I. PENDAHULUAN A. Latar belakang masalah Pembangunan di bidang kesehatan bertujuan untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat agar tingkat kesehatan menjadi lebih baik. Dalam menunjang upaya kesehatan agar mencapai deajat kesehatan optimal, pembangunan kesehatan gigi dan mulut pelu mendapat perhatian. Upaya kesehatan gigi haruslah ditinjau dari aspek lingkungan, pendidikan, kesadaran masyarakat dan penanganan kesehatan gigi termasuk pencegahan dan perawatan. Untuk mendapat hasil sebaik-baiknya dalam pencegahan penyakit gigi, pelu diketahui masalah yang berkaitan dengan proses terjadinya kerusakan gigi termasuk etiologi, faktor-faktor yang menyebabkan timbulnya kerusakan gigi dan juga faktor distribusi penduduk, lingkungan serta perilaku masyarakat terhada kesehatan gigi (Suwelo, 1992). Pembangunan kesehatan gigi dan mulut di Indonesia telah berjalan baik, meskipun belum mencapai hasil optimal. Hal ini dapat dilihat dari perkembangan sarana
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
I. PENDAHULUAN
A. Latar belakang masalah
Pembangunan di bidang kesehatan bertujuan untuk meningkatkan derajat
kesehatan masyarakat agar tingkat kesehatan menjadi lebih baik. Dalam menunjang
upaya kesehatan agar mencapai deajat kesehatan optimal, pembangunan kesehatan
gigi dan mulut pelu mendapat perhatian. Upaya kesehatan gigi haruslah ditinjau dari
aspek lingkungan, pendidikan, kesadaran masyarakat dan penanganan kesehatan gigi
termasuk pencegahan dan perawatan. Untuk mendapat hasil sebaik-baiknya dalam
pencegahan penyakit gigi, pelu diketahui masalah yang berkaitan dengan proses
terjadinya kerusakan gigi termasuk etiologi, faktor-faktor yang menyebabkan
timbulnya kerusakan gigi dan juga faktor distribusi penduduk, lingkungan serta
perilaku masyarakat terhada kesehatan gigi (Suwelo, 1992).
Pembangunan kesehatan gigi dan mulut di Indonesia telah berjalan baik,
meskipun belum mencapai hasil optimal. Hal ini dapat dilihat dari perkembangan
sarana pelayanan kesehatan gigi dan mulut di rumah sakit dan puskesmas di Idonesia
yang dari tahun ke tahun terus meningkat baik jumlah maupun pemerataannya.
Walaupun demikian, penyakit gigi dan mulut masih diderita oleh 90% penduduk
Indonesia (Depkes RI, 1999)
Karies gigi merupakan salah satu penyakit yang paling sering ditemui di rongga
mulut. Karies gigi adalah penyakit jaringan keras gigi yaitu email, dentin, dan
sementum. Karies diawali dengan demineralisasi jaringan keras gigi yang kemudian
diikuti oleh kerusakan bahan organiknya (Kidd dan Bechal, 1991). Berdasar hasil
Survey Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 2001, menyatakan prevalensi
tertinggi penyakit gigi dan mulut adalah karies dan penyakit periodontal yang
meliputi 60% penduduk (Tampubolon, 2005).
Suwelo (1992) menjelaskan bahwa kesaadaran, sikap, dan perilaku individu
terhadap kesehatan gigi merupakan faktor yang mempengaruhi status karies gigi.
Begitupula dengan Wycoff (1980 cit. Suwelo, 1992) menjelaskan bahwa terdapat
hubungan antara keadaan sosial ekonomi dan prevalensi karies gigi. Faktor yang
mempengaruhi perbedaan ini adalah tingkat pendidikan dan penghasilan yang antara
lain berhubungan dengan diet dan kebiasan merawat gigi
Mahasiswa dengan tingkat pengetahuan yang tinggi dianggap mudah menyerap
informasi terbaru dan dapat menerapkan pengetahuan mereka. Mahasiswa kedokteran
gigi mendapat pengetahuan mengenai kesehatan gigi dan mulut termasuk
pemeliharanya, sehingga penelitian dengan subyek mahasiswa kedokteran gigi
diharapkan dapat meningkatkan homogenitas pengetahuan dan perilaku pemeliharaan
kesehatan gigi pada subyek.
Fluor memegang peanan penting dalam pencegahan dan pengendalian karies. Di
seluruh dunia, fluor telah digunakan untuk pencegan kariesdengan berbagai cara.
Fluor efektif bila diberikan pada saat pertumbuhan dan perkembangan gigi. Sumber
utama fluor antara lain makanan dan air minum, keberadaan fluor dapat secara alami
atau oleh karena fluorosi (Fajerskov dkk, 1996).
Konsenterasi fluor dalam air tidaklah sama, tergantung daya larutnya dalam air
(Andajani, 1995). Pada air permukaan kadar fluor biasanya di bawah 0,001-0,3 ppm.
Pada air tanah, konsentrasi fluor ini bervariasi tergantung dari faktor geologi tanah
tersebut, tetapi biasanya tidak melebihi 10 mg/liter. Air ini akan keluar melalui air
sumur yang mengandung fluor sesuai dengan kandungan pada air tanah, sehingga
menyebabkan kadar fluor dalam air sumur lebih tinggi daripada air PDAM (Panjaitan
dan Lubis, 2003).
Penelitian yang dilakukan oleh Panjaitan dan Lubis (2003) diketahui bahwa
kandungan fluor pada air sumur memiliki pengaruh terhadap karies. Hasil penelitian
tersebut menunjukan bahwa karies gigi tetap anak yang minum air sumur bor lebih
kecil disbanding anak yang ,meminum air leding..
Daerah Istimewa Yogyakarta merupakan provinsi yang keadaan geografisnya
cukup bervariasi. Sumber air minum di DIY dibedakan menjadi 2 jenis sumber yakni
sumber air tidak terlindung dan sumber air terlindung yang memenuhi syarat
kesehatan meliputi air kemasan, ledeng, pompa, sumur terlindung dan mata air
terlindung. Berdasarkan Statistik Lingkungan Hidup Provinsi DIY dari Badan Pusat
Statistik (BPS) menggambarkan bahwa 81,89% rumah tangga telah menggunakan
sumber air terlindungi dengan jumlah terbanyak sumber air yang digunakan adalah
sumur terlindungi 58,48%. Persentase rumah tangga menurut sumber air minimum di
Provinsi DIY (Surkesda 2003) rumah tangga yang telah menggunakan sumber air
terlindung 85,60% (Bappeda Provinsi Yogyakarta, 2003)
Dengan melihat kondisi ini maka dipandang perlu untuk mengadakan penelitian
tentang perbedaan statuskaries gigi masyarakat Yogyakarta khususnya mahasiswa
yang mengkonsumsi air sumur dan yang mengkonsumsi air PDAM.
B. Rumusan Masalah
Permasalahan yang dapat diajukan berdasar latar belakang di atas adalah: Apakah
ada perbedaan status karies gigi pada mahasiswa kedokteran gigi yang
mengkonsumsi air sumur dan air PDAM di Universitas Muhammadiya Yogyakarta.
C. Keaslian Penelitian
Terdapat penelitian sejenis yang telah dilakukan sebelumnya, yaitu “Kadar Fluor
Air Minum Terhadap Prevalensi Karies Gigi” (Damayanti, 1996). Usia subyek pada
penelitian Damayanti adalah antara 9-11 tahun atau subyek masih dalam fase gigi
desidui dan gigi bercampur.
Penelitian sejenis yang lain adalah “Pengalaman Karies Pada Usia 12-15 Tahun
yang Minum Air Sumu Bor dan Air Leding di Kampung Nelayan dan Uni Kampung
Belawan” (Panjaitan dan Lubis, 2003). Perbedaan dengan penelitian ini adalah pada
lokasi penelitian dan subyek yang diteliti.
Hasil penelitian yang diakukan oleh Damayanti bertentangan dengan penelitian
yang dilakukan oleh Panjaitan dan Lubis dimana bahwa tidak ada perbedaan status
karies gigi sampe pada daerah dengan kadar fluor air minum tinggi dan rendah.
Penelitian sejenis lainnya dilakukan oleh Misrinda DAI (2006), yaitu “Perbedaan
Status Karies Gigi Pada Usia 16-18 Tahun yang Mengkonsumsi Air Sumur dan Air
PDAM di Kota Gorontalo”
Pada penelitian yang dilakukan penulis, penulis ingin mengetahui ada tidaknya
perbedaan status karies gigi pada mahasiswa kedokteran gigi yang mengkonsumsi air
sumur dan air PDAM di Universitas Muhammadiya Yogyakarta.
Sepengetahuan penulis belum pernah ada penelitian yang sama dengan penelitian
yang akan dilakukan penulis.
D. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengkaji perbedaan status karies gigi
orang yang mengkonsumsi air sumur dan air PDAM di DIY.
2. Tujuan Khusus
a. Untuk mengetahui status karies mahasiswa Kedokteran Gigi UMY yang
berdomisili di Yogyakarta
b. Untuk mengetahui pengaruh kandungan fluor dalam air minum baik air sumur
maupun air PDAM terhadap karies gigi sehingga dapat dilakukan pencegahan
karies gigi melalui air minum.
E. Manfaat Penelitian
1. Untuk ilmu pengetahuan
Mahasiswa dapat mengetahui kandungan fluor pada air sumur dan air PDAM serta
pengaruhnya terhadap kejadian karies gigi.
2. Untuk peneliti
Penelitian ini diharapkan dapat member pengalaman dalam bersosialisasi dan
berkomunikasi dengan pasien atau masyarakat, sebagai tempat untuk menerapkan
ilmu yang telah diperoleh.
3. Untuk masyarakat
Dengan diketahui adanya perbedaan status karies gigi antara orang yang
mengkonsumsi air sumur dan air PDAM maka hasil penelitian ini diharapkan
dapat member masukan kepada pemerintah khususnya pemerintah Yogyakarta
dalam penyediaan air minum di Yogyakarta dalam hubungannya dengan usaha
peningkatan derajat kesehatan gigi dan mulut masyarakat melalui usaha-usaha
pencegahan karies.
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Telaah Pustaka
1. Karies
a. Pengertian karies gigi
Karies gigi merupakan penyakit jaringan keras gigi yaitu email, dentin,
dan sementum, yang disebabkan oleh aktivitas suatu jasad renik dalam suatu
karbohidrat yang dapat diragikan. Tanda awal terjadinya karies adalah adanya
demineralisasi jaringan keras gigi yang kemudian diikuti oleh kerusakan
bahan organiknya. Pada stadium dini, perkembangan karies dapat dihentikan.
Penurunan pH saliva berulang-ulang dalam waktu tertentu akan
mengakibatkan demineralisasi permukaan gigi yang rentan, dan proses karies
puln dimulai (Kidd dan Bechal, 1991). Menurut Eccles dan Green (1994),
karies gigi adalah penyakit yang menyerang permukaan gigi geligi di dalam
mulut, mengakibatkan kerusakan yang lambat dari jaringan keras mahkota
gigi. Karies bila tidak segera dirawat akan meluas ke pulpa gigi dan dapat
merusak seluruh mahkota gigi, hal ini kemudian dapat menimbulkan rasa
sakit, terganggunya fungsi mastikasi, inflamasi jaringan gingival,
pembentukan abses, perubahan penampilan pasien dan efek-efek sosial yang
berkaitan dengannya.
b. Etiologi karies gigi
Telah banyak teori mengenai teori karies gigi yang dikemukakan oleh
para ahli. Bernier dan Muhler (1970, cit. Lukito, 1995) mengemukakan bahwa
terdapat dua faktor yang harus diperhatikan dalam etiologi karies gigi, yaitu
faktor gigi itu sendiri dan faktor yang bekerja di lingkungan sekitar gigi.
Menurut Roeslan dan Sadono (1997), terjadinya karies merupakan proses
multifaktor dengan berbagai variabel biologik terdapat di dalamnya. Proses
terjadinya karies merupakan interaksi antara kelompok faktor daya tahan
pejamu yaitu gigi dan saliva, serta kelompok faktor kariogenik yang terdiri
atas substrat dan mikroorganisme.
Menurut Sriyono (2005), karies gigi adalah suatu penyakit yang
merupakan interaksi dari 4 faktor yaitu host (pejamu), agent (penyebab),
environment (lingkungan), dan time (waktu) yang menghasilkan kerusakan
pada jaringan keras gigi yang tidak dapat pulih kembali yaitu email, dentin,
dan pulpa. Keempat faktor risiko di dalam mulut yang merupakan faktor yang
langsung berhubungan dengan karies yaitu:
i. Faktor pejamu (host)
Faktor pejamu (host) terjadinya karies adalah gigi. Variasi morfologi
gigi mempengaruhi resistensi gigi terhadap karies. Banyak ahli
berpendapat bahwa permukaan oklusal gigi tetap lebih mudah terkena
karies disbanding permukaan lain, karena bentuknya yang khas sehingga
sulit dibersihkan. Susunan gigi berjejal (crowded) dan saling tumpang
tindih (over lapping) akan mendukung timbulnya karies, karena daerah
tersebut sulit dibersihkan (Suwelo, 1992). Permukaan gigi yang sering
terpapar adalah permukaan yang berfisur, permukaan halus, permukaan
akar, dan sekitar tumpatan. Permukaan halus yang sering terinfeksi adalah
daerah aproksimal di bawah titik kontak. Kerusakan email permukaan
halus relative lebih cepat daripada fisur (Ford, 1993). Gigi dengan fisur
yang dalam mengakibatkan sisa-sisa makanan mudah melekat dan bertaha,
sehingga produksi asam oleh bakteri akan berlangsung dengan cepat dan
menimbulkan karies (Tarigan, 1990).
ii. Faktor penyebab (agent)
Faktor penyebab (agent) terjadinya karies yaitu mikroorganisme. Karies
gigi terjadi karena infeksi kronis kuman. Di antara kuman-kuman rongga
mulut, Streptococcus mutans dianggap paling kariogenik karena
kemampuannya membentuk plak gigi dari polisakarida ekstraseluler
(Stopelaar, 1971 cit. Roeslan dan Sadono, 1997). Menurut Kidd dan Bechal
(1991), Streptococcus mutans dan Lactobacillus merupakan kuman yang
kariogenik karena mampu segera membuat asam dari karbohidrat yang
dapat diragikan. Englander dan Jordan (1972 cit. Suwelo, 1992)
membuktikan peran Streptococcus mutans terhadap karies gigi dan
hubunannya dengan karbohidrat, plak gigi, saliva, serta lokasi populasi
terbanyak mikroorganisme tersebut di dalam mulut dan di permukaan gigi.
Freeman (1985 cit. Roeslan dkk., 1995) menyatakan bahwa proses
terjadinya karies gigi dimulai dengan pembentukan plak gigi, yang dimulai
dengan meleatnya kuman-kuman anaerob pada pelikel permukaan gigi.
iii. Faktor lingkungan (environment)
Faktor lingkungan (environment) meliputi saliva, cairan celah gusi dan
fluor. Kerentanan gigi terhadap karies banyak tergantung kepada
lingkungannya sehingga peran saliva sangat besar sekali. Saliva mampu
meremineralisasikan karies yang masih dini karena banyak sekali
mengandung ion kalsium dan fosfat. Kemampuan saliva dalam melakukan
remineralisasi meningkat jika ada ion fluor. Saliva selain mempengaruhi
komposisi mikroorganisme di dalam plak, juga mempengaruhi pH-nya,
oleh sebab itu jika aliran saliva berkurang atau menghilang, maka karies
akan tidak terkendali (Kidd dan Bechal, 1991). Efektifitas fluor
ditunjukkan melalui kemampuannya melindungi daerah yang rentan
terserang karies, dengan cara mengurangi kelarutan email oleh asam
(Dreizen, 1976 cit. Roeslan dkk., 1995)
Faktor lingkungan yang lainnya yaitu substrat (Newburn, 1978 cit.
Lukito, 1995). Substrat adalah campuran makanan halus dan minuman
yang dimakan sehari-hari dan menempel di pemukaan gigi. Substrat ini
berpengaruh terhadap karies secara lokal di dalam mulut (Newburn, 1978
cit. Suwelo, 1992). Makanan dan minuman yang mengandung gula akan
segera meresap ke dalam plak dan dimetabolisme dengan cepat oleh
bakteri. Makanan dan minuman yang mengandung gula akan menurunkan
pH plak dengan cepat sampai pada level yang dapat menyebabkan
demineralisasi email. Plak akan tetap bersifat asam selama beberapa waktu
dan kemudian akan kembali ke pH normal. Oleh karena itu, konsumsi gula
yang sering dan berulang-ulang akan tetap menahan pH plak pada di bawah
normal dan menyebabkan demineralisasi email (Kidd dan Bechal, 1991).
Berbagai karbohidrat dapat menghasilkan asam laktat, namun
kariogenitasnya ditentukan oleh tiga faktor, yaitu terdapat dalam jumlah
yang banyak di dalam diet, sukar dibersihkan dari dalam mulut, dan cepat
diragi oleh bakteri (Volker dan Finn, 1972 cit. Roeslan dan Sadono, 1997).
Sintesis polisakarida dari sukrosa lebih cepat dibanding glukosa, fruktosa
dan laktosa. Oleh karena itu, sukrosa merupakan gula yang paling
kariogenik dan karena sukrosa merupakan gula yang paling banyak
dikonsumsi maka sukrosa merupakan penyebab karies yang utama (Kid
dan Bechal, 1991).
iv. Faktor waktu (time)
Karies juga dipengaruhi oleh kecepatan terbentuknya karies serta lama
dan frequensi substrat menempel di permukan gigi. Karies gigi merupakan
penyakit kronis, kerusakannya berjalan dalam periode bulan atau tahun.
Rata-rata kecepatan karies gigi tetap yang diamati di klinik 18 ± 6 bulan
(Newburn, 1978 cit. Suwelo, 1992). Pada anak-anak perkembangan karies
dari saat terdeteksi sampai ditentukan keadaan harus dirawat memakan
waktu hanya 1 tahun, pada orang dewasa lesi sebenarnya dapat tetap statis
bertahun-tahun lamanya (Ford, 1993).
Sedangkan menurut Suwelo (1992), ada beberapa faktor luar yang
merupakan faktor predisposisi dan faktor penghambat yang berhubungan
tidak langsung dengan proses terjadinya karies. Faktor-faktor luar tersebut
antara lain:
i. Usia
Sejalan dengan pertambahan usia seseorang, jumlah kariespun akan
bertambah. Hal tersebut dapat terjadi karena faktor risiko karies akan lebih
lama berpengaruh terhadap gigi (Suwelo, 1992).
ii. Jenis kelamin
Powell dan wycoff (1980 cit. Suwelo, 1992) mengatakan bahwa
prevalensi karies gigi tetap wanita lebih tinggi dibanding pria, begitu juga
pada gigi anak-anak, hal ini disebabkan antara lain erupsi gigi anak
perempuan lebih cepat disbanding anak laki-laki, sehingga gigi anak
perempuan lebih lama dalam mulut dan berhubungan dengan faktor risiko
terjadinya karies.
iii. Suku bangsa
Perbedaan status karies berdasar suku bangsa lebih karena sosial
ekonomi, pendidikan, makanan, cara pencegahan karies dan jangkauan
pelayanan kesehatan gigi yng berbeda di setiap suku tersebut (Finn, 1977;
Powell, 1980; dan Wycoff, 1980 cit. Suwelo, 1992).
iv. Letak geografis
Wycoff dan powell (1980 cit. Suwelo, 1992), perbedaan prevalensi karies
juga ditemukan pada penduduk yang letak geografisnya berbeda. Faktor-
faktor yang menyebabkan perbedaan ini, karena perbedaan lamanya
matahari bersinar, suhu, cuaca, air, keadaan tanah dan jarak dari laut.
v. Kultur sosial penduduk
Wycoff (1980 cit. Suwelo, 1992) menjelaskan faktor yang
mempengaruhi perbedaan status karies berdasar kultur social penduduk ini
adalah pendidikan dan penghasilan yang berhubungan antara lain dengan
diet dan kebiasaan merawat gigi. Perilaku sosial dan kebiasaan akan
mempengaruhi pebedaan jumlah karies.
vi. Kesadaran, sikap, dan perilaku individu terhadap kesehatan gigi
Perilaku kesehatan adalah usaha-usaha yang dilakukan seseorang untuk
memeliara kesehatan agar tidak sakit dan usaha untuk penyembuhan
apabila terjadi sakit. Perilaku peningkatan kesehatan serta pemilihan
makanan dan minuman yang baik dapat memelihara kesehatan seseoang
(Notoatmodjo, 2003).
2. Mahasiswa Kedokteran Gigi UMY
Program Studi Pendidikan Dokter Gigi Universitas Muhammadiyah
Yogyakarta didirikan sejak tahun 2004. Lama pendidikan standarnya adalah 11
semester yang terbagi atas pendidikan Sarjana Kedokteran Gigi selama 8 semester
dan Pendidikan Profesi selama 3 semester. Perkuliahan berlangsung di kampus
dan berbagai poliklinik gigi milik Dana Sehat Muhammadiyah dengan metode
pembelajaran Problem Based Learning Sejak awal perkuliahan mahasiswa akan
belajar secara integrasi dalam blok-blok yang menggunakan pendekatan pre klinis
dan klinis. Sedangkan Pendidikan Profesi akan berlangsung di Rumah Sakit Gigi
dan Mulut Pendidikan (RSGMP) FKIK UMY, Jl. Cokroaminoto, Yogyakarta.
Tujuan pendidikan Kedokteran Gigi Fakultas Kedokteran dan Ilmu
Kesehatan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta adalah menghasilkan dokter
gigi yang profesional, Islami, bervisi global dan mempunyai kemampuan
manajerial yang tergambar dalam karakteristik berikut:
1. Menghasilkan dokter gigi yang kompeten di bidangnya, islami bervisi global dan
mempunyai kemampuan manejerial yang tercermin dalam karakteristik berikut:
2. Mampu memberikan pelayanan kedokteran dan kesehatan yang sesuai standar
pelayanan kesehatan bagi masyarakat.
3. Mampu membuat keputusan-keputusan klinik maupun kebijakan kesehatan.
4. Mampu mengkomunikasikan promosi kesehatan dan pemberdayaan peran serta
masyarakat dalam meningkatan kesehatan individual, keluarga dan
lingkungannya.
5. Mampu menjadi pemimpin masyarakat yang menjebatani kebutuhan kesehatan
individu dan masyarakat.
6. Mampu bertindak sebagai manajer dapat bekerja secara efesien baik dalam tim
disipliner bidang kesehatan maupun lintas disiplin.
7. Mampu menjadikan dirinya muslim berakhlaq mulia dan berperan dalam dakwah
Program S1 pendidikan Dokter Gigi FKIK UMY menggunakan sistem
pembelajaran yang lebih terintegrasi, yang merangsang mahasiswa untuk aktif dalam
proses belajar, yaitu kurikulum PBL (Problem Based Learning) dengan sistem blok
yang berbeda dengan sistem konvesional yang sering digunakan. Program pendidikan
Dokter Gigi Tahap S1 dengan konversi jumlah SKS adalah 149 SKS dapat di tempuh
dalam waktu 4 tahun. Tahap Profesi Dokter Gigi yang ditempuh setelah mahasiswa
lulus S1 (S. KG) menggunakan sistem pembelajaran klinik terintegrasi, Dengan
jumlah SKS 31, dapat di tempuh dalam jangka waktu 1,5 tahun.
Mahasiswa sebagai bagian masyarakat yang dianggap memiliki tingkat
pengetahuan yang tinggi sehingga mudah menyerap informasi terbaru dan dapat
menerapkan pengetahuan mereka (Budiharto, 1998). Mahasiswa kedokteran gigi
mempelajari hal-hal yang berhubungan dengan kesehatan gigi dan mulut dalam