Page 1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kejang demam ialah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu
tubuh (suhu rektal di atas 380C) yang disebabkan oleh suatu proses ekstrakranium
yang terjadi pada anak berusia 6 bulan sampai 60 bulan (5 tahun). Kejang demam
dikelompokkan menjadi dua, yaitu kejang demam sederhana dan kejang demam
kompleks. Kejang demam sederhana 80% dari seluruh kejang demam.1,2,3
Kejang demam merupakan salah satu kelainan neurologis yang paling
sering dijumpai pada bayi dan anak. Kejang demam terjadi pada 2-5% anak
didunia. Insiden dan prevalensi kejang demam berbeda pada setiap negara.
Prevalensi kejang demam pada anak di Amerika Serikat dan Eropa berkisar 2-
5%, sedangkan di Asia prevalensi kejang demam meningkat dua sampai tiga kali
bila dibandingkan di Eropa dan di Amerika. Hasil penelitian di Jepang
didapatkan 3,4-9,3% anak setidaknya pernah mengalami satu kali episode kejang
demam. Sedangkan di India sekitar 5-10% anak pernah mengalami kejang
demam. Hal ini menunjukkan bahwa faktor genetik dan lingkungan merupakan
faktor predisposisi tingginya insidensi kejang demam.3,4
Insiden tertinggi kejang demam terjadi pada usia 14-18 bulan. Usia rata-
rata mulai timbulnya kejang demam berkisar antara 18–22 bulan dan jarang
dijumpai pada anak sebelum usia 9 bulan dan sesudah usia 5 tahun.5,6
Prognosis kejang demam umumnya baik, kejang demam bersifat jinak
(benign). Angka kematian yang ditimbulkan hanya sekitar 0,64%-0,75%.
Sebagian besar kasus kejang demam dapat sembuh sempurna. Namun pada
beberapa kasus yang tidak ditangani dengan tepat, maka akan timbul sekuele
antara lain hemiparesis, peningkatan resiko kejang demam berulang, peningkatan
resiko epilepsi, dan penurunan tingkat intelegensia (IQ). Kemungkinan terjadinya
sekuele lebih besar bila kejang demam pertama terjadi pada usia yang lebih dini
dengan tipe kejang demam kompleks. Kejang demam dapat mengakibatkan
gangguan tingkah laku serta penurunan intelegensi pada 4% penderita kejang
1
Page 2
demam. Beberapa hasil penelitian tentang penurunan tingkat intelegensi paska
bangkitan kejang demam tidaklah sama. Hasil penelitian Schiottz-Christensen
yang meneliti 41 pasang kembar monozigot, yang salah satunya menderita kejang
demam didapatkan bahwa IQ rata-rata 7 angka lebih rendah pada yang menderita
kejang demam dibanding saudara kembarnya yang tanpa kejang demam. 3,7
Terdapat berbagai faktor-faktor yang berperan dalam etiologi kejang
demam, yaitu faktor demam, usia, riwayat keluarga, dan riwayat prenatal (usia
saat ibu hamil), riwayat perinatal (asfiksia, usia kehamilan dan berat bayi lahir
rendah). Riwayat keluarga disebut sebagai salah satu faktor resiko terpenting.
Kejang demam umumnya diturunkan secara dominan autosomal. Risiko saudara
kandung penderita kejang demam untuk mendapat kejang demam ialah 2–3 kali
lebih besar daripada populasi umum. Apabila satu dari orangtua atau saudaranya
pernah mengalami kejang demam, kemungkinan kejadian kejang demam akan
meningkat menjadi 50%. Sedangkan anak dengan tipe kejang demam sederhana
mempunyai riwayat keluarga kejang demam yang lebih tinggi dibandingkan
dengan tipe kejang demam kompleks (35% berbanding 18%).8
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan di Yogyakarta pada
Januari 2009 – Juli 2010 didapatkan bahwa anak dengan riwayat kejang pada
keluarga lebih banyak mengalami kejang demam sederhana sebagai tipe kejang
demam pertama dengan onset kejang demam yang lebih dini dibandingkan
dengan anak yang mengalami kejang demam tanpa riwayat keluarga.
Berdasarkan survei pendahuluan yang telah dilakukan di RSUD Pirngadi
Medan didapatkan jumlah data penderita kejang demam pada anak berusia 0-15
tahun periode Januari – Desember 2013 sebanyak 66 orang. Penelitian mengenai
hubungan riwayat keluarga dengan onset kejang demam sederhana belum pernah
dilakukan di Rumah Sakit Umum Pirngadi Medan.
Berdasarkan uraian di atas, maka peneliti tertarik untuk meneliti tentang
hubungan riwayat keluarga dengan onset kejang demam sederhana pada anak di
Rumah Sakit Umum Pirngadi Medan.
1
Page 3
1.2 Rumusan Masalah
Bagaimana hubungan riwayat keluarga dengan onset kejang demam
sederhana pada anak di Rumah Sakit Umum Pirngadi Medan ?
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Umum
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan riwayat
keluarga dengan onset kejang demam sederhana di Rumah Sakit Umum
Pirngadi Medan.
1.3.2 Tujuan Khusus
Yang menjadi tujuan khusus dalam penelitian ini adalah :
1. Untuk mengetahui angka kejadian kejang demam sederhana pada
anak di Rumah Sakit Umum Pirngadi Medan.
2. Untuk mengetahui karakteristik penderita (usia, jenis kelamin)
kejang demam sederhana di Rumah Sakit Umum Pirngadi Medan.
3. Untuk mengetahui gambaran riwayat keluarga pada penderita kejang
demam sederhana di Rumah Sakit Umum Pirngadi Medan.
4. Untuk mengetahui gambaran onset pada penderita kejang demam
sederhana di Rumah Sakit Pirngadi Medan.
5. Untuk mengetahui hubungan riwayat keluarga dengan onset kejang
demam sederhana di Rumah Sakit Umum Pirngadi Medan.
1.4 Hipotesis
H0 = Tidak terdapat hubungan antara riwayat keluarga dengan
onset kejang demam sederhana.
H1 = Terdapat hubungan antara riwayat keluarga dengan onset
kejang demam sederhana.
1
Page 4
1.5 Manfaat Penelitian
1. Bidang pendidikan
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi terutama
mengenai hubungan riwayat keluarga dengan onset kejang demam
sederhana.
2. Bidang kesehatan
Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan
pertimbangan untuk memprediksi onset kejang demam sederhana yang
berhubungan dengan faktor risiko riwayat keluarga sehingga dapat
meningkatkan manajemen pengelolahannya.
3. Bidang penelitian
Penelitian ini dapat digunakan sebagai penelitian pendahuluan dan data
yang didapat dari penelitian ini dapat digunakan sebagai dasar untuk
penelitian selanjutnya.
4. Masyarakat
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada masyarakat
untuk dapat lebih mengantisipasi kejadian kejang demam sederhana pada
anak dengan riwayat keluarga kejang demam.
1
Page 5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.2.1 Tinjauan Tentang Kejang Demam
2.1.1 Defenisi
Kejang demam ialah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu
badan (suhu rektal diatas 38oC) yang disebabkan oleh suatu proses ektrakranium.1
Kejang demam merupakan salah satu penyakit yang sering terjadi pada anak.
Menurut American Academy of Pediatrics kejang demam umumnya terjadi pada
anak yang berusia antara 6 bulan sampai 5 tahun.10
2.1.2 Faktor Risiko
Faktor risiko utama terjadinya kejang demam pada anak adalah adanya
riwayat kejang demam dalam keluarga, jenis kelamin, suhu tubuh pada saat
kejang.11 Satu dari 3 anak akan mengalami kejang demam berulang. Faktor risiko
kejang demam berulang yaitu kejang demam pertama pada usia kurang dari 1
tahun, riwayat keluarga kejang demam, dan rendahnya temperatur tubuh saat
mengalami kejang demam.10
2.1.3 Etiologi
Penyakit yang paling sering menimbulkan kejang demam adalah infeksi
saluran pernafasan atas, otitis media akut, pneumonia, gastroenteritis akut,
bronchitis dan infeksi saluran kemih. Berdasarkan penelitian yang telah
dilakukan sebelumnya di Jakarta oleh Lumbantobing dapat ditentukan penyebab
demam pada 232 dari 297 penderita, sesuai dengan tabel dibawah ini. Insiden
tonsillitis/faringitis, otitis media akut dan gastroenteritis cukup tinggi, yaitu
berturut 34%, 31%, dan 27%.8
Tabel 1. Penyebab demam pada 297 penderita kejang demam 8
1
Page 6
Penyebab demam Jumlah Penderita
tonsilitis dan/atau faringitis 100
otitis media akut (radang liang telinga tengah) 91
enteritis/gastroenteritis (radang saluran cerna) 22
enteritis/gastroenteritis disertai dehidrasi 44
bronkitis (radang saluran nafas) 17
bronkopneumonia (radang paru dan saluran nafas) 38
morbili (campak) 12
varisela (cacar air) 1
dengue (demam berdarah) 1
tidak diketahui 66
Semua jenis infeksi yang bersumber di luar susunan saraf pusat yang
menimbulkan demam dapat menyebabkan kejang demam. Penyakit yang paling
sering menimbulkan kejang demam adalah infeksi saluran nafas atas, otitis media
akut, pneumonia, gastroenteritis akut, bronchitis, dan infeksi saluran kemih.12
Berdasarkan hasil penelitian di Sydney dan Australia pada tahun 2003-2010
didapatkan hubungan antara Influenza seasonal epidemics & Respiratory
syncytial virus (infeksi saluran nafas ) dengan peningkatan kejang demam yang
signifikan pada anak.13
2.1.4 Klasifikasi
Kejang demam terbagi atas 2 golongan, yaitu: kejang demam sederhana
(simple febrile seizure) dan kejang demam kompleks (complex febrile seizure).
Kejang demam sederhana adalah kejang demam yang berlangsung singkat,
kurang dari 15 menit, hanya terjadi satu kali dalam 24 jam, bersifat menyeluruh.
Kejang demam sederhana merupakan 80% di antara seluruh kejang demam.
Kejang demam kompleks adalah kejang yang berlangsung >15 menit, kejang
berulang lebih dari 2 kali dan di antara bangkitan kejang anak tidak sadar.1,10
2.1.5 Patofisiologi
1
Page 7
Meskipun belum diketahui secara pasti mekanisme kejang, tetapi diduga
karena adanya peningkatan eksitasi neurottransmiter asam amino (glutamate,
aspartat) yang berperan menghasilkan eksitasi neuron dengan bekerja pada
reseptor pada sel tertentu. Kejang lebih sering terjadi pada bayi dan anak. Hal ini
menunjukkan bahwa perkembangan otak yang belum matang (imatur) merupakan
salah satu penyebab anak lebih rentan untuk terkena kejang dibandingkan dengan
orang dewasa.5
Pada kejang demam terjadi peningkatan serum sitokin diantaranya
Interleukin-1β (IL-1β), Interleukin-6 (IL-6), Interleukin-10 (IL-10), High-
Mobility Group Box protein 1 (HMGB1) yang lebih tinggi dibandingkan dengan
yang hanya mengalami demam.14
Kenaikan suhu badan 10C akan menyebabkan peninggian metabolisme
basal sebanyak 10-15% serta peningkatan keperluan akan O2 sebanyak 20%.
Sirkulasi darah otak anak 65% dari seluruh tubuhnya sedangkan pada orang
dewasa hanya 15%. Pada keadaan kejang, aliran darah ke otak dapat terganggu.
Kejang yang lama akan menyebabkan iskemia otak sehingga neuron-neuron
korteks serebrum, serebelum, thalamus, amigloid, hipokampus dan unkus akan
mengalami kerusakan diikuti proliferasi sel-sel glia, gliosis. Jadi pada kenaikan
suhu tubuh tertentu dapat terjadi perubahan keseimbangan dari membrane sel
neuron dalam waktu yang singkat terjadi difusi dari Ion Kalium maupun Ion
Natrium melalui membran tadi dengan akibatnya terjadinya lepas muatan listrik.
Lepas muatan listrik ini demikian besarnya sehingga dapat meluas ke seluruh sel
maupun ke membran sel lainnya dengan bantuan neurotransmitter dan
menimbulkan kejang.7,15
Tiap anak mempunyai ambang kejang yang berbeda dan tergantung tinggi
rendahnya ambang kejang seorang anak menderita kejang pada kenaikan suhu
tertentu. Pada anak dengan ambang kejang yang rendah, kejang terjadi pada suhu
38oC sedangkan pada anak dengan ambang kejang yang tinggi, kejang baru
terjadi pada suhu 40oC atau lebih. Dari kenyataan inilah dapatlah disimpulkan
bahwa terulangnya kejang demam lebih sering terjadi pada ambang kejang yang
1
Page 8
rendah sehingga dalam penanggulangannya perlu diperhatikan pada tingkat suhu
berapa penderita kejang.15
Faktor terpenting adalah gangguan peredaran darah yang mengakibatkan
hipoksia sehingga meningkatkan permeabilitas kapiler dan timbul edema otak
yang mengakibatkan kerusakan sel neuron otak. Kerusakan pada daerah mesial
lobus temporalis setelah mendapat serangan kejang yang berlangsung lama dapat
terjadi serangan epilepsi yang spontan. Jadi kejang demam yang berlangsung
lama dapat menyebabkan kelainan anatomis di otak hingga terjadi epilepsi.15
Kejang demam yang berlangsung singkat pada umumnya tidak berbahaya
dan tidak menimbulkan gejala sisa. Tetapi pada kejang yang berlangsung lama
(lebih dari 15 menit) biasanya disertai terjadinya apnea, meningkatnya kebutuhan
oksigen dan energi untuk kontraksi otot skelet yang akhirnya terjadi hipoksemia,
hiperkapnia, asidosis laktat disebabkan oleh metabolisme anaerobik, hipotensi
arterial disertai denyut jantung yang tidak teratur dan suhu tubuh makin
meningkatnya aktifitas otot dan selanjutnya menyebabkan metabolisme otak
meningkat. Rangkaian kejadian diatas adalah faktor penyebab hingga terjadinya
kerusakan neuron otak selama berlangsungnya kejang lama.15
2.1.6 Manifestasi Klinis
Kejang khas yang bersifat menyeluruh, tonik-klonik beberapa detik
sampai 10 menit, diikuti dengan periode mengantuk singkat pasca kejang. Kejang
demam yang menetap lebih lama dari 15 menit menunjukkan penyebab organik
seperti proses infeksi atau toksik yang memerlukan pengamatan menyeluruh.5
Umumnya kejang demam berlangsung singkat, berupa serangan kejang
klonik atau tonik klonik bilateral. Seringkali kejang berhenti sendiri. Setelah
kejang berhenti anak tidak memberi reaksi apapun untuk sejenak, tetapi setelah
beberapa detik atau menit anak terbangun dan sadar kembali tanpa defisit
neurologis. Kejang demam diikuti hemiparesis sementara (Hemiparesis Tood)
yang berlangsung beberapa jam sampai beberapa hari. Kejang unilateral yang
lama dapat diikuti oleh hemiparesis yang menetap. Bangkitan kejang yang
1
Page 9
berlangsung lama lebih sering terjadi pada kejang demam yang pertama. Kejang
berulang dalam 24 jam ditemukan pada 16% pasien.12
2.1.7 Penegakan Diagnosis
Secara klinis umumnya tidak sulit untuk menegakkan diagnosis kejang
demam. Terdapat gejala kejang pada suhu badan yang tinggi. Di samping itu
tidak didapatkan gejala neurologis lain dan anak segera sadar setelah kejang
berlalu. Namun, perlu diingat bahwa kejang dengan suhu badan yang tinggi dapat
pula terjadi pada kelainan lain, misalnya radang selaput otak (meningitis), radang
otak (ensefalitis). Menegakkan diagnosis meningitis tidak selalu mudah, terutama
pada bayi dan anak yang masih sangat muda. Pada usia kelompok ini gejala
meningitis sering tidak khas dan gangguan neurologisnya kurang nyata.8
Pada bayi yang usianya lebih muda dari 6 bulan gejala kaku kuduk serta
dibangkitkan. Agar tidak terjadi kekhilafan yang dapat berakibat fatal atau
meninggalkan cacat yang berat, dianjurkan agar pada bayi yang berusia lebih
muda dari 6 bulan yang menderita kejang demam, harus dilakukan pemeriksaan
cairan serebrospinal, yang umumnya diambil melalui pungsi lumbal. Pada
kelompok usia 6 – 18 bulan tindakan ini dianjurkan.8
Beberapa hal yang dapat mengarahkan untuk dapat menentukan diagnosis kejang
demam antara lain:
1. Anamnesis, dibutuhkan beberapa informasi yang dapat mendukung
diagnosis kearah kejang demam, seperti:
a. Menentukan adanya kejang, jenis kejang, kesadaran, lama kejang,
suhu sebelum dan saat kejang, frekuensi, interval pasca kejang,
penyebab demam di luar susunan saraf pusat.
b. Beberapa hal yang dapat meningkatkan resiko kejang demam, seperti
genetik, menderita penyakit tertentu yang disertai demam tinggi,
serangan kejang pertama disertai suhu dibawah 39oC.
c. Beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya kejang demam
berulang adalah usia < 15 bulan saat kejang demam pertama, riwayat
1
Page 10
kejang demam dalam keluarga, kejang segera setelah demam atau saat
suhu sudah relatif normal, kejang demam yang sering, kejang demam
pertama berupa kejang demam kompleks.16
2. Gambaran klinis yang dapat dijumpai adalah:
a. Suhu tubuh mencapai 39oC
b. Anak sering kehilangan kesadaran saat kejang
c. Kepala anak sering terlempar ke atas, mata mendelik, tungkai dan
lengan mulai kaku, bagian tubuh anak menjadi berguncang. Gejala
kejang tergantung pada jenis kejang.
d. Kulit pucat dan mungkin menjadi biru.
e. Serangan terjadi beberapa menit setelah anak itu sadar.16
3. Pemeriksaan penunjang, antara lain:
a. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium tidak dapat dikerjakan secara rutin pada
kejang demam, tetapi dapat dikerjakan untuk mengevaluasi sumber
infeksi penyebab demam, atau keadaan lain misalnya gastroenteritis
dehidrasi disertai demam. Pemeriksaan laboratorium yang dapat
dikerjakan misalnya darah perifer, elektrolit dan gula darah.17
b. Pungsi Lumbal
Pemeriksaan cairan serebrospinal dilakukan untuk menegakkan atau
menyingkirkan diagnosis meningitis karena manifestasi klinisnya tidak
jelas. Oleh karena itu pungsi lumbal dianjurkan pada:
1. Bayi kurang dari 12 bulan sangat dianjurkan dilakukan
2. Bayi antara 12-18 bulan dianjurkan
3. Bayi > 18 bulan tidak rutin.
Bila yakin bukan meningitis secara klinis tidak perlu dilakukan pungsi
lumbal.17
1
Page 11
c. Elektroenselografi
Pemeriksaan elektroenselografi (EEG) tidak dapat memprediksi
berulangnya kejang, atau memperkirakan kemungkinan kejadiaan epilepsi
pada pasien kejang demam. Oleh karenanya tidak direkomendasikan.
Pemeriksaan EEG masih dapat dilakukan pada keadaan kejang demam
yang tidak khas. Misalnya: kejang demam kompleks pada anak usia lebih
dari 6 tahun atau kejang demam fokal.17
d. Pencitraan
Foto X-Ray kepala dan pencitraan seperti Computed Tomography scan
(CT-scan) atau Magnetic Resonance Imaging (MRI) jarang sekali
dikerjakan, tidak rutin dan hanya atas indikasi seperti :
1. Kelainan neurologik fokal yang menetap ( hemiparesis)
2. Paresis nervus VI
3. Papiledema.17
2.1.8 Penatalaksanaan
Pada tatalaksana kejang demam ada 3 hal yang perlu dikerjakan yaitu :
a. Pengobatan fase akut
Pada sebagian besar kasus kejang demam, kejang berlangsung
singkat. Ketika penderita sampai di rumah sakit atau tempat praktek
dokter, kejang telah reda. Dalam hal demikian tindakan yang perlu ialah
mencari penyebab demam, memberikan pengobatan yang adekuat
terhadap penyebab tersebut, misalnya pemberian antibiotik yang sesuai
untuk infeksi. Untuk mencegah agar kejang tidak berulang kembali
sebaiknya diberi antikonvulsan. Seperti yang telah dikemukakan
sebelumnya, kejang masih dapat kambuh selama anak masih demam.8
Pada sebagian kecil kasus, kejang masih berlangsung atau berulang
lagi sewaktu anak sampai di poliklinik atau dirumah sakit. Pada anak
yang sedang mengalami kejang, dilakukan perawatan yang adekuat.
Penderita dimiringkan agar jangan terjadi aspirasi ludah atau lendir dari
mulut. Jalan nafas dijaga agar tetap terbuka, tujuannya adalah agar suplai
1
Page 12
oksigen tetap terjamin. Bila perlu berikan oksigen. Fungsi vital, keadaan
jantung, tekanan darah, kesadaran perlu diikuti dengan seksama.8,12
Bila penderita masih belum sadar dan keadaan tersebut berlangsung
lama, harus diperhatikan kebutuhan dan keadaan cairan, kalori dan
elektrolit. Suhu yang tinggi harus segera diturunkan dengan kompres
dingin atau mandi air dingin atau ditempatkan di kamar ber-AC. Selimut
dan pembungkus badan harus dibuka agar pendinginan badan berlangsung
dengan baik. Pemberiaan obat penurun demam seperti asetaminofen atau
antipiuretik lainnya.8
Bila kejang sedang berlangsung, harus segera dihentikan, ini adalah
untuk mencegah agar tidak terjadi kerusakan pada otak dan meninggalkan
gejala sisa atau bahkan kematian.Saat ini diazepam merupakan obat
pilihan. Diazepam diberikan intravena atau per rektum. Diazepam
intravena ialah 0,3 mg per kg berat badan dan dosis per rektum ialah 5 mg
bila berat badan kurang dari 10 kg dan 10 mg bila berat badan lebih dari
10 kg. Berikan pula dosis awal luminal suntikan intramuskular (dosis 30
mg untuk neonates; 50 mg untuk yang berusia 1 bulan – 1 tahun dan 75
mg untuk yang berusia lebih dari 1 tahun).8,12
Bila kejang juga belum berhenti, 15 menit kemudian diulangi lagi
pemberian diazepam dengan dosis yang sama. Empat jam kemudian
diberikan fenobarbital (luminal) dengan dosis untuk hari pertama dan
kedua : 8 – 10 mg/kg berat badan/hari dibagi atas 2 dosis; dan pada hari
berikutnya sampai demam reda sebanyak 4 – 5 mg/kg berat badan/ hari
dibagi dalam 2 dosis.8
b. Pengobatan Profilaksis
Kambuhnya kejang demam perlu dicegah karena serangan kejang
merupakan pengalaman yang menakutkan dan mencemaskan bagi
keluarga. Bila kejang demam berlangsung lama dan mengakibatkan
kerusakan otak yang menetap (cacat).
Ada 3 upaya yang dapat dilakukan:
1
Page 13
- Profilaksis intermitten, pada waktu demam.
- Profilaksis terus-menerus, dengan obat antikonvulsan tiap hari
- Mengatasi segera bila terjadi kejang.8,12
c. Profilaksis intermitten
Antikonvulsan hanya diberikan pada waktu pasien demam dengan
ketentuan orangtua pasien atau pengasuh mengetahui dengan cepat
adanya demam pada pasien. Obat yang diberikan harus cepat diabsorpsi
dan cepat masuk ke otak. Diazepam intermitten memberikan hasil lebih
baik karena penyerapannya lebih cepat. Dapat digunakan diazepam
intrarektal tiap 8 jam sebanyak 5 mg untuk pasien dengan berat badan
kurang dari 10 kg dan 10 mg untuk pasien dengan berat badan lebih dari
10 kg, setiap pasien menunjukkan suhu 38,5C atau lebih. Diazepam dapat
pula diberikan secara oral dosis 0,5 mg/kg BB/hari dibagi dalam 3 dosis
pada waktu pasien demam. Efek samping diazepam adalah ataksia,
mengantuk, dan hipotonia.8,12
d. Profilaksis terus-menerus dengan antikonvulsan tiap hari
Pemberian fenobarbital 4-5 mg/kg BB/hari dengan kadar sebesar
16 ug/ml dalam darah menunjukkan hasil yang bermakna untuk mencegah
berulangnya kejang demam. Obat lain yang dapat digunakan untuk
profilaksis kejang demam adalah asam valproat yang sama atau bahkan
lebih baik dibandingkan dengan efek fenobarbital tetapi kadang-kadang
menunjukkan efek samping hepatotoksik. Dosis asam valproat adalah 15-
40 mg/kg BB/hari. Profilaksis terus-menerus berguna untuk mencegah
berulangnya kejang demam berat yang dapat menyebabkan kerusakan
otak tetapi tidak dapat mencegah terjadinya epilepsi dikemudian hari.8
Consensus Statement di Amerika Serikat mengemukakan kriteria yang
dapat dipakai untuk pemberian terapi rumat. Profilaksis tiap hari dapat diberi
pada keadaan berikut:
1
Page 14
1. Bila terdapat kelainan perkembangan neurologi ( misalnya cerebral palsy,
retardasi mental, mikrosefali )
2. Bila kejang demam berlangsung lama lebih dari 15 menit, bersifat fokal,
atau diikuti kelainan neurologi sepintas atau menetap.
3. Terdapat riwayat kejang-tanpa-demam yang bersifat genetik pada
orangtua atau saudara kandung.7,12
2.1.9 Prognosis
a. Kematian :
Angka kematian yang disebabkan kejang demam adalah 0,64-0,74%.
b. Hemiparesis :
Terjadi hemiparesis pada 0,2-0.4% anak yang mengalami kejang demam
yang berlangsung lama atau hemikonvulsi.
c. Epilepsi :
Terdapat 2-4% anak dengan kejang demam akan mengalami epilepsi.
d. Terulangnya kejang :
Pada umumnya sepertiga dari anak-anak dengan kejang demam
mengalami sedikit-dikitnya satu kali kejang ulangan. Dari pasien yang
telah dua kali mendapat serangan kejang demam sebanyak 50% akan
mengalami kejang demam sekali lagi.7
2.2 Tinjauan Riwayat Keluarga
2.2.1 Faktor Resiko Riwayat Keluarga
Belum dapat dipastikan cara pewarisan sifat genetik terkait dengan kejang
demam. Tetapi nampaknya pewarisan gen secara autosomal dominan paling
1
Page 15
banyak ditemukan, autosomal dominan diperkirakan 60%-80%. Apabila salah
satu orang tua penderita dengan riwayat pernah menderita kejang demam
mempunyai risiko untuk terjadi bangkitan kejang demam sebesar 20-22%. Dan
apabila ke dua orang tua penderita tersebut mempunyai riwayat pernah menderita
kejang demam maka risiko untuk terjadinya kejang demam meningkat menjadi
59-64%, tetapi sebaliknya apabila kedua orangnya tidak mempunyai riwayat
pernah menderita kejang demam maka resiko terjadi kejang demam hanya 9%.
Pewarisan kejang demam lebih banyak oleh ibu dibandingkan ayah, yaitu 27%
berbanding 7%.8
2.2.2 Hubungan Riwayat Keluarga dengan Kejang Demam Sederhana
Munculnya kejang demam merupakan kombinasi faktor genetik dan
faktor lingkungan.18 Anak yang mengalami kejang demam, 24% diantaranya
memiliki riwayat keluarga dengan kejang demam dan 4% diantaranya
mempunyai riwayat keluarga kejang demam.19 Riwayat keluarga dengan kejang
demam adalah faktor resiko utama timbulnya kejang demam pada anak.20
Anak yang mempunyai riwayat keluarga kejang demam mempunyai
resiko 2-3 kali terjadi bangkitan kejang demam berulang. Riwayat keluarga
pernah kejang demam dan mutasi gen merupakan faktor risiko kejang demam
berulang. Terdapat hubungan mutasi gen dengan umur, suhu dan riwayat
keluarga pernah kejang demam, saat kejang pertama. Mutasi gen kanal ion Na+
SCNIA 19 pasien, terdapat pergantian Arginin oleh asam Glutamate (Glu)
(Arg1627Glu) (mutasi missense) dan kodon stop (TGA) (mutasi nonsense),
sedangkan pada SCNIB 12 pasien, terdapat mutasi heterozigot, yaitu kodon
130:GAA /AAA, kodon 96:CGG/TGG, kodon 138:GTC/ATC, kodon 95:AGC
/ATT dan kodon:154 GCT/AAT. Ada hubungan mutasi gen dengan umur, suhu
dan riwayat keluarga pernah kejang demam, saat kejang pertama. Riwayat
keluarga pernah kejang demam dan mutasi gen berisiko 2-3 kali terjadi kejang
demam berulang.21
Mutasi gen Mediterranean Fever (MEFV), khususnya mutasi M694V
berhubungan dengan kejadian timbulnya kejang demam sederhana dan
1
Page 16
peningkatan mediator inflamasi yaitu Interleukin-1β (IL-1β) berperan penting
menimbulkan manifestasi klinik dari kejang demam sederhana. Terjadi
peningkatan yang signifikan dari High-Mobility Group Box protein 1 (HMGB1)
dan sitokin pro-inflammatory Interleukin 1β (IL-1β), Interleukin-6 (IL-6), Tumor
Necrosis Factor-α (TNFα), Interferon-ϒ (IFN-ϒ) dan Interleukin-10 (IL-10) pada
anak dengan kejang demam sederhana. Namun peningkatan Interleukin-1β (IL-
1β) lebih tinggi bila dibandingkan dengan sitokin lain pada anak dengan kejang
demam. Meskipun tidak dapat disimpulkan berdasarkan penelitian deskriptif
human studies. Berdasarkan data yang didapatkan dapat disimpulkan bahwa
High-Mobility Group Box protein 1 (HMGB1) dan sitokin inflamasi terutama
Interleukin-1β (IL-1β) sangat mempengaruhi timbulnya kejang demam. Sangat
potensial untuk digunakan sebagai terapi dengan target pengobatan sitokin dan
High-Mobility Group Box protein 1 (HMGB1) untuk mencegah atau mengurangi
terjadinya kejang demam.14,22
2.2.3 Peranan mutasi gen pada kejang demam
Sel mempertahankan tingkat konsentrasi ion-ion inorganik antara bagian
luar dan dalamnya. Kalium mempunyai tingkat konsentrasi yang tinggi di dalam
sitoplasma bila dibandingkan di dalam ruang ekstraseluler, demikian juga
Natrium, Klorida, dan Kalium yang mempunyai konsentrasi lebih tinggi pada
ruang ekstraseluler dibanding ruang intraseluler. Tingkat konsentrasi tersebut
memungkinkan sebuah sistem sinyal elektrik yang didasarkan pada aktifitas
protein kanal-kanal ion yang mengelilingi sel membran. Bentuk dari kanal ion
memungkinkan ion-ion masuk dengan cepat melalui sel-sel membran dengan
kecepatan masuknya berkisar 1.000.000 sampai 100.000.000 ion perdetik.
Masuknya ion tersebut akan menimbulkan aliran elektrik 1012 sampai
1010 amper per kanal. Aliran sebesar itu cukup untuk menyebabkan timbulnya
perubahan yang cepat pada potensial membran. Karena kalsium dan Natrium
mempunyai konsentrasi yang lebih besar pada ruang ekstraseluler maka
terbukanya kanal ion akan menyebabkan ion tersebut masuk ke dalam sel dan
menimbulkan depolarisasi membran. Kanal-kanal ion dapat dirangsang dengan
1
Page 17
ligan ekstraseluler, intraseluler second messenger dan metabolit, interaksi
protein, fosforilasi dan faktor lainnya. Kanal ion yang terletak pada kompartemen
subseluler berperan sebagai elemen yang member sinyal pada sel-sel yang akan
masuk. Elemen tersebut memberikan sinyal yang lemah, ambang batas yang
jelas, menginformasikan sinyal pada region lain dari sel.
Para ahli kemudian menemukan kanal-kanal dengan peranannya sebagai
pemberi sinyal ditempatkan dengan extraordinary precision. Akson, dendrit,
terminal presinap dan pascasinap seluruhnya terdiri dari mikrodomain yang
berbeda dan bahwa letak dari kanal-kanal dan protein-protein lainnya yang
berperan sama sistem sinyal mengikuti perbedaan mikrodomain tersebut. Kanal-
kanal tersebut diatas memiliki gennya masing-masing dalam jumlah yang cukup
banyak, hal ini menunjukkan banyak kekhususan sinyal. Mutasi gen pada kanal-
kanal akan menyebabkan timbulnya kerja ion yang berbeda dalam menjalankan
perintah dari sistem saraf pusat oleh karena adanya perbedaan interprestasi
membaca sinyal. Gagalnya membaca sinyal akan menyebabkan kanal-kanal tidak
bekerja seperti biasanya. Sebagai contoh mutasi kanal-kanal Natrium berakibat
kanal terbuka berulang-ulang dan menyebabkan perangsangan yang berat atau
yang memanjang, timbul depolarisasi yang hebat sehingga timbul manifestasi
klinis dalam bentuk kelainan paroksimal.23
Kerangka Konsep
Faktor risiko :
1
Faktor Riwayat Keluarga Onset kejang demam
Page 18
Gambar 2.1 Kerangka Konsep
BAB IIIMETODE PENELITIAN
3.1 Desain Penelitian
1
Faktor perancu :
Infeksi SSP (meningitis &ensefalitis)
Gangguan keseimbangan elektrolit
Gangguan perkembangan
Page 19
Penelitian ini adalah penelitian analitik dengan desain cross-sectional.
3.2 Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Rumah Sakit Umum Pirngadi Medan pada bulan
September 2014 sampai bulan Februari 2014.
3.3 Populasi Penelitian
Populasi penelitian ini adalah seluruh data rekam medis anak usia 0-18 tahun
yang mengalami kejang demam selama periode Januari 2013 – Desember
2013. Berdasarkan survei pendahuluan yang telah dilakukan peneliti di
Rumah Sakit Umum Pirngadi Medan didapatkan jumlah populasi penelitian
sebanyak 66 orang.
3.4 Sampel dan Cara Pemilihan Sampel
Sampel pada penelitian ini adalah seluruh data pasien kejang demam
sederhana periode Januari 2013 – Desember 2013 yang memenuhi kriteria
inklusi dan eksklusi. Cara pengambilan sampel pada penelitian ini adalah
purposive sampling.
3.5 Kriteria Inklusi dan Kriteria Eksklusi
a) Kriteria inklusi
a. Data pasien kejang demam sederhana yang tercantum data riwayat
keluarga.
b. Kejang berhubungan dengan demam (suhu tubuh >380C)
b) Kriteria eksklusi
a. Kejang yang disebabkan oleh infeksi SSP (Sistem Saraf Pusat)
contohnya meningitis dan ensefalitis.
b. Kejang akibat gangguan keseimbangan elektrolit.
c. Adanya kelainan/defisit neurologis sebelum dan sesudah kejang.
a. Gangguan perkembangan (development delay).
b. Data yang tidak lengkap/ tidak tercantum data riwayat
keluarga.
1
Page 20
3.6 Cara kerja
Prosedur pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
menggunakan data sekunder yang diambil dari data rekam medis di Rumah
Sakit Umum Pirngadi Medan.
3.7 Identifikasi Variabel Penelitian
3.7.1 Variabel bebas
Variabel bebas pada penelitian ini adalah riwayat keluarga yang
mengalami kejang demam.
3.7.2 Variabel tergantung
Variabel tergantung pada penelitian ini adalah onset timbulnya
kejang demam pertama kali pada anak.
3.7.3 Variabel perancu
Variabel perancu pada penelitian ini meliputi kejang akibat gangguan
SSP (meningitis dan ensefalitis), gangguan keseimbangan elektrolit,
adanya kelainan/defisit neurologis sebelum dan sesudah kejang,
gangguan perkembangan anak.
3.8 Definisi Operasional
No
. Variabel Defenisi Operasional
Cara Ukur
Skala
1 Riwayat
keluarga
kejang
demam
Adalah adanya riwayat
penyakit kejang demam
sebelumnya pada keluarga
baik itu ayah, ibu dan saudara
kandung.
Data rekam
medis
Nominal
2 Kejang Adalah demam yang disertai
Data rekam Nominal
1
Page 21
demam
sederhana
kejang pada bayi dan anak
berusia 6 bulan - 5 tahun
yang merupakan suatu proses
ekstrakranium dan bukan
akibat gangguan SSP
(meningitis dan ensefalitis),
gangguan keseimbangan
elektrolit pada saat terjadinya
kejang demam, adanya
kelainan /defisit neurologis
sebelum dan sesudah kejang
demam, gangguan
perkembangan anak dan
riwayat kejang tanpa demam
sebelumnya.
medis
3 Onset Adalah waktu pertama kali
munculnya kejang demam
sederhana pada anak.
Dikelompokan menjadi 3,
yaitu:
Data rekam
medis
Ordinal
1. Umur < 18 bulan
2. Umur 18-22 bulan
3. Umur > 22 bulan
4 Jenis
kelamin
Adalah jenis kelamin pasien
kejang demam sederhana
yang tercantum pada data
rekam medis, dikelompokkan
atas:
Data rekam
medis
Nominal
1. Laki-laki
2. Perempuan
1
Page 22
3.9 Analisis Data dan Pengolahan Data
Analisis data yang digunakan untuk mengetahui hubungan riwayat keluarga
dengan onset kejang demam sederhana menggunakan analisis statistik
sebagai berikut:
3.9.1 Analisis Univariat
Analisis univariat digunakan :
1. Untuk mengetahui angka kejadian kejang demam sederhana pada
anak diRumah Sakit Umum Pirngadi Medan.
1. Untuk mengetahui karakteristik penderita (usia, jenis kelamin)
kejang demam sederhana di Rumah Sakit Umum Pirngadi
Medan.
2. Untuk mengetahui gambaran riwayat keluarga pada penderita
kejang demam sederhana di Rumah Sakit Umum Pirngadi
Medan.
3. Untuk mengetahui gambaran onset pada penderita kejang demam
sederhana di Rumah Sakit Pirngadi Medan.
Pengolahan data analisa menggunakan perangkat lunak komputer.
Data yang terkumpul ditabulasi dan ditampilkan dalam bentuk tabel
distribusi frekuensi.
1
Page 23
3.9.2 Analisis Bivariat
Analisis bivariat digunakan untuk melihat hubungan riwayat keluarga
dengan onset kejang demam sederhana di Rumah Sakit Umum Pirngadi Medan.
Skala data yang digunakan adalah kategorik (nominal) tidak berpasangan.
Uji yang digunakan adalah uji Chi Square apabila syarat tidak terpenuhi maka
dilakukan uji Kolmogorov-Smirnov.
1
Page 24
DAFTAR PUSTAKA
1. Rudolph AM, Hoffman JI., Rudolph CD. Buku Ajar Pediatri Rudolf. 20th
ed. Hartanto H, Mahanani DA, Susi N, Syamsi RM, editors. Penerbit Buku
Kedokteran EGC; 2006.
2. Brust JCM. Current Diagnosis & Treatment Neurology. Second. Sydor
AM, Lebowitz H, editors. United States of America: Cenveo Publisher
Services; 2012.
3. Village EG. Febrile seizures: clinical practice guideline for the long-term
management of the child with simple febrile seizures. Pediatrics [Internet].
2008 Jun [cited 2014 Oct 29];121(6):1281–6. Available from:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/18519501
4. Sugai K. Current management of febrile seizures in Japan. 2010;32:64–70.
5. Behrman RE, Kliegman RM, Arvin AM, Nelson WE. Ilmu Kesehatan
Anak Nelson. In: Wahab AS, editor. 3. 15th ed. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC; 1996. p. 2059–60.
6. Maria BL. Current Management in Child Neurology. Fourth. United States
of America: People’s Medical Publishing House; 2009.
7. Sastrodiwirjo S, Markam S, Kusumoputro S, Yudana A. Penuntun
Neurologi. In: Markam S, editor. Ciputat- Tangerang: Binarupa Aksara
Publisher; p. 126–9.
8. Lumbantobing SM, 2007. Kejang Demam (Febrile Convulsions). Jakarta:
Balai Penerbit FK UI.
1
Page 25
9. Vebriasa A, Herini ES, Triasih R. Hubungan antara Riwayat Kejang pada
Keluarga dengan Tipe Kejang Demam dan Usia Saat Kejang Demam
Pertama.Sari Pediatri. 2013;15(3):137–40.
10. Marino BS, Fine KS. Blueprints Pediatrics. Fifth. Mitcheel C, Sebring S,
Johnson K, editors. Philadelpia: Lippincott Williams & Wilkins, a Wolters
Kluwer business; 2009.
11. Mahyar A, Ayazi P, Fallahi M, Javadi A. Risk Factors of the First Febrile
Seizures in Iranian Children. 2010;2010:3–5.
12. Soetomenggolo, 1999. Kejang Demam. Dalam: Soetomenggolo, Ismael,
Buku Ajar Neurologi Ilmu Kesehatan Anak, Jakarta: Balai Penerbit FK UI,
847-855
13. Polkinghorne BG, Muscatello DJ, Macintyre CR, Lawrence GL,
Middleton PM. Relationship between the population incidence of febrile
convulsions in young children in Sydney , Australia and seasonal
epidemics of influenza and respiratory syncytial virus , 2003-2010 : a time
series analysis. BMC Infect Dis [Internet]. BioMed Central Ltd;
2011;11(1):291. Available from: http://www.biomedcentral.com/1471-
2334/11/291
14. Choi Jieun, Min Jin Hyun, Shin Jeon-Soo. Increased levels of HMBG1
and pro-inflammatory cytokines in children with febrile seizures. Journal
Of Neuroinflammation.2011;8:135
15. Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak FKUI, 2002. Kejang Demam. Dalam:
Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta: Balai Penerbit FK UI, 847-855
16. Dewanto, Suwono, Riyanto, Turana, 2009. Kejang pada Anak. Dalam:
Panduan Praktis Diagnosis &Tata laksana Penyakit Saraf. Jakarta : EGC,
91-94
1
Page 26
17. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Unit Kerja Koordinasi Neurologi.
Konsensus Penatalaksanaan Kejang Demam. 2006;p.3-5
18. Kjeldesen MJ, Fris ML, Christensen K. Genetic and environmental
factors in febrile seizures; a Danish population-based twin study. Epilepsy
Res 2002;51:167-77
19. Offringa M, Bossuyt PM, Lusen J, Ellenberg JH, Nelson KB, Knudsen
FU, et al. Risk factors for seizure: a pooled analysis of individual patient
data from five studies. J Pediatr 1994;124:574-84
20. A. Ellatiff and H. Garawamy, “Risk factors of febrile disease among
preschool children in Alexandria,” Journal of the Egyptian Public Health
Association, vol. 77, no. 1-2, pp. 156-172, 2002
21. Bahtera Tjipta, Wibowo Susilo, Hardjojuwono AG Soemantri. Faktor
Genetik sebagai Risiko Kejang Demam Berulang. Sari Pediatri. 2009;
10:6
22. Koçak N, Kelekçi S, Yildirim IH, Hacimuto G, Özdemir Ö. The
prevalence of Familial Mediterranean Fever common gene mutations in
patients with simple febrile seizures.2014;657–60.
23. Murray Robert K, Granner Daryl K, Rodwell Victor L. Membran :
Struktur, Susunan dan Fungsinya. Dalam: Biokimia Harper. 2006
1