KONTROVERSI IMPOR BERAS Dr. Sulastri Surono 1 ABSTRAK Beras merupakan komoditas pangan yang sangat penting peranannya dalam kehidupan bangsa Indonesia karena berkaitan dengan ekonomi makro, inflasi, ketahanan pangan, pengangguran dan kemiskinan. Data yang dipakai dalam tulisan ini adalah tahun 1990- 2006. Makalah ini coba menjawab pertanyaan ”mengapa perlu impor pada saat surplus”?. Di dalamnya akan dibahas mengenai situasi perdagangan beras dunia, liberalisasi perdagangan, pemikiran yang pro impor dan yang menolak impor, pihak mana yang dirugikan akibat adanya impor beras dan juga dibahas masalah rente -ekonomi dari adanya impor beras. Dari makalah ini diketahui bahwa luas areal dan produksi padi selama 16 tahun terakhir (1990-2006) sangat fluktuatif. Luas areal padi meningkat sebanyak 1,3 juta hektar sedangkan produktivitasnya relatif stagnan. Sementara itu konsumsi beras per kapita per tahun cenderung menurun sehingga konsumsi beras dalam negeri meningkat hanya mengikuti pertambahan jumlah penduduk. Diketahui juga bahwa 1 Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, program S1 dan S2; Research Associate pada LPEM-FEUI dan Komisaris PTPN XI 1
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
KONTROVERSI IMPOR BERAS
Dr. Sulastri Surono1
ABSTRAK
Beras merupakan komoditas pangan yang sangat penting peranannya dalam
kehidupan bangsa Indonesia karena berkaitan dengan ekonomi makro, inflasi, ketahanan
pangan, pengangguran dan kemiskinan.
Data yang dipakai dalam tulisan ini adalah tahun 1990-2006. Makalah ini coba
menjawab pertanyaan ”mengapa perlu impor pada saat surplus”?. Di dalamnya akan
dibahas mengenai situasi perdagangan beras dunia, liberalisasi perdagangan, pemikiran
yang pro impor dan yang menolak impor, pihak mana yang dirugikan akibat adanya
impor beras dan juga dibahas masalah rente -ekonomi dari adanya impor beras.
Dari makalah ini diketahui bahwa luas areal dan produksi padi selama 16 tahun
terakhir (1990-2006) sangat fluktuatif. Luas areal padi meningkat sebanyak 1,3 juta
hektar sedangkan produktivitasnya relatif stagnan. Sementara itu konsumsi beras per
kapita per tahun cenderung menurun sehingga konsumsi beras dalam negeri meningkat
hanya mengikuti pertambahan jumlah penduduk. Diketahui juga bahwa walaupun
pemerintah mengeluarkan berbagai kebijakan (monopoli impor, tarif 0%, tarif 30% dan
larangan impor), impor tidak pernah berhenti selama tahun observasi, kecuali tahun 1993
dengan alasan adanya kekhawatiran Bulog atas kekurangan stok beras yang dimilikinya.
Namun yang lebih penting lagi ada dugaan motivasi perburuan rente ekonomi karena
harga beras impor sangat murah jika dibandingkan harga beras domestik sehingga
terdapat margin keuntungan bagi Bulog dan rekan-rekannya. Oleh karena perburuan rente
ekonomi tersebut maka pasti selalu saja ada pihak yang pro terhadap impor beras.
Kata kunci: beras, impor
1 Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, program S1 dan S2; Research Associate pada LPEM-FEUI dan Komisaris PTPN XI
1
Latar Belakang
Beras memang komoditas ekonomi, namun karena beras dibutuhkan oleh
masyarakat banyak di Indonesia, maka beras telah berubah menjadi komoditas politik,
untuk kepentingan politik seseorang maupun kelompok-kelompok tertentu. Sejak krisis
ekonomi, peran beras menjadi sangat penting dalam kaitannya dengan ekonomi makro,
inflasi, resiko ketahanan pangan, pengangguran dan kemiskinan.
Dalam beberapa tahun terakhir ini harga beras sudah meningkat lebih dari dua kali
lipat, ditahun 2004 harga beras rata-rata hanya Rp 2.000 per kilogram namun dipenghujung
tahun 2006 harga beras telah menjadi Rp 4.500 per kilogramnya. Sementara harga beras
melambung terus, perdebatan pro-kontra impor beras, perlu tidaknya impor beras berjalan
terus. Perdebatan antara Departemen Perdagangan, Departemen Pertanian dan para
pengamat. Disisi lain, kelompok importir yaitu Bulog dan mitranya terus memohon izin
untuk diberikan hak impor.
Menurut data BPS, produksi gabah pada tahun 2006 merupakan produksi tertinggi
selama Republik ini berdiri yaitu sebesar 54,66 juta ton GKG atau setara dengan 34,55 juta
ton beras (tersedia untuk dikonsumsi 28,33 juta ton). Sedangkan konsumsi sebesar 26,6 juta
ton beras, sehingga terjadi surplus beras sekitar 1,73 juta ton.
Persoalannya, tidak semua pihak percaya angka surplus tersebut, terutama para
spekulan beras yang selalu berupaya mempengaruhi berbagai pihak, terutama para pembuat
kebijakan, dengan mengeksploitasi kelemahan data statistik perberasan agar impor beras
dapat terlaksana. Biasanya usaha mereka berhasil walaupun pemerintah mengeluarkan
peraturan larangan impor untuk tahun 2004-2006, kemudian pemerintah juga yang
memberikan ijin impor. Terbukti di penghujung tahun 2006, pemerintah mengizinkan
Bulog untuk mengimpor beras sebanyak 500.000 ton untuk tahun 2007 ini.
Berkaitan dengan latar belakang tersebut diatas, tulisan ini coba menjelaskan
kontroversi impor beras, pro dan kontra kebijakan impor beras., untuk menjawab
pertanyaan ”mengapa perlu impor pada saat surplus”?. Tulisan ini mula-mula akan
membahas situasi perdagangan beras di dunia, liberalisasi perdagangan, dan juga dibahas
saran Peter Timmer untuk melakukan liberalisasi perdagangan beras di Indonesia, yang
berarti pemerintah tidak diperkenankan intervensi di bidang produksi, distribusi dan harga.
Selanjutnya, dibahas pula pemikiran yang pro impor dan yang menolak impor terutama
2
pada saat surplus beras, pihak pihak mana yang dirugikan akibat impor beras ini dan juga
dibahas masalah rente -ekonomi dari impor beras ini.
Pasar Beras Dunia
Perdagangan beras dunia saat ini, khususnya ekspor beras, hanya sebanyak 28-30
juta ton, dikuasai oleh enam negara saja, yakni Thailand, Vietnam, Amerika Serikat,
India, Pakistan, dan China. Beras yang mereka ekspor itu hanyalah sisa konsumsi
domestiknya saja, residual goods, kecuali Amerika Serikat. Amerika Serikat dengan
pangsa produksi yang relatif kecil (2%), ternyata merupakan negara eksportir beras ketiga
terbesar setelah Thailand dan Vietnam dengan volume ekspor sekitar 3 juta ton atau
sekitar 13% dari volume ekspor dunia tahun 2005. Dengan potensi sumber daya lahan
yang luas, benih transgenik, canggihnya teknologi produksi dan kemampuan subsidi yang
besar, AS akan menjadi pemain penentu dalam pasar beras dunia.
Harga beras internasional saat ini, tidak lagi menggambarkan tingkat efisiensi
atau ongkos produksi karena sebagian besar negara eksportir beras melakukan berbagai
support terhadap petani padi, tidak terkecuali negara Uni Eropa dan Amerika Serikat
dimana beras bukan sebagai makanan utama, serta Thailand, Pakistan dan India. Berbagai
subsidi tersebut membuat perdagangan tidak fair, namun tetap dilaksanakan oleh
sejumlah negara terutama negara maju.
Karena sebagian besar ekspor beras sifatnya adalah sisa konsumsi, maka harga
ekspor sangat tidak stabil karena tergantung pada sisa beras yang mereka miliki. Jadi,
sangatlah beresiko besar apabila Indonesia menyerahkan nasib ke pasar dunia yang
sifatnya residual market. Kalau negara tersebut tidak mempunyai sisa produksi, karena
total produksi habis dikonsumsi di dalam negerinya, tentu kebutuhan beras Indonesia
tidak dapat terpenuhi—kalaupun ada, hargapun akan naik melambung tinggi karena
produksi dibawah kebutuhan konsumsi. Inilah alasan-alasan mengapa masih
diperlukannya intervensi pemerintah dalam proses produksi, distribusi dan harga beras di
Indonesia.
3
Kebijakan Stabilisasi Harga
Stabilisasi harga beras menjadi salah satu kebijakan penting selama pemerintahan
Suharto. Ketidakstabilan harga beras dapat dilihat dari dua sisi yang berbeda yaitu (i)
ketidakstabilan harga beras antar musim yaitu musim panen dan musim paceklik; (ii)
ketidakstabilan antar tahun karena pengaruh iklim seperti kekeringan atau kebanjiran ;
(iii) fluktuasi harga beras di pasar internasional, yang semuanya sulit diramalkan. Jadi
stabilisasi harga melewati batas musim, tahun dan batas negara, sehingga diperlukan
kebijakan pemerintah untuk menstabilkannya.
Ketidakstabilan harga antar musim terkait erat dengan panen raya berlangsung
pada bulan Februari—Mei yang mencapai 60-65% dari total produksi padi nasional, dan
produksi musim gadu pertama berlangsung antara bulan Juni—September mencapai 23-
30%, sisanya dihasilkan antara bulan Oktober—Januari. Bila harga padi/beras dilepas
sepenuhnya kepada mekanisme pasar, maka harga padi/beras akan jatuh pada musim
panen raya dan meningkat pesat pada musim paceklik (Oktober—Januari), sehingga
ketidakstabilan harga dapat memukul produsen pada musim panen dan menghantam
konsumen pada musim paceklik, disamping itu akan berakibat luas pada ekonomi makro
tidak terkecuali inflasi.
Selanjutnya ketidakstabilan harga beras di pasar internasional menurut Dawe
( 1995) disebabkan oleh tiga hal yaitu: (i) pasarnya yang tipis karena volume beras yang
diperdagangkan amat kecil dibandingkan dengan total produksi yaitu kurang dari 3%
(sekitar 18-19 juta ton/tahun dalam tahun 1980an, meningkat dalam dua tahun terakhir
menjadi 25 an juta ton), (ii) pasar sisa (residual market) artinya pemerintah akan masuk
ke pasar beras kalau diperlukan dalam rangka menstabilkan supply dalam negeri,
sehingga harga beras menjadi tidak stabil dibandingkan dengan produksi dalam negeri;
(iii) permintaan dan penawaran yang inelastis yaitu tidak begitu responsif terhadap
perubahan harga. Hal ini disebabkan tingginya prioritas negara-negara Asia dalam
menstabilkan supply beras dalam negeri, pemerintah mengimpor beras untuk
menstabilkan harga dalam negeri tanpa banyak memperhitungkan tingkat harganya.
Stabilisasi harga tidak dikenal luas dalam profesi ilmu ekonomi, sehingga
kebijakan stabilisasi harga selalu disamakan dengan kebijakan proteksi (Dawe, 1997),
padahal keduanya berbeda. Proteksi dapat berakibat kepada alokasi sumberdaya yang
4
keliru (misallocation) dan inefisiensi dalam penggunaan sumberdaya. Akan tetapi,
stabilisasi harga beras untuk Indonesia, oleh Dawe (1995 dan 1997) telah dibuktikannya
dapat menguntungkan tidak saja produsen dan konsumen (microeconomics benefits), tapi
juga macroeconomics benefits. Ia kemudian mempertanyakan apakah dengan demikian
semua pangan atau komoditas pertanian harus dilakukan kebijakan stabilisasi harga?.
Jawabnya tentu tidak, bergantung pada komoditas itu sendiri, apakah cukup penting buat
konsumen, produsen dan terkait erat dengan pertumbuhan ekonomi makro. Komoditas
beras di Asia umumnya dan Indonesia khususnya menjadi unik dan memenuhi syarat-
syarat seperti disebutkan di atas, sehingga banyak negara di Asia tetap berusaha untuk
menstabilkan harga beras dalam negerinya.
Liberalisasi Perdagangan Dunia
Hakekat dari liberalisasi perdagangan adalah menghilangkan berbagai hambatan
baik tarif maupun nontarif. Liberalisasi perdagangan hasil-hasil pertanian, berarti
membuka akses pasar yang lebih luas, menurunkan subsidi ekspor dan subsidi domestik,
bertujuan untuk meningkatkan volume perdagangan di pasar internasional, dan juga
untuk menjamin terwujudnya sistem perdagangan yang adil (fair trade)2.
Indonesia sebagai salah satu peserta harus bersedia melakukan perdagangan
intenasional tanpa proteksi, termasuk di antaranya komoditas pangan. Tindak lanjut dari
liberalisasi perdagangan tersebut, pada tahun 1997, Presiden Soeharto mengumumkan
kesepakatan program reformasinya dengan IMF yaitu dengan menghapuskan monopoli
beberapa komoditas pangan strategis yang dikuasai Bulog seperti gula pasir, terigu dan
kedelai.
Monopoli beras oleh Bulog dicabut juga dengan surat Keputusan Menteri Perindustrian
dan Perdagangan No. : 717/MPP/Kep/12/1999. Pengusaha-pengusaha swasta menjadi
bebas melaksanakan impor beras tanpa bea masuk. Kebebasan inilah yang kemudian
mengakibatkan kebijakan harga dasar gabah tidak efektif.
Kebijakan tarif impor sebesar 0% ternyata sangat merugikan petani karena
membanjirnya beras dari luar negeri, sehingga kemudian muncul desakan-desakan untuk
menaikkan tarif impor tersebut. Akhirnya pada tahun 1999 pemerintah menaikkan bea
2 Tim Pengkajian Perberasan Nasional. Bunga Rampai Ekonomi Beras. (Jakarta: Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat) hal 215.
5
masuk dari 0% menjadi Rp 430/kg atau setara 30% yang efektif berlaku pada tanggal 1
Januari 2000 sampai akhir tahun 2003. Banyak pihak yang mendesak untuk dinaikkannya
lagi tarif impor beras tersebut, karena dipandang amat rendah terutama jika dibandingkan
dengan negara lainnya. Perbandingan tarif bea masuk beras di berbagai negara dapat kita
lihat pada tabel berikut ini:
Tabel 1Perbandingan Tarif Bea Masuk Beras di Beberapa Negara
No Negara Tarif Bea Masuk (%)
1 Indonesia 30
2 Thailand 65
3 European Union 92,3
4 Japan 400
Tarif maksimum yang diperbolehkan WTO 160
Sumber: WTO
Dalam hal tarif pemerintah punya pertimbangan sendiri. Dikhawatirkan
peningkatan bea masuk beras impor bukannya menaikkan harga beras impor agar setara
dengan harga beras lokal, namun dengan bea masuk yang tinggi mengakibatkan
maraknya tindakan penyelundupan dan pengoplosan beras. Kebijakan tarif impor yang
dinaikkan menjadi sebesar 30% ternyata juga tidak efektif membatasi arus beras impor ke
pasar domestik. Hal ini disebabkan adanya “moral hazard”, berupa penyelundupan atau
“under invoice” dokumen impor, sehingga jumlah beras yang masuk tetap saja banyak
dan penawaran beras sangat besar. Harga beras di pasaran pun menjadi anjlok.
Penetapan tarif adalah dilematis. Tarif terlalu tinggi mendorong terjadinya
penyelundupan. Sementara jika terlalu rendah akan mengakibatkan tidak terlindunginya
petani dari tekanan kejatuhan harga beras internasional. Selain itu, kebijakan
perdagangan internasional tidak terlepas dari politik di masing-masing negara yang
terlibat, yang biasanya memberlakukan proteksi yang kuat terhadap pertaniannya
sehingga apabila kita serta merta membebaskan segala halangan, dapat terjadi kita justru
melepas petani ke persaingan yang tidak wajar.
6
Liberalisasi Perdagangan Beras ?
Peter Timmer, pengamat perekonomian Indonesia khususnya pangan dari Center
for Global Development (CGD), mengusulkan untuk melakukan liberalisasi perdagangan
beras di Indonesia. Disebutkannya bahwa Indonesia harus meliberalisasikan perdagangan
berasnya. Kebijakan Indonesia yang membatasi impor beras membuat harga beras lokal
mahal, yang pada gilirannya memperlambat pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan
kemiskinan. Pernyataan Peter Timmer itu diungkapkan pada kuliah umum yang berjudul
The Future of Food Policy in Indonesia di Universitas Indonesia, Depok pada hari
Kamis, 30 November 2006 lalu.
Timmer juga mengungkapkan bahwa meski beras murah diperlukan untuk
menopang pertumbuhan ekonomi, tapi pemerintah Indonesia tidak perlu melakukan
intervensi pasar dengan kebijakan stabilisasi harga. Usulan Peter Timmer untuk
meliberalisasi perdagangan beras di Indonesia, hanyalah akan menggiurkan bagi para
importir beras, khususnya Bulog dan mitra kerjanya saja. Meliberalisasikan perdagangan
beras berarti pemerintah tidak diperkenankan melakukan intervensi baik dibidang
produksi, distribusi maupun harga.
Timmer (2002) menyoroti kebijakan pemerintah yang berkeinginan untuk
mendorong harga beras domestik yang tinggi di Indonesia. Argumen pendukung harga
beras tinggi yang digunakan adalah : (i) banyak negara mensubsidi petaninya dengan
subsidi domestik dan subsidi ekspor; (ii) perdagangan pasar beras dunia yang sangat tipis
dan menyebabkan harga beras tidak stabil; dan (iii) harga beras tinggi membawa dampak
positif bagi kegiatan perekonomian pedesaan melalui dampak pengganda (multiplier
effect) yang dihasilkannya
Sedangkan argumen pendukung harga beras rendah : (i) berdasarkan kalkulasi
yang dilakukan, Timmer (1999) menyatakan bahwa hanya sekitar 20-25% rumah tangga
Indonesia akan lebih sejahtera bila harga beras tinggi, dan mereka bukanlah masyarakat
miskin. Sisa masyarakat lainnya akan sangat menderita oleh kebijakan harga beras tinggi.
Jadi harga beras yang tinggi akan merugikan penduduk miskin; (ii) berkaitan dengan
pertumbuhan ekonomi, harga beras tinggi akan menghambat proses diversifikasi
usahatani yang seharusnya terjadi ; (iii) harga beras yang tinggi akan menyebabkan
7
tenaga kerja menuntut upah yang lebih tinggi, yang akan menyebabkan turunnya
investasi, baik domestik maupun asing ; dan (iv) pemerintah mempunyai kekhawatiran
yang berlebihan tentang kecenderungan kenaikan harga beras menjadi pemicu potensi
inflasi karena komoditas beras ini memiliki bobot yang relatif besar dalam penghitungan
Indeks Harga Konsumen (IHK) dibandingkan dengan komoditas lainnya.
Tetapi perlu digaris bawahi pula bahwa harga beras rendah juga bukan merupakan
kebijakan yang baik, seperti yang dilakukan oleh Mesir, Cina dan Uni Soviet dahulu.
Kebijakan harga beras rendah tidak menggerakkan perekonomian pedesaan. Jadi
kebijakan yang tepat adalah kebijakan dengan menentukan harga yang optimal, yang
tentu saja, sulit untuk dilaksanakan.
Hampir semua harga komoditas pertanian turun di pasar dunia, terutama beras.
Hal ini telah berdampak buruk pada petani miskin yang menghasilakan beras, mereka
tidak mampu bersaing dengan beras impor di pasar dalam negeri, selain pemerintah tidak
mempunyai dana untuk mensubsidi petaninya, pemerintah juga dihadapi dengan sejumlah
kendala karena keharusan melaksanakan SAP (structural adjustment program) IMF/Bank
Dunia sebagai syarat untuk memperoleh pinjaman hutang dari lembaga keuangan
international tersebut pada periode krisis. Konsekwensinya adalah adalah rendahnya
insentif harga yang diterima petani, sehingga terjadi stagnasi peningkatan produktivitas.
Dalam kondisi saat ini, upaya peningkatan daya saing melalui peningkatan produktivitas
dan peningkatan harga merupakan pilihan yang sulit, tetapi harus tetap diupayakan.
Perkembangan Luas Areal Padi dan Produktivitas Padi
Luas areal dan produktivitas tanaman padi sejak tahun 1990 berfluktuasi. Selama
16 tahun telah terjadi peningkatan luas tanaman sebesar 1,3 juta hektar., yaitu dari 10,5
juta hectare tahun 1990 menjadi 11,8 juta hectare pada tahun 2006 (tabel 2)
Tabel 2
8
Perkembangan Luas Areal, Produksi Padi, Produktivitas, danPertumbuhan Produksi Padi di Indonesia,
Sumber: (1) dari BPS(2) dari perhitungan: (1) x angka konversi padi menjadi beras, dimana angka konversi 1989—1996 = 65%, 1997—2006 = 63,2%(3) dari perhitungan: (2) – (10% untuk bibit dan makanan ternak, susut dan rusak + 8% untuk koreksi lahan)(4) dari BPS(5) dari Susenas, BPS. Merupakan penjumlahan konsumsi beras di dalam rumah tangga dan di luar rumah
tangga.(6) dari perhitungan : jumlah penduduk dikalikan dengan kebutuhan konsumsi beras per kapita(8) dari perhitungan : beras yang tersedia untuk konsumsi dikurangi dengan total kebutuhan konsumsi beras (8) dari Bulog (1972—1983) dan Tom Slayton dan Rice Trader (1997—2006)
Konsumsi Beras
Permintaan terhadap beras terdiri dari konsumsi beras di dalam rumah tangga dan
konsumsi beras di luar rumah tangga. Konsumsi di luar rumah tangga meliputi kebutuhan
beras untuk rumah makan, hotel, industri pengolahan, dan kebutuhan beras untuk
cadangan rumah tangga. Komposisi penggunaan beras tahun 1999 terdiri atas 79,6 persen
konsumsi di dalam rumah, sedangkan sisanya di luar rumah yaitu terdiri 10,8 persen di
luar rumah, dan 9,6 persen untuk industri pengolahan (Kompas, 5/9/02 dan Deptan).
11
Melihat komposisi tersebut dapat dikatakan bahwa porsi penggunaan beras untuk
konsumsi di dalam rumah tangga adalah yang terbesar.
Gambar 1Bagan Penggunaan Beras di Indonesia
Perhitungan konsumsi beras di dalam rumah tangga memakai data Susenas seperti
terlihat dalam tabel 4
Tabel 4Konsumsi Beras Per kapita Seminggu
Desa-Kota, 1996-2006 (Kg)
Tahun Kota+Desa1999 1,9912002 1,9242003 1,9302004 1,8992005 1,8442006 1,839
Sumber: Susenas, berbagai edisi, Badan Pusat Statistik
Konsumsi di luar rumah tangga merupakan makanan jadi dan setengah jadi.
Konsumsi di luar rumah tangga cenderung meningkat karena (i) meningkatnya tingkat
pastisipasi angkatan kerja wanita sehingga waktu untuk memasak menjadi semakin kecil;
(ii) berkembangnya sektor jasa, restoran dan rumah makan; (iii) kemajuan teknologi
memungkinkan makanan disimpan lebih lama yang menyebabkan berkembangnya
industri makanan jadi dan setengah jadi; (iv) meningkatnya perputaran ekonomi yang
12
BERAS
Konsumsi di Dalam Rumah TanggaKonsumsi di Luar Rumah Tangga
(rumah makan, hotel, industri pengolahan)
memaksa orang untuk bekerja lebih lama yang berarti waktu tinggal di rumah semakin
sedikit dan mendorong frekuensi makan di luar rumah; dan (v) urbanisasi mendorong
terjadi perubahan pola konsumsi masyarakat pedesaan mengikuti pola konsumsi
masyarakat perkotaan.
Konsumsi total di dalam rumah tangga dan di luar rumah tangga diperoleh dari
perkalian konsumsi beras di dalam rumah tangga dikalikan dengan koefisien 125,6
(diperoleh dari 100/79,6). Hasilnya dapat dilihat pada grafik 3 berikut.
Gambar 2
Trend Konsumsi Beras per Kapita per Tahun di Indonesia, 1990-2006
Konsumsi Beras per Kapita per Tahun di Indonesia, 1990-2006
135 135 135
129125 123
120
110
115
120
125
130
135
140
1990 1993 1996 1999 2003 2004 2006
Tahun
Kg
per
Kap
ita
Konsumsi Beras per Kapita di Indonesia
Pada awal tahun 1990-an, konsumsi beras per kapita di dalam rumah tangga dan
di luar rumah tangga cukup tinggi yaitu sebesar 135 kg per kapita. Tingginya konsumsi
per kapita tersebut disebabkan karena pemerintah saat itu menerapkan harga beras murah
sehingga masyarakat yang tadinya mengkonsumsi sagu dan ketela sebagai makanan
pokoknya beralih ke beras sebagai makanan pokoknya.
Selanjutnya dibandingkan tahun 1990an, tahun 2001 konsumsi beras per kapita
menurun, yaitu hanya sebesar 127 kg per kapita. Penurunan tersebut diduga karena
meningkatnya angka kemiskinan sehingga daya beli masyarakat menurun, masyarakat
mensubtitusi beras dengan bahan pangan yang relatif lebih murah, seperti mie dan roti.
13
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa secara umum konsumsi beras dalam negeri
meningkat hanya mengikuti pertambahan jumlah penduduk.
Pada tahun 2003, konsumsi per kapita penduduk sebesar 126 sehingga konsumsi
total masyarakat sebesar 26,93 juta ton beras. Sementara itu beras yang tesedia untuk
dikonsumsi di dalam negeri sebesar 27,02 juta ton. Ini artinya terdapat surplus beras
sebesar 90 ribu ton. Surplus tersebut terus berlanjut pada tahun 2004, 2005 dan 2006,
masing-masing sebesar 1,19 juta ton, 1,8 juta ton, dan 1,73 juta ton.
Impor Beras
Sesungguhnya impor beras bukanlah hal baru buat Indonesia, terbukti selama
periode observasi (1990-2006) hanya tahun 1993 saja Indonesia tidak mengimpor beras
(lihat tabel 3). Rata-rata volume impor beras mencapai 800 ribu ton per tahun selama
periode 1990-1997. Tampaknya ketergantungan Indonesia pada beras impor semakin
besar. Pada tahun 1993, Indonesia tidak mengimpor karena pemerintah memperkirakan
produksi dalam negeri akan baik, akan tetapi tahun berikutnya yang terjadi sebaliknya,
produksi dalam negeri tidak menggembirakan sehingga terjadi lonjakan impor tahun
1995 yaitu mencapai 3 juta ton, angka tertinggi ke-2 selama 30 tahun terakhir. Sejak
dibukanya pasar dalam negeri akhir tahun 1998, rata-rata impor beras melonjak tajam
yaitu hampir 3 juta ton per tahun dalam periode 1998-2000. Angka impor ini tentu akan
lebih besar lagi manakala dihitung impor swasta yang mengambil pangsa impor dalam
tahun 1999 dan 2000 masing-masing 63% dan 69% dari total impor beras 3 (Amang dan
Sawit, 2001).
Awal tahun 2004, Menperindag mengeluarkan SK Menperindag No.
9/MPP/Kep/Kep/1/2004 tentang Ketentuan Impor Beras tertanggal 10 Januari 2004. SK
tersebut antara lain berisi impor beras dilarang masuk wilayah Indonesia satu bulan
sebelum panen raya dan dua bulan sesudah panen raya. Pemerintah menerapkan larangan
impor beras pada bulan Januari 2004 dan terus berlangsung hingga akhir tahun 2006.
Dikeluarkannya SK tersebut menyebabkan menurunnya volume impor Indonesia yaitu
sebesar 230 ribu ton, 188 ribu ton, dan 210 ribu ton, masing-masing pada tahun 2004,
2005, dan 2006.
3 Impor swasta tahun 1998, 1999, dan 2000, masing-masing mencapai 1,3 juta ton, 3,2 juta ton, dan 1,2 juta ton (Amang dan Sawit, 2001).
14
Kebijakan pelarangan impor (import ban) sepanjang tahun memperoleh
tanggapan yang berbeda dari berbagai pihak. Pendukung petani produsen menyetujui
langkah yang dilakukan pmerintah karena kebijakan tersebut diharapkan mampu
meningkatkan kesejahteraan petani produsen. Sementara pendukung konsumen
beranggapan bahwa harga beras yang tingi akibat kebijakan tersebut akan merugikan
kaum miskin, terutama disebabkan sekitar 70 persen penduduk Indonesia adalah net
consumer beras.
Larangan impor beras ini masih dilanjutkan dengan alasan stok beras nasional
dinilai masih cukup, bahkan pada tahun 2004 surplus hingga 1,19 juta ton beras. Dengan
adanya larangan impor beras, harga gabah di tingkat petani mulai naik. Dari data Bulog
pada bulan Januari sampai Mei 2005, harga gabah kering panen di depan pintu gudang
mencapai Rp 1.393 per kg atau Rp 60 per kg di atas harga yang ditetapkan Inpres Nomor
2 tahun 2005.
Secara empiris memang ada korelasi antara impor beras dengan produksi beras
nasional. Semakin sedikit impor beras, harga beras di pasar domestik akan kian membaik
dan produksi beras nasional pun meningkat. Pada tahun 1998, demi memenuhi Letter of
Intent (LOI) yang dibuat bersama IMF, pemerintah RI dibawah pimpinan Presiden BJ
Habibie membuka kran impor beras dengan bea masuk nol persen. Akibatnya,
membanjirlah beras impor sampai mencapai 6,06 juta ton. Pada 1999 impor beras tetap
tinggi sampai sekitar 4,18 juta ton. Dampaknya harga gabah petani di dalam negeri
tertekan sampai Rp 700/kg.
Di masa pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid, impor beras dikenakan bea
masuk 25%. Akibatnya impor beras menurun drastis sebesar 637 ribu ton, dan harga
beras dalam negeri pun kian membaik, sejalan dengan peningkatan harga beras di pasar
dunia. Pada periode berikutnya, pemerintahan Presiden Megawati menutup keran impor
beras dengan Inpres No. 9/2002 yang berlaku sejak Januari 2003 hingga satu tahun masa
pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Petani pun menikmati harga beras
yang terus membaik dan mendorong terjadinya peningkatan produktivitas padi nasional.
Namun belakangan pemerintah SBY membuka kembali keran impor beras kendati
mendatangkan tentangan keras dari berbagai kalangan.