1 ANALISA KASUS KEJAHATAN BISNIS YANG DILAKUKAN OLEH KORPORASI DALAM PERSPEKTIF HUKUM PIDANA EKONOMI A. Pendahuluan 1. Latar Belakang Perkembangan dunia usaha yang sedemikian pesat telah membuat para pelaku usaha berlomba dan bersaing dalam rangka mengembangkan usahanya masing-masing. Hal ini menimbulkan persaingan usaha yang demikian ketat, khususnya dalam pasar liberal atau pasar bebas, termasuk di Indonesia saat ini. Dalam rangka memenangkan persaingan usaha tersebut, seringkali para pelaku usaha menggunakan cara-cara dan langkah yang melanggar aturan hukum, hal inilah yang kemudian disebut dengan kejahatan di bidang bisnis atau kejahatan bisnis. Persaingan kadang merupakan hal yang ditakuti atau dibenci. Padahal selayaknya persaingan tersebut harus dipandang sebagai hal positif. Dalam teori ilmu ekonomi persaingan yang sempurna (perfect competition) adalah suatu kondisi pasar (market) yang ideal. 1 Namun, dalam kehidupan nyata sulit ditemui pasar yang didasarkan pada persaingan yang sempurna, persaingan tetap dianggap sebagai hal yang esensial dalam ekonomi pasar (Competition in the market system is very important for its effective and responsive operation).” 2 Secara konseptual, kejahatan bisnis merupakan bagian dari tindak pidana ekonomi. Dalam hal ini, para pelaku kejahatan bisnis seringkali terkait dengan korporasi, karena korporasi merupakan salah satu subjek utama pelaku bisnis atau usaha. Dengan demikian sebuah kejahatan korporasi merupakan bagian dari kejahatan bisnis, akan tetapi sebuah kejahatan bisnis belum tentu merupakan kejahatan korporasi. Pernyataan tersebut sangat terkait erat dengan subjek pelaku kejahatan bisnis dan pertanggungjawaban pidananya. Kedudukan korporasi dalam sebuah kejahatan bisnis dapat berupa pelaku dapat juga sebagai korban. Dalam hal korporasi berkedudukan sebagai pelaku dan dapat dikenakan pertanggung jawaban pidana inilah yang kemudian kita kenal dengan istilah kejahatan korporasi. Kejahatan Korporasi (Corporate Crime) merupakan bagian dari White Collar Crime dan selalu merupakan kejahatan yang sangat mengganggu masyarakat, bahkan negara dalam artian yang sangat kompleks, sehingga dalam pendekatan mikro kejahatan korporasi ini merupakan bagian dari tindak pidana di bidang ekonomi. 3 1 Paul A. Samuelson, Economic An Introductory Analysis, Mc Graw-Hill Book Company,USA, 1984, hal. 36. 2 Hoon Hian Teck et.al, Economics: Theory an Aplication, Singapore, Mc Hill Book Co, Singapore, 1998, hal.14. 3 Indriyanto Seno Adji, Tindak Pidana Ekonomi, Bisnis dan Korpusi Perbankan, Modul Kuliah Kejahatan Bisnis, Tanpa Tahun, hal. 4
43
Embed
Analisa kasus kejahatan bisnis yang dilakukan oleh korporasi dalam perspektif kejahatan bisnis
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
1
ANALISA KASUS KEJAHATAN BISNIS YANG DILAKUKAN OLEH KORPORASI DALAM
PERSPEKTIF HUKUM PIDANA EKONOMI
A. Pendahuluan
1. Latar Belakang
Perkembangan dunia usaha yang sedemikian pesat telah membuat para pelaku usaha
berlomba dan bersaing dalam rangka mengembangkan usahanya masing-masing. Hal ini
menimbulkan persaingan usaha yang demikian ketat, khususnya dalam pasar liberal atau
pasar bebas, termasuk di Indonesia saat ini. Dalam rangka memenangkan persaingan
usaha tersebut, seringkali para pelaku usaha menggunakan cara-cara dan langkah yang
melanggar aturan hukum, hal inilah yang kemudian disebut dengan kejahatan di bidang
bisnis atau kejahatan bisnis. Persaingan kadang merupakan hal yang ditakuti atau dibenci.
Padahal selayaknya persaingan tersebut harus dipandang sebagai hal positif. Dalam teori
ilmu ekonomi persaingan yang sempurna (perfect competition) adalah suatu kondisi pasar
(market) yang ideal.1 Namun, dalam kehidupan nyata sulit ditemui pasar yang didasarkan
pada persaingan yang sempurna, persaingan tetap dianggap sebagai hal yang esensial
dalam ekonomi pasar (Competition in the market system is very important for its effective
and responsive operation).”2
Secara konseptual, kejahatan bisnis merupakan bagian dari tindak pidana ekonomi.
Dalam hal ini, para pelaku kejahatan bisnis seringkali terkait dengan korporasi, karena
korporasi merupakan salah satu subjek utama pelaku bisnis atau usaha. Dengan demikian
sebuah kejahatan korporasi merupakan bagian dari kejahatan bisnis, akan tetapi sebuah
kejahatan bisnis belum tentu merupakan kejahatan korporasi. Pernyataan tersebut sangat
terkait erat dengan subjek pelaku kejahatan bisnis dan pertanggungjawaban pidananya.
Kedudukan korporasi dalam sebuah kejahatan bisnis dapat berupa pelaku dapat juga
sebagai korban. Dalam hal korporasi berkedudukan sebagai pelaku dan dapat dikenakan
pertanggung jawaban pidana inilah yang kemudian kita kenal dengan istilah kejahatan
korporasi.
Kejahatan Korporasi (Corporate Crime) merupakan bagian dari White Collar Crime dan
selalu merupakan kejahatan yang sangat mengganggu masyarakat, bahkan negara dalam
artian yang sangat kompleks, sehingga dalam pendekatan mikro kejahatan korporasi ini
merupakan bagian dari tindak pidana di bidang ekonomi.3
1 Paul A. Samuelson, Economic An Introductory Analysis, Mc Graw-Hill Book Company,USA,
1984, hal. 36. 2 Hoon Hian Teck et.al, Economics: Theory an Aplication, Singapore, Mc Hill Book Co,
Singapore, 1998, hal.14. 3 Indriyanto Seno Adji, Tindak Pidana Ekonomi, Bisnis dan Korpusi Perbankan, Modul Kuliah
Kejahatan Bisnis, Tanpa Tahun, hal. 4
2
Dalam prakteknya, menentukan korporasi sebagai subjek hukum pidana sangat sulit,
dan masih menjadi perdebatan karena di dalam KUHP sendiri tidak dikenal korporasi
sebagai subjek hukum pidana. Meskipun demikian, sebagai sebuah tindak pidana khusus,
dalam beberapa peraturan perundang-undangan di Indonesia, telah diakui bahwa korporasi
merupakan salah satu subjek hukum pidana, seperti dalam Undang-Undang Nomor 19
Tahun 2004 tentang Kehutanan dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang
Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.
Dalam perspektif kejahatan bisnis, kedudukan dan pertanggung jawaban pidana
korporasi sebagai pelaku kejahatan bisnis, secara komprehensif dapat dijelaskan dan
dianalisa melalui hukum pidana ekonomi, hal ini mengingat bahwa kejahatan bisnis
merupakan bagian dari tindak pidana ekonomi. Tindak Pidana Ekonomi dalam arti luas
menurut Mardjono Reksodiputro adalah pelanggaran yang diancam dengan sanksi pidana
dan peraturan-peraturan di bidang keuangan, perdagangan dan perindustrian yang
kesemuanya diarahkan pada bidang bisnis terutama Big Scale Business.4
Berdasarkan definisi secara luas terhadap tindak pidana ekonomi tersebut, maka
dapat dikatakan bahwa segala bentuk kejahatan bisnis merupakan sub-kategori dari tindak
pidana ekonomi, oleh karena itu penjelasan dan analisa kedudukan serta pertanggung
jawaban pidananya, dalam kaitannya dengan korporasi sebagai subjek hukum pidana,
paling komprehensif dijelaskan dan dianalisa melalui perspektif hukum pidana ekonomi.
Penjelasan dan analisa dengan menggunakan persepektif kejahatan bisnis dan tindak
pidana ekonomi akan dipaparkan dalam analisa beberapa kasus kejahatan bisnis yang
melibatkan korporasi sebagai subjek hukum pidana, pada bagia selanjutnya dari tulisan ini.
2. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka dapat diidentifikasi beberapa masalah
sebagai berikut:
1) Bagaimana kedudukan korporasi dalam sebuah kejahatan bisnis berdasarkan
perspektif Hukum Pidana Ekonomi?
2) Bagaimana pertanggung jawaban pidana korporasi dalam sebuah kejahatan bisnis
dalam perspektif Hukum Pidana Ekonomi?
B. Tinjauan Pustaka
1. Pengertian dan Ruang Lingkup Tindak Pidana Ekonomi
Hukum pidana ekonomi adalah bagian dari hukum pidana yang mempunyai ciri
tersendiri yaitu sifat ekonomisnya. Banyak para praktisi dan akademisi memberikan definisi
4 Ibid, hlm.vii
3
tentang apa itu tindak pidana ekonomi,5 namun, secara umum, tindak pidana ekonomi dibagi
menjadi dua pengertian: pengertian dalam arti sempit dan arti luas. Terlepas dari
perbedaannya, kedua pengertian itu mempunyai persamaan yaitu keduanya mempunyai
motif ekonomi dan/atau mempunyai pengaruh negatif terhadap kegiatan perekonomian dan
keuangan negara serta dunia usaha.6
Secara umum dapat dikatakan bahwa tindak pidana ekonomi adalah tindakan-tindakan
di bidang ekonomi yang dilarang dan dapat dipidana baik dalam arti sempit maupun dalam
arti luas.7
Tindak pidana di bidang perekonomian dalam arti sempit adalah seluruh tindakan yang
tercantum Undang-Undang Darurat No. 7 Tahun 1955 tentang Pengusutan, Penuntutan dan
Peradilan Tindak Pidana Ekonomi. Tindak pidana jenis ini disebut sempit karena secara
substansial memuat sebagian kecil dari kegiatan ekonomi secara menyeluruh. Undang-
Undang Darurat ini mulai berlaku pada tanggal 13 Mei tahun 1955 karena keadaan yang
mendesak yang diakibatkan oleh kesulitan ekonomi pada saat itu. Undang-undang ini
dikeluarkan dengan harapan dapat mencegah terjadinya kerugian negara pada saat itu.
Menurut Undang-Undang Darurat No. 7 Tahun 1955, yang dimaksud dengan tindak
pidana ekonomi adalah:
1) Tindak Pidana Ekonomi berdasarkan Pasal 1 sub 1e:
a. pelanggaran di bidang devisa;
b. pelanggaran terhadap prosedur impor, ekspor/penyelundupan;
c. pelanggaran izin;
d. pelanggaran ketentuan barang-barang yang diawasi.
2) Tindak Pidana Ekonomi berdasarkan Pasal 1 sub 2e:
a. Pasal 26, dengan sengaja tidak memenuhi tuntutan pegawai pengusut
berdasarkan suatu ketentuan dalam undang-undang;
b. Pasal 32, dengan sengaja berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang
bertentangan dengan:
suatu hukuman tambahan sebagai tercantum dalam pasal 7 sub s, b, dan c;
suatu tindakan tata tertib sebagai tercantum dalam pasal 8;
suatu peraturan termaksud dalam pasal 10;
5 Kartin S. Hulukati, Kebijakan Formulasi Tindak Pidana Ekonomi Dengan Undang-undang No.
7/DRT/1955, Universitas Diponegoro, 2003, hal. 41 & 42. 6 Andi Hamzah, Hukum Pidana Ekonomi, Pradnya Paramita, 1993, hal. 12. 7 Para ahli menggunakan istilah lain seperti kejahatan bisnis, kejahatan kontemporer, kejahatan
kerah putih. Diskusi mengenai masing-masing istilah dapat dilihat di: Romli Atmasasmita, Hukum Kejahatan Bisnis: Teori & Praktik di Era Globalisasi, Jakarta: Prenadamedia Group, 2014, hal. 43-48; Reksodiputro, Kemajuan Pembangunan Ekonomi dan Kejahatan; Kumpulan Karang Buku Kesatu, Jakarta: Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum, Universitas Indonesia, 1994, hal. 1 & 2.
4
suatu tindakan tata tertib sementara atau menghindari hukuman tambahan
atau tindakan tata tertib sementara seperti tersebut diatas.
c. Pasal 33, dengan sengaja baik sendiri maupun perantara orang lain menarik
bagian-bagian kekayaan untuk dihindarkan dari: tagihan-tagihan, pelaksanaan
suatu hukuman atau tindakan tata tertib sementara, yang dijatuhkan
berdasarkan undang-undang.
3) Tindak Pidana Ekonomi berdasarkan Pasal 1 sub 3e: Pelanggaran sesuatu
ketentuan dalam undang-undang lain dan berdasarkan undang-undang lain.
Undang-Undang Darurat No. 7 tahun 1955 dalam perkembangannya telah mengalami
perubahan dan penambahan.8 Namun Undang-Undang Darurat ini tidak pernah dicabut
walaupun sudah lama mandul dan tidak diterapkan.9 Hal ini tidak terlepas dari tujuan
pembuat undang-undang yang menyatakan bahwa tindak pidana ekonomi hanya memiliki
sifat temporer atau sementara, artinya undang-undang tersebut hanya difungsikan pada saat
negara dalam keadaan kesulitan ekonomi dan sampai keadaan ekonomi pulih kembali.
Tindak pidana ekonomi dalam arti luas adalah semua tindak pidana di luar Undang-
Undang Darurat No. 7 Tahun 1955 tentang pengusutan, penuntutan, dan peradilan tindak
pidana ekonomi. Hal ini mencakup pelbagai tindak pidana di bidang perekonomian yang
diatur dalam peraturan perundang-undangan lainnya seperti Undang-Undang tentang
Korupsi, Undang-Undang tentang Perbankan, Undang-Undang Persaingan Perusahaan,
Undang-Undang tentang Asuransi, Undang-Undang tentang Merek, Undang-Undang
tentang Paten, Undang-Undang tentang Lingkungan Hidup dan lain-lain. Banyak diantara itu
undang-undang tersebut bersifat administratif artinya mengatur hal-hal yang bersifat
administratif tetapi disertai dengan sanksi pidana. Namun, ada juga undang-undang yang
khusus mengatur tindak pidana tertentu seperti Undang-undang tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi.
American Bar Association memberikan batasan mengenai economic crime:10 “any
nonvio. lent, illegal activity which principally involved deceit, m,isrepresentation,
concealment, manipulation, breach of trust, subterfuge, or illegal circumvention” (setiap
tindakan ilegal tanpa kekerasan, terutama menyangkut penipuan, perwakilan tidak sah,
penimbunan, manipulasi, pelanggaran kontrak, tindakan curang).
8 Undang-undang ini telah dirubah dengan Undang-undang No. 8 tahun 1958, LN. 1958-156
dan Perpu LB. 1960 No. 13, Perpu L. 1960 No. 74, Perpu LN 1960 No. 118, Perpu LN. 1962 No. 142, Perpu LN 1962 No. 43; UU LN 1964 No. 101; UU LN No. 42, Perpu LN 1962 No. 43 UU LN. 1964 No. 101, UU LN 1964 No. 131, Perpu No. 15 tahun 1962, UU No. 11 tahun 1965. Diskusi lebih lanjut dapat dilihat di: Hulukati, Kebijakan Formulasi Tindak Pidana Ekonomi Dengan Undang-undang No. 7/DRT/1955, hal. 45.
9 Undang-Undang ini masih digunakan sebagai dasar hukum dalam kasus pidana No. 87/Pid.B/2014/PN.Kds.
10 Dalam Frank E. Hagan, Introduction to Criminology (Theories, Methods, and Criminal Behavior), Nelson-Hall, Chicago, 1989, hal. 101.
5
Clarke (1990) telah mempergunakan istilah, Business Crimes. Kedalam istilah ini
termasuk tindak pidana yang berkaitan dengan dan terjadi di dalam kegiatan perdagangan,
keuangan (termasuk kegiatan di dalam pasar bursa), perbankan dan kegiatan perpajakan.
Bahkan tindak pidana yang berkaitan dengan masalah perburuhan dan tenaga kerja. Clarke
telah memperluas pengertian Business crime yaitu suatu kegiatan yang (selalu) memiliki
konotasi legitimate business dan tidak identik sama sekali dengan kegiatan suatu sindikat
kriminal. Dengan demikian Clarke membedakan secara tegas kegiatan yang
termasuk business crime disatu pihak dengan kegiatan yang dilakukan oleh suatu sindikat
kriminal yang juga bergerak di dalam kegiatan perdagangan. Bahkan Clarke telah
mengungkapkan dan menyebutkan dua wajah khas dan suatu business crime, yaitu:
pertama, suatu keadaan legitimatif untuk melaksanakan kegiatannya yang bersifat
eksploiatif, dan kedua, suatu akibat khas ialah, sifat kontestabilitas dan kegiatannya dalam
arti kegiatan yang dipandang ilegal menurut undang-undang masih dapat “diperdebatkan”
oleh para pelakunya.11
Selanjutnya, Clarke menguraikan beberapa karakteristik dari tindak pidana ekonomi,
yaitu sebagai berikut:12
1) Privacy
2) Lack of public Order Violation
3) Internal Detection and Control
4) The Limited Role of the Law
5) The Ambiguity of Business Crime
6) Business Offences as Politics
7) Sanctions
8) Consumerism and Business Accountability
9) Private Interest versus the Public Good
2. Korporasi
Korporasi juga disebut dalam bidang hukum perdata sebagai badan hukum atau
rechtspersoon. Secara etimologis kata korporasi (Belanda: corporatie, Inggris: corporation,
Jerman: corporation) berasal dari kata “corporatio” dalam bahasa latin. Seperti kata-kata
lainnya yang berakhiran dengan “tio” maka korporasi sebagai kata benda (substantium),
berasal dari kata kerja “corporare”. Corporare berasal dari kata corpus yang berarti
memberikan badan atau membadankan.Dengan demikian, corporatio adalah hasil dari
pekerjaan yang membadankan, atau dengan kata lain, badan yang dijadikan orang, badan
11 Clarke, Michael, Business Crime: Its Nature and Control, Polity Press, 1990, hal. 18-19. 12 Ibid, hal. 32.
6
yang diperoleh dengan perbuatan manusia sebagai lawan terhadap badan manusia yang
terjadi menurut alam.13
Korporasi merupakan istilah yang biasa digunakan oleh para ahli Hukum Pidana untuk
menyebut apa yang dalam bidang hukum lain, khususnya Hukum Perdata, sebagai badan
hukum atau dalam bahasa Inggris disebut legal entities atau corporation.14 Menurut
terminologi Hukum Pidana, bahwa “korporasi adalah badan atau usaha yang mempunyai
identitas sendiri, kekayaan sendiri terpisah dari kekayaan anggota.”15
Dalam Black’s Law Dictionary disebutkan pengertian korporasi sebagai badan hukum,
yaitu:16
an entity (ussualy business) having authority under law to act a single person distinct from the shareholder who own it and having rights to issue stock and exist indefinitely, a group or succession of person esthabilished in accordance with legal rules into a legal or justice person that’s the legal personality distinct from the natural persons who make it up exist indefinetly apart from them, and has the legal that’s constitution gives it.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia Korporasi adalah:17
1) Badan usaha yang sah; badan hukum;
2) Perusahaan atau badan usaha yang sangat besar atau beberapa perusahaan
yang dikelola dan dijalankan sebagai suatu perusahaan besar.
Berbicara mengenai pengertian korporasi, para sarjana memberikan pengertian yang
berbeda, menurut Utrecht korporasi adalah “suatu gabungan orang yang dalam pergaulan
hukum bertindak bersama-sama sebagai suatu subjek hukum tersendiri suatu personifikasi.
Korporasi adalah badan hukum yang beranggota, tetapi mempunyai hak dan kewajiban
sendiri terpisah dari hak dan kewajiban anggota masing-masing.”18
Satjipto Rahardjo, menyatakan:19 “Korporasi adalah suatu badan hasil ciptaan
hukum.Badan yang diciptakannya itu terdiri dari corpus, yaitu struktur fisiknya dan
kedalamnya hukum memasukan unsur animus yang membuat badan itu mempunyai
kepribadian.Oleh karena badan hukum itu merupakan ciptaan hukum kecuali penciptaannya,
kematiannya juga ditentukan oleh hukum”.
Pengertian badan hukum itu sendiri, sebenarnya terjadi sebagai akibat dari
perkembangan masyarakat menuju modernisasi. Dahulu di alam yang masih primitif ataupun
didalam kehidupan yang masih sederhana, kegiatan-kegiatan usaha dijalankan secara
13 Ali Chidir, Badan Hukum, Bandung: Alumni, 1999, hlm. 66. 14 Mahmud Mulyadi dan Feri Antoni Surbakti, Politik Hukum Pidana Terhadap Kejahatan
Korporasi, PT.Sofmedia, Jakarta, 2010, hal. 11. 15 Andi Hamzah, Terminologi Hukum Pidana, Jakarta, Sinar Grafika, 2008, hal. 34. 16 Mahrus Ali, Dasar-Dasar Hukum Pidana, Sinar Grafika, Jakarta, 2011, hal. 2. 17 Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 2001, hlm. 596 18 Dalam Chidir Ali, Op.Cit, hal. 64. 19 Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Bandung: Alumni 1986, hal., 110.
7
perorangan. Perkembangannya, tumbuh kebutuhan untuk menjalankan usaha secara
bekerja sama dengan beberapa orang yang mungkin atas dasar pertimbangan agar dapat
menghimpun modal yang lebih berhasil daripada dilaksanakan sendiri. Beranjak dari itu
kemudian timbul keinginan untuk membuat suatu wadah seperti badan hukum agar
kepentingan-kepentingan masing-masing lebih mudah dijalankan dan untuk membagi resiko
yang mungkin timbul dari bentuk kerjasama yang dijalankan.20
Adapun yang menjadi ciri-ciri sebuah badan hukum/korporasi adalah:21
1) Memiliki kekayaan sendiri yang terpisah dari kekayaan orang lain – orang yang
menjalankan kegiatan dari badan-badan hukum tersebut;
2) Memiliki hak-hak dan kewajiban yang terpisah dari hak dan kewajiban orang-
orang yang menjalankan kegiatan badan hukum tersebut;
3) Memiliki tujuan tertentu;
4) Berkesinambungan (memiliki kontinuitas) dalam arti keberadaannya tidak terikat
pada orang-orang tertentu, karena hak dan kewajibannya tetap tetap ada
meskipun orang yang menjalankannya berganti.
Ronald A. Anderson et. al., menggolongkan korporasi berdasarkan hubungannya
dengan publik, sumber kekuasaan dan sifat aktivitas dari korporasi itu sendiri. Dari
penggolongan tersebut maka dalam negara Anglo Saxon, jenisjenis korporasi dapat
diklasifikasikan sebagai berikut:22
1) Korporasi Publik, adalah sebuah korporasi yang didirikan oleh pemerintah yang
mempunyai tujuan untuk memenuhi tugas administrasi di bidang urusan publik,
contohnya pemerintahan Kabupaten atau Kota;
2) Korporasi Privat, yaitu korporasi yang didirikan untuk kepentingan pribadi yang
dapat bergerak di bidang industri dan perdagangan, contohnya PT. Garuda Tbk;
3) Korporasi Publik Quasi, atau yang lebih dikenal dengan korporasi yang melayani
kepentingan umum (public service), contohnya PT. Kereta Api Indonesia,
Perusahaan Air Minum dan Perusahaan Listrik Negara.
Memperhatikan penggolongan korporasi di negara Anglo Saxon tersebut di atas, maka
di Indonesia, penggolongan badan hukum dilihat dari jenisnya dapat dibedakan menjadi dua
yakni badan hukum publik dan badan hukum privat. Badan hukum publik misalnya Negara
Republik Indonesia, Pemerintah Kota/Kabupaten dan sebagainya, sedangkan badan hukum
privat misalnya Perseroan Terbatas, Yayasan dan lain sebagainya. Kriteria untuk
20 Mahmud Mulyadi dan Feri Antoni Surbakti, Op.Cit., hal., 13. 21 Mochtar Kusumaadmadja dan B. Arief Sidharta, Pengantar Ilmu Hukum: Suatu Pengenalan
Pertama Ruang Lingkup Berlakunya Ilmu Hukum, Bandung: Alumni, 2000, hal. 81. 22 Dalam Dwidja Prayitno Kebijakan Legislasi Tentang Sistem Pertanggungjawaban Pidana
Korporasi di Indonesia, Penerbit CV. Utomo, Bandung, 2004, hal. 14-15
8
menentukan suatu badan hukum dikatakan badan hukum publik atau badan hukum privat
ada dua yaitu:23
1) Dilihat dari pengelolaannya, badan hukum publik didirikan oleh
Pemerintah/Negara, sedangkan badan hukum privat didirikan orang-
perseorangan;
2) Dilihat dari kepentingannya, pada prinsipnya didirikannya badan hukum tersebut
apakah bertujuan untuk kepentingan umum atau tidak; artinya jika lapangan
pekerjaannya bertujuan untuk kepentingan umum, maka badan hukum tersebut
merupakan badan hukum publik, akan tetapi jika tujuannya untuk kepentingan
perseorangan maka badan hukum itu merupakan badan hukum privat.
3. Pertanggungjawaban Pidana Korporasi
Pertanggungjawaban pidana, dalam istilah asing disebut juga Torekenbaardheid atau
criminal responsibility, yang menjurus kepada pemidanaan pelaku dengan maksud untuk
menentukan apakah seseorang terdakwa atau tersangka dipertanggungjawabkan atas suatu
tindak pidana yang terjadi atau tidak. Pertanggungjawaban pidana itu adalah diteruskannya
celaan objektif yang ada pada tindak pidana.24
Terdapat dua pandangan tentang pertanggungjawaban pidana, yaitu pandangan
monistis dan pandangan dualistis. Pandangan monistis atau monisme dikemukakan antara
lain oleh Simon. Menurut aliran monisme, unsur-unsur strafbaar feit itu meliputi baik unsur
perbuatan yang lazim disebut unsur objektif, maupun unsur pembuat yang lazim dinamakan
unsur subjektif. Oleh karena itu, dicampurnya unsur perbuatan dan unsur pembuatnya, maka
dapat disimpulkan bahwa strafbaar feit adalah sama dengan syarat-syarat penjatuhan
pidana, sehingga seolah-olah dianggap bahwa kalau terjadi strafbaar feit, maka pasti
pelakunya dapat dipidana.25
Penganut pandangan monistis tentang strafbaar feit atau criminal act berpendapat,
bahwa unsur-unsur pertanggungjawaban pidana yang menyangkut pembuat delik meliputi:26
1) Kemampuan bertanggungjawab;
2) Kesalahan dalam arti luas, sengaja dan/atau kealpaan;
3) Tidak ada alasan pemaaf.
Disisi lain, dalam pandangan dualistis, untuk adanya Strafvoraussetzungen (syarat-
syarat penjatuhan pidana terhadap pembuat) diperlukan lebih dahulu pembuktian adanya
23 Mahmud Mulyadi dan Feri Antoni Surbakti, Op.Cit., hal. 14. 24 Ibid, hal. 34. 25 Muladi dan Dwidja Priyatno, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, Cet. Ke-1, Jakarta :
Kencana Prenada Media Group, 2010, hal. 63. 26 Andi Zainal Abidin, Hukum Pidana 1, Sinar Grafika, Jakarta, 2010, hlm. 44-45
9
strafbare handlung (perbuatan pidana), lalu setelah itu dibuktikan schuld atau kesalahan
subjektif.27
Dalam Hukum Pidana konsep liability atau “pertanggungjawaban” merupakan konsep
sentral yang dikenal dengan ajaran kesalahan. Dalam bahasa latin ajaran kesalahan dikenal
dengan sebutan mens rea. Doktrin mens rea ini dilandaskan pada konsepsi bahwa suatu
perbuatan tidak mengakibatkan seseorang bersalah kecuali jika pikiran orang itu jahat. Disini
berlaku apa yang disebut asas “tiada pidana tanpa kesalahan” (keine strafe ohne schuld
atau geen straf zonder schuld atau nullapoena sine culpa). Dalam Hukum Pidana Inggris
asas ini dikenal dalam bahasa Latin yang berbunyi “actus non facit reum misi mens sit rea”
(an act does not make a person guilty, unless the mind is guilty).28
Terkait dengan kesalahan tersebut, terdapat beberapa pengertian kesalahan menurut
beberapa ahli yaitu sebagai berikut:29
1) Mazger mengatakan: “Kesalahan adalah keseluruhan syarat yang memberi dasar
untuk adanya pencelaan pribadi terhadap si pembuat pidana.
2) Simons mengartikan kesalahan itu sebagai pengertian yang “social-ethisch”, dan
mengatakan antara lain: “sebagai dasar untuk pertanggungjawaban dalam Hukum
Pidana ia berupa keadaan psikis (jiwa) dari si pembuat, dan hubungannya
terhadap perbuatannya dan di dalam arti bahwa berdasarkan psikis (jiwa) itu
perbuatannya dicelakan kepada si pembuat.
3) Van Hamel mengatakan bahwa “kesalahan dalam suatu delik merupakan
pengertian psikologis, perhubungan antara keadaan jiwa si pembuat dan
terwujudnya unsur-unsur delik karena perbuatannya. Kesalahan adalah
pertanggungjawaban dalam hukum (schuld is de verantwoordelijkheidrechtens)”.
4) Pompe mengatakan antara lain: “pada pelanggaran norma yang dilakukan karena
kesalahannya, biasanya sifat melawan hukum itu merupakan segi luarnya. Yang
bersifat melawan hukum adalah perbuatannya. Segi dalamnya yang bertalian
dengan kehendak si pembuat adalah kesalahan. Kesalahan ini dapat dilihat dari
dua sudutmenurut akibatnya ia adalah hal yang dapat dicelakan (verwijtbaarheid)
dan menurut hakikatnya ia adalah hal yang dapat dihindarkannya
(vermijdbaarheid) perbuatan melawan hukum”.
Dari pendapat-pendapat diatas, dapat dikatakan bahwa kesalahan itu mengandung
unsur pencelaan terhadap seseorang yang telah melakukan tindak pidana.Pencelaan disini
bukan pencelaan berdasarkan kesusilaan, melainkan pencelaan berdasarkan hukum yang
27 Muladi dan Dwidja Prayitno, Op.Cit., hlm. 66 28 Moejiatno, Azas-Azas Hukum Pidana, Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada, 1987, hal. 153. 29 Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, Bandung: Alumni, 1986, hal. 88-89
10
berlaku. Sebagaimana yang dikatakan oleh Sudarto bahwa untuk adanya kesalahan maka
harus ada pencelaan ethics, betapa pun kecilnya.30
Sehubungan dengan kemampuan bertanggung jawab korporasi sebagai pelaku tindak
pidana, timbul pertanyaan kriteria apa yang digunakan untuk menentukan kemampuan
bertanggung jawab korporasi sebagai subjek Hukum Pidana mengingat bahwa korporasi
tidak mempunyai sifat kejiawaan sebagaimana halnya dengan manusia alamiah.
Menurut Rolling, sebagaimana yang dikutip oleh Mahmud Mulyadi, badan hukum
dapat diperlakukan sebagai pelaku tindak pidana, bilamana perbuatan yang terlarang yang
pertanggungjawabannya dibebankan kepada badan hukum (korporasi) dilakukan dalam
rangka tugas dan pencapaian tujuan-tujuan badan hukum tersebut. Menurutnya kriteria ini
didasarkan pada delik fungsional. Sehubungan dengan hal tersebut, yang dimaksud dengan
delik fungsional adalah delik-delik yang berasal dari ruang lingkup atau suasana sosial
ekonomi dimana dicantumkan syarat-syarat bagaimana aktivitas sosial atau ekonomi
tertentu harus dilaksanakan dan terarah atau ditujukan pada kelompok-kelompok
fungsionaris tertentu.31
Mencermati ajaran atau konsep pelaku fungsional, yakni perbuatan fisik seseorang
yang sebenarnya telah menghasilkan perbuatan fungsional lainnya, maka kemampuan
bertanggung jawab masih berlaku dalam mempertanggungjawabkan korporasi dalam
Hukum Pidana. Korporasi tidaklah dibentuk tanpa suatu tujuan dan dalam pencapaian tujuan
korporasi tersebut selalu diwujudkan melalui perbuatan manusia alamiah. Dengan demikian
kemampuan bertanggung jawab oleh orang-orang yang berbuat untuk dan atas nama
korporasi dapat dialihkan menjadi kemampuan bertanggung jawab korporasi sebagai subjek
tindak pidana. Diterimanya korporasi sebagai subjek tindak pidana oleh beberapa peraturan
perUndang-undangan diluar KUHP termasuk didalam Rancangan KUHP menunjukkan
bahwa terjadi perluasan mengenai siapa yang dikatakan sebagai pelaku tindak pidana,
dimana suatu badan hukum (korporasi) apabila dituntut telah melakukan tindak pidana baik
dilakukan dengan kesengajaan atau kealpaan.32
Membicarakan korporasi sebagai pelaku tindak pidana, Mardjono Reksodiputro,
sebagaimna yang dikutip Mahmud Mulyadi, menyatakan bahwa cara berpikir dalam hukum
perdata dapat diambil alih ke dalam hukum pidana. Sebelumnya dalam hukum perdata
terdapat perbedaan pendapat apakah suatu badan hukum dapat melakukan perbuatan
melawan hukum (onrechtmatigedaad). Namun melalui asas kepatutan dan keadilan sebagai
dasar utama, maka Ilmu Hukum Perdata menerima suatu badan hukum dapat dianggap
30 Ibid, hal. 89. 31 Mahmud Mulyadi dan Feri Antoni Surbakti, Op.Cit., hlm. 46 32 Ibid, hal. 47.
11
bersalah yang merupakan perbuatan yang melawan hukum, lebih-lebih dalam lalu lintas
perekonomian.33
Ajaran ini mendasarkan pada pemikiran bahwa apa yang dilakukan oleh pengurus
harus dapat dipertanggungjawabkan kepada badan hukum, karena pengurus dalam
bertindak tidak melakukannya atas hak atau kewenanngannya sendiri, tetapi melainkan atas
hak atau kewenangan badan hukum yang bersangkutan. Dengan demikian bahwa badan
hukum juga tidak dapat melepaskan diri dari kesalahan (kesengajaan atau kealpaan) yang
dilakukan oleh pengurusnya. Cara berpikir dalam Hukum Perdata ini dapat diambil alih ke
dalam Hukum Pidana.34
C. Pembahasan
1. Analisa Kasus Korupsi PT. Aditya Rezki Abadi (Putusan Nomor:
53/Pid.Sus/2012/PN.Makassar)
a. Resume Putusan
1) Terdakwa
Dalam kasus ini, yang menjadi terdakwa adalah sebagai berikut:
Nama Lengkap : Muhammad Jasmin Dawi bin Semi;
Tempat Lahir : Soppeng;
Umur/Tanggal Lahir : 37 tahun/ 27 Desember 1972;
Jenis Kelamin : Laki-laki;
Kebangsaan : Indonesia;
Tempat Tinggal : Perum Pesona Taman Dahlia Blok a/14,
RT/RW 01/01, Kelurahan Mattoangin,
Kecamatan Mariso Kota Makassar;
Agama : Islam
Pekerjaan : Wiraswasta
Jabatan : Direktur Utama PT. Aditya Rezki Abadi
Makassar.
2) Kasus Posisi
Bahwa Terdakwa Muhammad Jusmin Dawi bin Semi selaku Direktur PT.ARA, Pada
tahun 2005 telah mengajukan permohonan pembiayaan multiguna kendaraan bermotor
kepada PT.BTN (persero) Cabang Syariah Makassar, sehubungan dengan adanya produk
pembiayaan kendaraan bermotor yang dalam pelaksanaannya berpedoman pada Surat
Edaran Direksi PT.BTN (Persero) Nomor : 6/DIR/DSYA/2005 tanggal 05 April 2005 tentang
33 Ibid, hal. 48. 34 Ibid.
12
Petunjuk Pelaksanaan Pembiayaan Multiguna BTN Syariah dan Standar Operating Prosedur
Pembiayaan Multiguna BTN Syariah (SOP).
Bahwa untuk mengajukan permohonan pembiayaan kendaraan bermotor pada
PT.BTN (Persero) Cabang Syariah Makassar, pada tahun 2005 sampai dengan tahun 2008
Terdakwa Muhammad Jusmin Dawi bin Semi selaku Direktur PT.ARA, memerintahkan
Syarifuddin Ashari selaku Manajer Operasional PT.ARA dan saksi Andi Basri Esa selaku
Manajer Marketing PT.ARA, mencari pihak lain yaitu orang perorangan yang bersedia
membantu PT.ARA untuk menjadi pihak yang seolah-olah sebagai calon nasabah yang
Seluruh rangkaian perbuatan Muhammad Jusmin Dawi bin Semi selaku Direktur
Utama PT. ARA bersama- sama dengan Syarifuddin Ashari selaku Manager
Operasional PT. ARA dalam perkara ini adalah berkaitan dengan Permohonan
serta perjanjian kerjasama yang dilakukan antara PT. ARA dan PT. BTN (Persero)
Cabang Syariah Makassar. Bahwa dalam permohonan, penandatanganan, serta
pelaksanaan perjanjian kerjasama serta SOP tersebut dilakukan oleh Muhammad
Jusmin Dawi bin Semi yang bertindak untuk dan atas nama korporasi dalam
kedudukannya sebagai direktur utama PT. ARA.
Dengan demikian, pengajuan nasabah fiktif serta tidak disetornya BPKB dan faktur
tersebut juga dilakukan oleh Muhammad Jusmin Dawi bin Semi selaku Direktur
Utama PT. ARA dalam kedudukannya sebagai directing mind korporasi bersama-
sama dengan Syarifuddin Ashari selaku Manager Operasional PT. ARA dan
memerintahkan Manager Marketing berserta staffnya tersebut, pada dasarnya juga
dilakukan berdasarkan ruang lingkup serta maksud dan tujuan korporasi dalam
melaksanakan perjanjian kerjasama pengadaan kendaraan bermotor dan
pemenuhan SOP pembiayaan multiguna PT. BTN (Persero) cabang Syariah
Makassar.
(3) Tindak pidana dilakukan oleh pelaku atau atas perintah pemberi perintah dalam
rangka tugasnya dalam korporasi;
Analisis terhadap unsur dan syarat ketiga ini hampir mirip dengan analisis pada
unsur dan syarat pertama. Pertanggungjawaban pidana dapat dibebankan kepada
korporasi bilamana tindak pidana dilakukan oleh pelaku atau atas perintah
pemberi perintah dalam rangka tugasnya dalam korporasi. Maka berkaitan dengan
unsur dan syarat ketiga ini, Terdakwa bertindak selaku Direktur Utama PT. ARA
dalam rangka tugasnya dalam korporasi yakni sebagai pengambil kebijakan
(directing mind) dari korporasi sesuai dengan anggaran dasar, dimana Terdakwa
mempunyai kedudukan yang menentukan sehingga bisa dianggap sebagai
korporasinya itu sendiri.
(4) Tindak pidana tersebut dilakukan dengan maksud memberikan manfaat bagi
korporasi;
Sutan Remy Sjahdeini menegaskan bahwa unsur dan syarat ini mengandung
pengertian bahwa pertanggungjawaban atas dilakukannya tindak pidana tersebut
menjadi pertanggungjawaban korporasi hanya apabila personel yang melakukan
perbuatan tersebut sejak semula memiliki tujuan atau maksud agar tindak pidana
19
tersebut memberikan manfaat bagi korporasi baik secara finansial maupun non-
finansial.41
Sedangkan menurut Hasbullah F. Sjawie, pengertian dengan maksud untuk
memberikan manfaat bagi korporasi, bukan berarti bahwa dalam hal ini pelaku
lahiriah yang melakukan perbuatan pidana tidak boleh memperoleh keuntungan
secara langsung dari perbuatannya. Sepanjang yang dilakukannya untuk
kepentingan dan memberikan manfaat bagi korporasi, maka meskipun dalam
melakukan tindak pidana tersebut pelaku juga memperoleh keuntungan pribadi,
akan tetapi tetap saja korporasi yang bersangkutan harus bertanggungjawab
secara pidana.42
Perbuatan Terdakwa Muhammad Jusmin Dawi bin Semi selaku Direktur Utama
PT. ARA yang dilakukan secara melawan hukum menunjukkan bahwa perbuatan
Terdakwa telah memberikan manfaat baik secara finansial maupun non-finansial
kepada Korporasi. Hal ini dibuktikan dari alat bukti surat daftar kendaraan PT.
ARA tahun 2005 s/d tahun 2009 yang menunjukkan terdapat 9 (sembilan) unit
mobil nasabah yang sesuai identitas yang terdapat pada BTN Syariah namun
kenyataannya kendaraan yang dimaksud dikuasi oleh PT. ARA. Selain itu,
pencairan dana sebesar Rp.72.049.787.175,00 (tujuh puluh dua milyar empat
puluh sembilan juta tujuh ratus delapan puluh tujuh ribu seratus tujuh puluh lima
rupiah) untuk fasilitas pembiayaan multiguna 785 orang nasabah dilakukan
melalui Rekening Bank PT.ARA yang ada pada Bank BTN Syariah Cabang
Makassar, dimana Muhammad Jusmin Dawi bin Semi bertindak selaku Direktur
Utama PT. ARA pada kenyataannya memiliki kemampuan dan kapabilitas untuk
mengakses/melakukan transaksi perbankan dengan menggunakan nomor
rekening PT. ARA yang berada di BTN Kantor Cabang Syariah Makassar tersebut
dan selanjutnya menggunakan dana yang tertampung di dalam rekening PT. ARA
tersebut untuk membiayai kegiatan operasional dari PT. ARA.
(5) Pelaku atau pemberi perintah tidak memiliki alasan pembenar atau alasan pemaaf
untuk dibebaskan dari pertanggungjawaban pidana;
Berdasarkan fakta yang terungkap di persidangan, Terdakwa Muhammad Jusmin
Dawi bin Semi yang diidentifikasi sebagai directing mind dari PT. ARA tidak
memiliki alasan pembenar dan alasan pemaaf untuk dibebaskan dari
pertanggungjawaban pidana. Sehingga tidak adanya alasan pembenar dan alasan
pemaaf juga dapat diterapkan terhadap korporasi.
41 Ibid, hal. 120-121. 42 Hasbullah F. Sjawie, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Pada Tindak Pidana Korupsi,
2015, hal. 195.
20
(6) Bagi tindak pidana yang mengharuskan adanya unsur perbuatan (actus reus) dan
unsur kesalahan (mens rea), kedua unsur tersebut tidak harus terdapat pada satu
orang saja;
Menurut Sutan Remy Sjahdeini, orang yang melakukan Actus reus tidak perlu
harus memiliki sendiri mens rea yang menjadi dasar bagi tujuan dilakukannya
actus reus tersebut, asalkan dalam hal orang itu melakukan actus reus yang
dimaksud adalah menjalankan perintah atau suruhan orang lain yang memiliki
sikap kalbu yang menghendaki dilakukannya mens rea tersebut oleh orang yang
disuruh. Dengan gabungan antara actus reus yang dilakukan oleh pelaku yang
tidak memiliki mens rea dan mens rea yang dimiliki oleh orang yang
memerintahkan atau menyuruh actus reus itu dilakukan, maka secara gabungan
(agregasi) terpenuhilah unsur actus reus dan mens rea. Korporasi tetap harus
bertanggungjawab atas tindak pidana yang dilakukan karena terpenuhi syarat
adanya mens rea dan actus reus meskipun sebagai hasil agregasi (gabungan)
dari beberapa orang.43
Berdasarkan pertimbangan hakim terhadap unsur pasal 55 ayat (1) ke- 1 KUHP
pada perkara aquo, menyatakan bahwa berdasarkan fakta-fakta yang terungkap
di persidangan, telah tampak adanya hubungan kerjasama yang dilakukan oleh
dua orang atau lebih yang telah mengakibatkan kerugian keuangan negara yang
tidak akan terjadi apabila tidak ada kerjasama Terdakwa Muhammad Jusmin Dawi
bin Semi selaku Direktur utama PT. ARA dan Abdurrachman Salama (Almarhum)
selaku Kepala Cabang BTN Syariah, sesuai perjanjian kerjasama Nomor:
05/PKS/KCS.MKSNI/2005 sebagai sarananya dengan adanya kerjasama
melaksanakan rencana mereka dan kerjasama itu telah demikian lengkap dan
sempurna. Terdakwa Muhammad Jusmin Dawi bin Semi selaku Direktur Utama
PT. ARA sesuai keterangannya di hadapan persidangan menerangkan bahwa
dirinya memiliki saham sebesar 70% pada perusahaan PT. ARA, dimana dalam
kegiatan perusahaan tersebut dibantu oleh seorang Direktur Operasional yaitu
Syarifuddin Ashari, Manager Marketing Andi Basri serta Manager Keuangan yang
dibantu oleh beberapa staf dan staf lepas.
Dengan demikian, adanya mens rea serta actus reus dari Muhammad Jusmin
Dawi bin Semi selaku Direktur Utama PT. ARA yang merupakan “directing mind”
dari korporasi tersebut, serta beberapa Manager, staf dan staf lepas PT. ARA
yang melakukan perbuatan turut serta melakukan, maka secara gabungan
43 Sutan Remy Sjahdeini, Op.Cit, hal. 121-122
21
(agregasi) terpenuhilah unsur actus reus dan mens rea dari korporasi sehingga
dapat dibebani pertanggungjawaban pidana.
Meskipun pemidanaan dalam perkara Nomor 53/Pid.Sus/2012/PN.Makassar sudah
sesuai dengan teori tujuan pemidanaan serta memenuhi prinsip pengembalian kerugian
keuangan negara, namun pembebanan pertanggungjawaban pidana serta pemidanaan
tetap harus dilakukan terhadap korporasi sesuai dengan analisis penulis pada pembahasan
sebelumnya. Hal ini disebabkan karena tindak pidana korupsi yang dilakukan dalam lingkup
korporasi adalah extraordinary crime yang membutuhkan extra ordinary measures. Sehingga
pembebanan pertanggungjawaban hanya kepada pengurus dirasa belum cukup dalam
memberikan efek jera kepada korporasi begitupun dalam mencegah kejahatan korporasi
lainnya.
Muladi dan Dwidja Priyatno menyatakan bahwa di berbagai negara menganut
“bipunishment provisions” dalam menuntut dan memidana korporasi. Bipunishment
Provisions ini berarti bahwa baik pelaku (pengurus) maupun korporasi itu sendiri dapat
dijadikan subjek pemidanaan.44 Sementara itu, yang menjadi persoalan adalah tidak semua
jenis sanksi pidana yang diatur dalam pasal 10 KUHP dapat diberlakukan kepada korporasi
sebagaimana halnya manusia alamiah (naturaljik persoon), seperti pidana mati, pidana
penjara, dan pidana kurungan. Hamzah Hatrik menyatakan bahwa jika korporasi menjadi
subjek hukum pidana, maka sanksi pidana yang dapat dijatuhkan bukan pidana penjara
melainkan pidana denda atau ganti kerugian beserta pidana tambahan yang lain.45
Ketentuan pemidanaan korporasi dalam tindak pidana korupsi diatur dalam Pasal 20
ayat (7) UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang menyatakan bahwa pidana pokok
yang dapat dijatuhkan kepada korporasi hanya pidana denda dengan ketentuan maksimum
pidana ditambah 1/3.
Sehingga, jika korporasi dalam kasus ini dapat dibebankan pertanggungjawaban
pidana sebagaimana analisis yang dilakukan oleh Penulis pada pembahasan sebelumnya,
maka korporasi dapat diberikan sanksi pidana denda dengan ketentuan maksimum pidana
denda ditambah 1/3. Namun, berdasarkan ketentuan pasal 20 ayat (7) UU Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi tersebut masih terdapat permasalahan dalam hal pidana denda yang
dijatuhkan kepada korporasi, karena jika korporasi tidak dapat membayar denda sesuai
sanksi pidana yang dijatuhkan, maka pidana denda terhadap korporasi tersebut tidak dapat
disertai dengan pidana kurungan pengganti sesuai dengan pasal 10 angka (3) KUHP yakni
pidana kurungan. Karena, pidana kurungan adalah pidana badan yang tidak mungkin
diterapkan kepada korporasi.
44 Muladi dan Dwidja Priyatno, Op.Cit., Hal. 143 45 Hamzah Hatrik dalam Barda Nawawi Arief, Perbandingan Hukum Pidana, Raja Grafindo
Persada, Jakarta, 2002, hal. 37.
22
Meskipun demikian, dimungkinkan pula penjatuhan pidana tambahan terhadap
korporasi sesuai dengan ketentuan pasal 18 ayat (1) dan ayat (2) UU Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi yakni:
(1) Selain pidana tambahan sebagaimana yang dimaksud dalam Kitab- undang- undang Hukum Pidana, sebagai pidana tambahan adalah : a. Perampasan benda bergerak yang berwujud atau yang tidak berwujud atau
barang tidak bergerak yang digunakan untuk atau diperoleh dari tindak pidana korupsi termasuk perusahaan milik terpidana di mana tindak pidana korupsi dilakukan, begitu pula barang yang menggantikan barang-barang tersebut;
b. Pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyak-banyaknya sama dengan harta benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi;
c. Penutupan seluruh atau sebagian perusahaan untuk waktu paling lama 1 (satu) tahun;
d. Pencabutan seluruh atau sebagian hak- hak tertentu atau penghapusan seluruh atau sebagian keuntungan tertentu, atau dapat diberikan oleh Pemerintah kepada terpidana.
(2) Jika terpidana tidak membayar uang pengganti sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) huruf b paling lama 1 (satu) bulan sesudah putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, maka harta bendanya dapat disita oleh jaksa dan dilelang untuk menutupi uang pengganti tersebut.
Dengan demikian, jika model pertanggungjawaban pidana korporasi yang diterapkan
adalah pembebanan pertanggungjawaban pidana kepada pengurus dan korporasi, apabila
pemidanaan yang diberikan kepada pengurus adalah pembayaran uang pengganti sebesar
yang diperoleh oleh pengurus, maka korporasi akan dibebankan pidana tambahan
pembayaran uang pengganti sebesar yang diperoleh oleh korporasi diluar dari yang
diperoleh oleh pengurus sehingga akan saling menutupi kerugian keuangan negara dan
tujuan pengembalian kerugian keuangan negara akan tercapai
Dalam perkara aquo, tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh Terdakwa Muhammad
Jusmin Dawi bin Semi selaku Direktur utama PT. ARA yang merupakan directing mind dari
korporasi menyebabkan korporasi memperoleh penambahan harta kekayaan yakni terdapat
9 (sembilan) unit mobil yang seharusnya diberikan kepada nasabah fiktif, berada dalam
penguasaan PT. ARA selaku perusahaan yang mengadakan kendaraan bermotor tersebut.
Sehingga, jika pertanggungjawaban pidana juga dibebankan kepada korporasi dalam
hal ini PT. ARA, maka sanksi pidana pokok yang dapat diterapkan adalah pidana denda
ditambah 1/3 dan dapat pula dilterapkan pidana tambahan berdasarkan pasal 18 UU
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yakni Perampasan 9 (sembilan) unit mobil tersebut.
Penjatuhan sanksi pidana tambahan berupa penutupan seluruh atau sebagian korporasi
juga dimungkinkan dapat diterapkan.
23
2. Kasus Korupsi Pendistribusian Minyak Goreng Bulog yang Melibatkan Koperasi
Distribusi Indonesia (KDI) (Putusan Mahkamah Agung Nomor No. 1384
K/Pid/2005)
a. Resume Putusan
1) Tentang Terdakwa
Dalam putusan ini, yang menjadi Terdakwa adalah sebagai berikut:
Nama : Drs. H.A.M. Nurdin Halid;
Tempat Lahir : Bone;
Umur/Tanggal Lahir : 46 tahun/17 November 1958;
Jenis Kelamin : Laki-Laki;
Kebangsaan : Indonesia;
Tempat Tinggal : Bukit Raflesia Blok 2/10, Cibubur, Jawa
Barat ;
Jln. Tanjung Barat Persada
Rt.002/05,Kelurahan Tanjung Barat,
Kecamatan Jagakarsa, Jakarta Selatan ;
Agama : Islam;
Pekerjaan : Ketua Umum Koperasi Distribusi Indonesia
(KDI).
2) Kasus Posisi
Pada tanggal 25 Agustus 1998, bertempat di Kantor Koperasi Distribusi Indonesia
Terdakwa telah menandatangani Surat Keputusan Pengurus KDI Nomor : 001/KDI/SK-
Pengurus/VIII/1998 tentang Pengangkatan Direktur Utama KDI yaitu Sdr. Fauzan Mansur
(almarhum) untuk melaksanakan usaha KDI dan mengantisipasi pengalihan peranan Badan
Urusan Logistik (Bulog) kepada KDI.
Untuk membahas pengalihan pendistribusian minyak goreng dari Bulog ke KDI, maka
pada tanggal 2 September 1998 Menteri Koordinator Ekonomi, Keuangan dan Industri
(Menko Ekuin) melaksanakan Rapat Koordinasi Terbatas Bidang Ekonomi Keuangan
Industri yang dipimpin oleh Menko Ekuin dan dihadiri antara lain Menteri Koperasi
Pengusaha Kecil dan Menengah, Menteri Perindustrian dan Perdagangan
(Menperrindag)/Kepala Badan Urusan Logistik, Asisten IV Menko Ekuin, Dirjen Perdagangan
Dalam Negeri Departeman Perindustrian dan Perdagangan serta Dirjen Pembinaan
Pengusaha Kecil Departeman Koperasi.
Untuk menindaklanjuti Rakortas Ekuin tersebut, telah ditandatangani Perjanjian
Kerjasama antara Badan Urusan Logistik yang diwakili oleh Ir. H. Mulyono, MBA dengan
Koperasi Distribusi Indonesia yang diwakili oleh Fauzan Mansur (almarhum) Nomor:
24
PKK.977A/09/1998 tanggal 17 September 1998 tentang Penyediaan dana guna pengadaan
minyak goreng bagi Koperasi Distribusi Indonesia dan Perjanjian Pengalihan Distribusi
Minyak Goreng No.PKK-977B/09/1998 tanggal 17 September 1998 kemudian di addendum
dengan perjanjian No.PKK-1130/10/1998 tanggal 30 Oktober 1998.
Seharusnya sesuai dengan ketentuan hasil Keputusan Rapat Koordinasi Terbatas
Bidang Ekuin tanggal 2 September 1998 antara lain diputuskan hasil penjualan minyak
goreng masuk rekening KDI dan dibayarkan ke Bulog paling lambat satu minggu kemudian
dan sesuai ketentuan Pasal 2 Perjanjian Kerjasama antara Bulog dengan KDI Nomor
PKK.977A/09/1998 tanggal 17 September 1998.
Namun kenyataannya ketentuan-ketentuan tersebut tidak dilaksanakan Terdakwa,
karena sampai dengan tanggal 31 Desember 1998, KDI tidak menyetorkan uang hasil
penjualan minyak goreng sejumlah Rp.169.710.699.839,- (seratus enam puluh sembilan
milyar tujuh ratus sepuluh juta enam ratus sembilan puluh sembilan ribu delapan ratus tiga
puluh sembilan rupiah).
Seharusnya sampai dengan tanggal 31 Desember 1998 jumlah hasil penjualan minyak
goreng oleh KDI sejumlah Rp.299.016.245.070,- (dua ratus sembilan puluh sembilan milyar
enam belas juta dua ratus empat puluh lima ribu tujuh puluh rupiah), sedangkan yang harus
disetor KDI kepada Bulog sejumlah Rp.284.485.176.490,- (dua ratus delapan puluh empat
milyar empat ratus delapan puluh lima juta seratus tujuh puluh enam ribu empat ratus
sembilan puluh rupiah) namun sampai dengan tanggal 12 November 1998 KDI hanya
menyetor ke Bulog dana hasil penjualan minyak goreng sejumlah Rp.114.774.476.651
(seratus empat belas milyar tujuh ratus tujuh puluh empat juta empat ratus tujuh puluh enam
ribu enam ratus lima puluh satu rupiah) sehingga jumlah hasil penjualan minyak goreng yang
tidak disetor ke Bulog sejumlah Rp.169.710.699.839,- (seratus enam puluh sembilan milyar
tujuh ratus sepuluh juta enam ratus sembilan puluh sembilan ribu delapan ratus tiga puluh
sembilan rupiah).
Seharusnya sesuai dengan ketentuan hasil Keputusan Rapat Koordinasi Terbatas
Bidang Ekuin tanggal 2 September 1998 dan sesuai ketentuan Pasal 2 Perjanjian
Kerjasama antara Bulog dengan KDI Nomor: PKK.977A/09/1998 tanggal 17 September
1998, uang hasil penjualan minyak goreng sejumlah Rp.169.710.699.839,- (seratus enam
puluh sembilan milyar tujuh ratus sepuluh juta enam ratus sembilan puluh sembilan ribu
delapan ratus tiga puluh sembilan rupiah) harus disetor oleh KDI ke rekening Bulog di Bank
Bukopin, akan tetapi Terdakwa telah mengambil kebijakan untuk tidak menyetor ke Bulog
sebagaimana kebijakan yang diambil Terdakwa selaku Ketua Umum KDI dalam Rapat
Pengurus, Pengawas dan Direksi KDI tanggal 24 Desember 1998 bertempat di Graha Induk
KUD Jl. Warung Buncit Raya No.18-20 Jakarta Selatan, dihadiri oleh Pengurus (Drs. H.A.M.
Mishar) dan Direksi (John Ramses, Sigit Pramono, Joko Urip Santoso, dan
Fauzan Mansur alm.) yang antara lain sesuai Notulen Rapat butir 4 “Ketua Umum
mengambil langkah kebijaksanaan agar Direksi KDI tidak lagi melakukan
penyetoran dana hasil penjualan minyak goreng kepada Bulog, sedangkan
terhadap stok minyak goreng ex Bulog yang masih bisa dijual segera bisa dijual,
sehingga uangnya bisa digunakan untuk modal kerja KDI”.
2) Bertindak dalam lingkungan korporasi tersebut baik sendiri maupun secara
bersama-sama.
Bahwa uang hasil penjualan minyak goreng sejumlah Rp.169.710.699.839,-
(seratus enam puluh sembilan milyar tujuh ratus sepuluh juta enam ratus
sembilan puluh sembilan ribu delapan ratus tiga puluh sembilan rupiah) yang
tidak disetor ke Bulog telah dipergunakan Terdakwa dan pengurus lainnya
yaitu Dewi Motik Pramono, Y.W. Kussoy, D.P. Budiarthi Najib, Husin Tanjung,
dan Amedio Mishar serta Direksi KDI secara menyimpang dari
penggunaannya, yaitu telah dipergunakan untuk didepositokan pada rekening
29
KDI, dipergunakan untuk pembelian gula pasir, disimpan pada simpanan
berjangka atas nama KDI di INKUD.
Terdakwa selaku Ketua Umum KDI bersama pengurus lainnya sebagaimana
tersebut di atas telah menandatangani Surat Kuasa tanggal 7 Desember 1998
untuk membuka rekening di Bank Nusa Nasional cabang Kemang Jakarta
Selatan, selanjutnya rekening tersebut digunakan oleh Direksi KDI Fauzan
Mansur (almarhum) dan Irsan Amir untuk mentransfer dana hasil penjualan
minyak goreng sejumlah Rp.10.000.000.000,- (sepuluh milyar rupiah) pada
tanggal 3 Juni 1999 dari rekening operasional KDI di Bank Bukopin MT.
Haryono, selanjutnya dana di Bank Nusa Nasional tersebut didepositokan
sejumlah Rp.6.000.000.000,- (enam milyar rupiah) dan pada saat jatuh tempo
Direksi KDI Fauzan Mansur (almarhum) dan Irsan Amir meminta Pimpinan
Bank Nusa Nasional dengan Surat No.2085/Direk-KDI/VI/1999 tanggal 28
Juni 1999 untuk mencairkan pokok (Rp.6.000.000.000,-) di transfer ke
rekening Standard Chartered Bank Cabang Jakarta Treasury Division Att.
Bapak Hendi/Indra IBG, sedangkan bunga ditransfer ke rekening
No.101.1082.013 atas nama KDI bunga Deposito pada Bank Bukopin MT.
Haryono Jakarta.
Mengacu kepada fakta-fakta hukum tersebut, maka unsur-unsur yang diperlukan
dalam Pasal 20 ayat (2) UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi di atas telah terpenuhi.
Fak-fakta hukum tersebut juga dapat memenuhi unsur-unsur yang ada dalam ketentuan
Pasal 15 ayat (2) UU Tindak Pidana Ekonomi yang menyatakan:
“Suatu tindak pidana ekonomi dilakukan juga oleh suatu atas nama suatu badan hukum, suatu perseroan, suatu perserikatan orang, atau suatu yayasan, jika tindakan dilakukan oleh orang-orang baik berdasarkan hubungan kerja maupun berdasarkan hubungan lain, bertindak dalam lingkungan badan hukum, perseroan, perserikatan atau yayasan itu tidak peduli apakah orang-orang itu masing-masing tersendiri melakukan tindak pidana ekonomi itu atau pada mereka bersama-sama ada anasir-anasir tindak pidana tersebut.”
Dalam pasal tersebut, terdapat batasan atau ukuran kapan suatu korporasi dalam
dikenakan pertanggungjawaban pidana, yakni suatu perbuatan yang dilakukan 1)
berdasarkan hubungan kerja atau hubungan lain; 2) berdasarkan bertindak dalam
lingkungan badan hukum.
Sutan Remy Sjahdeini mengemukakan bahwa sistem pertanggungjawaban pidana
dimana pengurus dan korporasi sebagai pelaku tindak pidana dan keduanya pula yang
30
harus memikul pertanggungjawaban pidana merupakan sistem pertanggung jawaban pidana
korporasi yang sangat pantas diberlakukan. Terdapat beberapa alasan, yaitu:46
1) Apabila hanya pengurus yang dibebani pertanggungjawaban pidana, maka
menjadi tidak adil bagi masyarakat yang telah menderita kerugian karena
pengurus dalam melakukan perbuatannya itu adalah untuk dan atas nama
korporasi serta dimaksudkan untuk memberikan keuntungan atau
menghindarkan/mengurangi kerugian finansial bagi korporasi;
2) Apabila yang dibebani pertanggungjawaban pidana hanya korporai sedangkan
pengurus tidak harus memikul tanggung jawabn, maka sistem ini akan dapat
memungkinkan pengurus berlindung di balik punggung korporasi dan akan
berdalih bahwa perbuatannya bukan merupakan perbuatan pribadi dan bukan
untuk kepentingan pribadi, tetapi perbuatannya dilakukan untuk dan atas nama
korporasi dan untuk kepentingan korporasi;
3) Pembebanan pertanggungjawaban pidana korporasi hanya mungkin dilakukan
secara vikarius, atau bukan langsung (doctrine of vicarious liability). Menurut
ajaran ini, untuk dapat membebankan pertanggungjawaban pidana kepada
korporasi harus terlebih dahulu dapat membuktikan bahwa tindak pidana tersebut
benar dilakukan oleh pengurus dan pengurus benar bersalah, kemudian jika
terbutkti barulah pertanggungjawaban pidana itu dapat dibebankan secara vikarius
kepada korporasi. Hal ini dapat menimbulkan kemungkinan lain bahwa manusia
pelakunya (pengurus korporasi) yang harus memikul pertanggungjawaban pidana
sedangkan korporasinya bebas (tidak harus bertanggungjawab).
Dalam hal pemidanaan yang dijatuhkan kepada Terdakwa selaku Ketua Umum KDI,
penulis berpandangan bahwa pidana yang dibebankan kepada Terdakwa baik itu
berdasarkan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan maupun putusan Mahkamah
Agung RI, belum memenuhi tujuan pemidanaan dalam hal pengembalian kerugian negara.
Denda yang dibebankan kepada Terdakwa sebesar Rp. 30.000.000,- (tiga puluh juta rupiah)
sangat jauh dari kerugian yang dialami negara yaitu sebesar Rp.169.710.699.839,- (seratus
enam puluh sembilan milyar tujuh ratus sepuluh juta enam ratus sembilan puluh sembilan
ribu delapan ratus tiga puluh sembilan rupiah). Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan
maupun Putusan Mahkamah Agung RI juga tidak menyatakan adanya penyitaan terhadap
aset-aset KDI, baik dalam bentuk barang maupun uang (deposito) dalam rangka
mengembalikan kerugian negara tersebut.
Oleh karena itu, dalam rangka mengembalikan kerugian negara akibat kasus ini,
sangatlah diperlukan untuk menjatuhkan pemidanaan terhadap korporasi, dalam hal ini
46 Sutan Remy Sjahdeini, Op.Cit, hlm. 62
31
adalah KDI. Menurut Tim Pengkaji Bidang Hukum Pidana Badan Pembinaan Hukum
Nasional dalam Laporan Hasil Pengkajian Bidang Hukum Pidana Tahun 1980/1981
menyatakan dasar pertimbangan pemidanaan korporasi ialah:47
“jika dipidananya pengurus saja tidak cukup untuk mengadakan represi, terhadap delik- delik yang dilakukan oleh atau dengan suatu korporasi, atau bahwa keuntungan yang didapat diterima korporasi karena delik itu cukup besar atau kerugian yang ditimbulkan dalam masyarakat atau saingan-saingannya sangat berarti”.
Mengacu kepada UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dimungkinkan pula
penjatuhan pidana tambahan terhadap korporasi sesuai dengan ketentuan pasal 18 ayat (1)
dan ayat (2) UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yakni:
(2) Selain pidana tambahan sebagaimana yang dimaksud dalam Kitab- undang- undang Hukum Pidana, sebagai pidana tambahan adalah : e. Perampasan benda bergerak yang berwujud atau yang tidak berwujud atau
barang tidak bergerak yang digunakan untuk atau diperoleh dari tindak pidana korupsi termasuk perusahaan milik terpidana di mana tindak pidana korupsi dilakukan, begitu pula barang yang menggantikan barang-barang tersebut;
f. Pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyak-banyaknya sama dengan harta benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi;
g. Penutupan seluruh atau sebagian perusahaan untuk waktu paling lama 1 (satu) tahun;
h. Pencabutan seluruh atau sebagian hak- hak tertentu atau penghapusan seluruh atau sebagian keuntungan tertentu, atau dapat diberikan oleh Pemerintah kepada terpidana.
(3) Jika terpidana tidak membayar uang pengganti sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) huruf b paling lama 1 (satu) bulan sesudah putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, maka harta bendanya dapat disita oleh jaksa dan dilelang untuk menutupi uang pengganti tersebut.
Dengan demikian, jika model pertanggungjawaban pidana korporasi yang diterapkan
adalah pembebanan pertanggungjawaban pidana kepada pengurus dan korporasi, apabila
pemidanaan yang diberikan kepada pengurus adalah pembayaran uang pengganti sebesar
yang diperoleh oleh pengurus, maka korporasi akan dibebankan pidana tambahan
pembayaran uang pengganti sebesar yang diperoleh oleh korporasi diluar dari yang
diperoleh oleh pengurus sehingga akan saling menutupi kerugian keuangan negara dan
tujuan pengembalian kerugian keuangan negara akan tercapai.
47 Badan Pembinaan Hukum Nasional, Himpunan Laporan Hasil Pengkajian Bidang Hukum
Pidana Tahun 1980/1981, BPHN, Jakarta, 1985, hlm. 36 yang dikutip dalam Muladi dan Dwidja Priyatno, Op.Cit, hlm. 146.
32
3. Kasus Korupsi PT. Giri Jaladhi Wana (PT. GJW) dalam Pembangunan Pasar Induk
Antasari di Banjarmasin Kalimantan Selatan (Putusan MA
No:936.K/Pid.Sus/2009.MA)
a) Resume Putusan
1) Terdakwa
Terdakwa dalam kasus ini adalah korporasi yaitu PT. Giri Jaladhi Wana (PT. GJW)
yang berkedudukan di Banjarmasin, Kalimantan Selatan.
2) Kasus Posisi
Bahwa dalam melaksanakan pekerjaan pembangunan Pasar Sentra Antasari
Terdakwa PT. Giri Jaladhi Wana bekerjasama dengan PT. UE Sentosa sebagai
kontraktor pelaksana dengan surat perjanjian kerja No. 094/GJW/SPB/II/01 tanggal 1
Pebruari 2001 antara Terdakwa PT. Giri Jaladhi Wana dengan PT. UE Sentosa yang di
tanda tangani oleh ST. Widagdo selaku Dirut PT. Giri Jaladhi Wana dan Dominic Tan
selaku Presiden Direktur PT. UE Sentosa dengan nilai Rp.137.824.690.000,-(seratus
tiga puluh tujuh milyard delapan ratus dua puluh empat juta enam ratus sembilan puluh
ribu rupiah), dengan sistem PT UE Sentosa melaksanakan pembangunan dan
membiayai pelaksanaan pembangunan tersebut dimana setiap kemajuan fisik proyek
sudah mencapai 30% maka Terdakwa PT. Giri Jaladhi Wana akan membayarnya.
Bahwa Terdakwa PT. Giri Jaladhi Wana dalam melaksanakan Pembangunan dan
Pengelolaan Pasar Induk Sentra Antasari telah melakukan perbuatan melawan hukum
dengan melakukan penyimpangan-penyimpangan sebagai berikut:
Dalam Pasal 3 Perjanjian kerjasama Nomor 664/I/548/Prog ; Nomor
003/GJW/VII/1998 tanggal 14 Juli 1998 tentang kontrak bagi tempat usaha yang
diijinkan Pemerintah Kota Banjarmasin dalam rangka pembangunan Pasar Induk
Antasari Kotamadya Banjarmasin dan addendumnya menyatakan PT. Giri Jaladhi
Wana berkewajiban membangun Pasar Induk Antasari dan fasilitas penunjangnya
hanya sejumlah 5.145 unit tetapi Terdakwa PT. Giri Jaladhi Wana secara
melawan hukum yaitu tanpa persetujuan DPRD Kota Banjarmasin telah
membangun 6.045 unit terdiri dari toko, kios, los, lapak dan warung, sehingga
terjadi penambahan 900 unit bangunan. Penambahan 900 unit tersebut di jual
dengan harga sebesar Rp. 16.691.713.166.- (enam belas milyar enam ratus
sembilan puluh satu juta tujuh ratus tiga belas ribu seratus enam puluh enam
rupiah), dan hasil penjualan tersebut tidak disetorkan ke kas daerah Kota
Banjarmasin.
33
Berdasarkan Addendum Perjanjian Kerja sama Nomor 664/ I/548 /Prog ; Nomor
003/GJW/VII/1998, tanggal 15 Agustus 2000 Terdakwa PT. Giri Jaladhi Wana
mempunyai kewajiban kepada Pemerintah Kota Banjarmasin untuk membayar
retribusi sebesar Rp.500.000.000,- (limaratus juta rupiah); membayar penggantian
uang sewa Rp.2.500.000.000.- (Dua milyar lima ratus juta rupiah) dan membayar
pelunasan kredit Inpres Pasar Antasari Rp.3.750.000.000.- ( tiga milyar tujuh ratus
lima puluh juta rupiah), jumlah keseluruhan yang harus dibayar
Rp.6.750.000.000.- (enam milyar tujuh ratus lima puluh juta rupiah), tetapi
Terdakwa PT. Giri Jaladhi Wana hanya membayar sebesar Rp.1.000.000 .000.-,
(satu milyar rupiah), sehingga masih terdapat kekurangan sebesar
Rp. 5.750.000 .000.- (lima milyar tujuh ratus lima puluh juta rupiah) yang
seharusnya disetor ke kas Pemerintah Kota Banjarmasin, namun Terdakwa PT.
Giri Jaladhi Wana sengaja tidak membayar uang tersebut dimana Terdakwa PT.
Giri Jaladhi Wana melalui ST.Widagdo memberikan keterangan yang tidak benar
dengan menyatakan kepada Pemerintah Kota Banjarmasin seolah-olah
pembangunan Pasar Sentra Antasari belum selesai, padahal sesuai keterangan Ir.
Wahid Udin, MBA. Projek Manajer Pembangunan Pasar Sentra Antasari dan
laporancomplet i on report PT. Satya Graha Tara (Konsultan Pengawas Proyek
Antasari yang diminta Bank Mandiri),melaporkan per September 2004
pembangunan Pasar Sentra Antasari selesai 100% dan per Oktober 2004
mempunyai surplus Rp. 64.579.000.000.- (enam puluh empat milyar lima ratus
tujuh puluh sembilan juta rupiah ) dari hasil penjualan toko, kios dan los sertawaru.
Selain telah mendapatkan surplus Rp. 64.579.000.000,-(enam puluh empat milyar
lima ratus tujuh puluh sembilan juta rupiah), Terdakwa PT.\Giri Jaladhi Wana
dengan menggunakan asset Pemerintah Kota Banjarmasinberupa tanah dan
bangunan pasar tersebut untuk jaminan mendapatkan Kredit Modal Kerja (KMK)
dari Bank Mandiri sebesar Rp.100.000.000.000.- (seratus milyar rupiah) dengan
agunan seluruh bangunan Pasar Sentra Antasari milik Pemerintah Kota
Banjarmasin, namun meskipun sudah mendapatkan uang sebesar
Rp.164.579.000.000,- (seratus enam puluh empat milyar lima ratus tujuh puluh
sembilan juta rupiah) yang terdiri dari uang Rp.64.579.000.000,- (enam puluh
empat milyar lima ratus tujuh puluh sembilan juta rupiah) dan
Rp.100.000.000.000,-, (seratus milyar rupiah) ternyata Terdakwa PT. Giri Jaladhi
Wana tidak membayar sebesar Rp. 5.750.000.000.- (lima milyar tujuh ratus lima
puluh juta rupiah).
34
Bahwa pembangunan Pasar Induk Sentra Antasari yang seharusnya selesai pada
bulan Desember 2002 namun prestasi fisiknya atau proyeknya sampai dengan bulan
Agustus 2002 baru mencapai 36% dan hutang Terdakwa PT. Giri Jaladhi Wana kepada
kontraktor pelaksana yaitu PT. UE Sentosa yang belum dibayar telah mencapai Rp.
24.000.000.000,- (dua puluh empat milyar rupiah), sehingga pihak kontraktor mendesak
kepada Terdakwa PT. Giri Jaladhi Wana untuk segera menyelesaikan hutangnya. Di sisi lain
pihak Pemerintah Kota Banjarmasin selaku pemilik proyek meminta Terdakwa PT. Giri
Jaladhi Wana segera menyelesaikan proyek pembangunan Pasar Induk Sentra Antasari
tersebut karena pusat perbelanjaan tersebut merupakan proyek strategis yang memiliki
dampak sosial tinggi.
3) Dakwaan
a. Primair: Bahwa Terdakwa PT.Giri Jaladhi Wana (PT. GJW) selaku korporasi dalam
kerjasama kontrak bagi tempat usaha untuk pembangunan Pasar induk Antasari
berdasarkan surat perjanjian kerjasama Nomor 664/I/548/Prog;
Nomor003/GJW/VII/1998tanggal14 Juli 1998 antara Walikota madya Banjarmasin
(pihak ke satu) dengan Terdakwa PT. Giri jaladhi Wana (pihak kedua), pada waktu
antara tahun 1998 sampai dengan tahun 2008 bertempat diKantor Walikota
Banjarmasin Jalan RE Martadinata No.1 Banjarmasin dan diPasar Sentra Antasari
jalan Pangeran Antasari Banjarmasin atau setidak tidaknya disuatu tempat dalam
daerah hukum Pengadilan Negeri Banjarrnasin, telah melakukan beberapa
perbuatan yang masing-masing merupakan kejahatan yang ada hubungannya
sedemikian rupa sehingga harus dipandang sebagai suatu perbuatan berlanjut
secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang
lain atau suatu tempat dalam daerah hukum Pengadilan Negeri Banjarrnasin, telah
melakukan beberapa perbuatan yang masing-masing merupakan kejahatan yang
ada hubungannya sedemikian rupa sehingga harus dipandang sebagai suatu
perbuatan berlanjut secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri
sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan
negara atau perekonomian negara. Sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam
Pasal 2 ayat (1) jo. Pasal 18 jo. Pasal 20 Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan
Undang-undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-undang
Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 64
ayat (1) KUHPidana.
b. Subsidair: Bahwa Terdakwa PT. Giri Jaladhi Wana (PT. GJW) selaku korporasi
dalam kerjasama kontrak bagi tempat usaha untuk pembangunan Pasar Induk
35
Antasari berdasarkan surat perjanjian kerjasama Nomor : 664/I/548/Prog; Nomor
003/GJW/VII/1998 tanggal 14 Juli 1998 antara Walikotamadya Banjarmasin (pihak
kesatu) dengan Terdakwa PT. Girijaladhi Wana (pihak kedua), pada waktu antara
tahun 1998 sampai dengan tahun 2008, bertempat di Kantor Walikota Banjarmasin
Jalan RE Martadinata No.1 Banjarmasin dan di Pasar Sentra Antasari jalan
Pangeran Antasari Banjarmasin atau setidak tidaknya di suatu tempat dalam
daerah hukum Pengadilan Negeri Banjarrnasin, telah melakukan beberapa
perbuatan yang masing-masing merupakan kejahatan yang ada
hubungannyasedemikian rupa sehingga harus dipandang sebagai suatu perbuatan
berlanjut secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri
atau orang lain atau suatu korporasiyang dapat merugikan keuangan negara atau
perekonomian negara. Sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 3 jo.
Pasal 18 Undang-undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dan di tambah dengan Undang-undang
Nomor 20 tahun 2001 tentang perubahan atas Undang-undang Nomor 31 tahun
a) Menyatakan Terdakwa PT.Giri Jaladhi Wana tersebut diatas telah terbukti secara
sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “KORUPSI SECARA
BERLANJUT”
b) Menjatuhkan pidana kepada Terdakwa PT. Giri Jaladhi Wana dengan pidana denda
sebesar Rp.1.317.782 .129,- (satu milyar tiga ratus tujuh belas juta tujuh ratus
delapan puluh dua ribu seratus dua puluh sembilan Rupiah).
c) Menjatuhkan pidana tambahan berupa Penutupan Sementara PT.GIRI JALADHI
WANA selama 6 (enam) bulan.
b) Analisa
Dalam kasus ini, PT. GJW sebagai sebuah korporasi menjadi subjek hukum pelaku
tindak pidana. Hal ini didasarkan kepada ketentuan Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-undang
No. 31 Tahun 1999 mengatur secara tegas mengenai unsur-unsur pidana dari tindak pidana
korupsi dimaksud. Pasal 2 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999, menyatakan sebagai
berikut:
“Setiap orang yang secara melawan Hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonoman negara.”
36
Selanjutnya dalam Pasal 3 Undang-undang No. 31 Tahun 1999, menyatakan :
“Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.”
Mengacu kepada unsur-unsur dalam ketentuan Pasal 2 UU Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi diatas, maka fakta-fakta dalam persidangan yang dapat memenuhi unsur-
unsur dalam ketentuan pasal tersebut adalah sebagai berikut: