WP/1/2017 WORKING PAPER KEPEMIMPINAN TRANSFORMASIONAL MELALUI NEUROSCIENCE TERAPAN: MEKANISME TRANSMISI PROSES BERPIKIR Dr. Solikin M. Juhro dan Dr. A. Farid Aulia 2017 Kesimpulan, pendapat, dan pandangan yang disampaikan oleh penulis dalam paper ini merupakan kesimpulan, pendapat, dan pandangan penulis dan bukan merupakan kesimpulan, pendapat, dan pandangan resmi Bank Indonesia.
34
Embed
KEPEMIMPINAN TRANSFORMASIONAL MELALUI … filedalam isu kepemimpinan, juga memberikan kontribusi yang sangat penting dalam pengaplikasian ilmu terapan dalam konteks kepemimpinan, ...
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
1
WP/1/2017
WORKING PAPER
KEPEMIMPINAN TRANSFORMASIONAL MELALUI NEUROSCIENCE TERAPAN: MEKANISME TRANSMISI PROSES BERPIKIR
Dr. Solikin M. Juhro dan Dr. A. Farid Aulia
2017
Kesimpulan, pendapat, dan pandangan yang disampaikan oleh penulis dalam paper ini merupakan kesimpulan, pendapat, dan pandangan penulis dan bukan merupakan kesimpulan, pendapat, dan pandangan resmi Bank Indonesia.
0
Kepemimpinan Transformasional Melalui Neuroscience Terapan:
Mekanisme Transmisi Proses Berpikir
Dr. Solikin M. Juhro1 dan Dr. A. Farid Aulia2
Abstrak
Dunia saat ini memasuki lingkungan yang diliputi oleh volatilitas,
ketidakpastian, kompleksitas, dan kerancuan yang tinggi. Kondisi tersebut
membuat organisasi harus mampu menerjemahkan tantangan yang dihadapi
menjadi suatu visi dan aksi yang jelas. Hal ini menuntut karakter
kepemimpinan yang tidak statis, namun agile untuk menyesuaikan diri
dengan magnitude dan sifat dari permasalahan. Transformational leadership
merupakan suatu kepemimpinan partisipatif yang tidak hanya mampu
memotivasi dan menggerakkan organisasi baik secara vertikal maupun
horizontal, namun juga senantiasa agile di setiap keadaan, sehingga
mendorong kapasitas organisasi dalam pencapaian visi dan misi bersama.
Neuroscience terapan memberikan pemahaman mengenai aktivitas dan cara
kerja otak manusia, serta meningkatkan kompetensi yang harus dimiliki oleh
seorang leader, sehingga membantu leader memimpin transformasi
organsisasi. Hasil kajian menunjukkan bahwa neuroscience terapan dapat
membantu kepemimpinan transformasional untuk mencapai keadaan yang
‘physically, emotionally, and mentally safe’ serta mendorong organisasi
bertransformasi secara efektif. Penelitian ini selain menggali perspektif baru
dalam isu kepemimpinan, juga memberikan kontribusi yang sangat penting
dalam pengaplikasian ilmu terapan dalam konteks kepemimpinan,
khususnya mengenai pemetaan mekanisme kerja transmisi, dalam hal ini
cara kerja otak dalam memengaruhi reaksi tubuh, baik secara internal (emosi
1 Dr. Solikin M. Juhro adalah Kepala Bank Indonesia Institute, Bank Indonesia. 2 Dr. A. Farid Aulia adalah Dekan Akademi Leadership dan General Management Bank Indonesia Institute, Bank Indonesia. Penulis menyampaikan terima kasih kepada para faculty BI Institute, yaitu Fretdy Purba, Donni Hadiwaluyo, Edo Lavika, Roy Amboro, Dessy Aliandrina, Novianta Hutagalung, Lyra Puspa, Rizki Edmi Edison, dan Lucy Kusman, pada rangkaian FGD mengenai Applied Neuroscience / Neuroleadership di Jakarta pada tanggal 6-8 April, 15-17 Juni, dan 27 Juli 2017, atas sumbangan pemikiran dalam mematangkan draf kertas kerja ini. Ucapan terima kasih yang tinggi juga disampaikan kepada Dita Herdiana dan Monica Kishi S.K. atas asistensi yang tidak kenal lelah dalam penyelesaian penelitian ini. Kesimpulan, pendapat, dan pandangan yang disampaikan oleh penulis dalam paper ini merupakan kesimpulan, pendapat, dan pandangan penulis dan bukan merupakan kesimpulan, pendapat, dan pandangan resmi Bank Indonesia.
2
dan hormon) maupun secara eksternal (reaksi atau tindakan), yang pada
gilirannya memengaruhi perilaku kepemimpinan.
Keywords: applied neuroscience, leadership style, transformational leadership, human resources management
JEL Classification: O15, M12, M19, M5
1
1. Pendahuluan
1.1. Latar Belakang
Sudah hampir satu dekade sejak terjadinya krisis keuangan global tahun
2008/09 kondisi ekonomi dan keuangan dunia masih belum sepenuhnya beranjak
menuju kondisi normalnya. Hal ini selain tercermin pada pertumbuhan ekonomi
dunia dalam lima tahun terakhir yang masih di bawah angka rata-rata jangka
panjangnya, juga kondisi pasar keuangan dunia yang masih diliputi oleh
ketidakpastian yang sangat tinggi. Banyak pihak menyebut bahwa dunia saat ini
telah berubah dengan cepat dan telah memasuki lingkungan baru dengan Volatility
(volatilitas), Uncertainty (ketidakpastian), Complexity (kompleksitas), dan Ambiguity
(kerancuan) yang terus meningkat; dikenal dengan terminologi VUCA. Karakteristik
permasalahan dan tantangan akan terus berbeda dan berevolusi sepanjang sejarah
peradaban dunia. Masa depan akan lebih sulit diprediksi bergerak ke arah mana
(unpredictable). Penyebab atau akar masalah dari kebijakan yang akan diambil
menjadi tidak jelas (unknown). Konsekuensinya, arah kebijakan yang dibuat oleh
otoritas maupun pelaku pasar menjadi tidak pasti (uncertain) dan masa depan tidak
dapat diprediksi. Perubahan terjadi dengan cepat, era baru timbul menggantikan
era lama. Apabila tidak disiasati dengan cepat dan cermat, perubahan tersebut akan
bersifat disruptive (unthinkable). Di samping itu, rangkaian krisis yang terjadi dalam
tiga dasawarsa belakangan menunjukkan bahwa kerentanan yang terjadi pada
suatu negara akan menjalar menjadi krisis regional atau bahkan global dengan
faktor yang tidak diprediksi sebelumnya.
Dalam perspektif kepemimpinan, dunia yang bercirikan VUCA dan adanya
megatren global yang masif sebagaimana diindikasikan di atas membuat organisasi
harus mampu menerjemahkan tantangan tersebut menjadi suatu visi dan aksi yang
jelas (KPMG International, 2014). Dunia saat ini membutuhkan kepemimpinan yang
agile dan transformatif untuk menyesuaikan diri dengan magnitude, orientasi, dan
sifat dari permasalahan yang terjadi. Sayangnya, dalam World Economy Forum,
krisis kepemimpinan disebut sebagai krisis terbesar yang saat ini sedang terjadi
(Shahid, 2015). Kepemimpinan dapat menjadi akar dari solusi atau akar dari
masalah. Survei Deloitte dalam Leading the New World of Work Human Capital Trend
tahun 2014-2015 kepada prominent CEO di dunia memperlihatkan bahwa
kepemimpinan semakin penting kedudukannya, namun pada saat bersamaan gap
2
kesiapan pemimpin semakin melebar (Deloitte, 2015). Terkait hal ini, permasalahan
yang dihadapi oleh kebanyakan organisasi adalah cara mengelola leadership pipeline
di tengah perkembangan organisasi yang pesat serta kecenderungan rendahnya
engagement.
Oleh karenanya, fokus pada pengembangan kepemimpinan strategis secara
terintegrasi diperlukan untuk mengidentifikasi dan mengembangkan kepemimpinan
di masa kini dan ke depan yang mampu berselancar dalam dinamika arus
perubahan. Karakteristik kepemimpinan tersebut secara umum sejalan dengan ciri-
ciri transformational leadership, yaitu suatu kepemimpinan partisipatif ketika leader
dan followers bersinergi mencapai visi dan misi bersama. Dengan transformational
leadership, kepemimpinan tidak hanya mampu memotivasi dan menggerakkan,
namun juga mewujudkan kapasitas untuk senantiasa agile di setiap keadaan.
Kepemimpinan yang dapat menjadi ujung tombak transformasi dalam sebuah
organisasi bahkan negara, karena suatu organisasi tidak akan mampu
bertransformasi sebelum leader bertransformasi.
Terkait dengan isu kepemimpinan tersebut adalah adanya tren pergeseran
orientasi dari sumber daya manusia menjadi sumber daya otak yang sudah banyak
diinisiasi oleh lembaga pemerintahan/non-pemerintahan seperti Obama’s Brain
Initiative (US). Otak yang memiliki lebih dari seratus miliar saraf dan seratus trililun
koneksi ini mendorong penemuan neuroscience terapan untuk meneliti cara
kerja/aktivitas sel otak yang terkoneksi secara struktural dan fungsional yang
berdampak pada perilaku seseorang. Neuroscience didefinisikan sebagai ilmu yang
mempelajari sistem saraf, dengan pendekatan multidisiplin, untuk melihat proses
biologis (termasuk sistem listrik dan kimiawi) yang terjadi di otak saat individu
berpikir atau bertindak. Penelitian neuroscience saat ini tidak lagi terbatas pada otak
orang-orang yang mengalami gangguan (disorder), namun otak orang-orang sukses.
Penelitian neuroscience terapan ini akan meningkatkan pemahaman terhadap diri
sendiri, orang lain dan sistem/lingkungan. Sebagai sebuah ilmu yang mutakhir,
neuroscience terapan diyakini dapat menjadi salah satu solusi untuk menjalankan
misi mengubah orang lain dan lingkungan menjadi lebih baik.
Pada akhirnya dunia akan selalu berubah dan masalah yang muncul akan
semakin kompleks dan semakin sulit diurai. Untuk menjawab permasalahan ini
dibutuhkan kepemimpinan yang tepat dan proaktif dalam menjawab tantangan
masa depan yang serba VUCA dan memiliki kemampuan substansial, visioner,
mampu mendiagnosis permasalahan, serta mampu melahirkan ide-ide inovatif
3
untuk menjawab tantangan. Dalam praktiknya, untuk menjadi seorang pemimpin
yang transformatif tidaklah mudah. Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya,
neuroscience terapan diharapkan menjadi solusi untuk menjalankan misi
mengubah orang lain dan lingkungan menjadi lebih baik karena otak adalah master
kontrol untuk mengintegrasikan seluruh sistem tubuh termasuk komponen utama
dari perasaan dan insting. Pemimpin juga merupakan master kontrol dalam
organisasi. Pemimpin dapat mengendalikan otak orang lain dengan cara mengelola
otak sendiri sehingga otak bawahan dapat selaras dengan otak pemimpin. Ketika
otak pemimpin dan bawahan telah selaras, maka pemimpin dan bawahan akan
bersinergi dengan efektif untuk mencapai tujuan bersama (Swart, 2015).
Bank Indonesia menyadari bahwa kompleksitas masalah dan potensi
Indonesia tidak dapat hanya dijawab dengan struktur kelembagaan dan kebijakan
yang lama atau konvensional, namun harus beyond conventional wisdom. Bank
Indonesia pun dituntut untuk menjadi organisasi yang agile dalam menghadapi
kompleksitas (organizational agility) dan adaptif dari satu permasalahan ke
permasalahan yang lain. Selain memperkuat strategi kebijakan di berbagai domain
kebijakan bank sentral (moneter, sistem keuangan, dan sistem pembayaran), Bank
Indonesia menyadari peran sumber daya manusia yang kompeten dan mumpuni
sangat diperlukan. Untuk itu, Bank Indonesia mendorong perlunya menciptakan
sumber daya manusia yang berkualitas. Pembelajaran mengenai kepemimpinan
ekonomi (economic leadership) perlu ditanamkan ke dalam setiap domain
pembelajaran sehingga dapat menciptakan kesadaran mengenai pentingnya
kepemimpinan inovatif dan dapat memberikan kontribusi strategis dalam rangka
menunjang pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.3
Penelitian ini ditujukan untuk menggali isu-isu terkait dengan kepemimpinan
transformasional (transformational leadership) serta keberadaan neuroscience
terapan sebagai salah satu pendekatan yang efektif dalam mendorong
transformational leadership. Secara khusus, pertanyaan penelitian yang akan
dijawab adalah: (i) Mengapa diperlukan transformational leadership? (Why); (ii)
Apakah keunggulan relatif neuroscience terapan dibandingkan dengan pendekatan
lain? (What); dan (iii) Bagaimana mekanisme transmisi neuroscience terapan dalam
3 Bank Indonesia di 2014 mulai melaksanakan Program Transformasi menyeluruh untuk memastikan fungsi, tugas, dan wewenang Bank Indonesia dalam mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah dapat dilaksanakan secara berkelanjutan, dengan dukungan penguatan nilai-nilai strategis yang dimiliki (trust and integrity; professionalism; excellence; public interest; coordination and teamwork). Sejalan dengan itu, program transformasi Bank Indonesia juga dilaksanakan untuk mewujudkan visi Bank Indonesia sebagai bank sentral yang kredibel dan terbaik di regional.
4
mendorong transformational leadership? (How). Dalam kaitan ini, akan disampaikan
juga beberapa contoh aplikasi neuroscience terapan dalam lingkungan organisasi.
Pendalaman kajian ini dilakukan dengan pendekatan studi literatur dan focus group
discussion (FGD) dengan para pakar dan pelaku kepemimpinan. Adapun lingkup
transformational leadership dalam konteks aplikasi neuroscience terapan
digeneralisasi pada kepemimpinan publik dan swasta.
Dari hasil kajian awal dapat disimpulkan bahwa transformational leadership
sangat dibutuhkan karena merupakan suatu kepemimpinan yang tidak hanya
mampu memotivasi dan menggerakkan organisasi secara vertikal dan horizontal,
namun juga mewujudkan kapasitas organisasi untuk senantiasa agile di setiap
keadaan. Dalam kaitan ini, sebagai suatu pendekatan, neuroscience terapan dapat
memberikan pemahaman aktivitas dan cara kerja otak manusia yang membantu
pemimpin untuk memimpin transformasi organisasi. Dalam hal ini, neuroscience
terapan, melalui beberapa jalur dalam mekanisme transmisinya, mampu secara
efektif membantu transformational leader dan anggota mencapai keadaan physically,
emotionally, and mentally safe, serta mendorong organisasi untuk bertransformasi
secara efektif. Selain berusaha memberikan perspektif baru dalam kajian
kepemimpinan, penelitian ini memberikan kontribusi yang sangat penting dalam
pengaplikasian ilmu/sains terapan dalam konteks kepemimpinan, khususnya
mengenai pemetaan mekanisme kerja transmisi, dalam hal ini cara kerja otak dalam
memengaruhi reaksi tubuh, baik secara internal (emosi dan hormon) maupun
secara eksternal (reaksi atau tindakan), yang pada gilirannya memengaruhi perilaku
kepemimpinan.
Paparan dalam penelitian ini terdiri dari empat bagian. Menyambung bagian
pendahuluan ini, bagian kedua akan menguraikan landasan teori sekaligus
kerangka pemikiran mengenai transformational leadership dan beberapa
pendekatan terkait, khususnya neuroscience terapan. Bab ini juga akan
menyinggung cara kerja otak dalam memengaruhi pola kepemimpinan. Bagian
ketiga akan berisi analisis yang ditujukan untuk menjawab ketiga pertanyaan
utama dalam penelitian, yaitu menyangkut urgensi transformational leadership,
keunggulan relatif, mekanisme transmisi neuroscience terapan dalam mendorong
kepemimpinan, dan beberapa contoh aplikasi neuroscience terapan dalam
lingkungan organisasi. Bagian terakhir berupa kesimpulan dan rekomendasi untuk
pengembangan kegiatan penelitian selanjutnya.
5
2. Perspektif Teoritis
2.1. Transformational Leadership: Definisi, Kompetensi, dan Tools
Definisi Transformational Leadership
Kepemimpinan/leadership merupakan sebuah proses ketika seseorang
memengaruhi sekelompok individu untuk mencapai sebuah tujuan bersama
(Northouse, 2007). Berdasarkan tipenya, leadership dapat dikategorikan ke dalam
dua kelompok yaitu kepemimpinan transaksional (transactional leadership) yang
menggunakan hadiah/reward dan hukuman/punishment sebagai sarana untuk
memotivasi followers dan kepemimpinan transformasional (transformational
leadership) yang menginsipirasi followers untuk bertransformasi dengan motivasi
internal (Bass, 1990).
Transformational leadership merupakan sebuah proses ketika leader dan
followers saling membantu untuk meningkatkan moral dan motivasi kedua belah
pihak (Burns, 1978). Sementara itu, Yammarino dan Bass (1990) menyatakan
bahwa transformational leadership merupakan sebuah gaya kepemimpinan ketika
leader mengartikulasikan visi masa depan dari organisasi yang realistis,
menstimulasi followers dengan cara yang intelektual, dan menaruh perhatian pada
perbedaan-perbedaan yang dimiliki oleh followers. Pada tahun 2012, Simola
mendefinisikan transformational leadership sebagai terjadinya interaksi antara dua
belah pihak dalam suatu organisasi dengan adanya tujuan kolektif ketika leader
mentransformasi, memotivasi, dan mengembangkan perilaku dan aspirasi etis
followers. Dari definisi yang dikemukakan para ahli tersebut, dapat disimpulkan
bahwa transformational leadership merupakan sebuah gaya kepemimpinan
partisipatif yang meningkatkan moral, motivasi internal, dan performa followers
sehingga menghasilkan perubahan mindset dan perilaku followers serta efektivitas
organisasi.
Menurut Bass (1990), terdapat empat komponen yang membentuk sebuah
gaya transformational leadership, yang dapat diuraikan sebagai berikut: (i)
idealized/charismatic influence, yaitu leader memiliki visi dan misi yang sejalan
dengan organisasi, pendirian kokoh, serta berkomitmen dan konsisten pada setiap
keputusan sehingga followers dengan sukarela mengikuti leader; (ii) inspirational
motivation, yaitu menetapkan standar yang tinggi sekaligus mendorong
pencapaiannya; (iii) intellectual stimulation, yaitu mendorong followers untuk
6
memiliki budaya belajar dan selalu mengembangkan ide; serta (iv) individualized
consideration, yaitu kemampuan leader untuk memahami perbedaan setiap
followers dan memfasilitasi pengembangannya.
Kompetensi Transformational Leader
Untuk dapat melakukan transformasi dalam sebuah organisasi, seorang
leader tentunya harus memiliki beberapa kompetensi dasar yang kemudian dapat
dikelompokkan ke dalam klaster inner, others, dan outer atau dikenal dengan The
Triple Focus (Goleman dan Senge, 2014). Pembagian ke dalam tiga klaster ini
menunjukkan bahwa sebuah transformasi harus diawali dari dalam diri leader
terlebih dahulu (inner/leading self); kemudian ke orang lain di dalam organisasi,
yaitu dalam hal ini followers (others/leading people); dan yang terakhir adalah
transformasi organisasi itu sendiri (outer/leading organization).
Inner focus diperlukan agar leader sadar nilai, perasaan, dan intuisi diri
sendiri (intrapersonal) serta memahami cara mengelolanya dengan baik. Others
focus menuntut leader untuk mampu membaca, memahami, dan mengelola
hubungan interpersonal dengan baik. Hubungan dengan orang lain memiliki seni
tersendiri yang harus dimiliki oleh setiap leader. Sedangkan, outer focus menuntut
leader untuk memahami kekuatan dan sistem yang lebih luas. Leader dituntut
untuk mampu menavigasi dan menentukan strategi terbaik yang dituju.
Berdasarkan rujukan dari penelitian terdahulu mengenai kompetensi yang
harus dimiliki seorang leader dan penelitian mengenai skill yang harus dimiliki
leader masa depan, terdapat sembilan kompetensi transformational leadership.
Kompetensi tersebut dibagi dalam tiga klaster (i) inner/leading self yaitu kompetensi
breakthrough, agility, kecerdasan emosional (emotional intelligence); (ii)
others/leading people yaitu kompetensi kecerdasan sosial (social intelligence),
kemampuan berkomunikasi (communication skill), kemampuan memengaruhi orang
lain (influence others); dan (iii) outer/leading organization yaitu kompetensi memiliki
visi (visionary), pemecahan masalah (problem solving), dan pengambilan keputusan
(decision making).
Transformational Leadership Tools
Transformasi dalam sebuah organisasi dapat dilakukan dengan berbagai alat
bantu/pendekatan (tools) yang berfungsi untuk membantu leader dalam
menciptakan maupun melakukan percepatan transformasi. Beberapa pendekatan
7
transformational leadership tersebut, beserta karakteristiknya, dapat dilihat dalam
tabel 1.
2.2. Neuroscience Terapan: Teori dan Aplikasi
Neuroscience Terapan dan Perspektif Teori mengenai Otak
Dari sudut pandang keilmuan, neuroscience merupakan sebuah ilmu
mengenai sistem saraf. Neuroscience mempelajari struktur saraf-saraf manusia dan
cara terbentuknya, cara saraf-saraf tersebut bekerja, malfungsi-malfungsi yang
mungkin terjadi pada otak, serta cara saraf-saraf tersebut dapat berubah. Secara
umum, pandangan mengenai otak dapat dibedakan menjadi brain-based dan
thinking-based. Brain-based memahami struktur anatomi otak, sedangkan thinking-
based memahami fungsi dan proses berpikir yang terjadi pada otak. Sesuai dengan
relevansinya, paparan pada bagian ini akan berfokus pada thinking-based theory.
Salah satu teori yang terkemuka yang tergolong dalam kelompok thinking-
based theory adalah split brain theory. Teori ini mulai dikenal ketika Roger W. Sperry
mendapatkan hadiah Nobel di tahun 1981 atas eksperimen “split brain” yang
dilakukan terhadap pasien epilepsi. Sperry mengungkapkan bahwa otak manusia
terdiri dari dua bagian (hemisfer), yaitu hemisfer kanan dan hemisfer kiri, yang
dihubungkan oleh sebuah jembatan bernama corpus callosum. Sperry
mengungkapkan bahwa hemisfer kanan dan hemisfer kiri manusia memiliki fungsi
yang berbeda. Hemisfer kiri berkaitan dengan kemampuan menulis, berbahasa,
berbicara, serta berhitung, sedangkan hemisfer kanan memiliki fungsi yang
berkaitan dengan kemampuan spasial, konstruksi, ideasi, kreativitas, kemampuan
bahasa sederhana, kemampuan nonverbal, serta kemampuan komprehensi.
8
*Keterangan: DRA (Driving, Resisting, and Attracting Forces)
pencapaian momen AHA, dan mitigasi bias dapat digunakan untuk mengelola emosi
yang dikeluarkan terhadap suatu hal. Emosi yang terkelola dengan baik sehingga
memicu keluarnya hormon yang berdampak positif terhadap reaksi atau perilaku
kepemimpinan seseorang.
5 Sejalan dengan perkembangan teori dan praktik di lapangan, penerapan neuroscience sudah meluas ke berbagai bidang keilmuan, diantaranya bidang ekonomi (neuroeconomics), keuangan (neurofinance), hukum (neurolaw), komunikasi (neurocommunication), kewirausahaan (neuropreneurship), psikologi (neuropsychology), pemasaran (neuromarketing), digital (neurodigital), medis (neurohealing), dan kepemimpinan (neuroleadership).
11
3. Kepemimpinan Transformasional Berbasis Neuroscience
Dunia yang sarat dengan perubahan menuntut leader untuk selalu
melakukan inovasi agar organisasi dapat bertahan. Inovasi hanya dapat dibuat oleh
seorang leader apabila memiliki kompetensi breakthrough dan mampu memfasilitasi
anggotanya untuk melahirkan breakthrough. Dengan intervensi neuroscience
terapan, leader akan lebih mudah untuk membuat breakthrough.
Gambar 2. Intervensi Neuroscience Terapann untuk Meningkatkan Kompetensi
Breakthrough
Teknik relaksasi seperti berada pada area bernuansa berwarna biru dan
melamun dapat membuat emosi positif, yaitu joy/excitement (kebahagiaan),
terbentuk dan menurunkan emosi fear (ketakutan). Emosi bahagia akan membuat
otak memproduksi hormon dopamin serta menurunkan hormon kortisol pada tubuh
yang berdampak pada munculnya kreativitas serta kemampuan untuk memfasilitasi
perubahan.6 Kedua kemampuan tersebut merupakan indikasi bahwa seorang leader
telah mampu menghasilkan breakthrough.
6 Hormon dopamin pada otak berfungsi sebagai zat kimia pembawa pesan antara sel saraf. Hormon ini dapat meningkat ketika terjadi aktivitas tertentu yang berkaitan dengan hal bahagia atau dipicu beberapa jenis obat-obatan. Dopamin berpengaruh pada rasa menyenangkan dari jatuh cinta, gembira,
Intervensi
Neuroscience
Terapan
Emosi (x) Hormon (y)Impact
terhadap Leadership (z)
Kompetensi TL
Organisasi Efektif
Tujuan Antara Tujuan Akhir Pendekatan Jalur Transmisi
Seorang leader seringkali dihadapkan pada situasi-situasi baru yang
mengharuskan dirinya untuk selalu dapat menyesuaikan diri. Kemampuan untuk
menyesuaikan diri ini sulit dimiliki oleh leader yang tidak memiliki agility
(kelenturan) baik dalam bersikap maupun dalam belajar dan mengembangkan diri.
Neuroscience terapan memberikan pemahaman mengenai langkah-langkah efektif
untuk mengembangkan agility yang harus dimiliki seorang leader.
Gambar 3. Intervensi Neuroscience Terapan untuk Meningkatkan Kompetensi
Agility
Aktivitas fisik, seperti olahraga ataupun menari dapat membuat seseorang
merasakan emosi bahagia yang berdampak pada produksi hormon endorfin serta
menurunnya kadar hormon kortisol pada tubuh.7 Perubahan kedua hormon
tersebut menyebabkan leader memiliki kesanggupan untuk memfasilitasi
perubahan, yaitu sebuah kemampuan yang dapat membuat seseorang memiliki
agility. Selain aktivitas fisik, aktivitas otak, seperti permainan melatih otak, juga
dapat membuat otak merasakan emosi bahagia sehingga memicu produksi hormon
dopamin serta menurunkan produksi hormon kortisol. Hal tersebut berdampak pada
kemampuan dan kemauan leader untuk memfasilitasi perubahan yang membuat
leader memiliki agility.
(iii). Emotional Intelligence
Kecerdasan emosi merupakan kemampuan untuk memahami emosi,
meregulasi emosi untuk tujuan tertentu, dan memiliki empati kepada orang lain.
motivasi, dan rasa percaya diri. Sementara itu, Hormon kortisol atau juga dikenal secara luas sebagai hormon stres, karena hormon ini akan diproduksi lebih banyak saat tubuh mengalami stres, baik fisik maupun emosional. Saat merasa terancam, maka bagian dari otak akan menyalakan alarm tubuh. Hal itu kemudian akan memicu kelenjar adrenal mengeluarkan hormon adrenalin, hal ini bersamaan dengan hormon kortisol.
7 Hormon endorfin adalah pembunuh rasa sakit alami yang dihasilkan oleh otak, hormon ini juga dapat menimbulkan rasa senang atau euforia. Meningkatnya jumlah hormon endorfin akan mengurangi efek buruk dari stres dan rasa sakit, menambah nafsu makan, dan meningkatkan respons kekebalan tubuh.