KPS 6014 : TEORI SOSIOLOGI DAN AMALAN PENDIDIKAN TUGASAN 1 TEORI ANOMIE NAMA :- NOOR SUZIANA BINTI ISMAIL
KPS 6014 : TEORI SOSIOLOGI DAN AMALAN
PENDIDIKAN
TUGASAN 1
TEORI ANOMIE
NAMA :- NOOR SUZIANA BINTI ISMAIL
NO.MATRIK :- M20122001290
N.PENSYARAH :- PROF.MADYA DR.AMIR HASAN DAWI
Pengenalan
Rohani Awang di dalam bukunya, Asas-asas Sains Sosiologi (1996: 134) menjelaskan teori-teori
sosiologi ini wujud bagi menerangkan apa itu devian dengan melihat kepada proses kebudayaan,
sosial dan struktur organisasi sesuatu masyarakat. Contohnya adalah penjenayah itu dibentuk
oleh keadaan sosial ataupun dilahirkan begitu? Ahli sosiologi memberi keterangan kepada
persoalan ini dengan memberi tumpuan kepada faktor-faktor yang menghasilkan devian, bukan
ciri-ciri yang diwarisi semula jadi dalam tingkah laku manusia. Antara teori sosial adalah:
Asal usul teori Anomie
Teori Anomie Emile Durkheim
Secara global, aktual dan representatif teori anomie lahir, tumbuh dan berkembang
berdasarkan kondisi sosial (social heritage) munculnya revolusi industri hingga great depression
di Prancis dan Eropa tahun 1930-an menghasilkan deregulasi tradisi sosial, efek bagi individu
dan lembaga sosial/masyarakat. Perkembangan berikutnya, begitu pentingnya teori analisis
struktur sosial sangat dilatar belakangi usaha New Deal Reform pemerintah dengan fokus
penyusunan kembali masyarakat. Untuk pertamakalinya, istilah Anomie diperkenalkan Emile
Durkheim yang diartikan sebagai suatu keadaan tanpa norma (the concept of anomie referred to
onabsence of social regulation normlessness).
Kemudian dalam buku The Division of Labor in Society (1893) Emile Durkheim
mempergunakan istilah anomie untuk mendeskripsikan keadaan “deregulation” di dalam
masyarakat yang diartikan sebagai tidak ditaatinya aturan-aturan yang terdapat pada
masyarakat sehingga orang tidak tahu apa yang diharapkan dari orang lain dan keadaan ini
menyebabkan deviasi.
Menurut Emile Durkheim, teori anomie terdiri dari tiga perspektif, yaitu :
1. Manusia adalah mahluk sosial (man is social animal).
2. Keberadaan manusia sebagai mahluk sosial (human being is a social animal).
3. Manusia cenderung hidup dalam masyarakat dan keberadaannya sangat tergantung pada
masyarakat tersebut sebagai koloni (tending to live incolonies, and his/her survival
dependent upon moral conextions).
Kemudian, istilah anomie dikemukakan Emile Durkheim dalam bukunya Suicide (1897) yang
mengemukakan asumsi bunuh diri dalam masyarakat merupakan akhir puncak dari anomie
karena dua keadaan sosial berupa social integration dan social regulation.
Lebih lanjut, skema hipotesis Durkheim terlihat sebagai berikut :
Social Conditions High Low
Social Integration Altruism Egoism
Social Regulation Fatalism Anomie
Emile Durkheim mengemukakan bahwa bunuh diri atau suicide berasal dari tiga kondisi sosial
yang menekan (stress), yaitu :
1. deregulasi kebutuhan atau anomi;
2. regulasi yang keterlaluan atau fatalism;
3. kurangnya integrasi struktural atau egoisme.
Hipotesis keempat dari suicide menunjuk kepada proses sosialisasi dari seorang individu kepada
suatu nilai budaya altruistic sehingga mendorong yang bersangkutan untuk melaksanakan bunuh
diri. Hipotesis keempat ini bukan termasuk teori stress.
Teori Anomie Robert K. Merton
Pada tahun 1938, Robert K. Merton mengadopsi konsep anomie Emile Durkheim untuk
menjelaskan deviasi di Amerika. Konsepsi Merton ini sebenarnya dipengaruhi intelectual
heritage (kondisi intelektual) Pitirin A.Sorokin (1928) dalam bukunya Contemporary
Sociological Theories dan Talcot Parsons (1937) dalam buku The Structure of Social Action.
Menurut Robert K. Merton, konsep anomie diredefinisi sebagai ketidaksesuaian atau timbulnya
diskrepansi/perbedaan antara cultural goals dan institutional means sebagai akibat cara
masyarakat diatur (struktur masyarakat) karena adanya pembagian kelas. Karena itu, menurut
John Hagan, teori anomie Robert K. Merton berorientasi pada kelas.
Teori anomie Robert K. Merton pada mulanya mendeskripsikan korelasi antara perilaku
delinkuen dengan tahapan tertentu pada struktur sosial akan menimbulkan, melahirkan dan
menumbuhkan suatu kondisi terhadap pelanggaran norma masyarakat yang merupakan reaksi
normal. Untuk itu, ada dua unsur bentuk perilaku delinkuen yaitu unsur dari struktur sosial dan
kultural. Konkritnya, unsur kultur melahirkan goals dan unsur struktural melahirkan means .
Secara sederhana, goals diartikan sebagai tujuan-tujuan dan kepentingan membudaya meliputi
kerangka aspirasi dasar manusia. Sedangkan means diartikan aturan dan cara kontrol yang
melembaga dan diterima sebagai sarana mencapai tujuan. Karena itu, Robert K. Merton
membagi norma sosial berupa tujuan sosial (sociatae goals) dan sarana-sarana yang tersedia
(acceptable means) untuk mencapai tujuan tersebut.
Dalam perkembangan berikutnya, pengertian anomie mengalami perubahan dengan
adanya pembagian tujuan-tujuan dan sarana-sarana dalam masyarakat yang terstruktur.
Misalnya, adanya perbedaan-perbedaan kelas-kelas sosial yang menimbulkan adanya perbezaan
tujuan-tujuan dan sarana yang tersedia. Konsep Anomie tersebut dapat digambarkan sebagai
berikut :
“dalam setiap masyarakat terdapat tujuan-tujuan tertentu yang ditanamkan kepada seluruh
warganya untuk mencapai tujuan tersebut, terdapat sarana-sarana yang dapat dipergunakan tetapi
dalam kenyataannya tidak setiap orang dapat menggunakan sarana-sarana yang tersedia tersebut.
Hal ini menyebabkan penggunaan cara yang tidak sah dalam mencapai tujuan, maka dengan
demikian akan timbul penyimpangan dalam mencapai tujuan tersebut”.
Kemudian, dari perkembangan tersebut anomie juga dapat terjadi karena “perbezaan struktur
kesempatan”. Konsep ini dapat kami gambarkan sebagai berikut :
“dalam setiap masyarakat terdapat sturuktur sosial (berbentuk kelas-kelas), kelas ini dapat
menyebabkan perbedaan kesempatan dalam mencapai tujuan. Misalnya, mereka yang berasal
dari kelas rendah (lowerclass) mempunyai kesempatan lebih kecil dalam mencapai tujuan bila
dibandingkan dengan mereka yang berasal dari kelas tinggi (uper class). Keadaan tersebut (tidak
samanya sarana serta perbedaan struktur) akan menimbulkan frustasi di kalangan warga yang
tidak mempunyai kesempatan dalam mencapai tujuan.
Walaupun adanya ketidakpuasaan, namun ada cara untuk mengatasi keadaan anomie tersebut.
Beberapa ahli kriminologi sepakat bahwa anomie dapat teratasi denganc ara-cara sebagai
berikut :
1. Masyarakat harus tetap menerima tujuan dan sarana-sarana yang terdapat dalam
masyarakat, karena adanya tekanan moral (konformitas/conforming).
2. Harus tetap memelihara tujuan yang terdapat dalam masyarakat, tetapi masyarakat pun
diperbolehkan merubah sarana yang dipergunakan untuk mencapai tujuan tersebut
(asalkan yang halal) (inovasi/innovation). Mengubah sarana-sarana yang salah misalnya
untuk mencapai uang yang banyak mereka mengubah sarana menabung dengan srana
merampok bank.
3. Masyarakat menolak tujuan yang telah ditetapkan (dipositifkan) dan memakai tujuan
yang telah ditentukan (oleh Tuhan) (Ritualisme/ritualism).
4. Untuk mengatasi anomie, warga masyarakat juga harus mengadakan pemberontakan
(rebellion) terhadap sarana dan tujuan yang ada dalam masyarakat, dan kemudian warga
masyarakat harus berusaha untuk mengubahnya dan menggantinya menjadi sarana dan
tujuan yang terbaik untuk mencapai tujuan yang dicita-citakan, namun sebelum
masyarakat mengadakan rebillion, terlebih dahulu harus mengadakan penarikan diri
(retreatisme) dari tujuan dan sarana yang terdapat dalam masyarakat.
Robert K. Merton mengemukakan lima cara mengatasi anomie dalam setiap anggota kelompok
masyarakat dengan tujuan yang membudaya (goals) dan cara yang melembaga (means), seperti
tampak pada tabel Model of Adaptation.
Models of Adaptation Cultural Goals Institutionalized Means
Conformity (Konformitas) + +
Innovation (Inovasi) + -
Ritualsm (Ritualisme) - +
Retreatism (Penarikan Diri) - -
Rebelliion (Pemberontakan) +/- +/-
Keterangan :
+ acceptances (penerimaan)
-elliminaation (penolakan)
+/-rejection and subtitution of new goals and means (penolakan dan penggantian tujuan dan cara
baru)
Kelima bentuk penyesuaian diri yang menyimpang dari norma-norma yang berlaku tersebut
dapat diuraikan sebagai berikut :
1. Conformity (konformitas) adalah suatu keadaan dimana warga masyarakat tetap
menerima tujuan dan sarana-sarana yang terdapat dalam masyarakat karena adanya
tekanan moral.
2. Innovation (inovasi) yaitu keadaan dimana tujuan dalam masyarakat diakui dan
dipelihara tetapi mengubah sarana-sarana yang dipergunakan untuk mencapai tujuan
tersebut.(3)
3. Ritualism (ritualisme) yaitu keadaan dimana warga masyarakat menolak tujuan yang
telah ditetapkan namun sarana-sarana yang telah di tentukan tetap dipilih.
4. Retreatism (penarikan diri) merupakan keadaan dimana para warga masyarakat menolak
tujuan dan sarana yang telah disediakan.
5. Rebellion (pemberontakan) adalah suatu keadaan dimana tujuan dan sarana yang terdapat
dalam masyarakat ditolak dan berusaha untuk mengganti atau mengubah seluruhnya
Dari skema penyesuaian diri Robert K. Merton di atas maka inovasi, ritualisme, penarikan diri
dan pemberontakan merupakan bentuk penyesuaian diri yang menyimpang dari norma-norma
yang berlaku. Karena itu, pengadaptasian yang gagal pada struktur sosial merupakan fokus dari
teori Robert K. Merton (Problems of acces to legitimate means ofachieving the goals are the
focus of Anomie Theory).
Sebagai sebuah teori, maka Anomie merupakan golongan teori abstrak/macrotheoriess dalam
klasifikasi teori positif Frank P. William dan Marilyn McShane, atau dengan melalui pendekatan
teorinya secara sociological (FrankHagan). Teori anomie Robert K. Merton diperbaiki Cloward
& Ohlin (1959) dengan mengetengahkan teori differential opportunity. Cloward & Ohlin
mengatakan bahwa sesungguhnya terdapat cara-cara untuk mencapai sukses, yaitu cara yang
disebutnya legitimate dan illegitimate. Sedangkan Robert K. Merton hanya mengakui cara yang
pertama.
Tokoh-Tokoh Teori Anomie
Émile Durkheim (1858 – 1917)
Nama penuh Émile Durkheim French sociologist
Lahir 15 April 1858 di Épinal, France
Meninggal 15 November 1917 (umur 59)
Paris, FranceKewarganegaraan
FrenchKebangsaan
FrenchBidang
Philosophy, Sociology, Anthropology, Religious StudiesInstitusi
Université de Bordeaux , La Sorbonne Dikenali atas
Institutionalizing SociologyDipengaruhi
Immanuel Kant , Rene Descartes, Plato, Herbert Spencer, Aristotle, Montesquieu, Jean-Jacques Rousseau, William James, John Dewey, Charles Sanders Peirce, Auguste Comte , Fustel de Coulanges
Mempengaruhi Marcel Mauss , Claude Lévi-Strauss, Talcott Parsons , Maurice Halbwachs , Pierre
Bourdieu, Charles Taylor (philosopher), Henri Bergson, Emmanuel Levinas , Steven Lukes, Alfred Radcliffe-Brown, E. E. Evans-Pritchard, Paul Fauconnet , Robert Bellah , Lucien Lévy-Brühl , Ziya Gökalp , David Bloor, Randall Collins
Emile Durkheim menekankan fakta sosial adalah sama seperti mengkaji benda. Terdapat 2
jenis fakta sosial:
a) Fakta sosial material (peraturan dan birokrasi)
b) Fakta sosial bukan material (budaya dan institusi sosial)
Beliau juga menekankan penggunaan statistik dalam menganalisis teori-teori sosial.dan
mengemukakan penganalisisan terhadap perkembangan pembahagian tugas dalam masyarakat.
Selain itu, beliau telah menyatakan pandangan bahawa perubahan sosial membawa kepada
masalah sosial - fenomena anomie selain membicarakan perimbangan antara keperluan kepada
peraturan dan kebebasan.
Robert K. Merton (1910 - )
Robert K. Merton Robert K. Merton lahir di Philadelphia, Amerika Serikat,
Beliau memperoleh gelaran doktor dari universiti Harvard.
Pemikirannya sangat dipengaruhi oleh pemikir seperti Pitirim Sorokin, dan Talcott Parsons.
Merton dapat digolongkan sebagai ahli sosiologi beraliran fungsionalisme modern.
Berbeza dengan tokoh fungsionalisme pendahulunya yang melihat kesatuan masyarakat yang fungsional secara universal dan indispensibility (mutlak tak terbantah), Merton lebih melihat adanya disfungsi, alternatif fungsional, konsekwensi keseimbangan fungsional, serta fungsi manifes dan laten.
Merton menggerakkan kajian sosiologi lebih kepada perilaku individu yang unik dan abstrak, namun individu tersebut memiliki status dan peranan yang membentuk struktur
Teori ini sejalan dengan perspektif disorganisasi sosial = Teori ini berpendapat bahawa: penyimpangan adalah akibat dari adanya berbagai ketegangan dalam suatu struktur masyarakat tertentu à sehingga ada individu-individu yang mengalami tekanan/ketegangan à akibatnya menyimpang.
Kaitannya Dengan Teori Klasik Dan Huraian Mendalam Mengenai Teori
Latar Belakang Masalah Durkheim adalah seorang ahli sosiologi yang meletakan dasar-
dasar sosiologi modern. Ia menulis berbagai macam metode sosiologi, tentang pengetahuan
tentang sosiologi agama, tentang pembagian kerja dan bunuh diri, tentang pendidikan dan moral,
dan tentang sosialisme. Berbagai macam yang berhubungan dengan masalah sosial selalu muncul
di dalam karyanya. Satu cara dalam mempelajari suatu masyarakat adalah dengan cara melihat
bagaimana fungsi komponen yang ada di dalam suatu masyarakat dimana hubungan tersebut
saling berhubungan satu sama lain. Jika masyarakat itu stabil, bagian-bagianya beroprasi
lancar,maka susunan-susunan sosial berfungsi, dimana masyarakat tersebut ditandai oleh
kepaduan, kerjasama, dan kesepakatan. Tetapi apabila ternyata bagian-bagian dari masyarakat
tersebut berada dalam suatu keadaan yang membahayakan ketertiban sosial, maka susunan
masyarakat seperti itu disebut dysfunctional (tidak berfungsi).
Perbandingan dengan teori-teori lain
Perbandingan Teori Anomie dan Teori Alienasi; Konsep Teori Sosial Durkheim & Marx
Anomi menurut Emil Durkheim adalah keterasingan yang dialami individu dari lingkungan
masyarakatnya. Hal ini terjadi karena pencungkirbalikan status dan peran sosial sebagai akibat
perubahan dan pembagian pekerjaan dalam masyarakat. Perubahan sosial yang sangat mendasar
telah menempatkan pada suatu keadaan anomi atau situasi yang sama sekali tidak dipahaminya.
Keadaan semacam ini yang menurut Durkheim sebagai salah satu sebab seseorang melakukan
bunuh diri atau yang disebut anomi suicide. Ketertarikan Emil Durkheim untuk mengkaji dan
menjelaskan anomie adalah karena Durkheim memusatkan perhatiannya atau memfokuskan
perhatiannya pada solidaritas sosial sebagai salah satu fungsi penting dari tatanan sosial: individu
memiliki tempat yang ditetapkan di dunia yang diciptakan dan diperkuat oleh nilai-nilai sosial
dari moralitas, agama, dan patriotisme. Dia mengamati bahwa tingkat solidaritas akan lebih kuat
atau lebih lemah dalam masyarakat yang berbeda, dan dia juga mengamati bahwa beberapa
kekuatan sosial modern cenderung merusak moral dan memperlemah kohesi sosial - penciptaan
kota-kota besar, misalnya. Dalam teorinya tentang bunuh diri, ia menyoroti situasi "anomi" untuk
merujuk pada keadaan individu yang hubungannya dengan seluruh tatanan sosial yang lemah,
dan ia menjelaskan perbedaan dalam tingkat bunuh diri di masyarakat sebagai hasil dari berbagai
tingkat solidaritas dan sebaliknya. Disamping itu, ketertarikan Duekheim dalam mengkaji anomi
adalah karena anomi merupakan ketegangan antara fakta sosial dan kemauan individu yang
mengakibatkan patologis sosial, penyimpangan prilaku atau deviance behavior yang terjadi pada
individu disebabkan semakin rendahnya integrasi sosial, kohesivitas, solidaritas, tingkat
kebersamaan. Selain itu anomi adalah merupakan fakta sosial yang ada dalam dunia kehidupan
sosial.
Alienasi menurut Karl Marx adalah merujuk kepada pemisahan hal-hal yang secara
alamiah merupakan milik bersama, atau membangun antagonisme di antara hal-hal yang secara
pas sudah berada dalam keselarasan. Dalam penggunaan yang terpenting, konsep itu mengacu ke
alienasi sosial seseorang dari aspek-aspek “hakikat kemanusiaannya” (Gattungswesen, biasanya
diterjemahkan sebagai species-essence atau 'esensi spesis,' atau species-being). Marx percaya
bahwa alienasi merupakan hasil sistematik dari kapitalisme. Teori Alienasi Marx didasarkan
pada pengamatannya bahwa di dalam produksi industrial yang muncul di bawah kapitalisme,
para buruh tak terhindarkan kehilangan kontrol atas hidup mereka, karena tidak lagi memiliki
kontrol atas pekerjaan mereka. Para pekerja ini tak pernah menjadi otonom, yakni manusia yang
merealisasi-diri dalam setiap arti yang signifikan, kecuali lewat cara realisasi yang diinginkan
kaum borjuis. Alienasi dalam masyarakat kapitalis terjadi karena di dalam kerja, setiap orang
berkontribusi pada kemakmuran bersama. Namun, mereka hanya bisa mengekspresikan secara
mendasar aspek sosial dari individualitas lewat sistem produksi yang tidak dimiliki secara sosial,
atau secara publik. Namun, hal ini juga berlaku untuk perusahaan yang dimiliki swasta, di mana
masing-masing individu berfungsi sebagai instrumen, bukan sebagai makhluk sosial. Marx
mengatribusikan empat jenis alienasi pada buruh di bawah kapitalisme. Pertama, manusia
teralienasi dari alam. Kedua, manusia teralienasi dari dirinya sendiri, dari aktivitasnya sendiri.
Ketiga, manusia teralienasi dari species-being (dari dirinya –being—sebagai anggota dari
human-species). Kempat, manusia teralienasi dari manusia lain.
Jika anomie pada Durkheim dilihat sebagai bagian dari keterasingan individu terhadap solidaritas
sosial sebagai bagian dari integrasi sosial, maka Marx melihat alineasi sebagai keterasingan
sebagai hasil sistematik dari kapitalisme yang melahirkan individu sebagai instrumen dan bukan
sebagai makhluk sosial.
Pengunaan teori dalam diskusi sosiologi Dan Pengaplikasian teori dalam bidang pendidikan
Durkheim berfikiran bahwa suatu kejahatan yang ada didalam masyarakat tidak terletak
pada diri si indiviu, tetapi terletak pada kelompok dan organisasi sosial yang kemudian dikenal
dengan istlah anomie (hancurnya keteraturan sosial sebagai akibat dari hilangnya patokan dan
nilai-nilai). Sebuah masyarakat sederhana yang berkembang menuju masyarakat yang modern
dan kota kedekatan (intimacy) yang dibutuhkan untuk melanjutkan satu set norma-norma umum
(a common set of rules) akan merosot. Dimana kelompok masyarakat berada didalam kondisi
dalam ketiadaan satu set aturan-aturan umum, yang tindakan antara satu dengan tindakan yang
lainya saling bertabrakan bahkan bertentangan dengan tindakan dan harapan orang lain. Dengan
tidak dapat diprediksinya sistem tersebut akan runtuh secara bertahap, dan masyarakat akan
berada di dalam suatu kondisi yang anomi.
Idenifikasi dan Rumusan Masalah Bagaimana fakta sosial, karakteristik, dan metode
pengamatan fakta sosial menurut Durkheim? Bagaimana pengertian kesadaran kolektif menurut
Durkheim? Bagaimana teori bunuh diri dan jenis-jenis bunuh diri menurut teori Durkheim? 1.3
Tujuan Penulisan Untuk mengetahui bagaimana fakta sosial, karakteristik, dan metode
pengamatan fakta sosial menurut Durkheim, bagaimana pengertian kesadaran kolektif menurut
Durkheim, bagaimana teori bunuh diri dan jenis-jenis bunuh diri menurut teori Durkheim dan
bagaimana teori bunuh diri dan jenis-jenis bunuh diri menurut teori Durkheim.
Manfaat Kegunaan Penulisan Agar kita dapat mengetahui bagaimana fakta sosial,
karakteristik, dan metode pengamatan fakta sosial menurut Durkheim, bagaimana pengertian
kesadaran kolektif menurut Durkheim, bagaimana teori bunuh diri dan jenis-jenis bunuh diri
menurut teori Durkheim dan bagaimana teori bunuh diri dan jenis-jenis bunuh diri menurut teori
Durkheim
Fakta sosial, karakteristik, dan metode pengamatan fakta sosial menurut Durkheim 1.
Pengertian Fakta Sosial Fakta sosial didefinisikan oleh Durkheim sebagai cara-cara bertindak,
berfikir, dan merasa yang ada diluar individu dan yang memiliki daya paksa atas dirinya. Dalam
arti lain, yang dimaksudkan adalah pengalaman umum manusia. Pengertian fakta sosial meliputi
suatu spectrum gejala-gejala sosial. Yang terdapat bukan saja cara-cara bertindak dan berfikir
melainkan juga cara-cara berada, yaitu fakta-fakta sosial morfologis, seperti bentuk permukiman,
pola jalan-jalan, pembagian tanah, dan sebagainya.
Fakta sosial menurut Durkheim terdiri atas dua macam : Dalam bentuk material. Yaitu
barang sesuatu yang dapat disimak, ditangkap, dan diobservasi. Fakta sosial yang berbentuk
material ini adalah bagian dari dunia nyata. Contohnya arsitektur dan norma hukum. Dalam
bentuk non material. Yaitu sesuatu yang dianggap nyata. Fakta sosial jenis ini merupakan
fenomena yang bersifat inter subjective yang hanya dapat muncul dari dalam kesadaran manusia.
Contohnya adalah egoisme, altruisme, dan opini.
Karakteristik Fakta Sosial 1. Gejala sosial bersifat eksternal terhadap individu. Individu
sejak awalnya mengkonfrontasikan fakta sosial itu sebagai suatu kenyataan eksternal. Hampir
setiap orang sudah mengalami hidup dalam satu situasi sosial yang baru, mungkin sebagai
anggota baru dari suatu organisasi, dan pernah merasakan adanya norma serta kebiasaan yang
sedang diamati yang tidak ditangkap/ dimengertinya secara penuh. Dalam situasi serupa itu,
kebiasaan dan norma ini jelas dilihat sebagai sesuatu yang eksternal.
Fakta itu memaksa individu. Individu dipaksa, dibimbing, diyakinkan, didorong, atau
dengan cara tertentu dipengaruhi oleh pelbagai tipe fakta sosial dalam lingkungan sosialnya.
Seperti Durkheim katakan : Tipe perilaku atau berfikir ini mempunyai kekuatan memaksa yang
karenanya mereka memaksa individu terlepas dari kemauan individu itu sendiri. Ini tidak berarti
bahwa individu itu harus mengalami paksaan fakta sosial dengan cara yang negatif atau
membatasi atau memaksa seseorang untuk berprilaku yang bertentangan dengan kemauannya
kalau sosialisasi itu berhasil, sehingga perintahnya akan kelihatan sebagai hal yang biasa, sama
sekali tidak bertentangan dengan kemauan individu.
Fakta itu bersifat umum atau tersebar secara meluas dalam suatu masyarakat, Dengan
kata lain, fakta sosial itu merupakan milik bersama bukan sifat individu perorangan. Sifat
umumnya ini bukan sekedar hasil dari penjumlahan beberapa fakta individu. Fakta sosial benar-
benar bersifat kolektif, dan pengaruhnya terhadap individu merupakan hasil dari sifat kolektifnya
ini.
Pengamatan Fakta Sosial Durkheim dalam bukunya yang berjudul “The Rules Of
Sosiological Method” memberikan dasar-dasar metodologi dalam sosiologi. Salah satu prinsip
dasar yang ditekankan Durkheim adalah bahwa fakta sosial harus dijelaskan dalam hubungannya
dengan fakta sosial lainnya. Ini adalah asas pokok yang mutlak. Kemungkinan lain yang besar
untuk menjelaskan fakta sosial adalah menghubungkannya dengan gejala individu (seperti
kemauan, kesadaran, kepentingan pribadi individu, dan seterusnya) seperti yang dikemukakan
oleh ahli ekonomi klasik dan oleh Spencer.
Prinsip dasar yang kedua (dan salah satu yang fundamental dalam fungsionalisme
modern) adalah bahwa asal-usul suatu gejala sosial dan fungsi-fungsinya merupakan dua
masalah yang terpisah. Seperti ditulis Durkheim “Lalu apabila penjelasan mengenai suatu gejala
sosial diberikan kita harus memisahkan sebab yang mengakibatkannya (efficient cause) yang
menghasilkan gejala itu, dan fungsi yang dijalankannya. Sesudah menentukan bahwa penjelasan
tentang fakta sosial harus dicari di dalam fakta sosial lainnya, Durkheim memberikan strategi
tentang perbandingan terkendali sebagai metoda yang paling cocok untuk mengembangkan
penjelasan kausal dalam sosiologi.
Kaedah perbandingan Durkheim lebih ketat dan terbatas. Pada intinya, metoda
perbandingan terkendali itu meliputi klasifikasi silang dari fakta sosial tertentu untuk
menentukan sejauh mana mereka berhubungan. Kalau korelasi antara dua himpunan fakta sosial
dapat ditunjukkan sebagai valid dalam pelbagai macam keadaan, hal ini memberi satu petunjuk
penting bahwa tipe fakta itu mungkin berhubungan secara kausal. Artinya, variasi dalam nilai
dari satu tipe variable mungkin merupakan sebab dari variasi dalam nilai variable yang kedua.
Kesadaran kolektif menurut Durkheim Kesadaran kolektif dapat memberikan dasar
moral yang tidak bersifat kontraktual yang mendasari hubungan kontraktual. Dalam benak
Durkheim, kesadaran kolektif yang mendasar ini diabaikan oleh ahli teori seperti Spencer, yang
melihat dasar fundamental dari keteraturan sosial ini dalam hubunganhubungan yang bersifat
kontraktual. Kesadaran kolektif juga ada dalam bentuk yang lebih terbatas dalam pelbagai
kelompok khusus dalam masyarakat.
Durkheim juga menekankan pentingnya kesadaran kolektif bersama yang mungkin ada
dalam pelbagai kelompok pekerjaan dan profesi. Keserupaan dalam kegiatan dan kepentingan
pekerjaan memperlihatkan suatu homogenitas internal yang memungkinkan berkembangnya
kebiasaan, kepercayaan, perasaan, dan prinsip moral dan kode etik bersama. Akibatnya, anggota
kelompok ini dibimbing dan dipaksa untuk berprilaku sama seperti anggota satu suku bangsa
primitif dengan pembagian kerja yang rendah yang dibimbing dan dipaksa oleh kesadaran
kolektif yang kuat. Durkheim merasa bahwa solidaritas mekanik dalam pelbagai kelompok
pekerjaan dan profesi harus menjadi semakin penting begitu pembagian pekerjaan meluas, sebagi
satu alat perantara yang penting antara individu dan masyarakat secara keseluruhannya.
Teori bunuh diri dan jenis-jenis bunuh diri menurut teori Durkheim Selain konsepsinya
tentang solidaritas mekanis organis, Durkheim sangat terkenal dengan studinya tentang
kecenderungan orang untuk melakukan bunuh diri. Dalam bukunya yang kedua, Suicide
dikemukakan dengan jelas hubungan antara pengaruh integrasi social terhadap kecenderungan
untuk melakukan bunuh diri. Durkheim dengan tegas menolak anggapan lama bahwa penyebab
bunuh diri yang disebabkan oleh penyakit kejiwaan sebagaimana teori-teori psikologi
mengatakannya. Dia juga menolak anggapan Gabriel Tarde bahwa bunuh diri akibat imitasi.
Durkheim juga menolak teori yang menghubungkan bunuh diri dengan alkoholisme. Durkheim
menolak teori bunuh diri karena kemiskinan, kenyataan orang-orang lapisan atas tingkat bunuh
dirinya lebih tinggi dibandingkan orang-orang dari lapisan atas. Dari hasil penelitiannya Negara-
negara miskin seperti Italia dan Spanyol justru memiliki angka bunuh diri yang lebih rendah
dibandingkan dengan Negara-negara Eropa yang lebih makmur seperti Perancis dan Jerman
Menurut Durkheim peristiwa-peristiwa bunuh diri sebenarnya kenyataan-kenyataan
sosial tersendiri yang karena itu dapat dijadikan sara penelitian dengan menghubungkannya
dengan derajat integrasi sosial dari suatu kehidupan masyarakat. Untuk membuktikan teorinya,
Durkheim memusatkan perhatiannya pada 3 macam kesatuan sosial yang pokok dalam
masyarakat, yaitu kesatuan agama, keluarga dan kesatuan politik.
Dalam kesatuan agama, Durkheim membuat kesimpulan bahwa penganut-penganut
agama Protestan mempunyai kecenderungan lebih besar untuk melakukan bunuh diri
dibandingkan dengan penganut agama Katholik.Hal ini dikarenakan perbedaan derajat integrasi
sosial di antara penganut agama Katolik dengan Protestan. Penganut agama Protestan
memperoleh kebebasan yang jauh lebih besar untuk mencari sendiri hakekat ajaran-ajaran kitab
suci. Pada agama Katolik tafsir agama lebih ditentukan oleh para pater. Oleh karena itu
kepercayaan bersama dari penganut Protestan menjadi berkurang, hingga sekarang ini terdapat
banyak gereja (sekte-sekte). Integrasi yang rendah dari penganut agama protestan itulah yang
menyebabkan angka laju bunuh diri dari penganut ajaran ini lebih besar dibandingkan dengan
penganut ajaran Katolik.
Dalam kesatuan keluarga, Durkheim menunjukkan bahwa angka laju bunuh diri lebih
banyak terdapat pada orang-orang yang tidak kawin daripada mereka yang sudah kawin.
Kesatuan keluarga yang lebih besar umumnya terintegrasi mengikat anggota-anggotanya untuk
saling membantu. Dalam kesatuan politik, Durkeim menyebutkan bahwa dalam keadaan damai,
golongan militer ummunya lebih besar kecenderungan bunuh dirinya dibandingkan golongan
masyarakat sipil. Sedangkan dalam suasana perang, golongan militer justru lebih sedikit
melakukan bunuh diri bila dibandingkan golongan sipil karena mereka lebih terintegrasi dengan
baik (disiplin keras). Dalam situasi perang justru kecenderungan bunuh diri lebih rendah
dibandingkan situasi damai. Dalam masa revolusi/pergolakan politik, anggota-anggota
masyarakat justru lebih terintgrasi dalam menghadapi musuh-musuhnya.
Durkheim mendefinisikan bunuh diri sebagai setiap kematian yang merupakan akibat
langsung atau tidak langsung dari suatu perbuatan positif atau negatif oleh korban itu sendiri,
yang mengetahui bahwa perbuatan itu akan berakibat seperti itu. Definisi itu terlampau luas,
sebab didalamnya juga termasuk kematian para prajurit yang mengajukan dirinya untuk
melaksanakan tugas yang sukar, ataupun kematian seorang ayah yang ingin menyelamatkan
anaknya dari arus kencang yang bergolak. Hal ini akan berakibat negatif dalam penalaran seperti
yang akan ternyata kemudian.
Bunuh diri egoistis (egoistic suicide) Yaitu yang merupakan akibat dari kurangnya
integrasi dalam kelompok. Misalnya, lebih banyak orang Protestan yang bunuh diri dari pada
orang Katolik. Sebab orang Katolik lebih terikat pada komunitas keagamaan sedangkan dalam
Protestan terdapat anjuran yang kuat untuk bertanggung jawab secara individual. Kenyataan ini
dinyatakan secara tepat sekali di dalam rumusan bahwa seorang Protestan dipaksa untuk bebas.
Bunuh diri anomi (anomie suicide). Anomi adalah suatu situasi dimana terjadi suatu keadaan
tanpa aturan, dimana kesadaran kolektif tidak berfungsi. Jenis bunuh diri ini terjadi dalam waktu
krisis dan bukannya krisis ekonomi saja. Bunuh diri ini juga terjadi bilamana sekonyong-
konyong terjadi kemajuan yang tidak terduga.
Altruistic Suicide, adalah bunuh diri karena merasa dirinya menjadi beban masyarakat.
Bunuh diri ini sifatnya tidak menuntut hak, sebaliknya memandang bunuh diri itu sebagai suatu
kewajiban yang dibebankan oleh masyarakat. Contoh : Harakiri orang jepang. IV. Bunuh diri
Fatalistik. Merupakan lawan dari bunuh diri anomi, dan yang timbul dari pengaturan kelakuan
secara berlebihlebihan, misalnya dalam rezim yang sangat keras dan otoriter.
Rumusan
Durkheim adalah seorang ahli sosiologi yang meletakan dasardasar sosiologi modern. Ia
menulis berbagai macam metode sosiologi, tentang pengetahuan tentang sosiologi agama,
tentang pembagian kerja dan bunuh diri, tentang pendidikan dan moral, dan tentang sosialisme.
Durkheim berfikiran bahwa suatu kejahatan yang ada didalam masyarakat tidak terletak pada diri
si indiviu, tetapi terletak pada kelompok dan organisasi sosial yang kemudian dikenal dengan
istlah anomie (hancurnya keteraturan sosial sebagai akibat dari hilangnya patokan dan nilai-
nilai). Setiap tokoh mempunyai pendapat mereka yang tersendiri. Merton dapat digolongkan
sebagai ahli sosiologi beraliran fungsionalisme modern. Berbeza dengan tokoh fungsionalisme
pendahulunya yang melihat kesatuan masyarakat yang fungsional secara universal dan
indispensibility (mutlak tak terbantah), Merton lebih melihat adanya disfungsi, alternatif
fungsional, konsekwensi keseimbangan fungsional, serta fungsi manifes dan laten. Merton
menggerakkan kajian sosiologi lebih kepada perilaku individu yang unik dan abstrak, namun
individu tersebut memiliki status dan peranan yang membentuk struktur . Teori ini sejalan
dengan perspektif disorganisasi sosial = Teori ini berpendapat bahawa: penyimpangan adalah
akibat dari adanya berbagai ketegangan dalam suatu struktur masyarakat tertentu à sehingga
ada individu-individu yang mengalami tekanan/ketegangan à akibatnya menyimpang.
Rujukan
Kamus penguin sosiologi.
Oleh : Abercrombie, N. , Hill , S., & Turner, BS
(2006). Harmondsworth , UK: Penguin.
Menguji teori-teori ketegangan struktur. Jurnal Penyelidikan dalam Jenayah dan Kenakalan
Oleh: Agnew , R.
( 1987)., 24, 281-286 .
Asas bagi teori bebanan am jenayah dan delinkuensi.
Oleh: Agnew , R. ( 1992). Kriminologi, 30 ( 1), 47-88
Heydari, A., Davoudi, I., & Teymoori, A. (2011). Revising the assessment of feeling
of anomie: Presenting a multidimensional scale. Procedia—Social and Behavioral
Sciences, 30, 1086-1090.
Heydari, A., Teymoori, A., & Haghish, E. F. (2013). Socioeconomic status, perceived
parental control, and authoritarianism: Development of authoritarianism in Iranian
society. Asian Journal of Social Psychology, 16(3), 228-237.
Heydari, A., Teymoori, A., Nasiri, H., & Haghish, E. F. (2012). Relationship between
socioeconomic status, anomie, and authoritarianism. E-Bangi: Journal of Social
Sciences and Humanities, 7(1), 176-188.
Menard, S. (1995). A developmental test ofMertonian anomie theory. Journal of Research
of Crime and Delinquency, 32(2), 136-174.
Merton, R. K. (1938). Social structure and anomie. American Sociological Review, 3, 672-682.
Merton, R. K. (1968). Social theory and social structure. New York, NY: Free Press.
http://as-sosunila.blogspot.com/2012/05/sumbangan-pemikiransosiologi-dari.html Atmasasmita,
Romli. 1992. Teori dan Kapita Selekta. Bandung : PT Refika Aditama Santoso, Topo,
S.H. 2011. Kriminologi. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada