BAGIAN PENYAKIT DALAM FAKULTAS KEDOKTERAN UNAND RS. Dr. M. DJAMIL PADANG PROPOSAL PENELITIAN AKHIR Dipresentasikan: Kamis 10 Mei 2012 Judul : Korelasi antara kadar interleukin-1 serum dengan aktivitas 1
BAGIAN PENYAKIT DALAM
FAKULTAS KEDOKTERAN UNAND
RS. Dr. M. DJAMIL PADANG
PROPOSAL PENELITIAN AKHIR
Dipresentasikan:
Kamis 10 Mei 2012
Judul : Korelasi antara kadar interleukin-1 serum dengan
aktivitas penyakit pada penderita artritis reumatoid
Bidang Studi : Sub bagian Reumatologi
Pembimbing : dr. Najirman SpPD-KR
Pelaksana : Medis had
Lama Penelitian : 6 (enam) bulan
Tempat Penelitian : Rumah Sakit Dr. M Djamil Padang
1
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kehadirat ALLAH SWT karena atas rahmat- Nya penulis
dapat menyelesaikan penulisan proposal penelitian akhir dengan judul “Korelasi
antara kadar interleukin-1 serum dengan aktivitas penyakit pada penderita Artritis
Reumatoid.” Proposal penelitian akhir ini merupakan persyaratan dalam
menyelesaikan Program Pendidikan Dokter Spesialis di Bagian Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Unand/ RS dr. M. Djamil Padang
Penulis menyadari bahwa penulisan proposal penelitian akhir ini masih jauh
dari sempurna. Oleh karena itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran dari
pembaca demi kesempurnaan proposal penelitian ini.
Akhirnya izinkanlah penulis mengucapkan terima kasih kepada seluruh staf
pengajar di Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK Unand/ RS Dr. M Djamil Padang
khususnya kepada dr. Najirman SpPD-KR yang telah memberikan bimbingan
ataupun arahan dalam menyelesaikan proposal penelitian akhir ini.
Padang, Mei 2012
Penulis
2
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR………………………….…………………………….......
DAFTAR ISI………………………………….……………………….…............
DAFTAR GAMBAR……...……………………...………………….….……….
DAFTAR TABEL……………………………………………………..….……...
BAB I PENDAHULUAN…………………….…………………….….….........
1.1 Latar belakang…………………………………………………..........
1.2 Identifikasi masalah……………………………………….....……….
1.3 Tujuan penelitian……………………………………………….........
1.3.1 Umum…………………………………………...…........
1.3.2 Khusus………………………………………..….……….
1.4 Hipotesis penelitian……………………………………….…............
1.5 Manfaat penelitian……………………………………….……..........
1.6 Kerangka pemikiran…………………………………….….………
BAB II TINJAUAN KEPUSTAKAAN……………………………….…………
2.1 Definisi artritis reumatoid……………………………….…………..
2.2 Etiologi artritis reumatoid…………………………….……..……….
2.3 Patogenesis artritis reumatoid…………………………….………….
2.4 Peran sitokin pada patogenesis artritis reumatoid…….……..……….
Ha
l
i
ii
iv
v
1
1
5
5
5
5
6
6
7
8
8
10
14
3
2.5 Disease activity scale 28 (DAS 28) pada artritis reumatoid….………
BAB III METODE PENELITIAN………………………………………............
3.1 Desain penelitian………………………………………………..........
3.2 Tempat dan waktu penelitian……………………………..….………
3.3 Pemilihan sampel……………………………………….…..……….
3.4 Kriteria inklusi dan kriteria ekslusi…………………….….….……..
3.5 Cara kerja……………………………………………….……………
3.6 Analisis data statistik………………………………….….…………..
3.7 Klasifikasi variabel dan definisi operasional………….….…………..
3.8 Kerangka penelitian…………………………………….……............
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………..…….………..
16
20
23
23
23
23
24
25
26
27
30
31
4
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Peran sitokin dalam patogenesis artritis rheumatoid…………………
Gambar 2. Peran sentral IL-1 dalam pathogenesis AR………………………….
Gambar 3: Pemeriksaan VAS……………………………………………….......
Ha
l
16
20
22
5
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Sitokin-sitokin yang terlibat dalam patologi AR…………………........
Ha
l
17
.
6
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Artritis reumatoid (AR) merupakan suatu penyakit yang tersebar luas serta
melibatkan semua kelompok ras dan etnik di dunia. Penyakit ini merupakan suatu
penyakit autoimun yang menyebabkan kerusakan struktur yang besar, dengan tingkat
agresifitas penyakit yang berbeda-beda serta memiliki dampak terhadap kualitas
hidup pasien yang terkena(1,2). Penyakit ini menimbulkan kecacatan yang akan
menjadi masalah sosial dan ekonomi pada penderitanya. Artritis reumatoid dalam
waktu yang lama mempunyai prognosis yang buruk, dimana akan menimbulkan
kecacatan (80 %) setelah 20 tahun dan dapat mengurangi angka harapan hidup 3- 18
tahun(3).
Patologi yang mendasari penyakit AR memberikan manifestasi klinis yang
beragam dan mencakup keterlibatan sendi serta berbagai organ diluar persendian.
Inflamasi terlihat pada banyak jaringan dan salah satu yang dominan adalah sinovitis
serta pembentukan pannus sebagai akibat proses inflamasi kronik dan
proliperasi sel(4).
Prevalensi AR didunia diperkirakan sekitar 1-2 % populasi dengan insiden
tertinggi terjadi pada wanita usia 40- 50 tahun dan wanita tiga kali lebih sering
dibanding pria. Prevalensi di Asia dan Afrika lebih rendah dibandingkan dengan di
Amerika atau Eropa. Beberapa penelitian yang dilakukan di Asia dan Amerika,
7
ditemukan bahwa penderita AR di Cina dan jepang berjumlah sekitar 0,2 %- 0,3 %
sedangkan pada beberapa penduduk asli Amerika ditemukan insiden yang sangat
tinggi yaitu lebih dari 5 %, hal ini menunjukkan bahwa AR merupakan penyakit yang
terkait dengan faktor genetik sehingga manifestasi dan progresifitas penyakit ini
untuk masing-masing etnis didunia berbeda-beda. Sedangkan di Indonesia Prevalensi
AR diperkirakan sekitar 0,2 - 0,3 % untuk yang berumur di atas 15 tahun (1,5,6).
Terjadinya artritis reumatoid berawal dari suatu antigen yang berada pada
membran sinovial. Pada membran sinovial tersebut antigen akan diproses oleh
antigen presenting cells (APC). Antigen yang telah diproses oleh APC selanjutnya
akan dilekatkan pada CD4(+) limfosit T dan selanjutnya akan mengaktivasi sel
limfosit T. Selain sebagai penyaji antigen sel APC juga mengeluarkan sitokon-sitokin
proinflamasi seperti interleukin 1 (IL-1), interleukin 6 (IL-6) dan tumor necrosis
factor-α (TNF- α) yang akan menyebabkan inflamasi dan kerusakan dari sendi(4,7).
Sel limfosit T yang teraktivasi, selain mengeluarkan sitokin-sitokin
proinflamasi juga akan merangsang monosit, makrofag dan sinovial fibroblast untuk
memproduksi sitokin proinflamasi seperti (IL-1), (IL-6) dan (TNF- α) yang juga
akan menyebabkan inflamasi dan kerusakan sendi(4,7). Pada proses inflamasi aktivitas
sitokin-sitokin proinflamasi tersebut juga akan meningkatkan sintesis protein fase
akut dihati. C-reaktif protein (CRP) merupakan salah satu dari protein fase akut yang
paling sensitif dan dapat digunakan sebagai indikator inflamasi ataupun kerusakan
sendi(8)
8
Hubungan yang saling mempengaruhi dari berbagai sitokin terutama IL-1 dan
TNF- α mempunyai peranan penting dalam proses patofisiologi inflamasi dan
destruksi jaringan pada AR. Sitokin berperan dalam proses tersebut melalui
pengaruhnya pada sel endotel, sinoviosit, kondrosit, osteoklas dan sel-sel lainnya
yang akan menghasilkan berbagai kolagenase, sitokin lain, kemokin ataupun berbagai
prostanoid(9).
Interleukin-1 adalah mediator utama pada inflamasi sinovium, pembentukan
pannus dan merupakan sitokin yang paling penting pada destruksi tulang dan tulang
rawan sendi pada AR, disamping akibat terjadinya kegagalan perbaikan pada tulang
dan tulang rawan sendi tersebut. Goldring (2003) dalam suatu penelitiannya
mengemukakan bahwa IL-1 memegang peranan penting dalam mencetuskan dan
memperberat inflamasi sinovium dan juga berpengaruh secara langsung terhadap sel-
sel tulang dan tulang rawan sehingga dapat menyebabkan inflamasi dan kerusakan
sendi(4). Penelitian Dayer (2003) menyatakan bahwa IL-1 merupakan sitokin
proinflamasi penting yang berkontribusi terhadap manifestasi klinis AR(9). Penelitian
Kay dkk (2004) dan Strand dkk (2004) juga menyatakan bahwa IL-1 merupakan
sitokin yang memegang peranan penting dalam patogenesis AR(10,11). Sitokin ini
menginduksi proliperasi sel-sel sinovium dan meningkatkan produksi matrix
metalloproteinase (MMP) oleh kondrosit dan sel sinovium yang dapat mengakibatkan
degradasi rawan sendi. Sitokin ini juga menghambat repair rawan sendi melalui
penghambatan sintesis protein matriks(9).
9
MacNaul dkk (1990) dalam suatu penelitiannya menyimpulkan bahwa IL-1
merupakan sitokin yang poten dalam menginduksi pelepasan matriks
metalloproteinase (MMP) dari sinovial fibroblast dan kondrosit (12). Sementara itu
penelitian Shingu dkk (1993) menyatakan bahwa keseimbangan antara MMP dan
tissue inhibitor matriks metalloproteinase (TIMP) merupakan faktor yang penting
dalam terjadinya kerusakan sendi. Pada artritis reumatoid terjadi ketidakseimbangan
antara kedua protein tersebut dimana interleukin-1 menginduksi pembentukan MMP
dan sebaliknya menghambat pembentukan TIMP(13).
Selain itu juga IL-1 merangsang differensiasi osteoklast yang dapat
menyebabkan aktivitas resorpsi tulang meningkat melebihi pembentukan tulang.(14,15)
Beberapa penelitian juga menunjukkan bahwa IL-1 merupakan stimulator yang kuat
dalam pembentukan oksida nitrit yang dapat memperberat inflamasi dan kerusakan
sendi pada pasien AR(16,17)
Disease activity scores 28 ( DAS 28) merupakan suatu instrumen pemeriksaan
yang dapat digunakan untuk menilai keaktifan proses inflamasi sendi pada pasien
AR. Adapun penilaian yang dilakukan adalah dengan menggunakan variabel klinis
dan laboratorium. Pemeriksaan DAS 28 mempunyai keakuratan yang tinggi dan dapat
digunakan untuk menilai aktivitas ataupun progresifitas penyakit AR, selain itu juga
beberapa penelitian menunjukkan bahwa keaktifan proses inflamasi pada sendi
ternyata tidak dapat diukur hanya dengan menggunakan variabel klinis atau
laboratorium saja(18,19).
10
Welsing dkk (2001) dalam suatu penelitiannya mendapatkan hubungan yang
kuat antara aktivitas penyakit dengan kerusakan sendi dan perubahan kapasitas
fungsional pada pasien AR. Welsing dkk (2004) juga mendapatkan hubungan antara
aktivitas penyakit dengan progresifitas penyakit AR yang dinilai secara radiologi(20,21)
Mengingat begitu sentralnya peran IL-1 pada proses terjadinya AR maka
penelitian ini dilakukan untuk menilai hubungan antara kadar IL-1 serum dengan
aktivitas penyakit pada penderita AR yang dinilai dengan menggunakan DAS 28.
1.2 Identifikasi masalah
Apakah terdapat korelasi antara kadar IL-1 serum dengan hs-CRP dan DAS
28 pada penderita AR
1.3 Tujuan penelitian
1.3.1 Umum
Mengetahui korelasi antara kadar IL-1 serum dengan aktivitas penyakit pada
penderita AR.
1.3.2 Khusus
1. Mengetahui kadar IL-1 serum, hs-CRP serum dan nilai DAS 28 pada
penderita AR.
2. Mengetahui korelasi antara kadar IL-1 serum dengan DAS 28 pada
penderita AR.
11
3. Mengetahui korelasi antara kadar IL-1 serum dengan hs-CRP pada
penderita AR.
1.4 Hipotesis penelitian
Terdapatnya korelasi positif antara kadar IL-1 serum dengan hs-CRP dan
DAS 28 dan pada penderita AR.
1.5 Manfaat penelitian
Dari hasil penelitian ini diharapkan dapat diketahui korelasi positif antara
kadar IL-1 serum dengan DAS 28 pada penderita AR yang telah mendapat
terapi standar, sehingga dapat digunakan untuk menilai aktivitas penyakit AR
dan untuk menambah pengetahuan yang menjadi dasar untuk penelitian
dimasa yang akan datang.
12
13
Keterangan Kerangka Pemikiran
Terjadinya artritis reumatoid berawal dari suatu antigen yang berada
pada membran sinovial. Pada membran sinovial tersebut antigen akan diproses oleh
antigen presenting cells (APC). Antigen yang telah diproses oleh APC selanjutnya
akan dilekatkan pada CD4(+) limfosit T dan selanjutnya akan mengaktivasi sel
limfosit T. Selain sebagai penyaji antigen sel APC juga mengeluarkan sitokon-sitokin
proinflamasi seperti interleukin 1 (IL-1), interleukin 6 (IL-6) dan tumor necrosis
factor-α (TNF- α) yang akan menyebabkan peningkatan aktivitas osteoklas, sinoviosit
dan kondrosit yang akan menyebabkan inflamasi dan kerusakan dari sendi.
Sel limfosit T yang teraktivasi, selain mengeluarkan sitokin-sitokin
proinflamasi juga akan merangsang monosit, makrofag dan sinovial fibroblast untuk
memproduksi sitokin proinflamasi seperti (IL-1), (IL-6) dan (TNF- α) yang akan
menyebabkan peningkatan aktivitas osteoklas, sinoviosit dan kondrosit yang juga
akan menyebabkan inflamasi dan kerusakan sendi.
Selain itu juga sel limfosit T yang teraktivasi akan merangsang proliperasi
serta aktivitas sel limfosit B untuk memproduksi antibodi yang nantinya akan
membentuk kompleks antigen-antibodi yang akan mengendap pada membran
sinovium, sehingga kondisi ini dapat memperberat inflamasi serta kerusakan sendi.
14
BAB II
TINJAUAN KEPUSTAKAAN
2.1. Definisi Artritis Reumatoid
Artritis reumatoid adalah suatu penyakit autoimun yang ditandai dengan
terdapatnya sinovitis erosif simetrik yang walaupun terutama mengenai jaringan
persendian, seringkali juga melibatkan organ tubuh lainnya. Sebagian besar penderita
menunjukkan gejala penyakit kronik yang hilang timbul, yang jika tidak diobati akan
menyebabkan terjadinya kerusakan persendian dan deformitas sendi progresif yang
menyebabkan disabilitas bahkan kematian dini. Walaupun faktor genetik, hormon
sex, infeksi dan umur telah diketahui berpengaruh kuat dalam menentukan pola
morbiditas penyakit ini, sampai sekarang etiologi AR yang sebenarnya tetap belum
dapat diketahui dengan pasti, akan tetapi diyakini bahwa proses imunologi dan
peradangan yang berkaitan dengan destruksi sendi telah terjadi pada tahap yang
sangat dini dalam perjalanan penyakit AR(7,22,23). Proses peradangan tersebut terutama
menyerang tulang rawan sendi, tulang pada tepi sendi serta tulang subkondral dan
periartikular. Secara umum terjadi tiga bentuk kerusakan tulang pada AR Osteopenia
juxtra articular terjadi pada bagian proksimal dan distal dari sendi yang terkena. Erosi
15
fokal terjadi pada tulang subkondral dan tepi sendi dan bentuk ketiga adalah
terjadinya osteoporosis sistemik(24).
Diagnosis AR tidak begitu sulit untuk ditegakkan pada kasus-kasus yang
sudah jelas. Akan tetapi pada masa permulaan penyakit,seringkali gejala AR tidak
bermanifestasi dengan jelas sehingga kadang timbul kesulitan dalam menegakkan
diagnosis. Artritis reumatoid dini (ARD) menjadi masalah sangat penting karena jika
diagnosis terlewatkan dan tidak mendapat terapi yang adekuat, maka akan
menyebabkan terjadinya peradangan berkelanjutan dan mengakibatkan terjadinya
kerusakan sendi yang progresif(7,22).
Menurut American College of Rheumatology/European League Against
Rheumatism classification 2010 ( ACR/ EULAR 2010 ) diagnosis AR dapat
ditegakkan pada pasien yang memenuhi minimal 6 dari 10 skor yang didapatkan dari
penjumlahan kategori A-D(25).
A. Keterlibatan sendi (bengkak atau nyeri)
1 sendi besar 0
2 - 10 sendi besar 1
1- 3 sendi kecil (dengan atau tanpa keterlibatan sendi besar ) 2
4-10 sendi kecil (dengan atau tanpa keterlibatan sendi besar ) 3
> 10 sendi ( setidaknya 1 sendi kecil ) 5
B. Pemeriksaan serologi ( setidaknya 1 hasil pemeriksaan )
RF negatif dan ACPA negatif 0
RF positif rendah atau ACPA positif rendah 2
16
RF positif tinggi atau ACPA positif tinggi 3
C. Reaksi fase akut ( setidaknya 1 hasil pemeriksaan )
Normal CRP dan normal LED 0
Abnormal CRP dan abnormal LED 1
D. Lama keluhan
< 6 minggu 0
> 6 minggu 1
2.2. Etiologi artritis reumatoid
Walaupun faktor genetik, hormon sex, infeksi dan umur serta faktor stres
oksidan dan merokok telah diketahui berpengaruh kuat dalam menentukan pola
morbiditas penyakit AR, sampai sekarang etiologi AR yang sebenarnya tetap belum
dapat diketahui dengan pasti, akan tetapi diyakini bahwa proses imunologi dan
peradangan yang berkaitan dengan destruksi sendi telah terjadi pada tahap yang
sangat dini dalam perjalanan penyakit AR(7,22,23). Beberapa faktor yang diduga sebagai
penyebab AR adalah sebagai berikut:
1. Faktor genetik
Faktor genetik memegang peranan penting pada AR, hal ini terlihat pada
tingginya insidensi AR pada kembar monozigot 12-15% dibandingkan dizigot.
Artritis reumatoid juga diturunkan dari seorang ibu ke anaknya hingga 50-60%
Sampai saat ini masih sulit menentukan gen mana yang menentukan berat ringanya
17
AR, meskipun diketahui bahwa gen penyebab AR adalah HLA. Dari scan genomik
yang dilaporkan gen penentu terkait dengan AR adalah HLA-DRB1, DR4, DR1
dengan allele yang berbeda-beda pada masing-masing ras. Perbedaan HLA inilah
yang membedakan manifestasi klinik AR berat atau tidak. Pasien yang mengemban
HLA-DR4 memiliki risiko relatif 4:1 untuk menderita penyakit AR sedangkan pada
kelompok HLA-DRB1 memiliki risiko relatif 7,5- 15,7 : 1 untuk menderita penyakit
AR(5,7,27)
Sementara itu beberapa penelitian pada bangsa tertentu yaitu Yunani dan
Pakistan sebagaimana yang dilaporkan Boki KA (1993) dan Hameed K (1997)
mendapatkan sebaliknya. Pada penelitian tersebut didapatkan bahwa tidak terdapat
hubungan antara HLA-DR4 dengan tingkat keparahan AR pada bangsa yunani dan
juga tidak terdapat hubungan antara HLA-DRB1 dengan tingkat keparahan AR pada
bangsa pakistan(28,29).
Penelitian yang dilakukan oleh Huizinga dkk (2005) menunjukkan bahwa
HLA-DRB1 tidak memiliki kerterkaitan secara umum dalam aktivitas pasien AR,
tetapi hanya berkaitan dengan aktivitas pasien AR yang memiliki antibodi anti
CCP(30).
Penelitian Van der Helm-van Mil dkk (2006) juga menunjukkan bahwa
HLA-DRB1 bukanlah suatu faktor yang secara mandiri menentukan progresifitas
pasien AR, tetapi berhubungan dengan anti-CCP yang positif sehingga dapat
digunakan sebagai marker imunoreaktivitas(31).
2. Faktor umur dan infeksi
18
Umur menjadi faktor risiko terjadinya AR karena pada umur muda kerentanan
individu terhadap infeksi sangat tinggi dan diketahui bahwa infeksi dan timbulnya
autoimunitas terkait erat. Hal ini dibuktikan pada umur muda bila terkena paparan
patogen maka timbul respon imun yang ditimbulkan limfosit yang berlebihan. Infeksi
dan autoimunitas telah diketahui sejak lama prosesnya melalui beberapa mekanisme
berikut ini(5):
1. Infeksi menganggu self tolerance dengan pelepasan self epitope
2. Infeksi dapat secara langsung melepas sitokin dan kemokin yang merupakan
regulator sel-sel inflamasi. Dimana sitokin dapat berperan merangsang
pertumbuhan, differensiasi, dan sebagai faktor kemotaksis terhadap sel T serta
mengatur ekspresi molekul MHC.
3. Infeksi dapat merangsang produksi sitokin Th1
4. Beberapa mikroba proteinnya ditemukan sebagai superantigen yang dapat
secara selektif mengaktivasi sel T
5. Infeksi dapat melepaskan sitokine like interferon
6. Infeksi diduga merangsang proses autoimun melalui proses molekul mimikri
yaitu kesamaan protein antigen dan agen infeksi, sehingga antibodi yang
terbentuk yang seharusnya hanya untuk agen infeksi, bereaksi pula dengan
protein antigen dari tubuh.
Sampai saat ini agen spesifik penyebab AR juga belum diketahui. Beberapa
bakteri yang diduga sebagai penyebab AR berupa superantigen, mikoplasma, herpes
19
virus, parvo virus, retro virus, beberapa kelompok jamur dan Ebsten bar virus (EBV)
merupakan infeksi yang banyak ditemukan antibodi pada penderita AR(5).
3. Faktor hormonal
Berbagai observasi telah menimbulkan dugaan bahwa hormon seks
merupakan salah satu faktor predisposisi penyakit ini. Prevalensi AR diketahui tiga
kali lebih banyak diderita kaum wanita dibandingkan dari kaum pria. Rasio ini dapat
mencapai 5:1 pada wanita usia subur. Demikian pula remisi seringkali dijumpai pada
pasien AR yang sedang hamil. Walaupun masih banyak kontroversi dalam hal ini,
beberapa observasi telah menunjukkan bahwa penggunaan kontrasepsi oral atau
penggunaan preparat estrogen eksternal bagi wanita yang telah menopause
menyebabkan terjadinya penurunan insiden penyakit ini(5,7).
4. Faktor stres oksidan dan merokok.
Banyak faktor lingkungan yang mempengaruhi timbulnya AR, selain infeksi,
stres oksidan dan bahan kimia, merokok meningkatkan kepekaan individu terkena
AR. Kelompok perokok dilaporkan manifestasi kliniknya lebih berat, ditandai oleh
pemeriksaan serologi yang memberikan hasil seropositif dan kerusakan sendi erosif.
Pada perokok, sel bronkoalveolarnya mengandung banyak citrulline, sehingga diduga
perokok mempunyai risiko menderita AR meningkat 20 kali dibanding pada populasi
yang tidak merokok(5).
20
Penelitian yang dilakukan oleh Rasker SPL dkk (2006) mendapatkan bahwa
rokok meningkatkan pembentukan anti-CCP antibodi pada pasien AR dengan HLA-
DRB1(32).
2.3. Patogenesis artritis reumatoid
Patogenesis AR dimulai dengan terdapatnya suatu antigen yang berada pada
membran sinovial. Pada membran sinovial tersebut, antigen akan diproses oleh APC
yang terdiri dari berbagai jenis fibroblast like sinovial, sel dendritik atau makrofag.
Antigen yang telah diproses oleh APC selanjutnya dilekatkan pada CD4(+), suatu
subset sel limfosit T sehingga terjadi aktivasi sel tersebut. Sel limfosit T yang
teraktivasi akan merespon antigen yang dipresentasikan dengan cara memproduksi
sitokin proinflamasi berproliperasi, sel-sel efektor, merangsang sel endotel dengan
meningkatkan ekspresi adhesi molekul sehingga sel-sel inflamasi bermigrasi ke
jaringan perivaskuler yang akhirnya menimbulkan peradangan dan kerusakan sendi.(5)
Selain sebagai penyaji antigen sel APC yang diperankan oleh makrofag, sel
denritik, fibroblast like sinovial dan sel Limfosit B, sel ini juga mengeluarkan
mediator proinflamasi, aktivasi komplemen, aktivasi faktor koagulasi, mensekresi
enzim proteolitik seperti proteases, lisosim, elastase kolagenase(5).
Sel Limfosit T yang teraktivasi juga merangsang makrofag untuk
meningkatkan aktivitas fagositosis dan merangasang terjadinya proliperasi serta
aktivitas sel limfosit B untuk memproduksi antibodi(33). Takemura dkk (2001)(34)
dalam suatu penelitianya mengemukakan bahwa limfosit T dan limfosit B berperan
21
penting dalam terjadinya AR dan sel limfosit B juga berperan sebagai APC yang
dapat mengaktivasi sel limfosit T. Edwards dkk (2004)(33), Panayi GS ( 2005 )(35) juga
mengemukakan bahwa sel limfosit B berperan penting dalam patogenesis AR.
Setelah berikatan dengan antigen sesuai,antibodi yang dihasilkan oleh
Limfosit B akan membentuk kompleks imun yang akan berdifusi secara bebas ke
dalam ruang sendi. Pengendapan kompleks imun pada membran sinovial akan
menyebabkan aktivasi sistem komplemen dan membebaskan komplemen C5a.
Komplemen C5a merupakan faktor kemotaktik yang selain meningkatkan
permeabilitas vascular juga menarik lebih banyak sel PMN yang memfagosit
kompleks imun tersebut sehingga mengakibatkan degranulasi sel mast dan
pembebasan radikal oksigen, leukotriene, enzim lisosomal, prostaglandin,
kolagenase, stromelysin yang semuanya bertanggung jawab atas terjadinya inflamasi
dan kerusakan jaringan seperti erosi rawan sendi dan tulang(3,33).
Pengendapan kompleks imun juga menyebabkan masuknya sel T ke dalam
membran sinovial dan akan merangsang terbentuknya pannus yang merupakan
elemen yang paling bersifat destruktif pada patogenesis AR. Pannus merupakan
jaringan granulasi yang terdiri dari makrofag yang teraktivasi, sel fibroblast yang
berproliperasi dan jaringan mikrovaskular. Pannus dapat menginvasi jaringan kolagen
dan proteoglikan rawan sendi serta tulang sehingga dapat menghancurkan struktur
persendian. Jika proses pembentukan pannus tidak terhenti baik karena pengobatan
atau remisi spontan, proses ini akan menyebabkan terjadinya ankilosis(3,33).
22
Rantai peristiwa imunologis ini umumnya akan terhenti bila antigen penyebab
dapat dihilangkan dari lingkungan tersebut. Akan tetapi pada AR, antigen atau
komponennya umumnya akan menetap pada struktur persendian sehingga proses
destruksi sendi akan berlangsung terus(7)
2.4. Peran sitokin pada patogenesis artritis reumatoid
Sitokin adalah golongan protein /glikoprotein/polipeptida yang larut yang
diproduksi oleh sel limfosit, makrofag, sel dendrit, fibroblast like sinovial, sel B, sel
T, sel endotel dan sel imunologi yang lain. Sitokin berfungsi sebagai sinyal inter
seluler yang mengatur hampir semua proses biologis antara lain aktivasi,
pertumbuhan, proliperasi, differensiasi sel yang dapat menimbulkan inflamasi(5).
Synovial mediator ataupun sitokin yang dihasilkan akibat adanya aktivasi
berbagai sel imunokompeten mengaktivasi endotel vaskuler, dan sel-sel inflamasi
lainnya yang akhirnya sel-sel tersebut mensekresi sitokin. Berbagai sitokin terlibat
pada kerusakan dan inflamasi sendi pada AR seperti yang terlihat pada gambar dan
tabel dibawah ini.
23
Gambar 1. Peran sitokin dalam patogenesis artritis reumatoid(4)
Tabel 1. Sitokin-sitokin yang terlibat dalam patologi AR(36)
24
25
Interleukin-1 merupakan sitokin yang memiliki peran penting dalam
pathogenesis AR. Sitokin ini merupakan stimulator yang kuat sel-sel fibroblast
sinovium, osteoklas dan kondrosit(3,5). Goldring (2003) dalam suatu penelitiannya
mengemukakan bahwa IL-1 memegang peranan penting dalam mencetuskan dan
memperberat inflamasi sinovium dan juga berpengaruh secara langsung terhadap sel-
sel tulang dan tulang rawan sehingga dapat menyebabkan inflamasi dan kerusakan
sendi(4). Penelitian Dayer (2003) menyatakan IL-1 merupakan sitokin proinflamasi
penting yang berkontribusi terhadap manifestasi klinis AR(9). Penelitian Kay dkk
(2004) dan Strand dkk (2004) juga menyatakan bahwa IL-1 merupakan sitokin yang
memegang peranan penting dalam patogenesis AR(11,12).
A.Interleukin 1
Interleukin-1 adalah mediator utama pada inflamasi sinovium dan
pembentukan pannus, dengan cara mengaktifkan monosit-makrofag, limfosit T dan
limfosit B. interleukin-1 juga menginduksi ekspresi molekul adesi, sel sitokin
lainnya, kemokin dan reseptor kemokin, faktor angiogenik dan mediator inflamasi
seperti PGE2 dan oksida nitrit(9). Penelitian Abbot dkk (1992) mendapatkan bahwa IL-
1 memegang peranan penting dalam komunikasi antar sel dan meningkatkan ekspresi
molekul adesi pada jaringan sendi pasien AR sedangkan Sakurai dkk (1995) dan
Vuolteenaho dkk (2003) dalam suatu penelitiannya mendapatkan bahwa IL-1
merupakan stimulator yang kuat dalam pembentukan oksida nitrit pada pasien-pasien
AR(16,17,37).
26
Selain itu juga sitokin ini merupakan sitokin yang penting pada destruksi
tulang dan rawan sendi pada AR, disamping akibat terjadinya kegagalan perbaikan
pada tulang dan rawan sendi tersebut. Interleukin-1 menginduksi proliperasi sel-sel
sinovium dan meningkatakan produksi MMP oleh kondrosit dan sel sinovium
sehingga mengakibatkan degradasi rawan sendi. Sitokin ini juga menghambat repair
rawan sendi melalui penghambatan sintesis protein matriks(4). Terdapat dua
mekanisme utama yang menerangkan bagaimana peran jaringan sinovium terhadap
terjadinya kerusakan rawan sendi. Mekanisme pertama adalah secara tidak langsung
melalui pengaruh sitokin dan mediator lainnya yang dilepaskan sinovium
menyebabkan disregulasi kondrosit. Mekanisme kedua adalah jaringan sinovium AR
mempengaruhi remodeling rawan sendi secara langsung dan dipengaruhi faktor yang
dihasilkan oleh sinovium AR yang mampu menghancurkan matriks rawan sendi(4).
MacNaul dkk (1990) dalam suatu penelitiannya menyimpulkan bahwa IL-1
merupakan sitokin yang poten dalam menginduksi pelepasan matriks
metalloproteinase (MMP) dari sinovial fibroblast dan kondrosit (12). Sementara itu
penelitian Shingu dkk (1993) menyatakan bahwa keseimbangan antara MMP dan
tissue inhibitor matriks metalloproteinase (TIMP) merupakan faktor yang penting
dalam terjadinya kerusakan sendi. Pada artritis reumatoid terjadi ketidakseimbangan
antara kedua protein tersebut dimana interleukin-1 menginduksi pembentukan MMP
dan sebaliknya menghambat pembentukan TIMP(13).
Penelitian Hofbauer dkk (1999) dan Collin osdoby (2001) menyatakan bahwa
IL-1 dapat merangsang osteoklastogenesis dengan cara menginduksi ekspresi
27
receptor activator of nuclear factor-Ќβ ligand (RANKL)(38,39). Interleukin-1 juga
meregulasi produksi Osteoprotegerin (OPG) suatu natural inhibitor terhadap
RANKL. Osteoprotegerin menghambat differensiasi osteoklast dengan cara
berikatan dengan RANKL, sehingga mencegah RANKL untuk berikatan dengan
RANK. Pada kondisi fisiologis, faktor yang menyebabkan differensiasi dan aktivasi
osteoklast seimbang dengan faktor anti-inflamasi dan imunoregulator, sehingga
resorbsi tulang berjalan seimbang dengan pembentukan tulang(24).
Gambar 2. Peran sentral IL-1 dalam pathogenesis AR(9)
2.5 Disease activity scale 28 (DAS 28) pada artritis reumatoid
Interleukin-1 dan TNF- α merupakan sitokin utama pada penyakit AR yang
dapat menyebabkan inflamasi dan kerusakan sendi dengan tingkat agresifitas
penyakit yang berbeda-beda serta memiliki dampak terhadap kualitas hidup pasien
28
yang terkena. Disease activity scores 28 ( DAS 28) merupakan suatu instrumen
pemeriksaan yang dapat digunakan untuk menilai keaktifan proses inflamasi sendi
pada pasien AR. Vanriel dkk (1992), Felson dkk (1993) dalam suatu penelitiannya
mengatakan bahwa DAS 28 berguna untuk mengukur aktivitas penyakit AR(40,41).
Pemeriksaan DAS 28 mempunyai keakuratan yang tinggi dan dapat
digunakan untuk menilai aktivitas ataupun progresifitas penyakit AR sebagaimana
yang dilaporkan oleh Prevo dkk (1995) dalam suatu longitudinal studinya (42). Selain
itu juga beberapa penelitian menunjukkan bahwa keaktifan proses inflamasi pada
sendi ternyata tidak dapat diukur hanya dengan menggunakan variabel klinis atau
laboratorium saja(18,19).
Welsing dkk (2001) dalam suatu penelitiannya mendapatkan hubungan yang
kuat antara aktivitas penyakit dengan kerusakan sendi dan perubahan kapasitas
fungsional pada pasien AR. Welsing dkk (2004) juga mendapatkan hubungan antara
aktivitas penyakit dengan progresifitas penyakit AR yang dinilai secara radiologi(20,21).
Pemeriksaan Disease activity scale 28 dilakukan dengan cara menilai adanya
pembengkakan dan derajat nyeri pada 28 sendi yaitu sendi bahu, siku, pergelangan
tangan, Metacarpophalangeal (I,II,III,IV,V), Proksimal interphalangeal(I,II,III,IV,V)
dan sendi lutut. Derajat nyeri pada AR diukur dengan menggunakan suatu instrumen
yang disebut Visual Analogue Scale (VAS). Instrumen VAS terdiri dari sebuah garis
horisontal sepanjang 100 mm. Titik pangkal garis merupakan skala nol yang berarti
tidak nyeri, sedang titik ujung adalah untuk derajat nyeri paling hebat yang dirasakan
penderita. Pada garis VAS penderita diminta memberikan tanda sepanjang garis
29
tersebut untuk dapat memberikan gambaran terbaik derajat nyeri yang dirasakannya.
Pemeriksaan laju endap darah (LED) juga dilakukan pada pasien yang akan diskoring
pemeriksaan DAS 28.(43)
Gambar 3: Pemeriksaan VAS(43)
Pemeriksaan Disease activity scale 28 mempunyai nilai berkisar antara 0-9,4.
Aktivitas penyakit AR dikatakan rendah jika nilai DAS 28 kecil dari 3,2 , aktivitas
penyakit sedang jika nilai DAS 28 3,2 sampai 5,1 dan aktivitas berat penyakit AR
tinggi jika DAS 28 besar dari 5,1(44). Prevo dkk(1996) mendapatkan bahwa nilai DAS
28 kecil dari 1,6 merupakan pertanda remisi pada pasien AR sedangkan Fransen
dkk(2004) mendapatkan lebih kecil dari 2,6.(45,46). Selain itu juga DAS 28 dapat
digunakan untuk menilai keberhasilan terapi sebagaimana yang dilaporkan oleh
Broeder dkk (2002), Vanriel dkk (2005) bahwa DAS 28 dapat digunakan sebagai
suatu instrumen yang dapat dipakai untuk titrasi penurunan dosis obat pasien AR
yang diterapi dengan anti TNF-α ataupun agen biologis(47,48).
BAB III
METODE PENELITIAN
30
3.1 Desain penelitian
Penelitian dengan desain cross sectional yang bersifat deskriptif analitik.
3.2 Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan di Bangsal dan Poliklinik Penyakit Dalam Rumah Sakit
Dr. M Djamil Padang selama 6 bulan.
Tabel 3.1 jadwal penelitian
Kegiatan Bulan
I
Bulan
II
Bulan
III
Bulan
IV
Bulan
V
Bulan
VI
Persiapan X
Pengumpulan data X X X X X X
Analisis data X
Penulisan Hasil X
3.3 Pemilihan sampel
Subjek penelitian adalah pasien yang sudah dikenal dan memenuhi kriteria
AR menurut American College of Rheumatology/European League Against
Rheumatism classification 2010, yang dirawat di bangsal dan Poliklinik Penyakit
Dalam RSUP Dr. M. Djamil Padang. Pengambilan sampel dilakukan secara
konsekutif.
31
Besar sampel ditetapkan dengan mengunakan rumus besar sampel untuk
korelasi tunggal(49)
n : Besar sampel penelitian
Zα : Tingkat kemaknaan yang dinilai tergantung α. Untuk penelitian ini α= 0,05,
maka Zα= 1,96
Zβ : Power penelitian yang nilainya tergantung kepada β. Untuk penelitian ini β=
0,8, maka nilai Zβ= 0,842
r : Perkiraan koefisien korelasi. Untuk penelitian ini r= 0,5
Dari perhitungan rumus besar sampel di atas didapatkan jumlah sampel
29,020 dan digenapkan menjadi 30 sampel.
3.4 Kriteria inklusi dan kriteria ekslusi.
3.4.1 Kriteria inklusi
1. Pasien yang memenuhi kriteria American College of
Rheumatology/European League Against Rheumatism classification 2010
2. Setuju untuk ikut penelitian.
3.4.2 Kriteria ekslusi
32
2
Zα + Zβ n = + 3 0,5 ln(1+r)/(1-r)
1. Pasien yang menderita penyakit kronik/ inflamasi lain.
2. Pasien dengan systemic lupus erythromatosus (SLE )
3. Pasien yang menderita arthritis psoariatrik
4. Pasien yang menderita Mixed Connected Tissue Disease (MTDC)
5. Pasien yang menderita Sistemik sklerosis
6. Pasien yang menderita Sjogren’s sindrom
7. Penyakit autoimun lain.
3.5 Cara kerja.
Pemeriksaan IL-1 dilakukan dengan menggunakan metode pengujian
enzyme imunosurbent assay (ELISA).
Pemeriksaan DAS 28: Dilakukan dengan menilai 28 sendi terhadap
adanya pembengkakan dan nyeri pada sendi bahu, siku, pergelangan
tangan, MCP (I,II,III,IV,V), PIP (I,II,III,IV,V) dan sendi lutut.
Dihitung total pembengkakan dan nyeri dari 28 sendi kemudian
dilakukan pemeriksaan hs-CRP dan VAS.
Dilakukan perhitungan DAS 28 berdasarkan rumus (50):
DAS 28 = 0,56 x√(nyeri sendi) + 0,28 x√(pembengkakan sendi) +
0,36 x ln hs-CRP + 0,014 x VAS + 0,96
Nyeri pada sendi: nilai 0 jika tidak terasa nyeri, nilai 1 jika terasa nyeri
pada sendi.
33
Pembengkakan pada sendi: Nilai 0 jika tidak terdapat pembengkakan
sendi, dan nilai 1 jika terdapat pembengkakan sendi.
Nilai DAS 28:
o DAS < 3,2 : aktivitas penyakit AR rendah
o DAS 3,2-5,1 : aktivitas penyakit AR sedang
o DAS > 5,1 : aktivitas penyakit AR tinggi
3.6 Analisis data statistik
Data numerik dituliskan dalam bentuk rerata, sedangkan data kategorik
dituliskan dalam bentuk frekuensi. Korelasi antara data numerik dengan numerik
berdistribusi normal diuji dengan pearson sedangkan apabila tidak berdistribusi
normal diuji dengan spearmen. Kekuatan korelasi menurut sofiyudin tahun 2009(51):
r = 0,00 - 0,19 : sangat lemah
r = 0,20 – 0,39 : korelasi lemah
r = 0,40 – 0,59 : korelasi sedang
r = 0,60 – 0,79 : korelasi kuat
r = 0,80 – 1,00 : korelasi sangat kuat
analisis data dilakukan dengan menggunakan sofware SPSS 15, dikatakan bermakna
jika p < 0,05.
3.7 Klasifikasi variabel dan definisi operasional
3.7.1 Klasifikasi variabel
34
Variabel yang diteliti pada penelitian ini:
Variabel independent:
o Jenis kelamin
o Umur
o Interleukin-1
Variabel dependent:
o DAS 28
o hs-CRP
3.7.2 Definisi operasional
1. Artritis reumatoid merupakan suatu penyakit otoimun, ditandai dengan terdapatnya
sinovitis erosif simetris yang terutama mengenai jaringan persendian. Diagnosis AR
dinyatakan berdasarkan kriteria American College of Rheumatology/European
League Against Rheumatism classification 2010: Kriteria AR dapat ditegakkan
apabila pasien memenuhi minimal 6 dari 10 skor yang didapatkan dari penjumlahan
kategori A-D.
A. Keterlibatan sendi
1 sendi besar 0
2 - 10 sendi besar 1
1- 3 sendi kecil (dengan atau tanpa keterlibatan sendi besar ) 2
4-10 sendi kecil (dengan atau tanpa keterlibatan sendi besar ) 3
> 10 sendi ( setidaknya 1 sendi kecil ) 5
35
B. Pemeriksaan serologi ( setidaknya 1 hasil pemeriksaan )
a. RF negatif dan ACPA negatif 0
b. RF positif rendah atau ACPA positif rendah 2
c. RF positif tinggi atau ACPA positif tinggi 3
C. Reaksi fase akut ( setidaknya 1 hasil pemeriksaan )
a. Normal CRP dan normal LED 0
b. Abnormal CRP dan abnormal LED 1
D. Lama keluhan
a. < 6 minggu 0
b. > 6 minggu 1
2. Interleukin-1 adalah protein dengan berat 17-kd yang selain sebagian besar
dihasilkan oleh makrofag dan monosit juga dihasilkan oleh sel endotel, limfosit B,
limfosit T yang teraktivasi dan sinovial fibroblast. Kadar interleukin-1 diukur
dengan menggunakan metode ELISA. Dikatakan normal apabila kadarnya < 37
pg/ml.
3. DAS 28 adalah suatu instrumen yang digunakan untuk menilai aktivitas penyakit
pada penderita AR
4. Umur dinyatakan dalam tahun
5. Jenis kelamin dibagi atas dua kelompok yaitu perempuan dan laki-laki.
6. hs-CRP adalah suatu protein fase akut yang dihasilkan oleh hati dan meningkat
kadarnya apabila terjadi inflamasi ataupun kerusakan jaringan. Kadar hs-CRP
36
serum diukur dengan menggunakan metode ELISA. Dikatakan normal apabila
kadarnya < 10 mg/l.
7. Nyeri merupakan sensasi subjektif yang dirasakan penderita sebagai rasa tidak
nyaman pada sendi.
8. Visual analogue scale (VAS) adalah instrumen untuk mengukur derajat nyeri.
Penilaian derajat nyeri dilakukan terhadap sensasi nyeri pada sendi. Penderita
diminta memberikan tanda sepanjang garis horisontal pada skala 0-10 cm. titik
pangkal garis nilainya 0 berarti tidak adal nyeri dan skala 10 adalah nyeri paling
kuat menurut persepsi penderita. Penderita diminta memberikan tanda sepanjang
garis VAS untuk memberikan gambaran derajat nyeri yang dirasakannya.
Intensitas dari nyeri adalah:
Tidak nyeri : skala 0 cm
Ringan : skala 1-3 cm
Sedang : skala 4-6 cm
Berat : skala 7-10 cm
3.8 Kerangka penelitian
37
Pasien artritis rheumatoid( Yang telah mendapat terapi standar )
DAFTAR PUSTAKA
38
1. Jenis kelamin2. Umur3. hs-CRP4. VAS
Kriteria inklusi Kriteria eksklusi
hs-CRP Pemeriksaan DAS 28
Analisis
Interleukin-1
Analisis
1. Waldburger JM, Firestein GS. Reumatoid arthritis epidemiology, pathology
and phatogenesis. In: Primer on the rheumatic diseases. Editor: klippel JH. 13
edition. Arthritis foundation. Atlanta. 2008; 122-31.
2. Furst DE, Breedveld FC, Kalden JR, et al. updated concensus statement on
biological agents for the treatment of rheumatic disease, 2009. Ann Rheum
Dis 2010; 69(Suppl I):i2–i29.
3. Choy EH, Panayi GS. Cytokine pathways and joint inflammation in
rheumatoid arthritis. N England J med 2001;344:907-16
4. Goldring SR. Patogenesis of bone and cartilage destruction in rheumatoid
arthritis. Rheumatology 2003;42(suppl.2):ii11-ii16.
5. Yuliasih. Imunopatogenesis artritis reumatoid. Kumpulan makalah temu
ilmiah reumatologi Jakarta 2009;32-44.
6. Darmawan J, Muirden KD, Valkenburg HA, Wigley RD. The epidemiology
of rheumatoid arthritis in Indonesia. Br J Rheumatol 1993; 32: 537–540.
7. Daud R. Artritis reumatoid. Dalam : Buku ajar Ilmu Penyakit Dalam. Editor
Sudoyo AW dkk. Jilid II Edisi IV. Pusat Penerbitan Departemen Ilmu
Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.Jakarta
2006:1184-92.
8. Gabay C, Kusner I. Acute-phase protein and other systemic responses to
inflammation. N England J med 1999;340(6):448-54.
9. Dayer JM. The pivotal role of interleukin-1 in the clinical manifestation of
rheumatoid arthritis. Rheumatology 2003;42(Suppl.2):ii3-ii10.
39
10. Kay J, Calabrese L. The role of interleukin-1 in the pathogenesis of
rheumatoid arthritis. Rheumatology 2004;43(Suppl. 3):iii2–iii9
11. Strand V, Kavanaugh AF. The role of interleukin-1 in bone resorpsion in
rheumatoid arthritis. Rheumatology 2004;43(suppl.3):iii10-16.
12. MacNaul KL, Chartrain N, Lark M, Tocci MJ, Hutchinson NI. Discoordinate
expression of stromelysin,collagenase,and tissue inhibitor of
metalloproteinases1 in rheumatoid human synovial fibroblasts: synergistic
effects of interleukin-1 and tumor necrosis factor-alpha on stromelysin
expression. J Biol Chem 1990;265:17238-45.
13. Shingu M, Nagai Y, Isayama T, Naono T, Nobunaga M, Nagai Y. The effects
of cytokines on metalloproteinase inhibitors (TIMP) and collagenase
production by human chondrocytes and TIMP production by synovial cells
and endothelial cells. Clin Exp Immunol 1993;94:145-9.
14. Gravellese EM, Goldring SR. Cellular mechanism and the role of citokines in
bone erotions in rheumatoid arthritis. Arthritis Rheum 2000;43:2143-51.
15. Tak PP, Bresnihan B. The patogenesis and prevention of joint damage in
rheumatoid arthritis. Arthritis Rheum 2000;43(12): pp2619-33.
16. Vuolteenaho K, Moilanen T, Moilanen E et al. Regulation of nitric oxide
production in osteoarthritic and rheumatoid cartilage. Scand J Rheumatol
2003;32:19–24
40
17. Sakurai H, Kohsaka H, Liu MF, Higashiyama H, Hirata Y,Kanno K, et al.
Nitric oxide production and inducible nitricoxide synthase expression in
inflammatory arthritides. J Clin Invest 1995; 96:2357 – 63.
18. Fransen J, Vanriel PL. disease activity score and the EULAR response
criteria. Ann Rheum Dis 2005;23:93-9
19. Heijde V, Vanthof M, Vanriel PL et al. Judging disease activity in clinical
practice in rheumatoid arthritis: first step in development a disease activity
scores. Ann Rheum Dis 1999;49:916-20.
20. Welsing PMJ, Gestel AM, Swinkels HL. The relationship between disease
activity,joint destruction, and functional capacity over the course of
rheumatoid arthritis. Arthritis & Rheumatism 2001;44(9):2009–17
21. Welsing PMJ, Landewe RBM, Vanriel LC. The relationship between disease
activity and radiologic progression in patients with rheumatoid arthritis.
Arthritis & Rheumatism 2004;50(7): 2082–93
22. Suryana BP. Diagnosis dan penatalaksanaan artritis reumatoid dini. Kumpulan
makalah temu ilmiah reumatologi Jakarta 2009;45-8.
23. American College of Rheumatology Subcommittee on Rheumatoid Arthritis
Guidelines: Guidelines for the Management of Rheumatoid Arthritis 2002
Update. Arthritis Rheum 2002; 46 (2):pp 328--46
24. Suryana BP. Keseimbangan sitokin pro-inflamasi dan anti-inflamasi pada
destruksi sendi reumatoid. Kumpulan makalah temu ilmiah reumatologi
Jakarta 2008;1-4.
41
25. Aletaha D, Neogi T, Silman AJ et al. 2010 Rheumatoid Arthritis
Classification Criteria. An American College of Rheumatology/European
League Against Rheumatism Collaborative Initiative.Arthritis Rheum
2010;62( 9): pp 2569–2581
26. Arnett F, Edworthy S, Bloch D, et al. American rheumatism association 1997
revised criteria for classification of rheumatoid arthritis. Arthritis Rheum
1997;31:315-24.
27. Dewi S. Diagnosis dan penatalaksanaan artritis rheumatoid. Kumpulan
makalah temu ilmiah reumatologi Jakarta 2009;15-21.
28. Boki K A , Drosis A A , Tzioufas G A , et al: Examination of HLA-DR4 as a
severity marker for rheumatoid arthritis in Greek patients . Ann Rheum Dis
1993 ;52:517
29. Hameed K , Bowman S , Kondeatis E , et al: The association of HLADRB
genes and the shared epitope with rheumatoid arthritis in Pakistan . Br J
Rheumatol 1997;36 : 1184.
30. Huizinga TW, Amos CI, van der Helm-van Mil AH, Chen W, van Gaalen FA,
Jawaheer D, et al. Refining the complex rheumatoid arthritis phenotype based
on specificity of the HLA–DRB1 shared epitope for antibodies to citrullinated
proteins. Arthritis Rheum 2005;52:3433–8.
31. Van der Helm-van Mil A H , Verpoort K N , Breedveld F C , et al: T he HLA-
DRB1 shared epitope alleles are primarily a risk factor for anticyclic
citrullinated peptide antibodies and are not an independent risk factor for
42
development of rheumatoid arthritis . Arthritis Rheum 2006; 54(4) : pp1117-
21 ,
32. Linn-Rasker S P , van der Helm-van Mil A H , van Gaalen F A , et al:
Smoking is a risk factor for anti-CCP antibodies only in rheumatoid arthritis
patients who carry HLA-DRB1 shared epitope alleles. Ann Rheum Dis 2006;
65 : 366.
33. Edwards JC, Szczepanski L, szechinki J et al. Efficacy of B cell-targeted
therapy with rituximadb in patient with rheumatoid arthritis. N Engl J Med
2004;350:2572-81.
34. Takemura S, Klimiuk PA, Braun A, et al: T cell activation in rheumatoid
synovium is B cell dependent. J. Immunol 2001;167:4710-18.
35. Panayi GS: B cells: a fundamental role in the pathogenesis of rheumatoid
arthritis? Rheumatology 2005;44(Suppl. 2):ii3-ii7.
36. Mc innes IB, Schett georg. Cytocines in the phatogenesis of rheumatoid
arthritis. Natures review immunology 2007;429-42.
37. Abbot SE, Kaul A, Stevens CR, Blake DR. Isolation and culture of synovial
microvascular endothelial cells. Characterization and assessment of adhesion
molecule expression. Arthritis Rheum 1992;35:401–6.
38. Hofbauer LC, Lacey DL, Dunstan CR, Spelsberg TC, Riggs BL,Khosla S.
Interleukin-1β and tumor necrosis factor-α, but not interleukin-6, stimulate
osteoprotegerin ligand gene expression in human osteoblastic cells. Bone
1999;25:255–9.
43
39. Collin-Osdoby P, Rothe L, Anderson F, Nelson M, Maloney W, Osdoby P.
Receptor activator of NF-kappa B and osteoprotegerin expression by human
microvascular endothelial cells, regulation by inflammatory cytokines, and
role in human osteoclastogenesis. J Biol Chem 2001;276:20659–72.
40. Vanriel LC. Provisional guidelines for measuring disease activity in clinical
trials on rheumatoid arthritis. British Journal of Rheumatology 1992;31:793-6
41. Felson DT, Aderson JJ, Boers M et al. The American College of
Rheumatology preliminary core-set of disease activity measures for
rheumatoid arthritis clinical trials. Arthritis Rheum 1993;36:729-40.
42. Prevo ML, Leuwen MA, Kuper HH. Modified disease activity scores that
include twenty-eight-joint count: development validation in a prospective
longitudinal study of patient with rheumatoid arthritis. Arthritis Rheum
1995;38:44-8.
43. Curtis LA, Morrell TD. Pain Management in the Emergency Department.
EBMedPractice 2006;8(7):1-28.
44. Fransen J, Stucki G, Piet LCM. Rheumatoid Arthritis Measures. Arthritis &
Rheumatism 2003;49(5S):S214–S224.
45. Prevoo M, Van gestel AM, Vanthof M et al. Remission in a prospective study
of patients with rheumatoid arthritis. american rheumatism association
preliminary remission criteria in relation to the disease activity score. British
Journal of Rheumatology 1996;35:1101-1105.
44
46. Fransen J, Creemers MCW, Vanriel LC. Remission in rhematoid arthritis:
agreement of sisease activity scores (DAS 28) with the ARA preliminary
remission criteria. Rheumatology 2004;43:1252-55.
47. Broeder AA, Creemer MCW, Vangestel AM. Dose titration using the disease
activity scores (DAS 28) rheumatoid arthritis patients treated with anti TNF-α.
Rheumatology 2002;41:638-42.
48. Vanriel LCM, Fransen J.DAS28: a useful instrument to monitor infliximab
treatment in patients with rheumatoid arthritis. Arthritis Research & Therapy
2005; 7:189-19.
49. Maldiyano B, Moeslichan S, Sastroasmoro S. Perkiraan besar sampel. Dalam:
Dasar-dasar metodologi penelitian klinis. Editor: Sastroasmoro S, Ismael S.
Edisi III. Sagung seto. Jakarta 2010:302-31.
50. Aletaha D, Nell V, Stamm T.Acute phase reactants add little to composite
disease activity indices for rheumatoid arthritis: validation of a clinical
activityscore. Arthritis Research & Therapy 2005; 7(4):R796-806.
51. Dahlan MS. Hipotesis korelatif. Statistik untuk kedokteran dan kesehatan.
Salemba medika. Jakarta 2009;4:155-174.
45