Top Banner

of 84

Buku Putih Kerjasama Swasta dan Pemerintah dalam Penyediaan Air Minum

Apr 05, 2018

Download

Documents

oswar mungkasa
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
  • 7/31/2019 Buku Putih Kerjasama Swasta dan Pemerintah dalam Penyediaan Air Minum

    1/84

    Indonesia

    BAB I

    PENDAHULUAN

    Air adalah unsur terpenting bagi hidup manusia. Kualitas air yang baik dan

    kuantitas yang cukup sangat berpengaruh bagi kelangsungan hidup manusia.

    Begitu pentingnya air, telah menjadikan akses terhadap air bersih sebagai hak

    asasi manusia1. Akses terhadap air bersih juga menjadi salah satu target dari

    Millenium Development Goals (MDGs)2 yang harus tercapai pada tahun 2015, yang

    ditandatangani oleh 189 negara termasuk Indonesia pada tahun 2000.

    Bagi Indonesia, banyak tantangan yang dihadapi untuk merealisasikan hal

    tersebut. Salah satunya adalah meningkatnya kebutuhan air bersih akibatpeningkatan jumlah penduduk dan peningkatan kegiatan pembangunan seperti

    pertanian dan industri. Pada sisi yang lain, ketersediaan air bersih secara kuantitas

    semakin langka akibat kondisi daerah tangkapan air dan daerah retensi air yang

    semakin kritis serta secara kualitas pun ketersediaan air bersih mengalami

    pengurangan karena pencemaran air permukaan dan air tanah.

    Tantangan lain yang dihadapi adalah masih terbatasnya kemampuan

    penyedia layanan air bersih untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat.

    Beberapa laporan dari lembaga-lembaga internasional menunjukkan kondisi

    akses masyarakat terhadap air bersih. World Health Organization (2003),menyatakan bahwa dari 217 juta penduduk Indonesia dengan komposisi sekitar

    44% tinggal di perkotaan dan 56 % tinggal di pedesaan, 78% penduduk memiliki

    akses atas air dari sumber yang aman (improved water), tetapi hanya 17% rumah

    tangga yang memiliki sambungan ke PDAM. Di wilayah perkotaan, sekitar 89%

    penduduk memiliki akses terhadap air bersih tetapi hanya 31% rumah tangga di

    perkotaan yang tersambung dengan PDAM. Sedangkan untuk wilayah pedesaan

    sekitar 69% memiliki akses terhadap air bersih tetapi hanya 5% rumah tangga

    yang memiliki sambungan ke PDAM. Data SUSENAS dengan kategori akses

    terhadap air minum yang dikutip oleh Bank Dunia (2004), mengindikasikan bahwa

    dari penduduk yang memiliki akses atas air bersih, sekitar 52% memiliki sumber

    air pribadi (pompa, sumur, dan lainnya), 25% memiliki akses terhadap sumber air

    yang dimiliki bersama (hidran air umum) dan hanya 15 % yang bergantung pada

    utilitas publik3.

    Pada tahun 2006, akses rumah tangga terhadap air perpipaan di daerah

    perkotaan baru mencapai 30,8%, sedang di pedesaan sebesar 9% (Laporan

    1General Comment No.15 yang diadopsi secara menyeluruh pada November 2002 oleh Committee on Economics, Social and

    Cultural Rights menyatakan : The human right to water entitles to sufficient, safe, acceptable, physically accessible andaffordable water for personal and domestic use.2

    MDGs Target 10: Mengurangi separuh dari proporsi penduduk tanpa akses terhadap air minum dan sanitasi dasar pada tahun2015 (to halve by 2015, the proportion of people without sustainable access to safe drinking water and basic sanitation)3

    Fabby Tumiwa, Menjamin Hak Rakyat Atas Air: Alternatif Sumber dan Mekanisme Pembiayaan Infrastruktur Air di Indonesia,2006, www.kruha.org

    1

  • 7/31/2019 Buku Putih Kerjasama Swasta dan Pemerintah dalam Penyediaan Air Minum

    2/84

    Indonesia

    Pencapaian Pembangunan Millenium, 2007). Cakupan pelayanan PDAM pada

    tahun 2006, mencapai 30,6% dengan rata-rata tingkat kebocoran sebesar

    41,31%4. Dari ukuran pelanggan, lebih dari 85% PDAM memiliki pelanggan kurang

    dari 10.000 dan hanya 4 % yang memiliki pelanggan di atas 50.000, sedangkandari aspek kesehatan finansial, berdasarkan data dari 260 PDAM pada tahun 2007,

    hanya 18% PDAM yang berada dalam kondisi sehat, sisanya berada dalam kondisi

    kurang sehat dan tidak sehat.5 Selain cakupan pelayanan yang masih rendah,

    beberapa permasalahan umum yang dihadapi oleh PDAM di Indonesia adalah

    kualitas air dan pelayanan yang semakin menurun terutama setelah krisis

    ekonomi, yang diakibatkan tertundanya perbaikan dan perawatan untuk

    memotong pengeluaran operasi. Effisiensi operasi dan keuangan PDAM

    mengindikasikan bahwa PDAM belum mengoptimalkan asset yang mereka miliki

    yang berakibat pada rendahnya efisiensi dan kinerja usahanya.

    Tantangan selanjutnya yang dihadapi Indonesia untuk dapat menjamin

    akses masyarakat terhadap air bersih adalah keterbatasan pembiayaan yang

    dimiliki oleh Pemerintah. Dalam upaya mencapai target MDGs pada tahun 2015,

    dibutuhkan investasi sebesar Rp 43 triliun, sedangkan kemampuan pembiayaan

    pemerintah pusat sebesar Rp 500 milyar/tahun6.

    Gambaran situasi di atas, sedikit banyak menunjukkan bahwa dibutuhkan

    kerja keras bagi Indonesia untuk dapat meningkatkan akses masyarakat terhadap

    air bersih. Proposal yang telah diajukan yang mencakup strategi pencapaian

    target 10 MDGs adalah melakukan intervensi-intervensi yang mencakup perluasanakses air bersih baik di perkotaan maupun pedesaan, peningkatan kualitas

    layanan, memperkenalkan teknologi baru dan memperluas partisipasi sektor

    swasta (private sector participation/PSP).

    Dalam kerangka inilah kemudian PSP menjadi perdebatan. Pro dan kontra

    terhadap keterlibatan sektor swasta dalam penyediaan layanan air bersih terus

    mengemuka dalam beberapa tahun terakhir. Perdebatan yang terjadi tidak hanya

    terjadi pada tataran ideologi, namun juga terjadi pada tataran praktis termasuk

    perdebatan tentang terminologi yang digunakan. Kelompok pendukung PSP

    berpendapat bahwa partisipasi sektor swasta berbeda dengan privatisasi, karenaPSP tidak bertujuan untuk mengambil alih asset perusahaan publik kepada swasta.

    Selain itu kelompok pendukung PSP juga meyakini bahwa dengan PSP akan

    meningkatkan efektifitas dan efisiensi layanan air bersih termasuk mengatasi

    keterbatasan pembiayaan yang dimiliki oleh pemerintah melalui investasi yang

    ditanamkan oleh sektor swasta.

    4Presentasi Basah Hernowo (BAPPENAS) dalam Diskusi Terbatas Pembiayaan Air Bersih di Indonesia; Peluang dan Tantangan

    Yang Dihadapi, yang diselenggarakan oleh Koalisi Rakyat untuk Hak Atas Air (KRuHA), 29 Agustus 20075

    Presentasi Direktorat Permukiman dan Perumahan, Bappenas, dalam Diskusi Pembiayaan Air Minum yang diadakan olehIndonesia Water Dialogue, 24 Juli 20086

    Presentasi BPP SPAM dalam Diskusi Terbatas Pembiayaan Air Bersih di Indonesia; Peluang dan Tantangan Yang Dihadapi, yangdiselenggarakan oleh Koalisi Rakyat untuk Hak Atas Air (KRuHA), 29 Agustus 2007

    2

  • 7/31/2019 Buku Putih Kerjasama Swasta dan Pemerintah dalam Penyediaan Air Minum

    3/84

    Indonesia

    Di lain pihak, kelompok penentang PSP berpendapat bahwa PSP merupakan

    bagian dari skema global untuk menerapakan resep-resep ekonomi neoliberal. PSP

    dipandang akan menghilangkan kedaulatan negara dan rakyat, pengambil alihan

    asset kepada Multinational Corporations (MNCs), dan pengalihan tanggung jawabpenyediaan layanan dasar dari sektor publik kepada sektor swasta. Para

    penentang juga berpendapat bahwa PSP tidak berbeda dengan privatisasi dan

    pada tingkatan praktis tidak ada bukti yang signifikan bahwa pengelolan air oleh

    swasta akan lebih baik jika dibandingkan dengan pengelolaan air oleh publik.

    Bahkan pengelolaan air oleh swasta dipandang akan semakin menjauhkan akses

    masyarakat terhadap air.

    Situasi perdebatan seperti inilah yang mendorong terbitnya buku ini. Buku

    ini merupakan konsolidasi dari beberapa literatur yang membahas tentang PSP

    baik yang pro maupun kontra dan data-data yang terkait dengan PSP serta tidakbermaksud untuk mencari siapa yang paling benar dalam konteks perdebatan

    PSP tersebut.

    Secara umum uraian dalam buku ini akan terbagi dalam empat bab. Bab

    pertama merupakan pengantar umum terhadap situasi penyediaan air bersih di

    Indonesia dan perdebatan umum PSP di sektor air bersih. Bab kedua merupakan

    uraian terhadap kontroversi PSP di sektor air, latar belakang yang mendasari

    kontroversi tersebut, dan bukti-bukti empiris mengenai PSP di sektor air bersih

    serta berbagai isu penting seputar PSP. Bab ketiga menguraikan berbagai fakta

    seputar PSP di Indonesia, termasuk sejarah keterlibatan swasta dalam penyediaanair minum di Indonesia, regulasi terhadap keterlibatan swasta tersebut, tinjauan

    atas kerjasama swasta dan PDAM serta bagaimana keterlibatan swasta lokal dan

    masyarakat dalam hal penyediaan air minum. Bab keempat merupakan penutup

    yang akan merangkum berbagai pandangan terhadap PSP di dalam National

    Working Group on PSP Review dan merumuskan pertanyaan-pertanyaan kunci

    bagi kajian lebih lanjut.

    3

  • 7/31/2019 Buku Putih Kerjasama Swasta dan Pemerintah dalam Penyediaan Air Minum

    4/84

    Indonesia

    BAB II

    KONTROVERSI di SEPUTAR PSP

    2.1. Air: Barang Publik atau Barang Ekonomi ?

    Pada Januari 1992, berlangsung International Conference on Water and

    Environment di Dublin Irlandia. Konferensi tersebut menghasilkan empat butir

    prinsip - yang kemudian dikenal dengan Dublin Principles -, yang salah satunya

    adalah water has an economic value in all its competing uses and should be

    recognized as an economic good. Within this principle, it is vital to recognize first

    the basic right of all human beings to have access to clean water and sanitation atan affordable price. Past failure to recognize the economic value of water has led

    to wasteful and environmentally damaging uses of the resources. Managing water

    as an economic good is an important way of achieving efficient and equitable

    use, and of encouraging conservation and protection of water resources.

    Cara pandang baru terhadap air menjadi awal pertarungan paradigma

    tentang siapa yang memiliki air, bagaimana memahami fungsi air dan

    pengunaannya. Terlebih setelah banyak organisasi internasional memberikan

    dukungannya terhadap cara pandang baru terhadap air, seperti yang dikatakan

    oleh Budds dan McGranahan (2003), In the wake of Dublin, many internationalorganizations realigned their position in the water sector, and the World Bank

    came to play a central role in developing and promoting new approaches

    consistent with its interpretation of the Dublin Principles, in particular the

    treatment of water as an economic good. Bilateral development agencies also

    started to promote private sector participation in their recipient countries,

    including DFID and USAID

    Bagi kelompok penentang privatisasi, memberlakukan air sebagai barang

    ekonomi dipandang akan memperluas keterlibatan swasta dalam penyediaan

    layanan air bersih. In the years following Dublin, the concept of water as an

    economic good has been used to challenge traditional approaches to government

    provision of basic water services. Economist seized upon the idea to argue that

    water should be treated as a private good, subject to corporate control, financial

    rule, market forces, and competitive pricing. Kelompok penentang juga

    berpendapat bahwa secara turun temurun air diperlakukan sebagai hak asasi

    hak yang muncul dari kodrat manusia, kondisi historis, kebutuhan dasar atau

    gagasan tentang keadilan (Shiva, 2002), sehingga keterlibatan swasta di sektor air

    akan mengancam hak asasi atas air.

    Pada sisi yang lain, kelompok pendukung privatisasi berpendapat bahwa

    jika suatu produk tersedia gratis, maka fungsi pasar yang seharusnya

    4

  • 7/31/2019 Buku Putih Kerjasama Swasta dan Pemerintah dalam Penyediaan Air Minum

    5/84

    Indonesia

    mengalokasikan sumber-sumber daya secara efisien tidak akan tercapai. Artinya

    tidak ada jaminan ketersediaan air sebanding dengan tingkat konsumsi yang

    dilakukan. Orang cenderung untuk memanfaatkan air secara berlebihan. Cara

    yang bisa dilakukan oleh Pemerintah untuk mengendalikan hal tersebut adalahdengan membatasi penggunaannya melalui peraturan, pajak, atau dengan

    memberlakukannya sebagai private good yaitu barang yang bersifat excludable

    dan rival (Mankiw, 2001). Pendukung privatisasi juga berpendapat banyak

    kejadian dimana pengelolaan oleh publik cenderung menerapkan harga rendah

    sehingga tidak mampu mempertahankan kualitas layanan jaringan yang ada,

    apalagi meningkatkan jangkauan pelayanan (Gray, 2000). Meskipun harga rendah

    yang dikatakan bermanfaat bagi penduduk miskin, dalam kenyataannya tidak

    membantu penduduk miskin karena mereka belum terlayani sehingga harus

    mencari sumber lain dengan harga yang jauh lebih mahal (Walker dkk, 2000).

    Menariknya, diantara pro kontra tentang keterlibatan swasta dalam

    penyediaan layanan air bersih, terdapat kelompok yang mencoba bersikap lebih

    pragmatis terhadap kehadiran swasta dalam penyediaan air bersih. Kelompok ini

    berpendapat bahwa air tidak bisa secara murni diperlakukan sebagai barang

    publik. Air membutuhkan biaya untuk pengadaannya, sehingga juga harus

    diberlakukan sebagai barang ekonomi yang harus dikelola sesuai dengan hukum-

    hukum ekonomi. Seperti yang diungkapkan oleh Budds dan McGranahan (2003)

    In debating the appropriate role of the private and public sectors, recognizing

    water as an economic good can seem to support a strong private sector role. This

    is not strictly correct, and depends on how the term economic good which is

    not widely used in economics is interpreted. If economic good are taken to

    mean the sort of goods idealized in economic theories of perfect markets, then

    the case for private provision of economic goods is strong. But urban water

    services are not economic goods in this sense any more than they are pure

    public goods (and in any case, water utilities rarely operated in a competitive

    market). Alternatively, if economic goods are simply taken to be goods that have

    an economic value, and to which economic principles apply, then this would also

    apply to public goods, and is largely irrelevant to the case for private provisioning

    Dalam situasi kontroversi tersebut, Savenije (2001) mencoba

    memberikan sedikit gambaran tentang karakteristik air minum, yaitu:

    Air minum adalah kebutuhan dasar. Tidak ada kehidupan tanpa

    air, tanpa air tidak ada proses produksi, tanpa air tidak ada lingkungan. Tidak

    akan ada kegiatan manusia yang tidak tergantung pada air. Air merupakan

    sumber daya penting. Hal ini membuat air menjadi khusus tetapi tidak unik.

    Sama halnya dengan lahan, dan makanan.

    Air minum terbatas. Jumlah air terbatas. Hanya sebagian kecil saja

    air yang dapat dikonsumsi.

    5

  • 7/31/2019 Buku Putih Kerjasama Swasta dan Pemerintah dalam Penyediaan Air Minum

    6/84

    Indonesia

    Air minum adalah barang publik. Air minum tidak dapat dimiliki

    secara pribadi dan ketergantungan sosial terhadap air minum sangat tinggi.

    Hal ini merupakan konsekuensi dari sifat air minum yang penting dan tidak

    dapat disubstitusi. Pemerintah bertanggung jawab menyediakan air minumtetapi pemerintah tidak bertanggung jawab menyediakan air secara gratis

    sebagaimana sering disalahpahami.

    Meskipun air mengalir tetapi sebenarnya dibatasi oleh lokasi dan

    sistem tertentu. Akibatnya, air minum sering menjadi sumber perseteruan

    politik antar daerah.

    Terdapat biaya produksi dan biaya transaksi yang besarbahkan

    jika pengaliran air menggunakan sistem gravitasi.

    Pasar air minum tidak homogen. Sebagian pengguna mempunyai

    kemampuan membayar yang tinggi dan mengkonsumsi dalam jumlah sedikit

    (pengguna domestik dan industri), lainnya mempunyai kemampuan

    membayar rendah dan menggunakan air dalam jumlah besar (petani), bahkan

    lainnya tidak mempunyai kemampuan membayar (lingkungan dan penduduk

    miskin). Semuanya tidak dapat digabung dalam satu pasar. Meskipun air

    minum yang dibutuhkan merupakan benda yang sama tetapi karakter

    permintaan berbeda. Pertukaran diantara kepentingan yang berbeda ini

    sebaiknya diselesaikan melalui jalur politis dan bukan pasar.

    Terdapat ketergantungan ekonomi makro antara aktivitaspengguna air. Air digunakan oleh pertanian mempengaruhi industri. Akibatnya

    hubungannya menjadi rumit.

    Selalu terdapat ancaman kegagalan pasar dalam penyediaan air

    minum. Untuk mencapai skala ekonomi, dibutuhkan investasi besar yang

    mengarah ke monopoli alamiah.

    Air minum mempunyai nilai tertentu yang seringkali tidak dapat

    dinilai dengan uang.

    Menurut Ouyahia (2006), karakteristik dari air bersih adalah high

    investment specificity, natural monopoly features of the sector, buried asset,

    externalities involving public health and environment, the need for universal

    provision, and location-specific. Karakteristik lain adalah 70-80 percent of water

    and wastewater assets are underground (Infrastructure Canada, 2004). Hence

    obtaining accurate information about them can be costly and there is generally a

    lack reliable information about the condition of existing infrastructure.

    6

  • 7/31/2019 Buku Putih Kerjasama Swasta dan Pemerintah dalam Penyediaan Air Minum

    7/84

    Indonesia

    7

    Kotak 1.1Sejarah Sistem Penyediaan Layanan Air Minum

    Sistem penyediaan layanan air bersih memiliki sejarah yang cukup panjang.Menurut Swyngedouw (2003), system penyediaan layanan air bersih dapat dibagidalam empat tahapan perkembangan. Tahap pertama, berlangsung sampai

    pertengahan kedua abad ke-19, dimana sistem penyediaan layanan air minumdilakukan oleh perusahaan swasta kecil. Layanan yang diberikan hanya untuksebagian kecil kota khususnya daerah-daerah kaya perkotaan.

    Tahapan selanjutnya adalah pada periode munisipalisasi. Menurunnyakualitas lingkungan dan munculnya kesadaran akan sanitasi lingkungan menjadipendorong utama periode ini. Periode ini juga diwarnai dengan kesadaran terhadaptanggung jawab daerah dalam penyediaan layanan dasar yang mendasar yang jikaperlu diikuti oleh subsidi tarif yang tinggi di kebanyakan negara Eropa. Pada periodeini, sistem air bersih yang pada awalnya dibangun oleh perusahaan swasta,kemudian diambil alih oleh pemerintah daerah (munisipal) di hampir semuanegara-negara Eropa, termasuk Inggris. Hanya di Perancis yang perusahaan airmilik swastanya dapat bertahan, dan karena itu satu-satunya perusahaan swasta air

    raksasa di dunia adalah milik Perancis: Suez (dulunya Lyonnaise des Eaux) danVeolia (tadinya Vivendi dan the Compagnie Generale des Eaux) yang sudah berdirisejak tahun 1853. Namun proses munisipalisasi jauh lebih cepat terjadi di AmerikaSerikat ketimbang di Eropa: pada tahun 1897, sudah 82% kota-kota besar diAmerika Serikat terlayani oleh operator publik tingkat daerah.

    Tahapan ketiga dimulai setelah perang dunia I, ketika air bersama denganlayanan publik lainnya seperti telekomunikasi dan listrik menjadi perhatian nasionalnegara. Pemerintah pusat dengan beragam intensitas kendali, regulasi daninvestasinya mengambil alih peran daerah pada sektor air minum. Investasi dalampengembangan infrastruktur juga menjadi bagian penting usaha mendorongpertumbuhan ekonomi dan sekaligus meredam keresahan sosial melalui kebijakanredistribusi aset dalam hal ini layanan air minum. Pada periode ini meskipunmanajemen air minum masih ada yang di tangan daerah namun pemerintah pusatpunya peranan yang besar khususnya pada pembiayaan proyek-proyekinfrastruktur dan juga intervensi peraturan. Pada periode ini mulai dibentukberbagai badan pengatur untuk berbagai kepentingan seperti kepentingan sosial,ekonomi, kualitas, dan lingkungan yang biasanya bersifat nasional.

    Periode keempat, periode terakhir, dimulai saat terjadi resesi global tahun1970-an, sebuah periode yang ditandai dengan menurunnya peran negara dalammendorong pertumbuhan ekonomi. Anggaran yang terbatas dari pemerintah pusatberakibat pada berkurangnya pengeluaran untuk kesejahteraan publik dandukungan terhadap program pengembangan investasi infrastruktur. Tarif air yangrendah, investasi yang disubsidi, infrastruktur yang mulai menua, ditambahtingginya permintaan terhadap layanan air minum, memperparah tekanan terhadapanggaran pemerintah pusat. Hal ini menjadi masalah akut yang sulit dipecahkan

    khususnya bagi negara berkembang. Tekanan negara pemberi hutang untukmengamankan hutangnya melalui berbagai program seperti Structural AdjustmentProgram (SAP) dan tekanan untuk memperbaiki daya saing melalui peningkatanefisiensi mendorong munculnya berbagai program pemotongan anggaran biayalayanan publik, program privatisasi dan deregulasi.

    Sedangkan di negara berkembang memiliki sejarah perkembangan yangberbeda. Pada masa kolonial, negara imperialis memfokuskan penyediaan air dinegara koloninya hanya khusus untuk elit kolonial. Bahkan di Kampala (Uganda),

  • 7/31/2019 Buku Putih Kerjasama Swasta dan Pemerintah dalam Penyediaan Air Minum

    8/84

    Indonesia

    8

    Kotak 1.2

    Structural Adjustment Program (SAP)

    Structural Adjustment Program (SAP) diperkenalkan pada awal tahun 1980-an olehBank Dunia (di bawah kepemimpinan Robert McNamara). Pinjaman Bank Duniadiberikan untuk periode beberapa tahun melalui program untuk mendukung secaralangsung reformasi kebijakan dan tidak lagi terkait dengan salah satu programinvestasi dalam bentuk proyek. Sejak saat itu pinjaman yang memuat komponen

    SAP mendominasi portofolio pinjaman baik dari Bank Dunia maupun IMF. BankDunia mempraktekkan SAP dari sisi persediaan ekonomi, sedangkan IMFmemfokuskan diri pada sisi permintaan melalui kebijakan-kebijakan stabilisasi.

    Pada tahun 1989, John Williamson ekonom dari Institute of International Economics(IIE) Washington DC, mencetuskan Washington Concensus yang berisi sepuluhrekomendasi kebijakan untuk mengatasi krisis ekonomi di Amerika Latin. Dalamperkembangannya rekomendasi tersebut diterima secara luas oleh ekonom diAmerika Serikat termasuk Depatemen Keuangan, Bank Dunia dan IMF, yangkemudian dijadikan standar kebijakan mereka. Konsensus Washingtonmenganjurkan stabilisasi ekonomi lewat kendali penyediaan mata uang danperluasan pertumbuhan dengan seperangkat ukuran demi terwujudnyapeningkatan aktifitas sektor swasta, kebijakan privatisasi pun menjadi standar Bank

    Dunia dan IMF serta bank-bank pembangunan regional seperti ADB, Inter AmericaDevelopment Bank dan lainnya. Pada tahun 1990-an, SAP mengimplementasikanbeberapa prinsip Konsensus Washington dalam berbagai bentuk program yangdidanai oleh lembaga-lembaga tersebut. Secara keseluruhan, tujuan yang ingindicapai oleh lembaga-lembaga keuangan internasional melalui privatisasi adalah (i)tujuan ekonomi, yaitu meningkatkan efisiensi seluruh sektor ekonomi,meningkatkan efisiensi, produktifitas dan keuntungan perusahaan, meningkatkankualitas produk dan pelayanan, dan menarik investasi swasta; (ii) tujuan fiskal,yaitu menghapus subsidi pemerintah pada badan usaha milik negara; memperolehtambahan dana dari penjualan kepemilikan negara atas badan usaha sertameningkatkan pendapatan pajak dari badan usaha swasta; (iii) tujuan sosial politik,yaitu meningkatkan kesejahteraan masyarakat, mempromosikan kepemilikanbadan usaha oleh swasta nasional; meningkatkan kepemilikan properti kelas

    menengah, meningkatkan pemanfaatan tenaga kerja, dan mengurangi korupsiserta penyalahgunaan di kantor publik.

    Instrumen untuk mempengaruhi kebijakan dilakukan melalui mekanisme pinjamanbaik program atau proyek yang senantiasa diikuti dengan pelbagai persyaratan.Karena kebanyakan negara-negara berkembang pada umumnya sangatmembutuhkan dana pinjaman dari Bank Dunia dan IMF - selain bank-bank regionallainnya untuk menutupi defisit anggaran atau membiayai program pembangunan,maka persyaratan yang diajukan pun pada akhirnya mendapat dukungan signifikan

    banyak dalam sistem air bersih dibandingkan negara-negara utara. Lebih terdorongoleh kemerdekaan dan bukan oleh industrialisasi, negara-negara ini tidak memilikidaerah yang kuat ataupun masyarakat setempat kelas menengah yang kuat,sehingga kepemilikan di tingkat pusat untuk perusahaan air bersih lebih banyakterjadi dibanding di negara-negara Utara. Di Sri Lanka, sebuah negara dengan

    sejarah pembangunan yang hebat di bidang kesehatan dan pendidikan, air bersihmerupakan tanggung jawab primer Badan Usaha Milik Negara (parastatal)pemerintah pusat. Di Argentina, perluasan jaringan air di seluruh negeri dilakukanoleh penyedia layanan air milik pemerintah pusat. Namun, kesemuanya lambat launmulai terkikis, ketika Lembaga Keuangan Internasional mensyaratkan untukmelakukan privatisasi kepada negara-negara tersebut.

  • 7/31/2019 Buku Putih Kerjasama Swasta dan Pemerintah dalam Penyediaan Air Minum

    9/84

    Indonesia

    2.2. Privatisasi, Private Sector Participation (PSP) atau Public Private

    Partnership (PPP)

    Beberapa literatur menyebutkan bahwa konsep privatisasi masih belumterklarifikasi. Seperti yang diungkapkan Bailey (1987), one of the concepts in

    vogue is privatization. Although the concepts itself is unclear, it might be

    tentatively defined as general effort to relieves the disincentives toward efficiency

    in public organizations by subjecting them to the incentives of the private

    market. There are in fact several different concepts of privatization. Demikian

    juga menurut Kay dan Thompson (1986) privatization is term which is used to

    cover several distinct, and possibly alternative means of changing the

    relationships between the government and private sector.

    Namun, beberapa literatur yang lain mencoba mendefinisikan konsepprivatisasi dengan lebih jelas. Menurut Subagjo (1996) secara umum definisi

    privatisasi dapat dirangkum sebagai berikut: (i) perubahan bentuk usaha dari

    perusahaan negara menjadi perusahaan berbentuk perseroan terbatas, (ii)

    pelepasan sebagian (besar/kecil) atau seluruh saham dari suatu perusahaan yang

    dimiliki negara kepada swasta, (iii) pelepasan hak atau aset milik negara atau

    perusahaan yang sahamnya dimiliki negara pada swasta, baik pelepasan untuk

    selamanya (antara lain melalui jual beli, hibah atau tukar guling) maupun

    pelepasan untuk sementara waktu (termasuk dengan cara Build Operate Transfer),

    (iv) pemberian kesempatan pada swasta untuk menggeluti bidang usaha tertentu

    yang sebelumnya merupakan monopoli pemerintah, (v) pembuat usaha patungan

    9

  • 7/31/2019 Buku Putih Kerjasama Swasta dan Pemerintah dalam Penyediaan Air Minum

    10/84

    Indonesia

    atau kerjasama dalam bentuk lain dengan memanfaatkan aset pemerintah, serta

    (vi) membuka dan meningkatkan adanya persaingan sehat dalam dunia usaha.

    Dalam pasal 1 ayat 12 Undang-Undang (UU) Nomor 23 Tahun 2003 tentang

    Badan Usaha Milik Negara (BUMN), privatisasi adalah penjualan saham Perserobaik sebagian maupun seluruhnya kepada pihak lain dalam rangka meningkatkan

    kinerja dan nilai perusahaan, memperbesar manfaat bagi negara dan masyarakat

    serta memperluas pemilikan saham oleh masyarakat.

    Sedangkan Savas (1987) mendefinisikan privatisasi sebagai tindakan

    mengurangi peran pemerintah, atau meningkatkan peran swasta, dalam sebuah

    aktifitas atau pemilikan aset. Privatisasi dapat berbentuk umum (dikontrakkan ke

    swasta atau LSM dan penyediaan sukarela) dan khusus (food stamps, housing

    vouchers, and volunteer fire departments). Lebih lanjut Savas menyatakan bahwa

    ada beragam tekanan atau alasan yang mendorong privatisasi. Alasan inidikelompokkan sebagai (i) pragmatis, ketika masyarakat mendefinisikan

    kebutuhan akan pelayanan pemerintah yang lebih baik, (ii) ideologis, ketika

    terdapat keinginan mengurangi peran pemerintah; (iii) komersil, ketika swasta

    melihat kesempatan mendapatkan keuntungan dari melakukan pelayanan publik;

    (iv) populis, ketika masyarakat melihat privatisasi sebagai cara menuju kondisi

    masyarakat yang lebih baik.

    Diana Carney dan John Farrington (1998) menyatakan bahwa privatisasi

    bisa diartikan secara luas sebagai proses perubahan yang melibatkan sektor privat

    untuk ikut bertanggung jawab terhadap kegiatan yang semula dikendalikan secaraeksklusif oleh sektor publik. Privatisasi termasuk di dalamnya pengalihan

    kepemilikan aset produktif dari sektor publik ke swasta atau hanya sekedar

    memberikan ruang kepada sektor privat untuk ikut terlibat dalam kegiatan

    operasional seperti contracting outdan internal markets.

    Seperti yang ditulis oleh Tumiwa dan Santono, ...dalam konteks ekonomi

    politik, privatisasi adalah sebuah cara untuk memperbaiki pengelolaan dan kinerja

    badan usaha serta sektor publik lainnya, termasuk mengurangi beban negara.

    (Globalisasi Menghempas Indonesia: hal 137). Privatisasi bertujuan untuk

    mencapai efisiensi ekonomi mikro, mendorong pertumbuhan ekonomi sekaligusmengurangi kebutuhan pinjaman publik akibat defisit anggaran belanja dengan

    cara mengurangi subsidi negara yang diberikan kepada BUMN7. Sedangkan

    menurut Stiglitz, keuntungan ekonomi privatisasi sesungguhnya berasal dari

    ketidakmampuan pemerintah dalam menyusun sejumlah komitmen , khususnya

    berkompetisi dan tidak memberi subsidi8.

    Dalam tulisannya yang berjudul The New Economy of Water; The Risks and

    Benefits of Globalization and Privatization of Fresh Water, Gleick menyatakan

    7 Lihat, Eytan Shesinski dan Luis F Lopez-Calva, Privatization and Its Benefits: Theory and Evidence, dalam CESifo EconomicsStudies, No.3, Vol.49, 20038

    Lihat, Joseph E Stiglitz, Whither Socialism (Massachusetts: MIT Press, 1994)

    10

  • 7/31/2019 Buku Putih Kerjasama Swasta dan Pemerintah dalam Penyediaan Air Minum

    11/84

    Indonesia

    privatization in the water sector involves transferring some or all of the assets or

    operations of public water system into private hands.There are numeorus ways to

    privatize water, such as the transfer of the responsibility to operate a water

    delivery or treatment system, a more complete transfer of system ownership andoperation responsibilities, or even the sale of publicly owned water rights to

    private companies. Alternatively, various combinations are possible, such as

    soliciting private investment in the development of new facilities, with transfer of

    those facilities to public ownership after investors have been repaid". Sedangkan

    Budds dan McGranahan (2003) menyatakan Private-sector participation is used

    in the literature to cover a wide range of arrangements between a government

    agency and a non-public institution, but usually refers to a contractual agreement

    involving a public agency and a formal (often multinational) private company. The

    term privatization is also widely used but can refer to two rather different things.

    It is sometimes used as a generic term to refer to increasing private sector

    involment, but also specifically to the model of divesture. Public-private

    partnership is common term but is rarely explicitly defined. In the water and

    sanitation sector, it tends to be used to refer to contractual agreements in which

    private companies assume greater responsibility and/or risk, especially through

    concession contracts. Lebih lanjut Budds and McGranahan mengatakan bahwa

    There are several models of private sector involvement in water and sanitation

    utilities, with numerous variations, depending on the legal and regulatory

    frameworks, the nature of the company and the type of contract.

    Dalam Policy Briefyang diterbitkan oleh OECD (April, 2003), menyatakan

    bahwa Public-Private Partnerships refer to any form agreement (partnership)

    between public and private parties. They should not be misunderstood as

    privatization, where the management and ownership of the water infrastructure

    are transferred to the private sector. Lebih lanjut, dinyatakan Some options

    keep the operations (and ownership) in public hands, but involve the private

    sector in the design and constructions of the infrastructure. Other options involve

    private actors in the management, operation and/or the financing asset.

    Pendapat lainnya disampaikan oleh McDonald dan Ruiters, yangmenyatakan bahwa More properly known as private sector participation or as

    will be used in this chapter public private partnerships, these institutional

    arrangements are nevertheless a form of privatization. There is a clear transfer of

    crucial decision making responsibilities from the public to the private sector and

    an effective transfer of power over assets to a private company, with qualitatively

    and quantitatively different rules and regulations guiding the decision that are

    made and how citizens are able to access information.

    Dalam perkembangannya, terdapat dua model keterlibatan swasta di sektor

    air. Pertama berupa model UK yang diterapkan di Inggris dan Wales dimanakepemilikan dan pengelolaan utilitas air dilakukan oleh sektor swasta. Kedua

    11

  • 7/31/2019 Buku Putih Kerjasama Swasta dan Pemerintah dalam Penyediaan Air Minum

    12/84

    Indonesia

    adalah model Perancis, dimana kepemilikan di tangan publik sedangkan

    pengelolaannya dilakukan oleh publik atau private. Perbedaan lain dari kedua

    model tersebut adalah di UK dibentuk Office of Water Services (OFWAT) sebagai

    badan pengatur independen, sedangkan di Perancis economic regulatordiperankan oleh pemerintah daerah9.

    Secara umum, keterlibatan swasta dalam penyediaan layanan air minum

    dapat berbentuk:

    (i) Kontrak Jasa (service contracts) .

    Aspek individual dari penyediaan infrastruktur (pemasangan dan pembacaan

    meteran air, operasi stasiun pompa dan sebagainya) diserahkan kepada

    swasta untuk periode waktu tertentu (6 bulan sampai 2 tahun). Kategori ini

    kurang memberi manfaat bagi penduduk miskin. Kontrak jasa dipergunakan

    di banyak tempat seperti di Madras (India), dan Santiago (Chile).

    (ii) Kontrak Manajemen .

    Manajemen swasta mengoperasikan perusahaan dengan memperoleh jasa

    manajemen baik seluruh maupun sebagian operasi. Kontrak bersifat jangka

    pendek (3 sampai 5 tahun) dan tidak terkait langsung dengan penyediaan

    jasa sehingga lebih fokus pada peningkatan mutu layanan daripada

    peningkatan akses penduduk miskin. Kontrak manajemen dilaksanakan di

    Mexico City, Trinidad, dan Tobago.

    (iii) Kontrak Sewa-Beli (lease contracts).

    Perusahaan swasta melakukan lease terhadap aset perusahaan pemerintah

    dan bertanggung jawab terhadap operasi dan pemeliharaannya. Biasanya

    kontrak sewa berjangka 10-15 tahun. Perusahaan swasta mendapat hak dari

    penerimaan dikurangi biaya sewa beli yang dibayarkan kepada pemerintah.

    Menurut Panos (1998), perusahaan swasta tersebut memperoleh bagian dari

    pengumuman pendapatan yang berasal dari tagihan pembayaran. Konsep

    enhanced lease diperkenalkan karena di negara berkembang dibutuhkan

    investasi pengembangan sistem distribusi, pengurangan kebocoran, dan

    peningkatan cakupan layanan. Perbaikan kecil menjadi tanggungjawab

    operator dan investasi besar untuk fasilitas pengolahan menjadi

    tanggungjawab pemerintah. Kontrak sewa-beli banyak digunakan di

    Perancis, Spanyol, Ceko, Guinea, dan Senegal.

    (iv) Bangun-Operasi-Alih (Build-Operate-Transfer/BOT) .

    BOT dan beragam variasinya biasanya berjangka waktu lama tergantung

    masa amortisasi (25-30 tahun). Operator menanggung risiko dalam

    mendesain, membangun dan mengoperasikan aset. Imbalannya adalah

    9 Lihat, OECD Policy Brief, Public-Private Partnerships in Urban Water Sector, April 2003,http://www.oecd.org/dataoecd/31/50/2510696.pdf

    12

    http://www.oecd.org/dataoecd/31/50/2510696.pdfhttp://www.oecd.org/dataoecd/31/50/2510696.pdf
  • 7/31/2019 Buku Putih Kerjasama Swasta dan Pemerintah dalam Penyediaan Air Minum

    13/84

    Indonesia

    berupa jaminan aliran dana tunai. Pada akhir masa perjanjian, pihak swasta

    mengembalikan seluruh aset ke pemerintah. Terdapat beragam bentuk BOT.

    Pelaksanaan BOT terdapat di Australia, Malaysia, dan Cina. Di bawah prinsip

    BOT, pendanaan pihak swasta akan digunakan untuk membangun danmengoperasikan fasilitas atau sistem infrastruktur berdasarkan standar-

    standar performance yang disusun oleh pemerintah. Masa periode yang

    diberikan memiliki waktu yang cukup panjang untuk perusahaan swasta

    guna mendapatkan kembali biaya yang telah dikeluarkan dalam membangun

    konstruksi beserta keuntungan yang akan didapat yaitu sekitar 10 sampai 20

    tahun. Pemerintah tetap menguasai kepemilikan fasilitas infrastruktur dan

    memiliki dua peran sebagai pengguna dan regulator pelayanan infrastruktur

    tersebut.

    (v) Konsesi.

    Konsesi biasanya berjangka waktu 25 tahun yang berupa pengalihan seluruh

    tanggung jawab investasi modal dan pemeliharaan serta pengoperasian ke

    operator swasta. Aset tetap milik pemerintah dan operator swasta

    membayar jasa penggunaannya. Tarif mungkin dibuat rendah dengan

    mengurangi jumlah modal yang diamortisasi, yang dapat menguntungkan

    penduduk miskin jika mereka menjadi pelanggan. Konsesi dengan target

    cakupan yang jelas mengarah pada layanan bagi seluruh penduduk dapat

    menjadi alat yang tepat dalam memanfaatkan kemampuan swasta

    meningkatkan investasi, memberikan layanan yang baik, dan menetapkantarif yang memadai. Melalui cara ini, pemerintah tetap mengatur tarif

    melalui sistem regulasi dan memantau kualitas layanan. Konsesi mempunyai

    sejarah panjang di Perancis, kemudian berkembang di Buenos Aires

    (Argentina), Macao, Manila (Pilipina), Malaysia, dan Jakarta.

    Dalam konsesi, Pemerintah memberikan tanggung jawab dan pengelolaan

    penuh kepada kontraktor (konsesioner) swasta untuk menyediakan

    pelayanan infrastruktur dalam sesuatu area tertentu, termasuk dalam hal

    pengoperasian, perawatan, pengumpulan dan manajemennya. Konsesioner

    bertanggung jawab atas sebagian besar investasi yang digunakan untukmembangun, meningkatkan kapasitas, atau memperluas sistem jaringan,

    dimana konsesioner mendapatkan pendanaan atas investasi yang

    dikeluarkan berasal dari tarif yang dibayar oleh konsumen. Sedangkan peran

    pemerintah bertanggung jawab untuk memberikan standar kinerja dan

    jaminan kepada konsesioner.

    (vi) Divestiture .

    Kategori ini merupakan bentuk paling ekstrim dari privatisasi, yang berupa

    pengalihan aset dan operasi ke swasta, baik keseluruhan maupun sebagian

    aset. Pemerintah hanya bertanggung jawab terhadap regulasi. Tidak banyak

    13

  • 7/31/2019 Buku Putih Kerjasama Swasta dan Pemerintah dalam Penyediaan Air Minum

    14/84

    Indonesia

    contoh dari divestiture, hanya Inggris dan Wales melakukan dalam skala

    besar (Weitz, 2002; Stottmann, 2000).

    Tabel 1.

    Pembagian Tanggungjawab dalam Beragam Bentuk Partisipasi Swasta

    Kontrakjasa(Servicecontract)

    KontrakManajemen

    (Managementcontract)

    Sewa-Beli

    (Lease)

    Konsesi(Concession)

    TipeBOT

    PengalihanPenuh(Divestiture)

    Kepemilikan

    Aset

    Publik Publik Publik Publik Swasta/

    publik

    Private

    Investasi

    Modal

    Publik Publik Publik Swasta Swasta Private

    Resiko

    komersial

    Publik Publik Berbagi Swasta Swasta Private

    Operasi/pe-

    meliharaan

    Swasta/

    Publik

    Swasta Swasta Swasta Swasta Private

    Lama

    Kontrak

    1-2 tahun 3-5 tahun 8-15

    tahun

    25-30 tahun 20-30

    tahun

    Selaman

    ya

    Sumber: Stottman, Walter (2000) dalam Budds and McGranahan, 2003 Are Debates on WaterPrivatizations Missing The Points? Experiences from Africa, Asia and Latin America

    14

  • 7/31/2019 Buku Putih Kerjasama Swasta dan Pemerintah dalam Penyediaan Air Minum

    15/84

    Indonesia

    15

    Kotak 1.3

    Komersialisasi, Privatisasi, dan Komodifikasi

    Komersialisasi mengacu pada proses dimana mekanisme pasar dan praktek pasardiperkenalkan pada pengambilan keputusan operasi dari pelayanan publik, misalnyamaksimalisasi keuntungan, pemulihan biaya, dan lain-lain (McDonald andRuiter,2005).

    Komodifikasi adalah proses merubah barang atau layanan yang sebelumnyamerupakan subyek yang mengikuti aturan sosial non-pasar menjadi suatu subyek

    yang mengikuti aturan pasar (Gleick, 2002).

    Bentuk institusi yang populer dari komersialisasi adalah korporatisasi, dimanapelayanan dibatasi menjadi unit bisnis yang berdiri sendiri yang dimiliki dandioperasikan oleh negara tetapi dijalankan dengan prinsip-prinsip pasar. Lalubagaimana kaitan antara korporatisasi dengan privatisasi?

    1. Pertama dan yang terutama adalah perubahan dalam etos pengelolaan denganfokus

    pada penyempitan dan pertambahan prinsip dasar keuangan jangka pendek.Sehingga perubahan budaya pengelolaan terjadi jika penyedia jasa dan pelayananyang dimiliki dan dioperasikan secara penuh oleh negara akan menjadi lebihkomersial dibandingkan dengan mitra swasta mereka, dimana manager secaraagresif mempromosikan dan menerapkan pemulihan biaya dan prinsip-prinsippasar lainnya.

    2. Korporatisasi sering mempromosikan kontrak pihak ketiga (outsourcing) sebagaistrategi operasi dan cara lain dari pemotongan biaya mereka. Kondisi operasiyang kompetitif, pada akhirnya membutuhkan deregulasi (atau regulasi kembali)terhadap kendali monopoli dari pelayanan dan memperbolehkan berbagaipenyedia layanan untuk berkompetisi dengan unit khusus untuk menyediakanlayanan tertentu dengan harga yang memadai (misalnya: pembacaan meter).

    3. Korporatisasi bisa menjadi pintu masuk bagi investasi langsung sektor swasta,kepemilikan atau kendali dengan membuat pelayanan publik menjadi lebih

    atraktif bagi sektor swasta. Meskipun begitu perusahaan swasta tidak tertarikuntuk membeli pelayanan yang mempunyai struktur yang rumit/atau subsidisilang tersembunyi, prosedur pengambilan keputusan yang tidak fleksibel danterintegrasi secara politis atau budaya pengelolaan yang anti pasar.

    Untuk dapat menjalankan privatisasi dan komersialisasi, air harus diberlakukansebagai komoditas. Seperti yang diungkapkan oleh Gleick (2002), The processes of

  • 7/31/2019 Buku Putih Kerjasama Swasta dan Pemerintah dalam Penyediaan Air Minum

    16/84

    Indonesia

    2.3 Pro-Kontra PSP

    Perdebatan mengenai keterlibatan swasta dalam penyediaan air terjadi di

    banyak negara seperti di Bolivia, India, Philipina, Korea Selatan, Brazil, Afirica

    Selatan, Indonesia dan sebagainya. Tidak jarang perdebatan tersebut memicu

    perlawanan dari LSM, Serikat Pekerja dan kelompok masyarakat sipil lainnya untuk

    menentang keterlibatan swasta dalam penyediaan layanan air bersih. Bahkan

    beberapa kelompok masyarakat sipil di Eropa sudah meminta kepada pemerintah

    mereka untuk menghentikan dukungannya terhadap keterlibatan swasta dalam

    penyediaan air bersih seperti yang terjadi di Norwegia.

    Sepanjang dekade 1990, keterlibatan swasta didorong menjadi agenda

    kebijakan air dan sanitasi bagi negara berkembang sebagai cara mencapai tingkat

    efisiensi lebih baik dan peningkatan cakupan air dan sanitasi. Terdapat

    kesepakatan umum bahwa perusahaan publik menjadi lemban dalam

    meningkatkan akses layanan dan tidak efisien dan menjadi sarang korupsi10.

    10Budds and McGranahan, 2003, Are the debates on water privatization missing the point? Experiences from Africa, Asia and

    Latin America, Environment and Urbanization, Vol.15, No. 2 October

    16

    Kotak 1.4

    Terlucutnya Peran Negara

    Menurunnya kepercayaan terhadap kebijakan intervensi negara dalampembangunan ekonomi mulai terjadi sejak tahun 1970-an, akibat melonjaknyaharga minyak, menurunnya harga komoditas ekspor sedangkan harga barang impormeningkat, yang berdampak pada krisis utang luar negeri yang berujung padadefisit anggaran. Dominasi negara atas aktivitas ekonomi di negara berkembang,mengakibatkan kinerja sektor publik terutama badan usaha milik negara menjadiperhatian utama dalam rangka mengatasi kemerosotan ekonomi. Sedangkan dinegara yang menganut konsep negara kesejahteraan, serangan terhadap kebijakan

    intervensi negara dilakukan menjelang akhir tahun 60-an dan awal 70-an. Berbagaikajian terus bermunculan yang menggugat dominasi negara dalam aktivitasekonomi dan terutama kinerja badan usaha yang dipandang sebagai sumberketidakefisienan dan stagnannya ekonomi di negara berkembang.Ketidakpercayaan terhadap kebijakan negara semakin berkembang setelah Inggrisdan AS (di bawah kepemimpinan Thatcher dan Reagan) dinobatkan sebagaipelopor kebijakan menolak negara.

    Kebijakan menolak negara atau emoh negara (meminjam istilah I. Wibowo)semakin mendapat tempat di banyak negara berkembang termasuk Indonesia,ketika negara seolah berasosiasi dengan segala keburukan. Dalam berbagai sektor,ekonomi misalnya negara berkonotasi dengan kolusi, ketidakefisienan dannepotisme. Dalam politik, negara berkonotasi dengan berbagai pelanggaran hakasasi manusia dan di dalam birokrasi negara berdampingan dengan korupsi.Reputasi buruk yang memberikan legitimasi bagi pelucutan peran negara.

    Tidak aneh, jika kemudian (dan di bawah tekanan lembaga keuangan internasional)kebijakan publik yang dihasilkan adalah pencabutan dan pengurangan berbagai

  • 7/31/2019 Buku Putih Kerjasama Swasta dan Pemerintah dalam Penyediaan Air Minum

    17/84

    Indonesia

    Kelemahan dan ketidakmampuan negara (yang juga didukung oleh

    berbagai teori ekonomi) menjadi dasar terbentuknya sintesa privatisasi ataupun

    keterlibatan swasta yang membangun argumentasi mendukung kepemilikan

    swasta daripada publik11.

    Argumen dari pendukung privatisasi menyatakan bahwa perusahaan swasta

    cenderung lebih efisien dibandingkan dengan pemerintah dalam hal skala

    ekonomis, produktivitas pegawai yang tinggi serta sedikitnya aturan yang

    membatasi. E.S. Savas dan Elliot Sclar dalam bukunya menyalahkan pelayanan

    jasa yang dilakukan oleh pemerintah karena seringkali menerapkan sistemmonopoli dan ketidakmampuan pemerintah dalam menanggapi kebutuhan warga

    negaranya atau masyarakat serta seringnya terjadi ketidakefisienan dalam

    pelayanan

    Johnson dkk (1995), Peraita dan Benson (1995) berpendapat sektor swasta

    dapat menyediakan modal dan pengalaman untuk memastikan pengelolaan dan

    penggunaan air yang efisien. Pendukung privatisasi pun menyatakan bahwa

    meningkatnya keterlibatan swasta akan menguntungkan penduduk yang belum

    terjangkau khususnya penduduk miskin (Finger dan Allouche, 2002). Selain itu,

    sektor publik dipandang tidak efisien, kelebihan pegawai, korupsi, terbuka bagiintervensi politisi, dan tidak tanggap terhadap kebutuhan konsumen. Tarif rendah

    tidak menjamin keterjangkauan bagi penduduk miskin, yang ada malah

    mengabaikan penduduk miskin. Pendukung keterlibatan swasta menyatakan

    swasta lebih efisien, apolitis dan tanggap kebutuhan. Regulasi yang independen,

    pemberian konsesi melalui proses yang kompetitif, akan menghalangi

    penyalahgunaan kewenangan.

    Di lain pihak, tidak sedikit pula pihak yang menolak dilakukannya privatisasi

    air bersih. Argumen yang mendasarinya adalah bahwa sifat pelayanan yang

    dilakukan oleh pemerintah memang tidak cocok apabila dilakukan olehswasta/privatisasi. Mereka menganggap bahwa kontrak yang dilakukan swasta

    dapat menimbulkan hidden-cost karena kurangnya informasi, perlunya

    pengawasan serta lelang yang sering bersifat terbatas. Terdapat juga kondisi yang

    tidak memungkinkan untuk menciptakan kompetisi bagi pelaksanaan oleh pihak

    ketiga, sehingga privatisasi menjadi lebih rumit dari yang dibayangkan. Tidak ada

    indikasi bahwa perusahaan swasta lebih akuntabel. Justru, hal sebaliknya yang

    lebih cenderung terjadi. Privatisasi tidak memiliki track record keberhasilan. Yang

    dimiliki privatisasi hanya risiko/bahaya dan kegagalan. Perusahaan swasta

    11Beberapa sintesa tersebut antara lain adalah teorema property rights, principal-agents, methodological individualism, dan

    public choice. Lebih lanjut lihat Globalisasi Menghempas Indonesia hal 133-140, Perkumpulan Prakarsa, 2006.

    17

  • 7/31/2019 Buku Putih Kerjasama Swasta dan Pemerintah dalam Penyediaan Air Minum

    18/84

    Indonesia

    seringkali tidak memenuhi standar operasi, namun mengeksploitasi harga tanpa

    banyak menanggung konsekuensi.

    Sepanjang abad 20, pemahaman yang diterima publik adalah bahwa

    penyediaan air minum bersifat monopoli alamiah dan memberi manfaat bagikesehatan masyarakat. Namun perlu diwaspadai bahwa monopoli swasta akan

    meningkatkan beban biaya dan mengabaikan kepentingan kesehatan publik.

    Sektor publik harus memegang kendali untuk menghindari penggunaan kekuasaan

    sewenang-wenang oleh swasta.

    Penentang keterlibatan swasta juga mengkritisi bahwa penyediaan

    kepentingan publik yang diberikan pada swasta tetapi cenderung bersifat

    monopoli alamiah akan mengarah pada penerapan tarif tinggi dan pelayanan

    terfokus hanya pada penduduk yang dapat membayar. Selain itu, dikatakan

    bahwa air minum adalah hak asasi, sehingga tidak tepat jika swasta mendapat

    keuntungan dari penyediaan air minum bagi penduduk miskin. Lebih ekstrim

    dikatakan bahwa perusahaan swasta mencuri air dunia (Barlow dan Clarke, 2003).

    2.4. Fakta Empiris PSP di Sektor Air Minum

    18

    Kotak 1.5

    Perlawanan terhadap Kebijakan Privatisasi Air di Indonesia

    Pada tanggal 9 Juni 2004, sekelompok organisasi masyarakat sipil dan individumengajukan gugatan uji materil (judicial review) terhadap UU No.7 Tahun 2004tentang Sumber Daya Air ke Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MKRI).Gugatan ini merupakan bagian dari proses perlawanan (pada saat masih menjadiRUU, beberapa kelompok masyarakat sipil di Indonesia, sudah melakukanserangkaian advokasi, lobby dan kampanye untuk menentang diundangkannya UUNo.7 tahun 2004) terhadap reformasi kebijakan sumberdaya air di Indonesia yangdisusun melalui WATSAP (Water Resources Sector Adjustment Program), yangdidanai dari pinjaman Bank Dunia sebesar US $ 300 juta. Penggugat berpendapatbahwa UU Sumberdaya Air bertentangan dengan UUD 1945 dan dirancang sebagailegitimasi atas kebijakan privatisasi air di Indonesia.

    Satu tahun kemudian, tepatnya tanggal 19 Juli 2005 MKRI memutuskan menolakpermohonan uji materil tersebut. Tujuh dari sembilan hakim MKRI menolakpermohonan penggugat sedangkan dua hakim lainnya menerima permohonanpenggugat.

    Menariknya, meskipun MKRI menolak gugatan para penggugat, namun MKRImemberikan kesempatan conditionally constitutional jika dalam pelaksanaannyaUU Sumberdaya Air bertentangan dengan pertimbangan-pertimbangan MKRI.Bagaimanapun, hal ini merupakan sesuatu yang baru dimana biasanya keputusan

  • 7/31/2019 Buku Putih Kerjasama Swasta dan Pemerintah dalam Penyediaan Air Minum

    19/84

    Indonesia

    Menarik untuk disimak, seberapa besar keterlibatan sektor swasta di sektor

    air minum. Menurut World Bank12, dalam kurun waktu 1990-2006 terdapat 524

    proyek (dalam berbagai model) keterlibatan swasta di sektor air di 58 negara.

    Tabel 2.Indikator Penting

    Indikator, 1990-2007 Value

    Jumlah Negara dengan keterlibatanswasta

    60

    Proyek yang terlaksana 584

    Wilayah dengan porsi investasi terbesar Asia Timur dan Pasifik (48%)

    Tipe keterlibatan swasta berdasar porsiinvestasi terbesar

    konsesi (68%)

    Tipe keterlibatan swasta berdasar porsijenis proyek terbesar

    konsesi (40%)

    Proyek dibatalkan atau dalam masalah53 yang menunjukkan 29% dari total

    investasi

    Sumber: http://ppi.worldbank.org/explore/ppi_exploreSector.aspx?sectorID=4

    Dari tabel di atas, terlihat bahwa sebagian besar keterlibatan swasta dalam

    sektor air baik dari sisi investasi maupun proyek adalah model konsesi. Namun,

    dalam 5 tahun terakhir (2003-2007) keterlibatan sektor swasta di sektor air lebih

    banyak dilakukan dalam greenfield project13, meskipun dari sisi nilai investasi

    dalam kurun waktu tersebut masih lebih besar model konsesi (tabel 3)

    Tabel 3.

    Jumlah Proyek Berdasar Bentuk Keterlibatan Swasta

    TahunAnggaran

    Konsesi Divestiture GreenfieldProject

    KontrakManjemendan Lease

    Total

    1991 1 0 0 1 2

    1992 2 0 2 2 6

    1993 6 0 3 2 11

    12Lihat, http://ppi.worldbank.org/explore/ppi_exploreSector.aspx?sectorID=4

    13Greenfield project: A private entity or a public-private joint venture build and operates a new facility. This category includes

    build-operate-transfer and build-own-operate contracts as well as merchant power plants,http://ppi.worldbank.org/book/216Housk-10-23.pdf

    19

    http://ppi.worldbank.org/explore/ppi_exploreSector.aspx?sectorID=4http://ppi.worldbank.org/book/216Housk-10-23.pdfhttp://ppi.worldbank.org/explore/ppi_exploreSector.aspx?sectorID=4http://ppi.worldbank.org/book/216Housk-10-23.pdf
  • 7/31/2019 Buku Putih Kerjasama Swasta dan Pemerintah dalam Penyediaan Air Minum

    20/84

    Indonesia

    TahunAnggaran

    Konsesi Divestiture GreenfieldProject

    KontrakManjemendan Lease

    Total

    1994 8 0 5 1 14

    1995 9 1 3 5 18

    1996 7 1 9 7 24

    1997 16 2 9 12 39

    1998 18 1 11 2 32

    1999 13 7 8 10 38

    2000 28 1 5 5 39

    2001 12 1 13 14 40

    2002 24 3 8 9 44

    2003 12 1 21 10 44

    2004 27 0 21 5 53

    2005 18 0 32 11 61

    2006 15 2 27 13 57

    2007 20 5 30 7 62

    Total 236 25 207 116 584

    Sumber: http://ppi.worldbank.org/explore/ppi_exploreSector.aspx?sectorID=4

    Dari sekian banyak proyek swasta di sektor air, dalam kurun waktu 2001-

    2004 terdapat lima perusahaan terbesar yang memiliki lebih dari 50 proyek

    penyediaan air di seluruh dunia (tabel 4). Namun menurut Izzaguirre dan Hunt(2005), Sponsors from developed countries still accounted for a large share of

    investment flows. But they limited their investment to selected developing

    countries and sought to exit underperforming contracts. RWE Thames announced

    that it would withdraw from most regions while focusing on Central and Eastern

    Europe, Veolia Environment that it would concentrate on selected Asian countries,

    and Suez that it would pull out of Asia and Latin America. The retrenchment by

    global sponsors in some cases facilitated greater activity by local and regional

    sponsors. Selain itu Izzaguirre dan Hunt menyatakan ...local companies with

    little or no operational experience entered the water business. One example is the

    Russian investment conglomerate Interros, which won the lease contract for the

    20

    http://ppi.worldbank.org/explore/ppi_exploreSector.aspx?sectorID=4http://ppi.worldbank.org/explore/ppi_exploreSector.aspx?sectorID=4
  • 7/31/2019 Buku Putih Kerjasama Swasta dan Pemerintah dalam Penyediaan Air Minum

    21/84

    Indonesia

    water utility in Siberias Perm City. In Chile local investors (Grupo Solari, Consorcio

    Financiero, Grupo Luksic, and Icafal) won five of the six water contract in 2004...

    Tabel 4.

    Lima Besar Perusahaan Air dan Air Limbah

    Skema Partisipasi Swasta di Negara Berkembang (2001-2004)

    Perusahaan

    Proyek

    Investasi

    (US$juta)

    Proyek per Wilayah

    AsiaTimurdanPasifik

    EropadanAsiaTengah

    Amerika LatindanKaribia

    TimurTengah danAfrikaUtara

    AsiaSelatan

    Sub-SaharaAfrika

    SuezEnvironment

    17 1,053 9 2 1 2 0 3

    VeoliaEnvironment

    16 1,088 8 6 0 0 0 2

    New WorldInfrastructure

    7 292 7 0 0 0 0 0

    RWEThames

    6 762 3 1 2 0 0 0

    BerlinwasserInternational

    6 135 3 2 0 0 0 1

    Total 52 3,330 30 11 3 2 0 6

    Sumber: Bank Dunia, PPI Project Database

    Situasi ini, coba dijelaskan oleh Ducci (2007)14 dengan mengambil kasus pada

    negara-negara Amerika Latin, Many of international water operators, which were

    operating water and sewerage services in Latin America, withdrew from the region

    during the first five years of the new millennium. The study examines the causes

    and consequences of the withdrawal international water operators in 14 cases in

    five countries (Argentina, Bolivia, Chile, Uruguay, and Venezuela) as well as in

    Brazil, Colombia, and Mexico. The study finds different reasons explained the

    departure. For some international water operators, the withdrawal was driven by

    14Lihat, http://ppi.worldbank.org/resources/ppi_otherresources.aspx?resourceId=6

    21

    http://ppi.worldbank.org/resources/ppi_otherresources.aspx?resourceId=6http://ppi.worldbank.org/resources/ppi_otherresources.aspx?resourceId=6
  • 7/31/2019 Buku Putih Kerjasama Swasta dan Pemerintah dalam Penyediaan Air Minum

    22/84

    Indonesia

    their refocusing in their local and regional markets. In these cases, the exit was

    planned with investments sold to local investors. In other cases, the exit resulted

    from changes in sectoral policies or social and political conflicts caused by tariff

    increases, perception of lack of transparency in the biddings, among otherproblems. The study indicates that it is unlikely that international operators return

    to the region in the short term, but local and regional operators are emerging and

    filling the gap.

    Menurut Hall dan Lobina, satu alasan kunci untuk hal ini adalah karena

    negara-negara berkembang tidak dapat memberikan tingkat pengembalian (rate

    of return) yang dibutuhkan oleh pemilik modal dari luar negeri. Sebuah studi yang

    dilakukan Bank Dunia menunjukkan bahwa tingkat pengembalian investasi

    infrastruktur di negara-negara berkembang, termasuk di air bersih, berada

    dibawah biaya modal.

    Secara keseluruhan, penyediaan layanan air bersih oleh swasta jumlahnya

    kecil. Menurut Stephenson (2005) dalam Ouyahia (2006) menyatakan bahwa Of

    the total of the world population of 6 billion, only about 5 percent are served by

    private companies. Of (these) 290 million people, 126 million are in Europe, 72

    million in Asia and Oceania, 48 million in North America, 21 million in South

    America, and 22 million in other countries. Lebih lanjut Stephenson mengatakan

    bahwa the water market represents about US$ 400 billion per year

    internationally, compared to US$ 1,000 billion per year for electricity .

    Meskipun mengalami peningkatan cukup signifikan sejak tahun 1990-an,

    namun keterlibatan sektor swasta di sektor air tetap kecil jika dibandingkan

    dengan sektor publik. Only 3 percent of the population in poor or emerging

    countries is supplied through fully or partially private operators (Winpenny, 2003) .

    Hall dan Lobina (2006) menyatakan bahwa kota-kota besar yang berada di negara-

    negara berpendapatan kecil atau menengah penyediaannya didominasi oleh

    sektor publik. Lebih dari 90% layanan air di kota-kota tersebut dilakukan oleh

    sektor publik yang populasinya lebih dari 1 juta jiwa

    Tabel 5.

    Porsi Kerjasama Pemerintah-Swasta di Pasar Air Perkotaan Negara OECD

    (dalam % dari penduduk yang terlayani)

    Negara Manajemen Publik Manajemen Swasta

    Jerman 96 4

    Perancis 20 80

    Inggris 12 88

    22

  • 7/31/2019 Buku Putih Kerjasama Swasta dan Pemerintah dalam Penyediaan Air Minum

    23/84

    Indonesia

    Belanda 100 -

    Amerika

    Serikat

    85 15

    Sumber: BIPE (2001), dalam Public-Private Partnerships in the Urban Water Sector, Policy Brief

    OECD, April 2003

    Tabel 5 menjelaskan perbandingan penyediaan layanan yang dilakukan

    oleh sektor publik dan swasta di negara-negara OECD. Dari tabel tersebut terlihat

    bahwa Perancis dan Inggris merupakan negara dengan sebagian besar penyediaanlayanan airnya dilakukan oleh sektor swasta. Cukup menarik adalah Belanda yang

    100% penyediaan layanan airnya dilakukan oleh sektor publik, namun pada sisi

    lain Belanda merupakan salah satu negara yang mendorong keterlibatan swasta

    dalam penyediaan air terutama di negara-negara berkembang.

    Lebih spesifik studi-studi yang terkait keterlibatan swasta dalam di sektor

    air menunjukkan hasil yang beragam. Ouyahia (2006) menyatakan studi-studi

    yang telah dilakukan menggunakan pendekatan yang berbeda. Lebih lanjut

    Ouyahia, mengutip Renzetti dan Dupont (2004) menyatakan bahwa studi-studi

    yang sudah dilakukan (Morgan; 1977, Crain dan Zardkoohi; 1978) menunjukkanbahwa utilitas air swasta secara rata-rata memiliki biaya yang lebih rendah.

    Namun studi lain (Bruggink;1982, Feigenbaum dan Teeples;1983, Teeples dan

    Glyer;1987) menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan biaya antara publik dan

    swasta atau utilitas publik memiliki biaya yang lebih rendah.

    Studi lain menggunakan pendekatan produktivitas seperti yang dilakukan

    oleh Saal dan Parker (2001) (dalam Ouyahia, 2006). Keduanya mengukur kinerja

    industri air dan air limbah di Inggris sebelum dan sesudah privatisasi dengan

    menggunakan indikator tenaga kerja dan total factor productivity. Keduanya

    menemukan bahwa meskipun produktifitas tenaga kerja meningkat namun totalfactor productivity menurun yang berarti bahwa privatisasi menghasilkan

    pengganti. Keduanya juga menemukan bahwa privatisasi menghasilkan

    keuntungan yang lebih tinggi tetapi keuntungan efisiensinya sedikit.

    Orwin (1999) dan Houstma (2003)15, keduanya menunjukkan bahwa secara

    rata-rata perusahaan swasta menetapkan harga yang lebih tinggi dibanding publik

    baik di Perancis maupun California. Studi yang dilakukan oleh Ballance dan Taylor

    15Orwin, A 1999. Privatization of Water and Wastewater Utilities: An International Survey. Toronto: Environment Probe dan

    Houstma, J. 2003. Water Supply in California: Economic of Scale, Water Charge, Efficiency, and Privatization. Mimeo, MountAllison University.

    23

  • 7/31/2019 Buku Putih Kerjasama Swasta dan Pemerintah dalam Penyediaan Air Minum

    24/84

    Indonesia

    (2005)16 yang melakukan survei terhadap 5000 municipal dan mencakup 68%

    penduduk di Perancis, menunjukkan bahwa ...on average, water delivered by

    private companies is 27% more expensive than that delivered by public

    operators....Studi lain dilakukan oleh ECLAC (1998) yang mencoba membandingkan

    kesuksesan dan kegagalan pendekatan privatisasi di Meksiko, Venezuela, dan

    Chile, menyimpulkan bahwa kegagalan di Venezuela disebabkan kurangnya

    pemahaman terhadap sistem privatisasi sehingga menghasilkan kebijakan yang

    kurang sesuai. Selain itu, sektor publik tidak mempunyai kapabilitas memadai

    untuk mengawasi swasta. Pemantauan ketat yang dibutuhkan untuk memastikan

    swasta memenuhi kewajibannya tidak dilaksanakan. Sebaliknya, keberhasilan di

    Chile disebabkan penerapan standar baku dan badan regulasi independen. Pada

    kasus Meksiko, keberhasilan ditunjang oleh minat dan keterlibatan industri swastadalam penyediaan air dan sekaligus mempertahankan ketersediaan air bagi

    kebutuhan industri masing-masing

    Cabrera (2003) berdasarkan pengamatannya terhadap privatisasi di

    Aguascalientes, Mexico menemukan beberapa kesimpulan diantaranya (i) pada

    beberapa aspek, keterlibatan swasta menguntungkan khususnya dalam bentuk

    peningkatan efisiensi dan akses, (ii) pada aspek keberlanjutan kurang mendapat

    perhatian seperti meningkatnya kesenjangan pendapatan. Khususnya dalam

    kondisi monopoli, dan keterbatasan sumber air, besar kemungkinan penduduk

    miskin akan mengalami kesulitan.

    Surjadi (2003) yang melakukan studi terhadap privatisasi air di Jakarta

    menyatakan One effect of privatization, which our interviews highlighted, is two

    years after the implementation of the PSP, the majority of the respondents

    perceive the flow and the quality of drinking water to be the same as before

    privatisation...These data indicate that expectation of the improvement of flow of

    the drinking quality of the water is still high but has yet to be fulfilled. Pada studi

    yang membandingkan kinerja 50 perusahaan penyedia air minum di negara

    berkembang Asia dan Pasifik ditemukan bahwa perusahaan swasta lebih efisien

    (Estache, 1999). Namun dalam publikasi selanjutnya Estache menyimpulkanbahwa The results show that efficiency is not significantly different in private

    companies than in public ones17.

    Studi-studi lain mencoba melihat latar belakang keterlibatan swasta dalam

    penyediaan layanan air bersih. Dalam salah satu kesimpulannya, Shofiani (2003)

    menyatakan bahwa Financial difficulties and low level of service delivery as a

    motives to privatise Jakarta water utility is proved inaccurate. PAM Jaya in fact had

    a status of self reliance. The Jakarta water privatisation is related to IFIs

    16 Ballance,T. and A.Taylor.2005. Competition and Economic Regulation: The Future of the European Water Industry. IWAPublishing, London UK17

    Lihat, Hall dan Lobina, The Relative Efficiency of Public and Private Sector, PSIRU, 2005

    24

  • 7/31/2019 Buku Putih Kerjasama Swasta dan Pemerintah dalam Penyediaan Air Minum

    25/84

    Indonesia

    involvement, i.e ADB, IMF and the World Bank. The IFIs provide loans on water

    sector reformation that give limited room for domestic policy choices.. Ouyahia

    menyatakan In Latin America, privatization was launched mainly because of

    heavy political control of public utilities in more countries and govermentcorruption. Privatization and decentralization have been at the centre of the

    structural reform process over the last 20 years. Sedangkan Finger dan Allouche

    (2002) menyatakan Because of financial pressure, more than 30 African countries

    have decided to let the private sector operate and invest in their water

    infrastructure.

    2.5 Beberapa Isu Penting terkait dengan PSP

    2.5.1 PSP dan Kemiskinan

    Kehadiran PSP dalam penyediaan layanan air bersih sering dikaitkan

    dengan pengurangan kemiskinan. Sektor swasta dipandang sebagai sosok yang

    paling pantas atas keterbatasan dana investasi, peningkatan kualitas dan

    perluasan akses layanan, termasuk memberikan layanan terhadap kelompok

    masyarakat miskin untuk mendapatkan air.

    Dari kacamata ekonomi makro, Estache (2002) menjelaskan bahwa terdapat

    tiga cara privatisasi sehingga mempunyai dampak pada kesejahteraan penduduk

    miskin. Pertumbuhan ekonomi. Pertama, investasi infrastruktur merupakan faktor

    penting dalam pertumbuhan ekonomi, yang kemudian menjadi pendorong utamabagi pengurangan kemiskinan. Kedua, pengurangan pegawai. Langkah pertama

    privatisasi adalah peningkatan efisiensi dan keuntungan melalui pengurangan

    pegawai. Dalam jangka panjang langkah ini menghasilkan pertumbuhan ekonomi.

    Ketiga, realokasi pengeluaran publik. Secara konvensional, infrastruktur

    menyerap dana pemerintah dalam jumlah besar untuk menutup subsidi dan

    membiayai pembangunan. Privatisasi mengurangi pengeluaran pemerintah pada

    kegiatan yang tadinya dibiayai pemerintah sehingga tersedia dana untuk

    membiayai kegiatan lain.

    Lebih lanjut menurut Estache (2002), dari perspektif ekonomi mikro,privatisasi mempengaruhi penduduk miskin dalam dua hal yaitu:

    (i) Akses.

    Pengaruh terhadap akses melalui hal-hal berikut:

    a. Peningkatan biaya sambungan.

    Biaya sambungan ditingkatkan sampai mencapai tingkatan yang

    sewajarnya setelah sebelumnya dipatok pada biaya yang minimum. Oleh

    karena itu, biaya sambungan kemungkinan tidak terjangkau oleh

    penduduk miskin kecuali disediakan pilihan membayar bertahap.

    25

  • 7/31/2019 Buku Putih Kerjasama Swasta dan Pemerintah dalam Penyediaan Air Minum

    26/84

    Indonesia

    b. Pengurangan insentif.

    Penduduk miskin biasanya berlokasi di daerah yang sulit dijangkau (padat,

    akses rendah, tak aman) sehingga biaya layanan lebih tinggi, sementara

    konsumsi air rendah dan sering tidak membayar. Hal ini mengurangikeinginan swasta melayani penduduk miskin.

    (ii) Keterjangkauan.

    Terdapat berbagai cara privatisasi dapat meningkatkan keterjangkauan.

    a. Peningkatan tarif.

    Sebelum privatisasi, tarif selalu lebih rendah dari biaya operasi sehingga

    perlu ditingkatkan agar dapat menutup biaya operasi. Ketika produksi

    telah efisien dan regulasi telah diterapkan dengan baik, terdapat

    kemungkinan tarif akan menurun setelah beberapa waktu.

    b. Pembayaran diformalkan.

    Perusahaan pemerintah cenderung membiarkan penunggakan dan

    sambungan liar. Perusahaan swasta berlaku sebaliknya. Akibatnya,

    banyak penduduk miskin kemudian mulai membayar sesuai dengan

    pemakaiannya. Hal ini bukan sesuatu yang buruk dengan

    mempertimbangkan bahwa sambungan liar cenderung tidak stabil,

    bahkan membayar lebih mahal pada mafia air.

    c. Peningkatan kualitas.

    Kondisi ini membutuhkan biaya besar yang kemudian dibebankan pada

    konsumen, yang kemungkinan membebani penduduk miskin.

    Namun dalam kenyataannya, kehadiran PSP tidak selalu seperti yang

    digambarkan oleh Estache. Perusahaan swasta, cenderung melakukan cherry

    picking, dimana perusahaan swasta hanya akan hadir pada area yang

    menjanjikan keuntungan dan menghindari area yang tidak menguntungkan

    seperti area kumuh, pedesaan, dimana secara topografi sulit, konsumsi air perkapitanya rendah, dan pendapatan masyarakatnya juga rendah. Meskipun

    terdapat dalam kontrak, sangat jarang ada perusahaan swasta yang mampu

    memenuhi kewajiban kontrak ini (Swyngedouw, 2003 dan Castro, 2004:342),

    kecuali jika terdapat insentif yang cukup besar seperti dalam bentuk pembayaran

    kompensasi, pemberian subsidi dari pemerintah, pengurangan atau pembebasan

    pajak (Hardoy dan Schusterman, 2000: 68). Estache sendiri, memahami ini

    dengan mencoba melihat privatisasi dalam kacamata ekonomi mikro dengan

    menyebutnya sebagai pengurangan insentif dimana penduduk miskin biasanya

    berlokasi di daerah yang sulit dijangkau (padat, akses rendah, tak aman)sehingga biaya layanan lebih tinggi, sementara konsumsi air rendah dan sering

    26

  • 7/31/2019 Buku Putih Kerjasama Swasta dan Pemerintah dalam Penyediaan Air Minum

    27/84

  • 7/31/2019 Buku Putih Kerjasama Swasta dan Pemerintah dalam Penyediaan Air Minum

    28/84

    Indonesia

    dan 2,1 milyar orang untuk sanitasi18. Dalam kerangka tersebut, investasi yang

    dibutuhkan diperkirakan berkisar antara US$ 51 milyar sampai dengan US$ 102

    milyar untuk air bersih dan US$ 24 milyar sampai dengan US$ 42 milyar untuk

    sanitasi19

    .

    Tabel 6.

    Jumlah Penduduk yang Perlu Mendapat Akses

    Sesuai Target Air dan Sanitasi MDGs Tahun 2015

    Wilayah

    Jumlah Penduduk yangMemperoleh Akses Air Minum

    (juta)

    Jumlah Penduduk yangMemperoleh Akses Sanitasi

    Dasar (juta)

    Perkotaan Perdesaan Total

    Perkotaan

    Perdesaan

    Total

    Sub-SaharaAfrika

    175 184 359 178 185 363

    Timr Tengahdan AfrikaUtara

    104 30 134 105 34 140

    Asia Selatan 243 201 444 263 451 714

    Asia Timur danPacifik

    290 174 465 330 376 705

    America Latindan Karibia

    121 20 141 132 29 161

    Eropa Tengahdan Timur

    27 0 27 24 0 24

    Total 961 609 1.570

    1.032 1.076 2.108

    Sumber: UN Millenium Project (2005), dalam Hall and Lobina, Pipe Dreams, The Failure of the

    Private Sector to Invest in Water Services in Developing Countries, World Development Movement,

    2006

    Besarnya investasi yang dibutuhkan, membuat banyak pihak percaya

    bahwa partisipasi swasta menjadi penting dalam penyediaan layanan air. Menurut

    Braadbaart (2001) There are two arguments for privatizations: the fiscal

    argument that privatization will relieve government of the burden of investment

    18 Hall and Lobina, Pipe Dreams, The Failure of the Private Sector to Invest in Water Services in Developing Countries, WorldDevelopment Movement, 200619

    Ibid

    28

  • 7/31/2019 Buku Putih Kerjasama Swasta dan Pemerintah dalam Penyediaan Air Minum

    29/84

    Indonesia

    financing and the efficiency argument taht performance will improve under private

    ownership. Pendapat lain disampaikan oleh Palmer dkk (2003), why do we need

    the private sector to be involved at all ? Government and government-controlled

    para-statals rarely deliver services cost-efectively for the reasons noted earlier.Nor can governments usually raise the finance needed to expand the service

    provision. Involvement of the international water companies (on an appropriate

    basis) can serve to facilitate cost-effective delivery of services. It can also facilitate

    mobilising long-term finance. Participation on a risk sharing basis of the

    international water companies enhances the confidence of the providers of finance

    that investment programmes will be implemented eficiently.

    Keniscayaan atas keterlibatan sektor swasta sebagai juru selamat atas

    persoalan pembiayaan air bersih, menempatkan kebijakan PSP menjadi mantera

    wajib terutama di banyak negara berkembang. Seperti yang dikatakan oleh ClareShort (2002) Privatization is the only way to get the investment that (poor)

    countries need in things like banking, tourism, telecommunications and services

    such as water under good regulatory arrangements. Sedangankan Hilary Benn

    (2006) mengatakan bahwa Clearly there needs to be significantly increased

    public investment (in order to meet the MDGs) making water and sanitation a

    priority of national plans in developing countries. There needs to be a recognition

    private sector investment may have a role too.

    Menurut data Bank Dunia, total investasi swasta di berbagai proyek air

    minum dalam kurun waktu 1991-2006 adalah US$ 57.159 juta, dengan puncaknyaterjadi pada tahun 1997 (tabel 7). Meskipun setelah tahun 1997, investasi swasta

    terus menurun (ditandai dengan banyaknya perusahaan swasta terutama MNCs

    yang menarik diri), namun menurut Izaguirre dan Marin (2006), situasi ini tidak

    berarti aktivitas swasta di sektor air bersih telah berakhir. Masuknya pemain baru

    yang berasal dari perusahaan nasional dan regional dipandang sebagai

    kecenderungan positif dari keterlibatan swasta dalam layanan air bersih. Lebih

    lanjut Izaguirre dan Marin, mengatakan So what we are seeing today is not a

    backlash but a natural maturation of the market following an initial boom. Now

    more aware of the benefits and risks involved, stakeholders are looking forcontractual arrangements best suited to each countrys situation.

    Tabel 7.

    Jumlah Investasi berdasar Tipe Keterlibatan Swasta (US$ Juta)

    TahunInvestasi Konsesi

    Jual Penuh(Divestiture)

    Greenfieldproject

    Pengelolaandan KontrakSewa-Beli Total

    1991 75 0 0 0 75

    29

  • 7/31/2019 Buku Putih Kerjasama Swasta dan Pemerintah dalam Penyediaan Air Minum

    30/84

    Indonesia

    TahunInvestasi Konsesi

    Jual Penuh(Divestiture)

    Greenfieldproject

    Pengelolaandan KontrakSewa-Beli Total

    1992 284 0 0 0 284

    1993 6.465 0 164 0 6.629

    1994 966 0 380 0 1.346

    1995 1.563 20 228 13 1.823

    1996 122 36 1.125 20 1.304

    1997 9.164 499 333 166 10.161

    1998 1.676 266 385 0 2.327

    1999 1.684 4.313 347 27 6.372

    2000 7.134 456 633 7 8,229

    2001 1.138 51 937 17 2.143

    2002 1.032 323 232 1 1.589

    2003 804 43 554 92 1.494

    2004 3.341 210 1.041 180 4.772

    2005 697 0 974 331 2.001

    2006 1.152 383 405 737 2.677

    2007 1.323 498 1.422 2 3.245

    Grand Total 38.618 7.099 9.161 1.593 56.471

    Sumber: http://ppi.worldbank.org/explore/ppi_exploreSector.aspx?sectorID=4

    Pendapat lain disampaikan oleh Hall dan Lobina (2006), dalam publikasinya

    yang diterbitkan oleh PSI dan World Development Movement (WDM)20, dimana:

    1. Sebagian besar kontrak swasta untuk kontrak manajemen dan lease tidak

    melibatkan investasi badan usaha swasta sama sekali untuk perluasan

    sambungan untuk rumah yang belum tersambung pada jaringan air bersih.

    20 Hall and Lobina, Pipe Dreams, The Failure of the Private Sector to Invest in Water Services in Developing Countries, WorldDevelopment Movement, 2006

    30

    http://ppi.worldbank.org/explore/ppi_exploreSector.aspx?sectorID=4http://ppi.worldbank.org/explore/ppi_exploreSector.aspx?sectorID=4
  • 7/31/2019 Buku Putih Kerjasama Swasta dan Pemerintah dalam Penyediaan Air Minum

    31/84

    Indonesia

    2. Kontrak konsesi melibatkan investasi badan usaha swasta untuk perluasan

    jaringan. Tetapi komitmen investasi yang telah disepakati mengalami

    perubahan, dibatalkan atau tidak mencapai target.

    3. Untuk sebagian kontrak privatisasi, pembiayaan publik atau jaminan daripemerintah atau bank pembangunan menjadi hal yang terpenting untuk

    mendatangkan investasi swasta yang nyata, khususnya menyambung

    jaringan air bersih untuk komunitas miskin.

    4. Perusahaan air swasta tidak membawa sumber dan volume pembiayaan

    investasi tetapi mereka juga sangat bergantung pada sumber yang sama

    dengan sektor publik.

    Pembiayaan air oleh sektor swasta juga diragukan, sektor swasta pada dasarnyajuga menggunakan sumber pembiayaan yang sama dengan sektor publik. Hal ini

    terjadi karena sektor swasta beranggapan bahwa terlalu beresiko untuk

    berinvestasi di negara berkembang dengan tingkat pendapatan masyarakat yang

    rendah. Dalam tulisannya, Prasad N (2005) mengatakan bahwa To overcome

    some of these insufficiencies, the private sector prefers to rely on subsidies, soft

    loans, and a renegotiation of the contractual agreement in order to provide service

    to the poor. In other words, the private sector is using the same sources of funds

    as the public sector, such as loans from bilateral and multilateral donors, aid

    money, and money from customers through tariffs. In general, and as evidencesuggest, it is public funds that supports the private sector in providing services to

    the poor.

    31

  • 7/31/2019 Buku Putih Kerjasama Swasta dan Pemerintah dalam Penyediaan Air Minum

    32/84

    Indonesia

    BAB III

    Fakta Sekitar PSP di Indonesia

    3.1. Sejarah Keterlibatan Swasta dalam Penyediaan Air Minum di

    Indonesia

    Seperti negara berkembang lainnya, sistem penyediaan air minum di

    Indonesia kebanyakan merupakan warisan kolonial. Sebagai contoh PDAM Kota

    Semarang yang didirikan pada tahun 1911, PDAM Kota Solo yang didirikan pada

    tahun 1929, PDAM Kota Salatiga tahun 1921, dan PAM Jaya yang sudah berdiri

    sejak tahun 1843. Tahapan selanjutnya cikal bakal PDAM ini menjadi bagian dariDinas Pekerjaan Umum dan baru pada sekitar tahun 60-an dan 70-an berubah

    menjadi PDAM.

    Sejak awal tahun 1970 an sampai dengan tahun 1990 an (khususnya

    selama Pelita III 1979-1984 dan Pelita IV 1984-1989), pemerintah pusat

    memegang peran aktif dalam pembangunan infrastruktur bidang air minum secara

    luas di seluruh Indonesia. Targetnya adalah memenuhi kebutuhan dasar air minum

    60 liter/orang/hari dengan cakupan layanan 60% di daerah perkotaan.

    Pembangunan infrastruktur pemerintah pusat tersebut dimaksudkan sebagai

    modal awal yang pada tahap selanjutnya diharapkan dapat dikembangkan olehPDAM dan Pemerintah Daerah setempat .

    Selama Pelita III pemerintah mulai melakukan kerja sama dengan lembaga

    keuangan internasional dalam bentuk pinjaman luar negeri untuk melakukan

    investasi di sektor air minum perkotaan. Model pendekatan pembangunan dan

    standar teknis pengelolaan dirumuskan oleh pemerintah pusat. Pembangunan

    prasarana dan sarana air minum dilaksanakan oleh Departemen Pekerjaan Umum.

    Untuk kota kecil dengan penduduk kurang dari 50.000 jiwa pengelolaannya

    dilakukan dengan membentuk BPAM (Badan Pengelola Air Minum) yang bersama-

    sama dengan pemerintah daerah diharapkan dapat dikembangkan menjadi PDAM.

    Keterlibatan sektor swasta dalam penyediaan air bersih di Indonesia, mulai

    terjadi pada tahun 90-an, seiring dengan semakin menurunnya peran pendanaan

    dari pemerintah pusat. Proyek PSP pertama adalah BOO Serang Utara pada tahun

    1993, kemudian kontrak konsesi di Pulau Batam oleh PT. Aditia Tirta Batam (ATB)

    pada tahun 1996. Pada tahun 1998, pekerjaan serupa dilakukan oleh PT Palyja di

    Jakarta bagian barat dan PT Thames PAM Jaya (TPJ) di Jakarta bagian timur.

    Meskipun sudah berlangsung sejak tahun 1990-an, namun pada saat itu

    kerangka hukum yang mengatur keterlibatan swasta dalam penyediaan layanan

    air bersih belum mencukupi. Peraturan perundangan yang mengatur keterlibataan

    32

  • 7/31/2019 Buku Putih Kerjasama Swasta dan Pemerintah dalam Penyediaan Air Minum

    33/84

    Indonesia

    swasta pada saat itu hanyalah UU Penanaman Modal Asing dalam Pasal 6 Undang-

    Undang PMA No 1/1967i jo Undang-Undang No. 11/1970 yang mengatur secara

    tegas bahwa kegiatan ekonomi yang sifatnya menyangkut hajat hidup orang

    banyak, termasuk air minum tidak diperkenankan dikelola dengan modal laintermasuk modal asing dan Peraturan Pemerintah No.20 Tahun 1994 tentang

    Pemilikan Saham dalam Perusahaan yang Didirikan dalam Rangka Penanaman

    Modal Asing.

    Baru pada tahun 2000, pengaturan yang lebih jelas tentang keterlibatan

    swasta dalam penyediaan air bersih disusun melalui Keputusan Presiden (Keppres)

    No. 96 tahun 200021 tentang Bidang Usaha yang Tertutup dan Bidang Usaha yang

    Terbuka dengan Persyaratan Tertentu Bagi Penanaman Modal, dimana

    dumungkinkan bagi modal asing untuk melakukan usaha dalam bidang yang

    tergolong penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak termasukair minum dimana pemilik modal asing dimungkinkan untuk memiliki 95% saham

    dari perusahaan tersebut- dalam perkembangannya Keppres No.96 tahun 2000 ini

    dirubah menjadi Keppres No.118 tahun 2000.

    Pada tahun 2004, pemerintah mengesahkan UU No. 7 Tahun 2004 tentang

    Sumber Daya Air, yang merupakan salah satu hasil dari reformasi kebijakan

    sumberdaya air di Indonesia (lihat kotak 3.1). Dengan adanya UU ini, keterlibatan

    swasta di sektor air semakin dipertegas.

    21Dalam konteks ini pada dasarnya terjadi kerancuan regulasi dimana pada tingkatan UU (UU No.II tahun 1970) mengatur secara

    tegas bahwa kegiatan ekonomi yang sifatnya menyangkut hajat hidup orang banyak, termasuk air minum tidak diperkenankan

    dikelola dengan modal lain termasuk modal asing. Namun, pada PP No.20 Tahun 1994 dan Keppres No.96 Tahun 2000dimungkinkan bagi modal asing untuk melakukan usaha dalam bidang yang tergolong penting bagi negara dan menguasai hajathidup orang banyak khususnya dalam hal ini air minum dimana pemilik modal asing dimungkinkan untuk memiliki 95% sahamdari perusahaan tersebut.

    33

    Kotak 3.1.Krisis Ekonomi dan Reformasi Sektor Sumberdaya Air

    Pada saat hampir bersamaan dengan mulainya keterlibatan swasta, sektorsumberdaya air di Indonesia sedang mengalami tekanan luar biasa, akibatketidakmampuan mempertemukan akibat meningkatnya pertumbuhan danberbagai permintaan akibat meningkatnya jumlah penduduk. Paradigma kebijakansumberdaya air di Indonesia juga dipandang sudah kadaluwarsa, sehingga padatahun 1993 muncul draft Rencana Aksi Kebijakan Sumberdaya Air Nasional (1994-2020) yang merupakan hasil studi yang disponsori oleh FAO dan UNDP. Tanpasebab yang jelas, draft rencana aksi ini menguap begitu saja, sampai kemudianpembahasan terhadap reformasi kebijakan sumberdaya air di Indonesia dimulai

    kembali pada sekitar tahun 1997.

    Melalui rangkaian seminar dan diskusi yang diinisiasi oleh Bappenas dihasilkansejumlah visi pengelolaan sumber daya air yang terkait dengan perubahanpendekatan, yakni dari pendekatan sisi pasokan menjadi sisi permintaan;perubahan cara pandang terhadap air, yakni air tidak hanya dilihat sebagai barang

  • 7/31/2019 Buku Putih Kerjasama Swasta dan Pemerintah dalam Penyediaan Air Minum

    34/84

    Indonesia

    34

    Kotak 3.1.Krisis Ekonomi dan Reformasi Sektor Sumberdaya Air

    Krisis ekonomi tahun 1997, memaksa Indonesia untuk berada di bawah programpenyehatan yang dipimpin IMF, dan melaksanakan kerangka kerja dan kebijakanekonomi makro yang tertuang dalam Memorandum of Economic and Financial Policiesdalam perjanjian Letter of Intent (LoI), yang kali pertama ditandatangani pada tanggal31 Oktober 1997 antara Pemerintah Indonesia dan IMF. Sejumlah agenda reformasikebijakan dan institusional dilaksanakan berdasarkan: a) manajemen ekonomi makro;b) restrukturisasi finansial dan sektor bisnis; c) proteksi terhadap kaum miskin; dan d)reformasi institusi ekonomi. Strategi dan program untuk melaksanakan agendatersebut dimatangkan sepanjang tahun 1998 bekerja sama denganBank Dunia, ADBdan sejumlah kreditor bilateral. Bank Dunia pun mengeluarkan Policy Reform SupportLoan (PRSL) pada bulan Juni 1998, kemudian disusul dengan PRSL II yangmencantumkan rencana untuk memperbaiki pengelolaan sumber daya air Indonesia,sebagaimana tertera dalam Matrix of Policy Actions PRSL II.

    Rencana perbaikan pengelolaan sumber daya air tersebut muncul pada akhir 1997.Ketika itu sebuah tim kerja sektoral Bank Dunia menyimpulkan bahwa Bank Duniatidak dapat memberikan bantuan lebih lanjut untuk sektor sumber daya air dan irigasiIndonesia, jika tidak ada perombakan besar-besaran pada sektor tersebut. Perlunyaperombakan ini sebenarnya sudah diidentifikasi oleh pihak Bank Dunia saat dialogsektoral antardepartemen yang diadakan Bappenas pada 1997 dalam rangkapenyusunan Repelita VII. Dengan terjadinya krisis ekonomi, pada bulan April 1998,Bank Dunia menawarkan kepada Pemerintah Indonesia sebuah pinjaman programuntuk merestrukturisasi sektor sumber daya air, yaitu WATSAL. Pinjaman program inimenjadi bagian dari keseluruhan pinjaman untuk mereformasi kebijakan ekonomimakro Indonesia yang sifatnya cepat dicairkan supaya dapat menutupi defisitneraca pembayaran, seperti juga tertera dalam dokumen Country Assistance

    Strategy(CAS) Progress Reportuntuk Indonesia, Juni 1999.

    Dokumen ini merupakanrevisi dari CAS Indonesia yang dikeluarkan Juni 1997, ketika Indonesia mulai dilandakrisis ekonomi.

    Tawaran tersebut diterima oleh Pemerintah Indonesia. Bappenas kemudianmembentuk sebuah tim khusus terdiri dari sejumlah staf pemerintah dan organisasinonpemerintah untuk menyusun sebuah matriks kebijakan bersama dengan tim dariBank Dunia. Tim ini, melalui Keputusan Menteri tertanggal 2 November 1998, resmimenjadi Tim Pengarah Nasional Program Pembangunan Bidang Sumber Daya Air(Task Force for Reform of Water Resources Sector Policy) yang berada di bawahBappenas dan Kementrian Infrastruktur dan Prasarana Wilayah (Kimpraswil). Timyang lebih dikenal sebagai Kelompok Kerja WATSAL ini, bersama dengan dirjen-dirjenterkait dan Tim Koordinasi Pemerintah/Tim Koordinasi Pengelolaan Sumber Daya Air,menandatangani Letter of Sector Policy yang mencakup matriks kebijakan yangdisusun oleh Kelompok Kerja WATSAL. Selain itu, Kelompok Kerja WATSAL jugamembuat sebuah Rencana Implementasi WATSAL yang berisi tahapan proses danjadwal dari masing-masing rencana restrukturisasi dalam Matriks Kebijakan.Rancangan itu diserahkan kepada Bank Dunia pada 29 Maret 1999 sebagai panduanmereka dalam mengawasi perkembangan pelaksanaan restrukturisasi.

    Surat perjanjian pinjaman sebesar US$ 300 juta