-
Konsep ekologis berbasis sosial budaya (ethno-ecology) sebagai
identitas masyarakat Hubula di lembah Palim,Papua
Ye, wam, he, eka, agatma werekBatu ye (manifestasi dari para
leluhur dan mitos asal usul), babi, perempuan dewasa dan uang,
semuanya dapat ditemukan dalam tanah
Yulia Sugandi1
Abstrak
Tulisan ini berdasarkan pada penelitian etnografi dalam
menelusuri makna tanah ulayat dalam kerangka lanskap (landscape)
bagi masyarakat Hubula di lembah Palim, Papua. Tanah ulayat menjadi
arena pergulatan antara konsep Hubula tentang kesuburan hidup
menghadapi konsep kemajuan modern yang dibawa oleh agen perubahan
sosial. Konsep ekologis berbasiskan sosial budaya (ethno-ecology)
yang mengetengahkan relasi identitas dan tak terpisahkan
(inalienable) antara Hubula dengan tanah ulayatnya berinteraksi
dengan pola relasi komoditas dalam aplikasi program pembangunan
yang berakibat pada alienasi antara Hubula dengan realitas kolektif
kosmologisnya. Upaya sebaliknya dilakukan dengan ethnodevelopment
yang meniadakan inferiority complex, guna memberikan ruang bagi
perubahan sosial yang bermartabat.
Kata kunci: ethno-ecology, relasi identitas, tanah ulayat dalam
lanskap, komodifikasi, inferiority complex, ethnodevelopment
Pembangunan sebagai alat negosiasi identitas
Konsep pembangunan dan modernisasi di Dunia Ketiga kerap
digunakan dalam proses negosiasi identitas. Tradisi lokal terus
menerus berinteraksi dengan proses globalisasi berikut nilai-nilai
dan praktek modern. Menjadi bagian dari masyarakat yang 'maju'
merupakan idaman banyak pihak. Standar tahap kemajuan suatu
masyarakat mengacu pada model universal. Proses pembangunan
dilaksanakan guna mendorong perubahan sosial ke arah pencapaian
yang ditetapkan dalam model universal tersebut. Dalam hal ini,
pembangunan kerap dipresentasikan dalam kerangka
1 Penulis adalah alumni Deutscher Akademischer Austausch Dienst
(DAAD). Artikel ini merupakan ekstraksi dari disertasi Doktoral
penulis berjudul The Notion of Collective Dignity among Hubula in
Palim Valley, Papua (Martabat Kolektif masyarakat Hubula di lembah
Palim, Papua) yang telah diuji pada tahun 2013 di Institut
Etnologi, Universitas Muenster, Jerman.
1
-
pertumbuhan ekonomi dan modernitas (Lewis 2005: 473-474).
Semakin tinggi angka pertumbuhan ekonomi dan semakin modern suatu
masyarakat, maka semakin tinggi pula status 'kemajuannya'.
Pergulatan status taraf kemajuan dalam proses pembangunan diwarnai
oleh dinamika kekuasaan antara agen perubahan sosial. Pembangunan
merupakan simbol sekaligus alat ampuh dari hegemoni barat yang
secara lahiriah didefinisikan sebagai asmiliasi, tapi dalam
prakteknya bertujuan sebagai dominasi (Herzfeld 2001: 152).
Kemajuan masyarakat apa pun didefinisikan secara seragam oleh
paradigma Barat tanpa mengindahkan keragaman latar belakang budaya.
Model universal yang diterapkan dalam kebijakan pembangunan
menciptakan kesenjangan persepsi antara negara dan masyarakat.
Konstruksi realitas lokal tidak senantiasa sejalan dengan parameter
pembangunan. Proses pembangunan menjadi makin terlepas dari
masyarakat setempat karena diarahkan oleh lembaga-lembaga dan para
ahli pembangunan yang menerapkan bahasa industri pembangunan dan
negara donor ketimbang memahami bahasa dan nilai-nilai lokal (cf.
Van Esterik 1995: 256-257). Konteks lokal yang tidak sesuai dengan
standar kemajuan modern di atas kerap mendapat status marjinal dan
'terbelakang'.
Ada beberapa hal signifikan yang patut diperhatikan dalam
penerapan model universal guna mengukur standar kemajuan suatu
masyarakat sebagai keberhasilan program pembangunan. Pertama, model
universal mengarah kepada standar ilmu ekonomi baku, di mana
'manusia ekonomis yang ideal' adalah individual yang berorientasi
pada keuntungan yang terlepas dari relasi sosial (cf. Gudeman 1986:
vii, 29). Kedua, keseragaman standar kemajuan mencerminkan proses
evolusi satu arah (a unilineal evolutionary process) yang
dipercepat dengan mengadopsi teknologi,model dan metode Barat (cf.
Cernea 1996: 15-16). Kedua hal ini berbeda dengan pandangan
antropologi, karena antropolog memperhatikan dampak perubahan
sosial, bukan hanya yang terkait dengan perikehidupan, namun lebih
kepada persepsi tentang dunia.Antropolog diharapkan mengungkapkan
keanekaragaman budaya yang berlimpah serta menekankan pada
nilai-nilai dan pengetahuan lokal. Sejalan dengan Cernea (1996:
15-16), bahwa antropologi dan sosiologi pembangunan sepatutnya
menolak keras tiga model pembangunan yang dianggap sebagai model
reduksionis dari perubahan sosial (the econocentric, the
technocentric, and the commodocentric), serta sebaliknya
menyediakan alternatif dan aksi terpadu. Pembangunan bukan mengenai
komoditas. Bukan pula tentang teknologi atau informasi semata.
Pembangunan dalam kerangka alternatif ini adalah tentang
masyarakat, lembaganya, pengetahuannya, serta bentuk organisasi
sosialnya. Pembangunan bukan tentang akumulasi modal, tapi lebih
kepada penemuan dalam pelbagai relasi masyarakat (Gudeman 2001:
158).
Model alternatif dalam melihat perubahan sosial mencanangkan
bahwa identitas masyarakat terbangun dari jaringan yang ditempa
melalui praktek dan konsep bersama, seperti hubungan
2
-
kekerabatan (kinship), pertemanan dan tempat tinggal. Identitas
individu tercerminkan dalam relasi dan nilai-nilai yang dibagi
dengan pihak-pihak lain. Hal ini merujuk pada model budaya. Gudeman
(1986) berpendapat bahwa proses-proses utama dalam melangsungkan
kehidupan adalah berlandaskan model budaya yang berbeda dengan
model ekonomi, karena model budaya lebih merupakan praksis
kebudayaan yang meliputi kepercayaan dan praktek yang membentuk
dunia seseorang. Ekonomi sebagai proses budaya memaparkan
makna-makna setempat dari obyek yang digunakan oleh masyarakat
dalam modus kehidupan tertentu. Secara tersirat hal ini membebaskan
masyarakat untuk membuat model ekonomi mereka sendiri.
Sillitoe (2002: 9) menjabarkan bahwa pelekatan nilai identitas
kolektif berdasarkan konstruksi budaya ekonomi lokal erat kaitannya
dengan konsep ilmu pengetahuan pribumi, di mana konteks pembangunan
terhubung dengan pengetahuan yang dimiliki secara kolektif oleh
penduduk setempat berisikan pemahaman tentang dunia yang terbentuk
secara budaya tentang pemahaman yang tertanam dalam seseorang sejak
dia lahir yang membentuk pola interaksinya dengan lingkungan. Hal
tersebut berbasiskan pada masyarakat, tertanam dan dikondisikan
oleh tradisi lokal. Pembangunan mempertemukan tradisi lokal dan
modenisasi yang dibawa dari luar. Sahlins (2005: 34-35) menyatakan
bahwa tradisi tidak statis dalam hal ini dan bertentangan dengan
'modernitas'. Dewasa ini, 'tradisional' paling banyak dirujuk pada
suatu modus perubahan budaya yang merupakan karakteristik dari
perluasan pinggiran dari aturan kapitalis global. Tradisi lokal
secara terus menerus berinteraksi dengan proses globalisasi beserta
nilai-nilai dan praktek modern. Tulisan ini bermaksud
mendeskripsikan perubahan sosial dari model budaya, khususnya
konsep ekologis yang terbentuk di kalangan masyarakat Hubula di
lembah Palim, Papua. Lebih jauh tulisan akan menelusuri pergulatan
tradisi lokal Hubula yang berkaitan dengan ekologis ini menghadapi
arus pembangunan yang dibawa dari luar.
Stigmatisasi, inferiority complex dan modernisasiHubula, sebagai
bagian dari masyarakat Papua secara keseluruhan memiliki
tingkat
keamanan manusia yang rendah sebagaimana yang dideskripsikan
oleh badan pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNDP). Ini
mengindikasikan rendahnya akses terhadap hak-hak dasar, terutama
yang berkaitan dengan penyebab ketidakamanan dalam kerangka
pembangunan manusia seperti ekonomi, keuangan, pangan, kesehatan,
lingkungan, keamanan pribadi, jender, masyarakat dan politik. Unsur
budaya tidak disebutkan secara eksplisit dalam parameter tersebut
di atas. Dalam hal ini, Hubula sebagai bagian dari masyarakat
pribumi dari pegunungan Papua kerap disebut sebagai kelompok garis
keras yang menentang pemerintah Indonesia. Banyak areal di wilayah
pegunungan ini dilabelkan sebagai 'daerah merah' yang dianggap oleh
aparat keamanan
3
-
sebagai basis Organisasi Papua Merdeka. Dengan alasan tersebut,
akses ke wilayah tersebut terbatas termasuk bagi para peneliti dan
jurnalis.Stigmatisasi masyarakat pegunungan Papua ini diperkuat
oleh beberapa stereotipe negatif yang klasik. Hubula dikatakan
sebagai masyarakat yang terisolasi dan terpencil (Koentjaraningrat
et al. 1993), primitif (Soepangat 1986: 144-145), orang jaman batu
atau Stone Age people (Dekker and Neely 1996), kanibal (Hitt 1962,
Meiselas 2003: 38-39), gemar berperang (Meiselas 2003: 62; cf.
Schoorl 2001: 66), serta tidak mampu untuk hidup secara damai dan
harmonis (Schoorl 2001: 79-83).
Stigmatisasi ini berdasarkan pada persepsi yang meletakkan
Hubula dalam posisi inferior, yang mengantar mereka ke arah
marjinalisasi dan pemaksaan pendekatan teknis oleh agen pembangunan
yang mengedepankan teknologi modern ketimbang pengetahuan dan
nilai-nilai yang dimiliki Hubula dalam proses perubahan sosial.
Secara implisit, pendekatan teknis murni ini (purely technicist
approach) tidak mengindahkan hak-hak budaya masyarakat
Hubula.Kondisi yang terjadi dalam proses perubahan sosial di
kalangan Hubula ini mengilustrasikan argumen Sahlins (1990: 79)
bahwa agen pembangunan menggunakan rasa superioritas dan teknologi
untuk mempermalukan masyarakat pribumi dalam melalui perubahan
sosial. Peristilahan macam budaya, keterbelakangan, pembangunan,
kemajuan dan modernisasi digunakan dengan nada mempermalukan. Para
penggiat pembangunan menganggap bahwa aksi mempermalukan tersebut
merupakan langkah penting dalam pembangunan ekonomi, dan suatu
prekondisi yang diperlukan untuk mencapai ekonomi 'lepas landas'.
Aksi mempermalukan memutus siklus reproduksi dan ekspansi dalam
pembangunan dengan jalan meyakinkan kelompok masyarakat tentang
ketidakberhagaan budaya mereka dan menumbuhkan rasa rendah diri
menyeluruh (global inferiority complex) yang mendorong mereka untuk
secara aktif berubah (1992a: 24)2. Ungkapan yang sering diutarakan
Hubula yang menggambarkan pergulatan mereka dalam proses perubahan
sosial adalah pagar hidup telah terbongkar (eyuu...leget misalaga
yire). 'Pagar' digambarkan Hubula sebagai parameter identitas
kelompok (in-group dan out-group). Hubula yang keluar dari jalur
leluhur dianggap 'di luar pagar' (leget itigma) sedangkan yang
mengikuti jalur leluhur dianggap 'di dalam pagar' (leget akmake).
Dinamika persinggungan antara jalur leluhur dengan agen perubahan
sosial dari luar lembah Palim menghasilkan kondisi 'pagar' di
atas.
Jalur leluhur sebagai landasan ekologis Strategi yang digunakan
dalam perang, teknik memancing, keterampilan berorasi serta
pola
pertukaran disebut jalur (path). Namun demikian, jalur juga
meliputi hubungan yang terjalin, pola relasi dan asosiasi antara
orang, kelompok dan unit politik yang diciptakan oleh aksi tertentu
di
2 Sebagaimana dikutip dalam Robbins 2005: 4, 10-11.
4
-
masa lalu. Hal ini juga secara implisit mencakup kemungkinan dan
kewajiban guna mengikuti jalur pertukaran dalam pernikahan, kerja
sama dan kompetisi (Parmentier 1987: 109). Aplikasi ide ini ke
dalam konteks Hubula memungkinkan kita melihat bahwa jalur leluhur
(the ancestors path) yang berdasarkan pengalaman hidup mereka,
membentuk latar belakang sejarah obyek dan tempat yang dianggap
sakral dan tabu. Mitos Hubula berfungsi sebagai model bagi
perilaku, dan Hubula melihat sejarah dan mitos sebagai kerangka
acuan bagi aksi di masa depan (cf. Itlay et al.1993: 21). Oleh
karena itu, maka dalam rangka memahami struktur masyarakat Hubula
kita hendaknya menyadari bahwa landasan jalur bagi aksi diletakkan
oleh cerita leluhur yang meliputi moiety, mitos dan perang
tradisional.
Figur 01. Zone teritorial Hubula secara fungsional (Yayasan Bina
Adat Walesi 2003)
Landasan ekologis Hubula secara sosial budaya meliputi
pengharagaan holistik Hubula terhadap pelbagai elemen yang ada di
lingkungan tanah ulayat. Ini termasuk menghargai relasi dengan
tanah, sumber daya alam dan binatang dalam konsep eksploitasi dan
ekonomi : (a) seluruh tumbuhan dan binatang memiliki hak sama
dengan manusia dalam menduduki tanah (ika oka sue hageo aroma ewe
apuni), (b) hanya berburu binatang di zone yang diizinkan, (c)
tempat di dataran paling tinggi merupakan habitat para leluhur dan
ruh penunggu tanah (hunkepu) sehingga menjadikannya sebagai zone
bebas ekploitasi, (d) makin rendah ketinggian, makin terbuka untuk
eksplotasi dan peranan gender, (e) Menghormati yang bersemayam di
dunia ruh (mokatma), misalnya makhluk yang menanam, memelihara dan
melindungi pohon (oi yare). Ikatan yang kuat terjalin bukan hanya
antara Hubula, para ruh, binatang, tanaman serta para penghuni
lainnya, namun juga antara Hubula dengan tanah ulayat itu
sendiri.Ketidakterpisahan Hubula dengan tanah diungkapkan dengan
relasi kekerabatan (kinship) langit adalah bapak, sementara tanah
adalah ibu
5
-
(pogot ninopase nen agat ninagosa), serta identifikasi diri
Hubula adalah sebagai manusia dari Palim (akhuni palim meke). Siapa
saja yang menjual tanah ulayat dianggap bertindak tidak hormat
terhadap ibu sendiri dan melanggar aturan adat leluhur. Oleh sebab
ini, maka tanah ulayat secara prinsip tidak terpisahkan dari
Hubula.
Hubula tidak mengenal status tanah tidak bertuan karena mereka
percaya bahwa seluruh alam di lembah Palim termasuk gunung, lembah,
sungai, tanah, hutan, batu dan lain sebagainya, milik akenak werek
(secara harfiah berarti tanahku berada). Status akenak werek
meliputi segenap teritorial Hubula termasuk zone ekologis. Mitos
tentang sejarah eksplotasi tanah ulayat dan lahirnya status akenak
werek adalah sebagai berikut: Pada saat itu ada satu dari wita dan
waya datang dari arah selatan dan menempati satu lokasi dan
mengklaim bahwa itu tanahnya dengan cara menyalakan api dan
merokok. Selanjutnya membuat kebun, dan selanjutnya orang lain
membuat perkampungan dan membuka lahan. Pada saat pertama ditempat,
mereka potong babi dan percikkan tanah dan bilang bahwa tanah ini
saya yang punya. Selanjutnya setelah lama satu klen berkembang
menjadi lebih banyak dan tinggal di lokasi tersebut.
Setiap batas wilayah memiliki cerita leluhur tersendiri. Menurut
tetua Hubula, setiap tempat, setiap pojok, setiap sudut di lembah
Palim mengandung cerita leluhur yang perlu dilestarikan. Narasi ini
tampak dalam sepanjang tanah serta lingkungan sekitarnya di lembah
Palim. Narasi leluhur merupakan representasi emik dari topografi
lembah Palim sekaligus eko-kosmologis antara Hubula dengan
tanahnya. Para leluhur yang digambarkan dalam narasi adalah pemilik
tanah, lembah, sungai, batu, hutan dan segenap yang dihasilkannya
(akenak werek) , sementara keturunannya dengan pasangan moiety nya
merupakan penjaga yang memelihara tanah leluhur. Setiap anggota
garis keturunan akenak were memahami batas-batas teritorial yang
diwarisi dari generasi ke generasi. Pewarisan ini bersifat
permanen, tidak dapat diganggu gugat, tidak dapat diambil alih atau
tukar ganti. Para pemimpin honai adat mewakili akenak werek
sehingga hanya lelaku dewasa Hubula yang telah diinisiasi yang juga
anggota dari honai adat adalah penjaga/wali tanah ulayat.
Ekologis berbasis sosial budaya (ethno-ecology) di lembah Palim
mengilustrasikan ketidakterpisahan antara identitas Hubula dengan
tanahnya, serta penyatuan dunia material dan non material leluhur.
Tanah bermitos di mana Hubula dan makhluk hidup lainnya di lembah
Palim menunjukkan bahwa para leluhur berdaulat secara kosmologis di
sana, dilokalisasikan dalam tanah melalui pemercikan darah dari
kurban babi. Kurban babi memegang peranan penting di kalangan
Hubula. Tanah leluhur dilegitimasi melalui percikan darah babi (wam
mep) sebagai bagian upaya menghadirkan leluhur (yerebo). Setiap
upacara adat Hubula guna menegaskan status tanah leluhur
membutuhkan kehadiran leluhur tersebut. Percikan darah babi
menunjukkan hadiah pengorbanan
6
-
(sacrificial gift) demi akses terhadap kesuburan, tanah serta
produktivitasnya.
Tanah ulayat pembentuk kesuburan hidup bersama Jalur leluhur
melekat pada obyek sakral, tanah leluhur dan sumber daya alam yang
ada di
lembah Palim, sehingga pengelolaannya senantiasa merujuk pada
narasi leluhur. Ini termasuk memprioritaskan para leluhur melalui
upacara adat dan menghormati segenap obyek dan wilayah sakral.
Relasi antara Hubula dengan para leluhurnya dan ruh diproyeksikan
terhadap relasi ekologisnya serta digunakan sebagai parameter dalam
nilai ekonomi dari tanah beserta hasil alam. Ekonomi merupakan
bagian kecil dari sebuah siklus yang lebih panjang, di mana segala
yang dihasilkan dari tanah leluhur dikembalikan pada para
leluhur.Hal ini terlihat pula dari upacara adat yang dilakukan
selama masa cocok tanam.
Berdasarkan alasan ini, maka relasi antara Hubula dengan tanah
leluhurnya bukan relasi kepemilikan, melainkan relasi identitas.
upacara adat yang dilakukan Hubula menegaskan penilaian mereka
terhadap relasinya dengan para leluhur yang melebihi kepentingan
ekonomi: tanah bukanlah properti dan tidak seharusnya diperlakukan
sebagai komoditas. Pemaknaan cerita atau 'jalur' leluhur bagi
Hubula diterjemahkan ke dalam ruang lingkup yang lebih kecil yakni
rumah tangga. Hubungan antara Hubula dengan cerita para leluhurnya
terlihat dari pelbagai bentuk obyek yang terdapat di tempat tinggal
baik sebagai artefak atau obyek sakral maupun makhluk hidup. Hubula
memaknai nilai tempat tinggal secara keseluruhan melalui upaya
memelihara 'jalur' leluhur.
Para leluhur memegang otoritas utama yang mempengaruhi ruang
hidup dan kesejahteraan para mahluk yang bertempat tinggal di atas
tanah ulayat Hubula. Ini merupakan argumen mendasar yang membuat
tanah beserta sumber daya alam di lembah Palim sebagai wilayah
kediaman leluhur. Relasi Hubula dengan para peluhurnya
diproyeksikan terhadap tanah, serta direfeleksikan dalam tata cara
pengelolaannya. Evans-Pritchard (1956) menunjuk pada unsur
penebusan dalam upacara pengorbanan masyarakat Nuer untuk
mendapatkan perlindungan dari para leluhur. Namun demikian, dalam
konteks Hubula, upacara adat ini bertujuan untuk mendapatkan
perlindungan sekaligus mencegah amarah dari para leluhur. Melanggar
jalur leluhur dalam pengelolaan tanah ulayat beserta hasil alamnya
akan mendatangkan kemarahan para leluhur yang pada akhirnya akan
menyebabkan menurunnya tingak kesuburan hidup. Dapat dikatakan
bahwa ksejahteraan (well being) Hubula dan segenap mahluk di lembah
Palim tergantung pada keseimbangan kosmologis, terutama relasi
dengan para leluhur. Hubula senantiasa memposisikan diri di bawah
kekuasaan para leluhur , dan melalui upacara adat mereka memelihara
hubungan hutang budi yang tak kunjung habis terhadap leluhur atas
kesuburan yang didapat dari mereka. Relasi yang harmonis dengan
para leluhur dan ruh menghasilkan perlindungan, dukungan dan
kelangsungan kesuburan; sebaliknya,
7
-
relasi yang tidak harmonis dengan para leluhur akan mengantarkan
mereka pada ketidakberuntungan dan ketidaksuburan. Para leluhur
dapat melindungi atau mengancam kesejahteraan Hubula. Tanah
merupakan milik leluhur dan kesuburan Hubula serta akses terhadap
tanah tergantung pada relasi dengan para leluhur. Para penerus
garis keturunan memelihara hubungan tersebut di atas melalui
upacara adat dan relasi baru yang terbangun di masa kini sepatutnya
bertujuan untuk memperkuat relasi awal yang dibangun leluhur.Dalam
hal ini, posisi subordinat Hubula terhadap para leluhur pemilik
tanah ulayat menegaskan argumen De Coppet (1981) dan Williams
(1986) bahwa masyarakat mengasosiasikan tanah bermitos (mythical
land) bukan sebagai pemilik atau warga penghuni, akan tetapi
sebagai organik atau komponen spiritual dari tanah dan kekuatan
yang terkandung di dalamnya dimana 'tanah bermitos memiliki
penduduknya' dan bukan sebaliknya.3
Figur 02. Penyembuh tradisional (ubule) saat melalukan upacara
adat penyembuhan terhadap seorang pasien yang terganggu akibat
kemarahan akenak werek
3 Abramson (2000: 8-9) mengutip De Coppet (1981) dan Williams
(1986). Penduduk Indonesia timur juga merupakan bagian dari tanah
atau 'para pemilik' wilayah alam. Cf Visser (1989: 12, 28) dan
Platenkamp (1988: 112, 115).
8
-
Figur 03. Akenak werek berhak secara tunggal terhadap produksi
tanah yang dapat dilihat dari persembahan berupa pemercikan darah
babi di awal periode cocok tanam, pemeliharaan babi adat
sepanjang
periode cocok tanam serta petatas hasil panen pertama yang
ditaruh di atas tanah.
Tanah ulayat sebagai bagian dari lanskap
Pepatah Hubula 'memegang erat hidup yang baik dengan tangan
kita' (niniki hano rogo fago dogosak) mencerminkan pandangan hidup
berdasarkan pada 'ibu' atau tanah ulayat yang menghasilkan petatas
(hipere), yang memungkinkan untuk memelihara babi (wam) yang pada
saatnya digunakan sebagai mas kawin. Pengantin perempuan kemudian
melahirkan anak-anak yang akan melindungi jalur leluhur dan menjaga
tanah ulayat. Seluruh elemen ini dalam siklus ini saling terkait,
tak terpisahkan dan saling ketergantungan, di mana ancaman terhadap
satu elemen akan mempengaruhi seluruh elemen yang ada. Pentingnya
tanah ulayat jelas terlihat sebagaimana diungkapkan Hubula, tanpa
tanah ulayat tidak akan ada petatas atau bahkan ruang untuk
melindungi jalur leluhur. Tanpa tanah ulayat, tidak akan ada babi
atau Hubula, atau kehidupan. Ritus peralihan Hubula (rites of
passage ) memerlukan partisipasi para pemimpin honai adat,
pengorbanan babi adat serta jenis petatas tradisional seperti
helalekue lama, arugulek, musaneken, hulok, hoboak, and
bogoreken4.
4 There are some other traditional sweet potatoes that are used
to feed the pigs, including opem, ouluk, duak, musan, mikmak. The
differences between new and old (traditional) sweet potato
cultivars include the persistent stem after harvest. Stems of old
sweet potato cultivars do not dry out quickly after harvest and
keep on producing new shoots until they are utilized as new
planting material or fed to the pigs. The stems of new cultivars
usually do not produce new shoots after harvest (Widyastuti, et.al.
2002: 152, 154-155).
9
-
Strathern menekankan pentingnya peranan babi bagi masyarakat
Maring di Papua Nugini dalam produksi dan ritual pertukaran yang
bertujuan mendapatkan dukungan dari para leluhur (Strathern 1983:
79). Di lain pihak, Hubula melihat ketergantungan antara tanah
ulayat, Hubula, petatas dan babi sebagai simbol perwujudan dari
totalitas kosmos. Tanah ulayat diletakkan dalam kerangka lanskap
ketimbang unsur terpisah. Lanskap juga sekaligus merupakan peta
tofografi, suatu penafsiran kosmologis (cosmological exegesis),
suatu lanskap klen (clanscape), serta suatu entitas ritual dan
politik (Barnard and Spencer 2002: 323). Lanskap tidak pernah
pasif. Masyarakat terlibat pembentukan di dalamnya. Lanskap
merupakan bagian di mana identitas diciptakan dan diperebutkan,
baik oleh individu, kelompok maupun negara. Oleh karena bekerja
dalam persimpangan sejarah dan politik,relasi sosial dan persepsi
budaya, lanskap merupakan konsep yang menciptakan ketegangan
(Barnard and Spencer 2002: 324). Lanskap di mana Hubula hidup dan
bekerja di lembaah Palim adalah sebagai berikut:
Figur 04. Siklus Hubula dalam membangun perikehidupan yang
berkesinambungan
Perang tradisional sebagai landasan ontologis struktur sosial
Tanah bagi masyarakat Melanesia bukan semata aset ekonomi namun
salah satu aspek
fundamental bagi organisasi sosial politik yang menyokong
kelanjutan eksistensi masyarakat setempat (Silitoe 2000:
86-88).Tanah ulayat Hubula berkaitan erat dengan upacara adat
Hubula yang terhubung dengan sejarah perang tradisional, obyek
sakral/simbol leluhur, pemimpin adat penjaga jalur leluhur
(kanekela) serta pengorbanan babi. Dalam periode masa lalu, perang
tradisional Hubula telah digambarkan sebagai aksi kekerasan yang
berfungsi membentuk karakter Hubula serta merupakan landasan
kebanggaan bersama (cf. Heider 1970; Koentjaraningrat 1993). Namun
demikian, pandangan ini tidak mencakup fakta bahwa melalui upacara
adat, perang tradisional adalah media pertukaran kekerasan (an
exchange of violence) secara kosmologis antara
10
Sweet potatoes (hipere) Pig (wam)
HubulaLand (agat)
-
identitas leluhur (intra ancestral identities) di mana pada saat
yang sama membentuk landasan struktur sosial Hubula. Perang
tradisional yang diupacara adatkan ini merupakan mekanisme internal
yang berlaku eksklusif bagi Hubula di lembah Palim guna mencapai
tingkat kesuburan yang dikehendaki. Perang tradisional Hubula
menghasilkan simbol leluhur (ancestral emblem) yang mendasari
kategori sosial yang membentuk empat aspek masyarakat Hubula. Aspek
pertama, yakni lahirnya obyek sakral berupa simbol leluhur.
Pertukaran kekerasan yang terjadi dalam perang tradisional dimulai
dengan pengambilan simbol leluhur dari korban dari pihak musuh yang
gugur dalam pertempuran yang dinamakan apwarek. Dalam saat yang
sama, kaneke dibuat sebagai tanda penghargaan yang diberikan kepada
leluhur yang gugur dalam medan pertempuran.
Kedua simbol leluhur di atas adalah obyek sakral bagi Hubula
yang juga melandasi pembentukan aspek kedua, yakni unit ritual
(kanekela) beserta pemimpinnya (yaman, metek and apisan), yang
sekaligus berstatus sebagai penjaga jalur leluhur dan tanah ulayat
serta bertugas melegitimasi upacara adat Hubula melalui pengorbanan
babi. Setiap kanekela dipimpin oleh tiga kelompok pemimpin kanekela
yang terbentuk dari sejarah perang tradisional: sang penjaga
(yaman), sang pengatur (metek) dan sang pemerintah (apisan). Ketiga
posisi ini berdasarkan kronologis leluhur yang yang gugur dalam
sejarah perang tradisional. Leluhur pertama yang gugur menjadi yang
tertua (yaman), yang kedua menjadi metek dan ketiga menjadi apisan.
Apabila ada korban gugur yang keempat biasanya dikategorikan
sebagai yaman. Dan begitu seterusnya. Kepemimpinan tradisional ini
mencerminkan keterlibatan para leluhur selaku pemilik tanah ulayat
(akenak werek) lebih dari pada campur tangan perseorangan.
Aspek ketiga adalah pola relasi yang terbentuk dari hasil
aliansi dalam perang tradisional adalah hutang sosial atau balas
budi (social debt) yang menentukan relasi kekerabatan yang nyata
dan semu di antara anggota kanekela, preferensi dalam pernikahan
dan akses terhadap tanah ulayat beserta hasil alamnya. Di saat yang
sama lahir pula status 'musuh abadi' (silimeke), kelompok lawan
saat perang tradisional di mana 'pihak lain' permanen
didefinisikan. Sejatinya, batas dengan kelompok luar (out-group)
tidak dapat dirubah. Baik relasi hutang sosial maupun musuh abadi
menghasilkan pola pertukaran yang unik.
Aspek keempat, kejelasan identitas leluhur sebagaimana terwujud
dalam benda-benda sakral merupakan landasan (ero; akar) dari
struktur sosial Hubula serta unsur penting dalam mencapai
kesuburan. Beberapa mantera yang diucapkan pada saat upacara adat
Hubula adalah berdasarkan harane (secara harfiah diartikan sebagai
suara raja), suatu permohonan terhadap para leluhur yang merancang
startegi dalam pertempuran (wim awok ikerekmeke). Kejelasan sejarah
pertempuran tertentu (misalnya siapa taun perang yang merencanakan
pertempuran dan siapa yang mengugurkan lawan) menentukan keaslian
mantera tersebut. Keempat aspek tersebut di atas membentuk
argumen
11
-
bahwa perang tradisional Hubula merupakan landasan ontologis
struktur sosial Hubula yang berperan terhadap pencapaian kesuburan
bersama. Para pemimpin honai adat di atas (kanekela) terus berupaya
melalui upacara adat guna memperkuat relasi yang terwujud dalam
simbol leluhur dan menjinakkan leluhur lawan. Para pemimpin
kanekela (yaman, metek and apisan) adalah jembatan leluhur antara
peradaban dan wilayah ruh yang diciptakan melalui pengorbanan babi.
Bagi Hubula, pengorbanan babi dengan puncak upacara adat yakni
pemercikan darah babi di atas tanah ulayat membawa inti sari
kehidupan bagi seluruh makhluk di tanah leluhur di lembah
Palim.
Pada dasarnya, keempat aspek tersebut di atas memperlihatkan
bahwa seluruh pola relasi Hubula, baik secara kosmologis,
sosio-budaya dan ekologis, maupun relasi sosial di antara anggota
masyarakat Hubula berakar dari sejarah perang tradisional. Secara
singkat, konflik dalam bentuk perang tradisional berkaitan dengan
konsep kesuburan hidup sebagaimana terwujudkan dalam kondisi tanah
ulayat, produktivitas kebun dan kemakmuran manusia dan babi
peliharaan.
Figur 05. Pemercikan darah babi di atas tanah ulayat setelah
'melepaskan' tanah ulayat pada Perusahaan Air Minum (PAM). upacara
adat yang dilakukan menegaskan leluhur sebagai pemilik tunggal
tanah ulayat
(akenak werek) serta ikatan tak terpisahkan antara Hubula, tanah
ulayat dan para leluhur.
Alienasi tanah ulayat: relasi identitas versus komodifikasi
Kerangka hukum tentang tanah ulayat di Indonesia melihat tanah
sebagai entitas terpisah dari masyarakat pribumi. Sebagaimana yang
dijabarkan dalam Peraturan Dasar Agraria (Basic Agrarian Act, atau
BAA) tahun 1870 yang dirumuskan oleh pemerintah kolonial Belanda,
hutan merupakan lahan tidak produktif atau tanah tak bertuan (no
man's land) dan dikuasai oleh negara. Peraturan ini mengizinkan
warga asing untuk mencicil tanah dari pemerintah dalam jangka
waktu
12
-
lama dalam rangka investasi praktis dan menyewa menyewa tanah
dari masyarakat pribumi. Kebijakan ini dilanjutkan oleh pemerintah
Indonesia dalam Hukum Pokok Agaria 1960. UU No.44/1999 tentang
kehutanan mempertimbangkan hutan adat sebagai bagian dari
kepemilikan hutan secara nasional, hanya mengakui sebagai hutan
yang dimiliki privat atas nama individu.
Meskipun Hukum Pokok Agraria di atas secara eksplisit memaparkan
bahwa relasi antara masyarakat dengan tanah ulayatnya bukanlah
relasi kepemilikan atau properti, namun tetap mengakui kepemilikan
individu. Undang-Undang Republik Indonesia No.5/1960 tentang
Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, Pasal 2 ayat 4 menyatakan Hak
menguasai dari Negara tersebut diatas pelaksanaannya dapat
dikuasakan kepada daerah-daerah Swatantra dan masyarakat-masyarakat
hukum adat, sekedar diperlukan dan tidak bertentangan dengan
kepentingan nasional, menurut ketentuan-ketentuan Peraturan
Pemerintah.
Verifikasi legal status tanah ulayat berdasarkan pada kesaksian
lisan dari para pemimpin dan tetua adat, dan banyak tanah ulayat
belum terdaftar di kantor pemerintah karena persepsi pada umumnya
bahwa hukum adat telah ada sebelum kedatangan pemerintah. Meskipun
TAP MPR No XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia atau HAM, pasal
41 menyatakan bahwa Identitas budaya masyarakat tradisional,
termasuk hak atas tanah ulayat dilindungi, selaras dengan
perkembangan zaman, akan tetapi pada kenyataannya hak-hak adat
terhadap tanah ulayat kerap tersubordinasi oleh sertifikat
kepemilikan secara legal.
Aplikasi legal terhadap tanah ulayat berarti bahwa pemerintah
memiliki otoritas untuk mengaturnya. Pada bulan December 1956,
Frits Veldkamp, kepala administratif dari pemerintah kolonial
Belanda (Hoofd van Plaatselijk Bestuur or HPB) yang pertama tiba di
lembah Palim berasama dengan 15 orang lainnya, kebanyakan berasal
dari daerah pesisir Papua. Berlandaskan argumen tanah tak bertuan,
mereka menerapkan program pembangunan seperti pembukaan landasan
pacu pesawat terbang yang pertama (cikal bakal bandara udara kota
Wamena). Pada periode berikutnya, pemerintah Indonesia
mendefinisikan tanah ulayat Hubula sebagai milik negara. Hal
tersebut dapat dilihat dari Badan Pertanahan Nasional (BPN) di kota
Wamena dalam mengatasi urusan pertanahan. Salam satu penyebab
konflik pertanahan di lembah Palim, menurut BPN adalah kurangnya
kesadaran hukum masyarakat dalam mendaftarkan tanah secara legal.
Namun demikian, persepsi ini hanya menyentuh segi kepemilikan namun
tidak mengakomodir tanah ulayat dalam konteks identitas.
Pendaftaran tanah ulayat secara legal dapat berdampak negatif.
Stewart and Strathern (1999: 190) mendeskripsikan perlawanan di
Mount Hagen terhadap usulan untuk mendaftarkan tanah adat, dengan
anggapan bahwa mengurangi penggunaan tanah atas nama perseorangan
akan membuka kemungkinan adanya alienasi terhadap tanah. Studi
kasus dari Sinakma di lembah Palim,
13
-
mengilustrasikan hal tersebut. Kasus ini berkisar tentang
konflik yang dihasilkan dari pengaplikasian aturan hukum
pemerintah, yang mengarah pada proses alienasi tanah ulayat Hubula
kepada pihak luar, serta transfer berikutnya kepada para pihak
lainnya. Pada tahun 1962, perwakilan dari badan misionaris
Protestan dari Amerika yakni Christian and Missionary Alliance
(CAMA) membuat kontrak dengan pemerintah kolonial Belanda untuk
menyewa tanah ulayat Hubula yang dianggap sebagai tanah tak bertuan
dan telah dikompensasi dengan sejumlah kulit kerang (cowry shells).
Pada tahun 1963, seiring dengan penyerahan New Guinea dari pihak
Belanda pada Indonesia, tanah tersebut diakuisisi oleh pemerintah
Indonesia. Sejak saat itu, kepemilikan tanah ulayat termaksud
berpindah-pindah kepemilikan, mulai dari Dinas Peternakan,
pemerintah Kabupaten, dan perusahaan listrik negara. Kepemilikan
tanah ini juga merambah ruang lingkup perseorangan dengan adanya
klaim dari beberapa kelompok klen Hubula sampai dengan konflik
horisontal antar anggota masyakarat (Hubula dan non Hubula).
Kompleksitas status kepemilikan menjadi rumit dengan peralihan dari
banyak pihak tanpa didukung dokumen legal yang layak serta
kesenjangan persepsi antara pemerintah dan Hubula tentang status
tanah ulayat.
Komoditas digunakan sebagai kompensasi terhadap tanah ulayat
Hubula. Sebelum Hubula diperkenalkan dengan uang tunai, pelbagai
komoditas lain digunakan seperti alat pertanian dan kulit kerang.
Pada perkembangan selanjutnya, kompensasi ini menghasilkan
individualisasi dan komodifikasi, bahkan konflik yang memakan
korban jiwa. Sebagai contoh terlihat dari kasus yang terjadi tahun
1960an di utara lembah Palim, saat misionaris Katolik dari Belanda
memberikan kompensasi dalam bentuk alat pertanian dan kulit kerang
untuk sebidang tanah ulayat di bagian utara lembah Palim. Bangunan
sekolah dibangun di atas tanah ulayat tersebut yang sejatinya
adalah wilayah jalur leluhur yang sakral. Oknum Hubula yang
menerima kompensasi tersebut di atas melakukan serah terima secara
diam-diam tanpa memberitahukan anggota masyarakat Hubula lainnya.
Meskipun pembangunan sekolah mendapat sambutan tidak hangat dari
masyarakat Hubula sekitar, namun misionaris yang bertugas
melanjutkan proses pembangunan karena merasa telah berhak atas
tanah setelah pemberian kompensasi. Kemarahan anggota masyakarat
memuncak dan berakhir dengan terbunuhnya guru sekolah berasal dari
Fak Fak yang dipekerjakan oleh misionaris Belanda.
Program pembangunan berjalan seiring dengan alienasi tanah
ulayah di lembah Palim. Selain kompensasi berupa komoditas,
pemerintah kolonial Belanda dan misionaris merasa berhak atas tanah
ulayat karena telah melaksanakan program pembangunan. Di lain
pihak, pemerintah Indonesia menggunkan program pembangunan yang
ditetapkan dari pusat, sebagai salah satu solusi penyelesaian
sengketa tanah ulayat. Pendirian kantor Lembaga Ilmu Pengetahuan
Indonesia (LIPI) pada tahun 1988 di lembah Palim bertujuan untuk
mengatasi konflik sengketa tanah ulayat akibat
14
-
klaim dari Hubula terhadap tanah ulayat yang digunakan sebagai
bandara udara Wamena. Misi pembangunan dengan teknologi tepat guna
yang diemban LIPI beserta para ahli tekniknya dianggap sebagai
kompensasi atas tanah ulayat. Para ahli teknik yang dikerahkan
dalam misi ini berfokus pada pencapaian hasil yang dapat diterapkan
ketimbang memperhatikan proses-proses budaya itu sendiri (cultural
processes). Pembangunan yang dilakukan dari sudut pandang
pertumbuhan ekonomi dan modernisasi ini juga bertujuan untuk
membuat penduduk Wamena guna mengakui keberadaan dan otoritas
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Proses alienasi tanah ulayat berlanjut dengan komodifikasi
berupa kompensasi tanah ulayat dengan uang tunai dan dalam beberapa
kasus, deskaralisasi jalur leluhur. Beberapa studi kasus
menunjukkan bahwa mengkorelasikan tanah ulayat dengan uang tunai
menghasilkan dinamika internal antara anggota masyarakat Hubula.
Banyak tanah ulayat yang telah 'dilepas' dengan kompensasi uang
tunai, mengalami sengketa berkelanjutan karena banyak pihak datang
silih berganti mengaku sebagai yang berhak atas tanah ulayat
tersebut dan mengklaim kompensasi. Selain dari meningkatnya
individualisasi yang mengarah pada 'manusia ekonomis yang ideal'
terlepas dari relasi sosial (lihat bagian awal tulisan ini),
kesenjangan persepsi tentang nilai tanah ulayat terjadi antara
kelompok Hubula dari generasi yang berbeda. Nilai ekonomi berpola
konsumtif berbenturan dengan nilai idealis-spiritual dari tanah
ulayat. Namun demikian, dalam beberapa kasus, logika ekonomi-hadiah
(gift economy) berjalan bersama dengan logika komoditas (commodity
economy).Sebagai contoh adalah kasus 'pelepasan' tanah ulayat
berikut sumber mata air di Napua bagi proyek Perusahaan Air Minum
(PAM). Dari kaca mata pihak luar memandang bahwa persoalan tanah
ulayat itu sudah selesai ketika kompensasi berupa uang tunai
diserahakan pada Hubula yang mengakui sebagai akenak werek. Akan
tetapi, upacara adat yang dilakukan termasuk pemercikan darah babi
di atas tanah tanah ulayat tersebut menegaskan ketidakterpisahan
(inalienability) antara Hubula dan para leluhur. Dus, kemungkinan
terjadinya siklus klaim kompensasi atas tanah ulayat ini masih
terbuka selama belum ditemukan mekanisme penyelesaian yang
tepat.
Dialog antara konsep kesuburan hidup dengan kemajuan modern?
Konsep ekologis berbasis sosial budaya Hubula meletakkan tanah
ulayat dalam konteks
lanskap. Kesuburan hidup yang berakar dari relasi antara Hubula
dengan para leluhur dan dunia immaterial merupakan landasan dari
ekologis sosial budaya Hubula. Jalur leluhur yang terdapat dalam
lanskap tanah ulayat memiliki peranan penting dalam mencapai
kesuburan hidup Hubula. Penggunaan tanah ulayat beserta sumber daya
alam di lembah Palim berdasarkan prinsip-prinsip ekologis sosial
budaya yang memprioritaskan relasi kosmologis yang harmonis dari
pada
15
-
komodifikasi. Sejak pertemuan dengan pihak luar, Hubula telah
menyaksikan pergulatan kekuasaaan antara otoritas negara dan
lembaga agama di lembah Palim. Paradigma baru yang ditawarkan oleh
pemerintah dan gereja mencakup penggantian pandangan tradisional
Hubula yang menyeluruh dengan konsep kemajuan modern yang
menyangkal jalur leluhur. Hal ini mendorong adanya pelbagai
kampanye dalam bentuk program pembangunan guna meningkatkan
pertumbuhan ekonomi. Bagi Hubula, tanah ulayat adalah kunci menuju
reproduksi sosial, dan, menggunakan istilah Robbins dan Akin
(1999), telah ditunggalkan (singularised) atau dilindungi dari
komodifikasi. Konsep kepemilikan (ownership) yang dibawa oleh baik
pemerintah dan misionaris bertentangan langsung dengan ideologi
Hubula tentang perwalian (guardianship) atau penjaga tanah ulayat.
Hubula mempertahankan kesuburan hidup bersama melalui pemercikan
darah babi di atas tanah ulayat. Daya tahan Hubula dalam menghadapi
modernisasi bertujuan untuk melindungi relasi identitas tak
terpisahkan antara mereka dengan tanah ulayat dan para leluhurnya.
Beberapa studi kasus yang dimuat dalam tulisan ini menunjukkan
biaya kemanusiaan yang timbul akibat konflik yang dihasilkan oleh
ketidakseimbangan paradigma antara Hubula dan pelbagai agen
perubahan sosial. Dialog antara paradigma di atas patut di
pertimbangkan tanpa mengikutsertakan inferiority complex.
BibliografiAbramson, A.2000 Mythical Land, Legal Boundaries:
Wondering about Landscape and Other Tactics. In: A. Abramson
and D. Theodosspoulos (eds.), Land, law and Environment,
pp.1-30. London: Pluto.
Barnard, A. and J. Spencer (eds.) 2002 Encyclopedia of Social
and Cultural Anthropology. New York: Routledge.
Cernea, M.M. 1996 Social Organization and Development
Anthropology: the 1995 Malinowski Award Lecture.
Washington D.C: World Bank.
Dekker, J. and L. Neely 1996 Torches of Joy: a Stone Age Tribes
Encounter with the Gospel. Seattle: YWAM
Publishing.Evans-Pritchard, E.E.1956 Nuer Religion. Oxford:
Clarendon Press.
Gudeman, S.1986 Economic as Culture - Models and Metaphors of
Livelihood. London: Routledge and Kegan
Paul.2001 The Anthropology of Economy: Community, Market and
Culture. Malden, MA: Blackwell.
Heider, K.G.1970 The Dugum Dani - a Papuan Culture in the
Highlands of West New Guinea. Chicago: Aldine.
16
-
Herzfeld, M.2001 Anthropology: Theoretical Practice in Culture
and Society. Oxford: Blackwell.
Hitt, R.T. 1962 Cannibal Valley. New York: Harper &
Row.Itlay, S. and B. Hilapok1993 Kepribadian dan Kebudayaan Orang
Balim. In: A.S. Susanto-Sunario (ed.), Kebudayaan Jayawijaya
dalam Pembangunan Bangsa, pp. 20-40. Jakarta: Pustaka Sinar
Harapan.
Koentjaraningrat and V. Simorangkir (eds.)1993 Masyarakat
Terasing di Indonesia. Jakarta: Departemen Sosial, Dewan Nasional
Indonesia
untuk Kesejahteraan Sosial dan PT Gramedia Pustaka.
Lewis, D.2005 Anthropology and Development: the Uneasy
Relationship. In: Carrier,J.G. (ed.), A Handbook of
Economic Anthropology, pp. 472-486. Cheltenham: Edward
Elgar.
Meiselas, S. 2003 Encounters with the Dani. Gttingen: Steidl
Publishers.
Parmentier, R.J. 1987 The Sacred Remains - Myth, History and
Polity in Belau. Chicago: University of Chicago
Press.
Platenkamp, J.D.M. 1988 Tobelo: Ideas and Values of a North
Moluccan Society. Leiden: Repro Psychologie.Robbins, J. and
Robbins, J. and D. Akin (eds.)1999 Money and Modernity - State
and Local Currencies in Melanesia. Pittsburgh: University of
Pittsburgh Press .
Sahlins, M.2005 The Economics of Develop-man in the Pacific. In:
J. Robbins and H. Wardlow (eds.), The
Making of Global and Local Modernities in Melanesia-
Humiliation, Transformation and the Nature of Culture Change,
pp.23-42.Aldershot : Ashgate.
Schoorl, P.2001 Belanda di Irian Jaya - Amtenar di Masa Penuh
Gejolak 1945-1962. Jakarta: KITLV and Garba
Budaya.
Sillitoe, P.2002 Participant Observation to Participatory
Development- Making Anthropology Work. In: P. Sillitoe et
al. (eds.),Participating in Development: Approaches to
Indigenous Knowledge, pp. 1-23. London: Routledge.
Soepangat, S.1986 Indonesian School as Modernizer: a Case Study
of the Orang Lembah Baliem Enculturation. PhD
Dissertation, Florida State University.
Strathern, A.1983 Pigs and Politics in Papua New Guinea. Bikmaus
4(4): 73-79.
Visser, L.E.1989 My Rice Field is my Child - Social and
Territorial Aspects of Swidden Cultivation in Sahu,
17
-
Eastern Indonesia. Dordrecht: Foris.
Wardlow H. (eds.)2005 The Making of Global and Local Modernities
in Melanesia- Humiliation, Transformation and the
Nature of Culture Change. Aldershot : Ashgate.Widyastuti, C.A.,
et.al.2002 Dani Women's Knowledge On and its Contribution to
Maintenance of Sweet Potato in Baliem
Valley. In: R. Rao and D. Campilan (eds.), Exploring the
Complementarities of In Situ and Ex Situ Conservation Strategies
for Asian Sweetpotato Generic Resources, pp. 150-158. Serdang,
Malaysia: International Plant Genetic Resources Institute Regional
Office for Asia, the Pacific and Oceania (IPGRI-APO). [Proceedings
of the 3rd International Workshop of the Asian Network for
Sweetpotato Genetic Resources (ANSWER), Denpasar, Bali, Indonesia,
2-4 October 2001.]
18