BAB IPENDAHULUAN
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi informasi memegang
peranan yang sangat penting dalam peradaban kehidupan manusia baik
di masa kini maupun di masa yang akan datang. Pada era sekarang ini
peranan teknologi informasi ditempatkan dalam suatu posisi
strategis dimana kehadirannya dapat membuat seolahseolah dunia
menjadi tanpa batas, dilihat dari jarak, ruang, dan waktu, serta
dapat meningkatkan produktivitas dan efisiensi. Begitu pula di masa
yang akan datang, kemajuan teknologi menghasilkan sejumlah situasi
yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya oleh manusia. Perubahan
ini tentu akan memberikan suatu dinamika baru yang berdampak pada
perubahan sosial budaya dalam suatu masyarakat, ekonomi, dan
kerangka hukum secara cepat dan signifikan. Teknologi informasi
mencakup suatu teknik untuk mengumpulkan, menyimpan, memproses,
mengumumkan, dan menyebarkan informasi. Salah satu cakupan
teknologi informasi yang sangat berguna dan berpengaruh dalam
perkembangan kehidupan masyarakat saat ini adalah mengenai
pengiriman SMS (Short Message Service) yang berisi pengumuman dan
atau penyebaran informasi layanan untuk berlangganan konten. SMS
penawaran ini adalah suatu data elektronik berupa tulisan yang
dikirimkan kepada pengguna dalam hal ini penerima SMS atau pesan
singkat yang memiliki arti atau dapat dipahami. Seiring dengan
perkembangan teknologi informasi yang membawa pengaruh positif, di
sisi lain hal ini kemudian menghadapi tantangan yang berat. Dunia
tanpa batas yang semula menjadi titik tolak perkembangan dalam
peradaban kehidupan manusia, kemudian berubah menjadi suatu
penghalang yang patut diwaspadai dan mendapat pengawasan yang
memadai. Banyak pelanggaran yang ditimbulkan dari adanya
penyalahgunaan informasi elektronik atau dokumen elektronik, salah
satunya mengenai kasus pencurian pulsa. Masih teringat dengan jelas
kasus pencurian pulsa yang dilakukan oleh perusahaan content
provider yang berawal dari adanya keluhan para pelanggan yang
menemukan keanehan dengan pulsa pelanggan provider tertentu yang
berkurang secara tidak wajar. Kasus ini bermula dari adanya
penerimaan SMS (Short Message Service) kepada pelanggan mengenai
penawaran terhadap layanan konten dengan mengakses suatu kode untuk
memenangkan hadiah.[footnoteRef:1] Melalui penawaran gratis dan
kesempatan untuk memenangkan hadiah tertentu, pelanggan yang
tertarik pun akan langsung melakukan registrasi untuk kemudian
berlangganan layanan premium yang telah dipilih. Namun permasalahan
tak berhenti sampai disitu, pelanggan yang melakukan pemberhentian
langganan layanan premium atau dikenal dengan istilah unregister
kemudian gagal melakukannya, sehingga pelangganpun dipaksa
berlangganan layanan premium, [1:
http://www.tabloidpulsa.co.id/news/2068-jebakan-sedot-pulsa-harusnya-tak-terjadi-jika-brti-bekerja-
efektif, (ditelusuri 26 Desember 2013).]
dengan dipotong pulsanya secara periodik dan terus
menerus.[footnoteRef:2] [2: Ibid]
Pada mulanya perusahaan content provider berusaha untuk membuat
konten kreatif yang menarik dengan tujuan agar bisnis di bidang ini
berjalan dengan lancar. Dari layanan konten inilah perusahaan dapat
meraih keuntungan. Namun pada perkembangannya konten kreatif
tersebut tidak digemari konsumen. Salah satu penyebabnya adalah
karena naiknya harga Bahan Bakar Minyak (BBM) pada tahun 2005
silam. Ada perbedaan penggunaan terhadap layanan konten sesudah
kenaikan harga BBM, pelanggan hanya menggunakan pulsa untuk
kepentingan menelepon dan mengirim pesan saja, tidak lagi
berlangganan layanan konten karena tentu akan memakan biaya yang
lebih untuk kepentingan ini. Hal ini kemudian mendesak pihak
perusahaan untuk terus berupaya agar perusahaan tersebut tetap
berjalan. Berbagai macam cara dilakukan oleh perusahaan untuk dapat
meningkatkan keuntungan, bahkan dengan tindakan illegal
sekalipun.[footnoteRef:3] Akhirnya tindakan penyalahgunaan
informasi elektronikpun muncul dalam fase ini. [3: Agus Budianto,
Delik Suap Korporasi di Indonesia, CV Karya Putra Darwati, Bandung,
2012, hlm.63.]
Begitu pula dengan kasus yang dialami oleh David Tobing selaku
konsumen kartu HALO yang menggugat Telkomsel sebagai penerbit kartu
tersebut ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. David Tobing
menggugat pihak Telkomsel yang melakukan penagihan secara sepihak
terhadap layanan tambahan berbayar Opera Mini yang dikirimkan pada
telepon selular miliknya. Saat itu ia menerima SMS dari Telkomsel
yang berbunyi: [footnoteRef:4] [4:
http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4e92d6ced120a/penipuan-dan-pencurian-pulsa-resahkan-banyak-kalangan,
(ditelusuri 30 Desember 2013). ]
Terima kasih anda berlangganan Opera Mini Rp10.000/7hari.
Syarat/Ketentuan berlaku hub *363# Untuk stop ketik OP OFF ke 3636.
Download klik http://mini.opera.com. Sejak 16 Juli 2011 sampai
dengan 10 September 2011 pihak Telkomsel melakukan penagihan
sebanyak 9 (sembilan) kali pada nomor kartu yang terdaftar atas
nama David Tobing, meskipun David tidak meminta layanan tersebut.
Atas tagihan sepihak itu, David menderita kerugian sebesar Rp.
90.000,- (sembilan puluh ribu rupiah).[footnoteRef:5] [5:
http://www.theglobejournal.com/sosok/david-tobing-musuh-
telkomsel-namun-pahlawan-korban-pencurian-pulsa/index.php,
(ditelusuri 26 Desember 2013). ]
Serupa dengan kasus yang dialami oleh David Tobing, Feri Kuntoro
melaporkan salah satu perusahaan content provider, yakni PT Colibri
Networks atas pencurian pulsa yang dideritanya. Feri Kuntoro merasa
dirugikan karena harus membayar tagihan sebesar ratusan ribu rupiah
atas layanan konten yang telah diregistrasi oleh Feri sebelumnya9.
Kemudian perusahaan tersebut melaporkan balik Feri Kuntoro dengan
tuduhan pencemaran nama baik, fitnah, dan perbuatan tidak
menyenangkan ke Polres Metro Jakarta Selatan. Akhirnya Feri Kuntoro
menarik laporannya tersebut, kemudian diikuti oleh pihak PT Colibri
Networks yang mencabut laporannya. Tak jelas apa motif dibalik
pencabutan laporan oleh Feri Kuntoro, namun kasus pencurian pulsa
harus segera ditindaklanjuti guna ditemukan penyelesaiannya dengan
memberikan rasa adil bagi korban. Pembagian keuntungan telah
disepakati dalam Perjanjian Kerjasama antara kedua belah pihak
sesaat ketika salah satu perusahaan content provider terpilih
sebagai pemenang Master Content Ring Back Tone. Dengan berlangganan
nada sambung tersebut pelangganpun memiliki kesempatan untuk
memenangkan hadiah. Namun ketika pelanggan ingin memberhentikan
langganan terhadap layanan konten ini dengan mengikuti tata cara
unregister, yang terjadi kemudian adalah pelanggan gagal
memberhentikan langganan, dan bahkan berbalik menjadi perintah
untuk perpanjanganlayanan konten meskipun pelanggan telah mengikuti
petunjuk pemberhentian seperti yang tertera pada SMS yang
dikirimkan. Ketidakberhasilan dalam penghentian layanan konten ini
dilakukan dengan mengubah pengaturan algoritma sistem unregister
layanan Ring Back Tone (RBT). Ketiga ilustrasi yang telah
dipaparkan sebelumnya dikategorikan dalam bentuk kejahatan siber
dan telematika/ cyber crime. Pelanggaran terhadap kasus gagalnya
proses unregister yang dilakukan oleh pelanggan layanan konten
dalam hal ini yang dialami oleh Feri Kuntoro merupakan perbuatan
melawan hukum dimana perusahaan content provider menyebarkan berita
bohong mengenai informasi unregister tehadap layanan konten yang
telah diregistrasi sebelumnya oleh Feri Kuntoro yang menyebabkan
kerugian pihaknya, yakni atas tagihan tidak wajar yang dibebankan
kepadanya. Hal ini diatur dalam Pasal 28 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yang
mengandung unsur delik Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak
menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan
kerugian konsumen dalam Transaksi Elektronik. Terhadap pelanggaran
atas Pasal 28 ayat (1) jo. Pasal 45 ayat (2) Undang-Undang Nomor 11
Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik terkait
dengan kasus yang telah dipaparkan sebelumnya, muncul pertanyaan
apakah tanggung jawab pidana dapat dibebankan pada korporasi?
Mengingat perusahaan content provider atau provider yang telah
menimbulkan kerugian seharusnya bertanggung jawab atas pencurian
pulsa tersebut. Bagaimana sebuah kejahatan yang dilakukan oleh
korporasi dalam hal ini perusahaan content provider maupun
perusahaan provider secara jelas dan meyakinkan telah melanggar
hukum dan menimbulkan kerugian, serta menciptakan keresahan dalam
masyarakat baik bagi pengguna content provider yang tidak tahu
kepada pihak mana seharusnya mereka meminta pertanggungjawaban atas
pencurian pulsa yang mereka alami, dan perlindungan yang pasti agar
tidak menderita kerugian yang lebih daripada sebelumnya, maupun
bagi masyarakat bukan pengguna content provider yang berharap agar
kasus yang serupa tidak terjadi pada mereka. Awal mula
berkembangnya korporasi di Indonesia terjadi setelah tahun 1838
dimana pada tahun tersebut muncul berbagai macam bentuk badan usaha
seperti CV, Firma, sebagai akibat dari semakin berkembangnya bisnis
perdagangan di dunia, yang kemudian diatur dalam Kitab UndangUndang
Hukum Dagang. Sebelumnya Perancis juga telah memasukan pengaturan
mengenai korporasi dalam kodifikasi Code de Commerce dengan
menggunakan asas konkordansi. Belanda yang pernah dijajah oleh
Perancis lalu memberlakukan pengaturan tersebut di negaranya.
Begitu pula dengan Indonesia yang pada waktu itu menjadi daerah
jajahan Belanda menerapkan hal yang sama seperti yang diberlakukan
di Belanda. Akhirnya korporasipun lalu diakui sebagai subyek hukum
di samping subyek hukum manusia yang tunduk pada KUH Perdata dan
KUHD. Sebenarnya Kitab UndangUndang Hukum Pidana di Indonesia hanya
mengenal orang perseorangan (legal persoon) sebagai subyek hukum
yang dapat dibebankan pertanggungjawaban pidana, dan tidak
mengikutsertakan korporasi sebagai subyek hukum.[footnoteRef:6]
Namun korporasi kemudian dikategorikan sebagai subyek hukum dengan
ditetapkannya UndangUndang Darurat Nomor 7 Tahun 1955 tentang
Pengusutan, Penuntutan dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi. Selain
itu pengakuan korporasi sebagai subyek hukum juga diperkuat dengan
beberapa literatur di Indonesia, sebagai contoh menurut Wirjono
Prodjodikoro dalam bukunya Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia yang
menyatakan bahwa pengurus suatu badan hukum maupun badan hukum itu
sendiri ditetapkan sebagai subjek hukum.[footnoteRef:7] Hal ini
semakin menguatkan bahwa korporasipun dapat dibebankan tanggung
jawab atas indikasi kelalaian, keserampangan, kelicikan, dan
kesengajaan atas segala tindakan korporasi.[footnoteRef:8] [6: Agus
Budianto, Op. Cit., hlm. 10.] [7: Wirjono Prodjodikoro, Asas-asas
Hukum Pidana di Indonesia, Eresco, Bandung, 1989, hlm 55] [8: Agus
Budianto, Op. Cit., hlm. 64 ]
Korporasi dalam pembentukannya memiliki tujuan yakni, untuk
mendapatkan keuntungan dan terus meningkatkannya. Namun seringkali
untuk mencapai tujuan tersebut, korporasi melakukan tindakan
pelanggaran hukum, yang bertentangan dengan ketentuan hukum yang
berlaku, disebut dengan kejahatan korporasi. Dikenal dua bentuk
kejahatan korporasi, yakni yang pertama mengenai kejahatan yang
dilakukan oleh orang yang bekerja atau yang berhubungan dengan
suatu perusahaan yang dipersalahkan, dan yang kedua mengenai
kejahatan yang dilakukan oleh perusahaan itu sendiri melalui
karyawankaryawannya16. Dari bentukbentuk kejahatan korporasi inilah
munculnya berbagai teori pertanggungjawaban pidana korporasi yang
dilahirkan dalam rangka menghentikan atau menghukum korporasi yang
melakukan tindak pidana.[footnoteRef:9] Untuk dapat dipidananya
subyek hukum dalam hal ini korporasi, harus dilihat terlebih dahulu
mengenai tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi, untuk
kemudian dibuktikan persyaratan unsur kesalahannya agar dapat
dibebankan pertanggungjawaban pidana. [9: Idem, hlm. 64]
Hal yang tidak lepas dari suatu kejahatan yang dilakukan oleh
korporasi seperti yang dilakukan oleh perusahaan content provider
yang menyebarkan berita bohong terkait kasus pencurian pulsa adalah
mengenai korban yang menderita kerugian sebagai akibat dari
pelaksanaan aktivitas suatu korporasi yang bertentangan dengan
hukum yang berlaku. Tak dapat dipungkiri bahwa selalu ada pihak
yang dirugikan dalam hal ini adalah konsumen layanan konten yang
berlangganan. Namun berbeda dengan kejahatan biasa yang dilakukan
oleh orang perseorangan dimana korban mengetahui secara persis
bahwa dirinya merupakan seorang korban, dalam kejahatan korporasi
seringkali korban tidak mengetahui bahwa diri mereka adalah korban
dari kejahatan korporasi yang berujung kepada pembiaran terhadap
kejahatan yang dilakukan korporasi.[footnoteRef:10] Pencegahan dan
penanggulangan kejahatan korporasi terhadap korban perlu mendapat
perhatian khusus sebagai bentuk pertanggungjawaban pidana korporasi
terhadap korban. [10: Sutan Remi Sjahdeini, Pertanggungjawaban
Pidana Korporasi, Grafiti Pers, Jakarta, 2006, hlm 4]
Berdasarkan banyaknya pertanyaan hukum terkait dengan
permasalahan hukum yang terjadi dalam masyarakat barubaru ini, maka
penulis tertarik untuk membuat penulisan hukum yang berjudul
Pertanggungjawaban Pidana Atas Tindak Pidana Penyebaran Berita
Bohong dan Menyesatkan yang Mengakibatkan Kerugian Konsumen Dalam
Transaksi Elektronik pada Kasus Pencurian Pulsa untuk mencoba
memberikan jawaban terkait pertanggungjawaban pidana bagi korporasi
yang melakukan tindak pidana pencurian pulsa.
BAB IIPEMBAHASAN
A. TINDAK PIDANA/DELIK YANG DILAKUKAN OLEH PERUSAHAAN CONTENT
PROVIDER MAUPUN PROVIDER 1. Kasus Pencurian Pulsa yang Terjadi
Ilustrasi kasus yang akan digunakan dalam penulisan hukum ini
adalah kasus pencurian pulsa yang bermula saat adanya pelaporan
seorang korban yang bernama Feri Kuntoro pada tanggal 5 Oktober
2011 ke Polda Metro Jaya. Feri Kuntoro melapor ke bagian khusus
unit cybercrime dengan nomor laporan
LP/3409/X/2011/PMJ/Ditreskrimsus karena sebelumnya merasa telah
dirugikan atas tagihan kartu provider pascabayar miliknya hingga
empat ratus lima puluh ribu rupiah. Melalui modus pesan singkat
berlangganan (registrasi) yang ditayangkan pada salah satu stasiun
televisi swasta, Feri Kuntoro kemudian mendaftarkan diri dengan
berlangganan suatu layanan konten provider untuk mengikuti program
berhadiah untuk mendapatkan kesempatan memenangkan hadiah pada
Maret 2011. Feri kemudian meregistrasi untuk berlangganan layanan
konten provider dengan short code 9133. Diketahui kemudian bahwa
short code tersebut adalah milik PT Colibri Networks, sebuah
perusahaan content provider yang bekerjasama dengan provider
Telkomsel. Feri kemudian melakukan pemberhentian langganan terhadap
layanan konten dengan mengirim SMS unreg pada tanggal 24 Maret
2011, namun usahanya selalu gagal untuk berhenti berlangganan dan
SMS balasan yang menjawab Maaf, sistem sedang bermasalah, silakan
ulangi lagi. Sehari setelah laporan Feri Kuntoro tersebut, PT
Colibri Networks kemudian menggugat balik Feri dengan pasal
pencemaran nama baik, fitnah, dan perbuatan tidak menyenangkan ke
Polres Jakarta Selatan. Mengingat adanya beberapa laporan kasus
serupa di daerah lain, maka pada tanggal 24 Oktober 2011 Polda
Metro Jaya selanjutnya melimpahkan kasus pencurian pulsa ini ke
Bareskrim Mabes Polri sehingga koordinasi dengan instansi lain yang
terkait dengan kasus ini menjadi lebih mudah untuk dilakukan guna
menyelesaikan perkara tersebut. Pada tanggal 27 Januari 2012
ternyata tim kuasa hukum Feri Kuntoro mendatangi Mabes Polri untuk
memberitahukan hal perdamaian kliennyadengan pihak PT. Colibri
Networks, dan membatalkan jika memang ada laporan terhadap PT.
Colibri Networks yang dilakukan Feri Kuntoro. Kuasa hukum Feri
Kuntoro mengatakan bahwa perdamaian yang terjadi antara kliennya
dengan perusahaan content provider tersebut dikarenakan PT Colibri
Networks telah meminta maaf kepada pihaknya terlebih dahulu. Meski
laporan terhadap PT. Colibri Networks secara perdata telah dicabut
oleh Feri Kuntoro melalui kuasa hukumnya, namun Polisi tetap
menganggap kasus ini sebagai kasus pidana, sehingga polisi segera
menindaklanjuti laporan tersebut, dan setelah melalui rangkaian
penyelidikan, dan penyidikan, polisipun menetapkan tiga tersangka
dalam kasus pembobolan pulsa ini pada bulan Maret 2012, yakni
tersangka dengan inisial KP, selaku Vice President Digital Music
Content Management PT Telkomsel, kemudian tersangka dengan inisial
NHB, sebagai Direktur PT Colibri Networks, dan yang terakhir
tersangka dengan inisial WMH, yang menjabat sebagai Direktur PT
Mediaplay. Ketiga tersangka tersebut disangkakan dengan kasus
pembobolan pulsa para pelanggan telepon seluler melalui
penandatanganan perjanjian kerjasama antara Telkomsel dan
perusahaan penyedia layanan konten yang terkait. Ketiga tersangka
yang telah ditetapkan oleh polisi kemudian dijerat dengan Pasal 62
juncto Pasal 9 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen, Pasal 28 juncto Pasal 45 Undang-Undang Nomor
11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, serta
Pasal 362 dan 378 KUHP. Terkait dengan kasus pencurian pulsa yang
lain dikenal pula dengan modus penipuan yang mengaku sebagai
orangtua, dalam hal ini pengirim yang mengaku sebagai keluarga
(mama atau papa) si penerima SMS maupun saudara terdekat lainnya
yang meminta untuk dikirimi pulsa. Alih-alih bahwa keluarga
terdekat tersebut sedang berada di kantor polisi dan membutuhkan
pulsa, pengirim SMS tersebutpun mengirimkan SMS yang berisi suruhan
untuk mengisi pulsa si penerima SMS. Perintah ini dibuat
seolah-olah keluarga terdekat atau orang tua sedang berada dalam
suatu masalah yang sangat membutuhkan pulsa sesegera mungkin. Salah
satu contoh modus penipuan pulsa terjadi adalah:[footnoteRef:11]
[11:
http://www.kabelpulsa.com/laporkan-penipuan-kirim-sms-ke-1166-telkomsel.html,
(ditelusuri 8 Januari 2014).]
Tolong donk isi pulsa mama 25 ribu, mama sedang di kantor
polisi. Isi pulsanya ke no 085222013***, ini mama sedang pinjem hp
temen. Nanti uangnya mama ganti. Contoh lainnya adalah mengenai SMS
Kredit Tanpa Agunan (KTA) yang dikirimkan oleh bank kepada sejumlah
nomor ponsel tertentu untuk menawarkan produk bank berupa kredit
agunan. Berbeda dengan modus yang dilakukan oleh perusahaan
penyedia layanan konten yang bekerjasama dengan provider, SMS ini
dikirimkan dari pihak yang tidak terkait dengan penyelenggara
layanan konten dan tergolong dalam salah satu cara kreativitas
marketing dalam mempromosikan produknya terhadap calon pelanggan.
Salah satu contoh SMS penawaran tersebut adalah:[footnoteRef:12]
[12:
http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4e92d6ced120a/penipuan-dan-pencurian-pulsa-
resahkan-banyak-kalangan, (ditelusuri 8 Januari 2014).]
Yth. Bpk/Ibu kami beri KTA dari Bank Midun 5-150 jt. Bunga 1.50%
min 99jt, syrt KTP & Krt kredit, klu tidak berminat tlgabaikan
sms ini. Angel 0857842****/021342987** Kasus lainnya yang terkait
dengan pencurian pulsa adalah yang terjadi pada konsumen kartu HALO
Telkomsel, David Tobing atas penagihan secara sepihak layanan
tambahan berbayar Opera Mini yang dikirmkan oleh pihak Telkomsel.
David Tobing sebelumnya tidak pernah meminta layanan tersebut,
namun secara tiba-tiba pihak Telkomsel mengirimkan pesan yang
berbunyi: Terima kasih anda berlangganan Opera Mini Rp10.000/7hari.
Syarat/Ketentuan berlaku hub *363# Untuk stop ketik OP OFF ke 3636.
Download klik http://mini.opera.com [footnoteRef:13] [13:
Hukumonline,http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4e92d6ced120a/penipuan-dan-
pencurian-pulsa-resahkan-banyak-kalangan, (ditelusuri 30 Desember
2013).]
2. Unsur Tindak Pidana Penyebaran Berita Bohong dan Menyesatkan
dalam Kasus Pencurian Pulsa yang Dilakukan Perusahaan Content
Provider Maupun Provider Berdasarkan kasus pencurian pulsa yang
telah ditentukan sebelumnya, bahwa penulisan hukum ini kemudian
akan membahas tentang kasus pencurian pulsa perusahaan penyedia
layanan konten yang bekerjasama dengan provider melalui layanan
konten yang telah diregistrasi sebelumnya oleh pelanggan, kemudian
pada saat pelanggan/konsumen menlakukan pemberhentian/unregister,
yang terjadi kemudian adalah adanya balasan SMS yang berisi Maaf,
sistem sedang bermasalah, silakan ulangi lagi. Ilustrasi kasus
diatas memang belum mendapatkan kekuatan hukum yang tetap (in
kracht van gewijsde) sehingga pasal ini belum bisa digunakan
sebagai penerapan, namun pasal tersebut dapat digunakan sebagai
dasar tuntutan. Berikut adalah isi dari Pasal 28 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik: Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan
berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen
dalam Transaksi Elektronik. a. Setiap orang Unsur setiap orang
mengacu pada setiap subyek hukum, yakni pemegang hak dan kewajiban,
yang memiliki kemampuan untuk dibebankan tanggung jawab terhadap
perbuatannya menurut Undang-Undang. Bahwa berdasarkan Pasal 1 angka
21 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik pengertian unsur setiap orang adalah orang
perseorangan, baik warga negara Indonesia, warga negara asing
maupun badan hukum. Jadi, dengan kata lain Undang-Undang Nomor 11
Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi elektronik mengakui
bahwa unsur setiap orang juga dapat dikenakan terhadap badan hukum
(rechtspersoon) sebagai subjek hukum dan bukan hanya kepada manusia
saja. Bahwa dalam hal ini konsumen sebuah provider melaporkan
perusahaan yang terkait dengan tagihan kartu pascabayar milik
provider yang dibebankan kepadanya berdasarkan program layanan
konsumen dengan short code 9313, dan kemudian diketahui bahwa kode
singkat tersebut adalah milik salah satu perusahaan penyedia
layanan konten yang bekerjasama dengan salah satu provider di
Indonesia. Penulis menarik kesimpulan bahwa laporan tersebut yang
diajukan kepada provider maupun perusahaan penyedia layanan konten
yang mana kedua perusahaan tersebut merupakan korporasi/badan hukum
yang diakui sebagai subjek hukum oleh undang-undang yang berlaku.
b. Dengan sengaja Menurut memori penjelasan atau Memorie Van
Toelichting (MvT), pidana umumnya hendaknya dijatuhkan hanya pada
barang siapa melakukan perbuatan yang dilarang dengan dikehendaki
dan diketahui.[footnoteRef:14] Berbeda dengan teori kehendak maupun
kesengajaan yang menjadi salah satu titik penentu terhadap subjek
hukum berupa manusia dalam menentukan unsur kesalahannya bila
dikaitkan dengan kemampuannya untuk bertanggung jawab seperti yang
kita ketahui dalam asas pidana yakni actus non facit reum, nisi
mens sit rea atau tiada pidana tanpa kesalahan sebagai sikap kalbu
atau unsur mens rea, dalam kejahatan yang dilakukan oleh korporasi
sebagai badan hukum dikenal pula dengan bentuk pertanggungjawaban
pidana yang dapat dibebankan kepada pelaku sekalipun pelaku
tersebut tidak memiliki mens rea yang menjadi syarat. Hanya dengan
dapat dibuktikannya bahwa si pelaku telah melakukan suatu perilaku
lahiriah atau actus reus berupa tindakan melakukan sesuatu yang
dilarang dalam undang-undang (commission) maupun tidak melakukan
sesuatu yang diwajibkan oleh undang-undang (omission), maka
terhadapnya dapat dibebankan pertanggungjawaban pidana, seperti
yang tertulis dalam RUU KUHP dimana dalam hal tindak pidana
tertentu seseorang dapat dipidana karena telah dipenuhinya
unsur-unsur tindak pidana tersebut tanpa memperhatikan adanya
kesalahan. Begitu pula dengan korporasi yang tidak dapat diketahui
mengenai unsur mens rea nya dikarenakan badan hukum tidak mempunyai
sikap kalbu yang dapat diidentifikasi seperti manusia pada umumnya.
Korporasi memang mempunyai kehendak, namun kehendak tersebut
dilihat berdasarkan para pengurus yang menjalankannya. [14: Wirjono
Prodjodikoro, Op.Cit, hlm. 66-70.]
Bahwa karena pengubahan algoritma bahasa pemrograman terhadap
permintaan unregister layanan konten membuat pelanggan yang ingin
berhenti berlangganan menjadi gagal, sehingga munculah berita
bohong dan menyesatkan sebagai perwujudan tindakan kesengajaan
dengan maksud, dimana dengan dilakukannya perubahan algoritma
membuktikan bahwa perbuatan itu memang memiliki maksud untuk
melakukan tindakan tersebut, dan tentu menghendaki akibat yang
ditimbulkan dari perbuatan itu c. Tanpa hak Menurut Kamus Besar
Bahasa Indonesia hak diartikan sebagai kekuasaan untuk melakukan
sesuatu karena telah ditentukan undang-undang atau aturan. Menurut
penulis tanpa hak dapat diartikan sebagai tidak adanya kekuasaan
untuk melakukan sesuatu seperti yang telah ditentukan oleh
undang-undang atau aturan. Menurut Prof. Van Hemel Wederrechtelijk
dijabarkan dalam dua kelompok, yakni secara positif maupun secara
negatif.[footnoteRef:15] Secara positif Wederrechtelijk diartikan
sebagai perbuatan yang bertentangan dengan hukum dengan penjelasan
lebih dalam yakni, met krenking van eens anders rect atau dengan
melanggar hak orang lain. Kemudian dalam kelompok negatif
Wederrechtelijk diartikan sebagai tidak berdasarkan hukum, dengan
kata lain sebagai Zonder bevoegheid atau tanpa hak. [15: P.A.F.
Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana, PT.Citra Aditya, Bandung,
1997, hlm. 347-349.]
Bahwa menurut Penulis setelah menjabarkan uraian di atas,
istilah Wederrechtelijk atau melawan hukum adalah penjabaran secara
luas dari tanpa hak, sehingga keduanya menjadi bagian yang tak
terpisahkan. Tanpa hak disini berhubungan dengan tindakan
penyebaran berita bohong dan menyesatkan, dimana tidak ada satupun
dalam undang-undang yang menyatakan penyebaran berita bohong berhak
dilakukan oleh subjek hukum/ subjek hukum tidak memiliki hak untuk
menyebarkan berita bohong dan menyesatkan. Unsur tanpa hak dengan
sendirinya menjadi terbukti ketika unsur penyebaran berita bohong
dan menyesatkan dapat dibuktikan. d. Menyebarkan berita bohong dan
menyesatkan Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia menyebarkan
adalah kegiatan menyiarkan atau mengirimkan. Sedangkan berita
bohong adalah berita yang tidak sesuai dengan hal yang sebenarnya,
sehingga menyebabkan suatu keadaan menyesatkan. Dalam hal ini
perusahaan penyedia layanan konten telah mengirimkan suatu berita
yang tidak sebenarnya mengenai informasi tentang gagalnya proses
unregister melalui balasan SMS Maaf sistem sedang bermasalah,
silakan ulangi lagi yang dikirimkan oleh perusahaan penyedia
layanan konten tersebut maupun provider yang menyebabkan tagihan
telepon konsumen semakin bertambah dan membuatnya tetap
berlangganan layanan konten tersebut. Menurut David Tobing selaku
penasehat hukum dari konsumen terdapat dua modus pencurian pulsa
berdasarkan inisiatif perusahaan penyedia layanan konten maupun
provider, yakni:[footnoteRef:16] [16: David Tobing, Seminar
Tanggung Jawab Provider Dalam Penyediaan Konten Terkait Kasus
Pnecurian Pulsa, yang diselenggarakan Atmajaya Mootcourt Guild,
Jakarta, 1 Maret 2012, hlm. 5.]
1) Provider/Content provider membuat program algoritma yang
dikonsepkan menolak permintaan unregister pelanggan. 2) Adanya
provider/content provider nakal yang menyebarluaskan nomor-nomor
pelanggan kepada perusahaan content provider lainnya. Penulis
kemudian berpendapat bahwa modus pencurian pulsa yang dilakukan
oleh perusahaan penyedia layanan konten maupun provider adalah
menggunakan program perubahan algoritma terhadap proses unregister
mengingat bahwa short code 9133 tersebut milik salah satu
perusahaan penyedia layanan konten yang menjadi penyebab tagihan
konsumen tersebut semakin bertambah besar. Pengubahan algoritma
siistem unregister, mengakibatkan suatu sistem secara otomatis
mengirimkan SMS yang berisi penolakan permintaan unregister/ tidak
berhasilnya pemberhentian langganan layanan konten seperti yang
dilakukan oleh konsumen. Hal pemberitahuan mengenai gagalnya
permintaan unregister merupakan sebuah berita bohong dan
menyesatkan karena kondisi sistem elektronik tidak dalam kondisi
yang rusak setiap kali dilakukan proses unregister. e.
Mengakibatkan kerugian konsumen Bahwa unsur mengakibatkan kerugian
konsumen merupakan hubungan sebab akibat dengan perbuatan
sebelumnya dimana suatu perbuatan menyebarkan berita bohong dan
menyesatkan mengakibatkan suatu kondisi dimana seseorang tidak
mendapatkan keuntungan dari apa yang telah mereka keluarkan.96
Kerugian yang dimaksud disini adalah kerugian yang diterima oleh
konsumen dimana pengertian konsumen menurut Pasal 1 angka 2
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia
dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga,
orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk
diperdagangkan yang dilakukan oleh pelaku usaha dalam hal ini
perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum
maupun badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan
kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik
sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan
kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi. f. Transaksi
elektronik Bahwa sesuai dengan Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor
11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, Transaksi
elektronik adalah perbuatan hukum yang dilakukan dengan menggunakan
komputer, jaringan komputer, dan/atau media elektronik lainnya.
Bahwa telah terjadi perbuatan hukum yakni jual-beli, yakni dengan
membeli suatu layanan konten yang dijual oleh perusahaan content
provider dan provider melalui telepon genggam milik
konsumen/pelanggan Unsur dari tindak pidana Pasal 28 Undang-Undang
Informasi dan Transaksi Elektronik tersebut dikaitkan dengan tindak
pidana pencurian Pasal 362 KUHP yang terdiri dari unsur: a.
Barangsiapa Barangsiapa mengacu pada subjek hukum, dimana meskipun
dalam hal ini KUHP tidak dikenal badan hukum sebagai subjek hukum,
namun karena perkembangan waktu kejahatan tidak hanya dilakukan
oleh orang-perseorangan saja, melainkan kejahatan dilakukan pula
oleh suatu organisasi/badan hukum yang bersifat kompleks. Saat
inipun, RUU KUHP kita telah merumuskan korporasi sebagai subjek
hukum yang dapat dibebankan tanggung-jawab pidana. Dalam
undang-undang lainnya juga sudah dikenal konsep pertanggungjawaban
pidana korporasi, seperti dalam UU Darurat Nomor 7 Tahun 1955
tentang Pengusutan, Penuntutan dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi,
Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik yang kemudian
mengakui badan hukum sebagai subjek hukum, Undang-Undang
Perlindungan Konsumen yang juga secara implisit mengakui
orang-perseorangan maupun badan usaha baik yang berbentuk badan
hukum maupun bukan badan hukum dalam kaitannya dengan
pertanggungjawaban pidana yang dibebankan kepada pelaku usaha. b.
Mengambil sesuatu barang yang seluruhnya atau sebagian milik orang
lain Sebagaimana telah dijelaskan pada Bab II tentang definisi dari
mengambil yang mengalami perluasan bahwa kategori mengambil dapat
dilakukan tidak terbatas pada membawa atau mengalihkan dengan
sentuhan tangan, namun termasuk juga perbuatan mengalihkan atau
memindahkan barang dengan berbagai cara. Begitu pula dengan
definisi barang yang dikaitkan dengan pulsa/ satuan dalam
perhitungan biaya telepon. Dalam pengertian pulsa sebagai satuan
dalam perhitungan biaya telepon, dipersyaratkan bahwa biaya telepon
didapatkan dengan menegluarkan sejumlah uang tertentu yang ditukar
kedalam bentuk yang lain dan digunakan untuk berkomunikasi dengan
orang yang dituju. Setelah pemakaian habis, maka konsumen harus
mengisi ulang kembali dengan mengeluarkan sejumlah uang yang
diinginkan, disesuaikan dengan pulsa yang diinginkan pula.
Begitupun dengan pulsa yang sistem tagihannya diberikan kemudian
setelah pemakaian telepon dalam jangka waktu tertentu.Oleh karena
itu pulsa juga dapat ditafsirkan dengan sejumlah uang, yang jika
dikaitkan lebih jauh melalui perlasan pengertian sama dengan
barang. Pengertian barang disini menjadi luas karena pemakaian
bentuk kata yang berubah-ubah sesuai dengan kebutuhan. Ditambah
lagi perkembangan teknologi yang semakin maju setiap waktunya harus
dapat diakomodir terhadap suatu bentuk pengertian/definisi yang
lama, oleh karena itu suatu perluasan penafsiran menjadi
dibutuhkan, karena pada waktu pengaturan mengenai hal yang baru ini
dibuat, hal tersebut belum terpikirkan oleh para pembuat
undang-undang sebelumnya.[footnoteRef:17] [17: Andi Hamzah,
Asas-Asas Hukum Pidana, PT. Rineka Cipta, Jakarta, 2010, hlm.
48]
Bahwa sekarang ini penafsiran barang sama dengan aliran listrik
yang telah dikembangkan dalam delik komputer. Hal ini diperkuat
dengan putusan Pengadilan Arnhem (N.J. 1984, 80) yang memutuskan
pada tanggal 27 Oktober 1983 bahwa data komputer (computer
gegevens) dalam hal tertentu sama dengan barang.[footnoteRef:18]
[18: Idem, hlm. 49.]
c. Dengan maksud untuk dimiliki dengan melawan hukum Pengertian
dengan maksud untuk dimiliki termasuk dalam salah satu dari ketiga
tingkatan dalam sengaja, yakni:[footnoteRef:19] [19: Idem, hlm.
116.]
1) Sengaja sebagai maksud (opzet als oogmerk), yakni bila orang
sengaja melakukan suatu tindak pidana dengan maksud untuk mencapai
tujuan yang dikeendakinya. 2) Sengaja dengan kesadaran tentang
kepastian (opzet met bewustheid van zekerheid of
noodzalijkheidsbewustzijn), yakni bila orang yang melakukan suatu
perbuatan untuk mencapai tujuan yang dikehendakinya, sedang ia
menyadari bahwa suatu hal lain yang tidak dimaksudkan sebagai
tujuan pasti akan terjadi 3) Sengaja dengan kesadaran kemungkinan
sekali terjadi (opzet met waarschijnlijkheidsbewustzjin), yaitu
bila orang melakukan suatu perbuatan, sedang ia mengetahui bahwa
mungkin perbuatan yang dilakukannya itu akan menimbulkan akibat
lain yang tidak dimaksud. Bahwa unsur dengan maksud untuk memiliki
termasuk dalam tingkatan kesengajaan seperti di atas, dan tentu
perbuatan yang disengaja ini dilakukan secara melawan hukum yang
tanpa hak.
B. ANALISIS PERTANGGUNGJAWABAN KORPORASI YANG DIBEBANKAN
TERHADAP PERUSAHAAN CONTENT PROVIDER MAUPUN PROVIDER 1. Teori
Pertanggungjawaban Pidana Korporasi yang Ditetapkan dalam Kasus
Pencurian Pulsa Dalam menentukan bentuk pertanggungjawaban pidana
korporasi yang tepat dalam kasus pencurian pulsa ini dapat
dibuktikan berdasarkan directing mind dari korporasi yakni organ
korporasi yang karena posisinya sebagai penentu kebijakan korporasi
yang memiliki kewenangan untuk melakukan/ tidak melakukan dan
memerintahkan agar perbuatan tersebut dilakukan/ tidak dilakukan.
Tentu saja perbuatan yang dilakukan/ tidak dilakukan ini mengikat
korporasi, artinya perbuatan ini menjadi perbuatan korporasi. Dalam
hal ini direktur utama perusahaan penyedia layanan konten maupun
direktur utama dari provider dianggap sebagai personel yang
memiliki kewenangan untuk mengambil keputusan yang mengikat
korporasi. Direktur dan manager dianggap mewakili pikiran dan
kehendak perusahaan karena kewenangan yang dimilikinya tersebut
berhak untuk mengendalikan perusahaan tersebut.[footnoteRef:20]
[20: Sutan Remy Sjahdeini, Op.Cit., hlm.101.]
Ajaran tersebut termasuk dalam ajaran identifikasi. Untuk
kemudian dibuktikan bahwa perbuatan dari personel tersebut memang
dalam rangka kewenangannya, dengan kata lain bahwa tindak pidana
yang dilakukan sesuai dengan maksud dan tujuan korporasi bukan
melakukan perbuatan yang berada diluar kewenangannya (ultra
vires).[footnoteRef:21] Untuk membuktikan hal ini menjadi
kewenangan dari direktur suatu korporasi dapat digunakan doktrin
identifikasi seperti yang telah disebutkan sebelumnya. dan dapat
diatribusikan kepada korporasi untuk bertanggung-jawab. Pikiran
langsung dari korporasi tersebut memang diwakilkan oleh direktur
sebagai orang yang dengan kewenangannya dianggap sebagai orang yang
juga melakukan perbuatan tersebut, namun kita dapat mengetahui
bahwa suatu tindak pidana benar-benar dilakukan secara teknis
melalui pegawai/karyawan, kuasa/mandataris, atau personil,
dibuktikan bahwa suatu tindak pidana ini memang dilakukan oleh
manusia dalam rangka tugas kewenangannya melakukan suatu tindak
pidana atas nama korporasi. Oleh karena itu doktrin vikarius dapat
digunakan untuk menjawab persoalan ini. Bahwa doktrin vikarius
mengatur dimana direktur dapat bertanggung-jawab pidana terhadap
perbuatan yang dilakukan orang lain [21: Idem, hlm.162.]
(pegawai/karyawan,kuasa/mandataris). Seseorang yang dalam
kenyataannya tidak melakukan tindak pidana namun dalam rangka
pembebanan pertanggungjawaban pidana, ia dipandang memiliki
kesalahan terhadap tindak pidana yang dilakukan oleh orang lain
dalam suatu kedudukan tertentu. Hal ini dipahami bahwa tindakan
karyawan dianggap sebagai tindakan yang dilakukan oleh kepala atau
majikan, begitu pula dengan apa yang menjadi pengetahuan karyawan
merupakan pengetahuan dari kepala juga. Kemudian dapat ditarik
lebih lanjut lagi bahwa perbuatan dalam hal ini tindak pidana
penyebaran berita bohong dan mnyesatkan yang dilakukan oleh
korporasi tersebut memang memberikan manfaat bagi korporasi itu
sendiri. Hal ini juga terlihat dari sisi kerugian yang diderita
oleh para konsumen sebagai akibat dari perbuatan korporasi ini.
Namun perlu diingat bahwa sekalipun pengurus terbukti bersalah yang
menjadikan dipidananya pengurus tersebut tidak memberikan jaminan
yang cukup bahwa korporasi tidak sekali lagi melakukan perbuatan
yang telah dilarang oleh undang-undang itu. Oleh karena itu menurut
penulis pertanggungjawaban pidana yang dibebankan terhadap
korporasi dan bukan terhadap pengurusnya membuat aktivitas
korporasi dari tindakan melawan hukum dapat dihentikan, sehingga
perlindungan terhadap masyarakat dari adanya bahaya kerugian
diharapkan dapat terwujud. Begitu pula dengan kerugian yang
diakibatkan oleh korporasi dalam hal ini perusahaan penyedia
layanan konten maupun provider yang melakukan tindak pidana membuat
korporasi ini harus bertanggung-jawab atas perbuatannya. Dengan
maksud untuk memperjuangkan kepentingan korban yang telah dirugikan
inilah korporasi tidak hanya dituntut atas tindak pidana yang
dilakukannya, melainkan juga terhadap kerugian yang dibuatnya pada
korban (konsumen) untuk selanjutnya diberikan ganti kerugian oleh
korporasi tersebut sebagai salah satu bentuk pertanggungjawaban
pidana yang dapat dibebankan. 2. Sanksi yang Diberlakukan Kepada
Korporasi yang Melakukan Tindak Pidana Penyebaran Berita Bohong dan
Menyesatkan dalam Kasus Pencurian Pulsa Telah disebutkan sebelumnya
bahwa berdasarkan Pasal 1 angka 21 Undang-Undang Informasi dan
Transaksi Elektronik yang termasuk orang adalah orang perseorangan,
baik warga negara Indonesia, warga negara asing, maupun badan
hukum. Korporasi dalam hukum pidana juga meliputi badan hukum
maupun bukan badan hukum. Menurut Prof. Dr. Sutan Remy Sjahdeini,
SH yang pengertian korporasi adalah:[footnoteRef:22] Bukan saja
badanbadan hukum seperti perseroan terbatas, yayasan, koperasi,
atau perkumpulan yang telah disahkan sebagai badan hukum yang
digolongkan sebagai korporasi menurut hukum pidana, tetapi juga
firma, perseroan komanditer atau CV, dan persekutuan atau
maatschap, yaitu badan usaha yang menurut hukum perdata bukan suatu
badan hukum. Sekumpulan orang yang terorganisir kemudian memiliki
pemimpin, serta dapat melakukan perbuatan hukum seperti melakukan
perjanjian untuk dan atas nama kumpulan tersebut, juga dapat
dikategorikan sebagai korporasi. [22: Sutan Remy Sjahdeini,
Op.Cit., hlm.45]
Berdasarkan penjelasan mengenai pengertian korporasi diatas,
penulis kemudian berpendapat bahwa perusahaan penyedia layanan
konten maupun provider termasuk dalam pengertian korporasi berupa
badan hukum, yakni perseroan terbatas yang berdasarkan Pasal 1
Staatsblad 1870 No. 64 (Keputusan Raja tanggal 28 Maret 1870),
yaitu: perkumpulan yang akta pendiriannya disahkan oleh pejabat
yang ditunjuk oleh Gubernur Jenderal (pada waktu itu disebut juga
dengan Directeur van JustititeI, sekarang Menteri Hukum dan HAM
RI). Terhadap pelanggaran dalam Pasal 28 ayat (1) Undang-Undang
Informasi dan Transaksi Elektronik dimana setiap orang dengan
sengaja dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan
yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam Transaksi Elektronik
kemudian diatur mengenai ketentuan pidana dalam Undang-Undang ITE
yang dapat dibebankan kepada korporasi dalam hal ini perusahaan
penyedia layanan konten maupun provider dengan ketentuan sebagai
berikut: Setiap orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 28 ayat (1) atau ayat (2) dipidana dengan pidana
penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp.
1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). Dalam ketentuan Pasal 45
diatur mengenai pidana pokok berupa pidana penjara dan/atau denda
bagi setiap orang yang melanggar Pasal 28 ayat (1) Undang-Undang
ITE, namun pidana penjara tidak mungkin diberlakukan terhadap
korporasi, sehingga diperlukan pemberlakuan pidana alternatif,
seperti ditulis oleh Prof Sutan Remy Sjahdeini bahwa kata dan/atau
menunjukkan bahwa sanksi tersebut bersifat alternatif (artinya
dapat dipilih oleh Hakim), sehingga kepada korporasi hanya akan
dikenakan sanksi pidana denda karena korporasi tidak mungkin
menjalankan sanksi pidana penjara. Penulis sependapat dengan
pernyataan Prof Dr. Sutan Remy Sjahdeini mengenai pemberlakuan
sanksi pidana pokok berupa denda terhadap korporasi dikarenakan
korporasi tidak dimungkinkan untuk menjalani pidana penjara, namun
korporasi dapat dibebankan pidana pokok denda jika terbukti
bersalah dengan pengaturan bahwa pidana denda yang diberikan
jumlahnya lebih besar. Sebagai contohnya seperti yang diberlakukan
dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan
Lingkungan Hidup dalam Pasal 45 yang menyatakan bahwa: Jika tindak
pidana sebagaimana dimaksud dalam bab ini dilakukan oleh atau atas
nama suatu badan hukum, perseroan, perserikatan, yayasan atau
organisasi lain, ancaman pidana denda diperberat dengan sepertiga.
Dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik diberlakukan
pula mengenai sistem pemberatan seperti yang dilakukan dalam
Undang-Undang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Terbukti pada Pasal 52
ayat (4) Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik yang
berbunyi, Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal
27 sampai dengan Pasal 37 dilakukan oleh korporasi dipidana dengan
pidana pokok ditambah dua pertiga. Hal ini secara tidak langsung
diharapkan berpengaruh terhadap tujuan pemidanaan yakni untuk
menimbulkan efek jera dengan pemberlakuan pidana denda yang
diperberat, dengan harapan korporasi tidak melakukan tindak pidana
tersebut kembali. Selain pidana pokok berupa pidana denda yang
dapat dibebankan terhadap korporasi, dikenal pula dengan pidana
tambahan seperti yang telah dijelaskan sebelumnya pada Bab II
mengenai jenis sanksi berupa pidana tambahan. Pidana tambahan
memang telah diatur dalam KUHP Pasal 10, tetapi sekali lagi
pengaturan mengenai sanksi pidana ini hanya berlaku bagi
orang-perseorangan atau mungkin pengurus dari sebuah badan hukum.
Menurut hemat penulis meskipun aturan mengenai pidana pokok dan
tambahan ini hanya diatur dalam KUHP dan ditujukan pada subjek
hukum orang-perseorangan, namun hal ini juga dapat digunakan
sebagai acuan untuk menerapkan sanksi pidana terhadap korporasi itu
sendiri. Sanksi pidana tambahan yang digunakan Penulis dalam
penulisan hukum ini adalah pembekuan kegiatan usaha, perampasan
aset korporasi oleh negara, pengambilalihan korporasi oleh negara,
dan pengumuman putusan hakim. Menurut Prof. Dr. Sutan Remy
Sjahdeini dalam bukunya mengkategorikan sanksi pidana yang telah
Penulis kemukakan diatas kedalam bentuk sanksi pidana pokok, namun
Penulis memasukkan bentuk sanksi pidana tersebut dalam kategori
pidana tambahan sesuai dengan Pasal 10 KUHP tentang sanksi pidana
tambahan yang dapat diterapkan pada korporasi. Dibawah ini
penjelasan mengenai jenis-jenis pidana tambahan menurut KUHP yang
diterapkan kepada korporasi: a. Pencabutan Hak-hak Tertentu 1)
Pembekuan kegiatan usaha Pembekuan kegiatan usaha dalam hal ini
dapat dilakukan terhadap perusahaan content provider maupun
provider untuk jangka waktu tertentu atau selamanya atas suatu
kegiatan usaha tertentu maupun seluruh kegiatan usaha. Salah satu
gambaran mengenai pembekuan suatu kegiatan usaha yang dapat
dibebankan kepada provider, misalnya provider tersebut tidak
diperkenankan untuk membuat suatu layanan konten maupun bekerjasama
dengan perusahaan layanan konten selama jangka waktu tertentu.
Begitu pula dengan perusahaan penyedia layanan konten, dalam jangka
waktu tertentu perusahaan tersebut dibekukan kegiatan usahanya dari
penjualan layanan konten dengan provider-provider tertenttu.
Pembekuan kegiatan usaha bagi korporasi merupakan salah satu jenis
pidana tambahan berupa pencabutan hak-hak tertentu, dimana
korporasi kehilangan haknya untuk melakukan kegiatan usaha yang
memberikan keuntungan bagi korporasi tersebut. Sementara itu
menurut Prof. Dr. Sutan Remy Sjahdeini, pembekuan kegiatan usaha
terhadap korporasi hanya dilakukan untuk beberapa kegiatan usaha
dan dalam jangka waktu tertentu saja. Terhadap pembekuan semua
kegiatan dilakukan berdasarkan putusan hakim, dan dalam putusan
tersebut korporasi hanya tidak diperkenankan untuk melakukan semua
kegiatan usaha dalam jangka waktu tertentu. Beliau menambahkan
bahwa dalam hal korporasi dibekukan dalam jangka waktu selamanya,
maka dilakukanlah pembubaran korporasi atau dapat pula dilakukan
pencabutan izin usaha yag diikuti dengan likuidasi.[footnoteRef:23]
[23: Sutan Remy Sjahdeini, Op.Cit., hlm. 212.]
Hal ini menurut penulis tepat digunakan sebagai sanksi terhadap
provider dalam hal ini maupun perusahaan penyedia layanan konten
sebagai salah satu cara untuk menimbulkan efek jera dalam tujuan
pemidanaan terhadap subjek hukum yang melakukan tindak pidana agar
tidak melakukan tindakan melawan hukum dikemudian hari. Penjelasan
R. Soesilo dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Pasal 35 mengenai
hak terpidana yang dengan putusan hakim dapat dicabut salah satunya
adalah mengenai hak menjalankan mata pencaharian tertentu, seperti
dagang, perusahaan, dan lain-lain. Perusahaan penyedia layanan
konten maupun provider yang terbukti bersalah dapat dikenakan
pidana tambahan pencabutan hak tertentu seperti pembekuan kegiatan
usaha tersebut. Tindakan pembekuan dari suatu kegiatan selama
jangka waktu tertentu juga hendaknya sekaligus berada dalam
pengawasan aparat berwenang, misalnya sebagai salah satu cara
perbaikan kinerja perusahaan. 2) Perampasan aset korporasi oleh
negara Perampasan aset bagi korporasi yang telah melakukan tindak
pidana dapat dilakukan atas sebagian atau seluruh aset korporasi
yang digunakan baik secara langsung dalam melakukan tindak pidana
maupun yang secara tidak langsung berkaitan dengan tindak pidana
tersebut. Aset yang dirampas ini kemudian dapat diserahkan menjadi
milik salah satu BUMN yang memerlukan maupun dilelang kepada publik
yang tentunya memerlukan aset tersebut dalam rangka melakukan
kegiatan usahanya. Contoh dari aset yang dapat dirampas karena
berkaitan langsung dengan tindak pidana yang dilakukan adalah
komputer yang digunakan oleh korporasi dalam hal ini baik
perusahaan penyedia layanan konten dalam mengubah bahasa
pemrograman (coding) untuk menggagalkan proses unregister, maupun
aset secara tidak langsung seperti gedung, tanah tempat perusahaan
korporasi berkedudukan. 3) Pengambilalihan korporasi oleh negara
Sanksi yang dapat dibebankan terhadap korporasi adalah dengan
perampasan korporasi oleh negara, atau diambil alih oleh negara.
Akibat hukum yang ditimbulkan dari adanya pengambilalihan korporasi
oleh negara adalah bahwa saham pemilik korporasi beralih menjadi
milik negara. Dengan kata lain, korporasi tersebut kegiatan
usahanya dikelola oleh negara sebagai suatu BUMN (Badan Usaha Milik
Negara).
b. Pengumuman Putusan Hakim Salah satu bentuk sanksi pidana
tambahan yang dapat dibebankan kepada korporasi dalam hal ini
perusahaan penyedia layanan konten maupun provider adalah dengan
diumumkannya putusan hakim melalui media cetak dan/atau elektronik.
Dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan
Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang misalnya dalam Pasal 7
ayat (2) diatur sanksi pidana tambahan yang dapat dibebankan kepada
korporasi yakni salah satunya mengenai pengumuman putusan
hakim.[footnoteRef:24] Hal ini menimbulkan efek pencegahan yang
cukup berpengaruh terhadap korporasi yang memiliki rekam jejak
cukup baik dalam bidangnya, karena dengan adanya pengumuman melalu
media cetak dan/atau elektronik, pasti akan mempermalukan korporasi
itu sendiri dalam jangka pendek, begitu pula dalam jangka panjang
konsumen menjadi tidak percaya terhadap kinerja korporasi tersebut
dan mungkin saja beralih pada produk lainnya. Begitu pula dengan
yang dialami provider maupun perusahaan penyedia layanan konten
yang dilaporkan oleh konsumen tersebut, reputasi suatu korporasi
selama ini menjadi bahan pertaruhan karena kasus pencurian pulsa
yang dilakukan. Dengan pengumuman ini tentu menjadi sistem
pencegahan tersendiri bagi korporasi lain agar tidak terancam
sanksi pengumuman putusan hakim di media cetak dan/atau elektronik
yang dapat mempermalukan korporasinya tersebut. [24:
borneoclimatechange.org/berita-267-quo-vadis-tindak-pidana-korupsi-kehutanan.html.
(ditelusuri 10 Januari 201).]
Kendala yang terjadi jika dikaitkan dalam ilustrasi kasus diatas
adalah, bahwa sampai sekarang ini kasus pencurian pulsa yang
diderita para konsumen/pelanggan yang bernasib serupa terkesan
lambat, terbukti dengan sampai saat ini ada kasus yang belum sampai
pada pengadilan, dan sudah dua kali mengalami pengembalian berkas
dari kejaksaan ke kepolisian karena diduga kurang cukup bukti. 3.
Hubungan Sebab-Akibat Dalam Tindak Pidana Penyebaran Berita Bohong
dan Menyesatkan Dalam Kasus Pencurian Pulsa Bahwa hadirnya kejadian
atau peristiwa yang terjadi dalam kehidupan kita sehari-hari selalu
diiringi oleh satu atau rangkaian penyebab. Suatu peristiwa menjadi
rangkaian akibat dari peristiwa-peristiwa lain yang telah
terjadi/ada sebelumnya, sehingga menjadi satu lingkaran
sebab-akibat. disebut juga dengan hubungan kausal yang artinya
adalah sebab-akibat atau kausalitas. Hubungan kausalitas digunakan
untuk mencari dan menentukan ada atau tidaknya hubungan kausal
antara perbuatan dengan akibat yang muncul. Dalam Pasal 28 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik berbunyi sebagai berikut, Setiap orang dengan sengaja
dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang
mengakibatkan kerugian konsumen dalam Transaksi Elektronik. Frase
yang mengakibatkan kerugian konsumen menjadi faktor akibat dalam
suatu tindak pidana, sedangkan frase menyebarkan berita bohong dan
menyesatkan dikenal sebagai faktor sebab yang mendukung pada
akhirnya suatu akibat terjadi. Bahwa syarat adanya suatu akibat
dalam unsur delik tertentu, dalam hal ini Pasal 28 ayat (1)
mengenai unsur yang mengakibatkan kerugian konsumen termasuk dalam
delik materiil. Hal ini dapat dibuktikan dari adanya laporan
pelanggan salah satu provider di Indonesia terhadap kerugian pulsa
yang dideritanya sebesar ratusan ribu rupiah, dan laporan-laporan
dari masyarakat yang sering kita dengar mengenai pulsa mereka yang
berkurang secara tidak wajar meskipun jumlah kerugiannya yang
berbeda-beda antara satu konsumen dengankonsumen lainnya akibat
ulah provider maupun perusahaan content provider melalui kegiatan
usaha kerjasama berupa penyediaan layanan konten, begitu juga
dengan masyarakat lainnya, serta berdasarkan survey dari
YLKI/Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia mengenai potensi kehilangan
pulsa pada 29 juta pengguna yang terjebak kasus pencurian pulsa
melalui langganan layanan konten, yakni sebesar Rp.
147.000.000.000,00/bulan. Unsur menyebarkan berita bohong dan
menyesatkan sebagai peristiwa yang menjadi sebab suatu akibat
terjadi adalah melalui perubahan bahasa pemrograman (coding) yang
dilakukan terlebih dahulu oleh perusahaan penyedia layanan konten
sehingga tidak dapat dilakukan unregister terhadap layanan konten
tersebut. 4. Bahwa berdasarkan hasil riset yang dilakukan oleh
YLKI/Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia dengan adanya kasus
pencurian pulsa ini sekitar 220 juta nomor telepon selular yang
aktif, sekitar 30% (29 juta) pengguna yang terjebak kasus semacam
ini, dengan tarif berlangganan konten sebesar Rp. 5000,-/bulan,
maka terjadi potensi kehilangan sebesar Rp
147.000.000.000,00/bulan.[footnoteRef:25] [25: David Tobing, op.
cit., hlm. 7.]
Dari contoh survey diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa
kerugian yang diderita pelanggan suatu provider maupun perusahaan
content provider tidaklah sedikit. Mengingat para korban kejahatan
korporasi pada umumnya tidak menyadari bahwa dirinya merupakan
korban, tak terbayangkan jika kasus pencurian pulsa ini tidak
ditangani secara serius dan terkesan lambat, dengan pembiaran
seperti ini masyarakat akan semakin menderita kerugian dari segi
pencurian pulsa,demikian pula dengan jumlah korban yang pastinya
semakin bertambah, mengingat provider maupun perusahaan content
provider ini memiliki data-data pelanggan, dengan teknologi yang
dimiliki korporasi tersebut, mereka dapat semakin melancarkan
penyedotan pulsa terhadap pelanggan. Berdasarkan upaya untuk
memperjuangkan kepentingan korban yang telah dirugikan inilah
pertanggungjawaban pidana terhadap korporasi, khususnya perusahaan
penyedia layanan konten maupun provider dibebankan. Korporasi tidak
sekedar dituntut/ dibebankan pertanggungjawaban pidana terhadap
tindakan melawan hukum yang dilakukannya, namun juga demi
kepentingan korban yang harus dilindungi inilah seharusnya
pertanggungjawaban pidana terhadap korporasi yang baru ini
dilakukan dengan memberikan ganti kerugian (restitusi) terhadap
korban. Ini merupakan salah satu bentuk pertanggungjawaban
korporasi terhadap korban yang secara actual atau sudah mengalami
kerugian, tidak terbatas pada perlindungan hukum terhadap calon
korban seperti yang diatur dalam peraturan perundang-undangan yang
ada selama ini. Demikian pula halnya dengan tujuan pemidanaan
terhadap tindak pidana yang dilakukan oleh orang-perseorangan.
Tujuan pemidanaan terhadap individu berdasarkan teori prevensi
adalah sebagai perlindungan agar orang/masyarakat lain terlindungi,
aman, tidak terancam, tidak disakiti, tidak merasa takut, dan tidak
mengalami kejahatan. Pemidanaan terhadap korporasipun juga
mempunyai tujuan yang sama seperti terhadap orang-perseorangan.
Diharapkan berhentinya kegiatan korporasi dari perbuatan melawan
hukum, hendaknya melindungi masyarakat dari ancaman kerugian yang
lebih besar lagi. 5. Hambatan Hukum Dalam Pembebanan Tanggung Jawab
Pidana Korporasi Dalam Kasus Pencurian Pulsa Hambatan hukum
mengenai pembebanan pertanggungjawaban pidana terhadap korporasi
menjadi sulit untuk diterapkan mengenai perubahan peranan korporasi
masa kini seperti yang tertera dalam penjelasan RUU KUHP Buku I
angka 4 yang menjadikan korporasi sebagai subjek hukum, belum
diakomodir seutuhnya dalam produk hukum yang telah ada sebelumnya
seperti Kitab Undang-Undang Hukum Pidana kita. Memang dalam kasus
ini pertanggunggjawaban pidana korporasi sudah dapat dibebankan
terhadap korporasi melihat bahwa Undang-Undang Informasi dan
Tranksaksi Elektronik ini mengakui korporasi (badan hukum) sebagai
subjek hukum pidana, lebih lanjut lagi dalam undang-undang ini
diatur mengenai sanksi pidana yang dapat diterapkan atas tindak
pidana penyebaran berita bohong yang menyesatkan dalam Pasal 28
ayat (1) kemudian dijelaskan dalam pasal selanjutnya mengenai
sanksi pidana berupa denda yang dibebankan terhadap korporasi yang
melakukan tindak pidana sebagaimana yang dimaksud diatas dengan
beban pemberatan dua pertiga dari denda sebesar satu milyar rupiah.
Secara materiil memang peraturan pidana secara khusus
(Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik) telah
mengakomodir tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi, namun hal
ini kemudian berhalangan dengan hukum acara atau kita kenal dengan
KUHAP yang tidak mengatur secara formil (untuk mengatur bagaimana
cara menjalankan hukum materiil). Hal ini menyebabkan proses
penegakan hukum terhadap korporasi yang melakukan tindak pidana
dalam praktiknya menjadi sulit untuk dibuktikan. Selama ini
kebanyakan dari kasus korporasi yang terjadi, pengadilan memutuskan
pengurus korporasi saja yang akhirnya dipidana. Prinsip
pertanggungjawaban korporasi di Indonesia diatur diluar KUHP
sehingga segala pengaturan mengenai subjek tindak pidana korporasi
tidak berlaku secara umum, karena diatur dalam perangkat hukum
berupa undang-undang yang tersebar. Hal ini mengakibatkan
pengaturan mengenai pertanggungjawaban korporasi menjadi sangat
beragam, karena tidak terdapatnya kesepahaman. Misalnya dalam hal
pembebanan pertanggungjawaban pidana bagi korporasi yang terbukti
melakukan tindak pidana, dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999
tentang Kehutanan hanya dibebankan kepada pengurusnya saja, berbeda
dengan ketentuan dalam undang-undang lain yang menimbulkan
perbedaan pemahaman mengenai pertanggingjawaban pidana korporasi
itu sendiri. Dalam hukum pidana kita dikenal asas tiada pidana
tanpa kesalahan (actus non facit reum, nisi mens sit rea) yang
menjadi titik penentu dalam membebankan suatu pertanggungjawaban
terhadap subjek hukum yang melakukan tindak pidana. Seperti yang
dikatakan Gary Scanlan dalam bukunya bahwa an act does not make a
man guilty of a crime, unless his mind be also guilty atau dalam
istilah Indonesia dijelaskan dengan: tiada seorangpun yang
melakukan tindak pidana, dijatuhi hukuman pidana tanpa kesalahan.
Namun asas ini menjadi suatu penghalang bagi pembuktian mengenai
unsur kesalahan dalam tindak pidana yang dilakukan korporasi,
khususnya perusahaan penyedia layanan konten, maupun provider
mengingat korporasi tidak memiliki sikap kalbu, meskipun demikian
tindak pidana yang dilakukan oleh pengurus korporasi tersebut juga
dapat dipandang sebagai sikap kalbu dari korporasi itu
sendiri.[footnoteRef:26] [26: Gary Scanlan dan Christopher Ryan, An
Introduction to Criminal Law, Backstone Press Limited, London,
1985, hlm. 13.]
Pengetahuan dasar hukum dan teknis untuk para ahli hukum,
penegak hukum dalam rangka penyelidikan, penyidikan, penuntutan,
serta putusan mengenai cybercrime dan pertanggungjawaban pidana
korporasi yang masih minim. Bagi penyidik yang kurang ,mendapat
pemahaman mengenai bentuk kejahatan yang pengaturannya mengalami
perkembangan, akan menimbulkan dampak kurang menguasainya cara
untuk membuktikan suatu tindak pidana terjadi, mulai dari
pembuktian mengenai terjadinya tindak pidana cybercrime sampai
kepada cara menentukan pertanggungjawaban pidana yang dapat
dibebankan kepada korporasi itu sendiri. Terbukti dengan sampai
sekarang lembaga penegak hukum kita selalu mengenal
orang-perseoragan (pengurus suatau korporasi) yang dipidana.
Pelanggan layanan konten tidak sadar bahwa dirinya menjadi korban
pencurian pulsa, karena cenderung biaya yang dikeluarkan per tiap
bulan adalah kecil. Begitu juga keengganan korban untuk melaporkan
karena berpikir bahwa dengan memperkarakan perusahaan content
provider maupun provider akan mengeluarkan lebih banyak biaya, dan
kemungkinan untuk mendapatkan haknya kembali lebih kecil karena
dihadapkan dengan perusahaan-perusahaan dengan posisi hukum yang
kuat melalui ahli-ahli hukum yang bekerja di korporasi tersebut
yang digunakan untuk mencari celah dalam membela korporasinya,
sehingga menjadikan posisi konsumen menjadi semakin lemah. Dalam
sistem pertanggungjawaban pidana terhadap korporasi yang
bertitik-tolak pada perlindungan terhadap korban, diatur mengenai
sistem pidana pokok dan tambahan sebagai sanksi terhadap korporasi.
Hambatannya adalah dalam Pasal 10 KUHP kita diatur mengenai pidana
pokok berupa pidana denda yang sekali lagi KUHP hanya mengakomodir
bentuk pertanggungjawaban pidana ini terhadap subjek hukum natural
person/orang-perseorangan dan bukan korporasi. Sedangkan dalam
bentuk pertanggungjawaban pidana yang bersumber pada perlindungan
terhadap perlindungan korban pemberlakuan denda menjadi kurang
efektif untuk melindungi korban. Korban tetap menderita kerugian,
dan tak ada sistem dari pemberlakuan denda ini yang dapat mengganti
kerugian korban, karena denda yang diberlakukan bagi pengurus suatu
korporasi maupun korporasi itu sendiri yang menjadi milik negara
dan bukan pada korban. Sedangkan pertanggungjawaban pidana terhadap
korporasi yang efektif bertujuan untuk melindungi kepentingan
korban dari kerugian adalah dengan cara mencabut izin suatu
perusahaan dari kegiatan usaha tertentu agar korban tidak lagi
menderita kerugian. Namun pengaturan sanksi pidana pencabutan
hak-hak tertentu ini hanya diatur sebagai pidana tambahan di KUHP.
Pemberlakuan pencabutan hak-hak tertentu (izin kegiatan usaha)
sebagai pidana tambahan dan bukan sebagai pidana pokok menjadikan
pertanggungjawaban pidana terhadap korporasi yang bertujuan
perlindungan terhadap korban ini menjadi tidak tercapai. Selain itu
juga pengaturan mengenai pidana denda yang ada dalam Hukum Acara
Pidana masih menitikberatkan pada subjek hukum pidana
orang-perseorangan, karena masih mengadopsi dari peraturan yang
lama (KUHP), dan belum mengakomodir cara pelaksanaan dari hukum
materiil (hukum acara). Disini terlihat kelemahan dalam sistem
penegakkan bentuk pertanggungjawaban pidana terhadap korporasi dari
sisi formil yang tidak bisa mengatur cara menerapkan hukum
materiil, misalnya mengenai dalam KUHP telah diatur mengenai pidana
pokok mengenai denda, namun tidak diatur secara jelas mengenai
alokasi dana dari pidana denda tersebut diberikan pada siapa,
sehingga kedua hal ini tidak saling mendukung. Disamping itu juga
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana kita tidak mengatur mengenai
restitusi, sebagaimana kita tahu bahwa salah satu cara
pertanggungjawaban pidana korporasi yang bertujuan melindungi
kepentingan korban adalah melalui restitusi.
BAB IIIKESIMPULAN
Perkembangan cyberspace ternyata menimbulkan banyak tindak
pidana cybercrime berupa pencurian pulsa dengan gagalnya proses
unregister mengakibatkan pulsa konsumen berkurang. Atas tindakan
tersebut dapat diterapkan Pasal 28 ayat (1) Undang-Undang Nomor 11
Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik sebagai dasar
tuntutan. Badan hukum sebagai salah satu subyek hukum dapat
dibebankan pertanggungjawaban pidana yang diatur dalam Pasal 1
angka 21 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik. Adanya pengubahan algoritma bahasa
pemrograman terhadap permintaan unregister layanan konten, menjadi
bukti adanya unsur kesengajaan dari korporasi. Unsur tanpa hak
berhubungan dengan tindakan penyebaran berita bohong dan
menyesatkan. Sedangkan unsur menyebarkan berita bohong dan
menyesatkan dibuktikan melalui pengiriman suatu berita yang tidak
sebenarnya mengenai informasi tentang gagalnya proses unregister
melalui balasan SMS Maaf sistem sedang bermasalah, silakan ulangi
lagi yang dikirimkan oleh perusahaan penyedia layanan konten maupun
provider yang menyebabkan kerugian pada konsumen dimana tagihan
telepon bertambah atau pulsa konsumen menajdi berkurang. Dalam
kasus pencurian pulsa, pertanggungjawaban pidana dibebankan
terhadap korporasi dan bukan terhadap pengurusnya yang membuat
aktivitas korporasi dari tindakan melawan hukum tersebut dapat
dihentikan, sehingga dapat melindungi masyarakat dari adanya bahaya
kerugian yang diakibatkan oleh korporasi dalam hal ini perusahaan
penyedia layanan konten maupun provider yang melakukan tindak
pidana. Sanksi yang dapat dibebankan terhadap korporasi yakni
pidana pokok denda dengan pemberatan seperti yang telah tercantum
dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik sebesar dua
pertiga dari pidana denda yang dikemukakan dalam Pasal 45 sebesar
satu milyar rupiah.Sanksi pidana tambahan yang dapat diterapkan
adalah pembekuan kegiatan usaha terhadap perusahaan content
provider maupun provider untuk jangka waktu tertentu atas suatu
kegiatan usaha tertentu maupun seluruh kegiatan usaha, sebagai
salah satu cara untuk menimbulkan efek jera.
DAFTAR PUSTAKA
A. BukuAgus Budianto, Delik Suap Korporasi di Indonesia, CV
Karya Putra Darwati, Bandung, 2012Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum
Pidana, PT. Rineka Cipta, Jakarta, 2010David Tobing, Seminar
Tanggung Jawab Provider Dalam Penyediaan Konten Terkait Kasus
Pnecurian Pulsa, yang diselenggarakan Atmajaya Mootcourt Guild,
Jakarta, 1 Maret 2012Gary Scanlan dan Christopher Ryan, An
Introduction to Criminal Law, Backstone Press Limited, London,
1985Sutan Remi Sjahdeini, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi,
Grafiti Pers, Jakarta, 2006P.A.F. Lamintang, Dasar-Dasar Hukum
Pidana, PT.Citra Aditya, Bandung, 1997Wirjono Prodjodikoro,
Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia, Eresco, Bandung, 1989
B. Peraturan Perundang-undanganKitab Undang-Undang Hukum Pidana
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik Undang-Undang Darurat Nomor 7 Tahun 1955 tentang
Pengusutan, Penuntutan dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
C.
Lain-lainnyahttp://www.tabloidpulsa.co.id/news/2068-jebakan-sedot-pulsa-harusnya-tak-terjadi-jika-brti-bekerja-
efektif, (ditelusuri 26 Desember
2013).http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4e92d6ced120a/penipuan-dan-pencurian-pulsa-resahkan-banyak-kalangan,
(ditelusuri 30 Desember
2013)http://www.theglobejournal.com/sosok/david-tobing-musuh-
telkomsel-namun-pahlawan-korban-pencurian-pulsa/index.php,
(ditelusuri 26 Desember
2013).http://www.kabelpulsa.com/laporkan-penipuan-kirim-sms-ke-1166-telkomsel.html,
(ditelusuri 8 Januari
2014).http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4e92d6ced120a/penipuan-dan-pencurian-pulsa-
resahkan-banyak-kalangan, (ditelusuri 8 Januari
2014).http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4e92d6ced120a/penipuan-dan-
pencurian-pulsa-resahkan-banyak-kalangan, (ditelusuri 30 Desember
2013).