[2002] Kekerasan Seksual di Klaten; Persepsi Masyarakat Laporan Riset [ LKTS I L EMBAGA K AJIAN UNTUK T RANSFORMASI S OSIAL ]
[2002]
Kekerasan Seksual di Klaten; Persepsi Masyarakat
Laporan Riset
[ L K T S I L E M B A G A K A J I A N U N T U K T R A N S F O R M A S I S O S I A L ]
ABSTRAKSI
Penelitian ini memfokuskan permasalahan pada persepsi masyarakat terhadap
kekerasan seksual yang terjadi di Klaten. Penelitian yang berjudul “Kekerasan Seksual
di Klaten; Persepsi Masyarakat”, ini ingin menjawan 3 pertanyaan: (1) Bagaimana
persepsi masyarakat mensikapi banyaknya kekerasan seksual di Klaten ?, (2) Apa
upaya-upaya yang dilakukan merespon banyaknya kekerasan seksual yang terjadi ?, (3)
Bagaimana model advokasi yang dilakukan untuk mengeliminasi terjadinya kekerasan
seksual ?.
Penelitian ini dilakukan di 8 kecamatan di Kabupaten Klaten, yaitu,
Manisrenggo, Karangnongko, Karanganom, Ceper, Klaten Tengah, Trucuk, Pedan, dan
Tulung. Pengambilan data dilakukan dengan wawancara terstruktur (kuisioner), In-
dept interview, dan FGD (Focused Group Disscussion).
Hasil penelitian ini menunjukkan, bahwa secara umum masyarakat mengetahui
terjadinya kasus-kasus kekerasan seksual di Klaten. Tetapi, kebanyakan masyarakat
masih memaknai kekerasan seksual yang terjadi dalam arti kekerasan fisik saja.
Sementara, masih sedikit yang memaknainya sebagai tindakan kekerasan yang
diakibatkan oleh suatu sistem sosial masyarakat secara keseluruhan.
Akibatnya, respon terhadap maraknya kekerasan seksual di Klaten secara
spesifik belum dilakukan. Banyaknya kekerasan seksual yang terjadi di Klaten belum
menjadi sebuah keprihatinan dan kepedulian yang diekspresikan dalam sebuah
solidaritas sosial. Masih kuatnya kendala-kendala kesadaran, pengetahuan,
pemahaman tentang persoalan-persoalan yang melingkupi terjadinya kekerasan
seksual, menjadi satu alasan mendasar belum adanya upaya-upaya yang bersifat massif
dan terencana dalam merespon masalah ini. Dalam kaitan ini, terdapat tiga model
advokasi yang bisa dilakukan untuk mengeliminasi terjadinya kasus-kasus kekerasan
seksual di Klaten. pertama, advokasi dengan pendekatan struktural. Kedua, advokasi
dengan pendekatan kelompok terorganisir. Ketiga, advokasi dengan pendekatan
pengorganisasian. Dan keempat, advokasi dengan pendekatan Jaringan.
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
ABSTRAKSI
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
1.2 Pertanyaan Penelitian
1.3 Tujuan
1.4 Manfaat
1.5 Kerangka Konseptual
1.6 Metode Penelitian
BAB II GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN
2.1 Letak dan Luas Wilayah
2.2 Keadaan Penduduk
2.3 Sarana Umum
BAB III PERSEPSI MASYARAKAT TENTANG TERJADINYA KEKERASAN
SEKSUAL
3.1 Latar Belakang Responden
3.2 Persepsi Tentang Kekerasan Terhadap Perempuan (KTP)
3.3 Persepsi Tentang Kekerasan Seksual di Klaten
BAB IV PERSEPSI MASYARAKAT TENTANG MODEL
ADVOKASI KEKERASAN SEKSUAL
4.1 Upaya-upaya Merespon Terjadinya Kekerasan Seksual
4.1.1 Pemerintah dan Aparat Penegak Hukum
4.1.2 Masyarakat
a. Respon Terhadap Pemberitaan Media Massa
b. Upaya Masyarakat
c. Kesadaran yang Dibutuhkan Masyarakat
4.2 Model-model Advokasi
4.2.1 Advokasi dengan Pendekatan Strukutral
4.2.2 Advokasi dengan Pendekatan Kelompok Terorganisir
4.2.3 Advokasi dengan Pendekatan Pengorganisasian
4.2.4 Advokasi dengan Pendekatan Jaringan
BAB V PENUTUP
5.1 Kesimpulan
5.2 Rekomendasi
5.3 Saran-saran
DAFTAR PUSTAKA
PROFIL LEMBAGA
TIM PENELITI
LAMPIRAN-LAMPIRAN
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Saat ini, persoalan kekerasan seksual seperti perkosaan tidak lagi hanya
dipandang sebagai masalah antar individu, tetapi merupakan problem sosial yang
terkait dengan masalah-masalah hak asasi, khususnya yang berkaitan dengan
perlindungan dari segala bentuk penyiksaan, kekerasan, kekejaman, dan pengabaian
martabat manusia.1 Selain itu, kekerasan seksual juga merupakan masalah kejahatan
yang berakar pada nilai-nilai budaya, sosial, ekonomi dan politik di dalam masyarakat.2
Sistem patriarki yang dominan telah menempatkan kaum perempuan dalam posisi
yang sangat lemah, sehingga sangat memungkinkan berlangsungnya ketidakadilan
dalam berbagai bidang kehidupan.
Kekerasan seksual dikatakan termasuk satu bentuk kekerasan terhadap
perempuan, karena didalamnya memanifestasikan ketidakadilan sehubungan dengan
peran dan perbedaan gender. Disamping itu ada manifestasi lain seperti marginalisasi,
subordinasi, dan pelabelan negatif/stereotype terhadap perempuan.3
1 Nursyahbani Katjasungkana, “Pasal Perkosaan dalam Perspekyif Perempuan”, Kompas 22
Agustus 1995, hlm. 18. 2 Adrina, “Pelecehan Seksual salah satu bentuk tindak kekerasan terhadap perempuan”, dalam
Suparman Marzuki (ed), Pelecehan Seksual: Pergumulan antara tradisi hukum dan kekuasan. (Yogyakarta: FH-UI, 1995), hlm. 38
3 Mansour Fakih, “Gender Sebagai Analisis Sosial”, dalam Jurnal Analisis Sosial, Edisi 4:7-20, Nopember 1996, hlm.13-15
Di Indonesia, kepedulian terhadap Kekerasan Terhadap Perempuan (KTP)
diwujudkan pemerintah dengan melakukan ratifikasi terhadap konvensi PBB mengenai
penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap wanita yang dituangkan dalam
undang-undang nomor 7 tahun 1984. Dengan diratifikasinya konvensi tersebut berarti
Indonesia mempunyai kewajiban untuk mengimplementasikan pasal-pasal dalam
konvensi tersebut dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Langkah tersebut selanjutnya diikuti dengan dibentuknya Komisi Nasional Anti
Kekerasan Terhadap Perempuan, melalui Keppres nomor 181 tahun 1998. Komisi ini
dibentuk untuk melakukan pencegahan dan penanggulangan masalah kekerasan
terhadap perempuan serta penghapusan segala bentuk tindak kekerasan yang
dilakukan terhadap perempuan.4 Kemudian pada tanggal 24 November 1999,
Indonesia mencanangkan rencana nasional mengenai penghapusan kekerasan
terhadap perempuan (RAN KTP). Rencana yang melibatkan berbagai unsur, baik
pemerintah, LSM, maupun organisasi-organisasi kemasyarakatan mencakup upaya-
upaya; (1) meningkatkan tanggungjawab semua pihak untuk menghentikan dan tidak
mentolerir segala bentuk kekerasan terhadap perempuan. (2) meningkatkan hak-hak
asasi manusia dalam rangka menciptakan rasa aman kepada semua warga negara,
khususnya perempuan. (4) membangun gerakan bersama untuk mencegah dan
menghapuskan KTP di segala lini kehidupan. Dan (4) mencari penyelesaian kasus-kasus
4 Keputusan Presiden RI nomor 181 tahun 1998 tentang Komisi Nasional Anti Kekerasan
Terhadap Perempuan, Pasal 1.
KTP yang terjadi secara adil dan tuntas, termasuk menindak tegas pelaku kekerasan
serta memberikan perlindungan kepada saksi dan korban.5
Dalam konteks yang lebih luas, pemerintah juga mengeluarkan Intruksi Presiden
nomor 9 tahun 2000 yang mengatur tentang pengarusutamaan gender dalam
pembangunan nasional. Tujuan dikeluarkannya kebijakan ini adalah penyelenggaraan
perencanaan, penyusunan, pelaksanaan, pemantauan, dan perencanaan, penyusunan,
pelaksanaan, pemantauan, dan evaluasi atas kebijakan dan program pembangunan
nasional yang berperspekif gender dalam rangka mewujudkan kesetaraan dan keadilan
gender dalam kehidupan berkeluarga, bermasyarakat dan bernegara.6
Indonesia juga memiliki undang-undang nomor 39 tahun 2000 mengenai Hak
Asasi Manusia, yang menegaskan bahwa hak wanita adalah hak asasi manusia. Hal ini
tentunya menyangkal anggapan bahwa ‘seolah-olah’ hak asasi wanita berada di luar
hak asasi manusia yang tidak perlu dipermasalahkan bila terjadi pelanggaran, bahkan
‘seolah-olah’ wanita adalah warga negara yang kedua.7 Diantara hak wanita yang
dinyatakan dalam undang-undang tersebut adalah hak untuk mendapatkan
perlindungan khusus dalam pelaksanaan pekerjaan atau profesi terhadap hal-hal yang
dapat mengancam keselamatan dan atau kesalahannya berkenaan dengan fungsi
reproduksi wanita 8
5 Anna Marie Watti dan Susi eja Yuarsi, Penanganan Kasus Kekerasan Terhadap Perempuan di
Ruang Publik, (Yogyakarta: PPK dan Ford Foundation, 2002), hlm.1-2 6 Instruksi Presiden Nomor 9 tahun 2000 tentng Pengarusutamaan Gender dalam
Pembangunan Nasional, bagian Tujuan. 7 Lies Soegondo, “Perkembangan Pelaksanaan Hak Asasi Manusia di Indonesia”, dalam Kapita
Selekta Hak Asasi Manusia, (Jakarta: Puslitbang Diklat Mahkamah Agung RI, 2001), hlm. 135 8 Undang-undang Nomor 39 tahun 2000 tentang Hak Asasi Manusia, Pasal 49 ayat (3)
Selain hak wanita, hak anak juga mendapat perhatian dalam undang-undang
tersebut. Dinyatakan bahwa hak anak adalah hak asasi manusia, karenanya setiap anak
berhak untuk memperoleh perlindungan dari kegiatan eksploitasi dan pelecehan
seksual, penculikan, dan perdagangan anak.9 Munculnya hak-hak anak dalam undang-
undang HAM, antaralain dikarenakan Indonesia telah meratifikasi konvensi PBB
tentang hak-hak anak melalui keputusan Presiden nomor 36 tahun 2000.
Walaupun Indonesia telah meratifikasi berbagai konvensi PBB yang berkaitan
dengan KTP dan juga telah memiliki seperangkat kebijakan pendukung, diakui atau
tidak penanganan kasus kekerasan yang cukup integratif belum banyak dilakukan.
Beberapa instansi pemerintah memang telah mengadakan upaya pemberdayaan
perempuan, tetapi kebanyakan difokuskan pada peningkatan peran perempuan,
sedangkan masalah kekerasan terhadap perempuan hampir belum tertangani.
Beberapa LSM juga telah mencoba untuk mengakomodasi kepentingan perempuan,
tetapi pada umumnya program yang dilakukan masih bersifat sporadis dan tidak
integratif, sehingga hasilnyapun tidak optimal. Di pihak lain, lembaga penegak hukum
dan para pelaku litigasi masih belum cukup memiliki perspektif gender dalam
penanganan masalah perempuan, khususnya masalah KTP.10
Di sisi lain, meskipun KTP
telah menjadi isu nasional, namun di tingkat masyarakat masalah KTP belum
tersosialisasikan secara massif dan komperhensif, adanya kendala besar di tingkat tata
laksana pemerintahan dan budaya masyarakat menjadi persoalan yang tidak mudah
untuk diselesaikan.
9 Undang-undang Nomor 39 tahun 2000 tentang Hak Asasi Manusia, Pasal 65 10 Anna Marie Watti dan Susi eja Yuarsi, Penanganan…, hlm.2
Maraknya kasus-kasus kekerasan seksual di Klaten pada tahun 2002 merupakan
satu bukti bahwa upaya-upaya yang dilakukan belum membuahkan hasil yang optimal.
Sebagaimana dilaporkan Legal Resources Centre Kekerasan Jender dan Hak Asasi
Manusia (LRC KJHAM) Semarang, bahwa pada periode Januari-Oktober 2002 angka
perkosaan di Kabupaten Klaten paling tinggi se-Jawa Tengah (Jateng). Dari 121 kasus
perkosaan di Jateng selama Januari-Oktober 2002, di Klaten mencapai 13 kasus dengan
jumlah korban 14 orang dan pelaku 26 orang.11
Bahkan, RCTI memberitakan dalam
acara “Sergap” yang ditayangkan pada tanggal 21 Nopember 2002 itu, bahwa sampai
bulan Nopember 2002 telah terjadi 16 kasus perkosaan terhadap anak perempuan di
bawah umur. Dibanding tahun sebelumnya (2001), jumlah ini mengalami peningkatan,
yaitu 15 kasus perkosaan di bawah umur. Sementara, pada tahun sebelumnya (2000),
perkosaan di bawah umur di Klaten hanya terjadi 3 kasus.
Dalam konteks itulah, di tengah upaya-upaya penghapusan terjadinya KTP di
Indonesia maraknya kasus kekerasan seksual di Klaten menjadi keprihatinan semua
pihak. Ketika perangkat kebijakan belum dapat berjalan sebagaimana mestinya, dan
ketika kesadaran, pengetahaun dan pemahaman masyarakat akan hak-haknya belum
sepenuhnya dimiliki, tentunya masyarakat mempunyai persepsi yang beragam dalam
mensikapi terjadinya kekerasan seksual di Klaten. Khususnya, tentang apa yang
menjadi penyebab, langkah-langkah dan upaya-upaya yang harus dilakukan untuk
mencegahnya, serta advokasi yang paling strategis untuk dilakukan.
Dalam kerangka itulah penelitian ini dilakukan, yaitu melihat bagaimana
persepsi masyarakat dalam mensikapi terjadinya kekerasan seksual yang marak terjadi
11 “Angka Perkosaan di Klaten Tertinggi di Jateng”, Kompas, selasa, 26 Nopember 2002
di Klaten. Di satu sisi penelitian ini akan memunculkan potret masyarakat dengan
beragam karakter dalam merespon persoalan, di sisi yang lain, persepsi dan respon
yang muncul akan menunjukkan tingkat kesadaran, pengetahuan dan pemahaman
masyarakat tentang persoalan-persoalan yang melingkupi terjadinya kekerasan seksual
khususnya, dan KTP pada umumnya.
1.2 Pertanyaan Penelitian
Diharapkan dalam penelitian ini akan didapatkan jawaban-jawaban atas
rumusan masalah berikut:
1.2.1. Bagaimana persepsi masyarakat mensikapi banyaknya kekerasan seksual yang
terjadi di Klaten ?
1.2.2. Apa upaya-upaya yang dilakukan merespon banyaknya kekerasan seksual yang
terjadi ?
1.2.3. Bagaimana model advokasi yang dilakukan untuk mengeliminasi terjadinya
kekerasan seksual ?
1.3 Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk :
1.3.1 Melakukan eksplorasi tentang persepsi masyarakat Klaten mensikapi banyaknya
kekerasan seksual di Klaten.
1.3.2 Memberikan penjelasan tentang upaya-upaya yang dilakukan masyarakat
Klaten dalam merespon terjadinya kekerasan seksual.
1.3.3 Melakukan kajian tentang model advokasi yang dilakukan untuk mengeliminasi
terjadinya kekerasan seksual terhadap perempuan.
1.4 Manfaat
Manfaat dari penelitian ini adalah menghasilkan sebuah deskripsi mengenai
persepsi masyarakat terhadap fenomena Kekerasan seksual yang banyak terjadi di
Klaten. Penelitian ini juga sebagai kajian awal untuk melakukan program advokasi,
pendampingan, kampanye anti Kekerasan Terhadap Perempuan (KTP), dan program-
program kemasyarakatan lainnya.
1.5 Kerangka Konseptual
Hal mendasar yang harus ditegaskan terlebih dahulu adalah apa yang dimaksud
dengan kekerasan seksual ?. Secara bahasa, kekerasan (violence) dimaknai Mansour
sebagai serangan atau invasi (assault) terhadap fisik maupun integritas mental
psikologis seseorang.12
Sementara, menurut Johan Galtung, terminologi kekerasan
atau violence berasal dari bahasa latin vis vis yang berarti daya atau kekuatan dan latus
yang berarti membawa sehingga bisa diartikan secara harfiah sebagai daya atau
kekuatan untuk membawa.13
Dikaitkan dengan kata ‘seksual’, sebagaimana didefinisikan oleh McCharty,
kekerasan seksual adalah segala bentuk kontak seksual yang tidak diinginkan oleh salah
seorang pasangan dan untuk memuaskan hasrat seksual salah seorang pasangan yang
12 Mansour Fakih, Analisis Gender dan Transformasi Sosial, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
1996), hlm. 17
lain.14
Kekerasan seksual meliputi kekerasan yang terjadi karena adanya unsur
kehendak seksual yang dipaksakan atau mengakibatkan terjadinya tindakan oleh
pelaku yang tidak diinginkan oleh dan bersifat ofensif bagi korban.15
Sebaliknya,
kekerasan non-seksual adalah merupakan tindakan pelaku yang juga tidak dikehendaki
dan bersifat ofensif bagi korban, tetapi tidak disertai oleh adanya kehendak seksual. 16
Bentuk-bentuk dari kekerasan seksual antara lain: Ditatap penuh nafsu,
disenyumi nakal, disiuli, diajak berbicara cabul, ditelepon seks, diraba bagian tubuh,
dipaksa memegang bagian tubuh pelaku, dicuri cium/dipeluk, dipertontonkan alat
kelamin, dipertontonkan foto/benda porno, diserang untuk diperkosa, dan diperkosa.
17 Diantara bentuk-bentuk kekerasan seksual tersebut, perkosaan merupakan bentuk
kekerasan seksual yang paling menderitakan perempuan.
Dalam perkembangannya, persoalan kekerasan seksual tidaklah bersifat
personal dan berdiri sendiri, melainkan merupakan masalah sosial yang mempunyai
banyak aspek dan faktor yang melingkupinya. 18
Kekerasan seksual menjadi satu bagian
tak terpisahkan dari KTP. Deklarasi Penghapusan KTP pasal 1 menyebutkan, yang
dimaksud dengan KTP adalah setiap tindakan berdasarkan perbedaan jenis kelamin
yang mungkin berakibat kesengsaraan atau penderitaan perempuan secara fisik,
13 Windhu Warsana, Kekuasaan dan Kekerasan Menurut Johan Galtung, (Yogyakarta, 1992),
hlm. 30 14 Sebagaimana dikutip oleh Nurul Ilmi Idrus dari Hester et.al. Women, violence, and male
power, (Bunckingham: Open Universuty Press, 1996), dalam Marital Rape, (Yogyakarta: PPK dan Ford Foundation, 1999), hlm. 5
15 Rubenstein, Preventing and Remedying Sexual Harrasment at work a Manual, (London: Eclipse, 1992), hlm. 2
16 Rosemarie Skaine, Power and Gender: Issues in Sexual Dominance and Harrasment. (London: McFarland & Company Inc), hlm. 12
17 Anna Marie Wattie, Kekerasan Terhadap Perempuan di Ruang Publik; Fakta, Penanganan
dan Rekomendasi, (Yogyakarta: PPK dan Ford Foundation, 2002), hlm. 4
seksual atau psikologi, termasuk ancaman tindakan tertentu, pemaksaan atau
perampasan kemerdekaan sewenang-wenang, baik yang terjadi di depan umum atau
dalam kehidupan pribadi.19
Meskipun pada mulanya fenomena KTP sering dianggap sebagai suatu yang
cenderung ‘membudaya’, dan kurang mendapat perhatian memadai.20
Kini, fenomena
KTP telah menjadi kecemasan bagi setiap negara di dunia, termasuk negara-negara
maju yang dikatakan sangat menghargai dan peduli dengan hak-hak asasi manusia
(HAM). 21
Tindak kekerasan terhadap perempuan dalam pandangan PBB, harus diartikan
meliputi kekerasan yang bersifat fisik, seksual, dan psikologis. Kekerasan itu dapat
terjadi: pertama, di dalam keluarga, seperti, pemukulan, penyalahgunaan secara
seksual terhadap anak perempuan di dalam rumah tangga, perkosaan di dalam
perkawinan, praktek tradisi yang membahayakan perempuan, kekerasan berupa
eksploitasi seks. Kedua, di dalam masyarakat, termasuk perkosaan, pelecehan seksual,
intimidasi di tempat kerja, di tempat pendidikan, dan di tempat lain, dan perdagangan
perempuan (trafficking women); dan ketiga, memaksa untuk melacur dilakukan atau
diperbolehkan oleh negara, di manapun terjadi. 22
Akar munculnya KTP adalah budaya patriarkhi, yaitu sebuah sistem yang
mengatur peranan laki-laki dan perempuan dibingkai oleh sebuah sistem yang
18 Anna Marie Watti dan Susi eja Yuarsi, Penanganan…, hlm.5 19 Lucia Juningsih, Dampak Kekerasan Seksual Pada Jugun Ianfu, (Yogyakarta: PPK dan Ford
Foundation, 1999), hlm. 4 20 Rita Selena Kalibonso (ed), Perempuan Menuntut Keadilan, (Jakarta: Mitra Perempuan,
1998), hlm. 12 21 Fathul Jannah dkk, Kekerasan Terhadap Isteri, (Yogyakarta: LkiS, 2002), hlm. 1
menempatkan ayah sebagai penguasa keluarga. Istilah ini kemudian digunakan untuk
menjelaskan suatu masyarakat, tempat kaum laki-laki dan perempuan dan anak-anak.
Sistem ini bekerja atas dasar cara pandang laki-laki.23
Disamping itu, terjadinya kekerasan terhadap perempuan tidak terlepas dari
adanya perbedaan gender. Menurut Mansour Fakih, perbedaan gender sesungguhnya
tidaklah menjadi masalah sepanjang tidak melahirkan ketidakadilan gender (gender
inequalities). Namun, yang menjadi persoalan, ternyata perbedaan gender telah
melahirkan berbagai ketidakadilan yang termanifestasikan dalam pelbagai bentuk,
yaitu marginalisasi atau proses pemiskinan ekonomi, subordinasi atau anggapan tidak
penting dalam keputusan politik, pembentukan stereotipe atau melalui pelabelan
negatif, kekerasan (violence), beban kerja lebih, serta sosialiasasi ideologi nilai
gender.24
Manifestasi ketidakadilan diatas terjadi dalam berbagai tingkatan, antara lain;
di tingkat negara, di tempat kerja, organisasi maupun pendidikan, di dalam adat
istiadat di banyak kelompok etnik, dan di lingkungan rumah tangga. Dengan demikian
dapat disimpulkan, bahwa ketidakadilan gender telah mengakar mulai dalam
keyakinan di masing-masing orang, keluarga hingga pada tingkat negara yang bersifat
global.25
22 Sebagaimana dikutip Sri Meiyanti dalam Kekerasan …, hlm. 5 23 Sebagaimana dikutip Sri Meiyanti dari Kamla Bashin, Menggugat Patriarki; pengantar
tentang persoalan dominasi terhadap kaum perempuan, alih bahasa: Katjasungkana, (Jakarta: S.N. 1996), dalam Kekerasan terhadap Perempuan dalam Rumah Tangga, (Yogyakarta, PPK UGM dan Ford Foundation, 1999), hlm. 7
24 Mansour Fakih, Analisis Gender…,hlm. 12-13 25 Ibid, hlm.22-23
Selain patrariki dan gender, penyebab terjadinya kekerasan yang lain adalah
adanya relasi kuasa yang timpang. Hal ini muncul ketika sistem sosial (keluarga)
mendorong perempuan untuk tergantung kepada suami—khususnya secara ekonomi.
Akibatnya, relasi menjadi timpang. Di satu sisi istri diharuskan patuh, tapi di sisi lain
suami merasa mampu dan mudah bertindak semaunya. Dalam kondisi seperti ini, laki-
laki berpeluang melakukan kekerasan.26
Pembedaan peran sosial laki-laki dan
perempuan dalam kesehariannya dikukuhkan dan dilestarikan oleh materi-materi
pendidikan di sekolah maupun dalam keluarga, kebijaksanaan negara dan tafsir-tafsir
ajaran agama. Dengan demikian, seolah-olah laki-laki berhak untuk dipatuhi, dihormati,
berkuasa, dominan dan lebih unggul dibanding perempuan.27
Berdasarkan kerangka pemikiran diatas, pada prinsipnya KTP akan berkurang
seiring dengan meningkatnya kesadaran kesetaraan dan keadilan gender di kalangan
masyarakat. Meningkatnya kesadaran gender di kalangan masyarakat selanjutnya akan
berpengaruh terhadap proses penanganan KTP. Dalam kaitan ini, konteks yang menjadi
entry point penelitian adalah persepsi masyarakat dalam menanggapi kasus-kasus
kekerasan, seperti persepsi tentang penyebab terjadinya kekerasan seksual dan upaya-
upaya yang dilakukan, akan mencerminkan tingkatan kesadaran, pengetahuan dan
pemahaman masyarakat tentang KTP.
1.6 Metode Penelitian
1.6.1. Alasan Pemilihan Penelitian Kualitatif.
26 Anis Hamim (peny.), Benarkah Kita Mencintai Isteri Kita, (Yogyakarta: Rifka Annisa WCC,
1998), hlm. 7
Rencana penelitian kualitatif ini disusun berdasarkan pertimbangan-
pertimbangan yang akan dikemukakan pada uraian dibawah.
Perbedaan antara pendekatan kualitatif dan kuantitatif antara lain adalah
sebagai berikut. Pada Bogdan and Taylor 28
dikemukakan bahwa pembedaan antara
pendekatan kualitatif dengan pendekatan kuantitatif sebenarnya dapat ditelusuri pada
adanya dua perspektif teoritis pada kajian ilmu-ilmu sosial, yaitu positivism dan
phenomenological. Dalam kegiatan pendukung positivism dihasilkan data kuantitatif
dalam upaya pencarian “facts” dan “causes” melalui beraneka cara: survey,
inventories, dan analisis demografis.
Sedangkan dari kegiatan penganut phenomenologist dihasilkan data deskriptif
dalam upaya pencarian pemahaman (understanding) melalui cara-cara: pengamatan
terlibat, open-ended interview, dan dokumen-dokumen pribadi. Kegiatan ini dilakukan
agar phenomenologist dapat melihat dunia sebagaimana si subyek melihatnya. Data
deskriptif berupa kata-kata lisan maupun tertulis dari orang-orang, dan perilaku yang
dapat diamati.
Pembedaan diatas tidak berarti bahwa positivist tidak dapat mempergunakan
metode kualitatif untuk mencapai tujuannya. Bagi mereka data deskriptif dapat dilihat
sebagai indikator nilai-nilai, norma-norma kelompok dan kekuatan-kekuatan sosial
lainnya, yang berperan sebagai faktor penentu dari sikap (behavior) manusia.
27 Elli N.H. (ed), Derita di Balik Harmoni , (Yogyakarta: Rifka Annisa WCC, tt), hlm.11 28 Bogdan, Robert and Steven J. Tailor. Introduction To Qualitative Research Methods. A
Phenomenological Approach To The Social Sciences. (New York: John Wiley & Sons, Inc., 1975). Hlm. 2, 4-5
Oleh pendukung phenomenologist juga dikemukakan bahwa bila manusia
diredusir menjadi angka-angka, akan berakibat kehilangan pengamatan atas sifat
subyektif dari sikap manusia. Melalui metode kualitatif dapat diketahui
manusia-manusia secara pribadi, dan dapat dilihat bagaimana mereka
mengembangkan sendiri definisi-definisi tentang dunia. Lebih jauh lagi, melalui metode
ini dapat digali konsep-konsep yang essensinya hilang pada penelitian dengan
pendekatan lainnya.
Dalam pembedaan antara kedua pendekatan ini oleh Bailey29
dikemukakan
pentingnya peran pengukuran (measurement) atas konsep-konsep dalam penelitian
sosial. Bila perihal pengukuran (measurement) atas konsep-konsep tidak dilakukan
dengan memadai, dapat berakibat gagalnya penelitian yang bersangkutan.
Pada kegiatan pengukuran (measurement) dipergunakan angka-angka untuk
mengukur konsep-konsep atau variabel-variabel. Perihal tingkat (level) pengukuran
(measurement) dibedakan antara pengukuran-pengukuran: nominal, ordinal, interval,
dan ratio. Urutan aneka jenis pengukuran ini juga menunjukkan peningkatan hakekat,
dalam arti pengukuran yang berikut memiliki semua kategori pengukuran sebelumnya
ditambah dengan beberapa kategorinya sendiri.
Pada penerapan metode kualitatif diterapkan pengukuran nominal, baik untuk
kategori nama-nama maupun numeric. Pengukuran nominal ini pada intinya adalah
sistem klasifikasi. Pada pengukuran ini paling tidak diperlukan dua kategori, dan
29 Bailey, Kenneth D. Methods Of Social Research. Second Edition. (London: Collier Macmillan
Publisher, 1982).hlm. 61-66
kategori-kategori tersebut harus: jelas berbeda (distinct), mutually exclusive, dan
exhaustive.
Sedangkan pada penerapan metode kuantitatif diterapkan pengukuran ordinal,
interval, dan ratio. Pada pengukuran ordinal harus ada kategori-kategori serupa
dengan pada pengukuran nominal, tetapi bila pada pengukuran nominal
kategori-kategori tersebut berada pada tingkat (level) dan nilai (value) yang sama,
maka pada pengukuran ordinal nilai kategori-kategori tersebut diurutkan berdasarkan
rankingnya.
Sedangkan pada pengukuran interval, disamping harus ada kategori-kategori
pada jenis-jenis pengukuran yang telah disebutkan di atas, pada pengukuran ini juga
dapat ditunjukkan seberapa unit besarnya ranking-ranking yang ada.
Pada pengukuran ratio, disamping operasi numeric berupa penambahan dan
pengurangan sebagaimana yang dijumpai pada pengukura interval, juga dimungkinkan
perkalian dan pembagian. Untuk keperluan ini diperlukan titik nol (zero point) mutlak,
tetap, dan ditentukan tidak sewenang-wenang (nonarbitrary).
Lebih rinci lagi oleh Guba dan Lincoln30
diuraikan perbedaan paradigma
maupun karakteristik metodologis antara penelitian kualitatif dan penelitian
kuantitatif.
Perbedaan paradigma antara kedua jenis penelitian ini dapat dikaji pada: teknik
yang digunakan, kriteria kualitas, sumber teori, persoalan kausalitas, tipe pengetahuan
yang digunakan, pendirian dan maksud penelitian.
30 Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif. (Bandung: Penerbit P.T. Remaja
Rosdakarya, 1994), hlm.15-16
Sedangkan karakteristik metodologi antara kedua jenis penelitian ini dapat
dilihat pada: waktu penetapan pengumpulan data dan analisis, desain, gaya, latar,
perlakuan, satuan kajian dan unsur konteksual.
Ada 6 asumsi yang dapat dijadikan rujukan untuk pemilihan rencana kualiatatif bagi
suatu penelitian, yaitu:
• Perhatian peneliti kualitatif lebih dipusatkan terutama pada proses dibanding hasil;
• Minat peneliti kualitatif adalah pengartian (meaning) : bagaimana manusia
memberi arti pada kehidupannya, pengalamannya, dan pandangan tentang
kedudukannya di alam semesta;
• Instrumen utama dalam pengumpulan maupun analisis data dalam penelitian
kualitatif adalah si peneliti itu sendiri, dibanding instrumen pengumpulan dan
analisis data lainnya;
• Penelitian kualitatif meliputi juga penelitian lapangan. Peneliti harus mengunjungi
masyarakat yang diteliti, setting, lokasi, atau lembaga terkait untuk mengamati
sikap-tindak mereka pada setting yang alamiah;
• Penelitian kualitatif adalah penelitian deskriptif, jadi perhatian peneliti adalah
terhadap proses, pengartian, dan pemahaman yang diperoleh melalui kata-kata
atau gambar-gambar;
• Proses dalam penelitian kualitatif adalah induktif, jadi oleh peneliti dibangun
abstraksi-abstraksi, konsep-konsep, hypotesa-hypotesa, dan teori-teori dari
detail-detail.
Pada akhirnya harus diperhatikan sifat dan hakekat dari penelitian kualitatif
yang pada dasarnya adalah sangat “context bound”.
1.6.2. Wilayah Penelitian
Penelitian ini dilakukan di 8 kecamatan di wilayah Klaten Jawa Tengah.
Asumsinya wilayah yang diteliti adalah wilayah yang ada kasus kekerasan seksual dan
wilayah yang tidak yang tidak ada kasus. Untuk wilayah yang ada kasus, dipilih
Kecamatan Trucuk, Pedan, Tulung, dan Karangnongko, sementara untuk wilayah yang
tidak ada kasus, dipilih kecamatan Karanganom, Manisrenggo, Klaten Tengah, dan
Ceper.
1.6.3. Pengumpulan Data
Guna menghasilkan temuan yang sesuai dengan tujuan penelitian ini, beberapa
tahap dilakukan antara lain:
a. Pengumpulan Data Sekunder
Dilakukan dengan telaah pustaka, yakni mengumpulkan beberapa kajian dan
literatur yang membahas tentang masalah kekerasan terhadap perempuan (KTP).
Beberapa data diperoleh melalui guntingan koran/kliping, searching di internet, dan
literatur ilmiah lainnya. Guna mendukung justifikasi pemilihan wilayah penelitian yang
dipilih dalam studi pustaka juga diacu data demografis yng diperoleh dari buku statistik
yang diterbitkan oleh lembaga terkait.
b. Pengumpulan Data Primer
Berbeda dengan telaah pustaka, untuk kegiatan pengumpulan data primer,
kajian dilakukan dengan beberapa tahapan
1. Observasi
Beberapa lokasi yang dipilih berada di wilayah perkotaan. Wilayah yang
dipilih adalah daerah yang memiliki kompleks perumahan dan wilayah
perkampungan. Wilayah perumahan sebagra re[resentasi tempat tinggal
yang dibangun oleh perusahaan (developer) dengan model, luas tanah,
ataupun harga yang memiliki kesamaan. Perumahan merupakan suatu
komunitas ‘bentukan’, berbeda dengan perkampungan yang memiliki pola,
model dan bentuk serta luasan tempat tinggal yang bervariasi dan biasanya
mereka yang tinggal kebanyakan adalah penduduk non-pendatang. Kampung
merupakan kelompok sosial dan spesial di perkotaan.31
2. Wawancara Terstruktur (survey)
Dari beberapa rumah tangga yang dijadikan sampel dalam penelitian ini
diminta untuk menjawab beberapa pertanyaan yang disampaikan dalam
survey ini. Beberapa point pertanyaan diajukan berkaitan dengan (a) Kondisi
sosial ekonomi, (b) persepsi tentang KTP, (c) Persepsi tentang Kekerasan
seksual di Klaten, (d) persoalan-persoalan yang berkaitan dengan terjadinya
kekerasan seksual di Klaten, antara lain, mengenai tanggapan dan langkah
yang dilakukan untuk mengeliminir terjadinya Kekerasan Terhadap
Perempuan (KTP).
3. Wawancara Mendalam (in-dept interview)
31 Subroto, T. Yoyok Wahyu, Bakti Setiawan dan Setiadi, 1997, Proses Transformasi Spasial dan
Sosial di Daerah Pinggiran Perkotaan (Urban Fringe) di Indonesia: Studi Kasus di Yogyakarta, laporan Penelitian, Yogyakarta: PPLH Universitas Gadjah Mada.
Sebagai tindak lanjut dari dilakukannya survey, maka diketahui tentang pola
pengetahuan dan pemahaman tentang KTP. Selanjutnya, dilakukan
pemilihan responden terpilih untuk dijadikan informan yang dipandang
memenuhi kriteria untuk melengkapi data yang dibutuhkan. Kriteria yang
dipakai untuk memilih informan adalah mereka yang terbuka, komunikatif,
dan sudah lama menjadi warga Klaten, minimal 5 tahun. Mereka yang dipilih
sebagai informan antara lain tokoh masyarakat dan warga masyarakat.
c. Focused Group Discussion (FGD)
Sebagai tahap untuk memperoleh masukan, gagasan serta arahan yang
lebih komperhensif menyangkut kepentingan segenap masyarakat yang
berkaitan dengan persoalan KTP, kegiatan FGD penting untuk dilakukan
Kegiatan ini dilakukan sebanyak empat kali dengan sasaran dan target yang
berbeda-beda, yakni, (a) warga masyarakat, (b) LSM, akademisi dan profesi
yang memiliki minat dan perhatian dalam persoalan KTP, (c) Aparat
Pemerintah, Instansi Pemerintah dan Aparat Hukum, (d) Organisasi
Kemasyarakatan (Ormas), Organisasi Kepemudaan (OKP), dan Organisasi
Sosial dan Partai Politik (Orsospol).
1.6.4. Analisis Data
Data yang dianalisis merupakan hasil keseluruhan dari wawancara terstruktur,
wawancara mendalam (in-dept interview), dan FGD. Ukuran sampel survey sebanyak
408 orang (responden), dan melibatkan 15 orang (informan) untuk wawancara
mendalam, serta sekitar 60 orang (partisipan) dalam FGD.
Data yang diperoleh melalui penyebaran angket akan dianalisis dengan
menggunakan statistik deskriptif dalam bentuk distribusi-frekuensi, yaitu dengan
menggunakan rumus sebagai berikut:
P = F x 100
N
Keterangan:
P = Persentase
F = Frekuensi (jawaban responden)
N = Number of case (Jumlah yang memberi jawaban)
Untuk memudahkan, maka data diolah dengan menggunakan program
komputer SPSS versi 11,1 for windows. Selanjutnya, data dikumpulkan dan
diklasifikasikan, disusun dengan cara tabulasi dan persentase (tabel frekuensi). Tujuan
membuat tabel frekuensi adalah untuk mendeskripsikan jumlah dan sebaran dari
masing-masing variabel yang merupakan karakteristik dari kondisi tertentu. 32
Sedangkan hasil temuan, baik dari FGD maupun in-dept interview dilakukan
analisis deskriptif-kualitatif. Sebagai penelitian yang bersifat kualitatif maka analisis
data dilakukan secara simultan dengan pengumpulan data, interpretasi data dan
bahkan dengan penulisan hasil penelitian. Laporan hasil penelitian akan disajikan
dalam wujud narasi deskriptif. Kedua pendekatan ini selanjutnya digunakan untuk
menjelaskan permasalahan dan persepsi masyarakat tentang kekerasan seksual di
Klaten.
32 Ida Bagus Mantra, Langkah-langkah Penelitian Survey: Usulan Penelitian dan Laporan
Penelitian, Badan penerbit Fakultas Geografi (BPFG)-UGM Yogyakarta.
BAB II
GAMBARAN UMUM
WILAYAH PENELITIAN
Gambaran umum wilayah penelitian merupakan uraian tentang deskripsi
kondisi geografis serta demografis wilayah penelitian. Sebagaimana dikemukakan
dimuka, wilayah penelitian ini meliputi 8 (delapan) Kecamatan yaitu: Pedan, Ceper,
Karangnongko, Karanganom, Klaten Tengah, Manisrenggo, Trucuk, dan Tulung.
Setiap wilayah tentunya memiliki karakteristik sendiri yang ditunjukkan dengan
adanya perbedaan dalam hal kondisi fisik, sosial budaya dan kegiatan ekonomi. Dalam
gambaran umum ini antara lain dipaparkan tentang letak dan luas, keadaan penduduk
dan sarana umum. Adanya gambaran umum ini dapat digunakan sebagai dasar dalam
menganalisis persepsi masyarakat tentang terjadinya kasus-kasus kekerasan seksual di
Klaten.
2.1 Letak dan Luas Wilayah
Secara geografis, wilayah kabupaten Klaten berbatasan dengan kabupaten
Boyolali, di sebelah Utara, Sukoharjo di sebelah Timur, Gunungkidul di sebelah Selatan,
dan Sleman di sebelah Barat. Wilayah kabupaten Klaten terbagi menjadi tiga daratan,
yaitu; dataran lerengan gunung Merapi di sebelah utara, membujur dataran rendah di
sebelah timur, dan dataran gunung kapur di sebelah selatan. Dataran Gunung Merapi
membentang di sebelah utara meliputi sebagian kecil sebelah utara kecamatan
Kemalang, Karangnongko, Jatinom dan Tulung. Dataran membujur di tengah meliputi
seluruh wilayah kecamatan di kabupaten Klaten, kecuali sebagian kecil wilayah
merupakan dataran lereng Gunung Merapi dan Gunung Kapur. Dan dataran gunung
Kapur yang membujur di sebelah selatan meliputi sebagian kecil sebelah selatan
kecamatan Bayat dan Cawas.
Melihat keadaan alamnya yang sebagian besar dataran rendah daan didukung
dengan banyaknya sumber air, maka daerah Kabupaten Klaten merupakan daerah
pertanian yang potensial disamping penghasil kapur, batu kali dan pasir yang berasal
dari Gunung Merapi.
Sementara, dilihat dari ketingggian daerah, 3,72 persen daerah Klaten berada
diantara ketinggian 0-100 meter diatas permukaan laut. Daerah yang paling luas, yaitu
77,52 persen berada diantara ketinggian 100-500 meter dari permukaan laut. Dan
hanya 12, 76 persen yang berada di ketinggian 500-1000 meter dari permukaan laut.
Daerah kabupaten Klaten terbentang diantara Daerah Istimewa Yogyakarta dan
Surakarta yang dilewati jalan raya Yogya-Solo mempunyai peran yang sangat penting
dalam memperlancar segala kegiatan perekonomian.
Selain sebagai daerah mediterania antara Daerah Istimewa Yogyakarta dan Kota
Surakarta, di Klaten terdapat pula beberapa obyek wisata, antara lain; (a) Candi,
seperti, Candi Sewu, Plaosan, dan Merak. (b) Makam, seperti, Makam Sunan Bayat (Kia
Ageng Pandanaran, Pujangga R. Ngabei Ronggowarsito, dan Ki Ageng Perwito. Wisata
lainnya, seperti, Rowo Jombor, Deles Indah, Museum Gula, Monumen Juang 1945, dan
pemancingan Janti.
Sementara itu, dilihat dari luas wilayahnya berdasarkan kecamatan yang menjadi
wilayah penelitian ini adalah sebagai berikut;
Tabel 2.1
Luas Wilayah (Ha)
No Nama Kecamatan Luas Wilayah
01 Trucuk 3.381
02 Manisrenggo 2.696
03 Karangnongko 2.674
04 Ceper 2.445
05 Pedan 1.917
06 Karanganom 2.406
07 Tulung 3.200
08 Klaten Tengah 890
Sumber: Klaten dalam Angka, 2001
2.2. Keadaan Penduduk
2.2.1 Jumlah dan Kepadatan Penduduk
Penduduk merupakan salah satu modal dasar yang sangat penting dalam
melaksanakan pembangunan. Namun demikian pertumbuhan penduduk yang tidak
terkendali dapat mengakibatkan munculnya permasalahan yang sangat kompleks
dalam berbagai aspek kehidupan. Meningkatnya tingkat konsumsi yang diikuti pula
oleh meningkatnya kuantitas limbah buangan rumah tangga, merupakan salah satu
bagian dari dampak pertumbuhan penduduk di suatu wilayah tertentu, yang
selanjutnya akan diikuti oleh keterbatasan-keterbatasan penduduk dalam
pemanfaatan pelayanan publik oleh penduduk itu sendiri.
Jumlah penduduk Klaten tahun 2001 adalah 1.265.295 jiwa, dengan kepadatan
penduduk sekitar 1.930 jiwa/km persegi, atau dikepalai oleh sekitar 3.155 kepala
keluarga. Secara rinci, jumlah penduduk pada 8 Kecamatan, yang menjadi wilayah
dalam penelitian ini dapat dilihat pada tabel 2.2.
Tabel 2.2
Jumlah dan Kepadatan Penduduk Menurut Kecamatan
Luas Wilayah Kecamatan (Ha)
No Nama Kecamatan Jumlah
Penduduk
Kepadatan
Penduduk (Km)
01 Trucuk 77.807 2.301
02 Manisrenggo 40.448 1.500
03 Karangnongko 37.623 1.407
04 Ceper 62.635 2.562
05 Pedan 47.609 2.484
06 Karanganom 48.983 2.036
07 Tulung 54.092 1.690
08 Klaten Tengah 42.699 4.787
Sumber: Klaten dalam Angka, 2001
2.2.2 Komposisi Penduduk Menurut Jenis Kelamin
Komposisi penduduk menurut jenis kelamin dapat menggambarkan struktur
penduduk di suatu wilayah. Sebagaimana yang tampak pada tabel 2.3 berikut ini;
Tabel 2.3
Komposisi Penduduk Menurut Jenis Kelamin
No Nama Kecamatan Laki-laki Perempuan Jumlah
01 Trucuk 38.555 39.252 77.807
02 Manisrenggo 19.332 21.116 40.448
03 Karangnongko 18.206 19.417 37.623
04 Ceper 30.690 31.945 62.635
05 Pedan 23.395 24.214 47.609
06 Karanganom 23.865 25.118 48.983
07 Tulung 26.476 27.616 54.092
08 Klaten Tengah 20.803 21.896 42.699
Sumber: Klaten dalam Angka, 2001
Berdasarkan data diatas, ternyata di semua wilayah cakupan penelitian ini,
penduduk yang berjenis kelamin perempuan lebih banyak dibanding penduduk yang
berjenis kelamin laki-laki. Komposisi masyarakat yang demikian sedikit banyak
berpengaruh terhadap bangunan sistem sosial, politik, ekonomi dalam masyarakat.
Dimana, potensi-potensi terjadinya tindakan kekerasan terhadap perempuan,
seharusnya dapat lebih dieliminir, karena secara kuantitas perempuan jumlahnya lebih
banyak.
2.2.3 Komposisi Penduduk menurut Lapangan Usaha
Komposisi penduduk di kecamatan yang menjadi wilayah penelitian ini dilihat
dari orang yang bekerja (15 tahun Keatas) berdasarkan jenis lapangan usahanya, bisa
dikatakan sangatlah beragam. Tetapi, diantara lapangan usaha yang ada, pertanian
merupakan jenis lapangan usaha yang paling banyak digeluti oleh masyarakat.
Selengkapnya dapat dilihat pada tabel 2.4.
Tabel 2.4
Komposisi Penduduk Yang Bekerja Berdasar Lapangan Usaha
No
Lapangan
Usaha
Pertania
n
Pengg
alian
Indust
ri
pengo
lahan
Kons-
truksi
Perda
gang-
an
Ang-
kutan
/Kom
unikas
i
Keua-
ngan
Jasa-
jasa
Jumla
h
01 Trucuk 16.150 - 9.732 6.471 12.94
2
1.605 - 4.866 51.76
6
02 Manisrenggo 8.979 2.604 574 3.239 4.592 - - 513 20.50
1
03 Karangnongko 8.689 - 4.507 647 2.263 323 - 2.586 19.01
5
04 Ceper 6.769 - 12.55
0
3.249 5.317 1.042 - 3.369 30.91
1
05 Pedan 7.355 - 8.136 3.811 3.249 - - 2.443 24.43
2
06 Karanganom 10.746 473 4.801 1.644 4.428 995 672 945 24.87
6
07 Tulung 8.266 - 1.11 1.711 8.265 1.11 - 2.755 23.15
2
08 Klaten Tengah 810 - 5.079 2.343 7.028 1.948 - 4.685 21.89
3
Sumber: Klaten dalam Angka, 2001
Diantara wilayah kecamatan diatas, kecamatan Trucuk, dilihat dari jumlah
perusahaan yang ada merupakan daerah industri tembakau yang paling besar di
Klaten. Sementara, kecamatan Ceper sebagai daerah industri Cor Logam, dan
kecamatan Pedan sebagai daerah industri Pakaian. Sedangkan dilihat dari potensi
pertaniannya, di kecamatan Pedan terdapat produksi lombok, dan kecamatan Tulung
sebagai daerah yang paling banyak memproduksi jagung.
2.2.4 Dinamika Penduduk
Jenis kejadian mutasi (datang dan pergi), di beberapa kecamatan, seperti,
Trucuk , Ceper, Karanganom, Tulung dan Klaten Tengah, selama tahun 2001 cukup
tinggi. Berdasarkan tabel 2.4, maka dilihat dari tingkat banyaknya mobilitas keluar,
sangat dimungkinkan dalam rangka mencari pekerjaan, dibandingkan karena status
kependudukan. Sementara, dilihat angka kematiannya, ternyata di sebagian besar
kecamatan-kecamatan yang menjadi wilayah penelitian ini masih cukup tinggi. Hal ini
menunjukkan bahwa derajat kesehatan masyarakatnya masih rendah.
Tabel 2.5
Dinamika Penduduk Datang dan Pergi,
Serta Angka Kelahiran dan Kematian
No Kecamatan Datang Pergi Lahir Mati
01 Trucuk 202 281 15,86 6,28
02 Manisrenggo 181 93 12,49 6,41
03 Karangnongko 72 91 11,62 5,60
04 Ceper 76 249 13,44 5,38
05 Pedan 690 628 11,53 6,42
06 Karanganom 171 260 9,76 5,71
07 Tulung 76 116 10,46 6,13
08 Klaten Tengah 525 608 16,82 7,67
Sumber: Klaten dalam Angka 2001
2.3. Sarana Umum
2.3.1 Sarana Pendidikan
Adanya sarana pendidikan di suatu daerah, dipastikan mempunyai dampak
yang positif bagi masyarakat di sekitarnya. Apalagi, jika jumlah fasilitas pendidikan yang
ada sangat memadai. Berdasarkan data dari BPS Klaten, fasilitas pendidikan dalam
wujud gedung sekolah, yang diselenggarakan oleh swasta lebih banyak dibanding yang
disediakan oleh negara. Fasilitas pendidikan yang disediakan oleh negara, yang hampir
ada di seluruh kecamatan wilayah penelitian adalah fasilitas untuk SLTP.
Sementara, untuk SMU dan SMK, secara kuantitatif masih dibawah fasilitas
pendidikan yang diselenggarakan oleh Swasta. Bahkan, untuk sekolah kejuruan,
pemerintah nampaknya kurang memberikan perhatian yang khusus, padahal sekolah
kejuruan adalah sebuah lembaga pendidikan yang menyiapkan anak didiknya dengan
keterampilan bekerja yang dibutuhkan oleh lapangan pekerjaan.
Tabel 2.6
Jumlah Sarana Gedung Sekolah Menurut Kecamatan
No Uraian Negeri Swasta
SLTP SMU SMK SLTP SMU SMK
01 Trucuk 3 1 2
02 Manisrenggo 3 1 2 1
03 Karangnongko 2 1 2
04 Ceper 2 1 1 1 2
05 Pedan 3 1 2 1 3
06 Karanganom 4 1 1 1 1
07 Tulung 2
08 Klaten Tengah 3 1 3 2 8
Jumlah
22 4 3 13 5 15
Sumber: Klaten dalam
2.3.2 Sarana Ibadah
Tempat ibadah merupakan sarana yang paling penting bagi masyarakat
pemeluk agama. Adanya fasilitas ibadah bisa dijadikan sebagai parameter awal bahwa
masyarakat memiliki keberagamaan (religiusitas). Meskipun bukan berarti, dalam
masyarakat yang memiliki banyak fasilitas ibadah, masyarakatnyapun banyak yang
religius. Dilihat dari jumlah sarana ibadah yang ada, bisa disimpulkan, bahwa
mayoritas masyarakat di wilayah penelitian ini beragama Islam.
Tabel 2.7
Sarana Ibadah
No Kecamatan Masjid Gereja
Katolik
Gereja
Kristen
Pure/
Vihara
01 Trucuk 119 6
02 Manisrenggo 58 2 3
03 Karangnongko 60 4 1
04 Ceper 78 3
05 Pedan 73 9 2
06 Karanganom 104 1 2 2
07 Tulung 148 1 1
08 Klaten Tengah 57 5 9
Sumber: Klaten dalam Angka 2001
2.3.3 Sarana Kesehatan
Adanya sarana kesehatan dalam suatu daerah makin mempermudah
masyarakat dalam mengakses fasilitas kesehatan. Tingkat aksebilitas seseorang
terhadap fasilitas kesehatan, akan berdampak pada efektifitas dan efisiensi dalam
manakala terserang penyakit. Berdasarkan data pada tabel 2.8, jika dilihat dari
banyaknya desa di tiap-tiap kecamatan, maka bisa dinyatakan bahwa aksebilitas
masyarakat terhadap sarana kesehatan yang disediakan oleh pemerintah sangat
rendah. Khususnya, akses terhadap pelayanan kesehatan Puskesmas dan Puskesmas
Keliling.
Tabel 2.8
Jumlah Sarana Puskesmas dan Posyandu
No Uraian Puskesmas Puskesmas
Keliling Posyandu
01 Trucuk 2 2 106
02 Manisrenggo 1 1 83
03 Karangnongko 1 1 79
04 Ceper 2 2 94
05 Pedan 1 1 67
06 Karanganom 1 1 97
07 Tulung 2 1 94
08 Klaten Tengah 1 1 57
Sumber: Klaten dalam Angka 2001
BAB III
PERSEPSI MASYARAKAT TENTANG TERJADINYA KEKERASAN SEKSUAL
DI KLATEN
3.1. Latar Belakang Responden
Pengambilan data di lapangan melibatkan 408 responden yang tersebar di 8
kecamatan di Klaten, yaitu, yaitu 40 orang (9.9 persen) berada di Kecamatan
Karangnongko, 52 orang (12.8 persen) berada di Kecamatan Karanganom, 24 orang
(5,9 persen) di Kecamatan Manisrenggo, 68 orang (16,8 persen) di kecamatan trucuk,
80 orang (19.4 persen) berada di kecamatan Klaten tengah. Sementara, sekitar 28
orang (6.9 persen) berada di Ceper, di Pedan sekitar 71 orang (17.3 persen), sisanya
sekitar 45 orang (11.0 persen) merupakan responden yang berasal dari kecamatan
Tulung.
Tabel 3.1
Persentase Responden Menurut Wilayah
Nama
Kecamatan N %
Karangnongko 40 9.9
Karanganom 52 12.8
Manisrenggo 24 5.9
Trucuk 68 16.8
Klaten Tengah 80 19.4
Ceper 28 6.9
Pedan 71 17.3
Tulung 45 11.0
Jumlah 40
8
100
Sumber: Data Primer 2003
3.1.1 Umur
Dari keseluruhan responden yang berjumlah 408 orang, 236 orang (57,8
persen) adalah laki, dan 172 orang (42.2 persen) adalah perempuan. Sedangkan di
lihat dari komposisi umur responden seperti terlihat pada tabel 3.2., lebih dari 50
persen responden berumur antara 15 sampai dengan 20 tahun. Sebagian responden
termasuk dalam kategori kelompok umur produktif, hanya sebagian saja yang masuk
dalam kategori kelompok umur yang tidak produktif (lansia). Dengan demikian
diharapkan dari responden tersebut akan diperoleh informasi yang akurat mengenai
persepsi terhadap terjadinya kekerasan seksual di Klaten.
Tabel 3. 2
Persentase Responden Menurut Umur
Umur N %
15-20 43 59.1
21-15 49 12.0
26-30 57 13.9
31-35 32 7.8
36-40 53 12.9
41- 45 39 9.6
46-50 28 15.9
51-Keatas 35 8.2
Jumlah 39
4
96.6
Missing: 14 (3,4 %)
Sumber: Data Primer 2003
3.1.2 Jenjang Pendidikan
Pendidikan tertinggi yang ditamatkan mempunyai peran yang sangat penting
dalam pembentukan pola pikir seseorang. Seseorang dengan pendidikan yang
semakin tinggi diasumsikan akan lebih mampu mengambil keputusan dan tindakan
yang proporsional. Tindakan yang tidak saja menguntungkan diri sendiri, namun juga
tidak merugikan orang lain maupun lingkungannya.
Jenjang pendidikan yang ditamatkan responden sangat bervariasi dengan
persentase yang cukup merata. Hal tersebut terlihat pada tabel 3.3.
Sumber: Data Primer 2003
3.1.3 Status Perkawinan
Status perkawinan seseorang juga berpengaruh terhadap pengambilan
keputusan yang berhubungan dengan interaksi sosial di masyarakat. Dalam
merespon persoalan kekerasan seksual tentunya sangat berbeda antara responden
yang belum berstatus kawin, dengan responden yang bertatus kawin. Adanya,
kuantitas dan kualitas tanggungjawab yang semakin besar bagi orang yang sudah
Tabel 3.3 Persentase Responden Menurut Jenjang Pendidikan
3% 13%
20%
42%
10%12%
Tidaka Tamat SD/MI
SD/MI
SLTP
SLTA
DIPLOMA
SI/S2/S3
kawin, mendorong tumbuhnya kedewasaan dalam merespon persoalan-persoalan
masyarakat.
Dari 408 responden, 264 orang (64.7 persen) berstatus kawin, dan 139 orang
(34.1 persen) berstatus tidak kawin. Hanya 3 orang (0,7 persen) yang menyatakan
berstatus cerai hidup, dan 2 orang (0,5 persen) menyatakan berstatus cerai mati.
Tabel 3.4
Persentase Responden menurut Status Perkawinan
Status
Perkawinan N %
Tidak kawin 13
9
34.1
Kawin 26
4
64.7
Cerai hidup 3 0.7
Cerai mati 2 0.5
Jumlah 40
8
100
Sumber: Data Primer 2003
3.1.4 Status Pekerjaan
Kedudukan/jabatan seseorang dalam pekerjaan mempengaruhi tingkat
ekonomi seseorang. Dalam penelitian ini responden yang berstatus bekerja, memiliki
persentase yang lebih banyak. Krisis ekonomi yang masih berlangsung di negeri ini
tidak menyurutkan sebagian masyarakat untuk bertahan hidup. Berbekal berbagai
pengalaman dan pengetahuan, semua orang ingin meneruskan hidupnya, meskipun
harus menggauli berbagai macam pekerjaan, yang terkadang tidak sesuai dengan
ijasah formal yang dimiliki.
Status dalam pekerjaan saat ini masih mendominasi pemikiran masyarakat
terhadap hal-hal yang selalu terkait dengan status seseorang. Status sosial seseorang
dapat dikatakan tinggi bilamana seseorang memiliki pekerjaan tertentu, berikut
kedudukan yang dimilikinya. Hal tersebut berkaitan dengan harapan masyarakat
terhadap peluang kerja yang memberikan tingkat kesejahteraan sekaligus
kedudukan. Selain adanya jaminan berkelanjutan pekerjaan yang digeluti. Namun
harapan masyarakat tersebut pupus, ketika krisis yang telah bergulir sekian lama
tidak lagi mampu memberikan peluang yang lebih baik bagi orang-orang yang
memiliki kedudukan, terutama golongan menengah ke bawah.
Dilihat dari jenis pekerjaan yang dimiliki oleh responden dalam penelitian ini,
maka ada kecenderungan, dalam mensikapi krisis ekonomi yang ada, masyarakat
bekerja secara wiraswasta. Artinya, apapun dilakukan untuk bisa produktif. Maka,
tidak mengherankan, jika dalam penelitian ini ditemukan beragam jenis pekerjaan
yang digeluti. Sebagaimana tampak dalam tabel berikut ini.
Tabel 3.5
Persentase Responden Menurut Jenis Pekerjaan
Jenis Pekerjaan N %
Mahasiswa 33 9.6
Pengacara 4 1.1
Swasta 139 40.7
Buruh Tani 9 2.7
Buruh 6 1.8
Ibu Rumah Tangga 25 7.3
Aparat Pemerintah Desa 16 4.6
Karyawan 17 5.0
Guru 23 6.8
Penyiar Radio 3 0.9
PNS 30 8.8
Tani 31 9.0
Tukang Becak 1 0.3
Bengkel 3 0.9
Dosen 1 0.3
Pramuniaga 1 0.3
Lainnya 66 16.1
Jumlah 408 100
Sumber: Data Primer, 2003
Berdasarkan data diatas, pekerjaan yang paling banyak dimiliki oleh
responden adalah swasta, hal ini yang dinyatakan oleh 139 orang (40.7 persen)
3.2. Persepsi Tentang Kekerasan Terhadap Perempuan (KTP)
Persepsi seseorang tentang sebuah persoalan sedikit banyak pasti
dipengaruhi oleh pemahaman dan pengetahuannya terhadap kerangka konseptual
dari persoalan tersebut. Dalam kaitan ini, sebelum menggali lebih dalam, persepsi
responden tentang kekerasan seksual, terlebih dahulu dibahas tentang persepsi
responden secara umum mengenai KTP. Hal ini sangat penting, sebagai pijakan awal
dalam rangka mengetahui sejauhmana penguasaan informasi dan pengetahuan
responden terhadap persoalan kekerasan seksual yang terjadi di Klaten.
Beberapa pengertian KTP menurut persepsi responden, dapat dilihat pada
tabel 3.6.
Tabel 3.6
Persepsi Responden Tentang Pengertian KTP
Kekerasan Terhadap Perempuan adalah:
Tindakan yang mengurangi hak asasi perempuan
Kekerasan yang berakibat merendahkan martabat wanita
Kekerasan terhadap fisik seorang perempuan
Semua perbuatan yang mengurangi hak asasi perempuan
Tindakan yang menyangkut nurani perempaun
Perbuatan yang semena-mena terhadap wanita,
Termasuk perkosaan, pelecehan, penghinaan
Kekerasan baik fisik maupun perasaan terhadap perempuan
Pelecehan seksual, perselingkuhan, penghinaan dan pengasingan
Perlakuan kasar pada wanita
Penindasan hak-hak perempuan
Upaya pemaksaan yang menyakiti perempuan
Tindakan yang merugikan dan mencemarkan perempuan
Kejahatan yang dilakukan terhadap perempuan
Pemaksaan kehendak terhadap perempaun
Tindakan yang kurang bertanggungjawab terhadap perempuan
Tindakan melukai, menyakiti perempuan
Perlakuan yang menyimpang
Menyakiti perempuan
Tindakan yang kejam terhadap perempuan
Pelecehan sex, perkosaan, pemaksaan melakukan hal-hal yang
Berhubungan dengan sex
Bentuk perlakuan yang merugikan pihak perempuan baik fisik
maupun psikis
Pemaksaan hak menikmati sex oleh orang lain
Perbuatan yang tidak menghargai perempuan
Perilaku yang tidak sewajarnya
Menyakitu hati orang lain
Sikap yang kasar
Perilaku yang menyimpang
Dibentak bentak
Kekerasan disertai ancaman penganiayaan
Kekejaman yang dilakukan laki-laki
Tindakan atau ucapan yang bisa menimbulkan kesenjangan/
melanggar
HAM terhadap perempuan
Kekerasan yang melukai lahir dan batin
Kekerasan yang menyengsarakan perempuan
Tindakan, perkataan yg melecehkan aurat perempuan
Memaksakan sesuatu yang bukan miliknya
Penyimpangan perilaku karena merasa lebih (dominasi) pada
segala hal
Kekerasan lahir dan batin terhadap perempuan
Perbuatan yang menjadikan perempuan sebagai korban
Kekerasan yang menimbulkan cacat fisik ataupun mental
Tindakan diluar batas yang merugikan perempuan
Perilaku yang membuat perempuan teraniaya
Melukai jasmani dan rohani
Tindakan amoral
Diskriminasi terhadap perempuan
Perbuatan yang tidak menghargai wanita, wanita hanya dianggap
budak
Tindakan yang disertai dengan ancaman sehingga menimbulkan
perasaan tak nyaman
Sikap dan perlakuan seseorang yang beranggapan perempuan
adalah lemah dalam segala hal
Tindakan asusila terhadap perempuan
Perbuatan yang mengurangi nilai-nilai perempuan
Kekerasan seks, mengurangi hak-hak istri, tidak diberi nafkah lahir
dan batin
Perbuatan yang asusila dan tidak mengikuti aturan agama dan
negara
Sumber: Data Primer 2003
Melihat pengertian-pengertian diatas, terdapat karakteristik yang beragam
dalam memandang KTP. Pertama, diantara responden ada yang memaknai KTP
sebagai sebentuk tindakan/perbuatan/perilaku yang merugikan hak-hak asasi
perempuan, sehingga merendahkan martabat dan kehormatan perempuan.
Pemahaman semacam ini antara lain dilandasi oleh pengetahuan tentang kesetaraan
hak antara laki-laki dan perempuan. Jadi, ukurannya adalah segala hal yang
melanggar hak-hak perempuan, maka disebut sebagai tindakan KTP, termasuk di
dalamnya tentu saja hak dalam berpendapat.
Kedua, diantara responden ada yang memaknai KTP hanya dalam dataran
teknis bentuk KTP, seperti, perkosaan, pelecehan seksual, penganiayaan, serta
tindakan kekejaman lainnya yang berakibat pada kerusakan baik secara fisik,
maupun psikis. Jadi yang dijadikan pertimbangan oleh kelompok ini adalah, bentuk-
bentuk kekerasan yang dialami secara langsung dan atau tidak langsung.
Perbedaan antara kelompok pertama dan kedua, terletak pada cara
memandang persoalan KTP. Bahwa kelompok pertama lebih memandang persoalan
KTP sebagai bagian dari tindakan pelanggaran hak asasi manusia. Sementara,
kelompok kedua memandang KTP dalam konteks akibat-akibat yang ditimbulkan
oleh sebuah tindakan kekerasan oleh orang lain khususnya laki-laki.
Nampaknya, berdasarkan pengertian-pengertian yang dikemukakan diatas,
karakteristik pemahaman model kelompok kedua ini lebih mendominasi ketimbang
pemahaman kelompok yang didasarkan atas pengetahuan tentang konsep dan ide-
ide hak asasi manusia (HAM). Meskipun terdapat perbedaan dalam
memandang persoalan, secara implisit, tidak ada satu orang-pun yang menyatakan
menyutujui tindakan KTP, dan semua sepakat mengutuk tindakan KTP.
3.2.1. Persepsi Tentang Bentuk-bentuk KTP
Tingkat pemahaman dan pengetahuan seseorang tentang pengertian KTP,
berpengaruh terhadap bangunan persepsi tentang bentuk-bentuk KTP. Pengetahuan
dan pemahaman yang dilandasi oleh pengalaman yang luas, makin menambah
79.9
20.1
61.5
38.2
68.6
31.4
83.6
16.4
46.353.7
60.8
39.2
68.4
31.6
90.9
9.1
56.1
43.9
0
20
40
60
80
100
Pelec
ehan
Sek
s.
Perse
lingku
han
Penghin
aan
Pen
gania
yaan
Per
cera
ian
Anca
man
Pem
bunuhan
Perko
saan
P. Hak
Anak
Tabel 3.7
Persepsi Responden tentang Bentuk-bentuk KTP
Ya
Tidak
tingkatan kualitas persepsi seseorang dalam memahami persoalan. Demikian juga
dalam hal bentuk-bentuk KTP. Seorang yang memiliki pengetahuan, pemahaman
dan pengalaman yang banyak, pasti akan memiliki gambaran yang lebih
komperhensif dalam menjelaskan tentang bentuk-bentuk KTP. Bentuk-bentuk KTP,
yang diketahui oleh responden, tergambar dalam tabel 3.7 diatas.
Berdasarkan data diatas, menurut persepsi 326 orang (79,9 persen),
pelecehan seksual merupakan salah satu bentuk KTP. Ini menunjukkan, mayoritas
responden dalam penelitian ini sudah memiliki kesadaran, bahwa pelecehan seksual
merupakan sebuah bentuk KTP yang sangat merugikan kaum perempuan.
Mengenai perselingkuhan, 156 orang (38.2 persen) menyatakan
perselingkuhan bukanlah salah satu bentuk KTP. Dan yang menyatakan sebagai satu
bentuk KTP adalah 251 orang (61,5 persen). Jumlah yang menganggap
perselingkungan bukan sebagai satu bentuk KTP sukup banyak. Fenomena ini
tentunya erat kaitannya dengan apa yang dialami perempuan akibat sebuah
perselingkuhan, yang secara fisik memang tidak kelihatan. Persepsi ini muncul antara
lain karena pengaruh persepsi tentang pengertian KTP, dimana masih banyak yang
memandang KTP dari sudut kekerasan dalam arti fisik saja.
Sebagai pembandingnya, bahwa responden lebih memaknai KTP dalam arti
fisik mempunyai tingkat persentase mayoritas dan dominan. Seperti, penghinaan
(68,6 persen), penganiayaan (83,6 persen), pembunuhan (68,4 persen), dan
perkosaan (90.9 persen).
Sebaliknya, 219 orang (53,7 persen), menyatakan perceraian bukan sebagai
satu bentuk KTP. Ini makin mengerucutkan sebuah bentuk pemahaman dan
pengetahuan responden tentang bentuk-bentuk KTP, bahwa masih banyak yang
beranggapan KTP adalah kekerasan dalam arti fisik saja. Ini terjadi, bisa disebabkan
karena responden laki-laki lebih banyak dibanding responden perempuan, dan atau
pengetahuan dan kesadaran tentang bentuk-bentuk KTP yang non-fisik belum
banyak dimiliki oleh responden.
Dalam hal apakah pelanggaran hak anak juga merupakan bentuk KTP, 229
orang (56.1 persen) menyatakan ‘Ya’ dan 179 orang (43,9 persen) menyatakan tidak.
Dalam konteks ini, meskipun responden yang beranggapan bahwa pelanggaran hak
anak sebagai bentuk KTP lebih banyak, tetapi, adanya responden yang secara
kuantitas tidak terpaut banyak, menunjukkan masih banyaknya responden yang
kurang memahami dan atau mengetahui tentang hak-hak yang dimiliki oleh anak-
anak.
Secara umum, dari pemaparan diatas dapat ditarik blue print bahwa
masyarakat masih menganggap persoalan KTP dalam arti akibat yang ditimbulkan
secara fisik, seperti, penganiayaan, ancaman, pembunuhan dan perkosaan.
Sementara, dampak/akibat yang ditimbulkan secara psikhis, seperti perceraian dan
perselingkuhan, belum mendapatkan perhatian khusus sebagai bentuk KTP.
3.2.2 Persepsi Tentang Hubungan Antara Pelaku dan Korban KTP
Mayoritas responden dalam penelitian ini, 357 orang (87,5 persen)
menyatakan pernah mengetahui ataupun mendengar terjadinya KTP. Diantara
bentuk kekerasan yang diketahui/didengar adalah penganiayaan (22,1 persen),
pelecehan seksual (30,9 persen), dan perkosaan (75,0 persen).
Menurut persepsi responden, hubungan antara pelaku dan korban dalam
tindakan-tindakan kekerasan diatas, dapat dilihat pada pada tabel 3.8. Tabel
tersebut menunjukkan, hubungan antara pelaku dan korban tindakan kekerasan
yang paling banyak adalah tetangga (41.7 persen).
Persepsi demikian muncul antara lain disebabkan adanya kedekatan
responden dengan lokasi kejadian, sehingga mengetahui peristiwa kejadiannya
secara lebih detail, ataupun, melalui media massa, mengingat kasus-kasus kekerasan
serupa memang banyak terjadi di Klaten.
Sumber: Data Primer, 2003
3.2.3. Persepsi Tentang Tempat Paling Banyak Terjadi KTP
Persepsi reponden mengenai tempat yang paling terjadi KTP, bisa dijadikan
tolok ukur sejauhmana kepekaan, kepeduliaan, kesadaran dan pengenalan
Tabel 3.8
Persepsi Responden Tentang Jenis Hubungan Antara Pelaku dan Korban KTP
7%5%1%3%
41%
4%
33%
6%
Teman Kerabat Orang Tua Pacar Tetangga Suami Orang Lain Lainnya
responden terhadap persoalan KTP. Mayoritas responden menyatakan,
bahwasanya KTP dapat terjadi dimana-mana, artinya tidak ada karakteristik
tertentu bagi tempat terjadinya KTP.
Menurut persepsi responden, tempat yang paling banyak terjadi KTP adalah
rumah (40,4 persen). Secara implisit, potensi terbesar korban KTP di dalam rumah
adalah isteri. Jadi kekerasan yang ada di dalam rumah, adalah satu bentuk
kekerasan domestik. Biasanya, bentuk-bentuk kekerasan domestik seperti yang
dialami oleh isteri tidak banyak diketahui oleh publik. Selain dari pihak isteri sendiri
masih banyak yang tidak menyadari sebagai satu bentuk KTP.
Tabel 3.9
Persepsi Responden Tentang Tempat yang Paling Banyak Terjadi KTP
Nama Tempat N %
Rumah 165 40.4
Tempat kerja 11 2.7
Sekolah /kampus 7 1.7
Kantor Pemerintahan 3 0.7
Pasar/terminal 70 17.1
Tempat wisata 15 3.6
Angkutan transportasi 19 4.6
Di jalan 105 25.7
Rumah tetangga 4 1.0
Tempat Kost 3 0.7
Sawah 3 0.7
Jumlah 408 100
Sumber : Data Primer, 2003
3.2.4 Persepsi tentang Jenis-jenis KTP Yang Paling Sering Terjadi
Diantara tempat-tempat yang dipersepsikan sebagai tempat terjadinya KTP
diatas, jenis-jenis KTP yang paling sering terjadi adalah, pelecehan seksual (40,4
persen). Persepsi bahwa pelecehan seksual sebagai tindakan kekerasan yang paling
sering terjadi tidak terlepas dari kenyataan sosial, bahwa di Klaten seringkali terjadi
kasus-kasus kekerasan seksual seperti pelecehan seksual, tindakan pencabulan dan
ataupun perkosaan.
Data selengkapnya, tentang jenis-jenis KTP yang dipersepsikan responden
paling sering terjadi, dapat dilihat pada tabel 3.10.
Tabel 3.10
Persepsi Responden tentang Jenis-jenis KTP
Yang Paling Sering Terjadi
Jenis KTP N %
Pelecehan seksual 165 40.4
Perselingkuhan 15 3.6
Penghinaan 9 2.2
Penganiayaan 38 9.3
Perceraian 3 0.7
Ancaman 3 0.7
Perkosaan 157 38.4
Pelanggaran hak
perempuan anak 7 1.7
Jumlah 397 97.3
Missing: 11 (2,7 %)
Sumber: Data Primer 2003
3.2.5. Persepsi tentang Orang yang Sering Melakukan KTP
Persepsi responden tentang orang yang sering melakukan KTP, banyak
dipengaruhi oleh kualitas pengetahuan, pendidikan dan pengalaman seseorang.
Sebagian besar responden menyatakan, yang sering melakukan KTP adalah orang
yang tidak beragama (71,8 persen), orang yang tidak berpendidikan (66,2 persen),
orang yang berpendidikan rendah (62,0 persen), orang yang berpenghasilan rendah
(60,8 persen), dan pengangguran (87,3 persen). Karakteristik ini sedikit banyak
dipengaruhi oleh pemahaman bahwa faktor agama, pendidikan, dan tingkat
kesejahteraan, sebagai satu faktor yang paling dominan mempengaruhi seseorang
untuk melakukan KTP.
Artinya, orang-orang yang melakukan KTP lebih didasarkan karena alasan
tingkatan religiusitas, pendidikan, dan kesejahteraan seseorang. Makin rendahnya
tingkat religiusitas, pendidikan, dan kesejahteraan seseorang, makin kuat
potensinya untuk melakukan KTP.
Hal diatas, berbeda dengan persepsi yang diberikan responden terhadap orang
yang beragama, berpendidikan tinggi, dan berpenghasilan tinggi. Apakah mereka
sering melakukan tindakan KTP ?, 44,6 persen menyatakan pelakunya bukan orang
yang beragama, 48,5 persen bukan orang yang berpendidikan tinggi, dan 47,1
persen bukan orang yang berpenghasilan tinggi.
Secara kuantitas, persepsi tentang pelakunya adalah orang yang beragama,
berpendidikan tinggi, dan berpenghasilan tinggi, memang lebih banyak. Tetapi ini
menunjukkan bahwa masih banyak yang mempunyai persepsi, status sosial
seseorang sebagai orang yang beragama, berpendidikan tinggi dan berpenghasilan
tinggi, lebih kecil kemungkinannnya melakukan tindakan KTP. Apalagi, mayoritas
responden, 51,2 persen menyatakan bahwa tidak semua karakter-karakter sosial
mayarakat sering melakukan KTP.
Gambaran diatas sebenarnya merupakan cerminan dari realitas masyarakat
kita, yang dalam memaknai dan memandang berbagai macam persoalan, pisau
analisa yang digunakan adalah tingkat pendidikan, keberagamaan (religiusitas),
maupun kesejahteraan. Maksudnya, setiap muncul persoalan-persoalan yang
berkaitan dengan patologi sosial seperti, kejahatan kriminal, maka elemen-lemen
itulah yang dijadikan sebagai bahan pertimbangan penting.
Tabel 3.11
Persepsi Responden tentang orang yang sering melakukan KTP
Orang
yang tidak
beragama
Orang
yang
beragama
Orang
yang tidak
berpendid
ikan
Orang
yang
berpendid
ikan
rendah
Orang
yang
berpendid
ikan tinggi
N % N % N % N % N %
Ya 293 71.
8
226 55.
4
270 66.
2
253 62.
0
210 51.
5
Tidak 115 28.
2
182 44.
6
138 33.
8
155 38.
0
198 48.
5
Jumlah 408 100 408 100 408 100 408 100 408 100
Orang
yang
berpengh
asilan
rendah
Orang yang
berpenghas
ilan tinggi Penganggura
n Semuanya
N % N % N % N %
24
8
60.8 215 52.7 356 87.3 199 48.8
16
0
39.2 192 47.1 52 12.7 209 51.2
40
8
100 408 100 408 100 408 100
Sumber: Data Primer 2003
3.2.6. Persepsi Responden Tentang Wacana KTP
Adanya pemahaman KTP adalah perbuatan yang dapat dilakukan oleh siapapun
dengan latar belakang status sosial apapun menunjukkan sudah adanya kesadaran
awal tentang fenomena KTP di tengah-tengah masyarakat. Bahkan, sebagian besar
dari responden ada yang sudah memiliki pemahaman dan atau pengetahuan
tentang berbagai wacana tentang KTP, sehingga secara tegas menyatakan
keteguhan pendirian dan prinsip.
Sebagaimana persepsi mayoritas responden (85,3 persen) yang menyatakan bahwa
saat ini masih terjadi ketimpangan ekonomi antara laki-laki dan perempuan.
Sebanyak 92,2 persen responden juga menyatakan tidak menyetujui adanya
penggunaan kekerasan sebagai jalan keluar dalam mengatasi konflik antara suami-
isteri. Mayoritas responden (87,0 persen), juga menyatakan ketidaksetujuannya
jika perempuan cenderung dihambat dan dihalangi dalam urusan-urusan publik.
Demikian juga, 81,9 persen menyatakan penolakannya terhadap orang yang
mengatakan dominasi laki-laki atas perempuan sebagai sebuah kewajaran. Dan
mayoritas responden (94,1 persen) juga menyatakan bahwa mitos kekerasan
adalah hal yang tidak terelakkan dalam hubungan perempuan dan laki-laki adalah
tidak benar adanya.
Tabel 3.12
Persepsi Responden Tentang Wacana KTP
Terjadi
ketimpang
an
ekonomi
antara
laki-laki
perempua
n
Pengguna
an
kekerasan
sebagai
jalan
keluar
mengatasi
konflik
antara
suami-
isteri
Perempua
n
cenderun
g
dihambat
dan
dihalangi
untuk
urusan-
urusan
publik
Dominasi
laki-laki
terhadap
perempua
n adalah
sebuah
kewajaran
dan
semestiny
a
Mitos
bahwa
kekerasan
adalah
suatu hal
yang tidak
terelakkan
dalam
hubungan
perempua
n dan laki-
laki
N % N % N % N % N %
Setuju 348 85.
3
32 7.8 53 13.
0
33 8.1 24 5.9
Tidak 60 14.
7
376 92.
2
355 87.
0
375 81.
9
384 94.
1
Jumlah 408 100 408 100 408 100 408 100 408 100
Sumber: Data Primer 2003
Pemaparan dan pembahasan diatas menunjukkan, bahwa responden sudah
memiliki berbagai persepsi tentang wacana-wacana dalam KTP. Hal ini tentunya
berpengaruh terhadap kemampuan responden dalam merespon persoalan-persoalan
KTP secara lebih spesifik, seperti fenomena banyaknya kasus kekerasan seksual yang
terjadi di Klaten.
3.3. Persepsi Tentang Kekerasan Seksual di Klaten
Pembahasan berikut, akan memaparkan tentang persepsi mayarakat
mengenai terjadinya kekerasan seksual di Klaten. Tujuannya adalah, untuk
mengetahui tingkat pemahaman dan pengetahuan masyarakat tentang seluk-beluk
persoalan yang melingkupi kekerasan seksual di Klaten. Sebelumnya, akan
dipaparkan terlebih dahulu tentang persepsi responden mengenai pengertian
kekerasan seksual.
3.3.1 Pengertian Kekerasan Seksual
Terdapat keragaman persepsi dalam memaknai kekerasan seksual. Ada
sebagian responden yang memaknai kekerasan seksual dalam arti fisik, seperti,
perkosaan, pencabulan, pelecehan seks dan sebagainya. Tetapi, ada sebagian
responden yang memaknai kekerasan seksual secara konseptual. Seperti, kekerasan
seksual merupakan tindakan yang merugikan perempuan secara fisik di bagian organ
seks perempuan. Ada juga yang memaknai kekerasan seksual sebagai eksploitasi
tubuh perempuan untuk memenuhi kepuasan tertentu, ataupun perlakuan yang
tidak adil terhadap seksualitas perempuan. Namun, banyak juga yang memberikan
pengertian yang sama antara kekerasan seksual dengan kekerasan terhadap
perempuan. Selengkapnya, dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 3. 13
Persepsi Responden Tentang Pengertian Kekerasan Seksual
Kekerasan Seksual adalah:
Kekerasan yang dilakukan terhadap organ perempuan
Tindakan seksual yang tidak sama suka
Tindakan pelecehan, perkosaan dan penghinaan terhadap perempuan
Perkosaan terhadap anak di bawah umur
Perselingkuhan oleh suami
Melakukan hubungan intim dengan paksaan
Tindakan yang merugikan perempuan secara fisik di bagian organ seks
perempuan
Segala tindakan yang merugikan perempuan berkaitan dengan aktivitas
seksual/kelamin
Semacam perkosaan
Pemaksaan untuk melakukan hubungan seksual
Kekerasan yang sifatnya fisik pada alat kelamin
Melakukan hubungan seks tanpa ada kesepakatan
Mencolek, mencubit
Paksaan untuk melakukan hubungan seks
Perbuatan tidak senonoh
Bentuk perlakuan fisik yang merugikan terhadap perempuan dimana
mengakibatkan akibat psikis
Paksaan walaupun dilakukan oleh suami istri
Adanya unsur paksaan dalam seksualitas
Pemaksaan kehendak dalam hubungan seksual
Perlakuan tidak adil terhadap seksualitas perempuan
Kekerasan dengan paksaan
Pelecehan seksual dan pemerkosaan
Eksploitasi tubuh wanita untuk memenuhi kepuasan tertentu
Tindakan yang merusak pagar ayu perempuan
Kekerasan yang dilakukan dengan melukai anggota badan yang
seharusnya dilindungi
Ketidakadilan dalam hubungan sex
Kekerasan yang terjadi dalam hubungan suami istri tapi menimbulkan
suatu ketidaksehatan dalam hubungan
Menyentuh bagian tubuh di depan umum
Pelecehan fisik dan mental
Kekerasan yang timbul karena pengaruh lingkungan
Pencabulan
Sumber: Data Primer 2003
3.3.2 Sumber Informasi Terjadinya Kekerasan Seksual di Klaten
Persepsi responden yang beragam tentang pengertian kekerasan seksual,
antara lain dipengaruhi oleh pengalaman responden dalam mengetahui/mendengar
terjadinya kekerasan seksual di Klaten. Sebanyak 393 orang (96,3 persen) menyatakan
mengetahui/mendengar terjadinya kekerasan seksual di Klaten. Dan hanya 15 0rang
(3,7 persen) yang menyatakan tidak pernah mengetahui/mendengar terjadinya
kekerasan seksual di Klaten. Berarti mayoritas responden, bahkan hampir semuanya,
pernah mengetahui/mendengar terjadinya kekerasan seksual di Klaten.
Mayoritas responden menyatakan mengetahui/mendengar terjadinya
kekerasan seksual adalah dari media massa. Hal ini dinyatakan oleh 290 orang (71.1
persen).
Tabel 3.14
Sumber Informasi Responden Tentang Terjadinya Kekerasan Seksual di Klaten
Media
Massa
Tetangga/
Teman
Melihat
Sendiri Lainnya
N % N % N % N %
Ya 290 71.
1
263 64.
5
22 5.4 8 2.0
Tidak 118 28.
9
145 35.
5
386 94.
6
400 98.
0
Jumlah 408 100 408 100 408 100 408 100
Sumber: Data Primer 2003
Data tersebut menunjukkan, bahwa akses informasi terhadap media massa,
khususnya media cetak sudah sangat mudah, terbukti media massa menjadi
sumber informasi yang paling banyak dimiliki oleh responden. Apalagi, di Klaten
saat ini, kemudahan mengakses media massa, baik cetak maupun elektronik
hampir sama mudahnya dibanding dua kota yang mengelilinginya, yaitu,
Yogyakarta dan Surakarta. Selain itu, Klaten juga tidak luput dari target pemasaran
koran lokal, yang dalam pemberitaannya mengutamakan pemberitaan tentang
kriminalitas, sex, dan dunia hiburan. Sehingga wajar, jika berita-berita tentang
terjadinya kekerasan seksual di Klaten dengan mudah dapat diakses dan diketahui
oleh masyarakat luas.
Meskipun demikian, ada beragam pendapat masyarakat dalam merespon
pemberitaan media massa Pembahasan secara lebih mendalam tentang respon
masyarakat terhadap pemberitaan media massa, kaitannya dengan terjadinya
kekerasan seksual di Klaten, akan dibahas pada Bab IV.
3.3.3. Pengetahuan Tentang Korban Kekerasan Seksual
Tingkat pengetahuan responden terhadap kasus-kasus kekerasan seksual di
Klaten, akan menunjukkan tingkat perhatian dan kepedulian masyarakat dalam
merespon terjadinya kasus tersebut. Seperti, sejauhmana masyarakat mengetahui
informasi orang yang menjadi korban ?. Dalam kaitan ini, 70,3 persen responden
menyataakn korbannya adalah anak-anak.
Kenyataan tersebut, sesuai dengan pernyataan Barozi, anggota Polres Klaten
bahwa kasus-kasus kekerasan seksual yang terjadi mulai Januari-Desember 2002–April
2003, korbannya kebanyakan adalah anak-anak. Bentuk-bentuk kekerasan seksual yang
terjadi adalah perkosaan, pencabulan, dan perkosaan disertai penganiayaan dan
pembunuhan. Menurutnya:
“ Dari gambaran kasus-kasus yang ada, pelaku masih umur sekolah.
Pelaku rata-rata berumur 15-17 tahun, bahkan yang masih dalam
proses penyidikan ini baru kelas 5 SD, dan korbannya ada 3 (tiga) dari
kejadian itu umurnya rata-rata masih relatif muda “
Berdasarkan data diatas, maka apa yang diketahui responden tentang korban
kekerasan seksual, memiliki kesamaan dengan data yang dimiliki oleh Polres Klaten.
Meskipun sumber yang dimiliki oleh masyarakat hanyalah media massa, yang di
satu sisi mempunyai kemungkinan kesalahan dalam liputan beritanya. Setidaknya,
mayoritas responden rata-rata mengetahui mengenai apa, siapa, pelaku dan
korban tindakan kekerasan seksual yang terjadi di Klaten.
Tabel 3. 15
Pengetahuan Responden Tentang Korban Kekerasan Seksual
Anak
perempua
n
Remaja
perempua
n
Isteri/pac
ar Lainnya
N % N % N % N %
Ya 287 70.
3
201 48.
8
109 26.
7
17 4.2
Tidak 121 29.
7
209 51.
2
299 73.
3
391 95.
8
Jumlah 408 100 408 100 408 100 408 100
Sumber : Data Primer 2003
Data diatas juga memunculkan sebuah kesimpulan awal, bahwa korban
kekerasan seksual yang paling banyak adalah anak perempuan. Meskipun harus diakui,
bahwa kekerasan seksual dapat dialami oleh siapapun. Sehingga, tidak menutup
kemungkinan korban kekerasan seksual yang paling banyak bukan anak perempuan
tetapi orang lain, isteri misalnya. Masih kurangnya kesadaran tentang hakikat
kekerasan seksual, menyebabkan masih banyak masyarakat yang masih membiarkan
persoalan kekerasan seksual sebagai persoalan pribadi, dan menganggap tabu untuk
diperbincangkan di muka umum. Sebagai bukti sangat jarang ada pengaduan yang
dilakukan oleh seorang isteri berkaitan dengan kekerasan yang dilakukan suaminya.
Tetapi, kenyataan bahwa sebagian besar responden menyatakan anak-anak sebagai
korban kekerasan seksual, tidak terlepas dari pengaruh media massa yang memang
secara gencar memberitakan mengenai hal ini di Klaten.
3.3.4 Pengetahuan Tentang Lokasi Terjadinya Kekerasan Seksual
Diantara komponen-komponen informasi suatu peristiwa, selain persoalan apa
siapa, bagaimana, hal yang juga muncul dalam setiap perbincangan adalah, dimana
persitiwa itu terjadi. Demikian juga dengan pengetahuan responden tentang kasus-
kasus kekerasan seksual di Klaten. Setelah mengetahui, apa dan siapa pelaku dan
korbannya, ataupun bagaimana si pelaku melakukan kejahatannya, mayoritas
responden juga memiliki pengetahuan tentang tempat-tempat kasus kekerasan seksual
yang terjadi di Klaten.
Mayoritas responden (53,2 persen) menyatakan, tempat terjadinya kekerasan
seksual di Klaten adalah di sawah/Kebun. Ada juga (36,3 persen) yang menyatakan
terjadinya di rumah si pelaku atau si korban. selengkapnya, dapat dilihat pada tabel
3.16.
Tabel 3.16
Pengetahuan Responden Tentang Lokasi Terjadinya
Kekerasan Seksual di Klaten
Sawah/
Kebun
Rumah
Kosong
Rumah
Korban/
Pelaku
Rumah
Tetangga Lainnya
N % N % N % N % N %
Ya 217 53.
2
63 15.
4
148 36.
3
22 5.4 22 5.4
Tidak 191 46.
8
345 84.
6
259 63.
5
386 94.
6
386 94.
6
Jumlah 408 100 408 100 408 100 408 100 408 100
Sumber: Data Primer 2003
3.3.5 Sikap Mengetahui Terjadinya Kekerasan Seksual
Kekerasan seksual merupakan sebuah peristiwa yang tidak saja merugikan si
korban secara fisik, tetapi juga secara psikhis. Di lain pihak, keluarga korban juga
merasakan kepedihan yang mendalam lantara musibah yang menimpa. Kepedihan
korban dan keluarganya terkadang tidak berhenti sampai disini, karena masih ada
masyarakat yang menganggap kejadian itu sebagai sebuah aib. Sehingga, terkadang
justru mengucilkan korban dan keluarganya dari lingkungannya. Maka, tidak
mengherankan jika kebanyakan korban kekerasan seksual dan keluarganya kemudian
merasa minder dan rendah diri manakala bergaul di tengah-tengah masyarakat.
Tetapi, mengetahui terjadinya kekerasan seksual di Klaten mayoritas responden
(55,4 persen) menyatakan simpatik pada si korban. Dan, 45,3 persen responden
menyatakan mengutuk pelakunya. Hanya 3,2 persen, yang berpandangan akan
bersikap biasa-biasa saja. Lainnya (28,7 persen), menyatakan memiliki cara tersendiri
dalam mensikapi terjadinya kekerasan seksual.
Sebagaimana sikap yang ditunjukkan oleh bu Nurul, seorang ibu rumah tangga,
apabila anaknya menjadi korban kekerasan seksual. Menurutnya:
“Saya pribadi kalau melihat anak kecil diperkosa, kalau saya sebagai
orang tuanya, ngapain harus canggung-canggung, soalnya tidak hanya
merusak fisiknya, psikis juga dirusak. Juga mengganggu semuanya dari
kesehatan, pendidikannya jadi malu. Buat saya masuk penjara tidak
apa-apa, pelakunya akan saya lukai, entah mati apa tidak, yang
penting saya lukai ”
Sekilas, apa yang diungkapkan oleh ibu Nurul diatas, sangatlah sadis. Tetapi,
daris sudut pandang yang lain, sikap diatas menunjukkan bahwa kekerasan seksual
merupakan perbuatan yang sangat tercela dilakukan oleh manusia. Sehingga siapapun
pelakunya harus dihukum seberat-beratnya.
Tabl 3.17
Sikap Responden Mengetahui Terjadinya Kekerasan Seksual
Uraian Biasa Saja
Simpati
pada Si
korban
Mengutuk
Pelakunya Lainnya
N % N % N % N %
Ya 13 3.2 226 55.
4
185 45.
3
117 28.
7
Tidak 395 96.
8
182 44.
6
223 54.
7
291 71.
3
Jumlah 408 100 408 100 408 100 408 100
Sumber: Data Primer 2003
3.3.6 Langkah Yang Dilakukan Jika Mengetahui Terjadinya Kekerasan Seksual
Tidak semua orang memiliki kemampuan untuk berpikir taktis dan strategis
apabila mengalami musibah dan ataupun mengetahui terjadinya sebuah kejadian. Ada
sebagian orang yang justru kebingungan apa yang harus dilakukan manakala
mengalami suatu musibah. Fenomena ini, biasa terjadi pada orang yang tidak memiliki
pengalaman yang cukup terhadap bangunan sistem sosial yang ada di sekililingnya.
Dalam kaitan ini, langkah-langkah yang dilakukan oleh seseorang ketika
mengetahui terjadinya kekerasan seksual di lingkungannya ternyata cukup beragam.
Tetapi, sebagian besar responden (52,5 persen) memilih melaporkan kejadian tersebut
kepada RT/RW. Sebanyak 38,5 persen menyatakan akan melapor polisi. Selengkapnya
dapat dilihat pada tabel 3.18
Tabel 3.18
Langkah Yang Dilakukan Jika Mengetahui Terjadinya Kekerasan Seksual
YANG DILAKUKAN Ya Tidak
N %
Lapor RT/RW 21
4
52.5
Lapor Polisi 15
7
38.5
Lapor Tokoh Agama/Masyarakat 7 1.7
Membangun solidaritas
masyarakat
19 4.7
Lainnya 11 2.7
Jumlah 40
8
100
Sumber: Data Primer 2003
Data diatas menunjukkan, bahwa RT/RW merupakan satu institusi di masyarakat
yang paling banyak menjadi tujuan pengaduan. Berbeda dengan melapor ke polisi,
dimana tidak semua wilayah dapat dengan mudah mengakses pelayanan polisi.
Tetapi, langkah melapor polisi lebih banyak dipilih untuk dilakukan, ketimbang
membangun solidaritas masyarakat, ataupun menghubungi tokoh
agama/masyarakat. Ini menunjukkan sudah tumbuhnya kesadaran untuk
mengadukan persoalan yang meresahkan masyarakat kepada pihak yang berwajib.
3.3.7 Persepsi Tentang Penyebab Terjadinya Kekerasan Seksual
Ada banyak faktor yang melatarbelakangi seorang melakukan tindakan
kejahatan. Seorang melakukan kejahatan bisa dilatarbelakangi oleh penyebab yang
bersifat langsung, tetapi, juga bisa dilatarbelakangi oleh penyebab yang sifatnya
tidak langsung.
Dalam hal penyebab secara langsung, mayoritas responden (94,4 persen)
menyatakan, penyebabnya adalah film-film porno/TV/Media dan minuman keras.
Sebagaimana diketahui, untuk mendapatkan film-film porno dan miras bukan hal sulit
di Klaten, banyaknya rental-rental vcd, toko-toko yang menjual minuman keras
menjadikan akses masyarakat, baik dewasa maupun anak sangat gampang dan mudah.
Selain penyebab diatas, pengaruh lingkungan seperti adanya lokalisasi-lokalisasi
tak resmi juga sangat mempengaruhi seseorang untuk melakukan kekerasan seksual.
seperti, kasus perkosaan yang dilakukan oleh anak yang masih berusia 16 tahun di
Pedan. Menurut pengakuannya, ia ingin memperkosa setelah mengintip pasangan yang
sedang bercinta di kompleks Ngrendeng (lokalisasi tak resmi) di dekat rumahnya.33
Sementara, penyebab yang sifatnya tidak langsung, antara lain; (a) kurangnya
pengawasan dan perhatian dari orang tua/keluarga, (b) rendahnya tingkat
pendidikan/agama, (c) lemahnya penegakan hukum. Lihat tabel 3.19.
Hal yang cukup menarik untuk diulas adalah, temuan di lapangan bahwa 58,8
persen responden menyatakan, tidak adanya aturan/norma sosial dalam masyarakat
tidak menjadi penyebab terjadinya kekerasan seksual di Klaten. Padahal, dalam
kehidupan bermasyarakat diperlukan perlindungan kepentingan, baik individu maupun
masyarakat. Maka untuk mencapainya dibutuhkan pedoman berperilaku yang sering
disebut norma atau kaidah sosial. Menurut Mertokusumo, kaidah sosial pada
hakikatnya merupakan perumusan suatu pandangan mengenai perilaku atau sikap
yang seyogianya dilakukan, atau yang dianjurkan untuk dijalankan. Dengan kaidah ini
hendak dihindari gangguan-gangguan kepentingan manusia agar dapat dihindarkan
bentrok-bentrokan antar kepentingan. Sehingga diharapkan kepentingan-kepentingan
manusia terlindungi. 34
Penyebab dari fenomena diatas antara lain, karena selama ini aturan/norma
dalam masyarakat tidak banyak dipatuhi oleh masyarakat itu sendiri. Selain itu bisa
juga disebabkan norma/aturan yang ada tidak memiliki kekuatan yang menjerakan bagi
masyarakat yang melanggarnya. Artinya, ada atau tidak aturan/norma yang diakui oleh
masyarakat tidak mempunyai pengaruh yang berarti terhadap terjadinya kekerasan
seksual. Karena terjadinya kekerasan seksual dianggap tergantung pada individu
masing-masing.
Demikian juga dengan persepsi tentang apakah keberadaan tokoh agama dan
tokoh masyarakat yang menjadi panutan berpengaruh terhadap terjadinya kekerasan
seksual ?. Mayoritas responden (88,5 persen) menyatakan, tidak adanya tokoh agama
dan atau tokoh masyarakat yang dijadikan panutan bukan menjadi penyebab
terjadinya kekerasan seksual di Klaten.
Berarti, ada atau tidaknya tokoh agama/masyarakat dalam sebuah sistem
masyarakat tidak bisa dijadikan ukuran bagi sebuah lingkungan, sebagai tempat yang
potensial terjadinya kekerasan seksual. Apalagi, saat ini peran-peran tokoh
33
Suara Merdeka, 30 Mei 2002
agama/masyarakat dimanapun banyak mengalami degradasi kewibawaan di mata
masyarakatnya. Sebagaimana diungkapkan oleh Musya Asyari, seorang akademisi dan
wiraswasta Klaten, menanggapi peran dari tokoh agama/masyarakat:
“ Memangnya sekarang ada tokoh yang bisa dijadikan panutan,
bagaimana akan ada tokoh yang baik, apabila sebagai seorang tokoh
justru mengajarkan untuk membenci tokoh yang lainnya. Hal yang
demikian justru menjadi pemecah belah masyarakat, kita tidak punya
tokoh yang layak, akibatnya masyarakat bergerak sendirian “.
Pernyataan diatas, bisa dijadikan sebuah renungan bahwa dimanapun,
termasuk di Klaten, peran-peran tokoh/agama sudah banyak mengalami degradasi
dalam membangun sistem yang baik bagi ummat dan ataupun masyarakatnya.
Implikasinya, masyarakat bergerak sendiri-sendiri. Maka wajar jika responden banyak
yang menyatakan peran-peran tokoh agama/masyarakat tidak menjadi salah satu
penyebab yang bersifat tidak langsung dalam kasus-kasus kekerasan seksual di Klaten.
Selain itu, 53,7 persen responden menyatakan tidak kuatnya dukungan
kebijakan dari pemerintah, juga bukan menjadi penyebab terjadinya kekerasan seksual
di Klaten. Nampaknya, apatisme dengan kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan
pemerintah menjadi faktor kunci sehingga muncul respon yang demikian. Pengalaman
selama ini membuktikan, bahwa setiap kebijakan pemerintah tidak pernah tepat
sasaran, tidak dilakukan secara berkelanjutan, dan apalagi membela kepentingan
masyarakat secara komperhensif.
34
Supanto, Kebijakan Hukum Pidana Mengenai Pelcehan Seksual, (Yogyakarta: PPK UGM dan
Ford Foundation, 1999), hlm.9
Kurang Perh
atian
Pendidikan Re...
Hukum Lemah
VCD Porn
o/Mira
s
Tdk Ada N
orma
Tdk ada Panutan
Kebijakan Lemah
0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
100
Tabel 3.19
Persepsi Responden Tentang Penyebab Terjadinya Kekerasan Seksual
Ya Tidak
Sumber: Data Primer 2003
3.3.7 Persepsi Tentang Langkah Orang Tua Menghindari Kekerasan Seksual
Menghadapi kenyataan bahwa dalam segala kondisi sistem sosial masyarakat,
siapapun tidak bisa terlepas dari ancaman tindakan kekerasan seksual, setiap orang
(khususnya perempuan) dituntut untuk senantiasa berhati-hati dan waspada dari
ancaman tindakan kekerasan seksual.
Demikian juga, yang harus dilakukan sebagai orang tua, yang nota bene
merupakan pihak yang paling bertanggungjawab terhadap anak-anaknya apabila
melakukan sesuatu yang merugikan orang lain. Orang tua, juga sebagai pihak yang
menderita jika anaknya menjadi korban kekerasan seksual. Oleh karena itulah, setiap
orang tua harus memiliki langkah-langkah yang terencana dalam mengantisipasi
kemungkinan terjadinya perisitiwa yang bisa merugikan diri dan keluarganya di masa-
masa mendatang.
Diantara langkah-langkah yang harus dipersiapkan oleh orang tua untuk
mengantisipasi terjadinya kekerasan seksual di dalam keluarganya. Menurut persepsi
responden, ada beberapa langkah yang dilakukan orang tua, sebagaimana tergambar
pada tabel 3.20
Tabel 3.20
Persepsi Responden Tentang Langkah Yang Dilakukan Orang Tua
Untuk Menghindarkan Diri dan Keluarga dari Tindakan Kekerasan Seksual
Uraian
Membeka
li anak
dengan
ajaran
agama
yang baik
Memberi
perhatian
dan
pengawas
an
terhadap
tingkah
laku anak
Menghind
arkan
anak-
anakl dari
pergaulan
sosial
yang tidak
baik
Menyarin
g akses
informasi
anak
terhadap
media
massa
Lainnya
N % N % N % N % N %
Ya 371 90.
9
348 85.
3
308 75.
5
265 65.
0
16 3.9
Tidak 37 9.1 60 14.
7
100 24.
5
143 35.
0
392 96.
1
Jumlah 408 100 408 100 408 100 408 100 408 100
Sumber: Data Primer 2003
Data diatas menunjukkan, langkah-langkah yang harus dilakukan oleh orang tua
adalah (a) membekali anak dengan ajaran agama yang baik sebagai satu langkah
yang harus dilakukan (90,9 persen). (b) memberi perhatian dan pengawasan
terhadap tingkah laku anak (85,3 persen). (c) menghindarkan anak dari pergaulan
sosial yang tidak baik (75,5 persen). Dan (d), menyaring akses informasi anak
terhadap media massa (65,0 persen).
Masih berkaitan dengan hal-hal diatas, menurut persepsi reponden langkah-
langkah yang dilakukan orang tua apabila salah satu anggota keluarganya menjadi
korban kekerasan seksual adalah (a) memberikan dukungan moril (79,4 persen). (b)
memberikan dukungan moril dan senantiasa memberikan motivasi agar tetap
tegar menjalani hidup (85,0 persen).
Sementara, mayoritas responden tidak setuju dengan langkah orang tua yang justru
menyalahkan si korban (98,0 persen), membiarkan si korban (99,3 persen), apalagi
tindakan orang tua yang mengasingkan si korban ke daerah lain (99,3 persen).
Berdasarkan hal ini, maka peran orang tua sangatlah dibutuhkan di saat salah satu
anggota keluarganya menjadi korban kekerasan seksual.
Kemudian, langkah apa yang akan dilakukan oleh orang tua, jika salah satu
anggota keluarganya menjadi pelaku tindakan kekerasan seksual ?, persepsi responden
tentang hal ini tergambar pada tabel 3.21
Tabel 3.21
Persepsi Responden tentang Langkah Yang Dilakukan
Apabila salah satu anggota keluarga Melakukan Kekerasan Seksual
Uraian
Melapor
ke polisi
Menyerah
-kan
kepada
masyarak
at
Menyalah
k-an dan
mengutuk
Melindun
gi
Mengasin
gkan
N % N % N % N % N %
Ya 244 59.
8
109 26.
7
31 7.6 15 3.7 12 2.9
Tidak 164 40.
2
299 73.
3
377 92.
4
393 96.
3
396 97.
1
Jumlah 408 100 408 100 408 100 408 100 408 100
Sumber: Data Primer 2003
Menurut persepsi responden langkah-langkah yang dilakukan orang tua apabila
salah satu anggota keluarganya melakukan kekerasan seksual, adalah dengan
melaporkan ke polisi (59,8 persen). Sebagian besar responden mempunyai persepsi
tidak akan menyerahkan anggota keluarganya yang melakukan kekerasan seksual
kepada masyarakat (73,3 persen). Mayoritas responden juga berpandangan tidak
akan menyalahkan dan atau mengutuk anggota keluarganya yang melakukan
kekerasan seksual (92,4 persen), apalagi mengasingkan (97,1 persen) dan
melindungi (97,1 persen).
Dipilihanya polisi sebagai tempat tujuan pengaduan, menunjukkan masih
adanya kepercayaan terhadap institusi ini. Setidaknya, dengan menyerahkan kepada
polisi, maka akan dapat menghindarkan dan atau mengeliminasi terjadinya tindakan
penghakiman oleh massa. Bagaimanapun, sebagaimana yang sering diberitakan media
massa, seringkali masyarakat memperlakukan pelaku tindak kejahatan dengan tidak
manusiawi, seperti membakarnya hidup-hidup.
3.3.8. Persepsi Perlakuan Masyarakat Terhadap Korban
Sebagaiman dijelaskan didepan, bahwa tidak semua masyarakat
memperlakukan korban kekerasan seksual seperti perkosaan dengan baik. Lantas
bagaimana seharusnya perlakuan masyarakat terhadap korban tindakan kekerasan
seksual ?, mayoritas responden menyatakan, yang harus dilakukan masyarakat adalah
melindungi korban dan keluarganya sebanyak 80,9 persen reponden menyatakan hal
ini. Langkah lainnya adalah mengupayakan bantuan hukum (88,7 persen).
Persoalan mengupayakan bantuan hukum, sebenarnya belum menjadi
kesadaran secara merata di masyarakat. Khususnya dalam hal langkah-langkah yang
harus dilakukan oleh seseorang ketika berhadapan dengan persoalan-persoalan
hukum. Upaya bantuan hukum, biasanya tidak saja dilakukan melalui mekanisme
menyewa pengacara, tetapi juga melalui upaya-upaya yang dilakukan oleh LSM-LSM,
seperti Lembaga Bantuan Hukum (LBH).
Tabel 3.22
Persepsi Responden tentang Perlakuan Masyarakat
Terhadap Korban Kekerasan Seksual
Uraian
Melindun
gi korban
dan
kelurga
Mengupa
yakan
bantuan
hukum
Lainnya
N % N % N %
Ya 330 80.
9
362 88.
7
20 4.9
Tidak 78 19.
1
46 11.
3
387 94.
9
Jumlah 408 100 408 100 408 100
Sumber: Data Primer 2003
3.3.8 Persepsi tentang Pihak yang Bertanggungjawab Jika ada Kekerasan Seksual
Korban tindakan kekerasan seksual harus tetap mendapat perhatian,
perlindungan dari masyarakat, dan dibantu dalam mencari bantuan hukum. tetapi,
disisi lain bukan berarti langkah-langkah strategis tidak dilakukan untuk
menghindarkan masyarakat dari ancaman tindakan kekerasan seksual. Karena, yang
ikut bertanggungjawab terhadap terjadinya tindakan tidak saja pelaku tetapi seluruh
elemen masyarakat.
Data pada tabel 3.23 menunjukkan, bahwa pelaku (55,6 persen), korban (40,
2persen), orang tua pelaku/korban (64,7 persen), tokoh masyarakat dan agama (53,2
persen), aparat pemerintah/penegak hukum (51,2 persen), dan semua elemen
masyarakat (66,7 persen), seharusnya ikut bertanggungjawab atas terjadinya tindakan
kekerasan seksual di tengah-tengah masyarakat.
Jika merujuk data diatas, berarti mayoritas responden sudah mempunyai
kesadaran bahwa kekerasan seksual tidak saja menjadi persoalan domestik sebuah
keluarga, tetapi telah menjadi persoalan bersama seluruh masyarakat, baik
pemerintah, penegak hukum, maupun masyarakat umum. Persoalannya adalah,
bagaimana tanggungjawab bersama ini bisa diaplikasikan dalam sebuah sikap
kebersamaan ?. Tentang hal ini akan dibahas pada bab IV.
55.644.440.2
59.864.7
35.3
53.246.8
51.248.8
66.7
33.3
66.7
33.3
0102030405060708090
100
Pelak
u
Korb
an
Ora
ng Tua
Toma/
Toga
Apar
at
Semua
Lainnya
Tabel 3.23 Persepsi Responden tentang Pihak Yang Ikut
Bertanggungjawab Jika Terjadi Kekerasan Seksual
Ya
Tidak
BAB IV
PERSEPSI MASYARAKAT TENTANG MODEL ADVOKASI KEKERASAN SEKSUAL
4.1. Upaya-upaya Merespon Terjadinya Kekerasan Seksual
Banyaknya kasus perkosaan yang terjadi di Klaten, mengundang berbagai
macam respon baik dari pemerintah maupun masyarakat. Respon yang muncul tidak
saja bernada keprihatinan, tetapi juga respon dalam bentuk kepedulian, perhatian dan
atau langkah-langkah yang dilakukan untuk menghindari terjadinya kekerasan seksual
di tengah masyarakat.
Mengenai langkah atau upaya yang dilakukan baik oleh pemerintah maupun
masyarakat, di beberapa sisi terdapat karakteristik yang berbeda-beda. Hal ini tentunya
disebabkan oleh perbedaan kerangka berfikir dalam memahami dan memandang
persoalan kekerasan seksual di Klaten.
4.1.1. Pemerintah dan Aparat Penegak Hukum
Secara umum, Pemda Klaten menyatakan keprihatinannya atas banyaknyanya
kasus kekerasan seksual yang terjadi di Klaten. Berbagai upayapun dilakukan untuk
merespon kenyataan sosial tersebut. Menururt Mudjono, seorang PNS yang bekerja di
Depsos, berbagai upaya telah dilakukan dalam rangka membangun sistem sosial
masyarakat Klaten yang baik. Upaya-upaya yang dilakukan adalah:
a. Melakukan sosialisasi untuk mengajak masyarakat meningkatkan
kesetiakawanan sosial. Harapan dari progam ini adalah meminimalisir
terjadinya peristiwa yang menimbulkan ketidaknyamanan, merugikan orang
lain, dan ataupun konflik di tengah masyarakat.
b. Kaitanya dengan kasus-kasus kekerasan seksual, Depsos mensosialisasikan
pemahaman dan pengetahuan tentang seluk beluk alat reproduksi bagi
remaja dan karang taruna, dan termasuk didalamnya adalah pendidikan
seks.
Berlandaskan dua upaya tersebut, Mudjono menyatakan pemerintah melalui
Depsos telah melakukan upaya-upaya pencegahan. Meskipun ia mengakui, upaya
tersebut masih belum terlaksana secara optimal, sinergis dan komperhensif. Karena itu
masih diperlukan dukungan dari upaya yang lain, seperti dari sisi hukum, kesehatan,
sosial dan mental psikologis.
Hari Purnomo dari bidang Pemberdayaan Masyarakat Pemda Klaten
berpendapat, bahwa kuantitas kasus kekerasan seksual di Klaten yang makin
bertambah dari hari ke hari sangatlah ironis jika dikaitkan dengan budaya bangsa
Indonesia yang sudah dikenal memiliki jiwa budaya yang santun dan menjunjung tinggi
etika moral.
Berangkat dari pemikiran tersebut, upaya yang dilakukan oleh bidang
Pemberdayaan Masyarakat adalah melakukan pemberdayaan agar masyarakat tidak
terlalu terpengaruh oleh globalisasi yang di banyak sisi bisa merugikan kebudayaan
Indonesia. Kegiatan pemberdayaan ini dilakukan secara fisik maupun non-fisik. Secara
fisik kegiatan dilakukan dengan memberikan bantuan-bantuan yang sifatnya sarana
dan prasarana pendukung upaya pencegahan tindakan kekerasan di tiap daerah.
Secara non-fisik, misalnya dengan melakukan sosialisasi kepada masyarakat secara
langsung mengenai permasalahan sosial kemasyarakatan.
Wargiyanto dari Biro Hukum Pemda Klaten mengemukkan upaya-upaya
simultan dan berkelanjutan yang dilakukan selama ini untuk mencegah terjadinya
kekerasan seksual di Klaten tidak lain adalah upaya penegakan hukum. Inilah yang
menjadi latar belakang sehingga Pemda Klaten mengusulkan dibentuknya Perda
(Peraturan Daerah) tentang Antipelacuran dan Antiminuman Keras, dan Perda tentang
Antipornogradi dan Perjudian. Apalagi, menurut Wargiyanto, tindakan kekerasan
seksual terhadap perempuan jelas-jelas melanggar hak asasi manusia, sebagaimana
diatur dalam UUD No. 39 tahun 1999. Jadi bagi Pemda Klaten penegakan hukum
adalah upaya strategis yang harus dilakukan.
Berkaitan dengan upaya penegakan hukum, Sarwatja dari Bidang
Kesbanglinmas Klaten (Keatuan Bangsa dan Perlindungan Masyarakat) menambahkan,
upaya-upaya yang harus dilakukan adalah meningkatkan koordinasi yang intensif
antara aparat penegak hukum, yang terdiri dari pihak Kepolisian, Kejaksaan, dan
Pengadilan. Koordinasi ini penting dilakukan, karena penegakan hukum di Klaten masih
setengah-setengah:
“Selama ini penegak hukum rupa-rupanya masih ewoh pekowoh,
setengah-setengah, separo hati, ora mentolo dan sebagainya. mungkin
ini sudah menjadi budaya bangsa Indonesia…..nah dalam berbuat adil
ini sulit. Mesti ada nuansa nepotismenya. Ini realitas ”
Ungkapan diatas menunjukkan upaya penegakan hukum di Klaten belum
berjalan seperti yang diharapkan. Karena masih ada praktek-praktek KKN dalam proses
penegakan hukum. Meskipun demikian, bukan berarti proses penegakan hukum di
Klaten tidak dilaksanakan. Sebagaimana diungkapkan oleh Barozi, dari Polres Klaten,
bahwa selama ini aparat penegak hukum, khususnya polisi, telah melakukan upaya-
upaya dalam merespon terjadinya kasus-kasus kekerasan seksual. Ada 2 hal, yang telah
dilakukan oleh Polres Klaten, yaitu:
a. Upaya-upaya yang bersifat preventif.
Bentuknya adalah, melakukan penyuluhan-penyuluhan hukum terhadap
masyarakat. Seperti, penyuluhan tentang bahaya narkoba, minuman
keras, dan bagaimana menjaga diri dari ancaman kejahatan. Penyuluhan
juga dilakukan terhadap pelajar, yang dilakukan dengan menjadi Irup
(Inspektur Upacara) di sekolah-sekolah.
b. Upaya-upaya yang bersifat represif.
Bentuknya adalah melalui operasi-operasi VCD Porno, Minuman Keras,
Narkoba dan PSK liar.
Menurut Barozi, untuk mendukung upaya-upaya diatas dilakukan kordinasi
dengan aparat penegak hukum lainnya, yaitu, Kejaksaan, dan Pengadilan. Koordinasi ini
dilakukan sebagai upaya untuk meningkatkan penegakan hukum dan mencari solusi
bersama agar kasus-kasus seperti kekerasan seksual tidak makin bertambah
kuantitasnya.
Ditambahkan oleh Astriningsih dari Dharma Wanita Klaten, selama ini Dharma
Wanita juga telah melakukan upaya-upaya yang bersifat preventif sebagai bentuk
kepedulian terhadap pergaulan remaja yang semakin bebas. Tetapi upaya-upaya yang
dilakukan masih dalam bentuk diskusi-diskusi tentang remaja, sex, dan pergaulan
bebas.
Berdasarkan hal-hal diatas, Mudjono dari Depsos Klaten menyimpulkan, Pemda
Klaten dan Aparat Penegak Hukum di Klaten telah melakukan upaya-upaya
penanggulangan dan pencegahan bagi terjadinya kekerasan seksual di Klaten. Bentuk
kepedulian lain dalam masalah ini diwujudkan dengan membentuk TPT (Tempat
Layanan Terpadu) baik medis maupun sosial. Selanjutnya, juga akan dibentuk Jejaring
tindak kekerasan perempuan. Dua lembaga ini difungsikan untuk melakukan
penanganan terhadap korban dalam rangka mencari informasi dari berbagai pihak
dalam upaya mencegah hal-hal yang diakibatkan oleh tindakan kekerasan.
Hal-hal diatas adalah bentuk-bentuk upaya yang telah dilakukan oleh Pemda
Klaten merespon terjadinya kekerasan seksual, dalam pelaksanaannya dianggap
aparatnya tidak mengalami banyak kendala. Bagaimana tanggapan masyarakat
terhadap upaya-upaya yang dilakukan pemerintah dalam merespon kekerasan seksual
di Klaten ?
Menanggapi tingkat keberhasilan pelaksanaan program-program yang
dilakukan oleh Pemda Klaten, Muslih, mahasiswa sebuah PTS di Klaten menyatakan
pesimismenya;
“ Pemerintah Klaten selama ini hanya menggunakannya sebagai proyek.
Seperti, untuk menanggulangi banjir, maka yang dibuat hanya
bendungannya saja, bukannya mencari apa penyebab banjir ini.
Demikian juga dengan penyuluhan-penyuluhan yang dilakukan oleh
pemerintah, yang tidak menyentuh aspek-aspek tentang langkah-
langkah konkrit yang harus dilakukan oleh masyarakat”.
Lebih jauh menurut Yulius, seorang guru swasta di Klaten, sampai saat ini ia
tidak mengetahui adanya upaya-upaya khusus yang dilakukan pemerintah dalam
merespon maraknya kekerasan seksual di Klaten. Adanya upaya-upaya represif, seperti
operasi miras, VCD Porno dan PSK liar, memang bermanfaat, tetapi persoalannya
dalam kasus maraknya kekerasan seksual yang terjadi, yang mendesak untuk dibangun
dan diperbaiki adalah bangunan sistem sosial dalam masyarakat. Inilah yang dalam
prakteknya kurang mendapat perhatian dari pemerintah.
Selian hal-hal diatas, menurut Farid, seorang aktivis karang taruna, masyarakat
sering menyoroti tentang kasus-kasus kejahatan/kriminal yang dalam penyelesaiannya
selalu putus di jalan, penyelesainnya seperti apa seringkali tidak terpantau oleh
masyarakat. Hal ini berakibat mengurangi kepercayaan masyarakat terhadap upaya
penegakan hukum yang dilakukan oleh aparat hukum.
Adanya indikasi praktek KKN di tingkat aparat penegak hukum, makin
menyurutkan kepercayaan masyarakat terhadap keseriusan pemerintah dalam
penegakan hukum. Menurut Ahmad, aktivis sebuah LSM di Klaten, dalam kasus-kasus
perkosaan dan ataupun pencabulan, tuntutannya sangatlah minim bahkan tidak
sampai setengahnya. Ia menyatakan lebih lanjut:
“ Saya pernah melihat sendiri, terjadinya suap sebuah kasus
perkosaan, yang seharusnya dihukum 7 tahun, hanya diganti dengan
Rp. 200.000 kasusnya bisa selesai.”
Hal-hal diatas antara lain telah memicu surutnya ketidakpercayaan masyarakat
terhadap peran-peran yang dilakukan oleh pemerintah dan ataupun aparat penegak
hukum. Siti Rahayu, seorang dosen PTS di Klaten bahkan menyatakan:
“ Selama penegak hukumnya masih seperti sekarang ini, maka kasus-
kasus seperti kekerasan seksual akan terus terjadi. ”
Sebuah kritikan dilontarkan oleh Musa Asyari, seorang akademisi dan juga
wiraswasta menanggapi peran dan upaya pemerintah dalam merespon terjadinya
kekerasan seksual di Klaten. menurutnya:
“ Apa (pemerintah) masih punya peran?. Pemerintah itu sibuk
memikirkan diri mereka sendiri. Bagaimana mau berpikir untuk rakyat?.
Misal, bupati atau DPRD yang dalam mempertahankan kekuasaannya
saja sulit, apalagi untuk berpikir bagaimana rakyat ? “
Kritikan diatas dilandasi sebuah pemikiran bahwa, sistem sosial masyarakat
Indonesia,secara keseluruhan adalah sedang sakit. Maraknya, bentuk-bentuk
kemaksiatan seperti halnya narkoba, miras merupakan potret dari sebuah masyarakat
yang sakit. Jadi, upaya-upaya apapun yang dilakukan oleh pemerintah dianggap tidak
akan dapat menyelesaikan masalah.
Jika diambil blue print, upaya-upaya yang dilakukan pemerintah dalam
merespon terjadinya kekerasan seksual di Klaten, apa-apa yang dilakukan oleh
pemerintah ternyata tidak tersosialisasikan secara baik kepada masyarakat, sehingga
yang kemudian muncul dalam persepsi masyarakat adalah pemerintah belum
melakukan upaya-upaya yang strategis dan sepsifik dalam merespon persoalan
kekerasan seksual di Klaten.
Tidak tersosialisasinya upaya-upaya yang dilakukan oleh Pemda Klaten kepada
masyarakat, anatara lain disebabkan oleh beberapa faktor berikut:
1. Kurangnya sosialisasi terhadap program-program yang dilakukan.
Akibatnya, terjadi mis-komunikasi antara pemerintah dengan masyarakat.
2. Program yang dilakukan tidak tepat sasaran. Ini antara lain disebabkan
kesalahan dalam menetapkan skala prioritas masyarakat sasaran.
3. Tidak adanya perencanaan strategis program yang bersifat berkelanjutan.
Ini terkadang dipengaruhi oleh program yang bersifat proyek, sehingga
ketika anggarannya habis maka programnya-pun berhenti.
4. Belum membudayanya akuntabilitas publik. Hal inilah yang menjadi kan
pemerintah tidak informatif terhadap masyarakat. Padahal, sudah menjadi
hak masyarakat untuk mengetahui dan terlibat dalam perumusan setiap
bentuk kebijakan pemerintah.
Hal-hal diatas telah menyebabkan masyarakat less-informed terhadap berbagai
upaya yang dilakukan Pemda Klaten. Maka, cukup wajar kiranya jika dinyatakan bahwa
Pemda Klaten sebenarnya belum mempunyai prioritas perhatian yang khusus dalam
merespon maraknya kasus kekerasan seksual di Klaten, apalagi, jika ingin menjadikan
persoalan kekerasan seksual di Klaten sebagai persoalan bersama seluruh masyarakat
4.1.2. Masyarakat
Pada pembahasan bab III dinyatakan bahwa mayoritas responden mengetahui
terjadinya kekerasan seksual di Klaten adalah dari pemberitaan media massa. Untuk itu
sebelum membahas secara lebih mendalam tentang upaya-upaya yang dilakukan oleh
masyarakat, terlebih dahulu dipaparkan tentang respon masyarakat terhadap
pemberitaan media massa berkaitan dengan kasus-kasus kekerasan seksual di Klaten.
Respon terhadap pemberitaan media massa, ternyata juga berpengaruh
terhadap bangunan pemikiran tentang langkah-langkah yang dilakukan masyarakat
dalam merespon terjadinya kasus-kasus kekerasan seksual di Klaten.
a. Respon Terhadap Pemberitaan Media Massa
Respon masyarakat Klaten menanggapi maraknya kasus-kasus kekerasan
seksual di Klaten, cukup beragam. Phan Bhin Thon, seorang pendeta di Klaten
meyakini semua masyarakat Klaten mengetahui tentang fenomena ini, meskipun
cara mensikapinya berbeda-beda. Tetapi menurutnya, masyarakat lebih
menganggap persoalan kekerasan yang terjadi sebagai suatu hal yang biasa. Ia
mengajukan alasan:
“ Peristiwa Mei tahun 1998, telah memunculkan image yang kuat
bahwa bangsa kita adalah bangsa yang penuh kekerasan dan
konflik. Dan itu tidak pernah terselesaikan. Jadi, kekerasan-pun
sudah dianggap biasa dan wajar. Orang mati disana sini tidak ada
harganya, jadi orang bosan membicarakannya “.
Pendapat yang sama juga diungkapkan oleh Agus, seorang dosen swasta,
menurutnya jika dilihat dari kondisi masyarakat Klaten secara umum, terjadinya
kekerasan seksual ditanggapi adalah hal yang biasa. Memang, hal ini merupakan
kondisi yang tidak normal, dimana tingkah laku individu dalam berinteraksi sosial
mulai mengabaikan batasan-batasan norma dan susila.
“Sekarang ini, kita sering melihat anak muda-mudi berjalan
(berpelukan) di jalan tanpa rasa malu. Fenomena yang kecil seperti ini,
berakibat memunculkan image di masyarakat, apabila ada perkosaan
atau hamil di luar nikah, hal itu wajar adanya karena memang dalam
pergaulannya sudah sedemikian bebas dan berani”
Meskipun demikian, banyak yang berpendapat maraknya kekerasan seksual
yang terjadi di Klaten, sebenarnya juga terjadi di daerah lain, dan bahkan lebih
banyak kasusnya. Tetapi karena tidak terekspos oleh media massa, hal tersebut tidak
banyak diketahui oleh publik.
Dalam kaitan ini, Joko seorang wiraswasta menyatakan, pemberitaan media
massa tidak selamanya benar, karena terkadang tidak bisa mewakili kejadian
sebenarnya. Meskipun begitu, ia mengakui apa yang diberitakan media massa
tentang terjadinya banyak kasus kekerasan seksual di Klaten lebih banyak
kebenarannya. Di sisi lain, menurut Yulius masih ada kemungkinan lain bahwa
kasus yang terungkap dan diekspos oleh media massa hanyalah sebagian kecil,
padahal sesungguhnya kasusnya sangat banyak, tetapi karena tidak dilaporkan dan
atau tercium media massa maka kasusnya tidak diketahui oleh publik.
Lebih lanjut Joko mengemukakan tentang hikmah dari pemberitaan media
massa:
“Justru berita itu bermanfaat kalau mau mengambil hikmahnya.
Karena kalau berita itu tidak muncul, mungkin masyarakat Klaten tidak
tahu, pemerintah tidak tahu, sehingga tidak ada tindakan apa-apa “.
Adanya tanggapan yang beragam terhadap pemberitaan media massa, yang di
satu sisi media massa dianggap berperan dalam memberikan image yang kurang baik
terhadap daerah Klaten secara umum, tetapi di sisi lain, media massa dianggap
penting untuk memberikan shock therapy kepada masyarakat dan ataupun pemerintah
dalam memberikan gambaran persoalan-persoalan sosial-kemasyarakatan yang harus
direspon, disikapi dan diselesaikan.
Munculnya keprihatinan dan kepedulian masyarakat dan pemerintah
menanggapi persoalan kekerasan seksual di Klaten, antara lain bersumber dari
pemberitaan dan informasi yang sampaikan media massa. Asih, seorang penyiar radio
swasta di Klaten menyatakan:
“ Saya prihatin kalau mendengar kasus kekerasan seksual yang diekspos
di media massa. Kadang saya suka gimana gitu ya. Sebagai perempuan
merasa khawatir, apalagi saya bekerja, dan kadang-kadang pulang
malam, saya was-was banget, nggak nyaman gitu. Saya ini tinggal di sini
(Klaten), dan saya ingin merasa nyaman “
Jazuli, seorang tokoh OKP menyayangkan saat ini di Klaten belum ada media
massa yang memberikan informasi yang balance dalam kasus-kasus kekerasan
seksual. Sehingga informasi yang diterima masyarakat tidak ada media
pembandingnya. Menurutnya, Pemberitaan media massa tentang kasus-kasus
kekerasan seksual tidak saja menjadi sumber informasi dan inspirasi bagi
masyarakat dan pemerintah untuk melakukan upaya-upaya preventif dan represif,
tetapi di sisi lain justru turut meningkatkan kuantitas terjadinya kekerasan seksual
di Klaten. Sebagaimana diungkapkan Nata, salah seorang pengacara di Klaten,
bahwa secara kuantitas, terjadinya tindakan kekerasan seksual terhadap perempuan
di Klaten sudah kritis.
Menanggapi hal ini, secara terang-terangan Phan Bhin Thon, menyatakan:
“ Di masa yang akan datang, kekerasan seksual malah tambah banyak.
Bagaimana kita membendung pornografi, sedangkan VCD merajalela,
anak muda tidak mampu mengendalikan gejolak seksualnya, situasi
masyarakat belum banyak berubah, dan hanya perempuan yang
disalahkan.”
Pernyataan diatas menunjukkan bahwa kekerasan seksual dari waktu ke waktu
makin bertambah. Wajar kiranya jika semua elemen masyarakat merasakan
keprihatinan yang mendalam mensikapi fenomena yang terjadi, dan berharap hal
tersebut tidak akan menimpa diri dan keluarganya. Selain jelas-jelas melanggar HAM,
hal tersebut dianggap sangat meresahkan dan mengurangi kenyamanan masyarakat
dalam menjalankan aktivitas kesehariannya.
Benang biru dari keragaman respon masyarakat terhadap pemberitaan media
massa, jika dilihat dari sisi kebutuhan akses informasi masyarakat, media massa tentu
sangatlah penting. Selain sebagai media informasi, media massa juga cukup efektif
dalam melakukan pengawasan dan pemantauan terhadap kebijakan-kebijakan
pemerintah yang tidak sesuai dengan aturan main yang berlaku.
Tetapi, di sisi lain masyarakat menyadari dalam kasus kekerasan seksual di
Klaten, pemberitaan media massa yang ada mempunyai dua sisi yang bertolak
belakang. Di satu sisi, pemberitaan media massa mempunyai peranan dalam
memberikan warning kepada masyarakat agar senantiasa waspada terhadap ancaman
terjadinya kekerasan seksual. Di sisi lain, pemberitaan media massa yang tidak
berimbang berakibat tidak baik terhadap bangunan kesadaran masyarakat secara
umum. Sehingga justru menimbulkan inspirasi negatif untuk melakukan tindakan
kejahatan, apalagi jika pembacanya tidak memiliki kesadaran kritis dalam mencerna
dan memaknai sebuah pemberitaan media massa.
Selain itu, secara umum pemberitaan media massa dalam kasus kekerasan
seksual juga dianggap mempunyai peranan dalam membangun image negatif tentang
Klaten. Karena itulah, masyarakat sepakat dilakukannya kontrol dan pengawasan serius
dan kritis terhadap pemberitaan media massa.
b. Upaya Masyarakat
Pada bab III telah dipaparkan persepsi responden tentang penyebab terjadinya
kekerasan seksual di Klaten. Bahwa, mayoritas responden menyatakan, sebab yang
melatarbelakangi terjadinya kekerasan seksual di klaten adalah pengaruh VCD porno,
Minuman Keras/Narkoba. Sedangkan, dari kasus-kasus yang telah terjadi kebanyakan
korban ataupun pelakunya adalah anak-anak.
Menurut Ahmad, seorang aktivis LSM di Klaten ;
“ Latar belakang kejadian itu bermacam-macam, ada yang karena
VCD porno, ada juga yang karena melihat VCD porno tapi kebetulan
melihat kambing kawin.”
Kenyataan diatas tentu sangatlah memprihatinkan. Hal yang perlu mendapat
perhatian adalah kemudahan akses masyarakat Klaten untuk mendapatkan VCD
porno. Di Klaten, tidak saja orang dewasa yang mempunyai kemampuan untuk
mengakses VCD Porno, tetapi juga pelajar, dan bahkan anak SD sekalipun.
Secara geografis, Klaten berada diantara Yogyakarta dan Solo, yang dalam
perkembangan akses informasi Klaten tidak terlalu ketinggalan dibanding kedua
daerah tersebut. Kondisi yang demikian, di satu sisi bermanfaat bagi Klaten dalam
mengembangkan potensi daerahnya, tetapi di sisi lain juga memunculkan
permasalahan ketika masyarakat tidak mampu mengimbangi perkembangan pesat
kedua kota yang mengapitnya. Sebagaimana dinyatakan oleh Jazuli:
“Klaten adalah suatu tempat yang dikepung kebudayaan lain
(Yogyakarta dan Solo), sebagai penyangga ditengah ternyata Klaten
tidak siap untuk mengimbangi pengaruh-pengaruh yang
dihembuskan oleh perkembangan kebudayaan di kedua daerah
tersebut ”
Ungkapan diatas setidaknya menunjukkan bahwa secara sosiologis Klaten
merupakan sebuah daerah yang telah akrab dengan produk-produk modern, baik
dalam hal sumber informasi, perkembangan fashion, makanan, dan gaya hidup. Maka,
sudah semestinya kenyataan demikian mendapatkan perhatian serius dari pemerintah
untuk mengantisipasi berbagai kemungkinan negatif yang timbul akibat pesatnya
perkembangan informasi, teknologi dan gaya hidup modern.
Memang, upaya-upaya telah dilakukan oleh pemerintah dan aparat penegak
hukum di Klaten dengan melakukan razia VCD Porno/minuman keras/narkoba,
memberikan penyuluhan-penyuluhan, dan sebagainya. tetapi, sebagaimana
dipaparkan didepan, hal belum membuahkan hasil yang maksimal. Merespon keadaan
yang demikian, Joko berpendapat;
“ Menurut saya, kalau kita terlalu mengharapkan pemerintah nanti kita
terlalu kecewa. Kita mulai dari diri sendiri, dari yang kecil dan mulai dari
sekarang. Pemerintah itu kan yang harus dipikir banyak. Saya mau jujur
pemerintah kita itu sudah jelas susah, tetapi apa kita harus diam ? ”
Senada, Heri seorang aktivis Partai Politik mengungkapkan, sangat sulit kalau
hanya mengharapkan peran pemerintah, karena kekerasan ini terjadi di masyarakat.
Jadi, masyarakat sendiri yanga harus memberantas.
“Kita berharap dari peran masyarakat sendiri. Kalau masyarakat sudah
mempunyai kesadaran untuk ikut serta, karena berkaitan erat dengan
kehidupan mereka, secara otomatis akan punya preasure-preasure
terhadap perilaku yang berkembang di lingkungannya”
Sebagai warga negara yang baik, di tengah kondisi bangsa seperti sekarang ini,
hal yang lebih strategis dan bermanfaat untuk dilakukan, menurut Joko;
Kita harus bertanya apa yang bisa kita berikan pada pemerintah dari
kita masing-masing, dari keluarga, lembaga, masyarakat. Jadi, jangan
hanya menuntut. Karena pemerintah sendiri mengaharapkan lembaga-
lembaga seperti lembaga agama ikut berperan mendidik umatnya,
supaya mental kita ini dibenarkan, supaya menjadi pribadi yang baik,
keluarga yang baik, dan masyarakat yang baik sehingga negara juga
baik.
Meskipun demikian, bukan kemudian pemerintah melepaskan
tanggungjawabnya. Jadi apa yang dilakukan oleh masyararakat, lebih pada tataran
membangun sebuah kebersamaan dalam merespon persoalan yang mengancam dan
merugikan kepentingan masyarakat secara bersama-sama. Ada semacam kesadaran
tentang keterbatasan peran pemerintah daerah, karenanya masyarakat-pun harus
bergerak dan mempunyai agenda tersendiri dalam membangun dan memberdayakan
lingkungan sosialnya.
Upaya-upaya yang telah dilakukan oleh masyarakat, baik dalam kapasitas
sebagai tokoh agama, tokoh masyarakat maupun masyarakat umum antara lain,
seperti yang dilakukan oleh GKI Klaten melalui khotbah di gereja, dengan mengangkat
tentang Klaten yang menjadi daerah nomor satu di Jawa Tengah dalam hal jumlah
kekerasan seksual yang terjadi. Selain itu, upaya-upaya juga dilakukan dalam bentuk-
bentuk diskusi tentang gender dan kekerasan terhadap perempuan, seperti yang
dilakukan oleh Ni’mah, dari Nasyatul Aisyiyah Klaten.
Secara umum, wacana kekerasan seksual belum menjadi prioritas spesifik
perhatian masyarakat. Selama ini, respon kepedulian yang ditunjukkan oleh
masyarakat Klaten berkaitan dengan terjadinya beberapa kasus kekerasan seksual lebih
bersifat individual. Masyarakat lebih memilih melakukan upaya preventif secara
individual agar terhindar dari tindakan kekerasan seksual, sebagai korban ataupun
pelaku. Fenomena demikian, sebenarnya sebuah konstruksi sosial yang biasa di dalam
masyarakat Indonesia saat ini.
Jadi, upaya-upaya yang bersifat membangun kebersamaan, penyamaan
persepsi tentang agenda bersama untuk mencegah terjadinya kekerasan seksual di
masyarakat belum dilakukan, yang ada hanyalah himbauan agar orang tua memberikan
perhatian dan pengawasan kepada anak-anaknya agar tidak terjebak pada pergaulan
yang bebas, atau seruan-seruan lain untuk memperkuat mental dan agama agar
terhindar dari perbuatan-perbuatan tercela, asusila dan merugikan orang lain.
Himbauan-himbauan semacam ini banyak ditemukan dalam khutbah Jum’at, khutbah
di gereja, pengajian-pengajian, dan sebagainya.
Padahal, yang harus diketahui oleh masyarakat tidak saja persoalan kewajiban
untuk menjaga keluarganya agar tidak terjerumus pada perbuatan tercela, asusila, dan
merugikan orang lain , tetapi persoalannya adalah bagaimana cara melakukan
kewajiban itu ?, pengetahuan, pemahaman dan kesadaran apa yang dibutuhkan untuk
melakukan kewajiban tersebut?, bagaimana cara membangun sebuah mentalitas yang
baik ?, apakah mental dan agama saja sudah cukup ?
Pertanyaan-pertanyaan itulah yang sebenarnya menjadi persolan bagi
masyarakat. Disinilah masyarakat memiliki kendala-kendala dalam melaksanakan
himbauan-himbauan ataupun seruan-seruan tersebut. Kendala paling besar dan sangat
mendasar yang dihadapi kebanyakan masyarakat adalah kesadaran, pengetahuan dan
pemahaman.
Upaya untuk menyingkirkan kendala-kendala tersebut tentunya tidak akan bisa
dilakukan secara individual, melainkan membutuhkan upaya-upaya pemberdayaan
yang dilakukan oleh dan bagi masyarakat itu sendiri. Disinilah, sebuah bangunan
kebersamaan, solidaritas dan kepedulian dalam memaknai sebuah persoalan bersama
diperlukan dalam upaya menyingkirkan kendala-kendala yang ada.
c. Kesadaran yang Dibutuhkan Masyarakat
Selain upaya-upaya untuk mengikis individualisme masyarakat, dan
meningkatkan solidaritas sosial, hal lain yang juga mendesak untuk dilakukan adalah
meningkatkan pengetahuan, pemahaman dan kesadaran masyarakat tentang
pemasalahan yang melingkupi kasus-kasus kekerasan seksual.
1. Pentingnya Pendidikan Seks
Semua responden dalam penelitian ini menyatakan, saat ini masyarakat
membutuhkan yang namanya pendidikan seks. Pendidikan sex, sampai saat ini belum
banyak dibahas dalam kurikulum sekolah. Kurikulum pendidikan sekolah yang ada
belum memberikan kontribusi yang berarti dalam memberikan pendidikan sex bagi
anak-anak.
Dengan adanya pendidikan seks, diharapkan akan mendekonstruksi
pemahaman masyarakat secara umum, yang masih menganggap sex sebagai hal yang
tabu untuk diperbincangkan. Tentunya untuk melakukan hal ini, tidak saja menjadi
tanggungjawab masyarakat, tetapi harus juga didukung oleh kebijakan pemerintah.
Sebagaimana yang pernah dilakukan Susanto dari PMI (Palang Merah
Indonesia) Klaten, yang mempunyai program Pendidikan Remaja Sebaya (PRS). Materi
dari program ini adalah permasalahan remaja, seperti pendidikan seks dan obat-
obatan. Tetapi, dalam pelaksanaannya program ini memang belum tersosialisasi secara
luas, sehingga hanya kelompok-kelompok kecil masyarakat yang bisa mengaksesnya.
2. Pentingnya Pendidikan Budi Pekerti dan Agama
Selain pendidikan seks yang belum mendapatkan perhatian serius dalam
kurikulum pendidikan, menurut berbagai sumber dalam penelitian ini pendidikan
budi pekerti juga mengalami hal sama. Padahal, pendidikan tentang budi pekerti
sangat dibutuhkan oleh seseorang sebagai pedoman dan pegangan dalam
melakukan komunikasi dan atau berinteraksi dengan orang lain, baik di dalam
keluarga maupun di dalam kehidupan bermasyarakat. Setiap orang dituntut
masyarakat untuk memiliki budi pekerti yang baik. Berbudi pekerti merupakan
benteng dasar bagi seseorang agar terhindar dari perbuatah-perbuatan yang tidak
baik dan merugikan orang lain.
Demikian juga dengan pendidikan agama. Semua masyarakat pasti tidak ada
yang menyangkal akan pentingnya pendidikan agama bagi seseorang dalam
menjalani hidup. Masalahnya adalah seberapa besar porsi pendidikan agama yang
diberikan baik oleh orang tua maupun lembaga-lembaga pendidikan yang ada.
Menurut Jazuli, yang juga aktif sebagai anggota Dewan Pendidikan Klaten, tingkat
pendidikan agama seseorang berpengaruh pada tindakan-tindakan yang
dilakukannya. Dalam kasus kekerasan seksual menurutnya sedikit banyak pasti
dipengaruhi oleh kualitas pendidikan agama yang dimiliki oleh orang yang
melakukannya.Ia berpendapat:
“Klaten adalah salah satu daerah karesidenan di Surakarta yang terkecil
dalam tingkat pengembangan pendidikan keagamaan. Dalam sudut
tertentu dilihat dari jumlah lembaga pendidikannya, Klaten adalah
terkecil di Jawa Tengah, dan sampai saat ini Klaten belum memiliki
lembaga-lembaga tinggi Islam yang mencukupi sebagaimana ditempat
lain. Sehingga aspek agama sangat mempengaruhi tumbuhnya perilaku
perubahan masyarakat terhadap perempuan.
Menurut pengamatannya, saat ini masih sangat minim masyarakat Klaten yang
menyekolahkan anaknya di sekolah yang berkonsentrasi di bidang keagamaan. Ia
mencontohkan pondok pesantren yang dikelolanya, bahwa anak-anak pondok
pesantren hanya sekitar 10 % yang berasal dari Klaten selebihnya dari luar. Padahal,
pendidikan di pondok pesantrennya sudah disamakan, sarana dan prasarananya sudah
mencukupi. Selain itu, yang menyebabkan pemahaman keagamaan masyarakat Klaten
kurang juga dipicu karena Klaten bukan tempat sejarah pengembangan agama.
Apa yang diungkapkan oleh Jazuli diatas, memang tidak bisa dijadikan tolok
ukur tentang pengembangan pendidikan agama di Klaten. Tetapi, setidaknya ungkapan
diatas menunjukkan betapa pentingnya pendidikan agama bagi seseorang dalam
menjalani hidup di masyarakat.
3. Perlunya Membangun Kepedulian Masyarakat
Dalam merespon terjadinya kekerasan seksual di Klaten, masyarakat
membutuhkan kepedulian dari seluruh elemen masyarakat. Tanpa kepedulian bersama
masalah kekerasan seksual hanya akan menjadi persoalan individu. Individu adalah
anggota dari sebuah sistem sosial, karenanya mempunyai tanggungjawab bersama
untuk melakukan ataupun mensikapi suatu persoalan termasuk di dalamnya adalah
mensikapi maraknya kasus kekerasan seksual yang terjadi di Klaten.
Bentuk kepedulian dapat diwujudkan dengan melakukan upaya pemberdayaan
untuk membongkar paradigma masyarakat agar memiliki keberanian dalam
mengungkapkan suatu musibah yang menimpa. Seperti dalam kasus pemerkosaan,
banyak keluarga yang menjadi korban tidak mau kasus yang menimpanya dilaporkan.
Bentuk kepedulian lain yang dibutuhkan oleh masyarakat adalah adanya
kelompok-kelompok masyarakat peduli yang mau melakukan sosialisasi kepada
masyarakat, tentang :
a. Pentingnya kesadaran bahwa kekerasan seksual merupakan tindakan yang
negatif dan merugikan masyarakat.
b. Pentingnya kesadaran tentang peranan keluarga dalam mengantisipasi
pengaruh-pengaruh lingkungan yang tidak baik bagi perkembangan anak.
c. Kesadaran agar masyarakat bersama-sama membangun lingkungan yang baik
dan mempunyai kepedulian sosial yang tinggi.
d. Kesadaran tentang pentingnya pendidikan kritis tentang seks
e. Kesadaran tentang pentingnya solidaritas masyarakat.
f. Kesadaran tentang pentingnya melakukan kontrol terhadap media massa, agar
lebih sensitif dalam pemberitaan tentang perempuan.
g. Kesadaran tentang perlunya pendidikan kritis gender bagi laki-laki maupun
perempuan
Peran-peran kepedulian tersebut, diharapkan muncul dari para tokoh-tokoh
agama, tokoh masyarakat, ataupun dari peran-peran organisasi kemasyarakatan.
Karena melalui kelompok-kelompok kecil masyarakat yang peduli dalam persoalan
kekerasan seksual diharapkan akan mempengaruhi kelompok-kelompok masyarakat
lainnya. Sehingga dalam jangka panjang diharapkan muncul kelompok-kelompok
masyarakat yang memiliki kepedulian sosial yang tinggi dan kuat terhadap fenomena
sosial sekitarnya, khususnya kepedulian yang berkaitan dengan terjadinya kekerasan
terhadap perempuan di masyarakat.
4.2. Model-model Advokasi
Data-data temuan dalam penelitian ini secara umum dapat digambarkan;
Pertama, peran-peran pemerintah dalam merespon kasus-kasus kekerasan seksual
belum cukup tersosialisasikan kepada masyarakat. Selain itu, juga belum ada focusing
terhadap persoalan kekerasan seksual di Klaten. Dari sisi hukum, persoalan komitmen
penegakan hukum dan konsistensi dalam menjalankan program belum maksimal
dilakukan, terbukti image negatif aparat hukum masih melekat kuat dalam
pemahaman masyarakat.
Kedua, kenyataan diatas di sisi lain ternyata memunculkan kesadaran di tingkat
masyarakat untuk melakukan upaya-upaya tanpa harus bergantung dan berharap
banyak kepada peran-peran pemerintah. Meskipun demikian, kasus-kasus kekerasan
seksual yang terjadi belum menjadi prioritas perhatian bagi masyarakat. Sehingga
kepedulian dalam menanggapi kasus-kasus kekerasan seksual yang terjadi lebih
bersifat individual, yaitu bagaimana menyelamatkan diri dan keluarga dari ancaman
tindakan kekerasan seksual. Memang, secara umum langkah-langkah antisipatif dan
preventif telah dilakukan, tetapi kebanyakan masih terbatas dalam forum-forum
diskusi ataupun seruan-seruan melalui media ceramah keagamaan seperti pengajian,
khutbah-khutbah di gereja atau masjid.
Keempat, masyarakat, pemerintah, dan aparat penegak hukum masih
mengalami kendala-kendala kesadaran, pengetahuan dan pemahaman tentang wacana
gender, HAM perempuan, dan khususnya tentang kekerasan terhadap perempuan.
Sementara, di tingkat kebijakan publik masih ada kendala strukutural, sehingga wujud
political will pemerintah dalam merespon persoalan kekerasan terhadap perempuan
secara umum belum banyak dilakukan. Meskipun perangkat perundang-undangan
yang dimiliki sudah mendukung.
Berdasarkan hal-hal diatas, persoalan kekerasan seksual di Klaten bila ditinjau
dari berbagai sudut memang merupakan sebuah persoalan yang sangat kompleks. Hal
yang melatarbelakangi terjadinya banyak kekerasan seksual di Klaten, tidak saja
dipengaruhi oleh vcd porno, minuman keras, maupun pengaruh negatif lokalisasi-
lokalisasi liar yang ada, tetapi dalam tataran yang lebih besar juga dipengaruhi oleh
bangunan sistem sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat itu sendiri. Tetapi
bagaimanapun kompleksnya persoalan kekerasan seksual di Klaten tetap diperlukan
upaya-upaya melakukan langkah-langkah untuk menanggulanginya secara bersama-
sama.
4.2.1 Advokasi dengan Pendekatan Strukutral
Sebagaiamana diketahui, terdapat banyak pengertian tentang advokasi. Mulai
dari yang sangat sederhana seperti, kegiatan unjuk rasa, protes, dan semacamnya
sampai pada pegertian yang lebih majemuk sebagai media mobilisasi pendapat umum,
sarana pernyataan politik, proses pemberdayaan dan pengorganisasian masyarakat,
alat perubahan sosial dan sebagainya.35
35 Roem Topatimasang dkk, Merubah Kebijakan Publik, (Yogyakarta: Psuataka Pelajar, Insist,
ReaD, 2000) hlm.40
Karena subyeknya adalah pemerintah dan aparat penegak hukum, maka
advokasi dengan pendekatan struktural ini lebih tepat dimaknai sebagai upaya
mengimplementasikan dan menegakkan peraturan perundang-undangan yang ada.
Dalam kasus kekerasan seksual di Klaten bentuk advokasinya adalah melakukan
upaya preventif dan represif yang didasarkan pada peraturan perundang-undang yang
berlaku. Upaya-upaya semacam ini menunjukkan pemerintah/aparat penegak hukum
berusaha menjadi perangkat kelembagaan dan pelaksana dari isi hukum yang berlaku.
Tetapi yang sering menimbulkan persoalan, upaya tersebut hanya dilakukan
secara insidental dan terkadang tidak melalui perencanaan strategis. Hasilnya, tentu
saja tidak maksimal. Sebagai buktinya, kasus-kasus kekerasan seksual tidak makin surut
jumlahnya, tetapi justru sebaliknya makin hari makin bertambah.
Di sisi lain, perangkat perundang-undangan yang dimiliki oleh pemerintah pada
saat pembuatannya tidak banyak melibatkan masyarakat, sehingga upaya-upaya
penegakan hukum yang dilakukan tidak mendapat dukungan yang berarti dari
masyarakat. Selain itu, pemerintah juga menghadapi kendala dalam hal penguasaan
permasalahan. Masih rendahnya pemahaman dan pengetahuan tentang HAM, Gender
dan persoalan-persoalan yang melingkupi kekerasan terhadap perempuan makin
mengecilkan bobot kekuatan dari advokasi yang dilakukan. Hal ini tercermin dalam
penanganan kasus-kasus kekerasan seksual, yang tidak didasari oleh pemahaman yang
kontekstual terhadap permasalahan yang berkembang.
Advokasi ini sebenarnya mempunyai kelebihan apabila perangkat kelembagaan
dan pelaksana isi hukum mempunyai komitmen yang kuat dalam penegakan hukum.
Tetapi diakui atau tidak, justru prasyarat itulah yang menjadi kelemahan aparat
pemerintah dan penegak hukum di Indonesia. Sehingga, jika tujaun advokasi yang
dilakukan adalah untuk merubah budaya hukum masyarakat, maka hal tersebut tidak
akan pernah dapat tercapai. Apalagi bila kendala-kendala pengetahuan belum dapat
dilewati.
Tabel 4.1
Advokasi dengan Pendekatan Struktural
Kendala-kendala pengetahuan, Kurangnya Partisipasi
Masyarakat,
pemahaman, kesadaran, sosial, Kurangnya dukungan
masyarakat
Rendahnya komitmen Rendahnya
kesadaran
penegakan hukum hukum masyarakat
4.2.2 Advokasi dengan Pendekatan Kelompok Terorganisir
Peraturan Perundang-
PEMERINTAH
Kasus Kasus Kasus
Maksud dari advokasi dengan pendekatan ini adalah, melakukan upaya-upaya
pemberdayaan masyarakat melalui kelompok-kelompok terorganisir yang ada di dalam
masyarakat. Sasaran dari advokasi ini adalah masyarakat yang menjadi anggota dari
kelompok terorganisir tersebut. Target dari advokasi ini bukanlah untuk melakukan
perubahan kebijakan, tetapi lebih bersifat sosialisasi ide, kampanye dan pembentukan
opini publik.
Proses advokasi dilakukan dengan membentuk kelompok-kelompok peduli.
Proses ini dilakukan melalui forum-forum diskusi, seminar, maupun pelatihan. Diantara
kelompok-kelompok yang biasanya diadvokasi adalah kelompok yang mempunyai latar
belakang politik, keagamaan, sosial kemasyarakatan, ekonomi, budaya dan lain
sebagainya. Bentuk-bentuknya antara lain Organisasi kemasyarakatan (ormas),
Organisasi Kepemudaan (OKP), dan Organisasi Sosial Politik (Orsospol).
Tabel 4.2
Advokasi dengan Pedekatan Kelompok Terorganisir
Upaya-upaya Sosialisasi, Pendidikan
menyingkirkan Kritis Gender dan HAM
kendala-kendala
Kendala-kendala pengetahuan, pemahaman, kesadaran, strktural,
sosial, ekonomi dan budaya.
KELOMPOK SASARAN
Mengapa upaya pembedayaan melalui sosialisasi, kampanye dan pembentukan
opini publik dilakukan melalui kelompok yang demikian?. Alasannya adalah cara ini
dianggap effektif, efisien dan sasarannya jelas. Sehingga untuk menetapkan indikator-
indikator keberhasilannya lebih mudah dan terukur. Hal ini berbeda apabila sasarannya
masyarakat secara umum, karena akan sangat sulit mengukur indikator-indikator
keberhasilannya.
Persoalannya adalah, advokasi dengan sasaran awal adalah para anggota
kelompok-kelompok tersebut biasanya tidak dapat diakses keseluruhan oleh pihak-
pihak yang melakukan advokasi. Kendala ini, kemudian disiasati dengan melakukan
pemberdayaan terhadap beberapa orang yang dianggap menonjol dan mempunyai
kemampuan untuk melakukan proses sosialisasi dan mobilisasi di kelompoknya.
Biasanya para pengurus kelompok/organisasi-lah yang diberdayakan. Karena dianggap
lebih mempunyai kekuatan ‘politis’, kapabilitas dan pengalaman dalam melakukan
sosialisasi dan mobilisasi anggotanya.
Alhasil, proses sosialisasi dan mobilisasi bisa berjalan dan kelompok sasaran
bisa terjangkau, apabila sebuah kelompok/organisasi memiliki sistem kaderisasi yang
baik, dan atau proses transfer informasi dan pengetahuan dapat dilakukan. Karena,
berdasarkan pengalaman selama ini proses transfer informasi dari para pengurus
kelompok/organisasi kepada anggotanya sulit dilakukan. Akibat yang muncul adalah
terjadinya kesenjangan informasi, kesadaran dan pengetahuan diantara pengurus dan
anggotanya.
Ummat Ummat Ummat
4.2.3. Advokasi dengan Pendekatan Pengorganisasian
Advokasi dengan pendekatan pengorganisasian maksudnya adalah sebuah
upaya untuk melakukan perubahan kebijakan melalui mobilisasi dan pembentukan
basis-basis massa dan konstituen di masyarakat. Berbeda dengan advokasi dengan
pendekatan kelompok terorganisir, target dari advokasi ini adalah terjadinya
perubahan kebijakan di masyarakat. Khususnya kebijakan yang menyangkut
kepentingan umum, yaitu kebijakan publik.
Identifikasi terhadap kelompok basis yang akan diorganisir, bisa dilakukan
dengan berbagai langkah. Misalnya, memilih kelompok basis yang terdiri dari para
korban tindakan kekerasan, atau komunitas yang didalamnya banyak terjadi kasus
kekerasan terhadap perempuan, seperti kasus kekerasan seksual. Tetapi, bisa juga
yang diorganisir bukanlah kelompok basis, tetapi individu-individu dalam masyarakat
yang mempunyai kepedulian dalam persoalan kekerasan terhadap perempuan.
Setelah proses identifikasi terhadap kelompok basis atau individu yang akan
diorganisir telah selesai, langkah selanjutnya adalah melakukan proses pemberdayaan
melalui pendidikan politik tentang berbagai hal yang berkaitan dengan kendala-kendala
pengetahuan dan kesadaran tentang kekerasan terhadap perempuan, seperti,
pendidikan kritis gender, HAM, studi kebijakan, dan sebagainya.
Untuk melakukan advokasi dengan pendekatan tersebut diperlukan
pendekatan-pendekatan untuk menarik perhatian masyarakat atau individu yang akan
menjadi sasaran. Biasanya subyek dari pendekatan ini adalah kalangan LSM/Ornop.
Berdasarkan pengalaman selama ini, starting point-nya adalah pemberdayaan
ekonomi masyarakat. Di tengah krisis ekonomi seperti sekarang ini, upaya ini terbukti
cukup efektif sebagai sarana LSM/Ornop untuk masuk ke tengah-tengah masyarakat.
Bentuk-bentuk pemberdayaan ekonomi yang dilakukan antara lain, dengan
mendirikan kelompok-kelompok simpan-pinjam, koperasi, yang dalam pengelolaannya
dilakukan secara swadaya oleh komunitas atau individu yang menjadi sasarannya.
Setelah kelompok-kelompok ekonomi ini terbentuk dan berjalan, maka dilakukanlah
proses-proses pendidikan politik kritis diatas.
Kelebihan dari pendekatan ini adalah adanya kedekatan dengan persoalan
masyarakat secara langsung. Targetnya adalah menciptakan kemandirian kesadaran
baik secara ekonomi, sosial maupun politik. Memang, cakupan dari pendekatan ini
sangatlah terbatas, namun dalam jangka panjang diharapkan akan mempengaruhi yang
lainnya untuk memiliki kemandirian kesadaran dan pengetahuan yang sama. Selain itu,
diharapkan dari pendekatan pengorganisisasian akan muncul:
a. Solidaritas masyarakat yang mempunyai bergaining position dalam
pengambilan kebijakan-kebijakan publik di lingkungan masyarakatnya
b. Kesadaran kritis secara kolektif dan mempunyai solidaritas antar kelompok
c. Kesadaran untuk berorganisasi, mampu membuat mekanisme organisasi,
dan mempunyai kemampuan dalam memecahkan persoalan.
d. Mempunyai perubahan cara pandang terhadap dirinya berkaitan dengan
persoalan-persoalan kekerasan terhadap perempuan.
e. Mampu melakukan identifikasi persmasalahan yang melingkupinya dan
menganalisa serta mendokumentasikannya.
Pada skema tabel 4.3 digambarkan, bahwa proses pendidikan kritis yang
dilakukan adalah dalam rangka membentuk CO (Community Organizer) di dalam
masyarakat. Langkah selanjutnya masing-masing CO membentuk kelompok-kelompok
baru. Kemudian, masing-masing dari anggota kelompok juga membentuk kelompok-
kelompok baru, demikian dan seterusnya. Secara umum, proses-proses merekrut
anggota baru dan atau kelompok baru sama dengan proses yang ada dalam bisnis
Multi Level Marketing (MLM).
Kendala dalam advokasi dengan pendekatan ini adalah, dibutuhkan banyak
dana, SDM yang ulet, berkualitas, dan waktu yang sangat panjang. Pengalaman selama
ini, LSM/Ornop di Indonesia sangat tergantung dengan lembaga donor, sehingga ketika
lembaga donor telah menghentikan bantuannya biasanya programnya pun akan
berhenti. Selain itu, upaya melakukan pendidikan kritis kepada masyarakat biasanya
kurang maksimal dalam pelaksanaannya, sehingga yang kemudian dilakukan hanyalah
mengurus masalah pemberdayaan ekonominya saja.
Tabel 4.3
Advokasi dengan Pendekatan Pengorganisasian
Kelompok dampingan
-bagaimana kegiatan
ekonomi
bersama adalah arena
bagi penyampaian
pesan “politik”
Dilakukan CO
Masalah-masalah struktural, ekonomi, sosial, politik, yang dihadapi kelompok/Individu
KELOMPOK/
CO CO CO
Income
Generating
Proses Pendidikan Kritis
4.2.4 Advokasi dengan Pendekatan Jaringan
Model ini biasanya dilakukan LSM/Ornop dalam rangka melakukan advokasi
terhadap isu sosial tertentu. Misalnya, isu kekerasan seksual terhadap perempuan.
Pada prakteknya, sebuah LSM seringkali tidak melakukan aktivitasnya sendiri
tetapi bekerjasama dengan lembaga lain yang memiliki perhatian yang sama. Biasanya,
kerjasama ini melahirkan jaringan, baik yang bersifat spontan maupun terlembaga
secara permanen. Spontan artinya, sebuah jaringan terjadi ketika sejumlah LSM
dihadapkan pada isu bersama dan sepakat merespon isu tersebut dengan melakukan
aksi bersama. Jaringan akan bubar begitu target dari aktivitas tersebut tercapai.
Sementara, yang dimaksud jaringan terlembaga adalah jaringan yang bersifat semi
permanen, yaitu dengan pembentukan organisasi formal, yaitu LSM Jaringan.
Munculnya LSM Jaringan dilatarbelakangi oleh adanya tujuan yang hendak
dicapai, tetapi untuk mencapainya memerlukan waktu yang panjang. Biasanya,
tujuannya mengarah pada terjadinya perubahan kebijakan publik, dari yang
sebelumnya tidak berpihak menjadi berpihak pada kepentingan masyarakat umum.
Upaya-upaya melakukan proses tersebut juga diikuti dengan upaya-upaya melakukan
pembentukan pendapat umum, penggalangan massa, dan pengorganisasian
masyarakat.
Melalui jaringan, diharapkan advokasi yang dilakukan akan mencapai
setidaknya tiga target sasaran, yaitu bangunan kebijakan publik seperti peraturan
perundang-undangan, pihak-pihak pengambil kebijakan (pemerintah), dan masyarakat.
Karenanya, pembagian peran dalam jaringan menjadi kebutuhan mutlak. Artinya, ada
yang secara khusus melakukan advokasi terhadap peraturan perundang-undangan
yang terkait dengan isu yang digarap, dan ada yang melakukan upaya-upaya
pembentukan opini publik, penggalangan massa dan pengorganisasian masyarakat.
Meskipun memiliki peran-peran yang berbeda semuanya bermuara pada visi, misi, dan
tujuan bersama yang telah disepakati pada waktu dibentuknya jaringan.
Dalam perkembangannya, advokasi dengan pendekatan Jaringan, tidak saja
melibatkan LSM saja, tetapi juga melibatkan organisasi-organisasi kemasyarakatan
(Ormas), Organisasi Kepemudaan (OKP), Partai Politik, dan bahkan pemerintah.
Tetapi, berdasarkan pengalaman selama ini, keterlibatan pemerintah dalam
Jaringan, seringkali kontraproduktif terhadap upaya-upaya tercapainya tujuan. Seperti,
dalam isu kekerasan seksual terhadap perempuan melibatkan pemerintah tentunya
sangat tidak effektif, karena salah satu tujuan yang hendak dicapai adalah terjadinya
perubahan kebijakan publik, dimana pemerintah sebagai sasarannya. Lain halnya
dengan Parpol, yang bisa dimanfaatkan keterlibatannya dalam pengambilan kebijakan
publik di Parlemen, agar menghasilkan kebijaka publik yang berpihak pada kepentingan
publik. Demikian juga dengan Ormas dan OKP yang mempunyai basis massa, sehingga
bisa dijadikan sebagai basis pendukung gerakan.
Tabel 4.4
Advokasi dengan Pendekatan Jaringan
Kelompok dampingan
-bagaimana kegiatan
ekonomi
bersama
bagi penyampaian
pesan “politik”
Dilakukan CO
Kesamaan tujuan dan kepentingan
JARINGAN
PARPOL ORMAS LSM
Mengkritisi
Kebijakan
Pembentukan
opini publik
Penggalangan
dukungan massa
Pengorgani
sasian
SASARAN
BAB V
P E N U T U P
5.1. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan-pembahasan di di depan terdapat beberapa
kesimpulan sebagai beriktu :
a. Secara umum masyarakat mengetahui terjadinya kekerasan seksual di
Klaten. Mereka juga mengungkapkan keprihatinannya atas terjadinya kasus-
kasus kekerasan seksual. Memaknai kekerasan seksual, mayoritas
masyarakat memberikan pengertian yang masih sempit. Yaitu, kekerasan
seksual hanya sebagai bentuk kekerasan fisik saja, sedangkan yang
memaknai sebagai bentuk tindakan kekerasan yang diakibatkan oleh suatu
sistem sosial masyarakat secara keseluruhan, masih sangat sedikit. Persepsi
masyarakat yang demikian berpengaruh terhadap karakteristik kesadaran
dalam mensikapi terjadinya kekerasan seksual di Klaten.
Penyebab terjadinya kasus-kasus kekerasan seksual menurut persepsi
mayoritas masyarakat adalah karena pengaruh vcd porno, minuman keras
(Miras), dan pengaruh lokalisasi-lokalisasi liar. Selain itu, tingkat pendidikan,
keberagamaan, dan kesejahteraan yang rendah, juga disebut sebagai
penyebabnya. Di sisi yang lain, tingkat kesadaran, pengetahuan dan
pemahaman tentang pentingnya pendidikan seks, budi pekerti dan agama,
serta peran vital orang tua dalam keluarga untuk melakukan kontrol dan
pengawasan terhadap anak-anaknya, juga dianggap sebagai penyebab tidak
langsung terjadinya kekerasan seksual di Klaten.
Tetapi, sebagian masyarakat menganggap persoalan tersebut sebagai hal
yang biasa. Ada kesadaran bahwa Klaten bukan satu-satunya daerah yang
paling banyak terjadi kekerasan seksual. Buktinya, hal yang sama juga
terhadi di daerah lain. Sehingga, tidak ada satu karakteristik yang dimiliki
Klaten secara spesifik yang bisa dijadikan ukuran sebagai suatu daerah yang
potensial bagi terjadinya kekerasan seksual. Bahkan, muncul anggapan
bahwa di masa yang akan datang kemungkinan besar kasus-kasus serupa
masih akan terus terjadi dan mungkin lebih banyak. Apalagi, selama upaya-
upaya membendung arus informasi dan pornografi tidak dapat dilakukan,
maka kekerasan seksual dapat terjadi dimanapun, dalam situasi dan kondisi
apapun.
b. Secara spesifik belum ada upaya-upaya khusus dari masyarakat dalam
merespon persoalan yang ada. Memang, telah ada upaya-upaya yang
berkaitan dengan isu-isu kekerasan terhadap perempuan secara umum,
tetapi, hal itu hanya dilakukan dalam forum-forum diskusi, ceramah
pengajian atau khutbah di gereja dan atau masjid. Jadi, banyaknya
kekerasan seksual yang terjadi di Klaten belum menjadi sebuah keprihatinan
dan kepedulian yang diekspresikan dalam sebuah solidaritas sosial. Upaya-
upaya yang dilakukan masyarakat lebih bersifat individual, yaitu bagaimana
menyelamatkan diri dan keluarganya dari tindakan kekerasan seksual.
Demikian juga di pihak pemerintah, dilihat dari upaya-upaya yang dilakukan
tidak ada yang secara langsung berkaitan dengan fenomena kekerasan
seksual yang terjadi di Klaten. Di pihak aparat penegak hukum, upaya
preventif dan represif telah dilakukan, tetapi kenyataannya kasus-kasus
kekerasan seksual masih saja terjadi. Persoalan komitmen dan konsistensi
dalam penegakan hukum dianggap masyarakat sebagai salah satu faktor
yang menyebabkan hasil yang dicapai tidak maksimal.
Di samping itu, masih kuatnya kendala-kendala kesadaran, pengetahuan,
pemahaman tentang persoalan-persoalan yang melingkupi kekerasan
seksual khususnya, dan kekerasan terhadap perempuan pada umumnya,
menjadi satu alasan mendasar belum adanya upaya-upaya yang bersifat
massif dan terencana dalam merespon masalah ini.
c. Ada empat model advokasi yang bisa dilakukan untuk mengeliminasi
terjadinya kasus-kasus kekerasan seksual di Klaten. pertama, advokasi
dengan pendekatan struktural. Subyek utamanya adalah pemerintah dan
atau aparat penegak hukum. Pemerintah dan aparat penegak hukum adalah
perangkat kelembagaan dan pelaksana dari isi perundang-udangan yang
berlaku, maka advokasi dengan pendekatan struktural ini lebih tepat
dimaknai sebagai upaya mengimplementasikan dan menegakkan peraturan
perundang-undangan yang ada. Tujuannya adalah terwujudnya kepastian
hukum dan ketertiban di dalam masyarakat. Untuk itulah dalam melakukan
advokasi ini diperlukan komitmen penegakan hukum yang kuat, tanpa
komitmen yang kuat maka kepastian hukum dan ketertiban di masyarakat
tidak dapat tercapai, sehingga hasilnya tidak maksimal. Persoalannya
adalah, upaya melakukan penegakan hukum tidak berjalan sebagaimana
diharapkan, akibatnya budaya hukum yang ada di dalam masyarakat tidak
makin bertambah baik. Sehingga tidak dapat mendukung upaya-upaya
penegakan hukum yang dilakukan oleh pemerintah/aparat penegak hukum.
Kedua, advokasi dengan pendekatan kelompok terorganisir. Model ini
berupaya melakukan pemberdayaan maslayarakat melalui kelompok-
kelompok yang telah terorganisir seperti ormas, OKP, dan Orsospol.
Tujuannya adalah, terbentuknya kelompok-kelompok peduli terhadap
persoalan-persoalan KTP, khususnya kekerasan seksual. Proses
pembentukannya dilakukan melalui forum-forum diskusi, seminar, maupun
pelatihan-pelatihan. Target dari advokasi ini bukanlah untuk melakukan
perubahan kebijakan, tetapi lebih bersifat sosialisasi ide, kampanye dan
pembentukan opini publik. Sasaran utama dari advokasi ini adalah anggota
kelompok/organisasi. Teknisnya adalah dengan melakukan pemberdayaan
terhadap beberapa orang perwakilan kelompok/organisasi tersebut,
selanjutnya diharapkan proses sosialisasi, transfer informasi dan
pengetahuan dapat dilakukan oleh beberapa perwakilan tersebut.
Problemnya adalah, masih rendahnya budaya kaderisasi di banyak
organisasi, telah menyebabkan sosialisasi ide tidak bisa berjalan, akibatnya,
tidak terjadi pemerataan kesadaran, pengetahuan dan pemahaman.
Ketiga, advokasi dengan pendekatan pengorganisasian. Advokasi dengan
pendekatan pengorganisasian maksudnya adalah sebuah upaya untuk
melakukan perubahan kebijakan agar berpihak pada hak-hak perempuan,
melalui mobilisasi dan pembentukan basis-basis massa dan konstituen di
masyarakat. Masing-masing individu dalam basis yang terbentuk adalah CO
(community Organizer) yang mempunyai kewajiban untuk membentuk
basis-basis peduli lainnya. Dengan adanya basis peduli seperti ini, di dalam
masyarakat diharapkan akan muncul bergaining pisistion dalam merespon
kebijakan-kebijakan yang tidak memihak kepada hak-hak perempuan.
Dalam kasus kekerasan seksual yang terjadi, urgensi adanya basis adalah
berperan sebagai pihak yang akan menyuarakan kepentingan perempuan
yang harus direspon oleh seluruh elemen masyarakat sebagai persoalan
bersama.
Dan Keempat, Advokasi dengan Pendekatan Jaringan Model ini biasanya
dilakukan LSM/Ornop dalam rangka melakukan advokasi terhadap isu sosial
tertentu yang dilakukan secara bersama oleh beberapa LSM. jaringan bisa
bersifat spontan (sesaat), ataupun semi permanen (terlembagakan).
Pembentukan jaringan yang terlembagakan biasanya karena memiliki
tujuan yang pencapainnya memerlukan waktu panjang. Biasanya, tujuannya
mengarah pada terjadinya perubahan kebijakan dari yang sebelumnya tidak
berpihak menjadi berpihak pada kepentingan masyarakat umum. Upaya-
upaya tersebut di sisi lain diikuti dengan melakukan pembentukan pendapat
umum, penggalangan massa, dan pengorganisasian masyarakat. Karena itu,
advokasi yang dilakukan mempunyai setidaknya tiga target sasaran, yaitu
bangunan kebijakan publik seperti peraturan perundang-undangan, pihak-
pihak pengambil kebijakan (pemerintah), dan masyarakat. Dalam
perkembangannya, advokasi dengan pendekatan Jaringan, tidak saja
melibatkan LSM saja, tetapi juga melibatkan organisasi-organisasi
kemasyarakatan (Ormas), Organisasi Kepemudaan (OKP), Partai Politik.
5.2 Rekomendasi
a. Mengeliminasi kendala-kendala kesadaran, pengetahuan dan pemahaman
masyarakat tentang KTP dengan terus melakukan upaya sosialisasi,
kampanye, pembentukan opni publik, penggalangan massa dan
pengorganisasian masyarakat. Upaya ini bisa dilakukan oleh Jaringan LSM
dengan membuka peluang seluas-luasnya kepada masyarakat untuk
terlibat.
b. Meningkatkan keterlibatan organisasi kemasyarakatan dalam kampanye
anti KTP dengan memberikan wawasan tentang pentingnya memasukkan
isu-isu gender dalam visi, misi dan program-program yang dijalankan.
c. Meningkatkan peran insan pers dalam kampanye anti KTP dengan
menyajikan pemberitaan yang sensitif gender. Upaya ini antara lain bisa
dilakukan dengan melibatkan para insan pers dalam pelatihan-pelatihan
gender, ataupun dalam sebuah pelatihan yang secara khusus membahas
tentang jurnalistik sensitif gender.
d. Mendesak pemerintah daerah membuat peraturan khusus yang melindungi
perempuan dari KTP. Upaya ini dilakukan dengan memanfaatkan peran
strategis partai politik dalam parlemen, agar senantiasa mempertimbangkan
isu-isu gender dalam setiap pengambilan keputusan.
e. Melakukan upaya terencana untuk mendesak pemerintah dan aparat
penegak hukum untuk terus memperbaiki pengetahuan dan
pemahamannya tentang KTP. Selain itu, juga menuntut
pertanggungjawaban komitmen pemerintah daerah dalam
mengimplementasikan pengarusutamaan gender pada setiap kebijakan
yang dikeluarkan.
5.3 Saran-saran
a. Upaya-upaya untuk menyempurnakan hasil temuan penelitian diharapkan
dapat dilakukan. Seperti dalam hal menggali persoalan-persoalan yang
menyebabkan masyarakat mengalami kendala dalam mengakses informasi-
informasi tentang persoalan kekerasan terhadap perempuan.
b. Hasil penelitian ini bisa dijadikan sebagai sebuah tolok ukur tentang
persepsi masyarakat dalam merespon persoal-persoalan yang berkembang
di sekitarnya. Setidaknya, dari penelitian ini tergambar tentang sumber-
sumber informasi yang dimiliki oleh masyarakat sebelum kemudian
meresponnya.
c. Di masa yang akan datang, diharapkan akan muncul sebuah penelitian yang
memberikan gambaran secara detail tentang karakteristik masyarakat yang
potensial bagi terjadinya tindakan kekerasan seksual, dimana dalam
penelitian ini belum begitu nampak. Oleh karena itu masih diperlukan
penelitian-penelitian lanjutan yang lebih mendalam dan kritis.
DAFTAR PUSTAKA
Adrina, “Pelecehan Seksual salah satu bentuk tindak kekerasan terhadap perempuan”,
dalam Suparman Marzuki (ed), Pelecehan Seksual: Pergumulan antara tradisi
hukum dan kekuasan, Yogyakarta: FH-UI, 1995
Anis Hamim (peny.), Benarkah Kita Mencintai Isteri Kita, Yogyakarta: Rifka Annisa WCC,
1998.
Anna Marie Watti dan Susi eja Yuarsi, Penanganan Kasus Kekerasan Terhadap
Perempuan di Ruang Publik, Yogyakarta: PPK dan Ford Foundation, 2002
Anna Marie Wattie, Kekerasan Terhadap Perempuan di Ruang Publik; Fakta,
Penanganan dan Rekomendasi, Yogyakarta: PPK dan Ford Foundation, 2002
Bogdan, Robert and Steven J. Tailor. Introduction to Qualitative Research Methods. A
Phenomenological Approach To The Social Sciences, New York: John Wiley &
Sons, Inc., 1975
Bailey, Kenneth D. Methods Of Social Research. Second Edition, London: Collier
Macmillan Publisher, 1982
Data Primer Penelitian Kekerasan Seksual di Klaten (Persepsi Masyarakat), 2003
Elli N.H. (ed), Derita di Balik Harmoni , Yogyakarta: Rifka Annisa WCC, tt
Fathul Jannah dkk, Kekerasan Terhadap Isteri, Yogyakarta: LkiS, 2002
Hester et.al. Women, violence, and male power, Bunckingham: Open Universuty Press,
1996
Ida Bagus Mantra, Langkah-langkah Penelitian Survey: Usulan Penelitian dan Laporan
Penelitian, Badan penerbit Fakultas Geografi (BPFG)-UGM Yogyakarta.
Instruksi Presiden Nomor 9 tahun 2000 tentng Pengarusutamaan Gender dalam
Pembangunan Nasional.
Keputusan Presiden Nomor 36 tahun 1990 tentang Pengesahan Convention On The
Rights Of The Child (Konvensi tentang Hak-hak anak)
Keputusan Presiden RI nomor 181 tahun 1998 tentang Komisi Nasional Anti Kekerasan
Terhadap Perempuan
Klaten dalam Angka tahun 2001, BPS Klaten, 2001
Kamla Bashin, Menggugat Patriarki; pengantar tentang persoalan dominasi terhadap
kaum perempuan, alih bahasa: Katjasungkana, Jakarta: S.N., 1996
Lucia Juningsih, Dampak Kekerasan Seksual Pada Jugun Ianfu, Yogyakarta: PPK dan
Ford Foundation, 1999
Lies Soegondo, “Perkembangan Pelaksanaan Hak Asasi Manusia di Indonesia”, dalam
Kapita Selekta Hak Asasi Manusia, Jakarta: Puslitbang Diklat Mahkamah Agung
RI, 2001.
Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: Penerbit P.T. Remaja
Rosdakarya, 1994
Mansour Fakih, Analisis Gender dan Transformasi Sosial, Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
1996
Mansour Fakih, “Gender Sebagai Analisis Sosial”, dalam Jurnal Analisis Sosial, Edisi 4:7-
20, Nopember 1996
Nursyahbani Katjasungkana, “Pasal Perkosaan dalam Perspekyif Perempuan”, Kompas
22 Agustus 1995.
Nurul Ilmi Idrus, Marital Rape, Yogyakarta: PPK dan Ford Foundation, 1999
Rubenstein, Preventing and Remedying Sexual Harrasment at work a Manual, London:
Eclipse, 1992
Roem Topatimasang dkk, Merubah Kebijakan Publik, Yogyakarta: Psuataka Pelajar,
Insist, ReaD, 2000
Rita Selena Kalibonso (ed), Perempuan Menuntut Keadilan, Jakarta: Mitra Perempuan,
1998
Rosemarie Skaine, Power and Gender: Issues in Sexual Dominance and Harrasment.
London: McFarland & Company Inc
Subroto, T. Yoyok Wahyu, Bakti Setiawan dan Setiadi, 1997, Proses Transformasi
Spasial dan Sosial di Daerah Pinggiran Perkotaan (Urban Fringe) di Indonesia:
Studi Kasus di Yogyakarta, laporan Penelitian, Yogyakarta: PPLH Universitas
Gadjah Mada.
Sri Meiyanti, Kekerasan terhadap Perempuan dalam Rumah Tangga, Yogyakarta, PPK
UGM dan Ford Foundation, 1999
Supanto, Kebijakan Hukum Pidana Mengenai Pelcehan Seksual, Yogyakarta: PPK UGM
dan Ford Foundation, 1999
Undang-undang nomor 7 tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai
Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita (Convention Of All
Forms Of Discrimination Against Women)
Undang-undang Nomor 39 tahun 2000 tentang Hak Asasi Manusia
Windhu Warsana, Kekuasaan dan Kekerasan Menurut Johan Galtung, Yogyakarta, 1992
“Angka Perkosaan di Klaten Tertinggi di Jateng”, Kompas, selasa, 26 Nopember 2002
‘Ratusan Warga Saksikan Rekonstruksi, Kasus Pemerkosaan Gadis Belia”, Suara
Merdeka, Rabu, 17 April 2002
“Menguak Kasus Perkosaan di Klaten (2-Habis), Jika Tertangkap PSK Minimal Dikurung
Sebulan”, Suara Merdeka, Kamis 30 Mei 2002