Indonesia BAB I PENDAHULUAN Air adalah unsur terpenting bagi hidup manusia. Kualitas air yang baik dan kuantitas yang cukup sangat berpengaruh bagi kelangsungan hidup manusia. Begitu pentingnya air, telah menjadikan akses terhadap air bersih sebagai hak asasi manusia 1 . Akses terhadap air bersih juga menjadi salah satu target dari Millenium Development Goals (MDGs) 2 yang harus tercapai pada tahun 2015, yang ditandatangani oleh 189 negara termasuk Indonesia pada tahun 2000. Bagi Indonesia, banyak tantangan yang dihadapi untuk merealisasikan hal tersebut. Salah satunya adalah meningkatnya kebutuhan air bersih akibat peningkatan jumlah penduduk dan peningkatan kegiatan pembangunan seperti pertanian dan industri. Pada sisi yang lain, ketersediaan air bersih secara kuantitas semakin langka akibat kondisi daerah tangkapan air dan daerah retensi air yang semakin kritis serta secara kualitas pun ketersediaan air bersih mengalami pengurangan karena pencemaran air permukaan dan air tanah. Tantangan lain yang dihadapi adalah masih terbatasnya kemampuan penyedia layanan air bersih untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat. Beberapa laporan dari lembaga-lembaga internasional menunjukkan kondisi akses masyarakat terhadap air bersih. World Health Organization (2003), menyatakan bahwa dari 217 juta penduduk Indonesia dengan komposisi sekitar 44% tinggal di perkotaan dan 56 % tinggal di pedesaan, 78% penduduk memiliki akses atas air dari sumber yang aman (improved water), tetapi hanya 17% rumah tangga yang memiliki sambungan ke PDAM. Di wilayah perkotaan, sekitar 89% penduduk memiliki akses terhadap air bersih tetapi hanya 31% rumah tangga di perkotaan yang tersambung dengan PDAM. Sedangkan untuk wilayah pedesaan sekitar 69% memiliki akses terhadap air bersih tetapi hanya 5% rumah tangga yang memiliki sambungan ke PDAM. Data SUSENAS dengan kategori akses terhadap air minum yang dikutip oleh Bank Dunia (2004), mengindikasikan bahwa dari penduduk yang memiliki akses atas air bersih, sekitar 52% memiliki sumber air 1 General Comment No.15 yang diadopsi secara menyeluruh pada November 2002 oleh Committee on Economics, Social and Cultural Rights menyatakan : “The human right to water entitles to sufficient, safe, acceptable, physically accessible and affordable water for personal and domestic use.” 2 MDGs Target 10: Mengurangi separuh dari proporsi penduduk tanpa akses terhadap air minum dan sanitasi dasar pada tahun 2015 (to halve by 2015, the proportion of people without sustainable access to safe drinking water and basic sanitation) 1
92
Embed
Kerjasama Swasta - Pemerintah di Indonesia dalam Penyediaan Air Minum. Buku Putih.
Buku Putih ini dihasilkan oleh Water Dialogue (suatu kelompok kerja yang terdiri dari beragam latar belakang keahlian dan institusi) pada tahun 2009
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Indonesia
BAB I
PENDAHULUAN
Air adalah unsur terpenting bagi hidup manusia. Kualitas air yang baik dan
kuantitas yang cukup sangat berpengaruh bagi kelangsungan hidup manusia.
Begitu pentingnya air, telah menjadikan akses terhadap air bersih sebagai hak
asasi manusia1. Akses terhadap air bersih juga menjadi salah satu target dari
Millenium Development Goals (MDGs)2 yang harus tercapai pada tahun 2015,
yang ditandatangani oleh 189 negara termasuk Indonesia pada tahun 2000.
Bagi Indonesia, banyak tantangan yang dihadapi untuk merealisasikan
hal tersebut. Salah satunya adalah meningkatnya kebutuhan air bersih akibat
peningkatan jumlah penduduk dan peningkatan kegiatan pembangunan seperti
pertanian dan industri. Pada sisi yang lain, ketersediaan air bersih secara
kuantitas semakin langka akibat kondisi daerah tangkapan air dan daerah
retensi air yang semakin kritis serta secara kualitas pun ketersediaan air bersih
mengalami pengurangan karena pencemaran air permukaan dan air tanah.
Tantangan lain yang dihadapi adalah masih terbatasnya kemampuan
penyedia layanan air bersih untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat.
Beberapa laporan dari lembaga-lembaga internasional menunjukkan kondisi
akses masyarakat terhadap air bersih. World Health Organization (2003),
menyatakan bahwa dari 217 juta penduduk Indonesia dengan komposisi sekitar
44% tinggal di perkotaan dan 56 % tinggal di pedesaan, 78% penduduk memiliki
akses atas air dari sumber yang aman (improved water), tetapi hanya 17%
rumah tangga yang memiliki sambungan ke PDAM. Di wilayah perkotaan, sekitar
89% penduduk memiliki akses terhadap air bersih tetapi hanya 31% rumah
tangga di perkotaan yang tersambung dengan PDAM. Sedangkan untuk wilayah
pedesaan sekitar 69% memiliki akses terhadap air bersih tetapi hanya 5% rumah
tangga yang memiliki sambungan ke PDAM. Data SUSENAS dengan kategori
akses terhadap air minum yang dikutip oleh Bank Dunia (2004), mengindikasikan
bahwa dari penduduk yang memiliki akses atas air bersih, sekitar 52% memiliki
sumber air pribadi (pompa, sumur, dan lainnya), 25% memiliki akses terhadap
sumber air yang dimiliki bersama (hidran air umum) dan hanya 15 % yang
bergantung pada utilitas publik3.
Pada tahun 2006, akses rumah tangga terhadap air perpipaan di daerah
perkotaan baru mencapai 30,8%, sedang di pedesaan sebesar 9% (Laporan
1 General Comment No.15 yang diadopsi secara menyeluruh pada November 2002 oleh Committee on Economics, Social and Cultural Rights menyatakan : “The human right to water entitles to sufficient, safe, acceptable, physically accessible and affordable water for personal and domestic use.” 2 MDGs Target 10: Mengurangi separuh dari proporsi penduduk tanpa akses terhadap air minum dan sanitasi dasar pada tahun 2015 (to halve by 2015, the proportion of people without sustainable access to safe drinking water and basic sanitation)3 Fabby Tumiwa, “ Menjamin Hak Rakyat Atas Air: Alternatif Sumber dan Mekanisme Pembiayaan Infrastruktur Air di Indonesia, 2006, www.kruha.org
1
Indonesia
Pencapaian Pembangunan Millenium, 2007). Cakupan pelayanan PDAM pada
tahun 2006, mencapai 30,6% dengan rata-rata tingkat kebocoran sebesar
41,31%4. Dari ukuran pelanggan, lebih dari 85% PDAM memiliki pelanggan
kurang dari 10.000 dan hanya 4 % yang memiliki pelanggan di atas 50.000,
sedangkan dari aspek kesehatan finansial, berdasarkan data dari 260 PDAM
pada tahun 2007, hanya 18% PDAM yang berada dalam kondisi sehat, sisanya
berada dalam kondisi kurang sehat dan tidak sehat.5 Selain cakupan pelayanan
yang masih rendah, beberapa permasalahan umum yang dihadapi oleh PDAM di
Indonesia adalah kualitas air dan pelayanan yang semakin menurun terutama
setelah krisis ekonomi, yang diakibatkan tertundanya perbaikan dan perawatan
untuk memotong pengeluaran operasi. Effisiensi operasi dan keuangan PDAM
mengindikasikan bahwa PDAM belum mengoptimalkan asset yang mereka miliki
yang berakibat pada rendahnya efisiensi dan kinerja usahanya.
Tantangan selanjutnya yang dihadapi Indonesia untuk dapat menjamin
akses masyarakat terhadap air bersih adalah keterbatasan pembiayaan yang
dimiliki oleh Pemerintah. Dalam upaya mencapai target MDGs pada tahun 2015,
dibutuhkan investasi sebesar Rp 43 triliun, sedangkan kemampuan pembiayaan
pemerintah pusat sebesar Rp 500 milyar/tahun6.
Gambaran situasi di atas, sedikit banyak menunjukkan bahwa dibutuhkan
kerja keras bagi Indonesia untuk dapat meningkatkan akses masyarakat
terhadap air bersih. Proposal yang telah diajukan yang mencakup strategi
pencapaian target 10 MDGs adalah melakukan intervensi-intervensi yang
mencakup perluasan akses air bersih baik di perkotaan maupun pedesaan,
peningkatan kualitas layanan, memperkenalkan teknologi baru dan memperluas
partisipasi sektor swasta (private sector participation/PSP).
Dalam kerangka inilah kemudian PSP menjadi perdebatan. Pro dan kontra
terhadap keterlibatan sektor swasta dalam penyediaan layanan air bersih terus
mengemuka dalam beberapa tahun terakhir. Perdebatan yang terjadi tidak
hanya terjadi pada tataran ideologi, namun juga terjadi pada tataran praktis
termasuk perdebatan tentang terminologi yang digunakan. Kelompok
pendukung PSP berpendapat bahwa partisipasi sektor swasta berbeda dengan
privatisasi, karena PSP tidak bertujuan untuk mengambil alih asset perusahaan
publik kepada swasta. Selain itu kelompok pendukung PSP juga meyakini bahwa
dengan PSP akan meningkatkan efektifitas dan efisiensi layanan air bersih
termasuk mengatasi keterbatasan pembiayaan yang dimiliki oleh pemerintah
melalui investasi yang ditanamkan oleh sektor swasta.
4 Presentasi Basah Hernowo (BAPPENAS) dalam Diskusi Terbatas “Pembiayaan Air Bersih di Indonesia; Peluang dan Tantangan Yang Dihadapi”, yang diselenggarakan oleh Koalisi Rakyat untuk Hak Atas Air (KRuHA), 29 Agustus 20075 Presentasi Direktorat Permukiman dan Perumahan, Bappenas, dalam Diskusi “Pembiayaan Air Minum” yang diadakan oleh Indonesia Water Dialogue, 24 Juli 20086 Presentasi BPP SPAM dalam Diskusi Terbatas “Pembiayaan Air Bersih di Indonesia; Peluang dan Tantangan Yang Dihadapi”, yang diselenggarakan oleh Koalisi Rakyat untuk Hak Atas Air (KRuHA), 29 Agustus 2007
2
Indonesia
Di lain pihak, kelompok penentang PSP berpendapat bahwa PSP
merupakan bagian dari skema global untuk menerapakan resep-resep ekonomi
neoliberal. PSP dipandang akan menghilangkan kedaulatan negara dan rakyat,
pengambil alihan asset kepada Multinational Corporations (MNCs), dan
pengalihan tanggung jawab penyediaan layanan dasar dari sektor publik kepada
sektor swasta. Para penentang juga berpendapat bahwa PSP tidak berbeda
dengan privatisasi dan pada tingkatan praktis tidak ada bukti yang signifikan
bahwa pengelolan air oleh swasta akan lebih baik jika dibandingkan dengan
pengelolaan air oleh publik. Bahkan pengelolaan air oleh swasta dipandang akan
semakin menjauhkan akses masyarakat terhadap air.
Situasi perdebatan seperti inilah yang mendorong terbitnya buku ini. Buku
ini merupakan konsolidasi dari beberapa literatur yang membahas tentang PSP
baik yang pro maupun kontra dan data-data yang terkait dengan PSP serta tidak
bermaksud untuk mencari “siapa yang paling benar” dalam konteks perdebatan
PSP tersebut.
Secara umum uraian dalam buku ini akan terbagi dalam empat bab. Bab
pertama merupakan pengantar umum terhadap situasi penyediaan air bersih di
Indonesia dan perdebatan umum PSP di sektor air bersih. Bab kedua merupakan
uraian terhadap kontroversi PSP di sektor air, latar belakang yang mendasari
kontroversi tersebut, dan bukti-bukti empiris mengenai PSP di sektor air bersih
serta berbagai isu penting seputar PSP. Bab ketiga menguraikan berbagai fakta
seputar PSP di Indonesia, termasuk sejarah keterlibatan swasta dalam
penyediaan air minum di Indonesia, regulasi terhadap keterlibatan swasta
tersebut, tinjauan atas kerjasama swasta dan PDAM serta bagaimana
keterlibatan swasta lokal dan masyarakat dalam hal penyediaan air minum. Bab
keempat merupakan penutup yang akan merangkum berbagai pandangan
terhadap PSP di dalam National Working Group on PSP Review dan merumuskan
pertanyaan-pertanyaan kunci bagi kajian lebih lanjut.
3
Indonesia
BAB II
KONTROVERSI di SEPUTAR PSP
2.1. Air: Barang Publik atau Barang Ekonomi ?
Pada Januari 1992, berlangsung International Conference on Water and
Environment di Dublin Irlandia. Konferensi tersebut menghasilkan empat butir
prinsip - yang kemudian dikenal dengan Dublin Principles -, yang salah satunya
adalah “water has an economic value in all its competing uses and should be
recognized as an economic good. Within this principle, it is vital to recognize first
the basic right of all human beings to have access to clean water and sanitation
at an affordable price. Past failure to recognize the economic value of water has
led to wasteful and environmentally damaging uses of the resources. Managing
water as an economic good is an important way of achieving efficient and
equitable use, and of encouraging conservation and protection of water
resources”.
Cara pandang baru terhadap air menjadi awal pertarungan paradigma
tentang siapa yang memiliki air, bagaimana memahami fungsi air dan
pengunaannya. Terlebih setelah banyak organisasi internasional memberikan
dukungannya terhadap cara pandang baru terhadap air, seperti yang dikatakan
oleh Budds dan McGranahan (2003), “…In the wake of Dublin, many
international organizations realigned their position in the water sector, and the
World Bank came to play a central role in developing and promoting new
approaches consistent with its interpretation of the Dublin Principles, in
particular the treatment of water as an economic good. … Bilateral development
agencies also started to promote private sector participation in their recipient
countries, including DFID and USAID…”
Bagi kelompok penentang privatisasi, memberlakukan air sebagai barang
ekonomi dipandang akan memperluas keterlibatan swasta dalam penyediaan
layanan air bersih. In the years following Dublin, the concept of water as an
economic good has been used to challenge traditional approaches to
government provision of basic water services. Economist seized upon the idea
to argue that water should be treated as a private good, subject to corporate
control, financial rule, market forces, and competitive pricing. Kelompok
penentang juga berpendapat bahwa secara turun temurun air diperlakukan
sebagai hak asasi – hak yang muncul dari kodrat manusia, kondisi historis,
kebutuhan dasar atau gagasan tentang keadilan (Shiva, 2002), sehingga
keterlibatan swasta di sektor air akan mengancam hak asasi atas air.
4
Indonesia
Pada sisi yang lain, kelompok pendukung privatisasi berpendapat bahwa
jika suatu produk tersedia gratis, maka fungsi pasar yang seharusnya
mengalokasikan sumber-sumber daya secara efisien tidak akan tercapai. Artinya
tidak ada jaminan ketersediaan air sebanding dengan tingkat konsumsi yang
dilakukan. Orang cenderung untuk memanfaatkan air secara berlebihan. Cara
yang bisa dilakukan oleh Pemerintah untuk mengendalikan hal tersebut adalah
dengan membatasi penggunaannya melalui peraturan, pajak, atau dengan
memberlakukannya sebagai private good yaitu barang yang bersifat excludable
dan rival (Mankiw, 2001). Pendukung privatisasi juga berpendapat banyak
kejadian dimana pengelolaan oleh publik cenderung menerapkan harga rendah
sehingga tidak mampu mempertahankan kualitas layanan jaringan yang ada,
apalagi meningkatkan jangkauan pelayanan (Gray, 2000). Meskipun harga
rendah yang dikatakan bermanfaat bagi penduduk miskin, dalam kenyataannya
tidak membantu penduduk miskin karena mereka belum terlayani sehingga
harus mencari sumber lain dengan harga yang jauh lebih mahal (Walker dkk,
2000).
Menariknya, diantara pro kontra tentang keterlibatan swasta dalam
penyediaan layanan air bersih, terdapat kelompok yang mencoba bersikap lebih
pragmatis terhadap kehadiran swasta dalam penyediaan air bersih. Kelompok
ini berpendapat bahwa air tidak bisa secara murni diperlakukan sebagai barang
publik. Air membutuhkan biaya untuk pengadaannya, sehingga juga harus
diberlakukan sebagai barang ekonomi yang harus dikelola sesuai dengan
hukum-hukum ekonomi. Seperti yang diungkapkan oleh Budds dan McGranahan
(2003) “In debating the appropriate role of the private and public sectors,
recognizing water as an economic good can seem to support a strong private
sector role. This is not strictly correct, and depends on how the term “economic
good” – which is not widely used in economics – is interpreted. If “economic
good” are taken to mean the sort of goods idealized in economic theories of
perfect markets, then the case for private provision of economic goods is strong.
But urban water services are not economic goods in this sense any more than
they are “pure” public goods (and in any case, water utilities rarely operated in
a competitive market). Alternatively, if economic goods are simply taken to be
goods that have an economic value, and to which economic principles apply,
then this would also apply to public goods, and is largely irrelevant to the case
for private provisioning”
Dalam situasi kontroversi tersebut, Savenije (2001) mencoba
memberikan sedikit gambaran tentang karakteristik air minum, yaitu:
Air minum adalah kebutuhan dasar. Tidak ada kehidupan tanpa air, tanpa air
tidak ada proses produksi, tanpa air tidak ada lingkungan. Tidak akan ada
kegiatan manusia yang tidak tergantung pada air. Air merupakan sumber
5
Indonesia
daya penting. Hal ini membuat air menjadi khusus tetapi tidak unik. Sama
halnya dengan lahan, dan makanan.
Air minum terbatas. Jumlah air terbatas. Hanya sebagian kecil saja air yang
dapat dikonsumsi.
Air minum adalah barang publik. Air minum tidak dapat dimiliki secara
pribadi dan ketergantungan sosial terhadap air minum sangat tinggi. Hal ini
merupakan konsekuensi dari sifat air minum yang penting dan tidak dapat
disubstitusi. Pemerintah bertanggung jawab menyediakan air minum tetapi
pemerintah tidak bertanggung jawab menyediakan air secara gratis
sebagaimana sering disalahpahami.
Meskipun air mengalir tetapi sebenarnya dibatasi oleh lokasi dan sistem
tertentu. Akibatnya, air minum sering menjadi sumber perseteruan politik
antar daerah.
Terdapat biaya produksi dan biaya transaksi yang besar bahkan jika
pengaliran air menggunakan sistem gravitasi.
Pasar air minum tidak homogen. Sebagian pengguna mempunyai
kemampuan membayar yang tinggi dan mengkonsumsi dalam jumlah sedikit
(pengguna domestik dan industri), lainnya mempunyai kemampuan
membayar rendah dan menggunakan air dalam jumlah besar (petani),
bahkan lainnya tidak mempunyai kemampuan membayar (lingkungan dan
penduduk miskin). Semuanya tidak dapat digabung dalam satu pasar.
Meskipun air minum yang dibutuhkan merupakan benda yang sama tetapi
karakter permintaan berbeda. Pertukaran diantara kepentingan yang
berbeda ini sebaiknya diselesaikan melalui jalur politis dan bukan pasar.
Terdapat ketergantungan ekonomi makro antara aktivitas pengguna air. Air
digunakan oleh pertanian mempengaruhi industri. Akibatnya hubungannya
menjadi rumit.
Selalu terdapat ancaman kegagalan pasar dalam penyediaan air minum.
Untuk mencapai skala ekonomi, dibutuhkan investasi besar yang mengarah
ke monopoli alamiah.
Air minum mempunyai nilai tertentu yang seringkali tidak dapat dinilai
dengan uang.
Menurut Ouyahia (2006), karakteristik dari air bersih adalah high
investment specificity, natural monopoly features of the sector, buried asset,
externalities involving public health and environment, the need for universal
provision, and location-specific. Karakteristik lain adalah “70-80 percent of
water and wastewater assets are underground (Infrastructure Canada, 2004).
Hence obtaining accurate information about them can be costly and there is
6
Indonesia
generally a lack reliable information about the condition of existing
infrastructure”.
7
Kotak 1.1Sejarah Sistem Penyediaan Layanan Air Minum
Sistem penyediaan layanan air bersih memiliki sejarah yang cukup panjang. Menurut Swyngedouw (2003), system penyediaan layanan air bersih dapat dibagi dalam empat tahapan perkembangan. Tahap pertama, berlangsung sampai pertengahan kedua abad ke-19, dimana sistem penyediaan layanan air minum dilakukan oleh perusahaan swasta kecil. Layanan yang diberikan hanya untuk sebagian kecil kota khususnya daerah-daerah kaya perkotaan.
Tahapan selanjutnya adalah pada periode munisipalisasi. Menurunnya kualitas lingkungan dan munculnya kesadaran akan sanitasi lingkungan menjadi pendorong utama periode ini. Periode ini juga diwarnai dengan kesadaran terhadap tanggung jawab daerah dalam penyediaan layanan dasar yang mendasar yang jika perlu diikuti oleh subsidi tarif yang tinggi di kebanyakan negara Eropa. Pada periode ini, sistem air bersih yang pada awalnya dibangun oleh perusahaan swasta, kemudian diambil alih oleh pemerintah daerah (munisipal) di hampir semua negara-negara Eropa, termasuk Inggris. Hanya di Perancis yang perusahaan air milik swastanya dapat bertahan, dan karena itu satu-satunya perusahaan swasta air raksasa di dunia adalah milik Perancis: Suez (dulunya Lyonnaise des Eaux) dan Veolia (tadinya Vivendi dan the Compagnie Generale des Eaux) yang sudah berdiri sejak tahun 1853. Namun proses munisipalisasi jauh lebih cepat terjadi di Amerika Serikat ketimbang di Eropa: pada tahun 1897, sudah 82% kota-kota besar di Amerika Serikat terlayani oleh operator publik tingkat daerah.
Tahapan ketiga dimulai setelah perang dunia I, ketika air bersama dengan layanan publik lainnya seperti telekomunikasi dan listrik menjadi perhatian nasional negara. Pemerintah pusat dengan beragam intensitas kendali, regulasi dan investasinya mengambil alih peran daerah pada sektor air minum. Investasi dalam pengembangan infrastruktur juga menjadi bagian penting usaha mendorong pertumbuhan ekonomi dan sekaligus meredam keresahan sosial melalui kebijakan redistribusi aset – dalam hal ini layanan air minum. Pada periode ini meskipun manajemen air minum masih ada yang di tangan daerah namun pemerintah pusat punya peranan yang besar khususnya pada pembiayaan proyek-proyek infrastruktur dan juga intervensi peraturan. Pada periode ini mulai dibentuk berbagai badan pengatur untuk berbagai kepentingan seperti kepentingan sosial, ekonomi, kualitas, dan lingkungan yang biasanya bersifat nasional.
Periode keempat, periode terakhir, dimulai saat terjadi resesi global tahun 1970-an, sebuah periode yang ditandai dengan menurunnya peran negara dalam mendorong pertumbuhan ekonomi. Anggaran yang terbatas dari pemerintah pusat berakibat pada berkurangnya pengeluaran untuk kesejahteraan publik dan dukungan terhadap program pengembangan investasi infrastruktur. Tarif air yang rendah, investasi yang disubsidi, infrastruktur yang mulai menua, ditambah tingginya permintaan terhadap layanan air minum, memperparah tekanan terhadap anggaran pemerintah pusat. Hal ini menjadi masalah akut yang sulit dipecahkan khususnya bagi negara berkembang. Tekanan negara pemberi hutang untuk mengamankan hutangnya melalui berbagai program seperti Structural Adjustment Program (SAP) dan tekanan untuk memperbaiki daya saing melalui peningkatan efisiensi mendorong munculnya berbagai program pemotongan anggaran biaya layanan publik, program privatisasi dan deregulasi.
Sedangkan di negara berkembang memiliki sejarah perkembangan yang
Indonesia
8
Kotak 1.2
Structural Adjustment Program (SAP)
Structural Adjustment Program (SAP) diperkenalkan pada awal tahun 1980-an oleh Bank Dunia (di bawah kepemimpinan Robert McNamara). Pinjaman Bank Dunia diberikan untuk periode beberapa tahun melalui program untuk mendukung secara langsung reformasi kebijakan dan tidak lagi terkait dengan salah satu program investasi dalam bentuk proyek. Sejak saat itu pinjaman yang memuat komponen SAP mendominasi portofolio pinjaman baik dari Bank Dunia maupun IMF. Bank Dunia mempraktekkan SAP dari sisi persediaan ekonomi, sedangkan IMF memfokuskan diri pada sisi permintaan melalui kebijakan-kebijakan stabilisasi.
Pada tahun 1989, John Williamson ekonom dari Institute of International Economics (IIE) Washington DC, mencetuskan Washington Concensus yang berisi sepuluh rekomendasi kebijakan untuk mengatasi krisis ekonomi di Amerika Latin. Dalam perkembangannya rekomendasi tersebut diterima secara luas oleh ekonom di Amerika Serikat termasuk Depatemen Keuangan, Bank Dunia dan IMF, yang kemudian dijadikan standar kebijakan mereka. Konsensus Washington menganjurkan stabilisasi ekonomi lewat kendali penyediaan mata uang dan perluasan pertumbuhan dengan seperangkat ukuran demi terwujudnya peningkatan aktifitas sektor swasta, kebijakan privatisasi pun menjadi standar Bank Dunia dan IMF serta bank-bank pembangunan regional seperti ADB, Inter America Development Bank dan lainnya. Pada tahun 1990-an, SAP mengimplementasikan beberapa prinsip Konsensus Washington dalam berbagai bentuk program yang didanai oleh lembaga-lembaga tersebut. Secara keseluruhan, tujuan yang ingin dicapai oleh lembaga-lembaga keuangan internasional melalui privatisasi adalah (i) tujuan ekonomi, yaitu meningkatkan efisiensi seluruh sektor ekonomi, meningkatkan efisiensi, produktifitas dan keuntungan perusahaan, meningkatkan kualitas produk dan pelayanan, dan menarik investasi swasta; (ii) tujuan fiskal, yaitu menghapus subsidi pemerintah pada badan usaha milik negara; memperoleh tambahan dana dari penjualan kepemilikan negara atas badan usaha serta meningkatkan pendapatan pajak dari badan usaha swasta; (iii) tujuan sosial politik, yaitu meningkatkan kesejahteraan masyarakat, mempromosikan kepemilikan badan usaha oleh swasta nasional; meningkatkan kepemilikan properti kelas menengah, meningkatkan pemanfaatan tenaga kerja, dan mengurangi korupsi serta penyalahgunaan di kantor publik.
Instrumen untuk mempengaruhi kebijakan dilakukan melalui mekanisme pinjaman baik program atau proyek yang senantiasa diikuti dengan pelbagai persyaratan. Karena kebanyakan negara-negara berkembang pada umumnya sangat membutuhkan dana pinjaman dari Bank Dunia dan IMF - selain bank-bank regional lainnya –untuk menutupi defisit anggaran atau membiayai program pembangunan, maka persyaratan yang diajukan pun pada akhirnya mendapat
banyak dalam sistem air bersih dibandingkan negara-negara utara. Lebih terdorong oleh kemerdekaan dan bukan oleh industrialisasi, negara-negara ini tidak memiliki daerah yang kuat ataupun masyarakat setempat kelas menengah yang kuat, sehingga kepemilikan di tingkat pusat untuk perusahaan air bersih lebih banyak terjadi dibanding di negara-negara Utara. Di Sri Lanka, sebuah negara dengan sejarah pembangunan yang hebat di bidang kesehatan dan pendidikan, air bersih merupakan tanggung jawab primer Badan Usaha Milik Negara (parastatal) pemerintah pusat. Di Argentina, perluasan jaringan air di seluruh negeri dilakukan oleh penyedia layanan air milik pemerintah pusat. Namun, kesemuanya lambat laun mulai terkikis, ketika Lembaga Keuangan Internasional mensyaratkan untuk melakukan privatisasi kepada negara-negara tersebut.
Indonesia
2.2. Privatisasi, Private Sector Participation (PSP) atau Public Private
Partnership (PPP)
Beberapa literatur menyebutkan bahwa konsep privatisasi masih belum
terklarifikasi. Seperti yang diungkapkan Bailey (1987), ”one of the concepts in
vogue is privatization. Although the concepts itself is unclear, it might be
tentatively defined as general effort to relieves the disincentives toward
efficiency in public organizations by subjecting them to the incentives of the
private market. There are in fact several different concepts of privatization.
Demikian juga menurut Kay dan Thompson (1986) “privatization is term which is
used to cover several distinct, and possibly alternative means of changing the
relationships between the government and private sector”.
Namun, beberapa literatur yang lain mencoba mendefinisikan konsep
privatisasi dengan lebih jelas. Menurut Subagjo (1996) secara umum definisi
privatisasi dapat dirangkum sebagai berikut: (i) perubahan bentuk usaha dari
“perusahaan negara” menjadi perusahaan berbentuk perseroan terbatas, (ii)
pelepasan sebagian (besar/kecil) atau seluruh saham dari suatu perusahaan
9
Indonesia
yang dimiliki negara kepada swasta, (iii) pelepasan hak atau aset milik negara
atau perusahaan yang sahamnya dimiliki negara pada swasta, baik pelepasan
untuk selamanya (antara lain melalui jual beli, hibah atau tukar guling) maupun
pelepasan untuk sementara waktu (termasuk dengan cara Build Operate
Transfer), (iv) pemberian kesempatan pada swasta untuk menggeluti bidang
usaha tertentu yang sebelumnya merupakan monopoli pemerintah, (v) pembuat
usaha patungan atau kerjasama dalam bentuk lain dengan memanfaatkan aset
pemerintah, serta (vi) membuka dan meningkatkan adanya persaingan sehat
dalam dunia usaha. Dalam pasal 1 ayat 12 Undang-Undang (UU) Nomor 23
Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara (BUMN), privatisasi adalah
penjualan saham Persero baik sebagian maupun seluruhnya kepada pihak lain
dalam rangka meningkatkan kinerja dan nilai perusahaan, memperbesar
manfaat bagi negara dan masyarakat serta memperluas pemilikan saham oleh
masyarakat.
Sedangkan Savas (1987) mendefinisikan privatisasi sebagai tindakan
mengurangi peran pemerintah, atau meningkatkan peran swasta, dalam sebuah
aktifitas atau pemilikan aset. Privatisasi dapat berbentuk umum (dikontrakkan ke
swasta atau LSM dan penyediaan sukarela) dan khusus (food stamps, housing
vouchers, and volunteer fire departments). Lebih lanjut Savas menyatakan
bahwa ada beragam tekanan atau alasan yang mendorong privatisasi. Alasan ini
dikelompokkan sebagai (i) pragmatis, ketika masyarakat mendefinisikan
kebutuhan akan pelayanan pemerintah yang lebih baik, (ii) ideologis, ketika
terdapat keinginan mengurangi peran pemerintah; (iii) komersil, ketika swasta
melihat kesempatan mendapatkan keuntungan dari melakukan pelayanan
publik; (iv) populis, ketika masyarakat melihat privatisasi sebagai cara menuju
kondisi masyarakat yang lebih baik.
Diana Carney dan John Farrington (1998) menyatakan bahwa privatisasi
bisa diartikan secara luas sebagai proses perubahan yang melibatkan sektor
privat untuk ikut bertanggung jawab terhadap kegiatan yang semula
dikendalikan secara eksklusif oleh sektor publik. Privatisasi termasuk di
dalamnya pengalihan kepemilikan aset produktif dari sektor publik ke swasta
atau hanya sekedar memberikan ruang kepada sektor privat untuk ikut terlibat
dalam kegiatan operasional seperti contracting out dan internal markets.
Seperti yang ditulis oleh Tumiwa dan Santono, “...dalam konteks ekonomi
politik, privatisasi adalah sebuah cara untuk memperbaiki pengelolaan dan
kinerja badan usaha serta sektor publik lainnya, termasuk mengurangi beban
negara.” (Globalisasi Menghempas Indonesia: hal 137). Privatisasi bertujuan
untuk mencapai efisiensi ekonomi mikro, mendorong pertumbuhan ekonomi
sekaligus mengurangi kebutuhan pinjaman publik akibat defisit anggaran belanja
10
Indonesia
dengan cara mengurangi subsidi negara yang diberikan kepada BUMN7.
Sedangkan menurut Stiglitz, keuntungan ekonomi privatisasi sesungguhnya
berasal dari ketidakmampuan pemerintah dalam menyusun sejumlah komitmen ,
khususnya berkompetisi dan tidak memberi subsidi8.
Dalam tulisannya yang berjudul The New Economy of Water; The Risks
and Benefits of Globalization and Privatization of Fresh Water, Gleick
menyatakan privatization in the water sector involves transferring some or all of
the assets or operations of public water system into private hands.There are
numeorus ways to privatize water, such as the transfer of the responsibility to
operate a water delivery or treatment system, a more complete transfer of
system ownership and operation responsibilities, or even the sale of publicly
owned water rights to private companies. Alternatively, various combinations are
possible, such as soliciting private investment in the development of new
facilities, with transfer of those facilities to public ownership after investors have
been repaid". Sedangkan Budds dan McGranahan (2003) menyatakan “Private-
sector participation” is used in the literature to cover a wide range of
arrangements between a government agency and a non-public institution, but
usually refers to a contractual agreement involving a public agency and a formal
(often multinational) private company. The term “privatization” is also widely
used but can refer to two rather different things. It is sometimes used as a
generic term to refer to increasing private sector involment, but also specifically
to the model of divesture. “Public-private partnership” is common term but is
rarely explicitly defined. In the water and sanitation sector, it tends to be used to
refer to contractual agreements in which private companies assume greater
responsibility and/or risk, especially through concession contracts. Lebih lanjut
Budds and McGranahan mengatakan bahwa “There are several models of private
sector involvement in water and sanitation utilities, with numerous variations,
depending on the legal and regulatory frameworks, the nature of the company
and the type of contract”.
Dalam Policy Brief yang diterbitkan oleh OECD (April, 2003), menyatakan
bahwa “Public-Private Partnerships refer to any form agreement (partnership)
between public and private parties. They should not be misunderstood as
privatization, where the management and ownership of the water infrastructure
are transferred to the private sector”. Lebih lanjut, dinyatakan “Some options
keep the operations (and ownership) in public hands, but involve the private
sector in the design and constructions of the infrastructure. Other options involve
private actors in the management, operation and/or the financing asset”.
Pendapat lainnya disampaikan oleh McDonald dan Ruiters, yang
menyatakan bahwa “More properly known as “private sector participation” or as
7 Lihat, Eytan Shesinski dan Luis F Lopez-Calva, “Privatization and Its Benefits: Theory and Evidence”, dalam CESifo Economics Studies, No.3, Vol.49, 20038 Lihat, Joseph E Stiglitz, Whither Socialism (Massachusetts: MIT Press, 1994)
11
Indonesia
will be used in this chapter “public private partnerships”, these institutional
arrangements are nevertheless a form of privatization. There is a clear transfer
of crucial decision making responsibilities from the public to the private sector
and an effective transfer of power over assets to a private company, with
qualitatively and quantitatively different rules and regulations guiding the
decision that are made and how citizens are able to access information”.
Dalam perkembangannya, terdapat dua model keterlibatan swasta di
sektor air. Pertama berupa model UK yang diterapkan di Inggris dan Wales
dimana kepemilikan dan pengelolaan utilitas air dilakukan oleh sektor swasta.
Kedua adalah model Perancis, dimana kepemilikan di tangan publik sedangkan
pengelolaannya dilakukan oleh publik atau private. Perbedaan lain dari kedua
model tersebut adalah di UK dibentuk Office of Water Services (OFWAT) sebagai
badan pengatur independen, sedangkan di Perancis “economic regulator”
diperankan oleh pemerintah daerah9.
Secara umum, keterlibatan swasta dalam penyediaan layanan air minum
dapat berbentuk:
(i) Kontrak Jasa ( service contracts ) .
Aspek individual dari penyediaan infrastruktur (pemasangan dan
pembacaan meteran air, operasi stasiun pompa dan sebagainya)
diserahkan kepada swasta untuk periode waktu tertentu (6 bulan sampai 2
tahun). Kategori ini kurang memberi manfaat bagi penduduk miskin.
Kontrak jasa dipergunakan di banyak tempat seperti di Madras (India), dan
Santiago (Chile).
(ii) Kontrak Manajemen .
Manajemen swasta mengoperasikan perusahaan dengan memperoleh jasa
manajemen baik seluruh maupun sebagian operasi. Kontrak bersifat jangka
pendek (3 sampai 5 tahun) dan tidak terkait langsung dengan penyediaan
jasa sehingga lebih fokus pada peningkatan mutu layanan daripada
peningkatan akses penduduk miskin. Kontrak manajemen dilaksanakan di
Mexico City, Trinidad, dan Tobago.
(iii) Kontrak Sewa-Beli ( lease contracts ).
Perusahaan swasta melakukan lease terhadap aset perusahaan pemerintah
dan bertanggung jawab terhadap operasi dan pemeliharaannya. Biasanya
kontrak sewa berjangka 10-15 tahun. Perusahaan swasta mendapat hak
dari penerimaan dikurangi biaya sewa beli yang dibayarkan kepada
pemerintah. Menurut Panos (1998), perusahaan swasta tersebut
memperoleh bagian dari pengumuman pendapatan yang berasal dari
9 Lihat, OECD Policy Brief, “Public-Private Partnerships in Urban Water Sector”, April 2003, http://www.oecd.org/dataoecd/31/50/2510696.pdf
BOT dan beragam variasinya biasanya berjangka waktu lama tergantung
masa amortisasi (25-30 tahun). Operator menanggung risiko dalam
mendesain, membangun dan mengoperasikan aset. Imbalannya adalah
berupa jaminan aliran dana tunai. Pada akhir masa perjanjian, pihak swasta
mengembalikan seluruh aset ke pemerintah. Terdapat beragam bentuk
BOT. Pelaksanaan BOT terdapat di Australia, Malaysia, dan Cina. Di bawah
prinsip BOT, pendanaan pihak swasta akan digunakan untuk membangun
dan mengoperasikan fasilitas atau sistem infrastruktur berdasarkan
standar-standar performance yang disusun oleh pemerintah. Masa periode
yang diberikan memiliki waktu yang cukup panjang untuk perusahaan
swasta guna mendapatkan kembali biaya yang telah dikeluarkan dalam
membangun konstruksi beserta keuntungan yang akan didapat yaitu
sekitar 10 sampai 20 tahun. Pemerintah tetap menguasai kepemilikan
fasilitas infrastruktur dan memiliki dua peran sebagai pengguna dan
regulator pelayanan infrastruktur tersebut.
(v) Konsesi .
Konsesi biasanya berjangka waktu 25 tahun yang berupa pengalihan
seluruh tanggung jawab investasi modal dan pemeliharaan serta
pengoperasian ke operator swasta. Aset tetap milik pemerintah dan
operator swasta membayar jasa penggunaannya. Tarif mungkin dibuat
rendah dengan mengurangi jumlah modal yang diamortisasi, yang dapat
menguntungkan penduduk miskin jika mereka menjadi pelanggan. Konsesi
dengan target cakupan yang jelas mengarah pada layanan bagi seluruh
penduduk dapat menjadi alat yang tepat dalam memanfaatkan
kemampuan swasta meningkatkan investasi, memberikan layanan yang
baik, dan menetapkan tarif yang memadai. Melalui cara ini, pemerintah
tetap mengatur tarif melalui sistem regulasi dan memantau kualitas
layanan. Konsesi mempunyai sejarah panjang di Perancis, kemudian
berkembang di Buenos Aires (Argentina), Macao, Manila (Pilipina),
Malaysia, dan Jakarta.
Dalam konsesi, Pemerintah memberikan tanggung jawab dan pengelolaan
penuh kepada kontraktor (konsesioner) swasta untuk menyediakan
pelayanan infrastruktur dalam sesuatu area tertentu, termasuk dalam hal
13
Indonesia
pengoperasian, perawatan, pengumpulan dan manajemennya. Konsesioner
bertanggung jawab atas sebagian besar investasi yang digunakan untuk
membangun, meningkatkan kapasitas, atau memperluas sistem jaringan,
dimana konsesioner mendapatkan pendanaan atas investasi yang
dikeluarkan berasal dari tarif yang dibayar oleh konsumen. Sedangkan
peran pemerintah bertanggung jawab untuk memberikan standar kinerja
dan jaminan kepada konsesioner.
(vi) Divestiture .
Kategori ini merupakan bentuk paling ekstrim dari privatisasi, yang berupa
pengalihan aset dan operasi ke swasta, baik keseluruhan maupun sebagian
aset. Pemerintah hanya bertanggung jawab terhadap regulasi. Tidak
banyak contoh dari divestiture, hanya Inggris dan Wales melakukan dalam
skala besar (Weitz, 2002; Stottmann, 2000).
Tabel 1.
Pembagian Tanggungjawab dalam Beragam Bentuk Partisipasi Swasta
Kontrak jasa (Service contract)
Kontrak Manajemen(Management contract)
Sewa-Beli(Lease)
Konsesi (Concession)
Tipe BOT
Pengalihan Penuh (Divestiture)
Kepemilikan
Aset
Publik Publik Publik Publik Swasta/
publik
Private
Investasi
Modal
Publik Publik Publik Swasta Swasta Private
Resiko
komersial
Publik Publik Berbagi Swasta Swasta Private
Operasi/pe-
meliharaan
Swasta/
Publik
Swasta Swasta Swasta Swasta Private
Lama
Kontrak
1-2 tahun 3-5 tahun 8-15
tahun
25-30
tahun
20-30
tahun
Selama
nya
Sumber: Stottman, Walter (2000) dalam Budds and McGranahan, 2003 “Are Debates on Water Privatizations Missing The Points? Experiences from Africa, Asia and Latin America”
14
Indonesia
15
Kotak 1.3
Komersialisasi, Privatisasi, dan Komodifikasi
Komersialisasi mengacu pada proses dimana mekanisme pasar dan praktek pasar diperkenalkan pada pengambilan keputusan operasi dari pelayanan publik, misalnya maksimalisasi keuntungan, pemulihan biaya, dan lain-lain (McDonald and Ruiter,2005).
Komodifikasi adalah proses merubah barang atau layanan yang sebelumnya merupakan subyek yang mengikuti aturan sosial non-pasar menjadi suatu subyek yang mengikuti aturan pasar (Gleick, 2002).
Bentuk institusi yang populer dari komersialisasi adalah korporatisasi, dimana pelayanan dibatasi menjadi unit bisnis yang berdiri sendiri yang dimiliki dan dioperasikan oleh negara tetapi dijalankan dengan prinsip-prinsip pasar. Lalu bagaimana kaitan antara korporatisasi dengan privatisasi?
1. Pertama dan yang terutama adalah perubahan dalam etos pengelolaan dengan fokus
pada penyempitan dan pertambahan prinsip dasar keuangan jangka pendek. Sehingga perubahan budaya pengelolaan terjadi jika penyedia jasa dan pelayanan yang dimiliki dan dioperasikan secara penuh oleh negara akan menjadi lebih komersial dibandingkan dengan mitra swasta mereka, dimana manager secara agresif mempromosikan dan menerapkan pemulihan biaya dan prinsip-prinsip pasar lainnya.
2. Korporatisasi sering mempromosikan kontrak pihak ketiga (outsourcing) sebagai strategi operasi dan cara lain dari pemotongan biaya mereka. Kondisi operasi yang kompetitif, pada akhirnya membutuhkan deregulasi (atau regulasi kembali) terhadap kendali monopoli dari pelayanan dan memperbolehkan berbagai penyedia layanan untuk berkompetisi dengan unit khusus untuk menyediakan layanan tertentu dengan harga yang memadai (misalnya: pembacaan meter).
3. Korporatisasi bisa menjadi pintu masuk bagi investasi langsung sektor swasta, kepemilikan atau kendali dengan membuat pelayanan publik menjadi lebih atraktif bagi sektor swasta. Meskipun begitu perusahaan swasta tidak tertarik untuk membeli pelayanan yang mempunyai struktur yang rumit/atau subsidi silang tersembunyi, prosedur pengambilan keputusan yang tidak fleksibel dan terintegrasi secara politis atau budaya pengelolaan yang anti pasar.
Untuk dapat menjalankan privatisasi dan komersialisasi, air harus diberlakukan sebagai komoditas. Seperti yang diungkapkan oleh Gleick (2002), “The processes of
Indonesia
2.3 Pro-Kontra PSP
Perdebatan mengenai keterlibatan swasta dalam penyediaan air terjadi di
banyak negara seperti di Bolivia, India, Philipina, Korea Selatan, Brazil, Afirica
Selatan, Indonesia dan sebagainya. Tidak jarang perdebatan tersebut memicu
perlawanan dari LSM, Serikat Pekerja dan kelompok masyarakat sipil lainnya
untuk menentang keterlibatan swasta dalam penyediaan layanan air bersih.
Bahkan beberapa kelompok masyarakat sipil di Eropa sudah meminta kepada
pemerintah mereka untuk menghentikan dukungannya terhadap keterlibatan
swasta dalam penyediaan air bersih seperti yang terjadi di Norwegia.
Sepanjang dekade 1990, keterlibatan swasta didorong menjadi agenda
kebijakan air dan sanitasi bagi negara berkembang sebagai cara mencapai
tingkat efisiensi lebih baik dan peningkatan cakupan air dan sanitasi. Terdapat
kesepakatan umum bahwa perusahaan publik menjadi lemban dalam
meningkatkan akses layanan dan tidak efisien dan menjadi sarang korupsi10.
10 Budds and McGranahan, 2003, “Are the debates on water privatization missing the point? Experiences from Africa, Asia and Latin America”, Environment and Urbanization, Vol.15, No. 2 October
16
Kotak 1.4
Terlucutnya Peran Negara
Menurunnya kepercayaan terhadap kebijakan intervensi negara dalam pembangunan ekonomi mulai terjadi sejak tahun 1970-an, akibat melonjaknya harga minyak, menurunnya harga komoditas ekspor sedangkan harga barang impor meningkat, yang berdampak pada krisis utang luar negeri yang berujung pada defisit anggaran. Dominasi negara atas aktivitas ekonomi di negara berkembang, mengakibatkan kinerja sektor publik terutama badan usaha milik negara menjadi perhatian utama dalam rangka mengatasi kemerosotan ekonomi. Sedangkan di negara yang menganut konsep negara kesejahteraan, serangan terhadap kebijakan intervensi negara dilakukan menjelang akhir tahun 60-an dan awal 70-an. Berbagai kajian terus bermunculan yang menggugat dominasi negara dalam aktivitas ekonomi dan terutama kinerja badan usaha yang dipandang sebagai sumber ketidakefisienan dan stagnannya ekonomi di negara berkembang. Ketidakpercayaan terhadap kebijakan negara semakin berkembang setelah Inggris dan AS (di bawah kepemimpinan Thatcher dan Reagan) “dinobatkan” sebagai pelopor kebijakan “menolak negara”.
Kebijakan “menolak negara” atau “emoh negara” (meminjam istilah I. Wibowo) semakin mendapat tempat di banyak negara berkembang termasuk Indonesia, ketika negara seolah berasosiasi dengan segala keburukan. Dalam berbagai sektor, ekonomi misalnya negara berkonotasi dengan kolusi, ketidakefisienan dan nepotisme. Dalam politik, negara berkonotasi dengan berbagai pelanggaran hak asasi manusia dan di dalam birokrasi negara berdampingan dengan korupsi. Reputasi buruk yang memberikan legitimasi bagi pelucutan peran negara.
Tidak aneh, jika kemudian (dan di bawah tekanan lembaga keuangan internasional) kebijakan publik yang dihasilkan adalah pencabutan dan
Indonesia
Kelemahan dan ketidakmampuan negara (yang juga didukung oleh
berbagai teori ekonomi) menjadi dasar terbentuknya sintesa privatisasi ataupun
keterlibatan swasta yang membangun argumentasi mendukung kepemilikan
swasta daripada publik11.
Argumen dari pendukung privatisasi menyatakan bahwa perusahaan
swasta cenderung lebih efisien dibandingkan dengan pemerintah dalam hal
skala ekonomis, produktivitas pegawai yang tinggi serta sedikitnya aturan yang
membatasi. E.S. Savas dan Elliot Sclar dalam bukunya menyalahkan pelayanan
jasa yang dilakukan oleh pemerintah karena seringkali menerapkan sistem
monopoli dan ketidakmampuan pemerintah dalam menanggapi kebutuhan
warga negaranya atau masyarakat serta seringnya terjadi ketidakefisienan
dalam pelayanan
Johnson dkk (1995), Peraita dan Benson (1995) berpendapat sektor swasta
dapat menyediakan modal dan pengalaman untuk memastikan pengelolaan dan
penggunaan air yang efisien. Pendukung privatisasi pun menyatakan bahwa
meningkatnya keterlibatan swasta akan menguntungkan penduduk yang belum
terjangkau khususnya penduduk miskin (Finger dan Allouche, 2002). Selain itu,
sektor publik dipandang tidak efisien, kelebihan pegawai, korupsi, terbuka bagi
intervensi politisi, dan tidak tanggap terhadap kebutuhan konsumen. Tarif
rendah tidak menjamin keterjangkauan bagi penduduk miskin, yang ada malah
mengabaikan penduduk miskin. Pendukung keterlibatan swasta menyatakan
swasta lebih efisien, apolitis dan tanggap kebutuhan. Regulasi yang independen,
pemberian konsesi melalui proses yang kompetitif, akan menghalangi
penyalahgunaan kewenangan.
11 Beberapa sintesa tersebut antara lain adalah teorema property rights, principal-agents, methodological individualism, dan public choice. Lebih lanjut lihat “Globalisasi Menghempas Indonesia” hal 133-140, Perkumpulan Prakarsa, 2006.
17
Indonesia
Di lain pihak, tidak sedikit pula pihak yang menolak dilakukannya
privatisasi air bersih. Argumen yang mendasarinya adalah bahwa sifat pelayanan
yang dilakukan oleh pemerintah memang tidak cocok apabila dilakukan oleh
swasta/privatisasi. Mereka menganggap bahwa kontrak yang dilakukan swasta
dapat menimbulkan hidden-cost karena kurangnya informasi, perlunya
pengawasan serta lelang yang sering bersifat terbatas. Terdapat juga kondisi
yang tidak memungkinkan untuk menciptakan kompetisi bagi pelaksanaan oleh
pihak ketiga, sehingga privatisasi menjadi lebih rumit dari yang dibayangkan.
Tidak ada indikasi bahwa perusahaan swasta lebih akuntabel. Justru, hal
sebaliknya yang lebih cenderung terjadi. Privatisasi tidak memiliki track record
keberhasilan. Yang dimiliki privatisasi hanya risiko/bahaya dan kegagalan.
Perusahaan swasta seringkali tidak memenuhi standar operasi, namun
mengeksploitasi harga tanpa banyak menanggung konsekuensi.
Sepanjang abad 20, pemahaman yang diterima publik adalah bahwa
penyediaan air minum bersifat monopoli alamiah dan memberi manfaat bagi
kesehatan masyarakat. Namun perlu diwaspadai bahwa monopoli swasta akan
meningkatkan beban biaya dan mengabaikan kepentingan kesehatan publik.
Sektor publik harus memegang kendali untuk menghindari penggunaan
kekuasaan sewenang-wenang oleh swasta.
Penentang keterlibatan swasta juga mengkritisi bahwa penyediaan
kepentingan publik yang diberikan pada swasta tetapi cenderung bersifat
monopoli alamiah akan mengarah pada penerapan tarif tinggi dan pelayanan
terfokus hanya pada penduduk yang dapat membayar. Selain itu, dikatakan
bahwa air minum adalah hak asasi, sehingga tidak tepat jika swasta mendapat
keuntungan dari penyediaan air minum bagi penduduk miskin. Lebih ekstrim
dikatakan bahwa perusahaan swasta mencuri air dunia (Barlow dan Clarke,
2003).
18
Kotak 1.5
Perlawanan terhadap Kebijakan Privatisasi Air di Indonesia
Pada tanggal 9 Juni 2004, sekelompok organisasi masyarakat sipil dan individu mengajukan gugatan uji materil (judicial review) terhadap UU No.7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air ke Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MKRI). Gugatan ini merupakan bagian dari proses perlawanan (pada saat masih menjadi RUU, beberapa kelompok masyarakat sipil di Indonesia, sudah melakukan serangkaian advokasi, lobby dan kampanye untuk menentang diundangkannya UU No.7 tahun 2004) terhadap reformasi kebijakan sumberdaya air di Indonesia yang disusun melalui WATSAP (Water Resources Sector Adjustment Program), yang didanai dari pinjaman Bank Dunia sebesar US $ 300 juta. Penggugat berpendapat bahwa UU Sumberdaya Air bertentangan dengan UUD 1945 dan dirancang sebagai legitimasi atas kebijakan privatisasi air di Indonesia.
Satu tahun kemudian, tepatnya tanggal 19 Juli 2005 MKRI memutuskan menolak permohonan uji materil tersebut. Tujuh dari sembilan hakim MKRI menolak permohonan penggugat sedangkan dua hakim lainnya menerima permohonan penggugat.
Menariknya, meskipun MKRI menolak gugatan para penggugat, namun MKRI memberikan kesempatan ”conditionally constitutional” jika dalam pelaksanaannya UU Sumberdaya Air bertentangan dengan pertimbangan-pertimbangan MKRI. Bagaimanapun, hal ini merupakan sesuatu yang baru dimana biasanya keputusan MKRI bersifat final. Namun sayangnya mekanisme
Indonesia
2.4. Fakta Empiris PSP di Sektor Air Minum
Menarik untuk disimak, seberapa besar keterlibatan sektor swasta di
sektor air minum. Menurut World Bank12, dalam kurun waktu 1990-2006 terdapat
524 proyek (dalam berbagai model) keterlibatan swasta di sektor air di 58
negara.
Tabel 2.Indikator Penting
Indikator, 1990-2007 Value
Jumlah Negara dengan keterlibatan swasta
60
Proyek yang terlaksana 584
Wilayah dengan porsi investasi terbesar Asia Timur dan Pasifik (48%)
Tipe keterlibatan swasta berdasar porsi investasi terbesar
konsesi (68%)
Tipe keterlibatan swasta berdasar porsi jenis proyek terbesar
konsesi (40%)
Proyek dibatalkan atau dalam masalah 53 yang menunjukkan 29% dari total investasi
Dari tabel di atas, terlihat bahwa sebagian besar keterlibatan swasta
dalam sektor air baik dari sisi investasi maupun proyek adalah model konsesi.
Namun, dalam 5 tahun terakhir (2003-2007) keterlibatan sektor swasta di sektor
air lebih banyak dilakukan dalam greenfield project13, meskipun dari sisi nilai
investasi dalam kurun waktu tersebut masih lebih besar model konsesi (tabel 3)
12 Lihat, http://ppi.worldbank.org/explore/ppi_exploreSector.aspx?sectorID=413 Greenfield project: A private entity or a public-private joint venture build and operates a new facility. This category includes build-operate-transfer and build-own-operate contracts as well as merchant power plants, http://ppi.worldbank.org/book/216Housk-10-23.pdf
Porsi Kerjasama Pemerintah-Swasta di Pasar Air Perkotaan Negara OECD
(dalam % dari penduduk yang terlayani)
Negara Manajemen Publik Manajemen Swasta
Jerman 96 4
Perancis 20 80
Inggris 12 88
Belanda 100 -
Amerika
Serikat
85 15
Sumber: BIPE (2001), dalam Public-Private Partnerships in the Urban Water Sector, Policy Brief
OECD, April 2003
Tabel 5 menjelaskan perbandingan penyediaan layanan yang dilakukan
oleh sektor publik dan swasta di negara-negara OECD. Dari tabel tersebut
terlihat bahwa Perancis dan Inggris merupakan negara dengan sebagian besar
penyediaan layanan airnya dilakukan oleh sektor swasta. Cukup menarik adalah
Belanda yang 100% penyediaan layanan airnya dilakukan oleh sektor publik,
namun pada sisi lain Belanda merupakan salah satu negara yang mendorong
keterlibatan swasta dalam penyediaan air terutama di negara-negara
berkembang.
Lebih spesifik studi-studi yang terkait keterlibatan swasta dalam di sektor
air menunjukkan hasil yang beragam. Ouyahia (2006) menyatakan studi-studi
yang telah dilakukan menggunakan pendekatan yang berbeda. Lebih lanjut
Ouyahia, mengutip Renzetti dan Dupont (2004) menyatakan bahwa studi-studi
yang sudah dilakukan (Morgan; 1977, Crain dan Zardkoohi; 1978) menunjukkan
bahwa utilitas air swasta secara rata-rata memiliki biaya yang lebih rendah.
Namun studi lain (Bruggink;1982, Feigenbaum dan Teeples;1983, Teeples dan
Glyer;1987) menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan biaya antara publik dan
swasta atau utilitas publik memiliki biaya yang lebih rendah.
Studi lain menggunakan pendekatan produktivitas seperti yang dilakukan
oleh Saal dan Parker (2001) (dalam Ouyahia, 2006). Keduanya mengukur kinerja
industri air dan air limbah di Inggris sebelum dan sesudah privatisasi dengan
menggunakan indikator tenaga kerja dan total factor productivity. Keduanya
menemukan bahwa meskipun produktifitas tenaga kerja meningkat namun total
factor productivity menurun yang berarti bahwa privatisasi menghasilkan
23
Indonesia
pengganti. Keduanya juga menemukan bahwa privatisasi menghasilkan
keuntungan yang lebih tinggi tetapi keuntungan efisiensinya sedikit.
Orwin (1999) dan Houstma (2003)15, keduanya menunjukkan bahwa
secara rata-rata perusahaan swasta menetapkan harga yang lebih tinggi
dibanding publik baik di Perancis maupun California. Studi yang dilakukan oleh
Ballance dan Taylor (2005)16 yang melakukan survei terhadap 5000 municipal
dan mencakup 68% penduduk di Perancis, menunjukkan bahwa “...on average,
water delivered by private companies is 27% more expensive than that delivered
by public operators...”.
Studi lain dilakukan oleh ECLAC (1998) yang mencoba membandingkan
kesuksesan dan kegagalan pendekatan privatisasi di Meksiko, Venezuela, dan
Chile, menyimpulkan bahwa kegagalan di Venezuela disebabkan kurangnya
pemahaman terhadap sistem privatisasi sehingga menghasilkan kebijakan yang
kurang sesuai. Selain itu, sektor publik tidak mempunyai kapabilitas memadai
untuk mengawasi swasta. Pemantauan ketat yang dibutuhkan untuk
memastikan swasta memenuhi kewajibannya tidak dilaksanakan. Sebaliknya,
keberhasilan di Chile disebabkan penerapan standar baku dan badan regulasi
independen. Pada kasus Meksiko, keberhasilan ditunjang oleh minat dan
keterlibatan industri swasta dalam penyediaan air dan sekaligus
mempertahankan ketersediaan air bagi kebutuhan industri masing-masing
Cabrera (2003) berdasarkan pengamatannya terhadap privatisasi di
Aguascalientes, Mexico menemukan beberapa kesimpulan diantaranya (i) pada
beberapa aspek, keterlibatan swasta menguntungkan khususnya dalam bentuk
peningkatan efisiensi dan akses, (ii) pada aspek keberlanjutan kurang mendapat
perhatian seperti meningkatnya kesenjangan pendapatan. Khususnya dalam
kondisi monopoli, dan keterbatasan sumber air, besar kemungkinan penduduk
miskin akan mengalami kesulitan.
Surjadi (2003) yang melakukan studi terhadap privatisasi air di Jakarta
menyatakan “One effect of privatization, which our interviews highlighted, is two
years after the implementation of the PSP, the majority of the respondents
perceive the flow and the quality of drinking water to be the same as before
privatisation...These data indicate that expectation of the improvement of flow of
the drinking quality of the water is still high but has yet to be fulfilled”. Pada
studi yang membandingkan kinerja 50 perusahaan penyedia air minum di negara
berkembang Asia dan Pasifik ditemukan bahwa perusahaan swasta lebih efisien
(Estache, 1999). Namun dalam publikasi selanjutnya Estache menyimpulkan
15 Orwin, A 1999. Privatization of Water and Wastewater Utilities: An International Survey”. Toronto: Environment Probe dan Houstma, J. 2003. “Water Supply in California: Economic of Scale, Water Charge, Efficiency, and Privatization.” Mimeo, Mount Allison University.16 Ballance,T. and A.Taylor.2005. Competition and Economic Regulation: The Future of the European Water Industry. IWA Publishing, London UK
24
Indonesia
bahwa “The results show that efficiency is not significantly different in private
companies than in public ones”17.
Studi-studi lain mencoba melihat latar belakang keterlibatan swasta dalam
penyediaan layanan air bersih. Dalam salah satu kesimpulannya, Shofiani (2003)
menyatakan bahwa “Financial difficulties and low level of service delivery as a
motives to privatise Jakarta water utility is proved inaccurate. PAM Jaya in fact
had a status of self reliance. The Jakarta water privatisation is related to IFIs
involvement, i.e ADB, IMF and the World Bank. The IFIs provide loans on water
sector reformation that give limited room for domestic policy choices.”. Ouyahia
menyatakan “In Latin America, privatization was launched mainly because of
heavy political control of public utilities in more countries and goverment
corruption. Privatization and decentralization have been at the centre of the
structural reform process over the last 20 years”. Sedangkan Finger dan Allouche
(2002) menyatakan “Because of financial pressure, more than 30 African
countries have decided to let the private sector operate and invest in their water
infrastructure”.
2.5 Beberapa Isu Penting terkait dengan PSP
2.5.1 PSP dan Kemiskinan
Kehadiran PSP dalam penyediaan layanan air bersih sering dikaitkan
dengan pengurangan kemiskinan. Sektor swasta dipandang sebagai sosok yang
paling pantas atas keterbatasan dana investasi, peningkatan kualitas dan
perluasan akses layanan, termasuk memberikan layanan terhadap kelompok
masyarakat miskin untuk mendapatkan air.
Dari kacamata ekonomi makro, Estache (2002) menjelaskan bahwa
terdapat tiga cara privatisasi sehingga mempunyai dampak pada kesejahteraan
penduduk miskin. Pertumbuhan ekonomi. Pertama, investasi infrastruktur
merupakan faktor penting dalam pertumbuhan ekonomi, yang kemudian
menjadi pendorong utama bagi pengurangan kemiskinan. Kedua, pengurangan
pegawai. Langkah pertama privatisasi adalah peningkatan efisiensi dan
keuntungan melalui pengurangan pegawai. Dalam jangka panjang langkah ini
menghasilkan pertumbuhan ekonomi. Ketiga, realokasi pengeluaran publik.
Secara konvensional, infrastruktur menyerap dana pemerintah dalam jumlah
besar untuk menutup subsidi dan membiayai pembangunan. Privatisasi
mengurangi pengeluaran pemerintah pada kegiatan yang tadinya dibiayai
pemerintah sehingga tersedia dana untuk membiayai kegiatan lain.
Lebih lanjut menurut Estache (2002), dari perspektif ekonomi mikro,
privatisasi mempengaruhi penduduk miskin dalam dua hal yaitu:
17 Lihat, Hall dan Lobina, The Relative Efficiency of Public and Private Sector”, PSIRU, 2005
25
Indonesia
(i) Akses.
Pengaruh terhadap akses melalui hal-hal berikut:
a. Peningkatan biaya sambungan.
Biaya sambungan ditingkatkan sampai mencapai tingkatan yang
sewajarnya setelah sebelumnya dipatok pada biaya yang minimum. Oleh
karena itu, biaya sambungan kemungkinan tidak terjangkau oleh
penduduk miskin kecuali disediakan pilihan membayar bertahap.
b. Pengurangan insentif.
Penduduk miskin biasanya berlokasi di daerah yang sulit dijangkau
(padat, akses rendah, tak aman) sehingga biaya layanan lebih tinggi,
sementara konsumsi air rendah dan sering tidak membayar. Hal ini
mengurangi keinginan swasta melayani penduduk miskin.
(ii) Keterjangkauan.
Terdapat berbagai cara privatisasi dapat meningkatkan keterjangkauan.
a. Peningkatan tarif.
Sebelum privatisasi, tarif selalu lebih rendah dari biaya operasi sehingga
perlu ditingkatkan agar dapat menutup biaya operasi. Ketika produksi
telah efisien dan regulasi telah diterapkan dengan baik, terdapat
kemungkinan tarif akan menurun setelah beberapa waktu.
b. Pembayaran diformalkan.
Perusahaan pemerintah cenderung membiarkan penunggakan dan
sambungan liar. Perusahaan swasta berlaku sebaliknya. Akibatnya,
banyak penduduk miskin kemudian mulai membayar sesuai dengan
pemakaiannya. Hal ini bukan sesuatu yang buruk dengan
mempertimbangkan bahwa sambungan liar cenderung tidak stabil,
bahkan membayar lebih mahal pada ‘mafia air’.
c. Peningkatan kualitas.
Kondisi ini membutuhkan biaya besar yang kemudian dibebankan pada
konsumen, yang kemungkinan membebani penduduk miskin.
Namun dalam kenyataannya, kehadiran PSP tidak selalu seperti yang
digambarkan oleh Estache. Perusahaan swasta, cenderung melakukan “cherry
picking”, dimana perusahaan swasta hanya akan hadir pada area yang
menjanjikan keuntungan dan menghindari area yang tidak menguntungkan
seperti area kumuh, pedesaan, dimana secara topografi sulit, konsumsi air per
kapitanya rendah, dan pendapatan masyarakatnya juga rendah. Meskipun
terdapat dalam kontrak, sangat jarang ada perusahaan swasta yang mampu
26
Indonesia
memenuhi kewajiban kontrak ini (Swyngedouw, 2003 dan Castro, 2004:342),
kecuali jika terdapat insentif yang cukup besar seperti dalam bentuk
pembayaran kompensasi, pemberian subsidi dari pemerintah, pengurangan
atau pembebasan pajak (Hardoy dan Schusterman, 2000: 68). Estache sendiri,
memahami ini dengan mencoba melihat privatisasi dalam kacamata ekonomi
mikro dengan menyebutnya sebagai pengurangan insentif dimana penduduk
miskin biasanya berlokasi di daerah yang sulit dijangkau (padat, akses rendah,
tak aman) sehingga biaya layanan lebih tinggi, sementara konsumsi air rendah
dan sering tidak membayar. Hal ini mengurangi keinginan swasta melayani
penduduk miskin. Situasi ini juga digambarkan oleh Kessler (2004), yang
menyatakan ...government services sometimes lose money because they
subsidize prices for a large number of poor people. Because privatization
inevitably commercialized prices through user fees, government maybe forced
to keep subsidies for those who can’t afford market prices. In other words,
private provision may still require public subsidies.
Dalam studinya, Guiterez (2003) berpendapat bahwa untuk dapat
bermanfaat bagi masyarakat (terutama masyarakat miskin), PSP membutuhkan
peningkatan kapasitas, partisipasi masyarakat, dan peran serta aturan baru
diantara stakeholders. Sedangkan menurut Esteban Castro (2005), kebijakan
neo-liberalisme yang diterapkan di sektor air dan sanitasi (WSS) sejak awal
1980-an tidaklah bertujuan untuk memperluas layanan terhadap masyarakat
miskin. Retorika pro-poor baru dimasukkan dalam kebijakan WSS pada tahun
1990-an, sebagai hasil dari meningkatnya protes dari masyarakat di negara
berkembang dan gagalnya proyek-proyek privatisasi WSS di Eropa dan Amerika.
Kebijakan PSP tidak hanya gagal dalam memberikan pelayanan atas air dan
sanitasi terhadap masyarakat miskin, akan tetapi juga memperdalam
kesenjangan kekuasaan yang berasal dari melemahnya kontrol negara,
pemerintah lokal, dan kapasitas dari masyarakat sipil untuk melakukan kontrol
demokrasi terhadap monopoli sektor swasta terhadap air, terutama di negara-
negara berkembang.
Pandangan yang meragukan PSP terutama terkait dengan pengurangan
kemiskinan, juga diungkapkan oleh Prasad N (2006) yang menyatakan bahwa
“...experiences of PSP in water supply worldwide demonstrate that there is
conflict between social development, public health, environment concerns and
poverty reduction on the one hand and the motive of profit maximizing of the
private sector on the other hand. ...The PSP in water supply which is mainly
based on commercial and profit motives may not achieve the benefits it was
supposed to bring to the poor”. Dalam kajiannya, Global Water Intelligence
(2005), menyatakan bahwa Multi-National Companies (MNCs) tidak tertarik
terhadap negara-negara berpendapatan rendah dimana terdapat ketiadaan
kesinambungan secara komersial dalam penyediaan air. Dengan kata lain,
27
Indonesia
dalam perspektif sektor swasta, negara-negara berpendapatan rendah dan
masyarakat miskin tidak menarik dan memiliki tingkat resiko yang tinggi.
2.5.2 Pembiayaan Air dan PSP
Pembiayaan menjadi salah isu penting dalam penyediaan layanan air,
terlebih setelah akses terhadap air dan sanitasi menjadi salah satu target yang
harus dicapai dalam MDGs. Untuk mencapai target 10 MDGs, sekitar 1,6 milyar
orang harus memperoleh sambungan terhadap air bersih antara tahun 2006-
2015 dan 2,1 milyar orang untuk sanitasi18. Dalam kerangka tersebut, investasi
yang dibutuhkan diperkirakan berkisar antara US$ 51 milyar sampai dengan US$
102 milyar untuk air bersih dan US$ 24 milyar sampai dengan US$ 42 milyar
untuk sanitasi19.
Tabel 6.
Jumlah Penduduk yang Perlu Mendapat Akses
Sesuai Target Air dan Sanitasi MDGs Tahun 2015
Wilayah
Jumlah Penduduk yang Memperoleh Akses Air Minum
(juta)
Jumlah Penduduk yang Memperoleh Akses Sanitasi
Dasar (juta)
Perkotaan Perdesaan Total
Perkotaan
Perdesaan
Total
Sub-Sahara Afrika
175 184 359 178 185 363
Timr Tengah dan Afrika Utara
104 30 134 105 34 140
Asia Selatan 243 201 444 263 451 714
Asia Timur dan Pacifik
290 174 465 330 376 705
America Latin dan Karibia
121 20 141 132 29 161
Eropa Tengah dan Timur
27 0 27 24 0 24
Total 961 609 1.570
1.032 1.076 2.108
18 Hall and Lobina, Pipe Dreams, The Failure of the Private Sector to Invest in Water Services in Developing Countries, World Development Movement, 200619 Ibid
28
Indonesia
Sumber: UN Millenium Project (2005), dalam Hall and Lobina, Pipe Dreams, The Failure of the
Private Sector to Invest in Water Services in Developing Countries, World Development Movement,
2006
Besarnya investasi yang dibutuhkan, membuat banyak pihak percaya
bahwa partisipasi swasta menjadi penting dalam penyediaan layanan air.
Menurut Braadbaart (2001) “There are two arguments for privatizations: the
fiscal argument that privatization will relieve government of the burden of
investment financing and the efficiency argument taht performance will improve
under private ownership”. Pendapat lain disampaikan oleh Palmer dkk (2003),
“why do we need the private sector to be involved at all ? Government and
government-controlled para-statals rarely deliver services cost-efectively for the
reasons noted earlier. Nor can governments usually raise the finance needed to
expand the service provision. Involvement of the international water companies
(on an appropriate basis) can serve to facilitate cost-effective delivery of
services. It can also facilitate mobilising long-term finance. Participation on a risk
sharing basis of the international water companies enhances the confidence of
the providers of finance that investment programmes will be implemented
eficiently”.
Keniscayaan atas keterlibatan sektor swasta sebagai “juru selamat” atas
persoalan pembiayaan air bersih, menempatkan kebijakan PSP menjadi
“mantera wajib” terutama di banyak negara berkembang. Seperti yang
dikatakan oleh Clare Short (2002) “Privatization is the only way to get the
investment that (poor) countries need in things like banking, tourism,
telecommunications and services such as water under good regulatory
arrangements. Sedangankan Hilary Benn (2006) mengatakan bahwa “Clearly
there needs to be significantly increased public investment (in order to meet the
MDGs) – making water and sanitation a priority of national plans in developing
countries. There needs to be a recognition private sector investment may have
a role too.
Menurut data Bank Dunia, total investasi swasta di berbagai proyek air
minum dalam kurun waktu 1991-2006 adalah US$ 57.159 juta, dengan
puncaknya terjadi pada tahun 1997 (tabel 7). Meskipun setelah tahun 1997,
investasi swasta terus menurun (ditandai dengan banyaknya perusahaan swasta
terutama MNCs yang menarik diri), namun menurut Izaguirre dan Marin (2006),
situasi ini tidak berarti aktivitas swasta di sektor air bersih telah berakhir.
Masuknya pemain baru yang berasal dari perusahaan nasional dan regional
dipandang sebagai kecenderungan positif dari keterlibatan swasta dalam
layanan air bersih. Lebih lanjut Izaguirre dan Marin, mengatakan “ So what we
are seeing today is not a backlash but a natural maturation of the market
following an initial boom. Now more aware of the benefits and risks involved,
29
Indonesia
stakeholders are looking for contractual arrangements best suited to each
country’s situation”.
Tabel 7.
Jumlah Investasi berdasar Tipe Keterlibatan Swasta (US$ Juta)
Pendapat lain disampaikan oleh Hall dan Lobina (2006), dalam
publikasinya yang diterbitkan oleh PSI dan World Development Movement
(WDM)20, dimana:
1. Sebagian besar kontrak swasta untuk kontrak manajemen dan lease tidak
melibatkan investasi badan usaha swasta sama sekali untuk perluasan
sambungan untuk rumah yang belum tersambung pada jaringan air
bersih.
2. Kontrak konsesi melibatkan investasi badan usaha swasta untuk perluasan
jaringan. Tetapi komitmen investasi yang telah disepakati mengalami
perubahan, dibatalkan atau tidak mencapai target.
3. Untuk sebagian kontrak privatisasi, pembiayaan publik atau jaminan dari
pemerintah atau bank pembangunan menjadi hal yang terpenting untuk
mendatangkan investasi swasta yang nyata, khususnya menyambung
jaringan air bersih untuk komunitas miskin.
4. Perusahaan air swasta tidak membawa sumber dan volume pembiayaan
investasi tetapi mereka juga sangat bergantung pada sumber yang sama
dengan sektor publik.
Pembiayaan air oleh sektor swasta juga diragukan, sektor swasta pada dasarnya
juga menggunakan sumber pembiayaan yang sama dengan sektor publik. Hal ini
terjadi karena sektor swasta beranggapan bahwa terlalu beresiko untuk
berinvestasi di negara berkembang dengan tingkat pendapatan masyarakat
yang rendah. Dalam tulisannya, Prasad N (2005) mengatakan bahwa “To
overcome some of these insufficiencies, the private sector prefers to rely on
subsidies, soft loans, and a renegotiation of the contractual agreement in order
to provide service to the poor. In other words, the private sector is using the
same sources of funds as the public sector, such as loans from bilateral and
multilateral donors, aid money, and money from customers through tariffs. In
general, and as evidence suggest, it is public funds that supports the private
sector in providing services to the poor”.
20 Hall and Lobina, Pipe Dreams, The Failure of the Private Sector to Invest in Water Services in Developing Countries, World Development Movement, 2006
31
Indonesia
BAB III
Fakta Sekitar PSP di Indonesia
3.1. Sejarah Keterlibatan Swasta dalam Penyediaan Air Minum di
Indonesia
Seperti negara berkembang lainnya, sistem penyediaan air minum di
Indonesia kebanyakan merupakan warisan kolonial. Sebagai contoh PDAM Kota
Semarang yang didirikan pada tahun 1911, PDAM Kota Solo yang didirikan pada
tahun 1929, PDAM Kota Salatiga tahun 1921, dan PAM Jaya yang sudah berdiri
sejak tahun 1843. Tahapan selanjutnya cikal bakal PDAM ini menjadi bagian dari
Dinas Pekerjaan Umum dan baru pada sekitar tahun 60-an dan 70-an berubah
menjadi PDAM.
Sejak awal tahun 1970 an sampai dengan tahun 1990 an (khususnya
selama Pelita III 1979-1984 dan Pelita IV 1984-1989), pemerintah pusat
memegang peran aktif dalam pembangunan infrastruktur bidang air minum
secara luas di seluruh Indonesia. Targetnya adalah memenuhi kebutuhan dasar
air minum 60 liter/orang/hari dengan cakupan layanan 60% di daerah perkotaan.
Pembangunan infrastruktur pemerintah pusat tersebut dimaksudkan sebagai
modal awal yang pada tahap selanjutnya diharapkan dapat dikembangkan oleh
PDAM dan Pemerintah Daerah setempat .
Selama Pelita III pemerintah mulai melakukan kerja sama dengan lembaga
keuangan internasional dalam bentuk pinjaman luar negeri untuk melakukan
investasi di sektor air minum perkotaan. Model pendekatan pembangunan dan
standar teknis pengelolaan dirumuskan oleh pemerintah pusat. Pembangunan
prasarana dan sarana air minum dilaksanakan oleh Departemen Pekerjaan
Umum. Untuk kota kecil dengan penduduk kurang dari 50.000 jiwa
pengelolaannya dilakukan dengan membentuk BPAM (Badan Pengelola Air
Minum) yang bersama-sama dengan pemerintah daerah diharapkan dapat
dikembangkan menjadi PDAM.
Keterlibatan sektor swasta dalam penyediaan air bersih di Indonesia,
mulai terjadi pada tahun 90-an, seiring dengan semakin menurunnya peran
pendanaan dari pemerintah pusat. Proyek PSP pertama adalah BOO Serang
Utara pada tahun 1993, kemudian kontrak konsesi di Pulau Batam oleh PT.
Aditia Tirta Batam (ATB) pada tahun 1996. Pada tahun 1998, pekerjaan serupa
dilakukan oleh PT Palyja di Jakarta bagian barat dan PT Thames PAM Jaya (TPJ) di
Jakarta bagian timur.
32
Indonesia
Meskipun sudah berlangsung sejak tahun 1990-an, namun pada saat itu
kerangka hukum yang mengatur keterlibatan swasta dalam penyediaan layanan
air bersih belum mencukupi. Peraturan perundangan yang mengatur
keterlibataan swasta pada saat itu hanyalah UU Penanaman Modal Asing dalam
Pasal 6 Undang-Undang PMA No 1/1967i jo Undang-Undang No. 11/1970 yang
mengatur secara tegas bahwa kegiatan ekonomi yang sifatnya menyangkut
hajat hidup orang banyak, termasuk air minum tidak diperkenankan dikelola
dengan modal lain termasuk modal asing dan Peraturan Pemerintah No.20
Tahun 1994 tentang Pemilikan Saham dalam Perusahaan yang Didirikan dalam
Rangka Penanaman Modal Asing.
Baru pada tahun 2000, pengaturan yang lebih jelas tentang keterlibatan
swasta dalam penyediaan air bersih disusun melalui Keputusan Presiden
(Keppres) No. 96 tahun 200021 tentang Bidang Usaha yang Tertutup dan Bidang
Usaha yang Terbuka dengan Persyaratan Tertentu Bagi Penanaman Modal,
dimana dumungkinkan bagi modal asing untuk melakukan usaha dalam bidang
yang tergolong penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak
termasuk air minum dimana pemilik modal asing dimungkinkan untuk memiliki
95% saham dari perusahaan tersebut - dalam perkembangannya Keppres No.96
tahun 2000 ini dirubah menjadi Keppres No.118 tahun 2000.
Pada tahun 2004, pemerintah mengesahkan UU No. 7 Tahun 2004 tentang
Sumber Daya Air, yang merupakan salah satu hasil dari reformasi kebijakan
sumberdaya air di Indonesia (lihat kotak 3.1). Dengan adanya UU ini,
keterlibatan swasta di sektor air semakin dipertegas.
21 Dalam konteks ini pada dasarnya terjadi kerancuan regulasi dimana pada tingkatan UU (UU No.II tahun 1970) mengatur secara tegas bahwa kegiatan ekonomi yang sifatnya menyangkut hajat hidup orang banyak, termasuk air minum tidak diperkenankan dikelola dengan modal lain termasuk modal asing. Namun, pada PP No.20 Tahun 1994 dan Keppres No.96 Tahun 2000 dimungkinkan bagi modal asing untuk melakukan usaha dalam bidang yang tergolong penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak khususnya dalam hal ini air minum dimana pemilik modal asing dimungkinkan untuk memiliki 95% saham dari perusahaan tersebut.
33
Kotak 3.1.Krisis Ekonomi dan Reformasi Sektor Sumberdaya Air
Pada saat hampir bersamaan dengan mulainya keterlibatan swasta, sektor sumberdaya air di Indonesia sedang mengalami tekanan luar biasa, akibat ketidakmampuan mempertemukan akibat meningkatnya pertumbuhan dan berbagai permintaan akibat meningkatnya jumlah penduduk. Paradigma kebijakan sumberdaya air di Indonesia juga dipandang sudah kadaluwarsa, sehingga pada tahun 1993 muncul draft Rencana Aksi Kebijakan Sumberdaya Air Nasional (1994-2020) yang merupakan hasil studi yang disponsori oleh FAO dan UNDP. Tanpa sebab yang jelas, draft rencana aksi ini ”menguap” begitu saja, sampai kemudian pembahasan terhadap reformasi kebijakan sumberdaya air di Indonesia dimulai kembali pada sekitar tahun 1997.
Melalui rangkaian seminar dan diskusi yang diinisiasi oleh Bappenas dihasilkan sejumlah visi pengelolaan sumber daya air yang terkait dengan perubahan pendekatan, yakni dari pendekatan sisi pasokan menjadi sisi permintaan; perubahan cara pandang terhadap air, yakni air tidak hanya dilihat sebagai
Indonesia
34
Kotak 3.1.Krisis Ekonomi dan Reformasi Sektor Sumberdaya Air
Krisis ekonomi tahun 1997, ”memaksa” Indonesia untuk berada di bawah program penyehatan yang dipimpin IMF, dan melaksanakan kerangka kerja dan kebijakan ekonomi makro yang tertuang dalam Memorandum of Economic and Financial Policies dalam perjanjian Letter of Intent (LoI), yang kali pertama ditandatangani pada tanggal 31 Oktober 1997 antara Pemerintah Indonesia dan IMF. Sejumlah agenda reformasi kebijakan dan institusional dilaksanakan berdasarkan: a) manajemen ekonomi makro; b) restrukturisasi finansial dan sektor bisnis; c) proteksi terhadap kaum miskin; dan d) reformasi institusi ekonomi. Strategi dan program untuk melaksanakan agenda tersebut dimatangkan sepanjang tahun 1998 bekerja sama dengan Bank Dunia, ADB dan sejumlah kreditor bilateral. Bank Dunia pun mengeluarkan Policy Reform Support Loan (PRSL) pada bulan Juni 1998, kemudian disusul dengan PRSL II yang mencantumkan rencana untuk memperbaiki pengelolaan sumber daya air Indonesia, sebagaimana tertera dalam Matrix of Policy Actions PRSL II.
Rencana perbaikan pengelolaan sumber daya air tersebut muncul pada akhir 1997. Ketika itu sebuah tim kerja sektoral Bank Dunia menyimpulkan bahwa Bank Dunia tidak dapat memberikan bantuan lebih lanjut untuk sektor sumber daya air dan irigasi Indonesia, jika tidak ada perombakan besar-besaran pada sektor tersebut. Perlunya perombakan ini sebenarnya sudah diidentifikasi oleh pihak Bank Dunia saat dialog sektoral antardepartemen yang diadakan Bappenas pada 1997 dalam rangka penyusunan Repelita VII. Dengan terjadinya krisis ekonomi, pada bulan April 1998, Bank Dunia menawarkan kepada Pemerintah Indonesia sebuah pinjaman program untuk merestrukturisasi sektor sumber daya air, yaitu WATSAL. Pinjaman program ini menjadi bagian dari keseluruhan pinjaman untuk mereformasi kebijakan ekonomi makro Indonesia yang sifatnya “cepat dicairkan” supaya dapat menutupi defisit neraca pembayaran, seperti juga tertera dalam dokumen Country Assistance Strategy (CAS) Progress Report untuk Indonesia, Juni 1999. Dokumen ini merupakan revisi dari CAS Indonesia yang dikeluarkan Juni 1997, ketika Indonesia mulai dilanda krisis ekonomi.
Tawaran tersebut diterima oleh Pemerintah Indonesia. Bappenas kemudian membentuk sebuah tim khusus terdiri dari sejumlah staf pemerintah dan organisasi nonpemerintah untuk menyusun sebuah matriks kebijakan bersama dengan tim dari Bank Dunia. Tim ini, melalui Keputusan Menteri tertanggal 2 November 1998, resmi menjadi Tim Pengarah Nasional Program Pembangunan Bidang Sumber Daya Air (Task Force for Reform of Water Resources Sector Policy) yang berada di bawah Bappenas dan Kementrian Infrastruktur dan Prasarana Wilayah (Kimpraswil). Tim yang lebih dikenal sebagai Kelompok Kerja WATSAL ini, bersama dengan dirjen-dirjen terkait dan Tim Koordinasi Pemerintah/Tim Koordinasi Pengelolaan Sumber Daya Air, menandatangani Letter of Sector Policy yang mencakup matriks kebijakan yang disusun oleh Kelompok Kerja WATSAL. Selain itu, Kelompok Kerja WATSAL juga membuat sebuah Rencana Implementasi WATSAL yang berisi tahapan proses dan jadwal dari masing-masing rencana restrukturisasi dalam Matriks Kebijakan. Rancangan itu diserahkan kepada Bank Dunia pada 29 Maret 1999 sebagai panduan mereka dalam mengawasi perkembangan pelaksanaan restrukturisasi.
Surat perjanjian pinjaman sebesar US$ 300 juta ditandatangani pada 28 Mei 1999 dengan jangka waktu pengembalian 15 tahun dan grace period selama tiga tahun. Pencairan pinjaman dilakukan dalam tiga tahap. Tahap pertama dicairkan
Indonesia
3.2 Pengalaman PSP di Indonesia
Akses masyarakat terhadap air bersih secara umum dapat dibedakan
menjadi dua yaitu air perpipaan dan air non perpipaan baik yang terlindungi
maupun tidak terlindungi22. Sampai dengan tahun 2006, hanya 18,4% rumah
tangga yang dapat mengakses air perpipaan yang terdiri dari 30,8% di daerah
perkotaan dan 9% di daerah pedesaan (lihat tabel 3.1)
Tabel 3.1
Akses Masyarakat Terhadap Air Perpipaan di Pedesaan dan Perkotaan
Tahun
Sumber Air Perpipaan
Perkotaan (%) Pedesaan (%)
2000 36,2 6,9
2006 30,8 9
Sumber: Laporan Pembangunan Millenium Tahun 2007
Penyediaan air perpipaan biasanya dilakukan oleh PDAM. Namun, dari
sekian banyak PDAM tersebut sedikit sekali yang berada dalam kondisi sehat,
sedangkan yang lainnya berada dalam kondisi kurang sehat, tidak sehat dan
kritis (Gambar 3.1). Buruknya kondisi yang dialami oleh sebagian besar PDAM
22 Sumber air yang tidak terlindungi artinya jarak antara sumber air dan tempat pembuangan tinja kurang dari 10 meter sehingga kemungkinan besar terkontaminasi limbah tinja. Air dengan sumber terlindungi adalah air dengan kualitas sumber air yang mempertimbangkan konstruksi bangunan sumber airnya serta jarak dari tempat pembuangan tinja terdekat. Jarak yang layak antara sumber air dan tempat pembuangan tinja terdekat adalah lebih dari 10 meter, sedangkan air perpipaan adalah air dengan kualitas yang dapat diandalkan dan lebih sehat dibandingkan sumber air lainnya.
35
Indonesia
tidak terlepas dari berbagai persoalan yang dihadapi antara hutang yang sudah
mencapai lebih kurang Rp 6 triliun, tingkat kebocoran air rata-rata 40 %, tarif
yang lebih rendah dari biaya produksi dan sebagainya.
Gambar 3.1
Kondisi Keuangan 260 PDAM sampai dengan Agustus 2007
Sumber: BPSPAM per Agustus 2007, dikutip dari presentasi Direktorat Pemukiman dan Perumahan
Bappenas, dalam diskusi yang diselenggarakan oleh Indonesia Water Dialogue, 24 Juli 2008
Situasi buruk yang hinggap dalam institusi penyedia layanan air bersih di
Indonesia khususnya air perpipaan inilah yang kemudian menjadi dasar bagi
keterlibatan sektor swasta dalam penyediaan layanan air minum, seiring dengan
berbagai perubahan yang terjadi pada tingkatan global. Sektor swasta
dipandang akan mampu menutup kesenjangan investasi yang terjadi akibat
berbagai persoalan yang dihadapi dalam pembangunan air minum, dan
keterbatasan pendanaan yang dimiliki oleh pemerintah.
Sampai dengan tahun 2006, terdapat 25 proyek PSP di Indonesia dimana
sebagian besar proyek PSP tersebut adalah model BOT dengan beberapa
kontrak konsesi seperti Jakarta, Batam dan Palembang. Hal lain yang juga cukup
menarik adalah sebagian besar kerjasama tersebut berada di daerah industri
dan kota besar (lihat Tabel 3.2)
Tabel 3.2
Partisipasi Swasta dalam Penyediaan dan Pengelolaan Air Bersih di
Indonesia
No Kota Total Investasi (juta US$)
Periode Kontrak
Investor
1 BOT Medan 5 2000-2025 Lyonnaise Des Eaux
36
Indonesia
No Kota Total Investasi (juta US$)
Periode Kontrak
Investor
2 Konsesi Batam 100 1996-2021 Cascal dan Bangun Cipta
Sarana
3 BOT Jambi 2 1996-2001 PT. Noviantama
4 Konsesi Palembang 5 1998-2003 PT. Bangun Cipta Sarana
5 BOT Pekanbaru 10 2005-2020 PT. DAPENMA
6 BOO Serang Utara 5 1993 PT. Sauh Bahtera Samudra
7 Konsesi Jakarta Bagian Barat
225 1997-2022 PT. Palyja
8 Konsesi Jakarta Bagian Timur
225 1998-2023 PT.TPJ
9 JO Cisadane - 1998-2003 Tirta Cisadane
10 BOT Serpong 2,5 1997-2022 Bintang Jaya
11 BOT Lippo Karawaci 10 1999-2024 Lippo Karawaci
12 BOO Bintaro Jaya 10 1990 Pembangunan Jaya
13 BOT Cikampek 0,5 2000-2025 -
14 BOO Bekasi 10 1993 Kemang Pratama
15 BOO Hyundai Indutrial Estate
5 1994 PT. Hyundai
16 BOO Kota Legenda 2,5 1995 PT. Cikarang Permai
17 BOO Bukit Indah 10 1998 PT. Bukit Indah
18 BOT Subang 2,5 2005-2025 PT. MLD
19 Up Rating Gajah Mungkur 2 2006-2026 PT. Tirta Gajah Mungkur
20 BOT Bawen 10 2004 APAC Inti
21 BOT Sidoarjo 2,5
3
1998-2003
2005-2030
PT. Vivendi
PT. Hanarida
22 BOT Denpasar 10 1995-2020 PT. Tirta Artha
37
Indonesia
No Kota Total Investasi (juta US$)
Periode Kontrak
Investor
Buana
23 BOT Samarinda 5 2004-2029 WATTS
24 BTO Banjarmasin 5 2005-2010 PT. Adhi Karya
25 BOT Tangerang - 2006-2031 Gadang Berhad
Sumber: BPP SPAM
38
Kotak 3.2
Konsesi Air di Jakarta
Dari sekian banyak proyek PSP di Indonesia, kontrak konsesi Jakarta yang dilakukan oleh PT. Palyja dan PT. AERTA (sebelumnya TPJ) merupakan yang paling fenomenal, baik dari proses maupun kinerja kedua operator swasta tersebut. Tabel di bawah ini menunjukkan target teknis dan realisasi kedua operator air swasta di Jakarta, dari tahun 2003-2007.
3.3.1 Kerjasama Swasta-Publik Non Profit23: Kerjasama Perusahaan
Publik Belanda dan Beberapa PDAM
Sejarah panjang keterlibatan perusahaan air minum Belanda (Dutch Water
Companies, sebuah perusahaan publik) di Indonesia telah dimulai sejak tahun
1980-an melalui twinning program dalam bentuk proyek konsultansi dan
peningkatan kapasitas. Hasilnya hanya terlihat dalam jangka pendek dan
23 Sebagian besar bahan dikutip dari hasil riset Budhi Yonanta Bahroelim, Public-Private Partnerships Non-Profit in Water Services: Case Studies from Indonesia-Netherland Cooperation, 2007.
kemudian masalah yang sama kembali terulang. Pada akhir 1990-an, kerjasama
ditingkatkan dengan memasukkan investasi sebagai tambahan dalam satu paket
dengan bantuan teknis. Kerjasama jangka panjang dipandang lebih
berkelanjutan dan efektif (Soussan, 2000).
Sejak dicanangkannya Millenium Development Goals (MDGs), Pemerintah
Belanda, melalui The Directorate General for International Cooperation, Dutch
Ministry of Foreign Affairs (DGIS), kemudian berkomitmen untuk membantu
pencapaian target MDG tersebut. Komitmen tersebut akan dipenuhi oleh
pemerintah Belanda melalui kerjasama dengan perusahaan air minum Belanda,
konsultan teknik, dan organisasi lainnya.
Pemerintah Belanda mempersyaratkan bentuk kerjasama publik dan
swasta ditandai dengan kontribusi keuangan, berbagi resiko, tanggungjawab dan
manfaat dari masing-masing pihak. Sehingga publik dan swasta merupakan
mitra sejajar dalam pencapaian pembangunan berkelanjutan dan
penanggulangan kemiskinan di negara berkembang.
Tahun 2004, pemerintah Belanda bekerjasama dengan WMD dan WFI
kemudian meluncurkan proyek percontohan “Public-Private Partnership Water
Sector” (P3SW), dengan dukungan keuangan dari pemerintah Belanda.
Pendekatan yang diterapkan berbasis bisnis tapi nir laba, sehingga disebut juga
Public-Private Partnership Non-Profit. Model kerjasama ini pada dasarnya bagian
dari usaha pelaku publik mencapai sasaran sosial dengan bekerjasama dengan
pelaku swasta yang bertujuan memperlebar pasar luar negeri. Bentuk baru
kerjasama ini mengarah pada lahirnya kerjasama publik swasta nir laba.
A. Proyek Kerjasama dengan WMD
Melalui proyek P3SW, WMD dikontrak untuk menyediakan air minum bagi
2,4 juta penduduk di 10 kota Indonesia Timur, dan mengurangi kebocoran air
dari 50 persen menjadi 15 persen dalam jangka waktu 15 tahun. Dibutuhkan 120
juta Euro. Untuk 5 tahun pertama, investasi WMD mencapai 3,5 juta Euro dan
kontribusi DGIS 7,5 juta Euro. Seluruh investasi akan dikelola oleh Water Fund
East Indonesia Foundation.
Saat ini telah terlaksana kerjasama dengan 6 PDAM yaitu Ambon dan
Seram (Propinsi Maluku), Manado dan Tomohon (Propinsi Sulawesi Utara), Biak
dan Sorong (Propinsi Papua). Sebenarnya WMD telah memulai bentuk kemitraan
ini di Ambon dan beberapa kota lainnya di Indonesia Timur sejak 1998.
Kemudian sejak 2005 diadopsi oleh P3SW.
Pendekatan kemitraan WMD melalui pembentukan perusahaan patungan
bersama PDAM setempat dengan komposisi saham mayoritas berada di tangan
40
Indonesia
WMD, sehingga menghindari campur tangan pemerintah daerah dan PDAM.
Kondisi ini memungkinkan WMD mengambil alih segala jenis keputusan
khususnya terkait penerapan prinsip pemulihan biaya melalui peningkatan tarif.
Ditargetkan dalam 5 tahun, perusahaan sudah dapat memperoleh modal untuk
memperluas cakupan pelayanan. Disamping juga perusahaan akan menjelma
menjadi entitas bisnis yang independen. Pemerintah daerah harus membeli
kembali (buy back) saham WMD . Hasil pengembalian ini akan digunakan untuk
menjalankan pendekatan sejenis di tempat lain.
A.1 Kemitraan WMD dan PDAM Ambon
Sejak tahun 1994, WMD dan PDAM Ambon telah merintis kemitraan
melalui twinning program. Tahun 1998, kedua pihak bersepakat meningkatkan
bentuk kemitraan dengan mendirikan perusahaan patungan, PT. Dream Sukses
Airindo (DSA), dengan saham mayoritas 58% dikuasai WMD. Sebagai bagian
kontribusi PDAM Ambon, diserahkan beberapa aset ke DSA seperti sumber air,
reservoir berikut peralatannya, pipa distribusi utama dan sambungan rumah
yang senilai 435 ribu Euro. WMD menyediakan kontribusi modal sebesar 610 ribu
Euro untuk investasi dan modal kerja. DSA bertanggungjawab memperluas
cakupan layanan dan mengelola sistem layanan pada sebagian kecil wilayah
kota Ambon, sekitar 1.800 sambungan yang sebelumnya dikelola PDAM Ambon
(ADB, 2004)
Namun, perkembangan kemitraan ini terhambat oleh terjadinya
kerusuhan Ambon tahun 1999, hanya beberapa minggu setalah DSA beroperasi.
Walaupun demikian setelah kondisi membaik, tahun 2002, DSA berhasil
menambah sambungan baru sebanyak 1.400 Sambungan Rumah. Namun DSA
tetap beroperasi dengan tarif dan tingkat kerugian yang sama dengan ketika
dikelola PDAM Ambon. Keinginan DSA untuk memperluas cakupan layanan
menjangkau seluruh kota Ambon masih belum tercapai. Pemerintah daerah
masih menunda kesepakatan tersebut.
A.2 Kemitraan WMD dengan PDAM Manado
Di Manado, Sulawesi Utara, pemerintah daerah menyetujui kemitraan
dengan WMD pada tahun 2004. Namun PDAM Manado tidak menindaklanjuti
kesepakatan tersebut. Sampai akhirnya pada tahun 2007, PT. Air Manado, yang
merupakan perusahaan patungan antara PDAM Manado dan WMD diluncurkan.
41
Indonesia
B. Proyek Kerjasama dengan WFI
Bentuk kemitraan lain adalah kemitraan dengan Water Fund Indonesia
(WFI). WFI merupakan yayasan yang dibentuk oleh Aquanet yang merupakan
perusahaan swasta yang dimiliki oleh lima perusahaan air minum Belanda.
Kelima perusahaan tersebut bersama dengan pemerintah Belanda membentuk
Water Fund Holland Foundation. WFI memperoleh suntikan dana dari DGIS
berupa subsidi sebesar 5,1 juta Euro dan modal sebesar 4,7 juta Euro dari
perusahaan air minum Belanda selama peirode 2005-2010.
WFI kemudian membentuk perusahaan patungan dengan PT. Karta Tirta
Dharma Pangada (KTDP)24, sebuah perusahaan swasta lokal, dengan nama PT.
Tirta Riau. WFI memegang saham mayoritas 51%. Tirta Riau membiayai
rehabilitasi Instalasi Pengolahan Air Minum, reservoir dan jaringan distribusi,
termasuk pemberian saran manajerial ke PDAM Pekanbaru. Kemitraan mengikuti
skema REOT (Rehabilitasi, Expansi, Operasi, dan Transfer), dengan Tirta Riau
akan mengoperasikan instalasi pengolahan air dan menjual air baku ke PDAM.
Hasil pembayaran akan digunakan untuk mengamblikan investasi dari WFI.
Pinjaman diberikan dalam bentuk mata uang Rupiah.
24 PT KTDP memperoleh kontrak dari pemerintah Kota Pekanbaru membiayai investasi infrastruktur PDAM Pekanbaru, tetapi kemudian mengalami kesualitan memenuhi kewajibannya.
42
Indonesia
KOTAK 3.3 Sekilas Public-Private Partnership Water Sector (P3SW)
Pelaku pembangunan air minum dan sanitasi Belanda terdiri dari beragam institusi publik, swasta dan LSM, yang menyumbang sekitar 2% dari total pasar air minum dan sanitasi dunia. Para pelaku ini telah mempunyai pengalaman yang cukup panjang sehingga kemampuan, keahlian, kehandalan teknologi, pengalaman dan sumber dayanya dapat disumbangkan kepada negara lain. Disamping itu, akses layanan air minum dan sanitasi telah mencapai 100% sejak dekad 70-an.
Kerjasama perusahaan Belanda dengan mitra luar dibatasi oleh aturan untuk melindungi kualitas pelayanan domestik Belanda sehingga perusahaan air minum Belanda membentuk anak perusahaan yang akan mewakili kepentingannya. Terdapat 6 perusahaan air publik dan 14 Water Boards dan Kiwa yang membentuk Aquanet BV pada tahun 1991. Tujuannya adalah untuk memberikan layanan konsultansi dalam pengembangan kelembagaan kepada mitra luar negeri dibawah proyek bilateral/multilateral. Perusahaan juga memberi kontribusi modal untuk menarik dukungan pemerintah dalam memperbesar pasar luar negeri. Model kerjasama ini pada dasarnya bagian dari usaha pelaku publik mencapai sasaran sosial dengan bekerjasama dengan pelaku swasta dengan tujuan pelebaran pasar
Tujuan P3SW adalah mengurangi kemiskinan di Indonesia melalui peningkatan akses air minum. Dalam kemitraan ini, pemerintah Belanda memberi hibah berupa subsidi ke yayasan berbasis di Belanda yang dimiliki oleh perusahaan air Belanda yang juga berkontribusi modal dalam yayasan. Yayasan berfungsi sebagai pengumpul dana. Keberadaan yayasan ini menjadi penting untuk membelokkan motif mencari keuntungan dari institusi swasta. Subsidi dari pemerintah Belanda mengurangi resiko modal bagi perusahaan air minum Belanda. Dana yang terkumpul di yayasan kemudian disalurkan dalam bentuk pinjaman lunak untuk membiayai investasi modal melalui anak perusahaan di Indonesia. Anak perusahaan didirikan oleh yayasan tersebut, yang kemudian mendirikan perusahaan patungan dengan PDAM atau perusahaan setempat, dengan mitra Belanda memegang saham mayoritas minimal 51%. Hal ini memberi kendali bagi mitra Belanda untuk memastikan perusahaan patungan mengimplementasikan prinsip pemulihan biaya paling tidak selama 15 tahun
Dalam proyek percontohan ini, investasi dilakukan untuk memperbesar produksi, mengurangi kebocoran air, meningkatkan kapasitas terpakai, memperbaiki operasi dan pemeliharaan sekaligus juga melakukan pelatihan. Diharapkan intervensi ini akan meningkatkan pendapatan dan kapasitas pegawai. Untuk memastikan terlaksananya prinsip pemulihan biaya, tarif air ditingkatkan bertahap. Penerimaan akan dipergunakan untuk mengembalikan pinjaman, yang selanjutnya dipergunakan untuk investasi program sejenis di tempat lain. Implementasi proyek dimulai tahun 2005 di dua lokasi yaitu bekerjasama dengan WMD di 10 kota di Indonesia Timur dan bekerjasama dengan WFI di Pekanbaru.
43
Indonesia
Gambar 3.2
Private Sector
WMD Subsidiary Companies
Loan
Inowa ConsultingWMD 50% WFI
50%
Wahana ConsultingWMD 100%
PT. Dream Sukses Airindo
WMD 58%PDAM Ambon 42%
Netherlands Indonesia
PPP Non-Profit-WMD
Non-Profit Organization
Water Fund East IndonesiaFoundation-є11 millionEstablished by WMD
Risk CapitalЄ3.5 million Indo Water BV
Subsidiary of WMD 100%
Loan
Government
Central Government
DGIS
Drenthe Water CompanyWMD NV
Provincial Government
Province Drenthe
RWS
Grant/Subsidy P3SW
Engineering Consultants
Royal Haskoning
Witteveen+Bos
DHV
Private Sector
Consultancy Services
Government
Central Government
Ministry of Public Works
Ministry of Health
Ministry of Finance
Ministry of Home Affairs
Bappenas
Local Government
Ambon Municipality
PDAM Ambon
BPPSPAM
44
Indonesia
Gambar 3.3
Sumber: Budhi Yonanta Bahroelim, 2007
PPP Non-Profit-Water Fund Indonesia
Netherlands
HibahSubsidy P3SW
Water Companies
Government
Central Government
DGIS
Provincial Government
RWS
ShareCapita
l
Water FundHolland StichtingЄ9.8 million
Non-Profit Organization
Loan
Layanan Konsultansi
Aquanet BV
Water Fund Indonesia BV
Loan
Loan
Indonesia
Engineering Consultants
Royal Haskoning
Witteveen+Bos
DHV
Private Sector
Swasta
Perusahaan Indonesia
DapenmaPamsi
PT. TDP
Joint Venture Companies
PT. Tirta Riau WFI 51% KTDP 49%
PT. MTI WFI 51% Dapenma 49% Inowa Consulting Indo Water 50% WFI 50%
Municipality Pekanbaru
PDAM Pekanbaru
Pemerintah
Pusat
Departemen PU
Pemda
Depkes
Depkeu
Depdagri
Bappenas
BPPSPAMM
45
Indonesia
KOTAK 3.4
Manfaat dan Resiko Public Private Partnership Non-Profit
ManfaatSecara umum terdapat beberapa manfaat yang diperoleh PDAM yaitu (i)
kendala campur tangan pemerintah daerah terhadap pengelolaan PDAM akan dapat dihindari karena saham pengendali berada di tangan mitra Belanda; (ii) tarif dapat ditetapkan di atas biaya produksi sehingga prinsip pemulihan biaya dapat terlaksana; (iii) tingkat bunga pengembalian (marginal rate of return) akan relatif rendah, dibawah bunga pasar; (iv) transfer pengalaman, keterampilan dan pengetahuan.
Resiko
Terdapat beberapa resiko yang perlu diantisipasi PDAM diantaranya (i) proses kemitraan tidak melalui proses tender sehingga kemungkinan bentuk kerjasama ini bukan merupakan pilihan yang optimal; (ii) kendali perusahaan berada di tangan mitra Belanda sehingga informasi yang tersedia menjadi tidak simetris (information asymmetry) yang dapat berdampak pada pengambilan keputusan yang tidak optimal terutama menyangkut tarif yang cenderung kurang memperhatikan kepentingan masyarakat miskin; (iii) pengelolaan usaha akan efisien tapi biaya manajemen kemungkinan akan sangat besar mempertimbangkan penggunaan tenaga ahli asing yang sangat ekstensif dengan gaji yang tinggi; (iv) walaupun kemitraan ini bersifat nirlaba tetapi dengan adanya motif mengembalikan pinjaman yang nilainya cukup besar dengan melalui penerapan tarif yang cenderung tidak terjangkau oleh masyarakat miskin, kemitraan ini akan gagal memenuhi target MDG yang seharusnya diperuntukkan bagi masyarakat miskin.
Penerapan subsidi silang akan kurang bermanfaat ketika jumlah pelanggan sedikit sementara pelanggan masyarakat miskin dominan. Disamping itu, penerapan subsidi silang dalam kondisi seperti ini akan mengakibatkan tarif menjadi sangat mahal yang mendorong pelanggan menggunakan alternatif sumber air lain (pompa, sumur, dan lainnya) akibatnya kapasitas terpakai akan menurun tajam; (v) pada kasus PDAM Pekanbaru, resiko kekurangan permintaan
Komponen lain dari kerjasama ini adalah melibatkan PT. Mitra Tirta
Indonesia (MTI) yang merupakan perusahaan patungan antara WFI dan PT.
Dapenma Pamsi25. MTI dikontrak oleh PDAM Pekanbaru untuk memasang
sambungan rumah dan memperluas jaringan distribusi. Kegiatan ini juga
dibiayai oleh WFI. Kemitraan ini juga mengatur rencana bisnis termasuk
peningkatan tarif secara berkala tiap 6 bulan. PDAM Pekanbaru
bertanggungjawab menanggung selisih dari kekurangan biaya air baku dan
harga jual air, dan juga ketika terjadi kekurangan permintaan. Tirta Riau saat
ini (2007) belum beroperasi
25 Merupakan perusahaan pengelola dana pensiun pegawai PDAM dan merupakan pemilik PT. KTDP.
46
Indonesia
Kerjasama WFI dengan PDAM telah terjalin pada tahun 2002 melalui
kemitraan dengan PDAM Tirta Nadi Sumatera Utara. WFI dan PDAM Tirta Nadi
membentuk perusahaan patungan dengan nama Tirta Sumut untuk
menyediakan air baku ke PDAM Tirta Nadi. Dalam kemitraan ini, WFI disubsidi
oleh pemerintah Belanda sebesar 400 ribu Euro dan kontribusi WFI sebesar
700 ribu Euro untuk 15 tahun. Dibutuhkan 2 tahun memformulasikan bentuk
kontrak kemitraan tersebut.
3.3.2 Kerjasama Publik-Publik (PDAM-PDAM)
Tirtanadi di Sumatera Utara adalah satu-satunya PDAM yang telah
mengadopsi Kemitraan Antarpemerintah. PDAM Tirtanadi dimiliki oleh
Pemerintah Daerah Sumatera Utara. Dari 319 PDAM (data tahun 2006),
hanya terdapat 2 PDAM yang dimiliki oleh Pemerintah Propinsi, yaitu DKI
Jakarta dan Sumatera Utara.
Melalui kerjasama operasi, PDAM Tirtanadi terlibat dalam kerjasama
dengan PDAM yang lebih kecil. Sejak 17 Juli 1999, kontrak kerjasama 25
tahun ditandatangani antara PDAM Tirtanadi dengan PDAM Deli Serdang,
PDAM Simalungun, PDAM Tapanuli Tengah, PDAM Nias, dan PDAM Tapanuli
Selatan. Kontrak kerjasama manajemen ditandatangani dengan PDAM
Labuan Batu dan PDAM Dairi.
3.4 Kerjasama Publik (PDAM) dan Komunitas: Sambungan Rumah
Komunal Bagi Daerah Kumuh Perkotaan
Pada dasarnya, sistem sambungan rumah komunal ini adalah
perpanjangan layanan keran umum dari PDAM. Dengan adanya sambungan
rumah komunal, masyarakat tidak lagi perlu berjalan kaki bolak-balik
menggotong ember atau jerigen untuk memperoleh air dari keran umum.
Namun masyarakat tetap memperoleh air dengan harga sosial (tarif keran
umum PDAM).
Sistem sambungan rumah komunal merupakan jawaban terhadap
dilema PDAM dalam menyediakan layanan air minum bagi daerah kumuh
perkotaan. Di satu sisi, PDAM memiliki kewajiban untuk menyediakan
pelayanan bagi seluruh masyarakat di daerah pelayanan/wilayah
administratif kota/kabupaten, baik bagi warga golongan kaya, menengah,
maupun miskin. Di sisi lain, PDAM menghadapi kendala seperti status rumah
dan tanah yang ilegal, kondisi perumahan yang kurang memadai untuk
47
Indonesia
standar teknis pelayanan PDAM, serta kehilangan air, pencurian air, dan
yang utama adalah masalah tunggakan pembayaran.
Sistem sambungan rumah komunal ini merupakan sebuah inovasi
dalam pelayanan air minum kepada masyarakat. Sistem sambungan rumah
komunal ini merupakan contoh ketika pemerintah dapat berbagi tanggung
jawab dengan masyarakat. Dengan demikian, masyarakat didorong untuk
berpartisipasi aktif dan melaksanakan tanggungjawab dengan baik.
48
Indonesia
KOTAK 3.4Proyek Percontohan Sistem Sambungan Rumah Komunal
ESP-USAID bekerjasama dengan Jaringan Kesejahteraan/Kesehatan Masyarakat (JKM) Medan membantu memfasilitasi pembangunan Master Meter System (Sistem Meter Induk) atau sistem sambungan rumah Komunal di kota Medan. Proyek percontohan sistem sambungan rumah komunal ini dilaksanakan di tiga kelurahan, yaitu Kelurahan Sunggal, Kelurahan Kampung Baru dan Kelurahan Sei Mati.
Dalam pembangunan sistem sambungan air komunal ini, terdapat 4 tahapan yang dilalui. Tahapan pertama adalah penyiapan masyarakat. Kegiatannya berupa pemilihan lokasi, kemudian dengan bantuan fasilitator (LSM) dilakukan diskusi dan perencanaan di tingkat masyarakat untuk mengembangkan konsep. Selain itu, masyarakat juga menerima program penguatan kapasitas dan peningkatan kesadaran. Setelah itu, dibentuklah kelompok pengguna (Community-based Organization/CBO) yang nantinya akan mengelola sistem. Tahap kedua adalah pembuatan kontrak antara pihak PDAM dan CBO yang telah terbentuk yang meliputi perencanaan sistem, biaya pembangunan dan pengadaan barang. Tahap ketiga adalah tahap konstruksi. PDAM bertanggungjawab untuk menyediakan sambungan melalui meter induk di dalam atau tepat di luar area komunitas yang akan dilayani. Kemudian, dengan bantuan fasilitator (LSM) dan/atau PDAM, CBO bertanggung jawab untuk membangun jaringan pipa sederhana setelah meter induk. Tahap keempat, yaitu penguatan CBO berupa pelatihan teknis, dan pelatihan pemeliharaan sarana, serta pengelolaannya.
Tanggungjawab PDAM, LSM dan CBOCBO bertanggung jawab (i) membangun pipa distribusi dan sambungan rumah di
daerah kumuh; (ii) mengoperasikan dan melakukan pemeliharaan jaringan perpipaan setelah meter induk. (ii) pembayaran rekening air ke PDAM. CBO bertanggungjawab mengumpulkan pembayaran dari tiap rumah tangga pelanggan. Sementara PDAM berperan (i) membangun jaringan pipa induk sampai batas daerah permukiman kumuh; (ii) membantu penyelesaian permasalahan yang diluar kemampuan masyarakat/CBO. Selain itu, LSM berperan (i) sebagai mediator antara pihak PDAM dan masyarakat; (ii) mempersiapkan masyarakat dan (iii) menjadi salah satu penyandang dana.
Sistem TarifTarif pada meteran induk merupakan tarif sosial yang ditetapkan PDAM, sementara jumlah yang dibayarkan tiap Kepala Keluarga (KK) merupakan kesepakatan bersama warga, tergantung dari sistem distribusi airnya, sehingga bisa saja terdapat perbedaan. Misalnya pada Kelurahan Sunggal, air dari meter induk kemudian didistribusikan langsung pada tiap rumah tangga tanpa adanya tambahan meter di tiap KK, sehingga tarif yang dibebankan kepada masyarakat adalah sebesar tarif total dari meter induk dibagi dengan jumlah KK. Di Kelurahan Sei Mati dan Kampung Baru, dari meter induk kemudian dipasang meteran kontrol yang digunakan bersama oleh beberapa KK. Dengan demikian tarif yang dibayarkan bergantung kepada jumlah pemakaian yang tertera pada meteran kontrol yang kemudian dibagi bersama antara pengguna meteran tersebut.
Manfaat dari Sistem Sambungan Rumah Komunal Sistem sambungan rumah komunal ini, memberi manfaat pada kedua belah pihak,
yaitu PDAM dan warga daerah kumuh. Bagi PDAM, kekhawatiran mengenai pembayaran rekening air bisa ditiadakan. Karena dengan sistem sambungan rumah komunal ini, urusan administrasi dan tagihan air akan menjadi lebih mudah, karena PDAM hanya berurusan dengan 1 konsumen. Kemudian, permasalahan kebocoran dan sambungan ilegal setelah meter induk pun bukan lagi menjadi kekhawatiran PDAM, karena masyarakat ikut berpartisipasi aktif dalam memelihara jaringan perpipaan, misalnya melaporkan adanya kebocoran, sambungan ilegal, penggunaan pompa dan lain-lain. Keuntungan lain yang bisa diperoleh dari sambungan rumah komunal ini adalah bahwa sistem ini memungkinkan PDAM untuk membangun sistem jaringan perpipaan sederhana/teknologi berbiaya rendah. Selain itu rumah tangga dengan status tidak
49
Indonesia
3.5 Penyedia Air Minum Skala Kecil (Small Scale Water Providers/
SSWP)26
Berdasar data Susenas 2006, penduduk perkotaan (baik kota kecil
maupun kota besar), yang memperoleh layanan air minum perpipaan hanya
mencapai sekitar 41 persen. Penduduk kota besar hanya separuhnya yang
memperoleh layanan air minum perpipaan. Sementara sebagian besar
sisanya memperoleh air dari sumber seperti sumur dangkal, sumur dalam,
keran/hidran umum, sungai/danau maupun penyedia air skala kecil (small
scale water providers)27. Tidak tersedia data yang pasti berapa porsi
penyedia air skala kecil.
Walaupun demikian, berdasar hasil studi yang dilakukan WSP pada 5
kota besar yaitu Jakarta, Palembang, Makassar, Bandung, dan Subang,
ternyata pada lokasi di luar jangkauan pelayanan PDAM penyedia air skala
kecil menjadi sumber utama.
3.5.1 Truk Tangki
Porsi layanan melalui truk tangki relatif tidak signifikan, terutama buat
masyarakat miskin. Hal ini terutama karena volume layanannya yang besar
sehingga bersifat perantara (intermediate), biasanya melayani pembelian
skala besar seperti hidran, terminal air, industri, pertokoan, dan penduduk
menengah atas. Truk tangki dioperasikan oleh swasta maupun PDAM.
3.5.2 Hidran/Terminal Air
Hidran berfungsi sebagai perantara antara sistem perpipaan PDAM
dengan penduduk khususnya yang kurang mampu. Walaupun tidak sedikit
sumber hidran tersebut berasal dari sumur dalam atau bahkan truk tangki.
Kebutuhan modal yang besar dalam mengelola hidran menjadikan
pengelolaannya membutuhkan keterampilan yang cukup tinggi. Pada
dasarnya hidran membantu PDAM untuk menjangkau penduduk kurang
mampu tetapi karena tarif hidran yang dikenakan oleh PDAM bersifat sosial
sehingga terdapat kecenderungan bahwa PDAM kurang mendukung
keberadaannya. Apalagi kemudian ketika hidran tersebut menjual air dengan
harga di atas tarif sosial tersebut. PDAM sendiri tidak dapat menerapkan tarif
26 Sebagian besar dikutip dari Peter Gardiner dkk. Indonesia Small Scale Water Providers Study. Final Report. Water and Sanitation Program East Asia Pacific (WSP-EAP), 2007.
27 SSWP didefinisikan sebagai sumber layanan air minum yang berasal dari terminal air, membayar air dari tetangga atau pemilik lahan/bangunan, truk tangki, kereta doorong (carter), air kemasan/isi ulang. Namun dalam tulisan ini air kemasan tidak akan dibahas.
50
Indonesia
progresif disebabkan adanya persepsi bahwa hidran diperuntukkan bagi
penduduk kurang mampu.
Walaupun demikian di Makassar ditemukan kerjasama antara PDAM
dan swasta lokal dalam pengelolaan terminal air. Tangki air disediakan oleh
PDAM, sementara swasta menyediakan lahan.
3.5.3 Gerobak Dorong
Terkecuali Makassar, porsi layanan kereta dorong pada daerah kumuh
dan daerah tidak terlayani PDAM di keempat kota lainnya relatif dominan.
Kereta dorong merupakan bisnis skala kecil dan bersifat informal. Kereta
dorong sangat bergantung pada sumber air PDAM, sehingga lebih bersifat
sebagai perpanjangan tangan PDAM. Pasar kereta dorong terutama pada
daerah kumuh perkotaan dengan karakteristik pemilikan lahan yang tidak
jelas sehingga PDAM menghadapi hambatan hukum untuk melayani daerah
tersebut. Layanan PDAM pada daerah tersebut akan beresiko dianggap
sebagai legalisasi perumahan liar28
3.5.4 Jaringan Skala Kecil dikelola oleh Pemilik Swasta Lokal
Sistem layanan ini bisa berupa sistem jaringan perpipaan yang canggih
di daerah perumahan menengah atas sampai sistem jaringan sederhana
dengan skala layanan terbatas. Sumber air berasal dari air tanah. Layanan
jenis ini relatif kecil porsinya.
Beberapa contoh jaringan skala kecil di Jakarta adalah di Kamal Muara,
Cengkareng, Pulo Gebang dan Kebon Pala. Sedikit berbeda di Bandung,
sumber mata air dikuasai oleh swasta berlokasi di Desa Mekarwangi,
Kecamatan Ujung Berung. Air yang berasal dari mata air disalurkan melalui
pipa ke terminal air, lalu diangkut menggunakan truk tangki ke industri,
bisnis air isi ulang, dan hidran dikelola perorangan. Di Makassar juga
ditemukan jaringan skala kecil yang bersumber dari air tanah dalam, atau
PDAM, yang didistribusikan melalui pipa ke beberapa rumah di sekitarnya.
3.6 Kemitraan Pemerintah, LSM dan Masyarakat
Berdasar pembelajaran pembangunan air minum di Indonesia, dapat
dikatakan pembangunan yang dilakukan oleh masyarakat selalu dipicu oleh
28 Pada bagian lain tulisan ini dibahas tentang sambungan rumah komunal sebagai alternatif solusi masalah perumahan liar di daerah kumuh perkotaan.
51
Indonesia
adanya dorongan dari pihak luar baik pemerintah, LSM, bahkan swasta.
Bentuk kemitraan yang paling sering terjadi adalah kemitraan antara LSM,
pemerintah dan masyarakat seperti pada contoh Desa Togo-Togo, Kabupaten
Jeneponto Sulawesi Selatan. Bahkan dapat pula terjadi kemitraan antara LSM,
masyarakat, dan swasta seperti pada contoh Desa Cibodas Kabupaten
Bandung. Sementara kemitraan dua pihak antara pemerintah dan
masyarakat biasanya terjadi ketika terdapat komponen pinjaman dalam
sumber pembiayaannya seperti contoh proyek Water Supply for Low Income
Community (WSLIC) dan Pro Air.
Kesemua kemitraan tersebut dapat disebut sebagai kemitraan
pemerintah-masyarakat, walaupun pada contoh Desa Cibodas terdapat
keterlibatan swasta tapi hanya dalam bentuk pemberian pinjaman pada
lembaga pengelola sarana air minum tanpa keterlibatan dalam
pengelolaannya.
Pada ketiga contoh tersebut, masyarakat terlibat secara aktif sejak
awal perencanaan sampai pengelolaannya. Untuk menjamin keberlanjutan
prasarana yang dibangun, masyarakat dipersyaratkan untuk memberi
kontribusi baik berupa dana tunai, tenaga maupun material tergantung pada
kesepakatan awal. Kemudian masyarakat membentuk lembaga/kelompok
pengelola sarana. Keterlibatan pemerintah dan LSM secara intensigf hanya
pada tahap awal persiapan dan pembangunan sarana, untuk kemudian pada
tahap operasi dan pemeliharaan secara perlahan masyarakat yang kemudian
berperan aktif.
Setelah sistem berjalan selama beberapa tahun, kelompok/lembaga
pengelola mulai berkembang dan bahkan mempunyai aset dan dana tunai
yang cukup besar. Hal ini kemudian mendorong masyarakat untuk
mengembangkan jaringan pelayanan bahkan sampai keluar desa. Dana yang
terkumpul dari penerimaan kemudian sebagian dipergunakan untuk kegiatan
sosial kemasyarakatan diantaranya seperti membeli lahan dan membangun
sekolah, dan memberi bea siswa.
Semakin lama lembaga pengelola mulai terlihat seperti PDAM dalam
skala kecil. Seringkali disebut sebagai ’PDAM Desa’. Bahkan untuk beberapa
kondisi, ’PDAM Desa’ ini jelas kinerjanya lebih baik. Hal ini terlihat dalam
akuntabilitas laporan keuangan dalam bentuk pelaportan keuangan yang
terbuka dan dipampang di papan pengumuman. Penerapan sanksi pada
pelanggan dilakukan secara ketat. Penerapan tarif pun bersifat progresif dan
bahkan subsidi silang juga diterapkan. Kinerja yang baik terlihat dari Dana
tersisa setiap tahun semakin meningkat sehingga dapat dipergunakan untuk
reinvestasi, kontribusi ke APBDes dan juga kegiatan kemasyarakatan.
52
Indonesia
Hal lain yang mengemuka bahwa salah satu dari ’PDAM Desa’ ini
memperoleh pinjaman dari swasta tanpa jaminan, dan dapat dikembalikan
lebih cepat dari waktunya. Selain itu, fleksibilitas pelayanan juga terlihat dari
kemauan pengelola melayani desa tetangga tanpa memperhatikan batasan
administrasi sehingga tidak setiap desa harus mempunyai ’PDAM Desa’.
Pemanfaatan air menjadi lebih efisien.
KOTAK 3.7Pengelolaan Air Desa Togo-Togo Kabupaten Jeneponto
Penyediaan air bersih di Desa Togo-Togo merupakan kerjasama antara Plan Indonesia dengan masyarakat Togo-togo. Sistem penyediaan air bersih Desa Togo-togo ini dibangun pada tahun 1994, dan sampai saat ini telah berlangsung selama 14 tahun. Sistem penyediaan air bersih di Togo-togo ini berjalan dengan baik terlihat dari peningkatan pendapatan kotor dari rekening air sehingga dana ini dapat diinvestasikan kembali dengan membangun bak penampung air (reservoir) berkapasitas 20 m3. Bahkan kemudian hal ini memancing Plan Indonesia membantu mengembangkan daerah pelayanan dari tiga desa menjadi lima desa dengan penambahan jumlah SR menjadi 1.000 unit, termasuk juga memancing investasi dari pemerintah berupa pompa distribusi sebanyak 4 buah.
Keberhasilan ini terutama disebabkan oleh keterlibatan masyarakat sejak awal, dan juga pendampingan yang intensif dari Plan Indonesia. Keterlibatan masyarakat dipersyaratkan oleh Plan Indonesia dalam bentuk (i) ketersediaan lahan untuk perangkat yang akan dipasang, termasuk lahan untuk jalur pipa, (ii) adanya kontribusi warga selama konstruksi, (iii) adanya kepanitiaan selama konstruksi serta kepengurusan dalam operasional dan pemeliharaan fasilitas, dan (iv) adanya peraturan dalam pelayanan.
Selain itu, penerapan sistem meter pada semua jenis sambungan, baik SR maupun HU, dengan tarif air yang sama mendorong masyarakat menggunakan air secara efisien. Disamping juga mejadi sumber dana operasi dan pemeliharaan.
Kontribusi masyarakat, baik berupa uang, jasa ataupun barang semakin menguatkan rasa memiliki terhadap sarana dan prasarana air minum. Untuk menjamin keberlangsungan sarana, pengelolaan sistem diserahkan pada suatu badan pengelola, yaitu Badan Pengelola Air Minum (BPAM). Organisasi BPAM ini sudah cukup rapi, terlihat dari struktur organisasi yang jelas, administrasi keuangan yang akuntabel serta standar prosedur operasional yang baik, termasuk aturan main bagi pelanggan (biaya, sanksi dan lainnya). Calon pengelola yang akan menduduki kepengurusan di BPAM sebelumnya juga mendapatkan pelatihan dari Plan Indonesia. Selain itu, pejabat struktural tingkat kecamatan juga ikut
KOTAK 3.8
Pengelolaan Air Bersih di Desa Cibodas, Kabupaten Bandung
Pengelolaan air bersih di Desa Cibodas merupakan hasil kerjasama Yayasan CARE dengan masyarakat melalui fasilitasi pemerintah. Sejak awal pembangunan sarana air bersih, masyarakat sudah ikut terlibat dalam setiap kegiatan mulai dari melakukan survei untuk mencari sumber air yang potensial, melakukan pengukuran dan perhitungan untuk menyusun anggaran biaya hingga proses konstruksinya. Bantuan dari Yayasan CARE berupa pipa induk dan bimbingan teknik, administrasi serta penyuluhan ke masyarakat. Sementara sisa dana yang dibutuhkan berasal dari biaya sambungan yang dibayar dimuka oleh masyarakat.
Proses pembangunan dimulai tahun 1988, dimulai dengan yayasan CARE melaksanakan penataran teknik, administrasi dan cara memberikan penyuluhan kepada masyarakat bagi para tokoh masyarakat. Setelah itu,dibentuk Panitia Pembangunan Sarana Air Bersih (PPSAB) yang anggotanya adalah masyarakat itu sendiri. Karena jaringan perpipaan juga melewati desa lain, sehingga pelayanan air bersih mencakup desa tetangga dengan peraturan yang berlaku sama.
Pembangunan dilakukan secara bertahap dengan waktu konstruksi dua tahun. Setelah konstruksi selesai, PPSAB dibubarkan dan dibentuk Badan Pengelola Sarana Air Bersih dan Sanitasi (BPABS) yang disahkan oleh kepala desa. Anggota BPABS ini dibedakan dengan PPSAB, yaitu anggota PPSAB merupakan anggota yang memahami mengenai teknis konstruksi sarana, sementara anggota BPABS memiliki keahlian administrasi dan manajerial.
Akibat permintaan terus bertambah, pada tahun 2002 BPABS berinisiatif melakukan pengembangan jaringan yang sebagian didapatkan dari kas BPABS ditambah dengan pinjaman dari sebuah perusahaan swasta. Pinjaman ini diperoleh tanpa jaminan, dengan masa pinjaman 5 tahun, dan ternyata pinjaman dapat dilunasi dalam waktu 3 tahun.
Tarif Tarif progresif dan subsidi silang diberlakukan bagi masyarakat yang tidak
mampu sehingga BPABS dapat memasang sambungan air tanpa biaya apapun dan pelanggan tersebut tidak perlu membayar tagihan air. Sementara pengguna air yang berlebihan, dikenakan biaya cukup besar. Pemberlakuan sistem tarif ini menyadarkan masyarakat bahwa memperoleh air tidaklah gratis (benda ekonomi).
Kenaikan tarif diputuskan oleh pengelola BPABS, namun masyarakat ikut terlibat dalam pengambilan keputusannya dan di sosialisasikan kepada seluruh pengguna air bersih. Legalisasi tarif diputuskan melalui Badan Perwakilan Desa (BPD) dan ditandatangani Kepala Desa Cibodas. Segala peraturan bagi pemakai air bersih dengan jelas tertuang dalam AD/ART BPABS.
Transparansi Dana BPABSPemasukan BPABS Cibodas berasal dari iuran rutin dan biaya sambungan
air, yang digunakan untuk pengeluaran rutin berupa pembayaran honor perangkat BPABS, insentif kepada Perhutani, PT Perkebunan Nusantara dan Desa Suntenjaya yang dilalui oleh pipa induk. Pemasukan BPABS juga digunakan untuk kepentingan masyarakat, seperti disumbangkan ke dalam kas desa untuk Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDes), pembelian lahan untuk pembangunan
KOTAK 3.5The Second Water and Sanitation for Low Incomes Communities Project
(WSLIC-2)
Proyek WSLIC-2 merupakan inisiatif bersama antara Pemerintah Indonesia, Bank Dunia, dan Pemerintah Australia. WSLIC-2 dilaksanakan di 8 propinsi yaitu Propinsi Sumatera Barat, Sumatera Selatan, Bangka Belitung, Jawa Timur, Jawa Barat, NTB, Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat dan mencakup 37 kabupaten, 2300 desa dan menjangkau 4,5 juta penduduk. Kegiatan mulai dilaksanakan pada tahun 2001 dan berakhir tahun 2009.
Sasaran WSLIC-2 adalah menyediakan layanan air minum dan sanitasi yang aman, mudah, terjangkau untuk komunitas miskin di desa yang tingkat layanan air minum dan sanitasi belum memadai dalam rangka meningkatkan status kesehatan, produktifitas, dan kualitas hidup masyarakat.
WSLIC-2 dilaksanakan dengan menerapkan pendekatan (i) berdasar kebutuhan masyarakat, pro miskin dan mempertimbangkan aspek gender; (ii) masyarakat terlibat secara aktif dalam perencanaan, pelaksanaan, dan pengelolaan; (iii) kontribusi masyarakat, sebesar 20% dari kebutuhan investasi (4% tunai dan 16% material dan tenaga); (iv) pemerintah berperan lebih sebagai
KOTAK 3.6
ProAir
ProAir merupakan proyek penyediaan air minum dan sanitasi di Propinsi Nusa Tenggara Timur mencakup 5 kabupaten yaitu Kabupaten Sumba Barat, Sumba Timur, Timor Tengah Selatan, Alor, dan Ende. Pendanaan PrroAir sebagian besar dari hibah Pemerintah Jerman. Proyek dimulai tahun 2002 dan akan berakhir tahun 2009.
ProAir dilaksanakan dengan menerapkan pendekatan (i) berdasar kebutuhan masyarakat; (ii) masyarakat terlibat secara aktif dalam perencanaan, pelaksanaan dan pengelolaan; (iii) kontribusi masyarakat untuk dana pemeliharaan dalam bentuk tunai sebesar 4% dari kebutuhan investasi, dan berupa tenaga pada saat konstruksi.
53
Indonesia
BAB IV
KESIMPULAN DAN PEMBELAJARAN
Tema buku ini adalah tentang Kerjasama Pemerintah - Swasta dalam Sektor
Air Minum di Indonesia, dengan tujuan untuk membuka perbedaan pemikiran
tentang masuknya pelaku bisnis swasta di dalam penyelenggaraan
pelayanan air perpipaan, atau air PAM, di perkotaan di Indonesia. Kerjasama
pemerintah swasta yang disebut sebagai PPP ini sebenarnya dapat
dikategorikan ke dalam salah satu varian dari privatisasi, yaitu di mana
Pemerintah mengajak fihak di luar Pemerintah, untuk ikut bersama-sama
menjalankan tugas yang sebelumnya dilaksanakan Pemerintah atau untuk
menjalankan menjalankan tugas yang seharusnya menjadi tugas Pemerintah
(Nugroho & Wrihatnolo, 2008).
Namun demikian, privatisasi acapkali dinilai berlebihan dari berbagai pihak.
Pihak yang mendukung privatisasi berpendapat bahwa privatisasi adalah hal
yang wajar dan bahkan harus, karena Pemerintah semakin tidak mampu
memberikan layanan kepada warganya. Pihak yang menentang privatisasi
berpendapat bahwa privatisasi adalah hal yang di luar kewajaran, bahkan
perlu ditentang, karena Pemerintah tidak pada tempatnya untuk “lari dari
tanggungjawabnya” untuk melayani publik pada sektor-sektor yang
berkenaan dengan kebutuhan dasar, terutama yang dapat dimaknai sebagai
public goods provider. Alasan selanjutnya adalah bahwa pihak swasta yang
diserahi tugas pelayanan publik oleh Pemerintah pada dasarnya cenderung
memperkaya diri sendiri daripada memberikan pelayanan yang lebih baik.
Akibatnya, pelayanan menjadi lebih mahal karena public goods telah
dikomodifikasi atau dijadikan sebagai komoditi bisnis, atau telah menjadi
private goods.
Perdebatan yang menjadi semakin meruncing, apabila mencermati pusat
tren privatisasi. Sebagaimana diketahui, pemahaman privatisasi mulai
54
Indonesia
menjadi arus-utama dunia sejak kepemimpinan Margareth Thatcher di Inggris
bersamaan dengan kepemimpinan Ronald Reagan di Amerika Serikat.
Kejatuhan rezim sosialis di Uni Soviet dan seluruh sekutunya di Eropa Timur
dan privatisasi bisnis yang masif di Inggris membuat dunia bergerak ke arah
sebuah kepastian baru bahwa neoliberal adalah pilihan terbaik yang tersedia.
Pemahaman tersebut dibakukan oleh Prof. John Williamson dalam sebuah
premis bahwa: “Audiences the world over seem to believe that this signifies a
set of neoliberal policies that have been imposed on hapless countries by the
Washington-based international financial institutions and have led them to
crisis and misery. There are people who cannot utter the term without
foaming at the mouth.”
Pemikiran Williamson mendapatkan respon mendunia pada tahun 1990,
ketika pernyataan akademisnya disampaikan “to refer to the lowest common
denominator of policy advice being addressed by the Washington-based
institutions to Latin American countries as of 1989.”29 Gagasan ini
dikembangkan menjadi serangkaian paket kebijakan yang diadopsi oleh
lembaga-lembaga keuangan dunia, khususnya Dana Moneter Internasional
dan Bank Dunia. Paket kebijakan yang disebut sebagai “Washington
Concensus” adalah :
1. Fiscal discipline
2. A redirection of public expenditure priorities toward fields offering both
high economic returns and the potential to improve income
distribution, such as primary health care, primary education, and
infrastructure
3. Tax reform (to lower marginal rates and broaden the tax base)
4. Interest rate liberalization
5. A competitive exchange rate
6. Trade liberalization
7. Liberalization of inflows of foreign direct investment
8. Privatization
9. Deregulation (to abolish barriers to entry and exit)
Diakui atau tidak, konsep ini menjadi inti pemikiran dari pembuat keputusan
global pada tahun 1990an, tidak terkecuali yang dibawa ke Indonesia
berkenaan dengan privatisasi pelayanan-pelayanan publik. Prof. Joseph
Stiglitz adalah salah satu kritikus utama dari gagasan neo-liberalisasi tanpa
pandang bulu dari Washington Concensus. Buku Stiglizt Globalization and Its
Discontent (2001)30 menjadi sebuah manifesto global gerakan anti-globalisasi
yang dihela serba-privatisasi, yang dilatarbelakangi pemahaman Washington
Concesus. Kegagalan resep IMF mengatasi krisis di Asia pada tahun
1998/1999 dan kegagalan Bank Dunia memastikan hasil baik dari privatisasi
pelayanan publik menghasilkan pandangan baru bahwa Washington
Concensus bukanlah panasea. Williamson pun kemudian, dengan mengutip
kritik kepadanya, mengoreksi Washington Concensus, dengan mengatakan:
Some of the most vociferous of today's critics of what they call the
Washington Consensus, most prominently Joe Stiglitz... do not object
so much to the agenda laid out above as to the neoliberalism that they
interpret the term as implying. I of course never intended my term to
imply policies like capital account liberalization...monetarism, supply-
side economics, or a minimal state (getting the state out of welfare
provision and income redistribution), which I think of as the
quintessentially neoliberal ideas . 31
Bagi Indonesia, terlepas dari Williamson yang menyadari kekurangan dari
gagasan besar Washington Concensus-nya, namun ide tersebut telah
terlanjur mendunia. Indonesia menjadi salah satu bagiannya. Salah satu
pelayanan dasar yang seharusnya diberikan oleh Pemerintah yaitu air minum
perpipaan di perkotaan, sebagian telah diserahkan pengelolaannya kepada
swasta.
Pilihan tersebut, yang biasanya diberi penamaan yang lebih lembut: PPP,
tidak dapat dengan serta merta disalahkan, karena Pemerintah menghadapi
masalah dalam melakukan investasi untuk pelayanan dasar air minum,
30 Joseph Stiglitz, 2001, Globalization and Its Discontent, .....31 http://www.cid.harvard.edu/cidtrade/issues/washington.html
56
Indonesia
termasuk jika dikaitkan dengan target Millenium Development Goals (MDGs).
Uniknya, meski telah mengundang mitra swasta, hingga tahun belakangan ini
pun Pemerintah masih mengalami kesulitan memastikan bahwa MDGs dalam
air minum tercapai pada tahun 2015. Tantangan yang dihadapi Indonesia
dalam mencapai target MDGs di bidang air minum sangatlah besar.
Informasi yang diperoleh dari BPP SPAM menunjukkan bahwa kondisi air
minum dapat disimak pada tabel berikut.
Tabel 4.1. Target Pencapaian MDGs dan Pendanaan
No. Uraian 2005 2015
1 Cakupan pelayanan, % 41 80
2 Penduduk terlayani, juta 42 90
3 Sambungan Rumah, juta 7,1 15
4 Kapasitas produksi, m3/detik 105 155
5 Investas, Rp 500 Miliar 43Triliun
Sumber: BPP SPAM, 2008.
Dari segi investasi, total investasi yang diperlukan untuk mencapai cakupan
pelayanan dengan standar prestasi MDGs tahun 2015, yaitu 80% penduduk
perkotaan dilayani melalui air perpipaan, adalah Rp 43 trilyun. Sementara,
Pemerintah memprediksi kemampuan investasinya adalah Rp 0,5 trilyun per
tahun. Artinya, jika direntang antara 2005-2015, maka Pemerintah “hanya”
mempunyai kapasitas investasi Rp 5 trilyun, atau 11,6%. Dari tabel di atas
dapat ditarik kesimpulan bahwa terdapat gap yang besar antara kemampuan
Pemerintah dalam penyediaan dana dibandingkan dengan kebutuhan. Tentu
saja, data dari BPPS-PAM ini adalah data berdasarkan perkiraan pemenuhan
kebutuhan air dalam arti kuantitatif.
Disadari atau tidak, arah pikir ini tetap sejajar dengan pemikiran Washington
Concensus, yang oleh inisiatornya sendiri telah dikoreksi, bahwa kebijakan ke
depan adalah mempercepat pelibatan sektor swasta di air minum perpipaan.
Kondisi ini biasanya diperkuat dengan pembuktian inefisiensi dari perusahaan
57
Indonesia
milik daerah yang menyelenggarakan pelayanan air perpipaan yaitu PDAM.
Banyak disebutkan bahwa PDAM sebagai operator air minum yang
bertanggung jawab terhadap pelayanan air minum kepada masyarakat, jag
menghadapi beberapa masalah yang umum dihadapi, yaitu kualitas air yang
semakin jelek, kualitas pelayanan yang semakin menurun, terutama akibat
krisis moneter 1998 yang menjadi penyebab tertundanya perbaikan dan
perawatan aset. Keadaan ini diperparah oleh adanya inefisiensi operasi dan
keuangan PDAM akibat belum optimalnya penggunaan aset yang dimiliki oleh
PDAM.
Pemikiran yang berkembang adalah bahwa keterlibatan swasta dalam
berperan serta untuk membenahi kinerja PDAM adalah dalam rangka
menjawab tantangan yang disebutkan tadi, yaitu swasta dipandang mampu
mengatasi masalah pendanaan yang tidak bisa disediakan oleh Pemerintah.
Selanjutnya, banyak disebutkan bahwa swasta dapat bekerja lebih efisien,
baik dalam mengoperasikan sistem pelayanan air minum, maupun dalam
mengelola aset agar lebih efektif penggunaannya, sedangkan kepemilikan
aset tetap berada dalam kekuasaan Pemerintah/PDAM.
Pendapat tersebut semakin mengristal ketika membandingkan prestasi
pelayanan pada PDAM yang diswastanisasi dan yang tidak diswastanisasi32.
Kombinasi pernyataan-pernyataan Pemerintah yang pro-privatisasi dan
pembuktian bahwa dalam pelayanan air minum swasta lebih efisien
mengukuhkan keyakinan bahwa privatization is a must.
Di sisi lain, bagi yang kontra terhadap keterlibatan swasta terdapat
kekhawatiran bahwa terlibatnya swasta dalam pengelolaan air minum dapat
berdampak hilangnya kedaulatan rakyat karena aset PDAM akan diambilalih
oleh MNC. Selain itu, juga dianggap bahwa Pemerintah mengalihkan
tanggung jawab yang semestinya menjadi kewajiban Pemerintah untuk
melayani masyarakat akan kebutuhan air minum, kemudian tanggung jawab
ini dilaksanakan oleh swasta. Padahal, belum ada kenyataan yang kongkrit
32 Lihat antara lain hasil riset dari Water Dialog yang dilaksanakanoleh ITB yang membandingkan kinerja pelayanan PAM
yang diswastanisasi di Batam dan yang tidak diswastanisasi di Kabupaten Bogor. Water Dialog, Review for Private Sector Paticipation in Water and Sanitation in Indonesia: A Case-Comparative Study Batam and Bogor, Jakarta: 2009
58
Indonesia
yang bisa membuktikan bahwa swasta mampu mengelola lebih baik
dibandingkan PDAM. Tambahan lagi, dikhawatirkan bahwa pelayanan oleh
swasta ditujukan terhadap orang kaya, sedangkan golongan berpenghasilan
rendah diabaikan karena hanya mampu membayar dengan tarif yang
disubsidi. Apa lagi karena sifat bisnis air minum adalah monopoli alamiah,
dan apabila dipegang swasta, maka hal ini akan menjurus kepada penerapan
tarif tinggi dan pelayanan hanya terfokus pada penduduk yang mampu
membayar.
Ditengah permasalahan mencari upaya agar pelayanan air minum dapat
meningkat hingga tercapainya target MDGs, kontroversi sekitar PSP seakan
tidak pernah selesai sebagai akibat dari tidak adanya rumusan yang jelas
tentang konsep PSP tersebut. Misalnya, adanya dua pendapat yang
berseberangan dalam menjawab pertanyaan apakah air merupakan barang
publik ataukah barang ekonomi. Di satu sisi ia adalah barang publik karena
merupakan barang yang esensial dalam hidup dan kehidupan manusia, tetapi
di sisi lain ia juga adalah barang ekonomi, karena dengan menganggapnya
sebagai barang ekonomi, maka ini berarti kita mengakui nilai ekonomi dari
air sehingga pengelolaannya dapat terhindar dari penanganan yang tidak
efisien. Dengan demikian, dengan menganggap air sebagai barang ekonomi,
maka pengelolaannya akan menjurus kepada tercapainya efisiensi dan
mendorong konservasi dan perlindungan sumber daya air.
Tentang konsep privatisasi ternyata juga masih belum terklarifikasi dengan
jelas. Jadi, proses privatisasi berlangsung ditengah tidak adanya konsep yang
jelas sehingga arah dan tujuan privatisasipun dengan demikian tidak jelas
pula. Yang jelas secara empiris kelihatan bahwa privatisasi adalah
menghilangkan disinsentif ke arah efisiensi dari organisasi publik ke pasar
swasta. Di sini terkandung pengertian bahwa peran Pemerintah akan
berkurang dan peran swasta akan bertambah dalam hal kepemilikan atau
pengelolaan aset. Ada beberapa tekanan atau alasan mengapa suatu negara
melakukan privatisasi. Alasannya (i) secara pragmatis adalah ketika
masyarakat menginginkan pelayanan yang lebih baik, (ii) secara ideologis
ketika terdapat keinginan mengurangi peran pemerintah, (iii) secara
59
Indonesia
komersial, ketika swasta melihat adanya kesempatan mendapatkan
keuntungan dari melakukan pelayanan kepada publik, dan (iv) populis, ketika
masyarakat melihat privatisasi sebagai cara menuju kondisi masyarakat yang
lebih baik.
Ada beberapa model tentang keterlibatan swasta dalam air minum, dan
dengan beberapa variasi pula, bergantung pada kerangka legal dan kerangka
regulatory, bentuk dari perusahaan dan jenis kontrak yang terjadi. Tetapi
kemudian dalam perkembangannya, bermacam -macam model tersebut
dapat dikelompokkan menjadi dua model. Yang pertama adalah model yang
diterapkan di Inggris dan Wales di mana kepemilikan dan pengelolaan
dilakukan oleh swasta. Kedua, adalah model Prancis di mana kepemilikan
ditangan publik sedangkan swasta hanya melakukan pengelolaan saja.
Perbedaan lainnya adalah di UK dibentuk Ofwat (Office of Water) suatu
badan independen yang mengatur pelayanan air minum kepada publik. Di
Prancis, pengaturan dilakukan oleh Pemerintah Daerah.
Ditinjau dari perdebatan ideologis keterlibatan swasta, butir masalah yang
dijadikan argumen bagi pro privatisasi adalah diseputar yang menyangkut
efisiensi, ketersediaan modal untuk investasi untuk memperbaiki dan
mengganti infrastruktur yang sudah usang, dan penyederhanaan birokrasi
yang apabila dipegang swsata akan menjadi lebih ringkas, tidak berbelit-
belit.
Berseberangan dengan yang telah dikemukakan di muka, pihak yang kontra
terhadap privatisasi menganggap bahwa sebagai kebutuhan dasar manusia,
penyediaan air minum lebih tepat dilakukan oleh pemerintah dan tidak cocok
apabila dilakukan oleh swasta. Kontrak yang dilakukan swasta, menurut
mereka, dapat memberi peluang adanya hidden costs yang sulit dibuktikan
karena terbatasnya informasi. Apalagi mengingat bahwa pelayanan ini
bersifat monopoli sehingga peluang untuk menaikkan harga menjadi terbuka
lebar. Monopoli swasta akan meningkatkan beban biaya dan mengabaikan
kesehatan publik. Pelayanan hanya mengutamakan pelanggan kaya yang
mampu membayar, sehingga pelayanan bagi masyarakat miskin terabaikan.
60
Indonesia
Selain itu, tidak ada bukti yang meyakinkan bahwa swasta lebih mampu
melayani publik; justru sebaliknya yang terjadi, swasta tidak memiliki track
record yang menunjukkan bahwa mereka berhasil.
Dari fakta empiris di lapangan, pada kurun waktu 1990-2006 terdapat 524
proyek keterlibatan swasta di sektor air minum di58 negara, terbanyak
adalah jenis konsesi. Namun dalam lima tahun terakhir, antara 2003-2007,
keterlibatan swasta lebih banyak dilakukan dalam greenfield project.
61
Indonesia
Perkembangan yang menarik berlangsung pada kurun waktu 2001-2004, di
mana pihak swasta melakukan rasionalisasi dalam menjalankan operasinya
hanya untuk wilayah-wilayah tertentu saja. Salah satunya adalah RWE
Thames yang menarik diri dari Jakarta dan hanya fokus pada bisnisnya di
Eropah Tengah dan Eropa Timur. Thames PAM Jaya dijual kepada Acuatico,
perusahaan Singapura yang sebagian besar sahamnya dimiliki Kelompok
Recapital dari Indonesia. Demikian juga Suez menarik diri dari Asia dan
Amerika Latin. Di Jakarta, Suez menjual sebagian sahamnya kepada
konsorsium Grup Astratel, anak perusahaan Astra International Tbk, dan Citi
Group. Mayoritas dari pembeli adalah berbasis lokal. Salah satu alasan kunci
mengapa mereka menarik diri adalah negara berkembang seperti Indonesia
tidak bisa menjamin tingkat pengembalian (rate of return) yang dibutuhkan
oleh international equity capital. Hasil studi Bank Dunia menunjukkan bahwa
tingkat pengembalian investasi infrastruktur jatuh turun pada tingkat
pengembalian cost of capital
i
62
Indonesia
Meski keterlibatan swasta meningkat, namun penyediaan air minum oleh
swasta sebenarnya jumlahnya kecil; dari seluruh penduduk dunia yang
berjumla 6 milyar orang, hanya 5% yang dilayani oleh swasta. Kota-kota
besar yang berpendapatan kecil atau menengah penyediaannya masih
didominasi oleh sektor publik. Menarik juga mengetahui Belanda yang
seluruh penyediaan air minum dilayani oleh sektor publik, namun merupakan
salah satu negara yang mendorong keterlibatan swasta dalam penyediaan air
minum terutama di negara-negara berkembang, tidak terkecuali Indonesia.
Meski privatisasi sudah berlangsung sejak 1990-an, studi yang terkait dengan
keterlibatan swasta menyimpulkan hasil yang beragam. Beberapa
diantaranya adalah sebagai berikut:
Ditinjau dari sisi harga ada yang menyimpulkan bahwa utilitas swasta
memiliki biaya yang lebih rendah dibanding perusahaan publik. Namn
studi dengan fokus yang sama oleh peneliti lain menyimplkan bahwa
tidak ada perbedaan antara publik dan swasta, malah utilitas publik
memiliki biaya yang lebih rendah.
Studi lain menunjukkan bahwa air yang didistribusikan oleh swasta 27
% lebih mahal daripada yang disediakan oleh publik.
Ada juga studi yang mengukur kesuksesan atau kegagalan swasta
dalam penyediaan air minum di Amerika Latin. Kegagalan di Venezuela
disebabkan kurangnya pemahaman tentang privatisasi sehingga
menghasilkan kebijakan yang kurang sesuai. Selain itu sektor publik
tidak mempunyai kapabilitas memadai untuk mengawasi swasta,
sehingga ketentuan dalam kontrak yang seharusnya dilaksanakan oleh
swasta tidak terpantau dan tidak terawasi dengan ketat. Sebaliknya di
Chile, peran serta swasta berhasil karena adanya penerapan standar
baku dan badan regulasi independen.
Studi terhadap kasus privatisasi Meksiko menunjukkan dua hal yang
signifikan; pertama keterlibatan swasta meningkatkan efisiensi dan
akses; kedua, aspek keberlanjutan kurang mendapat perhatian.
Studi tentang privatisasi di Jakarta menunjukkan tidak adanya
perbaikan pada tingkat pelayanan setelah 2 tahun kerjasama.. Meski
63
Indonesia
beberapa studi menunjukkan swasta lebih efisien, tetapi pada
kesimpulannya ternyata tidak banyak perbedaan antara efisiensi yang
dicapai swasta dibandingkan dengan perusahaan publik.
Akhirnya dapat disimpulkan bahwa keterlibatan swasta di Jakarta
bukanlah karena kesulitan keuangan untuk investasi dan bukan pula
karena inefisiensi, tetapi hal ini terjadi karena adanya tekanan dari
lembaga finansial internasional yang mengakibatkan ruang gerak
penyusun kebijakan nasional menjadi sempit. Hal senada juga
terungkap di Afrika: karena adanya tekanan yang bersifat finansial, 30
negara di Afrika memutuskan untuk mengundang swasta untuk
mengoperasikan pelayanan infrastruktur air minum.
PSP sering dikaitkan dengan penanggulangan kemiskinan dengan
argumentasi bahwa dengan adanya investasi, maka akan terjadi peningkatan
kualitas pelayanan dan cakupan pelayanan, dengan demikian pelayanan
akan menjadi lebih baik. Sebagai konsekuensinya, masyarakat miskin akan
ikut menikmati pelayanan air minum. Namun yang terjadi adalah, dengan
adanya investasi, maka biaya penyambungan akan semakin tinggi, tarif air
minum akan dirasionalisasi ke angka keekonomian, artinya tarif akan
semakin tinggi sehingga tidak lagi terjangkau oleh masyarakat miskin. Belum
lagi apabila ada biaya tambahan akibat peningkatan kualitas pelayanan. Ini
berarti, meski pengelolaan air minum dilakukan oleh swasta, masyarakat
miskin tetap perlu dilindungi melalui subsidi oleh pemerintah.
Mengenai pembiayaan air minum dan kaitannya dengan PSP, dapat ditarik
kesimpulan bahwa besarnya kebutuhan dana untuk mencapai target MDGs
membuat orang berkesimpulan bahwa dengan terbatasnya dana yang ada
pada pemerintah, maka swasta akan dapat mengisi kesenjangan (gap) dalam
hal pendanaan. Selain itu, diyakini bahwa dengan dipegang oleh swasta
maka efisiensi pengelolaan air minum akan dapat ditingkatkan. Tetapi ada
pendapat lain yang sama sekali bertentangan dengan apa yang dinyatakan di
atas. Hall dan Lobina (2006) berpendapat bahwa sebagaian besar kontrak
manajemen dan lease tidak melibatkan badan usaha swasta sama sekali
dalam memperluas jaringan dan penyambungan baru. Jikapun ada komitmen
64
Indonesia
untuk melakukan investasi untuk memperluas jaringan, hal ini atau sering
kali berubah, atau dibatalkan sama sekali, atau malah tidak mencapai target.
Sampai di sini, dengan melihat pro dan kontra privatisasi yang dipaparkan,
pertanyaanya adalah : apakah kita akan memilih rejim privatisasi atau non-
privatisasi ? Buku ini menggambarkan bahwa pilihannya lebih dari sekedar
pro atau kontra. Pembelajaran lah yang perlu untuk diambil sebagai
simpulan. Pembejaran yang paling pokok adalah bagaimana memahami
prinsip right to water dengan baik.
Pemahaman bahwa hak untuk air (right to water), terutama air minum
perpipaan yang sebagian besar terdapat pada kawasan urban, adalah hak
dari rakyat sebagai warganegara yang harus dipenuhi oleh Negara. Melalui
UU No. 11 Tahun 2005 Indonesia telah meratifikasi kovenan internasional
tentang hak ekonomi, sosial dan budaya, yang termasuk di dalamnya
menghormati, melindungi dan memenuhi hak atas air. Selanjutnya, pada
pasal 5 UU No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air disebutkan bahwa
negara menjamin hak setiap orang untuk mendapatkan air bagi kebutuhan
pokok minimal sehari-hari guna memenuhi kehidupannya yang sehat, bersih
dan produktif, yang berarti jaminan atas right to water. Ditambahkan pada
pasal 6 UU No. 7/2004 bahwa sumberdaya air dikuasai oleh negara dan
dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat, yang
mempertegas prinsip water right untuk rakyat.
Permasalahannya adalah adalah bagaimana Pemerintah memahami water
right dari sisi sebagai penyedia hak atas air. Hak atas air berada pada muara
dari tata kelola air. Di belakangnya terdapat hak atas terdapatnya
pengelolaan lembaga penyedia layanan air yang baik, selanjutnya di
belakangnya terdapat hak atas terdapatnya pengelolaan sumber air baku
yang baik, dan di belakangnya terdapat hak atas terdapatnya pengelolaan
atas kawasan sumberdaya air yang baik. Di depan hak atas air yang berarti
hak atas ketersediaan air yang baik terdapat hak atas adanya pengelolaan
sistem sanitasi dan limbah air yang baik. Pemahaman tata kelola hak atas air
dapat digambarkan sebagai berikut.
65
Indonesia
Gambar 4.1. Hak Atas Air
Hak atas terdapatnya pengelolaan atas
sumberdaya air yang baik
Hak atas terdapatnya pengelolaan atas air baku
yang baik
Hak atas terdapatnya lembaga penyedia layanan air (perpipaan) yang baik
Hak atas ketersedian air yang baik
Hak atas ketersedian penyediaan sistem sanitasi
dan limbah yang baik
Right to water (hulu)
Right to water (hilir)
Ketersediaan air mimum perpipaan tidak ada dengan sendirinya, melainkan
tergantung kepada fakta adakah lembaga pemberi layanan air perpipaan
yang baik. Isu ini mengena kepada adakah PDAM telah memberikan layanan
yang baik. Sejauh kata dibawa, hingga hari ini simpulannya adalah sebagian
besar PDAM tidak mampu memberikan layanan yang baik. Diperkirakan
kurang dari 10% PDAM yang sehat secara keuangan, kemudian mampu
melayani dengan baik karena mempunyai manajemen yang baik.
Pertimbangan yang seringkali diberikan pada saat ini jika PDAM tidak perform
adalah hutangnya banyak dan manajemen tidak profesional. Pahadal,
masalahnya tidak di situ.
Penyebab pertama pelayanan PDAM tidak baik sebelum manajemen yang
buruk adalah keuangan yang buruk. Total hutang PDAM sekitar Rp 5 trilyun,
dengan pengutang terbesar adalam PDAM DKI Jakarta dengan total pinjaman
66
Indonesia
kepada Pemerintah Pusat pada tahun 2009 sekitar Rp 1,2 trilyun, dan hutang
kepada mitra swasta diperkirakan sekitar Rp 700 milyar. Mengapa hutang
PDAM begitu besar? Karena Pemerintah tidak bersedia melakukan public
investment untuk membangun infrastruktur penyedia layanan air minum
perpipaan. Sebagai contoh, di Jakarta, seluruh investasi untuk instalasi
penjernihan air, jaringan pipa primer, dan jaringan pipa sekunder dibebankan
kepada PDAM, yang berarti dibebankan kepada tarif, yang berarti dibebankan
kepada masyarakat. Pada sejumlah negara, seperti di Australia, Malaysia,
Singapura, Hongkong, Spanyol, dan Prancis, negara melalui Pemerintah
Daerah melakukan investasi infrastruktur publik untuk sarana air minum
perpipaan, paling tidak pada instalasi penjernihan air. Ini merupakan bukti
implementasi pemahaman bahwa penyediaan air adalah tugas dan tanggung
jawab pemerintah. Dengan demikian, operator penyediaan air perpipaan,
baik perusahaan daerah ataupun swasta, hanya menanggung biaya
operasional, yang termasuk di dalamnya sambungan tersier, yaitu
sambungan ke perumahan. Tarif air perpipaan menjadi efisien. Tidak perlu
dilakukan setiap tahun. Dan tidak membebani operatornya, siapa pun
operatornya. Ketidaksediaan untuk menanggung investasi publik dengan
berbagai alasan, adalah bentuk nyata upaya untuk berkelit dari tugas dan
tanggung jawab. Di mana pun PDAM, tidak akan mampu melakukan self-
financing jika biaya infrastruktur publik dimasukkan, karena memang khittah
dari infrastruktur publik adalah high-investment and low return. Karena itu
lah para cerdik dan bijak meletakkan keharusan membangun pelayanan
publik menjadi tugas negara, karena negara telah memungut pajak, dan hak
atas pelayanan yang baik ada di dalam setiap pajak yang dibayarkan
warganegara.
Pertimbangan lain, investasi untuk infrastruktur publik tidak akan pernah
terkejar dari sisi harga atau tarif. Terlebih, jika tidak diberikan tarif yang
tinggi. Di Indonesia air PAM bukan saja sekedar public goods, melainkan juga
political goods. Para pimpinan daerah sejak dibentuknya PDAM memilih untuk
menjaga agar tarif air PAM tetap rendah agar mendapatkan popularitas dan
dukungan publik yang berkesinambungan. Di sisi lain, investasi dibebankan
kepada PDAM. Ditambah dengan manajemen yang kurang baik, maka
67
Indonesia
lengkaplah proses self-defeating PDAM. Privatisasi adalah penyelesaian yang
tidak kalah buruk. Sebagai contoh, di Jakarta biaya investasi atau capital
expenditure (capex) dari mitra swasta senantiasa naik dari tahun ke tahun.
Bersamaan dengan itu, tarif didesak untuk naik. Karena sudah swasta, maka
Pemerintah “terpaksa” membuat mekanisme agar tarif dapat naik terus.
Bahkan, selama tiga tahun (2004-2007) terdapat kebijakan penyesuaian tarif
otomatis yang dapat dilaksanakan setiap semester. Artinya, setiap semester
tarif PAM dapat dinaikkan. Pada kenyataannya, pelayanan tidak dapat
ditingkatkan secara signifikan sesuai dengan investasi yang ditanamkan. Ada
pertimbangan, investasinya tidak efektif. Namun, kenyataannya adalah
memang investasi tersebut tidak mudah untuk diskemakan untuk
dikembalikan untuk jangka waktu tertentu. Yang terjadi adalah investasi
kemudian tarif naik, bukan untuk kebutuhan return on investment, tetapi
untuk kebutuhan menutup investasi itu. Karena investasinya tidak dapat
ditutup oleh tarif, terkecuali tarif dapat ditetapkan secara arbitrer oleh
operator, yang berarti lonjakan tarif yang luar biasa, dan air PAM makin
absah sebagai komoditi atau private goods.
Solusi instan yang biasanya diambil adalah “subsidi silang”. Ini adalah
“penyakit malas berfikir” yang diidap banyak pengambil kebijakan. Subsidi
silang artinya, kelompok kaya membayar sangat mahal, kelompok miskin
membayar murah. Ada tiga komplikasi yang mengikutinya. Pertama,
kejengkelan (yang pasti tidak diungkap) oleh kelompok kaya, bahwa mereka
sudah dikenai pajak yang tinggi karena kaya, masih harus mensubsidi orang
miskin. Kalau memberikan derma, hal itu dapat diterima. Namun, mensubsidi
orang miskin adalah tugas Pemerintah yang sudah menerima pajak.
Terkecuali, tidak ada pajak, maka orang kaya harus berbagi kekayaan
dengan orang miskin. Pajak adalah mekanisme share of wealth yang sah,
legal, dan rasional. Ke dua, kelompok miskin juga melakukan kejahatan
publik. Rata-rata pelanggan rumah tangga non-subsidi di Jakarta
mengkonsumsi 30 meter kubik per bulan. Sementara itu, rumah tangga
disubsidi mengonsumsi sampai 40 meter kubik per bulan. Karena harganya
murah, ada kecenderungan menggunaan air dengan boros. Subsidi seperti
memasukkan koin ke kantung celana berlubang. Kontribusi yang relatif sia-
68
Indonesia
sia. Ke tiga, karena pelanggan kaya memberikan pendapatan terbaik, maka
operator PAM, entah swasta atau PDAM, cenderung mengutamakan
pelanggan kaya daripada miskin.
Sementara itu, jika Pemerintah mematok harga tanpa mau berinvestasi di
infrastruktur dasar, maka sepatutnya Pemerintah yang memberikan subsidi
melalui pola public service obligation. Jadi, tarif dapat dipatok wajar, tetapi
Pemerintah membayar kekurangan bayar dari kelompok masyarakat miskin
yang tidak mampu menjangkau tarif yang “wajar” tersebut. Hingga hari ini,
tidak satu pun Pemda yang bersedia mengalokasikan sebagian APBD-nya
untuk membayar subsidi dalam bentuk PSO ini.
Pembelajaran pertama : Pemerintah Indonesia masih memahami air bukan
sebagai public goods yang harus disediakan oleh negara, baik secara
langsung atau pun tidak langsung. Baik dari sisi ketidaksediaan melakukan
investasi pada infrasruktur dasar maupun ketidaksediaan membiayai subsidi
untuk orang miskin melalui mekanisme yang wajar, yaitu PSO.
Mundur ke belakang, adalah hak atas terdapatnya pengelolaan sumber air
baku yang baik. Dengan alasan keterbatasan dana, maka Perum Jasa Tirta,
pengelola bendungan-bendungan di Indonesia, terutama di Jawa mempunyai
kendala untuk mendapatkan pembiayaan yang memadai. Sumber di BUMN
pengelola bendungan pernah mengemukakan, “Kami tidak pernah
mendapatkan cukup anggaran. Bahkan untuk biaya pemeliharaan jaringan
pun kami tidak mendapatkan dana yang mencukupi”. Pembiayaan terbatas
untuk pengelolaan air baku diperburuk dengan rendahnya kualitas kebijakan
yang mengatur kewajiban industri untuk menjaga agar limbahnya tidak
mencemari air. Tarum Barat, yang mengalir dari Bendung Jatiluhur ke Jakarta,
tercemar oleh tiga sungai di Bekasi, dengan sungai yang paling berat
pencemarannya adalah Kali Bekasi. Dengan demikian, pengelola air PAM di
Jakarta terpaksa mempergunakan bahan kimia lebih banyak dari kondisi
wajar air Tarum Barat sebelum masuk ke Jakarta.
69
Indonesia
Trie M. Sunaryo, dari Kemitraan Air Indonesia, dalam “Sistem Pembiayaan
Pengelolaan SDA WS Brantas” melakukan kajian tentang Perum Jasa Tirta I
yang mengelola wilayah Sungai Brantas33. Disampaikan bahwa wilayah
Sungai Brantas mempunyai luas tangkapan hujan 11.800 km2 (25% Jawa
Timur), Penduduk 18 juta (43% Jawa Timur), Curah hujan 2,000 mm/ th,
Potensi air 12 milyar m3/th, Panjang sungai 320 km, dengan tata guna lahan
: sawah 26.5 %, tegalan 22.5 %, tanaman 4.0 %, hutan 26.4 %, hunian 19.4
Sumber : Irzal Z. Djamal, dkk, Penurunan Kehilangan Air: Pengalaman Jakarta Setelah Kerjasama Pelayanan Air Minum PAM Pemerintah-Swasta 1998-2008, Jakarta: BR PAM, 2009
Dari tabel di atas pun kita dapat menyimak, bahwa kerjasama dengan swasta
tidak menjamin Jakarta dapat mencapai target Millenium Development Goals
di air minum perpipaan di perkotaan pada tahun 2015, sebagaimana
ditargetkan. Achmad Lanti dkk., dalam Sepuluh Tahun Kerjasama Kemitraan
Pemerintah-Swasta Air Minum di DKI Jakarta 1998-2008 (2008)
mengemukakan bahwa dalam kaitannya dengan kualitas air, berbeda dengan
kondisi di negara – negara yang lebih maju, di Indonesia, air yang keluar dari
keran tidak bisa langsung diminum, mesti direbus terlebih dulu agar layak
diminum. Dari sudut pandang pemanfaatan energi, kondisi ini sebenarnya
jauh dari efisien, karena masyarakat Jakarta harus untuk memasak air PAM
tersebih dahulu sebelum dikonsumsi. Meski belum ada penelitian tentang
kebutuhan energi untuk memasak di jakarta, tetapi diperkirakan konsumsi
77
Indonesia
energi yang diperlukan untuk memasak air saja sudah sangat besar. Kondisi
pelayanan pun masih mencemaskan. Pada Januari 2009, dilaporkan terdapat
64.500 pelanggan yang tidak mendapatkan air karena kurangnya tekanan
(no water), dari 141.000 pelanggan yang tidak mengkonsumsi air (zero
consumption). Sebagian besar pelanggan tersebut dilaporkan terus ditagih
atas biaya air yang tidak mereka terima.
Berkenaan dengan tarif, pada penelitian daya bayar masyarakat (affordability
survey) akan air PAM di Jakarta yang dilakukan konsultan independen pada
bulan Nopember-Desember 2008 menemukan bahwa tingkat tarif rata-rata di
DKI Jakarta telah masuk ke pada kategori saturated, atau terlalu tinggi untuk
dinaikkan lagi. Kondisi ini terutama pada kelompok pensubsidi, yaitu
kelompok III B hingga kelompok khusus. Bahkan, menurut Departemen PU,
tarif rata-rata PAM Jakarta relatif lebih tinggi dibanding kota-kota besar di
Asia Tenggara, di antaranya Bangkok, Manila, Kuala Lumpur Johor Baru, dan
Singapura (Achmad Lanti, 2008, dkk). Dibanding kota-kota lain di Indonesia,
dapat dipastikan tarif Jakarta adalah yang tertinggi. Ditengarai tingginya
harga air bersih per unit ini disebabkan oleh proses provision, produksi dan
delivery air bersih masih di bawah tingkat efisiensi yang diperlukan.
Inefisiensi tersebut dibebankan pada konsumen. Dengan demikian, ternyata
mengundang swasta sebagai pengelola pelayanan PAM belum menjadi
jaminan pelayanan menjadi baik sebagaimana diharapkan. Pada kasus
seperti di Australia, Pemerintah Melbuorne menunjuk sebuah otorita untuk
mengelola pelayanan PAM. Otorita tersebut semacam badan di bawah
Pemerintah, dan bukan swasta. Namun demikian, pelayanan yang diterima
masyarakat dapat dikatakan memuaskan. Di Singapura, Pemerintah
mendirikan badan otorita yang sama untuk mengelola air minum, dengan
hasil yang memuaskan. Kuala Lumpur dan Johor Baru memilih untuk
menyerahkan penguasaan dan pengelolaan air PAM kepada perusahaan
patungan, antara perusahaan milik daerah dengan perusahaan swasta
domestik, dengan hasil yang memuaskan.
Pertanyaannya adalah, bagaimana jika Pemerintah sudah terlanjur
membebankan kepada “pihak lain”, sehingga biaya tarif menjadi di atas
78
Indonesia
kewajaran. Jawabannya tinggal satu: bentuk Public Service Obligation atau
PSO. Mengapa, karena Pemerintah memberikan penugasan yang menjadi
tugasnya kepada pihak lain. Kekurangan-biaya ini harus ditanggung pemberi
tugas, yaitu Pemerintah. PSO menjadi lebih rumit, jika Pemerintah
menyerahkan penugasan tersebut kepada swasta, karena secara anggaran,
swasta tidak berhak menerima uang Pemerintah yang berasal dari pajak.
Logikanya, sebagai konsekuensi dari penyerahan kewajiban Pemerintah
kepada swasta, maka jika swasta mengalami masalah dalam pembiayaan
yang wajar, Pemerintah memberikan “subsidi” dalam bentuk PSO.
Pemecahannya adalah bahwa mekanisme PSO harus ditata agar tidak
menyalahi aturan administrasi publik, yaitu hanya dapat diberikan kepada
badan layanan umum atau badan usaha yang dimiliki negara. Satu catatan
kritis adalah, pemberian PSO harus benar-benar dapat
dipertanggungjawabkan, karena swasta sering dengan sangat “cerdas”
menyembunyikan ketidakmampuannya dengan cara memaksa meminta PSO.
Kotak 4.1
Public Service Obligation (PSO)
PSO adalah konsep yang bari berkembang akhir 1990an. Salah satu pemrakarsanya adalah Asian Development Bank (ADB). Tidak sulit sebenarnya untuk memahami PSO. Yang pasti, PSO berbeda dengan subsidi, meski banyak fihak yang mempertukarkannya.
Subsidi adalah peristiwa di mana Pemerintah mengeluarkan dana untuk membiaya pengeluaran dari masyarakat miskin atau tidak mampu. Di masa lalu subsidi untuk produk pelayanan yang non-consumtion disebut subsidi, sebagaimana untuk yang produk yang dikonsumsi (secara habis). Jadi, pada masa lalu ada subsidi pendidikan, subsidi kesehatan, subsidi pupuk, dan subsidi BBM.
Pemahaman terkini adalah bahwa subsidi diberikan hanya kepada produk yang tidak dikonsumsi, atau tidak habis dalam sekali konsumsi. Jadi, subsidi diberikan kepada pelayanan-pelayanan yang diberikan oleh pemerintah dalam bentuk pelayanan jangka panjang. Misalnya, subsidi pendidikan, dalam bentuk beasiswa atau tunjangan pendidikan, dan kesehatan, dalam bentuk subsidi untuk pelayanan kesehatan di Puskesmas, subsidi bagi ongkos berobat.
Sementara itu, ada pula kegiatan yang seharusnya dilakukan pemerintah, namun karena alasan-alasan khusus, maka pemerintah tidak menyelenggarakannya. Misalnya penyediaan air bersih. Di masa lalu, pemerintah yang melayani secara langsung penyediaan air bersih, kemudian diserahkan kepada perusahaan daerah –
79
Indonesia
ada yang diswastakan ada yang tetap PDAM. Dengan demikian, proses penyediaan air minum dikelola melalui proses bisnis, dan bukan proses birokrasi.
Proses bisnis memerlukan satu hal: laba, dalam rangka menjaga kesinambungan usaha. Karena itu, ditetapkan harga jual tertentu, agar perusahaan memperoleh marjin laba. Namun, bagaimana jika terdapat suatu populasi yang tidak mungkin mencapai harga tersebut, padahal mereka memerlukan air bersih? Pemerintah kemudian menetapkan tarif harga jual produk tersebut. Masalahnya, bagaimana jika harga jual tersebut berada dibawah biaya produksi atau operasi? Artinya, ada selisih negatif antara harga jual dengan harga produksi (plus laba). Di sini lah muncul klausul PSO.
Karena pemerintah yang menentukan tarif, maka pemerintah harus menanggung kerugian akibat penetapan tarif tersebut. Jadi, selisih negatif dikalikan dengan volume yang dikonsumsi/terjual kepada kelompok miskin tersebut yang harus dibayar oleh pemerintah. Inilah inti pemahaman PSO.
Bukankah ada subsidi silang dari kelompok kaya? Benar. Tetapi bukanlah tidak fair, jika seluruhnya ditanggung secara subsidi silang? Bukankah kelompok ini juga telah membayar pajak kepada pemerintah, termasuk pajak penggunaan air bersih yang dipergunakanya?
Jadi, PSO adalah bagian dari tanggung-jawab pemerintah atas keputusan publik yang dibuatnya. Apabila keputusan tersebut tidak merugikan proses bisnis, demi kesinambungan pelayanan, maka tidak perlu PSO, namun jika sampai merugikan, baru diperlukan PSO.
Dengan demikian, buku ini hendak diakhiri dengan sebuah kenyataan baru,
bahwa pertanyaannya bukanlah to privatize or not to privatize, melainkan
bagaimana kita menilai pelayanan air minum perpipaan. Pelayanan air
minum perpipaan, terutama di perkotaan, merupakan tugas atau
tanggungjawab Pemerintah. Tanggung jawab tersebut minimal direalisasikan
dalam kesediaan dari Pemerintah untuk menanamkan investasi kepada
infrastruktur dasar pelayanan air minum perpipaan, yang berkenaan dengan
instalasi penjernihan air
dan jaringan primer.
Sisanya diserahkan
kepada operator, apa
pun bentuknya, otorita,
perusahaan daerah,
ataupun swasta. Dengan
demikian, masyarakat
membiayai hanya untuk
investasi jaringan
Pelayanan PAM adalah
tugas/tanggung jawab Pemerintah
Dikelola oleh Pemerintah sendiri
dalam bentuk birokrasi pemerintah
atau otorita
Pemerintah mempunyai
keandalan untuk membangun
infrastruktur, tetapi mempunyai
keterbatasan untuk mengelola
Diserahkan pengelolaan kepada perusahaan daerah atau swasta, atau patungan, atau
konsesi
Pemerintah membangun infrastruktur,
lembaga bisnis sebagai pengelola80
Indonesia
sekunder dan tersier, dan biaya pemeliharaan. Gagasan yang serta-merta
mendikotomikan kebijakan untuk meprivatisasi atau tidak memprivatisasi
bukan saja gagasan yang keliru, tetapi tidak relevan. Terlebih jika yang
mengarus-utamakan wacana tersebut adalah Pemerintah. Apa pun
alasannya, kebijakan tersebut dapat mengundang kritik bahwa Pemerintah
lari dari tanggung-jawabnya untuk menyediakan kebutuhan dasar bagi publik
setelah menerima pembiayaan dari instrumen fiskal dari negara. Pilihan
bijaksana adalah memastikan bahwa pelayanan PAM adalah tugas dan
tanggung jawab Pemerintah, yang diwujudkan dalam investasi publik di
infrastruktur dasar. Setelahitu pilihan tergantung kemampuan manajemen.
Jika birokrasi mempunyai kecakapan manajerial, dapat dibentuk badan
otorita yang mengelola pelayanan dengan pola seperti bisnis. Namun jika
birokrasi tidak mampu, pilihannya adalah mendirikan perusahaan milik
Pemerintah (Daerah) atau jika perusahaan tersebut tidak mampu, maka baru
kemudian pilihannya mengundang mitra swasta untuk menggandeng
perusahaan milik pemerintah tersebut, baik dalam bentuk konsesi ataupun
patungan. Dengan demikian, privatisasi atau tidak, merupakan secondary
issue dari pelayanan air minum PAM.
--ooo0ooo-
DAFTAR ISTILAH
AD/ART Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga
ADB Asian Development Bank
APBDes Anggaran Pembangunan dan Belanja Desa
ATB PT. Aditia Tirta Batam
BOT Build Operate Transfer
BPABS Badan Pengelola Sarana Air Bersih dan Sanitasi
BPAM Badan Pengelola Air Minum
BPD Badan Perwakilan Desa
BUMN Badan Usaha Milik Negara
CAS Country Assistance Strategy
81
Indonesia
CBO Community-based Organization
DGIS The Directorate General for International Cooperation, Dutch
Ministry of Foreign Affairs
DSA PT. Dream Sukses Airindo
JKM Jaringan Kesejahteraan/Kesehatan Masyarakat
Keppres Keputusan Presiden
KK Kepala Keluarga
KTDP PT. Karta Tirta Dharma Pangada
LOI Letter of Intent
LSM Lembaga Swadaya Masyarakat
MDGs Millenium Development Goals (MDGs),
MKRI Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia
MNC Multinational Corporations
MTI Mitra Tirta Indonesia
Offwat Office of Water Services
P3SW Public-Private Partnership Water Sector
PDAM Perusahaan Daerah Air Minum
PMA Penanaman Modal Asing
PPP Public Private Partnership
PPSAB Panitia Pembangunan Sarana Air Bersih
PRSL Policy Reform Support Loan
PSP Private Sector Participation
REOT Rehabilitasi, Expansi, Operasi, dan Transfer
SAP Structural Adjustment Program
SSWP Small Scale Water Providers
SUSENAS Survei Sosial Ekonomi Nasional
TPJ PT Thames PAM Jaya
UU Undang Undang
WATSAP Water Resources Sector Adjustment Program
WFI Water Fund Indonesia BV
82
Indonesia
WDM World Development Movement
WSLIC Water Supply for Low Income Community
DAFTAR PUSTAKA
Bahroelim, Budhi Yonanta. Public-Private Partnerships Non-Profit in Water
Services: Case Studies from Indonesia-Netherland Cooperation, 2007.
Gardiner, Peter dkk. Indonesia Small Scale Water Providers Study. Final
Report. Water and Sanitation Program East Asia Pacific (WSP-EAP),
2007.
Mungkasa, Oswar ed. Pembangunan Air Minum dan Penyehatan Lingkungan
di Indonesia. Pembelajaran dari Berbagai Pengalaman. Kelompok Keja
Air Minum dan Penyehatan Lingkungan, Jakarta, 2008.