-
1
KI BAGUS HADIKUSUMO: Potret Seorang Ulama Nasionalis
Oleh:
Arifin Suryo Nugroho1
Abstrak
Ki Bagus Hadikusumo adalah seorang putra Yogyakarta yang
memiliki peran dan cakupan perjuangan yang luar biasa. Sejarah
mencatat, bersama Sukarno dan Hatta di tahun 1943, ia menghadap
Tenno Haika. Meskipun pertemuan tersebut belum menghasilkan
pengakuan kemerdekaan secara legal formal, tetapi secara psikologis
pertemuan yang prestisius tersebut berpengaruh besar dalam
perjuangan kemerdekaan Republik Indonesia. Pasca Proklamasi 1945,
Ki Bagus Hadikusumo—yang juga ketua organisasi Islam modern
terbesar di Indonesia; Muhammadiyah periode 1944-1953—tergabung
dalam BPUPKI, Sub-Panitia 22, dan PPKI. Di sana, ia menjadi salah
satu saksi kunci dalam proses perumusan Dasar Negara dan
Undang-Undang Dasar Indonesia yang penuh tarik ulur. Kesimpulan
artikel ini menunjukkan bahwa Ki Bagoes Hadikusuma memainkan peran
yang sangat penting dalam penyusunan Konstitusi Indonesia.
Titik-titik kisar perjalanan politik Ki Bagus mampu menjelaskan
bagaimana alur Piagam Jakarta dalam kedudukannya secara historis
dan dipahami dalam jiwa jamannya. Sebagai seorang nasionalis Islam,
ia berjuang untuk menegakkan nilai-nilai keislaman dalam berbangsa
dan bernegara. Ia terlibat aktif dalam pendirian Partai Islam
Indonesia pada tahun 1939, kemudian tergabung juga dalam partai
politik yang berorientasi religius. Sebagai bagian dari
historiografi, tulisan singkat ini tidak mengabaikan metode
penelitian historis yang terdiri dari 4 langkah yaitu: (1).
Heuristik (pengumpulan sumber) yang berupa buku, jurnal, majalah,
dan surat kabar; (2). Kritik Sumber, dalam rangka mendapatkan
sumber yang dapat dipertanggungjawabkan secara substansial maupun
fisik; (3). Interpretasi (penafsiran) terhadap data-data yang
diperoleh berdasarkan kekuatan analisis yang diperkuat melalui
kajian pustaka dan segi peninjauan sosiologis maupun politis; dan
(4). Penyajian. Sebagai pendalaman analisis, tulisan ini juga
menggunakan pendekatan studi tokoh dan biografi, yakni menempatkan
tokohnya dalam kerangka sejarah.
Kata Kunci: Biografi, Ki Bagus Hadikusumo, Ulama Nasionalis
Abstract
Ki Bagus Hadikusumo who was originally from Yogyakarta has an
important role during the preparation of the Indonesian
Independence. In 1943, together with Soekarno and Hatta, he met
Tenno Haika. Although the meeting did not result in a legal
1 Penulis adalah staf pengajar di Prodi Pendidikan Sejarah
Fakultas Keguruan dan Ilmu
Pendidikan Universitas Muhammadiyah Purwokerto. Alumni Sarjana
Pendidikan Sejarah Universitas Negeri Yogyakarta dan Pascasarjana
Pendidikan Sejarah Universitas Sebelas Maret Surakarta. Menulis
beberapa biografi tokoh perempuan Indonesia dan sudah diterbitkan.
Penulis dapat dihubungi melalui email [email protected] atau
085228375915.
-
2
formal recognition of the Indonesian Independence,
psychologicallu this prestigious meeting had a big influence in the
struggle for Independence of the Republic of Indonesia. From
1944-1953, Hadikusumo was the Chair of Muhammadiyah (the largest
Modern Moslem organization in Indonesia). After the Proclamation in
1945, he became a member of the BPUPKI, the Sub-Committee 22, and
the PPKI). In these institutions, he became one of the key
witnesses in the process of formulation of the State Foundation and
the Indonesian Constitution. The process of formulation itself was
like a tug of war.
This article inferred that Ki Bagus Hadikusumo played a
significant role in drafting the Indonesian Constitution. His
political careers can explain how The Jakarta Charter was
historically posed in his time. As a Moslem nationalist, he
struggled to uphold Islamic values for the benefit of this state
and nation. In 1939, he actively involved in the establishment of
Partai Islam Indonesia (the Islamic Party of Indonesia) which later
joined the association of the religious-oriented political
parties.
As part of historiography, the presentation of this short
article has adopted the historical research method that consists of
four steps: (1) The heuristic method that is collecting sourches
from books, journals, magazines, and newspapers, (2) criticism of
sources in order to acquire accountable resources both
substantially and physically, (3) interpretation of data which were
obtained from the deep analysis supported by a broad literature
review and perceived from the sociological and political points of
view, and (4) the approach of figure study and biography (putting
the figure under study in their historical context) were adopted to
deepen the analysis.
Keywords: biography, Ki Bagus Hadikusumo, Nationalist Ulama
Tinggallah di desa-desa dan kampung-kampung untuk mengetahui
keadaan jiwa dan kehidupan murba (rakyat banyak) yang
sebenar-benarnya.
(Ki Bagus Hadikusumo)
I. Pengantar
Jepang ketika berkuasa di Indonesia pernah memberikan
janji-janji kemerdekaan.
Janji itu dikenal dengan Deklarasi Koiso, karena dikeluarkan
oleh seorang Perdana
Menteri Jepang bernama Koiso. Sebenarnya sebelum Deklarasi
Koiso, telah ada wacana
untuk memberikan kemerdekaan kepada Indonesia yang disampaikan
oleh Perdana
Menteri sebelumnya yaitu Tojo. Namun pernyataan Tojo tidak
pernah ditindaklanjuti,
justru yang kemudian mendapatkan kemerdekaan adalah
negara-negara tetangga
-
3
Indonesia seperti Filipina dan Birma. Hal tersebut sangat
mengecewakan masyarakat dan
para tokoh nasionalis Indonesia, karena cita-cita kemerdekaan
yang mereka idam-
idamkan seakan luput di depan mata.
Saat itulah kemudian Jepang mengundang 3 wakil Indonesia ke
Tokyo untuk
bertemu dengan Kaisar Jepang, Tenno Haika. Mereka adalah Sukarno
dan Hatta yang
mewakili golongan nasionalis dan Ki Bagus Hadikusumo—seorang
ulama, pejuang, dan
tokoh Muhammadiyah—yang diundang oleh pemerintah Jepang sebagai
wakil dari
golongan Islam. Keikutsertaan Hadikusumo dalam kunjungan ke
Jepang menandakan
bahwa keberadaannya sebagai tokoh dari kalangan umat Islam
sangat menonjol. Tidak
hanya perjuangan kemerdekaan, nama Hadikusumo kemudian tercatat
sebagai salah satu
Founding Fathers yang membidani dasar negara dan undang-undang
dasar republik.
Ulama yang meninggal setahun setelah penyusunan Mukadimah
Anggaran Dasar
Muhammadiyah pada konggres tahun 1953 ini adalah seorang ulama
yang konsisten
memperjuangkan integritas dan nasionalisme bagi seluruh rakyat
Indonesia. Ia juga keras
berjuang agar negara tetap berada di jalur yang sesuai dengan
syariat Islam. Hal tersebut
terlihat saat Hadikusumo menyampaikan pidato dalam sidang
BPUPKI, ia menyinggung
tentang usaha pemerintah Belanda yang ingin mengganti Hukum
Warisan Islam yang
telah berlaku lama dengan Hukum Warisan Adat. Hadikusumo juga
mengingatkan
peristiwa tahun 1922 ketika pemerintah Belanda juga ingin
mengganti Hukum
Perkawinan Islam dengan Hukum Perkawinan Catat. Mengenai politik
Belanda terhadap
ajaran Islam di Indonesia, Hadikusumo dengan tegas memandangnya
sebagai sebuah
upaya untuk menaklukkan perlawanan umat Islam Indonesia.
Seringkali terdengar suara yang mengatakan bahwa hukum Islam itu
adalah peraturan yang sudah tua, tidak dapat dilakukan di zaman
sekarang ini, buktinya di Indonesia yang kebanyakan penduduknya
beragama Islam, tetapi hukum Islam nyata tidak dapat berjalan.
Memang benar, tetapi harus diingat juga apa yang menyebabkan hukum
Islam tidak dapat berjalan sempurna di Indonesia. Sebabnya tak lain
ialah karena tipu muslihat curang yang dilakukan oleh Pemerintah
Hindia Belanda yang menjajah negeri kita ini, yang memang
-
4
senantiasa berusaha hendak melenyapkan ajaran Islam dari
jajahannya, karena mereka tahu bahwa selama bangsa Indonesia tetap
berpegang teguh pada agama Islam, tentu tidak akan menguntungkan
dia. Oleh karena itu hukum-hukum Islam yang berlaku di Indonesia
sedikit demi sedikit hendak dihapuskan dan digantikan dengan hukum
lain yang dikehendakinya.2
Tentu saja hal tersebut sangat mengkhawatirkan mengingat
sebagian besar penduduk
Hindia Belanda adalah umat Islam. Telah jelas apa yang dilakukan
Belanda tersebut
merupakan bentuk propaganda untuk memecah belah kesatuan umat
Islam, dimana
orientalis Snouck Hurgronje berada di belakangnya. Hadikusumo
yang seorang Islam
nasionalis sadar bahwa usaha memisahkan nilai-nilai Islam dari
sendi-sendi kehidupan
bangsanya akan menjadi ancaman nyata bagi integritas bangsa di
masa depan.
Sikap nasionalis yang dibungkus dengan nilai-nilai keislaman
dalam diri Ki
Bagus Hadikusumo selain dibentuk karena faktor keturunan,
jatidiri atau kepribadiannya
juga tidak terlepas dari faktor lingkungan. Hal ini relevan
dengan teori konvergensi dari
William Stern, bahwa setiap tingkah laku merupakan hasil
pertemuan (konvergensi)
antara faktor pribadi dan faktor lingkungan,3 menjadi dasar
untuk melacak jejak
pembentukan kepribadian dan gambaran secara lahir batin seorang
Ki Bagus. Kampung
Kauman, lembaga pendidikan masa kecil, dan keluarga menjadi
bagian penting dalam
membentuk kepribadian Ki Bagus Hadikusumo.
Sebagai seorang nasionalis Islam, ia berjuang menegakkan
nilai-nilai keislaman
dalam berbangsa dan bernegara. Ia terlibat aktif dalam pendirian
Partai Islam Indonesia
pada tahun 1939, ia juga anggota partai politik yang
berorientasi religius, hingga peran
pentingnya dalam penyusunan Konstitusi Indonesia. Karir dan
perjuangan politiknya
2 A. Hafizh Dasuki dkk., Suplemen Ensiklopedi Islam 1, Jakarta:
PT Ichtiar Baru Van Hoeve,
1996, hlm. 148. 3 Lihat Monks, F.J., Knoers, A.M.P., dan Siti
Rahayu Haditono, Psikologi Perkembangan,
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2002, hlm. 18-21.
-
5
untuk Indonesia tersebut serta kiprahnya di Muhammadiyah, hingga
kematiannya pada
tahun 1994 didiskusikan dalam artikel ini.
II. Riwayat Hidup Raden Dayat dari Kampung Kauman
Kampung Kauman Yogyakarta adalah tempat dimana banyak lahir
ulama-
pejuang terkemuka di Indonesia. Pendiri Muhammadiyah, KH. Ahmad
Dahlan dan
Ketua Umum Muhammadiyah berikutnya juga putra-putra dari Kampung
Kauman.
Demikian pula seorang Ki Bagus Hadikusumo yang dilahirkan dengan
jeneng cilik
(nama kecil) Hidayat atau Raden Dayat.4 Jeneng cilik merupakan
kebiasaan yang umum
di kalangan priyayi Jawa, dan saat usia anak menginjak dewasa
maka ia akan memiliki
jeneng tuwo (nama dewasa). Nama Ki Bagus Hadikusumo adalah
jeneng tuwo dari
Hidayat yang memiliki makna elok, Ki merupakan sebutan
laki-laki, menunjukkan
fungsi sosial tertentu terutama dalam hal agama seperti Kiai,
Bagus adalah panggilan
yang biasa berlaku di lingkungan elite Jawa, sementara
Hadikusumo adalah nama yang
sesungguhnya dan menandakan ia berasal dari kalangan elite
priyayi atau golongan
bangsawan.
Lahir dari keluarga priyayi dengan seorang ayah yang menjabat
sebagai abdi
dalem pamethakan atau putihan bernama Raden Kaji Lurah Hasyim,
atau jabatan sebagai
pejabat keraton dalam bidang agama Islam, membuat Hadikusumo
kecil tak kering dari
pendidikan umum maupun agama. Namun pendidikan di sekolah umum
hanya sampai
kelas 3 sekolah dasar atau sekolah Ongko Loro, karena Hadikusumo
lebih tertarik pada
pendidikan agama di pondok pesantren. Pondok pesantren tempat
Hadikusumo menuntut
ilmu adalah Pondok Pesantren Wonokromo Yogyakarta. Di pesantren
itulah
Hadikusumo mulai mendalami secara serius khasanah ilmu
pengetahuan Islam terutama
masalah akhlak dan tasawuf. Sedangkan ilmu fiqih diperoleh
langsung dari KH. Ahmad
4 Ibid., hlm 145.
-
6
Dahlan. Pengetahuan Hadikusumo akan tasawuf Islam makin
berkembang dengan
kegemarannya membaca karya-karya ahli agama Timur Tengah seperti
Ibnu Taimiyah,
Imam Syafii, Al Gazali, dan beberapa karya Ibnu Rusyd.
Menikah sebanyak 3 kali dan dikaruniai banyak putra-putri
merupakan salah satu
garis kehidupan yang dijalani Ki Bagus Hadikusumo. Pernikahannya
yang pertama
terjadi pada umur 20 tahun dengan putri Raden Kaji Suhud bernama
Siti Fatmah. Dari
pernikahan pertama ia dikaruniai 6 orang anak yang salah satunya
nanti menjadi tokoh
terkemuka di Muhammadiyah dan Parmusi yang lebih dikenal dengan
nama Djarnawi
Hadikusumo. Namun sayang Siti Fatmah meninggal, kemudian Ki
Bagus Hadikusumo
menikah lagi dengan Mursilah, seorang pengusaha Yogyakarta.
Pernikahan keduanya
juga tak kekal, setelah melahirkan putra ketiga Mursilah
meninggal. Pernikahan ketiga
juga dengan seorang perempuan pengusaha bernama Siti Fatimah dan
dikaruniai lima
orang putra.
Kiprah Awal di Partai Politik
Ki Bagus Hadikusumo yang dibesarkan di lingkungan santri dengan
lembaga
pendidikan pesantren yang kental nilai-nilai keislaman telah
membentuk konsep diri Ki
Bagus sebagai seorang nasionalis Islam. Apa yang tampak dalam
nafas perjuangan Ki
Bagus kemudian hari menjadi bukti bahwa tidak ada pertentangan
antara Islam dengan
nasionalisme. Menurut aktivis pergerakan Islam berkebangsaan
Mesir, Hassan Al-Banna,
apabila yang dimaksud dengan nasionalisme adalah kerinduan atau
keberpihakan
terhadap tanah air, keharusan berjuang membebaskan tanah air
dari penjajahan, ikatan
kekeluargaan antar masyarakat, dan pembebasan negeri-negeri lain
maka nasionalisme
-
7
dalam makna demikian dapat diterima dan bahkan dalam kondisi
tertentu dianggap
sebagai kewajiban.5
Perjuangan politik Ki Bagus Hadikusumo diawali pada tahun 1922
ketika ia
diangkat pemerintah melalui Keputusan Raja no.54 tertanggal 12
Januari 1922 menjadi
anggota Priesterraaden Commissie, sebuah panitia yang bertugas
menyelidiki keadaan
pengadilan agama dan menyampaikan saran-saran kepada pemerintah
dalam rangka
usaha perbaikan peradilan agama. Visi politik Ki Bagus
Hadikusumo semakin terlihat
setelah aktif di partai politik. Partai politik pertama kali
yang menjadi pilihannya adalah
PII (Partai Islam Indonesia).
Partai Islam Indonesia berdiri setelah terjadi kegelisahan dari
kalangan umat
Islam di Indonesia yang merasa tidak memiliki wadah untuk
menyalurkan aspirasi
politiknya setelah terjadi perpecahan di kalangan PSII pada
dekade tahun 1930-an.
Mereka terdiri dari orang-orang Persis, Muhammadiyah, Barisan
Penyadar PSII, dan
beberapa organisasi Islam lain. Program pertama partai ini
adalah menuntut Indonesia
berparlemen.
Ide dasar pembentukan PII ini sebenarnya sudah muncul sejak
tahun 1933, ketika
terbentuk Panitia Persatuan Islam Indonesia, suatu organisasi
yang menurut para
pendirinya didasarkan kepada Islam, swadaya dan nasionalisme.
Embrio PII semakin
kuat setelah bergabungnya tokoh-tokoh PSII yang terkena
pemecatan dari partai akibat
konflik intern di tubuh PSII tahun 1933, pasca meninggalnya HOS
Cokroaminoto. Juga
bergabungnya Jong Islamieten Bond Yogyakarta, dengan nama Islam
Studi Club di
bawah pimpinan Ahmad Kasmat Bauwinangun. Partai Islam Indonesia
secara resmi
5 Lihat dalam Adhyaksa Dault, Islam dan Nasionalisme: Reposisi
Wacana Universal Dalam
Konteks Nasional, Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2005, hlm.
xvii.
-
8
dideklarasikan pada 4 Desember 1938, dengan ketuanya yang
pertama Rd. Wiwoho
Purbohadidjojo yang juga menjadi anggota Volksraad.
Ki Bagus Hadikusumo menunjukkan keseriusannya dalam membangun
PII
terlihat dalam posisinya sebagai Komisaris PII bersama tokoh
Islam yang lain, seperti
KH Mas Mansur, Ki Bagus Hadikusumo, Abdul Kahar Muzakkir,
Rasyidi, M. Natsir.
Pada awalnya berdirinya, PII baru memikirkan masalah praktis di
antaranya adalah
menuntut Indonesia berparlemen kepada pemerintah kolonial
Belanda. Baru kemudian
menyusun program yang bersifat menyeluruh, pengiriman juru
kampanye untuk menarik
anggota-anggota di seluruh Nusantara. Alhasil tahun 1941, PII
sudah memiliki 125
cabang yang tersebar di seluruh pelosok Nusantara.
Pada kongres pertama di Yogyakarta 1938, tuntutan PII hasil
kongres itu lebih
visioner, yaitu menghendaki negara kesatuan (Indonesia) yang
lebih demokratis, dengan
dilengkapi parlemen dan lembaga-lembaga perwakilan yang
keanggotaannya
berdasarkan pemilihan langsung dan umum, di antaranya
Indonesianisasi anggota staf
pemerintahan, perluasan hak-hak politik, kebebasan berbicara,
mengeluarkan pendapat,
berfikir, dan kebebasan pers. PII juga menuntut penghapusan
peraturan yang
menghambat Islam, penghapusan subsidi bagi semua agama,
penyerahan perusahaan
vital kepada negara, hapusnya imigrasi, hapusnya pajak yang
memberatkan rakyat
banyak dan perlindungan perusahaan-perusahaan Bumiputera
terhadap saingan dan
tekanan perusahaan asing.6
Dalam kongresnya yang kedua di Solo pada 25-27 Juli 1941, PII
bersedia untuk
menjadi anggota GAPI (Gabungan Politik Indonesia). PII juga
bergabung dengan
Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI) dan Majelis Rakyat Indonesia
(MRI). Keputusan
6 Ibid, hlm. 83.
-
9
itu dilakukan karena pemaksaan kebijakan Jepang untuk membatasi
gerak seluruh partai
politik di Indonesia.
Bersama Sukarno dan Hatta Ke Jepang
Masyarakat Indonesia sempat merasakan kekecewaan ketika tidak
diikutkan
dalam Konferensi Asia Timur Raya. Namun kekecewaan tersebut
sempat terobati dengan
datangnya undangan untuk 3 wakil Indonesia. Sukarno wakil dari
Cuo Sangi In7, Hatta
wakil dari golongan intelektual, dan Ki Bagus Hadikusumo wakil
dari golongan Islam.
Keberangkatan 3 orang pada November 1943 diharapkan mampu
membawa Indonesia
menuju kemerdekaan.
Kunjungan mereka ke Jepang untuk mengabulkan undangan bertemu
dengan
Tenno Haika atau Kaisar Jepang. Sebelum bertemu kaisar mereka
lebih dulu ditemui
oleh Jenderal Tojo yang saat itu menjabat sebagai Perdana
Menteri Jepang. Ketiga tokoh
Indonesia itu, termasuk Hadikusumo menjadi pembicaraan para
petinggi militer Jepang,
karena kesediaan Kaisar Jepang untuk berjabatan tangan dengan
tamu dari Indonesia itu.
Di Jepang, kaisar dianggap sebagai wakil dewa di dunia, sehingga
rakyat Jepang sangat
patuh dan menghormati. Yang menjadi buah bibir petinggi militer
Jepang atas pertemuan
ketiga tokoh nasionalis Indonesia dengan kaisar Jepang itu bahwa
Tenno Heika tidak
pernah bersalaman dengan anak buahnya dan rakyat Jepang
sekalipun.8 Tradisi
bersalaman yang biasa dilakukan orang Indonesia sebagai bentuk
penghormatan tersebut
membawa dampak yang luar biasa setelah kepulangan mereka ke
tanah air. Hadikusumo
menjadi tokoh yang dihormati oleh para pembesar Jepang di
Indonesia selain Sukarno
dan Hatta.
7 Badan yang didirikan oleh pemerintah Jepang dalam usaha
mempropaganda masyarakat Indonesia untuk membantu Jepang dalam
perang Asia Timur Raya 8 Mohammad Hatta, Memoir, Jakarta: Tintamas,
1979, hlm. 431.
-
10
Selain bertemu dengan kaisar, kunjungan ke Jepang juga
beragendakan
pemberian penghargaan Bintang Ratna Suci dari pemerintah Jepang.
Ki Bagus
Hadikusumo mendapat Bintang Ratna Suci kelas III (Kun San To
Juihosyo) sama dengan
yang diberikan kepada Hatta, sementara Sukarno mendapat Bintang
Ratna Suci kelas II
(Kun Nito Juihosyo). Menutup kunjungan ke Jepang,
Hadikusumo—Hatta dan Sukarno
diundang makan malam oleh Perdana Menteri Tojo. Tidak ada
catatan dari Hadikusumo,
namun Hatta mengisahkan dalam memoirnya acara makan malam di
Jepang tersebut:
Kami semuanya duduk di lantai mengelilingi suatu meja rendah. Di
bawah meja itu, apabila penat bersila, kaki dapat diunjurkan. Di
kepala meja duduk tuan rumah Perdana Menteri Tojo. Pada sebelah
kanannya Soekarno, pada sebelah kirinya aku, di sebelah kanan
Soekarno, Ki Bagus Hadikusumo dan sebelah kiri-ku Tuan Miyoshi.
Santapan dimulai dengan suatu pidato ringkas yang diucapkan oleh
Perdana Menteri Tojo. Ia mengatakan supaya kunjungan kami ke Tokyo
membawa kegembiraan pada hati kami.9
Kunjungan ke Jepang yang awalnya diharapkan membawa kabar
tentang
kemerdekaan Indonesia ternyata justru tak membicarakan masalah
itu sama sekali. Pada
saat berkunjung ke Jepang itu, Hadikusumo mendengar tentang
berita bahwa sebenarnya
pasukan Jepang mulai terdesak oleh pasukan Rusia, hanya saja
pemerintah Jepang di
Tokyo merahasiakan.
Ki Bagus: Islam sebagai Dasar Negara
Penyelidikan dan persiapan menuju Indonesia merdeka, tak bisa
luput dari
perhatian Ki Bagus Hadikusumo. Karena itu, ia ikut terpilih
menjadi anggota BPUPKI
sebagai wakil dari golongan umat Islam bersama dengan 14 orang
lainnya yaitu Abdul
Halim, KH. Ahmad Sanusi, KH. Mas Mansyur, Abdul Kahar Muzakkir,
KH. Abdul
Wahid Hasyim, KH. Masykur, Sukiman Wirjosandjojo, Abikusno
Tjokrosujoso, dan H.
Agus Salim.10 Ki Bagus Hadikusumo termasuk anggota BPUPKI yang
berjuang keras
dalam membela dasar-dasar Islam, namun tetap menginginkan
integritas nasional. Ia 9 Ibid., hlm. 433. 10 A. Hafizh Dasuki
dkk.,Op.Cit., hlm.146-147
-
11
termasuk tokoh vokal yang mewakili golongan Islam―yang berjumlah
15 dari 62
anggota BPUPKI.
Pada saat penetapan dasar negara, terdapat usulan Sukarno
mengenai Pancasila
yang kemudian direvisi ulang oleh Panitia Sembilan. Hadikusumo
tidak termasuk dalam
Panitia Sembilan, sehingga mempertanyakan kata-kata hasil
rumusan Panitia Sembilan
yaitu pada sila pertama, Ketuhanan, yang diikuti anak kalimat
“dengan kewajiban
menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Menurut
Hadikusumo kata-kata
tersebut hendaknya diganti “dengan kewajiban menjalankan syariat
Islam”. Pembicaraan
mengenai sila-sila dalam Pancasila memang menjadi perdebatan
yang cukup keras.
Dalam sidang BPUPKI 11 Juli, 14 Juli, dan 15 Juli, Ki Bagus
mengatakan
berkali-kali hendaknya kata-kata yang terdapat di bagian akhir
yang berbunyi “bagi
pemeluk-pemeluknya” dihilangkan. Pada tanggal 14 Juli, dua kali
Ki Bagus menyatakan
hal itu dan Sukarno sekali lagi mengulangi peringatannya bahwa
kalimat itu merupakan
jalan tengah yang didapat dengan susah payah. Akhirnya pada
tanggal 15 Juli itu, Ki
Bagus mengatakan, “Kalau sidang mufakat, saya terima.” Piagam
Jakarta yang dijadikan
pembukaan UUD 1945 pada alinea ke empat ditetapkan pada tanggal
15 Juli 1945
berbunyi; “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam
bagi pemeluk-
pemeluknya.”
Sebulan sebelumnya dalam rentetan sidang BPUPKI pada 31 Mei 1945
pukul
15.00, Ki Bagus mengeluarkan pernyataan yang intinya “membangun
negara di atas
dasar ajaran Islam.” Dengan penuh keyakinan Ki Bagus mengusulkan
kepada sidang
agar Islam dijadikan dasar negara Republlik Indonesia. Dalam
satu pidatonya yang
disampaikan di depan sidang BPUPKI itu Ki Bagus menyatakan:
Tuan-Tuan dan sidang yang terhormat. Dalam negara kita niscaya
tuan-tuan menginginkan berdirinya satu pemerintahan yang adil dan
bijaksana, berdasarkan budi pekerti yang luhur bersendikan
permusyawaratan dan putusan rapat, luas berlebar dada, serta
tidak
-
12
memaksakan agama. Kalau benar demikian, dirikanlah pemerintah
itu atas Agama Islam, karena ajaran Islam mengandung kesampaiannya
sifat-sifat itu. Oleh karena itu tuan-tuan, saya sebagai seorang
bangsa Indonesia tulen, bapak dan ibu saya bangsa Indonesia, nenek
moyang saya-pun bangsa Indonesia yang asli dan murni, belum ada
campurannya, dan sebagai seorang muslim, yang mempunyai cita-cita
Indonesia Raya dan merdeka, maka supaya Negara Indonesia itu dapat
berdiri tegak dan teguh, kuat dan kokoh, saya mengharapkan akan
berdirinya Negara Indonesia ini berdasarkan agama Islam. Sebab
itulah yang sesuai dengan keadaan jiwa rakyat yang terbanyak
sebagaimana yang sudah saya terangkan tadi. Janganlah hendaknya
jiwa yang 99% dari rakyat itu diabaikan saja tidak
dipedulikan.11
Ki Bagus Hadikusumo dalam pidato itu mengeluarkan dua
pernyataan; “(1) Islam
itu cakap dan patut untuk menjadi sendi pemerintahan kebangsaan
di negara kita
Indonesia; dan (2) Umat Islam adalah umat yang mempunyai
cita-cita yang luhur dan
mulia sejak dahulu hingga sekarang ini, seterusnya pada masa
yang akan datang, yaitu
dimana ada kemungkinan dan kesempatan pastilah umat Islam akan
membangunkan
negara atau menyusun masyarakat yang didasarkan atas hukum Allah
dan agama
Islam.”12
Islam cocok sebagai dasar negara Indonesia karena menurut Ki
Bagus agama ini
memiliki latar belakang sosiologis-historis. Menurutnya agama
Islam paling tidak sudah
enam abad menjadi agama bangsa Indonesia, atau setidaknya tiga
abad sebelum Belanda
menjajah. Telah banyak hukum Islam yang telah menjadi adat
istiadat bangsa Indonesia.
Oleh karena itu menurut Ki Bagus, dasar negara Indonesia harus
menyesuaikan dengan
jiwa rakyatnya. “Tuan-tuan harus mengetahui betul jiwa keislaman
rakyat.”13 Bahkan
untuk menghayati aspirasi penduduk dalam tataran praktis, Ki
Bagus mengusulkan agar
para pemimpin bangsa hendaknya tinggal di desa agar tidak salah
merekam aspirasi
penduduk.
11 Ki Bagus Hadikusumo, Islam sebagai Dasar Negara dan Akhlak
Pemimpin, dicuplik dalam Mustafa Kemal Pasha, dkk, Pancasila dalam
Tinjauan Historis, Yuridis, dan Filosofis, Yogyakarta: Citra Karsa
Mandiri, 2003, hlm. 14. 12 Syaifullah, Gerak Politik Muhammadiyah
dalam Masyumi, Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1997, hlm. 101-102.
13 Ibid.
-
13
Selamilah jiwa rakyat sedalam-dalamnya untuk menjadi dasar tata
negara kita, supaya nanti negara kita dapat menjadi negara yang
kuat dan sentosa. Tinggallah di desa-desa dan kampung-kampung untuk
mengetahui keadaan jiwa dan kehidupan murba (rakyat banyak) yang
sebenar-benarnya. Di situ tentu tuan-tuan nanti akan mendapati
bahwa rakyat yang terbanyak memang berjiwa Islam.14
Jiwa bangsa Indonesia aktif dan terus-menerus hidup bersemangat.
Jiwa yang
demikian oleh Ki Bagus dikatakan semata-mata karena mengandung
iman yang andal
dan bersandar pada ajaran Islam yang tertuang dalam kitab suci
Al-Quran dan
pemahaman rasional dengan menggunakan ilmu pengetahuan. Iman
yang demikian
dicerahkan sedikitnya oleh shalat lima waktu, berpuasa sebulan
setiap tahun, dan berani
mengeluarkan zakat dua setengah persen dari hartanya setiap
tahun untuk dibagi-bagikan
kepada fakir miskin. Jiwa yang hidup itu menggerakkan aktivitas
sosial. Jiwa yang
demikian juga menjadi sumber perjuangan yang mati-matian dalam
membela agamanya
serta mempertahankan tanah air dan bangsanya. Ki Bagus
mengingatkan bahwa dahulu
para pejuang yang membela negara adalah muslim.
Cobalah tuan-tuan ingat sejarah Indonesia di masa akhir-akhir
ini (sebelum 1945). Siapakah yang berani menentang imperialis
Belanda? Bukankah Diponegoro. Bukankah Teuku Umar, Imam Bonjol, dan
kyai-kyai lainnya yang beliau itu penganjur dan pendekar rakyat
yang berpegang teguh kepada Islam serta mendasarkan perjuangannya
di atas dasar agama Islam.15
Ki Bagus juga menyoroti bahwa organisasi pergerakan yang cepat
memperoleh
sambutan luas dari masyarakat Indonesia di nusantara adalah
Sarekat Islam, bukan Budi
Utomo maupun Indische Partai. Hal ini menurut Ki Bagus, jelas
bahwa ada pengaruh
agama Islam yang sangat kuat dan mendalam pada rakyat Indonesia.
Ki Bagus
menyatakan kekhawatirannya apabila negara ini tidak berdiri di
atas agama Islam,
mayoritas penduduk muslim akan bersikap dingin, pasif, dan tidak
mengambil peran
yang produktif dalam pembangunan. Ki Bagus menyatakan bahwa
Islam tidak hanya 14 Ki Bagus Hadikusumo, Islam sebagai Dasar
Negara dan Akhlak Pemimpin, dicuplik Syaifullah, Op.Cit., hlm. 102.
15 Ibid., hlm. 103.
-
14
agama saja tetapi aplikatif sebagai dasar negara dimana di
dalamnya mencangkup aturan-
aturan tentang nasionalisme persatuan, ketahanan nasional,
ekonomi, pendidikan,
budaya, sosial, serta keadilan, kerakyatan, dan toleransi.
Mengenai persatuan, Ki Bagus menyitir surat Ali Imran 103 dan
al-Maidah 3,
“Hendaklah kamu sekalian berpegang teguh dengan tali Allah
(agama Islam) dan jangan
kamu sekalian bercerai berai. Ingatlah akan nikmat Allah yang
telah diberikan
kepadamu, yaitu dahulu kamu bermusuh-musuhan satu dengan
lainnya, tetapi sekarang
Allah berkenan mempersatukan hati kamu sekalian, sehingga dengan
nikmat-Nya tadi,
kamu sekalian dapat menjadi saudara seerat-eratnya. “Hendaknya
kamu bertolong-
tolongan atas kebaikan dan takwa kepada Allah.” Mengenai
ketahanan nasional/ negara,
Ki Bagus mengatakan, “Bangunlah negara ini atas firman-firman
Allah, antara lain
dalam surat al-Anfal 62, ash-Shaf 2,3,4,10,11,12, dan 13.
Tuan-tuan yang terhormat,
maksud ayat-ayat tersebut sudah jelas, ialah menyuruh kita
sekalian bersiap sedia untuk
menolak setiap serangan musuh yang mungkin datang memukul kita,
dan menyuruh kita
mencurahkan segala tenaga dan harta benda yang ada pada kita
untuk menyediakan
segala kekuatan perang sehingga dapat menegakkan keadilan dan
kebenaran...Oleh
karena itu, bangunlah negara ini dengan sendi agama
Islam.”16
Mengenai ekonomi, Ki Bagus mengatakan, “berdasarkan firman Allah
dalam
surat an-Nahl ayat 14, Allah menyuruh kita mencari rejeki Allah
di atas dan di dalam
laut dengan mengusahakan perikanan, pelayaran, pencarian mutiara
dan sebagainya.
Dalam konteks ini, masih banyak ayat-ayat yang semakna dengan
pengertian
menganjurkan pertanian, pengairan, peternakan, pertenunan, dan
sebagainya,
sebagaimana dalam al-Quran surat Ibrahim, an-Nahl, al-Haj, dan
lainnya.”17
16 Ibid., hlm. 106-107. 17 Ibid, hlm. 107.
-
15
Dalam keadilan, kerakyatan dan toleransi, Ki Bagus mengatakan,
“dalam negara
kita, niscaya tuan-tuan menginginkan berdirinya, satu
pemerintahan yang adil dan
bijaksana, berdasarkan budi pekerti yang luhur, bersendi
permusyawaratan dan
keputusan rakyat, serta luas dan lapang dada, tidak memaksa
tentang agama. Jika tuan-
tuan benar-benar menginginkan keadilan, kerakyatan, dan
toleransi, maka dirikanlah
pemerintah ini atas dasar Islam, karena Islam mengajarkan
masalah tersebut. Allah
berfirman dalam surat an-Nahl 90, an-Nisa 5, Ali Imran 159,
asy-Syura 38, dan al-
Baqarah 256.”18
Ki Bagus Hadikusumo menekankan dengan ayat-ayat singkat yang
disitirnya dari
ayat al-Quran tersebut di atas, bahwa Islam cakap, cukup, pantas
dan patut untuk
menjadi sendi pemerintahan kebangsaan Republik Indonesia. Dalam
pidatonya itu Ki
Bagus mengatakan harapannya terhadap negara Indonesia,
“Mudah-mudahan negara
Indonesia baru, yang akan datang itu, berdasarkan agama Islam
dan akan menjadi negara
yang tegak dan teguh serta kuat dan kokoh. Amin.”19
Perlu dicatat bahwa pidato Ki Bagus yang disampaikan pada
tanggal 31 Mei
1945 pukul 15.00 dalam sidang BPUPKI itu merupakan respon atas
pidato kelompok
kebangsaan sebelumnya pada 29, 30, dan 31 (pagi) Mei 1945.
Perjalanan sejarah
Indonesia akhirnya menetapkan bahwa dasar negara Indonesia yang
diterima dalam
sidang BPUPKI adalah Pancasila, istilah yang pertama kali
dikenalkan oleh Sukarno
pada pidatonya 1 Juni 1945.20 Pidato Bung Karno pada 1 Juni 1945
ini dapat dikatakan
sebagai usaha mencari titik kompromi antara ide dari golongan
kebangsaan dan golongan
Islam, setelah keduanya menyampaikan aspirasi ideologinya
masing-masing. Gagasan Ki
Bagus Hadikusumo dalam pidatonya juga mempengaruhi konsep
Pancasila Sukarno, 18 Ibid. 19 Ibid., hlm. 108.
20 Arifin Suryo Nugroho, The First Lady: Biografi Fatmawati
Sukarno, Yogyakarta: Ombak, 2010, hlm. 100.
-
16
dimana sebelumnya dalam konsep Marhaenisme-nya yang sering
disuarakan tidak
termuat sila Ketuhanan. Sehingga dapat dipahami setelah
mendengar pidato dari Ki
Bagus Hadikusumo, Sukarno kemudian memasukkan sila Ketuhanan
pada urutan yang
kelima.21
Ki Bagus dan Perubahan Piagam Jakarta
Ulama yang berani menentang perintah pimpinan tentara Dai Nippon
untuk
memerintahkan umat Islam dan warga Muhammadiyah melakukan
upacara kebaktian
tiap pagi sebagai penghormatan kepada Dewa Matahari ini juga
terlibat dalam
keanggotaan PPKI, sehingga setelah proklamasi dikumandangkan dan
anggota PPKI
diundang untuk mengadakan rapat darurat pada tanggal 18 Agustus
1945, Hadikusumo
juga turut serta. Hasil sidang pada tanggal 18 Agustus 1945 itu
memutuskan antara lain:
1. Memilih Presiden dan Wakil Presiden, yang dengan aklamasi
menunjuk Bung Karno sebagai Presiden dan Bung Hatta sebagai Wakil
Presiden.
2. Mengesahkan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia dengan
terlebih dahulu diadakan revisi dengan mengacu pertemuan Bung Hatta
dan Ki Bagus. a. Naskah Piagam Jakarta dijadikan Pembukaan UUD 1945
setelah terlebih dahulu
diadakan perubahan pada alinea keempat. Rumusan: “Ketuhanan
dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”
diubah menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa.” Kata-kata “menurut dasar”
yang ada diantara sila pertama dan sila kedua dihilangkan.
b. Rancangan Hukum Dasar hasil Panitia Perancang Hukum Dasar
yang diketuai Supomo disahkan sebagai UUD 1945 setelah terlebih
dahulu diubah, yakni pada: (1). Pasal 29 ayat (1) yang semula
berbunyi “Negara berdasar Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan
syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” diubah menjadi “Negara
berdasar Ketuhanan Yang Maha Esa.” (2). Pasal 6 ayat (1) semula
mensyaratkan “Presiden adalah orang Indonesia asli dan beragama
Islam” menjadi “Presiden adalah orang Indonesia asli.”22
Mengenai perubahan kalimat “Ketuhanan dengan kewajiban
menjalankan syariat
Islam bagi pemeluk-pemeluknya” menjadi “Ketuhanan Yang Maha
Esa.” dalam Piagam
Jakarta, ada kisah tersendiri antara Hatta dan perwakilan tokoh
Islam yaitu Ki Bagus
21 Rumusan Pancasila yang dikemukakan Sukarno secara berurutan
adalah Nasionalisme atau Kebangsaan Indonesia, Internasionalisme
ataau Peri Kemanusiaan, Mufakat atau Demokrasi, Kesejahteraan
Sosial, Ketuhanan Yang Maha Esa. Lihat dalam Mustafa Kemal Pasha,
dkk, Pancasila dalam Tinjauan Historis, Yuridis, dan Filosofis,
Yogyakarta: Citra Karsa Mandiri, 2003. 22 Mustafa Kemal Pasha, dkk,
Ibid., hlm. 35.
-
17
Hadikusumo, Teuku Muhammad Hassan, KH A. Wachid Hasyim, dan
Kasman
Singodimedjo. Peristiwa itu diawali ketika sore hari, tanggal 17
Agustus 1945, Hatta
menerima telepon dari Juru Bahasa Laksamana Maeda, Nishijima
Shigetada, apakah
Hatta mau menerima kedatangan seorang perwira Kaigun yang akan
bertemu dirinya
sore itu. Hatta mempersilahkan perwira Kaigun itu bertamu ke
rumahnya. Perwira
Angkatan Laut Jepang itu menyampaikan keberatan para tokoh
Indonesia bagian Timur
atas pemakaian kata-kata dalam Piagam Jakarta yang berbunyi
“dengan kewajiban
menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Menurut
mereka, meskipun kata-
kata tersebut tidak mengikat agama lain di luar Islam, namun
dengan tercantumnya
ketetapan seperti itu di dalam UUD berarti menimbulkan perbedaan
golongan. Jika hal
ini tidak dibatasi, mereka lebih suka berdiri di luar Republik
Indonesia. Sejenak diam
berfikir atas ancaman disintegrasi pada bangsanya yang baru
merdeka dan ia
perjuangankan berpuluh-puluh tahun, lantas ia berkata kepada
perwira itu, “...esok hari
dalam sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan akan kukemukakan
masalah yang sangat
penting itu.”23
Kemudian esok paginya tanggal 18 Agustus 1945 sebelum sidang
PPKI dimulai,
Hatta mengundang keempat tokoh Islam―Ki Bagus Hadikusumo, Teuku
Muhammad
Hassan, KH A. Wahid Hasyim dan Kasman Singodimedjo―untuk
merundingkan
masalah yang diajukan perwira Kaigun secara pra-formal. Tentang
Teuku Muhammad
Hassan bereaksi positif atas usul Hatta, hal itu dapat dipahami
karena ia sama sekali
tidak terlibat dalam sidang BPUPKI, Panitia Sembilan, Sub
Panitia 22, maupun Panitia
Tujuh. Mengenai A. Wahid Hasyim tidak hadir dalam pertemuan itu
karena ia sedang
dalam perjalanan ke Jawa Timur, sedangkan Kasman Singodimedjo,
yang merupakan
anggota tambahan PPKI, menerima undangan mendadak baru pada pagi
hari, sehingga
23 Mohammad Hatta, Op.Cit., hlm. 459.
-
18
dapat dimengerti bila dia sama sekali tidak siap untuk berurusan
dengan masalah
tersebut. Kasman bukan anggota BPUPKI, bukan pula anggota
Panitia Sembilan, Sub-
Panitia 22, maupun Panitia Tujuh. Namun demikian Kasman sangat
berperan dalam
melunakkan hati Ki Bagus dalam mempertahankan “kalimat-kalimat
Islami” sehingga Ki
Bagus dapat menerima reduksi kalimat-kalimat tersebut.
Ki Bagus Hadikusumo saat itu seakan menanggung seluruh tekanan
psikologis
tentang berhasil tidaknya penentuan Undang-Undang Dasar
diletakkan pada pundak Ki
Bagus Hadikusumo, sebagai satu-satunya eksponen perjuangan Islam
pada waktu itu.
Posisi Ki Bagus dapat dimengerti karena ia anggota BPUPKI,
anggota Sub-Panitia 22,
dan anggota PPKI meskipun bukan anggota Panitia Sembilan dan
Panitia Tujuh. Hal ini
cukup mendasari bahwa Ki Bagus-lah yang mengetahui pergulatan
dalam
memperjuangkan tujuh kata dalam Piagam Jakarta itu, sehingga
sebenarnya ia berat
menyetujui pencoretan tujuh kata yang diperjuangannya dengan
beberapa tokoh Islam
sebelumnya.
Pendekatan Hatta saat itu berpegang pada pernyataan Sukarno
bahwa UUD 1945
hanya bersifat sementara dan nantinya akan dibuat lagi
Undang-Undang yang lebih
lengkap, umat Islam boleh menyampaikan aspirasinya, serta
mengingat pentingnya
persatuan dan kesatuan bangsa.24 Peran Kasman Singodimedjo untuk
melunakkan dan
mempengaruhi Ki Bagus agar menerima usulan Hatta sangat besar.
Melalui pendekatan
pribadi dan pendekatan Muhammadiyah. Persetujuan Ki Bagus
berhasil didapat setelah
Kasman menyatakan bahwa rumusan “Ketuhanan Yang Maha Esa”
sebagai pengganti
tujuh kata tersebut mengandung konsep tauhid yang diyakini oleh
umat Islam, yaitu
keyakinan terhadap Allah SWT.25 Kasman membangun logika keamanan
negara yang
24 Ibid., hlm. 459-460. 25 A. Hafizh Dasuki, dkk., Op.Cit., hlm.
315.
-
19
sedang terancam. Dan Kasman juga meyakinkan kepada Ki Bagus
bahwa jika keadaan
sudah aman akan diperjuangkan lagi, “bukankah undang-undang ini
sifatnya
sementara?”26
Sebenarnya dalam hal ini Hadikusumo masih berbeda pendapat namun
tidak mau
menyampaikan langsung karena takut akan terjadi perpecahan
antara orang Indonesia
sendiri. Kegelisahan dan ketidaksetujuannya di hari kemudian ia
sampaikan pada
Kasman Singodimejo, yang awal mulanya juga mendorong Hadikusumo
untuk
menerima usul Hatta. Atas ketidaksetujuannya terhadap pendapat
Sukarno dan Hatta
dalam sidang PPKI, Hadikusumo kemudian menulis kawat kepada
Majelis Tanwir
Muhammadiyah yang pada waktu itu mengadakan sidang di
Yogyakarta. Ia meminta
agar sidang jangan selesai sebelum dia sampai di Yogyakarta,
dalam sidang itulah
kemudian dia menyampaikan ketidaksetujuannya atas pengesahan UUD
1945. Ia pun
mengingatkan kepada Majelis Tanwir, dan secara tidak langsung
umat Islam di
Indonesia, bahwa perjuangan belum selesai dan umat Islam masih
terus bersiap segala
tantangan pada masa berikutnya.
Di kemudian hari Kasman Singodimedjo mengatakan dengan mata
berkaca-kaca,
bahwa ia sangat berdosa karena dialah orang kunci yang
melunakkan hati Ki Bagus
ketika bertahan pada tujuh kata anak kalimat “dengan kewajiban
menjalankan syariat
Islam bagi pemeluk-pemeluknya.” Yang ia sesalkan ternyata bukan
hanya dalam
Pembukaan UUD yang dicoret, tetapi juga dilakukan koreksi di
berbagai batang tubuh
UUD yang berbau tujuh kata dalam Piagam Jakarta tersebut.27
Pergulatannya di Muhammadiyah
26 Syaifullah, Op.Cit., hlm. 124. 27 Ibid.
-
20
Duduknya Hadikusumo di kursi ketua umum Muhammadiyah
menggantikan
posisi KH. Mas Mansyur. Proyeksi Hadikusumo sebagai ketua umum
PB
Muhammadiyah sudah sejak konggres Muhammadiyah ke-26 tahun 1937.
Pada konggres
ke-29, Hadikusumo dan Mas Mansyur sama-sama menjadi kandidat
ketua umum. Saat
itu Mas Mansyur terpilih sebagai Ketua Umum sedangkan Hadikusumo
masuk dalam
jajaran Pengurus Besar. Ki Bagus Hadikusumo kemudian dipercaya
menjadi ketua
umum PB Muhammadiyah sampai tahun 1953.
Karier Hadikusumo di Muhammadiyah sebelum ketua umum adalah
ketua
Majelis Tablig pada tahun 1922, ketua Majelis Tarjih, dan
anggota Komisi Majelis
Pendidikan Muhammadiyah. Selain itu juga pernah menjabat sebagai
hoofdbestuur
(pengurus tertinggi) Muhammadiyah tahun 1926 yang bertugas
melengkapi putusan
Konggres Muhammadiyah ke-15 di Surabaya khususnya tentang materi
Konggres
Masyarakat Pendidikan Muhammadiyah.28
Muhammadiyah di bawah pimpinan Ki Bagus Hadikusumo berada dalam
periode
Revolusi Kemerdekaan Indonesia, sehingga arah kembang dan
perjuangan organisasi ini
mengikuti jiwa jamannya. Muhammadiyah dituntut aktif ambil
bagian dalam membela
dan mempertahankan kemerdekaan negara Indonesia yang baru
berdiri itu. Hal ini
tercermin dalam khotbah iftitah muktamar I sesudah kemerdekaan
RI pada 1950,
Muhammadiyah menyatakan:
Rasa kebangsaan, rasa keagamaan, rasa kenasionalan, dan bahwa
kejayaan agama Islam hanya dapat dicapai di negara Indonesia yang
merdeka, tidak pernah hilang dan tiada pernah lepas dari tiap
keluarga Muhammadiyah. Meskipun tidak berpolitik, yang menjadi
tujuan Muhammadiyah adalah sama dengan yang menjadi tujuan tiap
golongan putra-putra tanah air, yaitu berjasa untuk tanah air dan
bangsa dengan dorongan iman dari agamanya, agar bangsanya berbudi
luhur dan tanah airnya kelak beroleh kedudukan mulia dan terhormat,
sejajar dengan bangsa-bangsa lain.29
28 Ibid., hlm. 146. 29 Abdul Munir Mulkan dan Sukriyanto (Ed.),
Perkembangan Pemikiran Muhammadiyah dari Masa ke Masa, Yogyakarta:
Dua Dimensi, 1985, hlm. 213.
-
21
Jelas dari pidato di atas bahwa Muhammadiyah menginginkan
Indonesia yang
sejajar dengan negara maju, tetapi tetap terbingkai dengan
nilai-nilai moral. Pada
permulaan kemerdekaan itu pula Muhammadiyah memberi instruksi
kepada cabang-
cabangnya di Jawa-Madura, yang isinya seluruh anggota
Muhammadiyah harus turut
bekerja untuk meluhurkan serta menegakkan ajaran Islam dan
negara Republik
Indonesia. Saat itu instruksi baru dapat disampaikan di cabang
Jawa-Madura karena
komunikasi dengan cabang-cabang luar Jawa terputus akibat masa
penjajahan Jepang.
Para pemimpin Muhammadiyah yang dikomandoi Ki Bagus
Hadikusumo
berpendapat bahwa dalam revolusi fisik, setiap orang harus dapat
mendahulukan mana
yang lebih penting dan mana yang dapat segera dikerjakan. Oleh
karena itu, pada masa
revolusi fisik, penanganan pengembangan pendidikan dan sosial
dinomor-duakan karena
sumber daya manusia yang dimiliki Muhammadiyah banyak yang
terserap revolusi, baik
ikut dalam pertempuran ataupun ikut duduk dalam
pemerintahan.
Untuk menyelaraskan perjuangan dalam bidang militer dengan
perjuangan dalam
bidang spiritual, kehadiran Panglima Besar Jenderal Sudirman
dalam pengajian anggota
pimpinan Muhammadiyah setiap malam Selasa di Kauman Yogyakarta
besar artinya
bagi Muhammadiyah karena dalam kesempatan itu Jenderal Sudirman
selalu
menyampaikan hal-hal yang berkaitan dengan perjuangan umat
Islam. Jenderal Sudirman
sering menjadi pengisi acara pengajian itu dengan didampingi Ki
Bagus Hadikusumo.30
Ketika terjadi agresi militer Belanda I di Yogyakarta pada 21
Juli 1947 pukul
00.00, ulama-ulama Muhammadiyah ikut membantu perjuangan para
tentara Repubik
Indonesia. Para ulama membuka markas di Mesjid Taqwa di Kampung
Suranatan,
kampung seberang Kauman. Di sana selain membicarakan tentang
strategi melawan
musuh, juga diadakan rapat persiapan menghadapi perang. Ki Bagus
Hadikusumo hadir
30 Syaifullah, Op.Cit., hlm. 130-131.
-
22
dalam pertemuan itu selain beberapa ulama seperti KH Mahfudz, KH
Hadjid, KH
Badawi, KH Abdul Azis, Kyai Djohar, KH Djuremi, juga Jenderal
Sarbini. Kemudian
dibentuklah Angkatan Perang Sabil (APS) yang susunan pemimpinnya
Ki Bagus
Hadikusumo (Penasihat), KH Mahfudz (Imam), KH Hadjid (Ketua),
dan KH Badawi
(Wakil Ketua). Pembentukan APS dilaporkan kepada Jenderal
Sudirman juga Sultan
Hamengkubuwono IX. Jenderal Sudirman kemudian mengirimkan
beberapa anak
buahnya untuk memberikan latihan militer. Begitulah perjuangan
Ki Bagus Hadikusumo
dan Muhammadiyah pada masa revolusi fisik.
Di bawah pimpinan Hadikusumo, Muhammadiyah juga mulai
menyusun
mukadimah Anggaran Dasar Muhammadiyah yang nantinya menjadi
dasar ideologis
organisasi Muhammadiyah. Hal tersebut menginspirasi sejumlah
tokoh Muhammadiyah
lainnya, di antaranya Hamka. Hamka menjadikan muqaddimah
tersebut untuk
merumuskan dua landasan idiil Muhammadiyah, yaitu Matan
Kepribadian
Muhammadiyah dan Matan Keyakinan dan Cita-cita Hidup
Muhammadiyah.31
Ki Bagus Menutup Usia
Setelah Indonesia merdeka, Ki Bagus Hadikusumo konsisten
berjuang di dalam
partai politik yang berorientasi religius. Kiprahnya berlanjut
di Masyumi. Ia bersama
dengan KH. Abdul Wahab terpilih menjadi penasehat Masyumi.
Hadikusumo juga
terpilih sebagai Ketua Muda I Majelis Syuro (Dewan Pertimbangan
Partai) Pimpinan
Pusat Masyumi untuk masa bakti 1945-1949. Sedangkan untuk masa
kepengurusan
1949-1951 Hadikusumo menjadi salah seorang anggota Pimpinan
Pusat Masyumi. Tidak
hanya dalam bidang politik, amalnya untuk bangsa ini ia salurkan
juga dalam bidang
pendidikan dengan mengajar di Kweekschool Muhammadiyah.
31 http://www.muhammadiyah.or.id/diakses tanggal 3 Mei 2010
-
23
Di akhir kariernya, Ki Bagus Hadikusumo menulis sebuah buku
berjudul Islam
sebagai Dasar Negara dan Akhlak Pemimpin yang diterbitkan tahun
1954 oleh penerbit
Pustaka Rahayu yang ada di Yogyakarta.32 Buku tersebut berisi
tentang pengalamannya
menjadi anggota BPUPKI saat berhadapan dengan golongan
nasionalis sekuler. Buku
tersebut menjadikan Hadikusumo bebas menyampaikan pendapatnya,
terutama dalam
pergulatan dirinya dalam perumusan dasar negara Indonesia.
Hatinya masih menyimpan
kegelisahan bahwa Indonesia memiliki umat Islam terbanyak tetapi
hukum Islam justru
tidak bisa ditegakkan. Sebelumnya ia juga menulis buku dalam
bahasa Jawa yang
berjudul Risalah Katresnan Jati yang diterbitkan pada tahun
1935, dan dicetak ulang
pada tahun 1936, 1940, 1941, 1954.
Setelah Indonesia merdeka, Ki Bagus Hadikusumo turut
memprakarsai dan
duduk sebagai penasehat Markas Ulama dan Laskar Angkatan Perang
Sabil (MU-LAPS),
sebuah wadah sosial keagamaan semi militer yang berdiri pada 23
Juli 1948. Ulama
nasionalis yang lahir pada 24 November 1890 ini wafat pada
tanggal 3 September 1954
dalam usia 64 tahun. Pada tanggal 9 November 1995, 41 tahun
setelah berpulang kepada
Sang Khalik, Ki Bagus Hadikusumo dianugerahi Bintang Republik
Indonesia Utama dari
pemerintah Republik Indonesia atas jasanya sebagai salah satu
perancang pembukaan
UUD 1945.
32 A. Hafizh Dasuki, dkk, Op.Cit, hlm. 148.
-
24
DAFTAR PUSTAKA
Dault, Adhyaksa, Islam dan Nasionalisme: Reposisi Wacana
Universal Dalam Konteks
Nasional, Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2005, Hadikusuma,
Djarnawi, Matahari-Matahari Muhammadiyah, Yogyakarta: Persatuan,
tt. Hafizh Dasuki, A. dkk., Suplemen Ensiklopedi Islam 1, Jakarta:
PT Ichtiar Baru Van
Hoeve, 1996. Hatta, Mohammad, Memoir, Jakarta: Tintamas, 1979.
Mulkan, Abdul Munir dan Sukriyanto (Ed.), Perkembangan Pemikiran
Muhammadiyah
dari Masa ke Masa, Yogyakarta: Dua Dimensi, 1985. Monks, F.J.,
Knoers, A.M.P., dan Siti Rahayu Haditono, Psikologi
Perkembangan,
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2002.
Nakamura, Mitsuo, Bulan Sabit Muncul dari Balik Pohon Beringin
(terj.), Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1983.
Nugroho, Arifin Suryo, The First Lady: Biografi Fatmawati
Sukarno, Yogyakarta: Ombak, 2010.
Pasha, Mustafa Kemal, dkk, Pancasila dalam Tinjauan Historis,
Yuridis, dan Filosofis,
Yogyakarta: Citra Karsa Mandiri, 2003. Puar, Yusuf Abdullah,
Perjuangan dan Pengabdian Muhammadiyah, Jakarta: Pustaka
Antara, 1989.
Syaifullah, Gerak Politik Muhammadiyah dalam Masyumi, Jakarta:
Pustaka Utama Grafiti, 1997.
http://www.muhammadiyah.or.id/diakses tanggal 3 Mei 2010