Top Banner
BAB I PENDAHULUAN 1.1Latar Belakang Kejang demam ialah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu tubuh (suhu rektal di atas 38 0 C) yang disebabkan oleh suatu proses ekstrakranium yang terjadi pada anak berusia 6 bulan sampai 60 bulan (5 tahun). Kejang demam dikelompokkan menjadi dua, yaitu kejang demam sederhana dan kejang demam kompleks. Kejang demam sederhana 80% dari seluruh kejang demam. 1,2,3 Kejang demam merupakan salah satu kelainan neurologis yang paling sering dijumpai pada bayi dan anak. Kejang demam terjadi pada 2-5% anak didunia. Insiden dan prevalensi kejang demam berbeda pada setiap negara. Prevalensi kejang demam pada anak di Amerika Serikat dan Eropa berkisar 2-5%, sedangkan di Asia prevalensi kejang demam meningkat dua sampai tiga kali bila dibandingkan di Eropa dan di Amerika. Hasil penelitian di Jepang didapatkan 3,4-9,3% anak setidaknya pernah mengalami satu kali episode kejang demam. Sedangkan di India sekitar 5-10% anak pernah mengalami kejang demam. Hal ini menunjukkan bahwa faktor genetik dan lingkungan merupakan faktor predisposisi tingginya insidensi kejang demam. 3,4 1
40

KTI 1

Jan 31, 2016

Download

Documents

Accel Dua

ok
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: KTI 1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kejang demam ialah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu

tubuh (suhu rektal di atas 380C) yang disebabkan oleh suatu proses ekstrakranium

yang terjadi pada anak berusia 6 bulan sampai 60 bulan (5 tahun). Kejang demam

dikelompokkan menjadi dua, yaitu kejang demam sederhana dan kejang demam

kompleks. Kejang demam sederhana 80% dari seluruh kejang demam.1,2,3

Kejang demam merupakan salah satu kelainan neurologis yang paling

sering dijumpai pada bayi dan anak. Kejang demam terjadi pada 2-5% anak

didunia. Insiden dan prevalensi kejang demam berbeda pada setiap negara.

Prevalensi kejang demam pada anak di Amerika Serikat dan Eropa berkisar 2-

5%, sedangkan di Asia prevalensi kejang demam meningkat dua sampai tiga kali

bila dibandingkan di Eropa dan di Amerika. Hasil penelitian di Jepang

didapatkan 3,4-9,3% anak setidaknya pernah mengalami satu kali episode kejang

demam. Sedangkan di India sekitar 5-10% anak pernah mengalami kejang

demam. Hal ini menunjukkan bahwa faktor genetik dan lingkungan merupakan

faktor predisposisi tingginya insidensi kejang demam.3,4

Insiden tertinggi kejang demam terjadi pada usia 14-18 bulan. Usia rata-

rata mulai timbulnya kejang demam berkisar antara 18–22 bulan dan jarang

dijumpai pada anak sebelum usia 9 bulan dan sesudah usia 5 tahun.5,6

Prognosis kejang demam umumnya baik, kejang demam bersifat jinak

(benign). Angka kematian yang ditimbulkan hanya sekitar 0,64%-0,75%.

Sebagian besar kasus kejang demam dapat sembuh sempurna. Namun pada

beberapa kasus yang tidak ditangani dengan tepat, maka akan timbul sekuele

antara lain hemiparesis, peningkatan resiko kejang demam berulang, peningkatan

resiko epilepsi, dan penurunan tingkat intelegensia (IQ). Kemungkinan terjadinya

sekuele lebih besar bila kejang demam pertama terjadi pada usia yang lebih dini

dengan tipe kejang demam kompleks. Kejang demam dapat mengakibatkan

gangguan tingkah laku serta penurunan intelegensi pada 4% penderita kejang

1

Page 2: KTI 1

demam. Beberapa hasil penelitian tentang penurunan tingkat intelegensi paska

bangkitan kejang demam tidaklah sama. Hasil penelitian Schiottz-Christensen

yang meneliti 41 pasang kembar monozigot, yang salah satunya menderita kejang

demam didapatkan bahwa IQ rata-rata 7 angka lebih rendah pada yang menderita

kejang demam dibanding saudara kembarnya yang tanpa kejang demam. 3,7

Terdapat berbagai faktor-faktor yang berperan dalam etiologi kejang

demam, yaitu faktor demam, usia, riwayat keluarga, dan riwayat prenatal (usia

saat ibu hamil), riwayat perinatal (asfiksia, usia kehamilan dan berat bayi lahir

rendah). Riwayat keluarga disebut sebagai salah satu faktor resiko terpenting.

Kejang demam umumnya diturunkan secara dominan autosomal. Risiko saudara

kandung penderita kejang demam untuk mendapat kejang demam ialah 2–3 kali

lebih besar daripada populasi umum. Apabila satu dari orangtua atau saudaranya

pernah mengalami kejang demam, kemungkinan kejadian kejang demam akan

meningkat menjadi 50%. Sedangkan anak dengan tipe kejang demam sederhana

mempunyai riwayat keluarga kejang demam yang lebih tinggi dibandingkan

dengan tipe kejang demam kompleks (35% berbanding 18%).8

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan di Yogyakarta pada

Januari 2009 – Juli 2010 didapatkan bahwa anak dengan riwayat kejang pada

keluarga lebih banyak mengalami kejang demam sederhana sebagai tipe kejang

demam pertama dengan onset kejang demam yang lebih dini dibandingkan

dengan anak yang mengalami kejang demam tanpa riwayat keluarga.

Berdasarkan survei pendahuluan yang telah dilakukan di RSUD Pirngadi

Medan didapatkan jumlah data penderita kejang demam pada anak berusia 0-15

tahun periode Januari – Desember 2013 sebanyak 66 orang. Penelitian mengenai

hubungan riwayat keluarga dengan onset kejang demam sederhana belum pernah

dilakukan di Rumah Sakit Umum Pirngadi Medan.

Berdasarkan uraian di atas, maka peneliti tertarik untuk meneliti tentang

hubungan riwayat keluarga dengan onset kejang demam sederhana pada anak di

Rumah Sakit Umum Pirngadi Medan.

1

Page 3: KTI 1

1.2 Rumusan Masalah

Bagaimana hubungan riwayat keluarga dengan onset kejang demam

sederhana pada anak di Rumah Sakit Umum Pirngadi Medan ?

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan Umum

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan riwayat

keluarga dengan onset kejang demam sederhana di Rumah Sakit Umum

Pirngadi Medan.

1.3.2 Tujuan Khusus

Yang menjadi tujuan khusus dalam penelitian ini adalah :

1. Untuk mengetahui angka kejadian kejang demam sederhana pada

anak di Rumah Sakit Umum Pirngadi Medan.

2. Untuk mengetahui karakteristik penderita (usia, jenis kelamin)

kejang demam sederhana di Rumah Sakit Umum Pirngadi Medan.

3. Untuk mengetahui gambaran riwayat keluarga pada penderita kejang

demam sederhana di Rumah Sakit Umum Pirngadi Medan.

4. Untuk mengetahui gambaran onset pada penderita kejang demam

sederhana di Rumah Sakit Pirngadi Medan.

5. Untuk mengetahui hubungan riwayat keluarga dengan onset kejang

demam sederhana di Rumah Sakit Umum Pirngadi Medan.

1.4 Hipotesis

H0 = Tidak terdapat hubungan antara riwayat keluarga dengan

onset kejang demam sederhana.

H1 = Terdapat hubungan antara riwayat keluarga dengan onset

kejang demam sederhana.

1

Page 4: KTI 1

1.5 Manfaat Penelitian

1. Bidang pendidikan

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi terutama

mengenai hubungan riwayat keluarga dengan onset kejang demam

sederhana.

2. Bidang kesehatan

Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan

pertimbangan untuk memprediksi onset kejang demam sederhana yang

berhubungan dengan faktor risiko riwayat keluarga sehingga dapat

meningkatkan manajemen pengelolahannya.

3. Bidang penelitian

Penelitian ini dapat digunakan sebagai penelitian pendahuluan dan data

yang didapat dari penelitian ini dapat digunakan sebagai dasar untuk

penelitian selanjutnya.

4. Masyarakat

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada masyarakat

untuk dapat lebih mengantisipasi kejadian kejang demam sederhana pada

anak dengan riwayat keluarga kejang demam.

1

Page 5: KTI 1

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.2.1 Tinjauan Tentang Kejang Demam

2.1.1 Defenisi

Kejang demam ialah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu

badan (suhu rektal diatas 38oC) yang disebabkan oleh suatu proses ektrakranium.1

Kejang demam merupakan salah satu penyakit yang sering terjadi pada anak.

Menurut American Academy of Pediatrics kejang demam umumnya terjadi pada

anak yang berusia antara 6 bulan sampai 5 tahun.10

2.1.2 Faktor Risiko

Faktor risiko utama terjadinya kejang demam pada anak adalah adanya

riwayat kejang demam dalam keluarga, jenis kelamin, suhu tubuh pada saat

kejang.11 Satu dari 3 anak akan mengalami kejang demam berulang. Faktor risiko

kejang demam berulang yaitu kejang demam pertama pada usia kurang dari 1

tahun, riwayat keluarga kejang demam, dan rendahnya temperatur tubuh saat

mengalami kejang demam.10

2.1.3 Etiologi

Penyakit yang paling sering menimbulkan kejang demam adalah infeksi

saluran pernafasan atas, otitis media akut, pneumonia, gastroenteritis akut,

bronchitis dan infeksi saluran kemih. Berdasarkan penelitian yang telah

dilakukan sebelumnya di Jakarta oleh Lumbantobing dapat ditentukan penyebab

demam pada 232 dari 297 penderita, sesuai dengan tabel dibawah ini. Insiden

tonsillitis/faringitis, otitis media akut dan gastroenteritis cukup tinggi, yaitu

berturut 34%, 31%, dan 27%.8

Tabel 1. Penyebab demam pada 297 penderita kejang demam 8

1

Page 6: KTI 1

Penyebab demam Jumlah Penderita

tonsilitis dan/atau faringitis 100

otitis media akut (radang liang telinga tengah) 91

enteritis/gastroenteritis (radang saluran cerna) 22

enteritis/gastroenteritis disertai dehidrasi 44

bronkitis (radang saluran nafas) 17

bronkopneumonia (radang paru dan saluran nafas) 38

morbili (campak) 12

varisela (cacar air) 1

dengue (demam berdarah) 1

tidak diketahui 66

Semua jenis infeksi yang bersumber di luar susunan saraf pusat yang

menimbulkan demam dapat menyebabkan kejang demam. Penyakit yang paling

sering menimbulkan kejang demam adalah infeksi saluran nafas atas, otitis media

akut, pneumonia, gastroenteritis akut, bronchitis, dan infeksi saluran kemih.12

Berdasarkan hasil penelitian di Sydney dan Australia pada tahun 2003-2010

didapatkan hubungan antara Influenza seasonal epidemics & Respiratory

syncytial virus (infeksi saluran nafas ) dengan peningkatan kejang demam yang

signifikan pada anak.13

2.1.4 Klasifikasi

Kejang demam terbagi atas 2 golongan, yaitu: kejang demam sederhana

(simple febrile seizure) dan kejang demam kompleks (complex febrile seizure).

Kejang demam sederhana adalah kejang demam yang berlangsung singkat,

kurang dari 15 menit, hanya terjadi satu kali dalam 24 jam, bersifat menyeluruh.

Kejang demam sederhana merupakan 80% di antara seluruh kejang demam.

Kejang demam kompleks adalah kejang yang berlangsung >15 menit, kejang

berulang lebih dari 2 kali dan di antara bangkitan kejang anak tidak sadar.1,10

2.1.5 Patofisiologi

1

Page 7: KTI 1

Meskipun belum diketahui secara pasti mekanisme kejang, tetapi diduga

karena adanya peningkatan eksitasi neurottransmiter asam amino (glutamate,

aspartat) yang berperan menghasilkan eksitasi neuron dengan bekerja pada

reseptor pada sel tertentu. Kejang lebih sering terjadi pada bayi dan anak. Hal ini

menunjukkan bahwa perkembangan otak yang belum matang (imatur) merupakan

salah satu penyebab anak lebih rentan untuk terkena kejang dibandingkan dengan

orang dewasa.5

Pada kejang demam terjadi peningkatan serum sitokin diantaranya

Interleukin-1β (IL-1β), Interleukin-6 (IL-6), Interleukin-10 (IL-10), High-

Mobility Group Box protein 1 (HMGB1) yang lebih tinggi dibandingkan dengan

yang hanya mengalami demam.14

Kenaikan suhu badan 10C akan menyebabkan peninggian metabolisme

basal sebanyak 10-15% serta peningkatan keperluan akan O2 sebanyak 20%.

Sirkulasi darah otak anak 65% dari seluruh tubuhnya sedangkan pada orang

dewasa hanya 15%. Pada keadaan kejang, aliran darah ke otak dapat terganggu.

Kejang yang lama akan menyebabkan iskemia otak sehingga neuron-neuron

korteks serebrum, serebelum, thalamus, amigloid, hipokampus dan unkus akan

mengalami kerusakan diikuti proliferasi sel-sel glia, gliosis. Jadi pada kenaikan

suhu tubuh tertentu dapat terjadi perubahan keseimbangan dari membrane sel

neuron dalam waktu yang singkat terjadi difusi dari Ion Kalium maupun Ion

Natrium melalui membran tadi dengan akibatnya terjadinya lepas muatan listrik.

Lepas muatan listrik ini demikian besarnya sehingga dapat meluas ke seluruh sel

maupun ke membran sel lainnya dengan bantuan neurotransmitter dan

menimbulkan kejang.7,15

Tiap anak mempunyai ambang kejang yang berbeda dan tergantung tinggi

rendahnya ambang kejang seorang anak menderita kejang pada kenaikan suhu

tertentu. Pada anak dengan ambang kejang yang rendah, kejang terjadi pada suhu

38oC sedangkan pada anak dengan ambang kejang yang tinggi, kejang baru

terjadi pada suhu 40oC atau lebih. Dari kenyataan inilah dapatlah disimpulkan

bahwa terulangnya kejang demam lebih sering terjadi pada ambang kejang yang

1

Page 8: KTI 1

rendah sehingga dalam penanggulangannya perlu diperhatikan pada tingkat suhu

berapa penderita kejang.15

Faktor terpenting adalah gangguan peredaran darah yang mengakibatkan

hipoksia sehingga meningkatkan permeabilitas kapiler dan timbul edema otak

yang mengakibatkan kerusakan sel neuron otak. Kerusakan pada daerah mesial

lobus temporalis setelah mendapat serangan kejang yang berlangsung lama dapat

terjadi serangan epilepsi yang spontan. Jadi kejang demam yang berlangsung

lama dapat menyebabkan kelainan anatomis di otak hingga terjadi epilepsi.15

Kejang demam yang berlangsung singkat pada umumnya tidak berbahaya

dan tidak menimbulkan gejala sisa. Tetapi pada kejang yang berlangsung lama

(lebih dari 15 menit) biasanya disertai terjadinya apnea, meningkatnya kebutuhan

oksigen dan energi untuk kontraksi otot skelet yang akhirnya terjadi hipoksemia,

hiperkapnia, asidosis laktat disebabkan oleh metabolisme anaerobik, hipotensi

arterial disertai denyut jantung yang tidak teratur dan suhu tubuh makin

meningkatnya aktifitas otot dan selanjutnya menyebabkan metabolisme otak

meningkat. Rangkaian kejadian diatas adalah faktor penyebab hingga terjadinya

kerusakan neuron otak selama berlangsungnya kejang lama.15

2.1.6 Manifestasi Klinis

Kejang khas yang bersifat menyeluruh, tonik-klonik beberapa detik

sampai 10 menit, diikuti dengan periode mengantuk singkat pasca kejang. Kejang

demam yang menetap lebih lama dari 15 menit menunjukkan penyebab organik

seperti proses infeksi atau toksik yang memerlukan pengamatan menyeluruh.5

Umumnya kejang demam berlangsung singkat, berupa serangan kejang

klonik atau tonik klonik bilateral. Seringkali kejang berhenti sendiri. Setelah

kejang berhenti anak tidak memberi reaksi apapun untuk sejenak, tetapi setelah

beberapa detik atau menit anak terbangun dan sadar kembali tanpa defisit

neurologis. Kejang demam diikuti hemiparesis sementara (Hemiparesis Tood)

yang berlangsung beberapa jam sampai beberapa hari. Kejang unilateral yang

lama dapat diikuti oleh hemiparesis yang menetap. Bangkitan kejang yang

1

Page 9: KTI 1

berlangsung lama lebih sering terjadi pada kejang demam yang pertama. Kejang

berulang dalam 24 jam ditemukan pada 16% pasien.12

2.1.7 Penegakan Diagnosis

Secara klinis umumnya tidak sulit untuk menegakkan diagnosis kejang

demam. Terdapat gejala kejang pada suhu badan yang tinggi. Di samping itu

tidak didapatkan gejala neurologis lain dan anak segera sadar setelah kejang

berlalu. Namun, perlu diingat bahwa kejang dengan suhu badan yang tinggi dapat

pula terjadi pada kelainan lain, misalnya radang selaput otak (meningitis), radang

otak (ensefalitis). Menegakkan diagnosis meningitis tidak selalu mudah, terutama

pada bayi dan anak yang masih sangat muda. Pada usia kelompok ini gejala

meningitis sering tidak khas dan gangguan neurologisnya kurang nyata.8

Pada bayi yang usianya lebih muda dari 6 bulan gejala kaku kuduk serta

dibangkitkan. Agar tidak terjadi kekhilafan yang dapat berakibat fatal atau

meninggalkan cacat yang berat, dianjurkan agar pada bayi yang berusia lebih

muda dari 6 bulan yang menderita kejang demam, harus dilakukan pemeriksaan

cairan serebrospinal, yang umumnya diambil melalui pungsi lumbal. Pada

kelompok usia 6 – 18 bulan tindakan ini dianjurkan.8

Beberapa hal yang dapat mengarahkan untuk dapat menentukan diagnosis kejang

demam antara lain:

1. Anamnesis, dibutuhkan beberapa informasi yang dapat mendukung

diagnosis kearah kejang demam, seperti:

a. Menentukan adanya kejang, jenis kejang, kesadaran, lama kejang,

suhu sebelum dan saat kejang, frekuensi, interval pasca kejang,

penyebab demam di luar susunan saraf pusat.

b. Beberapa hal yang dapat meningkatkan resiko kejang demam, seperti

genetik, menderita penyakit tertentu yang disertai demam tinggi,

serangan kejang pertama disertai suhu dibawah 39oC.

c. Beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya kejang demam

berulang adalah usia < 15 bulan saat kejang demam pertama, riwayat

1

Page 10: KTI 1

kejang demam dalam keluarga, kejang segera setelah demam atau saat

suhu sudah relatif normal, kejang demam yang sering, kejang demam

pertama berupa kejang demam kompleks.16

2. Gambaran klinis yang dapat dijumpai adalah:

a. Suhu tubuh mencapai 39oC

b. Anak sering kehilangan kesadaran saat kejang

c. Kepala anak sering terlempar ke atas, mata mendelik, tungkai dan

lengan mulai kaku, bagian tubuh anak menjadi berguncang. Gejala

kejang tergantung pada jenis kejang.

d. Kulit pucat dan mungkin menjadi biru.

e. Serangan terjadi beberapa menit setelah anak itu sadar.16

3. Pemeriksaan penunjang, antara lain:

a. Pemeriksaan Laboratorium

Pemeriksaan laboratorium tidak dapat dikerjakan secara rutin pada

kejang demam, tetapi dapat dikerjakan untuk mengevaluasi sumber

infeksi penyebab demam, atau keadaan lain misalnya gastroenteritis

dehidrasi disertai demam. Pemeriksaan laboratorium yang dapat

dikerjakan misalnya darah perifer, elektrolit dan gula darah.17

b. Pungsi Lumbal

Pemeriksaan cairan serebrospinal dilakukan untuk menegakkan atau

menyingkirkan diagnosis meningitis karena manifestasi klinisnya tidak

jelas. Oleh karena itu pungsi lumbal dianjurkan pada:

1. Bayi kurang dari 12 bulan sangat dianjurkan dilakukan

2. Bayi antara 12-18 bulan dianjurkan

3. Bayi > 18 bulan tidak rutin.

Bila yakin bukan meningitis secara klinis tidak perlu dilakukan pungsi

lumbal.17

1

Page 11: KTI 1

c. Elektroenselografi

Pemeriksaan elektroenselografi (EEG) tidak dapat memprediksi

berulangnya kejang, atau memperkirakan kemungkinan kejadiaan epilepsi

pada pasien kejang demam. Oleh karenanya tidak direkomendasikan.

Pemeriksaan EEG masih dapat dilakukan pada keadaan kejang demam

yang tidak khas. Misalnya: kejang demam kompleks pada anak usia lebih

dari 6 tahun atau kejang demam fokal.17

d. Pencitraan

Foto X-Ray kepala dan pencitraan seperti Computed Tomography scan

(CT-scan) atau Magnetic Resonance Imaging (MRI) jarang sekali

dikerjakan, tidak rutin dan hanya atas indikasi seperti :

1. Kelainan neurologik fokal yang menetap ( hemiparesis)

2. Paresis nervus VI

3. Papiledema.17

2.1.8 Penatalaksanaan

Pada tatalaksana kejang demam ada 3 hal yang perlu dikerjakan yaitu :

a. Pengobatan fase akut

Pada sebagian besar kasus kejang demam, kejang berlangsung

singkat. Ketika penderita sampai di rumah sakit atau tempat praktek

dokter, kejang telah reda. Dalam hal demikian tindakan yang perlu ialah

mencari penyebab demam, memberikan pengobatan yang adekuat

terhadap penyebab tersebut, misalnya pemberian antibiotik yang sesuai

untuk infeksi. Untuk mencegah agar kejang tidak berulang kembali

sebaiknya diberi antikonvulsan. Seperti yang telah dikemukakan

sebelumnya, kejang masih dapat kambuh selama anak masih demam.8

Pada sebagian kecil kasus, kejang masih berlangsung atau berulang

lagi sewaktu anak sampai di poliklinik atau dirumah sakit. Pada anak

yang sedang mengalami kejang, dilakukan perawatan yang adekuat.

Penderita dimiringkan agar jangan terjadi aspirasi ludah atau lendir dari

mulut. Jalan nafas dijaga agar tetap terbuka, tujuannya adalah agar suplai

1

Page 12: KTI 1

oksigen tetap terjamin. Bila perlu berikan oksigen. Fungsi vital, keadaan

jantung, tekanan darah, kesadaran perlu diikuti dengan seksama.8,12

Bila penderita masih belum sadar dan keadaan tersebut berlangsung

lama, harus diperhatikan kebutuhan dan keadaan cairan, kalori dan

elektrolit. Suhu yang tinggi harus segera diturunkan dengan kompres

dingin atau mandi air dingin atau ditempatkan di kamar ber-AC. Selimut

dan pembungkus badan harus dibuka agar pendinginan badan berlangsung

dengan baik. Pemberiaan obat penurun demam seperti asetaminofen atau

antipiuretik lainnya.8

Bila kejang sedang berlangsung, harus segera dihentikan, ini adalah

untuk mencegah agar tidak terjadi kerusakan pada otak dan meninggalkan

gejala sisa atau bahkan kematian.Saat ini diazepam merupakan obat

pilihan. Diazepam diberikan intravena atau per rektum. Diazepam

intravena ialah 0,3 mg per kg berat badan dan dosis per rektum ialah 5 mg

bila berat badan kurang dari 10 kg dan 10 mg bila berat badan lebih dari

10 kg. Berikan pula dosis awal luminal suntikan intramuskular (dosis 30

mg untuk neonates; 50 mg untuk yang berusia 1 bulan – 1 tahun dan 75

mg untuk yang berusia lebih dari 1 tahun).8,12

Bila kejang juga belum berhenti, 15 menit kemudian diulangi lagi

pemberian diazepam dengan dosis yang sama. Empat jam kemudian

diberikan fenobarbital (luminal) dengan dosis untuk hari pertama dan

kedua : 8 – 10 mg/kg berat badan/hari dibagi atas 2 dosis; dan pada hari

berikutnya sampai demam reda sebanyak 4 – 5 mg/kg berat badan/ hari

dibagi dalam 2 dosis.8

b. Pengobatan Profilaksis

Kambuhnya kejang demam perlu dicegah karena serangan kejang

merupakan pengalaman yang menakutkan dan mencemaskan bagi

keluarga. Bila kejang demam berlangsung lama dan mengakibatkan

kerusakan otak yang menetap (cacat).

Ada 3 upaya yang dapat dilakukan:

1

Page 13: KTI 1

- Profilaksis intermitten, pada waktu demam.

- Profilaksis terus-menerus, dengan obat antikonvulsan tiap hari

- Mengatasi segera bila terjadi kejang.8,12

c. Profilaksis intermitten

Antikonvulsan hanya diberikan pada waktu pasien demam dengan

ketentuan orangtua pasien atau pengasuh mengetahui dengan cepat

adanya demam pada pasien. Obat yang diberikan harus cepat diabsorpsi

dan cepat masuk ke otak. Diazepam intermitten memberikan hasil lebih

baik karena penyerapannya lebih cepat. Dapat digunakan diazepam

intrarektal tiap 8 jam sebanyak 5 mg untuk pasien dengan berat badan

kurang dari 10 kg dan 10 mg untuk pasien dengan berat badan lebih dari

10 kg, setiap pasien menunjukkan suhu 38,5C atau lebih. Diazepam dapat

pula diberikan secara oral dosis 0,5 mg/kg BB/hari dibagi dalam 3 dosis

pada waktu pasien demam. Efek samping diazepam adalah ataksia,

mengantuk, dan hipotonia.8,12

d. Profilaksis terus-menerus dengan antikonvulsan tiap hari

Pemberian fenobarbital 4-5 mg/kg BB/hari dengan kadar sebesar

16 ug/ml dalam darah menunjukkan hasil yang bermakna untuk mencegah

berulangnya kejang demam. Obat lain yang dapat digunakan untuk

profilaksis kejang demam adalah asam valproat yang sama atau bahkan

lebih baik dibandingkan dengan efek fenobarbital tetapi kadang-kadang

menunjukkan efek samping hepatotoksik. Dosis asam valproat adalah 15-

40 mg/kg BB/hari. Profilaksis terus-menerus berguna untuk mencegah

berulangnya kejang demam berat yang dapat menyebabkan kerusakan

otak tetapi tidak dapat mencegah terjadinya epilepsi dikemudian hari.8

Consensus Statement di Amerika Serikat mengemukakan kriteria yang

dapat dipakai untuk pemberian terapi rumat. Profilaksis tiap hari dapat diberi

pada keadaan berikut:

1

Page 14: KTI 1

1. Bila terdapat kelainan perkembangan neurologi ( misalnya cerebral palsy,

retardasi mental, mikrosefali )

2. Bila kejang demam berlangsung lama lebih dari 15 menit, bersifat fokal,

atau diikuti kelainan neurologi sepintas atau menetap.

3. Terdapat riwayat kejang-tanpa-demam yang bersifat genetik pada

orangtua atau saudara kandung.7,12

2.1.9 Prognosis

a. Kematian :

Angka kematian yang disebabkan kejang demam adalah 0,64-0,74%.

b. Hemiparesis :

Terjadi hemiparesis pada 0,2-0.4% anak yang mengalami kejang demam

yang berlangsung lama atau hemikonvulsi.

c. Epilepsi :

Terdapat 2-4% anak dengan kejang demam akan mengalami epilepsi.

d. Terulangnya kejang :

Pada umumnya sepertiga dari anak-anak dengan kejang demam

mengalami sedikit-dikitnya satu kali kejang ulangan. Dari pasien yang

telah dua kali mendapat serangan kejang demam sebanyak 50% akan

mengalami kejang demam sekali lagi.7

2.2 Tinjauan Riwayat Keluarga

2.2.1 Faktor Resiko Riwayat Keluarga

Belum dapat dipastikan cara pewarisan sifat genetik terkait dengan kejang

demam. Tetapi nampaknya pewarisan gen secara autosomal dominan paling

1

Page 15: KTI 1

banyak ditemukan, autosomal dominan diperkirakan 60%-80%. Apabila salah

satu orang tua penderita dengan riwayat pernah menderita kejang demam

mempunyai risiko untuk terjadi bangkitan kejang demam sebesar 20-22%. Dan

apabila ke dua orang tua penderita tersebut mempunyai riwayat pernah menderita

kejang demam maka risiko untuk terjadinya kejang demam meningkat menjadi

59-64%, tetapi sebaliknya apabila kedua orangnya tidak mempunyai riwayat

pernah menderita kejang demam maka resiko terjadi kejang demam hanya 9%.

Pewarisan kejang demam lebih banyak oleh ibu dibandingkan ayah, yaitu 27%

berbanding 7%.8

2.2.2 Hubungan Riwayat Keluarga dengan Kejang Demam Sederhana

Munculnya kejang demam merupakan kombinasi faktor genetik dan

faktor lingkungan.18 Anak yang mengalami kejang demam, 24% diantaranya

memiliki riwayat keluarga dengan kejang demam dan 4% diantaranya

mempunyai riwayat keluarga kejang demam.19 Riwayat keluarga dengan kejang

demam adalah faktor resiko utama timbulnya kejang demam pada anak.20

Anak yang mempunyai riwayat keluarga kejang demam mempunyai

resiko 2-3 kali terjadi bangkitan kejang demam berulang. Riwayat keluarga

pernah kejang demam dan mutasi gen merupakan faktor risiko kejang demam

berulang. Terdapat hubungan mutasi gen dengan umur, suhu dan riwayat

keluarga pernah kejang demam, saat kejang pertama. Mutasi gen kanal ion Na+

SCNIA 19 pasien, terdapat pergantian Arginin oleh asam Glutamate (Glu)

(Arg1627Glu) (mutasi missense) dan kodon stop (TGA) (mutasi nonsense),

sedangkan pada SCNIB 12 pasien, terdapat mutasi heterozigot, yaitu kodon

130:GAA /AAA, kodon 96:CGG/TGG, kodon 138:GTC/ATC, kodon 95:AGC

/ATT dan kodon:154 GCT/AAT. Ada hubungan mutasi gen dengan umur, suhu

dan riwayat keluarga pernah kejang demam, saat kejang pertama. Riwayat

keluarga pernah kejang demam dan mutasi gen berisiko 2-3 kali terjadi kejang

demam berulang.21

Mutasi gen Mediterranean Fever (MEFV), khususnya mutasi M694V

berhubungan dengan kejadian timbulnya kejang demam sederhana dan

1

Page 16: KTI 1

peningkatan mediator inflamasi yaitu Interleukin-1β (IL-1β) berperan penting

menimbulkan manifestasi klinik dari kejang demam sederhana. Terjadi

peningkatan yang signifikan dari High-Mobility Group Box protein 1 (HMGB1)

dan sitokin pro-inflammatory Interleukin 1β (IL-1β), Interleukin-6 (IL-6), Tumor

Necrosis Factor-α (TNFα), Interferon-ϒ (IFN-ϒ) dan Interleukin-10 (IL-10) pada

anak dengan kejang demam sederhana. Namun peningkatan Interleukin-1β (IL-

1β) lebih tinggi bila dibandingkan dengan sitokin lain pada anak dengan kejang

demam. Meskipun tidak dapat disimpulkan berdasarkan penelitian deskriptif

human studies. Berdasarkan data yang didapatkan dapat disimpulkan bahwa

High-Mobility Group Box protein 1 (HMGB1) dan sitokin inflamasi terutama

Interleukin-1β (IL-1β) sangat mempengaruhi timbulnya kejang demam. Sangat

potensial untuk digunakan sebagai terapi dengan target pengobatan sitokin dan

High-Mobility Group Box protein 1 (HMGB1) untuk mencegah atau mengurangi

terjadinya kejang demam.14,22

2.2.3 Peranan mutasi gen pada kejang demam

Sel mempertahankan tingkat konsentrasi ion-ion inorganik antara bagian

luar dan dalamnya. Kalium mempunyai tingkat konsentrasi yang tinggi di dalam

sitoplasma bila dibandingkan di dalam ruang ekstraseluler, demikian juga

Natrium, Klorida, dan Kalium yang mempunyai konsentrasi lebih tinggi pada

ruang ekstraseluler dibanding ruang intraseluler. Tingkat konsentrasi tersebut

memungkinkan sebuah sistem sinyal elektrik yang didasarkan pada aktifitas

protein kanal-kanal ion yang mengelilingi sel membran. Bentuk dari kanal ion

memungkinkan ion-ion masuk dengan cepat melalui sel-sel membran dengan

kecepatan masuknya berkisar 1.000.000 sampai 100.000.000 ion perdetik.

Masuknya ion tersebut akan menimbulkan aliran elektrik 1012 sampai

1010 amper per kanal. Aliran sebesar itu cukup untuk menyebabkan timbulnya

perubahan yang cepat pada potensial membran. Karena kalsium dan Natrium

mempunyai konsentrasi yang lebih besar pada ruang ekstraseluler maka

terbukanya kanal ion akan menyebabkan ion tersebut masuk ke dalam sel dan

menimbulkan depolarisasi membran. Kanal-kanal ion dapat dirangsang dengan

1

Page 17: KTI 1

ligan ekstraseluler, intraseluler second messenger dan metabolit, interaksi

protein, fosforilasi dan faktor lainnya. Kanal ion yang terletak pada kompartemen

subseluler berperan sebagai elemen yang member sinyal pada sel-sel yang akan

masuk. Elemen tersebut memberikan sinyal yang lemah, ambang batas yang

jelas, menginformasikan sinyal pada region lain dari sel.

Para ahli kemudian menemukan kanal-kanal dengan peranannya sebagai

pemberi sinyal ditempatkan dengan extraordinary precision. Akson, dendrit,

terminal presinap dan pascasinap seluruhnya terdiri dari mikrodomain yang

berbeda dan bahwa letak dari kanal-kanal dan protein-protein lainnya yang

berperan sama sistem sinyal mengikuti perbedaan mikrodomain tersebut. Kanal-

kanal tersebut diatas memiliki gennya masing-masing dalam jumlah yang cukup

banyak, hal ini menunjukkan banyak kekhususan sinyal. Mutasi gen pada kanal-

kanal akan menyebabkan timbulnya kerja ion yang berbeda dalam menjalankan

perintah dari sistem saraf pusat oleh karena adanya perbedaan interprestasi

membaca sinyal. Gagalnya membaca sinyal akan menyebabkan kanal-kanal tidak

bekerja seperti biasanya. Sebagai contoh mutasi kanal-kanal Natrium berakibat

kanal terbuka berulang-ulang dan menyebabkan perangsangan yang berat atau

yang memanjang, timbul depolarisasi yang hebat sehingga timbul manifestasi

klinis dalam bentuk kelainan paroksimal.23

Kerangka Konsep

Faktor risiko :

1

Faktor Riwayat Keluarga Onset kejang demam

Page 18: KTI 1

Gambar 2.1 Kerangka Konsep

BAB IIIMETODE PENELITIAN

3.1 Desain Penelitian

1

Faktor perancu :

Infeksi SSP (meningitis &ensefalitis)

Gangguan keseimbangan elektrolit

Gangguan perkembangan

Page 19: KTI 1

Penelitian ini adalah penelitian analitik dengan desain cross-sectional.

3.2 Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Rumah Sakit Umum Pirngadi Medan pada bulan

September 2014 sampai bulan Februari 2014.

3.3 Populasi Penelitian

Populasi penelitian ini adalah seluruh data rekam medis anak usia 0-18 tahun

yang mengalami kejang demam selama periode Januari 2013 – Desember

2013. Berdasarkan survei pendahuluan yang telah dilakukan peneliti di

Rumah Sakit Umum Pirngadi Medan didapatkan jumlah populasi penelitian

sebanyak 66 orang.

3.4 Sampel dan Cara Pemilihan Sampel

Sampel pada penelitian ini adalah seluruh data pasien kejang demam

sederhana periode Januari 2013 – Desember 2013 yang memenuhi kriteria

inklusi dan eksklusi. Cara pengambilan sampel pada penelitian ini adalah

purposive sampling.

3.5 Kriteria Inklusi dan Kriteria Eksklusi

a) Kriteria inklusi

a. Data pasien kejang demam sederhana yang tercantum data riwayat

keluarga.

b. Kejang berhubungan dengan demam (suhu tubuh >380C)

b) Kriteria eksklusi

a. Kejang yang disebabkan oleh infeksi SSP (Sistem Saraf Pusat)

contohnya meningitis dan ensefalitis.

b. Kejang akibat gangguan keseimbangan elektrolit.

c. Adanya kelainan/defisit neurologis sebelum dan sesudah kejang.

a. Gangguan perkembangan (development delay).

b. Data yang tidak lengkap/ tidak tercantum data riwayat

keluarga.

1

Page 20: KTI 1

3.6 Cara kerja

Prosedur pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah

menggunakan data sekunder yang diambil dari data rekam medis di Rumah

Sakit Umum Pirngadi Medan.

3.7 Identifikasi Variabel Penelitian

3.7.1 Variabel bebas

Variabel bebas pada penelitian ini adalah riwayat keluarga yang

mengalami kejang demam.

3.7.2 Variabel tergantung

Variabel tergantung pada penelitian ini adalah onset timbulnya

kejang demam pertama kali pada anak.

3.7.3 Variabel perancu

Variabel perancu pada penelitian ini meliputi kejang akibat gangguan

SSP (meningitis dan ensefalitis), gangguan keseimbangan elektrolit,

adanya kelainan/defisit neurologis sebelum dan sesudah kejang,

gangguan perkembangan anak.

3.8 Definisi Operasional

No

. Variabel Defenisi Operasional

Cara Ukur

Skala

1 Riwayat

keluarga

kejang

demam

Adalah adanya riwayat

penyakit kejang demam

sebelumnya pada keluarga

baik itu ayah, ibu dan saudara

kandung.

Data rekam

medis

Nominal

2 Kejang Adalah demam yang disertai

Data rekam Nominal

1

Page 21: KTI 1

demam

sederhana

kejang pada bayi dan anak

berusia 6 bulan - 5 tahun

yang merupakan suatu proses

ekstrakranium dan bukan

akibat gangguan SSP

(meningitis dan ensefalitis),

gangguan keseimbangan

elektrolit pada saat terjadinya

kejang demam, adanya

kelainan /defisit neurologis

sebelum dan sesudah kejang

demam, gangguan

perkembangan anak dan

riwayat kejang tanpa demam

sebelumnya.

medis

3 Onset Adalah waktu pertama kali

munculnya kejang demam

sederhana pada anak.

Dikelompokan menjadi 3,

yaitu:

Data rekam

medis

Ordinal

1. Umur < 18 bulan

2. Umur 18-22 bulan

    3. Umur > 22 bulan  

4 Jenis

kelamin

Adalah jenis kelamin pasien

kejang demam sederhana

yang tercantum pada data

rekam medis, dikelompokkan

atas:

Data rekam

medis

Nominal

1. Laki-laki

    2. Perempuan  

1

Page 22: KTI 1

3.9 Analisis Data dan Pengolahan Data

Analisis data yang digunakan untuk mengetahui hubungan riwayat keluarga

dengan onset kejang demam sederhana menggunakan analisis statistik

sebagai berikut:

3.9.1 Analisis Univariat

Analisis univariat digunakan :

1. Untuk mengetahui angka kejadian kejang demam sederhana pada

anak diRumah Sakit Umum Pirngadi Medan.

1. Untuk mengetahui karakteristik penderita (usia, jenis kelamin)

kejang demam sederhana di Rumah Sakit Umum Pirngadi

Medan.

2. Untuk mengetahui gambaran riwayat keluarga pada penderita

kejang demam sederhana di Rumah Sakit Umum Pirngadi

Medan.

3. Untuk mengetahui gambaran onset pada penderita kejang demam

sederhana di Rumah Sakit Pirngadi Medan.

Pengolahan data analisa menggunakan perangkat lunak komputer.

Data yang terkumpul ditabulasi dan ditampilkan dalam bentuk tabel

distribusi frekuensi.

1

Page 23: KTI 1

3.9.2 Analisis Bivariat

Analisis bivariat digunakan untuk melihat hubungan riwayat keluarga

dengan onset kejang demam sederhana di Rumah Sakit Umum Pirngadi Medan.

Skala data yang digunakan adalah kategorik (nominal) tidak berpasangan.

Uji yang digunakan adalah uji Chi Square apabila syarat tidak terpenuhi maka

dilakukan uji Kolmogorov-Smirnov.

1

Page 24: KTI 1

DAFTAR PUSTAKA

1. Rudolph AM, Hoffman JI., Rudolph CD. Buku Ajar Pediatri Rudolf. 20th

ed. Hartanto H, Mahanani DA, Susi N, Syamsi RM, editors. Penerbit Buku

Kedokteran EGC; 2006.

2. Brust JCM. Current Diagnosis & Treatment Neurology. Second. Sydor

AM, Lebowitz H, editors. United States of America: Cenveo Publisher

Services; 2012.

3. Village EG. Febrile seizures: clinical practice guideline for the long-term

management of the child with simple febrile seizures. Pediatrics [Internet].

2008 Jun [cited 2014 Oct 29];121(6):1281–6. Available from:

http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/18519501

4. Sugai K. Current management of febrile seizures in Japan. 2010;32:64–70.

5. Behrman RE, Kliegman RM, Arvin AM, Nelson WE. Ilmu Kesehatan

Anak Nelson. In: Wahab AS, editor. 3. 15th ed. Jakarta: Penerbit Buku

Kedokteran EGC; 1996. p. 2059–60.

6. Maria BL. Current Management in Child Neurology. Fourth. United States

of America: People’s Medical Publishing House; 2009.

7. Sastrodiwirjo S, Markam S, Kusumoputro S, Yudana A. Penuntun

Neurologi. In: Markam S, editor. Ciputat- Tangerang: Binarupa Aksara

Publisher; p. 126–9.

8. Lumbantobing SM, 2007. Kejang Demam (Febrile Convulsions). Jakarta:

Balai Penerbit FK UI.

1

Page 25: KTI 1

9. Vebriasa A, Herini ES, Triasih R. Hubungan antara Riwayat Kejang pada

Keluarga dengan Tipe Kejang Demam dan Usia Saat Kejang Demam

Pertama.Sari Pediatri. 2013;15(3):137–40.

10. Marino BS, Fine KS. Blueprints Pediatrics. Fifth. Mitcheel C, Sebring S,

Johnson K, editors. Philadelpia: Lippincott Williams & Wilkins, a Wolters

Kluwer business; 2009.

11. Mahyar A, Ayazi P, Fallahi M, Javadi A. Risk Factors of the First Febrile

Seizures in Iranian Children. 2010;2010:3–5.

12. Soetomenggolo, 1999. Kejang Demam. Dalam: Soetomenggolo, Ismael,

Buku Ajar Neurologi Ilmu Kesehatan Anak, Jakarta: Balai Penerbit FK UI,

847-855

13. Polkinghorne BG, Muscatello DJ, Macintyre CR, Lawrence GL,

Middleton PM. Relationship between the population incidence of febrile

convulsions in young children in Sydney , Australia and seasonal

epidemics of influenza and respiratory syncytial virus , 2003-2010 : a time

series analysis. BMC Infect Dis [Internet]. BioMed Central Ltd;

2011;11(1):291. Available from: http://www.biomedcentral.com/1471-

2334/11/291

14. Choi Jieun, Min Jin Hyun, Shin Jeon-Soo. Increased levels of HMBG1

and pro-inflammatory cytokines in children with febrile seizures. Journal

Of Neuroinflammation.2011;8:135

15. Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak FKUI, 2002. Kejang Demam. Dalam:

Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta: Balai Penerbit FK UI, 847-855

16. Dewanto, Suwono, Riyanto, Turana, 2009. Kejang pada Anak. Dalam:

Panduan Praktis Diagnosis &Tata laksana Penyakit Saraf. Jakarta : EGC,

91-94

1

Page 26: KTI 1

17. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Unit Kerja Koordinasi Neurologi.

Konsensus Penatalaksanaan Kejang Demam. 2006;p.3-5

18. Kjeldesen MJ, Fris ML, Christensen K. Genetic and environmental

factors in febrile seizures; a Danish population-based twin study. Epilepsy

Res 2002;51:167-77

19. Offringa M, Bossuyt PM, Lusen J, Ellenberg JH, Nelson KB, Knudsen

FU, et al. Risk factors for seizure: a pooled analysis of individual patient

data from five studies. J Pediatr 1994;124:574-84

20. A. Ellatiff and H. Garawamy, “Risk factors of febrile disease among

preschool children in Alexandria,” Journal of the Egyptian Public Health

Association, vol. 77, no. 1-2, pp. 156-172, 2002

21. Bahtera Tjipta, Wibowo Susilo, Hardjojuwono AG Soemantri. Faktor

Genetik sebagai Risiko Kejang Demam Berulang. Sari Pediatri. 2009;

10:6

22. Koçak N, Kelekçi S, Yildirim IH, Hacimuto G, Özdemir Ö. The

prevalence of Familial Mediterranean Fever common gene mutations in

patients with simple febrile seizures.2014;657–60.

23. Murray Robert K, Granner Daryl K, Rodwell Victor L. Membran :

Struktur, Susunan dan Fungsinya. Dalam: Biokimia Harper. 2006

1

Page 27: KTI 1

1