KESETARAAN GENDER PERAWAT LAKI-LAKI DAN PERAWAT PEREMPUAN DALAM PELAYANAN KESEHATAN (Studi deskriptif kualitatif tentang Kesetaraan Gender Antara Perawat Laki-laki dan Perawat Perempuan dalam Pelayanan Kesehatan di Rumah Sakit Soeradji Tirtonegoro Klaten ) Disusun Guna Melengkapi Tugas-tugas dan memenuhi Syarat-syarat guna memperoleh Gelar Sarjana Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Jurusan Sosiologi Oleh : Guntur Prayoga D 0302030 SOSIOLOGI FAKULTAS ILMU SOSIAL & ILMU POLITIK UNIVERSITAS SEBELAS MARET 2009
123
Embed
KESETARAAN GENDER PERAWAT LAKI-LAKI DAN …/Kesetaraan... · KESETARAAN GENDER PERAWAT LAKI-LAKI DAN PERAWAT PEREMPUAN DALAM PELAYANAN KESEHATAN (Studi deskriptif kualitatif tentang
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
KESETARAAN GENDER PERAWAT LAKI-LAKI DAN
PERAWAT PEREMPUAN
DALAM PELAYANAN KESEHATAN
(Studi deskriptif kualitatif tentang Kesetaraan Gender Antara Perawat Laki-laki
dan Perawat Perempuan dalam Pelayanan Kesehatan di Rumah Sakit Soeradji
Tirtonegoro Klaten )
Disusun Guna Melengkapi Tugas-tugas dan memenuhi
Syarat-syarat guna memperoleh Gelar Sarjana
Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Jurusan Sosiologi
Oleh :
Guntur Prayoga
D 0302030
SOSIOLOGI FAKULTAS ILMU SOSIAL & ILMU POLITIK
UNIVERSITAS SEBELAS MARET 2009
ii
PERSETUJUAN
Telah Disetujui untuk dipertahankan di hadapan Panitia Ujian Skripsi
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Sebelas Maret
Surakarta
Menyetujui,
Pembimbing :
Dra.Hj. Trisni Utami, MSi
NIP. 131 792 197
iii
PENGESAHAN
Telah diuji dan disahkan oleh Panitia Penguji Skripsi
Jurusan Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Sebelas Maret
Surakarta
Hari :
Tanggal :
Tim Penguji
1. Prof. Dr.RB. Soemanto MA (.............................................)
C. SARAN .................................................................................. 104
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
xiii
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1.1 Data Perawat Laki-Laki dan Perempuan menurut Tingkat
Pendidikan di RS. Soeradji Tirtonegoro Klaten ............................ 4
Tabel 2.1 Tingkat Kepadatan Penduduk Kota Klaten ..................................... 38
Tabel 2.2 Penduduk Kota Klaten menurut jenis Kelamin .............................. 39
Tabel 2.3 Pegawai Pemerintah Kabupaten Klaten Menurut Unit Kerja Dan
Jenis Kelamin................................................................................. 40
Tabel 2.4 Data Ketenagaan RSUP dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten................ 49
Tabel 5.1 Analisis Data Hasil Penelitian ........................................................ 84
xiv
DAFTAR LAMPIRAN
1. Pedoman Wawancara
2. Hasil Wawancara
3. Struktur Organisasi RSUP Dr. Soeadji Tirtonegoro Klaten
4. Permohonan Ijin Penelitian dari Universitas Sebelas Maret Surakarta
5. Pengesahan Ijin Penelitian dari BAPEDA Klaten
6. Pengesahan ijin Penelitian dari RSUP Dr. Soeadji Tirtonegoro Klaten
7. Kwitansi
xv
ABSTRAK
Guntur Prayoga. D0302030. Tahun 2009. Kesetaraan Gender Perawat Laki-Laki Dan Perawat Perempuan Dalam Pelayanan Kesehatan. Skripsi. Jurusan Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif yang menggambarkan peran perawat laki-laki dan perawat perempuan dalam pelayanan Kesehatan di RSUP. Dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten serta menggambarkan dan melakukan analisis gender terhadap peran perawat dalam pelayanan kesehatan.
Pengambilan sampel penelitian ini menggunakan teknik purposive sampling. Teknik pengumpulan data yang diterapkan dalam penelitian ini adalah teknik wawancara mendalam dan dokumentasi. Responden dalam penelitian ini berjumlah 10 orang perawat (6 orang perempuan dan 4 laki-laki) dan 4 orang pasien (1perempuan dan 3 laki-laki). Sedangkan untuk menjamin validitas data digunakan triangulasi sumber.
Adapun hasil penelitian yang telah dilakukan berdasarkan data-data yang diperoleh baik berupa data primer maupun data sekunder adalah sebagai berikut: pertama, Marginalisasi peran perempuan di ranah publik akibat dari relasi kuasa yang dibangun dan berkembang dalam profesi keperawatan membentuk stereotype bahwa profesi keperawatan merupakan profesi yang dipandang lebih cocok untuk para perempuan ketimbang laki-laki. Kedua, dilihat dari profesinya sebagai tenaga kesehatan, tidak ada perbedaan peran gender. Tugas-tugas sebagaimana yang tercantum dalam undang-undang ataupun kode etik keperawatan tidak ada yang membedakan tugas perawat berdasarkan gender. Namun, dalam prakteknya, tugas-tugas pelayanan kesehatan dijalankan secara luwes dimana pembedaan peran gender masih tampak. Misalnya saat memandikan pasien, pekerjaan angkat-angkat dan sebagainya. Ini terjadi karena faktor nilai-nilai budaya dan moral yang diyakini masyarakat. Dari sisi pelayanan, sebagian pasien juga masih menganggap bahwa perempuan lebih luwes dalam menjalankan tugas-tugas keperawatan. Ketiga, Proses marginalisasi yang memunculkan stereotype bahwa perawat merupakan pekerjaan perempuan merembet pada struktur lembaga. Dalam struktur yang tampak di RSUD Soeradji Tirtonegoro Klaten, perempuan masih dianggap lebih mampu dalam menjalankan tugas-tugas keperawatan. Hal ini tampak dari struktur kelembagaan yang didominasi oleh kaum perempuan. Dari jumlah perawat, dapat juga dilihat bahwa perawat perempuan lebih banyak ketimbang perawat laki-laki.
xvi
ABSTRACT
Guntur Prayoga.D0302030. 2009. The equal gender between male and female nurse in healthy service. Research paper. Sociology Department. Social and politic faculty Sebelas Maret University of Surakarta.
This Research is the descriptive qualitative research which is describintg the role of the male and female nurse in healthy service at RSUP Dr. Soeradji tirtonegoro Klaten also describing and gender analyze to the nurse’s role in healthy service.
The sample of this research was taken by using purposive technique sampling. In collecting data, the writer uses interview and document. The respondents of this research are ten nurses (six female nurses and four male nurses) and four patients (female and three male patients). While, for the validity of the data uses triangulatuion source.
The result of this research based on the primary and secondary data, it can be seen: first, marginalization of the role of women in public because the power relationship which was built and expended in the nurse proffesion is a proffesion in which it is more suitable for woman rather than for man. Second: viewed from the proffesion as healthy service. There is no difference of gender’s role. The duty such as there is in law and the erthics nurse code. There is no difference duty of the nurse based on the gender. However, in practice the duty in healty service do flexibility where is the difference of gender still appear, such as when taking a bath for the patient, removed the patient and etc. It is happen because the cultures value and moral factor that believed by society. From service side, a half of patients still believe that the woman is more flexibility in doing the nurse duty. Third : marginalization process makes stereotype in which nurse proffesion is the women’s job hampered to the Institute Structure. The structure at RSUP Soeradji Tirtonegoro Klaten, the woman is considered more capable to do the nurse’s duty. It can be seen in Institute structure in which it is dominated by woman. From the amount of the nurse, also it can be seen which the female nurse is more than male nurse.
xvii
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG MASALAH
Salah satu kebutuhan yang sangat penting bagi manusia adalah
kebutuhan akan kesehatan, selain kebutuhan akan sandang, pangan dan papan.
Penting artinya kebutuhan kesehatan bisa dipenuhi oleh manusia untuk dapat
mempertahankan hidup. Dalam upaya memenuhi kebutuhannya manusia tidak
lepas dari bantuan aktifitas orang lain.
Pembangunan kesehatan diselenggarakan berasaskan kemanusiaan yang
berdasarkan Ke Tuhanan Yang Maha Esa, manfaat, usaha bersama dan
kekeluargaan, adil dan merata, peri kehidupan dalam keseimbangan serta
kepercayaan akan kemampuan dan kekuatan sendiri yang bertujuan untuk
meningkatkan kesadaran, kemauan dan kemampuan hidup sehat bagi setiap
orang agar terwujud derajat kesehatan masyarakat yang optimal. (UU RI NO
23 TAHUN 1992 Bab II pasal 2 dan 3)
Dapat dilihat dalam UU RI NO 23 TAHUN 1992 Bab II pasal 2 dan 3
yang tertulis diatas bahwa pembangunan kesehatan di Indonesia ditujukan
untuk meningkatkan kesadaran, kemauan dan kemampuan hidup agar setiap
orang mampu meningkatkan derajat kesehatannya. Dengan kepercayaan
bahwa kita mampu melaksanakan pembangunan kesehatan dengan sumber
daya yang ada.
xviii
Dalam pelaksanaan upaya kesehatan banyak melibatkan instansi baik itu
pemerintah maupun swasta. Selama ini telah dibangun berbagai sarana dan
prasarana kesehatan seperti, Rumah Sakit, Puskesmas, laboratorium, klinik,
perusahaan farmasi, apotek 24 jam dan lain sebagainya. Namun biaya untuk
mencapai kondisi sehat ternyata tidaklah murah bahkan cenderung semakin
mahal. Dengan adanya pembiayaan yang semakin meningkat, maka
pemerintah berupaya membantu upaya kesehatan masyarakat. Salah satu
upaya pemerintah itu diwujudkan dengan jalan mendirikan Rumah Sakit
Pemerintah, dengan rumah sakit pemerintah masyarakat dapat menggunakan
fasilitas kesehatan yang disediakan rumah sakit sesuai dengan kebutuhannya
dengan harga terjangkau. RSUP Soeradji Tirtonegoro Klaten yang merupakan
rumah sakit pemerintah yang ada di Klaten turut membantu upaya kesehatan
masyarakat dengan biaya terjangkau.
Pembangunan di bidang kesehatan khususnya di rumah sakit bertujuan
untuk meningkatkan mutu, cakupan dan efisiensi pelaksanaan rujukan medik
dan rujukan kesehatan secara terpadu. Rumah sakit sebagai pemberi pelayanan
kesehatan dituntut oleh masyarakat sebagai penerima jasa layanan kesehatan
untuk selalu meningkatkan kualitas pelayanannya.
Krisis moneter yang berkepanjangan membawa dampak buruk bagi
masyarakat dan semakin menurunkan kesehatan masyarakat, apalagi
masyarakat yang ekonominya rendah dan miskin. Proses pelayanan kesehatan
pun mengalami proses liberalisasi yang berdampak pada ketimpangan
pelayanan dari segi kualitas, stratifikasi sosial dan juga perbedaan jenis
xix
kelamin. Pola pelayanan kesehatan masih menganggap pasien hanya sebagai
obyek pelayanan.
Perawat sebagai salah satu komponen yang penting di dalam rumah sakit
mempunyai peran yang cukup besar untuk membantu meningkatkan
pelayanan kesehatan. Jenis pekerjaan perawat digambarkan sebagai pekerjaan
yang cenderung sebagai pekerjaan perempuan, karena dalam pelaksanaannya
membutuhkan sifat kelembutan dan kesabaran dan lebih mengedepankan
emosi. Sebelum menjadi perawat pun sudah dibekali dengan pendidikan cara-
cara merawat yang sering dianggap kerja perempuan. Budaya yang
berkembang dalam masyarakat khususnya masyarakat Jawa, perempuan lebih
dikenal dengan konco wingking sehingga pekerjaan perawat pun seolah-olah
hanya bisa dikerjakan perempuan.
Sesuai dengan perkembangan sosial yang ada maka banyak lelaki
menjadi tertarik untuk menjadi perawat dengan ikut melaksanakan tugas yang
sebelumnya digambarkan sebagai tugas perempuan. Jelas bahwa tidak ada
aturan yang mengikat bahwa seorang perawat harus perempuan. Untuk
menjadi seorang perawat ditentukan atau dilihat bagaimana kemampuan yang
dimiliki baik itu laki-laki maupun perempuan untuk melaksanakan tugas-tugas
tersebut serta bagaimana kesempatan yang diberikan pada laki-laki dan
perempuan untuk mengaktualisasikan kemampuan dirinya.
Untuk dapat mengetahui sejauh mana komposisi perawat Laki-laki dan
Perempuan dapat kita lihat pada tabel sebagai berikut :
xx
Tabel 1.1 Data Perawat Laki-Laki dan Perempuan menurut Tingkat Pendidikan di RS. Soeradji Tirtonegoro Klaten, Data Per Februari 2007
Tingkat Pendidikan Laki-Laki Perempuan
S1 Keperawatan 7 11 D3 Keperawatan 98 -
SPK 20 31 PK 1 -
D4 Kebidanan - 1 D3 Kebidanan - 9 D3 Anestesi - 1
Bidan - - D3/SPRG/P Gigi 1 24
DK/PK - 2 Jumlah 127 247
Sumber : Data Bidang Perawat RSUD Soeradji Tirtonegoro Klaten
Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa komposisi Perawat Laki-laki masih
kecil jika dibandingkan dengan perawat perempuan 39,06% untuk perawat
laki-laki dan 66,04% untuk perawat perempuan. Dengan jumlah perawat yang
masih relatif lebih kecil dibanding perawat perempuan itulah sebabnya kenapa
prestasi perawat laki-laki menjadi relatif. Walaupun pada tugas tertentu
perawat laki-laki mendapat simpati. Sudah seharusnya perawat laki-laki harus
meningkatkan profesionalitasnya sebab keterbatasan anggota perawat laki-laki
akan sangat berpengaruh pada kinerjanya. Mereka harus lebih bersikap
dewasa dan memantapkan diri dalam setiap tugas pelayanan yang
diembannya, termasuk menghilangkan citra buruk laki-laki, baik di rumah
maupun pada saat tugas.
Pemberian kesempatan yang sama disamping akan lebih menunjukkan
penghormatan pada gender di lingkungan perawat, sedikit banyak diharapkan
juga akan mengurangi stigma negatif di lingkungan perawat. Sosok jati diri
seorang perawat laki-laki memiliki sifat maskulin namun mempunyai sisi
xxi
feminis. Melalui pemberian kesempatan itulah perawat laki-laki akan
mempunyai kesempatan yang sama dalam menjalankan tugas dan fungsinya
sebagai bagian integral dari perawat.
Hubungan antara perawat dengan pasien sangat menentukan kualitas
pelayanan yang diberikan oleh perawat tersebut. Perawat harus mampu
memberikan pelayanan yang optimal pada sebagian kliennya. Banyak kejadian
yang mengeluhkan bagaimana pelayanan perawat di rumah sakit seperti ada
pembedaan terhadap pelayanan terhadap jenis kelamin tertentu.
B. PERUMUSAN MASALAH
Dari latar belakang penelitian tersebut di atas penulis merumuskan
permasalahan sebagai berikut :
a. Bagaimanakah kesetaraan gender dalam pembagian peran antara perawat
laki-laki dan perawat perempuan?
b. Bagaimana pelayanan yang diberikan oleh perawat RSUP Soeradji
Tirtonegoro dalam memberikan pelayanan kesehatan terhadap pasien
laki-laki dan perempuan ?
C. TUJUAN PENELITIAN
Adapun tujuan yang ingin dicapai penulis dari penelitian ini adalah :
1. Untuk mengetahui kesetaraan gender dalam pembagian peran antara
perawat laki-laki dan perawat perempuan.
xxii
2. Untuk mengetahui pelayanan yang diberikan oleh perawat RSUP Soeradji
Tirtonegoro Klaten dalam memberikan pelayanan Kesehatan kepada
masyarakat.
D. KEGUNAAN PENELITIAN
Disamping untuk menjawab permasalahan dalam perumusan masalah
penelitian , hasil dari penelitian ini dapat berguna untuk menambah wacana
bagi peneliti yang ingin melakukan penelitian serupa berikutnya.
Penelitian ini diharapkan dapat memiliki manfaat :
1. Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan perbandingan bagi
penelitian yang terkait dalam permasalahan gender dalam keperawatan.
2. Hasil penelitian diharapkan dapat digunakan sebagai masukan bagi pihak-
pihak yang berkepentingan atau pihak terkait untuk mengambil kebijakan
yang berkaitan dengan isu gender.
3. Hasil penelitian dapat menjadi bahan pertimbangan dalam menyusun
kebijakan bagi pihak rumah sakit dalam pembagian peran dan tugasnya,
agar perawat mampu bekerja secara efektif dan mampu meningkatkan
profesionalismenya.
xxiii
E. TELAAH PUSTAKA
1. Peran
Peran sering diartikan sebagai serangkaian perilaku yang
diharapkan dituntut oleh masyarakat terhadap individu atau pun organisasi
yang memegang kedudukan tertentu dalam masyarakat.
Setiap orang akan melakukan perannya ketika menjalankan hak
dan keawajiban sesuai dengan kedudukannya. Setiap orang akan
menjalankan peran yang berbeda dimana dalam setiap peran tersebut
diharapkan dilakukan dengan cara-cara tertentu. Dalam kamus sosiologi
dijelaskan bahwa peran (role) meliputi :
1) aspek dinamis dari kedudukan
2) perangkat hak-hak dan kewajiban
3) perilaku aktual dari pemegang kedudukan
4) bagian dari aktivitas yang dimainkan seseorang
(Soekamto,1985:400)
Peran yang melembaga merupakan seperangkat harapan perilaku
yang membatasi kebebasan seseorang untuk memilih. Jadi, perilaku peran
yang dilembagakan diarahkan oleh harapan peran, bukan oleh preferensi
pribadi.
Rumah Sakit dalam hal ini merupakan organisasi yang didalamnya
terdapat aturan atau norma yang mengikat anggotanya dalam
berhubungan. Dan hubungan tersebut akan tetap terjaga apabila masing-
xxiv
masing anggotanya menjalankan sejumlah perilaku yang diharapkan
menurut aturan norma yang berlaku dalam organisasi tersebut.
Identitas peran terdiri dari gambaran yang bersifat ideal yang
dimiliki oleh individu sebagai orang yang menduduki posisi sosial.
Seorang individu memiliki sejumlah identitas peran yang berhubungan
dengan berbagai posisi sosial yang mereka miliki dan berbeda-beda
tingkatan dalam perbandingannya satu sama lain. Identitas peran ini
diungkapkan secara terbuka dalam melaksanakan peran dan membantu
menentukan pentingnya suatu identitas peran tertentu dalam konsep diri
seseorang secara keseluruhan.(Johnson, 1986:38). Jadi peran merupakan
sesuatu yang diharapkan lingkungan untuk dilakukan seseorang atau
kelompok yang karena kedudukannya dapat memberi pengaruh pada
lingkungan tersebut.
Adapun yang dimaksud dengan peran perawat laki-laki dan
perawat perempuan dalam hal ini adalah serangkaian tindakan yang
diharapkan dilakukan oleh perawat laki-laki dan perawat perempuan
dalam organisasi rumah sakit, baik itu dalam program kerja organisasi ,
dalam pengambilan setiap kebijakan maupun dalam setiap kegiatan atau
aktivitas yang dilakukan dalam organisasi.
2. Konsep Gender
Konsep gender merupakan suatu sifat yang melekat pada kaum
laki-laki maupun perempuan yang dikonstruksi secara sosial dan kultural.
xxv
Misalnya, perempuan lebih dikenal dengan sifat lemah lembut, keibuan,
emosional dan sebagainya. Sedangkan laki-laki dianggap kuat, rasional,
dan perkasa. Ciri dari sifat-sifat tersebut sebenarnya bisa dipertukarkan.
Artinya masing-masing, baik kaum laki-laki maupun perempuan memiliki
sifat-sifat tertentu.
Sejarah mengenai pembedaan gender terjadi melalui proses
panjang. Terbentuknya perbedaan-perbedaan gender bisa disebabkan oleh
banyak hal, diantaranya adalah proses sosialisasi dan bahkan proses
konstruksi sosial lewat berbagai interaksi yang terjadi dalam masyarakat.
Pembentukan perbedaan-perbedaan gender dibentuk secara sosial dan
kultural, misalnya lewat agama dan kekuasaan. Proses panjang tersebut
kemudian membentuk persepsi manusia yang menganggap perbedaan
gender adalah sebuah kodrat yang harus diterima, seolah-olah perbedaan
tersebut terjadi secara biologis dan tak dapat diubah.
Konstruksi sosial gender secara perlahan berpengaruh terhadap
proses biologis masing-masing kelamin. Misalnya, karena adanya
konstruksi sosial, seorang laki-laki harus memiliki sifat kuat. Maka kaum
laki-laki tersosialisasi dan termotivasi untuk menjadikan dirinya kuat
untuk memenuhi sifat yang dianggap umum oleh masyarakat tersebut.
Sebaliknya, karena dalam konstruksi sosialnya perempuan harus bersikap
lemah lembut, maka sejak bayi, proses sosialisasi yang dibangun
perempuan mengarah pada sifat tersebut. Proses sosialisasi yang
berlangsung secara mapan pada akhirnya mempengaruhi secara fisik dan
xxvi
psikis hingga pada akhirnya ada kesulitan untuk membedakan apakah
sifat-sifat tersebut merupakan sifat dasar manusia atau hasil dari proses
konstruksi sosial.
Namun, jika kita berpedoman pada keyakinan bahwa sepanjang
sifat-sifat tersebut masih bisa dipertukarkan, maka sifat-sifat tersebut
adalah hasil bentukan masyarakat, dan sama sekali bukanlah kodrat.
Mungkin jika kita ingin menganalisa lebih jauh lagi, secara
tersirat, masyarakat mulai mengakui kepemilikan kualitas feminin dan
maskulin dalam diri tiap manusia (laki-laki maupun perempuan) walaupun
masih ada keterikatan dengan stereotype tentang laki-laki dan perempuan
secara umum. Konsep maskulin dan feminin menurut Gita Rajan
merupakan konsep yang saling terhubung secara inheren satu dengan yang
lain. Seperti yang diungkapkan dalam kutipan berikut ini :
Masculinity and femininity are inherently relational concepts, which have meaning in relation to each other, as a social demarcation and a cultural opposition. This holds regardless of the changing content of the demarcation in different societies and periods of history. Masculinity as an object of knowledge is always masculinity-in-relation. Gita Rajan (Signs: Journal of Women in Culture and Society 2006, vol. 31, no. 4] 2006 by The University of Chicago.)
Seks berkaitan dengan karakteristik biologis dan fisik seperti
genital, organ reproduksi, kromosom dan hormone, yang membedakan
laki laki dan perempuan. Karakteristik biologis ini tidak saling terlepas
satu sama lain sepenuhnya karena ada individu yang memiliki keduanya
dan sebenarnya keduanya tidak saling terlepas satu sama lain tetapi
xxvii
merupakan satu continuum. Karakteristik ini dapat membedakan manusia
atas laki laki dan perempuan (Coleman, 2007). Bila sex merupakan
identitas biologis, gender merupakan identitas sosial atau konstruksi sosial
yang melekat pada laki laki dan perempuan.
Gender berarti menjadi laki laki atau perempuan yang mungkin
saja berbeda dengan seperangkat kromosom yang dimiliki seseorang.
Gender berkaitan dengan peran, hak, tanggung jawab, kemungkinan dan
keterbatasan yang dipunyai laki laki dan perempuan dalam suatu
masyarakat. Gender merupakan atribut sosial yang terkait dengan
bagaimana kita berpikir, apa yang kita yakini tentang apa yang boleh (bisa
dilakukan) atau tidak boleh (tak bisa dilakukan) terkait dengan konsep
sosial tentang maskulin dan feminim.
Gender ditentukan berdasarkan karakteristik sosial yang didapat
melalui sosialisasi, sedangkan sex ditentukan sejak seseorang dilahirkan.
Sex bersifat menetap sedangkan gender (dan peran gender) berubah
sepanjang waktu dan bervariasi tergantung budaya. Gender membentuk
kesempatan yang bisa diraih seseorang dalam hidupnya, peran-peran yang
dapat ia mainkan dan bentuk bentuk hubungan yang dipunyai seseorang
norma sosial yang sangat kuat berpengaruh. Peran Gender diperkuat oleh
institusi sosial yaitu keluarga, sekolah, institusi Negara/tempat kerja dan
lain lain.
Proses konstruksi sosial di atas mendapat kritik dari Profesor Keng
Chua yang menghendaki adanya redefinisi konsep gender karena
xxviii
perkembangan yang terjadi di masyarakat. Seperti yang terungkap dalam
kutipan berikut ini :
In the past, gender was conflated with biological sex, we can now think in terms of gender construction and re-construction. Simone de Beauvoir first hit on this in her seminal work, The Second Sex (1949) which critiques the hierarchical binary structure of gender organisation of her generation. In her thesis that ` a woman is not born, she is made', she paved the way for a re-thinking of gender spaces, roles, ideologies, values, beliefs and behaviour. Gender has come to be thought of not as essentially given, but as socially and culturally constructed, not as hierarchical and fixed but as equitable and fluid.
(Professor Keng Chua, Centre for Media Communications and
Asian Studies, Faculty of Arts,2007 Southern Cross University, PO Box
Jumlah 466.085 504.224 970.309 159.088 152.389 311.477 Sumber : Kota Klaten dalam Angka 2004, BPS Kota Klaten
Jumlah Penduduk Kota Klaten pada tahun 2004 adalah 1.281.786
jiwa terdiri dari 625.173 jiwa laki-laki dan 656.613 jiwa perempuan. Sex
rationya 95,21% yang berarti setiap 100 orang perempuan terdapat 95
orang laki-laki.
lvi
Tabel 2.3 Pegawai Pemerintah Kabupaten Klaten Menurut Unit Kerja Dan Jenis
Kelamin Tahun 2007 :
Jenis Kelamin Bagian/Dinas/Kantor Jumlah Laki-
laki Perempuan
Jumlah
Badan Pengawasan Daerah 38 9 47 Badan Perencanaan Daerah 39 9 48 Badan Kepegawaian Daerah 43 16 59 BKD 40 31 71 Dinas Pekerjaan umum 428 32 460 Dinas Pendidikan dan Kebudayaan 5.783 6.392 12.130 Dipertan dan Ketahanan Pangan 234 84 318 Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi 63 40 103 Diperindag, koperasi dan PNMD 93 36 129 Dispenda 95 45 140 Dinas Kesehatan dan Kesejahteraan Sosial 456 837 1293 Sekretariat Daerah 5 0 5 Sekretariat DPRD 31 7 38 Kantor Informasi dan Kehumasan 33 12 45 Kantor Arsip dan Perpustakaan 12 13 25 Kantor Lingkungan Hidup 11 4 15 Kantor Satpol PP 47 3 50 Kantor Pemberdayaan masyarakat 20 11 31 Kantor Kesbanglinmas 26 10 36 Kantor Perhubungan 42 6 48 Kantor Pariwisata 21 14 35 Kantor Pengelolaan Pasar 143 19 162 Jumlah 7.703 7.630 15.288
Sumber : Kota Klaten dalam Angka 2007, BPS Kota Klaten
Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa perbandingan pegawai
pemerintah dalam dinas kesehatan dan kesejahteraan sosial masih
didominasi oleh jenis kelamin perempuan sebesar 837 (65%) dibanding
dengan jenis kelamin laki-laki yang hanya sebesar 456 (35%).
lvii
B. PROFIL RUSP Dr. SOERADJI TIRTONEGORO
1. Sejarah berdirinya RSUP Dr. Soradji Tirtonegoro
Rumah sakit Umum Pusat (RSUP) Dr. Soeradji Tirtonegoro
didirikan pada tanggal 20 Desember 1927, secara bersama-sama oleh
perkebunan-perkebunan (onderming) milik pemerintah Belanda yang
terdiri dari perkebunan Tembakau, tebu dan rami. Saat itu Rumah Sakit
tersebut dinamakan Dr. SCHEURER HOSPITAL dikelola oleh Zending
Kristen yang antara lain bergerak di bidang kesejahteraan umat. Rumah
Sakit itu dipimpin oleh Dr. Bakker.
Pada Tahun 1942 wilayah Indonesia dikuasai Jepang, dengan
demikian Dr. SCHEURER HOSPITAL juga dikuasai oleh Jepang. Selama
dikuasai oleh Jepang rumah Sakit ini dipimpin oleh Dr. Maeda dan Dr.
Suruta . Setelah Jepang kalah pada tahun 1945, rumah sakit ini di bawah
penguasaan Pemerintah Republik Indonesia dan nama Rumah Sakit
diganti menjadi Rumah Sakit Umum Tegalyoso Klaten, dipimpin oleh Dr.
Soenoesmo. Nama Rumah Sakit diambil dari nama desa dimana rumah
sakit ini berkedudukan yaitu Desa Tegalyoso.
Dalam Masa Peralihan dari Rumah Sakit di bawah pengelolaan
Zending menjadi Rumah Sakit Pemerintah RI masih terdapat beberapa
tenaga dokter asing antara lain Dr. Horner dan Dr. Bakker Yunior. Selama
masa itu semua karyawan RSU Tegalyoso Klaten diberi kesempatan untuk
memilih, tetap bekerja di RSU Tegalyoso untuk kemudian diangkat
lviii
menjadi Pegawai Negeri atau pindah ke rumah sakit Zending yang lain
yaitu RS Bethesda Yogyakarta atau RS jebres Surakarta.
Pada tahun 1952 Dr. Soenoesmo meninggal dunia karena sakit
setelah menjalani operasi appendicitis. Sebagai pengganti pimpinan RSU
Tegalyoso Klaten ditunjuk Dr. Horner didampingi oleh Dr. Bakker
Yunior.
Mulai tahun 1953 RSU Tegalyoso dipimpin oleh Dr. Soepaat
Soemosoedirijo dan sejak tahun 1945 RSU Tegalyoso Klaten secara penuh
telah dikelola oleh departemen Kesehatan RI dan disebut sebagai Rumah
Sakit Umum Pusat Tegalyoso Klaten.
Selama Kurun waktu yang panjang dan setelah melalui berbagai
perubahan kearah manajemen rumah sakit yang sesuai dengan
perkembangan jaman, maka berdasarkan SK Menteri Kesehatan RI No.
1442A/Menkes/SK/XII/1997 tertanggal 20 Desember 1997 nama RSUP
Tegalyoso berganti nama menjadi RSUP Dr. Soeradji Tirtonegoro. Dr.
Soeradji Tirtonegoro merupakan salah satu tokoh pergerakan pada
perkumpulan BOEDI Oetomo dan mengabdi sebagai Dokter di Wilayah
klaten.
a. Profil
1) Nama Rumah Sakit : RSUP Dr. Soeradji Tirtonegoro
2) Alamat : Jl. Dr. RT Soeradji Tirtonegoro No 1
Klaten Jawa Tengah
3) Tanggal Berdiri : 20 Desember 1927
lix
4) Luas Lahan : 50.572 meter persegi
5) Jumlah Jenis Layanan : 20 jenis
6) Jumlah SDM : 764 orang
b. Visi
Visi Rumah Sakit Soeradji Tirtonegoro adalah :
Menjadi Rumah Sakit yang berkualitas dan mandiri dalam pelayanan,
pendidikan, dan penelitian dalam bidang kesehatan tingkat nasional
c. Misi :
1. Menyelenggarakan pelayanan Kesehatan paripurna, berkualitas dan
terjangkau.
2. Menyelenggarakan pendidikan, pelatihan, penelitian dan
pengembangan ilmu bidang kesehatan dengan standar mutu yang
tinggi.
3. Mewujudkan kepuasan pelanggan untuk mencapai kemandirian
rumah sakit.
4. Meningkatkan kesejahteraan karyawan.
d. Tugas dan Fungsi
1. Tugas Pokok
Tugas pokok RSUP Dr. Soeradji Tirtonegoro adalah melaksanakan
upaya kesehatan secara berdaya guna dan berhasil guna dengan
mengutamakan upaya penyembuhan dan pemulihan yang
dilaksanakan secara serasi dan terpadu dengan upaya peningkatan
dan pencegahan serta melaksanakan upaya rujukan.
lx
2. Fungsi
RSUP Dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten mempunyai tugas pokok
sebagaimana tersebut di atas karena Rumah Sakit berfungsi sebagai
a. Menyelenggarakan Pelayanan Medis.
b. Menyelenggarakan pelayanan Penunjang Medis & Non Medis
c. Menyelenggarakan Pelayanan dan asuhan Keperawatan
d. Menyelenggarakan pelayanan rujukan
e. Menyelenggarakan pendidikan dan Pelatihan
f. Menyelenggarakan Penelitian dan Pengembangan
g. Menyelenggarakan Administrasi dan Pengembangan
e. Tujuan
1. Tercapainya produk pelayanan Kesehatan yang berkualitas unggul
sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
2. Terselenggaranya pendidikan, pelatihan dan pengembangan
sehingga dihasilkan SDM yang profesional dan mampu melakukan
penapisan ilmu pengetahuan dan teknologi kedokteran.
3. Terwujudnya kepuasan seluruh pelanggan dengan pengelolaan
Hal tersebut diterjemahkan oleh RSUP Soeradji Tirtonegoro Klaten
dengan membangun misi untuk menjadi rumah sakit yang berkualitas dan
mandiri dalam pelayanan, pendidikan, dan penelitian dalam bidang kesehatan
tingkat nasional. RSUP Soeradji Tirtonegoro Klaten merasa mempunyai
kewajiban untuk memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat tanpa
membedakan kelas sosialnya, baik itu dari golongan miskin ataupun dari
golongan mampu maupun membedakan dari jenis kelamin tertentu.
B. STANDAR PELAYANAN KEPERAWATAN RSUP Dr.Soeradji
Tirtonegoro :
Standar I : Pengkajian Keperawatan
Perawat mengumpulkan data tentang status kesehatan klien secara sistematis,
menyeluruh, akurat, singkat dan berkesinambungan.
Proses :
lxxv
1. Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara, observasi,
pemeriksaan fisik dan mempelajari data penunjang (pengumpulan
data diperoleh dari hasil wawancara, pemeriksaan fisik,
pemeriksaan laboraturium, dan mempelajari klien lainnya)
2. Sumber data adalah klien, keluarga atau orang terkait, tim
kesehatan, rekam medis dan catatan lain.
3. Data yang dikumpulkan, difokuskan untuk mengidentifikasi :
a. Status kesehatan klien saat ini
b. Status kesehatan klien masa lalu
c. Satus fisiologis-psikologis-sosial-spiritual
d. Respon terhadap terapi
e. Harapan terhadap tingkat kesehatan yang optimal
f. Resiko-resiko tinggi masalah
STANDAR II : Diagnosis Keperawatan
Perawat menganalisis data pengkajian untuk merumuskan diagnosis
keperawatan
Proses :
1. Proses diagnosis terdiri dari analisis, interpretasi data, identifikasi
masalah klien dan perumusan diagnosis keperawatan.
2. Komponen diagnosis keperawatan terdiri dari : masalah, penyebab,
dan tanda atau gejala.
3. Bekerjasama dengan klien, dekat dengan klien, petugas kesehatan
lain untuk memvalidasi diagnosis keperawatan
lxxvi
4. Melakukan pengkajian ulang dan merevisi diagnosis data terbaru.
STANDAR III : Perencanaan
Perawat membuat rencana tindakan keperawatan untuk mengatasi
masalah dan meningkatkan kesehatan klien.
Proses :
1. Proses terdiri dari penetapan prioritas masalah, tujuan dan
rencana tindakan keperawatan
2. Bekerjasama dengan klien dalam menyusun rencana tindakan
keperawatan.
3. Perencanaan bersifat individual sesuai dengan kondisi atau
kebutuhan klien.
4. Mendokumentasikan rencana keperawatan.
STANDAR IV : Implementasi
Perawat membuat rencana tindakan yang telah diidentifikasi dalam
rencana asuhan keperawatan
1. Bekerjasama dengan klien dalam melaksanakan tindakan
keperawatan
2. Kolaborasi dengan profesi kesehatan lain untuk meningkatkan
status kesehatan klien.
3. Melakukan tindakan keperawatan untuk mengatasi kesehatan
klien
4. Melakukan supervisi terhadap tenaga pelaksana keperawatan di
bawah tanggung jawabnya
lxxvii
5. Menjadi koordinator pelayanan dan advokasi terhadap klien
untuk mencapai tujuan kesehatan
6. Menginformasikan kepada klien tentang status kesehatan dan
fasilitas-fasilitas kesehatan yang ada
7. Memberikan pendidikan pada klien dan keluarga mengenai
konsep, ketrampilan asuhan diri serta membantu klien
memodifikasi lingkungan yang digunakannya
8. Mengkaji ulang dan merevisi pelaksanaan tindakan keperawatan
berdasarkan respon klien
STANDAR V : Evaluasi
Perawat mengevaluasi kemajuan klien terhadap tindakan dalam
pencapaian tujuan dan merevisi data dasar perencanaan
Proses :
1. Menyusun perencanaan evaluasi hasil dari intervensi secara
komperhensif, tepat waktu dan terus menerus
2. Menggunakan data dasar respon klien dalam mengukur
perkembangan ke arah pencapaian tujuan
3. Memvalidasi dan menganalisis data baru dengan sejawat dan
klien
4. Bekerjasama dengan klien, keluarga untuk memodifikasi
perencanaan.
lxxviii
G. PERAN-PERAN PERAWAT DALAM PELAYANAN KESEHATAN
Perawat, sebagai salah satu profesi yang ada di rumah sakit yang
secara profesional menjadi bagian integral dari pelayanan kesehatan. Perawat
adalah orang yang melakukan proses keperawatan, yakni memberikan
pelayanan pembinaan kesehatan yang diarahkan untuk memelihara dan
meningkatkan kesehatan serta membantu orang dengan cara sebaik mungkin
masalah kehidupan sehari-hari, penyakit dan cidera, cacat maupun kematian.
(Lu Verne Wolf dkk 1984: 4)
Dalam paradigma keperawatan, manusia dipandang sebagai makhluk
bio-sosio-psiko-kultural-spiritual yang utuh dan unik, mandiri, dinamis,
rasional dan berkemampuan beradaptasi untuk memenuhi kebutuhan dasarnya,
agar dapat bertahan hidup dan berkembang. Mereka mengembangkan dirinya
melalui proses interaksi yang membentuk pola berfikir, keyakinan dan
perilaku berupa nilai dan budaya. Proses interaksi ini tidak bisa dipisahkan
dari lingkungan yang ada di sekitarnya.
Menurut Nursalam (2001:04) ada dua komponen yang mempengaruhi
perilaku manusia dalam berinteraksi. Pertama, Komponen internal, seperti :
faktor genetik, struktur anatomis, fisiologis, psikologis, nilai, keyakinan serta
faktor internal lain yang potensial mempengaruhi perubahan sistem manusia.
Kedua, Komponen eksternal seperti Faktor eksternal terdiri dari : keadaan
fisik, demografis, ekologis, hubungan interpersonal dan nilai sosial budaya
dan penerapannya dalam kehidupan sehari-hari, serta faktor eksternal lain
yang potensial mempengaruhi perubahan pada sistem manusia.
lxxix
Dalam konteks keperawatan, kedua komponen tersebut memiliki
pengaruh terhadap kesehatan. Sehat dalam hal ini tidak hanya dipandang
sebagai suatu keadaan yang terbebas dari penyakit, namun lebih kepada
keseimbangan bio-psiko-sosio-spiritual yang optimum, yang dapat
meningkatkan kemampuan dan potensi manusia di masyarakat.
Keperawatan merupakan suatu bentuk pelayanan profesional yang
merupakan bagian integral dari pelayanan kesehatan, didasarkan pada ilmu
dan kiat keperawatan, berbentuk pelayanan bio-psiko-sosiokultural-spiritual
yang komprehensif, ditujukan kepada individu, keluarga, kelompok dan
komunitas, baik sakit maupun sehat serta mencakup seluruh siklus hidup
manusia. Aktivitasnya berupa bantuan yang diberikan karena adanya
kelemahan fisik dan atau mental, keterbatasan pengetahuan serta kurangnya
kemauan melaksanakan kegiatan sehari-hari secara mandiri.
Menurut Kozier Barbara (Nursalam, 2002:8), peran yang dibangun
perawat, secara garis besar digambarkan sebagai berikut:
1. Care Giver
Sebagai care giver, seorang perawat harus memiliki kemampuan untuk :
a. Memberikan pelayanan keperawatan kepada individu, keluarga,
kelompok atau masyarakat sesuai diagnosis masalah yang terjadi mulai
dari masalah yang bersifat sederhana sampai pada masalah yang
kompleks.
b. Memperhatikan individu dalam konteks sesuai kehidupan klien.
lxxx
Perawat harus memperhatikan klien berdasarkan kebutuhan signifikan
dari klien. Perawat menggunakan proses keperawatan untuk
mengidentifikasi diagnosis keperawatan mulai dari masalah fisik
sampai pada masalah psikologis.
2. Conselor
Konseling adalah proses membantu klien untuk menyadari dan mengatasi
tekanan psikologis atau masalah sosial untuk membangun hubungan
interpersonal yang baik dan untuk meningkatkan perkembangan
seseorang. Didalamnya diberikan dukungan emosional dan intelektual.
Dalam hal ini, peran perawat ditunjukkan dengan :
a. Mengidentifikasi perubahan pola interaksi klien terhadap keadaan
sehat sakitnya.
b. Meningkatkan kemampuan beradaptasi guna merancang metode
berinteraksi.
c. Memberikan konseling atau bimbingan penyuluhan kepada individu
atau keluarga dalam mengintegrasikan pengalaman kesehatan dengan
pengalaman yang lalu.
d. Pemecahan masalah di fokuskan pada masalah keperawatan
3. Education
Peran berperan sebagai seorang pendidik, layaknya seorang guru. Pada
intinya, aktivitas yang dilakukan adalah memberikan pengetahuan dan
kesadaran baru yang mampu merubah perilaku dalam bidang kesehatan.
lxxxi
Nursalam juga menjabarkan peran perawat dengan singkatan CARE. Ia
mendeskripsikan konsep CARE sebagai berikut.
C: Communication. Seorang perawat harus memiliki kemampuan
berkomunikasi secara lengkap, akurat dan cepat dan harus didukung fakta
yang memadai.
A: Aktivity. Aktivitas yang dilaksanakan adalah memberikan asuhan kepada
klien yang ditunjang oleh sikap kesungguhan dan empati serta
bertanggungjawab terhadap setiap tugas yang diembannya. Selain itu, ia juga
harus bisa membangun kerjasama dengan teman sejawat dan tenaga kesehatan
lainnya.
R : Review. Prinsip utama dalam peran ini adalah moral dan etika
keperawatan. Hal ini dilakukan untuk menghindari terjadinya kesalahan-
kesalahan yang bisa berakibat fatal bagi konsumen dan profesi keperawatan.
Karena itu, seorang perawat harus mampu menjaring berbagai informasi dan
mengikuti perubahan yang terjadi dalam hal pelayanan kesehatan yang
senantiasa berkembang.
E : Education. Seorang perawat dituntut untu berkomitmen terhadap
profesinya dengan terus menerus menggali ilmu melalui pendidikan formal
dan informal sampai pada suatu keahlian tertentu.
Tugas-tugas perawat juga diatur dalam Keputusan Menteri Negara
Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor : 94/Kep/M.PAN/II/2001. Dalam
pasal 4 disebutkan bahwa tugas pokok perawat adalah memberikan pelayanan
keperawatan berupa asuhan keperawatan / kesehatan kepada individu ,
lxxxii
keluarga , kelompok dan masyarakat dalam upaya kesehatan, pencegahan
penyakit , penyembuhan penyakit , dan pemulihan serta pembinaan peran serta
masyarakat dalam rangka kemandirian dibidang keperawatan / kesehatan.
Ketika menjalankan perannya dalam pelayanan kesehatan, perawat
dituntut untuk memiliki komitmen kerja yang tinggi. Komitmen terdiri dari
tiga komponen. Keyakinan yang kuat terhadap nilai-nilai dan tujuan profesi,
kesediaan untuk berusaha dengan sungguh-sungguh demi kepentingan profesi
dan berkeinginan untuk mempertahankan profesinya. Dari komponen tersebut,
motivasi menjadi faktor penting seseorang memilih untuk menjalankan
profesinya.
Dalam profesi perawat, ada bermacam motivasi yang mendasari para
perawat memilih profesi mereka. Seperti yang terungkap dalam wawancara
yang dilakukan peneliti terhadap beberapa perawat di Rumah sakit klaten.
“Latar Belakang keluarga saya itu kan kurang mampu. ”Saya sejak dari dulu seneng jadi perawat dan suka melihat seorang perawat yang selalu membantu orang lain dalam kesusahan, serta panggilan jiwa saya untuk selalu berbuat pahala di dunia ini kan kata orang jawa urip nyang ndonyo ki gur mampir ngombe alias seumur jagung” (Warsana) Saya itu merasa terpanggil jiwanya untuk membantu sesama manusia yang membutuhkan pertolongan, dalam keluarga saya itu sangat terbiasa dan di didik untuk selalu menolong orang lain. Sedih saya kalau melihat penderitaan orang lain dan mungkin ini yang mungkin saya bisa perbuat untuk sedikit meringankan beban mereka, wis dianggep menghibur orang lain tentunya sesuai dengan segala kemampuan yang kita miliki. Menjadi Perawat itu sudah sejak kecil menjadi cita-cita yang saya impikan. (Ibu Puji ) Pokoknya saya pengen mengabdi kepada keluarga, masyarakat serta Nusa dan Bangsa ini, disamping merawat itu sebuah pengabdian bisa juga untuk membantu keluarga mencari nafkah. (Ibu Tri Maryanti) Kalau saya ditanya kenapa saya memilih untuk menjadi perawat mungkin dulu awalnya saya itu sedikit mendapat paksaan dari keluarga saya untuk
lxxxiii
masuk ke sekolah perawat karena alasannya sangat rasional. Perempuan itu pantesnya jadi perawat kata ibu dan Bapak saya dan akhirnya setelah saya rasakan ada benarnya juga bahwa perempuan itu lebih bisa untuk menjadi perawat karena rata-rata perempuan itu sabar dan penuh rasa sayang. (Ibu Suyatun) Seolah ada panggilan jiwa yang saya rasakan yang bisa menuntun menjadi seorang perawat. Sebagai seorang Laki-laki saya merasa tertantang untuk ikut membantu orang sakit. Ada sebuah kebanggan ketika saya bisa ikut membantu menyembuhkan sesama manusia. (Joko Mulyono) Dulu desa saya itu banyak orang sakit dan waktu itu ingin sekali rasanya ikut membantu akan tetapi saya tidak sanggup dan nggak tahu sama sekali bagaimana cara merawat orang yang sedang sakit. Nah dari situ awalnya saya merasa termotivasi untuk menajadi seorang perawat. (Bapak Agus) Ya pokoknya saya itu seneng berbuat baik pada siapapun kapanpun dan dimanapun. Dulu waktu kecil {agak lupa umur berapa} saya sakit dirawat selama 30 hari, dari situ muncul keinginan saya untuk menjadi seorang perawat. (Fitri Nuraini) Dulu kan profesi menjadi seorang perawat kan masih jarang dan masih banyak dibutuhkan. Ya dari keluarga saya dibebaskan untuk memilih profesi apa saja yang penting bisa cepet untuk menyelesaikan pendidikan dan mendapatkan uang walaupun hanya cukup untuk bertahan hidup.ha...ha...ha... (Jarot) Agama mengajarkan kita untuk selalu mencari kebaikan di dunia ini, ya ibadah kan nggak hanya dengan Solat kan bisa juga dengan berbuat baik dengan sesamanya.{habluminannas}. Cari uang yang halal, dan dari kecil saya pengennya merawat siapapun tapi sebenernya saya pengen jadi dokter tapi berhubung nggak ada biaya ya jadi perawat. (Tatik Handayani) Jadi Perawat ya karena orang tua yang nyuruh saya untuk menjadi perawat mas, awalnya saya nggak begitu suka tapi lama-lama saya malah jadi seneng dan merasa cocok menjadi perawat. Mungkin sudah kodrat dari yang di atas kalau perempuan itu lebih peka dan telaten untuk melakukan pekerjaan ini. (Sri Wahyudati)
Secara teoritis peran perawat dapat dikatakan mendukung teori aksi
yang terdapat dalam paradigma definisi sosial yang menekankan pada
tindakan sosial karya Max Weber yang diklasifikasikan dalam 4 (empat) tipe
tindakan yaitu rasional instrumental, rasionalitas yang berorientasi nilai,
lxxxiv
tindakan tradisional dan tindakan afektif. Pendekatan ini menekankan kepada
tindakan dari perawat baik laki-laki maupun perawat perempuan dalam
menjalankan perannya yang dipengaruhi oleh persepsi mereka terhadap
pekerjaan sebagai perawat dan juga pada budaya patriarki yang masih melekat
kuat di dalamnya.
Dalam hal ini peran perawat mempunyai kecenderungan kepada tipe
tindakan rasionalitas berorientasi nilai dan mengarah kepada tindakan
tradisional. Hal ini dapat dilihat dari niat, motif dan orientasi dari masing-
masing perawat.
H. PERAWAT DALAM PERSPEKTIF GENDER
a. Sejarah Dunia Keperawatan
Dunia keperawatan jika dilihat dari perpektif gender didominasi
oleh perempuan. Hal ini diakui juga oleh beberapa perawat yang ada di
RSUP Dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten. Menurut mereka, dunia
keperawatan memang identik dengan dunia perempuan. Karena tugas-
tugas yang dijalankan lebih dekat dengan dunia perempuan. Misalnya saja,
untuk melakukan tugas keperawatan, diperlukan ketelititan, ketelatenan
dan kesabaran, sebuah sikap dimana perempuan dianggap memiliki nilai
lebih dibandingkan dengan laki-laki. Bahkan ada yang mengatakan bahwa
tugas keperawatan bermula dari naluri keibuan (mother instinct).
Jika kita memperhatikan sejarah perkembangan dalam dunia
perawat, perempuan memang terlihat begitu dominan dalam dunia
lxxxv
keperawatan. Pada awal berkembangnya agama Kristen, dikenal sebuah
lembaga diakones, yakni pembantu pendeta dalam gereja, memberi
nasehat, mengobati orang sakit serta mengunjungi tempat tawanan.
Diakones menjadi satu lembaga wanita yang pertama dari organisasi
agama Kristen yang bekerja dan mengembangkan pekerjaan perawatan.
Kemudian, pada era pemerintahan Konstantin yang Agung sekitar
tahun 325 M, dibangun sebuah bangunan khusus untuk menampung
orang-orang sakit yang membutuhkan pertolongan dan perawatan, yakni
xenodochoion atau lebih dikenal dengan nama hospital. Pada era tersebut,
semua yang bertugas untuk memberikan perawatan terhadap orang sakit
adalah para wanita (non).
Kemudian, pada masa-masa perang, seperti perang ketika zaman
perang salib, dunia keperawatan semakin berkembang dengan banyaknya
orang sakit dan terlukan akibat perang. Dan pada era ini, perawat diambil
dari orde-orde keagamaan dan para wanita istri dari prajurit yang ikut
berperang.
Tokoh-tokoh yang menonjol dalam perkembangan dunia
keperawatan juga para perempuan. Di dunia barat, dikenal seorang tokoh
yang mempelopori dunia keperawatan modern seperti Genevieve Bouzuet,
Perawat Perancis pada masa setelah revolusi Perancis yang memelopori
pekerjaan perawat yang dijalankan oleh orang-orang yang tidak terikat
dengan ordo keagamaan. Kemudian, ada juga Florence Nightingale
lxxxvi
(1820), seorang Perawat Inggris yang memelopori dunia keperawatan
modern dengan pemikiran-pemikirannya seperti :
i. Menetapkan standar manajemen rumah sakit
ii. Menegaskan bahwa nutrisi merupakan bagian penting dari asuhan
keperawatan
iii. Meyakinkan bahwa akupasional merupakan suatu terapi bagi orang
sakit
iv. Mengidentifikasi kebutuhan personal pasien dan peran perawat untuk
memenuhinya
v. Mengembangkan standar okupasi bagi pasien wanita
vi. Mengembangkan pendidikan keperawatan
vii. Menetapkan 2 komponen keperawatan yaitu kesehatan dan penyakit
viii. Meyakinkan bahwa keperawatan berdiri sendiri dan berbeda dengan
profesi kedokteran.
ix. Menekankan kebutuhan pendidikan lanjut bagi perawat
Di Dunia Islam, keperawatan juga mengenal nama Rufaidhah binti
Sa’ad, seorang perempuan pada masa Nabi Muhammad yang
mengembangkan keperawatan di dunia Islam. Rufaidah adalah public
health nurse dan social worker, yang menjadi inspirasi bagi profesi
perawat di dunia Islam. Ia mengabdikan dirinya untuk merawat orang sakit
dengan membangun tenda di luar masjid Nabawi. Dan ketika perang, ia
mendirikan Rumah sakit lapangan dan melatih para wanita muslim untuk
lxxxvii
merawat orang-orang yang terluka saat perang. Beberapa pengaruhnya
dalam dunia keperawatan adalah sebagai pelopor sekolah keperawatan di
dunia Islam, penyokong advokasi pencegahan penyakit (preventive care)
dan penyebaran pentingnya penyuluhan kesehatan (health education).
b. Tugas Perawat dalam perspektif gender
Seperti yang telah disebutkan di atas, keperawatan merupakan
suatu bentuk pelayanan profesional yang merupakan bagian integral dari
pelayanan kesehatan. Tugas-tugas keperawatan secara tegas diatur dalam
Keputusan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor :
94/Kep/M.PAN/II/2001. Dalam pasal 4 disebutkan bahwa tugas pokok
perawat adalah memberikan pelayanan keperawatan berupa asuhan
keperawatan / kesehatan kepada individu , keluarga , kelompok dan
masyarakat dalam upaya kesehatan, pencegahan penyakit , penyembuhan
penyakit , dan pemulihan serta pembinaan peran serta masyarakat dalam
Sikap profesionalitas para perawat terlihat dari kesadaran mereka
untuk tidak membedakan tugas-tugas keperawatan dari sisi gender. Seperti
yang tergambar dari pernyataan-pernyataan berikut :
Semuanya sama saja mas, antara perawat laki-laki dan perawat perempuan dimana harus menjalankan segala tugas dan tanggung jawab dalam bidangnya. (Warsana) Soal tugas keperawatan menurut pandangan saya semua sama baik perawat laki-laki maupun perempuan. (Tri Maryanti) Kalau pembedaan secara kegiatan saya rasa tidak ada mas, mungkin yang ada hanya etika saja. (Suyatun).
lxxxviii
Secara tegas tidak dibedakan, tapi sebagai manusia ciptaan Allah yang dikarunia oleh kemampuan masing-masing kan berbeda. (Endang Wuryaningsih ,AMK, S. Pd. K)
Namun dalam praktek di lapangan, pekerjaan dijalankan secara
luwes dengan mengutamakan kualitas layanan. Pemberian pelayanan
dengan memperhatikan faktor gender dilakukan dengan alasan
profesionalitas.
Kerja tu kan luwes tho mas, jadi ya bisa minta tolong sama rekan perawat yang lain apabila nggak mampu untuk melakukan tugasnya. Misalnya kebetulan ada pasien perempuan meminta kami untuk memandikannya, ya minta tolong sama perawat wanitanya. (Warsana) Kalau dalam proses perawatannya memang kadang-kadang ada pasien yang meminta untuk dirawat oleh jenis kelamin tertentu. Misalnya seperti yang selama ini saya alami saya sering memandikan pasien [sibin] baik laki maupun pasien perempuan. (Tri Maryanti) Dalam beberapa hal saya perempuan tidak mampu untuk melakukan tugas maka saya minta tolong pada perawat yang lain. (Suyatun) ya dalam prakteknya tetep yang laki-laki seringkali cenderung untuk membantu dalam hal-hal yang berat-berat. Misalnya seperti angkat pasien. (Endang Wuryaningsih ,AMK, S. Pd. K)
Terkait dengan pelayanan yang diberikan, para pasien memiliki persepsi
yang berbeda terhadap pelayanan yang dilakuka para perawat di RSUP Dr.
Soeradji Tirtonegoro Klaten. Seperti yang tergambar dalam pernyataan-
pernyataan berikut :
Cukup memuaskan, sampai saat ini nggak ada masalah berarti. Para perawatnya juga lumayan baik mas dan mereka semua cukup ramah untuk melayani kami.(Bagus) Alhamdulillah baik sekali, doktere penak isoh dijak gojek yo lucu dadi asyik nang kene cepet mari. Perawatnya pun juga baek2 baek. Tapi kadang-kadang Beda juga mas. kalau sama perawat perempuan lebih telaten dan sabar melayani kalau laki-laki galak, dan pendiam,
lxxxix
(Tri Jati S) Secara umum yang saya rasakan cukup bisa dikatakan agak baek. Namun dalam beberapa hal masih ada pembedaan yang sangat jelas bahwa pasien yang nggak punya duit diacuhkan begitu saja. (Joko W) Secara umum, semua pasien baik laki-laki mapun perempuan
mendapatkan perlakuan yang sama dalam pelayanan kesehatan. Namun
dalam beberapa hal faktor gender juga berpengaruh terhadap pemberian
pelayanan. Misalnya saja persoalan memandikan pasien. Dalam
pemahaman para perawat, mereka mengungkapkan bahwa mereka harus
profesional dalam pekerjaan. Sehingga ketika diharuskan memandikan
pasien dengan jenis kelamin yang berbeda dengan dirinya, mereka tidak
ada masalah. Namun terkadang para pasien yang meminta untuk
dimandikan oleh sesama jenis mereka dengan alasan persoalan etika.
c. Posisi Struktural Perawat di Rumah Sakit
i. Perbandingan jumlah perawat berdasarkan gender
Jika dillihat dari segi kuantitas, di RSUP Dr. Soeradji Tirtonegoro
Klaten, jumlah perawat laki-laki masih lebih sedikit jika dibandingkan
dengan perawat perempuan. Data Perawat Laki-Laki dan Perempuan
menurut Tingkat Pendidikan di RS. Soeradji Tirtonegoro Klaten, Data
Per Februari 2007
Tingkat Pendidikan Laki-Laki Perempuan S1 Keperawatan 7 11 D3 Keperawatan 98 -
Sumber : Data Bidang Perawat RSUD Soeradji Tirtonegoro Klaten
Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa komposisi Perawat Laki-laki
masih kecil jika dibandingkan dengan perawat perempuan 39,06%
untuk perawat laki-laki dan 66,04% untuk perawat perempuan.
ii. Struktur Pejabat di Bagian Keperawatan di Rumah Sakit
Di RSUP Dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten, perawat dimasukan dalam
bidang tersendiri untuk memudahkan dalam hal pengelolaan, yakni
Bidang Keperawatan.
Pembentukan struktur organisasi memberikan tingkat akses informasi
dan kewenangan yang berbeda pada tiap masing-masing perawat.
Seseorang yang menduduki jabatan di struktur diatas tentu saja
memiliki akses informasi dan kewenangan lebih dibandingkan dengan
yang ada dibawahnya. Dan konsekuensi logisnya, para perawat yang
menjabat dalam struktur memiliki tanggungjawab yang lebih dalam
proses pelayanan kesehatan.
Para perawat di RSUP Dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten menyadari
bahwa jabatan dalam struktur organisasi menentukan besar kecilnya
akses informasi, kewenangan dalam menetapkan kebijakan. Seperti
yang tergambar dalam petikan berikut.
xci
Akses semua punya mas, tinggal besar kecilnya pengaruh yang dia miliki. Kebijakan tentang Kenaikan Pangkat seorang Perawat.(Puji) Terus terang saya kurang mengamati sapa saja yang punya akses ke para atasan, kalau yang saya tahu hanya beberapa yang mampu dan punya akses ke pembuat kebijakan, misalnya kepala bagian,kepala ruang. (Warsana)
Para kepala ruang yang langsung punya akses terhadap pembuat kebijakan, apalagi sekarang kan era otonomi daerah jadi perawat dituntut untuk lebih memahami kebijakan dan sebisa mungkin untuk mengontrolnya. (Endang Wuryaningsih ,AMK, S. Pd. K) Dalam penentuan struktur organisasi, yang diperhatikan adalah prestasi
kerja dan lama pengabdian serta golongan kerja, karena para perawat
tercatat sebagai Pegawai Negeri Sipil. Namun dalam kenyataannya
struktur kelembagaan perawat di RSUP Soeradji Tirtonegoro Klaten
menempatkan perempuan dalam posisi strategis lembaga. Hal seperti
ini terjadi karena stereotip bahwa dunia perawat lebih dekat dengan
kaum perempuan menjadi salah satu alasannya. Seperti yang tergambar
dalam pernyataan berikut :
Hanya dunia keperawatan itu kan punya kecenderungan lebih dekat dengan para perawat perempuan. Mas tentunya paham bagaimana sejarah tentang kemunculan perawat itu sendiri baik versi Islam maupun versi barat. Di indonesia khususnya jawa posisi perempuan lebih dipandang bisa dan mampu untuk mengemban status perawat. ini bisa dilihat dalam ruangan ini (bagian keperawatan) kebanyakan mereka perempuan. (Endang Wuryaningsih ,AMK, S. Pd. K)
xcii
BAB IV
KESETARAAN GENDER DALAM PELAYANAN KESEHATAN
Pelayanan kesehatan merupakan salah satu bentuk pelayanan publik yang
menjadi hak-hak dasar yang dimiliki warga negara. Seperti yang tertuan dalam
UU Kesehatan nomor 23 Tahun 1992, disebutkan bahwa masyarakat berhak untuk
mendapatkan pelayanan kesehatan yang layak untuk meningkatkan derajat
kesehatannya.
Rumah sakit merupakan salah satu komponen vital dalam pemberian
pelayanan kesehatan terhadap masyarakat. Menurut sistem Kesehatan Nasional,
Rumah Sakit mempunyai fungsi utama menyediakan dan menyelenggarakan
upaya kesehatan yang bersifat penyembuhan dan pemulihan pasien. Akan tetapi
walaupun bersifat sosioekonomi namun diusahakan agar bisa mendapatkan suatu
keuntungan dengan cara pengelolaan yang profesional dengan memperhatikan
prinsip-prinsip ekonomi. Keputusan Menkes RI Nomor 983/SK/Menkes/XI/92
menyebutkan bahwa rumah sakit umum mempunyai misi memberikan pelayanan
kesehatan yang bermutu dan terjangkau oleh masyarakat dalam rangka
meningkatkan derajat kesehatan masyarakat.
Di dalam rumah sakit antara dokter, perawat dan pasien termasuk
keluargan pasien merupakan hubungan yang sangat kompleks terus berkembang
sesuai dengan tata nilai, dan norma dalam masyarakat. Dari tenaga kesehatan yang
ada, perawat adalah tenaga yang paling banyak kontak dengan pasien. Mereka
xciii
memberikan pelayanan pembinaan kesehatan yang diarahkan untuk memelihara
dan meningkatkan kesehatan serta membantu orang dengan cara sebaik mungkin
masalah kehidupan sehari-hari, penyakit dan cidera, cacat maupun kematian.
Dalam paradigma keperawatan ada dua komponen yang mempengaruhi
perilaku manusia dalam berinteraksi. Pertama, Komponen internal, seperti : faktor
genetik, struktur anatomis, fisiologis, psikologis, nilai, keyakinan serta faktor
internal lain yang potensial mempengaruhi perubahan sistem manusia. Kedua,
Komponen eksternal seperti Faktor eksternal terdiri dari : keadaan fisik,
demografis, ekologis, hubungan interpersonal dan nilai sosial budaya dan
penerapannya dalam kehidupan sehari-hari, serta faktor eksternal lain yang
potensial mempengaruhi perubahan pada sistem manusia. Sehat dalam hal ini
tidak hanya dipandang sebagai suatu keadaan yang terbebas dari penyakit, namun
lebih kepada keseimbangan bio-psiko-sosio-spiritual yang optimum, yang dapat
meningkatkan kemampuan dan potensi manusia di masyarakat. Dari paradigma
tersebut tergambar posisi penting perawat dalam usaha peningkatan pelayanan
kesehatan bagi masyarakat. Nursalam (2001:04)
A. PROFESI PERAWAT DALAM PERSPEKTIF GENDER
Perawat, di dalam masyarakat dianggap sebagai profesi yang cocok
untuk perempuan. Adanya konsep gender, menyebabkan ada jenis pekerjaan
yang hanya dianggap cocok untuk perempuan. Misalnya karena perempuan
dianggap tekun, sabar, teliti. Di samping perawat, ada pula pekerjaan-
pekerjaan lain seperti , guru, penerima tamu, sekretaris, atau pembantu rumah
xciv
tangga. Pekerjaan-pekerjaan tersebut dipandang masih merupakan
perpanjangan tangan dari pekerjaan rumah tangga.
Stereotype terhadap profesi keperawatan sebagai pekerjaan yang cocok
untuk perempuan ini diperkuat dengan faktor sejarah yang mewarnai profesi
ini. Jika kita melihat sejarah perkembangan keperawatan, maka pada awal
kemunculannya hingga sekarang peran perempuan begitu dominan dalam
pengembangan profesi ini.
Pada awal berkembangnya agama Kristen, dikenal sebuah lembaga
diakones, yakni pembantu pendeta dalam gereja, memberi nasehat, mengobati
orang sakit serta mengunjungi tempat tawanan. Diakones menjadi satu
lembaga wanita yang pertama dari organisasi agama Kristen yang bekerja dan
mengembangkan pekerjaan perawatan.(www.PPNI.co.id “sejarah
keperawatan”)
Kemudian, pada era pemerintahan Konstantin yang Agung sekitar
tahun 325 M, dibangun sebuah bangunan khusus untuk menampung orang-
orang sakit yang membutuhkan pertolongan dan perawatan, yakni
xenodochoion atau lebih dikenal dengan nama hospital. Pada era tersebut,
semua yang bertugas untuk memberikan perawatan terhadap orang sakit
adalah para wanita (non).
Kemudian, pada masa-masa perang, seperti perang ketika zaman
perang salib, dunia keperawatan semakin berkembang dengan banyaknya
orang sakit dan terluka akibat perang. Dan pada era ini, perawat diambil dari
orde-orde keagamaan dan para wanita istri dari prajurit yang ikut berperang.
xcv
Tokoh-tokoh yang menonjol dalam perkembangan dunia keperawatan
juga para perempuan. Di dunia barat, dikenal seorang tokoh yang
mempelopori dunia keperawatan modern seperti Genevieve Bouzuet, Perawat
Perancis pada masa setelah revolusi Perancis yang memelopori pekerjaan
perawat yang dijalankan oleh orang-orang yang tidak terikat dengan ordo
keagamaan. Kemudian, ada juga Florence Nightingale (1820), seorang
Perawat Inggris yang memelopori dunia keperawatan modern dengan
pemikiran-pemikirannya seperti :
g. Menetapkan standar manajemen rumah sakit
h. Menegaskan bahwa nutrisi merupakan bagian penting dari asuhan
keperawatan
i. Meyakinkan bahwa akupasional merupakan suatu terapi bagi orang sakit
j. Mengidentifikasi kebutuhan personal pasien dan peran perawat untuk
memenuhinya
k. Mengembangkan standar okupasi bagi pasien wanita
l. Mengembangkan pendidikan keperawatan
m. Menetapkan 2 komponen keperawatan yaitu kesehatan dan penyakit
n. Meyakinkan bahwa keperawatan berdiri sendiri dan berbeda dengan
profesi kedokteran.
o. Menekankan kebutuhan pendidikan lanjut bagi perawat
Di Dunia Islam, keperawatan juga mengenal nama Rufaidhah binti
Sa’ad, seorang perempuan pada masa Nabi Muhammad yang
xcvi
mengembangkan keperawatan di dunia Islam. Rufaidah adalah public health
nurse dan social worker, yang menjadi inspirasi bagi profesi perawat di dunia
Islam. Ia mengabdikan dirinya untuk merawat orang sakit dengan membangun
tenda di luar masjid Nabawi. Dan ketika perang, ia mendirikan Rumah sakit
lapangan dan melatih para wanita muslim untuk merawat orang-orang yang
terluka saat perang. Beberapa pengaruhnya dalam dunia keperawatan adalah
sebagai pelopor sekolah keperawatan di dunia Islam, penyokong advokasi
pencegahan penyakit (preventive care) dan penyebaran pentingnya
penyuluhan kesehatan (health education).
Jika memperhatikan sejarah di atas, awal mula kemunculan profesi
perawat baik di dunia Barat maupun Islam, dipelopori oleh para perempuan.
Dan tokoh-tokoh yang berpengaruh dalam pengembangan profesi ini juga para
perempuan.
Dalam proses sejarah tersebut, misalnya, ketika dilihat dari masa
perang pada sejarah perawat dalam dunia Barat dan Islam, perempuan
menempati posisi di garis belakang untuk membantu para laki-laki dalam
berperang. Artinya, perempuan dianggap tidak pas ketika ikut mengangkat
senjata dalam berperang. Mereka lebih dibutuhkan di garis belakang untuk
menyediakan makanan bagi pasukan serta merawat para korban yang terluka
akibat peperangan.
Proses sejarah tersebut bisa dipandang sebagai sebuah proses
konstruksi sosial yang membangun pandangan masyarakat terhadap profesi
perawat. Dalam perspektif teori fungsional struktural, masyarakat merupakan
xcvii
suatu sistem sosial yang terdiri atas bagian-bagian atau elemen-elemen yang
saling berkaitan dan saling menyatu dalam keseimbangan. Bagian-bagian
tersebut bisa berupa agama, pendidikan, struktur politik, keluarga dan
sebagainya. Asumsi dasar dalam teori ini adalah bahwa setiap struktur dalam
sistem sosial, fungsional terhadap yang lainnya. (Ritzer, 2004 : 21)
Terbentuknya perbedaan-perbedaan gender bisa disebabkan oleh
banyak hal, diantaranya adalah proses sosialisasi dan bahkan proses konstruksi
sosial lewat berbagai interaksi yang terjadi dalam masyarakat. Pembentukan
perbedaan-perbedaan gender dibentuk secara sosial dan kultural, misalnya
lewat agama dan kekuasaan. Proses panjang tersebut kemudian membentuk
persepsi manusia yang menganggap perbedaan gender adalah sebuah kodrat
yang harus diterima, seolah-olah perbedaan tersebut terjadi secara biologis dan
tak dapat diubah. Persepsi manusia tentang gender kemudian menentukan
peran-peran tertentu yang dianggap pantas atau tidak pantas disandang
perempuan atau laki-laki di dalam masyarakat.
Faktor sejarah bisa dipandang sebagai sebuah dialektika sosial
masyarakat. Sedangkan stereotype merupakan bentuk pelabelan terhadap
suatu kelompok dan atau jenis pekerjaan tertentu yang terbentuk dari
konstruksi sosial.
Dialektika sejarah yang berkembang dalam profesi ini kemudian
membentuk stereotype bahwa profesi keperawatan merupakan profesi
dipandang lebih cocok untuk para perempuan ketimbang laki-laki. Akibat
xcviii
adanya stereotype ini, dalam dunia keperawatan kemudian didominasi oleh
para perempuan.
Stereotype seperti ini muncul dalam persepsi yang ada pada perawat di
RSUP Soeradji Tirtonegoro Klaten. Seperti yang tergambar dalam pernyataan
berikut.
Dunia keperawatan itu kan punya kecenderungan lebih dekat dengan para perawat perempuan. Mas tentunya paham bagaimana sejarah tentang kemunculan perawat itu sendiri baik versi Islam maupun versi barat. (Endang Wuryaningsih ,AMK, S. Pd. K) Secara teori persepsi yang muncul dalam organisasi keperawatan ini
mempunyai kecenderungan kepada tipe tindakan tradisional, karena apa yang
mereka lakukan seringkali bersifat non rasional dalam arti bahwa mereka
seringkali dapat menerima setiap bentuk ketidakadilan dan diskriminasi
terhadap salah satu jenis kelamin. Dalam hal ini perawat laki-laki seringkali
menjadi korban karena dengan mendasarkan pada penerimaan norma-norma
tingkah laku individu dengan dalih perawat hanya bisa dilakukan oleh jenis
kelamin perempuan dikarenakan sesuai dengan stereotipe yang muncul bahwa
seorang perawat haruslah lemah lembut luwes dan berperasaan yang ini hanya
dimiliki oleh jenis kelamin perempuan.
Persepsi yang muncul dari perawat tersebut merupakan bentukan
konstruksi sosial dari proses sejarah yang berkembang dan dipelajari hingga
kini. Artinya, pembelajaran sejarah tentang keperawatan yang menunjukkan
dominasi para perempuan memperkuat stereotype bahwa profesi perawat
merupakan profesi “milik” perempuan.
xcix
Menurut Novarra, jika seorang perempuan harus bekerja, maka apa
yang dikerjakannya di luar rumah tidak jauh dari perannya dalam rumah
tangga. Bahkan di awal era kesetaraan gender, masih ada pendapat bahwa tabu
hukumnya bagi kaum perempuan untuk bergerak di bidang politik atau bidang
publik, jika perannya tidak sebangun dengan perannya dalam rumah tangga.
Perbedaannya terletak pada lokasi kerja, yaitu di luar rumah, dan dengan
bekerja di luar rumah perempuan pekerja mendapat imbalan atas jasanya.
(www.jurnalperempuan.com)
Dialektika sejarah yang berkembang dalam dunia keperawatan dan
masyarakat pada dasarnya juga berhubungan dengan relasi kuasa. Relasi kuasa
ini tampak dari sejarah ketika kaisar konstantin mendirikan sebuah rumah
sakit, ia mempekerjakan perawat yang seluruhnya adalah perempuan.
Akibat dari relasi kuasa ini kemudian memarginalisasikan peran
perempuan di ranah publik. Hanya ada perkerjaan-perkerjaan tertentu yang
dipandang pantas disandang oleh perempuan. Dan pekerjaan tersebut tidak
jauh dari peran mereka dalam rumah tangga. Profesi perawat dipandang
sebagai profesi yang cocok untuk perempuan karena memerlukan kelembutan,
kesabaran dan melibatkan emosi, sifat-sifat yang dianggap lebih dekat dengan
para perempuan. Adanya relasi kekuasaan ini kemudian mebentuk struktur
pengetahuan masyarakat yang pada akhirnya memberikan label bahwa
pekerjaan perawat adalah pekerjaan perempuan. Kesempatan kerja yang lain
seperti dalam bidang politik dan pemerintahan lebih mengutamakan kaum
laki-laki karena perempuan dianggap tidak pandai memimpin.
c
Dalam sebuah rumah tangga, di dunia ini didominasi oleh pemahaman
bahwa pemimpin dalam sebuah keluarga adalah laki-laki. Pemahaman ini
kemudian meluas ke ranah publik sehingga sektor kerja tertentu terutama
terkait dengan kepemimpinan, kaum perempuan kemudian dipinggirkan, dan
dikonsentrasikan ke dalam pekerjaan-pekerjaan yang berkaitan dengan
“kodratnya”.
Jika melihat dialektika sejarah tentang gender di masyarakat dengan
kacamata fungsional struktural, terlihat jelas bahwa pandangan terhadap peran
perempuan dalam keluarga (salah satu elemen masyarakat) menentukan
pandangan perempuan dalam ranah publik (masyarakat). Dari analisis sejarah
tersebut bisa dilihat bahwa relasi kuasa membentuk struktur pengetahuan
masyarakat yang pada akhirnya mempengaruhi tindakan manusia dalam
berinteraksi. Dalam konteks keperawatan, para penguasa (yang didominasi
laki-laki) turut berperan dalam proses marginalisasi peran gender dengan
mengkonsentrasikan peran perempuan ke dalam pekerjaan-pekerjaan tertentu
yang dianggap pantas. “Kodrat” perempuan dibentuk secara kultural untuk
memperkuat alasan-alasan dalam proses marginalisasi tersebut. Konstruksi
tersebutlah yang membentuk persepsi bahwa profesi perawat adalah “milik”
perempuan.
B. PERAN DAN TANGGUNGJAWAB PERAWAT DALAM PELAYANAN
KESEHATAN
Jika memandang secara profesional, profesi perawat pada dasarnya
tidak membedakan pembedaan peran gender seperti yang terlihat dalam
ci
persepsi masyarakat hasil bentukan sejarah. Hal ini bisa dilihat dari definisi
perawat hingga tugas-tugas keperawatan yang tidak terdapat pembedaan yang
dikaitkan dengan peran gender.
Keperawatan Merupakan suatu bentuk pelayanan profesional yang
merupakan bagian integral dari pelayanan kesehatan, didasarkan pada ilmu
dan kiat keperawatan, berbentuk pelayanan bio-psiko-sosiokultural-spiritual
yang komprehensif, ditujukan kepada individu, keluarga, kelompok dan
komunitas, baik sakit maupun sehat serta mencakup seluruh siklus hidup
manusia. Aktivitasnya berupa bantuan yang diberikan karena adanya
kelemahan fisik dan atau mental, keterbatasan pengetahuan serta kurangnya
kemauan melaksanakan kegiatan sehari-hari secara mandiri.
Paradigma keperawatan diatas kemudian diterjemahkan dalam
aktivitas riil pelayanan kesehatan kepada masyarakat. Di Indonesia, paradigma
tersebut diterjemahkan ke dalam standar praktek keperawatan profesional
yang harus ditentukan oleh PPNI, yaitu :
6. Pengkajian
Proses Perawat mengumpulkan data tentang status kesehatan klien secara
Perawat menganalisis data pengkajian untuk merumuskan diagnosis
keperawatan.
8. Perencanaan
cii
Perawat membuat rencana tindakan keperawatan untuk mengatasi masalah
dan meningkatkan kesehatan klien.
9. Implementasi
Perawat membuat rencana tindakan yang telah diidentifikasi dalam
rencana asuhan keperawatan.
10. Evaluasi
Perawat mengevaluasi kemajuan klien terhadap tindakan dalam
pencapaian tujuan dan merevisi data dasar perencanaan. (Nursalam,
2002:8)
Menurut Kozier Barbara (Nursalam, 2001:14), peran yang dibangun
perawat, secara garis besar digambarkan sebagai berikut:
4. Care Giver
Sebagai care giver, seorang perawat harus memiliki kemampuan untuk :
c. Memberikan pelayanan keperawatan kepada individu, keluarga,
kelompok atau masyarakat sesuai diagnosis masalah yang terjadi mulai
dari masalah yang bersifat sederhana sampai pada masalah yang
kompleks.
d. Memperhatikan individu dalam konteks sesuai kehidupan klien.
Perawat harus memperhatikan klien berdasarkan kebutuhan signifikan
dari klien. Perawat menggunakan proses keperawatan untuk
mengidentifikasi diagnosis keperawatan mulai dari masalah fisik
sampai pada masalah psikologis.
ciii
5. Conselor
Konseling adalah proses membantu klien untuk menyadari dan mengatasi
tekanan psikologis atau masalah sosial untuk membangun hubungan
interpersonal yang baik dan untuk meningkatkan perkembangan
seseorang. Didalamnya diberikan dukungan emosional dan intelektual.
Dalam hal ini, peran perawat ditunjukkan dengan :
e. Mengidentifikasi perubahan pola interaksi klien terhadap keadaan
sehat sakitnya.
f. Meningkatkan kemampuan beradaptasi guna merancang metode
berinteraksi.
g. Memberikan konseling atau bimbingan penyuluhan kepada individu
atau keluarga dalam mengintegrasikan pengalaman kesehatan dengan
pengalaman yang lalu.
h. Pemecahan masalah di fokuskan pada masalah keperawatan
6. Education
Peran berperan sebagai seorang pendidik, layaknya seorang guru. Pada
intinya, aktivitas yang dilakukan adalah memberikan pengetahuan dan
kesadaran baru yang mampu merubah perilaku dalam bidang kesehatan.
Nursalam juga menjabarkan peran perawat dengan singkatan CARE. Ia
mendeskripsikan konsep CARE sebagai berikut.
C: Communication. Seorang perawat harus memiliki kemampuan
berkomunikasi secara lengkap, akurat dan cepat dan harus didukung fakta
yang memadai.
civ
A: Aktivity. Aktivitas yang dilaksanakan adalah memberikan asuhan
kepada klien yang ditunjang oleh sikap kesungguhan dan empati serta
bertanggungjawab terhadap setiap tugas yang diembannya. Selain itu, ia juga
harus bisa membangun kerjasama dengan teman sejawat dan tenaga kesehatan
lainnya.
R : Review. Prinsip utama dalam peran ini adalah moral dan etika
keperawatan. Hal ini dilakukan untuk menghindari terjadinya kesalahan-
kesalahan yang bisa berakibat fatal bagi konsumen dan profesi keperawatan.
Karena itu, seorang perawat harus mampu menjaring berbagai informasi dan
mengikuti perubahan yang terjadi dalam hal pelayanan kesehatan yang
senantiasa berkembang.
E : Education. Seorang perawat dituntut untuk berkomitmen terhadap
profesinya dengan terus menerus menggali ilmu melalui pendidikan formal
dan informal sampai pada suatu keahlian tertentu.
Tugas-tugas perawat juga diatur dalam Keputusan Menteri Negara
Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor: 94/Kep/M.PAN/II/ 2001. Dalam
pasal 4 disebutkan bahwa tugas pokok perawat adalah memberikan pelayanan
keperawatan berupa asuhan keperawatan / kesehatan kepada individu,
keluarga, kelompok dan masyarakat dalam upaya kesehatan, pencegahan
penyakit, penyembuhan penyakit, dan pemulihan serta pembinaan peran serta
masyarakat dalam rangka kemandirian dibidang keperawatan / kesehatan.
Peran sering diartikan sebagai serangkaian perilaku yang diharapkan
dituntut oleh masyarakat terhadap individu atau pun organisasi yang
cv
memegang kedudukan tertentu dalam masyarakat. dalam konteks
keperawatan, peran yang menjadi tanggungjawab perawat adalah memberikan
pelayanan kesehatan sesuai dengan tugas yang diembannya.
Arah dari pelayanan kesehatan adalah menyehatkan masyarakat. Sehat
dalam hal ini tidak hanya dipandang sebagai suatu keadaan yang terbebas dari
penyakit, namun lebih kepada keseimbangan bio-psiko-sosio-spiritual yang
optimum, yang dapat meningkatkan kemampuan dan potensi manusia di
masyarakat.
Kualitas layanan kesehatan bisa dilihat dari tanggapan yang diberikan
oleh para pasien terhadap pelayanan rumah sakit. Pada dasarnyanya secara
umum kualitas layanan kesehatan yang dilakukan RSUP Dr. Soeradji
Tirtonegoro Klaten mendapat tanggapan positif dari para pasien. Mereka
menganggap bahwa rumah sakit telah memberikan pelayanan yang baik
seperti yang tampak dalam beberapa pernyataan berikut :
Cukup memuaskan, sampai saat ini nggak ada masalah berarti. Para perawatnya juga lumayan baik mas dan mereka semua cukup ramah untuk melayani kami.(Bagus) Alhamdulillah baik sekali, doktere penak isoh dijak gojek yo lucu dadi asyik nang kene cepet mari. Perawatnya pun juga baek2 baek. Tapi kadang-kadang Beda juga mas. kalau sama perawat perempuan lebih telaten dan sabar melayani kalau laki-laki galak, dan pendiam, (Tri Jati S) Secara umum yang saya rasakan cukup bisa dikatakan agak baek. Namun dalam beberapa hal masih ada pembedaan yang sangat jelas bahwa pasien yang nggak punya duit diacuhkan begitu saja. (Joko W)
Dari pernyataan tersebut, ada seorang pasien yang merasakan
perbedaan pemberian layanan terkait perbedaan gender. Ia menanggap bahwa
cvi
pelayanan perawat lebih baik ketimbang perawat laki-laki. Ini menunjukkan
masih adanya pandangan perbedaan peran gender berdasarkan pada konsep
gender.
Namun, jika memperhatikan tugas dan peran yang dijalankan perawat
secara umum, tidak ada yang secara tegas menggambarkan perbedaan peran
dan tugas terkait dengan perbedaan peran gender. Secara umum, tugas, peran
dan tanggungjawab seorang perawat bisa dilakukan oleh laki-laki dan
perempuan. Yang membedakan tugas dan tanggungjawab tersebut bukanlah
peran gender, namun lebih kepada tingkat pendidikan dan keilmuan serta
kedudukan para perawat dalam lembaga mereka keperawatan di rumah sakit.
Karena itu, ketika konstruksi sosial yang membentuk sejarah dan
dialektika sosial di masayarakat mengarahkan pada pandangan bahwa profesi
perawat adalah profesi yang lebih cocok kepada perempuan, tak lebih dari
hasil pembentukan struktur pengetahuan masyarakat lewat relasi kuasa.
Seiring dengan perkembangan zaman, saat ini semakin banyak
institusi-institusi profesional yang menangani “pekerjaan-pekerjaan
perempuan” dengan sejumlah karyawan laki-laki terlibat atau bahkan berperan
penting di dalamnya (Vianello, 1990). Hal ini menunjukkan bahwa kini dunia
kerja lebih menitikberatkan faktor kemampuan individu dan mulai
meninggalkan pendapat konvensional tentang pembagian kerja menurut jenis
kelamin. Seperti yang terjadi di dunia keperawatan dimana pada era sekarang
ini perawat laki-laki juga menjadi bagian penting dari dunia keperawatan.
Motivasi utama dari profesi ini adalah kemanusiaan, selain dari motivasi
cvii
pribadi untuk mendapatkan penghidupan yang layak. Sehingga, baik laki-laki
dan perempuan memiliki potensi untuk mengembangkan profesi ini. Artinya,
pandangan bahwa profesi perawat adalah “milik” perempuan pada saat ini
tidak terlalu menonjol.
Mungkin jika kita ingin menganalisa lebih jauh lagi, secara tersirat,
masyarakat mulai mengakui kepemilikan kualitas feminin dan maskulin
dalam diri tiap manusia (laki-laki maupun perempuan) walaupun masih ada
keterikatan dengan stereotype tentang laki-laki dan perempuan secara umum.
C. DISTRIBUSI PERAN KEPERAWATAN MENURUT PERBEDAAN
PERAN GENDER
Jika dillihat dari segi kuantitas, di RSUP Dr. Soeradji Tirtonegoro
Klaten, jumlah perawat laki-laki masih lebih sedikit jika dibandingkan dengan
perawat perempuan. Data Perawat Laki-Laki dan Perempuan menurut Tingkat
Pendidikan di RS. Soeradji Tirtonegoro Klaten, Data Per Februari 2007
Sumber : Data Bidang Perawat RSUD Soeradji Tirtonegoro Klaten
cviii
Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa komposisi Perawat Laki-laki
masih kecil jika dibandingkan dengan perawat perempuan 39,06% untuk
perawat laki-laki dan 66,04% untuk perawat perempuan. Data secara
kuantitatif menunjukkan bahwa di RSUP Soeradji Tirtonegoro Klaten,
Perempuan lebih mendominasi profesi ini meskipun dalam rentang tidak
terlalu besar. Dari data tersebut, menunjukkan bahwa profesi perawat masih
terikat dengan stereotype peran gender. Hal ini juga terungkap dalam
pernyataan salah satu perawat yang ada di RSUP Soeradji Tirtonegoro Klaten
ia berikut adalah pernyataanya :
Di indonesia khususnya jawa posisi perempuan lebih dipandang bisa dan mampu untuk mengemban status perawat. ini bisa dilihat dalam ruangan ini (bagian keperawatan) kebanyakan mereka perempuan. (Endang Wuryaningsih ,AMK, S. Pd. K)
Dalam memberikan peran sebagai seorang perawat, secara umum tidak
ada pembedaan dalam distribusi tugas keperawatan terkait dengan perbedaan
peran gender. Hal ini tampak dari apa yang diceritakan oleh para informan
lewat pernyataan berikut ini.
Semuanya sama saja mas, antara perawat laki-laki dan perawat perempuan dimana harus menjalankan segala tugas dan tanggung jawab dlm bidangnya. (Warsana) Soal tugas keperawatan menurut pandangan saya semua sama baik perawat laki-laki maupun perempuan. (Tri Maryanti) Kalau pembedaan secara kegiatan saya rasa tidak ada mas, mungkin yang ada hanya etika saja. (Suyatun). Secara tegas tidak dibedakan, tapi sebagai manusia ciptaan Allah yang dikarunia oleh kemampuan masing-masing kan berbeda. (Endang Wuryaningsih ,AMK, S. Pd. K)
cix
Namun dalam praktek di lapangan, pekerjaan dijalankan secara luwes
dengan mengutamakan kualitas layanan. Pemberian pelayanan dengan
memperhatikan faktor gender dilakukan dengan alasan profesionalitas.
Kerja tu kan luwes tho mas, jadi ya bisa minta tolong sama rekan perawat yang lain apabila nggak mampu untuk melakukan tugasnya. Misalnya kebetulan ada pasien perempuan meminta kami untuk memandikannya, ya minta tolong sama perawat wanitanya. (Warsana) Kalau dalam proses perawatannya memang kadang-kadang ada pasien yang meminta untuk dirawat oleh jenis kelamin tertentu. Misalnya seperti yang selama ini saya alami saya sering memandikan pasien [sibin] baik laki maupun pasien perempuan. (Tri Maryanti) Dalam beberapa hal saya perempuan tidak mampu untuk melakukan tugas maka saya minta tolong pada perawat yang lain. (Suyatun) ya dalam prakteknya tetep yang laki-laki seringkali cenderung untuk membantu dalam hal-hal yang berat-berat. Misalnya seperti angkat pasien. (Endang Wuryaningsih ,AMK, S. Pd. K)
Keluwesan kerja yang dibangun dalam hubungan kerja keperawatan
seperti tampak dalam pernyataan di atas menyiratkan bahwa pandangan
terhadap perbedaan peran gender masih berlaku, namun tidak dalam posisi
untuk meminggirkan antara satu dan yang lainnya, tapi lebih kepada usaha
untuk mencapai kualitas layanan yang diinginkan. Seperti pada kasus
memandikan pasien. Secara profesional, masing-masing perawat baik laki-laki
maupun perempuan dituntut untuk bersedia memandikan setiap pasien baik
laki-laki maupun perempuan. Namun karena adanya faktor etika yang
ditentukan oleh pandangan moral dan agama, sehingga kadang terjadi ada
pasien yang meminta dimandikan dengan perawat yang sejenis dengan
kelaminnya.
cx
Kemudian dalam kasus angkat mengangkat, laki-laki terkadang lebih
diutamakan dalam pelaksanaan tugas ini. Ini menunjukkan bahwa stereotype
laki-laki lebih kuat secara fisik ketimbang perempuan masih ada.
Secara profesional, sebenarnya para perawat memahami tugas dan
tanggungjawab masing-masing (perawat laki-laki dan perempuan) bahwa
mereka memiliki posisi yang setara serta tugas dan tanggungjawab yang sama.
Tapi karena faktor sosial budaya masyarakat yang terpengaruh yang
terkonstruksi oleh pemahaman peran gender yang dipengaruhi budaya
patriarkhis, maka dalam pelaksanaan tugas dan tanggungjawabnya masih
terjadi pembedaan peran gender yang pada akhirnya memperlihatkan posisi
yang tidak setara antara perawat laki-laki dan perempuan.
Fenomena tersebut menunjukkan bahwa Konstruksi sosial gender
secara perlahan berpengaruh terhadap proses biologis masing-masing kelamin.
Misalnya, karena karena adanya konstruksi sosial, seorang laki-laki harus
memiliki sifat kuat. Maka kaum laki-laki tersosialisasi dan termotivasi untuk
menjadikan dirinya kuat untuk memenuhi sifat yang dianggap umum oleh
masyarakat tersebut. Sebaliknya, karena dalam konstruksi sosialnya
perempuan harus bersikap lemah lembut, maka sejak bayi, proses sosialisasi
yang dibangun perempuan mengarah pada sifat tersebut. Proses sosialisasi
yang berlangsung secara mapan dalam pada akhisnya mempengaruhi secara
fisik dan psikis hingga pada akhirnya ada kesulitan untuk membedakan
apakah sifat-sifat tersebut merupakan sifat dasar manusia atau hasil dari proses
konstruksi sosial.
cxi
Distribusi peran dan tanggungjawab dalam profesi keperawatan juga
tampak dalam struktur kelembagaan yang ada. Di bidang keperawatan RSUP
Soeradji Tirtonegoro Klaten, struktur kelembagaan yang ada menunjukkan
bahwa perempuan lebih dominan dalam menduduki jabatan-jabatan penting
dalam manajerial. pengelolaan manajemen kerja profesi. Struktur tersebut
menetukan besar kecilnya akses informasi serta kewenangan seseorang dalam
menetukan kebijakan tertentu, seperti yang tergambar dalam pengakuan par
ainforman berikut ini :
Akses semua punya mas, tinggal besar kecilnya pengaruh yang dia miliki. Kebijakan tentang Kenaikan Pangkat seorang Perawat.(Puji) Terus terang saya kurang mengamati sapa saja yang punya akses ke para atasan, kalau yang saya tahu hanya beberapa yang mampu dan punya akses ke pembuat kebijakan, misalnya kepala bagian,kepala ruang. (Warsana) Para kepala ruang yang langsung punya akses terhadap pembuat kebijakan, apalagi sekarang kan era otonomi daerah jadi perawat dituntut untuk lebih memahami kebijakan dan sebisa mungkin untuk mengontrolnya. (Endang Wuryaningsih, AMK, S. Pd. K)
Struktur organisasi yang didominasi oleh para perempuan seperti yang
tergambar di atas menunjukkan bahwa di RSUP Soeradji Tirtonegoro Klaten,
menunjukkan bahwa dalam soal akses informasi dan kebijakan, perawat
perempuan mendapat akses yang lebih besar dibandingkan dengan perawat
laki-laki. Perempuan masih dianggap sebagai yang terdepan dalam
pengelolaan manajemen keperawatan.
cxii
Padahal, jika dilihat peran, tugas dan tanggungjawab perawat secara
umum, tidak ada penegasan bahwa profesi ini lebih mengutamakan kaum
perempuan dibanding kaum laki-laki.
Kondisi tersebut tidak lepas dari faktor sejarah dan konstruksi sosial
yang berlangsung secara mapan sejak awal kemunculan profesi ini dimana
adanya relasi kuasa dan pandangan budaya patriarkhi mengakibatkan profesi
perawat menjadi salah satu bidang pekerjaan yang diarahkan untuk para
perempuan. Akibatnya peran perempuan menjadi lebih dominan sehingga
memunculkan ketidaksetaraan antara perawat laki-laki dan perempuan.
cxiii
BAB V
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Kesetaraan gender adalah suatu keadaan dimana terjadi kesetaraan
atau keadilan sosial antara laki-laki dan perempuan. Suatu keadaan yang
diisyaratkan oleh pengertian tersebut adalah penerimaan martabat kedua
jenis kelamin dengan ukuran yang setara. Orang harus mengakui bahwa
laki-laki dan perempuan memiliki hak yang setara dalam berbagai bidang
kehidupan sosial, politik dan ekonomi. Keduanya memiliki hak yang
setara dalam tanggung jawab sebagaimana dalam hal kebebasan.
Di masyarakat, pola perilaku dan kegiatan laki-laki dan perempuan
merupakan konstruksi secara sosial yang membentuk identitas. Semenjak
dulu sudah dikonstruksikan bahwa peran gender memang sudah ada dan
merupakan kodrat manusia, ditambah dengan proses sosialisasi gender
yang sudah sangat lama didukung adanya legitimasi agama dan budaya.
Maka semakin kuat interpretasi orang bahwa perbedaan peran, posisi dan
sifat perempuan dan laki-laki adalah kodrat. Padahal baik peran, posisi dan
sifat ini adalah bentukan sosial dan budaya yang disebut gender.
Dalam dunia keperawatan, kesetaraan gender yang terbangun dapat
dilihat dalam matrik sebagai berikut :
cxiv
Tabel 5.1 Analisis Data Hasil Penelitian
No. Sudut Pandang
Analisis
1. Sejarah Keperawatan
Dialektika sejarah yang berkembang dalam profesi ini membentuk stereotype bahwa profesi keperawatan merupakan profesi dipandang lebih cocok untuk para perempuan ketimbang laki-laki. Kondisi tersebut tak lepas dari adanya relasi kuasa dalam budaya masyarakat. Akibat dari relasi kuasa ini kemudian memarginalisasikan peran perempuan di ranah publik. Hanya ada perkerjaan-perkerjaan tertentu yang dipandang pantas disandang oleh perempuan. Dan pekerjaan tersebut tidak jauh dari peran mereka dalam rumah tangga, dimana salah satunya adalah profesi perawat.
2. Profesi sebagai Tenaga Kesehatan
Jika dilihat dari profesinya sebagai tenaga kesehatan, tidak ada perbedaan peran gender. Tugas-tugas sebagaimana yang tercantum dalam undang-undang ataupun kode etik keperawatan tidak ada yang membedakan tugas perawat berdasarkan gender. Namun, dalam prakteknya, tugas-tugas pelayanan kesehatan dijalankan secara luwes dimana pembedaan peran gender masih tampak. Misalnya saat memandikan pasien, pekerjaan angkat-angkat dan sebagainya. Ini terjadi karena faktor nilai-nilai budaya dan moral yang diyakini masyarakat. Dari sisi pelayanan, sebagian pasien juga masih menganggap bahwa perempuan lebih luwes dalam menjalankan tugas-tugas keperawatan.
3. Struktur Kelembagaan
Proses marginalisasi yang memunculkan stereotype bahwa perawat merupakan pekerjaan perempuan merembet pada struktur lembaga. Dalam struktur yang tampak di RSUP Soeradji Tirtonegoro Klaten, perempuan masih dianggap lebih mampu dalam menjalankan tugas-tugas keperawatan. Hal ini tampak dari struktur kelembagaan yang didominasi oleh kaum perempuan. Dari jumlah perawat, dapat juga dilihat bahwa perawat perempuan lebih banyak ketimbang perawat laki-laki.
Jika dilihat dengan kerangka analisis Kabber, fenomena kesetaraan
yang terbangun dalam profesi keperawatan di RSUP Soeradji Tirtonegoro
Klaten dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :
cxv
1. Analisis Berdasarkan Tinjauan Tujuan Profesi Keperawatan
Jika ditinjau dari tujuan dan profesi keperawatan, yakni berperan dalam
peningkatan layanan kesehatan masyarakat, maka pada dasarnya tidak ada
pembedaan peran gender dalam profesi keperawatan. Baik kaum laki-laki
maupun perempuan posisinya setara dan memiliki potensi untuk
berkembang dan mengembangkan profesi ini sebagai bagian dari
pengabdian mereka terhadap kemanusiaan serta usaha mereka untuk
mendapatkan penghidupan yang layak.
2. Analisis Relasi Sosial Yang Terkait Dengan Profesi Keperawatan
Munculnya stereotype bahwa profesi perawat hanya cocok untuk perawat,
bisa dilihat dari relasi sosial yang terbangun dalam masyarakat. Relasi ini
ditentukan oleh proses sosialisasi dan adanya faktor kuasa yang
berpengaruh terhadap struktur pengetahuan masyarakat. Adanya
pandangan bahwa perempuan memiliki sifat-sifat lemah lembut, teliti, dan
lebih emosional membuat profesi perawat dianggap lebih cocok bagi para
perempuan. Selain itu, adanya budaya patriarkhi dimana dalam rumah
tangga, perempuan dianggap tidak mampu memimpin, dan hanya bertugas
dalam pekerjaan rumahan seperti merawat anak, membersihkan rumah,
memasak dan sebagainya mengakibatkan akses pekerjaan yang terbatas
bagi perempuan. Ketika perempuan bekerja di luar rumah, maka pekerjaan
yang dijalankan tidak jauh berbeda dengan apa yang mereka lakukan
dalam rumah tangga. Hal ini menyebabkan proses marginalisasi
perempuan dalam akses pekerjaan dimana perempuan diarahkan pada
cxvi
profesi tertentu yang dekat dengan pekerjaan mereka di rumah, salah
satunya adalah profesi sebagai perawat. Akibatnya, dalam dunia
keperawatan perempuan menjadi lebih dominan ketimbang laki-laki.
Proses sosialisasi yang kurang berimbang mengakibatkan kontruksi sosial
yang terbentuk menjadi bias gender.
3. Analisis Institusional Pada Lembaga Keperawatan
Proses konstruksi peran gender yang timpang tersebut berpengaruh dalam
struktur kerja yang dibangun dalam lembaga keperawatan. Dalam kerja-
kerja teknis, laki-laki masih dianggap lebih kuat secara fisik sehingga
untuk pekerjaan-pekerjaan yang memerlukan kekuatan fisik lebih, maka
laki-laki lebih dikedepankan. Sedangkan dari struktur kelembagaan yang
ada, perempuan lebih memiliki akses terhadap informasi dan kewenangan
dalam pengambilan kebijakan karena mereka menduduki posisi-posisi
penting. Sedangkan dilihat dari kualitas layanan, masyarakat masih ada
yang menganggap bahwa perempuan dianggap lebih cakap dalam
menjalankan profesi ini.
Dari analisis di atas, peneliti menyimpulkan bahwa secara
profesional, masing-masing perawat baik laki-laki dan perempuan
mengakui bahwa mereka memiliki posisi yang setara antara satu dan yang
lainnya. Namun, adanya konstruksi sosial yang terpengaruh budaya
patriarkhi memunculkan pembedaan peran gender. Pada akhirnya,
pemahaman tentang peran gender tersebut menentukan distribusi peran
dan tanggungjawab yang memperlihatkan bahwa perawat laki-laki dan
cxvii
perempuan tidaklah setara. Dalam hal pemberian pelayanan kesehatan,
secara professional tidak ada pembedaan terhadap pasien laki-laki dan
perempuan. Namun, faktor budaya dan etika masyarakat setempat
membuat pelayanan kesehatan diberikan secara luwes dengan tujuan untuk
meningkatkan kualitas layanan kesehatan.
B. IMPLIKASI
1. Implikasi teoritis
Dalam penelitian ini menggunakan teori aksi yang terdapat dalam
paradigma definisi sosial yang menekankan pada tindakan sosial karya
Max Weber. Secara definitif Max Weber merumuskan sosiologi sebagai
ilmu yang berusaha menafsirkan dan memahami (interpretatif
understanding) tindakan sosial serta antar hubungan sosial untuk sampai
pada penjelasan kausal. Dalam definisi ini terkandung dua konsep
dasarnya, yaitu konsep tindakan dan konsep tentang penafsiran dan
pemahaman.
Hasil penelitian ini secara teoritis mendukung teori aksi ini, dimana
pendekatan ini menekankan kepada tindakan dari perawat laki-laki dan
perawat perempuan dalam berperan menjadi perawat di Rumah Sakit
Soeradji Tirtonegoro Klaten yang dipengaruhi persepsi mereka tentang
profesi perawat yang hanya bisa dilakukan oleh perempuan dan juga pada
konstruksi budaya patriarkhi yang masih melekat kuat di dalamnya.
cxviii
Pembentukan perbedaan-perbedaan gender dibentuk secara sosial dan
kultural, misalnya lewat agama dan kekuasaan. Proses panjang tersebut
kemudian membentuk persepsi manusia yang menganggap perbedaan
gender adalah sebuah kodrat yang harus diterima, seolah-olah perbedaan
tersebut terjadi secara biologis dan tak dapat diubah. Persepsi manusia
tentang gender kemudian menentukan peran-peran tertentu yang dianggap
pantas atau tidak pantas disandang perempuan atau laki-laki di dalam
masyarakat.
Dalam penelitian ini juga menggunakan teknik analisis gender. Analisis
gender merupakan sistem analisis terhadap ketidakadilan yang ditimbulkan
oleh perbedaan gender. Kedua jenis kelamin laki-laki dan perempuan
dapat menjadi korban ketidakadilan. Analisis gender juga membantu
peneliti untuk mengarahkan perhatian tidak hanya pada perilaku perawat
laki-laki dan perawat perempuan saja, melainkan pada sistem dan struktur
sosial yang dikonstruksi oleh keyakinan dan ideologi sosial yang bias
gender.
Dalam hal ini peneliti menggunakan teknik analisis kerangka Kabber
yang menggunakan kerangka analisis gender dengan pendekatan relasi
sosial. Pendekatan ini dimaksudkan untuk menganalisis ketidakadilan
gender yang ada dalam distribusi sumber daya, tanggungjawab dan
kekuasaan. Dalam pendekatan ini ada 3 komponen analisis untuk
menginterpretasikan realitas. Sasaran pembangunan sebagai kesejahteraan
manusia, konsep relasi sosial dan analisis institusional.
cxix
2. Implikasi metodologis
Dalam penelitian ini, untuk mendapatkan deskripsi tentang profesi
keperawatan secara menyeluruh tidak cukup hanya dengan melakukan
wawancara mendalam dengan para informan. Analisis sejarah diperlukan
untuk merunut bagaimana dialektika sosial yang terjadi sehingga
membentuk realitas yang sekarang ini tampak.
3. Implikasi Praktis
Secara praktis, fenomena yang diangkat dalam penelitian ini menunjukkan
bahwa pada dasarnya profesi keperawatan tidak berkaitan dengan
perbedaan peran gender yang dikonstruksi di masyarakat. Namun adanya
konstruksi sosial yang terbangun sacara mapan mengakibatkan pandangan
yang membedakan peran gender tersebut masih kuat hingga kini.
C. SARAN
Dari berbagai kesimpulan diatas, peneliti mencoba memberi masukan sebagai
berikut :
1. Perlu adanya upaya untuk mengubah pandangan yang menganggap
bahwa profesi keperawatan identik dengan kaum perempuan.
Pengubahan ini bisa dilakukan dengan memberikan pengetahuan gender
dalam pendidikan keperawatan.
2. Adanya dominasi perempuan dalam struktur kelembagaan profesi
perawat juga perlu perubahan. Artinya, setiap orang baik laki-laki
maupun perempuan mendapat kesempatan yang sama untuk berkembang
cxx
dan mengembangkan profesi ini. Penentuan struktur lembaga tidak
didasarkan pada perbedaan peran gender, namun lebih kepada prestasi
kerja, komitmen terhadap profesi dan kemampuan individu.
cxxi
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah Irwan. 1997. Sangkan Paran Gender. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Djojodibroto. 1997. Pelayanan Publik. Rajawali Press, Jakarta.
Fakih, Mansour. 1999. Analisis Gender dan Transformasi Sosial.Yogyakarta :
pustaka Pelajar
Johnson, Doyle Paul. 1989. Teori Sosiologi Klasik 2dan Modern Jilid I,
Terjemahan Robert Lawang, Gramedia, Jakarta
Johnson, Doyle Paul. 1989 . Teori Sosiologi Klasik 2dan Modern Jilid 2,
Terjemahan Robert Lawang, Gramedia, Jakarta
Lu Verne Wolf dkk . 1984. Sejarah Keperawatan, Terjemahan UI Press, Jakarta
Moleong, Lexy.1991. Metode Penelitian Kualitatif , Rosdakarya , Bandung
Miles, MB & Huberman.1982. Analisis Data Kualitatif, UI- Press, Jakarta.
Mandy,Mccdonald. 1997. Gender Planning in Development Agencies, Oxford