KETIDAKSANTUNAN BERBAHASA DALAM RANAH AGAMA HINDU DI WILAYAH KOTAMADYA YOGYAKARTA SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi salah satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Program Studi Pendidikan Bahasa Sastra Indonesia oleh: Yustinus Kurniawan 091224079 PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA SASTRA INDONESIA JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SENI FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA 2016 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
196
Embed
KETIDAKSANTUNAN BERBAHASA DALAM RANAH AGAMA … · Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul:
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
KETIDAKSANTUNAN BERBAHASA
DALAM RANAH AGAMA HINDU
DI WILAYAH KOTAMADYA YOGYAKARTA
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi salah satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan
Program Studi Pendidikan Bahasa Sastra Indonesia
oleh:
Yustinus Kurniawan
091224079
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA SASTRA INDONESIA
JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SENI
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
2016
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
i
KETIDAKSANTUNAN BERBAHASA
DALAM RANAH AGAMA HINDU
DI WILAYAH KOTAMADYA YOGYAKARTA
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi salah satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan
Program Studi Pendidikan Bahasa Sastra Indonesia
oleh:
Yustinus Kurniawan
091224079
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA SASTRA INDONESIA
JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SENI
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
2016
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
ii
SKRIPSI
KETIDAKSANTUNAN BERBAHASA
DALAM RANAH AGAMA HINDU
DI WILAYAH KOTAMADYA YOGYAKARTA
oleh:
Yustinus Kurniawan
091224079
Telah disetujui oleh:
Dosen Pembimbing I
Dr. R. Kunjana Rahardi, M.Hum. Yogyakarta, 16 Desember 2016
Dosen Pembimbing II
Dr. Yuliana Setyaningsih, M.Pd. Yogyakarta, 16 Desember 2016
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
iii
SKRIPSI
KETIDAKSANTUNAN BERBAHASA
DALAM RANAH AGAMA HINDU
DI WILAYAH KOTAMADYA YOGYAKARTA
Dipersiapkan dan disusun oleh:
Yustinus Kurniawan
091224079
Telah dipertahankan di depan Panitia Penguji
pada tanggal 16 Desember 2016
dan dinyatakan telah memenuhi syarat
Susunan Panitia Penguji
Nama Lengkap Tanda tangan
Ketua : Dr. Yuliana Setyaningsih, M.Pd. ................
Anggota 1 : Dr.R.Kunjana Rahardi,M.Hum. ................
Anggota 2 : Prof. Dr. Pranowo.M.Pd. ................
Anggota 3 : Dr. Yuliana Setyaningsih, M.Pd. ................
Yogyakarta, 16 Desember 2016
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Universitas Sanata Dharma
Dekan,
Rohandi, Ph.D.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
iv
HALAMAN PERSEMBAHAN
Kupersembahkan skripsi ini untuk:
1. Tuhan Yesus Kristus dan Bunda Maria terkasih yang selalu memberkati, menyertai , dan
melindungi dalam setiap langkah saya.
2. Orang tua tercinta, Bapak Rinerius Wijiyanto dan Ibu Florentina Sumiyati yang selalu
memberikan kasih sayang, doa, dukungan, dan kesabaran bagi saya.
3. Kakak ,Winarto dan aAnto , yang selalu memberikan dukuangan.
4. Mbah Putri, Mbah Kakung yang terlebih dulu bertemu dengan Yesus, terima kasih
sudah memberikan banyak pelajaran hidup dari masa kecil hingga remaja saya.
5. Seluruh sahabat di Prodi PBSI angkatan 2009 yang telah memberikan warna selama
berjuang bersama menyelesaikan studi.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
v
MOTTO
Cobalah dan berusahalah agar tahuseberapa batas kemampuan yang dapat kita capai
untuk mencapai tujuan yang ingin kita capai
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
vi
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA
Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini
tidak memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan
dalam kutipan dan daftar pustaka sebagaimana layaknya karya ilmiah.
Yogyakarta, 16 Desember 2016
Penulis
Yustinus Kurniawan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
vii
LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN
PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma:
Nama : Yustinus Kurniawan
Nomor Mahasiswa : 091224079
Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan
Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul:
KETIDAKSANTUNAN BERBAHASA
DALAM RANAH AGAMA HINDU
DI WILAYAH KOTAMADYA YOGYAKARTA
Dengan demikian saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata
Dharma hak untuk menyimpan, mengalihkan dalam bentuk media lain,
mengelolanya dalam bentuk pangkalan data, mendistribusikan secara terbatas, dan
memublikasikannya di internet atau media lain untuk kepentingan akademis
tanpa perlu meminta izin dari saya maupun memberikan royalti kepada saya
selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis.
Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.
Dibuat di Yogyakarta
Pada tanggal: 16 Desember 2016
Yang menyatakan
(Yustinus Kurniawan)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
viii
ABSTRAK
Yustinus Kurniawan. 2016. Ketidaksantunan Berbahasa dalam Ranah AgamaHindu di Wilayah Kota Madya, Yogyakarta. Skripsi. Yogyakarta: PBSI,JPBS, FKIP, USD.
Penelitian ini membahas ketidaksantunan berbahasa. Tujuan penelitian iniadalah (1) mendeskripsikan wujud-wujud linguistik dan pragmatikketidaksantunan berbahasa, (2) mendeskripsikan maksud ketidaksantunanberhasa, serta (3) mendeskripsikan penanda linguistik dan pragmatikketidaksantunan berbahasa dalam ranah Agama Hindu Kota Madya, Yogyakarta.
Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif kualitatif. Data penelitian iniberupa tuturan lisan yang tidak santun yang diucapkan pemuka dan umat sertapemuka dengan pemuka agama Hindu di wilayah Kota Madya Yogyakarta.Tuturan semuanya diambil secara natural dalam perbincangan dalam ranahagama. Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini ialah petunjuk wawancara(berupa pertanyaan pancingan dan daftar kasus) dan blangko pengamatan denganbekal teori ketidaksantunan berbahasa linguistik dan pragmatik. Metodepengumpulan data yang digunakan, yaitu metode simak dengan teknik rekam danteknik catat serta, metode cakap dengan teknik dasar berupa tenik pancing.Analisis data pada penelitian ini menggunakan metode kontekstual.
Sesuai dengan tujuan penelitiannya, hasil penelitian ini disampaikan sebagaiberikut (1) wujud ketidaksantunan berbahasa pragmatik dan linguistik (2) maksudketidaksantunan berbahasa linguistik dan pragmatik (3) penanda ketidaksantunanlinguistik dan pragmatik dalam ranah agama Hindu di Wilayah Kota MadyaYogyakarta. Pertama wujud ketidaksantunan berbahasa linguistik dan pragmatikberupa tuturan lisan tidak santun yang terbagi dalam kategori melanggar normadengan subkategori, menegaskan; kategori mengancam muka sepihak dengansubkategori memerintah dan mengancam; kategori melecehkan muka dengansubkategori menyindir, memperingatkan, menegur dan menasehati; kategorimenghilangkan muka dengan subkategori menegur, menegaskan, menyindir,menyingung dan memperingatkan; kategori menimbulkan konflik dengansubkategori mengejek, menegaskan, mengancam, memperingatkan, menyingungdan mengumpat, kedua maksud ketidaksantunan berbahasa linguistik danpragmatik berbahasa yang disampaikan oleh penutur yaitu memberi pengertian,mengingatkan, menegur, introspeksi diri, kesal, menasehati, supaya tidakdimarahi, asal bicara, meremehkan, kecewa, protes, ketiga penandaketidaksantunan berbahasa linguistik dan pragmatik diketahui dari (1) konteksekstralinguistik meliputi penutur dan lawan tutur, konteks tuturan, tujuan penutur,tuturan sebagai bentuk tindakan atau aktivitas, tuturan sebagai produk tindakverbal, (2) intralinguistik meliputi diksi, kategori fatis, tekanan, intonasi dan nada.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
ix
ABSTRACT
Yustinus Kurniawan. 2016. Impoliteness Language in the Hindu ReligionDomain of Municipality City Region, Yogyakarta. Thesis. Yogyakarta:PBSI, JPBS, USD
This study discusses the lack of politeness in a language. The purpose ofthis study is (1) to describe the linguistic forms and the pragmatics of languageimpoliteness, (2) to describe what impoliteness in a language, and (3) to describethe linguistic and pragmatics source of impoliteness speak in the realm of Hindumunicipality, Yogyakarta.
This research is a qualitative descriptive study. The research data are in theform of verbal utterances which were not polite spoken by religious andcommunity leaders as well as leaders of the Hindu religious leaders in theMunicipality of Yogyakarta. The speeches were all taken naturally inconversation in the topic of religion. Instruments used in this research are to guidethe interview (in the form of inducement questions and a list of cases) and theblank observation armed with the theory of linguistic and pragmatic impolitenessin a language. Data collection method used is with the recording technique andrefers to the technical note as well, the method of conversation with basictechniques such as fishing technique. Analysis of the data in this study usescontextual method.
In accordance with the purpose of research, the results of this study arepresented as follows: (1) the nature language impoliteness pragmatic andlinguistics (2) the meaning of linguistic and pragmatic impoliteness (3) themarkers for impoliteness linguistic and pragmatic in the realm of Hindu religionin Regional Municipality of Yogyakarta. First, the manifestation of linguistics andpragmatics of language impoliteness is in the form of verbal utterances which arenot polite, then divided into norms violation category with emphasizingsubcategory; the face-threatening category with threatening and assertingsubcategories; the face-insinuating category with the harassing, warning,admonishing and counseling subcategories,; face-eliminating category withreprimanding, asserting, quipping, offending, and warning subcategories; conflict-causing category with mocking, asserting, threatening, warning, offending, andcursing subcategories. Second, the intention behind linguistics and pragmatics ofimpoliteness language delivered by speakers who give understanding, warning,reprimanding, self-introspection, annoyed, advising, so as not to be scolded,talking nonsense, dismissing, disappointed, protesting. Last time, the marker oflinguistics and pragmatics of language impoliteness is known from (1) the contextof extra-linguistics which includes speakers and utterers, the context of thespeech, the purpose of the speaker, and speech as a form of action or activity,speech as a product of verbal acts, (2) intra-linguistics which includes diction,phatic category, stress, intonation and tone.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
x
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis sampaikan kepada Tuhan Yesus yang senantiasa
memberi berkat dan kasih, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang
berjudul “Ketidaksantunan Linguistik dan Pragmatik dalam Ranah Agama Hindu
wilayah KotaMadya Yogyakarta”. Skripsi ini disusun sebagai syarat untuk
menyelesaikan studi di Prodi Pendidikan Bahasa Sastra Indonesia (PBSI),
Jurusan Pendidikan Bahasa dan Seni (JPBS), Fakultas Keguruan dan Ilmu
Pendidikan (FKIP), Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini berhasil diselesaikan karena bantuan
dan dukungan dari banyak pihak. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima
kasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. Rohandi, Ph.D., selaku Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan,
Universitas Sanata Dharma.
2. Dr. Yuliana Setyaningsih, M.Pd., selaku Ketua Program Studi Pendidikan
Bahasa dan Sastra Indonesia yang telah memberikan banyak dukungan,
pendampingan, saran, dan sebagai dosen pembimbing yang dengan
bijaksana, sabar, dan penuh ketelitian membimbing, mengarahkan,
memotivasi, dan memberikan berbagai masukan yang sangat berharga
bagi penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
3. Dr. R. Kunjana Rahardi, M.Hum., selaku Wakil Ketua Program Studi
Pendidikan Bahasa Sastra Indonesia dan sebagai dosen pembimbing yang
dengan bijaksana, sabar, dan penuh ketelitian membimbing, mengarahkan,
memotivasi, dan memberikan berbagai masukan yang sangat berharga
bagi penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
4. Seluruh dosen prodi PBSI yang dengan penuh dedikasi mendidik,
mengarahkan, membimbing, membagi ilmu pengetahuan, memberikan
dukungan, dan bantuan kepada penulis dari awal perkuliahan sampai
selesai.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xi
5. R. Marsidiq, selaku karyawan sekretariat Prodi PBSI yang dengan sabar
memberikan pelayanan administratif kepada penulis dalam menyelesaikan
berbagai urusan administrasi.
6. Teman-teman yang memberikan bantuan dan dukungan (Valentina Tris
Marwati, dan Nuridang Fitra Nagara, Fabianus Anga Renato, Bambang
Sumarwanto, Yudahening Pinandito, Nurbeta Kistanti) untuk
menyelesaikan skripsi ini.
7. Sahabat angkatan 2009, yang berdinamika bersama selama menjalani
perkuliahan di PBSI.
8. Semua pihak yang belum disebutkan yang turut membantu penulis dalam
menyelesaikan skripsi ini.
Penulis menyadari bahwa masih terdapat banyak sekali kekurangan dalam
penulisan skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi pembaca
dan memberikan inspirasi bagi penelitian selanjutnya.
Yogyakarta, 16 Desember 2016
Penulis
Yustinus Kurniawan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xii
DAFTAR ISI
Hal.
HALAMAN JUDUL i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ii
HALAMAN PENGESAHAN iii
HALAMAN PERSEMBAHAN iv
HALAMAN MOTTO v
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA vi
PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI vii
ABSTRAK viii
ABSTRACT ix
KATA PENGANTAR x
DAFTAR ISI xii
DAFTAR BAGAN xv
BAB I PENDAHULUAN 1
1.1 Latar Belakang Masalah 1
1.2 Rumusan Masalah 3
1.3 Tujuan Penelitian 4
1.4 Manfaat Penelitian 5
1.5 Batasan Istilah 6
1.6 Sistematika Penelitian 7
BAB II KAJIAN PUSTAKA 8
2.1 Penelitian yang Relevan 8
2.2 Pragmatik 14
2.3 Fenomena Pragmatik 15
2.3.1 Praanggapan 15
2.3.2 Implikatur 16
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xiii
2.3.3 Deiksis 19
2.3.4 Kesantunan Berbahasa 21
2.3.5 Ketidaksantunan Berbahasa 25
2.3.6 Teori-teori Ketidaksantunan 26
2.4 Konteks 30
2.4.1.1 Konteks Ekstra Linguistik 33
2.4.1.2 Penutur dan Lawan tutur 33
2.4.1.3 Konteks Tuturan 33
2.4.1.4 Tujuan Penutur 33
2.4.1.5 Tuturan sebagai Bentuk Tindakan atau Aktivitas 34
2.4.1.6 Tuturan Sebagai Produk Tindak Verbal 34
2.4.1.7 Konteks Intra Linguistik 35
2.4.1.8 Unsur Segmental 35
2.4.1.9 Diksi 35
2.4.1.10 Kategori Fatis 42
2.4.1.11 Unsur Suprasegmental 44
2.4.1.12 Tekanan 44
2.4.1.13 Intonasi 45
2.4.1.14 Nada 45
2.5 Teori Maksud 46
2.6 Kerangka Berpikir 48
BAB III METODOLOGI PENELITIAN 50
3.1 Jenis Penelitian 50
3.2 Subjek Penelitian 51
3.3 Data dan Sumber Data 51
3.4 Instrumen Penelitian 52
3.5 Metode dan Teknik Pengumpulan Data 53
3.6 Metode dan Teknik Analisis Data 55
3.7 Trianggulasi Data 56
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xiv
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 58
4.1 Deskripsi Data 58
4.1.1 Analisis Data 60
4.1.2 Melanggar Norma 60
4.1.3 Mengancam Muka Sepihak 63
4.1.4 Melecehkan Muka 69
4.1.5 Menghilangkan Muka 79
4.1.6 Menimbulkan Konflik 87
4.2 Pembahasan 99
BAB V PENUTUP 129
5.1 Simpulan 129
5.2 Saran 131
5.2.1 Bagi Pemuka dan Umat beragama 131
5.2.2 Bagi Peneliti Lanjutan 131
DAFTAR PUSTAKA 133
LAMPIRAN 136
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xv
DAFTAR BAGAN
Hal.
Bagan 1 Kerangka Berpikir 48
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
1
BAB I
PENDAHULUAN
Pada bab ini berisi uraian (1) latar belakang masalah, (2) rumusan masalah,
(3) tujuan penelitian, (4) manfaat penelitian, dan (5) sistematika penyajian.
Berikut adalah uraian dari kelima hal tersebut.
1.1 Latar Belakang Masalah
Manusia sebagai mahluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri dan selalu
hidup berdampingan dengan manusia yang lain. Manusia membutuhkan interaksi
antara manusia satu dengan yang lain, alat yang digunakan untuk interaksi yang
disebut bahasa. Sebagai ilmu kajian bahasa yang terus mengalami perkembangan,
kajian bahasa linguistik memiliki berbagai cabang ilmu yang saling bersinergi
yaitu fonologi, morfologi, sintaksis, semantik, dan pragmatik.
Secara umum, linguistik menganalisis bahasa mengenai aspek yang
berhubungan dengan struktur kebahasaannya. Percabangan ilmu bahasa
menunjukkan bahwa pragmatik merupakan cabang ilmu linguistik yang terakhir.
Pragmatik merupakan studi tentang makna yang disampaikan oleh penutur (atau
penulis) dan ditafsirkan oleh pendengar (atau pembaca) (Yule, 2006:3). Objek
kajian lingustik lebih pada struktur bahasa yang meliputi fonologi, morfologi,
sintaksis dan semantik. Kajian pragmatik muncul dikarenakan ada beberapa kajian
bahasa yang tidak dapat dijelaskan dengan kajian liguistik, terutama hubungan
antara kalimat dengan konteks dan situasi pemakainya untuk memperjelas maksud
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
2
dari penutur, oleh karena itu dalam pengunaan bahasa agar maksud dan tujuan
penutur dapat tersampaikan dengan baik serta dapat diterima oleh mitra tutur,
dengan memadukan kajian linguistik dan pragmatik akan menghasilkan tuturan
yang baik.
Hal ini perlu disadari bahwa dengan bahasa adalah salah satu alat yang
digunakan untuk berinteraksi serta menyampaikan keinginan kita kepada lawan
bicara. Dalam pengunaan bahasa hendaknya kita dapat melihat situasi agar dapat
diterima oleh mitra tutur. Menurut Rahardi (2006: 20) konteks tuturan dapat pula
diartikan sebagai semua latar belakang pengetahuan (background knowledge)
yang diasumsikan sama-sama dimiliki dan dipahami bersama oleh penutur dan
mitra tutur, serta yang mendukung interpretasi mitra tutur atas apa yang
dimaksudkan oleh penutur itu di dalam keseluruhan proses bertutur.
Dalam kehidupan sehari hari tidak lepas dari interaksi dengan tindak tutur
secara lisan dan tulis, patut disadari bahwa bahasa lisan berkembang sangat cepat
hampir tidak terkontrol oleh kajian ilmu yang mendasarinya, kesantunan dalam
bertindak tutur kian luntur oleh perkembangan bahasa lisan, konteks dan situasi
tidak lagi menjadi acuan dalam bertutur, tidak terlepas dari situasi yang formal
dan diangap sakral seperti halnya dalam tidak tutur dalam upacara keagamaan.
Kota Yogyakarta adalah salah satu Kota yang terkenal dengan budaya Jawa
yang menjunjung tinggi kesantunan dalam bertindak tutur. Serta keberagaman
agama yang ada di wilayah kota Yogyakarta. Salah satu agama yang terdapat di
wilayah Yogyakarta adalah agama Hindu. Menurut Badan Statistika Kota
Yogyakarta, Agama Hindu 0,42% dari total penduduk Kota Yogyakarta (BPS,
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
3
2012:16). Jumlah tersebut bukanlah jumlah yang sedikit dibandingkan agama lain
yang mendiami wilayah Yogyakarta.
Banyaknya warga pendatang dari berbagai wilayah serta latar belakang yang
berbeda dengan membawa bahasa daerah yang berbeda beda membuat
keberagaman bahasa di wilayah kota Yogyakarta semakin banyak, sehingga kota
Yogyakarta cukup layak untuk menjadi subjek penelitian kebahasaan dalam
kesantunan bertindak tutur. Penelitian yang akan dilakukan untuk mengetahui
kesantuanan tuturan akan dilakukan dalam lingkup keagamaan. Lingkup ini
dipilih karena agama adalah salah satu forum yang mempunyai situasi resmi yang
secara tidak langsung memaksa setiap penganutnya bertutur dengan bahasa yang
menurut penutur baik untuk berinteraksi dengan mitra tutur.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah seperti di atas, maka permasalahan
utama penelitian ini adalah bagaimana manifestasi ketidaksantunan linguistik dan
pragmatik berbahasa umat pemuka agama Hindu di wilayah Kotamadya
Yogyakarta. Selanjutnya secara terperinci masalah-masalah yang akan diteliti
dalam penelitian ini meliputi:
a. Wujud ketidaksantunan linguistik dan pragmatik apa sajakah yang
terdapat dalam ranah agama Hindu yang diungkapkan oleh pemuka
kepada umatnya dan antar umat agama Hindu di wilayah Kotamadya
Yogyakarta?
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
4
b. Maksud apa sajakah yang mendasari penutur menggunakan bentuk-
bentuk kebahasaan yang tidak santun dalam ranah agama Hindu di
wilayah Kotamadya Yogyakarta?
c. Penanda ketidaksantunan linguistik dan pragmatik apa sajakah yang
digunakan oleh pemuka kepada umatnya dan antar umat agama
Hindu wilayah Kotamadya Yogyakarta?
1.3 Tujuan Penelitian
Sesuai dengan rumusan masalah seperti di atas, tujuan utama penelitian ini
adalah mendeskripsikan manifestasi ketidaksantunan linguistik dan pragmatik
berbahasa umat beragama Hindu di wilayah Kotamadya Yogyakarta. Secara rinci
tujuan penelitian adalah sebagai berikut:
a) Mendeskripsikan wujud-wujud linguistik dan pragmatik yang terdapat
dalam ranah agama Hindu yang terdapat di wilayah Kotamadya
Yogyakarta.
b) Mendeskripsikan maksud yang mendasari penutur menggunakan
bentuk-bentuk kebahasaan yang tidak santun dalam ranah agama
Hindu yang terdapat di wilayah Kotamadya Yogyakarta.
c) Mendeskripsikan penanda linguistik dan pragmatik yang terdapat
dalam ranah agama Hindu yang terdapat di wilayah Kotamadya
Yogyakarta.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
5
1.4 Manfaat Penelitian
Penelitian ketidaksantunan berbahasa dalam ranah agama ini diharapkan
dapat bermanfaat bagi para pihak yang memerlukan. Terdapat dua manfaat yang
dapat diperoleh dari pelaksanaan penelitian yaitu:
a. Manfaat Teoretis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan dan
memperluas kajian serta memperkaya khasanah teoretis tentang
ketidaksantunan dalam berbahasa sebagai fenomena pragmatik
baru.Penelitian ini dapat dikatakan memiliki kegunaan teroretis karena
dengan memahami teori-teori yang dikemukakan oleh para ahli dapat
digunakan sebagai tambahan pengetahuan baru dan referensi untuk
menghindari ketidaksantunan berbahasa dalam berkomunikasi.
b. Manfaat Praktis
Penelitian ketidaksantunan berbahasa ini juga diharapkan dapat
memberikan masukan khususnya bagi tokoh agama dalam berkomunikasi
untuk menghindari penggunaan bahasa yang kurang santun. Demikian pula,
penelitian ini akan memberikan masukan kepada para praktisi dalam bidang
pendidikan terutama bagi dosen, guru, mahasiswa, siswa, dan tenaga
kependidikan untuk mempertimbangkan adanya ketidaksantunan berbahasa
dalam komunikasi yang harus dihindari.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
6
1.5 Batasan Istilah
Supaya tidak menimbulkan adanya perbedaan pengertian, perlu ada
penjelasan istilah yang digunakan dalam penelitian ini. Batasan istilah yang
digunakan diambil dari pendapat dari beberapa pakar dalam bidangnya. Beberapa
batasan istilah yang perlu dijelaskan adalah sebagai berikut:
1) Ketidaksantunan berbahasa
Struktur bahasa penutur yang tidak berkenan di hati mitra tutur.
2) Pragmatik
Ilmu bahasa yang mengkaji maksud penutur di dalam konteks situasi dan
lingkungan sosial budaya tertentu (Rahardi, 2003:16).
3) Ketidaksantunan linguistik
Ketidaksantunan berbahasa yang dikaji dari aspek-aspek linguistik suatu
tuturan.
4) Ketidaksantunan pragmatik
Ketidaksantunan berbahasa yang dikaji dari konteks situasi yang
menyertai suatu tuturan.
5) Ranah
Lingkungan yang memungkinkan terjadinya percakapan, merupakan
kombinasi antara partisipan, topik, dan tempat misal keluarga,
pendidikan, tempat kerja, keagamaan, dan sebagainya (Depdiknas
2008:1139).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
7
1.6 Sistematika Penyajian
Penelitian ini terdiri dari lima bab. Bab I adalah bab pendahuluan yang
berisi latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat
penelitian, dan sistematika penelitian.
Bab II berisi landasan teori yang akan digunakan untuk menganalisis
masalah-masalah yang akan diteliti, yaitu tentang ketidaksantunan berbahasa.
Teori-teori yang dikemukakan dalam bab II ini adalah teori tentang (1) penelitian-
penelitian yang relevan, (2) fenomena pragmatik, (3) teori pragmatik, (4) teori
ketidaksantunan, (5) teori mengenai konteks, (6) unsur segmental, dan (7) unsur
suprasegmental.
Bab III berisi metode penelitian yang memuat tentang cara dan prosedur
yang akan digunakan oleh peneliti untuk memperoleh data. Dalam bab III akan
diuraikan (1) jenis penelitian, (2) subjek penelitian, (3) metode dan teknik
pengumpulan data, (4) instrumen penelitian, (5) metode dan teknik analisis data,
dan (6) sajian hasil analisis data.
Bab IV berisi tentang (1) deskripsi data, (2) analisis data, dan (3)
pembahasan hasil penelitian. Bab V berisi tentang kesimpulan penelitian dan
saran untuk penelitian selanjutnya berkaitan dengan penelitian ketidaksantunan
berbahasa.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
8
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
8
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
Dalam bab ini akan diuraikan penelitian yang relevan, landasan teori dan
kerangka teori. Landasan teori berisi teori-teori yang digunakan sebagai landasan
analisis dari penelitian ini yang terdiri atas teori pragmatik, mengenai teori
kesantunan berbahasa, dan teori ketidaksantunan berbahasa.serta penelitian lain
yang sejenis. Kerangka berpikir berisi acuan teori yang digunakan dalam
penelitian ini atas dasar penelitian terdahulu dan teori terdahulu yang relevan yang
akan digunakan untuk menjawab rumusan masalah.
2.1 Penelitian Yang Relevan
Penelitian pragmatik sekarang semakin banyak diteliti karena dirasa masih
banyak kajian pragmatik yang layak untuk diteliti dan dikaji ulang untuk
mengembangkan ilmu pragmatik agar dapat di terapkan dalam kehidupan sehari-
hari. Dari dasar penelitian kesantunan yang mengunakan ilmu pragmatik menarik
untuk diteliti dan dikaji ulang. Hal ini menimbulkan kurang seimbangnya karena
penelitian yang ada lebih banyak meneliti kesantunnan sedangkan penelitian
ketidaksantunan masih jarang ditemukan. Peneliti menemukan beberapa
penelitian mengenai kesantunan berbahasa. Peneliti menemukan empat penelitian
yang meneliti tentang ketidaksantunan. Keempat penelitian itu adalah penelitian
Agustina Galuh Eka Noviyanti (2013), Caecilia Petra Gading May Widyawari
(2013), Elizabeth Rita Yuliastuti (2013), dan Olivia Melissa Puspitarini (2013).
Penelitian yang dilakukan oleh Agustina Galuh Eka Noviyanti (2013.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
9
Penelitian tentang kesantunan berbahasa yang dilakukan oleh Galuh Eka
Noviyanti (2013) berjudul Ketidaksantunan Linguistik dan Pragmatik Berbahasa
Antarsiswa di SMA Stella Duce 2 Yogyakarta Tahun Ajaran 2012/2013. Jenis
penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif komunikatif. Pengumpulan
data pada penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode simak dan
metode cakap dengan teknik sadap dan teknik pancing, dengan instrumen berupa
pedoman atau panduan wawancara, pancingan, dan daftar kasus. Data dalam
penelitian ini dianalisis dengan menggunakan metode kontekstual. Pada penelitian
ini, peneliti menemukan bahwa Pertama, wujud ketidaksantunan linguistik yang
ditemukan berupa tuturan lisan yang telah ditranskripsi, sedangkan wujud
ketidaksantunan pragmatik berupa uraian konteks yang melingkupi setiap tuturan.
Kedua, penanda ketidaksantunan linguistik yang ditemukan berupa (1) nada, (2)
tekanan, (3) intonasi, dan (4) pilihan kata (diksi). Penanda ketidaksantunan
pragmatik dapat dilihat berdasarkan konteks yang melingkupi tuturan. Konteks
tersebut meliputi (1) penutur dan mitra tutur, (2) situasi dan suasana, (3) tindak
verbal, dan (4) tindak perlokusi. Ketiga, makna penanda ketidaksantunan dari
masing-masing jenis ketidaksantunan meliputi (1) makna penanda
ketidaksantunan melecehkan muka adalah penutur menyindir, menghina, dan
mengejek mitra tutur sehingga dapat melukai hati mitra tutur, (2) makna penanda
ketidaksantunan memainkan muka adalah penutur membuat kesal dan jengkel
mitra tutur dengan tingkah laku penutur yang tidak seperti biasanya, (3) makna
penanda ketidaksantunan kesembronoan yang disengaja adalah penutur
bermaksud untuk bercanda sehingga membuat mitra tutur terhibur, tetapi tidak
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
10
menutup kemungkinan bahwa candaannya tersebut dapat menimbulkan konflik,
(4) makna penanda ketidaksantunan menghilangkan muka adalah penutur
membuat mitra tutur benar-benar malu dihadapan banyak orang, dan (5) makna
penanda ketidaksantunan mengancam muka adalah penutur memberikan ancaman
atau tekanan kepada mitra tutur yang menyebabkan mitra tutur terpojok dan tidak
memberikan pilihan bagi mitra tutur.
Penelitian yang mengkaji tentang ketidaksantunan juga dilakukan oleh
Caecilia Petra Gading May Widyawari (2013) dengan judul Ketidaksantunan
Linguistik dan Pragmatik Berbahasa Antarmahasiswa Program Studi PBSID
Angkatan 2009—2011 Universitas Sanata Dharma. Jenis penelitian dari
penelitian ini adalah penelitian deskriptif kualitatif. Penelitian ini
mendeskripsikan wujud ketidaksantunan linguistik dan pragmatik berbahasa,
penanda ketidaksantunan linguistik dan pragmatik berbahasa, serta makna
ketidaksantunan berbahasa yang digunakan antarmahasiswa PBSID Angkatan
2009—2011 di Universitas Sanata Dharma. Peneliti menggunakan dua mtode
dalam penelitan ini, pertama metode simak dengan teknik dasar berupa teknik
sadap dan teknik lanjutan berupa teknik simak libat cakap dan teknik cakap,
kedua metode cakap dengan teknik dasar berupa teknik pancing dan dua teknik
lanjutan berupa teknik lanjutan cakap semuka dan tansemuka. Simpulan dari
penelitian ini tidak jauh berbeda dengan simpulan hasil penelitian yang dilakukan
oleh Galuh Eka Noviyanti (2013). Pertama, wujud ketidaksantunan linguistik
dapat dilihat dari tuturan antarmahasiswa yang terdiri dari melecehkan muka,
sembrono, mengancam muka dan menghilangkan muka. Lalu wujud
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
11
ketidaksantunan pragmatik dapat dilihat berdasarkan konteks (penutur, mitra
tutur, situasi, suasana, tindak verbal, tindak perlokusi dan tujuan tutur). Kedua,
penanda ketidaksantunan linguistik yang ditemukan berupa nada, tekanan,
intonasi, dan diksi. Penanda ketidaksantunan pragmatik dapat dilihat berdasarkan
konteks tuturan yang berupa penutur dan mitra tutur, situasi dan suasana, tindak
verbal, tindak perlokusi, dan tujuan tutur. Ketiga, makna ketidaksantunan
berbahasa yaitu: (1) melecehkan muka, ejekan penutur kepada mitra tutur dan
dapat melukai hati, (2) memain-mainkan muka, membingungkan mitra tutur dan
itu menjengkelkan, (3) kesembronoan, bercanda yang menyebabkan konflik, (4)
menghilangkan muka, mempermalukan mitra tutur didepan banyak orang, dan (5)
mengancam muka, menyebabkan ancaman pada mitra tutur.
Penelitian tentang ketidaksantunan berbahasa lainnya dilakukan oleh
Elizabeth Rita Yuliastuti (2013) berjudul Ketidaksantunan Linguistik dan
Pragmatik Berbahasa antara Guru dan Siswa di SMA Stella Duce 2 Yogyakarta
Tahun Ajaran 2012/2013. Pengumpulan data pada penelitian ini serupa dengan
penelitian ketidaksantunan sebelumnya, yakni dengan menggunakan metode
simak dan metode cakap. Pada penelitian ini, peneliti menemukan bahwa
pertama, wujud ketidaksantunan linguistik dapat dilihat berdasarkan tuturan lisan
yang tidak santun antara guru dan siswa yang berupa tuturan melecehkan muka,
memain-mainkan muka, kesembronoan, mengancam muka, dan menghilangkan
muka, sedangkan wujud ketidaksantunan pragmatik dapat dilihat berdasarkan
uraian konteks berupa penutur, mitra tutur, tujuan tutur, situasi, suasana, tindak
verbal, dan tindak perlokusi yang menyertai tuturan tersebut. Kedua, penanda
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
12
ketidaksantunan linguistik dapat dilihat berdasarkan nada, tekanan, intonasi, dan
diksi, serta penanda ketidaksantunan pragmatik dapat dilihat berdasarkan konteks
yang menyertai tuturan yakni penutur, mitra tutur, situasi, suasana, tujuan tutur,
tindak verbal, dan tindak perlokusi. Ketiga, makna ketidaksantunan (1)
melecehkan muka yakni hinaan dan ejekan dari penutur kepada mitra tutur hingga
melukai hati mitra tutur, (2) memain-mainkan muka yakni tuturan yang membuat
bingung mitra tutur sehingga mitra tutur menjadi jengkel karena sikap penutur
yang tidak seperti biasanya, (3) kesembronoan yang disengaja yakni penutur
bercanda kepada mitra tutur sehingga mitra tutur terhibur, tetapi candaan tersebut
dapat menimbulkan konflik, (4) mengancam muka yakni penutur memberikan
ancaman kepada mitra tutur sehingga mitra tutur merasa terpojokkan, dan (5)
menghilangkan muka yakni penutur mempermalukan mitra tutur di depan banyak
orang.
Penelitian tentang ketidaksantunan berbahasa selanjutnya dilakukan oleh
Olivia Melissa Puspitarini (2013) yang mengangkat judul Ketidaksantunan
Linguistik dan Pragmatik Berbahasa antara Dosen dan Mahasiswa Program
Studi PBSID, FKIP, USD, Angkatan 2009—2011. Penelitian yang menjadikan
dosen dan mahasiswa Program Studi PBSID sebagai sumber data ini merupakan
penelitian deskriptif kualitatif, serupa dengan penelitian yang telah dilakukan oleh
ketiga peneliti diatas. Metode pengumpulan data dalam penelitian ini adalah
metode simak dan metode cakap, dengan menggunakan instrumen berupa
panduan wawancara, daftar pertanyaan pancingan, dan daftar kasus. Penelitian ini
juga menemukan hasil serupa seperti penelitian sebelumnya, yakni pertama,
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
13
wujud ketidaksantunan linguistik berdasarkan tuturan lisan dan wujud
ketidaksantunan pragmatik berbahasa yaitu uraian konteks tuturan tersebut.
Kedua, penanda ketidaksantunan linguistik yaitu nada, intonasi, tekanan, dan
diksi, serta penanda pragmatik yaitu konteks yang menyertai tuturan yakni
penutur, mitra tutur, situasi, dan suasana. Ketiga, makna ketidaksantunan
linguistik dan pragmatik berbahasa meliputi (1) melecehkan muka yakni penutur
menyindir atau mengejek mitra tutur, (2) memainkan muka yakni penutur
membuat jengkel dan bingung mitra tutur, (3) kesembronoan yang disengaja
yakni penutur bercanda kepada mitra tutur dan mitra tutur terhibur namun candaan
tersebut dapat menimbulkan konflik bila candaan tersebut ditanggapi secara
berlebihan, (4) menghilangkan muka yakni penutur mempermalukan mitra tutur
didepan banyak orang, dan (5) mengancam muka yakni penutur memberikan
ancaman atau tekanan kepada mitra tutur yang menyebabkan mitra tutur terpojok.
Dari beberapa penelitian diatas didapat kesimpulan, bahwa dari segi hasil
penelitian ternyata masih banyak ditemukan ketidaksantunan berbahasa yang
dikaji secara Linguistik, Pragmatik dan berdasarkan teori-teori ketidaksantunan
dalam buku Impoliteness in Language oleh Bousfield et al (Eds.). Kita dapat
menemukan kesimpulan yang lain dari keempat penelitian tersebut, yaitu dari segi
jenis penelitian termasuk penelitian deskriptif kualitatif. Pengambilan data dengan
menggunakan metode simak dan metode cakap. Berdasarkan fakta-fakta yang
ditemukan dari beberapa penelitian diatas, peneliti semakin yakin untuk
digunakan sebagai referansi serta acuan untuk mengkaji ketidaksantunan
berbahasa secara Linguistik, Pragmatik, dan berdasarkan teori-teori
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
14
ketidaksantunan yang ada. Khususnya digunakan untuk mengkaji ketidaksantunan
berbahasa dalam ranah agama Hindu.
2.2 Pragmatik
Bahasa merupakan alat utama dalam komunikasi dan memiliki daya
ekspresi dan dan informatif yang besar. Bahasa sangat dibutuhkan oleh manusia
karena dengan bahasa manusia bisa menemukan kebutuhan mereka dengan cara
berkomunikasi antara satu dengan lainnya. Komunikasi tidak lepas dari suasana
maupun kontek. Untuk mengkaji mengenai hal tersebut salah satu caranya adalah
melalui sudut pandang pragmatik.
Huang (2007:2) memaparkan bahwa “pragmatics is the systematic study of
meaning by virtue of, or dependent on, the use of language”. Huang menjelaskan
definisi pragmatik sebagai studi sistematis tentang makna yang berdasarkan atau
tergantung pada penggunaan bahasa. Definisi lain dijelaskan oleh Levinson
(1983:9) via Nadar (2009:4) dalam bukunya yang berjudul Pragmatik &
Penelitian Pragmatik, yang mendefinisikan pragmatik sebagai berikut:
“Pragmatics is the study of those relations between language and context that are
grammaticalized, or encoded in the structure of language”. Maksud dari definisi
Levinson adalah pragmatik merupakan kajian hubungan antara bahasa dan
konteks yang tergramatikalisasi atau terkodifikasi dalam struktur bahasa.
Yule (2006:3) menelaah ada 4 (empat) definisi pragmatik, yaitu (1)
bidang yang mengkaji makna pembicara, (2) bidang yang mengkaji makna
menurut konteksnya; (3) bidang yang mengkaji tentang bagaimana agar lebih
banyak yang disampaikan daripada yang dituturkan, dan (4) bidang yang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
15
mengkaji tentang ungkapan dari jarak hubungan.
Berdasarkan berbagai pendapat dari para ahli tersebut, dapat disimpulkan
bahwa pragmatik adalah bagian dari studi linguistik yang mengkaji penggunaan
bahasa. Pengkajian bahasa dalam pragmatik akan selalu terikat dengan koteks dari
pengguna bahasa tersebut.
2.3 Fenomena Pragmatik
Pragmatik membagi menjadi empat fenomena, yakni praanggapan,
implikatur, deiksis dan kesantunan. Keempat fenomena itu akan dijelaskan
sebagai berikut.
2.3.1 Praangapan
Dalam berkomunikasi seseorang memiliki suatu gagasan yang akan
dituturkan kepada mitra tutur. Hal tersebut diasumsikan bahwa mitra tutur telah
mengetahui sesuatu yang telah dituturkan oleh penutur. Karena informasi telah
mendapat anggapan untuk diketahui, maka informasinya biasanya tidak
dinyatakan dan akibatnya akan menjadi bagian dari apa yang disampaikan tetapi
tidak dikatakan. Hal ini didukung oleh pendapat Harimurti (2001:176), yang
menyatakan bahwa praanggapan atau presuposisi merupakan syarat yang yang
diperlukan bagi benar tidaknya suatu kalimat.
Levinson (1983:201-202) dalam Nadar (2009:66) menyimpulkan dari
berbagai definisi-definisi pragmatik yang dikemukakan oleh para ahli bahasa,
mengemukakan bahwa presupposisi pragmatik mengandung dua hal pokok yaitu
kesesuaian ‘appropriateness’ atau kepuasan ‘felicity’ dan pemahaman bersama
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
16
‘mutual knowledge’, atau ‘common ground’ dan ‘joint assumption’. Dengan
demikian pemahaman bersama ‘common ground’ dan kesesuaian
‘appropriateness’ merupakan hal-hal mendasar dalam berbagai definisi mengenai
presupposisi pragmatik. Jadi, praanggapan merupakan sesuatu yang dianggap dan
diketahui oleh lawan tutur.
2.3.2 Implikatur
Implikatur menerangkan apa yang dimaksudkan penutur, berbeda dengan
apa yang dikatakan sebenarnya oleh penutur. Dalam rangka memahami apa yang
dimaksudkan oleh penutur lawan tutur harus selalu melakukan interpretasi pada
tuturan-tuturannya (Nadar, 2009:60). Pemahaman terhadap implikatur percakapan
tidak lepas dari asas kerjasama (cooperative principl) (Grice dalam Yule 1996:31-
32). Grice menjabarkan prinsip kerjasama tersebut ke dalam empat maksim
percakapan, yakni pertama, maksim kuantitas. Maksim kuantitas menjelaskan
mengenai percakapan yang singkat tetapi maknanya padat, tepat dan tidak
berbelit-belit. Kedua, maksim kualitas yang menjelaskan mengenai percakapan
yang sesuai dengan kenyataan dan fakta yang terjadi. Ketiga, maksim relevansi
merupakan suatu hubungan antara penutur dan mitra tutur yang terjalin secara
baik dan membicarakan sesuai permasalahan. Terakhir adalah maksim cara yakni
antara penutur dan mitra tutur menghindari tuturan yang tidak jelas, ketakaburan
ujaran, ketaksaan dan menugkapkan tuturan secara sistematis.
Grice membagi implikatur menjadi dua, yakni conventional implikatur
(implikatur konvensional), dan conversation implikatur (implikatur percakapan).
Dalam implikatur konvensional, maksud diperoleh langsung dari makna kata dan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
17
bukan dari prinsip percakapan. Implikatur ini bersifat secara umum dan
konvensial. Berbeda dengan implikatur perckapan, yakni implikatur memliki
variasi karena makna dan pengertian yang dimaksudkan bergantung pada konteks
pembicaraan. Implikatur percakapan terjadi karena adanya kenyataan bahwa
sebuah ujaran yang mempunyai implikasi berupa proposisi yang sebenarnya
bukan bagian dari tuturan tersebut dan tidak pula merupakan konsekuensi yang
harus ada dari tuturan itu.
Menurut Yule (2006:69–80) implikatur dibedakan menjadi lima macam
sebagai berikut.
1) Implikatur percakapan
Penutur yang menyampaikan makna lewat implikatur dan
pendengarlah yang mengenali makna-makna yang disampaikan
lewat inferensi. Kesimpulan yang sudah dipilih ialah kesimpulan
yang mempertahankan asumsi kerja sama.
2) Implikatur percakapan umum
Jika pengetahuan khusus tidak dipersyaratkan untuk
memperhitungkan makna tambahan yang disampaikan, hal ini
disebut implikatur percakapan umum.
3) Implikatur berskala
Informasi tertentu yang selau disampaikan dengan memilih
sebuah kata yang menyatakan suatu nilai dari suatu skala nilai. Ini
secara khusus tampak jelas dalam istilah-istilah untuk
mengungkapkan kuantitas, seperti yang ditunjukkan dalam skala
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
18
(semua, sebagian besar, banyak, beberapa, sedikit) dan (selalu,
sering, kadang-kadang), dimana istilah-istilah itu didaftar dari
skala nilai tertinggi ke nilai terendah. Dasar implikatur berskala
adalah bahwa semua bentuk negatif dari skala yang lebih tinggi
dilibatkan apabila bentuk apapun dalam skala itu dinyatakan.
4) Implikatur percakapan khusus
Percakapan sering terjadi dalam konteks yang sangat khusus di
mana kita mengasumsikan informasi yang kita ketahui secara
lokal. Inferensi-inferensi yang sedemikian dipersyaratkan untuk
menentukan maksud yang disampaikan menghasilkan amplikatur
percakapan khusus.
5) Implikatur konvensional
Kebalikan dari seluruh implikatur percakapan yang dibahas
sejauh ini, implikatur konvensional tidak didasarkan pada prinsip
kerja sama atau maksim-maksim. Implikatur konvensional tidak
harus terjadi dalam percakapan, dan tidak bergantung pada
konteks khusus untuk menginterpretasikannya. Seperti halnya
dengan kata-kata khusus dan menghasilkan maksud tambahan
yang disampaikan apabila kata-kata tersebut digunakan. Kata
yang memiliki implikatur konvensional adalah kata ‘bahkan’ dan
‘tetapi’.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
19
Di dalam sebuah pertuturan yang sesungguhnya, si penutur dapat secara
lancar berkomunikasi karena mereka berdua memiliki semacam kesamaan yang
dipertuturkan itu. Diantara penutur dan mitra tutur terdapat semacam kontrak
percakapan yang tidak tertuis, bahwa apa yang sedang dipertuturkan itu sudah
saling dimengerti dan saling dipahami. Grice (1975) dalam Rahardi (2003)
menyatakan bahwa sebuah tuturan dapat mengimplikasikan proposisi yang bukan
bagian dari tuturan tersebut. Proposisi yang diimplikasikan semacam itu disebut
implikatur percakapan (Rahardi, 2006:85).
2.3.3 Deiksis
Penafsiran deiksis tergantung pada konteks, maksud penutur, dan ungkapan-
ungkapan itu mengungkapan jarak hubungan. Diberikannya ukuran kecil dan
rentangan yang sangat luas dari kemungkinan pemakainya, ungkapan-ungkapan
deiksis selalu menyampaikan lebih banyak hal dari pada yang diucapkan (Yule,
2006:26)
Deiksis adalah gejala semantik yang terdapat pada kata atau konstruksi yang
hanya dapat ditafsirkan acuannya dengan mempertimbangkan kontek
pembicaraan. Deiksis idefinisikan sebagai ungkapan yang terikat dengan
konteksnya. Deiksis juga mengacu pada perbedaan antara ungkapan-ungkapan
deiksis “dekat penutur (proksimal)” dan “jauh dari penutur (distal)”. Ungkapan
yang termasuk dalam deiksis dekat penutur (proksimal) adalah di sini, ini,
sekarang, sedangkan deiksis jauh dari penutur (distal) menggunakan ungkapan itu,
di sana, pada saat itu. Istilah-istilah proksimal biasanya ditafsirkan sebagai istilah
‘tempat pembicara’, atau ‘pusat deiksis’, sehingga ‘di sini’ umumnya dipahami
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
20
sebagai acuan terhadap titik atau keadaan pada saat tuturan penutur terjadi di
tempatnya. Sementara itu, untuk istilah distal yang menunjukkan ‘jauh dari
penutur’, tetapi dapat juga digunakan untuk membedakan antara ‘dekat dengan
lawan tutur’ dan ‘jauh dari penutur maupun lawan tutur’ (Yule, 2006:14).
Fenomena deiksis merupakan cara yang paling jelas untuk menggambarkan
hubungan antara bahasa dan konteks dalam struktur bahasa itu sendiri.
Deiksis terbagi lima macam yakni deiksis persona, deiksis tempat, deiksis
waktu, deiksis wacana, dan deiksis sosial. Hal tersebutakan dipaparkan
sebagaiberikut :
1) Deiksis Persona, yakni menentukan suatu ujaran yang dipengaruhi oleh
peran peserta dalam peristiwa berbahasa. Peran peserta berbahasa
terbagi menjadi tiga. Pertama ialah orang pertama, yaitu kategori
rujukan pembicara kepada dirinya atau kelompok yang melibatkan
dirinya, misalnya saya, kita, dan kami. Kedua ialah orang kedua, yaitu
kategori rujukan pembicara kepada seorang pendengar atau lebih yang
hadir bersama orang pertama, misalnya kamu, kalian, saudara. Ketiga
ialah orang ketiga, yaitu kategori rujukan kepada orang yang bukan
pembicara atau pendengar ujaran itu, baik hadir maupun tidak, misalnya
dia dan mereka.
2) Deiksis Tempat ialah pemberian bentuk pada lokasi menurut peserta
dalam peristiwa bahasa. Semua bahasa -termasuk bahasa Indonesia-
membedakan antara “yang dekat kepada pembicara” (di sini) dan “yang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
21
bukan dekat kepada pembicara” (termasuk yang dekat kepada
pendengar -di situ) (Nababan, 1987: 41).
3) Deiksis Waktu ialah pemberian bentuk pada rentang waktu seperti yang
dimaksudkan penutur dalam peristiwa bahasa. Deiksis waktu juga
ditujukan pada partisipan dalam wacana. Dalam banyak bahasa, deiksis
(rujukan) waktu ini diungkapkan dalam bentuk “kala” (Inggris: tense)
(Nababan, 1987: 41).
4) Deiksis Wacana ialah rujukan pada bagian-bagian tertentu dalam
wacana yang telah diberikan atau sedang dikembangkan (Nababan,
1987: 42). Deiksis wacana mencakup anafora dan katafora. Anafora
ialah penunjukan kembali kepada sesuatu yang telah disebutkan
sebelumnya dalam wacana dengan pengulangan atau substitusi.
Katafora ialah penunjukan ke sesuatu yang disebut kemudian. Bentuk-
bentuk yang dipakai untuk mengungkapkan deiksis wacana itu adalah
kata/frasa ini, itu, yang terdahulu, yang berikut, yang pertama disebut,
begitulah, dan sebagainya.
5) Deiksis Sosial ialah rujukan yang dinyatakan berdasarkan perbedaan
kemasyarakatan yang mempengaruhi peran pembicara dan pendengar.
Perbedaan itu dapat ditunjukkan dalam pemilihan kata. Dalam beberapa
bahasa, perbedaan tingkat sosial antara pembicara dengan pendengar
yang diwujudkan dalam seleksi kata dan/atau sistem morfologi kata-
kata tertentu (Nababan, 1987: 42).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
22
2.3.4 Kesantunan Berbahasa
Dalam kesantunan tercermin antara kesantunan berperilaku dan kesantunan
berbahasa. Kesantunan berperilaku merupakan tata cara bertindak atau gerak-
gerik ketika menghadapi sesuatu atau dalam situasi tertentu. Sedangkan,
kesantunan berbahasa dalam tata cara berkomunikasi lewat tanda verbal atau tata
cara berbahasa. Bahasa merupakan cermin kepribadian seseorang, yang berarti
bahasa (yang digunakan) seseorang atau suatu bangsa dapat diketahui
kepribadiaannya (Pranowo, 2009:3).
Pranowo (2009:3) menjelaskan bahasa verbal adalah bahasa yang
diungkapkan dengan kata-kata dalam bentuk ujaran atau tulisan, sedangkan
bahasa nonverbal adalah bahasa yang diungkapkan dalam bentuk mimik, gerak
gerik tubuh, sikap atau perilaku. Pemakaian bahasa verbal lebih mudah untuk
dilihat atau diamati. Namun, disamping itu terdapat pula bahasa nonverbal yang
mendukung pengungkapan kepribadian seseorang, yakni berupa mimik, gerak-
gerik tubuh, sikap, atau perilaku.
Struktur bahasa yang santun adalah struktur bahasa yang disusun oleh
penutur/penulis agar tidak menyinggung perasaan pendengar atau pembaca
(Pranowo, 2009:4). Ketika berkomunikasi, penggunaan bahasa dengan baik dan
benar saja belum cukup. Agar dapat membentuk perilaku seseorang menjadi lebih
baik hendaknya juga menerapkan penggunaan bahasa yang santun.
Pemakaian bahasa seseorang berbeda-beda, dalam masyarakat masih
terdapat penggunaan bahasa yang santun maupun tidak santun. Pada
kenyataannya, penggunaan bahasa yang tidak santun lebih banyak terjadi dalam
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
23
berkomunikasi di lingkungan masyarakat. Pranowo (2009:51) memaparkan
beberapa alasan yang mendasari hal tersebut, antara lain (a) tidak semua orang
memahami kaidah kesantunan, (b) ada yang memahami kaidah tetapi tidak mahir
menggunakan kaidah kesantunan, (c) ada yang mahir menggunakan kaidah
kesantunan dalam berbahasa, tetapi tidak mengetahui bahwa yang digunakan
adalah kaidah kesantunan, dan (d) tidak memahami kaidah kesantunan dan tidak
mahir berbahasa secara santun. Maka dari itu, agar terwujudnya dominasi
penggunaan bahasa santun daripada bahasa yang tidak santun perlu melakukan hal
berikut (a) kaidah kesantunan berbahasa sudah dideskripsikan dengan baik, (b)
kaidah yang sudah dideskripsikan tersebut kemudian disosialisasikan kepada
masyarakat, (c) pembinaan terus menerus melalui berbagai jalur (sekolah, kantor,
lembaga-lembaga lain yang menjadi tempat berkimpulnya orang banyak), (d)
pengawasan yang sifatnya “sapa senyum” agar masyarakat semakin sadar untuk
menggunakan bahasa yang santun terus menerus (Pranowo, 2009:52).
Pemakaian bahasa, baik santun maupun tidak dapat dilihat dari dua hal,
yaitu pilihan kata (diksi) dan gaya bahasa. Pilihan kata yang dimaksud adalah
ketepatan pemakaian kata untuk mengefektifkan pesan dalam konteks tertentu
sehingga menimbulkan efek tertentu pada mitra tutur. Sedangkan, gaya bahasa
digunakan untuk memperindah tuturan dan kehalusan budi pekerti penutur.
Beberapa gaya bahasa yang dapat digunakan untuk melihat santun tidaknya
pemakaian bahasa dalam bertutur, antara lain: majas hiperbola, majas
perumpamaan, majas metafora, dan majas eufemisme. Selain hal tersebut,
Pranowo (2009:76–79) menjelaskan adanya dua aspek penentu kesantunan, yaitu
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
24
aspek kebahasaan dan aspek nonkebahasaan. Aspek kebahasaan meliputi aspek
intonasi (keras lembutnya intonasi ketika seseorang berbicara), aspek nada bicara
(berkaitan dengan suasana emosi penutur: nada resmi, nada bercanda atau
bergurau, nada mengejek, nada menyindir), faktor pilihan kata, dan faktor struktur
kalimat. Sedangkan, aspek nonkebahasaan berupa pranata sosial budaya
masyarakat (misalnya aturan anak kecil yang harus selalu hormat kepada orang
yang lebih tua, dan sebagainya), pranata adat (seperti jarak bicara antara penutur
dengan mitra tutur, gaya bicara, dan sebagainya).
Melihat fenomena-fenomena kebahasaan yang terjadi dalam masyarakat,
beberapa ahli mengidentifikasikan indikator kesantunan berbahasa. Indikator
adalah penanda yang dapat dijadikan penentu apakah pemakaian bahasa seseorang
dapat dikatakan santun atau tidak. Dell Hymes (1978) dalam Pranowo (2009:100–
101) menyatakan bahwa ketika seseorang berkomunikasi hendaknya
memerhatikan beberapa komponen tutur yang meliputi latar, peserta, tujuan
komunikasi, pesan yang ingin disampaikan, bagaimana pesan itu disampaikan,
segala ilustrasi yang ada di sekitar peristiwa penutur, pranata sosial
kemasyarakatan, dan ragam bahasa yang digunakan. Sedangkan, Grice (2000)
dalam Pranowo (2009:102) lebih menekankan tata cara ketika berkomunikasi.
Kemudian Leech (1983) via Pranowo (2009:102–103), memaparkan prisnsip
kesantunannya sebagai indikator kesantunan berbahasa, yakni: maksim
kebijaksanaan, maksim kedermawanan, maksim kerendahan hati, maksim
kesetujuan, maksim simpati, dan maksim pertimbangan. Selanjutnya, Pranowo
(2009:103–105) mengemukakan indikator kesantunan berupa nilai-nilai luhur
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
25
yang mendukung kesantunan, yaitu sikap rendah hati. Sikap rendah hati seseorang
dapat tumbuh dan berkembang jika seseorang mampu memanifestasikan nilai-
nilai lain, seperti tenggang rasa (angon rasa, adu rasa), angon wayah, mau
berkorban, mawas diri, empan papan, dan sebagainya.
2.3.5 Ketidaksantunan Berbahasa
Ketidaksantunan berbahasa ini muncul dengan melihat realita di masyarakat
dalam menggunakan bahasa atau berkomunikasi. Penggunaan bahasa yang santun
dalam berkomunikasi masih jauh dari yang diharapkan.
Ketidaksantunan berbahasa merupakan bentuk yang menunjuk pada
perilaku kebahasaan yang tidak baik, kasar, dan melanggar tata krama. Selain
kelima fenomena di atas, muncul fenomena baru yang belum banyak dikaji oleh
para ahli linguistik dan pragmatik, fenomena tersebut merupakan ketidaksantunan
berbahasa. Pranowo (2009:68-71) memaparkan gejala penutur yang bertutur
secara tidak santun, yaitu penutur menyampaikan kritik secara langsung
(menohok mitra tutur) dengan kata atau frasa kasar, penutur didorong rasa emosi
yang berlebihan ketika bertutur sehingga terkesan marah kepada mitra tutur,
penutur kadang-kadang protektif terhadap pendapatnya (hal demikian
dimaksudkan agar tuturan mitra tutur tidak dipercaya oleh pihak lain), penutur
sengaja ingin memojokkan mitra tutur dalam bertutur, penutur terkesan
menyampaikan kecurigaan terhadap mitra tutur.
Atas dasar identifikasi di atas, Pranowo (2009:72-73) menyebutkan empat
faktor yang menyebabkan ketidaksantunan pemakaian bahasa. Pertama, ada orang
yang memang tidak tahu kaidah kesantunan yang harus dipakai ketika berbicara.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
26
Kedua, faktor pemerolehan kesantunan. Ketiga, ada orang yang sulit
meninggalkan kebiasaan lama dalam budaya bahasa pertama sehingga masih
terbawa dalam kebiasaan baru (interferensi bahasa Indonesia). Keempat, karena
sifat bawaan “gawan bayi” ang memang suka berbicara tidak santun di hadapan
mitra tutur.
2.3.6 Teori-Teori Ketidaksantunan
Ketidaksantunan berbahasa merupakan bentuk pertentangan dari
kesantunan berbahasa. Kesantunan menunjuk pada perilaku sopan santun dan tata
karma yang baik. Sebaliknya, ketidaksantunan menunjuk pada perilaku yang tidak
baik, kasar, dan melanggar tata karma. Teori-teori yang mendasari
ketidaksantunan berbahasa adalah sebagai berikut.
Menurut pandangan Locher (2008), ketidaksantunan dalam berbahasa
dapat dipahami sebagai berikut, ‘…behaviour that is face-aggravating in a
particular context.’ Jadi intinya, ketidaksantunan berbahasa itu menunjuk pada
perilaku ‘melecehkan’ muka (face-aggravate). Berikut ini disampaikan tuturan
yang mengandung ketidaksantunan yang diucapkan oleh umat agama Hindu.
Umat 1 : “ Hari ini ceramahnya tentang dunia lain”Umat 2 : “Iya, pasti setan yang dimaksud mukanya sepertimu”
Adapun latar belakang situasinya adalah:Tuturan tersebut diucapkan oleh seorang umat setelah selesai mengikutiupacara keagamaan. Berdasarkan contoh tersebut dapat kita lihat umat 2menunjukan ketidaksantunan perilaku melecehkan muka.
Perilaku melecehkan muka itu sesungguhnya lebih dari sekadar
‘mengancam’ muka (face-threaten), seperti yang ditawarkan dalam banyak
definisi kesantunan klasik Leech (1983), Brown and Levinson (1987), atau
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
27
sebelumnya pada tahun 1978, yang cenderung dipengaruhi konsep muka Erving
Goffman (cf. Rahardi, 2009). Interpretasi lain yang berkaitan dengan definisi
Locher terhadap ketidaksantunan berbahasa ini adalah bahwa tindakan tersebut
yang ‘memain-mainkan muka’. Contoh dari tuturan yang memain-mainkan muka
tampak pada cuplikan berikut.
Umat 1 : “Kamu sebagai orang yang beragama, Jangan suka mencela oranglain seperti itu”
Umat 2 : “Siapa kamu Bapaku juga bukan berlagak menasehatiku”
Adapun latar belakang situasinya adalah:Tuturan tersebut diucapkan oleh seorang umat ketika ada orang cacatberjalan di depanya. Berdasarkan contoh tersebut dapat kita lihat umat duamenunjukan ketidaksantunan perilaku melecehkan muka.
Dalam pandangan Derek Bousfield (2008), ketidaksantunan dalam
berbahasa dipahami sebagai, ‘The issuing of intentionallygratuitous and
conflictive face-threatening acts (FTAs) that are purposefully perfomed.’
Bousfield memberikan penekanan pada dimensi ‘kesembronoan’(gratuitous), dan
konfliktif (conflictive) dalam praktik berbahasa yang tidak santun itu.
Umat 1 : “Apakah beliau yang akan memimpin upacra keagamaan hari ini”Umat 2 : “Iya, benar sekali orang yang sangat pendek seperti tuyul”
Adapun latar belakang situasinya adalah:Tuturan tersebut diucapkan oleh seorang umat ketika upacara keagamanakan dimulai. Berdasarkan contoh tersebut dapat kita lihat umat duamenunjukan ketidaksantuanan dengan memberikan penekanankesembronoan dengan mengejek orang lain .
Pemahaman Culpeper (2008) tentang ketidaksantunan berbahasa adalah,
‘Impoliteness, as I would define it, involves communicative behavior intending to
cause the “face loss” of a target or perceived by the target to be so.’ Dia
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
28
memberikan penekanan pada fakta ‘face loss’ atau ‘kehilangan muka’—kalau
dalam bahasa Jawa mungkin konsep itu dekat dengan konsep ‘kelangan rai’
(kehilangan muka).
Umat 1 : “Selamat pagi (umat satu menyapa)”Umat 2 : “Pagi juga , mau pergi kemana?”Umat 1 : “Saya ingin pergi ber ibadah”Umat 2 : “Orang miskain ya! Ke tempat ibadah memakai pakaian compang
camping”Umat 1 : “(tetap berjalan sambil menundukan kepala)”
Adapun latar belakang situasinya adalah:Tuturan tersebut diucapkan oleh umat ketika sedang berjalan menujutemapat ibadah. Berdasarkan contoh di atas menunjukan ketidaksantuananyang dilakukan olah umat 2 dengan memberikan penekanan pada fakta.
occurs when the expression used is not conventionalized relative to the context of
occurrence; it threatens the addressee’s face but no face-threatening intention is
attributed to the speaker by the hearer.’ Jadi, perilaku berbahasa dalam
pandangannya akan dikatakan tidak santun bilamana mitra tutur (addressee)
merasakan ancaman terhadap kehilangan muka (face threaten), dan penutur
(speaker) tidak mendapatkan maksud ancaman muka itu dari mitra tuturnya.
Umat 1 :“Berjalan di sela-sela orang banyak”Umat 2 : “Dasar sialan tidak punya mata ya? (ketika umat satu tidak
sengaja menginjak kaki umat dua )”Umat 1 :“Maaf mas saya tidak sengaja”
Adapun latar belakang situasinya adalah:Tuturan tersebut diucapkan oleh seorang umat ketika upacara keagamaanberlangsung.
Mereka berpandangan bahwa perilaku tidak santun adalah perilaku yang
secara normatif dianggap negatif (negatively marked behavior), lantaran
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
29
melanggar norma-norma sosial yang berlaku dalam masyarakat. Juga mereka
menegaskan bahwa ketidaksantunan merupakan peranti untuk menegosiasikan
hubungan antarsesama (a means to negotiate meaning). Selengkapnya pandangan
mereka tentang ketidaksantunan tampak berikut ini, ‘impolite behaviour and face-
aggravating behaviour more generally is as much as this negation as polite
versions of behavior.’ (cf. Lohcer and Watts, 2008:5).
Umat 1 : “Menundukan kepala sambil sambil berbisik aduh siapa ini yangmengangu. “gelisah karena ada yang mencolek kupingnya ”
Umat 2 : “Hehe tertawa lirih sambil mencolek kuping umat didepanyadengan maksud bercanda ”
Adapun latar belakang situasinya adalah:Tuturan tersebut diucapkan oleh seorang umat ketika upacara keagamaansedang berlangsung. Dalam contoh di atas menunjukan perilaku umat 2melangar norma sosial karena pada saat menjalankan upacara keagamaanberperilaku sembrono.
Sebagai rangkuman dari sejumlah teori ketidaksantunan yang disampaikan
dibagian depan, dapat ditegaskan bahwa terdapat beberapa teori mengenai
ketidaksantunan berbahasa yang dikemukakan oleh para ahli yaitu (1) teori
ketidaksantunan berbahasa menurut pandangan Miriam A. Locher adalah sebagai
tindak berbahasa yang melecehkan muka dan memain-mainkan muka, (2) teori
ketidaksantunan berbahasa menurut pandangan Bousfield adalah perilaku
berbahasa yang mengancam muka yang mengacu pada kesembronoan
(gratuitous), hingga mendatangkan konflik, dan tindakan tersebut dilakukan
dengan kesengajaan (purposeful), (3)teori ketidaksantunan berbahasa menurut
pandangan Culpeperadalah perilaku berbahasa untuk membuat orang benar-benar
kehilangan muka (face loss), atau setidaknya orang tersebut ‘merasa’ kehilangan
muka, (4) teori ketidaksantunan berbahasa menurut pandangan Terkourafi adalah
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
30
perilaku berbahasa yang bilamana mitra tutur (addressee) merasakan ancaman
terhadap kehilangan muka (face threaten), dan penutur (speaker) tidak
mendapatkan maksud ancaman muka itu dari mitra tuturnya, dan (5) teori
ketidaksantunan berbahasa menurut pandangan Locher and Watts adalah perilaku
berbahasa yang secara normatif dianggap negatif (negatively marked behavior),
lantaran melanggar norma-norma sosial yang berlaku dalam masyarakat. Kelima
teori ketidaksantunan berbahasa itu, semuanya akan digunakan sebagai kacamata
untuk melihat praktik berbahasa yang tidak santun dalam mengamati tuturan
dalam ranah agama Hindu wilayah Kota Yogyakarta
2.4 Konteks
Rahardi (2003;18) konteks situasi tuturan yang dimaksud menunjuk pada
aneka macam kemungkinan latar belakang kemungkinan latar pengetahuan
(beckground knowledge)yang muncul dan dilmiliki bersama-sama baik oleh si
penutur maupun oelh mitra tutur, serta aspek-aspek non-kebahasaan lainnya
menyertai ,mewadahi serta melatarbelakangi hadirnya sebuah penuturan tertentu.
Maka dengan mendasarkan pada gagasan leech tersebut , Wijana (1996) dengan
tegas menyatakan bahwa konteks yang semacam itu dapat disebut juga konteks
situasi pertuturan (spceeh situational context)
Selanjutnya Leech (1983:13) mengartikan konteks dalam sebuah tuturan
sebagai “context to be any background knowledge assumed to be shared by s and
h and which contributes to h’s interpretation of what s means by a given
utterance”. Kemudian Levinson (1983:22−23) via Nugroho (2009:119)
menjelaskan bahwa untuk mengetahui konteks, seseorang harus membedakan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
31
antara situasi aktual sebuah tuturan dalam semua keberagaman ciri-ciri tuturan
mereka, dan pemilihan ciri-ciri tuturan tersebut secara budaya dan linguistis yang
berhubungan dengan produksi dan penafsiran tuturan.
Berdasarkan penjelasan di atas, konteks dapat diartikan sebagai segala
sesuatu yang berhubungan dengan situasi dan kondisi peserta tutur dengan latar
belakang pengetahuan yang sama atas apa yang dituturkan dan dimaksudkan oleh
penutur. Komponen konteks mempengaruhi tuturan seseorang serta berhubungan
dengan penafsiran dari mitra tutur.
Kemudian Levinson (1983:22−23) via Nugroho (2009:119) menjelaskan
bahwa untuk mengetahui konteks, seseorang harus membedakan antara situasi
aktual sebuah tuturan dalam semua keserbaragaman ciri-ciri tuturan mereka, dan
pemilihan ciri-ciri tuturan tersebut secara budaya dan linguistis yang berhubungan
dengan produksi dan penafsiran tuturan.
Hymes (1974) via Nugroho (2009:119) menghubungkan konteks dengan
situasi tutur. Hymes melibatkan istilah ‘komponen tutur’ dalam menjelaskan
tentang konteks. Seperti yang dikutip oleh Sumarsono (2008:325−334), Hymes
menyebutkan terdapat enam belas komponen tutur, yaitu (1) bentuk pesan
(memerintah dan mengancam), melecehkan muka (menyindir, memperingatkan,
menegur dan menasehati), menghilangkan muka (menegur, menegaskan,
menyindir, menyingung dan memperingatkan), dan menimbulkan konflik
(mengejek, menegaskan, mengancam, memperingatkan, menyingung dan
mengumpat), wujud ketidaksantunan pragmatik berdasarkan cara penyampaian
penutur yang menyebabkan tuturan lisan tidak santun, (2) maksud
ketidaksantunan berbahasa yang disampaikan oleh penutur adalah memeberi
pengertian, mengingatkan, menegur, intropeksi diri, kesal, menasehati, supaya
tidak dimarahi, asal bicara, meremehkan, kecewa, protes, (3) penanda
ketidaksantunan linguistik diketahui dari diksi, kata fatis, nada, tekanan, dan
intonasi sedangkan penanda ketidaksantunan pragmatik dapat diketahui
berdasarkan uraian konteks yang berupa, penutur dan mitra tutur, situasi saat
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
60
terjadi tuturan, waktu dan tempat ketika tuturan terjadi, serta tindak verbal dan
tindak perlokusi yang menyertai tuturan tersebut.
4.1.1 Analisis Data
Semua data yang terkumpul diidentifikasi terkumpul berjumlah 30 tuturan
terbagi dalam lima kategori tuturan dengan kategori ketidaksantunan melangar
norma yaitu dua tuturan, kemudian tuturan dengan kategori ketidaksantunan
menghilangkan muka terdapat tujuh tuturan. Tuturan ketidaksantunan kategori
melecehkan muka terdapat delapan tuturan, sedangkan untuk kategori
menimbulkan konflik yang disengaja terdapat sembilan tuturan, dan kategori
ketidaksantunan mengancam muka sepihak yaitu empat tuturan. Analisis lebih
lanjut mengenai ketidaksantunan linguistik dan pragmatik berbahasa di dalam
ranah agama Hindu Wilayah Kotamadya Yogyakarta adalah sebagai berikut.
4.1.2 Kategori Ketidaksantunan Melanggar Norma
Kategori ketidaksantunan yang melanggar norma yang ditemukan memiliki
satu subkategori yaitu subkategori menegaskan pada teori Locher and Watts
(2008:5) berpandangan bahwa perilaku tidak santun adalah perilaku yang secara
normatif dianggap negatif (negatively marked behavior) karena melanggar norma-
norma sosial yang berlaku dalam masyarakat. Kedua ahli tersebut juga
menegaskan bahwa ketidaksantunan merupakan peranti untuk menegosiasikan
hubungan antarsesama (a means to negotiate meaning).
Suatu tuturan dalam kategori melanggar norma terjadi bila tuturan penutur
terjadi saat penutur telah atau berusaha melanggar suatu hal yang telah disepakati
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
61
dengan mitra tutur. Suatu tuturan dalam kategori ini dikatakan tidak santun, jika
tuturan penutur membuat mitra tutur kesal.
Tuturan yang termasuk dalam kategori ketidaksantunan melanggar norma
yang disajikan berdasarkan subkategori ketidaksantunan, yaitu (1) penutur
menegaskan serta berpura pura bertanya agar tidak dipersalahkan umat lain
penutur telah melangar norma yang telah di sepakati bersama saat sembayang
berlangsung. Berikut ini contoh tuturan tersebut.
Berikut ini adalah tuturan yang termasuk dalam kategori ketidaksantunan
melangar norma yang disajikan berdasarkan subkategori ketidaksantunan dan
disajikan dengan (1) wujud linguistik, (2) wujud pragmatik, (3) penanda
linguistik, (4) penanda pragmatik (konteks tuturan), dan maksud ketidaksantunan.
a) Subkategori Menegaskan
Subkategori menegaskan muncul akibat tuturan penutur yang
secara sengaja menegaskan dan memberi tekanan pada nada bicara
agar mitra tutur mengetahui maksud dari penutur . Pada kategori
melanggar norma, subkategori menegaskan lebih berhubungan
dengan suatu kesepatan yang telah diketahui secara umum oleh umat
agama hindu yang sering melakukan pertemuan ditempat tersebut.
Berikut ini contoh tuturan yang termasuk dalam subkategori
menegaskan.
Cuplikan tuturan A1
MT : Dari mana saja kamu baru datang ?PT : Sudah mulai dari tadi ya?(sambil tersenyum )MT : Sudah tinggal menunggu kamu.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
62
(konteks tuturan: Tuturan terjadi di aula asrama agama hindu.Tuturan terjadi antara umat hindu. Penutur datang melebihi waktuyang telah disepakati bersama. Tujuan penutur agar mitra tutur tidakmenyalahkan dirinya karena dengan sengaja datang terlambat.
Analisis wujud ketidaksantunan linguistik dan pragmatik, penanda
ketidaksantunan linguistik dan pragmatik, serta maksud
ketidaksantunan penutur dijelaskan sebagai berikut. Wujud linguistik
“Sudah mulai dari tadi ya?(sambil tersenyum)”.Wujud pragmatik
Tuturan disampaikan dengan cara pura-pura bertanya. Penutur
berusaha menegaskan serta mengalihkan pembicaraan agar ia tidak di
persalahkan karena keterlambatanya datang. Penanda linguistik
Penutur berbicara dengan nada sedang Tekanan lembut. Penanda
pragmatik tuturan terjadi di aula asrama agama hindu. Tuturan terjadi
antara umat hindu. Penutur datang melebihi waktu yang telah
disepakati bersama. Tujuan penutur agar mitra tutur tidak
menyalahkan dirinya karena dengan sengaja datang terlambat penutur
melangar jam yang telah disepakati bersama penutur terkesan acuh
tak acuh mitra tutur menanggapi tuturan penutur dengan pertanyaan
yang sedikit kesal. Maksud penutur bermaksud agar tidak dimarahi.
Cuplikan tuturan A2
MT : Gimana orang ini sembayang hp tidak di matikan dahulu.PT : “Hallo , ada apa saya lagi sembayang di pura” (sambil berjalan
keluar)PT :(Dengan wajah biasa kembali melanjutkan sembayang dengan
biasa saja)(konteks tuturan: Tuturan terjadi didalam area pura. Tuturan terjadisaat ibadat berlangsung. Penutur melanggar norma yang telah disepakati bersama ketika sembayang hp dinon aktifkan.)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
63
Analisis wujud ketidaksantunan linguistik dan pragmatik,
penanda ketidaksantunan linguistik dan pragmatik, serta maksud
ketidaksantunan penutur dijelaskan sebagai berikut. Wujud linguistik
“Hallo, ada apa saya lagi sembayang di pura!”. Wujud pragmatik
tuturan disampaikan dengan nada sedang ketika sembayang sedang
berlangsung. Penutur melangar norma yang selama ini sudah
disepakati bersama ketika sembayang hanpone dimatikan, penutur
telah melangar norma denagan mengangkat telepon ketika sembayang
akibatnya menganggu umat lain yang sedang sembayang. Penanda
linguistik intonasi dalam tuturan ini menggunakan intonasi seru.
Penutur mengunakan nada yang sedang. Tekanan yang digunakan
lunak. Diksi yang dipakai bahasa popular atau kata yang telah dikenal
masyarakat. Penanda pragmatik penutur mengangakat telepon disaat
ibadat berlangsung . Penutur tidak mematikan telepon saat sembayang
seperti yang telah disepakati bersama. Tuturan terjadi di dalam area
pura. Tuturan terjadi saat ibadat berlangsung. Penutur melanggar
norma yang telah disepakati bersama ketika sembayang hanpone
dinon aktifkan). Maksud penutur bermaksud mengangkat telepon
occurs when the expression used is not conventionalized relative to the context of
occurrence; it threatens the addressee’s face but no face-threatening intention is
attributed to the speaker by the hearer.’ Jadi, perilaku berbahasa dalam
pandangannya akan dikatakan tidak santun bilamana mitra tutur (addressee)
merasakan ancaman terhadap kehilangan muka (face threaten), dan penutur
(speaker) tidak mendapatkan maksud ancaman muka itu dari mitra tuturnya.
Suatu tuturan dalam kategori mengancam muka sepihak terjadi bila penutur
tidak sengaja mengucapkan suatu tuturan yang membuat mitra tutur tersinggung.
Hal inilah yang membuat suatu tuturan dalam kategori ini menjadi tidak santun.
Berikut ini adalah tuturan yang termasuk dalam kategori ketidaksantunan
mengancam muka sepihak yang disajikan berdasarkan subkategori
ketidaksantunan dan disajikan dengan (1) wujud linguistik, (2) wujud pragmatik,
(3) penanda linguistik, (4) penanda pragmatik (konteks tuturan), dan maksud
ketidaksantunan.
a) Subkategori Memerintah
Subkategori memerintah dalam kategori mengancam muka
sepihak Suatu tuturan dalam kategori mengancam muka sepihak
terjadi bila penutur tidak sengaja mengucapkan suatu tuturan yang
membuat mitra tutur tersinggung dan membuat mitra tutur merasa
terancam atau merasa malu.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
65
Cuplikan tuturan B1
PT : “Kalau mau sembayang itu pakai baju yang pantas?”MT : “iya”(Konteks tuturan: Tuturan terjadi ketika penutur sedang duduk diteras puramenunggu dimulainya sembayang di pura, ketika itu datangsalah satu orang dan mengingatkan . Tuturan terjadi pada siang haridi lingkungan pura. Penutur laki-laki usia 67 tahun, MT laki-laki usia15 tahun. Penutur menegur MT. agar mengenakan baju yang pantasdan sopan ketida datang untuk beribadah)
Analisis wujud ketidaksantunan linguistik dan pragmatik,
penanda ketidaksantunan linguistik dan pragmatik, serta maksud
ketidaksantunan penutur dijelaskan sebagai berikut. Wujud linguistik
“Kalau mau sembayang itu pakai baju yang panta
s?”. Wujud pragmatik tuturan membuat malu mitra tutur.
Tuturan bersifat menyinggung mitra tutur tetapi tidak menyadari
bahwa tuturan telah mengancam muka mitra tutur. Tuturan
disampaikan dengan ketus. Penanda linguistik tuturan menggunakan
intonasi perintah. Penutur berbicara menggunakan nada sedang.
Tuturan disampaikan dengan tekanan yang lunak. Diksi yang dipakai
adalah bahasa nonstandar, dengan memakai istilah bahasa Jawa.
Penanda pragmatik tuturan terjadi ketika penutur sedang duduk di
teras pura menunggu dimulainya sembayang di pura, ketika itu datang
salah satu orang dan mengingatkan . Tuturan terjadi pada siang hari di
lingkungan pura. penutur laki-laki usia 67 tahun, MT laki-laki usia 15
tahun. Penutur menegur MT agar mengenakan baju yang pantas dan
sopan ketika datang untuk beribadah. Maksud penutur
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
66
menyampaikan dengan maksud menegur mitra tutur agar ketika
berangkat ibadah mengunakan pakaian yang pantas .
Cuplikan tuturan B2
PT : “Tolong diam saya mau mendengarkan nyoman berbicara!”(Konteks tuturan: Tuturan terjadi ketika nyoman menjelaskanmengenai tarian yang benar kepada para penari tetapi sebagianbesar asik berbicara sendiri, ketika itu ada salah satu yang menyahutmeminta teman-temannya diam.)
Analisis wujud ketidaksantunan linguistik dan pragmatik,
penanda ketidaksantunan linguistik dan pragmatik, serta maksud
ketidaksantunan penutur dijelaskan sebagai berikut. Wujud linguistik
“Tolong diam saya mau mendengarkan nyoman berbicara!”. Wujud
pragmatik penutur tidak menyadari bahwa ia berbicara pada orang
yang banyak dan yang lebih tua dari dirinya. Penutur membuat mitra
tutur merasa direndahkan dalam keadaan tersebut. Tuturan
disampaikan dengan cara yang sembrono. Penanda linguistik penutur
berbicara menggunakan nada yang tingi. Tuturan disampaikan dengan
tekanan yang keras. Penanda pragmatik tuturan terjadi ketika nyoman
menjelaskan mengenai tarian yang benar kepada para penari tetapi
sebagian besar asik berbicara sendiri, ketika itu ada salah satu yang
menyahut meminta teman-temannya diam. Maksud penutur menegur
teman yang lain agar tidak ribut.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
67
Cuplikan tuturanB3
PT :” Tolong hormati yang sedang sembayang nanti saja kalausudah selesai”
(Konteks tuturan: Tuturan terjadi ketika dipura masih yang berdoadan didekat pura banyak yang sedang duduk dan berbicara terlampaukeras sehingga dinagap menganggu oleh seorang umat. Penuturmerasa tergangu adalah tindakan tidak sopan, maka penuturbermaksud untuk menegur MT).
Analisis wujud ketidaksantunan linguistik dan pragmatik,
penanda ketidaksantunan linguistik dan pragmatik, serta maksud
ketidaksantunan penutur dijelaskan sebagai berikut. Wujud linguistik
“Tolong hormati yang sedang sembayang nanti saja kalau sudah
selesai”. Wujud pragmatik tuturan terjadi di area pura, tuturan terjadi
saat ada yang ingin membersihkan pura, tujuan PT agar tidak
menggangu orang yang sedang sembayang. Penanda linguistik
intonasi perintah nada tutur penutur berbicara dengan nada sedang
(sinis dan menyindir) tekanan lembut. Penanda pragmatik tuturan
terjadi ketika di pura masih ada yang berdoa Sedangkan banyak yang
masih berada disekitar pura dan berbicara terlampau keras sehingga
dianggap menganggu oleh seorang umat. Penutur merasa tergangu
adalah tindakan tidak sopan, maka penutur bermaksud untuk menegur
MT. Maksud penutur menyampaikan dengan maksud menegur kepada
orang yang membereskan bekas persembahan agar membersihkanya
setelah sepi.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
68
b) Subkategori mengancam
Subkategori mengancam pada kategori mengancam muka
sepihak bersifat mengkritik mengenai tuturan yang disampaikan oleh
mitra tutur. Berkaitan dengan kategori ini tuturan disampaikan dengan
tidak sengaja, namun hal tersebut telah merendahkan mitra tutur.
Cuplikan tuturan B4
PT : “Kita serius latihanya yang tidak serius silahkan pulang!MT : (hanya terdiam)(Konteks tuturan : Tuturan ini terjadi di lingkungan pura Penuturlaki-laki, pemuka agama 67 tahun, MT orang yang datang umtukberlatih tarian yang akan digunakan dalam acara hari besar . penuturdiangap tidak sopan karena diangap menyingung orang lain makapenutur bermaksud untuk menegur MT)
Analisis wujud ketidaksantunan linguistik dan pragmatik,
penanda ketidaksantunan linguistik dan pragmatik, serta maksud
ketidaksantunan penutur dijelaskan sebagai berikut. Wujud linguistik
“Kita serius latihanya yang tidak serius silahkan pulang!. Wujud
pragmatik tuturan disampaikan dengan cara ketus walaupun bersifat
untuk menasehati. Tuturan terjadi di aula asrama hindu, tuturan terjadi
saat latihan tarian adat. Situasi saat latihan dengan serius, tujuanya
agar mitra tutur berlatih dengan serius. Penanda linguistik tuturan
menggunakan intonasi perintah. Penutur berbicara menggunakan
nada tinggi. Tekanan pada tuturan keras diksi yang digunakan standar.
Penanda pragmatik tuturan ini terjadi di lingkungan pura penutur laki-
laki, pemuka agama 67 tahun, MT orang yang datang umtuk berlatih
tarian yang akan digunakan dalam acara hari besar. Penutur diangap
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
69
tidak sopan karena diangap menyingung orang lain maka penutur
bermaksud untuk menegur MT. Maksud penutur menyampaikan
dengan maksud mengingatkan agar tidak malas untuk berlatih gerakan
yang kurang sesuai dibenaknya.
4.1.4 Kategori Ketidaksantunan Melecehkan Muka
Miriam A Locher (2008) berpandangan bahwa ketidaksantunan dalam
berbahasa dapat dipahami sebagai berikut, ‘…behaviour that is face-aggravating
in a particular context.’ Maksudnya, ketidaksantunan berbahasa itu menunjuk
pada perilaku ‘melecehkan’ muka (face-aggravate). Interpretasi lain yang
berkaitan dengan definisi Locher terhadap ketidaksantunan berbahasa ini adalah
bahwa tindakan tersebut sesungguhnya bukanlah sekadar perilaku ‘melecehkan
muka’, melainkan perilaku yang ‘memain-mainkan muka’. Jadi, ketidaksantunan
berbahasa dalam pemahaman Miriam A. Locher adalah sebagai tindak berbahasa
yang melecehkan dan memain-mainkan muka, sebagaimana yang dilambangkan
dengan kata ‘aggravate’ itu.
Suatu tuturan dalam kategori melecehkan muka terjadi bila penutur dengan
sengaja mengucapkan suatu tuturan yang membuat mitra tutur tersinggung. Hal
inilah yang membuat suatu tuturan dalam kategori ini menjadi tidak santun.
Berikut ini adalah tuturan yang termasuk dalam kategori ketidaksantunan
melecehkan muka yang disajikan berdasarkan subkategori ketidaksantunan dan
disajikan dengan (1) wujud linguistik, (2) wujud pragmatik, (3) penanda
linguistik, (4) penanda pragmatik (konteks tuturan), dan (5) maksud
ketidaksantunan.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
70
Subkategori Menyindir
Subkategori menyindir terjadi dan disampaikan oleh penutur
secara sengaja atau tidak sengaja mengkritik mitra tutur karena
mengalami kejadian yang kurang berkenan di dalam benak penutur.
Cuplikan tuturan C1
PT : Jangan lupa berterimakasih kepada yang memberi kehidupan inijangan meminta terus.
(Konteks tuturan : Tuturan terjadi diforum kotbah agama hindu.Penutur laki-laki berusia 38 tahun, sedangkan mitra tutur adalahsegenap umat hindu yang datang dalam ibadah tersebut Penuturberbicara penutur berbicara dengan umat dengan berbagai umursehingga kalimat yang bersifat menyindir dinangap kurang tepat..)
Analisis wujud ketidaksantunan linguistik dan pragmatik,
penanda ketidaksantunan linguistik dan pragmatik, serta maksud
ketidaksantunan penutur dijelaskan sebagai berikut. Wujud linguistik
”Jangan lupa berterimakasih kepada yang memberi kehidupan ini
jangan meminta terus”. Wujud pragmatik tuturan disampaikan dengan
cara yang keras. Penutur berbicara pada semua orang yang hadir
dalam ibadah tersebut. Penanda linguistik Intonasi dalam tuturan ini
mengunakan intonasi kalimat perintah. Penutur menggunakan nada
yang keras. Tekanan yang digunakan keras. Diksi yang digunakan
menggunakan bahasa popular atau kata-kata yang dikenal masyarakat.
Penanda pragmatik tuturan terjadi diforum kotbah agama hindu.
Penutur laki-laki berusia 38 tahun, sedangkan mitra tutur adalah
segenap umat hindu yang datang dalam ibadah tersebut Penutur
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
71
berbicara penutur berbicara dengan umat dengan berbagai umur
sehingga kalimat yang bersifat menyindir dinangap kurang tepat.
Maksud penutur bermaksud menasehati umat yang datang dengan
kalimat sindiran.
Cuplikan tuturan C2
MT : Pantatku terasa panas kelamaan duduk saat sembayangtadi.
PT : “Kapan anda akan berpulang?”MT : haha kamu ini {tertawa)(Konteks tuturan : Tuturan terjadi diforum diskusi agama hindu. MTperempuan berusia 16 tahun dan seorang umat, penutur seoranglaki-laki, berusia 23 tahun. MT bertanya mengenai pertanyaan yangmerupakan kalimat sindiran. MT bertanya kepada teman yangberada disebalahnya dengan nada yang keras. Penutur menanggapipertanyaan MT dengan jawaban yang bercanda)
Analisis wujud ketidaksantunan linguistik dan pragmatik,
penanda ketidaksantunan linguistik dan pragmatik, serta maksud
ketidaksantunan penutur dapat diperinci sebagai berikut. Wujud
linguistik “Kapan anda akan berpulang?” Wujud pragmatik tuturan
yang disampaikan dengan cara yang ketus. Tuturan terjadi setelah
selesai sembayang. Tuturan terjadi antar umat,penutur bermaksud
menyindir agar segera selesai. Penanda linguistik intonasi dalam
tuturan ini menggunakan intonasi tanya. Penutur mengunakan nada
dengan tekanan yang sedang, berupa sindiran. Diksi yang dipakai
bahasa popular atau kata yang selah dikenal masyarakat. Penanda
Pragmatik tuturan terjadi diforum diskusi agama hindu. MT
perempuan berusia 16 tahun dan seorang umat, penutur seorang laki-
laki, berusia 23 tahun. MT bertanya mengenai pertanyaan yang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
72
merupakan kalimat sindiran. MT bertanya kepada teman yang berada
disebalahnya dengan nada yang keras. Penutur menanggapi
pertanyaan MT dengan jawaban yang bercanda. Maksud penutur
bermaksud menyindir agar forum diskusi segera selesai.
Cuplikan tuturan C4
PT :“Umat sedarma kita harus menghargai waktu sebaikmungkin.jangan seperti hari ini.”
(Konteks tuturan : Tuturan ini terjadi di dalam pura, saat acarakeagamaan. Penutur laki-laki, umat berusia 27 tahun, mitratuturperempuan, umat berusia 19 tahun. Mitratutur bertutur pada mitraTuturan terjadi di dalam lingkup pura Tuturan terjadi saat ibadatberlangsung Kotbah dari pemuka agama Suasana saat khusuksembayang
Analisis wujud ketidaksantunan linguistik dan pragmatik,
penanda ketidaksantunan linguistik dan pragmatik, serta maksud
ketidaksantunan penutur dijelaskan sebagai berikut. Wujud linguistik
“Umat sedarma kita harus menghargai waktu sebaik mungkin.jangan
seperti hari ini”.Wujud pragmatik Tuturan yang disampaikan kurang
menghargai penutur yang sedang berbicara. Tutuan yang disampaikan
dengan cara ketus ketidaksantunan penutur kurang terima dengan
tindakan yang dilakukan MT. Penanda linguistik Intonasi
mempergunakan intonasi perintah. Penutur berbicara dengan nada
yang sedang. Tekanan yang digunakan adalah lembut. Penanda
pragmatik tuturan ini terjadi didalam pura, saat acara keagamaan.
Penutur laki-laki, umat berusia 27 tahun, mitratutur perempuan, umat
berusia 19 tahun. Tuturan terjadi di dalam lingkup pura tuturan terjadi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
73
saat ibadat berlangsung Kotbah dari pemuka agama suasana saat
khusuk sembayang. Maksud penutur bermaksud menyindir yakni
dengan memasukan dalam kotbah.
Cuplikan tuturan C8
MT : Dasar lola (daya tangkap lambat)PT : “Ya sebelumya kamu lihat dirimu seperti apa sebelum
komentar.”(Konteks tuturan : Tuturan terjadi di aula asrama hindu ,tuturanterjadi saat latihan tarian adat PT merasa jengkel karena selalu dianggap kurang bisa mengikuti,tujuan PT agar MT dalam memberitau dengan sopan. Penutur perempuan berusia 23 tahun, sedangkanMT laki-laki, seorang umat berusia 25 tahun dan menganggap MTtidak memberikan alasan yang pantas atas kekeliruanya.
Analisis wujud ketidaksantunan linguistik dan pragmatik,
penanda ketidaksantunan linguistik dan pragmatik, serta maksud
ketidaksantunan penutur dijelaskan sebagai berikut. Wujud linguistik
“Ya sebelumya kamu lihat dirimu seperti apa sebelum komentar”.
Wujud pragmatik penutur menanggapi pernyataan dengan sepele.
tuturan yang disampaikan kurang pantas, karena dapat menyinggung
perasaan mitra tutur. Tuturan disampaikan dengan cara yang ketus
atau sinis. Penanda linguistik tuturan menggunakan intonasi perintah.
Penutur menggunakan nada yang sedang. Tekanan keras pada frasa
“ya” diksi yang dipakai adalah bahasa nonstandard yang memakai
istilah bahasa tidak baku. Penanda pragmatik tuturan terjadi di aula
asrama hindu ,tuturan terjadi saat latihan tarian adat PT merasa
jengkel karena selalu dianggap kurang bisa mengikuti, tujuan PT agar
MT dalam memberi tau dengan sopan. Penutur perempuan berusia 23
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
74
tahun, sedangkan MT laki-laki, seorang umat berusia 25 tahun dan
menganggap MT tidak memberikan alasan yang pantas atas
kekeliruanya. Maksud penutur bermaksud agar mitra tutur intropeksi
diri melihat tindakan yang dilakukannya.
Subkategori Memperingatkan
Subkategori memperingatkan terjadi dan disampaikan oleh
penutur secara sengaja mengkritik mitra tutur karena mengalami
kejadian yang kurang berkenan di dalam benak penutur. Hal tersebut
tanpa disadari penutur membuat mitra tutur merasa malu dan merasa
dilecehkan muka.
Cuplikan tuturan C3
MT : Sukurin kena marah hahahahaPT : “Kamu tidak percaya adanya karma?”(Konteks tuturan : Tuturan ini terjadi di halaman pura, usai diadakanacara keagamaan. Penutur laki-laki, umat berusia 24 tahun, MTperempuan, umat berusia 30 tahun. Penutur dalam keadaan merasajengkel karena apenutur dimarahin yang disebabkan oleh mitratutur).
Analisis wujud ketidaksantunan linguistik dan pragmatik,
penanda ketidaksantunan linguistik dan pragmatik, serta maksud
ketidaksantunan penutur dijelaskan sebagai berikut. Wujud linguistik
“Kamu tidak percaya adanya karma ?”. Wujud pragmatik penutur
kurang terima dengan mitra tutur yang menertawakan ketika penutur
dalam kesusahan. Penutur menggunakan cara yang ketus dalam
mengungkapkan tuturannya. Penutur memberi jawaban yang
mempergunakan intonasi tanya. Penutur berbicara dengan nada yang
keras namun dengan tekanan yang lembut yang menunjukan
sindiran.dan diksi standar. Penanda pragmatik tuturan ini terjadi
dihalaman pura, usai diadakan acara keagamaan. Penutur laki-laki,
umat berusia 24 tahun, MT perempuan, umat berusia 30 tahun.
Penutur dalam keadaan merasa jengkel karena apenutur dimarahin
yang disebabkan oleh mitra tutur). Tindakan verbalkomisif dan tindak
perlokusi mitra tutur mengucapkan spontan yang membuat mitra tutur
merasa dilecehkan mukanya. Maksud penutur bermaksud
mengingatkan yakni dengan mengkritik mitra tutur yang
menertawakan.
Cuplikan tuturan C5
PT : “Ingatlah dengan adanya punarbawa dan karma pala”(Konteks tuturan : Tuturan terjadi di dalam pura Tuturan terjadi saatibadat berlangsung Tuturan dari pemuka agama yan sedang kotbah.Penutur laki-laki, seorang pemimpin umat berusia 48 tahun. MT umatyang hadir. Mengutarakan berbuat kebaikan tapi mengharapkanpamrih.
Analisis wujud ketidaksantunan linguistik dan pragmatik,
penanda ketidaksantunan linguistik dan pragmatik, serta maksud
ketidaksantunan penutur dapat diperinci sebagai berikut. Wujud
linguistik “Ingatlah dengan adanya punarbawa dan karma pala”.
Wujud pragmatik tuturan disampaikan dengan cara sindiran
agardalam hidup bisa saling tolong menolong dan saling
menghormati. Tuturan terjadi di dalam pura, tuturan terjadi saat ibadat
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
76
berlangsung ,tuturan dari pemuka agama yang sedang kotbah.
Penanda linguistik intonasi yang digunakan adalah perintah. Penutur
berbicara dengan nada yang sedang dengan kalimat yang menyindir,
diksi non standar mempergunakan kata-kata popular. Penanda
pragmatik tuturan terjadi di dalam pura Tuturan terjadi saat
sembayang berlangsung Tuturan dari pemuka agama yan sedang
kotbah. Penutur laki-laki, seorang pemimpin umat berusia 48 tahun.
MT umat yang hadir. Mengutarakan berbuat kebaikan tapi
mengharapkan pamrih. Tuturan ini terjadi disebuah ibadah ketika
forum kotbah. Penutur laki-laki, seorang pemimpin umat berusia 48
tahun. Maksud penutur bermaksud mengingatkan mitra tutur yakni
dengan persepsi mengenai berbuat kebaikan jangan mengharapkan
pamrih.
Subkategori Menegur
Subkategori menegur terjadi dan disampaikan oleh penutur
secara sengaja kepada mitra tutur karena mengalami kejadian yang
kurang berkenan di dalam benak penutur. Hal tersebut tanpa disadari
penutur membuat mitra tutur merasa malu dan merasa dilecehkan
muka.
Cuplikan tuturan C6
PT : “meski saya bukan yudistira yang benar-benar menerapkandarma cobalah hargai orang yang sedang bicara”
(Konteks tuturan : Tuturan terjadi di dalam pura Tuturan terjadisaat ibadat berlangsung tuturan dari pemuka agama yan sedang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
77
kotbah. Penutur laki-laki, seorang pemimpin umat berusia 48tahun. MT umat yang hadir.
Analisis wujud ketidaksantunan linguistik dan pragmatik,
penanda ketidaksantunan linguistik dan pragmatik, serta maksud
ketidaksantunan penutur dijelaskan sebagai berikut. Wujud linguistik
“meski saya bukan yudistira yang benar-benar menerapkan darma
cobalah hargai orang yang sedang bicara”. Wujud pragmatik tuturan
disampaikan dengan cara yang sederhana namun merupakan teguran.
Penutur menuduh tanpa bukti yang cukup jelas. Penutur memberi
penjelasan menyinggung perasaan mitra tutur. Penanda linguistik
intonasi yang digunakan adalah perintah. Penutur berbicara dengan
nada yang sedang . Tekanan tuturan yang menunjukan teguran keras
sehingga membuat mitra tutur merasa tersingung. Penanda pragmatik
tuturan terjadi di dalam pura saat ibadat berlangsung Tuturan dari
pemuka agama yan sedang kotbah. Penutur laki-laki, seorang
pemimpin umat berusia 48 tahun. MT umat yang hadir. Maksud
penutur bermaksud menegur pada mitra tutur mengenai keributan
yang terjadi saat kotbah.
Subkategori Menasehati
Subkategori menasehati terjadi dan disampaikan oleh penutur
secara sengaja menasehati mitra tutur karena mengalami kejadian
yang kurang berkenan di dalam benak penutur. Hal tersebut tanpa
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
78
disadari penutur membuat mitra tutur merasa malu dan merasa
dilecehkan muka.
Cuplikan tuturan C7
PT : Jangan biarkan niatmu yang suci dihalangi oleh alam untukmelakukan yudnya(persembahan suci secara iklas)
(Konteks tuturan :Tuturan terjadi diarea pura tuturan terjadi saatibadat berlangsung tuturan terjadi saat pemuka agama kotbah.
Analisis wujud ketidaksantunan linguistik dan pragmatik,
penanda ketidaksantunan linguistik dan pragmatik, serta maksud
ketidaksantunan penutur dijelaskan sebagai berikut. Wujud linguistik”
Jangan biarkan niatmu yang suci dihalangi oleh alam untuk
melakukan yudnya” (persembahan suci secara iklas) Wujud pragmatik
penutur menanggapi pernyataan. Tuturan yang disampaikan kurang
pantas, karena dapat menyinggung perasaan mitra tutur. Tuturan
disampaikan dengan cara yang lembut. Penanda linguistik tuturan
menggunakan intonasi perintah. Penutur menggunakan nada yang
sedang tekanan lembut. Diksi yang dipakai adalah bahasa nonstandard
yang memakai istilah bahasa daerah. Penanda pragmatik tuturan
terjadi diarea pure ,tuturan terjadi saat ibadat berlangsung tuturan
terjadisaat pemuka agama sedang melakukan kotbah. Penutur laki-laki
berusia 45 tahun, sedangkan mitra tututr dadalah umat yang
menghadiri ibadat tersebut. Maksud penutur bermaksud menasehati
mitra tutur.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
79
4.1.5 Kategori Ketidaksantunan Menghilangkan Muka
Berikut ini adalah tuturan yang termasuk dalam kategori ketidaksantunan
menghilangkan muka yang disajikan berdasarkan subkategori ketidaksantunan
dan disajikan dengan (1) wujud linguistik, (2) wujud pragmatik, (3) penanda
linguistik, (4) penanda pragmatik (konteks tuturan), dan (5) maksud
ketidaksantunan.
Teori kategori ketidaksantunan menghilangkan muka diungkapkan oleh
Culpeper. Pemahaman Culpeper (2008) mengenai ketidaksantunan berbahasa
adalah, ‘Impoliteness, as I would define it, involves communicative behavior
intending to cause the “face loss” of a target or perceived by the target to be so.’
Dia memberikan penekanan pada fakta ‘face loss’ atau ‘kehilangan muka’—kalau
dalam bahasa Jawa mungkin konsep itu dekat dengan konsep ‘kelangan rai’
(kehilangan muka). Culpeper memberikan penekanan pada fakta ‘face loss’ atau
fakta ‘kehilangan muka’ untuk menjelaskan konsep ketidaksantunan dalam
berbahasa. Sebuah tuturan akan dianggap sebagai tuturan yang tidak santun jika
tuturan itu menjadikan muka seseorang hilang. Jadi, ketidaksantunan
(impoliteness) dalam berbahasa itu merupakan perilaku komunikatif yang
diperantikan secara intensional untuk membuat orang benar-benar kehilangan
muka (face loss), atau setidaknya orang tersebut ‘merasa’ kehilangan muka.
Suatu tuturan dalam kategori menghilangkan muka terjadi bila penutur
secara sengaja mengucapkan suatu tuturan yang tidak hanya membuat mitra tutur
tersinggung, tetapi juga membuat mitra tutur malu. Hal inilah yang membuat
suatu tuturan dalam kategori ini menjadi tidak santun.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
80
Subkategori Menegaskan
Subkategori menegaskan dalam menghilangkan muka terjadi
karena penutur mengucapkan tuturan disengaja secara tegas kepada
mitra tutur, sehingga membuat mitra tutur tersinggung karena tuturan
tersebut tidak berkenan oleh mitra tutur. Berikut ini contoh tuturan
yang termasuk dalam subkategori menegaskan.
Cuplikan tuturan D1
MT : apakah anda sudah mengerti? (menjelaskan hal yang sudahdiketahui PT )PT : Anda pintar namun memintari(Konteks tuturan : Tuturan terjadi didalam area aula asramaHindu.Tuturan terjadi saat sharing antar pemuda pemudi pemelukagama Hindu. MT mengulangi penjelasan yang telah dibahas minggukemarin. Penutur membalas dengan berbicara dengan tinggi(sinis).)
Analisis wujud ketidaksantunan linguistik dan pragmatik,
penanda ketidaksantunan linguistik dan pragmatik, serta maksud
ketidaksantunan penutur dijelaskan sebagai berikut. Wujud linguistik
“Anda pintar namun memintari”. Wujud pragmatik tuturan
disampaikan dengan nada tinggi dan sinis. Penutur terkesan terganggu
dengan tuturan mitra tutur. Tuturan yang disampaikan penutur
terkesan sembrono dan tidak pantas. Penanda linguistik tuturan
memakai intonasi berita. Penutur berbicara dengan nada tinggi.
Tekanan yang digunakan tekanan tinggi. diksi yang dipakai
menggunakan bahasa standar. Penanda pragmatik tuturan terjadi di
dalam area aula asrama Hindu.Tuturan terjadi saat sharing antar
pemuda pemudi pemeluk agama Hindu. Penutur menyindir mitra tutur
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
81
dengan kata- kata yang kurang pantas. tindak verbal ekspresif.
Ttindak perlokusi mitra tutur merasa dirinya terganggu oleh penutur.
Maksud penutur bermaksud meremehkan mitra tutur.
Subkategori Menyindir
Subkategori menyindir dalam menghilangkan muka terjadi
karena penutur mengucapkan tuturan sindiran kepada mitra tutur,
sehingga membuat mitra tutur tersinggung karena tuturan tersebut
tidak berkenan oleh mitra tutur. Berikut ini contoh tuturan yang
termasuk dalam subkategori menyindir.
Cuplikan tuturan D2
PT : “Apakah pemuka agama selalu benar?”(Konteks tuturan : Tuturan terjadi saat ibadat berlangsun di dalamarea pura. Penutur merasa dirinya tersindir atas perlakuan mitratutur.)
Analisis wujud ketidaksantunan linguistik dan pragmatik,
penanda ketidaksantunan linguistik dan pragmatik, serta maksud
ketidaksantunan penutur dijelaskan sebagai berikut. Wujud linguistik
“Apakah pemuka agama selalu benar?”. Wujud pragmatik tuturan
disampaikan dengan nada sedang dan datar. Penutur terkesan
menyindir mitra tutur. Tuturan yang disampaikan penutur terkesan
sembrono dan tidak pantas. Penanda linguistik tuturan memakai
intonasi tanya. Penutur berbicara dengan nada sedang. tekanan yang
digunakan tekanan lembut. diksi yang dipakai menggunakan bahasa
standar. Penanda pragmatik tuturan terjadi saat ibadat berlangsung di
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
82
dalam area pura. Penutur merasa terganggu atas perlakuan mitra tutur
yang menyinggung dirinya. Penutur menyindir mitra tutur dengan
kata-kata yang kurang pantas tindak verbal ekspresif, tindak
perlokusiya mitra tutur merasa tersindir oleh tuturan penutur. Maksud
penutur bermaksud memberitahu mitra tutur untuk mengintrospeksi
diri karena mitra tutur dianggap sebagai pemuka agama.
Subkategori Menyinggung
Subkategori menyinggung dalam menghilangkan muka terjadi
karena penutur mengucapkan tuturan menyingung perasaan mitra
tutur, sehingga membuat mitra tutur tersinggung karena tuturan
tersebut tidak berkenan oleh mitra tutur. Berikut ini contoh tuturan
yang termasuk dalam subkategori menyinggung.
Cuplikan tuturan D3
MT : Permisi.PT : “Sudah pukul berapa ini? Baru kelihatan teman-teman sudah
pada berkeringat”.(Konteks tuturan : Tuturan terjadi saat perkumpulan pemuda-pemudiHindu di dalam aula asrama Hindu. MT terlambat datang ketikaacara telah dimulai.)
Analisis wujud ketidaksantunan linguistik dan pragmatik,
penanda ketidaksantunan linguistik dan pragmatik, serta maksud
ketidaksantunan penutur dijelaskan sebagai berikut. Wujud linguistik
“Sudah pukul berapa ini? Baru kelihatan teman-teman sudah pada
berkeringat?”. Wujud pragmatik tuturan disampaikan dengan nada
sedang dan datar. Penutur terkesan menyindir mitra tutur karena
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
83
datang terlambat. Tuturan yang disampaikan penutur terkesan terlalu
melebih-lebihkan. penanda linguistik tuturan memakai intonasi tanya.
Penutur berbicara dengan nada sedang. tekanan yang digunakan
tekanan lembut. diksi yang dipakai menggunakan bahasa standar
dengan kata-kata sehari-hari. Penanda pragmatik tuturan terjadi saat
perkumpulan pemuda-pemudi Hindu di area asrama Hindu. Penutur
memberi teguran kepada mitra tutur dengan menyindir atas
keterlambatan mitra tutur. tindak verbal ekspresif, tindak perlokusi
mitra tutur menangapi sindiran penutur dengan nada kesal. Maksud
penutur bermaksud menegur keterlambatan mitra tutur secara tidak
langsung atas keterlambatan yang dilakukan mitra tutur.
Subkategori Menegur
Subkategori menegur dalam menghilangkan muka terjadi
karena penutur mengucapkan tuturan teguran kepada mitra tutur,
sehingga membuat mitra tutur tersinggung karena tuturan tersebut
tidak berkenan oleh mitra tutur. Berikut ini contoh tuturan yang
termasuk dalam subkategori menegur.
Cuplikan tuturan D4
M T : (sedang bercerita dengan teman disampingnya)PT : “Kalau ingin bercerita di luar sana , disini tempat sembayang”(Konteks tuturan : Tuturan terjadi di dalam area pura tuturan terjadisaat ibadat berlangsung penutur merasa terganggu oleh MT penuturmenyuruh MT keluar di hadapan umat lain.)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
84
Analisis wujud ketidaksantunan linguistik dan pragmatik,
penanda ketidaksantunan linguistik dan pragmatik, serta maksud
ketidaksantunan penutur dijelaskan sebagai berikut. Wujud linguistik
“Kalau ingin bercerita di luar sana , disini tempat sembayang.” Wujud
pragmatik tuturan terjadi di dalam area pura. Tuturan terjadi saat
sembayang berlangsung penutur merasa terganggu oleh MT penutur
menyuruh MT keluar dihadapan umat lain . Penanda linguistik
intonasi yang dituturkan adalah perintah. Penutur mempergunakan
nada tingi tekanan tuturan keras. Penanda pragmatik tuturan terjadi di
lingkungan pura, ketika MT dan penutur sedang sembayang, penutur
berusia 58 tahun, MT laki-laki berusia 17 tahun. MT sedang asik
bercerita. Tujuan penutur menegur agar bersikap tenang di rumah
ibadah. Maksud penutur bermaksud menegur terhadap mitra tutur
karena melihat mitra tutur asik bercerita, namun hal itu disampaikan
didepan banyak orang.
Cuplikan tuturan D5
MT : Jangan lupa mengunakan pakaian adat yang lengkap !PT : Terimakasih telah mengingatkan , tetapi jika anda bisa menjadi
contoh akan lebih baik.(Konteks tuturan : Tuturan terjadi didalam area pura tuturan terjadisaat ibadat mau di mulai MT dan PT bertemu di depan pura ketikaingin sembayang PT mengangap pakaian MT kurang pantas tujuanpenutur agar MT menganti pakaiannya dengan pakaian yang lebihpantas.)
Analisis wujud ketidaksantunan linguistik dan pragmatik,
penanda ketidaksantunan linguistik dan pragmatik, serta maksud
ketidaksantunan penutur dijelaskan sebagai berikut. Wujud linguistik
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
85
“Terimakasih telah mengingatkan, tetapi jika anda bisa menjadi
contoh akan lebih baik”. Wujud pragmatik tuturan terjadi di dalam
area pura tuturan terjadi saat ibadat mau dimulai MT dan PT bertemu
didepan pura ketika ingin sembayang PT mengangap pakaian MT
kurang pantas tujuan penutur agar MT menganti pakaiannya dengan
pakaian yang lebih pantas. Penanda linguistik intonasi yang digunakan
adalah perintah. Penutur berbicara menggunakan nada yang sedang.
Tekanan tuturan lunak. diksi tuturan adalah bahasa standart. Penanda
pragmatik tuturan terjadi pada waktu acara sembayang akan
belangsung di pura. Penutur merupakan seorang pemuka umat yang
berusia 67 tahun sedangkan, MT adalah seorang umat 26 tahun. tujuan
penutur menyindir MT dengan alasan menasehati agar mengunakan
pakaian adat yang pantas ketika beribadah. Maksud penutur
bermaksud menegur mitra tutur, namun hal itu disampaikan didepan
banyak orang. Hal tersebut yang membuat mitra tutur marasa malu.
Cuplikan tuturan D6
MT : Sudah mulai dari tadi ya?PT : “Bagaimana kamu ini tidak bisa menunggu kloter kedua ,
sembayang sudah mau selesai baru datang”.(Konteks tuturan : Tuturan terjadi di dalam area pura tuturan terjadisaat ibadat berlangsung MT datang dan langsung mengikutisembayang sambil bertanya dengan PT upacara sembayang sudahhampir selesai tujuan PT agar MT mengikuti sembayang yang kloterkedua
Analisis wujud ketidaksantunan linguistik dan pragmatik,
penanda ketidaksantunan linguistik dan pragmatik, serta maksud
ketidaksantunan penutur dijelaskan sebagai berikut. Wujud linguistik
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
86
“Bagaimana kamu ini tidak bisa menunggu kloter kedua”, sembayang
sudah mau selesai baru datang. Wujud pragmatik tuturan terjadi di
dalam area pura tuturan terjadi saat ibadat berlangsung, MT datang
dan langsung mengikuti sembayang sambil bertanya dengan PT
upacara sembayang sudah hampir selesai tujuan PT agar MT
mengikuti sembayang yang kloter kedua. Penanda linguistik tuturan
memakai intonasi berita. Penutur berbicara dengan nada tinggi (sinis)
tekanan tinggi pada frasa bagaimana kamu ini. diksi yang dipakai
adalah bahasa nonstandar karena menggunakan istilah campuran tidak
baku. Penanda pragmatik tuturan terjadi didalam area pura tuturan
terjadi saat ibadat berlangsung MT datang dan langsung mengikuti
sembayang sambil bertanya dengan PT upacara sembayang sudah
hampir selesai tujuan PT agar MT mengikuti sembayang yang kloter
kedua. Maksud penutur bermaksud menegur terhadap mitra tutur
mengenai tindakan mitra tutur dalam menyambut hari besar, dan
tempat sudah penuh Tuturan ini berdampak pada mitra tutur yang
sangat malu karena hal itu disampaikan didepan banyak orang.
Cuplikan tuturan D7
MT :Brottt, tiutt (suara kentut)PT : “Tidak pernah diajari sopan santun ya”MT : Maaf kelepasan.(Konteks: Tuturan terjadi di dalam area pura tuturan terjadi saatibadat berlangsung PT merasa jengkel keduanya sama-sama sedangkhusuk sembayang tujuan PT agar jika MT merasa kentut hendaknyakeluar sebentar.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
87
Analisis wujud ketidaksantunan linguistik dan pragmatik,
penanda ketidaksantunan linguistik dan pragmatik, serta maksud
ketidaksantunan penutur dijelaskan sebagai berikut. Wujud linguistik
“Tidak pernah diajari sopan santun ya?”. Wujud pragmatik tuturan
terjadi di dalam area pura tuturan terjadi saat ibadat berlangsung PT
merasa jengkel keduanya sama-sama sedang khusuk sembayang
tujuan PT agar jika MT merasa kentut hendaknya keluar sebentar.
Penanda linguistik tuturan memakai intonasi tanya. Penutur berbicara
dengan nada yang keras. Tekanan keras pada frasa diajari! diksi yang
dipakai adalah bahasa nonstandar karena menggunakan istilah bahasa
Jawa. Penanda pragmatik tuturan terjadi di dalam area pura tuturan
terjadi saat ibadat berlangsung PT merasa jengkel keduanya sama-
sama sedang khusuk sembayang tujuan PT agar jika MT merasa
kentut hendaknya keluar sebentar. Maksud penutur bermaksud kesal
terhadap mitra tutur mengenai tindakan mitra tutur dalam ceramah.
Tuturan ini berdampak pada mitra tutur yang sangat malu karena hal
Berikut ini adalah tuturan yang termasuk dalam kategori ketidaksantunan
menimbulkan konflik yang disajikan berdasarkan subkategori ketidaksantunan
dan disajikan dengan (1) wujud linguistik, (2) wujud pragmatik, (3) penanda
linguistik, (4) penanda pragmatik (konteks tuturan), dan (5) maksud
ketidaksantunan. Bousfield (2008:3) berpandangan bahwa ketidaksantunan dalam
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
88
berbahasa dipahami sebagai, ‘The issuing of intentionally gratuitous and
conflictive face-threatening acts (FTAs) that are purposefully perfomed.’
Bousfield memberikan penekanan pada dimensi ‘kesembronoan’ (gratuitous) dan
konfliktif (conflictive) dalam praktik berbahasa yang tidak santun. Jadi, apabila
perilaku berbahasa seseorang itu mengancam muka dan ancaman terhadap muka
itu dilakukan secara sembrono (gratuitous), hingga akhirnya tindakan
berkategori sembrono demikian itu mendatangkan konflik atau bahkan
pertengkaran dan tindakan tersebut dilakukan dengan kesengajaan (purposeful),
maka tindakan berbahasa itu merupakan realitas ketidaksantunan. Suatu tuturan
dalam kategori menimbulkan konflik terjadi bila penutur secara sengaja
mengucapkan suatu tuturan yang dapat menimbulkan konflik di antara penutur
dan mitra tutur. Hal inilah yang membuat suatu tuturan dalam kategori ini menjadi
tidak santun.
Subkategori Mengejek
Subkategori mengejek dalam menimbulkan konflik terjadi
karena penutur mengucapkan tuturan disengaja seperti mengejek atau
meremehkan mitra tutur, sehingga membuat mitra tutur tersinggung
karena tuturan tersebut tidak berkenan oleh mitra tutur. Berikut ini
contoh tuturan yang termasuk dalam subkategori mengejek
Cuplikan tuturan E1
MT : Heh kamu yang keras dong suaranya jangan badan aja yangdigedein.
PT : “Dasar kurang ajar!”MT : Hahahaa semangat .
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
89
(Konteks tuturan : Tuturan terjadi ketika latihan tari disamping pura.MT merasa tersingung dengan ejekan penutur. Tuturan terjadi saatlatihan tari adat untuk digunakan dalam perayaan hari raya TujuanPT agar MT mengira PT marah tetapi sesunguhnya hanya bercanda.
Analisis wujud ketidaksantunan linguistik dan pragmatik,
penanda ketidaksantunan linguistik dan pragmatik, serta maksud
ketidaksantunan penutur dijelaskan sebagai berikut. Wujud linguistik
“Dasar kurang ajar!”. Wujud pragmatik tuturan disampaikan dengan
nada tinggi. Penutur terkesan mengejek mitra tutur. Tuturan yang
disampaikan penutur terkesan terlalu kasar. Penanda linguistik
tuturan memakai intonasi seru. Penutur berbicara dengan sedang.
tekanan yang digunakan tekanan keras diksi yang dipakai
menggunakan bahasa standar dengan kata-kata sehari-hari. Penanda
pragmatik tuturan terjadi saat perkumpulan pemuda-pemudi Hindu di
area asrama Hindu. Penutur memberi teguran kepada mitra tutur
dengan mengejek. Tindak verbal ekspresif, tindak perlokusi mitra
tutur menangapi sindiran penutur dengan nada kesal. Maksud penutur
bermaksud menegur karena kurang serius dalam latihan.
Cuplikan tuturan E3
MT : sudah lama aku tak pernah sembayang di pura.PT : Dasar kafirMT : memangya kamu selalu sembayang ke pura?(Konteks tuturan : Tuturan terjadi didepan Pura. Mitra tutur merasadirinya tidak rajin sembayang di Pure tetapi kata-kata penuturmembuat mitra tutur merasa tersingung.)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
90
Analisis wujud ketidaksantunan linguistik dan pragmatik,
penanda ketidaksantunan linguistik dan pragmatik, serta maksud
ketidaksantunan penutur dijelaskan sebagai berikut. Wujud linguistik
“dasar kafir” Wujud pragmatik tuturan disampaikan dengan nada
sinis. Penutur terkesan megejek mitra tutur yang kurang rajin
beribadah di pura. Tuturan yang disampaikan penutur terkesan kurang
santun dan kasar. Penanda linguistik Tuturan memakai intonasi
berita. Penutur berbicara dengan tinggi dan sisnis. Tekanan yang
digunakan tekanan tinggi.. Diksi yang dipakai menggunakan bahasa
nonstandar. Penanda pragmatik tuturan terjadi di depan pura.
perkumpulan pemuda-pemudi Hindu di area asrama Hindu. Penutur
memberi teguran kepada mitra tutur dengan menyindir atas
keterlambatan mitra tutur. Tindak verbal representative, tindak
perlokusi mitra tutur menangapi tuturan penutur dengan pertanyaan
bernada kesal. Maksud penutur bermaksud asal bicara penutur yang
kurang rajin beribadat di pura.
Subkategori Menegaskan
Subkategori menegaskan dalam menimbulkan konflik terjadi
karena penutur mengucapkan tuturan disengaja meremehkan mitra
tutur, sehingga membuat mitra tutur tersinggung karena tuturan
tersebut tidak berkenan oleh mitra tutur. Berikut ini contoh tuturan
yang termasuk dalam subkategori menegaskan.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
91
Cuplikan tuturan E2
MT: Siapa yang mengajarimu tarian seperti itu? (dengan wajah sinis)PT : “Ngapain pengen tau?”MT: Ndak, pengen tau aja.(Konteks tuturan : Tuturan terjadi di aula asrama Hindu. Penuturmerasa kesar atas perilaku mitra tutur. MT mengejek MT dengansindiran namun dalam suasana santai PT menyadari jika ia sedang diejek oleh MT)
Analisis wujud ketidaksantunan linguistik dan pragmatik,
penanda ketidaksantunan linguistik dan pragmatik, serta maksud
ketidaksantunan penutur dijelaskan sebagai berikut.Wujud linguistik
“Ngapain pengen tau?” Wujud pragmatik Tuturan disampaikan
dengan nada tinggi dan sinis. Penutur terkesan meremehkan mitra
tutur karena datang terlambat. Penanda linguistik Tuturan memakai
intonasi tanya. Penutur tinngi dan sinis, tekanan yang digunakan
tekanan tinggi, diksi yang dipakai menggunakan bahasa
nonstandar.Penanda pragmatik Tuturan terjadi di aula asrama Hindu.
Penutur merasa kesal atas pertanyaan sindirian aoleh mitra tutur.
Penutur menyadari bahawa dirinya sedang diejek oleh mitra tutur.
tuturan penutur dengan pernyataan yang sedikit kesal. Maksud
penutur bermaksud kesal karena tariannya kurang baik.
Subkategori Mengancam
Subkategori mengancam dalam menimbulkan konflik terjadi
karena penutur mengucapkan tuturan disengaja yang membuat mitra
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
92
tutur merasa terancam. Berikut ini contoh tuturan yang termasuk
dalam subkategori mengancam.
Cuplikan tuturan E4
MT : “lagi malas aku bantu- bantu membersihkan gamelanPT : “Besok kalau mati mayatnya mau dikubur sendiri”MT : hehehe capek aku.(Konteks tuturan : Tuturan terjadi saat perkumpulan pemuda agamahindu tuturan terjadi di aula samping pura saat perkumpulanberlangsung tujuan PT agar MT mau membersihkan gamelan)
Analisis wujud ketidaksantunan linguistik dan pragmatik,
penanda ketidaksantunan linguistik dan pragmatik, serta maksud
ketidaksantunan penutur dijelaskan sebagai berikut. Wujud linguistik
“Besok kalau mati mayatnya mau dikubur sendiri.” Wujud
pragmatik tuturan terjadi saat perkumpulan pemuda agama hindu
tuturan terjadi saat perkumpulan berlangsung, tujuan PT agar MT mau
membantu membersihkan gamelan. Penanda linguistik tuturan
mengunakan intonasi seru. Penutur berbicara dengan nada sedang .
Tekanan keras pada frasa dikubur sendiri. Penanda pragmatik tuturan
terjadi saat perkumpulan pemuda agama hindu,penutur memberi
teguran berupa sindiran kepada mitra tutur agar mau membersihkan
gamelan sebelum gamelan digunakan untuk latihan. Maksud
penutur menakut nakuti mitra tutur yang menjawab perintahnya
dengan muka yang masam dan terkesan mengabaikan perintah dari
penutur.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
93
Subkategori Memperingatkan
Subkategori memperingatkan dalam menimbulkan konflik
terjadi karena penutur mengucapkan tuturan disengaja
memperingatkan dengan nada ketus, sehingga membuat mitra tutur
tersinggung karena tuturan tersebut tidak berkenan oleh mitra tutur.
Berikut ini contoh tuturan yang termasuk dalam subkategori
memperingatkan.
Cuplikan tuturan E5
MT : Serius banget sembayangnya.(sambil colek-colek)PT : “Kamu kalau ndak ganggu orang sembayang bisa ndak?”MT : Huh bgitu saja marah “(Konteks tuturan : Tuturan terjadi didepan pura saat sembayangberlangsungTuturan terjadi antara umat tujuan PT agar MT tidakmengulangi hal yang sama di kemudian hari.
Analisis wujud ketidaksantunan linguistik dan pragmatik,
penanda ketidaksantunan linguistik dan pragmatik, serta maksud
ketidaksantunan penutur dijelaskan sebagai berikut. Wujud linguistik
“kamu kalau ndak ganggu orang sembayang bisa ndak?” Wujud
pragmatik tuturan terjadi didepan pura saat sembayang berlangsung
tuturan terjadi antara umat tujuan PT agar MT tidak mengulangi hal
yang sama dikemudian hari. Penanda linguistik tuturan memakai
intonasi tanya . Penutur berbicara dengan nada sedang. Tekanan keras
pada frasa kalo kamu ndak gangu. Diksi pada tuturan menggunakan
bahasa nonstandard yang memakai istilah bahasa Jawa. Penanda
pragmatik tuturan ini terjadi didalam pura ketika sembayangan sedang
dilaksanakan. Penutur laki laki berusia 27 tahun. MT laki-laki, berusia
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
94
17 tahun. Penutur telah memperingatkan agar tidak menggangu karena
penutur sedang sembayang. Peringatan penutur membuat MT terusik
dan menasehati balik penutur. Tujuan penutur menasehati MT agar
tuturan penutur direnungkan terlebih dulu oleh penutur. Maksud
penutur merasa kesal karena dingangu oleh mitra tutur ketika sedang
sembayang.
Cuplikan tuturan E6
MT : Senari itu yang bagus jangan begituPT : “Itu motor saya ada kacanya”MT : Hehehehe(Konteks tuturan : Tuturan terjadi pada sore hari di lingkungan puratepatnya di aula saat latihan tari ,tuturan terjadi disela-sela istirahatpenutur merasa mitra tutur dalam menari masih kurang baik , penuturbertujuan agar mitra tutur ikut berlatih.)
Analisis wujud ketidaksantunan linguistik dan pragmatik,
penanda ketidaksantunan linguistik dan pragmatik, serta maksud
ketidaksantunan penutur dijelaskan sebagai berikut. Wujud linguistik
“Itu motor saya ada kacanya” Wujud pragmatik tuturan membuat
malu mitra tutur. Tuturan bersifat menyinggung mitra tutur tetapi
tidak menyadari bahwa tuturan telah menyingung. Tuturan
disampaikan dengan ketus/ sembrono karena mitra tutur dalam menari
masih kurang baik. Penanda linguistik tuturan menggunakan intonasi
berita. Penutur berbicara menggunakan nada sedang (sindiran).
Tuturan disampaikan dengan tekanan yang lunak. Penanda pragmatik
tuturan terjadi pada siang hari dilingkungan pura penutur
menyampaikannya di depan umat yang hadir.Tuturan penutur sangat
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
95
sembrono karena tidak melihat apa yang sebenarnya terjadi. Tujuan
penutur menyuruh MT untuk memperbaiki gerakan agar terlihat lebih
bagus. Maksud penutur menyampaikan dengan maksud kesal, yakni
dengan mengunakan sindiran.
Subkategori Menyingung
Subkategori menyngung dalam menimbulkan konflik terjadi
karena penutur mengucapkan tuturan disengaja seperti mengejek atau
meremehkan mitra tutur, sehingga membuat mitra tutur tersinggung
karena tuturan tersebut tidak berkenan oleh mitra tutur. Berikut ini
contoh tuturan yang termasuk dalam subkategori menyingung.
Cuplikan tuturan E7
MT : Adek kesini jangan lari-lari terus.(memangil anaknya)PT : Jangan terlalu memanjakanMT : Ya tak apa-apa toh itu anak saya satu-satunya.(Konteks tuturan : Tuturan terjadi saat setelah sembayamh selesai PTmerasa terganggu saat sembayang MT merasa tersinggung saat PTmemperingatkan agar MT jagan terlalu memanjakan anaknya TujuanPT agar MT menasehati anaknya agar tidak bermain saat upacaraibadat)
Analisis wujud ketidaksantunan linguistik dan pragmatik,
penanda ketidaksantunan linguistik dan pragmatik, serta maksud
ketidaksantunan penutur dijelaskan sebagai berikut. Wujud linguistik
“Jangan terlalu memanjakan” Wujud pragmatik penutur tidak
menyadari bahwa ia berbicara pada orang yang lebih tua dari dirinya.
Penutur membuat mitra tutur merasa malu. Tuturan disampaikan
dengan cara yang sembrono. Penanda linguistik tuturan menggunakan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
96
intonasi seru. Penutur berbicara menggunakan nada sedang. Tuturan
disampaikan dengan tekanan yang lunak, diksi yang dipakai adalah
bahasa nonstandar, dengan memakai istilah bahasa Jawa. Penanda
pragmatik tuturan ini terjadi saat setelah selesai ibadah. Penutur
menyampaikan tuturannya dengan cara sinis. MT merasa dirinya
disalahkan sedangkan penutur merasa tidak bersalah MT menyanggah
tuturan penutur sehingga terjadi adu mulut, penutur hanya bermaksud
mengingatkan agar anak dididik sejak dini. Penutur tidak sadar bahwa
tuturannya membuat mitratutur merasa tersingung. Maksud penutur
menyampaikan dengan maksud mengingatkan, yakni dengan
menyimpulkan keadaan sekitar secara umum saja.
Cuplikan tuturan E8
MT :”Bukan gitu nadanya!PT : “Santai lho, bli” kita khan latihan wajar kl masih belum baik!”MT : Ya! Makanya dengarkan dulu kalau di beri contoh.(Konteks tuturan : Tuturan terjadi saat latihan tari di asrama hindututuran terjadi saat latihan berlangsung mitra tutur merasatersingung dengan ucapan penutur tujuan penutur agar mitra tuturmendengarkan jika diberikan contoh)
Analisis wujud ketidaksantunan linguistik dan pragmatik,
penanda ketidaksantunan linguistik dan pragmatik, serta maksud
ketidaksantunan penutur dijelaskan sebagai berikut. Wujud linguistik
“Santai lho, bli” kita khan latihan wajar kl masih belum baik! Wujud
pragmatik penutur membuat mitra tutur merasa tersingung karena
penutur membenarkan nada yang salah ketika latihan tari berlangsung
sambil mulut bersuara nyayian. Tuturan yang disampaikan bersifat
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
97
ketus. Penutur tidak menyadari bahwa tuturannya telah menyingung
mitra tutur. Penanda linguistik tuturan menggunakan intonasi seru.
Penutur berbicara menggunakan nada tinggi. Tuturan disampaikan
dengan tekanan yang keras, diksi yang dipakai adalah bahasa
nonstandar, dengan memakai istilah bahasa Jawa. Penanda pragmatik
Penutur menyampaikan tuturannya dengan cara sinis.MT merasa
dirinya disalahkan sedangkan penutur merasa tidak bersalah MT
meyanggah tuturan penutur sehingga terjadi adu mulut. Tuturan ini
terjadi saat diadakan latihan tari yang akan dipentaskan ketika hari
raya. Maksud penutur menyampaikan dengan maksud protes, yakni
dengan menyimpulkan keadaan sekitar secara umum saja.
Subkategori Mengumpat
Subkategori mengumpat dalam menimbulkan konflik terjadi
karena penutur mengucapkan tuturan yang tidak pantas sehingga
membuat mitra tutur tersinggung karena tuturan tersebut tidak
berkenan oleh mitra tutur. Berikut ini contoh tuturan yang termasuk
dalam subkategori mengumpat.
Cuplikan tuturan E9
PT : Nanti anda yang menjelaskan ya!MT : Ndak –ndak saya ndak bisa ! anda saja.MT : Tidak apa-apa silahkan,PT : Ubuan jeleme to(binatang orang itu) (kata kasar di ucapkan
lirih) ya sudah saya jawab sebisanya.(Konteks tuturan : Tuturan terjadi didepan pura saat sering tuturanterjadi antara umat umat saling melempar tanggung jawab PT merasakesal karena MT asal menunjuk).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
98
Analisis wujud ketidaksantunan linguistik dan pragmatik,
penanda ketidaksantunan linguistik dan pragmatik, serta maksud
ketidaksantunan penutur dijelaskan sebagai berikut. Wujud linguistik
“Ubuan jeleme to (binatang orang itu) (kata kasar di ucapkan lirih) ya
sudah saya jawab sebisanya. Wujud pragmatik tuturan membuat
mitra tutur merasa malu. Tuturan disampaikan dengan cara ketus
walaupun bersifat untuk menasehati. Tuturan tidak secara sengaja
namun penutur merasa bahan pembicaraan tidak cocok dibahas.
dalam tuturan ketidaksantunan kategori menghilangkan muka memiliki dua
maksud, yaitu maksud menegur dan kesal. Penutur dalam tuturan ketidaksantunan
kategori menimbulkan konflik memiliki tujuh maksud, yaitu maksud menegur,
kesal, menakuti, mengingatkan, protes, asal bicara.
Penanda ketidaksantunan juga dilihat berdasarkan kajian linguistik dan
pragmatik. penanda ketidaksantunan pragmatik diketahui berdasarkan konteks
yang melingkupi tuturan tersebut. Penanda ketidaksantunan linguistik diketahui
berdasarkan unsur segmental dan suprasegmental yaitu diksi, kata fatis, nada,
tekanan, dan intonasi suatu kalimat atau tuturan, sedangkan penanda
ketidaksantunan pragmatik dapat diketahui berdasarkan uraian konteks yang
berupa, penutur dan mitra tutur, situasi saat terjadi tuturan, waktu dan tempat
ketika tuturan terjadi, serta tindak verbal dan tindak perlokusi yang menyertai
tuturan tersebut.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
131
5.2 Saran
Berdasarkan dari fenomena-fenomena pemakaian kebahasaan dalam tuturan
pada ranah agama hindu dan kesimpulan dari hasil penelitian yang telah
ditemukan, Penelitian ini masih terdapat kekurangan. Oleh sebab itu, peneliti
memberikan saran bagi peneliti lain yang ingin melanjutkan penelitian sejenis.
2.5.1 Bagi Pemuka Dan Umat beragama
Fenomena ketidaksantunan berbahasa merupakan fenomena baru dalam
kajian ilmu pragmatik. Dengan hasil penelitian yang telah diuraikan, Umat
yang beragama seharusnya dapat menghindari penggunaan bahasa yang tidak
santun baik antarumat beragama. Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai
acuan atau gambaran umum mengenai bentuk ketidaksantunan berbahasa itu
sehingga dengan adanya acuan ketidaksantunan berbahasa umat beragama
dapat mengurangi bahkan menghindari bertutur yang tidak santun, sebaliknya
dapat bersikap dan berperilaku yang santun dengan umat beragama lain.
2.5.2 Bagi Peneliti Lanjutan
a. Penelitian ini hanya meneliti ketidaksantunan berbahasa linguistik dan
pragmatik dalam lingkup antarumat beagama Hindu di Wilayah Kota Madya.
Bagi peneliti lain, penelitian ini dapat dikembangkan lebih lanjut dengan
subjek dan ranah yang berbeda.
b. Penelitian ini menemukan lima kategori dan sepuluh subkategori.
Diharapkan peneliti lanjutan dapat menemukan kategori dan subkategori
ketidaksantunan lain untuk melengkapi teori dalam fenomena
ketidaksantunan ini.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
132
c. Selain bidang ilmu pragmatik, data tuturan yang dianalisis dari segi wujud,
maksud dan penanda ketidaksantunan berbahasa linguistik dan pragmatik
dapat dianalisis pula dari beberapa bidang ilmu lain.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
133
DAFTAR PUSTAKA
Achmad dan Alek Abdullah. 2013. Linguistik Umum. Jakarta: Erlangga.
Alwi, Hasan dkk. 2003. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia. Jakarta: BalaiPustaka.
Arikunto, Suharsimi. 2010. Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktik.Jakarta: Rineka Cipta.
Badan Pusat Statistik. 2012. Kota Yogyakarta dalam Angka. Yogyakarta: BPSKota Yogyakarta.
Bousfield, Derek dan Miriam A. Locher. 2008. Impoliteness in Language: Studieson its Interplay with Power in Teory and Practice. New York: Mouton deGruyter.
Bungin, Burhan. 2006. Sosiologi Komunikasi: Teori, Paradigma, dan DiskursusTeknologi Komunikasi di Masyarakat. Jakarta: Kencana.
Chaer, Abdul. 2011. Tata Bahasa Praktis Bahasa Indonesia. Edisi Revisi. Jakarta:Rineka Cipta.
Depdiknas. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Edisi Keempat. Jakarta:Gramedia.
Muslich, Masnur. 2009. Fonologi Bahasa Indonesia: Tinjauan Deskriptif SistemBunyi Bahasa Indonesia. Jakarta: Bumi Aksara.
Nababan. 1984. Sosiolinguistik: Suatu Pengantar. Jakarta: Gramedia.
Nadar, F.X. 2009. Pragmatik dan Penelitian Pragmatik. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Noviyanti, Agustina Galuh Eka. 2013. Ketidaksantunan Linguistik dan PragmatikBerbahasa Antarsiswa di SMA Stella Duce 2 Yogyakarta Tahun Ajaran2012/2013. Skripsi. Yogyakarta: PBSID, JPBS, FKIP, USD.
Nugroho, Miftah. 2009. “Konteks dalam Kajian Pragmatik” dalam PenerokaHakikat Bahasa. Yogyakarta: Universitas Sanata Dharma.
Pranowo. 2009. Berbahasa secara Santun. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Puspitarini, Olivia Melissa. 2013. Ketidaksantunan Linguistik dan PragmatikBerbahasa antara Dosen dan Mahasiswa Program Studi PBSID, FKIP,USD, Angkatan 2009—2011. Skripsi. Yogyakarta: PBSID, JPBS, FKIP,USD.
Rahardi, Kunjana. 2003. Berkenalan dengan Ilmu Bahasa Pragmatik. Malang:Dioma
______________. 2005. Pragmatik: Kesantunan Imperatif Bahasa Indonesia.Jakarta: Erlangga.
Sudaryanto. 1993. Metode dan Aneka Teknik Analisis Bahasa: PengantarPenelitian Wahana Kebudayaan secara Linguitis. Yogyakarta: DutaWacana University Press.
Yuliastuti, Elizabeth Rita. 2013. Ketidaksantunan Linguistik dan PragmatikBerbahasa antara Guru dan Siswa di SMA Stella Duce 2 YogyakartaTahun Ajaran 2012/2013. Skripsi. Yogyakarta: PBSID, JPBS, FKIP, USD.
Zuriah, Nurul. 2006. Metodologi Penelitian Sosial dan Pendidikan. Jakarta:Bumi Angkasa.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
136
LAMPIRAN
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
1
A. Daftar Pertanyaan untuk Pemimpin Umat dalam Relasi dengan Umat dan Umat Relasi
dengan Umat
PETUNJUK:
Gunakan daftar pertanyaan berikut untuk mewawancarai informan, kemudian tulislah atau
rekamlah bentuk kebahasaan yang disampaikan oleh informan!
1. Wujud teguran apa yang akan Anda katakan kepada umat Anda yang jarang sekali
berangkat beribadah di Pura dan jarang sekali terlihat ikut berpartisipasi dalam kegiatan