BAB 2. TINJAUAN TEORI
1. DefinisiTerdapat beberapa spekulasi pendapat untuk istilah
lupus eritematosus. Kata lupus dalam bahasa Latin berarti serigala,
erythro berasal dari bahasa yunani yang berarti merah, sehingga
lupus digambarkan sebagai daerah merah sekitar hidung dan pipi,
yang dikenal dengan butterfly - shaped malar rash. Tetapi pendapat
lain menyatakan istilah lupus bukan berasal dari bahasa Latin,
melainkan dari istilah topeng perancis dimana dilaporkan wanita
memakainya untuk menutupi ruam di wajahnya. Topeng ini dinamakan
Loup,yang dalam bahasa perancis berarti serigala atau wolf dalam
bahasa InggrisLupus Eritematosus Sistemik (LES) adalah penyakit
reumatik autoimun yang ditandai adanya inflamasi tersebar luas,
yang mempengaruhi setiap organ atau sistem dalam tubuh. Penyakit
ini berhubungan dengan deposisi autoantibodi dan kompleks imun
sehingga mengakibatkan kerusakan jaringan (Utomo, 2012). Lupus
Eritematosus Sistemik merupakan suatu penyakit autoimun kronis yan
ditandai oleh terbentuknya antibodi-antibodi terhadap beberapa
antigen diri yang berlainan. Antibodi-antibodi tersebut biasanya
adalah IgG atau IgM dan dapat bekerja bertahap asam nukleat pada
DNA atau RNA, protein jenjang koagulasi, kulit, sel darah merah,
sel darah putih dan trombosit. Kompleks antigen antibodi dapat
mengendapdi jaringan kapiler dehingga terjadi reaksi
hipersensitivitas tipe III, kemudian terjadi peradangan
kronik.Lupus eritematosus sistemik (systemic lupus erythematosus)
(SLE) merupakan penyakit inflamasi autoimun kronis dengan etiologi
yang belum diketahui serta manifestasi klinis, perjalanan penyakit
dan prognosis yang sangat beragam (Perhimpunan Reumatologi
Indonesia, 2011). Penyakit ini terutama menyerang wanita (dengan
ratio wanita dan pria 5:1). Wanita yang sering mengalami LES adalah
wanita dengan rentang usia reproduksi (15-40 tahun) dengan angka
kematian yang cukup tinggi. Faktor genetik, imunologik, hormonal,
ras (sering ditemukan pada ras tertentu seperti bangsa negro, Cina)
serta lingkungan diduga berperan dalam patofisiologi SLE. Dalam 30
tahun terakhir, LES telah menjadi salah satu penyakit penyakit
reumatik utama di dunia. Prevalensi LES di berbagai negara sangat
bervariasi antara 2,9/100.000-400/100.000.
2. EtiologiMenurut Utomo (2012), etiologi penyakit LES masih
belum terungkap dengan pasti tetapi diduga merupakan interaksi
antara faktor genetik, faktor yang didapat dan faktor lingkungan.
Apapun etiologinya, selalu terdapat predisposisi genetik yang
menunjukkan hubungannya dengan antigen spesifik HLA (Human
Leucocyte Antigen) / MHC (Major Histocompatybility Complex). Defek
utama pada lupus eritematosus sistemik adalah disfungsi limfosit B,
begitu juga supresor limfosit T yang berkurang, sehingga memudahkan
terjadinya peningkatan autoantibodi. Resiko meningkat 25-50% pada
kembar identik dan 5% pada kembar dizygotic, menunjukkan kaitannya
dengan faktor genetik.Faktor lingkungan dapat menjadi pemicu pada
penderita lupus, seperti radiasi ultra violet, tembakau,
obat-obatan, virus. Sinar UV mengarah pada self-immunity dan
hilangnya toleransi karena menyebabkan apoptosis keratinosit.
Selain itu sinar UV menyebabkan pelepasan mediator imun pada
penderita lupus, dan memegang peranan dalam fase induksi yanng
secara langsung mengubah sel DNA, serta mempengaruhi sel
imunoregulator yang bila normal membantu menekan terjadinya
kelainan pada inflamasi kulit. Selain itu, kebiasaan merokok yang
menunjukkan bahwa perokok memiliki resiko tinggi terkena lupus,
berhubungan dengan zat yang terkandung dalam tembakau yaitu amino
lipogenik aromatik. Pengaruh obat salah satunya yaitu dapat
meningkatkan apoptosis keratinosit. Faktor lingkungan lainnya yaitu
peranan agen infeksius terutama virus dapat ditemukan pada
penderita lupus. Virus rubella, sitomegalovirus, dapat mempengaruhi
ekspresi sel permukaan dan apoptosis. Faktor selanjutnya yang juga
mempengaruhi yaitu faktor hormonal. Mayoritas penyakit ini
menyerang wanita muda dan beberapa penelitian menunjukkan terdapat
hubungan timbal balik antara kadar hormonestrogen dengan sistem
imun. Estrogen mengaktivasi sel B poliklonal sehingga mengakibatkan
produksi autoantibodi berlebihan pada pasien LES.3.
PatofisiologiPenyakit sistemik lupus eritematosus (SLE) tampaknya
terjadi akibat terganggunya regulasi kekebalan yang menyebabkan
peningkatan auto antibodi yang berlebihan. Gangguan imunoregulasi
ini ditimbulkan oleh kombinasi antara faktor-faktor genetik,
hormonal (sebagaimana terbukti oleh awitan penyakit yang biasanya
terjadi selama usia reproduktif) dan lingkungan (cahaya matahari,
luka bakar termal). Obat-obat tertentu seperti hidralasin
(Apresoline, prokainamid Pronestyl), isoniazid, klorpromazin dan
beberapa preparat antikonvulsan disamping makanan kecambah alfa
turut terlibat dalam penyakit SLE akibat senyawa kimia atau
obat-obatan. Pada lupus eritematosus sistemik, peningkatan produksi
auto antibodi diperkirakan terjadi akibat fungsi sel T-Supresor
yang abnormal sehingga timbul penumpukan kompleks imun dan
kerusakan jaringan. Inflamasi akan menstimulasi antigen yang
selanjutnya merangsang anti bodi tambahan, dan siklus tersebut
berulang kembali.Adanya satu atau beberapa faktor pemicu yang
mempunyai prediposisi genetik akan menghasilkan tenaga pendorong
abnormal terhadap sel T CD4+, mengakibatkan hilangnya toleransi sel
T terhadap self-antigen. Sebagai akibatnya muncul lah sel T
autoreaktif yang akan menyebabkan induksi serta ekspansi sel B,
baik yang memproduksi auto antibodi maupun yang berupa sel memori.
Wujud pemicu ini masih belum jelas. Sebagian dari yang diduga
termasuk didalamnya ialah hormon seks, sinar ultraviolet dan
berbagai macam infeksi.Pada SLE, antibodi yang berbentuk
ditunjukkan terhadap antigen yang terutama terletak pada
nukleoplasma. Antigen sasaran ini meliputi DNA, protein histon dan
non-histon. Kebanyakan di antaranya dalam keadaan alamiah terdapat
dalam bentuk agregat protein dan atau kompleks protein-RNA yang
disebut partikel ribonukleoprotein (RNA). Ciri khas auto antigen
ini ialah bahwa mereka tidak tissue-spesific dan merupakan komponen
integral semua jenis sel.Antibodi ini secara bersama-sama disebut
ANA (anti-nuclear antibody). Dengan antigennya yang spesifik, ANA
membentuk komplek imun yang beredar dalam sirkulasi. Kompleks imun
ini akan mengendap pada berbagai macam organ dengan akibat
terjadinya fiksasi komplemen pada organ tersebut. Peristiwa ini
menyebabkan aktivasi komplemen yang menghasilkan subtansi penyebab
timbulnya reaksi radang.Bagian yang penting dalam patogenesis ini
ialah terganggunya mekanisme regulasi yang dalam keadaan normal
mencegah automunitas patologis pada individu yang resisten. Onset
penyakit dapat spontan atau didahului oleh faktor presipitasi
seperti kontak dengan sinar matahari, infeksi virus/bakteri, obat
misalnya golongan sulfa, penghentian kehamilan dan trauma
fisis/psikis. Setiap serangan biasanya disertai gejala umum yang
jelas seperti demam, malaise, kelemahan, nafsu makan berkurang,
berat badan menurun dan iritabilitas. Yang paling menonjol ialah
demam, kadang-kadang disertai menggigil. Gejala yang paling sering
pada SLE pada system musculoskeletal, berupa arthritis atau
artralgia (93%) dan acapkali mendahului gejala-gejala lainnya. Yang
paling sering terkena adalah sendi interfalangeal proksimal diikuti
oleh lutut, pergelangan tangan, metakarpofalangeal, siku dan
pergelangan kaki, sering terkena adalah kaput femoris4. Manifestasi
klinisManifestasi klinis penyakit ini sangat beragam tergantung
organ yang terlibat, yaitu:a. Gejala KonstitusionalManifestasi yang
timbul dapat bervariasi, namun yang paling sering adalah anorexia,
demam, kelelahan, penurunan berat badan, limfadenopati dan
irritable. Gejala dapat berlangsung intermiten atau
terus-menerus.b. Gejala MuskuloskeletalPada anak-anak gejala yang
paling sering ditemukan, dapat berupa athralgia (90%) dan sering
mendahului gejala-gejala lainnya. Yang paling sering terkena adalah
sendi interfalangeal proksimal diikuti oleh lutut, pergelangan
tangan, metakarpophalangeal, siku dan pergelangan kaki. Artritis
dapat terjadi pada lebih dari 90% anak, umumnya simetris, terjadi
pada beberapa sendi besar maupun kecil. Biasanya sangat responsif
terhadap terapi dibandingkan dengan kelainan organ yang lain pada
LES. Arthritis pada tangan dapat menyebabkan kerusakan ligament dan
kekakuan sendi yang berat. Osteonecrosis umum terjadi dan dapat
timbul belakangan setelah dalam pengobatan kortikosteroid dan
vaskulopati.Berbeda dengan JRA, arthritis LES umumnya sangat nyeri,
dan nyeri ini tak proporsional dengan hasil pemeriksaan fisik
sendi. Pemeriksaan radiologis menunjukkan osteopeni tanpa adanya
perubahan pada tulang sendi. Anak dengan JRA polyarticular yang
beberapa tahun kemudian dapat menjadi LES. Berikut merupakan
mekanisme arthritis pada SLE.
c. Gejala MukokutanKelainan kulit atau selaput lendir ditemukan
pada 55% kasus SLE.1). Lesi Kulit AkutRuam kulit yang paling
dianggap khas adalah ruam kulit berbentuk kupu-kupu
(butterfly-rash) berupa eritema yang sedikit edematus pada hidung
dan kedua pipi. Karakteristik malar atau ruam kupu-kupu termasuk
jembatan hidung dan bervariasi dari merah pada erythematous
epidermis hingga penebalan scaly patches.Ruam mungkin akan
fotosensitif dan berlaku untuk semua daerah terkena sinar matahari.
Lesi-lesi tersebut penyebarannya bersifat sentrifugal dan dapat
bersatu sehingga berbentuk ruam yang tidak beraturan. Dengan
pengobatan yang tepat, kelainan ini dapat sembuh tanpa bekas. 2).
Lesi Kulit Sub AkutLesi kulit sub akut yang khas berbentuk anular.
3). Lesi DiskoidSebesar 2 sampai 2% lesi discoid terjadi pada usia
di bawah 15 tahun. Sekitar 7 % lesi discoid akan menjadi LES dalam
waktu 5 tahun, sehingga perlu di monitor secara rutin. Hasil
pemeriksan laboratorium menunjukkan adanya antibodi antinuclear
(ANA) yang disertai peningkatan kadar IgG yang tinggi dan lekopeni
ringan. Ruam diskoid adalah ruam pada kulit leher, kepala, muka,
telinga, dada, punggung, dan ekstremitas yang menimbul dan berbatas
tegas, dengan diameter 5-10 mm, tidak gatal maupun nyeri
Berkembangnya melalui 3 tahap, yaitu erithema, hiperkeratosis dan
atropi. Biasanya tampak sebagai bercak eritematosa yang meninggi,
tertutup oleh sisik keratin disertai oleh adanya penyumbatan
folikel. Kalau sudah berlangsung lama akan terbentuk sikatrik. Lesi
diskoid tidak biasa di masa kanak-kanak. Namun, mereka terjadi
lebih sering sebagai manifestasi dari SLE daripada sebagai diskoid
lupus erythematosis (DLE) saja; 2-3% dari semua DLE terjadi di masa
kanak-kanak.
4). Livido RetikularisSuatu bentuk vaskulitis ringan, sering
ditemukan pada SLE. Vaskulitis kulit dapat menyebabkan ulserasi
dari yang berbentuk kecil sampai yang besar. Sering juga tampak
perdarahan dan eritema periungual.5). UrtikariaBiasanya menghilang
perlahan-lahan beberapa bulan setelah penyakit tenang secara klinis
dan serologis. d. Kelainan pada GinjalPada sekitar 2/3 dari anak
dan remaja LES akan timbul gejala lupus nefritis. Lupus nefritis
akan diderita sekitar 90% anak dalam tahun pertama terdiagnosanya
LES. Berdasarkan klasifikasi WHO, jenis lupus nefritis adalah: (1)
Kelas I: minimal mesangial lupus nephritis(2) Kelas II: mesangial
proliferative lupus nephritis(3) Kelas III: focal lupus
nephritis(4) Kelas IV: diffuse lupus nephritis(5) Kelas V:
membranous lupus nephritis(6) Kelas VI: advanced sclerotic lupus
nephritisKelainan ginjal ditemukan 68% kasus SLE. Manifestasi
paling sering ialah proteinuria dan atau hematuria. Ada 2 macam
kelainan patologis pada ginjal yaitu nefritis lupus difus dan
nefritis lupus membranosa. Nefritis lupus difus merupakan kelainan
yang paling berat. Klinis tampak sebagai sindrom nefrotik,
hipertensi, serta gangguan fungsi ginjal sedang sampai berat.
Nefritis membranosa lebih jarang ditemukan. Ditandai dengan
sindroma nefrotik, gangguan fungsi ginjal ringan serta perjalanan
penyakit yang mungkin berlangsung cepat atau lambat tapi
progresif.e. Serositis (pleuritis dan perikarditis)Gejala klinisnya
berupa nyeri waktu inspirasi dan pemeriksaan fisik dan radiologis
menunjukkan efusi pleura atau efusi parikardial. Efusi pleura lebih
sering unilateral, mungkin ditemukan sel LE dalam cairan pleura.
Biasanya efusi menghilang dengan pemberian terapi yang adekuat.f.
Pneuminitis InterstitialMerupakan hasil infiltrasi limfosit.
Kelainan ini sulit dikenali dan sering tidak dapat diidentifikasi.
Biasanya terdiagnosa setelah mencapai tahap lanjut.g.
GastrointestinalDapat berupa rasa tidak enak di perut, mual ataupun
diare. Nyeri akut abdomen, muntah dan diare mungkin menandakan
adanya vaskulitis intestinalis. Gejala menghilang dengan cepat bila
gangguan sistemiknya mendapat pengobatan yang adekuat. h. Hati dan
LimpaHepatosplenomegali mungkin ditemukan pada anak-anak, tetapi
jarang disertai ikterus. Umumnya dalam beberapa bulan akan
menghilang atau kembali normal.i. Kelenjar Getah Bening dan
Kelenjar ParotisPembesaran kelenjar getah bening ditemukan pada 50%
kasus. Biasanya berupa limfadenopati difus dan lebih sering pada
anak-anak. Kelenjar parotis membesar pada 60% kasus SLE.j. Susunan
Saraf TepiNeuropati perifer yang terjadi berupa gangguan sensorik
dan motorik. Biasanya bersifat sementara.k. Susunan Saraf
PusatGejala SSP bervariasi mulai dari disfungsi serebral global
dengan kelumpuhan dan kejang sampai gejala fokal seperti nyeri
kepala dan kehilangan memori. Diagnosa lupus SSP ini membutuhkan
evaluasi untuk mengeksklusi ganguan psikososial reaktif, infeksi,
dan metabolik. Trombosis vena serebralis bisanya terkait dengan
antibodi antifosfolipid. Bila diagnosa lupus serebralis sudah
diduga, CT Scan perlu dilakukan.Gangguan susunan saraf pusat
terdiri dari 2 kelainan utama, yaitu psikosis organik dan
kejang-kejang. Penyakit otak organik biasanya ditemukan bersamaan
dengan gejala aktif SLE pada sistem-sistem lainnya. Pasien
menunjukkan gejala delusi/halusinasi disamping gejala khas kelainan
organik otak.Kejang-kejang yang timbul biasanya termasuk tipe
grandmal. Kelainan lain yang mungkin ditemukan ialah korea,
paraplegia karena mielitis transversal, hemiplegia, afasia,
psikosis, pseudotumor cerebri, aseptic meningitis, chorea, defisit
kognitif global, melintang myelitis, neuritis perifer dan
sebagainya. Mekanisme terjadinya kelainan susunan saraf pusat tidak
selalu jelas. Faktor-faktor yang memegang peranan antara lain
vaskulitis, deposit gamma globulin di pleksus koroideus.l.
HematologiKelainan hematologi yang sering terjadi adalah
limfopenia, anemia, Coombs-positif anemia hemolitik, anemia
penyakit kronis trombositopenia, dan lekopenia.m. Fenomena
RaynaudDitandai oleh keadaan pucat, disusul oleh sianosis, eritema
dan kembali hangat. Terjadi karena disposisi kompleks imun di
endotelium pembuluh darah dan aktivasi komplemen lokal.5.
PenatalaksanaanJenis penatalaksanaan ditentukan oleh beratnya
penyakit. Luas dan jenis gangguan organ harus ditentukan secara
hati-hati. Dasar terapi adalah kelainan organ yang sudah terjadi.
Adanya infeksi dan proses penyakit bisa dipantau dari pemeriksaan
serologis. Monitoring dan evaluasi bisa dilakukan dengan parameter
laboratorium yang dihubungkan dengan aktivitas penyakit. SLE yang
tidak diobati dapat diikuti oleh penyembuhan spontan, dapat menjadi
penyakit menahun, atau kematian yang cepat.Penyakit LES adalah
penyakit kronik yang ditandai dengan remisi dan relaps. Terapi
suportif tidak dapat dianggap remeh. Edukasi bagi orang tua dan
anak penting dalam merencanakan program terapi yang akan dilakukan.
Edukasi dan konseling memerlukan tim ahli yang berpengalaman dalam
menangani penyakit multisistem pada anak dan remaja. Nefrologis
perlu dilibatkan pada awal penyakit untuk pengamatan yang optimal
terhadap komplikasi ginjal. Perpindahan terapi ke masa dewasa harus
direncanakan sejak remaja.1. Diet seimbang dengan masukan kalori
yang sesuai. Dengan adanya kenaikan berat badan akibat penggunaan
obat glukokortikoid, maka perlu dihindari makanan junk food atau
makanan mengandung tinggi sodium untuk menghindari kenaikan berat
badan berlebih.2. Penggunaan tabir surya dengan kadar SPF lebih
dari 15 perlu diberikan pada anak jika berada di luar rumah, karena
dapat melindungi dari sinar UVB. 3. Pencegahan infeksi dilakukan
dengan cara imunisasi, karena risiko infeksi meningkat pada anak
dengan LES. Pemberian antibiotik sebagai profilaksis dihindari dan
hanya diberikan sesuai dengan hasil kultur. Terdapat beberapa
patokan untuk penatalaksanaan infeksi pada penderita lupus,
yaitu;1) diagnosis dini dan pengobatan segera penyakit infeksi,
terutama infeksi bakterial 2) sebelum dibuktikan penyebab lain,
demam disertai leukositosis (leukosit >10.000) harus dianggap
sebagai gejala infeksi, 3) gambaran radiologi infiltrat limfositik
paru harus dianggap dahulu sebagai infeksi bakterial sebelum
dibuktikan sebagai keadaan lain, dan 4) setiap kelainan urin harus
dipikirkan dulu kemungkinan pielonefritis. 1
Lupus diskoidTerapi standar adalah fotoproteksi, anti-malaria
dan steroid topikal. Krim luocinonid 5% lebih efektif dibadingkan
krim hidrokrortison 1%. Terapi dengan hidroksiklorokuin efektif
pada 48% pasien dan acitrenin efektif terhadap 50% pasien.Serositis
lupus (pleuritis, perikarditis) Standar terapi adalah NSAIDs
(dengan pengawasan ketat terhadap gangguan ginjal), antimalaria dan
kadang-kadang diperlukan steroid dosis rendah.
Arthritis lupusUntuk keluhan muskuloskeletal, standar terapi
adalah NSAIDs dengan pengawasan ketat terhadap gangguan ginjal dan
antimalaria. Sedangkan untuk keluhan myalgia dan gejala depresi
diberikan serotonin reuptake inhibitor antidepresan
(amitriptilin).Miositis lupusStandar terapi adalah kortikosteroid
dosis tinggi, dimulai dengan prednison dosis 1-2 mg/kg/hari dalam
dosis terbagi, bila kadar komplemen meningkat mencapai normal,
dosis di tapering off secara hati-hati dalam 2-3 tahun sampai
mencapai dosis efektif terendah. Metode lain yang digunakan untuk
mencegah efek samping pemberian harian adalah dengan cara pemberian
prednison dosis alternate yang lebih tinggi (5 mg/kg/hari, tak
lebih 150-250 mg), metrotreksat atau azathioprine.Fenomena
RaynaudStandar terapinya adalah calcium channel blockers, misalnya
nifedipin; alfa 1 adrenergic-receptor antagonist dan nitrat,
misalnya isosorbid mononitrat.Lupus nefritisKelas I: Tidak ada
terapi khusus dari klasifikasi WHOKelas II : (mesangial) mempunyai
prognosis yang baik dan membutuhkan terapi minimal. Peningkatan
proteinuria harus diwaspadai karena menggambarkan perubahan status
penyakit menjadi lebih parah. Kelas III : (focal proliferative
Nefritis/FPGN) memerlukan terapi yang sama agresifnya dengan DPGN,
khususnya bila ada lesi focal necrotizing. Kelas IV : (DPGN)
kombinasi kortikosteroid dengan siklofosfamid intravena ternyata
lebih baik dibandingkan bila hanya dengan prednison. Siklofosfamid
intravena telah digunakan secara luas baik untuk DPGN maupun bentuk
lain dari lupus nefritis. Azatioprin telah terbukti memperbaiki
outcome jangka panjang untuk tipe DPGN. Prednison dimulai dengan
dosis tinggi harian selama 1 bulan, bila kadar komplemen meningkat
mencapai normal, dosis di tapering off secara hati-hati selama 4-6
bulan. Siklofosfamid intravena diberikan setiap bulan, setelah
10-14 hari pemberian, diperiksa kadar lekositnya. Dosis
siklofosfamid selanjutnya akan dinaikkan atau diturunkan tergantung
pada jumlah lekositnya (normalnya 3.000-4.000/ml). Kelas V :
regimen terapi yang biasa dipakai adalah (1). monoterapi dengan
kortikosteroid. (2). terapi kombinasi kortikosteroid dengan
siklosporin A, (3). sikofosfamid, azathioprine,atau klorambusil.
Proteinuria sering bisa diturunkan dengan ACE inhibitor. Pada Lupus
nefritis kelas V tahap lanjut. pilihan terapinya adalah dialisis
dan transplantasi renal.Gangguan hematologisUntuk trombositopeni,
terapi yang dipertimbangkan pada kelainan ini adalah
kortikosteroid, imunoglobulin intravena, anti D intravena,
vinblastin, danazol dan splenektomi. Sedangkan untuk anemia
hemolitik, terapi yang dipertimbangkan adalah kortikosteroid,
siklfosfamid intravena, danazol dan splenektomi.Pneumonitis
interstitialis lupusObat yang digunakan pada kasus ini adalah
kortikosteroid dan siklfosfamid intravena.Vaskulitis lupus dengan
keterlibatan organ pentingObat yang digunakan pada kasus ini adalah
kortikosteroid dan siklfosfamid intravena.
Obat-obat yang sering digunakan pada penderita LES
1. Antimalaria: Hidroksiklorokin 3-7 mg/kg/hari PO dalam garam
sulfat (maksimal 400 mg/hari)2. Kortiko-steroid: Prednison dosis
harian (1 mg/kg/hari); prednison dosis alternate yang lebih tinggi
(5 mg/kg/hari, tak lebih 150-250 mg); prednison dosis rendah harian
(0.5 mg/kg)/hari yg digunakan bersama methylprednisolone dosis
tinggi intermitten (30 mg/kg/dosis, maksimum mg) per minggu.3. Obat
imuno-supresif: Siklofosfamid500-750 mg/m2 IV 3 kali sehari selama
3 minggu. maksimal 1 g/m2. Harus diberikan IV dengan infus
terpasang, dan dimonitor. Monitor lekosit pada 8-14 hari mengikuti
setiap dosis (lekosit dimaintenance > 2000-3000/mm3).
Azathioprine1-3 mg/kg/hari PO 4 kali sehari.4. Non-steroidal
anti-inflam-matory drugs (NSAIDs)Naproxen 7-20 mg/kg/hari PO dibagi
2-3 dosis maks 500-1000 mg/hariTolmetin 15-30 mg/kg/hari PO dibagi
2-3 dosis maks 1200-1800 mg/hariDiclofenac< 12 tahun : tak
dianjurkan> 12 tahun : 2-3 mg/kg/hari PO digagi 2 dosis maksimal
100-200 mg/hari5. Suplemen Kalsium dan vitamin D Kalsium karbonat
< 6 bulan : 360 mg/hari 6-12 bulan : 540 mg/hari 1-10 bulan :
800 mg/hari 11-18 bulan : 1200 mg/hari Calcifediol < 30 kilogram
: 20 mcg PO 3 kali/minggu > 30 kilogram : 50 mcg PO 3
kali/minggu6. Anti-hipertensiNifedipin0.25-0.5 mg/kg/dosis PO dosis
awal, tak lebih dari 10 mg, diulang tiap 4-8 jam.Enalapril0.1
mg/kg/hari PO 4 kali sehari atau 2 kali sehari bisa ditingkatkan
bila perlu, maksimum 0.5 mg/kg/hari Propranolol0.5-1 mg/kg/hari PO
dibagi 2-3 dosis, dapat ditingkatkan bertahap dalam 3-7 hari dengan
dosis biasa 1-5 mg/kg/hari
6. Pemeriksaan Penunjanga. Pemeriksaan Darah1) Hb, leukosit,
trombosit: dapat ditemukan anemia dan leukopenia dan
trombositopenia2) LED dan CRP (indikator reaksi inflamasi
nonspesifik)3) Retikulosit: meningkat4) PT dan aPTT: biasanya
memanjang karena adanya circulating anticoagulant yang menghambat
aktivitas prothrombin activator complex.5) Komplemen C3, C4 dan
CH50: selama masa aktif, fraksi komplemen terpakai sehingga kadar
menurun terutama bila disertai gangguan ginjal. Kadar C3, C4 dan
anti-ds-DNA dapat dipakai untuk menilai respons terapi dan
aktivitas penyakit terutama pada lupus nefritis.6) Uji Coomb:
positif (10%-30% pasien)7) Uji ANA (antibodi antinuklear): skrining
LES, positif pada penyakit aktif8) Anti ds-DNA: positif pada 50-70%
anak LES. Lebih spesifik dibandingkan dengan uji ANA, sangat
bermanfaat untuk menilai respons terapi.9) Sel LE: kurang sensitif
dibandingkan uji ANA.10) Anti Smith: positif (30% penderita), hasil
positif bersifat diagnostik.11) Antibodi antiplatelet: positif (75%
penderita tanpa trombositopenia)12) Antibodi antineutrofil13)
Antibodi antifosfolipid: meningkatkan risiko trombosis dan
tromboemboli vena dalam.14) Antibodi antihiston: peningkatan titer
berhubungan dengan drug-induced lupus.15) Uji ATA (antibodi
antitiroid): positif pada 40% penderita LES16) VDRL: positif palsu
disebabkan reaksi silang antara antibodi antifosfolipid dengan
antikardiolipin.17) SGOT dan SGPT: peningkatan ringan sesaat (25%
penderita), biasanya dihubungan dengan pengobatan aspirin.18) Kadar
T3 dan T4: hipotiroid pada 10-15% penderita19) Urea N dan
Kreatinin: menilai kelainan ginjal.20) Protein dan albumin darah:
harus diperiksa teratu21) Urin: menilai kelainan ginjalb.
Pemeriksaan Penunjang Lainnya1) Foto toraks: evaluasi pleuritis,
efusi pleura, pneumonitis akut dan infiltrasi interstitial.2) Foto
persendian: menentukan ada/tidaknya artritis.3) Elektrokardiografi:
evaluasi gangguan jantung4) Elektroensefalografi: evaluasi gangguan
sistem saraf pusat (ensefalopati).5) Biopsi kulit: penderita suspek
LES dengan ANA (-). Pada lupus band test dapat dideteksi adanya
deposit kompleks imunoglobulin dan komplemen pada dermal-epidermal
junction.6) Biopsi ginjal: menilai derajat berat ringannya
nefritis7) Pemeriksaan mata: melihat cotton wool exudates,
episkleritis dan skleritis.
7. Diagnosis SLEBatasan operasional diagnosis SLE yang dipakai
dalam rekomendasi ini diartikan sebagai terpenuhinya minimum
kriteria (de initif) atau banyak kriteria terpenuhi (klasik) yang
mengacu pada kriteria dari the American College of Rheumbatology
(ACR) revisi tahun 1997.No.KriteriaDefinisi
1Bercak malar (butterfly rash)Eritema datar atau menimbul yang
menetap di daerah pipi, cenderung menyebar ke lipatan
nasolabial
2Bercak diskoidBercak eritema yang menimbul dengan adherent
keratotic scaling dan follicular plugging, pada lesi lama dapat
terjadi parut atrofi
3FotosensitifBercak di kulit yang timbul akibat paparan sinar
matahari, pada anamnesis atau pemeriksaan fisik
4Ulkus mulutUlkus mulut atau nasofaring, biasanya tidak
nyeri
5ArtritisArtritis non-erosif pada dua atau lebih persendian
perifer, ditandai dengan nyeri tekan, bengkak atau efusi
6Serositifa. Pleuritis: Riwayat pleuritic pain atau terdengar
pleural friction rub atau terdapat efusi pleura pada pemeriksaan
fisik, ataub. Perikarditis: Dibuktikan dengan EKG atau terdengar
pericardial friction rub atau terdapat efusi perikardial pada
pemeriksaan fisik
7Gangguan ginjala. Proteinuria persisten >0,5 g/hari atau
pemeriksaan >+3 jika pemeriksaan kuantitatif tidak dapat
dilakukan, ataub. Cellular cast: eritrosit, Hb, granular, tubular
atau campuran
8Gangguan saraf1. Kejang: Tidak disebabkan oleh obat atau
kelainan metabolik (uremia, ketoasidosis atau ketidakseimbangan
elektrolit), atau2. Psikosis: Tidak disebabkan oleh obat atau
kelainan metabolik (uremia, ketoasidosis atau ketidakseimbangan
elektrolit)
9
Gangguan darah
Terdapat salah satu kelainan darah: Anemia hemolitik dengan
retikulositosis, atau Leukopenia < 4000/mm3 pada > 1
pemeriksaan, atau Limfopenia < 1500/mm3 pada > 2 pemeriksaan,
atau Trombositopenia < 100.000/mm3 tanpa adanya intervensi obat,
atau
10Gangguan imunologia. Anti-DNA: antibodi terhadap native DNA
dengan titer yang abnormal, ataub. Anti-Sm: terdapatnya antibodi
terhadap antigen nuklear Sm, atauc. Temuan positif terhadap
antibodi antifosfolipid yang didasarkan atas:1) kadar serum
antibodi antikardiolipin abnormal baik IgG atau IgM,2) Tes lupus
antioagulan positf menggunakan metoda standard, atau3) hasil tes
serologi positif palsu terhadap sifilis sekurang-kurangnya selama 6
bulan dan dikonfi rmasi dengan test imobilisasi Treponema pallidum
atau tes fluoresensi absorpsi antibodi treponema.
11Antibodi antinuklearTes ANA (+)Titer abnormal dari antibosi
anti-nuklear berdasarkan pemeriksaan imunofluoresensi atau
pemeriksaan setingkat pada setiap kurun waktu perjalanan penyakit
tanpa keterlibatan obat yang diketahui berhubungan dengan sindroma
lupus yang diinduksi obat.
Keterangan:a. Klasifikasi ini terdiri dari 11 kriteria dimana
diagnosis harus memenuhi 4 dari 11 kriteria tersebut yang terjadi
secara bersamaan atau dengan tenggang waktu.b. Modifikasi kriteria
ini dilakukan pada tahun 1997.Bila dijumpai 4 atau lebih kriteria
diatas, diagnosis SLE memiliki sensitiitas 85% dan spesiisitas 95%.
Sedangkan bila hanya 3 kriteria dan salah satunya ANA positif, maka
sangat mungkin SLE dan diagnosis bergantung pada pengamatan klinis.
Bila hasil tes ANA negatif, maka kemungkinan bukan SLE. Apabila
hanya tes ANA positif dan manifestasi klinis lain tidak ada, maka
belum tentu SLE, dan observasi jangka panjang diperlukan.
8. Komplikasi dan Prognosisa. Komplikasi LES pada anak meliputi:
Hipertensi (41%) Gangguan pertumbuhan (38%) Gangguan paru-paru
kronik (31%) Abnormalitas mata (31%) Kerusakan ginjal permanen
(25%) Gejala neuropsikiatri (22%) Kerusakan muskuloskeleta (9%)
Gangguan fungsi gonad (3%).b. PrognosisPrognosis penyakit ini
sangat tergantung pada organ mana yang terlibat. Apabila mengenai
organ vital, mortalitasnya sangat tinggi. Mortalitas pada pasien
dengan LES telah menurun selama 20 tahun terakhir. Sebelum 1955,
tingkat kelangsungan hidup penderita pada 5 tahun pada LES kurang
dari 50%. Saat ini, tingkat kelangsungan hidup penderita pada 10
tahun terakhir rata-rata melebihi 90% dan tingkat kelangsungan
hidup penderita pada 15 tahun terakhir adalah sekitar 80%. Tingkat
kelangsungan hidup penderita pada 10 tahun terakhir di Asia dan
Afrika secara signifikan lebih rendah, mulai dari 60-70%. Penurunan
angka kematian yang berhubungan dengan LES dapat dikaitkan dengan
diagnosis yang terdeteksi secara dini, perbaikan dalam pengobatan
penyakit LES, dan kemajuan dalam perawatan medis umum.
DAFTAR PUSTAKAPengurus Pusat Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2011.
Pedoman Pelayanan Medis Ikatan Dokter Anak Indonesia. Ed.2. Badan
Jakarta: Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia.Perhimpunan
Reumatologi Indonesia. 2011. Rekomendasi Perhimpunan Reumatologi
Indonesia untuk Diagnosis dan Pengelolaan Lupus Eritematosus
Sistemik. Jakarta: Perhimpunan Reumatologi Indonesia.Utomo,
Wicaksono N. 2012. Laporan Hasil Karya Tulis Ilmiah: Hubungan
antara Aktivitas Penyakit dengan Status Kesehatan pada Pasien LES
(LupusEritematosus Sistemik) di RSUP dr. Kariadi. Semarang:
Universitas Diponegoro.Corwin, Elizabeth J. 2009. Patofisiologi:
Buku Saku. Jakarta: EGC.Sullivan, Kean & Cryer. 2009. Panduan
Pemeriksaan Antenatal. Jakarta: EGC.