1 OCCASIONAL PAPER KERANGKA PENGUKURAN RISIKO SISTEMIK Cicilia A. Harun Sagita Rachmanira R. Renanda Nattan Desember, 2015 OP/ 4 /2015 Kesimpulan, pendapat, dan pandangan yang disampaikan oleh penulis dalam paper ini merupakan kesimpulan, pendapat, dan pandangan penulis dan bukan merupakan kesimpulan, pendapat, dan pandangan resmi Bank Indonesia.
38
Embed
KERANGKA PENGUKURAN RISIKO SISTEMIK - bi.go.id · menjadi acuan dalam pengawasan dan perumusan kebijakan ... contoh: adanya shock yang ... Alat ukur risiko sistemik pada fase ini
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
1
OCCASIONAL PAPER
KERANGKA PENGUKURAN RISIKO SISTEMIK
Cicilia A. Harun Sagita Rachmanira R. Renanda Nattan
Desember, 2015
OP/ 4 /2015
Kesimpulan, pendapat, dan pandangan yang disampaikan oleh penulis dalam paper
ini merupakan kesimpulan, pendapat, dan pandangan penulis dan bukan
merupakan kesimpulan, pendapat, dan pandangan resmi Bank Indonesia.
KERANGKA PENGUKURAN RISIKO SISTEMIK*
Cicilia A. Harun†, Sagita Rachmanira‡, dan Raquela Renanda§
Abstrak
Mitigasi risiko sistemik tidak dapat dilakukan hanya dengan menggunakan single indicator atau 1 (satu) metode tertentu, tetapi
diperlukan serangkaian alat ukur yang komprehensif. Sehubungan dengan hal tersebut, dikembangkan kerangka pengukuran risiko sistemik sebagai kerangka kerja identifikasi, pemonitoran, dan pengukuran risiko yang dapat menjadi acuan dalam pengawasan dan perumusan kebijakan makroprudensial, termasuk menjadi referensi dalam pengembangan alat ukur risiko sistemik ke depan. Dalam kajian ini, kerangka pengukuran risiko sistemik disusun dengan mencakup 3 (tiga) aspek utama, yaitu tipe alat ukur risiko sistemik, dimensi alat ukur, dan alat ukur didasarkan pada fase pembentukan risiko sistemik. Selain itu, kajian ini membahas pula mengenai pembentukan risiko sistemik dalam kaitannya dengan siklus keuangan. Secara umum, alat ukur risiko sistemik yang baik diharapkan mampu menangkap sinyal imbalances dan dapat menilai potential losses.
Key word : systemic risk, measurement of systemic risk,
macroprudential
JEL Classification : E58, G01
* Pendapat dalam paper ini tidak merepresentasikan stance kebijakan Bank Indonesia.
Penulis bertanggung jawab atas terjadinya kesalahan yang tidak disengaja. † Peneliti Ekonomi Senior, Departemen Kebijakan Makroprudensial, Bank Indonesia, email:
[email protected] ‡ Peneliti Ekonomi, Departemen Kebijakan Makroprudensial, Bank Indonesia, email:
[email protected] § Research Fellow, Departemen Kebijakan Makroprudensial, Bank Indonesia, email:
Selanjutnya, pengembangan metode (model) pengukuran risiko sistemik juga
dilakukan dengan menggunakan transmisi sejumlah indikator melalui
pengembangan sejumlah modul atau model (RAMSI, SRM, MFRAF, dan SAMP)3.
Kelebihan dari membangun model adalah risiko sistemik dapat ditransmisikan
secara sistematis ke seluruh sistem keuangan dengan mempertimbangkan semua
aspek yang perlu dimasukkan dalam pengukuran risiko sistemik, sedangkan
kelemahannya adalah model penilaian risiko sistemik pada dasarnya ada data-
driven atau sangat dipengaruhi oleh ketersediaan data sistem keuangan. Sepanjang
permasalahan data gap masih dialami dalam bidang stabilitas sistem keuangan,
penggunaan model dalam mengukur risiko sistemik harus dilakukan secara berhati-
hati karena ada bagian-bagian sistem keuangan atau transmisi risiko sistemik yang
tidak dapat direpresentasikan dalam model.
3.2 Dimensi Alat Ukur
Dalam perspektif makroprudensial, risiko dapat dikelompokkan menjadi 2
(dua) dimensi, time series dan cross section. Dimensi time series menekankan pada
bagaimana risiko dalam sistem keuangan berevolusi sepanjang waktu, termasuk
evolusi dengan sektor ekonomi (procyclicality). Sementara itu, dimensi cross section
menekankan bagaimana risiko terdistribusi dalam sistem keuangan pada satu
periode tertentu yang disebabkan oleh kesamaan eksposur (consentration risk)
dan/atau interlink dalam sistem keuangan (contagion risk). Akibatnya,
permasalahan yang terjadi di satu institusi keuangan dapat berakibat negatif pada
institusi keuangan lainnya, baik melalui saluran langsung maupun tidak langsung.
Pengukuran risiko sistemik menggunakan dimensi time series
merepresentasikan perkembangan dari suatu indikator risiko sistemik dari waktu
ke waktu. Dalam hal ini, pengukuran dari waktu ke waktu tersebut dapat
menggunakan indikator dengan frekuensi yang relatif rendah, misalnya kuartalan,
tetapi bisa juga menggunakan indikator yang frekuensinya relatif tinggi, seperti
3 Lebih detail disampaikan pada Appendix.
20
indikator pasar keuangan yang selalu berubah dari menit ke menit, bahkan dari
detik ke detik. Dalam frekuensi yang lebih rendah, risiko sistemik yang diukur
umumnya merupakan indikator ketidakseimbangan dalam intermediasi atau
perilaku ambil risiko (imbalances). Sebagai contoh, Drehman et al. (2012)
membangun indikator siklus finansial yang merepresentasikan perilaku ambil risiko
dari pelaku pasar sehubungan dengan reaksinya terhadap kondisi perekonomian.
Indikator yang dibangun dari pengukuran dengan frekuensi data yang lebih rendah
itu umumnya digunakan untuk menangkap perilaku prosiklikalitas dari agen
keuangan. Untuk frekuensi yang lebih tinggi dapat diambil contoh pengukuran
volatilitas harga aset di pasar keuangan yang merepresentasikan risiko pasar yang
bersangkutan.
Dari sisi cross section, pada suatu waktu pengukuran risiko sistemik perlu
menangkap kondisi elemen sistem keuangan yang berbeda-beda, misalnya indikator
permodalan individual bank pada satu waktu tertentu merepresentasikan
ketahanan sektor perbankan di bulan tersebut. Demikan pula, kondisi NPL
perbankan yang diagregasi dari angka NPL individual perbankan merepresentasikan
risiko kredit sektor perbankan. Indikator yang bersifat cross sectional digunakan
untuk menangkap risiko sistem keuangan sebagai akibat dari konsentrasi pada
portofolio atau sektor ekonomi dan bisnis tertentu. Selain itu, risiko yang datangnya
dari efek penularan (contagion effect) dari risiko sistemik sebagai akibat dari
interkoneksi antaragen keuangan juga membutuhkan data yang bersifat cross
sectional. Misalnya, interbank stress testing membutuhkan data eksposur interbank
dari semua bank pada satu waktu tertentu untuk mengukur dampak kegagalan
suatu bank kepada bank yang lainnya. Selanjutnya, sejumlah metodologi
pengukuran risiko sistemik menggabungkan data kedua dimensi ini dengan cara
menggunakan panel data untuk memperoleh dinamika dari kedua dimensi itu
sekaligus. Misalnya, credit risk stress testing menggunakan model yang dibangun
dari panel data bank. Penggunaan panel data ini mampu memfasilitasi heterogenitas
dari bank sekaligus menangkap perilaku sektor perbankan secara bersamaan dalam
menghadapi kondisi makroekonomi.
3.3 Fase Pembentukan Risiko Sistemik
Risiko sistemik terbentuk melalui tiga tahapan sebagaimana diilustrasikan
pada Gambar 5. Pada gambar tersebut tampak tahapan pembentukan risiko
sistemik yang diilustrasikan dengan menggunakan sejumlah terminologi yang biasa
21
digunakan dalam bidang sistem keuangan dan makroprudensial, yakni terdiri atas
(i) tahapan pemunculan sumber gangguan yang melibatkan kombinasi antara shock
dan profil risiko yang buruk (vulnerability), tahapan itu sering disebut fase build-up;
(ii) tahapan penyebaran sumber gangguan dalam sistem keuangan hingga menjadi
risiko; serta (iii) tahapan pengukuran (potensial) dampak yang ditimbulkan (systemic
event).
Pada tahapan pertama, alat ukur risiko sistemik digunakan dengan tujuan
untuk mengidentifikasi sumber gangguan. Dalam hal ini, sumber gangguan
dikategorikan menjadi dua, yaitu shock dan vulnerability. Risiko akan
termaterialisasi ketika shock berinteraksi dengan vulnerability; dan akan memiliki
dampak sistemik apabila tidak diimbangi dengan tingkat ketahanan (resilience) yang
memadai. Berdasarkan Bernanke (2013), shock merupakan peristiwa tertentu yang
memicu (membarengi) terjadinya krisis (the proximate causes). Sementara itu,
vulnerability diasosiasikan dengan kondisi (preexisting feature) sistem keuangan
yang dapat memperkuat (amplify) dan mempercepat penyebaran shock. Selanjutnya,
risiko sistemik terbentuk melalui interaksi antara shock dari luar dan vulnerabilities
yang menjadi karakteristik dari sistem keuangan itu sendiri.
Gambar 5. Pembentukan Risiko Sistemik
Identifikasi shock (Gambar 5) dilakukan dengan mengukur indikator stress
dalam sistem keuangan dengan menggunakan early warning system (EWS) yang
lazimnya terdiri atas prompt dan near crisis indicator sebagai leading indicator.
Namun, terdapat kemungkinan adanya kelemahan EWS dalam mendeteksi shock,
SHOCK
Cross section:
- concentration risk
- contagion risk
Time series:
- procyclicality risk
Market risk
Credit risk
Liquidity risk
Operational risk
VULNERABILITY (RISK PROFILE)
DimensionType of Risk
Risk in financial system
Yes No
SYSTEMIC RISK
Temporary Structural
Potential Impact
Stable Financial
System
Resilient?
Check
liquidity &
solvency
buffer
Sumber gangguan
Transmisi
Dampak
4
1
2
3
22
yakni apabila shock yang terjadi merupakan akibat dari bentuk interaksi yang baru
di dalam sistem keuangan sehingga belum tercakup dalam EWS yang digunakan4.
Sementara itu, vulnerability merupakan karakteristik elemen sistem keuangan yang
berupa simpul kerawanan yang mengamplifikasi dan mempropagasi shock awal
sehingga berpotensi untuk memperbesar shock pada sistem keuangan. Terdapat
dua jenis vulnerability dalam sistem keuangan, yakni vulnerability yang merupakan
karakteristik dasar setiap elemen (contoh: sifat maturity mismatch dari institusi
keuangan); serta vulnerability yang muncul akibat kegiatan bisnis elemen sistem
keuangan (cumulative behavior), seperti penyaluran kredit yang secara terus
menerus terkonsentrasi pada sektor tertentu. Secara umum identifikasi vulnerability
dilakukan melalui risk profiling atas perilaku setiap elemen dalam sistem keuangan,
yaitu dengan mengukur kinerja dan risiko elemen-elemen tersebut5. Identifikasi
vulnerability mencakup dimensi time series dan cross section dengan menggunakan
pendekatan risiko sistem keuangan, yakni kredit, likuiditas, pasar, dan operasional
(Gambar 5). Identifikasi vulnerabilities melalui pendekatan risiko kredit
merefleksikan risiko yang muncul dari fungsi intermediasi sistem keuangan.
Sementara itu, pendekatan risiko pasar diukur karena keterkaitan elemen sistem
keuangan pada aset keuangan yang diperdagangkan di pasar keuangan yang
mentransmisikan harga aset, tingkat bunga, dan nilai tukar (untuk aset dalam
valuta asing), sedangkan identifikasi vulnerabilities melalui pendekatan risiko
likuiditas akan mewakili kemampuan elemen sistem keuangan untuk memenuhi
kewajiban jangka pendek. Sementara itu, identifikasi melalui pendekatan risiko
operasional dilakukan berkaitan dengan fungsi sistem keuangan dalam memberikan
jasa keuangan seperti penyediaan media untuk sistem pembayaran, penyediaan
pembiayaan untuk sektor-sektor ekonomi, atau pemberian fasilitas untuk
4 EWS dikembangkan untuk mendeteksi shock atau krisis keuangan dengan menggunakan
beberapa pilihan indikator yang secara historis dapat menjadi leading indicator atau
indikator awal dari terjadinya shock dan/atau krisis. Jika shock dan krisis yang terjadi belum
pernah terjadi pada masa lalu dan diindikasikan dengan leading indicator yang berbeda
dengan EWS yang telah digunakan, masih ada kemungkinan shock/krisis yang tidak dapat
dideteksi secara dini. Sebagai contoh, kasus subprime mortgage crisis pada tahun 2007
menjadi shock yang tidak terdeteksi karena rendahnya transparansi dalam perdagangan
structured products pada saat itu.
5 Berdasarkan PBI No. 16/11/PBI/2015 perihal Pengaturan dan Pengawasan
Makroprudensial, sistem keuangan adalah suatu sistem yang terdiri atas lembaga keuangan,
pasar keuangan, infrastruktur keuangan, serta perusahaan nonkeuangan dan rumah tangga
yang saling berinteraksi dalam pendanaan dan/atau penyediaan pembiayaan perekonomian.
Merujuk pada definisi di atas, yang dimaksud dengan elemen sistem keuangan adalah
institusi keuangan, baik bank maupun non-bank, pasar dan infrastruktur keuangan, serta institusi non-keuangan dan rumah tangga
23
pengelolaan likuiditas dalam mata uang domestik atau valuta asing. Tabel 3
menunjukkan contoh identifikasi vulnerabilities sektor perbankan melalui
pendekatan risiko di atas.
Pada tahap kedua dalam fase pembentukan risiko sistemik, risiko akan
termaterialisasi dalam sistem keuangan ketika shock berinteraksi dengan
vulnerabilities (Gambar 5). Interaksi di antara kedua jenis sumber gangguan
tersebut menghasilkan kombinasi probabilitas sebagai berikut.
a. Jika tidak ada shock dan tidak ada vulnerability, tidak terjadi potensi risiko
sistemik.
b. Jika ada shock, tetapi tidak ada vulnerability, terdapat peningkatan probabilitas
terjadinya risiko sistemik relatif terhadap kondisi normal karena masih
dimungkinkan terdapat unknown vulnerability. Krisis keuangan masih dapat
dihindari karena elemen-elemen sistem keuangan akan memiliki ketahanan yang
cukup untuk menyerap risiko. Sebagai contoh, pada waktu terjadi tekanan pada
likuiditas global seperti yang terjadi pada kuartal terakhir tahun 2008,
perbankan Indonesia secara system-wide sanggup menyerap risiko yang terjadi
karena tidak terdapat vulnerability yang dapat menghasilkan risiko sistemik.
c. Jika tidak ada shock, tetapi ada vulnerability, probabilitas risiko sistemik akan
meningkat. Namun, seperti pada kombinasi sebelumnya, krisis keuangan pun
masih dapat dihindari karena tidak ada trigger yang meng-ekspos vulnerability
tersebut. Dalam kondisi ini, vulnerability telah terbentuk karena akumulasi risiko
dari perilaku ambil risiko pada saat siklus keuangan berada dalam kondisi
upswing.
d. Jika terjadi shock dan terdapat vulnerability secara bersamaan, tergantung dari
besarnya shock dan parahnya vulnerability, probabilitas terjadinya risiko
sistemik akan meningkat. Jika vulnerability berada pada sektor keuangan yang
dominan, seperti umumnya perbankan di emerging markets, risiko sistemik
dapat terjadi.6
6 Risiko termaterialisasi ketika shock berinteraksi dengan vulnerability (Bank of Canada,
2014).
24
Gambar 6. Interaksi Shock dan Vulnerability
Tabel 3. Contoh Identifikasi Vulnerabilties Bank
Pendekatan Risiko
Vulnerability Dimensi
Risiko Kredit
Kredit yang terkonsentrasi pada sektor tertentu atau pada beberapa debitur besar
Procyclicality kredit (excessive credit growth), secara total atau sektoral
Cross section
Time series
Risiko Likuiditas
Excessive maturity mismatch
Pendanaan yang terkonsentrasi pada jangka pendek dan nasabah besar
Kepemilikan alat likuid yang terbatas untuk memenuhi kewajiban jangka pendek
Market likuidity risk, ketidakmampuan penggunaan aset untuk memenuhi kewajiban jangka pendek tanpa merubah harga aset
Segmentasi pasar uang antar bank
Procyclicality likuiditas, penurunan buffer likuiditas pada saat build-up risk
Cross section
Time series
Risiko Pasar
Market liquidity risk karena perubahan harga
aset volatilitas suku bunga dan nilai tukar
Peningkatan portofolio dalam valuta asing
Cross section
Risiko Operasional
Frekuensi gangguan/permasalahan pada sistem pembayaran
Cross section
Dalam hal terdapat potensi terjadinya risiko sistemik, salah satu metodologi
atau alat ukur yang dapat digunakan adalah stress test. Stress test membutuhkan
skenario shock yang sifatnya ekstrim tetapi plausible. Selain itu dibutuhkan juga
data vulnerability dari elemen sistem keuangan, yaitu dalam bentuk data neraca
keuangan dan laporan laba rugi dari elemen sistem keuangan (tergantung dari
25
sektor keuangan yang diukur). Metodologi stress test yang baik juga telah
memperhitungkan interaksi antarelemen sistem keuangan sehingga dinamika yang
terjadi di sistem keuangan dapat tertangkap dengan baik dan hasil stress test
mendekati kondisi yang sebenarnya. Untuk keperluan itu, metodologi stress test
memasukkan juga modul contagion stress test dan second round impact.
Ketika risiko sistemik telah ditransmisikan dalam pengukuran nilai risiko
sistemik, nilai ini diterjemahkan menjadi kerugian yang harus ditanggung oleh
elemen-elemen sistem keuangan. Dalam banking stress testing risiko kredit, pasar,
likuiditas, dan operasional diterjemahkan sebagai kerugian yang harus diserap oleh
bank. Dalam hal ini, ketahanan dari bank dalam menghadapi risiko-risiko tersebut
diukur dari permodalannya, yaitu modalnya masih lebih tinggi daripada tingkat
modal yang dipersyaratkan oleh regulator setelah dikurangi dengan kerugian yang
dihitung dalam stress testing. Hal yang sama dilakukan terhadap elemen-elemen
lain, yaitu IKNB, korporasi, dan rumah tangga. Dalam beberapa skenario,
perbankan kemungkinan bisa bertahan lebih baik daripada IKNB atau korporasi.
Ketahanan rumah tangga lebih sulit diukur karena data untuk rumah tangga tidak
tersedia atau tidak lengkap.
Jika secara umum elemen-elemen sistem keuangan dapat menyerap risiko
(Gambar 5), besar kemungkinan tidak akan ada gangguan instabilitas terhadap
sistem keuangan, atau sistem keuangan dapat bertahan tanpa memberikan dampak
negatif pada perekonomian. Jika salah satu elemen sistem keuangan mengalami
permasalahan, fase pembentukan risiko sistemik berlanjut ke tahap berikutnya,
yakni pengukuran (potensial) dampak yang ditimbulkan (systemic event) melalui
analisis dampak sistemik. Analisis dampak sistemik merupakan sarana ad hoc yang
digunakan untuk mengukur dampak dari kegagalan suatu elemen sistem keuangan
terhadap keseluruhan sistem keuangan (Harun, 2013 dan Harun et al., 20147). Hasil
analisis dampak sistemik menentukan apakah kegagalan satu elemen sistem
keuangan akan memberikan dampak sistemik atau tidak. Jika dampaknya sistemik,
perlu dipertimbangkan untuk melakukan mekanisme bail in atau bail out sesuai
dengan aturan yang berlaku. Jika tidak, elemen sistem keuangan tersebut harus
dimasukkan dalam proses resolusi untuk memberikan proteksi terhadap
kepentingan depositor atau kreditur. Sebagai contoh, jika suatu bank mengalami
kegagalan, hal yang perlu dipertimbangkan dalam analisis dampak sistemik adalah
7 Harun (2013) dan Harun et al. (2014) adalah penelitian untuk keperluan internal Bank
Indonesia dan tidak dipublikasikan.
26
dampak dari kegagalan bank pada institusi keuangan lain yang terafiliasi dengan
bank tersebut; dampaknya terhadap kondisi pasar keuangan, terutama berkaitan
dengan aset-aset yang dimilikinya yang akan dijual untuk menutupi kerugiannya;
ataupun aset-aset atas nama bank yang bersangkutan, misalnya obligasi korporasi
diterbitkan, utang di pasar uang antarbank, dan aset-aset lain. Selanjutnya, melalui
analisis dampak sistemik dapat dihasilkan penilaian atas potensi dampak dari suatu
systemic event, apakah bersifat sementara (temporary) atau struktural. Jika bersifat
struktural, biaya untuk pemulihan sistem keuangan akan lebih besar daripada jika
dampaknya bersifat sementara. Dalam hal ini analisis dampak sistemik dapat juga
menentukan elemen sistem keuangan yang perlu ditargetkan untuk melakukan
mitigasi risiko.
3.4 Risiko Sistemik dan Siklus Keuangan
Apabila dikaitkan dengan siklus keuangan, tahapan pembentukan sumber
gangguan biasanya terjadi pada fase build up. Dalam fase ini pelaku pasar
cenderung memanfaatkan kondisi untuk meraih keuntungan yang sebesar-
besarnya meskipun aturan prudensial sudah diterapkan. Jika diilustrasikan dalam
siklus keuangan, fase ini berada pada ruas siklus yang menanjak atau upswing
(Gambar 7). Dalam kondisi ini pengukuran risiko sistemik perlu difokuskan pada
pengukuran ketidakseimbangan sistem keuangan, serta pengukuran terhadap
indikator stress yang dapat menunjukkan tanda-tanda bahwa siklus keuangan telah
mendekati puncaknya yang diinterpretasikan sebagai perilaku ambil risiko yang
sudah berlebihan. Drehman et al (2012) membentuk siklus keuangan beberapa
negara maju dan menemukan bahwa krisis keuangan terjadi sekitar dua tahun
setelah siklus mencapai puncak atau peak.
Gambar 7. Ilustrasi Fase dalam Siklus Keuangan
27
Indikator ketidakseimbangan atau imbalances pada dasarnya mengacu pada
indikator time series yang frekuensinya relatif lebih rendah (bulanan hingga
kuartalan). Di berbagai bank sentral, harga properti digunakan sebagai proxy untuk
mendeteksi imbalances. Hal itu didasarkan pada premis bahwa harga properti
didorong oleh perilaku spekulatif dari investor (terutama sektor rumah tangga) yang
dibiayai oleh pembiayaan kredit pemilikan rumah (KPR). Selain itu, harga rumah
juga didorong oleh peningkatan permintaan terhadap barang kebutuhan pokok
sebagai akibat dari peningkatan daya beli masyarakat yang juga didorong oleh
peningkatan pertumbuhan ekonomi. Imbalances yang dideteksi di sini berkaitan
dengan perilaku prosiklikalitas dari perbankan dalam penyaluran kredit.
Pembentukan indikator siklus keuangan, sebagaimana yang telah dijelaskan
sebelumnya juga merupakan salah satu upaya untuk mendeteksi
ketidakseimbangan dalam sistem keuangan karena persepsi pelaku pasar terhadap
kondisi perekonomian dan perilaku ambil risikonya.
Selanjutnya, sumber gangguan yang telah termaterialisasi menjadi risiko
akan menyebar pada fase propagasi atau propagation mechanism. Fase itu terjadi
setelah dan antara terjadinya puncak dari siklus keuangan hingga siklus mencapai
dasarnya atau trough (Gambar 7). Dalam fase ini permasalahan yang terjadi di satu
sektor atau elemen sistem keuangan cenderung ditularkan atau dirambatkan pada
sektor atau elemen sistem keuangan lainnya. Oleh karena itu, pengukuran risiko
sistemik dalam fase ini umumnya menggunakan indikator cross sectional. Indikator
yang paling dibutuhkan dalam hal ini adalah indikator yang mengindikasikan
keterkaitan physical exposures antarelemen sistem keuangan, termasuk untuk
setiap individual elemen sistem keuangan terutama institusi keuangan dan
korporasi. Salah satu metode yang dapat digunakan untuk mengukur dampak
permasalahan di satu bank terhadap bank lain adalah metode interbank stress
testing dengan melakukan contagion analysis.
Dalam fase propagasi, indikator global-systemcically important banks atau G-
SIB merupakan salah satu indikator yang sangat penting dalam pengukuran risiko
sistemik. Indikator itu dihasilkan untuk membentuk daftar bank di dunia, yang jika
mengalami permasalahan memiliki potensi memberikan dampak sistemik pada
sistem keuangan global. Indikator G-SIB terdiri atas size, interconnectedness,
substitutability, complexity, dan cross-border exposure untuk Global SIFI (BCBS
2011–dokumen GSIB). Dalam fase propagasi, subindikator G-SIB yang diaplikasikan
untuk D-SIB (tanpa menggunakan pengukuran cross-border exposure karena hanya
28
melihat pengaruhnya pada perekonomian domestik) adalah indikator yang perlu
diamati untuk setiap individual bank untuk melihat potensi propagasi
permasalahan. Pengukuran-pengukuran untuk meninjau potensi propagasi
permasalahan itu juga dilakukan dalam Analisis Dampak Sistemik.
Fase yang terakhir adalah fase systemic event atau pada bab II disebut juga
sebagai shock materialized. Fase itu berkaitan dengan krisis keuangan. Walaupun
bank sentral dan otoritas keuangan telah mengembangkan early warning system,
systemic event pada dasarnya hanya bisa dideteksi secara backward looking. Bank
sentral dan otoritas keuangan tidak pernah mampu secara akurat memprediksi
terjadinya krisis meskipun siklus keuangan memberikan informasi puncak siklus
dan data pada masa lampau menunjukkan bahwa krisis umumnya terjadi sekitar 2
(dua) tahun setelah terjadi puncak siklus keuangan. Dengan demikian, systemic
event merupakan periode yang sangat pendek di dalam fase propagasi karena shock
dan vulnerability terjadi dan membentuk risiko sistemik. Setelah systemic event
terjadi, segmen downswing yang terbentuk dapat berbentuk U atau berbentuk V.
Jika berbentuk U, downswing akan berlangsung lebih dalam dan lama pada siklus
keuangan dan disertai dengan masa pemulihan yang cukup lama. Kondisi itulah
yang berpotensi memberikan dampak yang bersifat struktural. Jika berbentuk V,
downswing akan berlangsung dalam periode yang lebih pendek dan pemulihan atau
recovery juga akan berlangsung cepat. Dalam siklus keuangan, systemic event bisa
saja tidak terjadi karena dalam segmen downswing pelaku pasar sudah secara
otomatis menyesuaikan portofolionya untuk mengurangi potensi kerugiannya. Hal
itu bergantung pada ketahanan dari elemen-elemen sistem keuangan. Pada
dasarnya segmen downswing dapat diupayakan untuk tidak jatuh terlalu dalam.
Hal yang dapat dilakukan oleh bank sentral dan otoritas keuangan adalah tetap
berjaga-jaga dengan menyiapkan sejumlah instrumen yang dimiliki untuk
menghindari terjadinya krisis keuangan yang akan menimbulkan biaya yang tinggi
untuk pemulihan.
Dalam fase ini frekuensi near crisis indicators dan stress indicators sangat
tinggi, misalnya indeks yang menggambarkan kondisi sistem keuangan secara
keseluruhan atau indikator likuiditas institusi keuangan menjadi sangat penting
untuk terus mengukur kemampuan elemen-elemen sistem keuangan dalam
memenuhi kewajiban jangka pendek.. Jika krisis telah terjadi, protokol manajemen
krisis (PMK) telah diaktifkan dan dalam PMK tersebut dapat saja diaktivasikan
pelaporan dalam frekuensi yang lebih tinggi oleh institusi keuangan. Sebagai contoh,
29
ketika krisis keuangan global memuncak dalam kuartal IV 2008, Bank Indonesia
meminta bank-bank besar melaporkan kondisi likuiditasnya pada penutupan sesi
siang dan penutupan sesi sore atau meningkatkan frekuensi pelaporan
likuiditasnya dari 1 kali sehari menjadi 2 kali sehari.
Untuk mengantisipasi terjadinya systemic event ini dengan cara memastikan
kapasitas penyerapan risiko cukup memadai, otoritas keuangan atau institusi
keuangan dapat membuat skenario systemic event dan menyimulasikan skenario
tersebut dalam model stress testing. Model stress testing, terutama digunakan untuk
mengukur kondisi solvabilitas dan likuiditas pada saat terjadinya stress yang saat
ini sudah sering dipergunakan oleh kalangan perbankan. Hasil dari stress testing
adalah gap yang muncul sebagai akibat buffer, cadangan modal, atau likuiditas
harus dipergunakan untuk menutup kerugian sebagai akibat terjadinya systemic
event yang dituliskan dalam skenario. Buffer didefinisikan sebagai kelebihan dari
aturan minimum yang diterapkan oleh otoritas keuangan. Hasil dari stress testing
itu ditentukan oleh berbagai hal. Skenario stress yang extreme but plausible akan
memberikan kondisi stress yang cukup beralasan sehingga dapat menguji
ketahanan institusi keuangan dengan systemic event yang cukup severe atau parah,
tetapi cukup didukung oleh kejadian pada masa lalu. Ketersediaan data dan
perancangan model untuk mengukur reaksi institusi keuangan terhadap systemic
event akan menentukan objektivitas dari hasil stress test. Ada kalanya bias dari
hasil dapat terjadi sebagai akibat data yang tersedia kurang panjang secara historis
dan kurang granular/terperinci; atau model yang dipergunakan kurang memadai.
Praktik stress test ini sudah mulai direkomendasikan sebagai kegiatan yang wajib
dilakukan oleh institusi keuangan untuk memastikan kecukupan buffer modal dan
likuiditasnya.
30
IV. PENUTUP
Upaya mitigasi risiko sistemik tidak dapat dilakukan hanya dengan
menggunakan single indicator atau 1 (satu) metode pengukuran. Diperlukan
serangkaian alat ukur risiko sistemik yang komprehensif. Sebagai otoritas yang
memiliki kewenangan di bidang makroprudensial, BI terus berupaya
mengembangkan indikator, metode, dan tools mitigasi risiko sistemik sehingga
diharapkan mampu menciptakan pengawasan yang efisien dan pengembangan
instrumen kebijakan yang tepat guna mendukung tercapainya stabilitas sistem
keuangan. Dalam hal ini, KPRS dapat digunakan sebagai pedoman atau acuan
dalam identifikasi alat ukur risiko sistemik yang ada saat ini. Guna melengkapi
penyusunan KPRS, ke depan perlu dilakukan beberapa penelitian terkait, terutama
penelitian yang berkaitan dengan pengembangan beberapa metode pengukuran
risiko sistemik yang belum dimiliki BI saat ini.
Objektivitas dari hasil pengukuran risiko sistemik sangat ditentukan oleh
indikator dan metodologi yang dipergunakan. Kekeliruan dalam penggunaan data
dan metodologi dapat memberikan masukan (input) yang salah pada upaya mitigasi
risiko, preskripsi kebijakan makroprudensial, atau kebijakan untuk penanganan
krisis. Kesamaan persepsi mengenai indikator dan metodologi mana yang harus
dipergunakan untuk mengukur risiko tertentu dalam sistem keuangan pada suatu
fase tertentu perlu diperoleh agar tidak ada lagi perbedaan pendapat dalam
menentukan kondisi stabilitas sistem keuangan. Hal itu menjadi sangat penting,
terutama jika sistem keuangan berada dalam kondisi stress serta memerlukan
penanganan yang akurat dan cepat.
31
DAFTAR PUSTAKA
Abel, Andrew., and Bernanke, Ben., 2001, “Macroeconomics, 4th Edition”, Addison Wesley Longman Inc.
Acharya, V., L. Pedersen, T. Philippon, and M. Richardson, 2010, “Measuring Systemic Risk”, Working Paper , New York Univertsity.
Bank Indonesia, 2015, “Kajian Stabilitas Keuangan No. 25”.
Bank of Canada, 2014, “Financial System Review”, pp. 1-2, June
Basel Committee on Banking Supervision, 2011, “Global Systemically Important Banks: Assessment Methodology and the Additional Loss Absorbency
Requirement”, Bank for International Settlements.
___________, 2012, “ Model and Tools for Macroprudential Analysis,” BIS Working Paper No. 12, Bank for International Settlements.
Baumohl, B., 2013, “The Secrets of Economic Indicators: Hidden Clues to Future Economic Trends and Investment Opportunities”, Pearson Education, Inc.
Bernanke, Ben., 2013, “Monitoring the Financial System,” speech at the 49th Annual Conference on Bank Structure and Competition, Board of Governors of the Federal Reserve System, May.
Billio, M., M. Getmansky, A. W. Lo, and L. Pelizzon, 2010, “Econometric Measures of Systemic Risk in the Finance and Insurance Sectors”, NBER Working Paper 16223, NBER.
Blancher, N., S. Mitra, H. Morsy., A. Otani., T. Severo., and L. Valderma., 2013, “Systemic Risk Monitoring(“SysMo”) Toolkit – A User Guide”, IMF Working Paper No. 13/168, July.
Boss, M., Krenn, G., Puhr, C., and Summer, M., 2006, “Systemic Risk Monitor: A Model for Systemic Risk Analysis and Stress Testing of Banking Systems”, Financial Stability Report 11, Oesterreichische Nationalbank, pp. 83-95, June.
Burrows, O., Learmonth, D., and McKeown, J., 2012, “RAMSI: a top-down stress-testing model”, Financial Stability Paper No. 17, Bank of England, September.
Caballero, R. J., 2009, “The ‘Other’ Imbalance and the Financial Crisis”, MIT Department of Economics Working Paper No. 09-32, Massachusetts Institute of Technology.
Cicilia, A. H., 2013, “Analisis Dampak Sistemik di Indonesia”, Internal Working Paper, Bank Indonesia.
Cicilia, A. H., Derianto, Elis., Agusman., Rulina, Ita., 2015, “ A Framework of Systemic Impact Analysis”, Bank Indonesia, forthcoming.
Drehmann, M., Claudio B., Kostas, T., 2012, “Characterising the Financial Cycle: Don’t Lose Sight of the Medium Term!” BIS Working Paper No. 380, Bank for International Settlements, June.
European Central Bank (ECB), 2010, “Financial Networks and Financial Stability”, Financial Stability Reviews, pp. 138-146, June.
32
Gadanecz, B., and Jayaram, K., 2009, “Measure of Financial Stability – a Review”, IFC Bulletin No 31. pp. 365-380, July.
Gauthier, C., and Souissi, M., 2012, “Understanding Systemic Risk in the Banking Sector: A MacroFinancial Risk Assessment Framework”, Bank of Canada Review, Financial Stability Department, Bank of Canada, pp.29-38.
Group of Ten, 2001, “Report on Consolidation in the Financial Sector”, International Monetary Fund, January.
Gunadi, I., Aditya, A.T., dan Cicilia, A. H., 2013, “Penggunaan Indeks Stabilitas Sistem Keuangan (ISSK) dalam Pelaksanaan Surveilans Makroprudensial”, Working Paper Bank Indonesia, Departemen Kebijakan Makroprudensial, Bank Indonesia.
______________, 2015, “Penyempurnaan Indeks Stabilitas Sistem Keuangan (ISSK)”, Working Paper Bank Indonesia, Departemen Kebijakan Makroprudensial, Bank Indonesia.
Gunadi, I., Cicilia, A.H., Sagita, R., dan Tevy, C., 2014, “Identifikasi Transmisi Risiko Sistemik dalam Sistem Keuangan Indonesia”, Working Paper Bank Indonesia, Departemen Kebijakan Makroprudensial, Bank Indonesia.
Harun, Cicilia, and Sagita Rachmanira, 2013, “Kerangka Kebijakan Makroprudensial Indonesia”, Working Paper Bank Indonesia, Departemen Kebijakan Makroprudensial, Bank Indonesia
____________, 2015, “Revisit Kerangka Kebijakan Makroprudensial Indonesia”, Working Paper Bank Indonesia, Departemen Kebijakan Makroprudensial, Bank Indonesia.
Jong, H.L., Ji, H. B., Sejin, Y., and Dongkyu, C., 2013, “Systemic Risk Assessment Model for Macroprudential Policy”, Macroprudential Analysis Department, Bank of Korea.
Kapadia, S., M. Drehmann, J. Elliott, and G. Sterne, 2009, “Liquidity Risk, Cash Flow Constraints, and Systemic Feedbacks”, Working Paper, Bank of England.
Mishkin, F. S., 2007, “Systemic Risk and the International Lender of Last Resort”, Working Paper, Board of Governors of the Federal Reserve, Speech delivered at the Tenth Annual International Banking Conference, Federal Reserve Bank of Chicago, September 28th.
Organization for Economics Co-Operation and Development, 2008, “Handbook on Constructing Composite Indicators: Methodology and User Guide”, OECD and JRC European Comission.
Rosengren, E.S., 2010, “Asset Bubble and Systemic Risk”, The Global Interdependence Center’s Conference on Financial Interdependence in the World’s Post-Crisis Capital Market, Philadelphia
Wolken, Tony, 2013, “Measuring Systemic Risk: the role of Macro-prudential
Indicators”, Bulletin Vol. 76 No. 4, Reserve Bank of New Zealand, December.
33
APPENDIX
METODE PENGUKURAN RISIKO SISTEMIK NEGARA LAIN
A. Risk Assessment Model of Systemic Institutions (RAMSI)
RAMSI merupakan metode pengukuran risiko sistemik yang dikembangkan
oleh BoE. RAMSI merupakan sebuah top-down model yang dirancang untuk
mengases risiko solvensi dan likuiditas yang dihadapi oleh bank dengan cara
melakukan proyeksi keuntungan bagi setiap bank. Hal itu dapat dicapai dengan
menggunakan persamaan yang memetakan proyeksi variabel makroekonomi dan
keuangan, seperti GDP dan suku bunga ke dalam profil keuntungan bank. Pada
tahap pertama, data income statement dan neraca keuangan bank serta proyeksi
variabel makrofinansial dimasukan ke dalam RAMSI untuk menghasilkan proyeksi
dari setiap komponen dalam income statement. Selanjutnya, dari proyeksi income
statement dapat dihitung keuntungan sebelum pajak yang merupakan penjumlahan
dari pendapatan net suku bunga, trading income, dan pendapatan lainnya dikurangi
dengan kerugian kredit dan biaya operasional. Selanjutnya, keuntungan sebelum
pajak dikurangi dividen dan pajak akan menghasilkan laba ditahan. Perhitungan
laba ditahan dibagi dengan ATMR akan menghasilkan proyeksi dari CAR yang sering
kali dipandang sebagai kemampuan bank untuk menyerap kerugian. Pada tahap
ini, feedback di dalam dan antarbank dapat terlihat seperti contohnya: jika
fundamental bank seperti keuntungan dan solvabilitas diproyeksikan memburuk,
bank akan mengalami kenaikan biaya pendanaan dalam RAMSI. Salah satu bentuk
contagion dapat terjadi ketika bank menderita kerugian sehingga CAR-nya berada
jauh di bawah suatu nilai threshold dan menimbulkan kerugian bagi bank lain
melalui eksposur counterparty credit dan asset fire sale. Pada tahap tidak ada bank
yang gagal, terdapat beberapa opsi yang dilakukan oleh bank berdasarkan proyeksi
CAR seperti meningkatkan jumlah ATMR atau mencapai target CAR tertentu
sehingga akan meningkatkan ATMR pada waktu kemudian. Dengan adanya
pengambilan sebuah opsi, akan dihasilkan neraca keuangan yang baru. Neraca
keuangan yang baru dapat digunakan sebagai masukan untuk melakukan
perhitungan RAMSI dari tahap awal lagi.
34
Sumber: Burrows et. al. (2012)
Gambar 1. Overview RAMSI
B. Systemic Risk Model (SRM)
SRM merupakan sebuah model yang digunakan untuk mengukur risiko
sistemik pada sistem perbankan Austria dengan menggabungkan teknik standar
dari quantitative market dan manajemen risiko kredit dengan model networking dari
sebuah sistem perbankan. SRM menggambarkan kondisi dari sistem perbankan
Austria sebagai sistem dari portofolio. Setiap portofolio mempresentasikan sebuah
bank dan terdiri atas 3 kumpulan, yaitu (i) kumpulan sekuritas seperti saham dan
surat berharga (market risk losses box); (ii) kumpulan kredit korporasi dan rumah
tangga (noninterbank credit risk losses box); (iii) kumpulan interbank (interbank
network model box). Setiap portofolio akan diproyeksikan satu triwulanan ke depan
dan SRM bertujuan untuk mengetahui distribusi dari selisih nilai portfolio sekarang
dengan nilai portofolio proyeksi. Proyeksi nilai portofolio didapatkan melalui nilai
faktor risiko yang mempengaruhi nilai portofolio seperti harga pasar (indeks saham,
suku bunga, dan nilai tukar) dan variabel makrofinansial yang berdampak pada
kualitas portofolio kredit.
Faktor risiko tersebut digunakan untuk membangun skenario yang
selanjutnya akan ditranslasikan ke dalam keuntungan dan kerugian portofolio dari
bank melalui 2 (dua) tahap. Pada tahap pertama, akan dianalisis dampak dari
35
skenario pada nilai dari posisi pasar dan kredit noninterbank. Pada tahap kedua,
posisi tersebut akan digabungkan dengan model networking. Pada dasarnya model
networking bekerja untuk melihat apakah bank dapat tetap memenuhi kewajiban
interbank-nya dan kemudian diberikan nilai portofolionya. Distribusi dari faktor
risiko akan menghasilkan beberapa skenario dan beberapa skenario tersebut akan
diterapkan pada sistem portofolio sehingga menghasilkan distribusi dari selisih nilai
portofolio. Melalui distribusi selisih nilai portfolio, dapat dihasilkan pemetaan
probabilitas dari masalah selama satu triwulan ke depan.
Sumber: Boss et. al. (2006)
Gambar 2. Overview SRM
C. Macro Financial Risk Assessment Framework (MFRAF)
MFRAF merupakan sebuah stress test model yang menggabungkan risiko
solvabilitas, likuiditas, dan spillover yang dihadapi bank dengan tujuan untuk
melihat efek dari risiko tersebut terhadap modal agregat perbankan Kanada. MFRAF
terdiri atas tiga modul yang saling independen dan yang mewakili 3 risiko yang
dihadapi oleh bank. Pada tahap pertama, bank akan mengalami kerugian akibat
36
dari shock pada kondisi makroekonomi. Kerugian itu terjadi akibat penurunan
kualitas kredit sejak terjadinya peningkatan ekspektasi gagal bayar seiring dengan
memburuknya kondisi makroekonomi. Pada tahap kedua, terjadi risiko pendanaan
likuiditas yang disebabkan oleh penurunan roll-over deposit oleh nasabah akibat
peningkatan ekspektasi risiko solvabilitas bank. Selanjutnya, pada tahap terakhir,
kegagalan atau stress pada satu bank akibat risiko solvabilitas maupun risiko
pendanaan likuiditas dapat menyebabkan spillover pada bank lain melalui eksposur
interbank. MFRAF memiliki dua aplikasi, yaitu (i) efek risiko pendanaan likuiditas
dan efek spillover pada kerugian agregat dan (ii) trade off antara modal dan
likuiditas.
Sumber: Gauthier dan Souissi M. (2012)
Gambar 3. Overview MFRAF
D. Systemic Risk Assessment Model for Macroprudential Policy (SAMP)
SAMP merupakan sebuah kerangka yang didesain untuk menghasilkan
indikator risiko sistemik yang dapat merefleksikan first round impact akibat dari
faktor risiko makro dan second round effect dari amplifikasi dan propagasi risiko
37
melalui hubungan antarbank dan macro-financial selama beberapa periode. SAMP
dikembangkan oleh BoK dan terdiri dari atas enam modul berikut.
1. Macro risk factor module
Macro risk factor module merupakan modul yang digunakan untuk
mengestimasi distribusi probabilitas bersama (joint probability distribution) dari
faktor risiko makro yang memiliki dampak siginifikan pada laba rugi bank.
2. Bank profit and loss module
Bank profit and loss module merupkan modul yang digunakan untuk
mengukur dampak faktor risiko makro pada laba rugi bank melalui (i) kerugian
akibat risiko kredit; (ii) kerugian akibat risiko pasar; (iii) pendapatan melalui
suku bunga; dan (iv) pendapatan selain melalui suku bunga. Modul ini juga
digunakan untuk menghitung perubahan rasio modal menurut aturan BASEL
yang terkena imbas dari faktor risiko makro.
3. Default contagion module
Default contagion module merupakan modul yang didesain untuk
mengestimasi efek dari ronde kedua akibat bank yang gagal. Untuk menangkap
penyebaran kerugian bank melalui eksposur interbank, digunakan sebuah model
network berbasis data neraca. Selain itu, terdapat model untuk harga pasar dari
aset likuid dan feedback default rate dari aset ilikuid, yaitu kerugian akibat fire
sale dan credit crunch akan diukur.
4. Funding liquidity contagion module
Funding liquidity contagion module merupakan modul yang digunakan
untuk menangkap interaksi antarrisiko bank gagal dan risiko pendanaan
likuiditas. Modul ini mengestimasi penarikan likuiditas, kekurangan likuiditas,
dan penambahan biaya pendanaan. Untuk menangkap efek dari contagion dari
risiko pendanaan likuiditas, akan digunakan sebuah model network yang
menggabungkan struktur maturitas dari aset dan liabilitas. Kerugian akibat
gagal bayar akan menyebar dari debitur kepada kreditur, tetapi liquidity
contagion disebarkan pada arah yang berbeda, yaitu dari kreditur kepada
debitur.
5. Multi-period module
Multiperiod module merupakan modul yang digunakan untuk mengiterasi
keempat modul sebelumnya (menggunakan data triwulanan) untuk
38
menghasilkan kerugian bank selama satu tahun. Pada setiap interasi, neraca
akan diperbaharui secara dinamik untuk merefleksikan hasil dari estimasi
triwulanan.
6. Systemic risk measurement module
Systemic risk measurement module merupakan modul terakhir yang
digunakan untuk menghasilkan bermacam-macam indikator risiko sistemik
yang dapat menilai probabilitas dari krisis sistemik yang menggunakan distribusi
kerugian agregat dari sistem perbankan. Modifikasi indikator risiko mikro,
seperti value at risk, expected shortfall, dan probability of default dilakukan untuk