1 BAB I PENDAHULUAN Bab ini menguraikan tentang hal yang melatar-belakangi pengambilan judul penelitian, rumusan masalah, serta tujuan penelitian, dan manfaat penelitian. Di dalam bab ini diungkapkan hal-hal yang menjadi alasan judul ini dipilih untuk penelitian. 1.1 Latar Belakang Pencapaian kemajuan kebudayaan suatu bangsa tidak dapat dilepaskan dari peninggalan budaya dan sejarah bangsa sehingga mampu menjadi simbol identitas keberadaban. Pengalihan kewenangan pemeliharaan dan pelestarian kebudayaan pasca diberlakukannya otonomi daerah telah mengakibatkan beragamnya kualitas pemeliharaan kekayaan budaya bangsa, seperti situs, candi, museum dan taman budaya. Dengan demikian, upaya untuk meningkatkan kualitas pengelolaan kekayaan budaya menjadi suatu keniscayaan sehingga simbol identitas keberadaban dapat dialih-generasikan secara berkesinambungan. Terkait dengan hal tersebut, pemberdayaan seluruh komponen yang terlibat dalam pengelolaan kekayaan budaya menjadi suatu hal yang tidak dapat dikesampingkan dan mutlak untuk dilakukan. Perhatian dunia internasional terhadap keberadaan situs-situs bernilai sejarah dan budaya tinggi telah mulai terlihat nyata. Sebagai salah satu bukti yaitu The World Cultural Heritage UNESCO telah menetapkan tiga situs di Bali sebagai nominator Warisan Budaya Dunia (WBD) yakni Daerah Aliran Sungai
55
Embed
Konservasi Pura Maospahit Denpasar Menuju Pelestarian Pusaka ...
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
1
BAB I
PENDAHULUAN
Bab ini menguraikan tentang hal yang melatar-belakangi pengambilan
judul penelitian, rumusan masalah, serta tujuan penelitian, dan manfaat penelitian.
Di dalam bab ini diungkapkan hal-hal yang menjadi alasan judul ini dipilih untuk
penelitian.
1.1 Latar Belakang
Pencapaian kemajuan kebudayaan suatu bangsa tidak dapat dilepaskan
dari peninggalan budaya dan sejarah bangsa sehingga mampu menjadi simbol
identitas keberadaban. Pengalihan kewenangan pemeliharaan dan pelestarian
kebudayaan pasca diberlakukannya otonomi daerah telah mengakibatkan
beragamnya kualitas pemeliharaan kekayaan budaya bangsa, seperti situs, candi,
museum dan taman budaya. Dengan demikian, upaya untuk meningkatkan
kualitas pengelolaan kekayaan budaya menjadi suatu keniscayaan sehingga
simbol identitas keberadaban dapat dialih-generasikan secara berkesinambungan.
Terkait dengan hal tersebut, pemberdayaan seluruh komponen yang terlibat dalam
pengelolaan kekayaan budaya menjadi suatu hal yang tidak dapat dikesampingkan
dan mutlak untuk dilakukan.
Perhatian dunia internasional terhadap keberadaan situs-situs bernilai
sejarah dan budaya tinggi telah mulai terlihat nyata. Sebagai salah satu bukti yaitu
The World Cultural Heritage UNESCO telah menetapkan tiga situs di Bali
sebagai nominator Warisan Budaya Dunia (WBD) yakni Daerah Aliran Sungai
2
(DAS) Pakerisan (Gianyar), persawahan Jatiluwih (Tabanan), dan Pura Taman
Ayun di Mengwi, Badung (http://www.indoforum.org, 3 Desember 2008). Apa
yang sudah dilakukan UNESCO tersebut menunjukkan komitmennya terhadap
situs-situs penting yang menjadi cikal bakal lahirnya suatu peradaban. Namun hal
tersebut akan mustahil untuk dilakukan apabila tidak didukung oleh partisipasi
dari masyarakat serta pemerintah dalam perwujudannya. Perhatian dari salah satu
organisasi dunia tersebut hendaknya diapresiasi demi kemajuan peradaban
Indonesia umumnya dan Bali khususnya.
Arsitektur sebagai bagian dari sebuah peradaban bukan hanya perwujudan
sesuatu dalam bentuk fisik. Namun di dalamnya terkandung pula nilai-nilai luhur
yang menjiwai setiap bentuknya. Suatu karya arsitektur mempunyai spirit yang
mencerminkan adanya idealisme dan kreativitas yang dimiliki sang arsitek.
Perubahan jaman yang terjadi tentunya melahirkan suatu karya arsitektur yang
berkembang dari masa ke masa. Setiap masa memiliki keterkaitan antara yang
satu dengan yang lain; masa lampau, masa sekarang, dan masa yang akan datang.
Keterkaitannya sangat erat karena ketiga masa tersebut saling berkesinambungan
membentuk mata rantai peradaban. Suatu karya arsitektur tentunya menjadi tanda
adanya sesuatu pada jaman tersebut.
Contoh hasil karya arsitektur yang menjadi peninggalan suatu jaman
adalah benda cagar budaya sebagai salah satu bagian dalam warisan budaya.
Keberadaan warisan budaya ini patut untuk dijaga dan dilestarikan, namun
seringkali perhatian yang didapat dari pihak yang berwenang kurang optimal.
Penanganan yang dilakukan hanya sebatas di awal obyek tersebut ditetapkan
3
sebagai cagar budaya, padahal warisan budaya merupakan kekayaan budaya
(cultural capital) yang mempunyai nilai penting bagi pemahaman dan
pengembangan sejarah, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan dalam rangka
memupuk kepribadian masyarakat dan bangsa. Dapat juga diartikan sebagai harta
pusaka budaya dari masa lampau yang digunakan untuk kehidupan masyarakat
sekarang dan kemudian diwariskan untuk generasi mendatang secara
berkesinambungan (Wardi, 2008: 243).
Pemerintah sebagai pihak yang berwenang sesungguhnya telah berusaha
melakukan perlindungan terhadap cagar budaya dengan mengeluarkan Undang-
undang Nomor 5 Tahun 1992. Secara teori, ini cukup kuat keberadaannya sebagai
pelindung cagar budaya terhadap ancaman kerusakan, namun kenyataan justru
memperlihatkan kerusakan dan hilangnya banyak cagar budaya semakin parah.
Meskipun Undang-undang tersebut juga telah menyebutkan batasan, hak,
kewajiban, dan hukuman bagi orang yang melanggar, namun sampai sekarang
realita menunjukkan masih banyak benda cagar budaya yang hilang atau rusak
(http://setyodh.multiply.com/, 9 Januari 2011).
Pada Pasal 26 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1992 disebutkan:
“barangsiapa dengan sengaja merusak benda cagar budaya dan situs serta lingkungannya atau membawa, memindahkan, mengambil, mengubah bentuk dan/atau warna, memugar, atau memisahkan benda cagar budaya tanpa izin dari Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda setinggi-tingginya Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah)”.
Sanksi yang diajukan dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1992 tersebut cukup
jelas dan tegas, namun banyak kasus yang melanggar Undang-undang tersebut
tapi tidak ada penyelesaian yang jelas.
4
Selain itu, ada pula pendapat lain yang menguatkan kenyataan ini dan
dikemukakan oleh Eko Budihardjo (Konservasi Pusaka Budaya, 11 Mei 2010),
yaitu sangat banyak bangunan-bangunan kuno bersejarah di segenap pelosok
tanah air dibongkar untuk memberi tempat bagi pembangunan yang modern, late
modern, new modern, post modern yang sering tidak kontekstual dan tidak
berkarakter. Dalam era kekinian, terlihat kecenderungan bahwa para pemegang
kebijakan sepertinya tidak memperhatikan keberadaan pusaka budaya di daerah
masing-masing.
Perhatian para pemegang kebijakan terlalu tercurah pada pembangunan
ekonomi dan sarana prasarana fisik yang berkaitan dengan peningkatan
Pendapatan Asli Daerah (PAD). Undang-undang Benda Cagar Budaya yang
disahkan tahun 1992, belum banyak dipahami atau dijadikan acuan dalam proses
penataan ruang dan pembangunan daerah. Informasi yang perlu disebarkan ke
berbagai pihak, bahwa konservasi pusaka budaya tidak hanya penting sebagai
salah satu upaya menjaga lambang peradaban, cerminan jati diri (identitas)
bangsa, menciptakan rasa kebanggaan (civic pride) namun juga berpotensi untuk
menumbuhkan geliat perekonomian yang bertumpu pada budaya.
Bali sebagai salah satu daerah di Indonesia yang kaya akan karya
arsitektur peninggalan masa lampau (dalam hal ini pura/tempat persembahyangan)
sebenarnya telah memiliki Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) yang
juga mewilayahi Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur. Balai
Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) ini berada di bawah naungan
Departemen Kebudayaan dan Pariwisata Direktorat Jenderal Sejarah dan
5
Purbakala. Tugas pokoknya adalah melaksanakan pemeliharaan, perlindungan,
pemugaran, pendokumentasian, bimbingan, dan penyuluhan mengenai
peninggalan sejarah dan purbakala beserta situs-situsnya. Namun tidak dapat
dipungkiri kalau tugas ini belum berjalan secara maksimal dan tidak semua situs
warisan budaya mendapat perhatian yang baik. Padahal perhatian inilah yang
dibutuhkan untuk menjaga keberlangsungan keberadaan situs-situs penting
(terutama yang sudah ditetapkan sebagai benda cagar budaya) ini di masa yang
akan datang.
Pura merupakan salah satu hasil karya arsitektur yang masuk ke dalam
kategori warisan budaya (cultural heritage) dalam bentuk living monument yang
keberadaannya dalam jumlah besar terdapat di Bali. Cukup banyak diantaranya
yang menjadi benda cagar budaya. Sebagai contoh adalah Pura Puseh dan Pura
Desa Batuan Gianyar. Oleh karena itu, sebutan Bali sebagai Pulau Seribu Pura,
bukanlah sesuatu yang berlebihan.
Berdasarkan perhitungan sederhana, jumlah desa pakraman, sebutan untuk
desa adat di Bali, yang terdapat di Pemerintah Daerah Bali tercatat sejumlah 1433
dan masih ada sekitar 17 desa pakraman yang belum tercatat. Jika dijumlahkan
akan menghasilkan 1450 desa pakraman. Dengan jumlah desa pakraman
sebanyak itu, maka setidaknya Bali memiliki 4350 pura, karena setiap desa
pakraman wajib memiliki pura kahyangan tiga yang terdiri atas: pura desa, pura
puseh, dan pura dalem. Jumlah ini akan bertambah dengan pura di setiap banjar
dan potensi warisan budaya yang hidup di masyarakat; 4. Menyelamatkan, mengkaji, merawat, mendokumentasikan, dan
mengembangkan naskah budaya Bali.
Letaknya yang strategis di dekat pusat Kota Denpasar yang sudah
ditetapkan pemerintah sebagai kawasan warisan/bersejarah (Kawasan Heritage)
serta keunikan potensinya melalui arsitektur bangunan yang dipengaruhi masa
kejayaan Majapahit, disertai tradisi upacara yang telah turun-temurun dilakukan
pada Pura Maospahit ini juga menjadi suatu daya tarik mengapa pura ini layak
untuk dijadikan sebagai topik penelitian.
Pura sebagai tempat persembahyangan yang juga sebagai living monument
memerlukan penanganan yang serius karena keberadaannya akan terus dipakai
sebagai media perantara penghubung antara manusia dengan Tuhan. Meskipun
ada pula pura lainnya yang memiliki nama sama dan berlokasi di Tonja, namun
Pura Maospahit Gerenceng ini terlihat memiliki masalah yang lebih penting untuk
dipecahkan. Masalah itu adalah pengelolaan yang baik untuk memperpanjang
usianya mengingat keadaannya kini yang cenderung kurang terawat.
9
Pura Maospahit sebagai salah satu warisan budaya berupa cagar budaya
sudah pantas untuk mendapat perhatian dilihat dari permasalahan yang
mengiringinya. Dengan cara melestarikan, menyelamatkan, mengkaji, merawat,
dan mendokumentasikannya dengan baik. Tidak hanya dari sisi fisiknya sebagai
warisan budaya berwujud/ragawi (tangible heritage), tetapi juga dari sisi nilai-
nilai yang terkandung sebagai warisan budaya tak berwujud/tak ragawi (intangible
heritage).
Misalnya terkait dengan peristiwa dan tradisi penting yang terjadi,
kegiatan dan hubungan pelaku di dalamnya (wujud fisik bangunan dengan
lingkungan sekitarnya), serta signifikansi budaya yang ada agar kelak mampu
mendukung program Pemerintah Kota Denpasar. Pangemong, pangempon, dan
masyarakat sekitarnya juga bisa mendapat imbas/pengaruh yang positif dari usaha
pelestarian terhadap pura ini. Berdasarkan latar belakang itulah Pura Maospahit
ini layak untuk segera dilestarikan sebaik mungkin dengan mengidentifikasi
keadaannya, mengkaji signifikansi budayanya, dan menetapkan aplikasi
konservasinya.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian pada latar belakang diatas, dapat dirumuskan
permasalahan yang dalam penelitian ini terbagi menjadi dua bagian yaitu rumusan
masalah utama dan rumusan masalah pendukung. Permasalahan utama dalam
penelitian ini adalah: Bagaimana cara melestarikan warisan budaya ragawi dan tak
ragawi pada Pura Maospahit Denpasar dalam konteks manajemen konservasi.
10
Dari permasalahan utama tersebut dapat dirumuskan beberapa permasalahan
pendukung, antara lain:
a. Bagaimana karakteristik fisik Pura Maospahit Denpasar?
b. Sejauhmana signifikansi dan potensi dari Pura Maospahit Denpasar
yang perlu dipertahankan dan dilestarikan?
c. Bagaimana aplikasi yang telah dilakukan oleh berbagai pihak untuk
melakukan pelestarian di Pura Maospahit Denpasar, baik dari segi
warisan budaya ragawi maupun tak ragawi?
1.3 Tujuan Penelitian
Secara garis besar, tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini dapat
dibagi menjadi dua, tujuan umum dan tujuan khusus antara lain:
a. Tujuan Umum
Penelitian ini memiliki tujuan umum untuk memahami bagaimana proses
pelestarian warisan budaya ragawi dan tak ragawi pada Pura Maospahit Denpasar
dalam konteks pengelolaan/manajemen konservasi.
b. Tujuan Khusus
Selain tujuan umum yang telah diuraikan di atas, penelitian ini juga
memiliki tujuan khusus, yaitu: (1) mengidentifikasi karakteristik fisik Pura
Maospahit Denpasar, baik dari segi pusaka budaya maupun pusaka alam, (2)
memahami dan mengetahui signifikansi dan potensi budaya dari keberadaan Pura
Maospahit Denpasar yang perlu dipertahankan dan dilestarikan, dan (3)
mempelajari, memahami, dan mengetahui aplikasi yang telah dilakukan oleh
11
berbagai pihak untuk melakukan pelestarian di Pura Maospahit Denpasar, baik
dari segi warisan budaya ragawi maupun tak ragawi.
1.4 Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini dapat dibagi menjadi dua, yaitu manfaat
akademis dan manfaat praktis.
a. Manfaat akademis: untuk memberikan sumbangan kepada ilmu pengetahuan
serta menambah referensi pustaka bagi penelitian selanjutnya. Terutama
terkait dengan ilmu konservasi menyangkut pelestarian dan pengelolaan.
b. Manfaat praktis: diharapkan dapat memberikan pengetahuan mengenai
konservasi dan pentingnya pemahaman terhadap nilai budaya dan warisan
leluhur yang adiluhung kepada praktisi, pengamat, serta masyarakat umum
sehingga dapat menjadi suatu pertimbangan selanjutnya dalam melaksanakan
kegiatan konservasi. Juga untuk menambah arsip tentang Pura Maospahit
Denpasar sehingga selanjutnya dapat berguna bagi semua pihak yang
berkepentingan terhadapnya.
12
BAB II
KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI,
DAN MODEL PENELITIAN
Bab ini terdiri atas empat komponen yaitu kajian pustaka yang
mengemukakan tentang penelitian-penelitian terdahulu yang terkait dengan
penelitian yang akan dilakukan. Kedua, berupa konsep yang mengemukakan
acuan-acuan yang dapat digunakan dalam memecahkan masalah dan penyamaan
persepsi terhadap maksud yang ingin dicapai, Ketiga, berupa tinjauan terhadap
landasan teori yang ada, dan keempat berupa model penelitian yang menjabarkan
keseluruhan pelaksanaan penelitian.
2.1 Kajian Pustaka
Dalam Laporan Pemugaran Peninggalan Sejarah dan Purbakala Bali dan
Nusa Tenggara Barat yang diterbitkan oleh Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan Direktorat Jenderal Kebudayaan (1982: 10) dijelaskan tentang karakter
dan keadaan Pura Maospahit Tonja dari segi lokasi dan lingkungan, struktur pura,
bangunan-bangunan yang ada dalam kompleks pura, panyungsung, masyarakat yang
bertanggung jawab terhadap pura, pelaksanaan pemugaran yang dilakukan pada saat
itu, dan sarana dana serta tenaga yang digunakan dalam pemugaran pura tersebut
pada waktu itu. Disebutkan pula bahwa candi/prasada yang ada pada pura ini
memiliki bagian-bagian seperti kaki, badan, dan atap candi yang menyerupai candi-
candi di Jawa Timur. Namun dalam laporan ini tidak dimuat secara pasti sejarah
berdirinya pura dan keterkaitannya dengan pura lain yang memiliki nama sama.
13
Pada laporan penelitian lainnya, yaitu Laporan Kerusakan Candi Rebah di
Pura Maospahit-Gerenceng-Denpasar oleh Sepur Seriarsa, dan kawan-kawan (1983:
9) disebutkan hanya mengenai perbaikan yang pernah dilakukan pada pura itu, yaitu
pada tahun 1966 memugar candi bentar dan palinggih Gedong Raras Maospahit,
kemudian tahun 1987 memugar kori agung, yaitu pintu masuk dari halaman tengah
menuju halaman dalam. Selain itu juga memuat sedikit sejarah mengenai pura ini
yang lebih terfokus pada pembangunan Gedong Raras Majapahit, bukan mengenai
keseluruhan pura serta kemungkinan adanya pengaruh arsitektur bergaya Majapahit
pada abad 14-15.
Adri (1991: 37) dalam laporan penelitiannya dengan judul Hubungan Antara
Pura di Bali dengan Candi di Jawa Timur mengungkapkan beberapa contoh candi di
Jawa Timur yang diperkirakan menginspirasi atau mempunyai hubungan dengan
pura di Bali dalam konsepsinya maupun arsitektur serta reliefnya. Beberapa dari
candi tersebut antara lain Candi Jago yang pada beberapa bagiannya terdapat relief
yang sangat serupa dengan bangunan yang terdapat pada pura di Bali, yaitu: bale
agung, piyasan, bale pelik, selain itu gapura Candi Jago juga mirip dengan candi
bentar pada pura di Bali. Candi Jawi yang mempunyai bangunan serupa gedong,
yaitu pasimpangan, tempat singgah, maupun palinggih, bangunan suci untuk
pemujaan, pada pura di Bali. Candi Penataran yang susunannya sangat dekat dengan
denah pura di Bali yaitu terbagi atas tiga halaman secara horisontal. Bagian atau
halaman yang paling suci terletak pada bagian paling belakang Utara-Timur (kaja-
kangin), yang di Bali disebut jeroan. Candi Tigawangi yang memuat relief
Sudamala, erat kaitannya dengan upacara penglukatan, pembersihan dengan air suci,
14
di Bali, selain itu juga terdapat relief bangunan yang serupa dengan gedong
palinggih Dewi Durga pada beberapa Pura Dalem di Bali. Candi Waringin Lawang
yang bentuknya persis sama dengan candi bentar di Bali, berbahan batu bata yang
umumnya juga dipakai sebagai bahan pokok candi bentar di Bali. Candi Bajang
Ratu yang sama dengan candi kurung atau kori agung pada pura di Bali. Relief
Trowulan yang terdapat pahatan serupa candi bentar, meru, prasada, gedong
palinggih, bale pelik, piyasan, apit lawang, dan bale agung. Terakhir adalah
keberadaan Candi Penanggungan yang berasal dari masa Majapahit akhir (abad ke
14 dan abad ke 15, pada masa pemerintahan Vikramavardhana). Menunjukkan
persamaan dengan Pura Besakih dilihat dari tata letak, konsep dasar, altar sesaji yang
berjajar tiga, maupun orientasi pemujaannya yang mengarah ke gunung. Tidak ada
yang secara langsung menyinggung tentang keberadaan Pura Maospahit dan
kaitannya dengan candi-candi di Jawa Timur pada laporan penelitian ini.
Karini (1993: 18) dalam Perbandingan Pola Hias Candi Bentar dan Candi
Kurung di Pura Maospahit Gerenceng Dengan Pola Hias Candi Bentar dan Candi
Kurung di Pura Uluwatu (Suatu Kajian Arkeologi) mengemukakan tentang struktur
dan rupa dari candi bentar dan candi kurung di Pura Maospahit Gerenceng dan Pura
Uluwatu. Mengenai Pura Maospahit, yang dijelaskan adalah tidak keseluruhan pura
tetapi fokus pada candi bentar dan candi kurung sesuai dengan judul penelitian ini,
penjabarannya cukup detail karena membahas bahan dan filosofi yang terkandung
dalam pembuatan candi bentar dan candi kurung. Memang ada sedikit penjelasan
awal mengenai tata letak bangunan pada Pura Maospahit Gerenceng, tetapi tidak
mendetail menceritakan perletakan setiap bangunan di dalam pura.
15
Keempat penelitian di atas belum ada yang secara spesifik membahas
keseluruhan Pura Maospahit Denpasar. Pembahasan yang dilakukan sebelumnya
hanya membahas garis besar tanpa penjelasan dan dokumentasi detail. Dalam
penelitian ini, akan dilakukan kajian mengenai upaya dan usaha pelestarian yang
pernah dan berpotensi dilakukan terhadap pura demi keberlangsungannya di masa
mendatang dengan rumusan masalah dan berupaya menyingkap fakta-fakta yang
belum tersampaikan selama ini.
No Judul Penelitian Peneliti Hasil Penelitian Kontribusi Terhadap Penelitian Yang Diambil
1. Laporan Pemugaran Peninggalan Sejarah dan Purbakala Bali dan Nusa Tenggara Barat.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Kebudayaan (1982)
Penjelasan Pura Maospahit Tonja dan keterkaitan antara candi/prasada pada pura ini yang mirip bagian-bagian seperti kaki, badan, dan atap candi-candi di Jawa Timur.
Kesamaan karakter dan penamaan antara bahan bangunan yang digunakan pada kedua pura, baik yang di Tonja maupun di Gerenceng.
2. Laporan Kerusakan Candi Rebah di Pura Maospahit- Gerenceng- Denpasar
Sepur Seriarsa, dan kawan-kawan (1983)
Perbaikan yang pernah dilakukan pada pura itu, tahun 1966 memugar candi bentar dan palinggih Gedong Maospahit, kemudian tahun 1987 memugar kori agung.
Studi pendahuluan sebagai data awal dan pelengkap untuk memulai penelitian dan mengetahui perbaikan yang pernah didokumentasikan.
3. Hubungan Antara Pura di Bali dengan Candi di Jawa Timur
Ida Ayu Putu Adri (1991)
Beberapa contoh candi di Jawa Timur yang diperkirakan menginspirasi atau mempunyai hubungan dengan pura di Bali dalam konsepsinya maupun arsitektur serta reliefnya.
Beberapa bagiannya memiliki kemiripan dalam hal bahan dan asal muasal wujud arsitektur pura.
Tabel 2.1 Hasil Penelitian Terdahulu
16
4. Perbandingan Pola Hias Candi Bentar dan Candi Kurung di Pura Maospahit Gerenceng Dengan Pola Hias Candi Bentar dan Candi Kurung di Pura Uluwatu (Suatu Kajian Arkeologi)
Ni Made Oka Karini (1993)
Struktur dan filosofi perwujudan candi bentar dan candi kurung Pura Maospahit Gerenceng serta sedikit mengenai perletakan bangunan di dalam Pura Maospahit Gerenceng.
Perletakan tata bangunan dan penamaan dari palinggih-palinggih yang ada.
2.2 Konsep
Konsep dalam usulan penelitian ini memaparkan sekilas tentang pura
dalam arsitektur tradisional Bali (mengingat obyek penelitian adalah pura),
sedangkan pengertian judul penelitian dibuat untuk menyamakan persepsi agar
maksud yang ingin dicapai dapat diketahui karena telah berada dalam satu koridor
pemikiran.
2.2.1 Konsep Parhyangan (tempat pemujaan) dalam Arsitektur Tradisional Bali.
Arsitektur pura adalah suatu ungkapan baru yang kemudian populer karena
adanya pendidikan formal khususnya di Bali. Kemunculannya dikarenakan
mengglobalnya transformasi budaya dunia. Arsitek dalam praktek profesinya
menghasilkan karya arsitektur yang menampilkan: sosok (figure), wujud (shape),
bentuk (form), ruang (space), dan fungsi (function). Namun sesungguhnya pura
itu dirancang oleh undagi/wundagi, sebutan untuk ”arsitek” bangunan tradisional
Bali. Dengan demikian, seorang undagi dituntut untuk mampu menguasai
keundagiannya secara lahir batin (Meganada, 2008: 49). Pura bukanlah tempat
abadi para Dewa, melainkan hanya sebagai pasimpangan (tempat singgah).
17
Disamping sebagai pasimpangan para Dewa, pura juga merupakan tempat
pertemuan para Dewa dengan umatNya (Rata, 1991: 78).
Pengelompokan Pura di Bali, dapat didasarkan atas beberapa hal yaitu: (1)
falsafah dasar pengelompokan pura di Bali, yang dapat digolongkan menjadi (a)
Tattwa Agama Hindu, (b) Prabawa Sang Hyang Widhi Wasa dan atau atma sidha
dewata yang dipuja di pura tersebut, dan (c) panyiwi pura tersebut, jagat, dan
warga (klan); (2) pengelompokan berdasarkan fungsi, yang dapat digolongkan
menjadi (a) sebagai pura kahyangan jagat, yaitu pura yang berfungsi sebagai
tempat suci untuk memuja Tuhan dalam segala manifestasiNya, (b) sebagai pura
kawitan, yaitu pura yang berfungsi sebagai tempat suci untuk memuja roh leluhur,
dan (3) pengelompokan berdasarkan karakteristik, terdiri atas (a) pura kahyangan
jagat, seperti padma bhuwana, pura sad kahyangan, pura catur loka pala, pura
kahyangan tiga jagat, pura rwa bhineda, dan pura jagat lainnya, (b) pura
kahyangan desa, yang di-sungsung oleh seluruh masyarakat desa pakraman, (c)
pura swagina (pura fungsional), (d) pura kawitan, yaitu pura yang panyiwi-nya
ditentukan oleh ikatan ”wit” atau leluhur berdasarkan garis kelahiran, seperti
sanggah/merajan, Ibu, panti, dadia, batur, penataran, dalem, padharman, dan
sejenisnya, dan (e) palinggih penyawangan yang terdapat di kantor-kantor,
sekolah-sekolah, dan sejenis dengan itu dapat dikelompokkan ke dalam pura
jagat/umum.
Jenis-jenis bangunan pura di Bali dapat digolongkan menjadi tiga yaitu:
(1) meru, bangunan yang denahnya berbentuk segi empat terbuat dari struktur
rangka kayu dengan atap yang bertingkat mulai dari tingkat 1, 3, 5, 7, 9, dan 11.
18
Pada setiap tingkatnya didukung oleh struktur yang disebut titimamah ke arah
horisontal, dan terdapat struktur yang disebut beti berupa tiang ke arah vertikal
yang terletak di tengah ruangan meru. Berfungsi sebagai struktur penguat dan
simbol penghubung dunia nyata dan tidak nyata. Fungsi meru menurut konsep
Mpu Kuturan adalah tempat untuk memuja Tuhan dan juga roh suci leluhur, (2)
padmasana, berasal dari kata padma dan asana. Padma berarti bunga teratai, dan
asana berarti tempat duduk. Dengan demikian padmasana artinya tahta dari
bunga teratai (Meganada, 2008: 61). Diciptakan oleh Dang Hyang Nirartha yang
mengalami perkembangan dari waktu ke waktu. Struktur bangunannya masif
dengan dasar persegi menggunakan hiasan ornamen binatang seperti kura-kura
Pusaka saujana adalah gabungan pusaka alam dan pusaka budaya dalam
kesatuan ruang dan waktu. Pusaka saujana dikenal dengan pemahaman baru yaitu
cultural landscape (saujana budaya), yakni menitikberatkan pada keterkaitan
antara budaya dan alam dan merupakan fenomena kompleks dengan identitas
yang berwujud dan tidak berwujud. Pusaka dari masa lalu jangan dibiarkan
sebagai benda tak berguna yang harus disingkirkan di sudut ruang yang kotor dan
gelap. Pusaka masa lalu harus dibawa ke dalam kehidupan masa kini, dan menjadi
bagian yang bermakna dalam kehidupan itu.
Sesuatu yang sangat bernilai itu harus dapat dinikmati oleh masyarakat
dan dipahami perannya sebagai bekal pengembangan kehidupan ke depan. Pusaka
yang tidak mempunyai makna dan manfaat bagi kehidupan masa kini dan masa
depan akan dilupakan dan ditinggalkan oleh masyarakatnya. Karena itu dalam
upaya pelestarian aset dari masa lalu maka perlu dipahami dinamika kehidupan
masa kini dan kerangka budaya yang menyeluruh. Maksud dari pemahaman
kerangka pembangunan budaya yang menyeluruh itu agar dapat menempatkan
upaya pelestarian sebagai bagian yang bermanfaat. Pelestarian adalah upaya
pengelolaan pusaka melalui kegiatan penelitian, perencanaan, perlindungan,
pemeliharaan, pemanfaatan, dan pengawasan. Pelestarian bisa juga mencakup
pengembangan secara selektif untuk menjaga kesinambungan, keserasian, dan
daya dukungnya dalam menjawab dinamika zaman.
2.2.4 Pengertian Signifikansi Budaya
Suatu benda/situs dalam prosesnya menjadi suatu obyek konservasi tentunya
telah melalui suatu proses terlebih dahulu dalam penentuannya. Ada suatu kriteria
22
yang dipakai dalam menentukan bagaimana suatu benda/situs layak menjadi obyek
konservasi. Kriteria sebuah benda/situs dijadikan sebuah obyek konservasi
tergantung dari signifikansi yang dimiliki. Signifikansi sebuah benda/situs dapat
dinilai berdasarkan tiga tolok ukur yaitu nilai sejarah yang terkandung/
melatarbelakangi obyek (misalnya proses pembangunan dan cerita yang terjadi
seiring usianya), kondisi fisik/arsitektural yang mencakup keunikan dan kejamakan
(sesuatu yang tidak dimiliki oleh benda/tempat lain), serta pada tradisi (budaya) yang
berlaku dan dijalankan pada sebuah obyek/situs yang mungkin saja berbeda dengan
tempat lain (Heuken, 2000: iii-viii).
Signifikansi budaya menurut Piagam Burra 1999 artinya adalah nilai estetis,
historis, ilmiah, sosial, atau spiritual untuk generasi dahulu, kini, dan masa yang
akan datang. Signifikansi budaya ini tersirat dalam tempat, bahan, tata letak, fungsi,
asosiasi, makna, rekaman, tempat-tempat terkait, dan obyek-obyek terkait. Bahan
artinya seluruh material fisik sebuah tempat, termasuk komponen, perbaikan, isi, dan
obyek-obyek. Tata letak artinya kawasan yang mengitari sebuah tempat yang dapat
mencakup jangkauan visual. Fungsi dalam hal ini mencakup pemanfaatan sebuah
tempat, termasuk kegiatan yang bisa dilakukan di tempat tersebut. Asosiasi artinya
ikatan khusus yang eksis antara orang dan sebuah tempat, asosiasi mencakup nilai
sosial spiritual dan tanggung jawab budaya pada sebuah tempat. Makna menyatakan
bagaimana sebuah tempat mengartikan, mengindikasikan, membangkitkan atau
mengekspresikan sesuatu. Makna biasanya berhubungan dengan aspek kasat mata
seperti sifat-sifat simbolik dan memori. Tempat terkait artinya sebuah tempat yang
memberi kontribusi pada signifikansi budaya tempat yang lain.
23
Apabila signifikansi budaya sebuah tempat tidak tampak jelas, maka harus
dijelaskan melalui interpretasi. Interpretasi berarti meningkatkan pemahaman dan
kecintaan, juga kelayakan secara budaya. Signifikansi budaya sebuah tempat dan
hal-hal lain yang berpengaruh terhadap masa depannya paling baik dipahami melalui
serangkaian tahap pengumpulan dan analisis informasi sebelum membuat keputusan.
Hal pertama adalah memahami signifikansi budayanya, kemudian membuat
kebijakan, dan akhirnya mengelola tempat tersebut sesuai dengan kebijakan yang
telah ditetapkan. Pembuatan kebijakan juga harus mempertimbangkan faktor-faktor
lain yang berpengaruh terhadap masa depan sebuah tempat. Seperti kebutuhan
pemilik, sumber daya, keterbatasan eksternal, dan kondisi fisik tempat tersebut. Jadi
seluruh tahapan sebaiknya dipertimbangkan dan dipikirkan secara matang terlebih
dahulu sebelum mengambil keputusan.
Untuk menyamakan persepsi antara penulis dengan pembaca terkait
penelitian ini, maka penelitian ini dimaksudkan untuk menginventarisir nilai
signifikan yang dimiliki oleh obyek. Dalam hal ini Pura Maospahit Denpasar dan
usaha pelestarian serta pengelolaan yang pernah dan telah dilakukan sebelumnya
di pura ini baik oleh pihak yang berwenang yaitu pemerintah melalui Balai
Pelestarian Peninggalan Purbakala Bali maupun yang dilakukan oleh pihak
pangemong/pangempon/masyarakat yang diberikan tanggung jawab dan
kepercayaan memelihara/mengelola keberlangsungan pura. Selain itu juga
melakukan pendataan terhadap kondisi fisik bangunan, usaha dan penerapan/
aplikasi konservasi serta menemukan/mengusulkan usaha pengelolaan yang sesuai
untuk kondisi terkini dari Pura Maospahit Denpasar sehingga ke depannya
24
menjadi sesuai dengan kapasitasnya sebagai benda cagar budaya terkait dengan
konteks pusaka budaya.
2.3 Landasan Teori
Landasan teori digunakan sebagai alat serta acuan dalam mengupas
permasalahan yang muncul dalam penelitian ini dan dipakai dalam penulisan
laporan penelitian ini. Sejauh ini teori yang dianggap relevan dan memiliki
kesesuaian dengan penelitian yang akan dilakukan adalah teori konservasi, teori
pemugaran warisan budaya, dan teori warisan budaya tak ragawi.
2.3.1 Teori Konservasi
Ada banyak penjabaran dari teori konservasi terutama yang berasal dari
luar Indonesia dan dalam pelaksanaannya belum tentu tepat diterapkan di
Indonesia umumnya dan Bali pada khususnya. Namun dalam penelitian ini akan
diambil beberapa hal yang dianggap memiliki keterkaitan dan bisa dijadikan tolok
ukur dalam melakukan aktivitas konservasi terutama terkait dengan keberadaan
suatu situs cagar budaya berupa pura.
2.3.1.1 Pengertian
Konservasi merupakan istilah induk dari semua kegiatan pelestarian sesuai
dengan kesepakatan internasional yang telah dirumuskan dalam Piagam Burra
tahun 1981 (Sidharta dan Budihardjo, 1989: 10). Dalam Piagam Burra yang
lengkapnya bernama Icomos Charter for the Conservation of Places of Cultural
Significance (The Burra Charter), termuat definisi:
Conservation means all the processes of looking after a place so as to retain its cultural significance. It includes maintenance and may according circumstance include preservation, restoration, reconstruction
25
and adaption and will be commonly a combination of more than one of these. Atau dengan kata lain:
Konservasi berarti semua proses untuk memelihara suatu tempat dengan sedemikian rupa untuk menjaga makna kulturalnya. Di dalamnya termasuk memelihara sesuai dengan keadaannya meliputi preservasi, restorasi, rekonstruksi dan adaptasi dan bisa juga berupa kombinasi dari beberapa hal tersebut. Konservasi berarti memelihara dan melindungi tempat-tempat yang
berharga, agar tidak hancur atau berubah sampai batas-batas yang wajar.
Menekankan pada penggunaan kembali bangunan lama, agar tidak terlantar.
Apakah dengan menghidupkan kembali fungsi lama, ataukah dengan mengubah
fungsi bangunan lama dengan fungsi baru yang dibutuhkan. Upaya perlindungan
terhadap benda-benda cagar budaya yang dilakukan secara langsung dengan cara
membersihkan, memelihara, memperbaiki, baik secara fisik maupun kimia secara
langsung dari pengaruh berbagai faktor lingkungan yang merusak. Perlindungan
benda-benda (dalam hal ini benda-benda peninggalan sejarah dan purbakala) dari
kerusakan yang diakibatkan oleh alam, kimiawi dan mikro organisme.
2.3.1.2 Fungsi Konservasi
Fungsi konservasi bila ditinjau dari segi bentuk peninggalan purbakala atau
arkeologi adalah tidak berbeda jauh dari fungsi peninggalan purbakala lain pada
umumnya, yaitu seperti dikemukan oleh Ardana (1983: 14), sebagai berikut:
a) Sebagai bukti dan sumber sejarah peninggalan bangsa di masa lalu yang
sangat penting, baik bagi generasi sekarang maupun bagi generasi yang
akan datang. Sejarah bangsa Indonesia telah membuktikan bahwa kejayaan
di masa lalu adalah suatu hasil sejarah yang telah berlangsung lama.
26
b) Sebagai sarana pendidikan seumur hidup, terutama bagi generasi muda
yang akan memimpin bangsa di kemudian hari. Untuk dapat maju ke depan
bersama bangsa-bangsa lainnya di dunia, maka generasi muda sangat perlu
secara bersungguh-sungguh mempelajari kepribadian bangsanya sendiri
melalui sejarah, supaya tidak mudah terpengaruh oleh berbagai macam
pengaruh internasional yang bertentangan dengan kepribadian bangsa
sendiri.
c) Sebagai sarana pendidikan nasional, karena itu kepada masyarakat luas
diharapkan, bahwa dengan mempelajari kekunoan akan dapat
meningkatkan apresiasi, kebanggaan dan tanggungjawab kepada
kebudayaan nusantara. Dengan demikian, ketahanan kebudayaan bangsa
akan menjadi semakin kuat di tengah-tengah pergaulan internasional yang
semakin kompleks dengan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sangat
maju.
d) Sebagai land mark, yang dikemukakan oleh Budihardjo (1997) adalah
fungsi penting lainnya. Kehadiran bangunan kuno yang merupakan warisan
budaya dalam bentuk artefak itu memberikan apa yang disebut: "a sense of
history" atau land mark yang akrab. Sejalan dengan hilangnya warisan
budaya itu, maka penduduk kota akan semakin mudah merasa terasing,
tidak berakar, bagaikan tercerabut asal muasal komunitasnya.
e) Fungsi tambahan lainnya yang diberikan, adalah sebagai menu jiwa.
Suasana, atmosfir, kesan dan rasa yang ditimbulkan oleh suatu kawasan
bersejarah merupakan menu bagi jiwa setiap masyarakat yang beradab.
27
Kecintaan terhadap bangunan kuno seyogyanya ditumbuhkan lebih
daripada kecintaan terhadap benda antik, karena bangunan kuno masih bisa
dimanfaatkan dan dihidupkan kembali, sedangkan benda antik hanya
memukau untuk dilihat saja.
Dengan mensosialisasikan fungsi penting tersebut secara luas dan terbuka,
kiranya akan dapat mengubah asumsi masyarakat bahwa bangunan dan kawasan
yang memiliki nilai arti kesejarahan atau pun nilai seni arsitektur, pada dasarnya
harus dilihat sebagai obyek cagar budaya. Karena obyek cagar budaya merupakan
kekayaan budaya bangsa yang penting artinya bagi pemahaman dan pengembangan
sejarah ilmu pengetahuan dan kebudayaan itu sendiri.
2.3.1.3 Ruang Lingkup
Seringkali terdengar pembicaraan/pembahasan atau termuat tulisan tentang
konservasi dalam berbagai media, dan obyeknya terkadang alam (konservasi
dalam bentuk hutan lindung, taman hutan raya, kebun raya dan sejenisnya) dan
juga perlindungan terhadap hewan langka yang dikombinasikan dengan hutan
seperti Taman Nasional Bali Barat, Taman Nasional Ujung Kulon (Banten) dan
sebagainya.
Pada umumnya, dalam suatu lingkungan kota, obyek dan lingkup
konservasi digolongkan ke dalam beberapa luasan (Kevin Lynch dalam Sidharta,
1989: 11) yaitu: satuan areal, satuan pandangan/visual/landscape dan satuan fisik.
Adapun penjabarannya sebagai berikut:
a. Satuan areal: adalah suatu wilayah di kota, berupa sub kota, atau bahkan
kota itu sendiri secara keseluruhan sebagai suatu sistem kehidupan.
28
Keadaan seperti ini bisa terjadi pada suatu kota yang mempunyai ciri-ciri
atau nilai yang khas.
b. Satuan pandangan/visual/landscape: adalah suatu satuan berupa aspek
visual, yang dapat memberi bayangan mental atau image yang khas
tentang suatu lingkungan kota. Image ini mempunyai arti dan peran yang
penting bagi suatu kota. Ada lima hal atau unsur pokok penting di sini,
yaitu : (1) jalur (path), (2) tepian (edges), (3) kawasan (district), (4)
pemusatan (node), dan (5) landmark. Dengan melihat kelima unsur
tersebut, dapat diartikan bahwa termasuk juga jaringan rute bersejarah atau
jalur angkutan tradisional.
c. Satuan fisik: adalah satuan yang berwujud bangunan, kelompok atau
deretan bangunan-bangunan, rangkaian bangunan yang membentuk ruang
umum atau dinding jalan, apabila dikehendaki lebih jauh hal ini bisa
diperinci sampai kepada unsur-unsur bangunan, baik unsur fungsional,
struktur atau estetis ornamental. Sedangkan secara umum, bentuk
konservasi meliputi kota dan desa, distrik, lingkungan perumahan, garis
cakrawala wajah jalan dan bangunan.
2.3.1.4 Pendekatan dalam Konservasi
Ada banyak penjabaran mengenai definisi serta istilah-istilah lain dan
perluasan tindakan konservasi yang pada intinya memiliki pengertian yang kurang
lebih sama, salah satunya adalah (Adishakti dalam Pranajaya dkk, 2010: 60) yang
menyebutkan restorasi (dalam konteks yang lebih luas) ialah kegiatan
mengembalikan bentukan fisik suatu tempat kepada kondisi sebelumnya, dengan
29
menghilangkan tambahan-tambahan atau merakit kembali komponen existing tanpa
menggunakan material baru. Restorasi (dalam konteks terbatas) ialah kegiatan
pemugaran untuk mengembalikan bangunan dan lingkungan cagar budaya semirip
mungkin ke bentuk asalnya berdasarkan data pendukung tentang bentuk arsitektur
dan struktur pada keadaan asal tersebut dan agar persyaratan teknis bangunan
terpenuhi.
Preservasi (dalam konteks yang luas) ialah kegiatan pemeliharaan bentukan
fisik suatu tempat dalam kondisi existing dan memperlambat bentukan fisik tersebut
dari proses kerusakan, sedangkan preservasi (dalam konteks yang terbatas) ialah
bagian dari perawatan dan pemeliharaan yang intinya adalah mempertahankan
keadaan sekarang dari bangunan dan lingkungan cagar budaya agar keandalan
kelaikan fungsinya terjaga baik. Konservasi (dalam konteks yang luas) ialah semua
proses pengelolaan suatu tempat hingga terjaga signifikansi budayanya. Hal ini
termasuk pemeliharaan dan mungkin (karena kondisinya) termasuk tindakan
preservasi, restorasi, rekonstruksi, konsolidasi serta revitalisasi. Biasanya kegiatan
ini merupakan kombinasi dari beberapa tindakan tersebut, sedangkan konservasi
(dalam konteks terbatas) dari bangunan dan lingkungan ialah upaya perbaikan dalam
rangka pemugaran yang menitikberatkan pada pembersihan dan pengawasan bahan
yang digunakan sebagai konstruksi bangunan, agar persyaratan teknis bangunan
terpenuhi.
Rekonstruksi adalah kegiatan pemugaran untuk membangun kembali dan
memperbaiki bangunan dan lingkungan yang hancur akibat bencana alam, bencana
lainnya, rusak akibat terbengkalai atau keharusan pindah lokasi karena salah satu
30
sebab yang darurat, dengan menggunakan bahan yang tersisa atau terselamatkan,
dengan penambahan bahan bangunan baru dan menjadikan bangunan tersebut laik
fungsi dan memenuhi persyaratan teknis. Konsolidasi ialah kegiatan pemugaran
yang menitikberatkan pada pekerjaan memperkuat, memperkokoh struktur yang
rusak atau melemah secara umum agar persyaratan teknis bangunan terpenuhi dan
bangunan tetap laik fungsi. Konsolidasi bangunan dapat juga disebut dengan istilah
stabilisasi kalau bagian struktur yang rusak atau melemah bersifat membahayakan
terhadap kekuatan struktur.
Revitalisasi ialah pemugaran yang bersasaran untuk mendapatkan nilai
tambah yang optimal secara ekonomi, sosial dan budaya dalam pemanfaatan
bangunan dan lingkungan cagar budaya dan dapat sebagai bagian dari revitalisasi
kawasan kota lama untuk mencegah hilangnya aset-aset kota yang bernilai sejarah
karena kawasan tersebut mengalami penurunan produktivitas. Pemugaran adalah
kegiatan memperbaiki atau memulihkan kembali bangunan gedung dan lingkungan
cagar budaya ke bentuk aslinya dan dapat mencakup pekerjaan perbaikan struktur
yang bisa dipertanggungjawabkan dari segi arkeologis, historis dan teknis. Kegiatan
pemulihan arsitektur bangunan gedung dan lingkungan cagar budaya yang
disamping perbaikan kondisi fisiknya juga demi pemanfaatannya secara fungsional
yang memenuhi persyaratan keandalan bangunan.
Selain itu, disebutkan juga dalam sumber lain batasan pengertian tentang
istilah-istilah dasar dalam konservasi. Salah satunya seperti yang disepakati dalam
Piagam Burra, yang menjelaskan bahwa konservasi adalah segenap proses
pengelolaan suatu tempat agar makna kultural yang dikandungnya terpelihara
31
dengan baik. Konservasi dapat meliputi seluruh kegiatan pemeliharaan serta sesuai
dengan situasi dan kondisi setempat. Secara keseluruhan mencakup preservasi,
restorasi, rekonstruksi, adaptasi, dan revitalisasi. Preservasi adalah pelestarian suatu
tempat persis seperti keadaan aslinya saat ditemukan tanpa adanya upaya perubahan.
Upaya yang dilakukan adalah upaya mencegah kehancuran.
Restorasi/rehabilitasi adalah mengembalikan suatu tempat pada keadaaan
semula dengan menghilangkan tambahan-tambahan dan memasang komponen
semula tanpa menggunakan bahan baru. Rekonstruksi adalah mengembalikan suatu
tempat semirip mungkin dengan keadaan semula, dengan cara menggunakan bahan
lama maupun bahan baru (bisa dikombinasikan). Adaptasi/revitalisasi adalah
mengubah tempat supaya dapat digunakan untuk fungsi yang lebih sesuai (tidak
menuntut perubahan drastis, atau hanya memerlukan sedikit dampak minimal), dan
demolisi adalah penghancuran atau perombakan suatu bangunan yang sudah rusak
atau membahayakan.
Ketika konservasi ini akan dilaksanakan sebaiknya diawali dengan suatu
strategi yang mengacu pada pelestarian warisan budaya, sehingga konservasi yang
akan dilakukan menjadi tepat guna dan tidak dilakukan sekedarnya saja (Salain,
2003: 42), seperti signifikansi yang diperoleh dari penilaian ”assessment” suatu
obyek dalam suatu konteks apakah menyangkut sejarah, keindahan, pengetahuan,
kebudayaan, maupun harganya. Kemudian tenaga ahli yang dimaksudkan sebagai
suatu strategi tentang bagaimana kesiapan sekaligus meningkatkan keahlian
sumber daya manusia yang ada dan yang akan diadakan. Setelah itu pengelolaan
site, sebagai hal yang sangat penting dalam upaya pelestarian. Menyangkut
32
kepemilikan, pendanaan, pengoperasian, pengenalan, dan sebagainya. Lain dari
itu adalah penelitian sebagai kegiatan terstruktur yang dilakukan terus menerus
terhadap warisan arsitektur yang memiliki signifikansi tinggi.
Strategi lainnya adalah pencatatan melalui pengadaan sekaligus pemetaan
sampai dengan pendokumentasian hal-hal yang sangat rinci dari suatu detail
bangunan atau ruang. Kemasan hasil penelitian ini disertai dengan ramalan atas
temuan lapangan atau kemungkinan perubahan karena pemekaran suatu wilayah
oleh berbagai fungsi dalam suatu rekomendasi disajikan dalam MIS (Management
Information System), dan peningkatan kepedulian yang dilakukan melalui
berbagai upaya menumbuhkan kesadaran akan pentingnya penyelamatan warisan
budaya arsitektur, tidak hanya kepada para ahli tetapi juga kepada seluruh
masyarakat sebagai pelaku budaya melalui berbagai informasi. Penyampaian
informasi inilah yang perlu diperhatikan. Bagaimana caranya agar informasi yang
benar disampaikan oleh pihak yang benar dengan cara yang benar pula.
2.3.1.5 Motivasi dalam Melakukan Konservasi.
Melakukan kegiatan konservasi memerlukan dukungan motivasi yang
kuat, supaya arah yang akan dituju dalam konservasi dapat dicapai dengan tepat
sasaran. Motivasi juga diperlukan, mengingat bahwa kegiatan konservasi akan
menghadapi tantangan atau kendala yang kompleks. Dengan motivasi yang jelas
dan kuat, diharapkan setiap tantangan dapat diatasi. Pada umumnya, ada beberapa
motivasi yang melandasi kegiatan konservasi, yaitu :
a. Motivasi untuk mempertahankan warisan budaya atau warisan sejarah.
Motivasi ini didasari oleh keinginan untuk menghargai warisan budaya
33
atau sejarah, karena budaya dan atau sejarah mengandung bahan-bahan
pelajaran yang sangat berharga. Nilai-nilai tersebut tidak hanya dari
segi fisiknya, tetapi spirit dari segi non fisik juga mengandung nilai
yang sangat mulia. Dari segi fisik akan dapat dipelajari nilai-nilai
arsitektur yang meliputi fungsi, struktur dan estetika melalui
perwujudan bentuknya. Dari segi non fisik dapat dipelajari banyak hal,
mulai dari semangat saat proses pembangunan dilakukan, peristiwa-
peristiwa penting yang terjadi sampai dengan nilai filosofis dari obyek
tersebut.
b. Motivasi untuk menjamin terwujudnya variasi dalam bentuk-bentuk
arsitektur kota dan lingkungan. Suatu lingkungan dengan bentuk-
bentuk yang monoton akan terlihat membosankan, karena kurang
dinamis. Oleh karena itu, maka pelestarian terhadap obyek-obyek yang
spesifik akan memberikan variasi visual yang dinamis.
c. Motivasi ekonomis, yang bermakna ganda. Di satu sisi pelestarian
akan menyebabkan nilai obyek itu akan meningkat karena terpelihara.
Di sisi lain, obyek yang dikonservasi akan memiliki nilai komersial
yang menjadi sumber pendapatan bagi banyak pihak.
d. Motivasi simbolis, dimana bangunan-bangunan merupakan gambaran
fisik tentang identitas suatu lingkungan. Bangunan fisik yang
fungsinya tidak lagi seperti semula (pada saat dibangun) tetapi kini
masih terpelihara akan menjadi simbol bahwa di lokasi tersebut pernah
tercatat sebagai tempat yang sangat penting.
34
Dari semua kemungkinan motivasi tersebut memang semuanya saling
terkait, yang satu mendukung yang lainnya tergantung dari jenis obyeknya.
Masalah yang biasanya dihadapi adalah bagaimana membangkitkan motivasi
pihak-pihak untuk dapat bekerja sama dalam upaya pelestarian. Konservasi
sebagai upaya pelestarian, perlindungan dan sejenisnya bertujuan untuk menjaga
atau menciptakan suatu keadaan dimana obyek yang dikonservasi dapat tampil
dengan makna kulturalnya.
Dengan demikian maka warisan karya yang adiluhung tersebut mampu
memberikan manfaat yang dapat dipetik dari berbagai aspek. Manfaat yang paling
nyata adalah sebagai catatan sejarah masa lalu, dimana para leluhur telah berhasil
mewariskan sesuatu yang bernilai tinggi. Sedangkan manfaat praktisnya bagi
masyarakat adalah sebagai obyek untuk dikunjungi (kegiatan rekreasi). Sebagai
obyek rekreasi yang keberadaan fisiknya terus terpelihara akan memberikan efek
berlipat bagi manfaat-manfaat berikutnya. Namun dalam hal ini mengingat obyek
yang akan dikonservasi adalah sebuah pura, maka kegiatan rekreasi yang tepat
dilakukan disini adalah rekreasi spiritual.
Pelestarian dalam lingkup bangunan dan lingkungan adalah semua proses
untuk memelihara bangunan atau lingkungan sedemikian rupa sehingga makna
kulturalnya yang berupa nilai keindahan, sejarah, keilmuan atau nilai sosial untuk
generasi lampau, masa kini, dan masa yang akan datang akan dapat terpelihara.
Pelestarian dipahami juga sebagai suatu upaya untuk melindungi/menjaga
bangunan, monumen dan lingkungan dari kerusakan dan mencegah adanya proses
kerusakan. Konservasi juga merupakan upaya untuk memelihara suatu tempat
35
yang dilakukan sedemikian rupa sehingga makna dari tempat tersebut dapat
dipertahankan.
Kata pelestarian sudah dikenal umum baik di kalangan akademis, birokrat,
dan masyarakat luas. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia menurunkan tiga arti
untuk kata “lestari”: (1) seperti keadaan semula; (2) tidak berubah; (3) kekal.
Ketiga arti kata ini mungkin masih tepat digunakan dalam pemahaman terhadap
produksi budaya bersifat fisik/berwujud (tangible) seperti benda cagar budaya.
Akan tetapi produk budaya yang bersifat non fisik/tak berwujud (intangible)
seperti dalam bentuk seni dan tradisi (yang lebih menekankan dalam bentuk ide,
konsep, norma) ketiga arti tersebut sangat berlawanan dengan sifat seni dan tradisi
yang hidup. Bila arti kata lestari itu diterapkan kepada pelestarian seni maupun
tradisi, maka kebudayaan suatu masyarakat akan berhenti di tengah jalan begitu
saja, tidak hidup sejajar dengan perkembangan budayanya. Sebab kesenian
maupun tradisi apapun tidak ada yang tidak mengalami perubahan.
Kamus Besar Bahasa Indonesia juga menurunkan tiga kata “melestarikan”
yaitu: (1) menjadikan (membiarkan) tetap tidak berubah: (2) membiarkan tetap
seperti keadaan semula: (3) mempertahankan kelangsungan (hidupnya). Arti yang
pertama dan kedua menghentikan kreativitas seni, maupun tradisi. Sedangkan arti
yang ketiga masih dapat ditafsirkan bagaimana kreativitas seni maupun tradisi
berkiprah untuk melangsungkan hidup.
Bagi masyarakat yang mengartikan pelestarian sebagai usaha dalam
membuat sesuatu tidak berubah, seperti keadaan semula, mungkin produk budaya
harus seperti keadaan semula. Peninggalan budaya nenek moyang yang berupa
36
fisik (Benda Cagar Budaya) sajalah yang cocok diperlakukan seperti itu. Misalnya
candi, pura, puri, rumah adat, keris, peralatan dari perunggu, atau emas dan perak
dan lain sebagainya. Tetapi tidak untuk tari, sastra, musik, tata-cara, upacara dan
lain sebagainya. Golongan yang kedua ini ada yang memang harus dijaga
kelestariannya sedapat mungkin, tetap digunakan sebagai bahan baku karya seni
baru. Artinya pelestarian yang dimaksudkan dalam hal ini adalah membuat
sesuatu berkelanjutan.
2.3.1.6 Proses Konservasi
Arsitektur masa lampau seyogyanya tidak dilihat sebagai benda mati yang
tidak berguna lagi, melainkan sebagai bagian yang tidak terpisah dari sejarah
perkembangan arsitektur suatu kawasan. Membongkar bangunan bersejarah dengan
semena-mena, sama artinya dengan menghapus bukti sejarah dalam arti fisik dan
visual. Untuk menjaga kelestarian obyek cagar budaya (kawasan dan bangunan
kuno/bersejarah), perlu langkah-langkah pengaturan bagi penguasaan, pemanfaatan
dan pengawasannya. Karena peraturan dan Undang-undang memang merupakan alat
kontrol bagi upaya pelestarian cagar budaya, namun tak dapat disangkal bahwa
masyarakat selaku penerima tak dapat sepenuhnya take it for granted (menerima
selaku kebenaran).
Landasan hukum dalam mewujudkan pelaksanaan upaya-upaya pelestarian
tersebut di atas sebenarnya sudah ada sejak jaman pemerintahan kolonial Hindia
Belanda yang dikenal dengan Monumenten Ordonantie No. 19 tahun 1931,
kemudian menjadi Monumenten Ordonantie Stbl tahun 1934 (Staatsblad tahun 1934
No. 515). Setelah jaman kemerdekaan pemerintah Republik Indonesia telah
37
menyusun dan menerbitkan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1992, tentang Benda
Cagar Budaya sebagai pengganti Monumenten Ordonantie. Selain Monumenten
Ordonantie Stbl tahun 1934 tersebut dan himpunan peraturan yang terkait dengan
Undang-Undang tentang Benda Cagar Budaya di atas, landasan hukum lain yang
dapat dijadikan pedoman pelaksanaan (Harastoeti, 1999: 23), adalah: a) Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1993 tentang Pelaksanaan
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya; b) Keputusan
menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 087/P/1993 tentang
Pendaftaran Benda Cagar Budaya; c) Keputusan Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 062/U/1995 tentang Pemilikan,
Penguasaan, Pengalihan, dan Penghapusan Benda Cagar Budaya; d) Keputusan
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 063/U/1995
tentang Perlindungan dan Pemeliharaan Benda Cagar Budaya; dan, e) Keputusan
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 064/U/1995
tentang Penelitian dan Penetapan Benda Cagar Budaya atau Situs.
Untuk menghindari keterlanjuran yang lebih jauh, maka perlu dilakukan
langkah-langkah sebagai berikut: Pertama, sistem mekanisme dan prosedur
pelestarian bangunan harus disusun dalam bentuk aturan pelaksanaan. Dengan
demikian, peralihan peraturan pemilikan, perlakuan (pemeliharaan, perbaikan dan
penambahan, serta pembongkaran), dan penggunaan bangunan mempunyai
pedoman yang jelas; dan kedua, publikasi peraturan perlu dilaksanakan secara
meluas, bila perlu dengan pemasangan plakat yang menyatakan bahwa bangunan
bersangkutan termasuk dalam obyek cagar budaya dengan kategori tertentu.
38
Masyarakat dan setiap pihak yang mungkin terlibat dalam pembangunan, harus
dijamin mengetahui semua bangunan yang harus dilestarikan.
Sebagaimana umumnya kegiatan yang menyangkut perlakuan terhadap
bangunan, diperlukan proses sedemikian rupa sehingga tujuan yang ingin dicapai
dapat ditempuh dengan benar. Dalam seluruh rangkaian kegiatan konservasi,
proses-proses penting yang harus dilakukan adalah sebagai berikut:
a) Inventarisasi/pengumpulan data: data yang dikumpulkan tidak hanya
berupa data fisik berupa bangunan yang wujudnya sudah terlihat,
melainkan juga sangat penting adalah data non fisik berupa bukti-bukti
atau catatan sejarah tentang obyek. Data ini sangat penting karena akan
menjadi bahan penilaian kelayakan obyek untuk dilakukan kegiatan
konservasi. Pengumpulan data dimulai dengan survey terhadap dokumen
berupa surat-surat, laporan-laporan, sketsa-sketsa, foto-foto, peta-peta, dan
kemudian survey-survey terhadap kondisi fisik, nilai-nilai fisik, dan bila
perlu boleh dilakukan penggalian-penggalian atau pembongkaran guna
memperoleh data yang diperlukan sebagai komponen dasar untuk
menyusun kebijaksanaan dan membuat perencanaan. Sesudah itu
dilakukan observasi dan wawancara di lapangan kepada semua pihak yang
terkait. Keadaan semula harus direkam terlebih dahulu secara lengkap dan
dianalisa, agar dapat disusun secara sistematis arti penting obyek tersebut,
sampai dengan inventarisasi kelompok-kelompok bukti fisik dan
menyusun urutan-urutan prioritas sesuai dengan artinya, kelangkaannya,
kualitas dan sebagainya.
39
b) Penyusunan/pengolahan data dan analisis: pada tahap ini akan dilakukan
pengolahan/penyusunan data secara sistematis untuk selanjutnya dilakukan
analisis terhadap setiap obyek konservasi. Dari seluruh data yang
diperoleh dilakukan kategorisasi atau klasifikasi jenis-jenis bangunan atau
lingkungan yang diteliti, mulai dari skala yang paling luas/umum sampai
kepada skala yang paling kecil/mikro. Dari klasifikasi tersebut diperoleh
pengelompokan lingkungan bersejarah, taman/ruang terbuka dan arsitektur
kuno yang semuanya memerlukan perhatian maksimal.
c) Pengkajian Makna Kultural: pada tahap ini dilakukan pengkajian makna
kultural dengan tolok ukur estetika, kejamakan, kelangkaan, peranan
sejarah, pengaruh terhadap lingkungan dan keistimewaan. Tidak tertutup
pula kemungkinan untuk penggunaan tolok ukur lain seperti misalnya
nilai-nilai sosial, nilai-nilai ilmiah, nilai komersial dan sebagainya.
d) Penentuan Prioritas dan Peringkat: dari hasil pengkajian makna kultural,
dengan menggunakan pembobotan akan diperoleh prioritas dan peringkat
dari setiap obyek penelitian. Hasil inilah yang akan dapat digunakan
sebagai dasar untuk merumuskan kebijakan konservasi dan strategi untuk
implementasinya (tahap kelima dan keenam). Dalam kebijakan itu nanti
akan ada alternatif kebijakan meliputi konservasi, preservasi, restorasi/
rekonstruksi, adaptasi/revitalisasi, dan demolisi/penghancuran.
Sesudah keempat tahapan tersebut diatas dilakukan, maka langkah
berikutnya adalah menyusun program dan perencanaan dan program pembiayaan
dan pelaksanaan di lapangan.
40
2.3.1.7 Hal-hal lain Terkait Aktivitas Konservasi
Usaha pelestarian terhadap sebuah bangunan warisan budaya tidak dapat
dipisahkan dari lingkungan pendukungnya termasuk lansekap. Sebenarnya harus
diakui, kerusakan atau lebih parah lagi musnahnya bangunan tua dan lansekap
bersejarah bukan semata-mata karena disebabkan keterbatasan pengelola kota
secara administratif dan regulasi. Penyebab lain adalah adanya perbedaan aspirasi
dan kepedulian masyarakat akan hakikat pelestarian warisan budaya berupa
bangunan tua yang menjadikan bangunan konservasi tidak dihargai maknanya.
Pada sisi lain, regulasi dan ketidak-pahaman terhadap masalah yang dihadapi
pemilik bangunan terhadap tuntutan ekonomi tidak hanya menyebabkan
disorientasi pembangunan fisik, tetapi juga penolakan untuk dilakukan konservasi.
Dalam hal ini peran arsitek sangat penting untuk menjamin terpeliharanya
bangunan dan kemampuan untuk membuka wawasan fungsi-fungsi baru.
Wawancara dengan Jayanti, 2009 menyebutkan bahwa dalam aktivitas
konservasi, ada beberapa prisip dalam melakukan teknik konservasi yaitu:
Pertama, conserve as found, yaitu struktur dan bangunan sebaiknya dikonservasi
sesuai dengan saat ditemukan; Kedua, minimal intervention, yaitu perubahan
dibuat dengan seminimal mungkin dengan teknik yang dipakai sudah teruji
kemampuannya; Ketiga, like-for like repairs, yaitu material yang diganti
sebisanya serupa dengan material asli, misalnya kayu diganti dengan kayu, tetapi
dalam hal ini stabilitas struktur harus juga menjadi pertimbangan, bisa jadi kayu
diganti dengan baja; Keempat, repairs should be reversible, yaitu perbaikan
didesain sehingga ke depan bisa dikembalikan lagi/diulang/dihilangkan, dan
41
aktivitas ini yang paling sulit; dan Kelima, repairs should be sympathetic, yaitu
perbaikan harus sesuai dengan karakter struktur/bangunan, dalam hal ini tidak
harus terlihat kuno dan tidak harus meniru bentuk orisinil.
Dengan mengetahui dan memahami teori konservasi yang telah diketahui
sebelumnya, maka akan dapat ditentukan strategi konservasi apa yang pantas dan
tepat diterapkan pada Pura Maospahit sesuai dengan keadaannya sehingga
penanganan yang nantinya dilakukan dapat tepat sasaran.
2.3.2 Teori Pemugaran Warisan Budaya
Bangunan kuno sebagai benda cagar budaya tidak bergerak umumnya
dibuat dari beberapa jenis bahan seperti batu, kayu, bata dan lain-lain. Bangunan
kuno dapat dikelompokkan atas dasar bahan yang dipakai misalnya bangunan
batu, bangunan kayu, bangunan bata dan lainnya. Bangunan batu misalnya candi
dan benteng. Bangunan kayu misalnya rumah tradisional dan masjid serta
bangunan bata seperti candi dan pura, di Bali ditemukan beberapa bangunan bata
yang pada umumnya masih difungsikan oleh masyarakat sebagai tempat pemujaan
bagi umat Hindu.
Seperti halnya dengan bangunan kuno yang lainnya, bangunan bata yang
ditemukan di Bali komponen strukturnya tidak lengkap. Sebagai bangunan living
monument di Bali, maka aspek pemanfaatannya menuntut agar bangunan tersebut
dapat dipugar kembali pada bentuk aslinya secara lengkap. Keutuhan bangunan
ini berkaitan erat dengan persyaratan upacara ritual yang dilaksanakan sehingga
bangunan dapat difungsikan lagi seperti fungsinya yang semula. Hal ini belum
sepenuhnya sesuai dengan prinsip-prinsip keaslian dalam pemugaran yang
42
meliputi keaslian bentuk, bahan, tata letak dan teknik pengerjaan. Inilah yang
merupakan permasalahan pokok yang dihadapi pada pemugaran bangunan living
monument termasuk pemugaran bangunan bata di Bali. Untuk mengatasi
permasalahan tersebut perlu dilakukan pendekatan aspek sosial lain terutama
aspek religius, aspek budaya, aspek estetika dan aspek lainnya. Pendekatan yang
dilakukan harus dapat mengakomodasikan tuntutan aspek pemanfaatan, tanpa
bertentangan dengan prinsip-prinsip pemugaran sesuai dengan peraturan dan
perundang-undangan yang ada dan harus dijabarkan secara lebih terinci agar dapat
dijadikan pedoman atau acuan dalam pelaksanaan pemugaran khususnya
bangunan living monument.
Pemugaran bangunan peninggalan sejarah dan purbakala adalah
serangkaian kegiatan yang bertujuan untuk melestarikan keutuhan bangunan
Cagar Budaya sebagai sebuah monumen sekaligus data sejarah (pasal 15 Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1992 Tentang Benda Cagar Budaya), menyelamatkan
warisan budaya bangsa, serta mengembangkan dan membangkitkan kembali
gairah kebudayaan nasional untuk dapat dijadikan sumber inspirasi daya cipta
kehidupan bangsa dan sekaligus menjadi tumpuan kesadaran, kesatuan, serta
ketahanan nasional yang mantap dalam rangka memupuk, membina dan
mengembangkan kepribadian bangsa.
Kegiatan pemugaran terhadap benda cagar budaya disesuaikan dengan
prinsip pelestarian yang mencakup keaslian bentuk, tata letak, bahan, teknologi,
warna, serta nilai sejarah dan pengamanannya. Pemugaran sebagai bagian dari
pelestarian benda cagar budaya merupakan kegiatan yang bertujuan untuk
43
mengembalikan keaslian bentuk benda cagar budaya dan memperkuat strukturnya
apabila diperlukan dan harus dapat dipertanggungjawabkan dari segi arkelogis,
historis, dan teknis. Kegiatan pemugaran tersebut meliputi pemulihan arsitektur
dan perbaikan struktur, menurut Rena (dalam http://www.purbakalabali.com/, 9
Januari 2011).
2.3.3 Teori Warisan Budaya Tak Ragawi
Menurut Purna (dalam http://www.purbakalabali.com/, 8 juni 2010),
Warisan Budaya Tak Benda/Tak Berwujud/Tak Ragawi (Intangible Heritage)
wujudnya antara lain: tradisi dan ekspresi lisan, bahasa, seni pertunjukan, adat
istiadat masyarakat, ritual, perayaan-perayaan, pengetahuan dan kebiasaan
perilaku mengenai alam semesta, kemahiran kerajinan tradisional, dan naskah
kuno. Sistem warisan budaya ini diwariskan dari generasi ke generasi, secara terus
menerus, diciptakan kembali oleh berbagai komunitas dan kelompok sebagai
tanggapan mereka terhadap lingkungannya, interaksi mereka dengan alam, serta
sejarahnya dan memberikan mereka makna jati diri dan keberlanjutan untuk
memajukan penghormatan keanekaragaman budaya dan kreatifitas manusia.
a. Memahami Konsep Tradisi dalam Pelestarian Warisan Budaya Tak Ragawi
Tradisi sering dikaitkan dengan kuno, ataupun bersifat sebagai warisan
nenek moyang. Pada intinya masyarakat senantiasa didukung oleh tradisi, namun
tradisi itu bukanlah sesuatu yang statis. Hal-hal yang harus diperhatikan adalah:
1. Waktu/masa: arti yang paling mendasar dari kata tradisi, yang berasal dari
kata traditium adalah sesuatu yang diberikan atau diteruskan dari masa
lalu ke masa kini. Dari arti dasar ini dapat dipermasalahkan selanjutnya,
44
seberapa panjangkah waktu/masa yang menjadi satuan untuk melihat
penerusan tradisi tersebut. Ternyata panjangnya waktu/masa ini relatif.
Satuan masa itu bisa sangat panjang seperti misalnya suatu zaman yang
ditandai oleh sistem kepercayaan atau sistem sosial yang berbeda.
2. Batas wilayah cakupan: tradisi itu disamping dapat dibahas dari sudut
panjangnya rentang waktu yang diliputinya, juga dapat dilihat dari segi
batas-batas wilayah cakupnya. Suatu tradisi dapat dilihat mempunyai pusat
tertentu, dan dari pusat itulah tradisi tersebut memancarkan sesuatu,
selama proses pemancaran itu dapat terjadi penganekaragaman variasi.
Semakin ke pinggir semakin banyak perbedaan dengan apa yang terdapat
di pusat tradisi. Dalam hal ini perlu diperhatikan bahwa jarak antara hal ini
perlu diperhatikan bahwa jarak antara pusat dan pinggir itu tidak selalu
ditentukan oleh geografis, melainkan juga oleh tingkat sarana komunikasi
antara keduanya, baik dalam hal kecepatannya maupun ketepatannya. Di
kawasan pinggiran terdapat kemungkinan untuk membaurnya ciri-ciri
berbatasan pinggiran. Pembauran antar tradisi di kawasan pinggir (dari dua
tradisi berdampingan) itu cenderung bersifat evolusionistik dan tanpa
dorongan niat-niat pembaruan secara sadar.
3. Pertemuan tradisi dan pusat tradisi: masuknya suatu pertemuan dua tradisi
biasanya terlihat dengan jelas sebagai suatu perbedaan. Apa yang berasal
dari luar diterima sebagai suatu warisan baru yang tiba-tiba datang.
Masuknya tradisi baru itu mempunyai tiga kemungkinan akibat; (a) yang
baru itu menjadi satu khasanah tambahan di samping yang lama; (b) yang
45
baru itu memberi pengaruh ringan kepada tradisi setempat yang telah
mengakar, tanpa mengubah citra dasar tradisi setempat itu; dan (c) tradisi
baru berpengaruh cukup kuat terhadap tradisi lama dalam bidang yang
sama, sehingga menjadi suatu bentuk baru.
4. Perubahan: suatu hal yang perlu disadari dalam melihat masalah tradisi ini
adalah kenyataan bahwa sesungguhnya dalam rangka perjalanan suatu
tradisi senantiasa terjadi perubahan internal. Kalau perubahan itu masih
dirasakan berada dalam batas-batas toleransi, maka orang merasa atau
beranggapan bahwa tradisi yang ini seharusnya membuka mata untuk
mengakui bahwa memelihara tradisi, atau memelihara warisan budaya
bangsa pada khususnya, tidak harus berarti membekukannya.
b. Memahami Konsep Sejarah dalam Pelestarian Warisan Budaya Tak Ragawi
Dalam memahami sejarah bangsa tercakup dua pengertian di dalamnya
yaitu masa lampau dan rekontruksi tentang masa lampau. Masa lampau hanya
terdapat dalam ingatan orang-orang (ingatan kolektif) yang pernah mengalaminya.
Kenyataan ini baru bisa diketahui oleh orang lain apabila diungkapkan kembali
dengan adanya komunikasi dan dokumentasi yang menjadi kisah atau gambaran
tentang peristiwa masa lampau. Proses ini disebut rekontruksi sejarah atau dalam
ilmu sejarah disebut dengan historiografi.
Dalam pengelolaan pelestarian sejarah, bukan sejarahnya maupun
peristiwanya yang harus dilestarikan. Melainkan nilai-nilai sejarah yang terdapat
dalam peristiwa tersebut. Peristiwa sejarah cukup sekali terjadi, akan tetapi nilai-
nilai dari peristiwa tersebut akan hidup sepanjang jaman. Hal ini sangat
46
dipengaruhi oleh umat manusia sebagai cermin hidup. Dalam pengelolaan
pelestarian yang sifatnya tak berwujud maka yang diharapkan adalah
menghasilkan: a) kualitas produk budaya (bukan kuantitas produk budaya); b)
konsep-konsep, nilai-nilai, norma-norma; c) pencitraan suatu pemikiran dari suatu
masyarakat pendukung kebudayaan yang bersangkutan; dan d) untuk
menghasilkan pengelolaan pelestarian yang optimal tentu didasari oleh kajian.
2.4 Model Penelitian
Penelitian ini diangkat beranjak dari pemikiran akan adanya permasalahan
yang mendasar tentang keberadaan obyek. Masalah itu adalah mengenai
identifikasi terhadap wujud fisik (tangible) dan non fisik (intangible), serta
strategi konservasi yang digunakan di Pura Maospahit Denpasar untuk
melestarikannya. Tahap awal dari penelitian adalah merumuskan permasalahan
yang ada dengan mengacu kepada latar-belakang yang telah dikelompokkan ke
dalam dua faktor penyebab, yakni faktor internal dan faktor eksternal.
Data awal diperoleh dari pengumpulan data berupa beberapa buku (metode
studi literatur). Setelah diadakan pengumpulan data, maka mulai ditelusuri kondisi
fisik dan non fisik dengan metode wawancara dan observasi berupa foto, sketsa,
dan gambar. Setelah itu dilakukan tahap analisis terhadap signifikansi obyek serta
pengelolaan yang telah dilakukan. Hasil akhir yang diharapkan dari penelitian ini
adalah menghasilkan rekomendasi yang tepat untuk kondisi terkini obyek
penelitian sesuai dengan permasalahan yang mengiringinya.
47
MODEL PENELITIAN
- Karakteristik fisik Pura Maospahit?- Sejauhmana signifikansi dan potensi
budaya yang perlu dilestarikan?- Aplikasi/usaha melakukan pelestarian
(ragawi dan tak ragawi)?
--
-
Eksternal: Status pura sebagai kahyangan jagat serta ditetapkan sebagai
cagar budaya (UU No 5 Th.1992)
Internal: Arsitektural, tradisi, dan upacara pada pura Maospahit Denpasar
Konservasi Pura Maospahit Denpasar Menuju Pelestarian Pusaka Budaya
Identifikasi Signifikansi dan Aplikasinya
Aplikasi pelestarian?
Signifikansi dan potensi budaya? Karakteristik fisik?
Rekomendasi
- Teori Signifikansi Budaya - Teori Strategi Konservasi - Teori Intangible
48
BAB III
METODE PENELITIAN
Bab ini menguraikan tentang pendekatan penelitian, lokasi penelitian, jenis
dan sumber data yang digunakan, instrumen penelitian, metode dan teknik
pengumpulan data, metode dan teknik analisis data, serta metode dan teknik
penyajian hasil analisis data.
3.1 Pendekatan Penelitian
Penelitian ini pada hakekatnya merupakan sebuah studi tentang
Konservasi Pura Maospahit Denpasar Menuju Pelestarian Pusaka Budaya:
Identifikasi Signifikansi dan Aplikasinya. Penelitian ini menggunakan pendekatan
analisa historis dan partisipatoris yaitu melibatkan semua pihak yang berkompeten
pada obyek (stakeholders). Berdasarkan rumusan masalah, penelitian ini
dirancang sebagai sebuah penelitian menggunakan pendekatan penulisan dan
penyajian analisa secara kualitatif dan rumusan masalah dalam hal ini memakai
rumusan masalah deskriptif dan assosiatif yaitu rumusan masalah yang memandu
peneliti untuk mengeksplorasi atau memotret situasi sosial yang akan diteliti
secara menyeluruh dan mendalam serta mengkonstruksi hubungan antara situasi
sosial atau domain satu dengan yang lain.
Peneliti kualitatif dituntut dapat menggali data berdasarkan apa yang
diucapkan, dirasakan, dan dilakukan oleh partisipan atau sumber data. Peneliti
kualitatif harus bersifat “perspektif emic” artinya memperoleh data bukan
“sebagaimana seharusnya”, bukan berdasarkan apa yang dipikirkan oleh peneliti,
49
tetapi berdasarkan sebagaimana adanya yang terjadi di lapangan, yang dialami,
dirasakan, dan dipikirkan oleh partisipan/sumber data (Sugiyono, 2010: 213).
Pendekatan penelitian yang dilakukan ini melalui beberapa tahapan, yakni
diawali dengan mengumpulkan data mengenai keadaan langsung dan suasana
sekitar Pura Maospahit sebagai kasus studi/obyek penelitian, data yang
dikumpulkan bisa berupa dokumentasi lama atau baru, hasil wawancara terhadap
beberapa narasumber dan ahli, memastikan lokasi penelitian, menentukan
instrumen penelitian, menentukan metode yang dipergunakan mencakup
observasi, wawancara dan studi dokumentasi. Selanjutnya, tahapan menganalisis
data yang sudah terkumpul kemudian diwujudkan dalam bentuk tesis.
3.2 Lokasi Penelitian
Pura Maospahit ini merupakan salah satu cagar budaya yang dimiliki oleh
Kota Denpasar, sebuah ibukota Propinsi Bali yang sekaligus sebagai pusat
pemerintahan, pendidikan, dan perekonomian. Kota Denpasar terletak di antara
08° 35" 31'-08° 44" 49' lintang selatan dan 115° 10" 23'-115° 16" 27' bujur timur,
yang berbatasan dengan: di sebelah utara Kabupaten Badung, di sebelah timur
Kabupaten Gianyar, di sebelah selatan Selat Badung dan di sebelah barat
Kabupaten Badung (http://www.denpasarkota.go.id/, 30 Agustus 2010). Lokasi
tepatnya dari pura ini adalah di Jalan Sutomo wilayah Banjar Gerenceng, Desa
Pemecutan Kaja, Kecamatan Denpasar Utara. Sekitar 950 meter ke barat dari titik
nol (pusat Kota Denpasar). Pura ini terletak tidak jauh dari Kawasan Jalan Gajah
Mada, Puri Jro Kuta, Puri Pemecutan, dan Bale Banjar Gerenceng.
50
Puri Jro Kuta
Pura Maospahit
Bale Banjar Gerenceng
Kawasan Jalan Gajah Mada
Puri Pemecutan
Lapangan Puputan Badung
Gambar 3.1 Lokasi Pura Maospahit dan Posisinya di Antara Obyek Penting Lain di Kota Denpasar
Sketsa dan gambar: www.google.com, pencarian tanggal 27 Agustus 2010
51
3.3 Jenis dan Sumber Data
Sumber data utama dalam penelitian kualitatif ialah pernyataan, kalimat
demi kalimat dan tindakan, selebihnya adalah data tambahan seperti dokumen dan
lain-lain. Data kualitatif adalah data yang tidak bernilai numeral atau nilainya
bukan angka, biasanya berbentuk kata, kalimat, skema, atau gambar (Kusmayadi
dan Sugiarto, 2000: 80). Berkaitan dengan penelitian ini, data kualitatif berupa
informasi mengenai konsep bangunan tradisional Bali khususnya bangunan
parhyangan yang bisa berupa data fisik maupun non fisik, gambaran umum
wilayah penelitian/data demografi, informasi tata ruang wilayah/masterplan/re-
gulasi, gambaran umum Pura Maospahit serta dokumentasi yang terlacak
mengenainya, dan teori-teori konservasi serta manajemen konservasi atau konsep
tangible maupun intangible sebuah obyek.
Untuk sumber data dalam penelitian ini, terdiri atas data primer dan data
sekunder. Data primer diperoleh dari sumber pertama, yaitu informasi narasumber
terhadap keadaan pada Pura Maospahit. Hal ini dilakukan melalui prosedur dan
teknik pengambilan data berupa wawancara terhadap pangempon pura,
pangemong pura, masyarakat sekitar sebagai panyungsung pura, arkeolog maupun
sejarahwan, warga desa yang berkompeten, dan arsitek/undagi.
Wawancara tersebut terkait dengan obyek yaitu Pura Maospahit. Misalnya
sejauh mana pihak pangempon/pangemong/dinas terkait memiliki keberadaan
dokumentasi lama, kapan saja pemugaran dilakukan, bagaimana
perubahan/penambahan bangunan baru, bagaimana pemeliharaan dan pengelolaan
pura, dan lain sebagainya serta teknik observasi langsung baik pengamatan,
52
pengukuran, pendokumentasian serta penggambaran berupa sketsa-sketsa bentuk
fisik bangunan di lapangan. Data sekunder dipilih melalui sumber tidak langsung,
berupa literatur yang terkait dengan fokus penelitian, dokumen, dan laporan
penelitian baik cetak maupun elektronik.
3.4 Instrumen Penelitian
Dalam penelitian kualitatif, instrumen yang dipakai dalam pengumpulan
data lebih banyak bergantung pada peneliti sebagai alat pengumpulan data. Hal ini
disebabkan oleh sulitnya mengkhususkan secara tepat pada apa yang akan diteliti.
Orang/manusia sebagai instrumen penelitian dapat memutuskan sendiri seperti
apa penelitian yang akan dilakukannya. Orang/manusia tersebut dapat menilai
keadaan dan dapat mengambil keputusan (Moleong, 1988: 19). Namun setelah
fokus penelitian menjadi jelas, maka kemungkinan akan dikembangkan instrumen
penelitian sederhana yang diharapkan dapat melengkapi data dan
membandingkannya dengan data yang telah ditemukan melalui observasi dan
wawancara. Peneliti akan terjun ke lapangan sendiri, baik pada grand tour
question, tahap focused and selection, melakukan pengumpulan data, analisis dan
membuat kesimpulan (Sugiyono, 2010: 224).
3.5 Metode dan Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini akan menggunakan teknik
pengumpulan data yang bersifat kualitatif. Pengumpulan data dilakukan oleh
peneliti secara langsung di lokasi penelitian melalui beberapa teknik, yaitu
observasi/pengamatan langsung, wawancara, kepustakaan, dan dokumentasi.
53
3.5.1 Observasi berupa pengamatan, pengukuran, dan pemotretan
Observasi dilakukan dengan pengamatan secara langsung pada obyek
yaitu Pura Maospahit. Observasi dalam hal ini dilakukan dengan observasi
partisipasi pasif dimana peneliti datang di tempat kegiatan yang diamati tetapi
tidak ikut terlibat dalam kegiatan tersebut. Obyek penelitian yang diobservasi
menurut Spradley dalam Sugiyono (2010: 229) terdiri atas tiga komponen yaitu:
(1) place, atau tempat dimana interaksi dalam situasi sosial sedang berlangsung,
(2) actor, pelaku atau orang-orang yang sedang memainkan peran/melakukan
kegiatan, dan (3) activity, atau kegiatan yang dilakukan oleh aktor dalam situasi
sosial yang sedang berlangsung. Fokus pengamatan yaitu melihat keadaan obyek
secara langsung. Instrumen yang digunakan dalam pengamatan yaitu catatan-
catatan. Observasi ini juga dibantu dengan penggunaan alat rekam berupa kamera
dan sketsa langsung keadaan di lapangan. Pengukuran hanya akan dilakukan
terhadap bentuk dasar dari setiap bangunan dan total areal keseluruhan pura.
3.5.2 Interview atau Wawancara
Tujuan dari wawancara adalah menambah informasi mengenai keadaan
dan perubahan pada obyek yang telah dilakukan. Dalam penelitian ini wawancara
dilakukan terhadap pangempon pura, pangemong pura, masyarakat sekitar sebagai
panyungsung pura, arkeolog maupun sejarahwan, warga desa yang berkompeten,
dan arsitek/undagi. Jenis wawancara yang digunakan adalah wawancara tidak
berstruktur karena pertanyaan yang akan muncul nantinya akan disesuaikan
dengan keadaan langsung di lapangan. Pembuatan sketsa juga hendaknya sesuai
dengan keadaan berdasarkan hasil wawancara dan pengamatan langsung.
54
3.5.3 Kepustakaan dan Dokumentasi
Kepustakaan adalah data yang diperoleh melalui studi literatur, yaitu
berupa bahan-bahan yang telah diterbitkan baik secara rutin maupun berkala.
Sedangkan metode dokumenter adalah data berupa bahan dokumen, namun
berbeda dengan literatur, dokumen adalah informasi yang disimpan atau
didokumentasikan sebagai bahan dokumenter, misalnya autobiografi, kliping,
dokumen pemerintah atau swasta, film, dan lain-lain. Pengumpulan data
kepustakaan dan dokumentasi dilakukan dengan mengumpulkan literatur dan
dokumen-dokumen yang terkait dengan judul penelitian, berkaitan dengan hal itu
mengingat Pura Maospahit merupakan cagar budaya, maka literatur dan dokumen
lebih terfokus berdasarkan sumber Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Bali
(BP3 Bali).
3.6 Metode dan Teknik Analisis Data
Analisis data dalam penelitian kualitatif dilakukan sejak sebelum
memasuki lapangan, di lapangan, dan setelah selesai di lapangan. Analisis data
dilakukan secara deskriptif kualitatif dengan menguraikan dan menjelaskan sifat
atau karakteristik data yang sebenarnya yang terdapat saat ini. Data yang
dideskripsikan adalah data yang diperoleh dari hasil pengumpulan data dengan
pengamatan, wawancara, dan studi kepustakaan yang ditranskripsikan dalam
bentuk tulisan. Dalam analisis kualitatif, menurut Miles dan Hubermen dalam
Sugiyono (2010: 246) terdapat tiga alur kegiatan yang terjadi secara bersamaan
yaitu reduksi data, penyajian, dan penarikan simpulan/verifikasi. Reduksi data
merupakan bagian dari proses analisis data dan diartikan sebagai proses
55
pemilihan, memusatkan perhatian pada penyederhanaan, pengabstrakan, dan
transportasi data awal yang muncul dari catatan-catatan tertulis di lapangan.
Reduksi data dalam penulisan laporan ini dimulai dari mereduksi data baik
data primer lapangan hasil observasi lapangan dan wawancara untuk dipilah
sesuai dengan permasalahan yang diajukan dan data sekunder yang diperoleh dari
literatur dan dokumentasi dari instansi terkait.
3.7 Metode dan Teknik Penyajian Hasil Analisis Data
Penyajian data adalah sekumpulan informasi yang dapat memberikan
kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan pengambilan tindakan. Penyajian
informasi dilakukan dalam bentuk teks naratif terlebih dahulu. Selanjutnya, hasil
teks naratif tersebut diringkas dalam bentuk tabel dan sketsa yang diperkuat
dengan foto-foto untuk memperlihatkan keadaan obyek.
Penarikan simpulan merupakan satu bagian dari satu kegiatan konfigurasi
yang utuh. Penarikan simpulan dilakukan berdasarkan analisis yang cermat dan
mendalam terhadap data yang diperoleh. Simpulan yang didapat seyogyanya
mampu memberikan jawaban atas beberapa pertanyaan yang telah dikemukakan