Page 1
KONDISI KARANG HIDUP DITINJAU DARI
KEPADATAN Acanthaster planci L. DAN HUBUNGANNYA DENGAN
ASPEK ANTROPOGENIK DI PERAIRAN PULAU PANGGANG,
TAMAN NASIONAL LAUT KEPULAUAN SERIBU
SKRIPSI
PANGESTUTI UTAMI
1111095000016
PROGRAM STUDI BIOLOGI
FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2018
Page 2
KONDISI KARANG HIDUP DITINJAU DARI
KEPADATAN Acanthaster planci L. DAN HUBUNGANNYA DENGAN
ASPEK ANTROPOGENIK DI PERAIRAN PULAU PANGGANG,
TAMAN NASIONAL LAUT KEPULAUAN SERIBU
SKRIPSI
Sebagai Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Setara Satu (S1)
Program Studi Biologi Fakultas Sains dan Teknologi
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
PANGESTUTI UTAMI
1111095000016
PROGRAM STUDI BIOLOGI
FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2018
Page 3
i
KONDISI KARANG HIDUP DITINJAU DARI
KEPADATAN Acanthaster planci L. DAN HUBUNGANNYA DENGAN
ASPEK ANTROPOGENIK DI PERAIRAN PULAU PANGGANG,
TAMAN NASIONAL LAUT KEPULAUAN SERIBU
SKRIPSI
Sebagai Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Setara Satu (S1)
Program Studi Biologi Fakultas Sains dan Teknologi
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
PANGESTUTI UTAMI
1111095000016
Menyetujui,
Page 4
ii
PENGESAHAN UJIAN
Skripsi yang berjudul “Kondisi Karang Hidup Ditinjau dari Kepadatan
Acanthaster planci L. dan Hubungannya dengan Aspek Antropogenik Di Perairan
Pulau Panggang, Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu” yang ditulis oleh
Pangestuti Utami, NIM 1111095000016 telah diuji dan dinyatakan LULUS dalam
sidang Munaqasyah Fakultas Sains dan Teknologi UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta pada tanggal 10 April 2018. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu
syarat untuk memenuhu gelar sarjana stara satu (S1) Program Studi Biologi
Fakultas Sains dan Teknologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Page 5
iii
PERNYATAAN
DENGAN INI SAYA MENYATAKAN KEASLIAN SKRIPSI INI BENAR-
BENAR HASIL KARYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH DIAJUKAN
SEBAGAI SKRIPSI ATAU KARYA ILMIAH PADA PERGURUAN TINGGI
ATAU LEMBAGA MANAPUN
Jakarta, April 2018
Page 6
iv
K ATA PENGANTAR
Puji syukur segala puji bagi Allah atas rahmat dan karunia-Nya kepada
penulis maka selesailah skripsi ini dengan judul “KONDISI KARANG HIDUP
DITINJAU DARI KEPADATAN Acanthaster planci L. DAN
HUBUNGANNYA DENGAN ASPEK ANTROPOGENIK DI PERAIRAN
PULAU PANGGANG, TAMAN NASIONAL LAUT KEPULAUAN
SERIBU”. Shalawat serta salam senantiasa tercurahkan kepada Nabi Muhammad
SAW yang menjadi suri tauladan bagi manusia, dan semoga kita menjadi
pengikutnya hingga nanti, amin. Selesainya skripsi ini tak lupa dari doa
kesungguhan hati, kerja keras serta bantuan dari berbagai pihak, baik saran,
bimbingan maupun bantuan lainnya. Tiada kata yang dapat penulis ucapkan selain
ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya atas bantuan ini semua, dan lebih
khusus ucapan terima kasih saya ucapkan
1. Kedua orang tua tercinta, ayahanda (H.Suparmin) dan ibunda (asih) telah
memberikan segenap hidupnya untuk membesarkan serta mendidik
penulis dan kakakku puji santoso serta adikku hari hidayat yang telah
memotivasi dan mendukung penulis dalam setiap keadaan dengan segala
cinta dan kasih sayang.
2. Dr. Agus Salim, M.Si selaku Dekan Fakultas Sains dan Teknologi UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta
Page 7
v
3. Dr. Dasumiati, M.Si selaku ketua Program Studi serta seluruh dosen
Program Studi Biologi Fakultas Sains dan Teknologi UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
4. Prof. Dr. Lily Surayya Eka Putri .,M.Env. Stud. (pembimbing I), Narti
Fitriana, M.Si, (pembimbing II), Dr. Fahma Wijayanti, M.Si (penguji
seminar hasil I) Drs. Paskal Sukandar, M.Si (penguji seminar hasil II),
Dr.Megga Ratnasari Pikoli (penguji sidang I) dan Dr. Dasumiati, M.Si
(penguji sidang II) yang senantiasa memberikan pengarahan,
membimbing, membantu dan memberikan informasi-informasi kepada
penulis dalam penulisan skripsi ini.
5. Pak sairan (abah) dan pak firdi yang membantu saat pengambilan data dan
senantiasa memberikan ilmunya hingga terselesainya skripsi ini.
6. Reza Bayu Zikrillah,S.Si serta keluarga MBC yang telah membantu,
mendampingi serta memberikan semanggat sampai terselesainya skripsi
ini.
7. Seluruh teman-teman biologi 2011 yang selalu senantiasa memberikan
semangat dan masukan dalam proses pembuatan skripsi ini.
Akhir kata penulis memohon maaf atas segala kekurangan dan ketidak
sempurnaan skripsi ini. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi penulis
khususnya,dan pembaca umumnya.
Jakarta, April 2018
Penulis
Page 8
vi
ABSTRAK
PANGESTUTI UTAMI. Kondisi Karang Hidup Ditinjau dari Kepadatan
Acanthaster planci L. dan Hubungannya dengan Aspek Antropogenik di Perairan
Pulau Panggang, Taman Nasional Kepulauan Seribu. Skripsi di bawah bimbingan
Prof. Dr. Lily Surayya Eka Putri, M.Env. Stud dan Narti Fitriana, M.Si. Program
Studi Biologi. Fakultas Sains dan Teknologi. Universitas Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta 2018.
Terumbu karang memiliki peranan penting dalam lingkungan kawasan pesisir dan
lautan. Kerusakan terumbu karang dapat disebabkan faktor alam dan limbah
antropogenik. Acanthaster planci merupakan salah satu predator karang, jika
jumlahnya melebihi ambang batas dapat mengakibatkan kerusakan terumbu
karang. Penelitian dilaksanakan bulan Maret 2015 di perairan Pulau Panggang
Taman Nasional Kepulauan Seribu. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
kondisi karang hidup ditinjau dari kepadatan individu Acanthaster planci dan
antropogenik. Penelitian ini dilakukan dengan pengamatan 4 arah mata angin,
menggunakan Transek Garis (Line Intercept Transect) dan Belt Transect. Data
dianalisa menggunakan rumus persentase tutupan karang dan analisa statistik
menggunakan PCA. Hasil rata-rata persentase tutupan karang yaitu 31,16% dalam
luasan perairan 62,1 ha dengan kedalaman 3 m tergolong kategori sedang dan
24,61% dalam luasan perairan 62,1 ha dengan kedalaman 10 m tergolong kategori
rusak. A. planci yang ditemukan yaitu 0,002 individu/480m2 tergolong ketegori
alami. Berdasarkan hasil PCA terdapat pencirian yang kuat antara salinitas dengan
karang hidup, sedangkan keberadaan karang hidup dengan A. planci hubungan
sangat lemah. Aspek antropogenik yang ditemukan yaitu lalu lintas kapal,
penangkapan ikan dengan menggunakan bubu dan pembuangan sampah yang
menunjukan konstribusi kandungan nitrat yang sudah melebihi ambang batas
yaitu 0,019-0,0250 mg/l, namun kandungan fosfat relatif rendah yaitu 0,0004-
0,0031 mg/l.
Kata kunci : Acanthaster planci, Antropogenik, Karang Hidup
Page 9
vii
ABSTRACT
PANGESTUTI UTAMI. The Condition of Coral Reefs in based on Density
Acanthaster planci L. and it correlation with the anthropogenic on the territorial
waters of Panggang Island. Undergraduate Thesis. Under-guidance of Prof. Dr.
Lily Surayya Eka Putri, M.Env.Stud and Narti Fitriana, M.Si. Biology
Departement. Faculty of Science and Technology. Syarif Hidayatullah State
Islamic University Jakarta. 2018.
Coral reefs hold an important role in the environment which affects the quality of littoral
ecosystem and sea water. Acanthaster planci is assumed as coral destruction factor. This
research is conducted on March 2015 at Panggang Island- The Thousand Islands. The
purpose of this research is to determine coral reef’s condition by its density of
Acanthaster planci and anthropogenic factors. This research is performed in 4 stations of
the island using transect lines (line intercept transects) and belt transect method. The data
is analyzed by coral reefs cover percentage formulation and statistically analyzed using
PCA method. The results of analysis demonstrated that the average percentage of coral
reefs is 31,16 % in water area 62,1 ha at the depth of 3 m (medium category) and 24,61 %
in water area 62,1 ha at the depth of 10 m (categorized as damaged). The observation
showed that A. planci density is 0.002 individual/480m2 (categorized as natural). Based
on the correlation matrix of the PCA, the correlation between salinity with line coral is
high. However, relation between the presence of living coral with A. planci are proven to
be very weak. Anthropogenic aspects effect such as the ship traffic, “bubu” fishing, and
trash disposal contribute on the exceeding amount of nitrate (0,019-0,0250 mg / l), and
relatively low phosphate content (0,0004-0,0031 mg/l).
Keywords: Acanthaster planci , Anthropogenic, Coral reefs
Page 10
viii
DAFTAR ISI
hlm.
LEMBAR PENGESAHAN ............................................................................. i
PERNYATAAN ................................................................................................ iii
KATA PENGANTAR ..................................................................................... iv
ABSTRAK. ....................................................................................................... vi
ABSTRACT ...................................................................................................... vii
DAFTAR ISI .................................................................................................... viii
DAFTAR TABEL ......................................................................................... . ix
DAFTAR GAMBAR ....................................................................................... x
DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................... xi
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang ............................................................................. 1
1.2. Batasan Masalah........................................................................... 4
1.3. Rumusan Masalah ........................................................................ 4
1.4. Hipotesis ....................................................................................... 5
1.5. Tujuan Penelitian ......................................................................... 6
1.6. Manfaat Penelitian ....................................................................... 6
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Ekosistem terumbu karang ........................................................... 7
2.2. Acanthaster planci ....................................................................... 15
BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan lokasi penelitian ........................................................ 22
3.2. Alat dan bahan ............................................................................. 23
3.3. Prosedur penelitian ...................................................................... 23
3.4. Analisis data ................................................................................ 25
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Kondisi tutupan karang hidup di perairan Pulau Panggang. ........... 27
4.2. Kepadatan Acanthaster planci di perairan Pulau Panggang ........... 36
4.3. Analisa PCA .................................................................................... 37
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan. .................................................................................... 45
5.2. Saran. ............................................................................................... 46
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
Page 11
ix
DAFTAR TABEL
hlm.
Tabel 1. Kategori dan persentase tutupan karang (Fachrul, 2008) ..................... 25
Tabel 2. Komposisi penutupan substrat dasar di perairan Pulau Panggang ........ 34
Tabel 3. Acanthaster planci yang ditemukan di perairan Pulau Panggang.......... 39
Page 12
x
DAFTAR GAMBAR
hlm.
Gambar 1. Karang dalam sistem filum Coelenterata hermatipik karang
pembangun terumbu ditempatkan didalam kotak garis
putus-putus (Sunarto, 2006) ............................................................ 9
Gambar 2. Acanthaster planci (Dok.Pribadi, 2015) ......................................... 16
Gambar 3. Mofologi A. panci (a) tampak atas (b) tampak bawah
(Fraser dkk., 2003) ......................................................................... 17
Gambar 4. Beberapa predator pemangsa A. planci (Fraser dkk., 2003) ........... 21
Gambar 5. Peta lokasi pengamatan (Dok.Pribadi, 2015) .................................. 22
Gambar 6. Petak pengambilan data karang dan A.planci ................................. 24
Gambar 7. Persentase tutupan karang hidup di perairan Pulau Panggang ....... 28
Gambar 8. Alat tangkap ikan (bubu) ................................................................. 32
Gambar 9. Perbedaan karang sehat (a) dengan patahan karang (rubble) (b). .. 32
Gambar 10. Persentase bentuk pertumbuhan karang hidup 3 m ........................ 34
Gambar 11. Persentase bentuk pertumbuhan karang hidup10 m ....................... 35
Gambar 12. Acanthaster planci pada lokasi pengamatan .................................. 37
Gambar 13..Grafik analisis komponen utama karakter karang hidup, A.planci
dan fisika-kimia perairan, Pulau Panggang ..................................... 38
Page 13
xi
DAFTAR LAMPIRAN
hlm.
Lampiran 1. Kerangka berpikir ......................................................................... 47
Lampiran 2. Parameter fisika-kimia perairan Pulau Panggang, Kepulauan
Seribu ............................................................................................. 48
Lampiran 3. Persentase tutupan penyusun habitat karang pada stasiun barat
perairan Pulau Panggang Kepulauan Seribu di kedalaman 3 dan
10 meter ......................................................................................... 49
Lampiran 4. Persentase tutupan penyusun habitat karang pada stasiun selatan
perairan Pulau Panggang Kepulauan Seribu di kedalaman 3 dan
10 meter .......................................................................................... 50
Lampiran 5. Persentase tutupan penyusun habitat karang pada stasiun timur
perairan Pulau Panggang Kepulauan Seribu di kedalaman 3 dan
10 meter .......................................................................................... 51
Lampiran 6. Persentase tutupan penyusun habitat karang pada stasiun utara
perairan Pulau Panggang Kepulauan Seribu di kedalaman 3 dan
10 meter .......................................................................................... 52
Page 14
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Indonesia mempunyai kawasan ekosistem terumbu karang dengan luas
sekitar 70.000 km². Terumbu karang memiliki berbagai peranan penting dalam
tatanan lingkungan kawasan pesisir dan lautan, ditinjau dari segi biologi dan
ekologi maupun biotanya. Terumbu karang merupakan salah satu ekosistem yang
khas dan unik yang ditandai tingginya keanekaragaman jenis biotanya. Secara
fisik terumbu karang berfungsi sebagai pemecah ombak dan melindungi pantai
dari sapuan badai, terjadinya kerusakan terumbu karang yang disebabkan oleh
faktor alam dan faktor manusia secara berlebihan akan mengakibatkan perubahan
populasi biota lainnya (Guntur, 2011).
Kerusakan terumbu karang secara alami salah satunya disebabkan oleh
biota laut seperti Acanthaster planci. A. planci adalah salah satu bintang laut yang
tersebar di daerah Indo-Pacifik dan beberapa lokasi lain seperti Red Sea,
Mauritinus, Maldive dan Teluk Panama (Suharsono, 1991). A. planci merupakan
salah satu masalah yang dihadapi terumbu karang. Hewan ini merupakan salah
satu predator pemakan polip karang. Polip karang adalah hewan kecil yang
hidup dalam semacam cawan yang terbentuk dari kalsium karbonat (Guntur,
2011).
Kepadatan A. planci dalam keadaan normal di daerah terumbu karang
merupakan pengontrol bagi ekosistem terumbu karang, karena hewan ini
mempunyai pilihan makanan berupa karang yang pertumbuhannya cepat dan
Page 15
2
mendominasi wilayah terumbu seperti Acropora dan Montipora. Kepadatan A.
planci yang melimpah merupakan ancaman yang serius bagi keutuhan ekosistem
tersebut. Kepadatan alami dari A. planci adalah 14 individu/1000m2. Seekor
A.planci dewasa dapat mengkonsumsi sekitar 5 - 6 m2 tutupan karang hidup
dalam setahun. (Endean, 1987). Catatan mengenai kehadiran dan kepadatan A.
planci di perairan Indonesia dilakukan sehubungan dengan program inventarisasi
biota laut dan serangkaian kegiatan ekspedisi kelautan seperti Ekspedisi
RUMPHIUS I s/d IV dan Ekspedisi SNELLIUS II. Hasil yang dilakukan dari
kegiatan ekpedisi ini khususnya di Kepulauan Seribu yaitu, terdapat 2,5-3,5
individu/1000 m2 di Pulau Lancang, 1-5,75 individu/1000 m
2 di Pulau Pari, (Aziz,
1995).
Di wilayah Indonesia lain juga sudah dilakukan penelitian yang sama,
seperti di bagian selatan Pulau Bunaken yang dilakukan penelitian pada siang dan
malam hari. Hasil yang diperoleh pada siang hari kelimpahan A. planci 0,0042
individu/750m2 sedangkan pada malam hari 0,0082 individu/750m
2 hasil tersebut
merupakan tergolong alami (Napitupulu dkk., 2013). Pengamatan yang dilakukan
di Kabupaten Belitung tepatnya Perairan Tanjung Kelayang terdapat 5-7
individu/m2 hasil ini merupakan tergolong normal (Fahreza dkk., 2013).
Faktor lain yang mempengaruhi kerusakan terumbu karang salah satunya
adalah antropogenik. Antropogenik merupakan kerusakan yang ditimbulkan
akibat aktivitas manusia. Pulau Panggang merupakan salah satu Pulau yang
menyusun gugusan Kepulauan Seribu dan termasuk dalam zona pemukiman yang
memiliki penduduk sebesar 5.123/ 9 ha jiwa atau sebanyak 24,30%/ 9 ha, Jumlah
Page 16
3
penduduk tersebut merupakan terbesar kedua setelah Pulau Kelapa yang ada di
Kepulauan Seribu (Badan Pusat Statistik Provinsi DKI Jakarta, 2010) berdasarkan
data hasil laporan bulanan yang dilakukan kelurahan pulau Panggang jumlah
penduduk pada Febuari 2015 sebesar 4.227 jiwa dari luas Pulau Panggang yaitu 9
ha (Data Hasil Laporan Bulanan, 2015). Pulau Panggang juga merupakan pulau
wisata yang sering dikunjungi oleh para wisatawan. Banyaknya aktivitas manusia
yang terjadi di Pulau Panggang maka akan berdampak buruk pada ekosistem laut.
Antropogenik yang dapat mengganggu keseimbangan ekosistem khususnya
terumbu karang, seperti: penambangan karang, sedimentasi, limbah sampah,
penyelaman dan tabrak kapal. Pembuangan limbah sampah ke perairan laut
diduga dapat akan mengakibatkan eutrofikasi yaitu pengkayaan unsur hara nitrat
dan fosfat anorganik yang dapat mengakibatkan terjadinya blooming alga,
sehingga akan menghalangi masuknya oksigen kedalam laut untuk kebutuhan
biota laut sehingga akan mengakibatkan kematian pada biota laut.
Hasil penelitian kondisi terumbu karang yang dilakukan di perairan Pulau
Panggang tergolong sedang yaitu pada ke dalaman 3-5 m sebesar 41,45% / 960 m
dan pada perairan dalam 6-10 m sebesar 29,88% / 960 m (Rahmawati dkk., 2008).
Penelitian yang sama dilakukan tahun 2014 dengan ke dalam yang sama, pada
kedalaman 3 m persentase tutupan karang berkisar antara 30,20% /500m atau
termasuk dalam kategori sedang, pada ke dalaman 10 m persentase tutupan
karang berkisar antara 19,60% /500m atau termasuk dalam kategori buruk
(Yusnita,2014). Berdasarkan analisa dampak yang dilakukan, menunjukan bahwa
potensi tingkat kerusakan akibat diving adalah sebesar 7,574 % /tahun dan
snorkeling sebesar 8,196 % /tahun (Yusnita, 2014). Perilaku wisatawan saat
Page 17
4
diving dan snorkeling yang berpotensi mengakibatkan kerusakan terumbu karang
adalah menginjak karang, menendang karang dan mengambil karang.
Informasi di atas diduga adanya keberadaan A. planci sebagai ancaman
terumbu karang terdapat pula di perairan Pulau Panggang. Oleh karena itu perlu
dilakukan penelitian mengenai kondisi terumbu karang ditinjau dari kepadatan
Acanthaster planci dan antropogenik di perairan Pulau Panggang Kepulauan
Seribu.
1.2. Batasan Masalah
Penelitian ini mencakup yakni:
a. Kondisi karang hidup di perairan Pulau Panggang Taman Nasional
Laut Kepulauan Seribu.
b. Kepadatan A.planci di perairan Pulau Panggang Taman Nasional Laut
Kepulauan Seribu.
c. Hubungan antara kondisi karang hidup dengan kepadatan A.planci
di perairan Pulau Panggang Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu.
d. Aktivitas antropogenik yang ditinjau dari nitrat dan fosfat di perairan
Pulau Panggang Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu.
1.3. Rumusan Masalah
Rumusan masalah dalam penelitian ini sebagai berikut:
a. Bagaimana kondisi karang hidup di perairan Pulau Panggang Taman
Nasional Laut Kepulauan Seribu?
b. Bagaimana kepadatan A. planci di perairan Pulau Panggang Taman
Nasional Laut Kepulauan Seribu?
Page 18
5
c. Apakah kondisi tutupan karang hidup dipengaruhi kepadatan A. planci
di perairan Pulau Panggang, Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu?
d. Apakah aktivitas antropogenik yang ditinjau dari nitrat dan fosfat
berpengaruh terhadap kondisi tutupan karang hidup di perairan Pulau
Panggang, Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu?
1.4. Hipotesis
Hipotesis dalam penelitian ini adalah:
a. Kondisi karang hidup di perairan Pulau Panggang Taman Nasional
Laut Kepulauan Seribu dalam persentase rendah.
b. Kepadatan A. planci dalam kategori ancaman.
c. Terdapat hubungan antara kondisi karang hidup dengan kepadatan A.
planci di perairan Pulau Panggang Taman Nasional Laut Kepulauan
Seribu.
d. Aktivitas antropogenik yang ditinjau dari nitat dan fosfat terhadap
kondisi karang hidup berpengaruh.
1.5. Tujuan Penelitian
Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Mengetahui kondisi karang hidup di perairan Pulau Panggang Taman
Nasional Laut Kepulauan Seribu.
b. Mengetahui kepadatan A. planci di perairan Pulau Panggang Taman
Nasional Laut Kepulauan Seribu.
c. Mengetahui hubungan antara kondisi karang dengan kepadata A.planci
di perairan Pulau Panggang Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu.
Page 19
6
d. Mengetahui pengaruh antropogenik yang ditinjau dari nitrat dan fosfat
di perairan Pulau Panggang Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu.
1.6. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan memiliki beberapa manfaat antara lain, sebagai
informasi dasar bagi masyarakat dan pemerintah maupun lembaga terikat
mengenai kondisi terumbu karang hidup, kepadatan A. planci,
antropogenik serta kandungan nitrat dan fosfat agar mendapatkan
perhatian dan penanganan lebih lanjut di perairan Pulau Panggang Taman
Nasional Laut Kepulauan Seribu.
Page 20
7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Ekosistem Terumbu Karang
Terumbu karang adalah struktur di dasar laut berupa deposit kalsium
karbonat di laut yang dihasilkan terutama oleh hewan karang. Pembentukan
terumbu karang merupakan proses yang lama dan kompleks. Berkaitan dengan
pembentukan terumbu karang terbagi atas dua kelompok yaitu karang berbentuk
terumbu (hermatipik) dan karang yang tidak dapat membentuk terumbu
(ahermatipik). Pembentukan terumbu karang hermatipik dimulai adanya individu
karang (polip) yang dapat hidup berkelompok (koloni) ataupun menyendiri
(soliter). Karang yang hidup berkoloni membangun rangka kapur dengan berbagai
bentuk, karang yang hidup sendiri hanya membangun satu bentuk rangka kapur.
Gabungan beberapa bentuk rangka kapur tersebut disebut terumbu (Guntur, 2011).
Ekosistem terumbu karang ditandai dengan perairan yang selalu jernih,
produktif dan kaya CaCO3 (kapur). Terumbu karang merupakan ekosistem yang
khas terdapat di daerah tropis. Ekosistem mempunyai produktifitas organik yang
sangat tinggi. Komponen biodata terpenting terumbu karang ialah hewan karang
batu (stony coral), hewan yang tergolong Scleractinia yang kerangkanya terbuat
dari bahan kapur. Semuanya terjalin dalam hubungan fungsional dalam satu
ekosistem yang dikenal dengan ekosistem terumbu karang. Fungsi terumbu
Page 21
8
karang sebagai pelindung ekosistem pantai yaitu menahan dan memecah ombak
sehingga mencegah terjadinya abrasi dan kerusakan di sekitarnya (Guntur, 2011).
Ekosistem terumbu karang memiliki komponen-komponen ekosistem
lain yaitu komponen biotik dan abiotik. Secara umum, ekosistem perairan
komponen biotik yang berperan adalah tumbuhan hijau dan bermacam-macam
kelompok hewan dan bakteri (dekomposer). Komponen utama adalah alga yang
disebut zooxanthelae yang hidup bersimbiosis dengan binatang karang.
Komponen biotik yang menempati ekosistem terumbu karang terutama adalah
hewan karang itu sendiri yang sangat banyak jumlah dan jenisnya. Jenis hewan
banyak yang berasosiasi dengan ekosistem ini antara lain ikan-ikan karang,
moluska, spons, berbagai jenis echinodermata, dan berbagai jenis alga (Sunarto,
2006). Komponen abiotik meliputi unsur dan senyawa baik organik maupun
anorganik dan parameter lingkungan berupa temperatur, oksigen, nutrien dan
faktor fisik lain yang membatasi kondisi kehidupan. Komponen-komponen
tersebut saling mempengaruhi satu sama lain. Keterkaitan antar komponen-
komponen tersebut sangat erat sehingga perubahan salah satu komponen tersebut
dapat berakibat berubahnya kondisi ekosistem. Keseimbangan ekosistem akan
selalu terjaga bila komponen-komponen tersebut tetap berada pada kondisi stabil
dan dinamis. Indikator kesetabilan itu dapat dilihat berdasarkan besarnya
keanekaragaman hayati yang merupakan unsur biotik dalam suatu ekosistem
(Sunarto, 2006).
Sebagian besar terumbu karang masuk dalam kelas Anthozoa, kelas
Anthozoa meliputi dua subkelas Hexacoralia dan Octocorallia, yang berbeda
Page 22
9
asalnya, dalam morfologi dan fisiologinya. Fungsi bangunan terumbu sebagian
besar dibentuk oleh karang pembangun terumbu yang membentuk endapan kapur
(aragonit) masif. Kelompok karang hermatipik diwakili sebagian besar oleh ordo
Scleractinia. Dua spesies dalam kelompok ini termasuk dalam ordo Octocorallia
(Sunarto, 2006). Karang hermatipik mengandung alga simbion zooxanthellae
yang sangat mempercepat proses kalsifikasi, dengan demikian memungkinkan
karang inangnya membangun koloni masif (Sunarto, 2006).
Gambar 1. Karang dalam sistem filum Coelenterata, hermatipik karang
pembangun terumbu ditempatkan di dalam kotak garis putus-
putus (Sunarto, 2006)
Berdasarkan fungsinya dalam pembentukan terumbu hermatipik
ahermatipik dan ada/tidaknya simbion (simbiotik-asimbiotik) maka karang terbagi
menjadi 4 kelompok:
Page 23
10
a. Hermatipik-simbiotik. Kelompok ini dari anggota karang yang dapat
terbentuk terumbu yang sebagian besar anggota Scleretinia (karang
batu), Octocorallia (karang luak), dan Hydrocorallia.
b. Hermatipik-asimbiotik.Kelompok ini merupakan karang yang
pertumbuhannya lambat yang dapat membentuk kerangka kapur massif
tanpa bantuan zooxanthellae, sehingga mampu hidup tanpa bantuan
cahaya.
c. Ahermatipik-simbiotik. Scleractinia yang termasuk dalam kelompok
fungiidae kecil ini, seperti Heteropsammia dan Diaseris, dan juga
karang Leptoseris, yang ada sebagai polip tunggal atau sebagai koloni
kecil, dan karenanya tidak dapat dimasukkan dalam pembangun
terumbu. Kelompok ini juga hampir seluruhnya merupakan Octocoral-
alcyonaceans dan gorgonacean yang memiliki alga simbion tetapi tidak
membangun koloni kapur masif.
d. Ahermatipik-asimbiotik. Kelompok ini ada diantara beberapa spesies
Scleractinia yang memiliki polip kecil (Guntur, 2011).
Keruskan terumbu karang dapat terjadi secara biotik maupun abiotik,
kerusakan secara biotik salah satunya diakibatkan oleh Acanthaster planci yang
merupakan hewan pemakan polip karang. Hewan ini tersebar di berbagai perairan
yang ditumbuhi oleh beberapa jenis karang. Kepadatan populasi A. planci di
daerah terumbu karang akan memberikan dampak negatif bagi kehidupan karang.
Informasi yang diperoleh dari Aziz (1977) mengenai ledakan populasi A. planci
sebaran A. planci hanya di daerah Indo-Pacifik dan beberapa lokasi lainnya seperti
Page 24
11
Red Sea, Mauritius, Maldives, dan Teluk Panama. Kepadatan A. planci yang
dianggap berbahaya terhadap terumbu karang adalah 10-20 individu/m. Ledakan
populasi A. planci dapat terjadi bertahun tahun tergantung dari luas daerah
terumbu karang, terumbu karang yang rusak akibat A. planci memerlukan waktu
untuk tumbuh kembali sekitar 12-15 tahun untuk pulih seperti semula.
Pengamatan terhadap populasi A. planci sudah banyak dilakukan, seperti yang
dilakukan oleh Rani, dkk (2011) di daerah Perairan Tomia Taman Nasional
Wakatobi A. planci yang ditemukan pada kedalaman 3-5 meter kepadatan
mencapai 0,132 Individu/m yang merupakan kategori mengancam. Pengamatan
yang sama dilakukan oleh Syahnilawati, dkk (2013) mengenai kelimpahan
Acanthaster planci di perairan Pulau Santigi Sulawesi Tenggara, hasil yang
ditemukan kelimpahan A. planci berkisar antara 0,013-0,063 Individu/meter.
Pengmatan yang dilakukan oleh Fahreza,dkk(2013) di perairan Tanjung Kelayang
Kabupaten Belitung, hasil pengamatan ditemukan kelimpahan A. planci 5-7
individu/m yang merupakan kategori alami. Pengamatan yang dilakukan oleh
Banata (2015) di Pulau Air Kepulauan seribu yaitu kelimpahan A. planci sebesar
0,002 individu/ meter yang tergolong alami.
Kerusakan terumbu karang juga dapat diakibatkan secara abiotik salah
satunya adalah antropogenik. Pulau Panggang merupakan salah satu pulau yang
berada pada gugusan Kepulauan Seribu. Berdasarkan letak geografis Pulau
Panggang memiliki luas 62,10 Ha dengan batasan-batasan, sebelah utara:
05’41’41”LS-05’41’41”LS, sebelah selatan: 106’44’50”BT, sebelah barat:
106’19’30”BT dan sebelah timur: 05’47’00”LD-05’45’14”LS.
Page 25
12
Penduduk Pulau Panggang mayoritas bermata pencarian nelayan sedangkan
untuk Pulau Pramuka penduduknya bermata pencarian pedagang, perkantoran dan
persewaan dari pengembangan pariwisata berbasis masyarakat. Pulau Panggang
menunjukkan kondisi fisik yang relatif buruk. Data demografi kecamatan
Kepulauan Seribu tahun 2015 menunjukan jumlah sebesar 4.227 jiwa dengan
jumlah penduduk terbesar berada di Kelurahan Pulau Kelapa yaitu sebesar 5.557
jiwa. Komposisi penduduk Pulau Panggang yaitu laki-laki sebesar 2.189 jiwa dan
perempuan 2.038 jiwa (Data Laporan Bulanan, 2015).
Meningkatnya jumlah penduduk maka meningkat pula aktivitas dari
penduduk yang ada di Pulau Panggang. Masyarakat Pulau Panggang mayoritas
memiliki pekerjaan sebagai nelayan, Antropogenik merupakan kerusakan yang
dilakukan akibat aktivitas manusia, masalah antropogenik yang sering dilakukan
dan berdampak buruk bagi ekosistem laut seperti, penambangan karang,
sedimentasi, pembuangan limbah, pengeboman ikan, aktivitas wisatawan yang
melakukan diving dan snorkeling. Perilaku spesifik yang ditampakkan oleh
pemanfaat dari sumberdaya pesisir dan lautan ada berbagai pola. Eksploitasi
sumberdaya pesisir dan lautan di Kepulauan Seribu, khususnya di kawasan
Kelurahan Pulau Panggang sudah terlalu parah, terutama dalam hal penambangan
karang illegal, penggunaan potassium cyanide dan kompresor. Kegiatan manusia
merupakan ancaman yang paling dominan dangan sangat berpotensi merusak
ekosistem sekaligus berpotensi menghilangkan keanekaragaman terumbu karang.
Kegiatan manusia yang dilakukan baik pada ekosistem terumbu karang maupun
Page 26
13
diluar terumbu karang yang berpotensi merusak terumbu karang antara lain
(Sunarto, 2006).
a. Eksploitasi karang dan batu
Karang dan batu karang memiliki bentuk yang indah dan unik, oleh karena
itu karang banyak dikoleksi sebagai hiasan. Hal ini akan menjadi masalah
yang serius yang akan mengancam keberadaan karang apabila tidak
dilakukan pembatasan. Pengambilan karang dalam jumlah besar seperti
dilakukan para ekportir bunga karang sangat membahayakan ekosistem
terumbu karang dan sanat berpotensi menghilangkan atau menurunkan
keanekaragaman spesies karang. Masyarakat pesisir juga melakukan
pengambilan batu karang sebagai bahan bangunan yang akan mengganggu
fungsi ekologis dari ekosistem terumbu karang.
b. Sedimentasi
Dampak bertambahnya sedimentasi akibat kegiatan antropogenik mungkin
paling umum dan serius yang mempengaruhi terumbu karang. Tekanan
sedimen dapat disebabkan oleh aktivitas yang terjadi secara langsung pada
daerah terumbu, terutama penggalian dan pengeboman untuk
pembangunan pelabuhan, atau melalui akibat sekunder yang dihasilkan
dari perubahan fisik terumbu. Penambahan sedimentasi dapat memiliki
pengaruh merusak terhadap karang (khususnya ketika karang terpendam
seluruhnya). Sedimen tersuspensi melalui proses alami pada lingkungan
terumbu, sebagian besar karang dapat bertahan pada suplai sedimen yang
rendah pada permukaannya. Beberapa spesies memiliki kemampuan untuk
Page 27
14
menghilangkan sedimen dari jaringannya melalui penggelembungan
dengan air atau melalui gerakan ciliary yang dapat menghapus pengaruh
mematikan dari sedimentasi.
c. Perikanan Terumbu Karang
Tingginya harga ikan-ikan karang memicu masyarakat untuk melakukan
penangkapan terhadap ikan-ikan karang. Aktivitas penangkapan ikan pada
daerah terumbu karang sangat besar pengaruhnya terhadap kerusakan
terumbu karang. Saat ini masyarakat banyak menggunakan cara-cara
penangkapan yang sangat merusak ekosistem terumbu karang seperti
pengeboman dan penggunaan racun cianida.
d. Limbah dan Eutrofikasi
Parameter penting dari tekanan sampah di lingkungan laut tampak dari
penurunan kandungan oksigen, jumlah kontaminan beracun dan tingkat
penanganan limbah. Limbah dapat mengandung sejumlah penting bahan
toksik atau produk ikutan dari pestisida, herbisida, klorin, atau logam
berat. Nilai BOD yang tinggi dari limbah menimbulkan pengaruh toksik.
Selain limbah toksik, masuknya unsur hara (nutrien) yang berlebihan
(eutropikasi) dari daratan juga mengakibatkan kerusakan pada terumbu
karang.
Zat hara nitrat (NO3) dan fosfat (PO4) merupakan salah satu mata rantai
makanan yang dibutuhkan dan mempunyai pengaruh terhadap pertumbuhan dan
perkembangan hidup organisme di laut. Sumber utama zat hara tersebut berasal
dari berbagai limbah daratan salah satunya adalah limbah rumah tangga yang
mengandung senyawa organik. Limbah yang mengandung senyawa organik
Page 28
15
tersebut akan mengalami proses penguraian menjadi senyawa anorganik dan
masuk ke dalam perairan, namun bila zat hara yang masuk ke perairan dalam
konsentrasi tinggi atau melebihi dari ambang batas maka dapat mengakibatkan
eutrofikasi yaitu kondisi perairan yang mengalami pengkayaan yang diindikasikan
dengan terjadinya blooming fitoplankton dan menyebabkan kematian berbagai
jenis biota (Simanjuntak, 2012).
2.2. Acanthaster planci L.
Acanthaster memiliki 3 jenis dan 2 anak jenis (subspesies) dari genus
Acanthaster, yaitu: A. planci, yang tersebar secara luas pada kawasan Indo
Pasifik, A. ellisii, spesies yang memiliki duri dan lengan yang pendek dan tersebar
di kawasan Pasifik Timur, dan A. brevispinus, yang memiliki duri lebih pendek
yang ditemukan di Filipina. Sedangkan 2 subspesies lainnya yaitu menemukan
satu subspesies dari A. ellsii pseudoplanci dan A. brevispinus seychellesentis
(Aziz, 1995). Bintang laut planci dilaporkan pertama kali dari contoh hewan di
Indonesia oleh George Rumphius pada tahun 1705, yang 50 tahun kemudian
dideskripsikan oleh Linnaeus pada tahun 1758 (Moran, 1990). Klasifikasi dari A.
planci menurut Birkeland dan Lucas (1990): Kingdom: Animalia, Phylum :
Echinodermata,Class: Asteroidea, Ordo: Spinolisida, Family: Acanthasteridae,
Genus : Acanthaster, Spesies : Acanthaster planci.
Page 29
16
Gambar 2. Acanthaster planci (Dok.Pribadi, 2015)
Morfologi dari tubuh bagian bawah, A. planci mempunyai sebuah mulut
tengah yang besar dan kaki pipa dengan penghisapnya yang tersusun sebagai
suatu alur/jalur pada masing-masing lengan. Permukaan tubuh bagian atas
terdapat sejumlah susunan atau struktur yang hanya bisa terlihat dengan
pengamatan yang seksama, seperti: sebuah anus, yang terletak dekat dengan
tubuh bagian tengah (disk), sejumlah tonjolan kecil keras yang terletak di sekitar
tubuh bagian luar (madreporites) dan sejumlah pasangan duri tubuh berbentuk
seperti jepitan kecil sekali yang digunakan untuk membersihkan permukaan
tubuh bagian atas (pedicellaria) Juga terdapat yang disebut papulae yaitu kantung-
kantung kecil berbentuk seperti jari yang terdapat dibagian permukaan tubuh yang
berfungsi sebagai alat untuk bernapas dan sirkulasi air (Fraser dkk., 2003).
Bagian ujung lengan-lengan ada struktur yang sangat sensitif berwarna
merah muda cerah yang dikelilingi dengan kaki pipa khusus. Tentakel-tentakel
sensor yang selalu bergerak untuk mendeteksi adanya sinyal-sinyal kimiawi di air.
Page 30
17
Warna tubuh A. planci bervariasi mulai dari kelabu sampai biru, ungu dan merah.
Bintang laut biasa akan meregenarasi lengan-lengannya, begitu juga dengan
bagian tubuh lainnya secara cepat Seringkali, ada dua individu bintang laut yang
berasal dan bertumbuh dari beberapa bagian tubuh satu individu bintang laut. A.
planci memiliki kemampuan regenerasi ini terbatas. Individu-individu yang rusak
maka regenerasi lengan adalah biasa, begitu juga dengan tubuh yang terbelah dua
tepat di bagian tengah akan bisa bertahan hidup. A. palnci tidak seperti bintang
laut lainnya, fragmen tubuh A. planci dan lengan yang terpotong tidak akan
beregenerasi menjadi individu baru (Fraser dkk., 2003).
Gambar 3. Morfologi A. planci (a) tampak atas (b) tampak bawah
(Fraser dkk., 2003)
Tubuh A. planci adalah radial simetri yaitu susunan tubuh yang terdiri dari
keping yang sama mengelilingi sebuah pusat secara garis lurus (aksis) vertikal.
Pergerakan tubuh A. planci adalah secara acak atau pada arah tak beraturan sesuai
tuntunan pergerakan lengan-lengannya. Ratusan kaki pipa di bagian bawah lengan
yang akan menggerakkan binatang perlahan, biasanya pada kecepatan 10 cm per
menit. Setiap kaki pipa bergerak maju dan menempel pada substrat (karang,
batuan atau pasir) dengan penghisapnya. Kaki pipa akan mengendur agar bisa
Page 31
18
menarik tubuh ke depan, kemudian mengerut atau mengendur dan bergerak ke
depan lagi. Seperti bintang laut lainnya, cara makan A. planci yaitu dengan
menekan lambungnya ke luar melalui mulut dan mengeluarkannya di luar tubuh,
dalam suatu proses yang disebut eversion (seperti memuntahkan) (Fraser dkk.,
2003). A. planci ketika makan akan menempatkan dirinya pada suatu substrat
karang yang dianggap cocok, mengeluarkan lambungnya, kemudian lambung ini
akan melebar menutupi permukaan karang pada suatu area yang hampir setengah
dari diameter tubuhnya sendiri. Lambung ini akan dikeluarkan enzim-enzim
pencernaan ke dalam jaringan tubuh karang sehingga akan terurai karena proses
cerna, setelah itu menyerap jaringan tubuh yang sudah dicerna bersamaan dengan
menarik lambungnya kembali. Cara makan seperti ini memakan waktu cukup
lama (berjam-jam), maka A. planci makan hanya sekali atau dua kali sehari,
sekalipun banyak sekali karang yang tersedia. Umumnya A. planci lebih
menyukai jenis karang yang bertumbuh cepat seperti Acropora sp (Fraser dkk.,
2003).
Upaya melindungi diri selama proses makan yang perlahan, selama proses
itu mereka mudah diserang predator, A. planci juga dilengkapi dengan racun.
Semua jaringan lunak A. planci berisi substansi kimiawi yang disebut saponin,
Saponin merupakan zat beracun, akan tetapi keberadaannya tidak untuk meracuni
predator yang berusaha untuk memakan mereka, tapi sebenarnya hanya untuk
mencegah atau memperkecil peluang kehadiran predator tersebut. Rasa dari
saponin tidak enak dan dapat menyebabkan gangguan pada luka akibat tusukan
duri A. palnci. (Fraser dkk., 2003). Luka-luka pada manusia akibat dari tusukan
Page 32
19
A. planci akan menimbulkan rasa sakitnya bukan hanya oleh karena tusukan itu
sendiri tetapi juga oleh karena adanya saponin yang berisi racun. Duri tersebut
akan patah dan tertinggal dalam tusukan tersebut. Luka-luka yang terasa sangat
sakit tersebut akan diikuti oleh infeksi dan pembengkakan. Korban akan dengan
segera merasa kejang dalam beberapa jam. Beberapa orang mengalami muntah-
muntah dan reaksi alergi (Fraser dkk., 2003).
Area-area yang sangat dipengaruhi oleh musim, seperti di Great Barier
Reef, Australia, gonad (organ seksual) akan mulai perkembangannya pada akhir
musim dingin (Agustus) suhu air mulai menaik kemudian di kawasan tersebut
akan memijah pada tengah-musim panas (Januari). Pemijahan binatang jarang
sekali diobservasi. A. planci akan merangkak sampai dibagian puncak karang,
seperti bagian atas karang bercabang, kemudian dari sana telur dan sperma akan
dilepaskan ke dalam air melalui lubang-lubang (pores) pada permukaan bagian
atas lengan-lengan mereka. A. planci akan memijah secara serentak dalam satu
kelompok apabila mereka terangsang oleh stress atau oleh memijahnya A. planci
yang lain. Ada sekitar 10 juta telur-telur yang kecil (diameter 1,2 mm) bisa
dilepaskan oleh seekor induk betina besar kedalam air. Sperma yang dilepaskan
oleh jantan akan berenang menuju telur-telur tersebut. Setiap telur telah dimasuki
oleh sebuah sperma, maka membran telur akan membesar menjauhi yolk (kuning
telur) untuk mencegah masuknya sperma yang lain (Fraser dkk., 2003). Saat
pemijahan pelepasan sperma dan sel telur dilakukan secara serentak hal ini
dikarenakan pada saat pemijahan A. planci melepaskan semacam hormon yang
Page 33
20
disebut Pheromone. Pheromone merangsang A. planci yang berdekatan untuk
melepaskan gonadnya (Suharsono, 1991).
Telur-telur yang telah dibuahi akan menjadi larva planktonik sehingga
akan terbawa oleh arus jauh dari tempatnya dipijah, atau seringkali sampai
permukaan terumbu karang. Satu hari telur yang dibuahi tersebut menjadi besar
dan menjadi suatu larva gastrula. Perkembangan A. planci sangat kompleks dan
mempunyai beberapa tingkatan larva. Larva A. planci yang masih kecil akan
berenang dan makan pada perairan laut terbuka dengan menggunakan organ
seperti rambut-rambut kecil yang disebut silia (cilia). Larva A. planci akan
menempati suatu tempat, maka warna akan segera berubah menjadi warna mula-
mula yaitu krem, dengan lima lengan sebagai A. planci muda dan biasanya
berukuran hanya sekitar 0,7 mm. A. planci yang masih muda ini biasanya makan
alga koralin yang melimpah sampai sekitar umur 6 bulan. Setelah tujuh bulan A.
planci akan membesar sampai sekitar berdiameter 10 mm dan mulai ketambahan
lengan sampai organisme ini mencapai ukuran dewasa dan sesudah mulai
memakan polip karang (Fraser dkk,.2003). Pertumbuhan A. planci sangat cepat
karena dapat mencapai sekitar 5 cm pada tahun pertama, 20 cm pada tahun kedua,
dan 30 cm setelah kira-kira mencapai umur dua tahun. A. planci mencapai matang
seksual pada umur dua tahun, hanya setelah tiga tahun dapat melepaskan telur dan
sperma (gametes) yang tinggi (Fraser dkk., 2003).
A. planci muda mempunyai suatu bahan kimiawi untuk pertahanan, setelah
menjadi dewasa justru duri-duri beracunnya akan berkurang. A. planci tergolong
organisme yang mudah dimangsa oleh organisme yang dapat melokalisir dan
Page 34
21
terlindung terhadap pertahanan mereka. Kepiting karang dan beberapa jenis ikan
diketahui memangsa A. planci juvenil. Jenis ikan seperti ikan kerapu, ikan
“trigger’’ dan ikan napoleon yang pernah diamati memakan A. planci dewasa.
Ikan-ikan ini menghindar dari duri tubuh yang beracun dengan cara membalikan
A. planci sehingga bagian bawah menghadap atas dan mudah dimangsa. Triton
raksasa (Charonia tritonis) dan udang warna (Hymeno cerapicta) juga merupakan
predator A. planci (Gambar 4).
Gambar 4. Beberapa predator pemangsa A. planci (Fraser dkk., 2003)
Page 35
22
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan awal bulan Maret 2015. Lokasi penelitian
dilaksanakan di perairan Pulau Panggang, Kepulauan Seribu DKI Jakarta. Data
diwakili oleh 4 stasiun pengamatan berdasarkan arah mata angin yaitu, barat,
selatan dan timur, utara (Gambar 5). Titik koordinat ditentukan dapat mewakili
persentase tutupan karang hidup di perairan Pulau Panggang, stasiun 1:
S05044’30.2” E106
035’11.7”(barat), stasiun 2:S05
044’54.0”E106
035’53.0”
(selatan), stasiun 3:S05044’34.7”E106
036’25.5”(timur) dan stasiun 4:
S05044’12.8”E106
036’15.3”(utara)
Gambar 5. Peta lokasi pengamatan (Dok.Pribadi, 2015)
Page 36
23
3.2. Alat dan Bahan
Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah: roll meter, current
meter, transek 70 m, botol, conductivity meter, kamera digital, refractometer,
GPS, dive set, Secchi disk, alat tulis, termometer raksa, kertas indikator pH,
coolbox, dan buku identifikasi. Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah
terumbu karang dan A. planci sebagai objek pengamatan.
3.3. Prosedur Penelitian
a. Penentuan Stasiun Penelitian
Penentuan stasiun penelitian dilakukan dengan menggunakan GPS pada
lokasi diantaranya yaitu perairan Pulau Panggang bagian barat (stasiun 1),
bagian selatan (stasiun 2), bagian timur (stasiun 3) dan bagian utara (stasiun 4)
yang dianggap dapat mewakili kondisi terumbu karang hidup di perairan Pulau
Panggang.
b. Pengukuran Parameter Lingkungan
Pengukuran Faktor Fisika-Kimia
Pengukuran parameter lingkungan dilakukan pada setiap stasiun meliputi suhu,
DO, salinitas, pH, kecepatan arus, kedalaman, konduktivitas, kecerahan.
Pengambilan Sempel Air untuk Nitrat dan Fosfat
Pengambilan sempel air dilakukan di setiap titik stasiun pengamatan (barat, timur,
selatan dan utara) dengan cara pengambilan sempel secara langsung saat
penyelaman, air dimasukan ke dalam botol kaca kemudian seluruh sempel
disimpan dalam coolbox. Sempel air dianalisa 1 hari setelah pengambilan sempel ,
analisa dilakukan di Pusat Penelitian Oseanografi LIPI Ancol.
Page 37
24
c. Pengambilan Data Karang
Pengambilan menggunakan tehnik Transek Garis (Line Intercept Transect)
(Gambar 6) untuk pengambilan data terumbu karang dan pengambilan data A.
planci menggunakan tehnik Belt Transek dengan pengamatan 24 titik sampling
yang tersebar di perairan Pulau Panggang. Titik sampling ditentukan berdasarkan
arah mata angin ( barat, selatan, timur dan utara) ke dalaman 3-5 m dan 10-13 m
dengan tiga pengulangan pada masing-masing kedalaman. Pengambilan
pengamatan dengan kedalaman yang berbeda bertujuan untuk membandingkan
persentase tutupan karang hidup di perairan Pulau Panggang, 3-5 m merupakan
perairan dangkal dan 10-13 m merupakan perairan sedang. Teknik ini dilakukan
dengan memasang transek sepanjang 70 m sejajar dengan garis pantai masing-
masing titik sampling. Lebar transek yang digunakan adalah 2,5 meter ke arah
kanan dan 2,5 meter ke arah kiri.
Pengambilan data A. planci dilakukan pada titik pengamatan dengan
melakukan pemantauan secara langsung di sepanjang garis transek dengan area
pemantauan 2,5 meter di sisi kiri dan kanan transek garis.
Gambar 6. Petak pengambilan data persentase tutupan karang hidup dan
A.planci
70 m
2.5 m
2.5 m
0 – 20 m 25 – 45 m 50 – 70 m
5 m5 m
Page 38
25
3.4. Analisis Data
a. Tutupan Terumbu Karang
Gambaran kondisi ekosistem terumbu karang didapatkan dari data tutupan
karang, yang kemudian dihitung nilai persentase tutupan setiap kategori
berdasarkan petunjuk sebagai berikut: (English et al, 1994).
Keterangan:
Pc = Persentase tutupan (%)
Li = Panjang tutupan lifeform (cm)
Ltotal = Panjang transek (m)
Tabel 1. Kategori dan persentase tutupan karang (Fachrul,2008).
Kategori Tutupan Karang (%)
Rusak 0-24,9
Kritis/Sedang 25-49,9
Baik 50-74.9
Sangat Baik 75-100
b. Kepadatan A. planci
Menghitung kepadatan A. planci maka digunakan rumus sebagai berikut
( Krebs,1989 ).
Keterangan:
D= Kepadatan spesies (ind/m2)
n= Jumlah total individu (ind)
A= Luas total transek (m2)
Page 39
26
Kategori kepadatan A. planci berdasarkan yaitu dikategorikan alami jika
kepadatannya kurang dari 14 individu /1000m2 dan ancaman jika
kepadatannya lebih dari 14 individu/1000m2
Status ekologi kepadatan
A.planci (Endean,1987).
c. Hubungan Antara Kondisi Karang Hidup dengan Kepadatan A.planci
Hubungan antara kondisi karang hidup dengan komponen yang
mempengaruhinya dianalisis menggunakan analisis komponen utama PCA
(principal component analysis) dengan bantuan Excelsat SPSS dengan kriteria
sebagai berikut (Abdurrahman dan Muhidin, 2007):
0 - < 0,20: Pencirian sangat lemah (dianggap tidak ada);
- < 0,40: Pencirian rendah;
- < 0,70: Pencirian sedang/cukup;
- < 0,90: Pencirian kuat/tinggi;
- < 1,00: pencirian sangat kuat/sangat tinggi
Selain itu dilakukan analisis secara deskriptif dengan mengelompokkan
status kepadatan A. planci (alami dan ancaman) dan dilakukan perhitungan rata-
rata penutupan karang hidup berdasarkan status kepadatan A. planci tersebut,
hasilnya disajikan dalam bentuk grafik histogram. Sebagai pendukung
kelengkapan dalam penulisan dilakukan pengambilan data tambahan seperti, data
sosial.
Page 40
27
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Kondisi karang hidup di perairan Pulau Panggang
Penelitian dilakukan pada kedalaman 3 meter dan 10 meter di setiap arah
mata angin (barat, timur, selatan dan utara). Berdasarkan analisa yang dilakukan
didapatkan hasil rata-rata persentase kondisi terumbu karang hidup di perairan
Pulau Panggang pada kedalaman 3 meter adalah 31,16% /560m2 yang tergolong
kategori kritis/sedang dan pada kedalaman 10 meter adalah 24,61% /560m2 yang
tergolong kategori rusak, golongan kategori ini berpacu pada persentase tutupan
karang hidup menurut Fachrul (2008) yaitu 0-24,9(rusak), 25-49,9 (kritis/sedang),
50-74,9 (baik) dan 75-100 (sangat baik), Hasil tersebut tidak jauh berbeda dari
hasil pengamatan tutupan karang hidup yang dilakukan Yusnita (2014) pada
kedalaman 3 m berkisar 30,20% termasuk kategori kritis/sedang dan pada
kedalaman 10 m berkisar 19,60% termasuk kategori rusak. Perbandingan lain di
Pulau Pramuka yaitu 15,84%-40,22% yang termasuk dalam kategori buruk hingga
sedang (Efrinawati, 2012) dan pada penelitian di Pulau Air tutupan karang hidup
adalah 44,21% (Banata, 2015).
Page 41
28
Gambar 7. Persentase tutupan karang hidup di perairan Pulau Panggang
Keterangan
K/S = kritis/sedang
R = rusak
Berdasarkan pengamatan yang dilakukan kondisi karang hidup tergolong
kategori kritis/sedang sampai rusak, jika dilihat dari pengukuran faktor fisik-kimia
(Lampiran 2) yang dilakukan terlihat untuk pengukuran suhu, kecerahan,
konduktivitas, DO, pH dan salinitas memiliki hasil yang tergolong dalam ambang
batas untuk pertumbuhan terumbu karang yang berpacu pada Kementrian
Lingkungan Hidup (2004). Hasil yang berbeda terlihat pada pengukurang
kecepatan arus, hasil pengukuran kecepatan berkisar 0,13–0,21 m/dtk hal ini
menunjukan hasil tersebut melebihi ambang batas kecepatan arus bagi
petumbuhan terumbu karang yaitu 0,05 – 0,08 m/dtk dikarenakan kecepatan arus
merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi perkembangan dan pertumbuhan
terumbu karang hidup. Menurut Thamrin (2006), arus berperan peting untuk
28.9
34.72
43.54
17.74
36.78
29.24
10.41
13.88
0 2.18
0 0
5.01
0.71 0 0 0
5
10
15
20
25
30
35
40
45
50
3 m 10m 3 m 10 m 3 m 10 m 3 m 10 m
Barat Selatan Timur Utara
pe
rse
nta
se t
utu
pan
(%
)
karang keras karang lunak
R
Page 42
29
transformasi zat hara, larva karang, oksigen, bahan sedimen serta arus dapat
membersihkan polip karang dari kotoran yang menempel. Terumbu karang
umumnya ditemukan tumbuh dan berkembang dengan baik pada kondisi arus
yang cukup besar.
Stasiun 2 (selatan) dengan kedalaman 10 m memiliki kondisi terumbu karang
hidup dengan kategori rusak yaitu 17,74% sedangkan pada kedalaman 3 m
kondisi terumbu karang hidup tergolong kategori sedang yaitu 43,54%
perbandingan yang terbalik ini pada stasiun 2 kedalaman 10 m terlihat pada
kondisi penutupan substrat dasar ( Tabel 2) banyaknya ditemukan DCA (Dead
Coral Algae ) mencapai 59,63 % hal ini diduga kematian karang oleh alga sudah
berlangsung lama. Terumbu karang hidup memerlukan zat hara untuk
pertumbuhan dan perkembangannya, nitrat dan fosfat merupakan salah satu zat
hara yang dibutuhkan oleh terumbu karang hidup. Nitrat dan fosfat dapat
dihasilkan oleh bahan organik/anorganik atau dihasilkan dari laut itu sendiri
(Hutagalung, 1997). Kerusakan terumbu karang di stasiun 2 (selatan) kedalaman
10 m diduga kurangnya unsur hara yang masuk pada lokasi ini, pengukuran faktor
fisika-kimia didapatkan hasil pengukuran fosfat yaitu 0,0004 mg/l nilai tersebut
sangat rendah dibandingkan nilai ambang batas bagi pertumbuhan karang didalam
KLH (2004) untuk fosfat yaitu 0,015 mg/l. Hal ini diduga pemanfaatan fosfat
yang merupakan salah satu zat hara bagi pertumbuhan dan perkembangan
terumbu karang hidup tidak optimal sehingga pemulihan terumbu karang hidup
akibat DCA dapat berlangsung lama. Zat hara lain yang juga dibutuhkan terumbu
karang hidup salah satunya adalah nitrat. Menurut Effendi (2003), nitrat adalah
bentuk nitrogen utama dalam perairan alami dan merupakan nutrient utama bagi
Page 43
30
pertumbuhan alga. Menurut Kementrian Lingkungan Hidup (2004), mengenai
batu mutu air laut nilai ambang baras kadar nitrat untuk biota laut adalah 0,008
mg/l. Hasil pengukuran kadar nitrat yang didapatkan pada stasiun 2 (selatan)
adalah 0,0211 mg/l hasil ini melebihi ambang batas yang ditentukan oleh
Kementrian Lingkungan Hidup (2004). Limbah organik akan menjadi anorganik
sederhana oleh bakteri pengurai yang didalamnya merupakan bakteri nitrifikasi,
perubahan akhir nitrogen yaitu nitrat dalam batas normal akan dimanfaatkan oleh
organisme laut seperti zooxanthellae untuk proses fotosintesis (Steven,2011).
Kadar nitrat suatu perairan dalam ambang batas normal maka fotoplankton
disuatu prairan sehingga akan terjadinya fotosintesis yang akan menghasilkan O2
yang dibutuhkan oleh organisme laut, namun kadar nitrat yang melebihi ambang
batas normal akan mengakibatkan akumulasi pertumbuhan ganggang yang tak
terbatas air akan kekurangan O2, sehingga tidak terjadinya proses nitrifikasi
melainkan proses denitrifikasi yaitu pelepasan senyawa racun bagi organisme laut
(Steven, 2011).
Kondisi terumbu karang hidup di stasiun 4 (utara) tidak jauh berbeda
kondisinya dengan stasiun 2 (selatan) yang berada kedalaman 10 m. Di stasiun 4
(utara) pada kedalaman 3 m kondisi terumbu karang hidup yaitu 10,41 % kondisi
ini tergolong kategori rusak. Kondisi ini diduga tingginya persentase abiotik,
terlihat pada komposisi penutup substrat dasar (Tabel 2) persentase abiotik
mencapai 69,74 % yang terdiri dari 2,93 % pasir (sand) dan 66,81 % patahan
karang (rubble) (Lampiran 6) tingginya persentase patahan karang yang diduga
adanya akibat antropogenik yang terjadi akibat kerusakan yang ditimbulkan oleh
manusia seperti lalu lintas kapal yang sering melewati stasiun 4 (utara)
Page 44
31
dikarenakan bagian utara merupakan tempat bersandarnya kapal, diduga patahnya
terumbu karang akibat lemparan jangkar yang dilakukan para nelayan atau
pemilik kapal dengan cara yang salah dan tidak mengetahui posisi yang tepat
untuk meletakan jangkar.
Menurut Data Hasil Laporan Bulanan Kelurahan Pulau Panggang (2015)
terdapat 28 kapal yang terdiri dari 9 jenis angkutan umum,2 jenis angkutan anak
sekolah dengan trayek Pulau Panggang–Pulau Pramuka, dan 17 jenis angkutan
umum/regular dengan trayek Pulau Pangganang–Muara Angke, Pulau Panggang
ke Pulau Pramuka. Aktivitas di laut yang dapat mengancam terumbu karang
antara lain pencemaran dari pelabuhan, tumpahan minyak, dan akibat langsung
dari pelemparan jangkar kapal. Kegiatan kapal dapat berdampak bagi terumbu
karang memalui tumpahan minyak dari pembuangan ballast kapal. Selain
aktivitas lalu lintas kapal yang dapat mengakibatkan patahanya karang
antropogenik menangkap ikan dengan alat tangkap bubu juga dapat merusak
terumbu karang. Bubu merupakan alat tangkap ikan pasif tradisional yang masih
dilakukan oleh masyarakat di Pulau Panggang. Penghasilan tangkap ikan dengan
bubu dapat mencapai Rp. 1,200,000 – 2,000,000 per bulannya, masyarakat Pulau
Panggang masih melakukan penangkapan ikan dengan bubu karena untuk
memenuhi perekonomian nelayan (Gambar 8).
Page 45
32
Gambar 8. Alat tangkap ikan (bubu)
Bubu merupakan alat tangkap pasif tradisional yang berupa penangkap ikan
terbuat dari bambu dan rotan yang dibuat sehingga ikan yang masuk tidak dapat
keluar. Pengoprasian bubu membutuhkan pemberat untuk menindihnya agar bubu
tidak mudah bergeser karena arus laut. Pemberat yang dipergunakan untuk
menindih bubu adalah karang hidup lalu dihimpitkan pada bubu sehingga
membentuk gua. Tujuan ditindih dengan karang hidup adalah untuk mengelabui
ikan seolah-olah mulut dari bubu adalah rongga dalam terumbu karang.
Pembongkaran karang hidup inilah yang menyebabkan karang menjadi rusak dan
patah (Gambar 9) (Kusumastuti, 2004).
Gambar 9. Perbedaan terumbu karang hidup sehat(a) dengan patahan karang
(rubble) (b)
a b
Page 46
33
Kondisi terumbu karang hidup pada kedalaman 10 m persentase terumbu
karang hidup tidak jauh berbeda yaitu 13,88% hal ini tergolong dalam kategori
rusak. Kondisi ini diduga tingginya persentase karang mati yang ditemukan
(Tabel 2) yang mencapai 57,11% yang didominasi oleh DCA yang mencapai
54,14%. Pengukuran fosfat dan nitrat yang merupaka unsur hara yang dibutuhkan
oleh terumbu karang diduga dapat mempengaruh bagi pertumbuhan terumbu
karang. Fosfat pada stasiun 4 (utara) memiliki kandungan yang rendah dari
ambang batas baku mutu air laut yaitu hanya mencapai 0,0031 mg/l (Lampiran 2)
sehingga fosfat tidak optimal dimanfaatkan oleh terumbu karang karna
kandungannya yang terlalu rendah. Nitrat pada strasiun 4 (utara) memiliki
kandungan yang tinggi yang melebihi dari ambang batas batu mutu air laut yaitu
0,024 mg/l (Lampiran 2) kandungan unsur hara yang tinggi yg melebihi dari
ambang batas dapat berpotensi menjadi racun untuk organisme laut.
Tabel 2. Komposisi penutupan substrat dasar di perairan Pulau Panggang
Lokasi Kedalaman Abiotik Alga Biota
Lain
Karang
Keras
Karang
Lunak
Karang
Mati
Barat 3 m 27,98 0 1,77 28,9 0 27,05
10 m 0,38 0,95 1,55 34,72 2,18 45,9
Selatan 3m 15,57 0 3,5 43,54 0 23,1
10 m 5,37 1,95 1,01 17,74 0 59,62
Timur 3 m 26,9 8,5 13,51 36,78 5,01 2,61
10 m 3,3 1,47 7,65 29,24 0,71 43,32
Utara 3 m 69,72 0 5,38 10,41 0 0,17
10m 8,28 0 5,92 13,88 0,5 57,11
Berdasarkan pengamatan yang dilakukan komposisi penutupan substrat dasar
di perairan Pulau Panggang Kepulauan Seribu lebih mendominasi oleh karang
Page 47
34
mati, kondisi karang mati banyaknya disebabkan oleh DCA (dead coral algae)
diduga kondisi ini sudah berlangsung lama. Tingginya abiotik yang terlihat yaitu
banyaknya patahan karang (rubble) turut serta mendukung sedikitnya persentase
terumbu karang hidup di perairan Pulau Panggang Kepulauan Seribu.
Persentase tutupan karang beberapa bentuk pertumbuhan karang (Acropora
dan Non-Acropora) ditemukan di perairan Pulau Panggang cukup beragam antara
lain, Acropora branching (ACB), Acropora digitate (ACD), Acropora tabulate
(ACT) termasuk dalam pertumbuhan Acropora dan Coral branching (CB), Coral
encrusting (CE), Coral foliose (CF), Coral massive (CM), Coral submassive
(CS), Coral mushroom (CMR), Coral millepora (CME) termasuk dalam
pertumbuhan Non-Acropora (Gambar 10).
Gambar 10. Persentase bentuk pertumbuhan karang hidup di kedalaman 3 m
Persentase karang hidup dengan bentuk pertumbuhan massive, foliose dan
branching terlihat lebih mendominasi di setiap stasiun pengamatan, pada
kedalaman 3 meter CB 40,9%, CF 22,74%, CM 23,12% sedangkan pada ACB
0.14 0.92 0 0
10.44
18.18
6.5 5.78
0
19.14
2.6 1
12.52
5 4.45 1.15
0 0 1.5
0 0 0
2.67
0 0 0 2.08 0 0
5
10
15
20
25
3 m 3 m 3 m 3 m
Barat Selatan Timur Utara
pe
rse
nta
se t
utu
pan
(%
)
ACB ACD ACT CB CE CF CM CS CMR CME
Page 48
35
15,18%, ACD 1,06%, ACT 0 %, CE 2,47%, CS 1,5%, CMR 2,67% dan CME
2,08%. (Gambar 11).
Gambar 11. Persentase bentuk pertumbuhan karang hidup di kedalaman 10 m
Persentase bentuk karang hidup dengan kedalaman 10 m CM 23,51%, CF 22,39%
sedangkan pada ACB 6,12%, ACD 0,14%, ACT 0,31%, CB 4,97%, CE 19,6%,
CS 14,2%, CMR 4,29% dan CME 0%.
Berdasarkan hasil persentase karang Non-Acropora lebih tinggi dibandingkan
karang Acropora yaitu rata-rata mencapai 26,34%, sedangkan persentase karang
Acropora hanya mencapai rata-rata 7,60%. Bentuk morfologi kedua karang ini
adalah bercabang namun bentuk cabang dari Acropora berukuran lebih kecil
sehingga karang ini lebih mudah rapuh jika terjadi perubahan kondisi perairan.
Menurut Rahmitha dkk (2015), jenis Acropora merupakan karang yang rapuh dan
sangat sensitif terhadap kondisi lingkungan. Karang masif yang merupakan
komponen penting penyusun terumbu karang dikawasan Indo-Pasifik, karang
5.27
0.07 0 0.78
0.58 0.15
3.44
0.8
6
8.58
1.58
3.44
12.44
1.81
8.14
0
5.6
4.24
5.77
7.9
3.28 2.14
8.18
0.6 1.6
0.72 1.97
0 0
2
4
6
8
10
12
14
10 m 10 m 10 m 10 m
Barat Selatan Timur Utara
pe
rse
nta
se t
utu
pan
(%
)
ACB ACD ACT CB CE CF CM CS CMR CME
Page 49
36
jenis ini sangat melimpah di perairan Indonesia. Karang masif mampu beradaptasi
di lingkungan yang keruh hal ini menunjukan karang masif dapat mendominasi
karena mampu beradaptasi dalam lingkungan kronis (Suharsono,1996).
4.2 Kepadatan Acanthaster planci di perairan Pulau Panggang
Acanthaster planci merupakan salah satu predator yang memakan polip
karang. Penelitian ini menemukan keberadaan A. planci di perairan Pulau
Panggang bagian barat sebanyak 1 individu pada kedalaman 3 meter (Tabel 3).
Kepadatan A. planci di perairan Pulau Panggang adalah sebesar 0,002
individu/480m2 sehingga dapat dikategorikan alami karena kurang dari 14
individu/1000m2. A. planci ditemukan berada pada karang mati/patahan karang
(Gambar 12).
Tabel 3. Acanthaster planci yang ditemukan di perairan Pulau Panggang
Jumlah A.planci 0,002 individu/480m2
Stasiun Barat
Kedalaman 3 meter
Transek ke- 1
Panjang (cm) 30 cm
Jumlah Lengan 12
Jarak Pada LIT 10 meter
Jarak A.planci dengan LIT 229 cm
Life form Karang
Berasosiasi
Karang Mati/
patahan karang
Page 50
37
Gambar 12. Acanthaster planci yang ditemukan pada lokasi pengamatan
Sedikitnya A. planci yang ditemukan diduga karena sedikitnya jenis karang
Acropora yang tumbuh yang merupakan makanan dari hewan A. planci. Faktor
lingkungan seperti arus dan kedalaman diduga dapat mempengaruhi keberadaan
A. planci. Pada lokasi barat kecepatan arus adalah 0,13 m/s kecepatan arus ini
cukup kencang untuk keberadaan A. planci. Menurut Suharsono (1991), kisaran
arus yang optimal bagi terumbu karang adalah 0,05–0,08 m/s, sedangkan menurut
Aziz (1995), umumnya A. planci terdapat pada perairan yang berarus lambat.
4.3. Analisa PCA
Uji statistik dengan menggunakan analisa PCA yang dilakukan terhadap data
menampilkan mengenai informasi yang sederhana mengenai pencirian antara
persentase tutupan karang hidup yang ditinjau dari kepadataan A. planci yang
didukung parameter fisika dan kimia. Berdasarkan analisa hubungan tersebut
terlihat bahwa komponen 1 terdiri atas karang hidup, salinitas, kecerahan, DO,
Page 51
38
pH, fosfat (PO4) dan suhu sedangkan pada komponen 2 terdiri atas karang mati, A.
planci, konduktivitas, kecepatan arus dan nitrat (NO3).
Gambar 13. Grafik analisa komponen utama karakter karang hidup,
Acanthaster planci dan fisik-kimia perairan di perairan
Pulau Panggang
Berdasarkan hasil PCA terdapat hubungan yang kuat antara salinitas yaitu
0.945 dengan karang hidup yaitu 0.964. Berdasarkan pengukuran faktor fisik-
kimia yang dilakukan di 4 stasiun (barat, selatan, timur, utara) (Lampiran 2),
salinitas berkisar antara 28,9–30,2 0/00, kisaran salinitas tersebut masih tergolong
optimal bagi pertumbuhan terumbu karang yaitu 27–350/00 (Supriharyono, 2007).
Hasil ini menunjukan bahwa salinitas perairan di lokasi penelitian masih optimal
bagi perkembangan dan pertumbuhan terumbu karang. Berdasarkan batu mutu
salinitas untuk karang yaitu 330/00–34
0/00 (Kementrian Lingkungan Hidup, 2004).
Page 52
39
Salinitas sangat berpengaruh terhadap kehidupan organisme perairan dan
pengaruhnya tersebut menyebabkan terjadinya tekanan osmotik tubuh organisme,
sehingga organisme tersebut akan mengeluarkan energi yang besar untuk
beradaptasi dengan lingkungannya, penurunan salinitas mendekati batas toleransi
akan berakibat kematian bagi organisme (Syahnilawati dkk, 2013). Menurut
Hutabarat,dkk (2006), berkurangnya kadar salinitas karena adanya sejumlah air
tawar yang masuk yang berasal dari sungai-sungai dan juga disebabkan oleh
pasang surut dan curah hujan, curah hujan tinggi dapat membunuh terumbu
karang dengan meningkatkan jumlah endapan dalam air dan penurunan salinitas.
Distribusi salinitas yang rendah dilapisan permukaan laut-laut Asia Tenggara
selama terjadinya angin musim barat (north east monsoon) dari bulan Desember
sampai Mei.
Berdasarkan hasil PCA memiliki pencirian antara persentase karang hidup
dengan keberadaan A. planci di perairan Pulau Panggang. Berdasarkan
pengamatan A. planci yang ditemukan hanya 0,002 individu yang merupakan
ketegori alami. Tingginya persentase karang mati di perairan Pulau Panggang
tidak dapat dipastikan diakibakan oleh keberadaan A. planci namun diduga karena
keadaan lain seperti faktor fisik kimia dan antropogenik di perairan Pulau
Panggang.
Setiap parameter tinggi rendahnya hasil yang didapat akan tetap memberikan
pengaruh terhadap kondisi terumbu karang hidup di perairan Pulau Panggang
kepulauan Seribu. Berdasarkan hasil matriks, kecerahan memiliki hasil yaitu
0.782 dan posisinya mendekati karang hidup hal ini menunjugan juga kecerahan
Page 53
40
memiliki pengaruh terhadap karang hidup walaupun hasil yang ditunjukan tidak
mendekati 1 seperti hasil yang ditunjukan oleh salinitas. Berdasarkan pengamatan
faktor fisik-kimia (Lampiran 2) yang dilakukan di 4 stasiun dengan kedalaman 3
dan 10 meter, stasiun yaitu barat, selatan dan timur memiliki kecerahan lebih dari
10 meter, namun pada stasiun utara kecerahannya lebih rendah hanya memiliki
kecerahan 887,5 cm yang kecerahannya kurang dari 10 meter, diduga stasiun
utara merupakan jalur lalu lintas kapal yang setiap hari dilewati terlihat dari hasil
persentase tutupan karang pada stasiun utara lebih rendah karang hidupnya
(Gambar 7) yang sudah dikategorikan rusak, sedangkan pada stasiun selatan
memiliki kecerahan 13,75 meter namun kondisi persentase karang pada
kedalaman 10 meter kategori rusak karena banyaknya karang mati karena alga
(DCA) namun kondisi kecerahan ini masih dalam batas baku mutu untuk karang
yaitu >5 m (Kementrian Lingkungan Hidup, 2004).
Menurut Guntur, (2011), kecerahan merupakan bagian faktor penting bagi
pertumbuhan terumbu karang, untuk hidup dan berkembang terumbu karang
memerlukan air laut yang bersih dan jernih, bila terjadi kekeruhan pada air laut
akan menghalangi penetrasi cahaya matahari sehingga laju pertumbuhan dan
produksi terumbu karang akan berhenti. Kekuatan dari mesin kapal akan
mengaduk pasir yang ada di dalam laut sehingga akan membuat air menjadi keruh
dan pasir juga dapat menutupi terumbu karang. Kejernihan air laut yang berkaitan
erat dengan faktor pengendapan di dalam air ataupun di atas terumbu karang
mempunyai pengaruh negatif terhadap koloni terumbu karang, kebanyakan
terumbu karang tidak dapat bertahan dengan adanya endapan yang berat karena
akan menutupi dan menyumbat struktur terumbu karang (Guntur, 2011).
Page 54
41
Berdasarkan hasil perhitungan, oksigen terlarut (DO) memiliki kedekatan
dengan pH. Pengukuran factor fisik-kimia (Lampiran 2) menunjukan hasil
oksigen terlarut yaitu berkisar antara 7,7–7,9 mg/l nilai tersebut masih dalam
ambang batas yaitu 5,7-8,5 mg/l (Kementrian Lingkungan Hidup, 2004) dan nilai
pH berkisar antara 7-8 nilai ini juga masih dalam kondisi ambang batas
pertumbuhan terumbu karang. Oksigen terlarut dalam air diperoleh langsung dari
udara yaitu dengan difusi langsung dari udara dan melalui pergerakan air yang
teratur juga dihasilkan dari fotosintesis tanaman yang berklorofil (Sutika, 1989).
Kelarutan oksigen di dalam air sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor, oksigen
terlarut juga merupakan faktor penting bagi organisme air, banyaknya oksigen
terlarut melalui udara ke air tergantung pada luas permukaan air, suhu dan
salinitas (Barus, 2004). Kejenuhan oksigen dalam air dipengaruhi oleh suhu air,
semakin tinggi suhu maka konsentrasi oksigen terlarut semakin turun. Konsentrasi
dan distribusi oksigen di laut ditentukan oleh kelarutan gas oksigen dalam air dan
proses biologis yang mengontrol tingkat konsumsi dan pembebasan oksigen
(Fardian, 1992).
Kandungan pH rata – rata 7- 8,5 hal ini termasuk dalam kisaran normal, Nilai
pH mencerminkan keseimbangan antara asam dan basa suatu perairan. Setiap
organisme mempunyai toleransi terhadap pH. Menurut Nybakken (1992), bahwa
umumnya organisme perairan dapat hidup pada kisaran pH tidak kurang dari 6,7
dan tidak lebih dari 8,5. Kandungan pH yang mendukung bagi kehidupan biota
karang berkisar antara 6,5–8,5 (Thamrin, 2006).
Page 55
42
Berdasarkan hasil perhitungan PCA terdapat hubungan antara konsentrasi
fosfat dengan suhu. Hasil faktor fisik menunjukan suhu pada 4 stasiun
pengamanatan mencapai 28,50C-29,3
0C. Berdasarkan hasil persentase tutupan
karang pada pada kedalaman 3 meter masih dapat tumbuh dengan baik namun
pada kedalaman 10 meter rata-rata sudah rusak diduga karena faktor antropogenik
dan diduga sudah terjadi kerusakan dalam waktu yang sudah cukup lama yang
terdapat di perairan Pulau Panggang. Menurut Hutabarat,dkk (2006), suhu di laut
adalah salah satu faktor yang sangat penting bagi kehidupan organisme di lautan,
karena suhu mempengaruhi baik aktivitas metabolisme maupun
perkembangbiakan dari organisme-organisme tersebut. Fauna karang memerlukan
suhu diatas 180C, pertumbuhan yang optimal bagi terumbu karang suhu perairan
rata-rata suhu tahunnya berkisar antara 130C–25
0C, adapun suhu maksimum yang
dapat ditoleransi oleh terumbu karang adalah 360C – 40
0C (Guntur,2011). Hasil
faktor fisik kandungan fosfat di 4 stasiun pengamatan mencapai 0,0004-0,0031
mg/l konsentrasi ini masih dibawah ambang batas yaitu 0,015mg/l. Menurut
Hutagalung,dkk (1997), fosfat merupakan zat hara yang sangat dibutuhkan oleh
zooxanthela yang bersimbiosis dengan terumbu karang untuk berfotosintesis,
fosfat merupakan salah satu unsur hara yang penting bagi metabolisme sel
tumbuhan akuatik. Nilai kandungan fosfat berpengaruh pada angin musim barat
yang bertepatan dengan musim hujan sangat berpotensi untuk meningkatkan
kadar fosfat yang berasal dari daratan (Simanjuntak, 2003). Berdasarkan
pengamatan faktor fisik yang dilakukan suhu yang nilainya masih diambang batas
bagi pertumbuhan terumbu karang berdampank pada konsentrasi fosfat di
Page 56
43
perairan. Menurut Nur, (2011), semakin meningkatnya suhu maka konsentrasi
fosfat akan rendah.
Konduktivitas lokasi penelitian nilai konduktivitas kisaran 39,5–40,9 mS/cm
hasil tersebut tergolong dalam keadaan normal yaitu 55 mS/cm. Menurut Effendi,
(2003) konduktivitas adalah gambaran numerik dari kemampuan air untuk
meneruskan aliran listrik, semakin banyak kandungan garam terlarut yang dapat
terionisasi semakin tinggi pula nilai konduktivitas. Konduktivitas bertambah
dengan jumlah yang sama dengan bertambahnya salinitas. Secara umum, faktor
yang lebih dominan dalam perubahan konduktivitas air adalah temperatur.
Berdasarkan hasil faktor fisik kecepatan arus permukaan perairan yang
diperoleh selama penelitian antara lain bekisar 0,13–0,21 m/s. Kecepatan arus
merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi perkembangan dan pertumbuhan
terumbu karang. Kecepatan arus di lokasi penelitian cukup kencang melebihi
kisaran arus yang optimal bagi terumbu karang yaitu 0,05–0,08 m/s (Suharsono,
1984). Hal ini didukung banyaknya sebaran karang masif di Pulau Panggang,
umumnya karang masif dapat beradaptasi dan bertahan terhadap tekanan dari arus
yang cukup besar. Menurut Thamrin (2006), arus atau gelombang penting untuk
transportasi zat hara, larva, bahan sedimen dan oksigen, serta dapat membersihkan
polip karang dari kotoran yang menempel, itu sebabnya karang yang hidup di
daerah berombak dan berarus kuat lebih berkembang dibanding daerah yang
tenang dan terlindung. Arus akan memberikan suplai oksigen ke dalam air laut,
menghalangi pengendapan sedimen pada koloni karang dan dapat memberikan
makanan bagi terumbu karang (Nybakken 1992). Umumnya terumbu karang
ditemukan tumbuh dan berkembang dengan baik pada perairan laut dengan
Page 57
44
kondisi kecepatan arus yang cukup besar. Namun, Endean (1987), mengemukakan
bahwa pada umumnya bintang laut ini ditemukan pada lokasi-lokasi perairan
dengan kecepatan arus yang lambat.
Berdasarkan hasil faktor fisik nilai kandungan nitrat yang didapatkan diempat
lokasi berkisar antara 0,0194-0,0250 mg/l lebih tinggi dari nilai ambang batas.
Menurut Effendi (2003), menjelaskan bahwa nitrat adalah bentuk nitrogen utama
dalam perairan alami dan merupakan nutrien utama bagi pertumbuhan alga.
Menurut Kementerian Lingkungan Hidup (Kementrian Lingkungan Hidup, 2004),
tentang batu mutu air laut nilai ambang batas kadar nitrat untuk biota laut adalah
0,008 mg/l. Tingginya kadar nitrat dikarenakan meningkatnya limbah yang
dibuang keperairan melalui sungai. Nitrat senyawa nitrogen dalam air laut
terdapat dalam tiga bentuk utama yangberada dalam keseimbangan, yaitu
amoniak, nitrit dan nitrat. Keseimbangan tersebut sangat dipengaruhi oleh kandungan
oksigen bebas dalam air. Kadar oksigen rendah, keseimbangan bergerak menuju amoniak,
sedangkan padasaat kadar Oksigen tinggi keseimbangan bergerak menuju nitrat.
Nitrat merupakan hasil akhir dari oksidasi nitrogen dalam air laut.
Page 58
45
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan
a. Berdasarkan analisa yang dilakukan didapatkan hasil bahwa rata-rata
persentase tutupan karang hidup di perairan Pulau Panggang kedalaman 3
meter adalah 31,16% tergolong kategori sedang dan pada kedalaman 10 m
adalah 24,61% tergolong kategori rusak.
b. Kepadatan Acanthaster planci yang ditemukan yaitu 0,002 individu/480m2
dalam ketegori alami.
c. Berdasarkan analisa PCA diketahui bahwa terdapat hubungan yang kuat
antara salinitas dengan tutupan karang hidup di perairan Pulau Panggang
Kepulauan Seribu, sedangkan persentase karang hidup dengan keberadaan
A.planci tidak terdapat hubungan.
d. Aktivitas antropogenik yang ditemukan pada lokasi penelitian adalah
lalulintas kapal, penangkapan ikan menggunakan bubu dan limbah sampah
yang mengacu pada kandung nitrat (NO3) yang melebihi ambang batas
diduga dapat mengakibatkan terjadinya eutrofikasi dan kandungan fosfat
(PO4) yang rendah diduga mempengaruhi persentase karang hidup karena
fosfat salah satu unsur hara yang dibutuhkan karang untuk pertumbuhan.
Page 59
46
5.2. Saran
a. Melakukan pemantauan tutupan terumbu karang dalam tingkat genus lebih
lanjut pada lokasi perairan Pulau Panggang untuk menjaga kelestarian
terumbu karang dan biota laut.
b. Adanya penanganan lebih lanjut mengenai antropogenik khususnya
mengenai limbah sampah di perairan Pulau Panggang Taman Nasional
Laut Kepulauan Seribu
Page 60
47
DAFTAR PUSTAKA
Abdurahman. M dan Muhidin. S A. 2007. Analisis Korelasi, Regresi, dan Jalur
dalam Penelitian. Bandung: Pustaka Setia.
Aziz. A. 1977. Bulu Seribu dari Pulau Pari. Jurnal Oseana IV 1:7-13.
Jakarta.
Aziz. A. 1995. Beberapa Catatan Tentang Kehadiran Bintang Laut Jenis
Acanthaster planci di Perairan Indonesia. Jurnal Oseana
Vol.XX.2:23-31. Jakarta.
Badan Pusat Statistik Provinsi DKI Jakarta. 2010. Hasil Sensus Penduduk
2010. (SP2010),BPS. Diakses.Kamis,15 Januari 2015.
Banata. A. 2015. Kepadatan Acanthaster planci L. dan Hubungan dengan
Persentase Tutupan Karang Hidup di Pulau Air (Daerah
Peyangga) Taman Nasional Kepulauan Seribu.UIN Syarif
Hidayatullah. Jakarta.
Barus. T. A. 2004. Pengantar Limnologi Studi Tentang Ekosistem Sungai dan
Danau. Program Studi Biologi. Fakultas MIPA USU. Medan.
Birkland. C and Lucas. 1990. The Influence of Echinoderm on Coral Reef
Communities in: Echinoderm Studies M. Jangoux and J.M.
Lawrence vol.3.A.A. Berkerna, Roterdam, Nerherlands.
Data Hasil Laporan Bulanan.2015. Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus
Ibu Kota Jakarta. Kelurahan Pulau Panggang Kecamatan
Kepulauan Seribu Utara Kabupaten Administrasi Kepulauan
Seribu.
Effendi, H. 2003. Telaah Kualitas Air Bagi Pengelolaan Sumber Daya dan
Lingkungan Perairan. Kanisius. Yogyakarta.
Efrinawati. 2012. Kondisi Terumbu Karang di Pulau Pramuka, Kelurahan
Pulau Panggang Taman Nasional Kepulauan Seribu. Fakultas
Sains dan Teknologi.UIN Syarif Hidayatullah. Jakarta.
Endean, R. 1987. Acanthaster planci Investation. pp. 299-237. In B. salvat
(editor). Human Impact on Coral Reefs: Facts and
Recommendations, Antenne Museum E.P.H.E. French Polynesia.
Australia.
English, S. Wilkenson, C., and Baker, V. 1994. Survey Manual For Tropical
Marine Resources. ASEAN Australia Living Coastal Resources
Project. Australian Institute of Marine Science.
Fachrul. M. 2008. Metode Sampling Bioteknologi. Bumi Aksara. Jakarta.
Page 61
48
Fahreza. A. D.,Pujiono. W. P.,Boedi. H. 2013. Kelimpahan serta predasi
Acanthaster planci di perairan tanjung klayang kabupaten
Belitung. Jurnal of Management of aquatic resources. Jurusan
Perikanan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan.Universitas
Diponegoro. Semarang.
Fardian, S., 1992. Polusi Air dan Udara. Kanisisus. Yogyakarta.
Fraser, N. B.R. Crawford, dan J. Kusen. 2003. Panduan Pembersihan
Bintang Laut Berduri, Koleksi Dokumen Pesisir. USAID-ICRMP,
Jakarta. 34 hal.
Guntur. 2011. Ekologi Karang pada Terumbu Buatan. Ekologi Karang pada
Terumbu Karang Buatan,Cet.1. Ghalia Indonesia. Bogor.
Hutabarat. S., Stewart M. Evans. 2006. Pengantar OSEANOGRAFI.
Universitas Indonesia. Jakarta.
Hutagalung, H. P. 1997. Metoda Analisis Air Laut,Sedimen dan Biota.Buku
2. Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanologi Lembaga Ilmu
Pengetahuan Indinesia. Jakarta.
Kementrian Lingkungan Hidup Republik Indonesia (KLH). 2004. Baku Mutu
Air Laut Untuk Biota Laut. Keputusan Menteri Negara Lingkungan
Hidup No.51 Tahun 2004 Tentang Baku Mutu Air Laut.KLH.
Jakarta.
Krebs, T. 1989. Ecology. The Experimental Analysis of Distribution and
Abundace . Harper and Row: New York.
Kusumastuti, A. 2004. Kajian Faktor-Faktor Penyebab Kerusakan Terumbu
Karang Di Perairan Bontang Kuala dan Alternative
Penanggulangannya. Program Magister Ilmu Lingkungan Program
Pascasarjana Universitas Diponegoro. Semarang.
Moran, P.J. 1990. The Acanthaster planci (L.); Biographical Data. Coral
Reefs 95-96.
Napitupulu. P., Hanny. T., dan Agung. W. 2013. STRUKTUR POPULASI
Acanthaster planci DI RATAAN TERUMBU BAGIAN
SELATAN PULAU BUNAKEN. Jurnal Pesisir dan Laut Tropis.
Program Studi Ilmu Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu
Kelautan, Universitas Sam Ratulangi. Manado.
Nur,K. 2011. Hubungan Suhu, Oksigen Terlarut dan pH Perairan Terhadap
Konsentrasi Nitrat dan Fosfat Di Muara Sungai Wonorejo,
Gunung Anyar Surabaya. Universitas Trunojoyo Madura.
Nybakken,J. W. 1992. Biota Laut Suatu Pendekatan Ekologis. Alih Bahasa:
M.Eidman, Koesoebiono, D.G.Bengen dan M. Hutomo. Gramedia.
Jakarta.
Page 62
49
Rahmawati. F., Amnihani. Y., Luki. A. S. 2008. Kondisi Terumbu Karang
di Pulau Pramuka,Pulau Sekati,dan Pulau Panggang Kepulauan
Seribu. Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan.Fakultas
Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB. Bogor.
Rahmitha, I. A, Ruswahyuni dan Suryani. 2015. Laju Sedimentasi pada
Karang Masive dan Karang Bercabang di Perairan Pulau Panjang
Jepara. Jurnal of Maquaries Management of Aquatic Resource.
Universitas Diponegoro. Semarang.
Rani. C, Arifin. D, dan Alfian. A. 2011. Status Ekologi Kepadatan Predator
Karang Acanthaster planci LINN: Kaitannya dengan Kondisi
Terumbu Karang di Perairan Tomia, Taman Nasional Wakatobi.
Jurusan Ilmu Kelautan Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan
UNHAS. Makasar.
Simanjuntak. M. 2003. Kadar Fosfat, Nitrat dan Silikat di Teluk Jakarta.
Jurnal Perikanan (J.Fish .Sci) IX (2): 274-287. Jakarta.
Simanjuntak. M. 2012. Kualitas Air Laut Ditinjau dari Aspek Zat Hara,
Oksigen Terlarut, dan pH di Perairan Banggai, Sulawesi Tengah.
Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol.4, No.2. Bidang
Dinamika Laut, penelitian Oseanografi-LIPI. Jakarta. Hlm.290-
303.
Suharsono. 1991. BULU SERIBU (Acanthaster planci). Jurnal Oseana,
Volume XVI No. 3, 1991
Sunarto. 2006. Keanekaragaman Hayati Dan Degradasi Ekosistem
Terumbu Karang. Fakultas Perikanan Dan Ilmu Kelautan.
Universitas Padjadjaran. Bandung.
Sutika, N., 1989. Ilmu Air. Universitas Padjadjarang. BUNPAD Bandung.
Bandung.
Syahnilawati, Baru S., dan Romy. 2013. Kelimpahan Acanthaster planci
pada Perairan Terumbu Karang di Pulau Santigi Selat Tiworo
Kabupaten Muna, Sulawesi Tenggara .Jurnal Mina Laut Indonesia.
Program Studi Manajemen Sumberdaya Perairan FPIK Universitas
Halu Oleo.Kampus Hijau Bumi Tridharma Anduonohu Kendari.
Thamrin. 2006. Karang: Biologi Reproduksi dan Ekologi. Penerbit
Minmandiri. Pres. Pekanbaru.
Yusnita,I. 2014. Kajian Potensi Dampak Wisata Bahari Di Kelurahan Pulau
Panggang Kepulauan Seribu. Sekolah Pasca Sarjana IPB.Bogor.
Page 63
50
Lampiran 1. Kerangka berpikir
Pulau Panggang merupakan salah satu zona
pemukiman padat Kepulauan Seribu
Terumbu karang salah satu ekosistem
penting di laut dan setiap tahun mengalami
kerusakan
Kerusakan secara
biotik
Kerusakan secara
abiotik
Acanthaster planci
Merupakan predator
karang yang dapat
berpotensi mengancam
Faktor Fisika-Kimia Antropogenik
KONDISI KARANG HIDUP DITINJAU DARI
KEPADATAN Acanthaster planci L. DAN HUBUNGANNYA DENGAN
ASPEK ANTROPOGENIK DI PERAIRAN PULAU PANGGANG,
TAMAN NASIONAL LAUT KEPULAUAN SERIBU
Page 64
51
Lampiran 2. Parameter fisika-kimia perairan Pulau Panggang, Kepulauan Seribu
No Faktor Fisik-
Kimia
Ambang Batas
(KLH, 2004)
Lokasi
Barat Selatan Timur Utara
3 m
10
m 3 m
10
m 3 m
10
m 3 m
10
m
1 Suhu 36 0C - 40
0C 28,5 28,5 28,7 28,5 29,2 28,7 29,3 29,3
2 Kecerahan >5 m 10,97 13,75 10,71 8,87
3 Konduktivitas 55 mS/cm 40,5 40,8 40,5 41,2 39,5 39,9 40,7 40,7
4 Kecepatan Arus 0.05 - 0.08 m/det 0,13 0,15 0,21 0,16
5 DO 5.7 - 8.5 mg/l 7,8 7,7 7,7 7,7 7,7 7,7 7,9 7,7
6 pH 6.5 - 8.5 7 7 7 7 7 7 8 8
7 Salinitas 27 - 42 0/00 30,1 30 29,7 30,1 30 30 28,9 30,2
8 PO4 0.015 mg/l 0,0028 0,0004 0,0025 0,0031
9 NO3 0.008 mg/l 0,0194 0,0211 0,025 0,024
Page 65
52
Lampiran 3. Persentase tutupan penyusun habitat karang pada stasiun barat
perairan Pulau Panggang Kepulauan Seribu di kedalaman 3 meter
dan 10 meter
Line Intercept Transect (LIT) Lembar Pengamatan
Lokasi : Perairan Pulau Panggang Panjang Transek : 70 meter
Stasiun : Barat Panjang Ulangan : 20 meter
Kedalaman : 3 meter dan 10 meter Latitude:05044’30.2” Longitude: 106035’11.7”
Kategori Kode Persentase Tutupan (%)
3 meter 10 meter
Life Coral
Acropora
Acropora brancing ACB 0 5,27
Acropora digitate ACD 0,14 0
Acropora ecrusting ACE 0 0
Acropora submassive ACS 0 0
Acropora tabulate ACT 5,78 0
Non-Acropora
Coral brancing CB 10,44 0,52
Coral massive CM 12,52 5,6
Coral encrusting CE 0 6
Coral submassive CS 0 3,28
Coral foliose CF 0 12,44
Coral mushroom CMR 0 1,6
Coral millepora CME 0 0
Coral heliopora CHL 0 0
Total Life Coral 28,37 34,72
Dead Coral
Dead coral DC 26,37 0
Dead coral with algae DCA 0 45,9
Total Dead Coral 26,37 45,9
Other Fauna
Soft coral SC 0 2.18
Sponges SP 0 0.08
Zoanthids ZO 0 0
Others OT 0 1.47
Total Other Fauna 0 3.73
Algae
Alga assemblage AA 0 0
Coralline alga CA 0 0
Halimeda HA 0 0
Macroalgae MA 0 0,95
Tuft alga TA 0 0
Total Alga 0 0,95
Abiotic
Sand S 4,5 0,38
Rubble R 23.48 0
Rock RCK 0 0
Total Abiotic 23,48 0,38
Page 66
53
Lampiran 4. Persentase tutupan penyusun habitat karang pada stasiun selatan
perairan Pulau Panggang Kepulauan Seribu di kedalaman 3 meter
dan 10 meter
Line Intercept Transect (LIT) Lembar Pengamatan
Lokasi : Perairan Pulau Panggang Panjang Transek : 70 meter
Stasiun : Selatan Panjang Ulangan : 20 meter
Kedalaman : 3 meter dan 10 meter Latitude : 05044’54.0” Longitude:106
035’53.0”
Kategori Kode Persentase Tutupan (%)
3 meter 10 meter
Life Coral
Acropora
Acropora brancing ACB 0,28 0,07 Acropora digitate ACD 0,93 0
Acropora ecrusting ACE 0 0
Acropora submassive ACS 0 0
Acropora tabulate ACT 0 0
Non-Acropora
Coral brancing CB 18,18 0,15
Coral massive CM 5 4,24
Coral encrusting CE 0 8,58
Coral submassive CS 0 2,14
Coral foliose CF 19,14 1,81
Coral mushroom CMR 0 0,73
Coral millepora CME 0 0
Coral heliopora CHL 0 0
Total Life Coral 43,53 17,72
Dead Coral
Dead coral DC 13,31 0
Dead coral with algae DCA 9,78 59,63
Total Dead Coral 23,09 59,63
Other Fauna
Soft coral SC 0 0
Sponges SP 0 0,05
Zoanthids ZO 0 0
Others OT 3,5 0,95
Total Other Fauna 3,5 1
Algae
Alga assemblage AA 0 0
Coralline alga CA 0 0
Halimeda HA 0 0
Macroalgae MA 0 1,96
Tuft alga TA 0 0
Total Algae 0 1,96
Abiotic
Sand S 0 0
Rubble R 15,57 5,37
Rock RCK 0 0
Total Abiotic 15,57 5,37
Page 67
54
Lampiran 5. Persentase tutupan penyusun habitat karang pada stasiun timur
perairan Pulau Panggang Kepulauan Seribu di kedalaman 3 meter
dan 10 meter
Line Intercept Transect (LIT) Lembar Pengamatan
Lokasi : Perairan Pulau Panggang Panjang Transek : 70 meter
Stasiun : Timur Panjang Ulangan : 20 meter
Kedalaman : 3 meter dan 10 meter Latitude:05044’34.7” Longitude:106
036’25.5”
Kategori Kode Persentase Tutupan (%)
3 meter 10 meter
Life Coral
Acropora
Acropora brancing ACB 14,9 0 Acropora digitate ACD 1,05 0,14
Acropora ecrusting ACE 0 0
Acropora submassive ACS 0 0
Acropora tabulate ACT 0 0
Non-Acropora
Coral brancing CB 6,16 0,34
Coral massive CM 4,46 5,77
Coral encrusting CE 1,34 1,58
Coral submassive CS 1,57 8,18
Coral foliose CF 2,6 8,14
Coral mushroom CMR 2,67 1,97
Coral millepora CME 2,02 0
Coral heliopora CHL 0 0
Total Life Coral 36,77 26,12
Dead Coral
Dead coral DC 0 0
Dead coral with algae DCA 2,61 43,33
Total Dead Coral 2,61 43,33
Other Fauna
Soft coral SC 5,01 0,71
Sponges SP 0 3,11
Zoanthids ZO 0 0,93
Others OT 8,5 3,61
Total Other Fauna 13,51 8,36
Algae
Alga assemblage AA 7,77 0
Coralline alga CA 0 0
Halimeda HA 0 0
Macroalgae MA 0,86 1,47
Tuft alga TA 0 0
Total Algae 8,63 1,47
Abiotic
Page 68
55
Sand S 12,68 2,91
Rubble R 14,21 0,38
Rock RCK 0 0
Total Abiotic 26,89 3,29
Lampiran 6. Persentase tutupan penyusun habitat karang pada stasiun utara
perairan Pulau Panggang Kepulauan Seribu di kedalaman 3 meter
dan 10 meter
Line Intercept Transect (LIT) Lembar Pengamatan
Lokasi : Perairan Pulau Panggang Panjang Transek : 70 meter
Stasiun : Utara Panjang Ulangan : 20 meter
Kedalaman : 3 meter dan 10 meter Latitude:05044’12.8” Longitude: 106
036’15.3”
Kategori Kode Persentase Tutupan (%)
3 meter 10 meter
Life Coral
Acropora
Acropora brancing ACB 0 0,78 Acropora digitate ACD 0 0
Acropora ecrusting ACE 0 0
Acropora submassive ACS 0 0
Acropora tabulate ACT 0 0,31
Non-Acropora
Coral brancing CB 5,78 0,8
Coral massive CM 1,16 7,9
Coral encrusting CE 2,47 3,44
Coral submassive CS 0 0,64
Coral foliose CF 1 0
Coral mushroom CMR 0 0
Coral millepora CME 0 0
Coral heliopora CHL 0 0
Total Life Coral 10,41 13,87
Dead Coral
Dead coral DC 0,17 2,97
Dead coral with algae DCA 0 54,14
Total Dead Coral 0,17 57,11
Other Fauna
Soft coral SC 0 0,5
Sponges SP 4,73 5,18
Zoanthids ZO 0 0,28
Others OT 0,66 0,46
Total Other Fauna 5,39 6,42
Algae
Alga assemblage AA 0 0
Coralline alga CA 0 0
Halimeda HA 0 0
Macroalgae MA 0 0
Tuft alga TA 0 0
Total Alga 0 0
Page 69
56
Abiotic
Sand S 2,93 5,06
Rubble R 66,81 3,23
Rock RCK 0 0
Total Abiotic 69,74 8,29