MAKALAH PENDIDIKAN KEWARGANEGARAANdengan judulKemampuan dan
Kesadaran Bangsadalam Mengelola Perbedaan - perbedaan SARA yang
Tumbuh dan Berkembang di Wilayah Nusantaradisusun untuk memenuhi
matakuliah Pendidikan Kewarganegaraanyang dibina oleh Ibu Sri
Untari
Oleh:
RIA SUCIATI
(110533406963)
RIZKA RAHMANIA AMEILIA(110533430504)
SALWA IKA WULANDARI
(110533406997)
SELLY HANDIK PRATIWI
(110533406969)
SETIA PUTRI
(110533406992)S1 PTI 2011 Offering AUNIVERSITAS NEGERI
MALANG
FAKULTAS TEKNIK
JURUSAN TEKNIK ELEKTRO
S1 PENDIDIKAN TEKNIK INFORMATIKA
SEPTEMBER, 2013KATA PENGANTAR
Puji syukur, kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang
telah menganugerahkan Rahmat dan Hidayah-Nya sehingga kami dapat
menyusun makalah matakuliah Pendidikan Kewarganegaraan dengan judul
Kemampuan dan Kesadaran Bangsa dalam Mengelola Perbedaan -
perbedaan SARA yang Tumbuh dan Berkembang di Wilayah Nusantara
dengan baik.
Penyusunan makalah ini dapat terlaksana atas dukungan dan
bantuan berbagai pihak baik secara langsung maupun tidak langsung,
baik dalam bentuk materiil maupun spiritual. Oleh karena itu
sepatutnya kami mengucapkan terima kasih kepada:
1. Ibu Sri Untari selaku dosen mata kuliah Pendidikan
Kewarganegaraan.
2. Saudara Achmad Bonadi selaku asisten dosen mata kuliah
Pendidikan Kewarganegaraan.3. Teman-teman Prodi S1 Pendidikan
Teknik Informatika angkatan 2011 yang mendukung dan memberikan
motivasi demi terselesainya makalah ini.Demikian penyusunan makalah
ini, apabila terdapat kesalahan penulisan penyusun bersedia
menerima kritik dan saran yang membangun dari pembaca. Harapan
penyusun semoga laporan ini dapat berguna bagi pembaca khususnya
bagi mahasiswa Program Studi S1 Pendidikan Teknik Informatika
Universitas Negeri Malang.
Malang, 24 September 2013PenyusunDAFTAR ISI
KATA PENGANTAR . iDAFTAR ISI . iiBAB I: PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah .. 11.2. Rumusan Masalah 3
1.3. Tujuan ...... 31.4. Manfaat 3BAB II : PEMBAHASAN2.1.
Pengertian Wawasan Kebangsaan.. 42.2. Pengertian Wawasan Lokal
52.3. Pemahaman SARA 72.4. Kemampuan dan Kesadaran Masyarakat dan
Pemerintah dalam Mengelola Perbedaan-perbedaan SARA .. 102.4.1.
Kemampuan dan Kesadaran Masyarakat dalam Mengelola Perbedaan SARA
(Suku, Agama, Ras dan Antar Golongan).. 102.4.2. Kemampuan dan
Kesadaran Pemerintah dalam Mengelola Perbedaan SARA (Suku, Agama,
Ras dan Antar Golongan) 16BAB III : PENUTUP3.1. Kesimpulan 183.2.
Saran .. 18DAFTAR PUSTAKA 20BAB IPENDAHULUAN
1.1. Latar BelakangIndonesia ialah Negara kepulauan yang terdiri
dari beribu-ribu pulau, yang setiap pulau nya memiliki masyarakat
dengan budaya, agama, dan ras yang berbeda. Al Hakim (2002: 55)
menyatakan bahwa Indonesia adalah masyarakat yang majemuk
(pluralistis). Majemuk dalam artian masyarakat Indonesia memiliki
berbagai keanekaragaman suku, agama, ras serta kebudayaan, yang
dapat menyebabkan perbedaan pandangan antar masyarakat dan
mengakibatkan retaknya ketahanan nasional di bidang ideologi.
Kaelan dan Zubaidi (2007: 166) menyatakan Bangsa Indonesia
merupakan suatu bangsa yang memiliki tingkat keberagaman yang
tinggi. Namun apabila keragaman itu tidak dibina dengan baik, maka
bisa melahirkan konflik yang beraneka ragam. Konflik antar suku,
ras, ras/etnis, dan antar golongan (SARA) yang terjadi di
Indonesia, bisa berdampak merugikan dan mengancam persatuan dan
kesatuan bangsa.
Adanya perbedaan suku, agama, ras dan antar golongan (SARA)
sehingga munculs emboyan Bhineka Tunggal Ika. Semboyan tersebut
bertujuan untuk mempersatukan berbagai perbedaan yang ada di
Indonesia guna mencapai tujuan nasional. Bersatunya masyarakat
Indonesia akan memberikan kekuatan bagi bangsa Indonesia dalam
bentuk ketahanan nasional. Semakin kuat ketahanan nasional maka
semakin kecil gangguan yang muncul. Sehingga ketahanan nasional
sangat penting bagi kehidupan berbangsa dalam mencapai tujuan
nasional.
Bentuk Negara Indonesia adalah Negara kesatuan. Artinya, di
seluruh negara Indonesia, hanya ada satu Negara yaitu Negara
Kesatuan Republik Indonesia. Dalam Negara kesatuan tidak dibenarkan
adanya daerah berbentuk negara. Negara kesatuan Indonesia didirikan
dari perasaan bersatu seluruh masyarakat dan daerah-daerah yang
berada di seluruh wilayah negara Indonesia (nusantara).
NKRI memiliki struktur pemerintahan pusat dan pemerintah daerah.
Masing-masing pemerintahan daerah diberi hak otonomi, yaitu hak
untuk mengatur rumah tangganya sendiri. Antara daerah yang satu
dengan daerah yang lain, boleh saling berbeda, namun tidak boleh
bertentangan dengan cita-cita nasional dan cita-cita bangsa
Indonesia (tujuan negaranya).
Meskipun perbedaan suku, agama, ras, dan antar golongan (SARA)
telah dinaungi dalam suatu bentuk Negara kesatuan, namun pada
kenyataannya masih banyak konflik sosial yang disebabkan karena
perbedaan tersebut. Hal ini tejadi karena kurangnya kemampuan dan
kesadaran bangsa dalam mengelola perbedaan-perbedaan suku, agama,
ras, dan antar golongan. Kurangnya kemampuan dan kesadaran bangsa
ini dapat tentu saja menyebabkan kurangnya persatuan antar warga
negara yang mengakibatkan ketahanan nasional semakin melemah.
Berdasarkan gambaran diatas dapat diketahui betapa pentingnya
kemampuan dan kesadaran bangsa dalam mengelola perbedaan-perbedaan
suku, agama, ras, dan antar golongan yang baik. Oleh karena itu
penulis membahas tentang Kemampuan dan Kesadaran Bangsa dalam
Mengelola Perbedaan-Perbedaan Suku, Agama, Ras, dan Antar Golongan
yang Tumbuh dan Berkembang di Wilayah Nusantara untuk dikaji lebih
lanjut.
Masyarakat Indonesia yang majemuk ditandai dengan beragamnya
suku bangsa, agama, ras dan antar golongan (SARA), pada dasarnya
merupakan masyarakat yang rentan akan konflik (Al Hakim, 2002: 68).
Keberagaman merupakan suatu ciri khas bagi bangsa Indonesia. Karena
dengan adanya keberagaman tersebut Indonesia menjadi kaya akan
budaya. Namun, tingkat keberagaman yang tinggi mengakibatkan antara
kelompok masyarakat yang satu dengan kelompok yang lainnya memiliki
pandangan yang berbeda-beda. Kalau pandangan ini tidak dibarengi
dengan kemampuan dan kesadaran bangsa dalam mengelola
perbedaan-perbedaan SARA yang tumbuh dan berkembang di wilayah
nusantara ini dengan baik, pasti akan menimbulkan konflik
sosial.
1.2. Rumusan Masalah
Berikut ini rumusan masalah yang akan dibahas dalam makalah,
yaitu antara lain:
1. Apa yang dimaksud dengan wawasan kebangsaan?
2. Apakah pengertian dari wawasan lokal?
3. Apakah yang dimaksud dengan agama, ras, dan antar golongan
(SARA)?
4. Bagaimana mengetahui kemampuan dan kesadaran masyarakat dan
pemerintah dalam mengelola perbedaan-perbedaan SARA?
1.3. TujuanSetelah mempelajari makalah ini, diharapkan mahasiswa
dapat:1. Mengetahui pengertian wawasan kebangsaan;
2. Mengetahui pengertian wawasan lokal;
3. Memahami agama, ras, dan antar golongan (SARA) ; dan
4. Mengetahui kemampuan dan kesadaran masyarakat dan pemerintah
dalam mengelola perbedaan-perbedaan SARA.
1.4. ManfaatBerikut ini merupakan manfaat setelah mempelajari
makalah ini.
1. Bagi Mahasiswa1) Dapat mengetahui cara pandang tentang
wawasan kebangsaan di Negara Indonesia 2) Dapat mengetahui
ketahanan nasional perbedaan pandangan antar masyarakat di
Indonesia.2. Bagi Pembaca1) Mengetahui pentingnya kemampuan dan
kesadaran bangsa dalam mengelola perbedaan-perbedaan suku, agama,
ras, dan antar golongan;2) Mengambil manfaat dari perbedaan
pendapat antara suku, agama, ras, dan antar golongan.BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Pengertian Wawasan Kebangsaan 2.1.1. Wawasan Kebangsaan dan
Integritas NasionalIstilah wawasan kebangsaan terdiri dari dua suku
kata yaitu wawasan dan kebangsaan dan secara etimologi istilah
wawasan berarti hasil mewawas, tinjauan, pandangan dan dapat juga
berarti konsepsi cara pandang (Kamus Besar Bahasa Indonesia: 1989
dalam Suhady 2006: 18).Wawasan kebangsaan dapat juga diartikan
sebagai sudut pandang / cara memandang yang mengandung kemampuan
seseorang atau kelompok orang untuk memahami keberadaan jati diri
sebagai suatu bangsa dalam memandang diri dan bertingkah laku
sesuai falsafah hidup bangsa dalam lingkungan internal dan
lingkungan eksternal.Dikaitkan dengan masyarakat Indonesia yang
pluraris maka substansi wawasan kebangsaan adalah intregritas
nasional yang merupan unsur terpenting dalam wawasan kebangsaan.
Integritas Nasional merupakan usaha dan proses dalam mempersatukan
perbedaan perbedaan yang ada pada suatu negara sehiingga
terciptanya keserasian dan keselarasan secara nasional. Dari kedua
hal tersebut saling terkait satu sama lain dan tidak dapat
dipisahkan. Faktor-faktor yang mempengaruhi lemahnya wawasan
kebangsaan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia
sangatlah komplek. Secara umum dapat dilihat pengaruh dari dalam
(internal) dan pengaruh dari luar (eksternal). Pengaruh dari dalam
antara lain banyaknya suku, agama, ras, budaya local, geografis,
politik, ekonomi. Seperti kemampuan dan kesadaran bangsa dalam
mengelola perbedaan perbedaan suku, agama, ras dan antargolongan
serta keanekaragaman budaya dan adat istiadat yang tumbuh dan
berkembang di wilayah nusantara. Perbedaan perbedaan itu bukanlah
sebagai suatu hal yang harus dipertentangkan, akan tetapi harus
diartikan sebagai kekayaan dan potensi bangsa. Dan juga membangun
system politik dan pemerintahan yang sesuai dengan ideology
nasional (Pancasila) dan konstitusi UUD 1945. Serta
menyelenggarakan proyek budaya dengan cara melakukan pemahaman dan
sosialisasi terhadap symbol symbol identitas nasional, misalnya:
Bahasa Indonesia, lagu Indonesia Raya, bendera Merah Putih dan
Garuda Pancasila sebagai lambang NegaraSedangkan factor yang
mempengaruhi dari luar adalah perubahan yang cepat dan komplek
kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dan pengaruh globalisasi .
Selain itu juga membangun system politik.Sehingga perlu
diperhatikan dinamika, kompleksitas dan keanekaragaman dalam
kehidupan masyarakat, jangan terjadi kesenjangan pembangunan,
kesenjangan sosial & ekonomi, dan dihindari adanya upaya-upaya
untuk mengekang proses demokratisasi & desentralisasi, serta
pikiran-pikiran sempit yg bersifat primordial.2.2. Pengertian
Wawasan Lokal Wawasan Lokal
Suatu negara dan bangsa akan terikat erat apabila ada pemahaman
yang mendalam tentang perbedaan dalam negara atau bangsa itu
sebagai anugerah, yang pada akhirnya akan memperkaya khasana budaya
negara atau bangsa tersebut. Disamping itu, perbedaan ini merupakan
satu titik yang sangat rentan terhadap perpecahan jika tidak
diberikan pemahaman wawasan nasional dan wawasan nusantara yang
tepat bagi bangsa dan negara.Dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara, keanekaragaman (pendapat, kepercayaan, hubungan, dsb)
memerlukan suatu perekat agar bangsa yang bersangkutan dapat
bersatu guna memelihara keutuhan negaranya.Suatu bangsa dalam
menyelenggarakan kehidupannya tidak terlepas dari pengaruh
lingkungannya, yang didasarkan atas hubungan timbal balik atau
kait-mengait antara filosofi bangsa, idiologi, aspirasi, dan
cita-cita yang dihadapkan pada kondisi sosial masyarakat, budaya
dan tradisi, keadaan alam dan wilayah serta pengalaman sejarah.
Upaya pemerintah dan rakyat menyelengarakan kehidupannya,
memerlukan suatu konsepsi yang berupa Wawasan Nasional yang
dimaksudkan untuk menjamin kelangsungan hidup, keutuhan wilayah
serta jati diri.Kehidupan negara senantiasa dipengaruhi
perkembangan lingkungan strategik sehingga wawasan harus mampu
memberi inspirasi pada suatu bangsa dalam menghadapi berbagai
hambatan dan tantangan yang ditimbulkan dalam mengejar
kejayaannya.Dalam mewujudkan aspirasi dan perjuangan ada tiga
faktor penentu utama yang harus diperhatikan oleh suatu bangsa :1.
Bumi/ruang dimana bangsa itu hidup.
2. Jiwa, tekad dan semangat manusia /rakyat.
3. Lingkungan.
Wawasan Nasional adalahcara pandang suatu bangsa yang telah
menegara tentang diri dan lingkungannya dalam eksistensinya yang
serba terhubung (interaksi & interelasi) serta pembangunannya
di dalam bernegara di lingkungan nasional termasuk lokal dan
proposional, regional, serta global.Di dalam wilayah lokal (daerah)
bangsa Indonesia memiliki hal yang disebut wawasan lokal. Ini
dikarenakan bangsa Indonesia yang terdiri dari berbagai suku
bangsa, agama dan kepercayaan terhadap Tuhan yang berbeda-beda,
berkomunikasi menggunakan ragam bahasa daerah, serta memiliki
adat-kebiasaan atau budaya daerah yang juga berbeda-beda.
Wawasan lokal sangat perlu bagi kehidupan masyarakat di daerah,
karena dapat digunakan dalam mengembangkan potensi dan kelebihan
setiap daerah. Selain itu wawasan lokal dapat digunakan sebagai
cara pandang setiap daerah untuk mengetahui serta memperbaiki
berbagai kekurangan yang dimiliki.
Bangsa Indonesia secara sosial budaya hidup dalam sebuah
masyarakat dan geografis yang berbeda. Hal ini merupakan sebuah
kenyataan yang memungkinkan wawasan lokal untuk berkembang menjadi
wawasan nasional.
Hubungan antara wawasan nasional (nusantara) dengan wawasan
lokal hendaknya dimaknai karena keduanya selalu memiliki hubungan
yang erat. Adanya keanekaragaman wawasan lokal jangan sampai
menyebabkan munculnya perpecahan bangsa. Dalam kehidupan berbangsa
dan bernegara, keberadaan wawasan nasional pada dasarnya digunakan
sebagai jembatan penghubung dan pemersatu bagi setiap wawasan lokal
yang terdapat di wilayah nusantara. Wawasan lokal tidak boleh
bertentangan dengan wawasan nasional. Adanya perbedaan dalam
wawasan lokal dan wawasan nasional harus diartikan sebagai kekayaan
yang dimiliki oleh bangsa.
Karena itu, perumusan kebijaksanaan nasional harus selalu
memperhatikan aspirasi yang berkembang dalam kehidupan masyarakat
lokal. Ragam kehidupan dan budaya yang ada hendaknya dimaknai dan
diberikan kesadaran bahwa sesungguhnya keragaman tersebut memiliki
keunggulan di antara yang lain. Keunggulan inilah yang dijadikan
sebagai wacana pemerintah atau juga suku-suku bangsa di Indonesia
agar masing-masing memiliki nilai lebih dalam suasana kehidupan,
kebersamaan, serta kekeluargaan.2.3. Pemahaman SARASARA adalah
sebuah akronim dari Suku, Agama, Ras, dan Antar Golongan, merupakan
sebuah fenomena kemasyarakatan yang tumbuh dan berkembang dalam
kehidupan masyarakat Indonesia. Selain itu SARA nampak menjadi
kekayaan bangsa dan masyarakat yang menjadikannya lebih variatif
dan dinamis.
Namun demikian, tidak jarang muncul persepsi negatif berkaitan
dengan SARA. Berbagai konflik, kerusuhan dan gejolak sosial yang
timbul di dalam masyarakat, hampir semua dikaitkan dan bahkan
dituduhkan kepada persoalan SARA.SARA yang memiliki persepsi
negatif dapat digolongkan dalam tiga katagori, yaitu :1.
Individual
Merupakan tindakan SARA yang dilakukan oleh individu maupun
kelompok. Termasuk di dalam katagori ini adalah tindakan maupun
pernyataan yang bersifat menyerang, mengintimidasi, melecehkan dan
menghina identitas diri maupun golongan.2. Institusional
Merupakan tindakan SARA yang dilakukan oleh suatu institusi,
termasuk negara, baik secara langsung maupun tidak langsung,
sengaja atau tidak sengaja telah membuat peraturan diskriminatif
dalam struktur organisasi maupun kebijakannya.
3. Kultural
Merupakan penyebaran mitos, tradisi dan ide-ide diskriminatif
melalui struktur budaya masyarakat.Karena terjadi hal-hal tersebut,
pemerintah pun beranggapanbahwa SARA merupakan sumber perpecahan
sosial, maka menjadi pengetahuan atau realitas yang ditabukan.
Mereka memandang SARA sebagai potensi konflik dari pada energi
politis yang mewujudkan demokrasi dan kemajemukan sosial.Saat ini
SARA cenderung diartikan menjadi sebuah atau berbagai pandangan dan
tindakan yang didasarkan pada sentimen identitas yang menyangkut
keturunan, agama, kebangsaan atau kesukuan dan golongan. Setiap
tindakan yang melibatkan kekerasan, diskriminasi dan pelecehan yang
didasarkan pada identitas diri dan golongan dapat dikatakan sebagai
tindakan SARA. Tindakan ini mengebiri dan melecehkan kemerdekaan
dan segala hak-hak dasar yang melekat pada manusia. Dan penyebab
terjadinya pun biasanya hanya karena hal sepele, seperti
tersinggung, diledek atau hal-hal yang sekiranya tidak perlu
dibesar-besarkan. Hal ini juga ditegaskan oleh Putra (2011: 4) yang
menyebutkan faktor yang menyebabkan konflik SARA antara lain:a.
Perbedaan individu, yang meliputi perbedaan pendirian dan
perasaan
b. Perbedaan kepentingan antara individu atau kelompok.Pasca
konflik tersebut seseorang mungkin bisa terganggu atau trauma
akibat perlakuan yang tidak pernah dialami sebelumnya dan tidak mau
mengalaminya lagi. Sedangkan primordialisme yaitu suatu paham yang
menganggap bahwa kelompoknya lebih tinggi dan lebih hebat dari
kelompok lain. Primordialisme tertuju kepada pemikiran suatu
kelompok terhadap kelompok lain. Paham tersebut mengakibatkan
anggota-anggotanya lebih menghormati kelompoknya sendiri
dibandingkan dengan kelompok lain. Primordialisme dapat berdampak
positif dan juga dapat berdampak negatif. Dampak positifnya, lebih
mengeratkan hubungan antar anggota-anggotanya dan dampak
negatifnya, melihat kelompok lain lebih rendah dan hina dihadapan
mereka, serta segala halnya harus seperti yang mereka lakukan.
Konflik tersebut seharusnya dapat diatasi bila kita sadar dan
saling menghormati satu sama lain serta menjaga agar tidak terjadi
konflik yang berkelanjutan demi keutuhan hidup yang tentram dan
damai.Isu-isu SARA yang saat ini sedang menjadi perbincangan di
kalangan publik tentang maraknya paham-paham sesat yang sangat
meresahkan bahkan sampai kasus penistaan agama yang dilakukan oleh
salah satu ormas agama tertentu tehadap agama lain sangat
mengganggu ketentraman kehidupan berbangsa dan bernegara kita. Bila
kita bertolak dari dasar Negara kita yaitu Pancasila sebagai
Pandangan hidup bangsa Indonesia khususnya sila pertamaKetuhanan
Yang Maha Esatelah dijelaskan secara gamblang bahwa setiap
warganegara Indonesia diwajibkan memeluk agama yang telah ada untuk
diyakini. Dalam pengertian inilah maka Negara menegaskan dalam
Pokok Pikiran ke IV UUD 1945 bahwaNegara berdasar atas Ketuhanan
yang Maha Esa atas dasar Kemanusiaan yang Adil dan Beradab.Pada
proses reformasi dewasa ini di beberapa wilayah Negara Indonesia
terjadi konflik sosial yang bersumber pada masalah SARA khususnya
masalah agama. Hal ini menunjukkan kemunduran bangsa Indonesia
kearah kehidupan beragama yang tidak berkemanusiaan dan betapa
melemahnya toleransi kehidupan beragama yang berdasarkanKemanusiaan
yang Adil dan Beradab.Dengan semangat saling menghormati perbedaan
keyakinan, toleransi beragama dan tenggang rasa tentu kita bisa
mewujudkan suasana kehidupan yang harmonis dan penuh kerukunan
menuju Indonesia yang Merdeka seutuh-utuhnya.Masyarakat Indonesia
yang majemuk ditandai dengan beragamnya suku bangsa, agama, ras dan
antargolongan (SARA), pada dasarnya merupakan masyarakat yang
rentan akan konflik (Al Hakim, 2002: 68). Keberagaman merupakan
suatu ciri khas bagi bangsa Indonesia. Karena dengan adanya
keberagaman tersebut Indonesia menjadi kaya akan budaya. Namun,
tingkat keberagaman yang tinggi mengakibatkan antara kelompok
masyarakat yang satu dengan kelompok yang lainnya memiliki
pandangan yang berbeda-beda.2.4. Kemampuan dan Kesadaran Masyarakat
dan Pemerintah dalam Mengelola Perbedaan-perbedaan SARA
2.4.1. Kemampuan Dan Kesadaran Masyarakat Dalam Mengelola
Perbedaan SARA (Suku, Agama, Ras Dan Antar Golongan)
Perbedaan perbedaan SARALima tahun lebih negeri ini terperangkap
dalam jeratan krisis multidimensi. Krisis yang telah medegradasikan
secara menyeluruh kualitas hidup bangsa, tanpa ada kepastian kapan
akan berakhir. Ironisnya, menurut Musa Asyarie (Kompas, 4/4/2001)
jeratan itu makin kencang, karena ternyata kita tetap didera oleh
berbagai konflik kekerasan antar kelompok dan etnis dan juga agama
(dimensi SARA; Suku, Agama, Ras, Antar-Golongan), yang meminta
korban sangat besar, baik harta, nyawa, harga diri maupun semangat
hidup.
Disadari bahwa konflik-konflik berdimensikan SARA tersebut tidak
saja sulit diredakan secara tuntas. Berbagai upaya penyelesaian
konflik yang berdimensikan SARA selalu saja menyisakan berbagai
endapan masalah. Alih-alih dapat dihentikan, justru semakin
memberikan bukti bahwa keragaman yang seharusnya bermakna sebagai
uniting factor (factor pemersatu) ternyata lebih mengedepan warna
deviding factor (factor pemisah). Keragaman kebudayaan bangsa ini
dalam kenyataannya memiliki potensi konflik. Keragaman kebudayaan
menjadi ibarat bakal janin yang bayinya adalah (fenomena)
konfliktual.Fenomena konfliktual tersebut seolah menjadi realitas
dalam kehidupan berbangsa kita. Tidak saja sulit dihentikan
melainkan semakin meluas dan sanggup meluluhlantakan nilai-nilai
kemanusiaan dan kebangsaan kita. Belum selesai tragedi Ambon,
Papua, Aceh serta Sambas, kini telah muncul lagi konflik di Poso
dengan katalisator yang seolah sama, yaitu SARA. Hal ini
menunjukkan betapa peristiwa konflik awal seperti di Ambon, tidak
dianggap sebagai pengalaman buram untuk segera ditinggalkan, tetapi
malah menjadi inspirasi lahirnya peristiwa-peristiwa serupa di
tempat lain.
Kekerasan demi kekerasan tidak kunjung selesai. Ironisnya,
kekerasan di negeri ini penuh dengan keterlibatan-keterlibatan
ornamen kebudayaan juga agama, baik berupa lambang-lambang bahasa
untuk menyemangati kobaran perang, maupun berupa barang-barang
fisik seperti pakaian dan atribut khas kelompok umat beragama
ataupun identitas kebudayaan lain. Ornamen-ornamen itu, yang semula
sakral, sejuk, dan mengesankan kedamaian, berubah kesannya menjadi
profan, panas, ganas, dan bernuansa permusuhan (Benny Susetyo,
Kompas, 16/11/2001). Itu baru lambang-lambang. Soal lain, seperti
sikap, tingkah laku nyata dan juga relasi antar agama maupun budaya
tidak terkatakan- juga telah berkembang menjadi katalisator
permusuhan.Hampir dapat dipastikan, negeri yang terdiri dari ribuan
kebudayaan dan ratusan bahasa ini adalah negeri yang belum selesai
berproses menjadi sebuah bangsa. Sebuah bangsa yang di dalamnya
hidup berbagai kebudayaan, etnisitas, suku, bahasa dan agama.
Realitas keragaman ini menjadi karakteristik bagi negeri ini untuk
mengukuhkan identitas kulturalnya sebagai negara bangsa. Sebagai
bangsa yang menjadi ruang bagi hidup dan berkembangnya kebersamaan
dalam keragaman. Inilah kesadaran multicultural. Kesadaran yang
tidak cukup hanya berbekal pada pengetahuan bahwa masyarakat kita
memang masyarakat multikutural.. Kesadaran ini menuntut pemahaman
mendasar bahwa multiculturalisme adalah keniscayaan keindahan
peradaban. Kesadaran ini tidak serta merta dilahirkan, melainkan
seharus diciptakan melalui berbagai dialog dalam keterbukaan.
Faktor pendidikan tampaknya menjadi salah satu alat potensial bagi
upaya memberikan kesadaran multikultural bagi masyarakat.Mengelola
Multikultural: Dari Konfrontasi ke Dialog
Fenomena konfliktual yang melanda negeri ini, dalam banyak hal
sering mengedepankan berbagai bentuk perbedaan budaya dan agama
(baca: SARA) sebagai salah satu penyebabnya. Konflik yang
berdimensikan SARA tersebut, sejak beberapa tahun belakangan telah
cukup mengubah citra negeri ini secara mendasar. Kebanggaan atas
citra sebagai negeri yang sanggup mengelola berbagai perbedaan;
dari soal budaya sampai agama, menjadi faktor utama integrasi
bangsa, kini mulai mengalami pergeseran. Semangat bertanah air satu
tanah Indonesia, berbangsa satu, bangsa Indonesia dan berbahasa
satu, bahasa Indonesia, yang sejak tahun 1928 dipancangkan sebagai
simcol nasionalisme, satu persatu dipertanyakan keampuhannya.Dalam
konteks kehidupan kebangsaan, konflik atas nama SARA adalah
representasi dari kegagalan kita untuk mengelola pluralitas menjadi
kekuatan (uniting factor) integrasi bangsa. Apa yang terjadi di
beberapa daerah konflik sesungguhnya mencerminkan betapa pluralitas
tidak lagi sebagai uniting factor melainkan telah menjadi deviding
factor (faktor pemisah). Padahal keragaman kebudayaan dan agama
merupakan situasi khas dan unik, yang menambah mozaik kebangsaan
ini menjadi lebih menarik untuk dinikmati.
Prinsip Bhineka Tunggal Ika dalam ideologi negara merupakan
bukti betapa bangsa ini sangat menghargai tumbuh kembangnya
keragaman kebudayaan dan agama. Indonesia, melalui prinsip
tersebut, adalah ruang yang kondusif untuk hidup berdampingan
secara damai dan terjalinnya relasi yang saling menghargai satu
sama lain berbagai bentuk pluralitas. Tapi, konflik-konflik
bernuansakan SARA telah membuat ruang tersebut menjadi tempat yang
menakutkan, karena dipenuhi dengan berbagai ancaman dan kebencian
satu sama lain. Ia telah menjadi ruang untuk slaing mencurigai,
memusuhi dan membenci segala sesuatu yang berbeda dengan kita
(baca: identitas masing-masing).Realitas ini jelas menakutkan dan
mencemaskan kehidupan kebangsaan kita. Fenomena tersebut menjadi
sebuah ancaman serius dalam penguatan identitas kebangsaan masa
depan, karena basis utama dari konstruksi kebangsaan ini, justru
dikembangkan dari adanya pluralitas. Menurut Th. Sumartana (dalam
Th. Sumartana, dkk, 2001; 89), basis paling dasar dari kehidupan
bangsa Indonesia terletak pada SARA. SARA adalah biji (seed) atau
benih (embrio) yang melahirkan Indonesia. Di manapun kita mencari
identitas asli bangsa ini, akan bertemu dengan kenyataan yang
berupa kelompok suku, komunitas agama, kepelbagaian ras dan
pluralisme dari golongan-golongan profeso, ideologi, kelas-kelas
ekonomi, dan lain-lain, yang beranekaragam.
Pengelolaan atas keragaman budaya (multikultural) kemudian
menjadi prasyarat bagi penguatan identitas kebangsaan secara lebih
kondusif. Artinya, apakah identitas kebangsaan dapat dipertahankan
atau tidak sangat tergantung atas pengelolaan keragaman yang tumbuh
dan berkembang di Indonesia. Pengelolaan tersebut tidak hanya
terletak pada kepentingan negara (state), melainkan juga harus
menjadi tanggungjawab (kepentingan) masyarakat (society). Hal ini
berkaitan dengan suatu kenyataan, betapa konflik-konflik yang
berdasarkan latarbelakang keragaman, seringkali terjadi secara
rigid dalam masyarakat yang majemuk, yang tidak memiliki kesadaran
atas pluralitas tersebut. Ketidaksadaran tersebut menjadikan
masyarakat (golongan) yang satu akan menganggap yang lain sebagai
the other (yang lain); sebagai musuh yang harus dicurigai.
Ketidasadaran atas keragaman ini memunculkan kebencian satu sama
lain, yang berakibat pada instabilitas kehidupan berbangsa,
bernegara dan bermasyarakat.
Selama ini bangsa ini terjebak pada simbolitas nasionalisme
dengan Bhineka Tunggal Ika-nya. Simbol ini tentunya berpijak pada
realitas keberagaman kebudayaan yang kalau dibiarkan dan tidak
dikelola menjadi kekuatan awal yang sanggup mencabik-cabik
kehidupan berbangsa dan bernegara. Konsep Bhineka Tunggal Ika
(seharusnya) adalah semangat untuk hidup berdampingan secara damai
dalam ruang yang bernama Indonesia. Sayangnya, konsep ini kemudian
menjadi alat efektif bagi kekuatan-kekuatan yang berkuasa untuk
mematikan keragaman melalui semangat penyeragaman. Lahirnya
kebudayaan nasional, lahirnya bahasa nasional dan bahkan lahirnya
kepribadian nasional adalah salah satu proyek yang selalu
dihembuskan oleh kekuasaan. Dengan dalih mengedepankan kepentingan
nasional di atas kepentingan multikultural, maka negara mulai
menciptakan homogenitas kebudayaan. Homogenitas kebudayaan menjadi
satu-satunya realitas kebudayaan kita. Kebudayaan yang heterogen
sifatnya menjadi terpasung. Meskipun ia ada, tidak boleh mereduksi
kebudayaan nasional yang dibentuk oleh kekuasaan. Karena dibentuk
oleh kekuasaan, maka kebudayaan tidak lagi bermakna. Dalam
terminologi ini Faruk (dalam Th. Sumartana, 2001: 14) mulai
menyebut bahwa keanekaan Indonesia kemudian dikenali, diakui dan
dikukuhkan di dalam Undang-Undang Dasar 1945 yang menjadi pedoman
kehidupan bangsa Indonesia secara menyeluruh dan berlaku hingga
saat ini. Sebagai realisasi dari rumusan abstrak pengenalan,
pengakuan dan pengukuhan keanekaan itu, dibangun berbagai program
pendokumentasian sebagaimana yang tampak dalam berbagai program
pembangunan di masa Orde Baru. Di lingkungan perguruan tinggi,
terutama studi antropologi, telah dihasilkan sebuah buku suntingan
Koentjaraningrat yang berjudul Kebudayaan Indonesia. Buku ini
berisi himpunan karangan dan penelitian mengenai aneka budaya
Indonesia yang kemudian menjadi referensi (utama) tentang
kebudayaan Indonesia.
Akhirnya, yang muncul adalah keanekaan kebudayaan Indonesia itu
kemudian dibayangkan dari satu komunitas etnis sebagai yang
mandiri, utuh dan karenanya meminjam istilah Faruk- dianggap
statis. Aneka kebudayaan itu tidak dipahami sebagai dan dilepaskan
dari proses kehidupan, baik proses yang diakibatkan oleh dinamika
internal komunitas itu sendiri, maupun persentuhannya dengan
berbagai komunitas dan kebudayaan yang ada di luarnya. Seolah
ketika berbicara tentang (bagian) kebudayaan Indonesia, misalnya
kebudayaan Jawa, selalu dipahami sebagai sesuatu yang seakan telah
sempurna dalam dirinya, mandiri, utuh dan statis (Faruk, 2001:
15).Implikasi logisnya menurut Faruk (2001: 15) adalah ketika
kebudayaan setiap komunitas itu dipahami sebagai sesuatu yang
mandiri, utuh, murni, cutra yang terbangun pada akhirnya adalah
sebuah pluralitas budaya yang terpisah satu sama lain. Cara pandang
ini pada gilirannya akan membentuk sebuah pengakuan dan pengukuhan
terhadap keterpisahan antar budaya. Konsep nasionalisme atau
taruhlah kebudayaan nasional jika menggunakan sudut pandang
tersebut- hanya akan menjadi proyek penyeragaman (monokultural)
yang tidak menghargai keragaman (multikultural) yang senantiasa
berdialog, bersetubuh secara dinamis satu sama lainnya.
Memaknai kebudayaan sebagai sesuatu yang mandiri, utuh dan
statis sesungguhnya mereduksi makna kebudayaan sebagai proses
kemanusiaan. Artinya, sebagai proses kemanusiaan, kebudayaan
dimanapun, kapanpun selalu mengalami perubahan da perkembangan
secara kontinue. Bahkan bisa jadi ia menjadi sekedar fosil pada
saatnya. Itulah sebabnya, keinginan untuk menyatukan kebudayaan
tanpa dibarengi dengan kesadaran multikultural sifatnya tidak
permanen. Karena yang terjadi kemudian adalah (kita) hanya seolah
menghimpun kebudayaan dalam satu simbol kebudayaan nasional. Proyek
penyatuan yang sesungguhnya memisahkan.Kesadaran multikultural
seharusnya dibentuk melalui keterbukaan bersama. Bahwa keragaman
adalah realitas sejarah peradaban. Terminologi multi pada dasarnya
memberikan aksentuasi keunikan dan keindahan peradaban. Dengan kata
lain, seluruh aspek kehidupan manusia telah dipertimbangkan dan
diperlukan untuk menjadi pernik dalam keindahan peradaban. Minimal
menjadi bagian dari keunikan kebangsaan Indonesia. Dunia dibangun
di atas spesialisasi dalam seluruh aspek yang saling melengkapi dan
saling menyempurnakan. Dunia meminjam terminologi Ruslani (dalam
Muhidin, 2001: 145) seperti sebuah hutan yang berisi beragam flora
dan fauna yang saling melengkapi.
Mengelola multikulturalisme dalam kehidupan berbangsa kita
tampaknya harus disandarkan pada kesadaran logis yang didasari
pertimbangan-pertimbangan ilmiah. Pendasaran itu penting, karena
masyarakat kita perlu diberikan suatu pemahaman objektif tentang
multikultural sebagai keniscayaan sejarah yang muncul secara
alamiah. Kondisi-kondisi objektif tentang keragaman kebudayaan
harus mulai dikenalkan. Bahwa ada kondisi objektif yang memang
membedakan, tetapi semuanya tidak mempertengkan. Kebersamaan
dibangun karena memang ada perbedaan. Bukankah perbedaan tidak
boleh dimaknai sebagai pertentangan ? Inilah kesadaran
multikultural yang dikembangkan melalui dialog bukan melalui
konfrontasi. Inilah yang dimaknai sebagai keindahan peradaban
sebagai sebuah bangsa.
2.4.2. Kemampuan Dan Kesadaran Pemerintah Dalam Mengelola
Perbedaan SARA (Suku, Agama, Ras Dan Antar Golongan)
Masyarakat Indonesia sangat beragam dan tinggal di wilayah
pulau-pulau yang tersebar berjauhan. Dalam Deklarasi Djoeanda laut
Indonesia seluas 5,8 km2, di dalamnya terdapat lebih dari 17.500
pulau besar dan kecil dan dikelilingi garis pantai sepanjang lebih
dari 80.000 km, yang merupakan garis pantai terpanjang di dunia
setelah Kanada (Prakoso B.P., 2008: 1). Hal ini menyebabkan
interaksi dan integrasi tidak selamanya dapat berjalan lancar.
Demikian pula kemajuan ekonomi sulit merata, sehingga terdapat
ketimpangan kesejahteraan masyarakat, ini sangat rentan sebagai
awal rasa ketidakpuasan yang berpotensi menjadi konflik.
Kondisi tersebut di atas dilengkapi pula dengan sistem
pemerintahan yang kurang memperhatikan pembangunan kemanusiaan pada
era terdahulu, kebijakan negara Indonesia didominasi oleh
kepentingan ekonomi dan stabilitas nasional. Sektor pendidikan
politik dan pembinaan bangsa kurang mendapat perhatian. Pada saat
itu, masyarakat takut berbeda pandangan, sebab kemerdekaan
mengeluarkan pendapat tidak mendapat tempat; kebebasan berpikir
ikut terpasung; pembinaan kehidupan dalam keragaman nyaris berada
pada titik nadir.Gerakan reformasi Mei 1998 untuk
mentransformasikan otoritarianisme Orde Baru menuju transisi
demokrasi sebaliknya telah menyemaikan berkembangnya kesadaran baru
tentang pentingnya otonomi masyarakat sipil yang oleh Esktrand
(dalam Nasikun, 2005) disebut sebagai perspektif multikulturalisme
radikal (radical multicularism) sebagaimana yang kini telah
diakomodasi oleh Undang-Undang Sisdiknas. Di dalam konteks
perkembangan sistem politik Indonesia saat ini, pilihan perspektif
pendidikan yang demikian memiliki peluang dan pendidikan
multikultural justru sangat diperlukan sebagai landasan
pengembangan sistem politik yang kuat. Pendidikan multicultural
sangat menekankan pentingnya akomodasi hak setiap kebudayaan dan
masyarakat sub-nasional untuk memelihara dan mempertahankan
identitas kebudayaan dan masyarakat nasional.BAB III
PENUTUP
3.1. KesimpulanMasyarakat Indonesia yang bersifat pluralitas
ditandai oleh berbagai faktor, yang antara lain oleh perbedaan suku
bangsa, agama, ras/etnis. Dan antar golongan. Sebagai konsekuensi
masyarakat yang pluralitas, masyarakat Indonesia secara cultural
memiliki kebudayaan lokal yang beranekaragam. Kondisi demikian,
boleh jadi melahirkan berbagai wawasan lokal yang berkembang di
berbagai daerah nusantara, yang digunakan dalam membangun wawasan
nasional.Persoalan yang berkaitan dengan SARA (suku, agama, ras,
dan golongan), hendaknya dipandang positif sebagai energi demokrasi
atau kemajemukan masyarakat Indonesia. Manajemen konflik yang
timbul dari perbedaan SARA, harus dipahami secara kritis agar tidak
menimbulkan diintegrasi bangsa.
Oleh karena itu, bangunan wawasan kebangsaan yang dipetakan dari
keanekaragaman wawasan lokal dan SARA di Indonesia, akan menentukan
bagi keberhasilan upaya integrasi nasional dan sekaligus dalam
pemaknaan bagi paham kebangsaan (nasionalisme) Indonesia.
3.2. Saran3.2.1. Bagi Dosen
1) Mengevaluasi hasil kerja kelompok yang telah dipresentasikan
di kelas.2) Memberikan kritik, saran yang membangun kepada
mahasiswa yang telah melakukan presentasi.3.2.2. Bagi Mahasiswa1)
Dapat mengamalkan nilai-nilai positif yang terkandung dalam
perbedaan pendapat masyarakat SARA guna untuk memperkuat ketahanan
nasional.
3.2.3. Bagi Pemerintah 1) Mengambil langkah positif dalam
menangani masyarakat yang multicultural di Indonesia.
2) Mampu mendengarkan, mengelola, dan menyalurkan aspirasi
masyarakat demi tercapainya tujuan nasional.
3.2.4. Bagi Masyarakat Indonesia
1) Melakukan hal-hal yang positif untuk menciptakan ketahanan
nasional.2) Membina perbedaan pendapat yang terjadi antar suku,
ras, ras/etnis, dan antar golongan (SARA) yang terjadi di
Indonesia, sehingga tidak merugikan dan mengancam persatuan dan
kesatuan bangsa.DAFTAR RUJUKANAl-Hakim, Suparlan.2012. Pendidikan
Kewarganeraan dalam Konteks Indonesia. Malang. Penerbit Universitas
Negeri Malang.Ley, C. 1997. Nasionalisme. Dalam Wawasan Kebangsaan
. (Halaman 33-48). Jakarta:Penerbit Badan Pendidikan dan Pelatihan
Departemen Dalam Negeri.
Nugroho, H. 1997. Pemahaman Kritis SARA dan Kemajemukan
Masyarakat Indonesia. Dalam Wawasan Kebangsaan. (Halaman 49-66).
Jakarta. Penerbit Badan Pendidikan dan Pelatihan Departemen Dalam
Negeri.
Ali, F.1997. Budaya Lokal di Indonesia. Dalam Aspirasi Budaya
Lokal dalam Konteks Negara Kesatuan. (Halaman 1-34). Jakarta:
Penerbit Badan Pendidikan dan Pelatihan Departemen Dalam
Negeri.
Mulyana, D., dan Jalaluddin, R. (Penyunting).1993.Komunikasi
Antar Budaya. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.Kleden, I.1987. Sikap
Ilmiah dan Kritik Kebudayaan. Jakarta: LP3ES.
Nasikun. 1993. Sistem Sosial Indonesia. Jakarta: Penerbit PT
Raja-Grafindo Persada._______. 2011. Pengertian Wawasan Nasional.
http://id.shvoong.com/social-sciences/political-science/2203413-pengertian-wawasan-nasional/#ixzz2fWSvj3St.
Diakses tanggal 21 September 2013.Mery , Diana. 2013. Konflik Sara
Sebagai Pemicu Retaknya Ketahanan Nasional di Bidang Ideologi.
http://yumi-midori.blogspot.com/2013/04/konflik-sara-sebagai-pemicu-
retaknya.html. Di akses tanggal 20 September 2013.
___________. ____. PENGERTIAN SARA (SUKU, AGAMA, RAS DAN
ANTARGOLONGAN).
http://www.bangmu2.com/2013/07/pengertian-sara-suku-agama-ras-dan.html.
Di akses tanggal 20 September 2013.___________. 2013. HUBUNGAN
ANTARA KONFLIK SARA (SUKU, AGAMA, RAS DAN ANTAR GOLONGAN) DENGAN
PAHAMPRIMORDIALISM.
http://raid32.wordpress.com/2013/01/14/hubungan-antara-konflik-sara-suku-agama-ras-dan-antar-golongan-dengan-paham-primordialisme-2/.
Di akses tanggal 20 September 2013.___________. 2011. SARA (suku,
agama, ras, dan antar golongan).
http://destikamirza.blogspot.com/2011/04/sara-sukuagamarasdan-antar-golongan.html.Di
akses tanggal 20 September
2013.PENDIDIKAN_MULTIKULTURAL_DALAM_PLURALISME_BANGSA.pdf . Diakses
pada tanggal 21 September
2013.MEMAHAMI_KEMAJEMUKAN_MASYARAKAT_INDONESIA.pdf. Diakses pada
tanggal 22 September 2013.
Sumarhaen Yanto , Sigit..2010. Pendidikan Wawasan Kebangsaan.
(Online).
http://sigitmarhaen.blogspot.com/2009/08/pendidikan-wawasan-kebangsaan.html
Diakases pada tanggal 21 September 2013.
Rizka.2013. Wawasan Kebangsaan dan Integrasi Nasional. (Online).
http://rizkaaiuflowersblog.blogspot.com/2013/02/800x600-normal-0-false-false-false-in-x.html.
Diakases pada tanggal 21 September 2013.
Listiyono. Pendidikan Realitas Sosial dan Ketidaksadaran
Masyarakat Multikultural . (online). http://
listiyono-fib.web.unair.ac.id/artikel_detail-73083-pendidikanpendidikan,%20Realitas%20Sosial%20%20dan%20Ke(tidak
) sadaran%20(Bersama)%20Multikultural%20.html. Diakses pada tanggal
22 September 2013.
18