KEKUATAN PEMBUKTIAN VISUM ET REPERTUM DALAM TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN YANG DILAKUKAN SUTRISNO (Tinjauan Yuridis Terhadap Putusan No :179/Pid.B/2013/PN.Kdr.) SKRIPSI Disusun Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman Disusun Oleh : VERONIKA RUKMANA E1A109085 KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN FAKULTAS HUKUM PURWOKERTO 2014 ii
127
Embed
KEKUATAN PEMBUKTIAN VISUM ET REPERTUM …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/VERONIKA RUKMANA... · 1. Kepada Andreas Nugroho Biantara selaku pimpinan Indra Car Audio,
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
KEKUATAN PEMBUKTIAN VISUM ET REPERTUM DALAM TINDAK
PIDANA PENGANIAYAAN YANG DILAKUKAN SUTRISNO
(Tinjauan Yuridis Terhadap Putusan No :179/Pid.B/2013/PN.Kdr.)
SKRIPSI
Disusun Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum
Universitas Jenderal Soedirman
Disusun Oleh :
VERONIKA RUKMANA
E1A109085
KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS HUKUM
PURWOKERTO
2014
ii
LEMBAR PENGESAHAN ISI DAN FORMAT
SKRIPSI
KEKUATAN PEMBUKTIAN VISUM ET REPERTUM DALAM TINDAK
PIDANA PENGANIAYAAN YANG DILAKUKAN SUTRISNO
(Tinjauan Yuridis Terhadap Putusan No :179/Pid.B/2013/PN.Kdr.)
Oleh :
VERONIKA RUKMANA
E1A109085
Diterima dan Disahkan
Pada Tanggal, 19 February 2014
iii
PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI
Yang bertanda tangan di bawah ini :
Nama : Veronika Rukmana
NIM : E1A109085
SKS : 2009
Program Studi : Ilmu Hukum
Bagian : Hukum Acara Pidana
Menyatakan dengan sebenarnya bahwa skripsi ini benar-benar merupakan hasil
karya saya, bukan merupakan pengambil alihan tulisan atau pikiran orang lain yang saya
akui sebagai tulisan atau pikiran saya.
Apabila dikemudian hari terbukti atau dapat dibuktikan bahwa skripsi ini hasil
jiplakan, maka saya bersedia menerima sanksi sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Purwokerto, 19 February 2014 Yang Membuat Pernyataan, Veronika Rukmana E1A109085
iv
MOTO PENULIS
Apapun tugas hidup anda, lakukan dengan baik. Seseorang semestinya melakukan
pekerjaannya sedemikian baik sehingga mereka yang masih hidup, yang sudah mati,
dan yang belum lahir tidak mampu melakukannya lebih baik lagi.
v
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Tuhan YME atas segala rahmat dan anugerah-Nya sehingga
penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul : KEKUATAN PEMBUKTIAN
VISUM ET REPERTUM DALAM TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN YANG
DILAKUKAN SUTRISNO (Tinjauan Yuridis Terhadap Putusan No
:179/Pid.B/2013/PN.Kdr.)
Skripsi ini merupakan salah satu persyaratan dalam memperoleh gelar Sarjana
Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman .Berbagai kesulitan dan
hambatan penulis hadapi dalam penyusunan skripsi ini. Namun berkat bimbingan,
bantuan dan moril serta pengarahan dari berbagai pihak, maka skripsi ini dapat
diselesaikan dengan baik. Oleh karena itu, penulis ingin menyampaikan terimakasih yang
tulus kepada:
1. Dr. Angkasa,SH,M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Jenderal
Soedirman;
2. Handri Wirastuti Sawitri,S.H.,M.H. selaku Dosen Pembimbing I atas segala arahan
dan masukan untuk skripsi ini;
3. Pranoto,S.H.,M.H selaku Dosen Pembimbing II atas segala arahan dan masukan
untuk skripsi ini;
4. Dr Hibnu Nugroho, S.H., M.H.selaku Dosen penguji atas semua masukan dan ilmu
yang berharga untuk penulis;
5. Kepada kedua orang tua saya Dedy Hardoyo (Liem Kok Yung) dan Agustin Sri
Handayani yang telah memberi motivasi dan dukungan saya untuk lulus;
vi
6. Kepada kedua kakak saya Yohanes Tri Setiawan dan Immanuel Kurniawan yang
selalu membantu dalam kesulitan dalam penulis;
Penelitian ini tentunya masih jauh dari kesempurnaan. Meskipun demikian,
penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat bagi kita semua.
Purwokerto, 19 Februari 2014
Veronika Rukmana
vii
PERSEMBAHAN
1. Kepada Andreas Nugroho Biantara selaku pimpinan Indra Car Audio, yang selalu
memberikan toleransi waktu dan dukungan kepada penulis;
2. Dimas Fadjrian, yang telah memberikan dukungan, dan menjadi penyemangat serta
senantiasa mendampingi penulis selama menyelesaikan skripsi ini;
3. Elisabeth astri Purani, dan teman-teman lain yang telah memberikan dukungan , saran
dan semangat untuk penulis menyelesaikan skipsi ini;
4. Pegawai/ Staf Akademik Fakultas Hukum Universitas Jendral Sudirman Purwokerto
atas bantuannya selama perkuliahan hingga penulisan karya ini sebagai tugas akhir;
5. Semua teman-teman FH Paralel 2009, FH Paralel 2010, FH Paralel 2011 dan FH
Paralel 2012 yang selalu membantu selama perkuliahan hingga penulisan karya ini
sebagai tugas akhir;
6. Dan semua pihak yang selau mendukung saya ,yang tidak dapat saya sebutkan satu
persatu.
Purwokerto,19 Februari 2014
Veronika Rukmana
viii
DAFTAR ISI
HALAMAN SAMPUL.............................................................................. i
HALAMAN JUDUL ................................................................................. i
HALAMAN PENGESAHAN................................................................... ii
SURAT PERNYATAAN .......................................................................... iii
MOTO PENULIS...................................................................................... iv
KATA PENGANTAR............................................................................... v
PERSEMBAHAN ..................................................................................... vii
DAFTAR ISI.............................................................................................. viii
ABSTRAK ................................................................................................. ix
ABSTRACT............................................................................................... x
BAB I PENDAHULUAN
1. Latar Belakang Masalah ...................................................... 1
A. Metode Pendekatan ............................................................. 69
B. Spesifikasi Penelitian........................................................... 69
C. Sumber Data ........................................................................ 69
D. Metode Pengumpulan Data ................................................. 70
E. Metode Penyajian Data........................................................ 71
F. Metode Analisis Data .......................................................... 71
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian.................................................................... 72
B. Pembahasan ......................................................................... 84
BAB V PENUTUP
A. Simpulan.............................................................................. 111
B. Saran .................................................................................... 112
DAFTAR PUSTAKA
x
ABSTRAK
Penelitian ini mengambil judul Kekuatan Pembuktian Visum Et Repertum dalam Tindak Pidana Penganiayaan yang dilakukan Sutrisno (Tinjauan Yuridis terhadap Putusan No :179/Pid.b/2013/PN.Kdr.)
Permasalahan pada penelitian ini adalah bagaimana Kekuatan Pembuktian Visum Et Repertum dalam Tindak Pidana Penganiayaan yang dilakukan Sutrisnoserta bagaimana pertimbangan hukum hakim dalam Tindak Pidana Penganiayaan yang dilakukan Sutrisno.
Untuk membahas permasalahan tersebut, maka metode yang digunakan adalah yuridis normatif, dengan sumber data berupa data sekunder. Data disajikan dalam bentuk uraian yang di susun secara sistematis dengan analisis kualitatif.
Hasil Penelitian ini Kekuatan Pembuktian Visum Et Repertum dalam Tindak Pidana Penganiayaan yang dilakukan Sutrisno (Tinjauan Yuridis terhadap Putusan No :179/Pid.b/2013/PN.Kdr.) oleh karena Visum et Repertum tersebut dibuat oleh seorang ahli, yaitu, seorang dokter pada RS BHAYANGKARA Kota Kediri, sesuai dengan pasal 187 huruf c KUHAP, maka surat bukti tersebut dapat dijadikan sebagai alat bukti yang sah sehingga mempunyai kekuatan pembuktian yang sah.
Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Pidana dalam Putusan No :179/Pid.b/2013/PN.Kdr, sudah adanya minimal dua alat bukti yaitu adanya keterangan saksi dan alat bukti surat berupa Visum et Repertum No. VER/96/V/2013/Rumkit dan juga sudah dipertimbangkan keterangan terdakwa yang mengakui perbuatannya sehingga hakim memperoleh keyakinan bahwa terdakwa sebagai pelaku tindak pidana serta Majelis Hakim juga mempertimbangkan hal-hal yang memberatkan dan meringankan terhadap terdakwa.
Kata kunci: Pembuktian, Visum Et Repertum , Penganiayaan
xi
ABSTRACT
This study takes the title Visum Et Repertum Strength of Evidence in Crime's persecution Sutrisno (Judicial Review against Decision No.: 179/Pid.b/2013/PN.Kdr.)
The problem in this study is how the Strength of Evidence Visum Et Repertum in Crime Sutrisno's persecution and how the legal reasoning of judges in Crime Sutrisno's persecution.
To address these problems, the method used is normative, the data sources in the form of secondary data. The data presented in the form of the description in the stacking systematically with qualitative analysis.
The results of this study Visum Et Repertum Strength of Evidence in Crime's persecution Sutrisno (Judicial Review of the Decision No.: 179/Pid.b/2013/PN.Kdr.) Because Visum et Repertum was made by an expert, ie, a physician the RS Bhayangkara Kediri, in accordance with article 187 c Criminal Code, the proof can be used as legal evidence that has probative force is legitimate.
Dropping Basic Considerations in Criminal Justice in Decision No: 179/Pid.b/2013/PN.Kdr, already the existence of at least two items of evidence, namely the testimony of witnesses and documentary evidence in the form of Visum et Repertum No.. VER/96/V/2013/Rumkit and also considered the testimony of the defendant confessed to the judge that the conviction gained as a criminal defendant and the judges also consider aggravating and relieve the defendant.
Keywords: Evidence, Visum Et Repertum, Persecution
xii
1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Proses pembuktian memegang peran yang sangat penting dalam
penyelesaian suatu tindak pidana dimuka persidangan pengadilan. Penerapan
hukum materil dalam kasus – kasus kongkrit yang dihadapi dipengadilan,
kasus mecerminkan atau mewujudkan keadilan prosedural disamping keadilan
substantife, artinya Hakim dalam menerapkan ketentuan hukum materil harus
berdasarkan ketentuan hukum acara pidana, oleh karena itu dikatakan bahwa
ketentuan hukum acara pidana bertujuan untuk mempertahankan hukum
pidana materil. Fungsi hukum acara pidana menurut van Bemmelen adalah :
1. Mencari dan menemukan kebenaran (materil).
2. Pemberian keputusan oleh hakim.
3. Pelaksanaan keputusan hakim.1
Berdasarkan pendapat tersebut hukum acara pidana dalam rangka
penegakan hukum pidana menduduki peran yang sangat penting dan
menentukan, khususnya dalam rangka mencari dan menemukan kebenaran
materil.
Usaha-usaha yang dilakukan untuk mencari kebenaran materiil suatu
perkara pidana dimaksudkan untuk menghindari adanya kekeliruan dalam
penjatuhan pidana terhadap diri seseorang, hal ini sebagaimana ditentukan
1Andi Hamzah,.2005. Pengantar Hukum Acara Pidana Indonesia. Jakarta: Ghalia Indonesia hal.18.
2
dalam Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Ketentuan Pokok
Kekuasaan Kehakiman Pasal 1 ayat 2 yang menyatakan
“ Mahkamah Agung adalah pelaku kekuasaan kehakiman sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”.
Dengan adanya ketentuan perundang-undangan diatas, maka dalam proses
penyelesaian perkara pidana penegak hukum wajib mengusahakan
pengumpulan bukti maupun fakta mengenai perkara pidana yang ditangani
dengan selengkap mungkin. Di dalam usaha memperoleh bukti-bukti yang
diperlukan guna kepentingan pemeriksaan suatu perkara pidana, seringkali
para penegak hukum dihadapkan pada suatu masalah atau hal-hal tertentu
yang tidak dapat diselesaikan sendiri dikarenakan masalah tersebut berada di
luar kemampuan atau keahliannya. Dalam hal demikian maka bantuan seorang
ahli sangat penting diperlukan dalam rangka mencari kebenaran materiil
selengkap-lengkapnya bagi para penegak hukum tersebut.
Menurut ketentuan hukum acara pidana di Indonesia, mengenai
permintaan bantuan tenaga ahli diatur dan disebutkan didalam KUHAP.
Untuk permintaan bantuan tenaga ahli pada tahap penyidikan disebutkan
pada Pasal 120 ayat (1) KUHAP , yaitu
“ Dalam hal penyidik menganggap perlu, ia dapat minta pendapat orang ahli atau orang yang memiliki keahlian khusus”.
Sedangkan untuk permintaan bantuan keterangan ahli pada tahap
pemeriksaan persidangan, terdapat pada Pasal 180 ayat (1) KUHAP menyatakan:
“ Dalam hal diperlukan untuk menjernihkan duduknya persoalan yang timbul di sidang pengadilan, hakim ketua sidang dapat minta keterangan ahli dan dapat pula minta agar diajukan bahan baru oleh yang berkepentingan”.
3
Mengenai keterangan ahli sebagaimana disebutkan dalam kedua pasal
KUHAP diatas, diberikan pengertiannya pada Pasal 1 butir ke-28 KUHAP,
yang menyatakan :
“Keterangan ahli adalah keterangan yang diberikan oleh seorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan”.
Terkait dengan bantuan keterangan ahli yang diperlukan dalam proses
pemeriksaan suatu perkara pidana, maka bantuan ini pada tahap penyidikan
juga mempunyai peran yang cukup penting untuk membantu penyidik mencari
dan mengumpulkan bukti-bukti dalam usahanya menemukan kebenaran
materiil suatu perkara pidana. Dalam kasus-kasus tertentu, bahkan penyidik
sangat bergantung terhadap keterangan ahli untuk mengungkap lebih jauh
suatu peristiwa pidana yang sedang ditanganinya. Kasus-kasus tindak pidana
seperti pembunuhan, penganiayaan dan perkosaan merupakan contoh kasus
dimana penyidik membutuhkan bantuan tenaga ahli seperti dokter ahli
forensik atau dokter ahli lainnya untuk memberikan keterangan medis tentang
kondisi korban yang selanjutnya cukup berpengaruh bagi tindakan penyidik
dalam mengungkap lebih lanjut kasus tersebut.
Keterangan ahli yang dimaksud yaitu keterangan dari dokter yang
dapat membantu penyidik dalam memberikan bukti. Bukti tersebut berupa
keterangan medis yang sah dan dapat dipertanggung jawabkan mengenai
keadaan korban, terutama terkait dengan pembuktian adanya tanda-tanda
kekerasan. Keterangan dokter yang dimaksudkan tersebut dituangkan secara
4
tertulis dalam bentuk surat hasil pemeriksaan medis yang disebut dengan
visum et repertum.
Visum et repertum dalam pengungkapan suatu kasus, menunjukkan
peranan yang cukup penting bagi tindakan pihak kepolisian selaku aparat
penyidik. Pembuktian terhadap unsur tindak pidana dari hasil pemeriksaan
yang termuat dalam visum et repertum, menentukan langkah yang diambil
pihak kepolisian dalam mengusut suatu kasus.
Keberadaan Visum et Repertum sungguh sangat penting, hal ini
dikarenakan ada bagian-bagian dalam hal pembuktian yang tidak dapat
dilakukan oleh penyidik khususnya penyidik Polri tanpa bantuan dari orang
yang ahli di bidangnya terutama bidang kedokteran. Sebagaimana yang kita
ketahui bersama, bidang kedokteran forensik sangat diperlukan dalam hal
tindak pidana yang berkaitan dengan tubuh, kesehatan dan nyawa manusia.
Tujuan utamanya tentu saja selaras dengan fungsi utama proses peradilan
pidana yaitu mencari kebenaran sejauh yang dapat dilakukan oleh manusia
dengan tetap menjaga dan menghormati hak dari tersangka maupun hak dari
seorang terdakwa.
Yang menjadi salah satu alat bukti dalam tindak pidana penganiayaan
iniadalah Visum Et Repertum Rumah Sakit Bhayangkara Kediri No. VER / 96
/ V/ 2013 / Rumkityang dibuat dan ditandatangai oleh dr. T Wahyudi W
Dokter Pada Rumah Sakit Bhayangkara Kediri, yang telah melakukan
pemeriksaan pada hari Selasa tanggal 28 Mei 2013 dengan hasil pemeriksaan
Kepala terdapat gigi seri pertama kiri atas lepas serta saat dilakukan
5
pemeriksaan didapatkan gigi seri pertama kiri atas lepas diduga akibat
persentuhan tumpul, oleh karena itu mendorong Penulis melakukan penelitian
dengan judul Kekuatan Pembuktian Visum Et Repertum Dalam Tindak
Pidana Penganiayaan Yang Dilakukan Sutrisno (Tinjauan Yuridis
Terhadap Putusan No:179/Pid.B/2013/PN.Kdr)
B. Rumusan Permasalahan
Berdasarkan hal-hal yang telah di uraikan di atas, maka penulis
merumuskan suatu permasalahan sebagai berikut:
1. Bagaimana kekuatan pembuktian Visum Et Repertum dalam tindak Pidana
penganiayaan yang dilakukan Sutrisno dalam Putusan Nomor:
179/Pid.B/2013/PN.Kdr?
2. Bagaimanakah pertimbangan hukum hakim dalam menjatuhkan pidana
dalam Putusan Nomor: 179/Pid.B/2013/PN.Kdr?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah :
1. Untuk mengetahui kekuatan pembuktian Visum Et Repertum dalam tindak
Pidana penganiayaan yang dilakukan Sutrisno dalam Putusan Nomor:
179/Pid.B/2013/PN.Kdr?
2. Untuk mengetahui dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana
dalam Putusan Nomor: 179/Pid.B/2013/PN.Kdr.
6
D. Kegunaan Penelitian
1. Kegunaan Teoritis
Secara teoritis penelitian ini diharapkan dapat memberikan
sumbangan pemikiran sekaligus sebagai bahan infomasi, dokumentasi
kepada kalangan akademisi dan juga masyarakat luas tentang kekuatan
pembuktian Visum Et Repertum dalam tindak Pidana penganiayaan yang
dilakukan oleh Sutrisno dalam Putusan Nomor: 179/Pid.B/2013/PN.Kdr.
2. Kegunaan Praktis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi masukan bagi aparat
penegak hukum, praktisi maupun akademisi dalam rangka memberi
pengetahuan tentang kekuatan pembuktian Visum Et Repertum dalam
tindak Pidana penganiayaan yang dilakukan Sutrisno dalam Putusan
Nomor: 179/Pid.B/2013/PN.Kdr.
7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian Hukum Acara Pidana
Hukum acara pidana tidak dapat dilepaskan dari hukum pidana, karena
keduanya mempunyai hubungan yang sangat erat dan saling terkait. Untuk
mengetahui arti hukum acara pidana maka harus mengetahui dahulu tentang
hukum pidana. Hukum pidana dibedakan menjadi dua, yaitu :
a. Hukum pidana materiil yang berisi petunjuk dan uraian tentang delik, peraturan tentang syarat-syarat dapat dipidananya sesuatu perbuatan, petunjuk tentang orang yang dapat dipidana dan aturan tentang pemidanaan, dan mengatur kepada siapa dan bagaimana pidana itu dapat dijatuhkan.
b. Hukum pidana formil yang mengatur bagaimana Negara melalui alat-alatnya melaksanakan haknya untuk memidana dan menjatuhkan pidana.2
Pengertian hukum acara pidana tidak secara jelas didefinisikan di
dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP),
hanya memberikan pengertian-pengertian mengenai bagian-bagian dari
hukum acara pidana, seperti penyelidikan, penyidikan, penangkapan, upaya
hukum, penyitaan, penggeledahan, dan lain-lain.
Untuk memahami apa hukum acara pidana itu, maka di bawah ini ada
beberapa definisi hukum acara pidana menurut para sarjana, diantaranya
adalah sebagai berikut :
2Andi Hamzah. Hukum Acara Pidana Indonesia (Edisi Revisi). Jakarta: Sinar Grafika. 2001. Hal. 4.
8
J. Dc Bosch Kemper3
Hukum Acara Pidana adalah sejumlah asas-asas dan peraturan-peraturan, undang-undang yang mengatur hak Negara untuk menghukum bilamana Undang-undang pidana itu dilanggar.
R. Soesilo4
Hukum Acara Pidana adalah hukum yang mengatur tentang cara bagaimana mempertahankan atau menyelenggarakan hukum pidana materiil, sehingga memperoleh kaputusan hakim dan cara bagaimana isi putusan itu harus dilakukan.
“Menurut Van Bemmelen5
Seperti yang dikutip oleh R. Atang Ranoemihardjo menyatakan bahwa kedua definisi di atas agak sempit dan kurang tepat, sebab keduanya menitikberatkan kepada cara bagaimana hukum pidana materiil harus dilaksanakan dan karenanya diabaikan tugas utama dari hukum acara pidana yaitu mencari dan mendapatkan kebenaran selengkap-lengkapnya, tentang apakah perbuatan itu terjadi dan siapakah yang dapat dipersalahkan. Jadi dapat dikatakan tidak tepat karena hukum acara pidana tidak selalu dapat melaksanakan hukum pidana materiil”.
Sedangkan menurut Van Bemmelen seperti yang dikutip Andi
Hamzah6, mengatakan bahwa pengertian Hukum Acara Pidana adalah :
“Ilmu yang mempelajari peraturan-peraturan yang diciptakan Negara, karena adanya dugaan terjadi pelanggaran Undang-Undang pidana, yaitu sebagai berikut: 1. Negara melalui alat-alatnya menyidik kebenaran; 2. Sedapat mungkin menyidik pelaku perbuatan itu; 3. Mengambil tindakan-tindakan yang perlu guna menangkap si
pembuat dan kalau perlu menahannya; 4. Mengumpulkan bahan-bahan bukti (bewijsmateriaal) yang telah
diperoleh pada penyidikan kebenaran guna dilimpahkan kepada hakim dan membawa terdakwa ke depan hakim tersebut;
3 Andi Hamzah, Bungan Rampai Hukum Pidana dan Acara Pidana, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1986,Hal 16. 4 R Soesilo, Hukum Acara Pidana (Prosedur Penyelesaian Perkara Pidana menurut KUHAP bagi penegak Hukum), Bogor: Politeria, 1982. Hal 3 5 R. Atang Ranoemihardjo. Ilmu Kedokteran Kehakiman (forensic Science). Bandung: Tarsito. 1983. Hal. 11. 6 Andi Hamzah.Opcit.Hal. 6.
9
5. Hakim memberikan keputusan tentang terbukti tidaknya perbuatan yang dituduhkan kepada terdakwa dan untuk itu menjatuhkan pidana atau tindakan tata tertib;
6. Upaya hukum untuk melawan keputusan tersebut; 7. Akhirnya melaksanakan keputusan tentang pidana dan tindakan
tata tertib”.
Definisi yang diberikan oleh Van Bemmelen7 dikatakan lebih lengkap dan tepat karena dalam definisi tersebut merinci pula substansi hukum acara pidana seperti disebutkannya tahap penyelidikan, tahap penyidikan, tahap penuntutan, sampai pada proses di pengadilan. Jadi bukan permulaan dan akhirnya saja.
Pengertian hukurn acara pidana sebagaimana dikemukakan oleh para
sarjana, pada hakekatnya tujuan yang hendak dicapai oleh ketentuan hukum
acara pidana adalah mencari dan mendapatkan kebenaran dari suatu perkara
pidana.
Menurut R. Soesilo8, tujuan dari hukum acara pidana adalah sebagai
berikut:
“Tujuan hukum acara pidana pada hakekatnya memang mencari kebenaran. Para penegak hukum mulai dari polisi, jaksa sampai pada hakim dalam menyelidiki, menuntut dan mengadili perkara senantiasa harus berdasarkan kebenaran, harus mendasarkan hal-hal yang sungguh-sungguh terjadi. Untuk itu dibutuhkan petugas-petugas yang selain berpengalaman luas, berpendidikan yang bermutu dan berotak yang cerdas, juga berkepribadian yang tangguh, yang kuat mengelakkan dan menolak segala godaan.”
B. Azas-azas Hukum Acara Pidana
Kitab Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara
Pidana (KUHAP) mengatur perlindungan terhadap keluhuran harkat serta
martabat manusia yang telah diletakkan di dalam undang-undang, baik pada
7 Andi Hamzah.Opcit.Hal. 6. 8Ibid. Hal. 19.
10
waktu pemeriksaan permulaan maupun pada waktu persidangan pengadilan.
Terdapat asas-asas dalam hukum acara pidana yang menjadi patokan hukum
sekaligus merupakan tonggak pedoman bagi instansi jajaran aparat penegak
hukum dalam menerapkan pasal-pasal KUHAP.
Makna asas-asas hukum itu sendiri merupakan ungkapan hukum yang
bersifat umum. Sebagian berasal dari kesadaran hukum serta keyakinan
kesusilaan atau etis kelompok manusia dan sebagian yang lain berasal dari
pemikiran dibalik peraturan undang-undang serta Yurisprudensi. Rumusan
pengertian asas-asas hukum yang demikian itu konsekuensinya adalah
kedudukan asas itu menjadi unsur pokok dan dasar yang penting dari
peraturan hukum.
Asas-asas penting yang terdapat dalam Hukum Acara Pidana :
a. Asas Peradilan Cepat, Sederhana dan Biaya Ringan
Asas Peradilan Cepat, Sederhana dan Biaya Ringan adalah suatu
asas dimana suatu proses peradilan diharapkan dapat dilaksanakan secara
cepat dan sederhana sehingga biayanyapun ringan, sehingga tidak
menghabiskan anggaran Negara terlalu besar dan tidak memberatkan pada
pihak yang berperkara.
Tekanan pada peradilan cepat atau lazim disebut contante justitie
semakin ditekankan dalamUndang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang
Hukum Acara Pidana (KUHAP), dalam penjelasan umum butir 3 e
dikatakan:
11
“Peradilan yang harus dilakukan dengan cepat, sederhana dan biaya ringan serta bebas, jujur dan tidak memihak harus diterapkan secara konsekuen dalam seluruh tingkat peradilan.” Penjelasan umum tersebut dijabarkan dalam banyak pasal
dalamUndang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana
ayat (4), 28 ayat (4). Umumnya dalam pasal-pasal tersebut dimuat
ketentuan bahwa jika telah lewat waktu penahanan seperti tercantum dalam
ayat sebelumnya, maka penyidik, penuntut umum dan hakim harus sudah
mengeluarkan tersangka atau terdakwa dari tahanan demi hukum. Hal ini
mendorong penyidik, penuntut umum dan hakim untuk mempercepat
penyelesaian perkara tersebut.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara
Pidana (KUHAP) Pasal 50 juga mengatur tentang hak tersangka dan
terdakwa untuk “segera” diberitahukan dengan jelas dalam bahasa yang
dimengerti olehnya tentang apa yang disangkakan kepadanya pada waktu
di mulai pemeriksaan, ayat (1), segera perkaranya diajukan ke pengadilan
oleh penuntut umum, ayat (2), segera diadili oleh pengadilan, ayat (3).
Pasal 102 ayat (1) KUHAP juga mengatakan penyelidik yang
menerima laporan atau pengaduan tentang terjadinya suatu peristiwa yang
patut diduga merupakan tindak pidana wajib “segera” melakukan tindakan
penyelidikan yang diperlukan. Selain bagi penyelidik berlaku juga bagi
penyidik dalam hal yang sama, penyidik juga harus segera menyerahkan
hasil penyidikannya kepada penuntut umum. Penuntut umumpun menurut
12
Pasal 140 ayat (1) KUHAP diperintahkan untuk secepatnya membuat surat
dakwaan. Dari pasal-pasal tersebut dapat diketahui bahwa KUHAP
menghendaki peradilan yang cepat, sederhana dan biaya ringan.
MenurutYahya Harahap9 menjabarkan mengenai asas sederhana dan biaya ringan adalah sebagai berikut : 1) Penggabungan pemeriksaan perkara dengan tuntutan ganti rugi
yang bersifat perdata oleh seorang korban yang mengalami kerugian sebagai akibat langsung dari tindak pidana yang dilakukan oleh terdakwa.
2) Pembatasan penahanan dengan memberi sanksi dapat dituntut ganti rugi pada sidang praperadilan, tidak kurang artinya sebagai pelaksana dari prinsip menyederhanakan proses penahanan.
3) Demikian juga peletakan asas diferensiasi fungsional, nyata-nyata member makna menyederhanakan penanganan fungsi dan wewenang penyidikan, agar tidak terjadi penyidikan bolak-balik, tumpang tindih atau overlappingdan saling bertentangan.
b. Asas Praduga Tak Bersalah (Presumption of innocence).
Asas Praduga Tak Bersalah (presumption of innocence) adalah asas
yang wajib menganggap bahwa setiap orang yang disangka, ditangkap,
ditahan, dituntut dan atau dihadapkan di muka sidang pengadilan tidak
bersalah sampai adanya putusan pengadilan yang menyatakan
kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum tetap.
Asas ini disebutkan dalam Pasal 8 Undang-Undang Nomor 48 Tahun
2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dan juga dalam Penjelasan Umum
butir 3 huruf c yang merumuskan :
“Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut dan atau dihadapankan di muka sidang pengadilan, wajib dianggap tidak
9 M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP (Jilid I)., Jakarta : Pustaka Kartini, 2001, Hal 54.
13
bersalah sampai adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum tetap.”
Menurut M. Yahya Harahap10 menyatakan pendapatnya yaitu :
“Asas praduga tak bersalah ditinjau dari segi teknis yuridis ataupun dari segi teknis penyidikan dinamakan “prinsip akusatur”. Prinsip akusatur menemspatkan kedudukan tersangka/terdakwa dalam setiap tingkat pemeriksaan adalah sebagai subjek, bukan objek pemeriksaan, karena itu tersangka/terdakwa harus didudukan atau diperlakukan dalam kedudukan manusia yang mempunyai harkat martabat harga diri. Sedangkan yang menjadi objek pemeriksaan dalam prinsip akusatur adalah kesalahan (tindakan pidana), yang dilakukan oleh tersangka/terdakwa. Karena itulah pemeriksaan ditujukan”.
c. Asas Oportunitas
Hukum acara pidana mengenal suatu badan yang khusus diberi
wewenang untuk melakukan penuntutan pidana ke pengadilan yang disebut
penuntut umum. Hakim tidak dapat meminta supaya suatu delik diajukan
kepadanya, jadi hakim hanya menunggu saja penuntutan dari penuntut
umum karena penuntut umum memiliki hak penuntutan, dalam hubungan
dengan hak penuntutan dikenal dua asas yaitu asas legalitas dan asas
oportunitas.
Asas Oportunitas adalah adanya hak yang dimiliki oleh penuntut
umum untuk tidak menuntut ke Pengadilan atas seseorang. Di Indonesia
wewenang ini hanya diberikan pada kejaksaan (Pasal 6 butir a dan b serta
Pasal 137 sampai dengan Pasal 144 KUHAP).
Pasal 6 butir a dan b Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang
Hukum Acara Pidana (KUHAP) menyebutkan :
10Ibid. Hal. 38.
14
a. Jaksa adalah pejabat yang diberi wewenang oleh undangundangini untuk bertindak sebagai penuntut umum sertamelaksanakan putusan pengadilan yang telah memperolehkekuatan hukum tetap.
b. Penuntut umum adalah jaksa yang diberi wewenang olehundang-undang ini untuk melakukan penuntutan danmelaksanakan penetapan hakim.
Pasal 137 sampai dengan Pasal 144 Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) menyebutkan :
Pasal 137 Penuntut umum berwenang melakukan penuntutan terhadap siapapun yangdidakwa melakukan suatu tindak pidana dalam daerah hukumnya dengan'melimpahkan perkara ke pengadilan yang berwenang mengadili.
Pasal 138 (1) Penuntut umum setelah menerima hasil penyidikan dari penyidik
segera mempelajari dan menelitinya dan dalam waktu tujuh hari wajib memberitahukan kepada penyidik apakah hasil penyidikan itu sudah lengkap atau belum.
(2) Dalam hal hasil penyidikan ternyata belum lengkap, penuntut umum mengembalikan berkas perkara kepada penyidik disertai petunjuk tentang hal yang harus dilakukan untuk dilengkapi dan dalam waktu empat belas hari sejak tanggal penerimaan berkas, penyidik harus sudah menyampaikan kembali berkas perkara itu kepada penuntut umum.
Pasal 139 Setelah penuntut umum menerima atau menerima kembali hasil penyidikan yang lengkap dari penyidik, ia segera, menentukan apakah berkas perkara itu sudah memenuhi persyaratan untuk dapat atau tidak dilimpahkan ke pengadilan.
Pasal 140 (1) Dalam hal penuntut umum berpendapat bahwa dari hasil
penyidikandapat dilakukan penuntutan, ia dalam waktu secepatnya membuat surat dakwaan.
(2) a. Dalam hal penuntut umum memutuskan untuk menghentikan penuntutan karena tidak terdapat cukup bukti atau peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana atau perkara ditutup demi hukum, penuntut umum menuangkan hal tersebut dalam surat ketetapan.
b. Isi surat ketetapan tersebut diberitahukan kepada tersangkadan bila ia ditahan, wajib segera dibebaskan.
15
c. Turunan surat ketetapan itu wajib disampaikan kepadatersangka atau keluarga atau penasihat hukum, pejabat rumah tahanan negara, penyidik dan hakim.
d. Apabila kemudian ternyata ada alasan baru, penuntut umumdapat melakukan penuntutan terhadap tersangka.
Pasal 141 Penuntut umum dapat melakukan penggabungan perkara dan membuatnyadalam satu surat dakwaan, apabila pada waktu yang sama atau hampirbersamaan ia menerima beberapa berkas perkara dalam hal: a. beberapa tindak pidana yang dilakukan oleh seorang yang sama
dankepentingan pemeriksaan tidak menjadikan halangan terhadappenggabungannya;
b. beberapa tindak pidana yang bersangkut-paut satu dengan yang lain;
c. beberapa tindak pidana yang tidak bersangkut-paut satu dengan yanglain, akan tetapi yang satu dengan yang lain itu ada hubungannya,yang dalam hal ini penggabungan tersebut perlu bagi kepentinganpemeriksaan.
Pasal 142 Dalam hal penuntut umum menerima satu berkas perkara yang memuatbeberapa tindak pidana yang dilakukan oleh beberapa orang tersangka yangtidak termasuk dalm ketentuan Pasal 141, penuntut umum dapat melakukanpenuntutan terhadap masing-masing terdakwa secara terpisah.
Pasal 143 (1) Penuntut umum melimpahkan perkara ke pengadilan negeri
denganpermintaan agar. segera mengadili perkara tersebut disertai dengansurat dakwaan.
(2) Penuntut umum membuat surat dakwaan yang diberi tanggal danditandatangani serta berisi :
a. nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama dan pekerjaan tersangka;
b. uraian secara cermat, jelas dan lengkap mengenai tindak pidanayang didakwakan dengan menyebutkan waktu dan tempat tindak pidana itu dilakukan.
(3) Surat dakwaan yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf b batal demi hukum.
(4) Turunan surat pelimpahan perkara beserta surat dakwaan disampaikan kepada tersangka atau kuasanya atau penasihat hukumnya dan penyidik, pada saat yang bersamaan dengan
16
penyampaian surat pelimpahan perkara tersebut ke pengadilan negeri.
Pasal 144 (1) Penuntut umum dapat mengubah surat dakwaan sebelum
pengadilan menetapkan hari sidang, baik dengan tujuan untuk menyempurnakan maupun untuk tidak melanjutkan penuntutannya.
(2) Pengubahan surat dakwaan tersebut dapat dilakukan hanya satu kali selambat-lambatnya tujuh hari sebelum sidang dimulai.
(3) Dalam hal penuntut umum mengubah surat dakwaan ia menyampaikan turunannya kepada tersangka atau penasihat hukum dan penyidik.
Sebagai kebalikan dari asas ini adalah asas legalitas, asas ini
mengandung arti bahwa jaksa penuntut umum tidak diwajibkan untuk
melakukan penuntutan terhadap seseorang jika kepentingan umum akan
dirugikan.
A.Z. Abidin Farid11 memberi perumusan tentang asas oportunitas
sebagai berikut :
“Asas hukum yang memberikan wewenang kepada Penuntut Umum untuk menuntut atau tidak menuntut dengan atau tanpa syarat seseorang atau korporasi yang telah mewujudkan delik demi kepentingan hukum.”
d. Asas Pemeriksaan Pengadilan Terbuka Untuk Umum
Asas Pemeriksaan Pengadilan Terbuka Untuk Umum ialah asas yang
memerintahkan bahwa dalam tahap pemeriksaan, pengadilan terbuka untuk
umum maksudnya yaitu boleh disaksikan dan diikuti oleh siapapun, kecuali
dalam perkara yang menyangkut kesusilaan dan perkara yang terdakwanya
anak-anak.
11 A.Z. Abidin Farid, Sejarah dan Perkembangan Asas Opportunitas di Indonesia, Ujung
Pandang: UNHAS, 1981. Hal. 12.
17
Asas ini terdapat dalam Pasal 153 ayat (3) Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang merumuskan
sebagai berikut :
“Untuk keperluan pemeriksaan, Hakim Ketua Sidang membuka sidang dan menyataka terbuka untuk umum kecuali dalam perkara mengenai kesusilaan atau terdakwanya anak-anak”.
Uraian di atas mengemukakan bahwa saat membuka sidang hakim
ketua harus menyatakan “sidang terbuka untuk umum”. Pelanggaran atas
ketentuan ini atau tidak dipenuhinya ketentuan ini mengakibatkan putusan
pengadilan “batal demi hukum” (Pasal 153 ayat (4) KUHAP) ada
pengecualian dalam ketentuan ini yaitu sepanjang mengenai perkara yang
menyangkut kesusilaan atau terdakwanya adalah anak-anak, yang dalam hal
ini persidangan dapat dilakukan dengan pintu tertutup.
Andi Hamzah12 berpendapat mengenai hal ini bahwa :
“Seharusnya kepada hakim diberikan kebebasan untuk menentukan sesuai situasi dan kondisi apakah sidang terbuka atau tertutup untuk umum. Sebenarnya hakim dapat menetapkan apakah suatu sidang dinyatakan seluruhnya atau sebagiannya tertutup untuk umum yang artinya persidangan dilakukan di belakang pintu tertutup. Pertimbangan tersebut sepenuhnya diserahkan kepada hakim. Hakim melakukan itu berdasarkan jabatannya atau atas permintaan penuntut umum dan terdakwa. Saksi pun dapat mengajukan permohonan agar sidang tertutup untuk umum dengan alasan demi nama baik keluarganya. Misalnya dalam kasus perkosaan, saksi korban memohon agar sidang tertutup untuk umum agar ia bebas memberikan kesaksiannya”.
e. Semua Orang Diperlakukan Sama di Depan Hukum
Asas semua orang diperlakukan sama di depan hukum maksudnya
ialah hukum tidak membeda-bedakan siapapun tersangkanya atau apapun
jabatannya dalam melakukan pemeriksaan.
12 Andi Hamzah.Opcit.Hal. 18.
18
Romli Atmasasmita13 dalam bukunya mengatakan bahwa :
“Asas persamaan di muka hakim tidak secara eksplisit tertuang dalam KUHAP, akan tetapi asas ini merupakan bagian yang tak terpisahkan dari KUHAP. Ditempatkannya asas ini sebagai satu kesatuan menunjukan bahwa betapa pentingnya asas ini dalam tata kehidupan Hukum Acara Pidana di Indonesia.”
Asas yang umum dianut di negara-negara yang berdasarkan hukum
ini tegas tercantum pula dalam Undang-Undang Pokok Kekuasaan
Kehakiman Pasal 5 ayat (1) dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981
tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dalam penjelasan umum butir 3a.
Pasal 5 ayat (1) tersebut merumuskan :
“Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan orang.”14
f. Asas Peradilan Dilakukan Oleh Hakim Karena Jabatannya dan Tetap
Asas ini berarti bahwa pengambilan keputusan salah tidaknya
terdakwa dilakukan oleh hakim karena jabatannya dan bersifat tetap.
Hakim-hakim tersebut diangkat oleh kepala negara secara tetap. Ini disebut
dalam Pasal 31 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman yang merumuskan :
“Sistem hakim yang tetap di Indonesia mengikuti sistem di negeri Belanda yang dahulu menganut sistem juri, tetapi sejak tahun 1813 dihapuskan. Sebaliknya Perancis sejak revolusi meniru sistem itu dari Inggris. Karena banyaknya kelemahan-kelemahan sistem itu maka Jerman juga tidak menganutnya.”
Menurut D. Simons15 sebagaimana dikutip dalam bukunya Andi
Hamzah, menyatakan sebagai berikut:
13 Romli Atmasasmita, Bunga Rampai Hukum Acara Pidana, Jakarta : Bina Cipta, 1983.hal.30. 14 Ibid. Hal. 20.
19
“Sistem hakim yang tetap di Indonesia mengikuti sistem di Negara Belanda yang dahulu juga menganut sistem juri pula, tetapi sejak tahun 1813 dihapuskan. Sebaliknya Perancis sejak revolusi meniru sistem itu dari Inggris. Karena banyaknya kelemahan-kelemahan sistem tersebut maka Jerman juga tidak menganutnya.”
g. Asas Tersangka / Terdakwa Berhak Mendapat Bantuan Hukum
Asas berhak mendapat bantuan hukum bagi tersangka atau terdakwa
adalah suatu upaya yang secara filosifi melindungi hak asasi manusia dari
diri tersangka maupun terdakwa dalam suatu perkara untuk memperoleh
bantuan hukum dari seorang penasehat hukum.
Ketentuan Pasal 69 sampai dengan Pasal 74 Undang-Undang Nomor
8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) diatur tentang
bantuan hukum dimana tersangka / terdakwa mendapat kebebasan-
kebebasan yang sangat luas. Kebebasan-kebebasan itu antara lain sebagai
berikut :
a.) Bantuan Hukum dapat diberikan sejak saat tersangka ditangkap atau ditahan.
b.) Bantuan hukum dapat diberikan pada semua tingkat pemeriksaan. c.) Penasihat hukum dapat menghubungi tersangka / terdakwa pada semua
tingkat pemeriksaan pada setiap waktu. d.) Pembicaraan antara penasihat hukum dan tersangka tidak didengar oleh
penyidik dan penuntut umum, kecuali pada delik yang menyangkut keamanan negara.
e.) Turunan berita acara diberikan kepada tersangka atau penasihat hukum guna kepentingan pembelaan.
f.) Penasihat hukum berhak mengirimkan dan menerima surat dari tersangka / terdakwa.16
Pembatasan-pembatasan hanya dikenakan apabila penasihat hukum
menyalahgunakan hak-hak tersebut. Kebebasan-kebebasan ini hanya dari
segi yuridis semata-mata, bukan dari segi politis, social, dan ekonomi. Segi-
segi yang disebut terakhir ini juga menjadi penghambat pelaksanaan
bantuan hukum yang merata.
Menurut Adnan Buyung Nasution17
“setiap periode sejarah dengan sistem politiknya tersendiri, telah banyak memberikan pengaruh atas masalah ini. Persoalannya bertambah rumit apabila kita melihat dari sudut ekonomi, disebabkan oleh kemiskinan yang merembes luas, tingkat tuna huruf tinggi dan keadaan kesehatan yang memburuk.”
h. Asas Akusator dan Inkisitor (Accusatoir dan Inquisitor)
Asas akusator mempunyai arti bahwa menempatkan kedudukan
Terdakwa sebagai subyek pemeriksaan, terdakwa tidak lagi dipandang
sebagai obyek. Sedangkan pemahaman dalam asas inkisitor, terdakwa
dipandang sebagai obyek pemeriksaan. Asas inkisitor ini sesuai dengan
pandangan bahwa pengakuan tersangka merupakan alat bukti terpenting,
sehingga untuk mendapatkan pengakuan dari tersangka sering digunakan
tindakan kekerasan ataupun penganiayaan.
Asas akusatoir ini telah ditunjukkan dalam Pasal 54 Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), yang berisi
ketentuan untuk memberikan kebebasan kepada tersangka maupun
terdakwa untuk mendapatkan penasehat hukumnya.
Pasal 54 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum
Acara Pidana (KUHAP) menyebutkan bahwa :
“Guna kepentingan pembelaan, tersangka atau terdakwa berhak mendapat bantuan hukum dari seorang atau lebih penasihat hukum selama dalam waktu dan pada setiap tingkat pemeriksaan, menurut tatacara yang ditentukan dalam undang-undang ini.”
17Andi Hamzah. Loc.Cit. Hal. 21.
21
Sesuai dengan hak-hak asasi manusia yang sudah menjadi ketentuan
universal, maka asas inkisitor ini telah ditinggalkan oleh banyak negeri
beradab. Hal ini terbukti dengan adanya hak memperoleh bantuan hukum
sejak awal pemeriksaan ditingkat penyidikan. Selain itu juga dibuktikan
dengan berubahnya pola sistem pembuktian di mana alat-alat bukti berupa
pengakuan diganti dengan “keterangan terdakwa”.
Dalam bukunya, Andi Hamzah18 mengatakan bahwa:
“Kebebasan memberi dan mendapatkan nasihat hukum menunjukan bahwa dengan KUHAP telah dianut asas akusator itu. Ini berarti perbedaaan antara pemeriksaan pendahuluan dan pemeriksaan sidang pengadilan pada asasnya telah dihilangkan.”
i. Asas Pemeriksaan Hakim Yang Langsung dan Lisan
Asas pemeriksaan hakim yang langsung dan lisan artinya yaitu,
dalam acara pemeriksaan pengadilan, pemeriksaan dilakukan oleh hakim
secara langsung kepada terdakwa dan saksi, ini berbeda dengan acara
perdata di mana tergugat dapat mewakili oleh kuasanya. Sedangkan arti
dari lisan sendiri yaitu pemeriksaan hakim bukan dilakukan secara tertulis
tetapi secara lisan antara hakim dan terdakwa.
Asas ini diatur dalam Pasal 153 ayat (2) dalamUndang-Undang
Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP)
menyebutkan bahwa :
a. Hakim ketua sidang memimpin pemeriksaan di sidang pengadilan yang dilakukan secara lisan dalam bahasa Indonesia yang dimengerti oleh terdakwa dan saksi.
18Andi Hamzah. Loc.Cit. Hal. 21.
22
b. Ia wajib menjaga supaya tidak dilakukan hal atau diajukan pertanyaan yang mengakibatkan terdakwa atau saksi memberikan jawaban secara tidak bebas.
Pemeriksaan di sidang pengadilan dilakukan oleh hakim secara
langsung, artinya langsung kepada terdakwa dan para saksi.Sedangkan
pemeriksaan hakim dilakukan secara lisan, artinya bukan tertulis antara
hakim dan terdakwa.
Pengecualian dari asas langsung adalah kemungkinan putusan
dijatuhkan tanpa hadirnya terdakwa, yaitu putusan verstek atau in absentia.
Bambang Poernom19 berpendapat bahwa :
“Pemeriksaan perkara pidana antara para pihak yang terlibat dalam persidangan harus dilakukan tidak secara tertulis tetapi harus dengan lisan atau satu sama lain agar dapat diperoleh keterangan yang benar dari yang bersangkutan tanpa tekanan dari pihak manapun. Tata cara pemeriksaan perkara pidana dengan mendengarkan keterangan langsung adalah memberikan kesempatan terutama kepada terdakwa untuk mengeluarkan pendapatnya atau jika perlu memberikan keterangan ingkar karena pada waktu pemeriksaan permulaan tidak bebas keterangannya yang diperiksa secara tertutup.”
C. Sistem Pembuktian dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang
Hukum Acara Pidana (KUHAP)
Pembuktian menurut kamus besar bahasa Indonesia adalah proses,
perbuatan, cara membuktian, suatu usaha menentukan benar atau salahnya si
terdakwa dalam sidang pengadilan.
Membuktikan menurut Martiman Prodjohamidjojo20 yaitu:
19 Bambang Poernomo, Pola Teori dan Asas Umum Hukum Acara Pidana, Yogyakarta: Liberty, 1985.Hal. 79. 20Martiman Prodjohamidjojo. Sistem Pembuktian dan Alat-Alat Bukti.Jakarta:Ghalia Indonesia. 1983. Hal. 12.
23
“Mengandung maksud dan usaha untuk menyatakan kebenaran adalah suatu peristiwa, sehingga dapat diterima oleh akal terhadap kebenaran peristiwa tersebut. Dalam hukum acara pidana, acara pembuktian adalah dalam rangka mencari kebenaran materiil dan KUHAP menetapkan tahapan dalam mencari kebenaran sejati yaitu melalui: 1. Penyidikan; 2. Penuntutan; 3. Pemeriksaan di persidangan; 4. Pelaksanaan, pengamatan, dan pengawasan. Sehingga acara pembuktian hanyalah merupakan salah satu fase dalam hukum acara pidana secara keseluruhan.”
1. Penyidikan Pasal 102 ayat (1) Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)
menyebutkan :
“Penyelidik yang mengetahui, menerima laporan atau pengaduan tentang terjadinya suatu peristiwa yang 'patut diduga merupakan tindak pidana wajib segera melakukan tindakan penyelidikan yang diperlukan.”
2. Penuntutan
Pasal 137 Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)
menyebutkan :
“Penuntut umum berwenang melakukan penuntutan terhadap siapapun yang didakwa melakukan suatu tindak pidana dalam daerah hukumnya dengan melimpahkan perkara ke pengadilan yang berwenang mengadili.”
3. Pemeriksaan di Persidangan
Pasal 145 ayat (1) Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)
menyebutkan :
“Pemberitahuan untuk datang ke sidang pengadilan dilakukan secara sah, apabila disampaikan dengan surat panggilan kepada terdakwa di alamat tempat tinggalnya atau apabila tempat tinggalnya tidak diketahui, disampaikan di tempat kediaman terakhir.”
24
4. Pelaksanaan, Pengawasan, dan Pengamatan Putusan Pengadilan
Pelaksanaan putusan pengadailan diatur dalam Pasal 270 Undang-
Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang menyebutkan bahwa :
“Pelaksanaan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dilakukan oleh jaksa, yang untuk itu panitera mengirimkan salinan surat putusan kepadanya.”
Pengawasan, dan pengamatan putusan pengadilan diatur dalam Pasal
277 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)
yang menyebutkan bahwa :
(1) Pada setiap pengadilan harus ada hakim yang diberi tugas khusus untuk membantu ketua dalam melakukan pengawasan dan pengamatan terhadap putusan pengadilan yang menjatuhkan pidanaperampasan kemerdekaan.
(2) Hakim sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) yang disebut hakim pengawas dan pengamat, ditunjuk oleh ketua pengadilan untuk palinglama dua tahun.
Sistem atau teori pembuktian dalam mengungkap tindak pidana di
dalam hukum acara pidana terdapat beberapa macam, antara negara yang satu
dengan yang lain berbeda-beda terutama di negara-negara Eropa Kontinental
yang dianut Belanda, Perancis, dan di Indonesia sendiri yang menekankan
pada penilaian pembuktian ada ditangan hakim berbeda dengan negara-negara
Anglo Saxon yang dianut oleh Amerika Serikat yang menggunakan sistem juri
yang menentukan salah tidaknya terdakwa sedangkan hakim hanya memimpin
sidang dan menjatuhkan pidana.
Beberapa ajaran mengenai teori atau sistem pembuktian dalam hukum
acara pidana, yaitu :
25
a. Sistem atau Teori Pembuktian Berdasarkan Undang-Undang Secara
Positif (Positive Wettelijk Bewijs Theorie)
Sistem atau teori pembuktian ini juga sering disebut dengan teori
pembuktian formal (formele bewijstheorie), teori pembuktian ini dikatakan
secara positif karena didasarkan kepada alat-alat pembuktian yang berupa
undang-undang atau peraturan tertulis yang artinya jika telah terbukti suatu
perbuatan sesuai dengan alat-alat bukti tersebut oleh undang-undang, maka
keyakinan hakim sudah tidak diperlukan lagi. Walau hakim tidak yakin
dengan kesalahan terdakwa tetapi perbuatannya sudah memenuhi syarat
dan ketentuan pembuktian menurut undang-undang maka sudah cukup
untuk menentukan kesalahan terdakwa. 21
Menurut D. Simons22seperti yang dikutip oleh Andi Hamzah:
“Sistem atau teori pembuktian berdasar undang-undang secara positif (positief wettelijk) ini berusaha untuk menyingkirkan semua pertimbangan subyektif hakim dan mengikat hakim secara ketat menurut peraturan-peraturan pembuktian yang keras. Dianut di Eropa pada waktu berlakunya asas inkisitor (inquisitoir) dalam acara pidana.”
Teori ini menekankan pada ketentuan perundangan sehingga hakim
hanya sebagai corong undang-undang yang hanya mengucapkan sesuai
dengan bunyi undang-undang yang terkait. Keuntungan dari sistem ini
adalah pembuktian bersifat obyektif yang artinya hakim wajib benar-benar
menerapkan mencari dan menemukan kebenaran mengenai salah atau
tidaknya terdakwa sesuai dengan cara pembuktian dengan alat-alat bukti
yang telah ditentukan undang-undang23.
b. Sistem atau Teori Pembuktian Berdasarkan Keyakinan Hakim Melulu
(Conviction-in Time)
M. Yahya Harahap24 berpendapat:
“Dalam sistem pembuktian berdasarkan keyakinan hakim melulu atau yang disebut juga sistem pembuktian conviction-in time, untuk menentukan salah atau tidaknya terdakwa semata-mata ditentukan oleh penilaian “keyakinan hakim”. Keyakinan hakim yang menentukan keterbuktian kesalahan terdakwa. Keyakinan diambil oleh hakim secara langsung dengan mengabaikan alat-alat bukti yang ada.”
Sistem pembuktian ini mendasarkan bahwa dalam memutus suatu
perkara pidana hakim mendasarkan pada hati nuraninya sendiri. Dalam hal
ini maka nilai pembuktian berada penuh ditangan hakim dan bersifat
subyektif karena segala sesuatunya itu hakim yang menentukan. Seorang
hakim dapat saja menjatuhkan putusan hanya dengan keyakinannya tanpa
melihat pembuktian melalui alat-alat bukti yang cukup dipersidangan
sehingga dapat timbul kemungkinan bahwa hakim dapat saja melepaskan
terdakwa dari tindak pidana yang dituduhkan kepadanya walaupun
dipersidangan telah cukup bukti kalau terdakwa benar-benar bersalah dan
hakim bisa saja memutus terdakwa bersalah atas dakwaan yang
didakwakan kepadanya walaupun dalam persidangan pembuktian
terdakwa tidak terbukti bersalah berdasarkan alat-alat bukti yang sah.
c. Sistem atau Teori Pembuktian Berdasarkan Keyakinan Hakim atas
Alasan yang Logis (Conviction Raisonee)
Sistem pembuktian berdasarkan keyakinan hakim atas alasan yang
logis hampir sama dengan teori pembuktian keyakinan melulu, akan tetapi
teori ini faktor kebebasan hakim lebih dibatasi dimana setiap keyakinan
hakim dalam memutus suatu perkara pidana harus berdasarkan alasan-
alasan yang jelas, hakim wajib menguraikan dan menjelaskan alasan-
alasan apa yang mendasari keyakinannya atas kesalahan terdakwa
sehingga bisa mengambil putusan tersebut. Keyakinan hakim harus
mendasar dengan alasan yang logis dan benar-benar dapat diterima secara
logika25.
“Sistem atau teori pembuktian atas alasan yang logis merupakan jalan tengah atau yang berdasar keyakinan hakim sampai batas tertentu ini terpecah kedua jurusan. Pertama, sistem atau teori pembuktian bebas karena hakim bebas untuk menyebut alasan-alasan keyakinannya (vreije bewijsheorie) yaitu pembuktian berdasar keyakinan hakim atas alasan yang logis (conviction raisonee) dan yang kedua teori pembuktian berdasarkan undang-undang secara negatif (negatief wettelijk bewijsteorie). Persamaan keduanya ialah keduanya sama berdasar atas keyakinan hakim, artinya terdakwa tidak mungkin dipidana tanpa adanya keyakinan hakim bahwa ia bersalah.sedangkan perbedaan keduanya adalah jika keyakinan hakim atas alasan yang logis pangkal tolaknya ada keyakian hakim sedangkan yang pembuktian berdasarkan undang-undang secara negatif pada ketentuan undang-undang. Kemudian pada yang pertama dasarnya ialah suatu konklusi yang tidak didasarkan undang-undang sedangkan pada yang kedua didasarkan kepada ketentuan undang-undang yang disebut secara limitatif.”26
d. Sistem atau Teori Pembuktian Berdasarkan Undang-Undang secara
Negatif (Negatief wettelijk)
Sistem pembuktian negatif ini merupakan gabungan dari sistem
pembuktian menurut undang-undang dengan sistem pembuktian menurut
keyakinan atau conviction in time yang kemudian menimbulkan rumusan
salah tidaknya seorang terdakwa ditentukan oleh keyakinan hakim yang
didasarkan kepada cara dan dengan alat-alat bukti yang sah menurut
undang-undang.
Untuk menentukan salah atau tidaknya seorang terdakwa menurut sistem pembuktian undang-undang secara negatif terdapat dua komponen yaitu : 1. Pembuktian harus dilakukan menurut cara dan dengan alat-alat
bukti yang sah menurut undang-undang; 2. Dan keyakinan hakim yang juga harus didasarkan atas cara dan
dengan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang. Dengan demikian, sistem ini memadukan unsur “obyektif dan subyektif” dalam menentukan salah atau tidaknya terdakwa. Tidak ada yang paling dominan di antara kedua unsur tersebu. Jika salah satu diantara dua unsur itu tidak ada, tidak cukup mendukung keterbuktian kesalahan terdakwa.27
Dapat disimpulkan bahwa hakim dalam membuat keputusan harus
didasarkan dengan alat-alat bukti dipersidangan dan dengan alat bukti
tersebut menimbulkan keyakinan hakim tentang tindak pidana tersebut.
e. Sistem Pembuktian Menurut KUHAP
Sistem pembuktian yang dianut olehUndang-Undang Nomor 8
Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) adalah sistem atau
teori pembuktian berdasarkan Undang-Undang Negatif (negatief
wettelijke). Hal tersebut dapat dilihat dalam Pasal 183Undang-Undang
27 Yahya Harahap.Op.cit. Hal.279.
29
Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang
isinya:
Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada orang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwa yang bersalah melakukannya.
Dengan demikian Pasal 183 KUHAP mengatur untuk menentukan
salah atau tidaknya seorang terdakwa dan untuk menjatuhkan pidana
kepada terdakwa, harus :
a. Kesalahannya terbukti dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah
b. Dan atas keterbuktian dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah, hakim memperoleh keyakinan bahwa tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.28
M. Yahya Harahap29 berpendapat : “Alasan pembuat undang-undang merumuskan Pasal 183 KUHAP ditujukan untuk mewujudkan suatu ketentuan yang seminimal mungkin dapat menjamin “tegaknya kebenaran sejati” serta “tegaknya keadilan dan kepastian hukum”. Dari penjelasan Pasal 183 KUHAP pembuat undang-undang telah menentukan pilihan bahwa sistem pembuktian yang paling tepat dalam kehidupan penegak hukum di Indonesia adalah sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif demi tegaknya keadilan, kebenaran, dan kepastian hukum.” Wirjono Prodjodikoro seperti yang dikutip oleh Andi Hamzah30:
“Bahwa sistem pembuktian berdasarkan undang-undang secara negatif sebaiknya dipertahankan berdasarkan dua alasan, Pertama memang sudah selayaknya harus ada keyakinan hakim tentang kesalahan terdakwa untuk dapat menjatuhkan suatu hukuman pidana, janganlah hakim terpaksa memidana orang sedangkan hakim tidak yakin atas kesalahan terdakwa. Kedua, ialah berfaedah jika ada aturan yang mengikat hakim dalam menyusun keyakinannya, agar ada patokan-patokan tertentu yang harus diturut oleh hakim dalam melakukan peradilan.”
R. Soesilo31, berpendapat bahwa sehubungan dengan masalah
kekuatan pembuktian dari alat-alat bukti yang diajukan di persidangan,
maka hakim dalam memeriksa perkara pidana dalam sidang pengadilan
senantiasa berusaha untuk membuktikan :
a. Apakah betul suatu peristiwa itu terjadi; b. Apakah betul suatu peristiwa tersebut merupakan tindak pidana; c. Apa sebab-sebabnya peristiwa itu terjadi; d. Siapakah orang yang bersalah melakukan peristiwa itu.
D. Alat-Alat Bukti Dalam KUHAP
Alat bukti yang sah dalam hukum acara pidana, diatur dalam Pasal 184
ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana
(KUHAP), yaitu:
a. Keterangan Saksi; b. Keterangan Ahli; c. Surat; d. Petunjuk; e. Keterangan terdakwa.
Dari alat bukti di atas hakim memeriksa untuk memperoleh kebenaran
materiil dari kejadian yang terjadi dan hakim tidak boleh memeriksa selain
alat bukti tersebut.
Sebagaimana yang diuraikan terlebih dahulu, Pasal 184 ayat (1)KUHAP telah menentukan secara limitatif alat bukti yang sah menurut undang-undang. Diluar alat bukti itu,tidak dibenarkan dipergunakan untuk membuktikan kesalahan terdakwa. Ketua sidang, penuntut umum, terdakwa dan penasehat hukum terikat dan terbatas hanya diperbolehkan mempergunakan alat-alat bukti itu saja. Mereka tidak leluasa mempergunakan alat bukti yang dikehendakinya diluar alat bukti yang ditentukan Pasal 184 ayat (1). Yang dinilai sebagai alat bukti, dan yang dibenarkan mempunyai kekuatan pembuktian hanya
31R. Soesilo. Hukum Acara Pidana (Prosedur Penyelesaian Perkara Pidana menurut KUHAP bagi penegak Hukum). Bogor: Politeria. 1982. Hal. 109.
31
terbatas pada alat-alat itu saja. Pembuktian dengan alat bukti diluar jenis alat bukti tersebut pada Pasal 184 ayat (1), tidak mempunyai nilai serta mempunyai kekuatan pembuktian yang mengikat.32
Tidak setiap hal harus dibuktikan dalam persidangan, Pasal 184 ayat
(2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana
(KUHAP)yang rumusan ini disebut sebagai notoire feiten notorious
(generally known) yang disebut sebagai hal yang sudah umum diketahui. Hal-
hal yang bersifat umum yang diketahui oleh setiap orang secara patut maka
tidak perlu dibuktikan. Biasanya dalam hal ini adalah berdasarkan
pengalaman setiap manusia secara umum karena hal ini sudah diketahui dan
sudah menjadi kebiasaan sehari-hari. Dari penjelasan Pasal 184 ayat
(2)Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana
(KUHAP)diterapkan :
1. Majelis hakim dapat menarik dan mengambilnya sebagai suatu kenyataan yang dapat dijadikan sebagai fakta tanpa membuktikan lagi;
2. Akan tetapi kenyataan yang diambil hakim dari notoire feiten, tidak bisa berdiri sendiri membuktikan kesalahan terdakwa. Tanpa dikuatkan oleh alat bukti yang lain, kenyataan yang ditarik dan diambil hakim adri notoire feiten tidak cukup membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa. Bukankah pada hakikatnya notoire feiten tidak tergolong alat-alat bukti yang diakui oleh undang-undang sebagaimana disebutkan secara limitatif dalam Pasal 184 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Hal yang secara umum sudah diketahui hanyalah merupakan penilaian terhadap sesuatu pengalaman dan kenyataan tertentu saja. Bukan sesuatu yang dapat membuktikan kesalahan terdakwa secara menyeluruh.33
32 M. Yahya Harahap. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP.Jakarta : Sinar Grafika. 2002. Hal.252. 33Ibid. Hal.276.
32
a. Keterangan Saksi
Menurut Pasal 1 butir (26) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981
tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) merumuskan bahwa:
“Saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidik, penuntutan dan pengadilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat, dan ia alami sendiri.”
Aturan mengenai pembuktian saksi terdapat dalam Pasal 185 ayat
1 sampai 7 KUHAP. Keterangan saksi yang dimaksud dalam Pasal 184
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana
(KUHAP) ini adalah saksi sebagai alat bukti yang dihadirkan dalam
sidang pengadilan agar hakim dapat menilai keterangan-keterangan saksi
itu, yang ditinjau dari sudut dapat atau tidak dipercaya, berdasarkan
tinjauan terhadap pribadi, gerak geriknya dan yang lain-lain.
Saksi yang dihadirkan dalam persidangan nantinya akan disumpah
agar mempunyai kekuatan pembuktian yang kuat dan nantinya dapat
dijadikan pertimbangan hakim dalam memutus suatu perkara pidana.
Disebutkan dalam Pasal 160 ayat (3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) bahwa saksi wajib untuk
disumpah atau janji dalam setiap akan dimintai keterangannya di
persidangan sesuai dengan agamanya masing-masing. Kemudian lafal
sumpah atau yang diucapkan berisi bahwa saksi akan memberikan
keterangan yang sebenar-benarnya dan tidak lain dari yang sebenarnya
yang dilakukan sebelum saksi memberikan keterangannya dalam
persidangan dan jika dalam keadaan perlu oleh hakim pengadilan sumpah
33
atau janji ini dapat diucapkan sesudah saksi memberikan keterangannya
sesuai dengan Pasal 160 ayat (4)Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981
tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Jika saksi yang dihadirkan tidak disumpah karena permintaan
sendiri atau pihak yang lain tidak bersedia saksi untuk disumpah karena
saksi ditakutkan akan berpihak pada salah satu pihak, maka keterangan
dari saksi tersebut tetap digunakan, akan tetapi sifatnya hanya digunakan
sebagai tambahan alat bukti sah yang lain.
Selain itu saksi yang karena jabatannya tidak dapat menjadi saksi
akan tetapi mereka tetap bersedia menjadi saksi maka dapat diperiksa oleh
hakim akan tetapi tidak disumpah karena itu merupakan perkecualian
relatif karena menyimpan rahasia jabatan. Saksi yang dihadirkan
diharapkan sudah dewasa sehingga keterangannya bisa dipercaya dan
dapat dipertanggung jawabkan.
Saksi yang menolak mengucapkan sumpah atau janji didepan
pengadilan saat akan diambil keterangannya tanpa suatu alasan yang sah
maka saksi tersebut dapat dikenakan sandera yang didasarkan penetapan
hakim ketua sidang, paling lama penyanderaan adalah empat belas hari
(Pasal 161 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara
Pidana).
Pengertian umum keterangan saksi ada dalam Pasal 1 butir 27
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana
(KUHAP), yang merumuskan sebagai berikut :
34
"Keterangan saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan dari pengetahuannya itu". Dengan demikian kesaksian yang didengar dari orang lain atau
biasa disebut dengan "testimonium de auditu" bukan merupakan
keterangan saksi. Begitu pula pendapat maupun rekaan yang diperoleh
dari hasil pemikiran saja bukan merupakan keterangan saksi (Pasal 185
ayat (5) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara
Pidana).
Dari penegasan rumusan Pasal 1 butir 27 Undang-Undang Nomor
8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), dihubungkan
dengan Pasal 135 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang
Hukum Acara Pidana (KUHAP), Pidana dapat ditarik kesimpulan sebagai
berikut :
a. Setiap keterangan saksi di luar dari yang didengarnya sendiri dalam peristiwa pidana yang terjadi atau di luar dari yang dilihat dan dialaminya dalam peristiwa pidana yang terjadi, keterangan yang diberikan di luar pendengaran, penglihatan atau pengalaman sadar mengenai suatu peristiwa pidana terjadi, tidak dapat dijadikan dan dinilai sebagai alat bukti. Keterangan semacam ini tidak memiliki kekuatan nilai pembuktian.
b. Testimonium de auditu keterangan saksi yang diperoleh sebagai hasil pendengarannya dari orang lain, tidak mempunyai nilai sebagai alat bukti. Keterangan saksi di sidang pengadilan berupa keterangan ulang dari yang didengarnva dari orang lain, keterangan saksi seperti ini tidak dapat dianggap sebagai alat bukti.
c. Pendapat atau rekaan yang saksi peroleh dari pemikiran bukan merupakan keterangan. Penegasan ini sesuai dengan ketentuan Pasal 185 ayat (5) Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana. Oleh karena itu setiap keterangan saksi yang bersifat pendapat atau hasil pemikiran saksi harus dikesampingkan dari pernbuktian dalam membuktikan kesalahan terdakwa. Keterangan yang bersifat dan berwarna
35
pendapat dan pemikiran pribadi saksi tidak dapat dinilai sebagai alat bukti.34
Mengenai keterangan saksi de auditu ini, Mr. S.M. Amin35 dalam
bukunya "Hukum Acara Pengadilan Negeri" telah memberikan penjelasan
sebagai berikut :
"Kesaksian de auditu adalah keterangan tentang kenyataan-kenyataan, dan hal-hal yang didengar, dilihat atau dialami bukan oleh saksi sendiri akan tetapi keterangan-keterangan yang disampaikan oleh orang lain kepadanya mengenai kenyataan-kenyataan dan hal-hal yang didengar, dilihat atau dialami sendiri oleh orang lain tersebut". Tidak setiap orang dapat menjadi saksi dalam persidangan, selain
karena ketidak cakapannya menjadi saksi, yang tidak dapat menjadi
terutama karena mempunyai hubungan dekat dengan terdakwa karena
cenderung tidak bernilai obyektif dan cenderung membela terdakwa,
diantaranya :
a. Keluarga sedarah atau semenda dalam garis lurus keatas atau ke bawah
sampai derajat ketiga dari terdakwa atau yang bersama-sama sebagai
terdakwa, (Pasal 168 butir a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981
tentang Hukum Acara Pidana);
b. Saudara dari terdakwa atau yang bersama-sama sebagai terdakwa,
saudara ibu atau saudara bapak, juga mereka yang mempunyai
hubungan karena perkawinan, dan anak-anak saudara terdakwa sampai
derajat ketiga, (Pasal 168 butir b Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1981 tentang Hukum Acara Pidana);
34M. Yahya Harahap.Op.cit.Hal. 266. 35Leden Marpaung. Pemberantasan dan Pencegahan Tindak Pidana Ekonomi.Jakarta :Sinar Grafika. Jakarta. 1994. Hal. 33.
36
c. Suami atau isteri terdakwa meskipun sudah bercerai atau yang
bersama-sama sebagai terdakwa, (Pasal 168 butir c Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana);
d. Orang yang mempunyai hubungan pekerjaan, harkat, martabat, atau
jabatannya diwajibkan menyimpan rahasia yang ditentukan undang-
undang.
Kemudian dalam Pasal 171 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981
tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) ditentukan saksi yang tidak
disumpah yaitu:
a. Anak yang umurnya belum cukup lima belas tahun dan belum pernah kawin;
b. Orang sakit ingatan atau sakit jiwa meskipun ingatannya baik kembali.
Dalam penjelasan pasal tersebut dikatakan bahwa anak yang belum berumur lima belas tahun, demikian juga orang yang sakit ingatan, sakit jiwa, sakit gila meskipun kadang-kadang saja, yang dalam ilmu penyakit jiwa disebut psychopaat, mereka ini tidak dapat dipertanggungjawabkan secara sempurna dalam hukum pidana maka mereka tidak dapat diambil sumpah atau janji dalam memberikan keterangan, karena itu keterangan mereka hanya dipakai sebagai petunjuk saja. Keterangan saksi agar menjadi kuat maka harus dihadirkan saksi
lebih dari seorang dan minimal ada dua alat bukti karena keterangan dari
seorang saksi saja tanpa ada alat bukti yang lain tidak cukup
membuktikan bahwa terdakwa benar-benar bersalah terhadap dakwaan
yang didakwakan kepadanya (unus testis nullus testis).
Dalam hal terdakwa memberikan keterangan yang mengakui kesalahan yang didakwakan kepadanya, keterangan seorang saksi sudah cukup untuk membuktikan kesalahan terdakwa, karena disamping keterangan saksi tunggal itu, telah terpenuhi ketentuan
37
minimum pembuktian dan the degree of evidence yakni keterangan saksi ditambah dengan alat bukti keterangan terdakwa. Dengan ini dapat disimpulkan bahwa persyaratan yang dikehendaki Pasal 185 ayat (2) adalah : 1) Untuk dapat membuktikan kesalahan terdakwa paling sedikit
harus didukung oleh dua orang saksi; 2) Atau kalau saksi yang ada hanya terdiri dari seorang saja maka
kesaksian tunggal itu harus dicukupi atau ditambah dengan salah satu alat bukti yang lain.36
Keterangan saksi merupakan alat bukti yang paling utama dalam
pemeriksaan perkara pidana. Dalam Pasal 185 ayat (6) Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP)untuk
menilai kebenaran keterangan saksi hakim harus memperhatikan:
a) Persesuaian antara keterangan saksi satu dengan yang lainnya; b) Persesuaian antara keterangan saksi dengan alat bukti yang
lain; c) Alasan yang mungkin dipergunakan oleh saksi untuk memberi
keterangan yang tertentu; d) Cara hidup dan kesusilaan saksi serta segala sesuatu yang pada
umumnya dapat mempengaruhi dapat tidaknya keterangan itu dipercaya.
b. Keterangan Ahli
Keterangan ahli merupakan keterangan dari pihak diluar kedua
pihak yang sedang berperkara, dimana yang digunakan adalah keterangan
berkaitan dengan ilmu pengetahuannya dalam perkara yang
dipersidangkan sehingga membuat terang suatu perkara pidana guna
kepentingan pemeriksaan. Keterangan ahli sebagai alat bukti diatur dalam
Pasal 186 KUHAP menunjukkan keterangan ahli dari segi pembuktian,
yaitu:
36Ibid. Hal.288.
38
Keterangan ahli adalah apa yang seorang ahli nyatakan di sidang Pengadilan (Pasal 186Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana). Penjelasan : 1. Keterangan ahli ini dapat juga sudah diberikan pada waktu
pemeriksaan oleh penyidik atau penuntut umum yang dituangkan dalam bentuk laporan dan dibuat dengan mengikat sumpah diwaktu ia menerima jabatan atau pekerjaan.
2. Jika hal itu tidak diberikan pada waktu pemeriksaan di penyidik atau penuntut umum, maka pada waktu pemeriksaan di sidang, diminta untuk memberikan keterangan (ahli) dan dicatat dalam Berita Acara Pemeriksaan (berita acara pemeriksaan persidangan) Pasal 179 ayat (1) dan (2) KUHAP. Maka setiap orang yang diminta pendapatnya untuk memberikan keterangan ahli secara lisan di persidangan jo. Pasal 180 ayat (1), Pasal 186 dan penjelasan jo. Pasal 1 butir 28 KUHAP, jo. Pasal 184 ayat (1) sub b KUHAP, jo. Stb. 1937 No.350, yang mendasarkan dari berbagai pasal tersebut, berdasarkan fungsi dan tugas serta kewenangan yang dimiliki masing-masing ahli itu, disebabkan alasan karena keahliannya itu, dapat meliputi : 1. Ahli kedokteran forensik atau; 2. Dokter, bukan ahli kedokteran forensik (jo.Stb.1937
no.3500; atau; 3. Ahli lainnya, yaitu keterangan yang diberikan oleh orang
yang memenuhi syarat-syarat atau kriteria Pasal 1 butir 28 KUHAP; atau
4. Saksi ahli yaitu keterangan orang ahli yang menyaksikan tentang suatu hal (pokok soal, materi pokok) yang diperlukan, kemudian memeriksa (meneliti, menganalisa) serta mengemukakan pendapatnya berdasarkan keahliannya yaitu, selanjutnya dengan menarik kesimpulan daripadanya, untuk membuat jelas suatu perkara pidana, yang berguna bagi kepentingan pemeriksaan.37
Sedangkan dalam Pasal 1 angka 28 Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), menerangkan lebih
lanjut mengenai pengertian keterangan ahli, yaitu:
“Keterangan ahli adalah keterangan yang diberikan oleh seorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk
37Ibid.Hal.72‐73.
39
membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan.” Pasal 184 (1)Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang
Hukum Acara Pidana (KUHAP), pembentuk undang-undang meletakkan
keterangan ahli dalam urutan kedua hal ini dinilai bahwa dalam
pemeriksaan perkara pidana sangat dibutuhkan dikarenakan
perkembangan ilmu dan teknologi telah berdampak terhadap kualitas
metode kejahatan yang memaksa para penegak hukum harus bisa
mengimbanginya dengan kualitas metode pembuktian yang memerlukan
pengetahuan, dan keahlian.
Pasal yang mengatur tentang keterangan ahli dalam Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP)
terdapat dalam Pasal 1 angka 28, Pasal 120, Pasal 133, Pasal 179, Pasal
180 dan Pasal 186.
Dikatakan, bahwa keterangan ahli amat diperlukan dalam setiap tahapan pemeriksaan, oleh karena ia diperlukan baik dalam tahap penyidikan, tahap penuntutan, maupun tahap pemeriksaan di sidang pengadilan. Jaminan akurasi dari hasil-hasil pemeriksaan atas keterangan ahli atau para ahli didasarkan pengetahuan dan pengalamannya dalam bidang-bidang keilmuannya, akan dapat menambah data, fakta dan pendapatnya, yang dapat ditarik oleh Hakim dalam menimbang-nimbang berdasarkan pertimbangan hukumnya, atas keterangan ahli itu dalam memutus perkara yang bersangkutan. Sudah tentu, masih harus dilihat dari kasus perkasus dari perkara tindak pidana tersebut masing-masing, atas tindak pidana yang didakwakan pada terdakwa dalam surat dakwaan dari penuntut umum di sidang pengadilan.38
38 R. Soeparmono. Keterangan Ahli & Visum Et Repertum dalam Aspek Hukum Acara Pidana. Bandung: Mandar Maju. 2002. Hal. 3.
40
Keterangan yang diberikan oleh ahli harus diberikan di suatu
persidangan yang terbuka untuk umum. Salah satu syarat seorang ahli
untuk memberikan keterangan adalah disumpah dalam persidangan agar
keterangan yang diberikan sesuai dengan pengetahuannya dan syarat yang
lainnya adalah ahli memberikan keterangan berdasarkan ilmu
pengetahuan yang dimilikinya. Jika dalam persidangan seorang ahli tidak
dapat hadir, maka dapat memberikan keterangannya dalam surat yang
nantinya dibacakan disidang pengadilan yang sebelumnya juga diangkat
sumpah pada ahli.
Keterangan ahli dapat juga diberikan untuk membantu pada waktu
pemeriksaan oleh penyidik atau penuntut umum sesuai dalam Pasal 120
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana
(KUHAP) yang nantinya dituangkan dalam suatu bentuk laporan dan ahli
mengingat sumpah jabatan waktu pertama menerima jabatannya dan
diucapkan dimuka penyidik bahwa ahli akan memberi keterangan
menurut pengetahuannya sebaik-baiknya. Akan tetapi ada pengecualian
bagi ahli untuk tidak memberikan keterangannya dalam pengadilan yaitu
dalam suatu hal karena pekerjaan atau jabatan, harkat dan martabat yang
mewajibkan ahli menyimpan rahasia dapat menolak untuk memberikan
keterangan yang diminta.
Ahli dalam Pasal 133 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981
tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) menekankan kepada ahli dalam
kedokteran forensik yang menangani korban baik luka, keracunan ataupun
41
mati yang diakibatkan suatu tindak pidana. Untuk itu disetiap satuan
kepolisian diperlukan tim ahli dalam kedokteran forensik, psikiatri,
antropologi forensik, ilmu kimia forensik, fisika forensik dan lain
sebagainya untuk membantu penyidikan dalam mengungkap kasus dan
mempermudah proses identifikasi korban, tersangka ataupun barang bukti
yang ada dalam tindak pidana. Tindakan yang dilakukan oleh tim ahli
disini harus dijalankan dengan baik dan penuh tanggung jawab
berdasarkan sumpah jabatan dan profesi yang diembannya.
IKetut Martika dan Djoko Prakoso39 berpendapat, bahwa:
Keterangan ahli dalam KUHAP dapat dilakukan pemeriksaan ulang atau penelitian ulang karena diperlukan/ dibutuhkan oleh hakim kepada ahli apabila timbul keberatan yang beralasan dari terdakwa atau penasehat hukum terhadap hasil keterangan ahli tersebut yang diatur dalam Pasal 180 (2),(3), dan (4) KUHAP.
Seorang ahli yang dihadirkan dipersidangan tidak hanya ahli
dalam kedokteran forensik saja akan tetapi juga ahli dalam bidang tertentu
yang berkaitan dengan pemeriksaan di persidangan sesuai dalam Pasal
179 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana
(KUHAP) bisa dihadirkan oleh hakim, penuntut umum, dan penasehat
hukum. Ahli dipersidangan yang bertugas membantu hakim, penuntut
umum, penasehat hukum dan terdakwa mengenai segala sesuatu yang
tidak diketahuinya yang dapat diketahui mengenai keterangan ahli yang
mempunyai keahlian khusus dalam masalah yang hendak dibuat menjadi
jelas dan terang, dan tujuan pemeriksaan ahli ini untuk membuat terang
perkara pidana yang sedang dihadapi. Sifat dari keterangan ahli ini
menunjukkan suatu keadaan tertentu atau suatu hal dan belum
menunjukkan mengenai siapa yang dapat dipersalahkan dalam suatu
perkara tindak pidana yang bersangkutan.
Yahya Harahap40 berpendapat:
Apa yang dapat diambil dari Pasal 1 angka 28, dikaitkan dengan ketentuan Pasal 184 ayat (1) huruf b dan Pasal 186, agar keterangan ahli dapat bernilai sebagai alat bukti yang sah : 1. Harus merupakan keterangan yang diberikan oleh seorang yang
mempunyai keahlian khusus tentang sesuatu yang ada hubungannya dengan perkara pidana yang sedang diperiksa.
2. Sedang keterangan yang diberikan seorang ahli, tapi tidak mempunyai keahlian khusus tentang suatu keadaan yang ada hubungannya dengan perkara pidana yang bersangkutan, tidak mempunyai nilai sebagai alat bukti yang sah menurut undang-undang.
Adanya tata cara pembuktian dari ahli sebagai alat bukti di tahap
penyidikan dengan menggunakan laporan atau dalam bentuk surat sesuai
dalam Pasal 133 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum
Acara Pidana (KUHAP)dan meminta keterangan ahli secara lisan di
sidang pengadilan berdasarkan Pasal 179 dan 186 menimbulkan dualisme,
terutama yang berasal dari laporan atau visum et repertum yaitu :
a) Pada suatu alat bukti keterangan ahli yang berbentuk laporan atau visum et repertum, tetap dapat dinilai sebagai alat bukti keterangan ahli;
b) Pada sisi lain alat bukti keterangan ahli yang berbentuk laporan, juga menyentuh alat bukti surat yang terdapat dalam Pasal 187 huruf c KUHAP.41
Untuk menjawab dualisme diatas maka yang dapat dijadikan
pedoman adalah pendapat hakim akan mempergunakan nama alat bukti
apa yang akan diberikan karena keduanya sama-sama bersifat kekuatan
pembuktian yang bebas dan tidak mengikat, hakim bebas menentukan
apakah akan membenarkan alat bukti tersebut atau malah akan
menolaknya.
Nilai kekuatan pembuktian dengan keterangan ahli tidak jauh
berbeda dengan keterangan saksi yaitu :
1. Mempunyai nilai kekuatan pembuktian yang bebas atau vrij bewijskaracht yang ditentukan oleh penilaian hakim apakah akan menerima keterangan dari ahli tersebut atau akan menolaknya.
2. Keterangan ahli yang berdiri sendiri dan tidak didukung oleh alat bukti yang lain tidak memadai untuk membuktikan tentang tidak atau bersalahnya terdakwa. Oleh karena itu agar keterangan ahli dapat digunakan sebagai dasar memutus perkara pidana oleh hakim harus disertai dengan alat bukti yang lain.42
Suatu kasus akan sering terdapat dua keterangan ahli yang
digunakan yaitu keterangn ahli yang berupa laporan dan juga berasal dari
keterangan yang diberikan secara lisan di pengadilan. Jika keterangan ahli
tersebut menjelaskan hal yang sama maka alat bukti keterangan ahli
masih bernilai satu alat bukti, akan tetapi jika keterangan ahli ini yang
berupa laporan dan juga dari keterangan lisan di sidang pengadilan
menunjukkan suatu keadaan yang berbeda dan menunjukan hal yang
berkesesuaian antara satu dengan yang lainnya maka dapat dinyatakan
bahwa keterangan ahli tersebut ada dua alat bukti keterangan ahli yang
42Ibid.Hal. 253.
44
sah yang masing-masing berdiri sendiri dan telah memenuhi batas
minimum pembuktian berdasarkan Pasal 183 Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
c. Surat
A Plito seperti yang dikutip oleh Martiman Prodjohamidjojo43:
“Pengertian surat adalah pembawa tanda tangan bacaan yang berarti, yang menterjemahkan suatu isi pikiran. Tidak termasuk kata surat, adalah foto dan peta, sebab benda ini tidak memuat tanda bacaan, surat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 187 KUHAP dimaksudkan adalah surat-surat yang dibuat oleh pejabat-pejabat resmi yang terbentuk berita acara, akta, surat keterangan ataupun surat yang lain yang mempunyai hubungan dengan perkara yang sedang diadili.” Surat sebagai alat bukti diatur dalam Pasal 187 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP)yang menurut ketentuan ini: “Surat yang dinilai dengan alat bukti yang sah di persidangan menurut undang-undang yaitu surat yang dibuat atas sumpah jabatan dan atau surat yang dikuatkan dengan sumpah. Alat bukti surat menurut definisi Asser-Anema yaitu segala sesuatu yang mengandung tanda-tanda baca yang dapat dimengerti, dimaksud untuk mengeluarkan isi pikiran.44
Sebagai syarat dalam menentukan dapat atau tidaknya suatu surat
itu dapat dikategorikan sebagai suatu alat bukti yang sah ialah bahwa
surat-surat itu harus dibuat diatas sumpah jabatan atau dikuatkan dengan
sumpah. Surat resmi yang dimaksud dalam Pasal 187 Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) berbentuk
berita acara, akte, surat keterangan ataupun surat lain yang mempunyai
hubungan dengan perkara yang diadili.
43 Martiman Prodjohamidjojo. Komentar Atas KUHAP. Jakarta : Pradya Paramitha. 1983. Hal. 24. 44 Andi Hamzah. Op.cit. Hal. 276.
45
Berdasarkan bunyi Pasal 187 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP): “Surat sebagaimana dimaksud Pasal 184 ayat (1) huruf cUndang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), dibuat atas sumpah jabatan atau dikuatkan dengan sumpah, adalah: a. Berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh
pejabat umum yang berwenang atau yang dibuat dihadapannya, yang memuat keterangan tentang kejadian atau keadaan yang didengar, dilihat atau yang dialaminya sendiri disertai dengan alasan yang jelas dan tegas tentang keterangan itu;
b. Surat yang dibuat menurut ketentuan peraturan perundang-undangan atau surat yang dibuat oleh pejabat mengenai hal yang termasuk dalam tata laksana yang menjadi tanggung jawabnya dan yang diperuntukkan bagi pembuktian sesuatu hal atau sesuatu keadaan;
c. Surat keterangan dari seorang ahli yamng memuat pendapat berdasarkan keahliannya mengenai sesuatu hal atau sesuatu keadaan yang diminta secara resmi daripadanya;
d. Surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada hubungannya dengan isi dan alat pembuktian yang lain”.
Rumusan dalam Pasal 187 huruf dUndang-Undang Nomor 8
Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), berbeda dengan
ketentuan dalam huruf a,b dan c karena huruf d menunjukkan surat secara
umum yang tidak berlandaskan sumpah jabatan dan sumpah di sidang
pengadilan yang bersifat resmi dan cenderung bersifat pribadi. Penjelasan
selanjutnya menyebutkan bahwa berlakunya alat bukti surat lain harus
mempunyai hubungan dengan alat bukti lain agar mempunyai kekuatan
pembuktian artinya alat bukti surat lain tidak dapat berdiri sendiri secara
utuh.
Bentuk surat lain yang diatur dalam huruf d “hanya dapat berlaku” jika isinya mempunyai hubungan dengan alat pembuktian yang lain. Nilai berlakunya masih digantungkan dengan alat bukti yang lain. Kalau isi surat itu atau kalau alat pembuktian yang lain itu
46
terdapat salng hubungan, barulah surat itu berlaku dan dinilai sebagai alat bukti surat.45
Berdasarkan pasal diatas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981
tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) tidak mengatur tentang kekuatan
pembuktian dari surat lain karena tidak mempunyai bobot sebagai alat
bukti hanya mengatur surat-surat resmi saja. penerapan surat lain sebagai
bentuk alat bukti surat terlihat ganjil karena jika suatu alat bukti surat
digantungkan dengan alat bukti yang lain yaitu jika mempunyai hubungan
isinya dengan alat bukti yang lain sehingga terkesan tidak mempunyai
nilai pembuktian bahkan cenderung menjadi alat bukti petunjuk yang
intinya saling menghubungkan antara alat bukti satu dengan yang lainnya
sehingga tercipta suatu urutan suatu peristiwa yang terjadi dalam perkara
pidana yang diperiksa di sidang pengadilan.
Pasal 187 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum
Acara Pidana (KUHAP) dapat diartikan bahwa pejabat yang mempunyai
wewenang untuk membuat surat-surat tersebut, dibebaskan untuk
menghadap sendiri dipersidangan dan pembacaan surat-surat tersebut
telah dianggap mempunyai kekuatan bukti yang sama dengan apabila
mereka menerangkan sendiri secara lisan dihadapan persidangan
pengadilan.
Surat yang dijadikan sebagai alat bukti dipengadilan biasanya
berasal dari kedokteran forensik yang meneliti barang bukti yang
ditemukan di tempat kejadian perkara (TKP) yang kemudian diteliti
45 Yahya Harahap.Op.cit. Hal.309.
47
dimana barang bukti mati kemudian dituangkan dalam bentuk surat dan
dapat dijadikan suatu pegangan bagi hakim untuk memutus suatu tindak
pidana yang bersangkutan karena barang bukti mati tersebut tidak bisa
berbohong dan terdakwa tidak bisa mengelak jika barang bukti tersebut
telah nyata menunjukkan bahwa terdakwa telah melakukan tindak pidana
yang dituntutkan kepadanya.
Nilai kekuatan pembuktian surat menurut Yahya Harahap46jika
dinilai dari segi teoritis serta dihubungkan dengan prinsip pembuktian
dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara
Pidana (KUHAP) dapat dibedakan menjadi 2, yaitu :
1. Ditinjau dari segi formal Alat bukti yang disebut pada Pasal 187 huruf a,b dan c adalah alat bukti yang sempurna sebab bentuk surat-surat ini dibuat secara resmi menurut formalitas yang ditentukan peraturan perundang-undangan. Alat bukti surat resmi mempunyai nilai pembuktian formal yang sempurna dengan sendirinya bentuk dan isi surat tersebut : a. Sudah benar, kecuali dapat dilumpuhkan dengan alat bukti
yang lain; b. Semua pihak tak dapat lagi menilai kesempurnaan bentuk
dan pembuatannya; c. Juga tak dapat lagi menilai kebenaran keterangan yang
dituangkan pejabat yang berwenang didalamnya sepanjang isi keterangan tersebut tidak dapat dilumpuhkan dengan alat bukti yang lain;
d. Dengan demikian ditinjau dari segi formal, isi keterangan yang tertuang di dalamnya, hanya dapat dilumpuhkan dengan alat bukti lain, baik berupa alat bukti keterangan saksi, keterangan ahli atau keterangan terdakwa.
2. Ditinjau dari segi materiil Alat bukti surat tidak mempunyai kekuatan mengikat sama dengan alat bukti saksi, dan ahli yang sama-sama mempunyai nilai pembuktian yang bersifat bebas yang penilaiannya digantungkan dari pertimbangan hakim. Ketidakterikatannya
46Ibid. Hal.309‐312.
48
hakim atas alat bukti surat tersebut didasarkan pada beberapa asas, antara lain : a. Asas proses pemeriksaan perkara pidana adalah untuk
mencari kebenaran materiil atau kebenaran sejati (materiel waarheid), bukan mencari kebenaran formal. Nilai kebenaran dan kesempurnaan formal dapat disingkirkan demi untuk mencapai dan mewujudkan kebenaran materiil atau kebenaran sejati yang digariskan oleh penjelasan Pasal 183 KUHAP yang memikul kewajiban bagi hakim untuk menjamin tegaknya kebenaran, keadilan, kepastian hukum bagi seseorang.
b. Asas keyakinan hakim sesuai yang terdapat dalam Pasal 183 KUHAP yang menganut ajaran sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif. Dimana hakim dalam memutus harus berdasarkan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah, dan dengan alat bukti tersebut hakim memperoleh keyakinan bahwa terdakwa itu bersalah atau tidak. Hakim diberi kebebasan untuk menentukan putusan yang diambilnya dengan tetap memperhatikan tanggung jawab dengan moral yang tinggi atas landasan tanggung jawab demi mewujudkan kebenaran sejati.
c. Asas batas minimum pembuktian yaitu sesuai dengan Pasal 183 KUHAP hakim dalam memberikan putusan harus berdasarkan minimal dua alat bukti dan dengan alat bukti tersebut hakim memperoleh keyakinan untuk memberikan keputusan dipersidangan.
d. Petunjuk
Petunjuk adalah perbuatan, kejadian atau karena keadaan yang
karena persesuaiannya, baik antara yang satu dengan yang lain, maupun
dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi suatu
tindak pidana dan siapa pelakunya. Alat bukti petunjuk diatur dalam Pasal
188 ayat (1), (2), (3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang
Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Dari bunyi Pasal 188 ayat (1) KUHAP dijumpai kata-kata “menandakan” yang maksudnya adalah bahwa justru oleh karena tidak mungkin dapat diperoleh oleh karena tidak mungkin dapat diperoleh kepastian mutlak bahwa terdakwa benar-benar telah bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya secara
49
pasti, maka dari kata-kata demikian dipergunakan kepadanya secara pasti, maka dari kata-kata demikian dipergunakan, sehingga dari sekian banyak petunjuk yang ada telah dapat terbukti. Bahwa perbuatan, kejadian atau keadaan yang dianggap sebagai petunjuk haruslah ada kesesuaian antara satu dengan yang lain, karena justru pada persesuaian itulah letak kekuatan utama dari petunjuk-petunjuk sebagai sebagai alat bukti. Dan dari bunyi Pasal 188 (1), yang menyatakan bahwa diantara petunjuk-petunjuk itu harus ada “persesuaian”, maka hal itu berarti bahwa sekurang kurangnya harus ada dua petunjuk untuk memperoleh bukti yang sah, namun kalau bunyi pasal itu lebih diteliti lagi ternyata satu satu perbuatan saja yang ada persesuaiannya dengan tindak pidana itu, ditambah dengan satu alat bukti yang lain dan yang berkesesuaian keseluruhannya, maka sudah cukup alasan untuk menyatakan bahwa menurut hukum perbuatan yang didakwakan telah terbukti.47
Pasal 188 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang
Hukum Acara Pidana (KUHAP) menegaskan bahwa petunjuk itu
diperoleh dari keterangan saksi, surat, dan juga keterangan dari terdakwa
dimana diantara ketiganya harus ada kesesuaian dan saling berhubungan.
Persesuaian antara perbuatan, kejadian satu sama lain menunjukkan
adanya suatu tindak pidana atau tidak, jika tidak ada persesuaian diantara
ketiga alat bukti diatas maka belum bisa ditentukan itu merupakan
petunjuk dan yang dapat melakukan penilaian itu merupakan petunjuk
dalam setiap keadaan atau bukan adalah hakim, dimana harus melakukan
pemeriksaan secara seksama dan cermat berdasarkan hati nuraninya. Pasal
188 ayat (3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara
Pidana (KUHAP) menerangkan bahwa:
Penilaian atas kekuatan pembuktian dari suatu petunjuk dalam setiap keadaan tertentu dilakukan oleh hakim dengan arif lagi
47 I Ketut Martika & Djoko Prakoso.Op.cit. Hal. 44.
50
bijaksana, setelah ia mengadakan pemeriksaan dengan penuh kecermatan dan keseksamaan berdasarkan hati nuraninya.
Bunyi pasal 188 ayat (3)Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981
tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), sangat berpengaruh dalam setiap
penggunaan alat bukti petunjuk sebagai syarat dan dasar penilaian
pembuktian kesalahan terdakwa, karena nantinya akan berpengaruh
terhadap tanggung jawab sebagai seorang hakim yang merangkai alat
bukti yang ada sehingga menjadi dasar penjatuhan hukuman.
Syarat-syarat untuk dapat dijadikan petunjuk sebagai alat bukti
haruslah:
a. Mempunyai persesuaian atau sama lain atas perbuatan yang terjadi.
b. Keadaan-keadaan perbuatan itu berhubungan satu sama lain dengan sengaja kejahatan yang terjadi.
c. Berdasarkan pengamatan hakim baik dari keterangan terdakwa maupun saksi di persidangan.48
Penggunaan alat bukti petunjuk dalam praktek persidangan sangat
dihindari, bila perlu menggunakan alat bukti yang lainnya kecuali jika
dalam keadaan yang penting dan mendesak sekali maka alat bukti
petunjuk dapat digunakan jika alat bukti yang lain belum mencukupi
untuk membuktikan kesalahan terdakwa. Dinilai juga bahwa alat bukti
petunjuk digunakan manakala alat bukti yang lain belum mencukupi batas
minimum pembuktian yang sesuai dala Pasal 183 KUHAP.
Alat bukti petunjuk dalam persidangan dilihat dari persesuaian
antara alat bukti satu dengan yang lainnya sehingga hakim memperoleh
48Andi Hamzah dan Indra Dahlan.Perbandingan KUHP, HIR dan Komentar.Jakarta.: Ghalia. Indonesia. 1984. Hal. 263.
51
gambaran mengenai proses terjadinya tindak pidana dan penyebab
terjadinya tindak pidana. Sumber dari alat bukti petunjuk diperoleh hakim
dengan memperhatikan alat bukti yang lain sehingga diperoleh
persesuaian antara perbuatan, kejadian, atau keadaan yang sebenarnya.
Pasal 188 ayat (2) KUHAP ditentukan secara limitatif untuk mencari
bukti petunjuk yaitu diperoleh dari :
a) Keterangan saksi b) Surat c) Keterangan terdakwa
Alat bukti petunjuk tidak mencantumkan alat bukti ahli karena
keterangan ahli diperoleh dari keterangan dari pakar dalam bidang
keilmuan yang terkait yang bersifat subyektif dari pengetahuan masing-
masing ahli dan dalam hal ini kemungkinan besar sudah telah bercampur
dengan nilai-nilai budaya, keyakinan, latar belakang hidup, pendidikan
dari ahli itu sendiri dan cenderung akan selalu membenarkan pendapatnya
sehingga tidak bernilai obyektif.
Alat bukti petunjuk baru ada jika sudah ada alat bukti yang lain
sehingga sifatnya menggantungkan alat bukti yang lain atau “asessoir”.
Dengan kata lain alat bukti petunjuk tidak akan pernah ada jika tidak ada
alat bukti lain.
Djisman Samosir49 berpendapat bahwa:
“Penilaian atas kekuatan pembuktian dari suatu petunjuk dalam setiap keadaan tertentu dilakukan oleh hakim dengan arif lagi
49 C. Djisman Samosir. Jaksa dan Hakim dalam Proses Pidana.Bandung. Binacipta. 1985. Hal. 90.
52
bijaksana setelah ia mengadakan pemeriksaan dengan penuh kecermatan dan keseksamaan hati nuraninya.”
Menurut Yahya Harahap50sendiri berpendapat bahwa nilai
kekuatan pembuktian petunjuk serupa dengan sifat dan kekuatan alat
bukti yang lain yakni:
a) Hakim tidak terikat atas kebenaran persesuaian yang diwujudkan oleh petunjuk, oleh karena itu hakim bebas menilainya dan mempergunakannya sebagai upaya pembuktian.
b) Petunjuk sebagai alat bukti, tidak bisa berdiri sendiri membuktikan kesalahan terdakwa, dia tetap terikat kepada prinsip batas pembuktian. Oleh karena itu, agar petunjuk mempunyai nilai kekuatan pembuktian yang cukup, harus didukung dengan sekurang-kurangnya satu alat bukti yang lain.
e. Keterangan terdakwa
Pengertian keterangan terdakwa diatur dalam Pasal 189 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana
(KUHAP), merumuskan:
“Keterangan terdakwa ialah apa yang didakwakan di sidang tentang perbuatan yang ia lakukan atau yang ia ketahui sendiri atau alami sendiri.” Keterangan terdakwa disini bukan berarti pengakuan terdakwa
yang ada dalam HIR, akan tetapi keterangan terdakwa bersifat lebih luas
baik yang merupakan penyangkalan, pengakuan, ataupun pengakuan
sebagian dari perbuatan atau keadaan. Suatu perbedaan yang jelas antara
keterangan terdakwa dengan pengakuan terdakwa sebagai alat bukti ialah
keterangan terdakwa yang menyangkal dakwaan, tetapi membenarkan
beberapa keadaan atau perbuatan yang menjurus kepada terbuktinya
50 Yahya Harahap. Op.cit. Hal.317.
53
perbuatan sesuai alat bukti lain merupakan alat bukti.Pengaturan tentang
keterangan terdakwa terdapat dalam Pasal 189-193 KUHAP.
Dengan dilihat dengan jelas bahwa keterangan terdakwa sebagai alat bukti tidak perlu sama atau berbentuk pengakuan. Semua keterangan terdakwa hendaknya didengar. Apakah itu berbentuk penyangkalan, pengakuan, ataupun pengakuan sebagai dari perbuatan atau keadan. Tidak perlu hakim mempergunakan seluruh keterangan seorang terdakwa atau saksi, demikian menurut HR dengan arrest-nya tanggal 22 Juni 1944, NJ.44/45 No.59. sedangkan pengakuan sebagai alat bukti mempunyai syarat-syarat berikut. a. Mengaku ia yang melakukan delik yang didakwakan b. Mengaku ia bersalah.51
Menurut Memorie van Toelichting Ned Sv. Penyangkalan
terdakwa atas dakwaan yang ditujukan pada dirinya boleh menjadi alat
bukti yang sah, hal ini lah yang menjadi konsekuensi penggunaan kata
keterangan terdakwa sehingga hakim harus mendengarkan penyangkalan
dan pengakuan dari terdakwa.
Keterangan terdakwa yang dapat diambil sebagai alat bukti yang
2. Keterangan terdakwa bisa menjadi alat bukti jika dikemukakan disidang
pengadilan, baik itu yang berbentuk penjelasan yang diutarakan sendiri,
penjelasan ataupun jawaban terdakwa yang diajukan kepadanya oleh
hakim, penuntut umum atau penasehat hukum baik yang berbentuk
penyangkalan ataupun pengakuan. Ada juga keterangan terdakwa yang
dikemukakan diluar persidangan seperti pada waktu penyidikan dan
51 Andi Hamzah.Op.cit. Hal.278.
54
penyelidikan di kepolisian dapat digunakan untuk membantu untuk
menemukan bukti disidang asalkan keterangan didukung oleh suatu alat
yang sah sepanjang mengenai hal yang didakwakan kepadanya (Pasal
189 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum
Acara Pidana) dan keterangan yang dinyatakan di luar sidang sepanjang
mengenai hal yang didakwakan kepadanya. Selain itu keterangan yang
diberikan haruslah dinyatakan di depan penyidik, dicatat dalam berita
acara penyidik, kemudian ditanda tangani oleh penyidik dan terdakwa;
3. Keterangan terdakwa berisi tentang perbuatan yang ia lakukan atau
yang ia ketahui sendiri atau alami sendiri;
4. Keterangan terdakwa hanya mempunyai alat bukti terhadap diri sendiri.
Mengenai kekuatan pembuktian keterangan terdakwa, bahwa
seperti alat bukti yang lainnya untuk menemukan kebenaran materiil maka
harus memenuhi Pasal 183 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang
Hukum Acara Pidana (KUHAP), yaitu paling tidak harus memenuhi batas
minimum pembuktian dengan 2 alat bukti yang sah, oleh karena itu pada
Pasal 189 (4)Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara
Pidana (KUHAP), juga menjelaskan:
Keterangan terdakwa saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa ia bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya, melainkan harus disertai dengan alat bukti yang lain.
Paling tidak dalam suatu tindak pidana selain keterangan terdakwa
harus ada satu alat bukti lain yang mendukung sehingga hakim dapat
mengambil putusan, selain itu dengan alat bukti tersebut timbul keyakinan
55
hakim atas tindak pidana tersebut bahwa terdakwa bersalah atau tidak atas
dakwaan yang ditujukan padanya. Kemudian sifat nilai kekuatan
pembuktiannya adalah bebas, maka dengan ini hakim tidak terikat pada
nilai kekuatan pembuktian keterangan terdakwa atau menyingkirkan
kebenaran yang terkandung didalamnya, karena segala sesuatunya harus
ada alasan yang logis yang bisa diterima oleh hakim.
Alat bukti yang ada dalam Pasal 184 Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) tersebut dapat
dihadirkan oleh terdakwa dan juga oleh pihak kejaksaan. Alat bukti yang
dihadirkan oleh terdakwa biasanya terkait untuk meringankan hukuman
terdakwa yang sering disebut saksi yang meringankan sedangkan alat bukti
yang dihadirkan oleh jaksa terkesan memberatkan atau untuk
membuktikan bahwa benar telah terjadi tindak pidana karena peran dari
jaksa penuntut umum dalam persidangan adalah sebagai wakil negara yang
harus menyandarkan sikapnya kepada kepentingan masyarakat dan negara
sehingga sifatnya harus bersifat obyektif.
Selain itu dengan alat bukti tersebut hakim telah menemukan
keyakinan bahwa perbuatan tersebut merupakan tindak pidana dan
terdakwalah yang melakukan tindak pidana, jika dengan alat bukti tersebut
hakim tidak menemukan keyakinannya maka alat bukti tersebut tidak bisa
dijadikan acuan untuk membuktikan bahwa itu merupakan tindak pidana.
Dalam pemeriksaan perkara pidana yang sifatnya ingin mengejar
56
kebenaran materiil agar terdakwa diperiksa jangan membawa-bawa orang
lain yang tidak ada sangkut pautnya dengan dirinya dan untuk
menghindari adanya fitnah terhadap diri orang lain yang tak bersalah.
E. Pengertian dan Macam-Macam Visum Et Repertum
1. Pengertian Visum Et Repertum
Istilah visum et repertum tidak ditemukan dalam KUHAP, tetapi
terdapat dalam Stbl tahun 1937 Nomor 350 tentang Visa reperta
merupakan bahasa Latin. Visa berarti penyaksian atau pengakuan telah
melihat sesuatu, dan reperta berarti Laporan. Dengan demikian apabila
diterjemahkan secara bebas berdasarkan arti kata, Visa Reperta berarti
laporan yang dibuat berdasarkan penyaksian atau pengakuan telah
melihat sesuatu.
Visum et repertum merupakan bentuk tunggal dari kata visa et
reperta. Dalam Stbl 1937 Nomor 350, dalam Pasal 1 disebutkan bahwa
“visa reperta para dokter yang dibuat atas sumpah jabatan, yang
diucapkan pada waktu menyelesaikan pelajaran kedokteran di Indonesia
maupun atas sumpah khusus seperti dimaksud dalam Pasal 2, dalam
perkara pidana mempunyai kekuatan pembuktian.
Menurut Pasal 10 Surat Keputusan Menteri Kehakiman No.
M04.UM.01.06 tahun 1983 menyatakan bahwa hasil pemeriksaan ilmu
kedokteran kehakiman disebut visum et repertum. Dalam KUHAP tidak
57
disebut visum et repertum tetapi menggunakan istilah alat bukti surat dan
alat bukti keterangan ahli.
Pasal 1 butir 28 KUHAP memberikan pengertian tentang
keterangan ahli sebagai berikut :
“Keterangan ahli adalah keterangan yang diberikan oleh seorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan”.
Visum et repertum adalah istilah yang dikenal dalam Ilmu Kedokteran
Forensik, biasanya dikenal dengan nama Visum. Visum berasal dari
bahasa Latin, bentuk tunggalnya adalah visa. Dipandang dari arti etimologi
atau tata bahasa, kata visum atau visa berarti tanda melihat atau melihat
yang artinya penandatanganan dari barang bukti tentang segala sesuatu hal
yang ditemukan, disetujui, dan disahkan, sedangkan Repertum berarti
melapor yang artinya apa yang telah didapat dari pemeriksaan dokter
terhadap korban. Secara etimologi visum et repertum adalah apa yang
dilihat dan diketemukan.52
Abdul Mun’im Idris dalam R. Atang Ranoemihardja, memberikan
pengertian visum et repertum sebagai suatu laporan tertulis dari dokter
yang telah disumpah tentang apa yang dilihat dan ditemukan pada barang
52Mun’in Idries Abdul dan Agung Legowo Tjiptomartono, 2002 Penerapan Ilmu Kedokteran Kehakiman Dalam Proses Penyidikan, Karya Unipres, Jakarta. Hal.10.
58
bukti yang diperiksanya serta memuat pula kesimpulan dari pemeriksaan
tersebut guna kepentingan peradilan.53
Pada dasarnya dalam ilmu kedokteran dan kehakiman ada 3 (tiga)
jenis visum et repertum, yaitu sebagai berikut: Pertama, Visum et
repertum orang hidup. Adapun Visum et repertum orang hidup, terdiri
dari 3 (tiga) jenis yaitu:
(a). Visum et repertum luka/visum et repertum seketika/visum et
repertum defenitif .
Visum ini tidak membutuhkan perawatan dan pemeriksaan lanjut
sehingga tidak menghalangi pekerjaan korban. Kualifikasi luka yang
dokter tulis pada bagian kesimpulan visum Et Repertum yakni luka derajat
I (satu) atau luka golongan C. Dokter tidak diperkenankan menulis
lukapenganiayaan ringan karena ini istilah hukum.
(b). Visum et repertum sementara.
Visum ini membutuhkan perawatan dan pemeriksaan lanjut
sehinggamenghalangi pekerjaan korban. Kualifikasi lukanya tidak
ditentukan dan tidak ditulis oleh dokter pada bagian kesimpulan visum et
repertum.
(c). Visum et repertum lanjutan.
Visum ini dilakukan bilamana luka korban telah dinyatakan sembuh.
Alasanlain pembuatannya yaitu korban pindah rumah sakit, korban pindah
dokter atau korban pulang paksa. Kedua, Visum et repertum jenasah.
53Ibid.hal 18
59
Visum ini dilakukan Jika korban meninggal dunia maka dokter membuat
visum et repertum jenasah. Dokter menuliskualifikasi luka pada bagian
kesimpulan visum et repertum kecuali luka korban belum sembuh
ataukorban pindah dokter. Ketiga, Expertise merupakan visum et repertum
khusus yang melaporkan keadaan benda atau bagian tubuh korban.
Misalnya darah, mani, liur, jaringan tubuh, rambut, tulang, dan lain-lain.
Ada pihak yang mengatakan bahwa expertise bukan termasuk visum et
repertum.
Ada 8 (delapan) hal yang harus diperhatikan saat pihak berwenang
meminta dokter untuk membuat visum et repertum korban hidup, yakni
sebagai berikut: Pertama, Harus tertulis, tidak boleh secara lisan; Kedua,
Langsung menyerahkannya kepada dokter,tidak boleh dititip melalui
korban atau keluarganya, serta tidak boleh melalui jasa pos;Ketiga,
Bukan kejadian yang sudah lewat sebab termasuk rahasia jabatan
dokter;Keempat, Ada alasan mengapa korban dibawa kepada dokter;
Kelima, Ada identitas korban; Keenam, Ada identitas pemintanya;
Ketujuh, Mencantumkan tanggal permintaannya; Kedelapan, Korban
diantar oleh polisi atau jaksa.
2. Macam-Macam Visum Et Repertum
a. Visum Et Repertum Korban Hidup
1) Visum Et Repertum
60
Visum Et Repertum diberikan bila korban setelah diperiksa
didapatkan lukanya tidak menimbulkan penyakit atau halangan
untuk menjalankan tugas jabatan atau pencarian.
2) Visum Et Repertum Sementara
Visum Et Repertum Sementara diberikan apabila setelah
diperiksa, korban perlu dirawat atau diobservasi. Karena korban
belum sembuh, Visum Et Repertum sementara tidak memuat
kualifikasi luka.Ada 5 manfaat dibuatnya Visum Et Repertum
sementara, yaitu:
a) Menentukan apakah ada tindak pidana atau tidak, b) Mengarahkan penyelidikan, c) Berpengaruh terhadap putusan untuk melakukan penahanan
sementara terhadap terdakwa, d) Menentukan tuntutan jaksa, e) Medical record. 54
3) Visum Et Repertum Lanjutan.
Visum Et Repertum lanjutan diberikan apabila setelah dirawat
atau diobservasikorban sembuh, korban belum sembuh, pindah
Rumah Sakit, korban belum sembuh pulang paksa, dan korban
meninggal dunia.
b. Visum Et Repertum Mayat.
Visum Et Repertum mayat dibuat berdasar otopsi
lengkapberdasarkan pemeriksaan luar dan dalam mayat. Visum ini
54I Ketut Murtika dan Djoko Prakoso, Dasar-dasar Ilmu Kedokteran Kehakiman, Rineka Cipta, Jakarta, 1992, Hal. 135.
61
dibuat untuk mencari sebab kematian serta hubungannya dengan
tindak pidana sehingga harus dilakuakan otopsi.55
Jenazah yang akan dimintakan visum et repertum harus diberi
label yang memuat identitas mayat, dilakukan dengan diberi cap
jabatan, diikatkan pada ibu jari kaki atau bagian tubuh lainnya. Pada
surat permintaan visum et repertum harus jelas tertulis jenis
pemeriksaan yang diminta, apakah pemeriksaan luar (pemeriksaan
jenazah) atau pemeriksaan dalam/autopsi (pemeriksaan bedah
jenazah). Pemeriksaan forensik terhadap jenazah meliputi :
a) Pemeriksaan luar jenazah yang berupa tindakan yang tidak
merusak keutuhan jaringan jenazah secara teliti dan sistematik
b) Pemeriksaan bedah jenazah, pemeriksaan secara menyeluruh
dengan membuka rongga tengkorak, leher, dada, perut, dan
panggul.
Kadang kala dilakukan pemeriksaan penunjang yang diperlukan
seperti pemeriksaan histopatologi, toksikologi, serologi, dan
sebagainya.Dari pemeriksaan dapat disimpulkan sebab, jenis luka atau
kelainan, jenis kekerasan penyebabnya, sebab dan mekanisme
kematian, serta saat kematian seperti tersebut di atas.
c. Visum Et Repertum Pemeriksaan Ditempat Kejadian.
d. Visum Et Repertum Penggalian Mayat.
e. Visum Et Repertum Mengenai Umur.
55I Ketut Murtika dan Djoko Prakoso, Op. Cit, Hal. 131.
62
f. Visum Et Repertum Psikiatrik.
Visum et repertum psikiatrik perlu dibuat oleh karena adanya
pasal 44 (1) KUHP yang berbunyi ”Barang siapa melakukan perbuatan
yang tidak dapat dipertanggungjawabkan padanya disebabkan karena
jiwanya cacat dalam tumbuhnya atau terganggu karena penyakit, tidak
dipidana”. Jadi selain orang yang menderita penyakit jiwa, orang yang
retardasi mental juga terkena pasal ini. Visum ini diperuntukkan bagi
tersangka atau terdakwa pelaku tindak pidana, bukan bagi korban
sebagaimana yang lainnya. Selain itu visum ini juga menguraikan
tentang segi kejiwaan manusia, bukan segi fisik atau raga manusia.
Karena menyangkut masalah dapat dipidana atau tidaknya seseorang
atas tindak pidana yang dilakukannya, maka adalah lebih baik bila
pembuat visum ini hanya dokter spesialis psikiatri yang bekerja di
rumah sakit jiwa atau rumah sakit umum.
g. Visum Et Repertum Mengenai Barang Bukti: darah, mani, dan
sebagainya.
Tujuan dari Visum Et Repertum adalah untuk memberikan
kepada hakim suatu kenyataan atau fakta-fakta dari barang bukti
tersebut atas semua keadaan sebagaimana tertuang dalam bagian
pemberitaan, agar supaya hakim dapat mengambil putusannya dengan
tepat atas dasar kenyataan atau fakta-fakta tersebut. Fakta-fakta
tersebut kemudian ditarik suatu “Kesimpulan”, maka atas dasar
pendapatnya yang dilandasai pengetahuan yang sebaik-baiknya
63
berdasarkan atas keahliannya tersebut diharapkan agar supaya usaha
membantu pemecahan pengungkapan masalahnya menjadi terang
(lebih jelas), dan hal mana diserahkan hakim sepenuhnya.
F. Syarat Alat Bukti Visum Et Repertum
Pembuatan visum et repertum haruslah memenuhi syarat formil dan
syarat materil. Syarat formil menyangkut prosedur yang harus dipenuhi yakni
sebagaimana tercantum dalam Instruksi Kapolri No.Pol INS/E/20/IX/75 tentang
Tata Cara Permohonan/pencabutan visum et repertum sebagai berikut:
a. Permintaan visum et repertum haruslah tertulis (sesuai dengan Pasal
133 Ayat (2) KUHAP);
b. Pemeriksaan atas mayat dilakukan dengan cara dibedah, jika ada
keberatan dari pihak keluarga korban, maka pihak Pilisi atau
pemeriksa memberikan penjelasan akan pentingnya dilakukan dengan
bedah mayat;
c. Permintaan visum et repertum hanya dilakukan terhadap tindak
pidana yang baru terjadi, tidak dibenarkan permintaan yang telah
lampau;
d. Polisi wajib menyaksikan dan mengikuti jalannya bedah mayat;
e. Untuk mencegah hal-hal yang tidak diinginkan, maka polisi perlu
melakukan pengamanan tempat dilakukannya bedah mayat.
Sedangkan syarat materil visum et repertum adalah menyangkut isi dari
visum et repertum tersebut yaitu sesuai dengan kenyataan yang ada pada tubuh
64
korban yang diperiksa. Disamping itu isi dari visum et repertum tersebut tidak
bertentangan dengan ilmu kedokteran yang telah teruji kebenarannya.
G. Tindak Pidana Penganiayaan
1. Pengertian Tindak Pidana Penganiayaan
Penganiayaan adalah istilah yang digunakan KUHP untuk tindak
pidana terhadap tubuh. Namun KUHP sendiri tidak memuat arti
penganiayaan tersebut. Dalam kamus besar Bahasa Indonesia arti
penganiayaan adalah: “perlakuan yang sewenang-wenang”. Pengertian
yang dimuat dalam kamus besar Bahasa Indonesia adalah pengertian
dalam arti luas, yakni yang menyangkut termasuk “perasaan” atau
“bathiniah”. Sedangkan yang dimaksud penganiayaan dalam hukum
pidana adalah menyangkut tubuh manusia.
Meskipun pengertian penganiayaan tidak ada dimuat dalam KUHP,
namun kita dapat melihat pengertian penganiayaan menurut pendapat
sarjanah, doktrin, dan penjelasan menteri kehakiman.
Menurut Mr. M.H. Tirtaamidjaja, pengertian penganiayaan sebagai
berikut:
“Menganiaya adalah dengan sengaja menyebabkan sakit atau luka pada orang lain. Akan tetapi perbuatan yang menyebabkan sakit atau luka pada orang lain, tidak dapat dianggap sebagai penganiayaan kalau perbuatan itu dilakukan untuk menambah keselamatan badan.” Menurut ilmu pengetahuan (doktrin) pengertian penganiayaan
adalah sebagai berikut :
65
“Setiap perbuatan yang dilakukan dengan sengaja untuk menimbulkan rasa sakit atau luka pada orang lain.” Berdasarkan doktrin diatas bahwa setiap perbuatan dengan sengaja
menimbulkan rasa sakit atau luka pada tubuh merupakan penganiayaan
yang terhadap pelakunya diancam pidana. Padahal dalam kehidupan
sehari-hari cukup banyak perbuatan yang dengan sengaja menimbulkan
rasa sakit atau luka pada tubuh yang terhadap pelakunya tidak semestinya
diancam dengan pidana.
Sedangkan menurut penjelasan menteri kehakiman pada waktu
pembentukan Pasal 351 KUHP dirumuskan, antara lain :
a) Setiap perbuatan yang dilakukan dengan sengaja untuk memberikan penderitaan badan kepada orang lain.
b) Setiap perbuatan yang dilakukan dengan sengaja untuk merugikan kesehatan pada orang lain.
Berbeda dengan RUU-KUHP 1993 yang memberikan penafsiran
kepada hakim. Penjelasan resmi RUU-KUHP 1993 yang dimuat dalam
penjelasan resmi Pasal 451 (20.01) dimuat antara lain sebagai berikut :
“perumusan penganiayaan tidak perlu ditentukan secara pasti mengingat kemungkinan perubahan nilai-nilai social dan budaya serta perkembangan dalam dunia kedokteran dan sosiologi”.
2. Unsur-Unsur Tindak Pidana Penganiayaan
Untuk lebih memperjelas tindak pidana penganiayaan sebagaimana
terurai diatas, berikut ini akan diuraikan makna dari masing-masing unsur
tersebut.
66
a. Unsur Kesengajaan.
Dalam tindak pidana penganiayaan unsur kesengajaan harus
diartikan secara luas yaitu meliputi kesengajaan sebagai maksud,
kesengajaan sebagai kepastian dan kesengajaan sebagai kemungkinan.
Dengan penafsiran bahwa unsur kesengajaan dalam tindak
pidana penganiayaan ditafsir sebagai kesengajaan sebagai maksud
(opzet alsa olmergk), maka seorang baru dikatakan melakukan tindak
pidana penganiayaan, apabila orang itu mempunyai maksud
menimbulkan akibat berupa rasa sakit atau luka pada tubuh. Jadi, dalam
hal ini maksud orang itu haruslah ditujukan pada perbuatan dan rasa
sakit atau luka pada tubuh.
Walaupun secara prinsip kesengajaan dalam tindak pidana
penganiayaan harus ditafsirkan sebagai kesengajaan sebagai maksud,
namun dalam hal-hal tertentu kesengajaan dalam penganiayaan juga
dapat ditafsirkan sebagai kesengajaan sebagai kemungkinan.
Namun demikian penganiayaan itu bisa ditafsirkan sebagai
kesengajaan dalam sadar akan kemungkinan, tetapi penafsiran tersebut
juga terbatas pada adanya kesengajaan sebagai kemungkinan terhadap
akibat. Artinya dimungkinkan penafsiran secara luas unsur kesengajaan
itu yaitu kesengajaan sebagai maksud, kesengajaan sebagai
kemungkinan bahkan kesengajaan sebagai kepastian, hanya
dimungkinkan terhadap akibatnya. Sementara terhadap perbuatan itu
haruslah pada tujuan pelaku.
67
b. Unsur Perbuatan.
Yang dimaksud perbuatan dalam penganiayaan adalah perbuatan
dalam arti positif. Artinya perbuatan tersebut haruslah merupakan
aktivitas atau kegiatan dari manusia dengan menggunakan (sebagaian)
anggota tubuhnya sekalipun sekecil apapun perbuatan itu.
Selain bersifat positif, unsur perbuatan dalam tindak pidana
penganiayaan juga bersifat abstrak. Artinya penganiayaan itu bisa
dalam berbagai bentuk perbuatan seperti memukul, mencubit, mengiris,
membacok, dan sebagainya.
c. Unsur akibat yang berupa rasa sakit atau luka tubuh.
Rasa sakit dalam konteks penganiayaan mengandung arti sebagai
terjadinya atau timbulnya rasa sakit, rasa perih, atau tidak enak
penderiataan.
Sementara yang dimaksud dengan luka adalah adanya perubahan
dari tubuh, atau terjadinya perubahan rupa pada tubuh sehingga
menjadi berbeda dari keadaan tubuh sebelum terjadinya penganiayaan.
Perubahan rupa itu misalnya lecet-lecet pada kulit, putusnya jari
tangan, bengkak-bengkak pada anggota tubuh dan sebagainya.
Unsur akibat - baik berupa rasa sakit atau luka – dengan unsur
perbuatan harus ada hubungan kausal. Artinya, harus dapat dibuktikan,
bahwa akibat yang berupa rasa sakit atau luka itu merupakan akibat
langsung dari perbuatan dengan akibat ini, maka tidak akan dapat
dibuktikan dengan adanya tindak pidana penganiayaan.
68
d. Akibat mana yang menjadi tujuan satu-satunya.
Unsur ini mengandung pengertian, bahwa dalam tindak pidana
penganiayaan akibat berupa rasa sakit atau luka pada tubuh itu haruslah
merupakan tujuan satu-satunya dari pelaku. Artinya memang pelaku
menghendaki timbulya rasa sakit atau luka dari perbuatan
(penganiayaan) yang dilakukannya. Jadi, untuk adanya penganiayaan
harus dibuktikan bahwa rasa sakit atau luka pada tubuh itu menjadi
tujuan dari pelaku.
Apabila akibat yang berupa rasa sakit atau luka itu bukan
menjadi tujuan dari pelaku tetapi hanya sebagai sarana untuk mencapai
tujuan lain yang patut, maka dalam hal ini tidak terjadi penganiayaan.
Penganiayaan adalah tindak pidana yang menyerang kepentingan
hukum berupa tubuh manusia. Di dalam KUHP terdapat ketentuan
yang mengatur berbagai perbuatan yang menyerang kepentingan
hukum yang berupa tubuh manusia.
69
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Metode Pendekatan
Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian yuridis
normatif, yaitu suatu prosedur penelitian ilmiah untuk menemukan kebenaran
berdasarkan logika keilmuan hukum dari sisi normatifnya. Dalam kajian ini,
hukum dilihat sebagai sebuah sistem tersendiri yang terpisahdengan berbagai
sistem lain yang ada di dalam masyarakat sehingga memberi batas antara
sistem hukum dengan sistem lainnya.56
B. Spesifikasi Penelitian
Spesifikasi penelitian yang digunakan adalah preskriptif57 yaitu suatu
penelitian ditujukan untuk mendapatkan saran-saran mengena siapa yang
harus dilakukan untuk mengatasi masalah-masalah tertentu yang dikaitkan
dengan penerapan sanksi pidana terhadap pelaku tindak pidana penganiayaan.
C. Sumber Data
Sumber data sekunder adalah sejumlah keterangan atau fakta-fakta
yang secara tidak langsung diperoleh melalui bahan dokumen, Peraturan
perundang-undangan, laporan, arsip, literatur, dan hasil penelitian lainnya.58
Sumber data sekunder yang digunakan Penulis antara lain :
56Jhonny, Ibrahim, 2007, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Malang, Cetakan Ketiga, Bayumedia Publishing, Hal. 296. 57Soerjono soekanto,1981, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta, Cetakan Pertama, UII Press, Hal .10. 58Ibid.,Hal. 12
70
1) Bahan Hukum Primer
Bahan hukum primer, yaitu: norma atau kaidah dasar, peraturan
Perundang-undangan. Dalam penelitian ini, bahan hukum primer yang
digunakan adalah :
a) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
b) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
c) Putusan Nomor:179/Pid.B/2013/PN.Kdr.
2) Bahan Hukum Sekunder
Bahan hukum sekunder, yaitu: bahan-bahan yang memberikan penjelasan
mengenai bahan hukum primer, berupa hasil karya dari kalangan hukum
dalam bentuk buku-buku literatur atau artikel. Bahan hukum sekunder
digunakan dengan pertimbangan bahwa data primer tidak dapat
menjelaskan realitas secara lengkap sehingga diperlukan bahan hukum
primer dan sekunder sebagai data sekunder untuk melengkapi deskripsi
suatu realitas.
D. Metode Pengumpulan Data.
Data yang dikumpulkan dilakukan melalui studi kepustakaan. Studi
kepustakaan yaitu dengan melihat buku literatur, kumpulan bahan hukum
kuliah, dan peraturan perundang-undangan, sehingga menjadi pedoman dalam
pembuatan karya tulis ini.
71
E. Metode Pengajian Data
Hasil penelitian disajikan dalam bentuk uraian-uraian yang
disusunsecara sistematis, maksudnya adalah keseluruhan data yang diperoleh
akan dihubungkan satu dengan yang lainnya disesuakan dengan pokok
permasalahan yang diteliti sehingga merupakan satu kesatuan yang utuh.
F. Metode Analisis Data
Data yang diperoleh akan dianalisis dengan menggunakan
metodenormatif kualitatif, yaitu dengan cara menjabarkan dan menafsirkan
data yang diperoleh berdasarkan norma-norma atau kaidah-kaidah, teori-
teori,pengertian-pengertian hukum dan doktrin-doktrin yang terdapat dalam
ilmu hukum, khususnya dalam Hukum Acara Pidana.
72
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil penelitian
Penelitian ini dilakukan terhadap putusan perkara pidana Pengadilan
Negeri Kediri dengan nomor perkara 179/Pid.B/2013/PN.KDR tentang tindak
pidana penganiayaan dan oleh karena itu perlu dijelaskan terlebih dahulu data-
data dari putusan tersebut, sebagai berikut:
1. Duduk Perkara
Awal mula perkara ini adalah terdakwa SS, Saksi korban ST dan
Terdakwa sebelumnya adalah suami istri yang menikah pada tahun 2000 akan
tetapi pernikahan tersebut berakhir perceraian sekitar bulan Maret 2013,dengan
adanya perceraian tersebut terdakwa merasa kesal kepada saksi korban SS
selanjutnya terdakwa meminta uang sejumlah Rp. 10.000.000,(sepuluh juta
rupiah) sebagai uang gono gini kepada saksi korban SS, meskipun terdakwa
sendiri mengetahui bahwa dalam putusan perceraian di Pengadilan Agama
Kabupaten. Kediri tidak menjelaskan tentang harta gono gini, dan apabila
permintaan terdakwa tidak diberi maka saksi korban SS akan diganggu terus.
Pada saat saksi korban SS berada di pasar grosir dengan tujuan kulakan
sayuran bertemu terdakwa SS di dalam Pasar Grosir. Kemudian terdakwa mencaci
maki saksi korban ST dan minta uang kepada saksi korban ST. Kesal karena tidak
diberi uang terdakwa SS melakukan penganiayaan terhadap saksi korban ST
73
dengan melakukan pemukulan terhadap saksi korban SS dengan tangan kanan
yang mengengam diayunkan ke bagian mulut saksi korban SS dengan ditekankan
(dijetepne) jari telunjuk dengan keras sebanyak 1 kali sehingga menggakibatkan
mulut saksi korban SS luka berdarah karena gigi bagian bawah lepas 1 (satu). Dan
saksi korban dibawa ke rumah sakit Bhayangkara untuk melakukan Visum Et
Repertum dan melaporkannya ke kantor polisi.
2. Dakwaan Jaksa
Dalam perkara, terdakwa SS didakwa jaksa penuntut umum dengan
dakwaan tunggal sebagai berikut :
Pada hari Senin tanggal 27 Mei 2013 sekira jam. 12.30 WIB atau setidak-
tidaknya pada suatu waktu lain dalam tahun 2013 bertempat Dalam Pasar Grosir
Kelurahan Ngronggo Kecamatan Kota Kediri atau setidak-tidaknya pada suatu
tempat lain yang masih termasuk dalam daerah Hukum Pengadilan Negeri Kediri,
terdakwa SS dengan sengaja telah melakukan penganiayaan terhadap saksi korban
ST.
Perbuatan mana dilakukan dengan cara pada hari Senin tanggal 27 Mei
2013 sekira jam. 12.30 WIB Saksi korban ST dan terdakwa bertemu di dalam
Pasar Grosir terdakwa melakukan pemukulan terhadap saksi korban ST yang
dilakukan dengan cara pada saat posisi saling berhadap hadapan dengan jarak
kurang lebih 1(satu) meter antara terdakwa dan saksi Siti Kotimah, terdakwa
dengan tangan kanan yang mengengam diayunkan ke bagian mulut saksi korban
ST dengan ditekankan (dijetepne) jari telunjuk dengan keras sebanyak 1 kali
74
sehingga menggakibatkan mulut saksi korban ST luka berdarah karena gigi bagian
bawah lepas 1 (satu). Akibat dari perbuatan terdakwa yang telah melakukan
penganiayaan atau pemukulan tersebut, saksi korban ST mengalami luka-luka
dengan hasil Visum Et Repertum Rumah Sakit Bhayangkara Kediri NO. VER / 96
/ V/ 2013 / Rumkit yang dibuat dan ditandatangai oleh dr. T Wahyudi W Dokter
Pada Rumah Sakit Bhayangkara Kediri, yang telah melakukan pemeriksaan pada
hari Selasa tanggal 28 Mei 2013 dengan hasil pemeriksaan sebagai berikut :
- Kepala : terdapat gigi seri pertama kiri atas lepas ;
Dengan kesimpulan ditemukan gigi seri pertama kiri atas lepas diduga
akibat persentuhan tumpul. Perbuatan terdakwa tersebut sebagaimana diatur dan
diancam pidana dalam Pasal 351(1) KUHP Tentang Tindak Penganiayaan.
3. Pembuktian
a. Keterangan Saksi
Untuk membuktikan dakwaannya tersebut, Penuntut Umum di persidangan
telah mengajukan saksi-saksi yang masing-masing telah memberikan
keterangannya di bawah sumpah menurut cara agamanya, yang pada pokoknya
sebagai berikut:
SAKSI I : ST
Memberikan keterangan bahwa saksi sudah pernah diperiksa oleh penyidik
sehubungan dengan perkara terdakwa tersebut. Saksi mengatakan kenal dengan
terdakwa karena terdakwa dulu mantan suami saksi. Kejadian penganiayaan
tersebut terjadi pada hari Senin, tanggal 27 Mei 2013, sekitar pukul 12.30 WIB.
75
bertempat di Lingkungan Pasar Grosir Ngronggo tepatnya didepan kios milik
saksi Tentrem Blok C No. 45 Kelurahan Ngronggo, Kota Kediri, saksi ada di
pasar grosir tersebut dengan tujuan kulakan / mau beli sayuran, dan tidak sengaja
bertemu dengan terdakwa kemudian terdakwa mencaci maki saksi dan minta uang
kepada saksi sebesar Rp.,10.000.000,-(sepuluh juita rupiah) katanya uang gono
gini, kalau tidak saksi kasih, saksi akan diteror dan diancam oleh terdakwa. Saksi
juga menjelaskan bahwa saksi dan terdakwa dalam perceraiannya di Kantor
Pengadilan Agama terdakwa tidak mengajukan hak gono gini. Selama terdakwa
menikah dengan saksi, terdakwa tidak pernah memukul, hanya saja terdakwa
pernah menendang dan menjambak saksi.
Sebelum menikah, terdakwa adalah seorang duda dan saksi janda bawa
anak satu, kemudian saksi dan terdakwa pacaran dan terdakwa memang sering
mencaci maki saksi, tapi saksi mau menikah dengan terdakwa karena sudah
terlanjur cinta. Pada saat kejadian saksi dipukul oleh terdakwa saat itu, karena
terdakwa minta uang gono gini kepada saksi sebesar Rp.10.000.000,-(sepuluh juta
rupiah), padahal pada saat terdakwa menikah dengan saksi, terdakwa tidak
membawa apa-apa dan tidak kaya, kadang kerja kadang tidak lalu kerja jadi kuli
bangunan.
Pada saat kejadian saksi dipukul terdakwa kena gigi saksi sampai patah
dengan menggunakan tangan kanan dan ada visum dari dokter dan setelah dipukul
terdakwa sebanyak satu kali hingga keluar darah dan pada saat itu ada saksinya.
Saksi pusing beberapa hari dan tidak bisa jualan selama dua atau tiga minggu dan
karena takut, tensi saksi yang biasanya 120 jadi naik menjadi 160, dan sebelum
76
dipukul terdakwa gigi saksi utuh. Setelah kejadian keluarga terdakwa ada yang
datang kerumah saksi untuk minta maaf, tapi kalau terdakwa tidak minta maaf
kepada saksi dan tidak ada perdamaian, justru terdakwa meneror saksi lewat HP
dan memaki-maki saksi, lalu saksi lapor ke polisi kemudian terdakwa ditahan.
Saksi II : TENTREM
Memberikan keterangan bahwa saksi kenal kepada terdakwa SS namun
tidak mempunyai hubungan keluarga maupun kerja dengan terdakwa. Pada hari
Senin, tanggal 27 Mei 2013,sekitar pukul 12.30 wib. bertempat di Lingkungan
Pasar Grosir Ngronggo tepatnya didepan kios milik sdr. Tentrem Blok C No. 45
Kelurahan Ngronggo, Kota Kediri, terdakwa telah melakukan penganiayaan
terhadap saksi korban ST yang merupakan mantan istrinya didepan kios milik
saksi. Saksi korban dipukul terdakwa kena gigi saksi sampai patah dengan
menggunakan tangan kanan dan ada visum dari dokter dan setelah dipukul
terdakwa sebanyak satu kali dan keluar darah. Saksi tahu terdakwa saat itu
terdakwa melakukan penganiayaan kepada saksi korban dengan cara
menggunakan jari-jari tangan kanannya ditekankan kearah mulut saksi korban
sebanyak satu kali dengan posisi saling berhadap-hadapan dan setahu saksi ,saksi
korban tidak membalas. Setelah kejadian bagian mulut saksi korban berdarah dan
gigi bagian bawah saksi korban tanggal / lepas (rontok) satu.
Saksi III : TEGUH SANTOSO
Memberikan keterangan bahwa saksi kenal kepada terdakwa SS namun
tidak mempunyai hubungan keluarga maupun kerja dengan terdakwa. Saksi
mengetahui pada hari Senin, tanggal 27 Mei 2013, sekitar pukul 12.30 wib.
77
bertempat di Lingkungan Pasar Grosir Ngronggo tepatnya didepan kios milik
saksi Tentrem Blok C No. 45 Kelurahan Ngronggo, Kota Kediri, terdakwa telah
melakukan penganiayaan terhadap saksi korban yang merupakan mantan istrinya
didepan kios milik saksi Tentrem. Saksi korban dipukul terdakwa kena gigi saksi
sampai patah dengan menggunakan tangan kanan dan ada visum dari dokter dan
setelah dipukul terdakwa sebanyak satu kali dan keluar darah. Saksi tahu terdakwa
saat itu melakukan penganiayaan kepada saksi korban dengan cara menggunakan
jari-jari tangan kanannya ditekankan kearah mulut saksi korban sebanyak satu kali
dengan posisi saling berhadap-hadapan dan setahu saksi korban tidak membalas.
Setelah kejadian bagian mulut saksi korban berdarah dan gigi bagian bawah saksi
korban tanggal / lepas (rontok) satu.
b. Surat
Sebagaimana Visum et Repertum No.VER/96/V/2013/Rumkit, tanggal 28
Mei 2013 yang dibuat dan ditanda tangani oleh dr. T.Wahyudi. W, dokter pada
RS. Bhayangkara Kediri, dengan kesimpulan :
a) Pada saat dilakukan pemeriksaan didapatkan gigi seri pertama kiri atas lepas
diduga akibat persentuhan tumpul;
b) Hal ini tidak mendatangkan penyakit atau halangan buat menjalankan
kewajiban sebagai swasta;
c) Orang ini sudah sembuh sama sekali jikalau sekiranya tidak ada hal-hal yang
menambah penyakitnya (komplikasi).
78
c. Keterangan Terdakwa
Dipersidangan telah didengar pula keterangan terdakwa sebagai berikut :
Pada hari Senin, tanggal 27 Mei 2013,sekitar pukul 12.30 WIB.
bertempat di Lingkungan Pasar Grosir Ngronggo tepatnya didepan kios milik
saksi Tentrem Blok C No. 45 Kelurahan Ngronggo, Kota Kediri, terdakwa telah
melakukan penganiayaan terhadap saksi korban ST mantan istrinya. Saat itu saksi
melakukan penganiayaan terhadap mantan istrinya dengan cara mencolokkan jari
telunjuknya ke bagian mulut saksi korban dengan menggunakan tangan kanan
terdakwa sebanyak satu kali dan saksi korban tidak melawan.
Terdakwa melakukan perbuatan tersebut, karena sebelumnya antara
terdakwa dengan saksi korban telah terjadi pertengkaran (cekcok) karena
terdakwa tidak mau diceraikan oleh saksi korban dengan alasan karena terdakwa
masih sayang dengan saksi korban. Setelah terdakwa mencolokkan jari
telunjuknya ke bagian mulut saksi korban, salah satu gigi bagian atas saksi korban
tersebut copot / terlepas, kemudian terdakwa langsung pergi ke tempat kerjanya
yang berlokasi di dalam area Unit VI PT. Gudang Garam Kediri, sebagai kuli
bangunan. Terdakwa merasa bersalah, menyesal dan berjanji tidak akan
mengulangi lagi perbuatannya. Terdakwa pernah juga menjelaskan bahwa dirinya
pernah dihukum selama 3 (tiga) bulan pada tahun 2007, karena perkara sabung
ayam.
79
4. Tuntutan Jaksa Penuntut Umum
Penuntut Umum mengajukan tuntutan(requisitoir) tertanggal 19 Agustus
2013 yang pada pokoknya menuntut supaya Majelis Hakim Pengadilan Negeri
Kediri yang memeriksa dan mengadili perkara ini memutuskan sebagai berikut :
1. Menyatakan terdakwa SUTRISNO bin SUDJONO terbukti secara sah dan
meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana "PENGANIAYAAN ", sesuai
dengan Pasal 351 (1) KUHP;
2. Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa SUTRISNO bin SUDJONO, dengan
pidana penjara selama :7 (tujuh) bulan penjara dikurangi selama terdakwa
berada dalam tahanan sementara dengan perintah agar terdakwa tetap ditahan;
3. Menetapkan supaya terdakwa SUTRISNO bin SUDJONO dibebani biaya
perkara sebesar Rp. 2.000,-(dua ribu rupiah) ;
5. Putusan Hakim Pengadilan Negeri
a. Pertimbangan Hukum Hakim
Berdasarkan fakta-fakta yang terungkap dalam persidangan tersebut,
selanjutnya Majelis Hakim akan mempertimbangkan apakah fakta- fakta tersebut
dapat memenuhi unsur-unsur pasal yang didakwakan kepada terdakwa dan apakah
terdakwa dapat dipersalahkan telah melakukan tindak pidana yang didakwakan
kepadanya.
Hakim dalam memutuskan perkara berdasarkan dakwaan yang
didakwakan kepada terdakwa SUTRISNO oleh Jaksa Penuntut Umum
berdasarkan pertimbangan sebagai berikut:
80
Menimbang, bahwa di persidangan terdakwa telah didakwa oleh Penuntut
Umum berdasarkan dakwaan yang disusun secara tunggal, yakni, Pasal 351
ayat(1) KUHP mengenai penganiayaan, yang unsur-unsurnya sebagai berikut :
1) Dengan sengaja;
2) Menyebabkan perasaan tidak enak (penderitaan), rasa sakit (pijn)
atau luka;
Add. 1 Unsur Dengan Sengaja :
Menimbang, bahwa yang dimaksud dengan sengaja adalah adanya niat
atau kehendak dari pelaku untuk melakukan perbuatan sebagaimana dilarang oleh
undang-undang;
Menimbang, bahwa berdasarkan keterangan saksi korban Siti Khotimah,
saksi Tentrem, saksi Teguh Santoso dan terdakwa yang saling berkaitan di
persidangan terungkap bahwa pada hari Senin, tanggal 27 Mei 2013,sekitar
pukul 12.30 WIB. bertempat di Lingkungan Pasar Grosir Ngronggo tepatnya
didepan kiso milik saksi Tentrem Blok C No. 45 Kelurahan Ngronggo, Kota
Kediri, terdakwa telah melakukan penganiayaan terhadap mantan istrinya
bernama Siti Khotimah dengan menggunakan tangan kanannya;
Menimbang, bahwa terdakwa menganiaya Saksi Siti Khotimah dengan
cara mencolokkan jari telunjuknya ke bagian mulut Siti Khotimah dengan
menggunakan tangan kanan terdakwa sebanyak satu kali dan Siti Khotimah tidak
melawan;
Menimbang, bahwa setelah terdakwa mencolokkan jari telunjuknya ke
bagian mulut Siti Khotimah, akibatnya salah satu gigi bagian atas Siti Khotimah
81
tersebut copot / terlepas, kemudian terdakwa langsung pergi ke tempat kerjanya
yang berlokasi di dalam area Unit VI PT. Gudang Garam Kediri, sebagai kuli
bangunan;
Menimbang, bahwa terdakwa melakukan perbuatan tersebut, karena
sebelumnya antara terdakwa dengan Siti Khotimah telah terjadi
pertengkaran(cekcok) karena terdakwa tidak mau diceraikan oleh Siti Khotimah,
karena terdakwa masih sayang dengannya, sehingga dengan demikian unsur
dengan sengaja telah terpenuhi ;
Add. 2 Unsur Menyebabkan Perasaan Tidak Enak (Penderitaan), Rasa Sakit
(pijn) atau Luka.
Menimbang, bahwa dalam unsur ini antara perasaan tidak enak
(penderitaan), rasa sakit (pijn) atau luka dengan perbuatan yang dilakukan oleh
terdakwa harus ada hubungan causa, artinya bahwa timbulnya perasaan tidak enak
(penderitaan), rasa sakit (pijn) atau luka harus merupakan akibat langsung dari
perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa ;
Menimbang, bahwa menurut keterangan para saksi dan terdakwa di
persidangan diketahui bahwa akibat dari pukulan yang dilakukan oleh terdakwa
terhadap saksi Siti Khotimah dengan menggunakan tangan kanannya,
mengakibatkan saksi Siti Khotimah salah satu gigi bagian atas Siti Khotimah
tersebut copot / terlepas;
Menimbang, bahwa keterangan para saksi dan terdakwa tersebut dikuatkan
oleh hasil pemeriksaan Visum et Repertum No.VER/96/V/2013/Rumkit, tanggal
82
28 Mei 2013yang dibuat dan ditanda tangani oleh dr. T. Wahyudi. W, dokter pada
RS. Bhayangkara Kediri, dengan kesimpulan :
a) Pada saat dilakukan pemeriksaan didapatkan gigi seri pertama kiri atas lepas
diduga akibat persentuhan tumpul;
b) Hal ini tidak mendatangkan penyakit atau halangan buat menjalankan
kewajiban sebagai swasta;
c) Orang ini sudah sembuh sama sekali jikalau sekiranya tidak ada hal-hal yang
menambah penyakitnya (komplikasi) ;
Menimbang, bahwa dari keterangan para saksi dan terdakwa tersebut di
atas yang kemudian dikuatkan oleh hasil pemeriksaan Visum et Repertum, terbukti
bahwa akibat perbuatan terdakwa mencolokkan jari telunjuknya ke bagian mulut
Siti Khotimah dengan menggunakan tangan kanan terdakwa sebanyak satu kali,
sebagaimana dalam Visum et Repertum di atas, maka menurut pendapat Majelis
Hakim bahwa unsur kedua ini juga terpenuhi;
Menimbang, bahwa oleh karena semua unsur dalam Pasal 351 ayat (1)
KUHP telah terpenuhi, maka menurut Majelis Hakim, terdakwa terbukti secara
sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana sebagaimana dalam dakwaan
Penuntut Umum tersebut yang kualifikasinya akan ditetapkan dalam amar
putusan;
Menimbang, bahwa oleh karena selama pemeriksaan perkara ini tidak
ditemukan adanya alasan pemaaf maupun alasan pembenar yang dapat menghapus
kesalahan terdakwa dan sifat melawan hukumnya perbuatan, maka terdakwa harus
83
mempertanggung jawabkan atas perbuatannya dan dinyatakan bersalah serta harus
pula dijatuhi pidana ;
Menimbang, bahwa mengenai lamanya pidana yang akan dijatuhkan,
Majelis Hakim terlebih dahulu akan mempertimbangkan hal-hal yang
memberatkan maupun yang meringankan yang ada pada diri terdakwa;
Hal-hal yang memberatkan :
a) Perbuatan terdakwa menimbulkan penderitaan bagi orang lain;
b) Terdakwa pernah dihukum;
Hal-hal yang meringankan :
a) Terdakwa menyesali perbuatannya dan berjanji tidak akan mengulangi lagi
perbuatan yang melanggar hukum;
b) Terdakwa bersikap sopan di persidangan, sehingga memperlancar jalannya
persidangan ;
Menimbang, bahwa oleh karena dalam perkara ini terdakwa telah
ditangkap dan selama pemeriksaan perkara ini sejak dari penyidikan sampai
dengan pemeriksaan di persidangan terdakwa ditahan, maka masa penangkapan
dan lamanya terdakwa berada dalam tahanan dikurangkan seluruhnya dari pidana
yang akan dijatuhkan ;
Menimbang, bahwa untuk menjamin putusan ini dapat dilaksanakan
setelah putusan ini mempunyai kekuatan hukum tetap, maka perlu ditetapkan agar
terdakwa tetap berada dalam tahanan;
84
Menimbang, bahwa oleh karena terdakwa dinyatakan bersalah dan dijatuhi
pidana, maka kepada terdakwa harus dibebani membayar biaya perkara yang
besarnya akan ditetapkan dalam amar putusan ini;
Memperhatikan, Pasal 351 Ayat (1) KUHP dan Kitab Undang - Undang
Hukum Acara Pidana (KUHAP) serta peraturan lainnya yang bersangkutan.
b. Amar Putusan Pengadilan Negeri
Mengadili:
1) Menyatakan terdakwa SUTRISNO Bin SUJONO terbukti secara sah dan
meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana : “PENGANIAYAAN“;
2) Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa dengan pidana penjara selama : 4
(empat) bulan;
3) Menetapkan masa penahanan yang telah dijalani oleh terdakwa dikurangkan
seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan;
4) Menetapkan terdakwa tetap dalam tahanan;
5) Membebankan kepada terdakwa membayar biaya perkara sebesar
Rp.2.000,00(dua ribu rupiah);
B. Pembahasan
Berdasarkan hasil penilitan terhadap perkara tindak pidana penganiayaan
diwilayah hukum Pengadilan Negeri Kediri dalam putusan Nomor
179/Pid.B/2013/PN.Kdr dan dengan melakukan studi pustaka yang berhubungan
dengan objek penelitian, maka dapat dilakukan suatu analisis sebagai berikut:
85
1. Kekuatan Pembuktian Visum Et Repertum dalam Tindak Pidana Penganiayaan yang dilakukan Sutrisno dalam Putusan Nomor : 179/Pid.B/2013/PN.Kdr.
Pembuktian tentang benar tidaknya terdakwa melakukan perbuatan yang
didakwakan, merupakan bagian yang terpenting acara pidana. Dalam hal ini pun
hak asasi manusia dipertaruhkan, sehingga bagaimana akibatnya jika seseorang
yang didakwa dinyatakan terbukti melakukan perbuatan yang didakwakan akan
tetapi hal tersebut tidak benar. Untuk inilah hukum acara pidana berusaha mencari
kebenaran materiil. Pembuktian juga merupakan titik sentral hukum acara pidana.
Pembuktian adalah ketentuan-ketentuan yang berisi penggarisan dan
pedoman tentang cara-cara yang dibenarkan undang-undang membuktikan
kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa. Pembuktian juga merupakan
ketentuan yang mengatur alat-alat bukti yang dibenarkan undang-undang yang
boleh dipergunakan hakim membuktikan kesalahan yang didakwakan.
Persidangan pengadilan tidak boleh sesuka hati dan semena-mena membuktikan
kesalahan terdakwa.59
Pembuktian merupakan bagian yang sangat penting dalam rangkaian acara
di persidangan. Kebenaran mengenai suatu tindak pidana dapat diketemukan
melalui pembuktian. Tahap pembuktian dalam persidangan merupakan “jantung”
sebuah proses peradilan guna menemukan kebenaran materiil, tujuan adanya
hukum acara pidana. Kebenaran materiil diartikan sebagai suatu kebenaran yang
diupayakan mendekati kebenaran yang sesungguhnya atas tindak pidana yang
terjadi.60
Secara umum, pembuktian berasal dari kata “bukti” yang artinya suatu hal
(peristiwa dan sebagainya) yang cukup memperlihatkan kebenaran suatu hal
(peristiwa tersebut). Pembuktian merupakan perbuatan membuktikan61
Membuktikan mengandung maksud dan usaha untuk menyatakan kebenaran suatu
peristiwa, sehingga dapat diterima oleh akal terhadap kebenaran peristiwa
tersebut. 62 Dalam hal membuktikan Hakim harus memperhatikan kepentingan
terdakwa maupun kepentingan masyarakat. 63
Dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-
Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP ) yang merupakan insrumen hukum
nasional yang mendukung pelaksanaan dan penerapan ketentuan hukum pidana
materiil telah terdapat rumusan sistem pembuktian tersendiri. Adapun rumusan
sistem pembuktian tersebut tentunya untuk mendukung tujuan dari hukum acara
pidana, yaitu untuk mencari dan memperoleh kebenaraan materiil. 64
Menurut M. Yahya Harahap65 :
“Pembuktian adalah ketentuan-ketentuan yang berisi penggarisan dan pedoman tentang cara-cara yang dibenarkan undang-undang membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa. Pembuktian juga merupakan ketentuan yang mengatur alat-alat bukti yang dibenarkan undang-undang yang boleh dipergunakan hakim membuktikan kesalahan yang didakwakan”.
60Hibnu Nugroho, 2010, Bunga Rampai Penegakan Hukum di Indonesia, Badan Penerbit Undip, Semarang, hal. 33 61Lilik Mulyadi,2007, Putusan Haki Dalam Hukum Acara Pidana Teori, Praktik, Teknik, Penyusunan, dan Permasalahannya, cet. I, Bandung, Citra Aditya Bakti, hal. 50-51. 62Martiman Prodjohamidjojo (a), 1983, Seistem Pembuktian dan Alat- Alat Bukti, cet. I, Jakarta, Ghlia Indonesia, hal. 11. 63Darwan Prints, Op. Cit., hal. 136. 64 Departemen Kehakiman RI, Op. Cit., hal. 1 65M. Yahya Harahap, Op.cit., hal. 273-274
87
Darwan Prinst mengatakan bahwa66:
“ Pembuktian adalah suatu peristiwa pidana telah terjadi dan bahwa terdakwa
yang bersalah melakukannya, sehingga terdakwa harus mempertanggungjawabkan
kesalahannya tersebut.”
Sedangkan menurut Van Bemmelen67:
“Membuktikan adalah memberikan kepastian yang layak menurut akal tentang
apakah hal yang tertentu itu sunnguh terjadi dan apa demikian sebabnya.”
Dengan tercapainya kebenaran materiil maka akan tercapai pula tujuan
akhir hukum acara pidana, yaitu untuk mencapai suatu ketertiban, ketentraman,
keadilan, dan kesejahteraan dalam masyarakat. 68 Setiap ahli yang memberikan
pengertian mengenai pembuktian memberikan pengertian yang hampir sama yaitu
suat kegiatan untuk mecapai tujuan akhir hukum acara pidana.
Tujuan dari pembuktian adalah mencari dan menetapkan kebenaran yang
ada dalam suatu perkara, bukan semata- mata mencari kesalahan seseorang dalam
hal ini orang yang didakwa melakukan suatu tindak pidana. 69 Tujuan tersebut
sejalan dengan tujuan hukum yakni menciptakan masyarakat tenang dan tentram,
dimana setiap warga berhak mendapatkan perlindungan hukum, untuk itu
peraturan yang ada harus dilaksanakan secara adil. Menurut A. Karim Nasution: 70
66Darwin Prinst, Op.Cit. hal. 137 67Moeljanto, Hukum Acara Pidana, cetakan 1, hal. 77 68Andi Hamzah, Op. Cit., hal. 9 69R. Soesilo, Hukum Acara Pidana ( Prosedur Penyelesaian Perkara Pidana Menurut KUHAP Bagi Penegak Hukum), cet. 1, Politea, Bogor, hal. 110. 70A. Karim Nasution, Masalah Hukum Pembuktian Dalam ProsesPidana Jilid I, Pusdiklat Agung, Jakarta, hal. 24
88
“Tujuan dari pembuktian adalah untuk memberikan kepastian yang diperlukan
dalam menilai sesuatu hal tertentu mengenai fakta atas penilaian tersebut harus
didasarkan.”
Ditinjau dari segi hukum acara pidana, pembuktian merupakan ketentuan
yang membatasi sidang pengadilan dalam usahanya mencari dan mempertahankan
kebenaran. Hakim , Penuntut Umum, Terdakwa, maupun Penasehat hukum,
masing- masing terikat ketentuan tata cara dan penilaian alat bukti yang
ditentukan undang- undang artinya bahwa dalam mempergunakan dan menilai
kekuatan pembuktian yang melekat pada setiap alat bukti hakim, penuntut umum,
terdakwa maupun penasehat hukum harus melaksanakannya dalam batas- batas
yang dibenarkan undang- undang. 71
Putusan Nomor :179/Pid.b/2013/PN.Kdr, hakim memeriksa alat bukti
yakni 1 orang saksi korban ,3 orang saksi dan keterangan terdakwa yang
memberatkan dan alat bukti surat berupa Visum et Repertum No.
VER/96/V/2013/Rumkit. Alat bukti tersebut di atas memenuhi rumusan minimum
pembuktian dan memperoleh keyakinan bahwa terdakwa terbukti bersalah
melakukan tindak dengan sengaja melakukan tindak pidana penganiayaan
sebagaimana diatur dalam Pasal 351 ayat (1) KUHP.
Berdasarkan bunyi Pasal 187 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981
tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP):
“Surat sebagaimana dimaksud Pasal 184 ayat (1) huruf c Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), dibuat atas sumpah jabatan atau dikuatkan dengan sumpah, adalah: 71AnggyaAyu Gita Puspita, 2012, Kekuatan Alat Bukti Saki Korban Tindak pidana Pengeksploitasian Seksual Anak ( Tinjauan Yuridis Putusan Nomor 42/Pid.Sus/2011/PN.Pwt), Fakultas Hukum Universitas Jendral Soedirman, Purwokerto, hal. 82
89
a. Berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh pejabat umum yang berwenang atau yang dibuat dihadapannya, yang memuat keterangan tentang kejadian atau keadaan yang didengar, dilihat atau yang dialaminya sendiri disertai dengan alasan yang jelas dan tegas tentang keterangan itu;
b. Surat yang dibuat menurut ketentuan peraturan perundang-undangan atau surat yang dibuat oleh pejabat mengenai hal yang termasuk dalam tata laksana yang menjadi tanggung jawabnya dan yang diperuntukkan bagi pembuktian sesuatu hal atau sesuatu keadaan;
c. Surat keterangan dari seorang ahli yamng memuat pendapat berdasarkan keahliannya mengenai sesuatu hal atau sesuatu keadaan yang diminta secara resmi daripadanya;
d. Surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada hubungannya dengan isi dan alat pembuktian yang lain”.
Nilai kekuatan pembuktian surat sebagaimana diatur dalam KUHAP sama
sekali tidak mengatur mengenai ketentuan khusus tentang kekuatan pembuktian
surat, kekuatan pembuktian surat hanya dapat ditinjau dari segi teori serta
menghubungkanya dengan beberapa prinsip pembuktian yang diatur dalam
KUHAP yaitu:72
Surat sebagai alat bukti diatur dalam Pasal 187 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang menurut ketentuan ini:
“Surat yang dinilai dengan alat bukti yang sah di persidangan menurut undang-undang yaitu surat yang dibuat atas sumpah jabatan dan atau surat yang dikuatkan dengan sumpah. Alat bukti surat menurut definisi Asser-Anema yaitu segala sesuatu yang mengandung tanda-tanda baca yang dapat dimengerti, dimaksud untuk mengeluarkan isi pikiran.”73
Sebagai syarat dalam menentukan dapat atau tidaknya suatu surat itu dapat
dikategorikan sebagai suatu alat bukti yang sah ialah bahwa surat-surat itu harus
dibuat di atas sumpah jabatan atau dikuatkan dengan sumpah. Surat resmi yang
dimaksud dalam Pasal 187 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum
Acara Pidana (KUHAP) berbentuk berita acara, akte, surat keterangan ataupun
surat lain yang mempunyai hubungan dengan perkara yang diadili.
Bantuan dokter kepada kalangan hukum yang paling sering dan sangat
diperlukan adalah pemeriksaan korban untuk pembuatan Visum et Repertum.
Visum inilah yang akan menghubungkan dokter dengan Penyidik atau kalangan
peradilan lainnya. Visum et Repertum adalah istilah asing, namun menyatu dengan
bahasa Indonesia sehingga orang awam sekalipun dapat mengetahui bahwa Visum
et Repertum ini berkaitan dengan surat yang dikeluarkan oleh dokter untuk Polisi
demi proses di pengadilan. 74
Istilah visum et repertum tidak ditemukan dalam KUHAP, tetapi terdapat
dalam Stbl tahun 1937 Nomor 350 tentang Visa reperta merupakan bahasa Latin.
Visa berarti penyaksian atau pengakuan telah melihat sesuatu, dan reperta berarti
laporan. Dengan demikian apabila diterjemahkan secara bebas berdasarkan arti
kata, Visa Reperta berarti laporan yang dibuat berdasarkan penyaksian atau
pengakuan telah melihat sesuatu.
Visum et repertum merupakan bentuk tunggal dari kata visa et reperta.
Dalam Stbl 1937 Nomor 350, dalam Pasal 1 disebutkan bahwa “visa reperta para
dokter yang dibuat atas sumpah jabatan, yang diucapkan pada waktu
menyelesaikan pelajaran kedokteran di Indonesia maupun atas sumpah khusus
seperti dimaksud dalam Pasal 2, dalam perkara pidana mempunyai kekuatan
pembuktian.
Dalam KUHAP tidak disebut visum et repertum tetapi menggunakan
istilah alat bukti surat dan alat bukti keterangan ahli. Pasal 1 butir 28 KUHAP
memberikan pengertian tentang keterangan ahli sebagai berikut :
74 Amri Amir, Rangkaian Ilmu Kedokteran Forensik, Edisi Kedua, Ramadhan, Medan, 2005, hal 205.
91
“Keterangan ahli adalah keterangan yang diberikan oleh seorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan”.
Menurut Karyadidan Soesilo bahwa dokter juga seorang ahli kesehatan
yang dalam perkara penganiayaan dan pembunuhan (menerangkan tentang besar
kecilnya luka atau sebab kematian korban).75
Y.A. Triana76 menyebutkan macam-macam visum et repertum
berdasarkan penggunaannya sebagai berikut:
a. Visum et repertum untuk pelaku kelainan jiwa. b. Visum et repertum tentang umur; c. Visum et repertum untuk koban hidup; d. Visum et repertum untuk mayat; e. Visum et repertum untuk koban perkosaan atau tindak pidana kesusilaan; f. Visum et repertum penggalian mayat.
Staatsblad Tahun 1937 Nomor 350 ada ketentuan mengenai Visum et
Repertum ini sendiri. Isinya menyatakan:
1. Setiap Dokter yang telah disumpah waktu menyelesaikan
pendidikannya di Belanda maupun di Indonesia, ataupun dokter-dokter lain
berdasarkan sumpah khususnya dapat membuat Visum et Repertum;
2. Visum Et Repertum mempunyai daya bukti yang sah/alat bukti
yang sah dalam perkara pidana;
3. Visum et Repertum berisi laporan tertulis tentang apa yang dilihat, ditemukan
pada benda-benda/korban yang diperiksa.
75Y.A Triana Ohoiwutun, 2007, bunga rampai hukum kedoteran,. Malang:BayuMedia Publishing
hal.676 Y.A.Triana Op.cit. Hal. 34
92
Visum et Repertum terdiri dari beberapa jenis, antara lain : 77
1. Visum untuk korban hidup dapat dibedakan atas:
a. Visum seketika
b. Visum sementara
c. Visum lanjutan
2. Visum Jenazah dapat dibedakan atas beberapa, yaitu: 78
a. Visum dengan pemeriksaan luar
b. Visum dengan pemeriksaan luar dan dalam
3. Visum et Repertum Pemeriksaan di Tempat Kejadian Perkara
4. Visum et Repertum Penggalian Mayat
5. Visum et Repertum Mengenai Umur
6. Visum et Repertum Psikiatrik.
Pembuatan visum et repertum haruslah memenuhi syarat formil dan syarat
materil. Syarat formil menyangkut prosedur yang harus dipenuhi yakni
sebagaimana tercantum dalam Instruksi Kapolri No.Pol INS/E/20/IX/75 tentang
Tata Cara Permohonan/pencabutan visum et repertum sebagai berikut:
1. Permintaan visum et repertum haruslah tertulis (sesuai dengan Pasal 133 Ayat
(2) KUHAP);
2. Pemeriksaan atas mayat dilakukan dengan cara dibedah, jika ada keberatan dari
pihak keluarga korban, maka pihak Polisi atau pemeriksa memberikan
penjelasan akan pentingnya dilakukan dengan bedah mayat;
77 H. Amar Singh, Ilmu Kedokteran Kehakiman, Universitas Methodist, Medan, 2010, hal.9-10. 78 Ibid, hal.212
93
3. Permintaan visum et repertum hanya dilakukan terhadap tindak pidana yang
baru terjadi, tidak dibenarkan permintaan yang telah lampau;
4. Polisi wajib menyaksikan dan mengikuti jalannya bedah mayat;
5. Untuk mencegah hal-hal yang tidak diinginkan, maka polisi perlu melakukan
pengamanan tempat dilakukannya bedah mayat.
Terhadap kekerasan fisik, akan dilakukan Visum et Repertum. Visum ini
berguna sebagai salah satu alat bukti otentik bahwa telah terjadi kekerasan fisik,
diakibatkan oleh apa, dan ukuran lukanya. Hal ini agar tanda-tanda fisik bekas
penganiayaan tidak keburu hilang. Terhadap pengaduan kekerasan psikis, berupa
perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya
kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan/atau penderitaan psikis berat
pada seseorang juga sebaiknya ditindak lanjuti oleh penegak hukum. Untuk
menambah alat bukti dan memperkuat penyidikan penegak hukum dapat meminta
ahli (psikiater/psikolog) untuk dimintai pendapatnya mengenai kekerasan psikis
ini. Polisi, Jaksa dan Hakim tidak memiliki legitimasi yuridis dan keilmuan untuk
menentukan secara persis mengenai bentuk dan penyebab kekerasan fisik
demikian. dokterlah yang memiliki legitimasi yuridis dan keilmuan untuk
mengeluarkan visum demikian. 79
Pada hakikatnya dalam suatu perkara pidana Visum et Repertum itu
berfungsi sebagai berikut: 80
1. Membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan;
2. Untuk mementukan arah penyelidikan;
79 http://polhukam.kompasiana.com/hukum/2012/06/26/3/473387/pengaduan-dan-visumkdrt. html, diakses pada tanggal 19 Maret 2013. 80 Amar Singh, Op.Cit, hal.10
94
3. Menentukan tugas selanjutnya bagi Penuntut Umum dan Hakim dipengadilan;
4. Menggantikan sepenuhnya Corpus Delicti (pengganti barang bukti) karena
barang bukti yang berasal dari tubuh manusia seperti luka maupun jenazah
akan berubah.
Sedangkan syarat materil visum et repertum adalah menyangkut isi dari
visum et repertum tersebut yaitu sesuai dengan kenyataan yang ada pada tubuh
korban yang diperiksa. Disamping itu isi dari visum et repertum tersebut tidak
bertentangan dengan ilmu kedokteran yang telah teruji kebenarannya.
Menurut Wiryono Prodjodikoro81, perbedaan antara keterangan saksi dengan keterangan ahli adalah “bahwa keterangan saksi mengenai hal-hal yang dialami oleh saksi itu sendiri (eigen waarneming), sedangkan keterangan ahli ialah keterangan yang diberikan atas dasar keahlian yang dimiliki, yang memberikan keterangan suatu penghargaan (waardering) dari hal-hal yang sudah nyata ada dan pengambilan kesimpulan dari hal-hal itu, seperti hal kematian, maka saksi ahli akan memberikan pendapat tentang sebab-sebab kematian apakah dari keracunan misalnya, atau karena hal yang lainnya”. Kedua keterangan ini oleh KUHAP dinyatakan sebagai alat bukti yang sah, tetapi keterangan saksi dan ahli yang diberikan tanpa sumpah tidak mempunyai kekuatan pembuktian, melainkan hanya dapat dipergunakan untukmenambah atau menguatkan keyakinan hakim (Pasal 161 ayat (2) KUHAP).
Yang menjadi salah satu alat bukti dalam Tindak Pidana Penganiayaan ini
adalah Visum et Repertum No.VER/96/V/2013/Rumkit, tanggal 28 Mei 2013
yang dibuat dan ditanda tangani oleh dr. T.Wahyudi. W, dokter pada RS.
Bhayangkara Kediri, dengan kesimpulan:
a) Pada saat dilakukan pemeriksaan didapatkan gigi seri pertama kiri atas lepas
diduga akibat persentuhan tumpul;
81 Martiman Prodjohamidjojo, Sistem Pembuktian dan Alat-Alat Bukti, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1983, hal 24
95
b) Hal ini tidak mendatangkan penyakit atau halangan buat menjalankan
kewajiban sebagai swasta;
c) Orang ini sudah sembuh sama sekali jikalau sekiranya tidak ada hal-hal yang
menambah penyakitnya (komplikasi) ;
Pemeriksaan oleh Hakim di persidangan apakah ada atau tidak ada Visum
et Repertum, maka perkara yang bersangkutan harus diperiksa dan diputus.
Kelengkapan Visum et Repertum dalam berkas perkara Terdakwa yang diperiksa
oleh Hakim, diserahkan kepada Penuntut Umum yang mulai diserahkan
kepadanya berkas perkara, Pro Justisia tersebut oleh Penyidik, Penuntut Umum
memang berusaha untuk membuktikannya dalam sidang agar Majelis Hakim
dapat membuktikan perkara tersebut. Visum et Repertum mempunyai nilai hukum
apabila kesimpulan yang diberikan oleh dokter dapat diterima oleh Hakim. Hakim
dapat menerima hasil kesimpulan dari Visum et Repertum sebagai alat bukti surat
dan mengambil alih kesimpulan tersebut yang didukung oleh paling sedikit satu
alat bukti lain ditambah dengan keyakinan Hakim bahwa telah terjadi suatu tindak
pidana dan bahwa terdakwalah yang bersalah. 82
Nilai kekuatan pembuktian yang melekat pada alat bukti keterangan ahli:
a) Mempunyai nilai kekuatan pembuktian bebas, di dalamnya tidak melekat nilai
pembuktian yang sempurna dan menentukan. Hal tersebut terserah kepada
penilaian hakim. Hakim bebas menilainya dan tidak terikat kepada alat bukti
keterangan ahli. Tidak ada keharusan bagi hakim untuk harus menerima
b) Disamping itu, sesuai dengan prinsip minimum pembuktian yang diatur dalam
Pasal 183 KUHAP, keterangan ahli yang berdiri sendiri saja tanpa di dukung
oleh salah satu bukti yang lain, tidak cukup dan tidak memadai untuk
membuktikan kesalahan terdakwa. Apabila Pasal 183 KUHAP ini dihubungkan
dengan ketentuan Pasal 185 ayat (2) KUHAP, yang menegaskan seorang saksi
saja tidak cukup untuk membuktikan kesalahan terdakwa. Prinsip ini juga
berlaku bagi keterangan ahli. 83
Visum et Repertum mempunyai daya bukti dalam suatu perkara pidana
apabila bunyi visum tersebut telah dibacakan dimuka sidang pengadilan. Apabila
tidak, maka visum tersebut tidak berarti apa pun, hal ini karena visum dibuat
dengan sumpah jabatannya, dan visum merupakan tanda bukti, sedangkan korban
yang diperiksa adalah bahan bukti. 84
Visum et repertum ini akan dijadikan sebagai alat bukti di depan sidang
pengadilan. Dalam menangani kasus untuk membantu proses peradilan di sini
peran dokter sebagai ahli forensik. Di sini korban yang diperiksa berstatus sebagai
barang bukti dan diatur dalam peraturan perundang-undangan. Tindakan yang
diambil oleh dokter di sini adalah pemeriksaan forensik yang bertujuan untuk
penegakan keadilan.
Visum et Repertum tersebut dibuat oleh seorang ahli, yaitu, seorang dokter
pada RS BHAYANGKARA Kota Kediri, sesuai dengan Pasal 187 huruf c
83 Amar Singh, Op.Cit, hal.11 84 Hari Sasangka dan Lili Rosita, Hukum Pembuktian Dalam Perkara Pidana, Penerbit Mandar Maju , Bandung , 2003, hal. 60.
97
KUHAP, maka surat bukti tersebut dapat dijadikan sebagai alat bukti yang sah
serta alat bukti Visum Et Repertum tersebut jelas mempunyai kekuatan
pembuktian karena telah memenuhi syarat Formil yaitu sudah sesuai dengan
prosedur pembuatan Visum Et Repertum dengan sesungguhnya mengingat sumpah
dokter yang tercantum dalam Stb. 1937/350 atau sesuai dengan penjelasan Pasal
186 KUHAP keterangan ahli ini dapat juga diberikan pada waktu pemeriksaan
oleh Penyidik atau Penuntut Umum yang dituangkan dalam suatu bentuk
keterangan dan dibuat dengan mengingat sumpah pada waktu ia menerima jabatan
atau pekerjaan, serta sudah memenuhi syarat materil yaitu isi dari Visum Et
Repertum sudah sesuai dengan kenyataan yang ada pada tubuh korban yang
diperiksa serta isi dari visum et repertum tersebut tidak bertentangan dengan ilmu
kedokteran yang telah teruji kebenarannya.
2. Pertimbangan Hukum Hakim dalam Menjatuhkan Pidana dalam Putusan Nomor:179/Pid.B/2013/PN.Kdr.
Putusan hakim atau putusan pengadilan merupakan aspek penting dan
diperlukan untuk menyelesaikan perkara pidana. Putusan hakim berguna bagi
terdakwa untuk mendapatkan kepastian hukum tentang statusnya. Dalam
menjatuhkan putusan, keputusan Hakim harus mencerminkan keadilan, akan
tetapi persoalan keadilan tidak akan berhenti dengan pertimbangan hukum
semata-mata, melainkan persoalan keadilan biasanya dihubungkan dengan
kepentingan individu para pencari keadilan, dan itu berarti keadilan menurut
hukum sering diartikan dengan sebuah kemenangan oleh pencari keadilan.
98
Dalam upaya membuat putusan, hakim harus mempunyai pertimbangan
yuridis yang terdiri dari dakwaan penuntut umum, keterangan terdakwa,
keterangan saksi, barang – barang bukti, dan pasal – pasal perbuatan hukum
pidana, serta pertimbangan non yuridis yang terdiri dari latar belakang perbuatan
terdakwa, akibat perbuatan terdakwa, kondisi terdakwa, serta kondisi ekonomi
terdakwa, ditambah hakim haruslah meyakini apakah terdakwa melakukan
perbuatan pidana atau tidak sebagaimana yang termuat dalam unsur – unsur tindak
pidana yang didakwakan kepadanya .
Dalam pengambilan keputusan dipersidangan ada 3 hal yang menjadi
acuannya,yaitu:
1. Asas Kepastian Hukum
2. Asas Keadilan
3. Asas Manfaat
Untuk asas kepastian hukum yang harus diperhatikan adalah peraturan
perundang-undangannya. Asas keadilan disinilah cenderung lebih kepada sikap
masyarakat, bagaimana mengembalikan/ memulihkan keadaan sosial masyarakat
sehubungan dengan kasus ini, hal ini juga agar menjadi efek jera kepada orang
lain agar tidak diulangi lagi. Asas manfaat biasanya diarahkan kepada terpidana
,jadi jangan sampai pemidanaan yang diberikan ini tidak bermanfaat bagi
terdakwa.
Pertimbangan hukum hakim dalam menjatuhkan putusan pidana
berdasarkan Pasal 183 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum
Acara Pidana (KUHAP) menyebutkan bahwa:
99
“Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.”
Adapun 2 hal yang penting yang terkandung dalam Pasal 183 Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yakni:
a) Sekurang-kurangnya ada 2 (dua) alat bukti yang sah/minimum
pembuktian;
b) Adanya keyakinan hakim.
Dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 (KUHAP) ada 5 (lima) alat
bukti yang sah. Menurut Pasal 184 KUHAP alat-alat bukti yang sah adalah:
a. Keterangan Saksi
Menurut Pasal 1 butir 27 KUHAP, yang dimaksud dengan keterangan
saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan
dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri
dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan dari pengetahuannya itu.
b. Keterangan Ahli
Berdasarkan Pasal 1 butir 28 KUHAP, keterangan ahli merupakan
keterangan yang diberikan oleh seseorang yang memiliki keahlian khusus tentang
hal yang diperlukan untuk membuat terang sesuatu perkara pidana guna
kepentingan pemeriksaan. Secara procedural, keterangan ahli dapat diajukan
dengan 2 tahapan yaitu: 85
85Bambang Waluyo, Sistem Pembuktian Dalam Peradilan Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 1996, hal.20.
100
1) Keterangan ahli dapat diminta pada tingkat penyidikan untuk
kepentingan peradilan. Dalam konteks ini, permintaan keterangan ahli
dilakukan oleh penyidik secara tertulis dengan menyebutkan secara
tegas untuk hal apa pemeriksaan ahli dilakukan dan kemudian ahli itu
membuat laporan dan dituangkan dalam Berita Acara Penyidikan.
Keterangan ahli yang tertulis tersebut termasuk sebagai alat bukti surat
(Pasal 184 ayat (1) huruf (c) jo Pasal 187 (c) KUHAP).
2) Keterangan ahli dapat dilakukan dengan prosedural bahwa ahli
memberi keterangannya secara lisan dan langsung di depan
pengadilan. Keterangan yang diberikan di pengadilan inilah yang
disebut dengan keterangan ahli.
c. Surat
Surat ialah segala sesuatu yang memuat tanda bacaan yang dimaksudkan
untuk mencurahkan isi hati atau untuk menyampaikan buah pikiran seseorang dan
dipergunakan sebagai pembuktian. Pasal 187 KUHAP mensyaratkan bahwa surat-
surat sebagai alat bukti harus dibuat atas sumpah jabatan atau dikuatkan dengan
sumpah. Surat-surat yang dimaksud adalah: 86
1) Berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh
pejabat umum yang berwenang atau dibuat di hadapannya, yang
memuat keterangan tentang kejadian atau keadaan yang didengar,
dilihat atau dialaminya sendiri, disertai dengan alasan yang jelas dan
tegas tentang keterangan itu, contohnya: akta notaries;
86 Lilik Mulyadi, Hukum Acara Pidana Normatif,Teoritis,Praktik dan Permasalahannya, PT.Alumni, Bandung, 2007, hal 186-187
101
2) Surat yang dibuat menurut ketentuan peraturan perundang-undangan
atau surat yang dibuat oleh pejabat mengenai hal yang termasuk dalam
tata laksana yang menjadi tanggung jawabnya dan diperuntukkan bagi
pembuktian sesuatu hal atau sesuatu keadaan, contoh : putusan
pengadilan, sertifikat tanah;
3) Surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan
keahliannya mengenai sesuatu hal atau sesuatu keadaan yang diminta
secara resmi daripadanya, contoh: Visum et Repertum yang dibuat oleh
dokter;
4) Surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada hubungannya dengan isi
dari alat pembuktian yang lain, contoh : surat-surat di bawah tangan.
d. Keterangan Terdakwa
Menurut Pasal 1 butir 15 KUHAP, Terdakwa merupakan seorang
tersangka yang dituntut, diperiksa, diadili di sidang pengadilan. Sedangkan
keterangan terdakwa menurut Pasal 189 ayat (1) KUHAP adalah apa yang
terdakwa nyatakan di sidang tentang perbuatan yang ia lakukan atau yang ia
ketahui sendiri atau alami sendiri. Keterangan terdakwa sebagai alat bukti ini
tidak perlu sama atau berbentuk pengakuan. Semua keterangan terdakwa
hendaknya didengar, apakah itu berupa penyangkalan, pengakuan maupun
pengakuan dari sebagian perbuatan atau keadaan.
Keterangan terdakwa tidak perlu sama dengan pengakuan, karena
pengakuan sebagai alat bukti mempunyai syarat –syarat, yaitu :
a. Mengaku ia yang melakukan delik yang didakwakan
102
b. Mengaku ia bersalah
Pembuktian merupakan titik sentral pemeriksaan perkara dalam sidang
pengadilan. Menurut C. Djisman Samosir87 mengenai alat-alat bukti dan
pembuktian yaitu ;
”Dalam setiap pemeriksaan, apakah itu pemeriksaan dengan acara biasa, acara singkat, maupun acara cepat, setiap alat bukti itu diperlukan guna membantu hakim untuk pengambilan keputusannya. Alat-alat bukti ini adalah sangat perlu, oleh karena hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah dan hakim memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan terdakwalah yang melakukan perbuatan itu. Dengan demikian alat bukti itu adalah sangat penting di dalam usaha penemuan kebenaran atau dalam usaha menemukan siapakah yang melakukan perbuatan tersebut”.
Pertimbangan hakim dimaksudkan untuk mencapai keadilan dari perkara
yang dipercayakan kepada hakim oleh lembaga pengadilan. Keadilan yang harus
diciptakan menjadi hakim dan merupakan hasil penyerasian antara kepastian
hukum dan keseimbangan hukum. Pengadilan Negeri dalam penjatuhkan pidana
harus mempunyai suatu kewenangan mengadili terhadap perkara yang dilakukan
oleh terdakwa tersebut, seperti disebutkan dalam Pasal 84 ayat (1) KUHAP yang
menetapkan sebagai berikut :
“Pengadilan negeri berwenang mengadili suatu perkara mengenai tindak pidana yang dilakukan dalam daerah hukumnya”.
Sistem pembuktian yang dianut ketentuan Pasal 183 Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) itu bermakna
bahwa keyakinan hakim ditemukannya dengan memeriksa minimal dua alat bukti
yang sah (menurut KUHAP ada lima alat bukti). Keyakinan hakim ditujukan
87 C. Djisman Samosir, Hukum Acara Pidana Dalam Perbandingan, Bandung: Bina Cipta, 1985.
halaman 79.
103
terhadap benar terjadinya tindak pidana dan benar bahwa terdakwa yang
melakukannya. Dengan demikian, titik tolak keyakinan hakim diperoleh dari dua
alat bukti terjadinya tindak pidana dan dua alat bukti itu juga membenarkan
pelakunya adalah terdakwa.88
Sistem pembuktian negatif ini merupakan gabungan dari sistem
pembuktian menurut undang-undang dengan sistem pembuktian menurut
keyakinan atau conviction in time yang kemudian menimbulkan rumusan salah
tidaknya seorang terdakwa ditentukan oleh keyakinan hakim yang didasarkan
kepada cara dan dengan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang.
Untuk menentukan salah atau tidaknya seorang terdakwa menurut sistem pembuktian undang-undang secara negatif terdapat dua komponen yaitu : 1. Pembuktian harus dilakukan menurut cara dan dengan alat-alat bukti
yang sah menurut undang-undang; 2. Dan keyakinan hakim yang juga harus didasarkan atas cara dan
dengan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang. Dengan demikian, sistem ini memadukan unsur “obyektif dan subyektif” dalam menentukan salah atau tidaknya terdakwa. Tidak ada yang paling dominan di antara kedua unsur tersebu. Jika salah satu diantara dua unsur itu tidak ada, tidak cukup mendukung keterbuktian kesalahan terdakwa.89
Hal ini memberikan wacana kepada para hakim dalam merumuskan vonis
penjatuhan sanksi pidana kepada para pelaku kejahatan agar yang dijatuhkan oleh
hakim mampu menangkap aspirasi keadilan masyarakat. Putusan pengadilan yang
berupa penjatuhan pidana harus disertai pula fakta-fakta yang digunakan, untuk
mempertimbangkan berat ringannya pidana, sebagaimana ditentukan dalam pasal
197 ayat (1) huruf f Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana.
88 Nikolas Simanjuntak ,Acara Pidana Indonesia dalam Sirkus Hukum, Jakarta : Ghalia Indonesia, 2009, halaman 244. 89 Yahya Harahap. Op.cit. Hal.279.
104
Memorie Van Toelichting dari Strafwetboek tahun 1886 90, memberikan pedoman : “ Dalam menentukan tinggi rendahnya pidana, hakim untuk tiap kejadian harus memperhatikan keadaan obyektif dan subyektif dari tindak pidana yang dilakukan, harus memperhatikan perbuatan dan pembuatannya. Hak-hak apa saja yang dilanggar dengan adanya tindak pidana itu? Kerugian apakah yang ditimbulkan? Bagaimanakah sepak terjang kehidupan si pembuat dulu-dulu? Apakah kejahatan yang dipersalahkan kepadanya itu langkah pertama kearah jalan yang sesat ataukan merupakan suatu perbuatan, merupakan suatu pengulangan dari watak jahat yang sebelumnya sudah tampak.”
Pedoman dari Memorie Van Toelichting ini dapat pula dipergunakan
sebagai pedoman untuk mempertimbangkan berat ringannya pidana dalam praktek
peradilan di Indonesia, karena KUHP kita pada prinsipnya merupakan salinan dari
Strafwetboek tahun 1886.91 Dalam perundang-undangan Indonesia juga terdapat
ketentuan-ketentuan yang merupakan petunjuk ke arah pertimbangan berat
ringannya pidana. Ketentuan demikian tercantum dalam Pasal 8 ayat (2) Undang-
undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman yang
menyebutkan dalam mempertimbangkan berat ringannya pidana, hakim wajib
memperhatikan pula sifat yang baik dan jahat dari terdakwa.
Dapat disimpulkan bahwa hakim dalam membuat keputusan harus
didasarkan dengan alat-alat bukti dipersidangan dan dengan alat bukti tersebut
menimbulkan keyakinan hakim tentang tindak pidana tersebut.
Dengan demikian Pasal 183 KUHAP mengatur untuk menentukan salah
atau tidaknya seorang terdakwa dan untuk menjatuhkan pidana kepada terdakwa,
harus :
a. Kesalahannya terbukti dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah
90 Masruchin Rubai, Mengenal Pidana dan Pemidanaan di Indonesia, Penerbit IKIP Malang,2001. Hal. 66 91 Masruchin Rubai, Mengenal Pidana dan Pemidanaan di Indonesia, Penerbit IKIP Malang,2001. Hal. 67
105
b. Dan atas keterbuktian dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah, hakim memperoleh keyakinan bahwa tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.92
M. Yahya Harahap93 berpendapat : “Alasan pembuat undang-undang merumuskan Pasal 183 KUHAP ditujukan untuk mewujudkan suatu ketentuan yang seminimal mungkin dapat menjamin “tegaknya kebenaran sejati” serta “tegaknya keadilan dan kepastian hukum”. Dari penjelasan Pasal 183 KUHAP pembuat undang-undang telah menentukan pilihan bahwa sistem pembuktian yang paling tepat dalam kehidupan penegak hukum di Indonesia adalah sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif demi tegaknya keadilan, kebenaran, dan kepastian hukum.” Wirjono Prodjodikoro seperti yang dikutip oleh Andi Hamzah94:
“Bahwa sistem pembuktian berdasarkan undang-undang secara negatif sebaiknya dipertahankan berdasarkan dua alasan, Pertama memang sudah selayaknya harus ada keyakinan hakim tentang kesalahan terdakwa untuk dapat menjatuhkan suatu hukuman pidana, janganlah hakim terpaksa memidana orang sedangkan hakim tidak yakin atas kesalahan terdakwa. Kedua, ialah berfaedah jika ada aturan yang mengikat hakim dalam menyusun keyakinannya, agar ada patokan-patokan tertentu yang harus diturut oleh hakim dalam melakukan peradilan.”
R. Soesilo95, berpendapat bahwa sehubungan dengan masalah kekuatan
pembuktian dari alat-alat bukti yang diajukan di persidangan, maka hakim dalam
memeriksa perkara pidana dalam sidang pengadilan senantiasa berusaha untuk
membuktikan :
a. Apakah betul suatu peristiwa itu terjadi; b. Apakah betul suatu peristiwa tersebut merupakan tindak pidana; c. Apa sebab-sebabnya peristiwa itu terjadi; d. Siapakah orang yang bersalah melakukan peristiwa itu. Penjelasan secara singkat mengenai teori pembuktian berdasarkan
keyakinan hakim adalah “hakim dapat memutuskan seseorang bersalah sesuai
dengan keyakinannya, keyakinan yang didasarkan kepada dasar-dasar pembuktian
95 R. Soesilo. Hukum Acara Pidana (Prosedur Penyelesaian Perkara Pidana menurut KUHAP bagi penegak Hukum). Bogor: Politeria. 1982. Hal. 109.
106
disertai dengan suatu kesimpulan yang dilandaskan kepada peraturan-peraturan
pembuktian tertentu, jadi putusan hakim dijatuhkan dengan suatu motivasi”.
Terdakwa bermaksud dengan sengaja adanya niat atau kehendak dari
pelaku untuk melakukan perbuatan sebagaimana dilarang oleh undang-undang.
Dengan keterangan saksi korban Siti Khotimah, saksi Tentrem, saksi Teguh
Santoso dan terdakwa yang saling bersesuaian di persidangan terungkap bahwa
pada hari Senin, tanggal 27 Mei 2013,sekitar pukul 12.30 WIB. bertempat di
Lingkungan Pasar Grosir Ngronggo tepatnya didepan kiso milik sdr. Tentrem
Blok C No. 45 Kelurahan Ngronggo, Kota Kediri, terdakwa telah melakukan
penganiayaan terhadap mantan istrinya bernama Siti Khotimah dengan
menggunakan tangan kanannya. Dan terdakwa mengakui melakukan perbuatan
tersebut, karena sebelumnya antara terdakwa dengan Siti Khotimah telah terjadi
pertengkaran(cekcok) karena terdakwa tidak mau diceraikan oleh Siti Khotimah,
karena terdakwa masih sayang dengannya, sehingga dengan demikian unsur
dengan sengaja telah terpenuhi.
Kedua, ada unsur antara perasaan tidak enak (penderitaan), rasa sakit
(pijn) atau luka dengan perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa harus ada
hubungan causa, artinya bahwa timbulnya perasaan tidak enak (penderitaan), rasa
sakit (pijn) atau luka harus merupakan akibat langsung dari perbuatan yang
dilakukan oleh terdakwa. Keterangan para saksi dan terdakwa tersebut dikuatkan
oleh hasil pemeriksaan Visum et Repertum No. VER/96/V/2013/Rumkit, tanggal
28 Mei 2013yang dibuat dan ditanda tangani oleh dr. T. Wahyudi. W, dokter pada
RS. Bhayangkara Kediri, dengan kesimpulan :
107
a) Pada saat dilakukan pemeriksaan didapatkan gigi seri pertama kiri atas lepas
diduga akibat persentuhan tumpul;
b) Hal ini tidak mendatangkan penyakit atau halangan buat menjalankan
kewajiban sebagai swasta;
c) Orang ini sudah sembuh sama sekali jikalau sekiranya tidak ada hal-hal yang
menambah penyakitnya (komplikasi) ;
Dari keterangan para saksi dan terdakwa tersebut di atas yang kemudian
dikuatkan oleh hasil pemeriksaan Visum et Repertum, terbukti bahwa akibat
perbuatan terdakwa mencolokkan jari telunjuknya ke bagian mulut Siti Khotimah
dengan menggunakan tangan kanan terdakwa sebanyak satu kali, sebagaimana
dalam Visum et Repertum di atas, maka menurut pendapat Majelis Hakim bahwa
unsur menyebabkan perasaan tidak enak (Penderitaan), rasa sakit (pijn) atau luka
juga terpenuhi.
Mejelis Hakim dalam perkara Putusan Nomor : 179/Pid.B/2013/PN.Kdr.
ini menjatuhkan putusan terhadap terdakwa yaitu:
1) Menyatakan terdakwa SUTRISNO Bin SUJONO terbukti secara sah dan
meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana : “PENGANIAYAAN“;
2) Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa dengan pidana penjara selama : 4
(empat) bulan;
3) Menetapkan masa penahanan yang telah dijalani oleh terdakwa dikurangkan
seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan;
4) Menetapkan terdakwa tetap dalam tahanan;
108
5) Membebankan kepada terdakwa membayar biaya perkara sebesar
Rp.2.000,00(dua ribu rupiah);
Hakim juga mempertimbangkan hal-hal yang memberatkan dan
meringankan dalam menjatuhkan pidana terhadap terdakwa. Hal ini disebutkan
dalam Pasal 197 ayat (1) huruf F KUHAP sebagai berikut:
“Pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar pemidanaan atau tindakan dan pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar hukum dari putusan, disertai keadaan yang memberatkan dan meringankan terdakwa”.
Menurut ketentuan Pasal 222 ayat (1) KUHAP menetapkan bahwa:
“Siapapun yang diputus pidana dibebani membayar biaya perkara dan dalam
putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, biaya perkara dibebankan
pada Negara”.
Keyakinan hakim dalam menjatuhkan putusan ini diperoleh dari alat bukti
keterangan saksi korban dan keterangan saksi biasa serta alat bukti surat berupa
hasil pemeriksaan Visum et Repertum No. VER/96/V/2013/Rumkit, tanggal 28
Mei 2013 yang dibuat dan ditanda tangani oleh dr. T. Wahyudi. W, dokter pada
RS. Bhayangkara Kediri dan juga keterangan terdakwa yang mengakui
perbuatanya yang bersesuaian pula dengan keterangan para saksi, maka majelis
telah mendapat bukti yang sah dan merupakan sumber keyakinan hakim dalam
memberikan putusan, bahwa terdakwa terbukti bersalah dan hakim menjatuhkan
putusan pidana bagi terdakwa atas perbuatannya itu.
Pengadilan dalam menjatuhkan putusan yang mengandung
pemidanaan, hakim harus mempertimbangkan hal-hal yang memberatkan dan
meringankan terdakwa. Putusan pemidanaan harus dilakukan dengan sangat hati-
109
hati dan dengan pertimbangan yang cermat, sesuai adagium bahwa lebih baik
membebaskan orang yang bersalah, dari pada menghukum satu orang yang tidak
bersalah. Tentunya yang paling baik adalah menghukum yang bersalah setimpal
dengan kesalahannya dan membebaskan yang tidak bersalah.
Sebelum menjatuhkan putusan maka hakim perlu mempertimbangkan
beberapa aspek. Pengertian pertimbangan hakim sendiri adalah pendapat
mengenai baik dan buruk dalam menjatuhkan putusan. Penjatuhan putusan oleh
hakim di pengadilan tergantung dari hasil mufakat musyawarah hakim
berdasarkan penilaian yang mereka peroleh dari surat dakwaan dihubungkan
dengan segala sesuatu yang terbukti di dalam pemeriksaan dalam sidang
pengadilan.
Putusan Nomor : 179/Pid.B/2013/PN.Kdr. merupakan bentuk putusan
pemidanaan sebagaimana yang termuat dalam Pasal 193 ayat (1) KUHAP
menyebutkan bahwa :
“Jika pengadilan berpendapat bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya, maka pengadilan menjatuhkan pidana.”
Berdasarkan fakta-fakta hukum tersebut Majelis Hakim selanjutnya
mempertimbangkan apakah perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa tersebut
terbukti atau tidak dan apakah perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa tersebut
dapat dipidana atau tidak.
Dapat atau tidaknya seseorang dinyatakan terbukti bersalah dan dapat
dipidana menurut ketentuan hukum pidana, maka keseluruhan unsur-unsur dari
pada pasal yang didakwakan kepada terdakwa haruslah dinyatakan terbukti dan
terpenuhi unsur-unsur dari dakwaan Jaksa Penuntut Umum.
110
Berdasarkan Undang-Undang secara negatif yang dianut oleh KUHAP
serta berdasarkan alat bukti yang sah, maka hakim memberikan keputusan dalam
perkara ini bagi terdakwa dengan hukuman pidana penjara selama 4 (empat) bulan
karena terdakwa telah terbukti melanggar Pasal 351 ayat(1) KUHP mengenai
penganiayaan.
Putusan Nomor : 179/Pid.B/2013/PN.Kdr, dengan penjatuhan pidana 4
(empat) bulan penjara dinilai sudah sesuai dengan perbuatan yang dilakukan oleh
terdakwa karena terdakwa telah terbukti melanggar Pasal 351 ayat (1) KUHP
mengenai penganiayaan.
Dapat diketahui dari semua alat bukti yang diajukan di sidang pemeriksaan
oleh Penuntut Umum dan keyakinan hakim yaitu dalam menjatuhkan putusan ini
diperoleh dari alat bukti keterangan saksi korban dan keterangan saksi serta alat
bukti surat berupa hasil pemeriksaan Visum et Repertum No.
VER/96/V/2013/Rumkit, tanggal 28 Mei 2013 yang dibuat dan ditanda tangani
oleh dr. T. Wahyudi. W, dokter pada RS. Bhayangkara Kediri dan juga keterangan
terdakwa yang mengakui perbuatanya yang bersesuaian pula dengan keterangan
para saksi. Alat bukti tersebut telah memenuhi asas batas minimum pembuktian
yang dirumuskan dalam Pasal 183 KUHAP dan hakim berkeyakinan bahwa
terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan memenuhi unsur-unsur yang
terdapat dalam melanggar Pasal 351 ayat (1) KUHP mengenai tindak pidana
penganiayaan dengan unsur dengan sengaja dan menyebabkan perasaan tidak
enak (penderitaan), rasa sakit (pijn) atau luka telah dapat dibuktikan di
persidangan. Majelis Hakim juga mempertimbangkan hal-hal yang memberatkan
111
dan meringankan terhadap terdakwa, dan menjatuhkan pidana penjara selama 4
(empat) bulan.
112
BAB V
PENUTUP
A. Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan terhadap Putusan Pengadilan
Negeri Kediri Nomor: Putusan Nomor : 179/Pid.B/2013/PN.Kdr. maka dapat
disimpulkan bahwa:
a. Kekuatan Pembuktian Visum Et Repertum dalam Tindak PIDANA
Penganiayaan dalam Putusan Nomor : 179/Pid.B/2013/PN.Kdr.
Visum et Repertum dalam Putusan Nomor: 179/Pid.B/2013/PN.Kdr dibuat
oleh seorang ahli, yaitu, seorang dokter pada RS BHAYANGKARA Kota Kediri,
sesuai dengan Pasal 187 huruf c KUHAP, maka surat bukti tersebut dapat
dijadikan sebagai alat bukti yang sah serta alat bukti Visum Et Repertum tersebut
jelas mempunyai kekuatan pembuktian karena telah memenuhi syarat Formil yaitu
sudah sesuai dengan prosedur pembuatan Visum Et Repertum sebagaimana
tercantum dalam Instruksi Kapolri No.Pol INS/E/20/IX/75 tentang Tata Cara
Permohonan/pencabutan Visum Et Repertum serta sudah memenuhi syarat materil
yaitu isi dari Visum Et Repertum sudah sesuai dengan kenyataan yang ada pada
tubuh korban yang diperiksa serta isi dari visum et repertum tersebut tidak
bertentangan dengan ilmu kedokteran yang telah teruji kebenarannya. Alat bukti
tersebut telah memenuhi asas batas minimum pembuktian yang dirumuskan dalam
Pasal 183 KUHAP.
113
b. Pertimbangan hukum hakim dalam menjatuhkan pidana dalam Putusan
Nomor:179/Pid.B/2013/PN.Kdr.
Dari semua alat bukti yang diajukan di sidang pemeriksaan oleh Penuntut
Umum dan keyakinan hakim yaitu dalam menjatuhkan putusan ini diperoleh dari
alat bukti keterangan saksi korban dan keterangan saksi biasa serta alat bukti
surat berupa hasil pemeriksaan Visum et Repertum No. VER/96/V/2013/Rumkit,
tanggal 28 Mei 2013 yang dibuat dan ditanda tangani oleh dr. T. Wahyudi. W,
dokter pada RS. Bhayangkara Kediri dan juga keterangan terdakwa yang
mengakui perbuatanya yang bersesuaian pula dengan keterangan para saksi. Alat
bukti tersebut telah memenuhi asas batas minimum pembuktian yang dirumuskan
dalam Pasal 183 KUHAP. Terdakwa juga telah terbukti secara sah dan
meyakinkan memenuhi unsur-unsur yang terdapat dalam melanggar 351 ayat(1)
KUHP mengenai penganiayaan, yaitu unsur dengan sengaja dan menyebabkan
perasaan tidak enak (penderitaan), rasa sakit (pijn) atau luka telah dapat
dibuktikan di persidangan. Majelis Hakim juga mempertimbangkan hal-hal yang
memberatkan dan meringankan terhadap terdakwa..
B. Saran
Menurut Penulis dalam Putusan Nomor:179/Pid.B/2013/PN.Kdr orang
biasanya malu ataupun takut dalam melaporkan pelaku kepada yang berwenang.
Dan wanita yang lebih cenderung untuk menjadi korban, Kepentingan penyidik
untuk mendapatkan kebenaran materiil suatu perkara yang ditanganinya
merupakan bagian dari ketentuan hukum acara pidana, sedangkan pembuatan
visum et repertum yang dilakukan oleh dokter sangat berperan dan membantu
114
penyidik dalam tugasnya menemukan kebenaran materil tersebut. Karena itulah
antara pihak kepolisian dengan pihak Rumah Sakit harus terjalin hubungan yang
baik sehingga dapat saling membantu dan bekerjasama dalam menangani suatu
kasus.
115
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku Literatur :
Atmasasmita, Romli. 1983. Bunga Rampai Hukum Acara Pidana. Jakarta :BinaCipta.
Farid, A.Z. Abidin. 1981. Sejarah dan Perkembangan Asas Opportunitas di Indonesia, Ujung Pandang: UNHAS.
Hamzah, Andi. 2005. Pengantar Hukum Acara Pidana Indonesia. Jakarta: Ghalia Indonesia .
,2001. Hukum Acara Pidana Indonesia (Edisi Revisi). Jakarta: Sinar Grafika.
Hamzah ,Andi dan Indra Dahlan. 1984.Perbandingan KUHP, HIR dan Komentar. Jakarta.: Ghalia. Indonesia.
Nugroho, Hibnu. 2010, Bunga Rampai Penegakan Hukum di Indonesia, Semarang :Badan Penerbit Undip.
Harahap,Yahya. 2001. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Penyelidikan dan Penuntutan. Jakarta: Sinar Grafika.
, 2008.Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP (Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi dan Peninjauan Kembali), Jakarta: Sinar Grafika.
Ibrahim, Jhonny.,Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif. Malang: Cetakan Ketiga. Bayumedia Publishing, 2007.
Marpaung,Leden. 1994.Pemberantasan dan Pencegahan Tindak Pidana Ekonomi. Jakarta :Sinar Grafika. Jakarta.
Martika, I Ketut & Djoko Prakoso. 1992. Dasar-dasar Ilmu Kedokteran Kehakiman. Jakarta: Rineka Cipta.
Mun’in Idries, Abdul dan Agung Legowo Tjiptomartono, 2002Penerapan Ilmu Kedokteran Kehakiman Dalam Proses Penyidikan, Karya Unipres, Jakarta.
Ohoiwutun, Y.A Triana, 2007, bunga rampai hukum kedoteran,. Malang:BayuMedia Publishing.
116
Poernomo, Bambang.1983. Pola Teori dan Asas Umum Hukum Acara Pidana, Yogyakarta: Liberty, 1985.Hal. 79.1Martiman Prodjohamidjojo. Sistem Pembuktian dan Alat-Alat Bukti. Jakarta:Ghalia Indonesia.
Prodjohamidjojo, Martiman. 1996. Memahami Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia. Jakarta: PT Pradnya Paramita.