan beliau di sisi 'Umar, dalam

sebuah haji yang itu merupakan akhir hajinya. Abdurrahman mengarahkan

pertanyaan kepada saya: '(Apa pendapatmu) jika kamu melihat seseorang datang

kepada amirul mukminin ('Umar bin Al-Khaththab) hari ini lalu ia mengatakan:

'Wahai amirul mukminin, apakah anda dapat melakukan sesuatu pada fulan yang

mengatakan: Seandainya 'Umar telah meninggal maka aku telah membai'at fulan.

Demi Allah, tidaklah bai'atnya Abu Bakr dahulu kecuali hanya sesaat lalu

langsung sempurna.' Maka (mendengar laporan itu) 'Umar marah lalu

mengatakan: 'Sungguh saya insya Allah akan berdiri sore ini di hadapan manusia

dan akan memperingatkan mereka dari orang-orang itu yang ingin merampas

urusan mereka.' Maka Abdurrahman mengatakan: 'Wahai amirul mukminin,

Page 20: Kumpulan Artikel Majalah Asy Syariah Edisi PEMILU (PENTING)

jangan kau lakukan! Karena musim haji ini menampung orang-orang hina (juga),

sesungguhnya merekalah yang akan lebih banyak dekat denganmu di saat kamu

berdiri di hadapan mereka. Dan saya khawatir jika engkau bangkit dan

mengucapkan sebuah ucapan lalu dibawa terbang oleh setiap yang terbang,

mereka tidak memahaminya dan tidak mendudukkan pada tempatnya. Maka

tundalah hingga engkau pulang ke Madinah karena Madinah adalah rumah hijrah

dan (rumah) As Sunnah sehingga engkau dapat mengkhususkan ahli fiqih dan

tokoh-tokoh masyarakat, lalu kamu katakan apa yang mungkin kamu katakan

sehingga ahlul ilmi akan memahami ucapanmu dan menempatkannya pada

tempatnya'." (Riwayat Al-Bukhari. Lihat Madarikun Nazhar, hal. 163)

Setelah terjadinya usaha pembunuhan terhadap 'Umar dan 'Umar pun sudah

merasa dekat ajalnya, dia menyerahkan urusan kepemimpinan ini kepada enam

orang shahabat. Dan dikatakan kepada beliau: "Berwasiatlah wahai amirul

mukminin, berwasiatlah! Tunjuklah khalifah." Jawabnya: "Saya tidak mendapati

orang yang yang lebih berhak terhadap perkara ini (kekhilafahan) lebih dari

orang-orang itu, yang Rasulullah meninggal dalam keadaan ridha terhadap

mereka." Lalu beliau menyebut 'Ali, 'Utsman, Az-Zubair, Thalhah, Sa'ad dan

Abdurrahman (Shahih, riwayat Al-Bukhari no. 3700, dengan Fathul Bari, 7/59).

'Umar menyerahkan urusan ini hanya kepada 6 orang shahabat yang memiliki sifat

tersebut, padahal saat itu para shahabat berjumlah lebih dari 10 ribu orang.

(Madarikun Nazhar, hal. 165)

Al-Imam Al-Bukhari mengatakan: Dan para imam setelah wafatnya Nabi

bermusywarah dengan para ulama yang amanah pada perkara yang mubah untuk

mengambil yang paling mudah dan jika jelas bagi mereka al Qur'an maupun

sunnah maka mereka tidak melampauinya untuk mengambil selainnya, hal itu

dalam rangka meneladani Nabi [shahih bukhari: 13/339-340 dengan fathul bari,

lihat pula hal: 342 baris: 18] ( TEKS INI TERULANG)

Al-Imam Asy-Syafi'i mengatakan: "Janganlah dia bermusyawarah jika terjadi

suatu masalah kecuali dengan seorang yang amanah, berilmu dengan Al Qur'an

dan As Sunnah dan riwayat-riwayat dari shahabat dan setelahnya, serta berilmu

tentang pendapat-pendapat para ulama, qiyas, dan bahasa Arab." (Mukhtashar Al-

Muzani, dari Madarikun Nazhar, hal. 176)

Ibnu At-Tin menukilkan dari Asyhab, seorang murid Al-Imam Malik, bahwa Al-

Imam Malik mengatakan: "Semestinya seorang pemimpin menjadikan seseorang

yang menerangkan kepadanya tentang keadaan masyarakatnya di saat dia

sendirian. Dan hendaknya orang tersebut orang yang bisa dipercaya, amanah,

cerdas dan bijaksana." (Fathul Bari, 13/190)

Sufyan Ats-Tsauri mengatakan: "Hendaknya ahli syuramu adalah orang-orang

yang bertakwa dan amanah serta orang yang takut kepada Allah." (Tafsir Al-

Qurthubi, 4/250-251)

Asy-Syihristani mengatakan: "…Akan tetapi wajib bersama penguasa itu (ada)

seorang yang pantas berijtihad sehingga dia (penguasa itu, red) dapat bertanya

kepadanya dalam permasalahan hukum." (Al-Milal, 1/160, lihat Madarikun

Nazhar, hal. 177)

Ibnu Khuwairiz mandad(?) mengatakan: "Wajib bagi para pemimpin untuk

bermusyawarah dengan para ulama dalam hal-hal yang tidak mereka ketahui dan

pada perkara agama yang membuat mereka bingung. Juga bermusyawarah dengan

para pemimpin perang pada urusan peperangan, dengan tokoh masyarakat pada

urusan yang berkaitan dengan maslahat masyarakat, dan dengan para menteri dan

Page 21: Kumpulan Artikel Majalah Asy Syariah Edisi PEMILU (PENTING)

wakil-wakilnya pada perkara kemaslahatan negeri dan kemakmurannya." (Tafsir

Al-Qurthubi, 4/250)

Al-Qurthubi mengatakan: "Para ulama berkata: 'Kriteria orang yang diajak

musyawarah jika dalam perkara hukum hendaknya seorang ulama dan agamis.

Dan jarang yang seperti itu kecuali orang yang berakal. Oleh karenanya Al-Hasan

mengatakan: 'Tidaklah akan sempurna agama seseorang kecuali setelah sempurna

akalnya'. Dan sifat orang yang diajak musyawarah dalam hal urusan dunia

hendaknya orang yang bijak, berpengalaman dan suka terhadap orang yang

mengajaknya musyawarah." (Tafsir Al-Qurthubi, 4/250-251)

Al-Mawardi mengatakan ketika menjelaskan orang-orang yang berhak

bermusyawarah untuk memilih imam/ pemimpin: "…Syarat-syarat yang harus ada

pada mereka ada tiga: pertama, keadilan (yakni keshalihan agamanya) dengan

berbagai syaratnya. Kedua, ilmu yang dengannya dia dapat mengetahui siapa yang

berhak menjadi pemimpin dengan syarat-syarat kepemimpinan. Ketiga, ide yang

bagus dan bijak yang dengan itu dia bisa memilih yang paling pantas untuk

menjadi pemimpin." (Al-Ahkamus Sulthaniyyah, hal. 4)

Dari penjelasan para ulama di atas, dipahami dengan jelas bahwa ahli syura adalah

para ulama yang benar-benar berilmu tentang Al Qur'an dan Sunnah Nabi serta

pendapat-pendapat para ulama sebelumnya dalam berbagai masalah, bertakwa dan

takut kepada Allah, juga memiliki sifat amanah, lagi bijaksana dalam memutuskan

suatu urusan. Demikian pula memiliki keinginan baik untuk umat secara

menyeluruh.

Jika dibutuhkan bermusyawarah pada urusan-urusan duniawi maka juga bisa

melibatkan para ahli yang berpengalaman dalam bidang-bidang tertentu namun

tentunya dengan tidak melepaskan dari sifat-sifat dasar di atas. Demikian pula

tidak bisa dilepaskan dari para ulama karena merekalah yang dapat

mempertimbangkan sisi maslahat dan mafsadah yang hakiki dan secara syar'i,

serta sisi halal dan haramnya. Wallahu a'lam.

Antara Syura dan Demokrasi

Sebagian orang menganggap bahwa demokrasi adalah wujud praktek sistem syura

dalam Islam. Ini adalah anggapan yang salah, dan jauhnya perbedaan antara

keduanya bagaikan timur dan barat. Di antara perbedaannya adalah:

1. Aturan syura berasal dari Allah dan selalu berlandaskan di atas syariat-Nya.

Sementara demokrasi sumbernya adalah suara mayoritas walaupun itu suaranya

orang-orang fasiq bahkan kafir.

2. Bahwa syura dilakukan pada perkara yang belum jelas ketentuannya dalam

syariat, dan jika ada ketentuan syariat maka itulah yang ditetapkan. Adapun dalam

demokrasi, perkara yang sudah jelas dalam syariat pun dapat diubah jika suara

mayoritas menghendakinya, sehingga dapat menghalalkan yang haram dan

sebaliknya.

3. Anggota majelis syura adalah para ulama dan yang memiliki sifat-sifat seperti

telah dijelaskan. Sedang dewan perwakilan rakyat atau majelis permusyawaratan

dalam sistem demokrasi anggotanya sangat heterogen. Ada yang berilmu agama,

ada yang bodoh, ada yang bijak ada yang tidak, ada yang menginginkan kebaikan

rakyat, dan ada yang mementingkan diri sendiri, mereka semualah yang

menentukan hukum dengan keadaan seperti itu.

4. Dalam sistem syura, kebenaran tidak diketahui dengan mayoritas tapi dengan

kesesuaian terhadap sumber hukum syariat. Sedangkan dalam sistem demokrasi,

kebenaran adalah suara mayoritas walaupun menentang syariat Allah yang jelas.

Page 22: Kumpulan Artikel Majalah Asy Syariah Edisi PEMILU (PENTING)

5. Syura adalah salah satu wujud keimanan, karena dengan syura kita

mengamalkan ajaran Islam. Sedangkan demokrasi adalah wujud kekufuran kepada

Allah, karena jika mayoritas memutuskan perkara kekafiran maka itulah

keputusan yang harus diikuti menurut mereka.

6. Syura menghargai para ulama, sedangkan demokrasi menghargai orang-orang

kafir.

7. Syura membedakan antara orang yang shalih dan yang jahat, sedangkan

demokrasi menyamakan antara keduanya.

8. Syura bukan merupakan kewajiban di setiap saat, bahkan hukumnya berbeda

sesuai dengan perbedaan keadaan. Sedangkan demokrasi merupakan sesuatu yang

diwajibkan oleh Barat kepada para penganutnya dengan kewajiban yang melebihi

wajibnya shalat lima waktu dan tidak mungkin keluar darinya.

9. Sistem demokrasi jelas menolak Islam dan menuduh bahwa Islam lemah serta

tidak mempunyai maslahat, sedangkan keadaan syura tidak demikian.

(Lihat kitab Tanwiruzh Zhulumat, hal. 21-36 dan Fiqih As-Siyasah Asy-

Syar'iyyah hal. 61)

Wallahu a'lam.

Bolehkah Bergabung dengan Partai Politik? Oleh Tim Redaksi Asy Syariah

Apakah dengan kita tidak berpartisipasi dalam pemilu atau tidak mendukung

partai politik (partai berlabel Islam) sama saja kita membiarkan partai atau orang-

orang sekuler mengatur dan memimpin negara ini, yang tentunya menyebabkan

mereka menerapkan undang-undang sekuler dan menolak dengan tegas syariat

Islam?

Ada anggapan bahwa dengan masuk ke partai kita bisa mengubah sistem dan

peraturan kenegaraan dari sistem jahiliyah ke sistem syar’iyyah secara bertahap,

yakni dengan mengalihkan undang-undang sekuler ke undang-undang Islam.

Bagaimanakah seharusnya sikap dan tindakan kita?

Apakah dengan alasan darurat demi membendung gerak langkah musuh-musuh

Islam, kita boleh masuk ke partai dan parlemen?

Abu Lukman, Wonosobo

Ketidakikutsertaan kita ke parpol berlabel Islam tidak berarti kita membiarkan

parpol yang tidak berlabel Islam untuk menetapkan undang-undang sekuler karena

pintu nasehat terbuka dengan banyak cara, bisa dengan bicara langsung dengan

mereka (pemerintah), melalui surat atau cara lain yang sesuai dengan Islam (Lihat

Asy Syariah edisi lalu tentang Cara Menasehati Penguasa). Bukankah orang-orang

yang duduk di pemerintahan kebanyakan orang-orang Islam?

Seandainya parpol berlabel Islam ikut di parlemen apakah mereka dapat merubah

sistem demokrasi yang bertolak belakang 180 derajat dengan Islam? Tentu tidak.

Sehingga masuknya mereka tidak akan merubah sistem tapi justru merubah diri

mereka dari orang yang taat menjadi orang yang bermaksiat. Karena sejak mereka

masuk (ke dalam parlemen) sudah diambil sumpahnya untuk mengakui sistem

yanga ada dan (mengakui) keberadaan partai-partai lain selain Islam. Dan ini awal

kekalahan, ditambah maksiat-maksiat lain yang tidak bisa dihindari. Apakah

Page 23: Kumpulan Artikel Majalah Asy Syariah Edisi PEMILU (PENTING)

memperbaiki kedaan itu dengan cara bermaksiat kepada Allah atau dengan taat

kepadanya?

Cara memperbaiki yang benar adalah dengan tashfiyah dan tarbiyah,

membersihkan Islam dari segala kotoran dan mendidik umat di atas Islam yang

murni. Ingat ucapan Al-Imam Malik:

“Umat ini tidak akan baik kecuali dengan sesuatu yang (telah) memperbaiki

generasi awal (umat ini).”

- Alasan bahwa dengan masuk parlemen akan bisa mengubah sisitem yang ada tak

lebih sekedar dalih untuk membolehkan masuk dalam parlemen, karena

sesungguhnya merubah sistem yang ada adalah sesuatu yang mustahil. Apa yang

bisa mereka rubah? Kalau misalnya bisa sebagian, berapa persen besarnya? Dan

apakah mereka benar-benar bisa merubah sistem ini? Tolong dijawab secara

realistis dan jangan dengan khayalan. Yang jelas sistem ini (demokrasi) adalah

bathil sejak awalnya.

- Bila alasan darurat yang dipakai maka merupakan alasan yang terlalu jauh.

Bagaimana kita masuk ke dalam sistem yang bertolak belakang dengan Islam lalu

beralasan dengan darurat? Mana penerapan syariat Islam yang menjadi syiar

pergerakan? Bagaimana mereka menerapkan syariat Islam secara kaffah dan

memperjuangkannya sedang belum apa-apa sudah melanggar syariat Islam yang

agung. Coba renungkan!

Wallahu a’lam.

Mau Kemana Partai Islam? Oleh Tim Redaksi Asy Syariah

Umat Islam belumlah lupa, beberapa waktu silam pascareformasi, kala hendak

memilih pemimpin negeri ini, sebuah fatwa diteguhkan oleh sejumlah partai politik

(parpol) Islam, ”haram memilih pemimpin wanita”. Namun beberapa waktu

kemudian, ”fatwa” itu dimentahkan kembali. Bak bola salju, perkara ini terus

menggelinding dan membesar. Hingga pada pemilihan kepala daerah (pilkada), tak

cuma soal wanita, sejumlah parpol Islam bahkan sudah tidak malu mendukung

kepala/wakil kepala daerah non-muslim.

Itulah sebuah ironi bernama politik yang dipertontonkan kepada umat. Politik nyata-

nyata tak hanya mengubah lawan menjadi kawan atau sebaliknya, tapi terbukti bisa

membongkar pasang syariat sekehendak hati. Dewan syuro partai bukan mengawal

syariat namun justru menjadi stempel untuk melegalisasi penyimpangan syariat.

Loyalitas tidak lagi dibangun di atas Al-Qur’an dan As-Sunnah namun oleh fatwa

Dewan Syuro, AD/ART parpol, bahkan sekadar ucapan tokoh sentralnya.

Makanya menjadi ”maklum” jika ada fenomena caleg non-muslim, koalisi dengan

parpol non-muslim ataupun sekuler, dsb, karena kamus politik memang

menghalalkannya. Juga tak perlu heran jika ada pengurus partai yang kelabakan,

ketika partainya dituding anti yasinan, tahlilan, barzanji, dsb. Minder disebut partai

Islam yang eksklusif, kemudian tergopoh-gopoh menyatakan bahwa partainya plural,

inklusif, bahkan menampilkan kesan nasionalis. Lebih takut kehilangan suara

daripada menampakkan al-haq, lebih khawatir simpatisan lari ketimbang mendapat

murka Allah l. Na’udzubillah.

Page 24: Kumpulan Artikel Majalah Asy Syariah Edisi PEMILU (PENTING)

Lagi-lagi sebuah ironi. Di panggung politik, mereka bisa mesra dengan kalangan

orang kafir, para preman dan ahli maksiat, para penyembah kubur, dll, namun di balik

itu mereka justru menebar kebencian kepada dakwah yang mengajak kepada

kemurnian Islam. Islam yang diusung sebagaimana yang diajarkan Rasulullah n

kepada para sahabatnya justru dianggap memecah-belah umat. Sementara mereka

sendiri tidak mau berkaca diri bahwa dengan partai mereka telah membuat umat

terkotak-kotak, membuat umat berloyalitas kepada partai bukan kepada Islam.

Alhasil, fenomena saling aniaya dan membunuh hanya karena beda partai, tak pernah

dianggap memecah-belah umat.

Yang memilukan kemudian, umat malah disodori ”fatwa” haram golput. Ini sama saja

orang yang tidak memilih karena paham akan kemungkaran-kemungkaran demokrasi

divonis ”berdosa”. Na’udzubillah. Di saat umat dilingkupi pemahaman agama yang

jauh dari Islam yang murni, umat justru disuguhi politikus-politikus bodoh yang

hanya pandai bertutur dan nampak santun tapi lancang mengaduk-aduk agama untuk

kepentingan politik praktis. Konyolnya lagi, ada yang malah menganggap

berdemokrasi sebagai bagian dari jihad. Begitu mudahnya menggunakan istilah jihad,

sama mudahnya saat mereka menggelari tokoh ideologis mereka dengan asy-syahid.

Yang disayangkan tentu, masih saja ada kaum muslimin yang bisa dibodohi

sedemikian rupa. Padahal orang-orang yang fanatik partai itu hanya menggunakan

jaring laba-laba sebagai pijakan. ”Dalil”-nya, itupun kalau bisa disebut dalil, sangat

lemah dan klasik. ”Kita sudah berada dalam sistem yang mau tidak mau kita harus

ikut. Kalau kita tidak memilih partai Islam, maka kekuasaan akan berada di tangan

orang-orang kafir.”

”Si parpol” ini bisa jadi memang tak mau berkaca. Bagaimana mungkin mereka

berkoar-koar mau memenangkan Islam sementara mereka justru mengangkat caleg

non-muslim, mengusung pasangan kepala daerah yang salah satunya non-muslim,

berkoalisi dengan parpol non-Islam, dan seabrek pelanggaran syariat lainnya.

Bagaimana pula jika pemerintah yang berkuasa atau parlemen dikuasai muslim tapi

bukan dari kader partainya atau hasil "tarbiyah" mereka, atau taruhlah pemerintah

yang berkuasa telah menegakkan sebagian dari syariat Islam, apakah mereka mau

berhenti? Jawabnya, tentu saja tidak.

Makanya jangan pernah tertipu mereka yang bergelut dengan parpol, dianggap telah

berbuat sesuatu untuk umat sementara yang berkiprah di luar itu tak memberikan

kontribusi apapun bagi umat. Padahal kesibukan mereka dalam ingar-bingar politik

justru menjadikan mereka melalaikan perbaikan umat. Bahkan perbaikan diri-diri

mereka sendiri. Adanya petinggi parpol ”Islam” yang percaya angka hoki serta

banyaknya politikus muslim yang terlibat skandal amoral serta jauh dari akhlak Islam

adalah contoh nyata.

Oleh karena itu, jangan pernah terselip asa, melalui sistem demokrasi, umat Islam bisa

meraih kejayaannya. Melalui sistem politik kotor hasil adopsi filsafat Yunani,

kemuliaan Islam dan muslimin bisa kita tegakkan. Tak bakal ada kebaikan yang

dibangun di atas kemungkaran. Yang ada hanyalah pertanyaan, ”Mau kemana partai

Islam?”

Page 25: Kumpulan Artikel Majalah Asy Syariah Edisi PEMILU (PENTING)

Memaknai Politik Syar’i Oleh Al-Ustadz Ruwaifi’ bin Sulaimi

Makna Politik

Politik, dalam bahasa arab disebut dengan siyasah. Dalam kamus Lisanul Arab karya

Ibnu Manzhur (juz 6 hal. 429) disebutkan bahwa kata siyasah bermakna mengurus

sesuatu dengan kiat-kiat yang membuatnya baik.

Politik itu sendiri, menurut Al-Imam Ibnul Qayyim rahimahullahu terbagi menjadi

dua macam:

1. Politik yang diwarnai kezaliman. Maka ini diharamkan dalam syariat Islam.

2. Politik yang diwarnai keadilan. Maka ini bagian dari syariat Islam. (Lihat Ath-

Thuruq Al-Hukmiyyah fis Siyasah Asy-Syar’iyyah, hal. 4)

Politik, bila dilihat dari sisinya yang buruk (politik yang diwarnai kezaliman) semata,

akan melahirkan trauma politik pada seseorang. Ujung-ujungnya berkesimpulan

bahwa politik itu kejam dan politikus tak lain hanyalah ahli tipu muslihat yang kental

dengan sifat makar, dusta, dan licik. Sebenarnya bila dilihat dari segala sisinya, ada

pula politik yang syar’i (politik yang diwarnai keadilan). Bahkan ia merupakan salah

satu cabang dan pintu dari syariat Islam yang mulia ini, sebagaimana dikatakan Al-

Imam Ibnul Qayyim rahimahullahu dalam kitabnya yang monumental I’lamul

Muwaqqi’in, juz 4 hal. 452. Dalam khazanah ilmu-ilmu Islam, politik yang syar’i

disebut dengan as-siyasah asy-syar’iyyah.

Para pembaca yang semoga dirahmati Allah Subhanahu wa Ta’ala, lantas apakah

keterangan di atas merupakan legitimasi bagi politik praktis yang ‘diimani’ partai

politik (parpol) Islam sekarang ini? Untuk mengetahui jawabannya simaklah

penjelasan berikut ini.

Fatamorgana Politik Praktis

Politik praktis merupakan cara berpolitik ala barat (baca: musuh-musuh Islam) dalam

menentukan kepala negara/pemerintahan serta anggota lembaga legislatif (baca:

politik untuk mencapai kekuasaan), yang dijejalkan di negeri-negeri muslim. Sistem

tersebut tidaklah diciptakan dan dijejalkan di negeri-negeri muslim melainkan untuk

mem-fait accompli kekuatan umat Islam yakni agar mereka tidak punya pilihan di

negerinya sendiri (seakan-akan tidak bisa menghindarinya), sekaligus memalingkan

mereka dari mendalami agamanya (tafaqquh fiddin) dengan berbagai kesibukan

politik. Sehingga tidaklah satu negeri muslim pun yang menganut sistem tersebut,

melainkan kekuatan dan keilmuan umat Islamnya benar-benar terpantau dengan jelas

oleh musuh-musuhnya.

Mungkinkah sistem yang diciptakan barat (baca: musuh-musuh Islam) dengan sekian

pelanggarannya tersebut dapat mengantarkan umat Islam kepada kejayaannya?

Spontan, orang yang berakal akan menjawab: “Tidak mungkin!”

Tak ubahnya fatamorgana, dari jauh seakan air yang menyejukkan, namun setelah

didekati ternyata pemandangan semu belaka.

Tengoklah kelompok Ikhwanul Muslimin (IM) di Mesir, pimpinan Hasan Al-Banna.

“Perjuangan” bertahun-tahun harus berakhir di tiang gantungan, penjara, atau tembak

mati. Demikian pula FIS (sebuah partai “Islam” di Aljazair) yang berhasil menang

pada putaran pertama pemilu tahun 1412 H. Impian pun lenyap manakala militer

melakukan kudeta dengan alasan ‘negeri dalam kondisi darurat’. FIS pun meradang,

genderang “jihad” melawan penguasa ditabuh. Pertempuran bersenjata pun terjadi,

dan akhirnya pertumpahan darahlah kesudahannya.1 Lagi-lagi umat Islam sebagai

Page 26: Kumpulan Artikel Majalah Asy Syariah Edisi PEMILU (PENTING)

tumbalnya. Agama mereka terlantar, dakwah pun semakin hari semakin tergerus oleh

‘kejamnya’ kehidupan berpolitik mereka.2

Lebih dari itu, konsekuensinya sangat berat khususnya bagi seorang muslim yang

berteguh diri di atas Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Mengapa demikian? Karena asasnya adalah demokrasi yang ‘menuhankan’ suara

rakyat (mayoritas). Kendaraannya adalah kampanye dengan segala pelanggaran syar’i

dan etikanya. Panoramanya adalah ikhtilath (campur-baur laki perempuan). Ciri

khasnya adalah persaingan ketat, bahkan perseteruan tak sehat dengan obral janji yang

(nampak) menggiurkan. Taruhannya adalah menjual prinsip al-wala’ wal bara’.3

Wallahul Musta’an.

Para pembaca yang semoga dirahmati Allah Subhanahu wa Ta’ala, untuk mengetahui

lebih rinci tentang jalan yang mengantarkan kepada kejayaan umat Islam, silakan

buka kembali Majalah Asy Syariah edisi Polemik Menuju Negara Islam (No.

16/II/1426 H/2005). Adapun rincian bahasan seputar partai politik Islam, maka dapat

anda ikuti pada Kajian Utama Majalah Asy Syariah edisi kali ini, insya Allah.

Apa Itu As-Siyasah Asy-Syar’iyyah (Politik yang Syar’i)?

Setelah mengikuti bahasan di atas, dapatlah disimpulkan bahwa as-siyasah asy-

syar’iyyah adalah bagian dari syariat Islam. Sedangkan politik praktis, tak lain adalah

ciptaan barat (baca: musuh-musuh Islam) yang tidak ada kaitannya dengan as-siyasah

asy-syar’iyyah dan sudah barang tentu bukan dari Islam.

Bila demikian, apa definisi as-siyasah asy-syar’iyyah menurut terminologi syariat?

Menurut terminologi syariat, as-siyasah asy-syar’iyyah bermakna pengaturan urusan

pemerintahan kaum muslimin secara menyeluruh dengan kiat-kiat yang dapat

mewujudkan kebaikan (maslahat) serta mencegah terjadinya keburukan (mafsadah),

dengan tetap menjaga batasan-batasan syar’i dan prinsip-prinsipnya secara umum -

meskipun tidak secara nash- serta perkataan para imam ahli ijtihad. (As-Siyasah Asy-

Syar’iyyah karya Abdul Wahhab Khallaf, hal. 15. Dinukil dari Madarikun Nazhar fis

Siyasah hal. 126-127)

Dari sini, diketahui bahwa as-siyasah asy-syar’iyyah disamping berpegang dengan

dalil yang tegas, juga berpijak pada maslahah mursalah, yaitu suatu maslahat di mana

tidak didapati dalil secara tegas baik yang memerintahkan maupun yang melarang.

Tentunya, yang menentukan sebagai maslahat adalah para imam ahli ijtihad, bukan

sembarang orang. Demikianlah penjelasan Ibnu ‘Aqil, Ibnul Qayyim, Ibnu Nujaim,

dan yang lainnya rahimahumullah dari para pakar di bidang ini. (Lihat Madarikun

Nazhar fis Siyasah hal. 128-129)

Mengenai rincian as-siyasah asy-syar’iyyah, sesungguhnya telah dijelaskan para

ulama Islam dalam banyak karya tulisnya. Di antaranya; Al-Imam Al-Mawardi dalam

Al-Ahkam As-Sulthaniyyah wal Wilayat Ad-Diniyyah, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah

dalam As-Siyasah Asy-Syar’iyyah (yang terhimpun dalam Majmu’ Fatawa, juz 28),

Al-Imam Ibnul Qayyim dalam Ath-Thuruq Al-Hukmiyyah fis Siyasah Asy-

Syar’iyyah, dan selainnya.

Mengenal Lebih Jauh As-Siyasah Asy-Syar’iyyah (Politik yang Syar’i)

Para pembaca yang semoga dirahmati Allahl, mengingat as-siyasah asy-syar’iyyah

amat terkait dengan pengaturan urusan pemerintahan, maka tentunya ada dua pihak

yang saling terkait dengannya; pihak pengatur dalam hal ini adalah para penguasa

(ulil amri) dan pihak yang diatur dalam hal ini adalah rakyat. As-siyasah asy-

syar’iyyah yang dijalankan para penguasa tersebut tak akan berjalan dengan baik

tanpa adanya sambutan ketaatan dari rakyat. Maka dari itu, adanya gayung bersambut

Page 27: Kumpulan Artikel Majalah Asy Syariah Edisi PEMILU (PENTING)

antara para penguasa dan rakyatnya dalam hal penerapan as-siyasah asy-syar’iyyah

merupakan keharusan. Karena dengan itulah terwujud kehidupan yang tenteram,

aman, dan sentosa. Sebagaimana yang terjadi pada masyarakat sahabat di bawah

kepemimpinan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan juga masyarakat tabi’in

serta tabi’ut tabi’in di bawah kepemimpinan para penguasanya.

Di antara dasar pijakan as-siyasah asy-syar’iyyah adalah firman Allah Subhanahu wa

Ta’ala:

�I �� ا�' �س أن �=M�;ا �2��ل إن ا_ ,�2 � IMd2�B إن ا_ �M� وإذا ��إن ا_ ����آI أن v�دGوا ا����,�ت إK� أه%�� ا� ?�� ءا�';ا أs�2;ا ا_ و .آ�ن ����2 ���اG��أ� tوGء .�دFk F. I�أs�2;ا ا�� �;ل وأوF� ا���� �'IM .-ن �'�ز� إK� ا_ وا�� �;ل إن آ'�v� I�';ن �_ وا��;م ا8a�� ذ�+ 8�� وأ��� ��و�“Sesungguhnya Allah menyuruh kalian menyampaikan amanah kepada yang berhak

menerimanya, dan (menyuruh kalian) apabila menetapkan hukum di antara manusia

supaya kalian menetapkannya dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran

yang sebaik-baiknya kepada kalian. Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar

lagi Maha Melihat. Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah

Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kalian. Kemudian jika kalian berbeda pendapat

tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul

(Sunnahnya) jika kalian benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang

demikian itu lebih utama (bagi kalian) dan lebih baik akibatnya.” (An-Nisa’: 58-59)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahu berkata: “Menurut para ulama, ayat

pertama (dari dua ayat di atas) turun berkaitan dengan para penguasa (ulil amri), agar

mereka menyampaikan amanah kepada yang berhak menerimanya. Dan apabila

menetapkan hukum di antara manusia supaya menetapkannya dengan adil. Sedangkan

ayat kedua turun berkaitan dengan rakyat baik dari kalangan militer maupun

selainnya, agar mereka senantiasa taat kepada para penguasanya dalam hal pembagian

jatah, keputusan, komando pertempuran, dan lain sebagainya. Kecuali jika mereka

memerintahkan kepada kemaksiatan, maka tidak boleh menaati makhluk (para

penguasa tersebut) dalam rangka bermaksiat kepada Al-Khaliq (Allah Subhanahu wa

Ta’ala). Jika terjadi perbedaan pendapat antara para penguasa dengan rakyatnya

dalam suatu perkara, hendaknya semua pihak merujuk kepada Al-Qur’an dan Sunnah

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Namun jika sang penguasa tidak mau

menempuh jalan tersebut, maka perintahnya yang tergolong ketaatan kepada Allah

Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam tetap wajib ditaati.

Karena ketaatan kepada para penguasa dalam perkara ketaatan tersebut merupakan

bagian dari ketaatan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya Shallallahu

‘alaihi wa sallam. Demikian pula hak mereka (para penguasa), tetap harus dipenuhi

(oleh rakyatnya), sebagaimana yang diperintahkan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan

Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

9;ى و�� �2�و,;ا �%K ا�-IJ وا2��وان وا� 9;ا ا_ إن ا_ k��� ا�92�ب� و�2�و,;ا �%K ا���> وا�“Dan tolong-menolonglah kalian dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan

janganlah tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Bertakwalah kalian

kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.” (Al-Maidah: 2) [Lihat

Majmu’ Fatawa, juz 28 hal. 245-246]

Untuk mengenal lebih jauh tentang contoh as-siyasah asy-syar’iyyah dan

penerapannya, perhatikanlah poin-poin berikut ini.

1. Suatu tugas/jabatan diberikan kepada yang berhak menyandangnya, baik terkait

dengan kemiliteran maupun selainnya. Pemberian tugas/jabatan tersebut tak boleh

didasari kedekatan pribadi ataupun hubungan kekerabatan (nepotisme). Sahabat Umar

bin Al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu berkata: “Barangsiapa mempunyai suatu

kewenangan terhadap urusan kaum muslimin, kemudian memberikan tugas/jabatan

Page 28: Kumpulan Artikel Majalah Asy Syariah Edisi PEMILU (PENTING)

kepada seseorang karena kedekatan pribadi atau hubungan kekerabatan, maka ia telah

berkhianat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa

sallam serta kaum muslimin.”

2. Kriteria kelayakan mendapat tugas/jabatan ada dua: kuat dan dapat dipercaya.

Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

“Sesungguhnya orang terbaik yang kamu ambil untuk bekerja ialah orang yang kuat

lagi dapat dipercaya.” (Al-Qashash: 26)

Kuat di sini tergantung pada tugas/jabatan yang diemban. Kuat dalam hal

kepemimpinan perang tolok ukurnya adalah keberanian/ketegaran jiwa, pengalaman

bertempur dengan segala tipu muslihatnya serta keahlian dalam mengatur strategi

pertempuran. Kuat dalam hal memutuskan perkara (hukum) di antara manusia tolok

ukurnya adalah kepahaman tentang prinsip-prinsip keadilan yang bersumber dari Al-

Qur’an dan As-Sunnah serta kemampuan untuk merealisasikan keputusannya

tersebut. Adapun dapat dipercaya (amanah), maka tolok ukurnya adalah rasa takut

kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, tidak menjual ayat Allah Subhanahu wa Ta’ala

dengan harga yang murah (hal-hal duniawi, red.) serta tidak takut terhadap (celaan)

manusia (dalam keputusannya).

3. Berkumpulnya dua sifat, kuat dan dapat dipercaya pada seseorang, merupakan

sesuatu yang langka. Oleh karena itu, jika ada dua orang; yang satu lebih amanah

sedangkan yang lainnya lebih kuat, maka yang diutamakan adalah yang paling

bermanfaat bagi (kelangsungan) tugas tersebut dan yang paling sedikit mudaratnya.

Atas dasar itu, yang diutamakan dalam hal kepemimpinan perang adalah seorang yang

kuat lagi pemberani/tegar jiwanya –walaupun terkadang jatuh dalam kesalahan-

daripada seseorang yang lemah mentalnya –walaupun ia seorang yang dapat

dipercaya-. Jika suatu tugas butuh sifat amanah yang lebih, maka diutamakanlah

seorang yang dapat dipercaya, seperti tugas mengelola perbendaharaan dan yang

semisalnya. Adapun tugas pendistribusian uang sekaligus pengelolaannya, dibutuhkan

seorang yang kuat lagi dapat dipercaya.

Dalam hal memutuskan perkara (hukum), diutamakan hakim yang paling berilmu

tentang prinsip-prinsip keadilan, paling wara’ (berhati-hati), dan paling mampu dalam

merealisasikan keputusan. Jika ada dua hakim, yang satu lebih berilmu sedangkan

yang lain lebih wara’ (berhati-hati), maka dalam perkara yang penyelesaian

hukumnya mudah namun rawan mengikuti hawa nafsu dalam memutuskannya,

diutamakanlah hakim yang lebih wara’ (berhati-hati). Sedangkan dalam perkara yang

rumit penyelesaiannya dan dikhawatirkan terjadi kerancuan dalam memutuskannya,

maka diutamakanlah hakim yang lebih berilmu. Kemudian jika ada dua hakim; yang

satu lebih berilmu dan lebih wara’ (berhati-hati), sedangkan yang lain lebih mampu

dalam merealisasikan keputusan hukum (tegas), maka pada kasus yang

penyelesaiannya didukung penguasa diutamakan seorang hakim yang lebih berilmu

dan lebih wara’ (berhati-hati). Namun pada kasus yang penyelesaiannya kurang

mendapat dukungan dari berbagai pihak (kebijakan yang tidak populer) dan tidak

terlalu dibutuhkan ilmu dan wara’ yang berlebih, maka diutamakan seorang hakim

yang lebih mampu dalam merealisasikan keputusan hukum tersebut.

4. Pentingnya memerhatikan partner (pasangan) dalam suatu tugas. Jika pemimpin

suatu tugas berkarakter lembut, maka wakilnya yang berkarakter keras. Jika

pemimpin berkarakter keras, maka wakilnya yang berkarakter lembut. Demikian itu

agar tercipta suatu keseimbangan (kestabilan) dalam lingkungan tugas tersebut. Oleh

karena itu, Khalifah Abu Bakr Ash-Shiddiq radhiyallahu ‘anhu (yang berkarakter

lembut) lebih memilih Khalid bin Al-Walid radhiyallahu ‘anhu (yang berkarakter

keras) sebagai wakilnya dalam komando perang. Sedangkan Khalifah Umar bin Al-

Page 29: Kumpulan Artikel Majalah Asy Syariah Edisi PEMILU (PENTING)

Khaththab radhiyallahu ‘anhu (yang berkarakter keras) lebih memilih Abu ‘Ubaidah

Ibnul Jarrah radhiyallahu ‘anhu (yang berkarakter lembut) sebagai wakilnya.

Sehingga terciptalah suatu keseimbangan (kestabilan) dalam lingkup tugas tersebut.

5. Di antara sebab langgengnya suatu kepemimpinan adalah manakala diwarnai

dengan kedermawanan dan keberanian/ketegaran jiwa. Kedermawanan di sini adalah

mendistribusikan keuangan (seperlunya) kepada orang-orang yang berhak

mendapatkannya -walaupun mereka para tokoh-, untuk stabilisasi sosial politik,

kepentingan keagamaan baik yang bersifat fisik maupun non fisik, dan lain

sebagainya. Adapun keberanian/ketegaran jiwa, maksudnya adalah tegar dalam

mengatasi masalah, bersabar, dan tidak marah kecuali karena Allah Subhanahu wa

Ta’ala. Suatu kepemimpinan yang jauh dari kedermawanan dan keberanian/ketegaran

jiwa tersebut, maka kepemimpinannya akan cepat berakhir dan berpindah ke tangan

orang lain.

(Disarikan dari kitab As-Siyasah Asy-Syar’iyyah karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah

rahimahullahu, yang terhimpun dalam Majmu’ Fatawa juz 28 hal. 244-296)

Adapun poin-poin penting yang dapat disarikan dari kitab Ath-Thuruq Al-Hukmiyyah

fis Siyasah Asy-Syar’iyyah karya Al-Imam Ibnul Qayyim rahimahullahu adalah

sebagai berikut:

1. Tugas inti pemerintah muslim adalah menegakkan amar ma’ruf nahi munkar

(memerintahkan kepada kebaikan dan melarang dari kemungkaran) di tengah

rakyatnya. Sedangkan poros keberhasilan dari seluruh tugas/jabatan pemerintahan

adalah kejujuran dalam pemberian informasi/data dan keadilan dalam memutuskan

suatu putusan perkara. Ada suatu tugas/jabatan yang sangat membutuhkan kejujuran

pejabatnya. Seperti penanggung jawab keuangan yang bertugas mencatat arus keluar

masuk uang negara dan juga para staf ahli kenegaraan yang bertanggung jawab

menyampaikan informasi valid tentang perkembangan situasi dan kondisi negara

kepada penguasa (ulil amri).

Ada pula tugas/jabatan yang sangat membutuhkan keadilan pejabatnya, yaitu

manakala posisinya sebagai pembuat keputusan yang ditaati. Seperti para pemimpin

(instansi pemerintahan) baik sipil maupun militer, hakim, dan lain sebagainya. Oleh

karena itu merupakan suatu kewajiban bagi kepala negara (pemimpin) untuk

menjadikan orang-orang yang jujur dan adil sebagai pembantunya dalam menjalankan

roda pemerintahannya. Adapun rincian deskripsi tugas pada masing-masing

tugas/jabatan, maka menyesuaikan situasi dan kondisi. [Hal. 184-185]

2. Diperbolehkan bagi pemerintah muslim untuk menerapkan siyasah juz’iyyah

(politik parsial). Yaitu menentukan satu keputusan di luar keumuman yang terjadi,

bila diyakini dapat mendatangkan maslahat yang bersifat umum bagi umat Islam.

Contohnya;

- Keputusan Khalifah Umar bin Al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu agar umat Islam (di

masanya) menunaikan ibadah haji dengan jenis haji ifrad (salah satu jenis haji yang

sah dengan mengkhususkan ibadah haji semata tanpa umrah). Padahal Rasulullah

Shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat menekankan haji tamattu’ yang padanya terdapat

rangkaian ibadah haji dan juga umrah. Keputusan tersebut diambil manakala melihat

Masjidil Haram lengang dari para mu’tamirin (orang-orang yang berumrah) di luar

musim haji. Maka dengan keputusan tersebut Masjidil Haram pun selalu diramaikan

umat Islam baik di musim haji maupun di luar musim haji.

- Ketika terjadi pertikaian sengit antara dua orang sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa

sallam di masa kekhalifahan Utsman bin Affan radhiyallahu ‘anhu dalam hal bacaan

Al-Qur’an dan sama-sama bersaksi bahwa itulah yang didapat dari Rasulullah

Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka Khalifah Utsman bin Affan radhiyallahu ‘anhu

Page 30: Kumpulan Artikel Majalah Asy Syariah Edisi PEMILU (PENTING)

(dengan kesepakatan para sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam) memerintahkan

penyusunan Al-Qur’an untuk kali kedua4 dengan satu dialek bacaan saja di antara

dialek-dialek yang didapat dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian

membakar mushaf-mushaf selainnya. [Hal. 10-18]

3. Bagi hakim selaku pemberi amar putusan dalam suatu perkara, diperbolehkan

untuk:

- Mengatakan sesuatu yang sebenarnya ia tidak akan melakukannya: “Saya akan

lakukan demikian”, dalam rangka melacak kebenaran pihak yang ditanganinya.

- Memutuskan sesuatu yang menyelisihi pernyataan/pengakuan pihak yang berseteru,

manakala meyakini bahwa yang benar tidaklah seperti apa yang dinyatakan pihak

yang berseteru tersebut.

- Membatalkan putusan yang dijatuhkannya disebabkan adanya putusan lain dari

hakim yang setara atau lebih mumpuni darinya.

Dasar dari semua itu adalah sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Dahulu

ada dua orang wanita (masing-masing) bersama anaknya. Tiba-tiba datang seekor

serigala memangsa salah satu dari anak keduanya. Kedua wanita itu pun mengklaim

bahwa anak yang dimangsa tersebut bukan anaknya, akan tetapi anak kawannya.

Akhirnya keduanya pergi ke Nabi Dawud ‘alaihissalam untuk menyelesaikan

perkaranya. Maka diputuskanlah bahwa anak yang ada saat ini adalah milik wanita

(ibu) yang lebih tua. Kemudian keduanya pergi ke Nabi Sulaiman bin Dawud

‘alaihimassalam dan menyampaikan putusan Nabi Dawud ‘alaihissalam tersebut.

Nabi Sulaiman ‘alaihissalam berkata: “Datangkanlah kepadaku sebilah pisau untuk

memotong anak tersebut menjadi dua bagian.” Maka dengan spontan wanita (ibu)

yang lebih muda mengatakan: “Jangan kau lakukan itu -semoga Allah Subhanahu wa

Ta’ala merahmatimu- sungguh anak tersebut miliknya.” Akhirnya Nabi Sulaiman

‘alaihissalam pun memutuskan bahwa anak tersebut milik wanita (ibu) yang lebih

muda. (HR. Al-Bukhari no. 3427)

- Memutuskan suatu putusan berdasarkan indikasi kuat, manakala diyakini dapat

mengantarkan kepada putusan yang tepat.5 Sebagaimana yang ditempuh Raja Mesir

Al-Aziz6 seputar kasus istrinya yang menuduh Nabi Yusuf ‘alaihissalam berbuat tak

senonoh terhadap dirinya. Dengan melihat posisi koyakan baju gamis Nabi Yusuf

‘alaihissalam yang berada di bagian belakang, maka diputuskanlah oleh Al-Aziz

bahwa yang salah adalah istrinya. Karena posisi koyakan baju gamis Nabi Yusuf

‘alaihissalam yang berada di bagian belakang merupakan indikasi kuat bahwa

istrinyalah yang mengajak Nabi Yusuf ‘alaihissalam untuk melakukan perbuatan tak

senonoh itu. Ketika Nabi Yusuf ‘alaihissalam tak menyambut ajakannya lalu pergi

meninggalkannya, wanita itu pun berupaya mengejar Nabi Yusuf ‘alaihissalam dan

menggapai baju gamis beliau hingga koyak di bagian belakangnya. Allah Subhanahu

wa Ta’ala berfirman:

“Maka tatkala suami wanita itu (Al-Aziz) melihat baju gamis Yusuf koyak di bagian

belakang, berkatalah dia: ‘Sesungguhnya (kejadian) itu adalah di antara tipu daya

kamu (istrinya), sesungguhnya tipu daya kamu sangatlah besar’.” (Yusuf: 28) [Hal. 4-

5]

4. Putusan perkara yang dijatuhkan kepada anggota masyarakat (rakyat), bermuara

pada dua kasus:

a. Pengaduan (tuduhan) satu pihak terhadap pihak lainnya, baik dalam perkara pidana

maupun perdata. Dalam kasus ini, pihak yang diadukan/dituduh terdiri dari tiga jenis;

Pertama: Si tertuduh dinyatakan bersih dari tuduhan tersebut. Maka menurut

kesepakatan ulama, dia tidak boleh dihukum. Sedangkan si penuduh dijatuhi hukuman

atas tuduhan dustanya itu.

Page 31: Kumpulan Artikel Majalah Asy Syariah Edisi PEMILU (PENTING)

Kedua: Si tertuduh adalah seorang yang majhul (tidak jelas keadaannya) dari jenis

orang baik ataukah tidak. Maka untuk sementara waktu ia ditahan hingga jelas duduk

permasalahannya.

Ketiga: Si tertuduh dikenal dengan kejahatannya. Maka dia ditahan hingga jelas

duduk permasalahannya. Khusus jenis ini, boleh diancam dengan kekerasan atau

dipukul jika diperlukan. Adapun cara dalam memutuskan suatu putusan perkara

dalam kasus pengaduan/tuduhan tersebut ada 25 cara, sebagaimana disebutkan Ibnul

Qayyim rahimahullahu dalam kitabnya di atas hal. 83-182.

b. Pelanggaran yang murni terkait dengan pelaksanaan agama, baik dalam hal ibadah,

muamalah, akhlak, dan lain sebagainya (tak terkait secara langsung dengan

pengaduan/tuduhan).

Untuk menanganinya, maka pemerintah muslim membentuk tim/badan khusus yang

dalam kitab fiqh disebut Al-Hisbah. Tugas pokoknya adalah menegakkan amar

ma’ruf nahi munkar (memerintahkan kepada kebaikan dan melarang dari

kemungkaran). Merekalah yang bertugas memerintahkan orang-orang untuk

menunaikan shalat lima waktu tepat pada waktunya. Memberikan sanksi terhadap

orang yang tidak shalat baik dengan pukulan maupun penjara. Mengontrol para imam

masjid dan muadzin. Memerintahkan orang-orang untuk shalat Jum’at, shalat

berjamaah, menunaikan amanah, dan berlaku jujur. Menyampaikan nasihat baik

dengan ucapan maupun perbuatan. Melarang dari perbuatan khianat, mengurangi

timbangan dan sukatan, serta berlaku curang dalam produksi barang dan

perdagangannya. Mengontrol para produsen makanan maupun pakaian serta melarang

mereka untuk memproduksi produk-produk yang diharamkan dalam agama ini.

Melarang transaksi yang dilarang Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya

Shallallahu ‘alaihi wa sallam, seperti riba dan segala transaksi yang mengandung

unsur judi. Menormalkan harga pasar dan mencegah para pedagang dari menimbun

barang-barang yang dibutuhkan oleh masyarakat dengan menekan para penimbun

tersebut agar menjualnya dengan harga pasar yang wajar, dan lain sebagainya. [183-

223]

Para pembaca yang semoga dirahmati Allah Subhanahu wa Ta’ala, demikianlah

selayang pandang tentang as-siyasah asy-syar’iyah (politik yang syar’i) yang dapat

disajikan dalam kesempatan kali ini. Semoga sedikit sajian tersebut dapat membuka

cakrawala berpikir umat tentang kehidupan beragama sekaligus menjadi motivator

untuk semakin mendalami agama Islam yang haq ini.

Amin ya Rabbal ‘Alamin. 1 Untuk mengetahui lebih rinci tentang ratap tangis politik

di Aljazair, silakan merujuk kitab Madarikun Nazhar fis Siyasah dan Fatawa Al-

Ulama’ Al-Akabir Fima Uhdira min Dima’ fi Aljazair. Keduanya karya Asy-Syaikh

Abdul Malik bin Ahmad Ar-Ramadhani.

2 Prinsip berpolitik praktis itu sendiri diingkari para "reformis" Ikhwanul Muslimin

(IM) seperti Sayyid Quthb (Mesir), Abul A’la Al-Maududi (Pakistan), dan orang-

orang yang mengikuti jejak mereka. Menurut mereka, "jalan satu-satunya" adalah

melakukan gerakan penggulingan kekuasaan (kudeta). Padahal dengan prinsip

tersebut -disadari ataupun tidak- mereka telah teridentifikasi sebagai Neo-Khawarij

yang diperingatkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam banyak sabdanya.

(Untuk lebih rincinya, lihat Manhajul Anbiya’ fid Da’wati Ilallah, Fihil Hikmah wal

‘Aql, karya Asy-Syaikh Rabi’ bin Hadi Al-Madkhali).

Demikian halnya dengan Hizbut Tahrir (HT). Mereka lebih memilih berada di luar

sistem dengan terus melakukan penentangan terhadap para penguasa, mengungkapkan

pengkhianatan dan persekongkolan mereka terhadap umat, melancarkan kritik,

kontrol, dan koreksi terhadap mereka serta berusaha menggantinya, jika hak-hak umat

Page 32: Kumpulan Artikel Majalah Asy Syariah Edisi PEMILU (PENTING)

dilanggar atau pemerintah tidak menjalankan kewajibannya terhadap umat, yaitu bila

melalaikan salah satu urusan umat atau menyalahi hukum-hukum Islam. Ironisnya,

dengan prinsip tersebut -disadari ataupun tidak- HT telah meniti jejak Al-Qa’adiyyah,

salah satu sekte dari kelompok sesat Khawarij. Menurut Al-Imam Abdullah bin

Muhammad Adh-Dha’if, Al-Qa’adiyyah merupakan kelompok Khawarij yang paling

jahat. (Lihat Masail Al-Imam Ahmad karya Al-Imam Abu Dawud, rahimahullahu hal.

271, Tahdzibut Tahdzib juz 8 hal. 114, dan Hadyus Sari Muqaddimah Fathil Bari hal.

454, keduanya karya Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullahu, dan rubrik Manhaji

Majalah Asy Syariah, edisi Polemik Menuju Negara Islam No. 16/II/1426 H/2005).

3 Untuk mengetahui lebih rinci tentang al-wala’ wal-bara’ khususnya yang ada pada

kelompok Ikhwanul Muslimin, lihat rubrik Manhaji Majalah Asy Syariah edisi

Sejarah Hitam IM (Ikhwanul Muslimin) (No. 20/II/1426 H/2005).

4 Penyusunan Al-Qur’an dalam bentuk mushaf untuk kali pertama terjadi di masa

kekhalifahan Abu Bakr Ash-Shiddiq radhiyallahu ‘anhu (dengan kesepakatan para

sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam), ketika para ahli Al-Qur’an dari kalangan

sahabat banyak yang gugur dalam pertempuran Yamamah di mana dikhawatirkan Al-

Qur’an akan lenyap di tengah umat.

5 Al-Imam Ibnul Qayyim rahimahullahu telah berpanjang lebar dalam menjelaskan

kaidah tersebut beserta contoh-contohnya, sebagaimana pada hal. 3-50.

6 Al-Aziz adalah sebutan bagi raja Mesir, secara harfiah berarti yang mulia.

Sedangkan namanya adalah Ar-Rayyan bin Al-Walid. Silakan lihat pembahasan

tentang nama Raja Mesir di masa Nabi Yusuf ‘alaihissalam pada rubrik Tafsir edisi

ini. –red

Demi Suara, Apapun Dilakukan Oleh Al-Ustadz Abulfaruq Ayip Syafruddin

Menjelang pemilu, berbagai wilayah di Republik Indonesia ini diwarnai berbagai

atribut partai. Mereka –para peserta pesta demokrasi– berlomba memajang

anggota partainya untuk dipilih rakyat. Mereka berlomba meraup suara sebanyak

mungkin agar bisa meloloskan anggota partainya menduduki kursi jabatan yang

diperebutkan.

Di antara peserta pesta demokrasi itu, terdapat partai-partai yang mengusung

nama Islam. Mereka masih berkeyakinan bahwa sentimen agama masih menjadi

komoditas yang laik jual. Meskipun senyatanya, kesantunan beragama terkadang

tidak melekat dalam pergaulan mereka. Tak sedikit yang berlaga sehingga saling

menyerang, baku tikai hanya karena beda partai. Tak sedikit pula yang membujuk

rayu masyarakat dengan uang, kaos, atau fasilitas lainnya dengan maksud

masyarakat memilihnya. Ini yang sering dimunculkan sebagai isu-isu untuk

meruntuhkan partai lawan.

Seperti apa wajah partai Islam sekarang? Atau, sebelum pertanyaan ini

disodorkan, perlu dipertanyakan terlebih dulu: Adakah partai Islam itu? Partai-

partai “Islam” (dalam tanda kutip) cukup variatif. Baik dari sisi konstituen (para

pendukung) maupun dari sisi visi yang menjadi dasar perjuangan mereka.

Di antaranya ada yang secara tegas menyatakan diri sebagai partai berazas Islam,

berjuang untuk menegakkan hukum Islam ke dalam perundang-undangan

Page 33: Kumpulan Artikel Majalah Asy Syariah Edisi PEMILU (PENTING)

Indonesia. Dalam sejarah kepartaian setelah Indonesia merdeka, partai yang

memiliki garis perjuangan seperti itu bisa ditemukan pada Partai Masyumi.

Bagaimana dengan partai-partai “Islam” masa pascareformasi? Sungguh, partai-

partai yang ada sekarang masih sulit untuk disejajarkan dengan Partai Masyumi

yang dulu. Walau dengan tingkat “soliditas” yang tinggi dan “handal”, toh dalam

pentas sejarah kepartaian, Masyumi masih bisa dijegal kalangan nasionalis sekuler

dan kalangan komunis. Perjuangan untuk menegakkan syariat Islam melalui

sistem demokrasi kepartaian pun kandas. Presiden Soekarno saat itu menekan

Masyumi untuk bubar melalui Keputusan Presiden No. 200/1960. Maka, tidak

kurang dari sebulan setelah Keputusan Presiden tersebut, pada tanggal 13

September 1960 Partai Masyumi menyatakan membubarkan diri. Pembubaran diri

ini dilakukan setelah Presiden mengancam akan menjadikannya sebagai partai

terlarang jika tidak mematuhinya. (Lihat Deliar Noer, Partai Islam di Pentas

Nasional, Kisah dan Analisis Perkembangan Politik Indonesia 1945-1965, hal.

414-415). Itulah klimaks memperjuangkan agama melalui alur demokrasi.

Berupaya membangun dinding, tapi lupa membangun fondasi. Berupaya agar

syariat Islam diberlakukan dalam perundangan, tapi lalai membekali umat dengan

pemahaman Islam yang benar.

Bentuk lainnya, terdapat pula partai-partai yang secara tegas menyatakan bukan

partai Islam, namun memiliki basis massa dan pengurus partai berasal dari tokoh-

tokoh yang dianggap oleh sebagian kalangan sebagai tokoh Islam. Partai-partai ini

oleh sebagian kalangan dianggap memiliki akar sejarah keislaman dan memiliki

ikatan emosional yang kuat dengan ormas-ormas Islam.

Terlepas dari corak yang ada pada partai-partai “Islam” tersebut, tumbuh

keyakinan pada sebagian kalangan bahwa terjun ke gelanggang politik, masuk

dalam sistem demokrasi merupakan bentuk perjuangan menegakkan dakwah.

Berjuang melalui partai-partai “Islam”, menyuarakan aspirasi umat adalah bagian

dari dakwah. Bahkan telah terpatri pada benak sebagian kaum muslimin, bila tidak

turut berjuang melalui partai, maka negara akan dipimpin dan dikuasai kaum

kafir. Umat Islam akan menjadi kelompok marginal (terpinggirkan), tidak berada

dalam arus lingkaran kekuasaan. Seakan-akan keselamatan kaum muslimin hanya

bisa dicapai dengan merebut suara terbanyak pada pesta demokrasi. Padahal Allah

Subhanahu wa Ta’ala telah berfirman:

و�� ا_ ا� ?�� ءا�';ا �'�'<M���و I�%�N �� ��? �F. I ا��رض آ�� ا��c%1 ا� 'D%c�IM و��%;ا ا�� ��=�ت ���k F �آ;نU� �� F',أ�'� 2���و I�.;8 �2 �� I� �I و����>�'� Kr�ي ار? �� و�� آD� 2� ذ�+ ��I د�'�I ا� .�و�+ هI ا9��D�;ن“Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan

mengerjakan amal-amal yang shalih bahwa Dia sungguh-sungguh akan

menjadikan mereka berkuasa di bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-

orang yang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi

mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan

menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka berada dalam ketakutan menjadi

aman sentosa. Mereka tetap menyembah-Ku dengan tiada mempersekutukan

sesuatu apapun dengan Aku. Dan barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah (janji)

itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik.” (An-Nur: 55)

Abul Fida Ismail Ibnu Katsir rahimahullahu menuturkan, inilah janji Allah

Subhanahu wa Ta’ala kepada Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sungguh,

Allah Subhanahu wa Ta’ala akan menjadikan umat-Nya sebagai khalifah di muka

bumi. Maksudnya, Allah Subhanahu wa Ta’ala akan menjadikan umat-Nya

sebagai pemimpin-pemimpin masyarakat dan penguasa mereka. Sungguh, benar-

Page 34: Kumpulan Artikel Majalah Asy Syariah Edisi PEMILU (PENTING)

benar Allah Subhanahu wa Ta’ala akan mengganti rasa takut menjadi situasi yang

penuh rasa aman dan (tegaknya) hukum. Allah Yang Mahasuci dan Mahatinggi

telah membuktikan janji itu dan milik-Nya lah segala puji. Saat Rasulullah

Shallallahu ‘alaihi wa sallam belum meninggal dunia, Allah Subhanahu wa Ta’ala

telah membukakan kemenangan kepada kaum muslimin dengan Fathu Makkah,

Khaibar, Bahrain, dan seluruh Jazirah Arab serta bumi Yaman secara total. Jizyah

(upeti) telah bisa diperoleh dari kalangan Majusi Hajar, sebagian pinggiran Syam.

Para raja mengajukan deklarasi damai kepada beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Di antaranya Raja Heraklius, Romawi, penguasa Mesir dan Iskandariyah yaitu

Muqauqus, Raja Oman, Raja An-Najasyi di Habasyah yang memerintah setelah

Ashimah rahimahullahu. Kemudian, kala beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam

telah wafat, Allah Subhanahu wa Ta’ala memilih pengganti beliau dengan Abu

Bakr Ash-Shiddiq radhiyallahu ‘anhu. Semasa pemerintahannya, Abu Bakr Ash-

Shiddiq radhiyallahu ‘anhu mengirim pasukan di bawah komando Khalid bin

Walid radhiyallahu ‘anhu ke Persia. Kemenangan pun diperoleh, Persia

ditaklukkan dan sebagian tentaranya dibunuh. Abu Bakr Ash-Shiddiq radhiyallahu

‘anhu pun mengutus pasukan di bawah pimpinan Abu Ubaidah radhiyallahu ‘anhu

ke wilayah Syam. Juga mengirim sahabat Amr bin Al-’Ash radhiyallahu ‘anhu

beserta pasukannya ke Mesir. Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan

kemenangan kepada pasukan kaum muslimin di Syam, berhasil pula menguasai

Bashrah, Damaskus, dan yang tersisa adalah sebagian negeri Hauran. Sepeninggal

Abu Bakr Ash-Shiddiq radhiyallahu ‘anhu, muncul Umar Al-Faruq radhiyallahu

‘anhu. Beliau menegakkan pemerintahan secara paripurna, yang belum ada

tandingannya dalam sejarah –setelah para nabi– dalam hal kekokohan, kekuatan,

dan keadilannya yang sungguh sempurna. Dalam masa pemerintahannya, wilayah

Syam dikuasai secara total, beberapa wilayah Mesir lainnya, dan sebagian besar

wilayah Persia pun berhasil dikuasai. Begitu pula dengan kekaisaran Kisra,

berhasil ditaklukkan dan direndahkan serendah-rendahnya. Raja Kisra lari hingga

terusir. Nasib serupa pun menimpa Raja Romawi. Kerajaannya berhasil

diruntuhkan, hingga terlepas kekuasaannya di negeri Syam dan dia lari menuju

Konstantinopel. Kemudian saat masa Daulah Utsmaniyah, kekuasaan kaum

muslimin semakin melebar dari Timur hingga belahan Barat bumi. Wilayah

Maghribi berhasil dikuasai hingga batas ujung yaitu Andalusia, Qabras (Cyprus),

negeri Qairawan dan Sabtah yang terletak sekitar Laut Atlantik. Dari arah timur

hingga ke negeri Cina. (Lihat Tafsir Ibnu Katsir saat menjelaskan ayat di atas,

3/366)

Demikianlah fakta sejarah. Lantaran kekokohan iman, kebersihan aqidah,

ketulusan beramal shalih, Allah Subhanahu wa Ta’ala menampakkan janjinya.

Kata Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullahu, pertolongan Allah

Subhanahu wa Ta’ala bisa diperoleh dengan mengikuti syariat-Nya dan bersabar

(dalam menjalankannya). Sebagaimana firman-Nya:

�� ا� ?�� ءا�';اG��أ� IM��اNأ &<�w�و Iإن �'��وا ا_ �'��آ “Wahai orang-orang yang beriman, jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya

Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu.” (Muhammad: 7)

Ini sebagaimana tersebut dalam pernyataan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa

sallam kepada Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhuma:

ا�hD ا_ �=dD+، ا�hD ا_ �R� t�R�ه+“Jagalah (hukum-hukum) Allah, niscaya Allah akan menjagamu. Jagalah (hukum-

hukum) Allah niscaya akan engkau dapati Dia di depanmu.” (HR. At-Tirmidzi no.

Page 35: Kumpulan Artikel Majalah Asy Syariah Edisi PEMILU (PENTING)

2516, dishahihkan Asy-Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani dalam Shahih

Al-Jami’, no. 7957)

Maka, barangsiapa menjaga Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan menjaga agama-

Nya, bersikap istiqamah, saling menasihati dan bersabar atasnya, kelak Allah

Subhanahu wa Ta’ala akan menolongnya, mengokohkannya atas musuh-

musuhnya serta menjaganya dari tipu daya musuhnya. Allah Subhanahu wa Ta’ala

berfirman:

��'�v��ا ��, �'�%� �Q9� وآ�ن “Dan Kami selalu berkewajiban menolong orang-orang yang beriman.” (Ar-Rum:

47)

Nampak, betapa keberhasilan yang gilang-gemilang dari generasi utama umat ini

karena ketaatan, ketundukan, dan ketulusan mereka dalam menetapi perintah

Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka

adalah generasi yang senantiasa ittiba’ (mengikuti) apa yang dicontohkan

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Inilah kunci keberhasilan mereka.

Dengan pertolongan Allah Subhanahu wa Ta’ala, mereka berhasil menguasai dan

memimpin di berbagai belahan dunia. Ke sanalah mesti merujuk. Merekalah yang

patut untuk diteladani. Bukan mengikuti langkah-langkah yang telah dicanangkan

secara sistematik oleh orang-orang kafir, musuh-musuh Islam. Ketika menukil

ayat:

و�� ��;ل ا_ .إ, �� و��IMG ا_ ور�;B� وا� ?�� ءا�';ا ا� ?�� 9���;ن ا�� %�ة وv��;ن ا�7 آ�ة وهI راآ2;ن ا_ هI ا�x���;ن ور�;B� وا� ?�� ءا�';ا .-ن �7ب“Sesungguhnya penolong kamu hanyalah Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang

beriman, yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat, seraya mereka tunduk

(kepada Allah). Dan barangsiapa mengambil Allah, Rasul-Nya dan orang-orang

yang beriman menjadi penolongnya, maka sesungguhnya pengikut (agama) Allah

itulah yang pasti menang.” (Al-Ma’idah: 55-56)

Asy-Syaikh Muhammad bin Abdillah Al-Imam menyatakan: “Perhatikan, Allah

Subhanahu wa Ta’ala telah menjanjikan kemenangan kepada orang-orang yang

beriman atas musuh-musuh Allah Subhanahu wa Ta’ala setelah menyebutkan

kaidah (prinsip) keimanan, yaitu sikap wala’ (loyalitas) yang kokoh kepada Allah

Subhanahu wa Ta’ala, Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan orang-orang

yang beriman. Sikap wala’ (loyalitas) ini diiringi pula dengan sikap berlepas diri

secara total dari musuh-musuh (Allah Subhanahu wa Ta’ala).” (Tanwir Azh-

Zhulumat, hal. 49)

Maka, apa yang akan terjadi jika perjuangan menegakkan Islam tanpa

mengindahkan prinsip-prinsip keimanan? Bahkan prinsip-prinsip tersebut dinjak-

injak dan dicampakkan demi meraup suara pada pemilu. Wallahul Musta’an.

Bila ditelaah secara cermat, sejauh mana kerusakan yang ditimbulkan akibat

mengikuti sistem demokrasi ini, bagaimana sikap para aktivis partai “Islam”

setelah mereka berkubang di lumpur demokrasi, maka sudah bukan satu hal yang

asing bila terdengar lontaran-lontaran pemikiran aneh dan ganjil dari para politisi

partai “Islam”. Dari sekian banyak “Islam”, ada partai “Islam” yang memimpikan

keadilan dan kesejahteraan masyarakat, menggeser haluan perjuangan partainya.

Menjelang Pemilu 1999 misalnya, Dewan Syariah partai “Islam” ini, selaku

lembaga yang bertugas membuat putusan agama untuk anggota dan simpatisan

partai, mengeluarkan seruan kepada kader dan pendukungnya agar tak terjebak

dalam kesibukan mencari pemilih. Sebab, partai ini didirikan bukan untuk

mengejar kekuasaan, tapi guna kepentingan dakwah. Jelang Pemilu 2004, Dewan

Syariah partai “Islam” ini mengeluarkan seruan, yang terpenting dilakukan aktivis

Page 36: Kumpulan Artikel Majalah Asy Syariah Edisi PEMILU (PENTING)

kader partainya adalah mengajak orang sebanyak-banyaknya memilih partai

“Islam” ini. Soal dakwah urusan kemudian. Partai “Islam” ini pun mengalami

perubahan dari sebuah partai idealis menjadi pragmatis. Tak heran, bila kemudian

muncul pernyataan dari Wakil Sekjen Partai tersebut, bahwa partainya siap

menerima anggota non-muslim untuk dijadikan anggota DPR dari partai “Islam”-

nya. Bahkan, dikatakannya, bahwa partainya siap berkoalisi dengan partai apapun

dan lembaga manapun. Menghadapi Pemilu 2009 ini, Sekjen partai “Islam” ini,

saat acara temu muka Tim Delapan partai “Islam” ini dengan sejumlah tokoh non-

muslim Makassar, menyatakan bahwa untuk memenuhi target suara 20% dalam

Pemilu 2009, partai “Islam” ini berhasrat merangkul semua suku maupun agama.

Begitulah pergeseran perilaku politik partai yang didirikan para aktivis bercorak

pemahaman Ikhwanul Muslimin.

Pergeseran perilaku politik telah mengubah sikap beragama. Idealisme

memperjuangkan tegaknya syariat Islam, luntur tercelup kepentingan-kepentingan

sesaat. Adagium (pepatah) dalam politik: “Tidak ada lawan atau kawan abadi,

yang ada adalah kepentingan abadi” benar-benar diterapkan. Menukil pernyataan

Asy-Syaikh Muhammad bin Abdillah Al-Imam, satu dari sekian banyak

kerusakan mengikuti pemilu yaitu tamyi’ al-wala’ wal bara’ (lunturnya sikap

loyalitas terhadap al-haq dan ahlul haq, serta berlepas diri dari kebatilan dan

pengusungnya). (Lihat Tanwir Azh-Zhulumat hal. 49)

Seorang kafir akan dijadikan teman seiring dalam perjuangan karena

menunjukkan sikap loyalitas terhadap partai. Sedangkan seorang muslim yang

taat, karena ketaatannya kepada syariat Allah Subhanahu wa Ta’ala, ia tidak

dihiraukannya. Bahkan, bisa jadi seorang muslim tadi disikapi sebagai lawan

dengan tingkat permusuhan yang tajam lantaran mengkritisi cara perjuangan

berpartai. Padahal Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

و�� ��;ل ا_ .إ, �� و��IMG ا_ ور�;B� وا� ?�� ءا�';ا ا� ?�� 9���;ن ا�� %�ة وv��;ن ا�7 آ�ة وهI راآ2;ن ور�;B� وا� ?�� ءا�';ا .-ن �7ب ا_ هI ا�x���;ن“Sesungguhnya penolong kamu hanyalah Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang

beriman, yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat, seraya mereka tunduk

(kepada Allah). Dan barangsiapa mengambil Allah, Rasul-Nya dan orang-orang

yang beriman menjadi penolongnya, maka sesungguhnya pengikut (agama) Allah

itulah yang pasti menang.” (Al-Ma’idah: 55-56)

Firman-Nya:

�ر ر��DM�ا K%� اء �kأ B2� ��? � ر�;ل ا_ وا��=�I� �ء �'“Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengannya

adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka.”

(Al-Fath: 29)

Selain itu, seseorang, partai atau jamaah yang terjerembab ke dalam kubangan

lumpur demokrasi, maka jerat-jerat aturan perundangan akan mengikatnya. Dia

harus tunduk dengan segala perundangan yang ada walau perundangan tersebut

menyelisihi syariat. Peraturan yang mengharuskan setiap partai mengajukan calon

legislatif dengan komposisi (keterwakilan) 30% harus wanita, tentu bukan semata

aturan untuk partai peserta pemilu. Peraturan ini harus dilihat pula sebagai bentuk

kemenangan para pejuang emansipasi wanita. Sedangkan agenda tersembunyi dari

program emansipasi yaitu merobek hijab muslimah dan mengeluarkan kaum

muslimah dari tradisi Islam. Bila kaum muslimah sudah duduk di kursi legislatif,

maka koyaklah hijab mereka. Mereka akan bercampur dengan laki-laki yang

bukan mahram, mendedahkan aurat, bebas berpandangan antarlawan jenis dan

keluar rumah dengan sebab yang bukan darurat. Tak cuma itu, akibat mengikuti

Page 37: Kumpulan Artikel Majalah Asy Syariah Edisi PEMILU (PENTING)

sistem demokrasi, maka saat kampanye berlangsung, para wanita turut membaur

di antara peserta kampanye laki-laki. Di manakah letak pengamalan terhadap

syariat? Padahal Allah Subhanahu wa Ta’ala telah berfirman:

K�ا��و ) و�� ��� G��� �Zج ا�R�ه%��M�;� F. �نNو “Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan

bertingkah laku seperti orang-orang jahiliah yang dahulu.” (Al-Ahzab: 33)

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

��'� ��l �� � إ���� و�� ����� ز�'��Z�و. �dD=�و وv�%� XN�'�ت rrx�� �� أ��ره�“Katakanlah kepada wanita yang beriman: ‘Hendaklah mereka menahan

pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka

menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak daripadanya’.” (An-

Nur: 31)

Pemilihan terhadap wanita untuk menduduki jabatan yang memiliki tanggung

jawab dalam kepemimpinan umat, masuk dalam kategori hadits Abu Bakrah

radhiyallahu ‘anhu:

�� N �%D�;م و� ;ا أ��هI ا��أة“Tidak akan beruntung satu kaum (bangsa) yang menyerahkan kepemimpinannya

kepada seorang wanita.” (HR. Al-Bukhari no. 4425)

Apa yang dilakukan partai-partai “Islam” kala Megawati dari Partai Demokrasi

Indonesia Perjuangan (PDIP) maju mencalonkan diri menjadi Presiden? Partai-

partai “Islam” nyaring menyuarakan penentangannya. Menjelang Pemilu 1999

kala itu diwarnai persaingan antara kalangan Islam dengan nasionalis sekuler.

Partai-partai “Islam” berupaya menjegal Megawati untuk duduk di kursi RI-1.

Mereka menggunakan banyak cara, termasuk mencari justifikasi (pembenaran)

dari agama bahwa Islam melarang wanita menjadi kepala negara.

Setelah melebur dalam ‘poros tengah’, partai-partai “Islam” mengusung nama Gus

Dur untuk dicalonkan menjadi Presiden. Upaya ‘poros tengah’ berhasil. Gus Dur

menduduki kursi presiden. Namun, kala kinerja Gus Dur morat-marit, ‘poros

tengah’ yang didukung partai-partai “Islam” menarik dukungannya kepada Gus

Dur. Akhirnya, Gus Dur makzul, lengser dari kursi presiden. Penggantinya adalah

Megawati. Posisi Megawati menguat karena mendapat dukungan partai-partai

“Islam”.

Dulu, partai-partai “Islam” sekuat tenaga menjegal Megawati jadi presiden, tapi

setelah itu berbalik mendukungnya. Dalil agama yang melarang wanita jadi kepala

negara pun sirna. Tak terdengar lagi gaungnya. Nyata, pernyataan boleh tidaknya

wanita jadi kepala negara hanya retorika politik. Para politisi, termasuk dari

partai-partai “Islam”, telah melakukan politisasi agama guna memperoleh

dukungan kalangan Islam. Agama akan dijunjung sedemikian rupa manakala

menguntungkan para politisi atau partai. Namun ketika agama tidak bisa atau

menghambat perolehan suara atau kedudukan partai dan politisi, maka agama itu

pun dicampakkan.

Kasus yang nyaris sama terjadi pada sebuah partai “Islam”. Partai satu ini pernah

dituding sebagai partai anti tahlilan dan yasinan. Melihat latar belakang

pendidikan keagamaan para kader partai “Islam” ini, tudingan seperti itu tidak

bisa secara mutlak disalahkan. Artinya, kalau para kader partai “Islam” ini mau

jujur, praktik acara tahlilan dan yasinan bukan merupakan tradisi keagamaan yang

dianut dan diyakini para kader partai “Islam” ini sebagai sesuatu yang benar.

Tahlilan dan yasinan bukan materi yang diajarkan kepada kader-kader partai

“Islam” ini di halaqah-halaqah tarbiyah mereka. Bahkan, kalau mereka mau jujur,

Page 38: Kumpulan Artikel Majalah Asy Syariah Edisi PEMILU (PENTING)

justru ritual tahlilan dan yasinan dinilai (oleh para kader partai “Islam” ini)

sebagai bid’ah.

Masalahnya, mengapa tudingan sebagai partai anti tahlilan dan yasinan dibantah?

Jawaban untuk pertanyaan ini harus kembali kepada kebijakan petinggi partai.

Sebagaimana seruan Dewan Syariah Partai, yang terpenting dilakukan kader

adalah mengajak orang pilih partai “Islam” ini. Adapun dakwah, bisa dilakukan

setelah itu. Target untuk menggapai perolehan suara sebanyak-banyaknya telah

melunturkan idealisme keagamaan. Orientasi kekuasaan telah menjadikan lidah

para kader kelu untuk menyuarakan kebenaran yang telah diyakininya. Bahkan

yang ekstrem, untuk memupus partai “Islam” ini sebagai partai anti tahlilan dan

yasinan, Ketua Majelis Syura sering memimpin tahlilan, yasinan, dan menghadiri

peringatan Maulid Nabi. Ini disampaikan di hadapan para kader partai yang salah

satu unsur lambangnya dua bulan sabit mengapit padi tersebut saat Mukernas

2008 di Makassar.

Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebut karakteristik umat yang kelak memperoleh

kemenangan dan kejayaan, di antaranya menegakkan amar ma’ruf dan mencegah

kemungkaran. Firman-Nya:

IM'� �M� أ� ( ���;ن إK� اc��� و����ون �2���وف و�'�;ن �� ا��'M� وأو�+ هI اD��%=;ن و�“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada

kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar;

merekalah orang-orang yang beruntung.” (Ali ‘Imran: 104)

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan pula untuk menghapus

kemungkaran. Kata Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, “Saya telah

mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

� B�%9�. z وذ�+ أ123 ا�-���ن�� I� ن-. B,��%�. z ��� I� ن-. t�� t��x�%. �اM'� IM'� رأى �� “Barangsiapa melihat kemungkaran maka ubahlah dengan tangannya. Bila tidak

mampu, (ubahlah) dengan lisannya. Bila tidak mampu, dengan hatinya. Yang

demikian itu selemah-lemah iman.” (HR. Muslim no. 49)

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan pula untuk berkata yang

baik. Bila tak bisa, diam. Bukan lantas membuat pernyataan-pernyataan politis

yang menghasung umat terjatuh pada praktik-praktik bid’ah. Diriwayatkan dari

Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam,

beliau bersabda:

�� آ�ن v��� �_ وا��;م ا%. �8a��X9 8��ا أو ����&“Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka berbicaralah yang

baik atau diam.” (HR. Muslim no. 34)

Demokrasi telah menggiring umat untuk terpaku pada perolehan suara, sementara

ketentuan syariat ditanggalkan. Patutkah yang demikian ini dikategorikan

memperjuangkan Islam dan kaum muslimin? Wallahu a’lam.

Page 39: Kumpulan Artikel Majalah Asy Syariah Edisi PEMILU (PENTING)

Partai Islam Partai Dakwah? Oleh Al-Ustadz Abulfaruq Ayip Syafruddin

Asy-Syaikh Abdussalam bin Barjas rahimahullahu dalam Al-Hujajul Qawiyyah ‘ala

anna Wasa’il Ad-Da’wah Tauqifiyyah menuturkan bahwa dakwah (mengajak

manusia) ke jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah ibadah yang agung. Allah

Subhanahu wa Ta’ala telah memerintahkan hal ini. Mendorong setiap muslim untuk

terjun dalam kancah dakwah. Allah Subhanahu wa Ta’ala menjadikan para pegiat

dakwah sebagai sebaik-baik manusia dalam perkataannya. Mengangkat amalan

mereka pada derajat utama. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

�;N ����و�� أ�ا���%� �� F' �� � د�� إK� ا_ و�L X���=� و�Nل إ, � “Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah,

mengerjakan amal yang shalih dan berkata: ‘Sesungguhnya aku termasuk orang-orang

yang berserah diri’?” (Fushshilat: 33)

Ini mengandung pengertian, bahwa tak ada seorang pun yang paling baik

perkataannya daripada orang yang menyeru (berdakwah) ke jalan Allah Subhanahu

wa Ta’ala, beramal dengan apa yang didakwahkannya. Dia menjelaskan secara

gamblang tentang dakwah yang diembannya tanpa malu, jenuh, berat, dan malas.

Bahkan dia katakan: “Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri.”

Seseorang tidak akan merasa tertipu dengan menduduki status sebagai da’i (orang

yang menyeru manusia ke jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala). Sebab, dirinya termasuk

orang yang mewarisi tugas para nabi, yaitu mengajak manusia ke jalan Allah

Subhanahu wa Ta’ala. Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala yang

diwahyukan kepada Penutup dan Imam para nabi:

XN ���آU��و��=�ن ا_ و�� أ,� �� ا F'2� ه?�� t�F% أد�; إK� ا_ �%K ���ة أ,� و�� ا�“Katakanlah: ‘Inilah jalan (agama) ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku

mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata, Maha Suci Allah, dan aku

tiada termasuk orang-orang yang musyrik’.” (Yusuf: 108)

Ayat ini menjadi dalil, sesungguhnya para pengikut Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa

sallam adalah du’at (para penyeru) ke jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Ibnu Katsir

rahimahullahu menyatakan bahwa Alah l berfirman kepada Rasul-Nya Shallallahu

‘alaihi wa sallam: Dia memerintahkannya agar mengabarkan kepada segenap manusia

bahwa jalan ini, yaitu thariqah dan sunnahnya, adalah mendakwahkan kepada

kesaksian “Tiada sesembahan yang berhak diibadahi kecuali Allah saja tiada sekutu

bagi-Nya,” menyeru ke jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan materi dakwah

tersebut berdasar bashirah (hujjah), keyakinan, dan burhan (penjelasan). Dia dan

segenap orang yang mengikutinya mendakwahkan kepada apa yang telah

didakwahkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam atas dasar bashirah, yakin,

burhan, akal, dan syariat. (Tafsir Ibnu Katsir, 2/496)

Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memberi jawaban bahwa selalu akan ada pada umat

ini sekelompok manusia yang menyeru ke jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Kelompok tersebut membimbing manusia kepada kebaikan, memerintahkan mereka

dengan kebaikan tersebut, memperingatkan segenap manusia dari keburukan dan

mencegah mereka untuk melakukan keburukan tersebut. Allah Subhanahu wa Ta’ala

berfirman:

و��IM'� �M أ� ( ���;ن إK� اc��� و����ون �2���وف و�'�;ن �� ا��'M� وأو�+ هI اD��%=;ن“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada

kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar;

merekalah orang-orang yang beruntung.” (Ali ‘Imran: 104)

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman pula:

Page 40: Kumpulan Artikel Majalah Asy Syariah Edisi PEMILU (PENTING)

�F هF أ��� �� I� ادع إ�� K��X ر>+ ��=M�( وا��;d�( ا�=�'( و�Zد�“Serulah (manusia) kepada jalan Rabbmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik

serta bantahlah mereka dengan cara yang baik.” (An-Nahl: 125)

Bersandar pada ayat di atas, para ulama rahimahumullah menjelaskan bahwa

berdakwah, mengajak manusia ke jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala dihukumi fardhu

kifayah. Wajib atas sekelompok dari kalangan kaum muslimin untuk menegakkannya

di setiap zaman dan tempat. Jika tidak ada yang menegakkannya sama sekali, maka

mereka semua berdosa. (Majmu’ Al-Fatawa, 15/165)

Allah Subhanahu wa Ta’ala sungguh telah menyediakan pahala yang besar dan

balasan nan melimpah bagi siapa yang menegakkan perkara dakwah ini. Dalam Ash-

Shahihain, dari hadits Sahl bin Sa’d radhiyallahu ‘anhu, sungguh Nabi Shallallahu

‘alaihi wa sallam berbicara kepada Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu:

I2 وا_ ��ن ���ي ا_ + رZ%� وا��ا 8�� �+ �� ��� ا�'“Demi Allah, sungguh jika Allah memberi petunjuk kepada seseorang lantaran

engkau, itu lebih baik bagimu daripada (engkau mendapat) unta merah.”

Unta merah adalah sebaik-baik harta di kalangan orang Arab waktu itu.

Dalam Shahih Muslim (no. 2674) dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

� � B2�� �� ر;Zأ Xw� �Z��ا �� B� ه�ى آ�ن K�د�� إ �� B�%� 3%��( آ�ن K�و�� د�� إ ��k Iره;Z9� �� أ'��k I���J} �� +�9� ذ'� � B2�� �� م�J} Xw� IJ-�ا �� “Barangsiapa menyeru (mengajak) kepada petunjuk, baginya pahala sebagaimana

pahala orang yang mengikutinya, tidak berkurang pahala mereka sedikitpun. Dan

barangsiapa yang menyeru (mengajak) kepada kesesatan, atasnya dosa semisal dosa

orang yang mengikutinya tanpa mengurangi demikian itu dari dosa mereka

sedikitpun.”

Juga disebutkan dalam Shahih Muslim, hadits dari Abu Mas’ud Al-Anshari

radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

B%��. �Zأ Xw� B%. ��8 K%� �� دل“Barangsiapa yang menunjukkan kebaikan, maka dia mendapatkan pahala seperti

pahala orang yang melakukan kebaikan tersebut.”

Demikianlah Asy-Syaikh Abdussalam bin Barjas rahimahullahu mengungkapkan

keutamaan dakwah, mengajak manusia untuk senantiasa berada di atas jalan Allah

Subhanahu wa Ta’ala. Berada dalam ketaatan kepada-Nya, meninggalkan segala

perkara yang dilarang-Nya. Dakwah adalah ibadah. Karenanya, dakwah dengan

sarana-sarana yang mengantarkan kepada tujuannya adalah bersifat tauqifiyah (sebuah

ketetapan yang diatur syariat). Bukan perkara yang semua orang bebas melontarkan

pemikiran dan pendapatnya hanya lantaran dia melihat sesuatu yang dia anggap

sebagai maslahat padanya. Islam tak semata mengarah kepada tujuan, namun Islam

mengatur pula bagaimana (atau dengan cara apa) sebuah tujuan itu harus dicapai.

Untuk menggapai tujuan, Islam melarang menghalalkan segala cara.

Menurut Asy-Syaikh Abdussalam bin Barjas rahimahullahu, tujuan menghalalkan

segala cara ()%��;����ر ا )��x�ا) merupakan kaidah pemahaman Yahudi. Allah Subhanahu

wa Ta’ala berfirman:

t�8�وا ءاDر واآ�� ��ب ءا�';ا �� ?ي أ,7ل �%K ا� ?�� ءا�';ا وBZ ا�'M�ا Xأه �� )DY�s &��N2;ن وZ�� I� %2� “Segolongan (lain) dari Ahli Kitab berkata (kepada sesamanya): ‘Perlihatkanlah

(seolah-olah) kamu beriman kepada apa yang diturunkan kepada orang-orang beriman

(sahabat-sahabat Rasul) pada permulaan siang dan ingkarilah ia pada akhirnya,

supaya mereka (orang-orang mukmin) kembali (kepada kekafiran)’.” (Ali ‘Imran: 72)

Contoh kasus penerapan kaidah Yahudi ini yaitu diperbolehkan seseorang memasuki

gelanggang (menjadi anggota) “parlemen kafir” dengan tujuan berdakwah (mengajak

Page 41: Kumpulan Artikel Majalah Asy Syariah Edisi PEMILU (PENTING)

manusia ke jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala, memperbaiki masyarakat dan negara).

Sama halnya dengan menjadikan tarian dan nyanyian sebagai wasilah (perantara atau

alat) dakwah di jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Ini merupakan bentuk-bentuk

aplikasi dari kaidah “tujuan menghalalkan segala cara.” (Lihat Al-Hujajul Qawiyyah,

hal. 44-45)

Hal yang sama dinyatakan pula oleh Asy-Syaikh Muhammad bin Abdillah Al-Imam

hafizhahullah, bahwa pemilu adalah wasilah (sarana) yang diharamkan. Wasilah ini,

katanya lebih lanjut, adalah wasilah yang haram bila didalami dan dikaitkan dengan

satu kaidah yang disebut:

ا�x��( ���ر ا�;��%(“Tujuan menghalalkan semua cara.”

Kaidah tersebut merupakan kaidah Zionis Yahudi. Allah Subhanahu wa Ta’ala

berfirman:

Zءا�';ا و ��? ��ب ءا�';ا �� ?ي أ,7ل �%K ا�M�ا Xأه �� )DY�s &��N2;نوZ�� I� %2� t�8�وا ءاDر واآ�� B ا�'“Segolongan (lain) dari Ahli Kitab berkata (kepada sesamanya): ‘Perlihatkanlah

(seolah-olah) kamu beriman kepada apa yang diturunkan kepada orang-orang beriman

(sahabat-sahabat Rasul) pada permulaan siang dan ingkarilah ia pada akhirnya,

supaya mereka (orang-orang mukmin) kembali (kepada kekafiran)’.” (Ali ‘Imran: 72)

Kata beliau hafizhahullah, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah

mengharamkan membangun kuburan (mendirikan bangunan di atas kuburan), karena

hal itu bisa mengantarkan kepada perbuatan syirik. Begitu pula halnya, Allah

Subhanahu wa Ta’ala mengharamkan mendekati kemaksiatan karena hal itu bisa

mengantarkan seseorang terjatuh padanya. Juga, Allah Subhanahu wa Ta’ala

mengharamkan mencela sesembahan orang-orang musyrik karena perbuatan itu bakal

memancing mereka melakukan celaan terhadap Allah Subhanahu wa Ta’ala. Firman-

Nya:

I%� ��x ا ا_ ��وا;G���. _ن �� دون ا;��� ��? و�� G���;ا ا�“Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain

Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa

pengetahuan.” (Al-An’am: 108) [Lihat Tanwir Azh-Zhulumat, hal. 65-66)

Maka, sungguh hal yang aneh dan ganjil bila ada fatwa yang mengharamkan golput

(tidak mengikuti pemilu). “Wajib bagi bangsa Indonesia untuk memilih pemimpin.

Kalau yang dipilih ada, namun tidak dipilih menjadi haram,” ujar Wakil Ketua

Komisi Fatwa MUI Pusat saat menjelaskan hasil Ijtima’ Ulama Fatwa III MUI di

Padangpanjang, Sumbar. Bagaimana mungkin memunculkan pemimpin dilakukan

dengan cara-cara yang haram? Bukankah berpartai dan pemilu merupakan rangkaian

dari sebuah sistem demokrasi1? Bukankah berpartai dan pemilu merupakan wasilah

yang diharamkan? Ini sama dengan orang bersuci tapi menggunakan air najis.

Demikian pula dengan pemikiran yang mengusung pemahaman bahwa partai

merupakan sarana atau “kendaraan” menyampaikan dakwah. Dari pemahaman ini

mencuatlah istilah “Partai Dakwah.” Maknanya, partai politik yang mengemban

amanat dakwah dan menyalurkan aspirasi politik kaum muslimin.

Fakta di lapangan, masyarakat yang bersifat heterogen tentu tidak akan mau

menerima kehadiran kader partai yang menyampaikan dakwah, menyitir ayat Al-

Qur’an dan hadits, yang menggiring masyarakat untuk mendukung partainya. Fakta di

lapangan, banyak masjid menolak kehadiran mubaligh yang berceramah mengarahkan

pendengarnya untuk memilih partai tertentu. Fenomena ini menunjukkan bahwa

masyarakat menghendaki dakwah yang murni. Dakwah yang mengajarkan

pemahaman agama yang lurus dam benar. Bukan dakwah yang diwarnai oleh

Page 42: Kumpulan Artikel Majalah Asy Syariah Edisi PEMILU (PENTING)

kepentingan-kepentingan partai, meskipun partai tersebut mengusung diri sebagai

“partai dakwah” yang memimpikan keadilan dan kesejahteraan.

Pemikiran yang menjadikan partai sebagai alat dakwah, perjuangan menegakkan

syariat Islam, tak cuma di Indonesia. Di Mesir, melalui gerakan Ikhwanul Muslimin,

tujuan meperjuangkan Islam melalui jalur politik hingga kini tiada membuahkan hasil.

Di Pakistan dengan Jamaat Islami, juga tak bisa meraih suara seperti yang diharapkan.

Di Sudan, di bawah pimpinan Hasan At-Turabi, berhasil memenangkan pemilu. Akan

tetapi, dakwah melalui jalur politik justru malah membuahkan wakil presiden dari

kalangan Nasrani. Tak hanya itu, Hasan At-Turabi pun melegalkan pemurtadan (lihat

Asy Syariah no. 16/II/1426H/2005).

Di Yaman, Abdulmajid Az-Zindani menjadi salah satu mesin penggerak demokrasi.

Melalui media yang ada, dia menyerukan kaum muslimah untuk terjun dalam dunia

politik. Meski untuk hal itu terjadi banyak pelanggaran syariat. (Lihat Tuhfatul Mujib

‘ala As’ilatil Hadhiri wal Gharib, Bab Az-Zindani wa Majlis Asy-Syaikhat bil

Yaman, hal. 417, karya Asy-Syaikh Muqbil bin Hadi rahimahullahu)

Di Aljazair malah lebih menyedihkan. Pemilu yang telah dimenangkan partai Islam

berakhir dengan tragedi berdarah. Kaum muslimin dihantui ketakutan. Dakwah pun

selalu dicurigai bahkan dihalangi pihak penguasa.

Demikianlah bila kaum muslimin menjadikan sistem demokrasi sebagai panglima.

Alih-alih bakal memberi kebaikan, ternyata memberi mudarat yang luar biasa kepada

kaum muslimin. Banyak yang mengira sistem demokrasi bisa memberikan kebaikan

bagi kaum muslimin. Senyatanya, justru meruntuhkan nilai-nilai Islam. Allah

Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

�I ���ات إن ا_ أ.�� ز�>��%� +�D, Hه?� B� �;ء ��%t}�. B ��'� .-ن ا_ �U� �� GXr�ء و���ي �� �U�ء . �%�I �� ��'2;ن

“Maka apakah orang yang dijadikan (setan) menganggap baik pekerjaannya yang

buruk lalu dia meyakini pekerjaan itu baik, (sama dengan orang yang tidak ditipu oleh

setan)? Maka sesungguhnya Allah menyesatkan siapa yang dikehendaki-Nya dan

menunjuki siapa yang dikehendaki-Nya; maka janganlah dirimu binasa karena

kesedihan terhadap mereka. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka

perbuat.” (Fathir: 8)

Kata Asy-Syaikh Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i rahimahullahu, “Apakah makna

demokrasi? Demokrasi bermakna rakyat menghukumi dirinya dengan dirinya sendiri.

Seandainya (melalui pemungutan suara) menghasilkan suara (terbanyak) bahwa

homoseksual itu halal, niscaya hasil suara tersebut akan didahulukan daripada Al-

Kitab dan As-Sunnah.” (Tuhfatul Mujib, hal. 431)

Sungguh naif sekali jika untuk menentukan kebenaran, halal-haram, baik-jelek,

dengan cara pengumpulan suara. Padahal Allah Subhanahu wa Ta’ala telah berfirman:

���� �� ا����,;M� ا�=Gq �� ر>+ .“Kebenaran itu adalah dari Rabbmu, sebab itu jangan sekali-kali kamu termasuk

orang-orang yang ragu.” (Al-Baqarah: 147)

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

�I �� أ,7ل'� IM�وأن ا I%��. ا; �';ك �� 2| �� أ,7ل ا_ إ��+ .-ن �;�D� أن Iوا�?ره Iأه;اءه z� �� �ا_ و�Rه%� ( x��;ن و�� أ��� �� ا_ أ.=IM ا� .أ, �� ���� ا_ أن �����I 2�| ذ,;�I وإن آw��ا �� ا�' �س 9��D�;ن �M�� 9�;م �;N';ن

“Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang

diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. Dan berhati-

hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebagian

apa yang telah diturunkan Allah kepadamu. Jika mereka berpaling (dari hukum yang

telah diturunkan Allah), maka ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah menghendaki

Page 43: Kumpulan Artikel Majalah Asy Syariah Edisi PEMILU (PENTING)

akan menimpakan musibah kepada mereka disebabkan sebagian dosa-dosa mereka.

Dan sesungguhnya kebanyakan manusia adalah orang-orang yang fasik. Apakah

hukum jahiliah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik

daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?” (Al-Ma’idah: 49-50)

Sebagian mereka berpendapat, jika mereka menguasai perolehan suara dan berhasil

meraih kursi mayoritas di DPR atau berhasil merebut kursi kepemimpinan negara

dalam pemilu, niscaya akan bisa ditegakkan syariat Islam. Benarkah?

Para nabi Allah Subhanahu wa Ta’ala berdakwah menyeru umat manusia agar

menetapi tauhid yang lurus. Inilah tugas para nabi. Allah Subhanahu wa Ta’ala

berfirman:

�'�;ا ا� �*;تZر�;�� أن ا���وا ا_ وا ) و �9�F. �'w2 آX> أ�“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk

menyerukan): ‘Sembahlah Allah (saja) dan jauhilah Thaghut itu’.” (An-Nahl: 36)

Para nabi Allah Subhanahu wa Ta’ala, seperti Nuh, Hud, Shalih, dan Syu’aib r

menyeru kaumnya masing-masing dengan ajakan yang sama:

t��* B�إ �� IM� �� _م ا���وا ا;N�� “Wahai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tak ada ilah bagimu selain-Nya.” (Al-

A’raf: 59, 65, 73, 85)

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

�ا ر�;ل ا_�=� ا_ وأن���وا أن � إB� إU� K � أ��ت أن أX��N ا�' �س �“Saya telah diperintah untuk memerangi manusia hingga mereka melakukan

kesaksian bahwa tidak ada Ilah yang berhak disembah kecuali hanya Allah, dan

sesungguhnya Muhammad adalah rasul Allah.” (HR. Al-Bukhari no. 25 dan Muslim

no. 33 dari Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma)

Itulah inti dakwah para nabi Allah Subhanahu wa Ta’ala. Karena dakwah tauhid ini

pula mereka menghadapi tribulasi (berbagai cobaan) dakwah, saat mengajak dan

menyeru manusia ke jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Permusuhan orang-orang kafir

di zamannya bukan karena para nabi Allah Subhanahu wa Ta’ala tersebut merebut

kekuasaan. Bukan pula lantaran hendak mengatur pemerintahan. Tapi, permusuhan

orang-orang kafir itu disebabkan dakwah tauhid.

Sungguh, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah ditawari kekayaan, dibujuk

untuk ditempatkan menjadi orang mulia di kalangan Quraisy, dan ditawari kekuasaan.

Namun, semua bentuk tawaran dari utusan orang-orang Quraisy tersebut beliau tolak.

(Lihat As-Sirah An-Nabawiyyah, 1/206-208, karya Ibnu Hisyam)

Ada sebuah pertanyaan penting untuk dijawab: Mengapa Rasulullah Shallallahu

‘alaihi wa sallam menolak tawaran kekuasaan tersebut? Tak lain karena beliau

Shallallahu ‘alaihi wa sallam tahu –tentunya di bawah bimbingan wahyu– bahwa

tawaran tersebut mengandung berbagai konsekuensi yang bertentangan dengan syariat

Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sistem kekuasaan yang ditawarkan oleh orang-orang

Quraisy tersebut akan menyeret beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan orang-orang

mukminin yang bersamanya ke dalam berbagai pelanggaran terhadap hukum-hukum

Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Dakwah yang beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam sampaikan bukan bertujuan meraup

keduniaan. Bukan untuk mengumpulkan harta kekayaan. Bukan guna menjadi orang

yang paling berkuasa, dan dengan kekuasaan itu beliau lalu bisa mengatur orang-

orang Quraisy. Bukan. Bukan demikian tujuan dakwah yang beliau emban. Tapi

benar-benar dalam rangka mengentaskan umat manusia dari lumpur kesyirikan,

menuju kemurnian tauhid.

Maka, jika menghendaki tegaknya syariat Islam bukan dengan cara menceburkan diri

dalam kubangan lumpur demokrasi. Karena, kemuliaan dakwah nan hakiki tak akan

Page 44: Kumpulan Artikel Majalah Asy Syariah Edisi PEMILU (PENTING)

bisa diusung oleh budak-budak demokrasi. Kemuliaan Islam hanya bisa diraih dengan

meneladani generasi terdahulu dari umat ini, yaitu generasi salaf. Seperti diungkapkan

Al-Imam Malik bin Anas rahimahullahu:

��� �� �%LB أو� �� ��%� {8� ه?t ا��� ( إ“Tidak akan baik (generasi) akhir umat ini kecuali apa (cara/sistem yang) dengannya

telah menjadikan baik (generasi) awal umat ini.”

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menyampaikan bahwa kehinaan bisa

menerpa umatnya manakala agama tidak dijadikan rujukan. Kehinaan itu akan terus-

menerus ada hingga mereka mau kembali mengamalkan nilai-nilai Islam. Hadits Ibnu

Umar radhiyallahu ‘anhuma mengungkapkan pesan tersebut. Sabda Rasulullah

Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

K �� IM'� B�7'� � �Qذ� IM�%� _ا n ��د �%R�ا I�7 رع و��آ�� I�إذا 2�����I �2��'( وأI�?8 أذ,�ب ا9��� ور3�IM'�د K�2;ا إZ�� “Apabila kalian telah disibukkan dengan jual beli riba, kalian mengambil ekor-ekor

sapi, dan senang dengan pertanian, serta meninggalkan jihad, niscaya Allah akan

menimpakan kehinaan kepada kalian. Tak akan dicabut kehinaan tersebut dari kalian

hingga kalian kembali kepada agama kalian.” (HR. Abu Dawud no. 3462,

dishahihkan Asy-Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani dalam Ash-Shahihah no.

11)

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

I��اب أ?� I��'( أو ����. I� .%�=?ر ا� ?�� D��c�;ن �� أt�� أن ����“Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah Rasul takut akan ditimpa

cobaan atau ditimpa azab yang pedih.” (An-Nur: 63)

Sebaliknya, manakala kaum muslimin berpegang teguh dengan syariat Allah

Subhanahu wa Ta’ala, senantiasa menjaga keimanan dan ketakwaan kepada-Nya,

Allah Subhanahu wa Ta’ala akan menurunkan berkah-Nya. Firman-Nya:

�'=�D� 9;ا �I �آ�ت �� ا�� ��ء وا��رض و�; أن أهX ا9��ى ءا�';ا وا��%�

“Jika penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pasti Kami limpahkan kepada

mereka berkah dari langit dan bumi.” (Al-A’raf: 96)2

Jalan keselamatan adalah mengikuti apa yang telah dicontohkan Rasulullah

Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Bukan dengan cara mengambil pemikiran-pemikiran

yang menyelisihi Sunnah Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kata Al-Imam Az-

Zuhri rahimahullahu:

( ,�Rة'G��� ��م� ا���“Berpegang teguh dengan As-Sunnah adalah keselamatan.”

Wallahu a’lam.

1 Pembahasan tentang demokrasi menurut kacamata Islam, bisa pembaca lihat pada

majalah kita ini, Vol. I/No. 06/ Maret 2004/ 1425 H

2 Lihat pula penjelasan Al-Imam Ibnu Katsir rahimahullahu ketika menerangkan ayat

ke-55 dari surah An-Nur, dalam artikel Kajian Utama berjudul Demi Suara, Apapun

Dilakukan.

Page 45: Kumpulan Artikel Majalah Asy Syariah Edisi PEMILU (PENTING)

Demokrasi Adalah Liberalisasi Oleh Al-Ustadz Abulfaruq Ayip Syafruddin

Telah masyhur bahwa pemahaman demokrasi berasal dari masyarakat Yunani Kuno.

Athena, sebagai pusat pemerintahan masyarakat Yunani Kuno, telah membumikan

pemahaman demokrasi pada masyarakatnya. Masyarakat telah dilibatkan langsung

dalam menentukan pemerintahnya melalui penggunaan hak dipilih dan memilih.

Meskipun hak politik ini masih tidak diberlakukan kepada kaum wanita, budak, atau

yang berstatus warga asing. Athena menjadi benih masyarakat yang liberal (yang

memiliki kebebasan) bagi rakyatnya untuk menentukan sendiri pemerintahannya.

Inilah yang diistilahkan dewasa ini dengan masyarakat yang demokratis. Masyarakat

yang warganya memiliki kebebasan untuk menentukan masa depan kehidupan

bangsanya.

Dalam perkembangannya, pemahaman demokrasi diusung oleh beberapa tokoh

pemikir dan filosof. John Locke dalam bukunya Two Treatises of Government (1690)

menyatakan bahwa pemerintah bertugas menjamin hak-hak dasar rakyat, yaitu hak

untuk hidup, hak memiliki, hak berbicara, beragama dan hak kebebasan membuat

opini. Jika pemerintah tak mampu menjaga hak-hak tersebut, rakyat memiliki hak

melakukan revolusi. Di Perancis, sejak tahun 1700-an, tiga filosof terkenal, yaitu

Montesquieu, Rousseau, dan Voltaire juga melontarkan ide-ide kebebasan. Dalam

buku The Spirit of the Laws (1748), Montesquieu membagi kekuasaan negara

menjadi tiga, atau yang dikenal dengan Trias Politika. Yaitu kekuasaan eksekutif,

yudikatif, dan legislatif. Adapun Rousseau dalam buku The Social Contract (1762)

mengungkapkan bahwa pemerintahan merupakan cermin dari kepercayaan rakyatnya.

Sedangkan Voltaire memberikan kecaman terhadap pemerintah yang mengekang

kebebasan rakyatnya. Dari ide-ide dan pemikiran-pemikiran tiga filosof tersebut,

rakyat Perancis melakukan gerakan revolusi. Tahun 1789, Revolusi Perancis meletus

dengan mengusung jargon: liberty (kebebasan), fraternity (persaudaraan), dan equality

(persamaan). Tiga prinsip ini dijadikan kalangan Yahudi sebagai prinsip

Freemasonry, organisasi bawah tanah Yahudi yang mengendalikan lobi Yahudi di

Amerika Serikat. (A New Encyclopedia of Freemasonry, New York, Wing Books,

1996 - Syamsuddin Ramadhan, www.syariahpublications.com)

Setelah usai Perang Dunia I, ide demokrasi laris dianut berbagai negara termasuk

Indonesia. Tokoh-tokoh pergerakan kemerdekaan yang telah mengenyam pendidikan

barat, melansir ide-ide demokrasi tersebut. Ide-ide tersebut dibungkus dengan bahasa

nasionalisme.

Pemahaman demokrasi mulai menggeliat hebat setelah Perang Dunia II. Negara-

negara jajahan banyak yang mendapatkan kemerdekaan, maka model bentuk negara

banyak yang merujuk ke pemikiran para filosof yang mengusung ide-ide demokrasi.

Kemudian pemahaman demokrasi ini tak terbatas pada ranah (bidang) politik, tapi

merambah ke berbagai bidang lainnya. Demokrasi, yang salah satu prinsipnya adalah

liberty (kebebasan), lantas merambah pada bidang ekonomi, sosial, budaya, dan

kewanitaan. Maka, berkembanglah tuntutan untuk memberikan kebebasan kepada

kaum wanita dalam menentukan hak politiknya. Tak mengherankan bila kemudian

wanita beramai-ramai naik ke panggung politik. Tak lagi terikat aturan agama, karena

mereka memiliki kebebasan yang diatur undang-undang. Dengan bahasa lain,

kebebasan yang dilegalkan atas nama negara.

Dalam ranah agama di Indonesia, gagasan-gagasan liberalisasi (yang merupakan salah

satu sendi demokrasi) diusung secara terbuka oleh Nurcholis Madjid pada periode

tahun 1970-an. Yang sebelumnya, bibit-bibit gagasan tersebut disemai oleh Djohan

Page 46: Kumpulan Artikel Majalah Asy Syariah Edisi PEMILU (PENTING)

Effendi dan Ahmad Wahib. Bisa pula dimasukkan nama lain, yaitu Harun Nasution.

Disusul kemudian Abdurrahman Wahid, Syafi’i Ma’arif, Dawam Rahardjo,

Komarudin Hidayat, Ulil Abshar, dan sebagainya. Tendensi mereka secara nyata

menarik gagasan-gagasan demokratisasi diterapkan di Indonesia, di semua wilayah

publik dan semua bidang kehidupan, tak terkecuali dalam bidang agama.

Saat terjadi polemik tentang Ahmadiyah, maka wajah-wajah para pembela dan

penjaja liberalisme secara nyata muncul ke permukaan. Kini, dalam ranah politik,

partai-partai politik dari kalangan berbasis massa Islam, sadar atau tidak telah pula

mengusung gagasan liberalisme. Meskipun dalam bahasa mereka digunakan slogan

“demokratisasi”. Namun, inti ajarannya tetap sama. Demokratisasi adalah liberalisasi.

Wallahu a’lam.

Kisah Nabi Yusuf dan Meminta Jabatan Oleh Al-Ustadz Qomar Suaidi, Lc

Penjelasan Asy-Syaikh Abdul Malik Ramadhani tentang Kisah Nabi Yusuf

Orang yang berdalil dengan kisah masuknya Nabi Yusuf dalam siyasah

(pemerintahan) telah tenggelam dalam kesalahan. Yaitu ketika beliau mengatakan:

اK%� F'%2Z 78اY� ا��رض“Jadikanlah aku bendaharawan negara Mesir.” (Yusuf: 55)

Padahal beliau tidak memasuki tugas ini kecuali setelah mendapatkan persaksian dari

Allah Subhanahu wa Ta’ala. Tertulis pada persaksian tersebut:

� h�D� F<,إI�% “Sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga lagi sangat berpengetahuan.”

(Yusuf: 55)1

Ahli balaghah (sastra Arab) dapat membedakan antara kata h.�=�ا (yang berarti

menjaga) dengan kata h�D=�ا (yang sangat pandai menjaga), juga antara kata I��2�ا(yang

berilmu) dengan kata I�%2�ا (yang sangat berpengetahuan). Maka perhatikan hal ini,

karena sesungguhnya ini termasuk rahasia-rahasia Al-Qur`an yang penuh hikmah.

Sebagaimana diherankan dari yang lain juga, yang membolehkan diri mereka

menerima jabatan politik masa ini –bersamaan dengan apa yang ada di dalamnya

berupa sistem parlemen kafir atau jahat– berdalil dengan perbuatan Nabi Yusuf,

sembari melalaikan bahwa Nabi Yusuf tidak memintanya. Namun raja itulah yang

menawarkannya kepada beliau. Beliau juga tidak menerimanya melainkan ketika raja

tersebut menjamin keamanan dan kebebasan baginya. Sehingga tidak ada tekanan,

atau ancaman, atau mengorbankan agama, atau tarik ulur, atau tawar menawar, atau

adu argumentasi. Oleh karena itu, perhatikan urutannya dalam firman Allah

Subhanahu wa Ta’ala:

� آ% �N B�ل إ, + ا��;م ���'� M��� أ����%. F�D'� B�%c��;, FB أ�Yل ا��%+ ا�Nا��رض .و �Y78ا K%� F'%2Zل ا�NI�%� h�D� F<,إ “Dan raja berkata: ‘Bawalah Yusuf kepadaku, agar aku memilih dia sebagai orang

yang rapat kepadaku.” Maka tatkala raja telah bercakap-cakap dengan dia, dia

berkata: ‘Sesungguhnya kamu (mulai) hari ini menjadi seorang yang berkedudukan

tinggi lagi dipercaya pada sisi kami.’ Berkata Yusuf: ‘Jadikanlah aku bendaharawan

negara (Mesir); sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga, lagi sangat

berpengetahuan’.” (Yusuf: 54-55)

Page 47: Kumpulan Artikel Majalah Asy Syariah Edisi PEMILU (PENTING)

Adapun mereka (para politikus, pen), mereka telah takjub dan berbaik sangka

terhadap diri mereka sendiri. Sehingga setan menggambarkan suatu gambaran yang

terbayang dalam benak mereka bahwa mereka akan kokoh dalam kebenaran.

Sementara sebenarnya mereka leleh dalam keridhaan terhadap aturan manusia. Allah

lah tempat memohon pertolongan.

Adapun Nabi Yusuf, beliau tidak mengorbankan agamanya dan tidak menyia-nyiakan

kesungguhannya dalam siyasah (politik) yang syar’i. Tidak pula beliau melaksanakan

undang-undang raja yang kafir, dengan dalih maslahat dakwah. Allah Subhanahu wa

Ta’ala berfirman:

I�%� I%� ذي <Xء و.;ق آ�U, �� ت�Zدر z.�, _ء ا�U� أن � �� آ�ن ��8�? أF. t�8 د�� ا��%+ إ�“Tiadalah patut Yusuf menghukum saudaranya menurut undang-undang raja, kecuali

Allah menghendaki-Nya. Kami tinggikan derajat orang yang Kami kehendaki; dan di

atas tiap-tiap orang yang berpengetahuan itu ada lagi Yang Maha Mengetahui.”

(Yusuf: 76)

Bila kita mengalah (pada anggapan mereka yakni beliau minta jabatan, pen) maka

kamipun akan mengatakan sebagaimana yang dinyatakan ulama ushul fiqih, ‘syariat

umat sebelum kita bukanlah syariat bagi kita pada perkara yang menyelisihi syariat

kita’. Padahal di sini syariat kita menyelisihinya, karena kita dilarang untuk minta

jabatan. Seperti dalam hadits Abdurrahman bin Samurah, ia berkata: Rasulullah

Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepadaku:

)���� ��* �� ����� �� ����( وآ%& إ���� وإن أ� ���� ��� ا�� ��� � ���ة، �� ���ل ا�-��رة .-, + إن أ� ���أ�'�%� &

“Wahai Abdurrahman bin Samurah, janganlah engkau meminta kepemimpinan,

karena jika engkau diberi karena permintaanmu niscaya akan dibebankan kepadamu

(tidak akan ditolong). Namun jika engkau diberi tanpa memintanya niscaya engkau

akan ditolong” (Muttafaqun ‘alaih)

Kami akan menjawab bahwa Nabi Yusuf telah disebutkan kesuciannya oleh Allah

Subhanahu wa Ta’ala dan tidak bekerja kecuali dengan bimbingan Allah. Yakni,

semua manusia berlaku padanya kaidah “jika engkau diberi kepemimpinan karena

permintaanmu, niscaya akan dibebankan kepadamu (tidak ditolong) ….” kecuali yang

diberi predikat kesucian oleh wahyu yang tidak akan salah. Adapun mereka yang sok

pandai pada masa ini, mereka tunduk pada kondisi undang-undang pada hari ini

ataupun besok. Bahkan sebelum melaksanakan tugas poltiik tersebut, mereka harus

bersumpah untuk menghormati undang-undang. Dan ini telah terjadi, bahkan kami

tidak tahu bahwa selainnya juga telah terjadi. Maka sungguh ajaib orang yang

menyingkirkan kekafiran dengan kekafiran.

Maka tersimpulkan dari ketergesaan ini lima jawaban:

1. Nabi Yusuf tidak meminta kepemimpinan, namun ditwarkan kepada beliau,

sebagaimana ditunjukkan oleh susunan ayat. Maksimal yang ada dalam ucapan beliau

اK%� F'%2Z 78اY� ا��رض“Jadikan aku bendaharawan negeri (Mesir)” adalah keterangan tentang spesialisasinya

dan pilihannya.

2. Beliau aman dari tekanan peraturan (negara) dan dipersilakan untuk mengamalkan

syariat Islam. Dua hal ini hanyalah sebuah khayalan dalam realita aturan-aturan di

muka bumi masa ini.

3. Bahwa beliau mendapat persaksian kesucian di mana beliau juga seorang Rasul.

Sehingga tidak dikhawatirkan pada beliau apa yang dikhawatirkan pada orang lain.

Diriwayatkan oleh Muhammad bin Sirin rahimahullahu, bahwa Umar radhiyallahu

‘anhu menugaskan Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu sebagai gubernur di daerah

Bahrain. Lalu Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu datang membawa uang 10.000. Maka

Page 48: Kumpulan Artikel Majalah Asy Syariah Edisi PEMILU (PENTING)

Umar mengatakan kepadanya: “Apakah engkau peruntukkan harta ini untuk

kepentingan pribadimu, wahai musuh Allah dan musuh kitab-Nya?!”

Maka Abu Hurairah menjawab: “Aku bukan musuh Allah ataupun musuh kitab-Nya,

akan tetapi justru musuh yang memusuhi keduanya.”

Umar menukas: “Lalu darimana hartamu ini?”

“Itu adalah kuda yang berkembang biak, dan hasil kerjaan budakku, serta pemberian

yang datang beberapa kali,” jawab Abu Hurairah.

Mereka pun memeriksanya. Ternyata mereka mendapatkannya seperti apa yang

dikatakan Abu Hurairah. Setelah hal itu berlalu, Umar memanggil Abu Hurairah

untuk ditugaskan kembali akan tetapi beliau menolak. Maka Umar berkata: “Apakah

kamu tidak suka jabatan ini, padahal telah memintanya orang yang lebih baik darimu,

Yusuf ‘alaihissalam?”

Abu Hurairah menjawab: Yusuf adalah seorang nabi, putra seorang nabi, dan cucu

seorang nabi. Sedangkan saya, Abu Hurairah, putra seorang ibu yang kecil. Dan aku

khawatir tiga tambah dua (perkara -pent).”

Umar berkata: “Tidakkah kamu katakan lima saja?”

Abu Hurairah menjawab: “Saya khawatir berkata tanpa ilmu, memutuskan tanpa

kesabaran dan pikir panjang, takut punggungku dicambuk, hartaku diambil dan

kehormatanku dicela.”2

4. Syariat umat sebelum kita bukanlah syariat bagi kita pada perkara yang menyelisihi

syariat kita. Dalam hal ini, syariat kita telah menyelisihinya.

5. Nabi Yusuf melakukan apa yang beliau lakukan pada tugasnya tersebut dengan

posisi beliau sebagai seorang rasul. Seandainya pun seseorang diperbolehkan

mengikuti beliau dalam urusan itu, maka pewarisnya secara syar’i adalah seorang

mujtahid. Ibnu Abdil Bar berkata: “Bila yang demikian itu (menyebut keahliannya

dalam kondisi terpaksa -pent), maka boleh bagi seorang ulama saat itu untuk memuji

dirinya dan mengingatkan tentang kedudukannya, maka saat itu berarti dia

membicarakan nikmat Allah pada dirinya dalam rangka mensyukurinya.” (Jami’

Bayanil ‘Ilm wa Fadhlihi, 1/176).

Wallahu a’lam.

Penjelasan Asy-Syaikh As-Sa’di

Asy-Syaikh Al-Mufassir Abdurrahman As-Sa’di mengatakan: “Jawabannya ada pada

firman Allah:

I�%� h�D� F<,إ “Sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga, lagi sangat berpengetahuan.”

Yakni, beliau memintanya demi mewujudkan maslahat ini yang tidak mungkin

dilakukan orang lain. Yaitu, menjaga harta dengan sempurna, mengetahui segala sisi

yang terkait dengan perbendaharaan tersebut, baik pengeluaran, pembelanjaan

maupun penegakan keadilan yang sempurna. Maka ketika beliau melihat sang raja

mendekatkan dirinya kepadanya (menjadikannya orang khusus) dan

mengutamakannya atas raja itu sendiri, serta pada kedudukan yang tinggi, maka

menjadi wajib baginya untuk memberikan pengarahan yang sempurna bagi raja

maupun rakyat. Itu adalah suatu keharusan dalam tugasnya.

Oleh karenanya, ketika beliau melakukan tugas menjaga perbendaharaan Mesir,

beliau sangat berusaha untuk menguatkan pertanian, sehingga tidak tersisa satu

tempat pun dari tanah Mesir, dari ujung ke ujung yang lain, yang pantas untuk

ditanami melainkan ia tanami selama tujuh tahun. Lalu beliau bentengi dan jaga

dengan penjagaan yang sangat ajaib. Setelah itu, datanglah tahun-tahun paceklik.

Manusia sangat membutuhkan pangan. Maka, beliaupun berusaha menimbang dengan

Page 49: Kumpulan Artikel Majalah Asy Syariah Edisi PEMILU (PENTING)

penuh keadilan, sehingga beliau larang para pedagang untuk membeli makanan,

khawatir mendesak orang-orang yang butuh. Maka terwujudlah dengan itu maslahat

yang banyak dan manfaat yang tidak terhitung, sebagaimana telah diketahui.”

(Bahjatul Qulub Al-Abrar)

1 Lihat kitab Bahjatu Qulubil Abrar karya Asy-Syaikh As-Sa’di rahimahullahu, hal.

150-151.

2 Riwayat Ibnu Sa’d dalam kitab Thabaqat Al-Kubra (4/335). Dalam sanadnya Abu

Hilal Ar-Rasibi dan dia –walaupun haditsnya tidak sangat dibuang– tapi juga

didukung dalam riwayat ini oleh Ayyub As-Sikhtiyani sebagaimana dalam kitab As-

Siyar karya Adz-Dzahabi (2/612). Dengan itu, riwayat ini menjadi shahih.

Jangan Berebut Jabatan Bertameng Al-Qur`an Oleh Al-Ustadz Abu Ubaidah Syafruddin

� آ% �N B�ل إ, + ا��;م ���'� M��� أ����%. F�D'� B�%c��;, FB أ�Yل ا��%+ ا�Nو. %� F'%2Zل ا�N ا��رض �Y78ا KI�%� h�D� F<,إ Dan raja berkata: “Bawalah Yusuf kepadaku, agar aku memilih dia sebagai orang

yang dekat denganku.” Maka tatkala raja telah bercakap-cakap dengannya, dia

berkata: “Sesungguhnya kamu (mulai) hari ini menjadi seorang yang berkedudukan

tinggi lagi dipercaya pada sisi kami.” Berkatalah Yusuf: “Jadikanlah aku bendahara

negara (Mesir). Sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga lagi

berpengetahuan.” (Yusuf: 54-55)

“Pucuk di cinta ulam tiba”, begitulah sebuah ungkapan yang terucap dari seorang

yang merasa senang dan bahagia, atas tercapainya suatu dambaan yang selama ini

dicari dan dicitakan, bahkan melebihi dari apa yang diduga dan dikira.

Adalah kesempatan emas, yang disenangi oleh banyak manusia, khususnya bagi para

pengembara kursi (jabatan), tahta, dan dunia, tatkala dihadapkan pada sebuah

tawaran, untuk duduk di atas kursi (jabatan).

Bisa jadi seseorang akan menanggapi dan berkata: “Ini namanya kejatuhan rezeki,

susah dicari, dan untuk mendapatkannya sulit sekali. Belum tentu seumur hidup bisa

ketemu sekali. Mengapa ditolak?” Atau mungkin…

“Betul, di dalamnya banyak penyimpangan dan pelanggaran. Akan tetapi, kalau

bukan kita yang mengubah, lantas siapa lagi?”

“Kalau kursi jabatan diduduki oleh orang luar, siapa yang akan melakukan perubahan,

menegakkan amar ma’ruf nahi munkar, mewujudkan syariat Islam dan sistem

kenegaraan yang bernuansa Islam?”

“Segala sesuatu itu apabila sudah dikuasai dan dipegang kepalanya, yang lain akan

mudah dikendalikan dan dikuasai.”

Penjelasan dan Makna Ayat

و�Nل ا��%+“Dan raja berkata.”

Al-Imam Ath-Thabari, Abu Ja’far Muhammad ibn Jarir rahimahullahu (224-318 H),

dalam tafsirnya Jami’ul Bayan fi Ta’wilil Qur’an (16/147) menerangkan bahwa raja

yang dimaksud dalam ayat ini adalah raja yang terbesar (terkemuka). Ia bernama Ar-

Page 50: Kumpulan Artikel Majalah Asy Syariah Edisi PEMILU (PENTING)

Rayyan bin Al-Walid, sebagaimana tersebut dalam sebuah riwayat dari jalan Ali bin

Hussain, dari Muhammad bin Isa, dari Salamah, dari Muhammad bin Ishaq. (lihat

pula Tafsir Ibnu Katsir 4/275, Ibnu Abi Hatim 8/383)

'� B�%c� F�Dأ�“Aku memilih dia sebagai orang yang rapat denganku.”

Maknanya adalah: “Aku jadikan dia sebagai orang khusus dan penasihat khusus bagi

diriku.” (Lihat Tafsir Ath-Thabari, Ibnu Katsir, dan Al-Baghawi).

Ibnu Abi Hatim, Abu Muhammad Abdurrahman bin Abi Hatim Ar-Razi

rahimahullahu (wafat pada th. 327 H), menyebutkan dalam kitab tafsirnya (8/386),

riwayat dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma. Raja mengatakan kepada nabi Yusuf

‘alaihissalam, “Sesungguhnya aku menyukai agar kamu menemaniku dalam setiap

keadaan, kecuali dalam urusan keluargaku. Karena aku tidak suka makan

bersamamu.”

Mendengar hal itu, Nabi Yusuf ‘alaihissalam marah sambil berkata: “Aku lebih

berhak untuk menjauhkan diri, karena orangtuaku adalah Ibrahim Khalilullah,

orangtuaku Ishaq dzabihullah.” Pada riwayat lain dengan lafadz: “Yusuf bin Ya’qub,

Nabiyullah bin Ishaq dzabihullah bin Ibrahim Khalilullah.”

B� � آ%�%. “Maka tatkala telah bercakap-cakap dengannya.”

Al-Imam Al-Baghawi, Abu Muhammad Al-Husain bin Mas’ud rahimahullahu wafat

th. 516 H, dalam tafsirnya Ma’alimut Tanzil (4/250-251) menyebutkan riwayat dari

Wahb (bin Munabbih, pen.). Ketika Nabi Yusuf ‘alaihissalam mendatangi sang raja

dan mengucapkan salam kepadanya dengan bahasa Arab. Raja bertanya, “Bahasa

apakah ini?” Nabi Yusuf ‘alaihissalam menjawab, “Ini bahasa pamanku, Nabi

Ismail.” Kemudian Nabi Yusuf ‘alaihissalam mendoakannya dengan bahasa Ibrani.

Raja bertanya, “Bahasa apakah ini?” Dijawab, “Ini bahasa ayah-ayahku dan raja tidak

tahu dengan dua bahasa tersebut.”

Wahb juga bercerita bahwa sang raja (Ar-Rayyan bin Al-Walid) ini menguasai 70

bahasa. Setiap kali berbicara dengan suatu bahasa, Nabi Yusuf menjawabnya dengan

bahasa yang sesuai, bahkan menambah dengan dua bahasa, yaitu Arab dan Ibrani.

Melihat hal ini, sang raja heran dan terkesan, dalam keadaan Nabi Yusuf masih muda.

Usia beliau pada waktu itu baru mencapai 30 tahun. Maka raja mendudukkannya, dan

berkata, sebagaimana yang Allah Subhanahu wa Ta’ala firmankan:

�Nل إ, + ا��;م ���'� M��� أ���“Dia berkata: ‘Sesungguhnya kamu (mulai) hari ini menjadi seorang yang

berkedudukan tinggi lagi dipercaya pada sisi kami’.”

Sebagian meriwayatkan, bahwa raja ingin mendengarkan secara langsung tentang

ta’bir mimpi yang pernah diceritakan sebelumnya (lihat apa yang tersebut dalam surat

Yusuf dari ayat 43 sampai 49, pen.).

Setelah mendengar seluruh penuturan Nabi Yusuf ‘alaihissalam, Sang Raja bertanya,

“Siapa yang akan mendampingiku dalam hal ini, serta mampu menyelesaikan,

mengerjakan, dan mengatur semua urusan ini?”

Nabi Yusuf ‘alaihissalam menjawab, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa

Ta’ala:

I�%� h�D� F<,ا��رض إ �Y78ا K%� F'%2Zل ا�N Berkatalah Yusuf: “Jadikanlah aku bendahara negara (Mesir). Sesungguhnya aku

adalah orang yang pandai menjaga lagi berpengetahuan.”

�Nل إ, + ا��;م ���'� M��� أ���Raja berkata: “Sesungguhnya kamu (mulai) hari ini menjadi seorang yang

berkedudukan tinggi lagi dipercaya pada sisi kami.”

Page 51: Kumpulan Artikel Majalah Asy Syariah Edisi PEMILU (PENTING)

Ibnul Jauzi rahimahullahu (588-587 H), menyebutkan dalam tafsirnya riwayat Ibnu

Abbas radhiyallahu ‘anhuma, makna ���أ ��M� adalah “Aku telah mengokohkan,

menguatkan, dan memercayakan urusan kekuasaan (kerajaan/negara) kepadamu.”

Al-Muqatil rahimahullahu berkata, makna ��M�ا�ـ yaitu orang yang punya kedudukan

(terkemuka). Sedangkan �����ا yaitu yang menjaga, memelihara, dan melindungi.

(Lihat Zadul Masir 3/439)

Al-Baghawi rahimahullahu menyebutkan dalam tafsirnya, ��M�ا�ـ yaitu berpangkat,

berkedudukan. Sedangkan �����ا adalah yang dipercaya.

Al-Alusi rahimahullahu dalam kitabnya Ruhul Ma’ani juga menyebutkan, Al-Makin

yaitu berpangkat dan berkedudukan yang tinggi. Al-Amin yaitu dipercaya atas segala

sesuatu.

�Nل اK%� F'%2Z 78اY� ا��رضBerkatalah Yusuf: “Jadikanlah aku bendahara negara (Mesir).”

Abu Ja’far Ath-Thabari rahimahullahu berkata dalam tafsirnya, kata �Y78ا adalah

bentuk jamak dari ),78ا artinya tempat menyimpan, yaitu tempat peyimpanan

makanan dan harta. Sedangkan ا��رض alif-lam di sini berfungsi sebagai pengganti

idhafah, maknanya +3أر �Y78ا yaitu bendahara negaramu (Mesir).

Al-Imam Al-Qurthubi rahimahullahu juga menyebutkan sebuah riwayat dari jalan

Sa’id bin Manshur rahimahullahu ia berkata, “Saya mendengar dari Malik bin Anas

radhiyallahu ‘anhu berkata: ‘Negeri Mesir adalah ا��رض �Y78ا. Tidakkah kalian

mendengar firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

�Nل اK%� F'%2Z 78اY� ا��رضyaitu untuk menjaganya (menjadi bendahara negara), dengan menghilangkan mudhaf.

F<,إ I�%� h�D�

“Sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga lagi berpengetahuan.”

Al-Imam Ath-Thabari rahimahullahu setelah menyebutkan ayat ini, mengatakan

bahwa para ulama berselisih dalam menafsirkannya hingga menjadi tiga pendapat:

Pertama, mereka berpendapat, maknanya adalah: “Sesungguhnya aku adalah orang

yang pandai menjaga segala yang telah dititipkan kepadaku. Berpengetahuan terhadap

apa yang telah diserahkan/dilimpahkan kepadaku.”

Pendapat ini dinisbahkan kepada sebuah riwayat dari Ibnu Humaid, dari Salamah, dari

Ibnu Ishaq.

Kedua, pendapat yang mengatakan, maknanya: “Aku adalah orang yang pandai

menjaga segala yang telah dilimpahkan kepadaku. Berpengetahuan terhadap perkara

(urusannya).”

Pendapat ini dinisbahkan kepada sebuah riwayat dari jalan Bisyr, dari Yazid, dari

Sa’id, dari Qatadah.

Ketiga, ada pula yang mengatakan, maknanya: “Aku adalah seorang yang pandai

menjaga untuk hisab/perhitungan (perihal pengeluaran dan pemasukan harta milik

negara, pen.), mengetahui beberapa bahasa.”

Pendapat ini disandarkan kepada sebuah riwayat, dari jalan Ibnu Waqi’, dari ‘Amr,

dari Al-Asyja’i.

Setelah memaparkan tiga pendapat di atas, beliau berkata: “Menurut kami pendapat

yang kuat adalah pendapat yang pertama. Karena ucapan ini terjadi setelah Nabi

Yusuf ‘alaihissalam mengatakan kepada raja: ”Jadikanlah aku bendahara negara

(Mesir).” Bentuk permohonan Nabi Yusuf kepada raja, bahwa ia mampu mengurusi

(sebagai bendahara) negara Mesir, menunjukkan, bahkan sekaligus sebagai

pemberitaan bahwa beliau memiliki kemampuan dalam hal ini. Makna ini lebih sesuai

untuk memaknai kalimat � � ketimbang dimaknakan dengan makna sebagaimana

yang tersebut pada pendapat ketiga (tersebut di atas).”

Page 52: Kumpulan Artikel Majalah Asy Syariah Edisi PEMILU (PENTING)

Abul Fida Isma’il bin Umar, terkenal dengan sebutan Ibnu Katsir rahimahullahu (700-

774 H), berkata setelah menyebutkan dua ayat di atas: “Dalam ayat ini, Allah

Subhanahu wa Ta’ala mengabarkan tentang Raja Mesir (Ar-Rayyan bin Al-Walid),

setelah memastikan terbebasnya Nabi Yusuf ‘alaihissalam, bersih dan sucinya

kehormatan beliau dari apa yang dituduhkan kepadanya. Raja mengatakan

sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

F�D'� B�%c��;, FB أ�Yا “Bawalah Yusuf kepadaku, agar aku memilih dia sebagai orang yang rapat

denganku”, yakni jadikanlah dia sebagai orang khusus dan penasihat khusus bagiku.

B� � آ%�%. “Maka tatkala telah bercakap-cakap dengan dia” yakni raja telah bercakap-cakap

dengannya, mengetahui serta melihat keutamaan, kepandaian, kemahiran, dan

kecakapan serta keutamaan dan kesempurnaan pada rupa dan perangainya, berkatalah

raja kepadanya, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

إ, + ا��;م ���'� M��� أ���“Sesungguhnya kamu (mulai) hari ini menjadi seorang yang berkedudukan tinggi lagi

dipercaya pada sisi kami” yakni, sesungguhnya kamu di sisi kami telah menjadi

seseorang yang berkedudukan dan dipercaya. Yusuf ‘alaihissalam berkata,

sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

I�%� h�D� F<,ا��رض إ �Y78ا K%� F'%2Zا ”Jadikanlah aku bendahara negara (Mesir). Sesungguhnya aku adalah orang yang

pandai menjaga lagi berpengetahuan.”

Nabi Yusuf ‘alaihissalam memuji dirinya. Hal ini diperbolehkan bagi seorang yang

belum diketahui tentang keadaan dirinya, pada saat yang dibutuhkan. Allah

Subhanahu wa Ta’ala menyebutkan bahwa ia adalah orang yang h�D� (pandai

menjaga), penjaga/bendahara yang dipercaya, I�%� (berpengetahuan), yakni memiliki

pengetahuan, ketelitian, dan kejelian terhadap segala perkara yang diurusinya. (lihat

Tafsir Ibnu Katsir, 4/275)

Perlu diketahui sekali lagi, bahwa Nabi Yusuf ‘alaihissalam mengucapkan ucapan

yang mengandung pujian terhadap dirinya tersebut adalah ketika beliau telah

mendapatkan kedudukan dan kepercayaan di sisi raja. Bukan serta merta beliau

memuji dirinya untuk meraih kedudukan. Tentu hal ini berbeda dengan keadaan para

kontestan pemilu atau para politikus yang berkampanye memuji diri dalam rangka

meraih kedudukan dan ambisi politiknya.

Faedah

Al-Imam Al-Qurthubi rahimahullahu menyebutkan dalam tafsirnya: “Sebagian ulama

berkata, pada ayat ini terdapat dalil tentang diperbolehkannya bagi orang yang baik

(shalih), bekerja untuk orang yang buruk (fajir) atau penguasa yang kafir. Dengan

syarat, orang tersebut tahu, bahwa segala pekerjaan/tugas diserahkan kepadanya

(diberi kekuasaan penuh untuk mengaturnya), dan bukan diatur oleh (orang-orang

yang fajir atau penguasa yang kafir tersebut, pen.). Sehingga, ia akan mengatur sesuai

dengan apa yang dia kehendaki (untuk hal yang baik dan bermanfaat). Adapun kalau

pekerjaan tersebut harus berdasarkan pada kemauan dan kehendak orang yang fajir

atau (penguasa yang kafir), menuruti hawa nafsu dan kekufurannya (di bawah aturan

mereka), hal yang demikian ini tidak diperbolehkan.

Sebagian mereka berpendapat, perihal ini (bekerja untuk orang buruk/ penguasa yang

kafir) khusus hanya untuk Nabi Yusuf ‘alaihissalam saja. Adapun sekarang tidak

diperbolehkan. Pendapat yang pertama lebih kuat (boleh dan bukan kekhususan),

dengan syarat yang telah disebutkan tadi.

Page 53: Kumpulan Artikel Majalah Asy Syariah Edisi PEMILU (PENTING)

Al-Mawardi rahimahullahu berkata: “Apabila yang berkuasa adalah orang yang zalim,

para ulama berbeda pendapat tentang boleh dan tidaknya, seorang untuk bekerja

dengannya.

Pendapat pertama, membolehkan. Apabila seorang bekerja dengan baik dan benar

(memenuhi hak), pada perkara yang telah diserahkan penuh kepadanya (untuk

mengaturnya). Karena dalam ayat ini, Nabi Yusuf ‘alaihissalam bekerja (menerima

pekerjaan) dari raja (Fir’aun)1. Pertimbangan ini berdasarkan pekerjaan (kemampuan)

beliau dan bukan pada orang lain.

Pendapat kedua, tidak membolehkan. Hal ini berdasarkan adanya bentuk/unsur

menolong atas kezaliman yang mereka lakukan. Memuji mereka, dengan meniru

(melakukan) perbuatannya.

Para ulama yang berpendapat membolehkan bekerja dengan orang yang zalim,

menjawab perihal yang terjadi pada Nabi Yusuf ketika menerima pekerjaan dari

Fir’aun, dengan dua jawaban:

Pertama, Fir’aun (raja)-nya Nabi Yusuf waktu itu seorang yang shalih (muslim).

Adapun Fir’aun yang membangkang (kafir), adalah Fir’aun (raja)-nya Nabi Musa

‘alaihissalam.

Kedua, hal ini melihat pada kekuasaan dan bukan pada pekerjaannya.”

Al-Mawardi berkata: “Yang benar dalam hal ini adalah merinci masalah menjadi tiga

kesimpulan:

1. Boleh bagi orang yang memiliki kemampuan dan keahlian untuk melakukannya.

Dengan catatan, tidak ada unsur berijtihad (berpendapat) dalam melaksanakan

tugasnya seperti menyalurkan shadaqah dan zakat.

Boleh seseorang menerima pekerjaan dan tugas dari orang yang zalim. Karena,

adanya nash/dalil yang menerangkan kepada siapa shadaqah dan zakat itu disalurkan

telah mencukupi, sehingga tidak memerlukan lagi adanya ijtihad. (Maka kebebasan

bertindak dalam hal ini, telah menjadi cukup baginya [terbebaskan] dari mengikuti

perintah [peraturan orang zalim tersebut, pen.]).

2. Keadaan di mana seseorang tidak diperbolehkan untuk bertindak sendiri, adanya

keharusan untuk berijtihad (berpendapat, berinisiatif) dalam mengatur urusan, seperti

menangani harta rampasan.

Keadaan seperti ini tidak boleh bagi seseorang untuk menerima penugasan dari orang

yang zalim. Hal ini dikarenakan ia telah melakukan tindakan yang tidak benar dan

berijtihad (berpendapat, mengatur) pada perkara yang tidak berhak untuk

melakukannya.

3. Keadaan yang boleh melimpahkan tugas kepada orang yang ahli dan boleh baginya

berijtihad, seperti menangani hukum dan pidana. Apabila terjadi kesepakatan dari

kedua belah pihak dan tidak ada yang dipaksa, (maka boleh baginya bekerja untuk

orang yang zalim, pen.). Namun apabila terjadi pemaksaan, tidak diperbolehkan.

Asy-Syaikh As-Sa’di rahimahullahu dalam Taisir Al-Lathiful Mannan, berkata

setelah menyebutkan ayat di atas: “Pada ayat ini terdapat keutamaan ilmu, ilmu syar’i

dan hukum, ilmu ta’bir mimpi, ilmu mengatur dan mengurusi negara, serta ilmu

kepemerintahannya. Yang menjadi salah satu sebab Nabi Yusuf ‘alaihissalam

memperoleh kedudukan yang tinggi di dunia dan di akhirat kelak, yaitu adanya ilmu

yang beragam dan banyak (mengetahui berbagai macam ilmu). Hal ini juga

menunjukkan bahwa ilmu ta’bir mimpi termasuk bagian dari fatwa. Maka tidak boleh

bagi siapapun untuk mena’birkan suatu mimpi dan memastikannya, sebelum

mengetahui secara pasti. Sebagaimana halnya (dalam hukum/perkara), tidak boleh

bagi siapapun berfatwa dalam hal apapun tanpa ilmu. Karena dalam surat Yusuf ini,

Page 54: Kumpulan Artikel Majalah Asy Syariah Edisi PEMILU (PENTING)

Allah Subhanahu wa Ta’ala menamai kemampuan mena’birkan mimpi, dengan nama

ilmu, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

���+ رG+ و2�%>�+ �� ��و�X ا����د�~R� +�?وآ “Dan demikianlah Rabbmu, memilih kamu (untuk menjadi nabi) dan diajarkan-Nya

kepadamu sebagian dari ta’bir mimpi-mimpi.” (Yusuf: 6)

Ayat ini juga menerangkan, tidak mengapa seseorang memberitakan tentang dirinya,

berupa sifat-sifat yang baik dan sempurna, berilmu pengetahuan dan yang lainnya.

Hal ini boleh dilakukan selama membawa maslahat, selamat dari berdusta, dan tidak

bermaksud untuk memperlihatkan diri (riya’). Seperti yang tersebut dalam ayat:

Berkatalah Yusuf: “Jadikanlah aku bendahara negara (Mesir). Sesungguhnya aku

adalah orang yang pandai menjaga lagi berpengetahuan.” (Yusuf: 55)

Catatan: Beberapa rujukan yang tersebut di atas, keumumannya dinukil dari Al-

Maktabah Asy-Syamilah. Mengingat keterbatasan rujukan yang ada pada kami.

Wallahu a’lam bish-shawab, wal ‘ilmu ‘indallah.

1 Al-Imam Ath-Thabari rahimahullahu berkata dalam tafsirnya, fir’aun (pharao)

adalah nama yang dipakai untuk penyebutan raja-raja Mesir zaman dahulu.

Sebagaimana Qaisar (Kaisar) atau Hiraql (Heraklius) untuk penamaan raja-raja

Romawi. Adapun Persia terkenal penyebutannya dengan Al-Akasirah, bentuk jamak

dari Kisra. Sedangkan raja-raja Yaman dikenal penamaannya dengan At-Taba’ah,

jamak dari Taba’. Kemudian beliau menyebutkan riwayat dari Muhammad bin Ishaq,

bahwa fir’aun-nya Nabi Yusuf adalah raja terkemuka bernama Ar-Rayyan bin Al-

Walid, dan masuk Islam (mengikuti ajaran Nabi Yusuf ‘alaihissalam). Sedangkan

fir’aun-nya Nabi Musa ‘alaihissalam adalah raja yang bernama Al-Walid bin Mush’ab

bin Ar-Rayyan (dan menentang ajaran Nabi Musa ‘alaihissalam)

Demi Sebuah Kursi Kedudukan Oleh Al-Ustadz Abu Nasim Mukhtar

.�N: Fل ر�;ل ا_ K%L ا_ �%�B و�%I:�� ا� آH2 � ���+ ا��,��ري>، �� أ��N Bل �� ذY��ن �2Y�Zن أر�B'��� �ف Uا���ل وا� K%� �ص ا���ء� �� ��� ��.� I'*

Dari Ka’b bin Malik radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam

bersabda, “Tidaklah dua ekor serigala yang lapar dilepas di tengah sekawanan

kambing lebih merusak daripada merusaknya seseorang terhadap agamanya karena

ambisinya untuk mendapatkan harta dan kedudukan.”

Hadits ini diriwayatkan oleh At-Tirmidzi (no. 2482) melalui jalan Suwaid bin Nashr,

dari Abdullah bin Al-Mubarak, dari Zakariya bin Abi Zaidah, dari Muhammad bin

Abdirrahman, dari Ibn Ka’b bin Malik, dari ayahnya, dari Rasulullah Shallallahu

‘alaihi wa sallam.

Al-Imam Ibnu Rajab rahimahullahu berkata, ”Hadits ini diriwayatkan melalui jalan

lain dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Di antaranya dari hadits Ibnu ‘Umar,

Ibnu ‘Abbas, Abu Hurairah, Usamah bin Zaid, Abu Sa’id, dan ‘Ashim bin ‘Adi Al-

Anshari g.”

Hadits ini juga diriwayatkan oleh Al-Imam Ahmad rahimahullahu (3/456).

Page 55: Kumpulan Artikel Majalah Asy Syariah Edisi PEMILU (PENTING)

Hadits ini dishahihkan oleh Asy-Syaikh Muqbil di dalam Ash-Shahihul Musnad

(2/178) dan Asy-Syaikh Al-Albani di dalam Shahihul Jami’ (no. 5620).

Al-Qadhi rahimahullahu menerangkan, hadits ini shahih dan sangat masyhur. Kami

memperoleh hadits ini lebih dari satu jalur periwayatan. Secara umum, pada lafadz

hadits terdapat perbedaan kata namun bermakna sama.

Makna Hadits

Makna hadits ini, kerusakan yang ditimbulkan oleh dua ekor serigala lapar yang

dibiarkan bebas di antara sekawanan kambing masih belum seberapa apabila

dibandingkan kerusakan yang muncul karena ambisi seseorang untuk mendapatkan

kekayaan dan kedudukan. Karena, ambisi untuk mendapatkan harta dan kedudukan

akan mendorong seseorang untuk mengorbankan agamanya. Adapun harta, dikatakan

merusak karena ia memiliki potensi untuk mendorongnya terjatuh dalam syahwat

serta mendorongnya untuk berlebihan dalam bersenang-senang dengan hal-hal

mubah. Sehingga akan menjadi kebiasaannya. Terkadang ia terikat dengan harta lalu

tidak dapat mencari dengan cara yang halal, akhirnya ia terjatuh dalam perkara

syubhat. Ditambah lagi, harta akan melalaikan seseorang dari zikrullah. Hal-hal

seperti ini tidak akan terlepas dari siapapun.

Adapun kedudukan, cukuplah sebagai bukti kerusakannya bahwa harta dikorbankan

untuk meraih kedudukan. Sementara kedudukan tidak mungkin dikorbankan hanya

untuk mendapatkan harta. Inilah yang dimaksud dengan syirik khafi (syirik yang

tersamar). Dia tenggelam di dalam sikap oportunis, merelakan prinsipnya hilang,

kenifakan, dan seluruh akhlak tercela. Maka, ambisi terhadap kedudukan lebih

merusak dan lebih merusak. (Tuhfatul Ahwadzi Syarah Sunan At-Tirmidzi)

Al-Imam Ibnu Rajab Al-Hanbali rahimahullahu berkata, “Nabi Muhammad

Shallallahu ‘alaihi wa sallam (di dalam hadits ini) mengabarkan bahwa ambisi untuk

memperoleh kedudukan dapat merusak agama seseorang. Kerusakannya tidak kurang

dari kerusakan yang ditimbulkan oleh dua ekor serigala terhadap sekawanan kambing.

Agama seorang hamba tidak akan selamat bila ia memiliki ambisi untuk memperoleh

harta dan kedudukan, hanya sedikit yang dapat selamat. Perumpamaan yang teramat

agung ini memberikan pesan untuk benar-benar waspada dari keburukan ambisi untuk

memperoleh harta dan kedudukan di dunia.”

Beliau rahimahullahu juga berkata, “Ambisi seseorang terhadap kedudukan tentu

lebih berbahaya dibandingkan ambisinya terhadap harta. Karena usaha untuk

mendapatkan kedudukan duniawi, derajat tinggi, kekuasaan atas orang lain, dan

kepemimpinan di atas muka bumi, lebih besar mudaratnya dibandingkan usaha

mencari harta. Sungguh besar mudaratnya. Bersikap zuhud dalam hal ini begitu sulit.”

(Syarh Ibnu Rajab)

Menjaga Agama Adalah Cita-cita Mulia

Di dalam hadits ini terdapat faedah yang mengingatkan kita bahwa perkara yang

terpenting bagi seorang hamba adalah menjaga agamanya. Serta merasa rugi apabila

muncul kekurangan di dalam menjalankan agama. Cinta seorang hamba terhadap

harta dan kedudukan, upaya yang ia tempuh untuk mendapatkannya, ambisi untuk

meraih harta dan kedudukan, serta kerelaan bersusah-payah untuk mengalahkan,

hanya akan menyebabkan kehancuran agama dan runtuhnya sendi-sendi agamanya.

Simbol-simbol agama akan terhapus. Bangunan-bangunan agamanya pun akan roboh.

Ditambah lagi bahaya yang akan ia hadapi karena menempuh sebab-sebab

kebinasaan.

Page 56: Kumpulan Artikel Majalah Asy Syariah Edisi PEMILU (PENTING)

Apakah Hanya Karena Sebuah Kedudukan Kita Menjatuhkan Diri Dalam Jurang

Kehancuran?

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang umat Islam untuk meniru akhlak

tercela kalangan Yahudi. Karena meniru akhlak tercela mereka akan berakhir dengan

kehancuran dan celaka. Di antara sekian banyak tingkah laku Yahudi yang harus

dijauhi adalah ambisi untuk mendapatkan kedudukan. Apakah pantas seorang muslim

mengaku memperjuangkan Islam, sementara cara yang digunakan adalah cara-cara

Yahudi? Dengan berebut kursi, meraih suara terbanyak, ingin tampil ke depan,

hendak memimpin, menduduki kursi-kursi kedudukan, dan menjadi seorang

penguasa? Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

( واc��X ا���; �( وا��,�2م ز�>�rD�وا Hه �;ات �� ا�'>��ء وا��'�� واs�'9��� ا9��' �ة �� ا�? Uا� GH� س� '%� وا�=�ث ذ�+ ���ع ا�=��ة ا��G,�� وا_ �'t� ��� اa��ب“Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini,

yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda

pilihan, binatang-binatang ternak, dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di

dunia; dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga).” (Ali ‘Imran: 14)

Al-Imam Abu Ja’far Ath-Thabari rahimahullahu ketika menjelaskan ayat di atas

menyatakan, “Telah dibuat indah untuk manusia sifat tertariknya mereka terhadap

wanita dan anak keturunan serta segala hal yang disebutkan. Allah Subhanahu wa

Ta’ala menyebutkan hal ini hanyalah untuk menjelaskan sifat buruk orang-orang

Yahudi. Mereka lebih mengutamakan dunia dan ambisi terhadap kekuasaan

dibandingkan harus mengikuti Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam,

padahal mereka telah mengetahui kebenarannya.” (Tafsir Ath-Thabari)

Ambisi Untuk Berkuasa Pasti Disertai Sikap Menjelekkan Orang Lain

Adapun orang-orang yang berambisi untuk meraih tampuk kekuasaan, Ibnul Qayyim

rahimahullahu menjelaskan, mereka mengejar kekuasaan untuk melampiaskan seluruh

keinginan. Yaitu berkuasa di muka bumi, agar seluruh hati mengarah dan cenderung

kepada mereka, serta membantu mereka di dalam mewujudkan keinginan. Dalam

keadaan merekalah yang menguasai dan mengatur. Sehingga ambisi untuk meraih

kekuasaan hanya akan melahirkan kerusakan-kerusakan yang tidak mungkin diketahui

secara pasti jumlahnya kecuali oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Akan muncul dosa,

hasad, perbuatan-perbuatan yang melampaui batas, dengki, kezaliman, fitnah, fanatik

pribadi, tanpa memedulikan lagi hak Allah Subhanahu wa Ta’ala. Orang yang terhina

di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala akan dimuliakan sementara orang yang dimuliakan

Allah Subhanahu wa Ta’ala pasti dihina. Kekuasaan duniawi tidak mungkin sempurna

kecuali dengan cara-cara kotor seperti tersebut di atas. Kekuasaan duniawi tidak akan

tercapai kecuali dengan menempuh langkah-langkah yang penuh dengan mafsadah,

bahkan berkali-kali lipat. Sementara orang-orang yang telah meraih kekuasaan

amatlah buta dengan hal-hal ini. (Ar-Ruh, Ibnul Qayyim rahimahullahu)

Al-Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullahu berkata: “Tidak ada seorang pun yang memiliki

ambisi untuk mendapatkan kekuasaan melainkan ia pasti senang menyebutkan

kekurangan dan cela orang lain, sehingga dialah yang dikenal sebagai orang

sempurna. Dia pun tidak senang apabila ada yang menyebutkan kebaikan orang lain.

Barangsiapa gila kekuasaan maka ucapkan ‘selamat berpisah’ dari kebaikan-

kebaikannya.”

Ambisi Untuk Meraih Kekuasaan Akan Merusak Ilmu

Al-Ahnaf bin Qais rahimahullahu menjelaskan bahwa penyakit yang akan merusak

alim ulama adalah ambisi untuk meraih kekuasaan. (‘Aja'ib Al-Atsar)

Page 57: Kumpulan Artikel Majalah Asy Syariah Edisi PEMILU (PENTING)

Al-Imam Ahmad rahimahullahu pernah berkata kepada Sufyan bin ‘Uyainah

rahimahullahu, “Cinta kekuasaan lebih disenangi orang dibandingkan emas dan perak.

Barangsiapa berambisi memperoleh kekuasaan ia akan mencari-cari aib orang lain.”

(Al-Adab Asy-Syar’iyyah, Ibnu Muflih)

Sufyan Ats-Tsauri rahimahullahu berkata, “Kekuasaan lebih disenangi oleh ahli

qira’ah dibandingkan emas merah.” (Al-Wara’, Al-Imam Ahmad hal. 91)

Ibnu ‘Abdus rahimahullahu berkata, “Setiap kali bertambah kemuliaan seorang alim

dan bertambah tinggi derajatnya, maka semakin cepat dia merasa ujub. Kecuali orang

yang dijaga oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan taufiq-Nya dan membuang

ambisi terhadap kekuasaan dari dirinya.” (Jami’ Bayan Al-‘Ilmi wa Fadhlih 1/142,

Ibnu ‘Abdil Barr rahimahullahu)

“Ilmu hadits adalah disiplin ilmu yang mulia. Yang sesuai untuk ilmu ini hanyalah

akhlak mulia dan perilaku yang terpuji. Ilmu ini akan menghilangkan akhlak buruk

dan perilaku tercela. Ilmu hadits adalah ilmu akhirat, bukan ilmu dunia. Barangsiapa

yang ingin mendengarkan periwayatan hadits atau ingin menyampaikan ilmu hadits,

hendaknya ia berupaya meluruskan dan mengikhlaskan niat. Dia pun harus

membersihkan hatinya dari tujuan-tujuan duniawi dan segenap noda-nodanya. Dia

pun harus berhati-hati dari penyakit dan kotoran dari ambisi terhadap kekuasaan.”

(Muqaddimah Ibnu Shalah)

Salah satu hal yang membedakan antara ulama dunia dan ulama akhirat, ulama dunia

senantiasa memerhatikan kekuasaan. Senang akan pujian dan massa. Sementara

ulama akhirat menjauhi hal tersebut. Mereka benar-benar menjaga diri dari hal itu dan

menyayangkan orang-orang yang terkena penyakit tersebut.

Namun dikarenakan telah terbiasa dan memiliki ambisi mendapatkan kedudukan,

telah menguasai pemikiran mereka. Tinggallah ilmu hanya terucap melalui lisan

sebagai sebuah adat, bukan untuk diamalkan. (Shaidul Khathir, Ibnul Jauzi

rahimahullahu)

Ambisi Untuk Meraih Kekuasaan Akan Merusak Realisasi Cinta Kepada Allah

Subhanahu wa Ta’ala

Seringkali syahwat khafiyyah (tersembunyi) yang masuk pada diri seseorang dapat

merusak realisasi cinta seorang hamba kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Merusak

pula penghambaan dan keikhlasan di dalam beragama. Sebagaimana pernyataan

Syaddad bin Aus rahimahullahu, ”Wahai sekalian sisa-sisa orang Arab.

Sesungguhnya yang paling aku cemaskan bila menimpa kalian adalah riya’ dan

syahwat khafiyyah.”

Ketika ditanya tentang makna syahwat khafiyyah, Al-Imam Abu Dawud As-Sijistani

rahimahullahu menjawab, “Syahwat khafiyyah adalah ambisi terhadap kekuasaan.”

Hadits ini menjelaskan bahwa keyakinan yang benar tentu tidak akan membawa

dirinya untuk berambisi semacam ini. Karena bila hati telah merasakan manisnya

beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, merasakan manisnya mahabbah

kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, tentu tidak ada lagi yang lebih ia cintai selain itu

sampai ia menemui-Nya. Dengan sebab inilah, keburukan dan kekejian akan

dijauhkan dari orang yang benar-benar ikhlas kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

���%c�����د,� ا �� B آ?�+ �'��ف �'B ا��G;ء وا�U=D�ء إ,“Demikianlah, agar Kami memalingkan darinya kemungkaran dan kekejian.

Sesungguhnya Yusuf itu termasuk hamba-hamba kami yang terpilih.” (Yusuf: 24)

[Al-'Ubudiyyah, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahu]

Page 58: Kumpulan Artikel Majalah Asy Syariah Edisi PEMILU (PENTING)

Termasuk Golongan Manakah Kita?

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberitakan bahwa ambisi seorang hamba

untuk memperoleh harta dan kekuasaan akan merusak agamanya. Seperti halnya atau

bahkan lebih parah dibandingkan dua ekor serigala yang dibiarkan bebas di tengah-

tengah kawanan kambing. Sungguh, Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mengabarkan

keadaan orang yang mendapatkan catatan amal dengan tangan kirinya. Dia

menyatakan:

B���� F<'� K'*أ ��. B�,� %� F<'� +%ه “Hartaku sekali-kali tidak memberi manfaat kepadaku. Telah hilang kekuasaan

dariku.” (Al-Haqqah: 28-29)

Akhir kehidupan seseorang yang haus akan kekuasaan hanyalah seperti Fir’aun.

Adapun para penumpuk harta, akhir kehidupannya hanyalah seperti Qarun. Padahal

Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memberitakan keadaan Fir’aun dan Qarun di dalam

kitab-Nya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

ة و{�Jرا .F اPرض ;N I�'� �kأ Iآ�,;ا ه I�%�N �� آ�,;ا ��? أوI� ����وا .F اPرض .�'d�وا آ�1 آ�ن N���( ا� .8�?هI ا_ ?,;�I و�� آ�ن ��I �� ا_ �� واق“Dan apakah mereka tidak mengadakan perjalanan di muka bumi, lalu memerhatikan

betapa kesudahan orang-orang yang sebelum mereka. Mereka itu adalah lebih hebat

kekuatannya daripada mereka dan (lebih banyak) bekas-bekas mereka di muka bumi,

maka Allah mengazab mereka disebabkan dosa-dosa mereka. Dan mereka tidak

mempunyai seorang pelindung dari azab Allah.” (Ghafir: 21)

Allah Subhanahu wa Ta’ala juga berfirman:

N�2�ا��رض و�� .��دا وا F. اQ;%� ����ون �� ��? %� ��%2R, 8�ةa�ار ا 9���%+ ا����%� )� “Negeri akhirat itu, Kami jadikan untuk orang-orang yang tidak ingin

menyombongkan diri dan berbuat kerusakan di (muka) bumi. Dan kesudahan (yang

baik) itu adalah bagi orang-orang yang bertakwa.” (Al-Qashash: 83)

Sesungguhnya manusia ada empat macam.

Pertama, orang-orang yang menginginkan kekuasaan dan kerusakan di atas muka

bumi, yaitu dengan durhaka kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Mereka adalah para

raja dan penguasa yang selalu berbuat kejahatan seperti Fir’aun dan pengikutnya.

Mereka adalah makhluk yang paling buruk. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

�I �?>� أ'�ءهI و���=�F ,��ءهI إ, B آ�ن �� '� )DY�s 12r��� �2�k ��إن .��;ن �%� .F ا��رض وX2Z أه%����D��ا “Sesungguhnya Fir’aun telah berbuat sewenang-wenang di muka bumi dan

menjadikan penduduknya berpecah-belah, dengan menindas segolongan dari mereka,

menyembelih anak laki-laki mereka dan membiarkan hidup anak-anak perempuan

mereka. Sesungguhnya Fir’aun termasuk orang-orang yang berbuat kerusakan.” (Al-

Qashash: 4)

Al-Imam Muslim rahimahullahu meriwayatkan di dalam Shahih-nya dari Ibnu

Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak

akan masuk Al-Jannah seseorang yang di dalam hatinya terdapat kesombongan

seberat semut kecil. Dan tidak akan masuk neraka seseorang yang di dalam hatinya

keimanan seberat semut kecil.” Kemudian ada orang bertanya, “Wahai Rasulullah,

sesungguhnya aku merasa senang bila pakaian dan sandalku bagus. Apakah hal ini

termasuk dari kesombongan?” Rasulullah menjawab, “Tidak, sesungguhnya Allah

adalah Dzat Yang Maha Indah, Dia senang dengan keindahan. Sombong ialah

menolak kebenaran dan meremehkan orang lain.”

Sikap menolak kebenaran dan merendahkan orang lain adalah sikap orang yang

menginginkan kekuasaan dan kerusakan.

Page 59: Kumpulan Artikel Majalah Asy Syariah Edisi PEMILU (PENTING)

Kedua, orang-orang yang menghendaki kerusakan tanpa disertai keinginan untuk

berkuasa. Seperti para pencuri dan penjahat dari kalangan orang-orang rendahan.

Ketiga, orang-orang yang menginginkan kekuasaan tanpa disertai kerusakan.

Sebagaimana halnya orang yang memiliki agama namun ingin menguasai yang lain.

Keempat, para penduduk Al-Jannah. Yaitu orang-orang yang tidak menginginkan

kekuasaan dan kerusakan di atas muka bumi. Padahal mereka lebih mulia

kedudukannya dibanding yang lain. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

��'�v� I� و�� ��';ا و�� �=7,;ا وأ,�I ا���%;ن إن آ'“Janganlah kamu bersikap lemah, dan janganlah (pula) kamu bersedih hati, padahal

kamulah orang-orang yang paling tinggi (derajatnya), jika kamu orang-orang yang

beriman.” (Ali Imran: 139)

IM����أ I�آ��';ا و���;ا إK� ا�� %I وأ,�I ا���%;ن وا�% IM2� B و�� �� �%. “Janganlah kamu lemah dan minta damai padahal kamulah yang di atas dan Allah-

(pun) beserta kamu dan Dia sekali-kali tidak akan mengurangi (pahala) amal-

amalmu.” (Muhammad: 35)

ا��'�.9�� �� 2�%�;ن�M�و ��'�v�%�و B�;���ة و و�% B ا72�“Padahal kekuatan itu hanyalah bagi Allah, bagi Rasul-Nya dan bagi orang-orang

mukmin, tetapi orang-orang munafik itu tiada mengetahui.” (Al-Munafiqun: 8)

Alangkah banyak orang yang mengharapkan kekuasaan padahal justru membuat

dirinya semakin terhina. Betapa banyak orang yang diangkat kedudukannya padahal

dirinya tidak berharap kekuasaan dan kerusakan. (As-Siyasah Asy-Syar’iyyah,

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahu)

Ulama Islam dan Kedudukan

Kepada mereka yang mengaku sedang memperjuangkan Islam. Kepada mereka yang

merasa sedang mengibarkan bendera Islam. Apakah mereka lebih baik dari Salaf,

generasi pertama umat Islam? Apakah mereka tidak membaca biografi para ulama?

Perhatikanlah sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Abdurrahman

bin Samurah radhiyallahu ‘anhu dalam riwayat Muslim rahimahullahu:

���� �� *�� ����( أ�'& �%���� �� ����( وآ%& إ���� وإن أ� ��� ���ل ا�-��رة .-, + إن أ� � ،��� �� ��� ا��“Wahai Abdurrahman, janganlah engkau meminta kepemimpinan. Karena

sesungguhnya bila engkau memperoleh kepemimpinan karena permintaanmu maka

engkau akan dibiarkan. Dan jika engkau memperolehnya tanpa dasar permintaan

engkau akan dibantu.” (Silakan merujuk majalah Asy Syariah Vol I/No. 06/Maret

2004/Muharram 1425 untuk keterangan lebih lengkap tentang hadits ini, dengan tema

Hukum Meminta Jabatan)

Al-Imam Adz-Dzahabi rahimahullahu di dalam Siyar A’lam An-Nubala’

menyebutkan banyak kisah menakjubkan dari sisi-sisi kehidupan para ulama. Mereka

adalah manusia-manusia pilihan yang berusaha menjauhkan diri dari kedudukan dan

kekuasaan. Berikut ini beberapa contoh yang dapat diambil ibrahnya.

- Manshur bin Al-Mu’tamir As-Sulami rahimahullahu menolak untuk diangkat

sebagai seorang qadhi. Maka dikirimlah serombongan pasukan untuk memaksanya.

Kepada Yusuf bin ‘Umar, komandan pasukan tersebut, dikatakan, ”Walaupun engkau

koyak kulit tubuhnya, dia tidak akan mau untuk menerima tawaran tersebut.” Maka,

Manshur pun ditinggalkan.

- Abu Qilabah Al-Jarmi rahimahullahu, salah seorang tabi’in, lari meninggalkan

negerinya dari Bashrah hingga daerah Yamamah dan meninggal di sana. Beliau lari

untuk menghindari tawaran menjadi seorang qadhi. Ayyub As-Sikhtiyani

rahimahullahu pernah menemuinya dan bertanya tentang alasan beliau untuk lari

menghindar. Maka Abu Qilabah menjawab, “Aku tidak melihat sebuah perumpamaan

Page 60: Kumpulan Artikel Majalah Asy Syariah Edisi PEMILU (PENTING)

yang tepat untuk seorang qadhi kecuali seseorang yang tercebur di dalam lautan yang

luas, hingga kapan dia akan mampu berenang? Pasti dia akan tenggelam.”

- Abdullah bin Wahb bin Muslim Al-Qurasyi rahimahullahu ketika menolak untuk

diangkat menjadi seorang qadhi, beliau berkata kepada seseorang yang menanyakan

sebab penolakannya, “Apakah engkau tidak mengerti bahwa para ulama akan

dikumpulkan pada hari kiamat bersama para nabi? Sementara para qadhi akan

dikumpulkan bersama para penguasa?”

- Al-Mughirah bin Abdillah Al-Yasykuri rahimahullahu menolak permintaan Khalifah

Harun Ar-Rasyid untuk menjadi seorang qadhi. Beliau beralasan, Sungguh demi

Allah, wahai Amirul Mukminin, aku lebih memilih dicekik oleh setan daripada harus

memegang kedudukan qadha’. Ar-Rasyid lalu berkata, “Tidak ada lagi keinginan

selain itu.” Kemudian Harun Ar-Rasyid pun mengabulkan permintaannya.

- Al-Imam Abdurrahman bin Mahdi rahimahullahu berkata, “Amirul Mukminin

memaksa Sufyan Ats-Tsauri untuk memegang kedudukan al-qadha’ (yakni menjadi

qadhi). Maka, Sufyan pun berpura-pura menjadi orang bodoh agar terbebas. Setelah

Amirul Mukminin mengetahui hal tersebut, maka Sufyan pun dibebaskan lalu ia

melarikan diri.”

Marilah kita membaca biografi para ulama yang lain, seperti Abu Ja’far Muhammad

bin Jarir Ath-Thabari, Abu ‘Amr Abdurrahman bin ‘Amr Al-Auza’i, Muhammad bin

Wasi’ bin Jabir Al-Akhnas, Abu Sufyan Waki’ ibn Al-Jarrah Al-Kufi, Al-Imam Abu

Hanifah An-Nu’man bin Tsabit, Abu Ya’la Mu’alla bin Manshur Ar-Razi, Abdullah

bin Idris bin Yazid Al-Kufi, dan yang lain. Mereka berusaha menjauhi kursi

kedudukan. Benar-benar mengagumkan.

Apabila demikian sikap para ulama Islam, maka apakah mereka yang berebut kursi

dan mencari suara terbanyak dapat dikatakan sedang memperjuangkan Islam? Dusta

dan sungguh dusta lisan mereka. Mungkin terbersit dalam benak, jika kita tidak

menduduki kursi-kursi penting maka Islam akan diinjak-injak? Maka, jawabnya ada

pada pendirian seorang Imam Ahlus Sunnah Ahmad bin Hanbal rahimahullahu.

Disebutkan dalam Mihnatul Imam Ahmad (hal. 70-72) beliau berkata, ”Sungguh,

sekali-kali tidak mungkin hal itu akan terjadi! Sesungguhnya Allah Subhanahu wa

Ta’ala pasti akan membela agama-Nya. Sesungguhnya ajaran Islam ini memilki Rabb

yang akan menolongnya. Dan sesungguhnya dienul Islam ini sangat kuat dan kokoh.”

Wallahu a’lam.

Weblink : http://www.asysyariah.com

http://salafiyunpad.wordpress.com