i KEDUDUKAN KELEBIHAN PEMBAGIAN HARTA WARISAN (RADD) UNTUK JANDA DAN DUDA DALAM HUKUM WARIS ISLAM Tesis Untuk memenuhi sebagai persyaratan memperoleh gelar Magister Kenotariatan (M.Kn.) Oleh: IWAN SETYO UTOMO NIM: 156010202111042 PROGRAM STUDI MAGISTER KENOTARIATAN FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2017
105
Embed
KEDUDUKAN KELEBIHAN PEMBAGIAN HARTA WARISAN ...repository.ub.ac.id/1626/1/IWAN SETYO UTOMO .pdfwaris Islam, dan (2) menganalisis tentang pertimbangan yuridis yang dijadikan dasar pertimbangan
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
i
KEDUDUKAN KELEBIHAN PEMBAGIAN HARTA WARISAN (RADD)
UNTUK JANDA DAN DUDA DALAM HUKUM WARIS ISLAM
Tesis
Untuk memenuhi sebagai persyaratan memperoleh gelar
Magister Kenotariatan (M.Kn.)
Oleh:
IWAN SETYO UTOMO
NIM: 156010202111042
PROGRAM STUDI MAGISTER KENOTARIATAN
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2017
ii
RINGKASAN
Iwan Setyo Utomo, Mahasiswa Program Studi Magister Kenotariatan, Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Malang, 2017. Kedudukan Kelebihan Pembagian Harta Warisan (Radd) untuk Janda dan Duda dalam Hukum Waris Islam. Pembimbing Utama: Prof. Dr. Thohir Luth, MA; Pembimbing Kedua: Prof. Dr. Abdul Rachmad Budiono, SH. MH.
Pada tesis ini, penulis mengangkat permasalahan tentang kedudukan radd untuk janda dan duda dalam hukum waris Islam. Hal tersebut dilatar belakangi karena pembagian radd untuk janda dan duda tidak diatur dengan jelas dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) sehingga menimbulkan kekaburan norma. Rumusan masalah tesis ini adalah bagaimana kedudukan kelebihan pembagian harta warisan (radd) untuk janda dan duda dalam hukum waris Islam. Tujuan dalam penelitian tesis ini adalah (1) untuk mengetahui dan memperbaharui sejauh mana perengkat hukum yang ada mampu memerikan kepastian hukum kedudukan kelebihan pembagian harta warisan (radd) untuk janda dan duda dalam hukum waris Islam, dan (2) menganalisis tentang pertimbangan yuridis yang dijadikan dasar pertimbangan dalam memutus perkara yang terkait dengan kelebihan pembagian harta warisan (radd) untuk janda dan duda. Untuk menganalisis permasalahan tesis ini, teori-teori yang akan dijadikan pedoman analisis adalah teori tujuan hukum dan teori reactualisasi hukum Islam. Jenis penelitian tesis ini menggunakan metode hukum normatif yang terdiri dari pendekatan undang-undang (statue approach) dan pendekatan konseptual (conceptual approach). Hasil penelitian tesis ini, penulis menyimpulkan bahwa pemahaman konsep radd dalam pandangan para ulama memiliki perbedaan mengenai ahli waris penerima radd. Ada ulama yang menerima radd dan ada juga yang menolak radd.Ulama yang menolak radd berdasakan Surat An-Nisa ayat 14 dan hadits, yaitu radd diserahkan kepada baitul mal sebagai perwakilan dari umat Islam. Sedangkan ulama yang menerima radd memperkuat argumennya dengan dalil surat Al-Anfal ayat 75 dan hadits, yaitu hubungan kekerabatan nasab jauh lebih berpengaruh dalam kewarisan dibandingkan dengan hubungan agamaatauperkawinan. Karena dipandang lebih maslahah dan dapat membantu kehidupan keluarganya. Ternyata ulama yang menerima radd juga menimbulkan perbedaan tentang siapa saja ahli waris yang berhak menerima radd. Masalah radd diatur dalam pasal 193 Kompilasi Hukum Islam (KHI). Radd diberikan kepada semua ahli waris tanpa kecuali, termasuk suami (duda)/istri (janda). Secara lebih rasional suami (duda)/istri (janda) boleh menerima radd, karena dalam keadaan apapun tidak mungkin seorang suami (duda)/istri (janda) terhalang mewaris atau terhijab hirman. Namun dalam konteks yang berbeda dapat disesuaikan dengan kasus-kasus yang ada tanpa mengesampingkan pendapat para ulama dalam pengambilan keputusan. Kata kunci : Ahli waris, Radd, Janda, Duda
iii
SUMMARY
Iwan Setyo Utomo, Notary Master Study Program Student, Faculty of Law, University of Brawijaya, Malang, 2017. Excess of Family Heritage Partition (Radd) for Widowers and Widows in Islamic Laws. Main Supervisor: Prof. Dr. Thohir Luth, MA; Second Supervisor: Prof. Dr. Abdul Rachmad Budiono, SH. MH.
In this thesis, the author raises the issue on excess of family heritage partition (radd) for widowers and widows in Islamic laws. It is against the background because of the partition radd for widows and widowers are not clearly regulated in the Compilation of Islamic Law (KHI) giving rise to vagueness norm. The formulation of this thesis problem is how to excess of family heritage partition (radd) for widowers and widows in Islamic laws. This thesis aims to find out how current legal devices could give legal certainty on excess of family heritage partition (radd) for widowers and widows in Islamic laws as well as analyse judicial consideration on which matters regarding excess of family heritage partition (radd) for widowers and widows are based. To analyze the problems of this thesis, the theories will be used as guidelines for the purpose of analysis is the theory of law and Islamic law reactualisasi theory. This type of research used normative law method which consists of statute approach and conceptual approach. The results of this thesis, the authors conclude that understanding the comprehension of radd of heirs. Some scholars accept the concept of radd whereas some do not. Scholars who do not accept radd base their views on An-Nisa verse 14 and hadiths which state that radd should be given to baitul mal other hand, scholars who accept the concept of radd refer their arguments to Al-Anfal verse 75 and hadiths which state that kinship has more influence to inheritance matter rather than relations based on religions or marriages. Nevertheless, scholars who accept radd also differ from each other in terms who has the right to receive radd. The matters of radd have been regulated on article 193 of Islamic Law Compilation (KHI). Radd should be given to all heirs with no exception including husband (widower) and wife (widow). Based on rational thinking, husband (widower) and wife (widow) are allowed to receive radd since under no circumstances is husband or wife unable to give heritage to their wife or husband. However, in different context and cases, it can be reconsidered without
Keywords : Heir, Radd, Widows, widowers
iv
KATA PENGANTAR
Segala puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, Allah
SWT yang telah memberikan rahmat, hidayah dan karunia-Nya yang tiada henti
hingga penulis dapat sampai pada tahap ini, khususnya dengan terselesaikannya
tesis ini. Penulisan tesis ini tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak, yang
memberikan doa, semangat, motivasi dan bantuan baik secara langsung maupun
tidak langsung.
Untuk itu penulis, mengucapkan terima kasih kepada:
1.
Brawijaya.
2. Dr. Imam Kuswahyono, SH. M.Hum, selaku Ketua Program Studi Magister
Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Brawijaya.
3. Prof. Dr. Thohir Luth, MA, selaku Dosen Pembimbing Utama yang telah
meluangkan waktu, tenaga dan pikirannya untuk mengarahkan penulis dalam
penyusunan tesis ini.
4. Prof. Dr. Abdul Rachmad Budiono, SH. MH, selaku Dosen Pembimbing
Kedua yang telah meluangkan waktu, tenaga dan pikirannya untuk
mengarahkan penulis dalam penyusunan tesis ini.
5. Dosen dan Karyawan Fakultas Hukum Universitas Brawijaya yang telah
memberikan pelajaran yang berharga dan membantu dalam administrasi
penyelesaian tesis ini bagi penulis.
6. Kedua orangtua tercinta ayahanda M. Amenan (almarhum) dan ibunda
Bastuti yang selalu memberikan dukungan moral dan material, doa serta
v
curahan kasih sayang yang tidak akan pernah bisa penulis balas dengan
apapun.
7. Kedua orangtua bapak Sukardi dan ibu Watini yang selalu memberikan
dukungan, doa serta curahan kasih sayang kepada penulis dalam penyusunan
tesis ini.
8. Kepada istri tercinta Shita Dwi Retnani dan anak tersayang Haura Khanza
penyelesaian tesis ini.
9. Kakak-kakak tercinta Yayuk Dwi Mulyaningsih, Didik Ponco Sulistyono, Sri
Hartadi, Dyah Kisrahmawati, adinda Nasrita Ulfa dan seluruh keponakan-
keponakan Brian, Fresha, Nana, yang memberikan dukungan, doa dan
material.
10. Keluarga Besar Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas
Brawijaya yang telah memberikan doa, dukungan, motivasi dan semangat
yang luar biasa tiada henti bagi penulis dalam penyusunan tesis ini.
11. Pihak-pihak lain yang turut membantu terselesaikannya tesis ini, yang tidak
dapat penulis sebutkan satu persatu.
Malang, 27 Juli 2017
Penulis
Iwan Setyo Utomo
vi
DAFTAR ISI
HALAMAN SAMPUL DALAM ................................................................. i
HALAMAN PERSETUJUAN ..................................................................... ii
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS TESIS ................................ iii
HALAMAN RINGKASAN ......................................................................... iv
HALAMAN SUMMARY ............................................................................ v
KATA PENGANTAR ................................................................................... vi
DAFTAR ISI ................................................................................................ viii
DAFTAR TABEL ........................................................................................ xi
BAB I PENDAHULUANHalaman
1.1. Latar Belakang Masalah ................................................................. 1
1.2. Rumusan Masalah ........................................................................... 7
1.3. Tujuan Penelitian ............................................................................ 7
A. 1.4. Manfaat Penelitian .......................................................................... 7
B. 1.5. Orisinalitas Penelitian ..................................................................... 8
radd. Dalam penelitian ini peneliti lebih memfokuskan pada adanya kelebihan
sisa harta warisan atau radd yang berhak menerimanya untuk ahli waris yang
sudah ditentukan.
Kelebihan sisa harta warisan ini tentunya akan menimbulkan suatu sengketa
apabila tidak diatur secara jelas siapa saja ahli waris yang berhak menerimanya
dan sebab terjadinya radd, mengenai aturan hukum khususnya mengenai masalah
radd di dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) radd diatur dalam pasal 193, yaitu
sebagai berikut:
warisan diantara para ahli waris dzawil furudh menunjukkan bahwa angka pembilang lebih kecil daripada angka penyebut, sedangkan tidak ada ahli waris ashabah, maka pembagian harta warisan tersebut dilakukan secara radd, yaitu sesuai dengan hak masing-masing ahli
Dalam hukum waris Islam mengenai penyelesaian kelebihan sisa harta
warisan secara radd ternyata ada perbedaan pendapat diantara para ulama maupun
ahli hukum waris Islam sebagian ulama ada yang tidak setuju sama sekali, ada
sebagian yang setuju dengan syarat, dan sebagian lagi dengan tegas menerima,
berikut ini adalah beberapa pendapat para ulama mengenai radd:
1. Pendapat Zaid bin Tsabit, di -Zuhri, Malik dan Asy-
radd terhadap seorangpun
ahli waris (ashabul furudh), dan sisa hartanya itu diserahkan kepada baitul
mal bila tidak ada ahli waris ashabah.
2. Pendapat Utsman bin Affan; Beliau berpendapat bahwa adanya radd bagi
semua ahli waris (ashabul furudh) termasuk kepada janda dan duda menurut
kadar bagian masing-masing.
3.
5
Hanifah, Ahmad dan pendapat yang dipe
pengikut Malik ketika baitulmal rusak; Mereka berpendapat bahwa radd
diberikan kepada semua ahli waris (ashabul furudh), kecuali janda dan duda
serta ayah dan kakek.
Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 193 dapat ditafsirkan bahwa
penyelesaian kelebihan sisa harta warisan dapat diselesaikan secara radd dan radd
dapat diberikan kepada semua ashabul furudh, tanpa dijelaskan suami atau istri
termasuk ahli waris yang diperbolehkan menerima radd. Sedangkan ada sebagian
pendapat yang menyatakan radd dapat diberikan kepada semua ashabul furudh
kecuali suami dan istri. Ada 8 asbahul furudh yang berhak menerima radd, yaitu:
a. Anak perempuan.
b. Cucu perempuan.
c. Saudara perempuan sekandung.
d. Saudara perempuan seayah.
e. Ibu.
f. Nenek yang shahih.
g. Saudara perempuan seibu.
h. Saudara laki-laki seibu
Adapun untuk ayah dan kakek walaupun termasuk ahli waris (ashabul
furudh) dalam beberapa keadaan, tidak boleh menerima radd. Bilamana terdapat
ayah dan kakek, maka masalah radd tidak mungkin terjadi, karena keduanya
menjadi ahli waris (ashabah) dan mengambil sisanya.
Diantara ahli waris (ashabul furudh) yang tidak boleh menerima radd adalah
suami (duda) dan istri (janda) saja. Hal ini disebabkan hubungan kekerabatan
6
mereka bukan kekerabatan nasabiyah (hubungan darah), tetapi kekerabatan
sababiyah (hubungan perkawinan). Jadi hak suami dan istri hanya mengambil
bagiannya saja tanpa tambahan, hal ini dikarenakan terputus oleh kematian. Dan
sisanya ia kembalikan lagi kepada ahli waris lainnya.3
Menurut Kompilasi Hukum Islam yang mengatur tentang bagian waris duda,
terdapat pada pasal 179, yang berbunyi:
Duda mendapatkan separuh bagian, apabila pewaris tidak meninggalkan anak, dan apabila pewaris meninggalkan anak, duda mendapatkan seperempat
Sedangkan bagian janda terdapat pada pasal 180, yang berbunyi:
anak dan apabila pewaris meninggalkan anak, janda mendapatkan seperdelapan bagian.
Pasal 179 dan pasal 180 tersebut hanya menjelaskan mengenai bagian waris
janda dan duda secara umum tanpa menjelaskan masalah sisa harta (radd).
Masalah sisa harta pembagian harta warisan (radd) ini tentunya akan
menimbulkan suatu sengketa diantara para ahli waris apabila tidak diatur secara
jelas mengenai ahli waris yang berhak menerimanya apalagi menyangkut jumlah
harta tersebut tergolong besar. Lalu bagaimanakah kedudukan radd untuk janda
dan duda, karena dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) sendiri hal tersebut tidak
diatur dengan jelas, hal ini tentunya menimbulkan kekaburan norma. Dari isu
hukum tersebut maka peneliti tertarik untuk meneliti tentang kedudukan radd
untuk janda dan duda, dengan judul KEDUDUKAN KELEBIHAN
PEMBAGIAN HARTA WARISAN (RADD) UNTUK JANDA DAN DUDA
DALAM HUKUM WARIS ISLAM.
3 Muhammad Ali As-Shabuni, Ilmu Hukum Waris Menurut Ajaran Islam, (Surabaya: Mutiara Ilmu, 1388), hlm. 109-110.
7
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian pada subbab sebelumnya pembahasan masalah atau isu
hukum (legal issue) dalam penelitian ini adalah bagaimana kedudukan kelebihan
pembagian harta warisan (radd) untuk janda dan duda dalam hukum waris Islam
dan pengaturannya dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI)?
1.3. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka tujuan penelitian ini adalah :
1. Untuk mengetahui dan memperbaharui sejauh mana perangkat hukum yang
ada mampu memberikan kepastian hukum kedudukan kelebihan pembagian
harta warisan (radd) untuk janda dan duda dalam hukum waris Islam.
2. Untuk menganalisis tentang pertimbangan yuridis yang dijadikan dasar
pertimbangan dalam memutus perkara yang terkait dengan kelebihan
pembagian harta warisan (radd) untuk janda dan duda.
1.4. Manfaat Penelitian
Manfaat yang ingin dicapai dalam penelitian ini baik teoritis maupun praktis
sebagai berikut :
1. Manfaat Teoritis
Secara teoritis penelitian ini dapat bermanfaat untuk memberikan konstribusi
pemikiran dalam perkembangan ilmu pengetahuan hukum khususnya
mengenai kedudukan kelebihan pembagian harta warisan (radd) untuk janda
dan duda dalam hukum waris Islam.
2. Manfaat Praktis
8
a. Bagi peneliti
Dengan adanya penelitian ini diharapkan menambah wawasan ilmu
pengetahuan peneliti dalam bidang hukum waris Islam di Indonesia.
b. Bagi pemerintah
Manfaat penelitian ini bagi pemerintah yaitu mampu memberikan
sumbangan pemikiran sebagai referensi dalam upaya memperbaharui
peraturan-peraturan mengenai hukum waris Islam di Indonesia.
c. Bagi masyarakat
Melalui penelitian ini peneliti mengharapkan agar masyarakat dapat
memiliki peningkatan kwalitas dalam memahami tentang hukum
kewarisan Islam khususnya kedudukan kelebihan pembagian harta warisan
(radd) untuk janda dan duda dalam hukum waris Islam.
1.5. Orisinalitas Penelitian
Penelitian yang bertema kedudukan kelebihan pembagian harta warisan (radd)
untuk janda dan duda dalam hukum waris Islam merupakan fokus permasalahan
yang peneliti angkat, tentunya berbeda dengan penelitian yang lain, tetapi apabila
telah ada penelitian serupa, peneliti berharap dapat saling mendukung dan
melengkapi, seperti yang tertera pada tabel sebagai berikut :
Tabel 1. Orisinalitas Penelitian
NO NAMA FAKULTAS/
UNIVERSITAS TEMA DAN
JUDUL PEMBEDA
1 LIA MURLISA
Pascasarjana Universitas Islam Negeri Ar-Raniry
Ahli Waris Penerima Radd Menurut Kompilasi Hukum Islam Dan
Dalam penelitian tesis ini lebih memfokuskan pada analisis tentang adanya perbedaan pendapat tentang penyelesaian harta sisa
9
Relevansinya Dengan Sosial Kemasyarakatan
warisan dengan cara radd, serta siapa saja ahli waris penerima radd, baik dari pendapat ahli maupun analisis pasal 193 dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI).
2
Ahmad Zahari
Pascasarjana Universitas Diponegoro Semarang 2005
Hukum Kewarisan Kompilasi Hukum Islam serta Persamaan dan Perbedaannya dengan Hukum Kewarisan Syafii dan Hazairin
Dalam penelitian tesis ini peneliti dalam salah satu subbab yang membahas tentang radd yang berkaitan dengan pasal 193 Kompilasi Hukum Islam (KHI), mengikuti pendapat yang tidak membedakan ahli waris menurut hubungan perkawinan dan hubungan darah. Logikanya suami atau istri dalam menerima radd diperbolehkan.
1.6. Kerangka Teoritik
Dalam penulisan tesis ini diperlukan sebuah teori hukum untuk membuat
sistematisasi dari ajaran hukum, dengan kata lain merupakan suatu kajian filsafat
tentang hukum. Dengan adanya teori hukum, maka akan membantu dalam
mempermasalahkan hal-hal seperti mengapa hukum itu berlaku, apa kekuatan
dasar hukum yang mengikatnya? Apa yang menjadi tujuan hukum? Bagaimana
hukum itu sebaiknya dipahami? Apa hubungannya dengan individu dengan
masyarakat? Apa yang seharusnya dilakukan oleh hukum? Apakah keadilan itu
bagaimanakah hukum yang adil? 4
Teori hukum merupakan bagian ilmu hukum yang dalam struktur ilmu hukum
letaknya berada dibawah filsafat hukum dan diatas hukum positif. Oleh karena itu
teori hukum mendasari hukum positif dan berfungsi untuk menjelaskan dan
menerangkan mengenai hukum positif. Sedangkan pengertian teori hukum sendiri
adalah keseluruhan pernyataan yang saling berkaitan berkenaan dengan sistem
konseptual mengenai aturan-aturan hukum dan keputusan hukum untuk
memperoleh bentuk dalam hukum positif. 5
Teori hukum memiliki tiga tugas pokok, yaitu pertama apa yang ada pada
tentang pengertian hukum dari berbagai konsep hukum. Kedua, menyibukkan diri
dengan hubungan antara hukum dan logika. Ketiga, menyibukkan diri dengan
metodologi meneliti obyek dan metode dari ilmu hukum (teoritis) dan dipihak lain
dari pengembangan hukum (praktis) seperti peraturan perundang-undangan.
Berdasarkan pengertian teori hukum diatas, teori hukum akan dijadikan
sebagai landasan untuk menganalisis permasalahan penelitian tesis yang akan
diajukan. Teori-teori yang akan dijadikan pedoman analisis adalah sebagai berikut:
1.6.1. Teori Tujuan Hukum
Tujuan hukum pada umumnya adalah untuk menciptakan masyarakat tertib,
sehingga tertata dengan tertib dan juga untuk menjaga keseimbangan dalam
masyarakat, dengan berasaskan keadilan dan kemanfaatan sehingga adanya
kepastian hukum dalam masyarakat.
a. Teori Kepastian Hukum
Dalam mewujudkan ketertiban masyarakat tidak akan lepas dari adanya unsur
hukum yang berupa norma-norma hukum. Hubungan hukum dengan masyarakat
5 J.J.H.Bruggink, dialihbahasakan oleh Arief, Refleksi Tentang Hukum, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1996), hlm. 2-3.
11
telah dicetuskan yang
artinya tiada masyarakat tanpa hukum dan tiada hukum tanpa masyarakat 6 .
Utrecht juga mengatakan bahwa hukum merupakan himpunan peraturan peraturan
atau perintah dan larangan untuk mengurus tata tertib yang harus ditaati oleh
masyarakat itu 7.
Teori Huijaber menegaskan bahwa tujuan politik hukum bukan hanya
menjamin keadilan, melainkan juga menciptakan ketentraman hidup, dengan
memelihara kepastian hukum8. Kepastian hukum bukan merupakan tujuan hukum,
tetapi merupakan sesuatu yang harus ada apabila keadilan dan ketenteraman
hendak diciptakan.
Melihat tujuan dari diadakannya hukum, maka harus dipahami bahwa
diadakannya hukum tersebut bukan merupakan sesuatu yang fakultatif, melainkan
sesuatu yang imperatif artinya, meskipun masyarakat memiliki banyak alternatif,
mereka tidak dapat memilih untuk meniadakan hukum karena meniadakan hukum
hanya ada di angan-angan dan tidak mungkin terwujudkan. Terciptanya keadilan
dan ketentraman tidak mungkin tanpa menggunakan sarana hukum 9.
Dalam beberapa literatur dikenal beberapa teori tentang tujuan hukum yaitu
teori etis, teori utilitis, dan teori campuran. Teori etis menekankan pada tujuan
hukum secara filosofis, yaitu keadilan bagi masyarakat; teori utilitis menekankan
pada kemanfaatan hukum; sedangkan teori campuran menekankan pada ketertiban
masyarakat dan hukum sebagai penyelesaian konflik.
Guastav Radbruch menegaskan bahwa ada tiga macam nilai dasar tujuan
6 Muhammad Bakri, Pengantar Hukum Indonesia, (Malang: IKIP Malang, 1995), hlm. 88-112. 7 CST kansil, Pengantar Ilmu Hukum Jilid I, (Jakarta: Balai Pustaka, 2000), hlm. 11. 8 Theo Huijabers, Filsafat Hukum, (Jakarta: Kanisius, 1995), hlm. 188-121. 9 Abdul Rachmad Budiono, Pengantar Ilmu Hukum, (Malang: Bayu Media, 1997), hlm. 23.
12
hukum yang menjadi dasar dalam penerapan hukum, yaitu: a) nilai keadilan, b)
nilai kemanfaatan, dan c) nilai kepastian hukum. Tujuan hukum wajib
memprioritaskan keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum. Ketiga dasar tujuan
hukum ini harus diusahakan dalam setiap putusan hukum, baik yang dilakukan
hakim, jaksa, pengacara maupun aparat penegak hukum lainnya. Hal tersebut
dapat terwujud secara bersama-sama, tetapi kadangkala tidak mungkin terwujud,
maka harus diprioritaskan keadilan terlebih dahulu kemudian kemanfaatan dan
yang terakhir kepastian hukumnya10.
Kepastian hukum berarti kepastian dalam pelaksanaannya, yaitu bahwa
hukum resmi diperundangkan dilaksanakan dengan pasti oleh negara11. Dengan
adanya kepastian hukum maka setiap orang dapat menuntut agar hukum
dilaksanakan dan pasti dipenuhi serta setiap pelanggaran hukum ditindak dan
dikenakan sanksi sesuai hukum. Mengenai fungsi dan kewenangan pengadilan,
dalam pengambilan keputusan harus berdasarkan penilaian terhadap status hukum
masalah yang diperkarakan, dan tidak menurut kepentingan pihak-pihak tertentu.
Sehingga keputusan pengadilan harus bebas dari pengaruh kekuasaan.
Kepastian hukum menuntut agar ada prosedur pembuatan dan peresmian
hukum itu jelas dan dapat diketahui untuk umum. Oleh sebab itu, hukum harus
dikembangkan secara berkelanjutan dan taat asas, undang-undang harus saling
berkaitan menuju kesatu arah serta undang-undang tidak saling bertentangan12.
Sedangkan menurut Gustav Radbruch, bahwa ada 2 (dua) macam pengertian
kepastian hukum, yaitu kepastian oleh karena hukum dan kepastian hukum dalam
atau dari hukum. Hukum yang berhasil menjamin banyak kepastian dan 10 Marwan Mas, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Ghlmia Indonesia, 1997), hlm. 73-74. 11 Ibid., hlm. 79. 12 Ibid., hlm. 80.
13
berhubungan dengan masyarakat disebut dengan hukum yang berguna. Kepastian
hukum dapat tercapai apabila hukum tersebut banyak terdapat dalam undang-
undang dan tidak ada ketentuan-ketentuan yang bertentangan, yaitu undang-
undang berdasarkan sistem yang logis dan praktis. Undang-undang itu dibuat
rechtswerkelijkheid -
sungguh, dan dalam Undang-undang tersebut tidak terdapat istilah-istilah yang
dapat ditafsirkan secara berlainan.13
Kepastian hukum dan keadilan yang serasi merupakan faktor yang menunjang
keseimbangan kepentingan dalam bermasyarakat untuk mencapai ketertiban dan
ketentraman. Oleh karena itu, ketertiban harus didasari pengakuan terhadap harkat
dan martabat manusia sebagai warga masyarakat yang terwujud dalam keadilan14.
Hukum waris Islam dalam perkembangannya demi mewujudkan kepastian hukum
dalam pengaturannya sudah diatur dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI),
khususnya mengenai penyelesaian masalah radd diatur dalam pasal 193,
diharapkan dengan pasal tersebut masalah radd dapat terselesaikan.
b. Teori Keadilan
Keadilan adalah persoalan yang berkaitan dengan isu-isu hak asasi manusia,
kemerdekaan, persamaan, dan pertanggungjawaban serta persoalan yang
mendasar bagi kehidupan. Keadilan salah satu tujuan setiap agama yang ada di
dunia ini, terutama agama Islam yang menempatkan keadilan di tempat yang
sangat penting dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Keadilan pada
hakekatnya adalah memperlakukan seseorang atau pihak lain sesuai dengan
13 E.Utrecht, Pengantar Dalam Hukum Indonesia, cetakan IV, (Jakarta: Ichtiar, 1957), hlm. 22-23. 14 Soerjono Soekanto, Beberapa Permasalahan Hukum dalam Kerangka Pembangunan Indonesia, (Jakarta: UI Press, 1983), hlm.168.
14
haknya. Setiap orang harus diakui dan diperlakukan sesuai harkat martabatnya,
sama derajatnya, sama hak dan kewajibannya dengan tidak melihat perbedaan
suku, agama, bangsa, dan latar belakang sosialnya.
John rawsl menerangkan bahwa keadilan sosial, yaitu:
- the difference principle, yang artinya bahwa perbedaan sosial dan ekonomi
harus diatur agar dapat memberikan manfaat besar bagi mereka yang paling
kurang beruntung. Dengan maksud adanya ketidaksamaan dalam unsur pokok
kesejahteraan, pendapatan dan otoritas.
- The Principle of Fair Equality of opportunity, yang artinya bahwa mereka
yang paling kurang mampu mempunyai peluang untuk mencapai prospek
kesejahteraan, pendapatan dan otiritas. Mereka yang paling kurang mampu
lah yang harus diberikan perlindungan khusus.
Keadilan menurut Rawsl disebut dengan istilah fairness. Dalam membangun
teorinya Rawsl berangkat dari suatu posisi hipotesis dimana ketika setiap individu
memasuki kontrak sosial itu mempunyai kebebasan (liberty).15
original position
status quo awal yang menegaskan bahwa kesepakatan fundamentalis yang dicapai
dalam kontrak sosial adalah adil. Berdasarkan fakta, original position melahirkan
istilah keadilan sebagai fairness. Rawls menegaskan bahwa sekalipun dalam teori
ini menggunakan istilah fairness namun tidak berarti bahwa konsep keadilan dan
fairness sama. Salah satu bentuk keadilan fairness adalah memandang bahwa
posisi setiap orang dalam memulai sebuah kesepakatan yang berbentuk kontrak
sosial adalah rasional dan sama-sama/netral.
15
ard Univer hlm. 3.
15
Rawls menguraikan teori keadilan atau fairness tersebut sebagai gagasan
utama dari keadilan yang megeneralisasi suatu abstraksi yang lebih tinggi konsep
tradisional kontrak sosialnya. Pokok utama keadilan adalah struktur dasar dari
masyarakat yang membawa cara bagaimanakah lembaga-lembaga utama
masyarakat mengatur hak-hak dan kewajiban dasar serta kesejahteraan dari suatu
kerja sosial. Sebab, the basic structure of society sangat berpengaruh besar dalam
menentukan bagaimana keadilan tersebut. Hukum Islam terutama yang berkaitan
dengan waris sudah diatur dalam hukum Islam yaitu yang bersumber dari Al-
Quran, Hadist Nabi, dan Ijtihad. tentunya diharapkan dengan adanya pengaturan
tersebut masalah mengenai waris Islam dapat terselesaikan tanpa
mengesampingkan segi keadilan bagi semua pihak, pengaturan tersebut
dituangkan dalam Kompilasi Hukum Islam demi memudahkan penyelesaian
dalam masalah kewarisan Islam. Keadilan dalam hukum kewarisan Islam tentunya
tetap harus berpedoman dari aturan hukum Islam itu sendiri, berkaitan dengan
penyelesaian masalah radd ternyata masih banyak pendapat dan penafsiran yang
berbeda tentang siapa saja ahli waris yang berhak menerima radd. Dengan
berlandaskan keadilan seharusnya semua ahli waris termasuk janda dan duda
seharusnya juga termasuk ahli waris yang berhak menerima radd dengan
mengkaji pasal 193 Kompilasi Hukum Islam (KHI).
c. Teori Kemanfaatan
Hukum merupakan landasan kehidupan suatu bangsa yang bertujuan untuk
mencapai cita-cita masyarakat yang adil dan makmur. Menurut Hans Kelsen,
hukum itu sendiri harus bebas dari pengaruh sosial, politik, budaya, sejarah, dan
lainnya. Hal tesebut dikarenakan hukum sebagai landasan kehidupan suatu bangsa
16
dalam mencapai cita-cita masyarakat yang adil dan makmur. Sehingga
pelaksanaan hukum tersebut dapat memberikan manfaat bagi masyarakatnya.
Berikut ini adalah berbagai aliran pemikiran mewarnai konsep dan pemberlakuan
hukum, yaitu:
1. Aliran Hukum Alam
Aliran ini terbagi menjadi dua kelompok yaitu irrasional dan rasional. Hukum
alam sudah merupakan kodrat yang diberikan oleh Tuhan, sehingga
keberadaannya sangat mempengaruhi kehidupan manusia.
2. Aliran Positivisme
Aliran ini dikembangkan oleh John Austin dan Hans Kelsen, secara tegas
memisahkan antara hukum dan moral. Hukum yang diterapkan dalam
kehidupan sehari-hari memiliki kewenangan hukum yang dibuat oleh manusia,
penguasa negara, kelompok atau individu.
3. Aliran Utilitarianisme
Aliran ini mendapat dukungan dari beberapa tokoh, yaitu Jeremy Bentham,
John Stuart Mill dan Rudolf von Jhering. Menurut Bentham, hukum bertujuan
untuk memberikan kebahagiaan bagi banyak manusia, harus baik dan tidak
mengganggu yang lainnya meskipun ada penekanan pada kebahagiaan
individu. Sedangkan menurut John Stuart Mill, hukum akan menjadi baik dan
bermanfaat jika didasari rasa keadilan yang terkandung unsur pertahanan diri
dan simpati yang bersifat alami. Rudolf von Jhering juga memiliki pandangan
yang sama dengan Bentham dan Mill, yaitu tujuan hukum untuk mencapai
kebahagiaan. Dengan demikian hukum yang baik dan bermanfaat jika mampu
mengesampingkan kepentingan individu serta mampu menyeimbangkan
17
antara kepentingan individu dan masyarakat.
4. Aliran Sejarah
Dalam aliran ini mengajarkan bahwa hukum terbentuk dalam masyarakat,
yang dipelopori oleh dua tokoh yaitu Von Savigny dan John Frederich Puchta.
Menurut Von Savigny, hukum akan tumbuh jika tertanam rasa keadilan dalam
jiwa masyarakat. Sedangkan menurut John Frederich Puchta, bahwa hukum
akan lebih bermanfaat bagi masyarakat jika disahkan oleh negara sebagai
hukum yang berlaku.
5. Aliran Realisme
Aliran ini dikelompokkan menjadi 2 (dua) macam, yaitu Amerika dan
Skandinavia. Relisme Amerika menyatakan bahwa hukum yang baik terlahir
dari pengalaman-pengalaman masyarakat dan menyesuaiakn perkembangan
masyarakat, sehingga dapat bermanfaat secara maksimal. Sedangkan menurut
Realisme Skandinavia, hukum akan lebih bermanfaat bagi kesejahteraan
manusia jika pembuatannya berdasarkan analisis kebutuhan masyarakat.
Kemanfaatan dalam hukum Islam dikenal dengan istilah kemaslahatan baik
bagi individu maupun bagi masyarakat pada umumnya, berdasarkan teori
kemanfaatan penyelesaian masalah radd dapat diselesaikan dengan pertimbangan
yang lebih rasional khususnya kedudukan janda dan duda dalam menerima harta
sisa warisan atau radd.
1.6.2. Teori Reactualisasi Hukum Islam
Dalam dekade ini banyak bermunculan istilah-istilah yang diartikan untuk
memaknai pembaruan Islam terutama di kalangan para intelektual muslim baik di
18
Indonesia maupun di luar negeri. Istilah tersebut yaitu reorientasi (memikirkan
kembali), reinterpretasi (penafsiran ulang), reaktualisasi (mengangkat dan
(mempertimbangkan konteks kehidupan sosial budaya), dan istilah-istilah lainnya
yang sama.16
Munawir Sjadzali adalah seorang intelektual Muslim Indonesia yang
Ajaran Islam dengan mengedepankan aspek maslahah. Gagasan tersebut
dikemukakan oleh Munawir pada tahun 1985, dan mendapat respon positif oleh
Yayasan Paramadina. Munawir juga menjelaskan bahwa situasi dan kondisi umat
Islam saat ini sangat berbeda dengan zaman Rasulullah dahulu. Namun para
pemikir Islam belum berani berpikit lebih kontekstual. Akibatnya, Islam yang
dahulu pada zaman Nabi SAW merupakan ajaran yang revolusioner, tetapi saat ini
menjadi terbelakang dan tertinggal jauh dengan Barat.17
Itulah salah satu alasan yang mendukung Munawir untuk memunculkan
gagasan pembaruan terhadap hukum Islam. Gagasan beliau dianggap terlalu
berani dan kontroversial sebagai seorang Menteri Agama yang masih dalam masa
jabatannya. Namun dari sisi lain, dalam posisinya sebagai Menteri Agama lebih
memungkinkan banyak ruang untuk mensosialisasaikannya. Kemudian, konsep
Reaktualisasi ajaran Islam
disampaikan dalam forum Paramadina.
Menurut Munawir, dalam kasus hukum waris mengatakan bahwa pembagian
waris Islam seperti yang ditentukan dalam Al- 16 Yunahar Ilyas, Reaktualisasi Ajaran Islam, Studi atas Pemikiran Hukum Munawir Sjadzali dalam Jurnal Al-Jamiah, (Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga, Vol. 44, Number 1, 2006) 17 Munawir Sjadzali, Ijtihad Kemanusiaan, (Jakarta: Paramadina, 1997), hlm. 5.
19
akan tetapi justru sikap masyarakat tidak percaya lagi akan keadilan hukum
faraidl. Inilah yang melatarbelakangi pemikirannya untuk memunculkan gagasan
alisasi Hukum Islam
Dalam masalah warisan, Munawir menjelaskan bahwa bagian warisan antara
laki-laki yang dua kali lipat dari bagian perempuan, karena:
1. Alasan pertama, tidak mencerminkan semangat keadilan bagi masyarakat
Indonesia saat ini. Hal ini terbukti banyaknya penyimpangan dari ketentuan
waris tersebut baik yang dilakukan orang awam maupun ulama, dengan cara
menghibahkan harta bendanya kepada anak-anaknya ketika orangtuanya
masih hidup. Ini merupakan suatu indikasi atas ketidakpercayaan masyarakat
muslim terhadap hukum waris dalam Al-
2. Alasan kedua, adalah faktor gradualitas. Menurut Munawir, perempuan pada
zaman jahuliyah tidak mendapatkan warisan, maka ketika Islam datang
perempuan diangkat derajatnya dan diberi warisan meskipun hanya separuh
dari bagian laki-laki. Kemudian pada masa modern, perempuan memberikan
peran yang sama dengan laki-laki di dalam masyarakat, sehingga logis
apabila warisannya ditingkatkan agar sama dengan laki-laki.
3. Alasan ketiga, bahwa laki-laki mempunyai kewajiban memberi nafkah
terhadap anak isteri, bahkan orangtua maupun adik perempuan yang belum
bersuami.18 Hal ini sebagaimana dijelaskan pada Al- urat An-Nisa
ayat 34, yang artinya:
-laki itu pelindung bagi perempuan, karena Allah SWT telah melebihkan sebagian dari mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan) dan karena mereka (laki-laki) telah memberikan nafkah dari
19 Johny Ibrahim, Teori dan Penelitian Hukum Normatif, (Malang: Bayu Media Publising, 2007), hlm. 57. 20 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: Universitas Indonesia, 1984), hlm. 250.
22
(historical approach), pendekatan kasus (case approach), pendekatan komparatif
(comparative approach), dan pendekatan undang-undang (statue approach).
Pendekatan penelitian yang peneliti gunakan adalah 2 (dua) macam, yaitu:
a. Pendekatan undang-undang (statue approach)
Pendekatan ini digunakan sebagai pijakan dalam menjawab isu hukum yang
akan dihadapi. Peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan isu
hukum dalam penelitian ini diinventarisasi berdasarkan hierarki dan asas-asas
dalam peraturan perundang-undangan. Peneliti perlu mencari ratio logis dan dasar
ontologis suatu undang-undang, peneliti mampu menagkap kandungan filosofi
yang ada dibelakang undang-undang, perlu juga digunakan ajaran interpretasi atau
penafsiran atau hermeutika hukum. Peraturan perundang-undangan yang akan
digunakan dalam penelitian ini utamanya adalah Kompilasi Hukum Islam (KHI).
Dalam penelitian ini pendekatan undang-undang digunakan karena ada telaah atau
analisis terhadap kepastian hukum mengenai kedudukan pembagian kelebihan
harta warisan (radd) untuk janda dan duda dalam hukum waris Islam dan
pengaturan dalam Kompilasi Hukum Islam.
b. Pendekatan konseptual (conceptual approach)
Pendekatan konseptual berawal dari pandangan-pandangan dan doktrin-
doktrin yang berkembang dalam ilmu hukum. Dengan mempelajari pandangan-
pandangan tersebut, peneliti akan menemukan konsep-konsep hukum dan asas-
asas hukum yang relevan dengan isu hukum yang dihadapi dalam memecahkan
isu hukum yang dihadapi.21
21 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Kencana Penada Media Group, 2005), hlm. 95.
23
1.7.3. Jenis dan Sumber Bahan Hukum
Untuk memecahkan atau menjawab masalah atau isu hukum diperlukan
sumber-sumber penelitian. Sumber-sumber penelitian ini merupakan :
a. Bahan hukum primer
1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
2. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
3. Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam
4. Al-Quran, Hadits Nabi, dan Ijtihad
b. Bahan hukum sekunder.
1. Hasil penelitian hukum terdahulu yang berkaitan dengan kedudukan
pembagian kelebihan harta warisan (radd) untuk janda dan duda dalam
hukum waris Islam.
2. Buku-buku hukum waris Islam.
3. Pendapat praktisi.
4. Pendapat akademisi.
1.7.4. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum
Bahan hukum yang dikumpulkan adalah bahan hukum primer dan sekunder.
Untuk memudahkan pengarsipan berbagai bahan hukum yang sudah diperoleh
yang akan dipergunakan komputer sebagai alat bantu. Bahan hukum yang telah
diperoleh dicatat di dalam file tersendiri, sehingga mudah untuk ditemukan pada
saat diperlukan untuk kepentingan analisis. Setiap file diisi dengan bahan hukum
yang telah dikelompokkan, sesuai dengan kepentingan analisis, pengelompokkan
ini didasarkan pada kepentingan analisis.
24
Komputerisasi bahan hukum yang telah ditemukan tersebut amat
mempermudah dan mengefisienkan analisis penelitian ini.
1.7.5. Teknik Analisis Bahan Hukum
Bahan hukum berwujud (a) kata, (b) frase, (c) kalimat, (d) proposisi, (e) dalil,
dan (f) prinsip. Fokus utama penelitian hukum normatif adalah mencari hubungan
logis antar badan hukum tersebut. Dari pencarian ini diperoleh asas atau prinsip
hukum, hubungan korelasi antar prinsip hukum dengan prinsip hukum lainnya
atau dengan peraturan hukum, sesuai atau tidak sesuainya antar peraturan hukum,
dan lain-lain.
Berbagai peraturan perundang-undangan dan bahan pustaka yang telah
diperoleh dari sumber yang terkait, kemudian diolah dan dianalisis dengan
mempergunakan langkah-langkah normatif dan pembahasan dilakukan secara
deskriptif analitik.
Untuk pengolahan bahan hukum primer dilakukan dengan cara memilih
pasal-pasal yang berkaitan dengan pembagian kelebihan harta warisan (radd)
untuk janda dan duda dalam hukum waris Islam, dilanjutkan dengan membuat
sistematik dari pasal-pasal dimaksud serta menganalisisnya berdasarkan hukum.
Hal yang sama juga dilakukan terhadap bahan pustaka, yaitu melakukan
klasifikasi dan sistematisasi konsep terbaru atau pendapat-pendapat yang
berhubungan dengan pembagian kelebihan harta warisan (radd) untuk janda dan
duda dalam hukum waris Islam.
Selanjutnya setelah dilakukan pengolahan bahan hukum, maka bahan hukum
tersebut dibahas dengan metode analisis teks atau isi (content analysis), yakni
25
menyoroti teks atau isi kaidah-kaidah hukum dari peraturan perundangan yang
berhubungan dengan objek yang diteliti dengan cara penafsiran (interpretasi) atau
hermeneutik, dan sistematisasi (atau menggunakan analisis kualitatif).
Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka penelitian yang akan dilakukan
dalam tesis ini dapat digambarkan melalui desain penelitian berikut ini:
Tabel 2. Desain Penelitian
1.8. Sistematika Penulisan
Tesis ini disusun dalam sistematika yang terbagi dalam 4 (empat) bab dengan
tujuan memperjelas pembahasan dari permasalahan yang diteliti. Adapun urutan
statue approach
conceptual approach
Teori Reactualisasi
Hukum Islam
Hasil....?
Latar Belakang
Rumusan Masalah
Kerangka Teori
Metode Penelitian
Hasil Pembahasan
Pewarisan merupakan hal yang sangat diperhatikan dalam hukum Islam Pengaturan hukum waris Islam bersumber dalam Al-Hadits Nabi SAW, dan Ijtihad Perbedaan pendapat para fuqaha/ulama mengenai kedudukan kelebihan pembagian harta warisan (radd) untuk janda dan duda Pengaturan radd dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI)
Bagaimana kedudukan kelebihan pembagian harta warisan (radd) untuk janda dan duda dalam hukum waris Islam dan pengaturannya dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI)?
Teori Tujuan Hukum
Hukum Normatif
Keterangan: = Alur pembahasan = Batasan pokok bahasan
26
masing-masing bab serta pokok pembahasannya yaitu:
BAB I PENDAHULUAN
Pada bab ini akan dibahas tentang pendahuluan umum, yang merupakan
dasar dan pengantar daripada penulisan tesis. Dikemukakan mengenai
latar belakang masalah, kemudian diteruskan dengan uraian tentang
rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, orisinalitas
penelitian, kerangka teoritik, metode penelitian serta sistematika penulisan.
BAB II KAJIAN PUSTAKA
Dalam bab ini akan dibahas mengenai hukum waris menurut Islam,
sumber hukum waris Islam, asas-asas hukum waris Islam, sebab-sebab
terjadinya waris Islam, unsur-unsur hukum waris Islam, syarat-syarat
kewarisan, penghalang mewaris, ahli waris, hijab dalam kewarisan Islam
dan kajian tentang radd serta janda dan duda dalam hukum waris Islam.
BAB III: HASIL DAN PEMBAHASAN
Dalam bab ini akan dibahas mengenai munculnya radd dan
penyelesaiannya, pendapat para fuqaha atau ulama tentang radd untuk
janda dan duda serta pengaturan radd menurut Kompilasi Hukum Islam
(KHI).
BAB IV: KESIMPULAN DAN SARAN
Dalam bab ini ialah bab penutup, penulis akan menguraikan tentang
kesimpulan dan keseluruhan pembahasan yang dilakukan dalam bab-bab
sebelumnya serta saran-saran yang mungkin dapat dilaksanakan.
27
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1. Kajian Tentang Hukum Waris Islam
Hukum waris yang berlaku secara nasional belum terbentuk. Hingga saat ini,
hukum waris yang digunakan dan berlaku dalam masyarakat di Indonesia dibagi
menjadi 3 macam, yaitu menurut hukum Adat, hukum Islam serta hukum Perdata
Eropa (BW). Hal ini disebabkan karena dahulunya warisan hukum dibuat oleh
pemerintahan kolonial Belanda untuk Hindia Belanda.
Sebagai negara yang telah merdeka dan berdaulat, dituntut memiliki hukum
waris tersendiri yang berlaku secara nasional. Seperti halnya hukum perkawinan
dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, bahwa bangsa Indonesia yang
berfalsafah Pancasila sesuai dengan aspirasi masyarakat yang mayoritas beragama
Islam. Dengan berlakunya hukum Islam di Indonesia, diantaranya hukum waris
(terutama yang beragama Islam) maka sudah selayaknya dalam menyusun hukum
waris nasional nantinya terdapat ketentuan pokok mengenai Hukum Waris Islam
yang ada di dalamnya sesuai dengan pola budaya atau adat masyarakat yang
bersangkutan.
2.1.1. Pengertian Hukum Waris Islam
Hukum waris Islam merupakan bagian dari hukum keluarga dalam hukum
Islam. Hukum waris Islam
berdasarkan wahyu Allah SWT dan sunnah Nabi SAW yang berisi tentang hal
ihwal pemindahan hak yang berupa harta peninggalan dari orang yang telah mati
kepada orang yang masih hidup, yang diakui dan yang diyakini berlaku serta
28
mengikat untuk semua yang memiliki agama Islam 22
ampuran antara
23
Adapun dalam ketentuan pasal 171 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam, hukum
waris adalah hukum yang menjelaskan pengaturan peralihan hak kepemilikan
harta peninggalan (tirkah) pewaris untuk menentukan siapa ahli warisnya dan
besarnya bagian masing-masing setiap ahli waris tersebut.
Menurut Amir Syarifuddin 24 : Islam adalah peraturan
dengan ketentuan-ketentuan yang mengatur cara pemindahan hak seseorang yang
telah meninggal dunia/mati kepada orang yang masih hidup dengan ketentuan-
ketentuan tersebut berdasarkan Al-
dalam istilah arab disebut Faraidl Islam, yang terdapat
pada Al-Qur an Surat An Nisa ayat 11 dan 12, yaitu berpindahnya harta
peninggalan dari orang yang telah meninggal dunia atau mati kepada ahli waris
yang masih hidup dikarenakan adanya hubungan kekerabatan atau hubungan
perkawinan yang sah dengan ketentuan dan aturan yang sudah ditetapkan dalam
hukum Islam.
Di dalam hukum waris Islam telah diatur dan ditata mengenai hal peralihan
harta warisan dari seorang pewaris kepada ahli warisnya. Proses peralihan tersebut
dikenal sebagai ilmu faraid, yaitu ilmu yang pembagian harta warisan. Ilmu ini
menjelaskan tentang ketentuan-ketentuan warisan yang menjadi bagian ahli
warisnya, yang dibedakan menjadi dua, yaitu:
22 Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, (Jakarta: Kencana, 2005), hlm. 17-18. 23 Afdol, Penerapan Hukum Waris Islam secara Adil, (Surabaya: Airlangga University Press, 2003), hlm. 67. 24 Idris Djakfar dan Taufik Yahya, Kompilasi Hukum Kewarisan Islam, (Jakarta: PT. Dunia Pustaka Jaya, 1995), hlm. 3-4.
29
1. Sebagai peraturan-peraturan tentang hal pembagian harta warisan
2. Sebagai peraturan-peraturan menghitung bagian dari masing-masing ahli
waris yang berhak mendapatkan harta warisan.
2.1.2. Sumber Hukum Waris Islam
Sumber pokok Hukum Waris Islam adalah Al-
dan Ijtihad.
a. Al-
Sebagai sumber hukum, Al- Islam yang
pertama dan utama. Di bidang kewarisan, Al-
terperinci mengenai siapa saja yang berhak mendapatkan harta warisan (sebagai
ahli waris) dan berapa besar bagiannya masing-masing seperti yang terdapat
dalam Surat An-Nisa ayat 7,11,12, 33, 176, surat Al Ahzab ayat 6 dan Surat Al-
Anfal ayat 75. Ayat Al- mengatur tentang kewarisan secara jelas dan
terperinci diatas adalah sebagai berikut:
1. Surat An-Nisa ayat 11
Ayat tersebut 25 mengatur tentang perolehan warisan bagi anak, ibu dan bapak
serta soal wasiat dan hutang.
25 Allah mensyariatkan bagimu tentang (pembagian warisan untuk) anak-anakmu, (yaitu) bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua orang anak perempuan. Dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagian mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan. Jika dia (anak perempuan) itu seorang saja, maka dia memperoleh setengah (harta yang ditinggalkan). Dan untuk kedua bapak ibu, bagian masing-masing seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika dia (yang meninggal) mempunyai anak. Jika dia (yang meninggal) tidak mempunyai anak dan dia diwarisi oleh kedua bapak ibunya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga. Jika dia (yang meninggal) mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut diatas) setelah (dipenuhi) wasiat yang dibuatnya atau (dan setelah dibayar) utangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa diantara mereka yang lebih banyak manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan Allah. Sungguh
Surat An-Nisa ayat 11 ini menjelaskan beberapa garis hukum waris, yaitu:
a. Anak perempuan jika hanya seorang saja, maka bagiannya setengah
b. Jika anak perempuan ada dua orang atau lebih, maka bagiannya dua
pertiga
c. Jika anak perempuan bersama dengan anak laki-laki maka bagian untuk
anak laki-laki dua kali dari bagian anak perempuan
d. Jika pewaris mempunyai anak, maka ibu dan bapak bagiannya masing-
masing seperenam
e. Jika pewaris tidak memiliki anak dan ia diwarisi oleh bapak ibunya saja,
maka bagian ibu sepertiga
f. Jika pewaris memiliki beberapa saudara, maka ibunya mendapatkan
seperenam
g. Pembagian warisan tersebut dilakukan setelah dikeluarkannya wasiat dan
hutang pewaris.
2. Surat An Nisa ayat 12
Ayat ini 26 menjelaskan perolehan warisan bagi duda, janda dan saudara-
saudara beserta wasiat dan hutang.
Surat An-Nisa ayat 12 ini menjelaskan beberapa garis hukum waris, yaitu:
26 an bagianmu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh istri-strimu, jika mereka tidak memiliki anak. Jika mereka (istri-istrimu) itu memiliki anak, maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah (dipenuhi) wasiat yang mereka buat atau (dan sesudah dibayar) utangnya. Para istri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu mempunyai anak, maka para istri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan (sesudah dipenuhi) wasiat yang kamu buat atau (dan sesudah dibayar) utang-utangmu. Jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. Tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersama-sama dalam yang sepertiga itu, sesudah (dipenuhi wasiat) yang dibuatnya atau (sesudah dibayar) utangnya dengan tidak menyusahkan (kepada ahli waris). Demikianlah ketentuan Allah. Allah Maha Mengetahui lagi Lihat Departemen Agama RI, op.cit, hlm. 117.
31
a. Duda mendapat bagian seperdua, jika pewaris tidak mempunyai anak
b. Jika mempunyai anak, maka bagian duda adalah seperempat
c. Janda mendapat bagian seperempat, jika pewaris tidak mempunyai anak
d. Jika mempunyai anak. Maka bagian janda adalah seperdelapan
e. Saudara seibu bagiannya seperenam, jika hanya seorang saja
f. Jika saudara seibu lebih dari satu orang, maka mereka secara bersama-
sama mendapatkan sepertiga
g. Pembagian warisan tersebut dilakukan setelah dikeluarkannya wasiat dan
hutang pewaris.
3. Surat An Nisa ayat 176
Ayat ini 27 menjelaskan tentang kalalah dan pengaturan warisan untuk saudara
sekandung atau sebapak.
Surat An-Nisa ayat 176 ini diperuntukkan bagi saudara sekandung dan
seayah, dan garis hukum warisnya adalah:
a. Saudara perempuan jika hanya seorang saja dan tidak memiliki anak, maka
bagiannya seperdua
b. Jika saudara perempuan ada lebih dari seorang dan tidak mempunyai anak,
maka bagiannya dua pertiga
27 kepadamu tentang kalalah (yaitu), jika seseorang mati dan dia tidak mempunyai anak tetapi mempunyai saudara perempuan, maka bagiannya (saudara perempuannya itu) seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki-laki mewarisi (seluruh harta saudara perempuan), jika dia tidak mempunyai anak. Tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkannya. Dan jika mereka (ahli waris terdiri dari) saudara-saudara laki-laki dan perempuan, maka bagian seorang saudara laki-laki sama dengan bagian dua saudara perempuan. Allah menerangkan (hukum ini) kepadamu, agar kamu tidak sesat. Allah
Departemen Agama RI, op.cit, hlm. 153.
32
c. Jika saudara perempuan bersama saudara laki-laki dan tidak mempunyai
anak, maka bagian mereka bersama-sama menghabiskan semua harta
dengan ketentuan bagian laki-laki dua kali bagian perempuan.
4. Surat An Nisa ayat 7
Ayat ini 28 menerangkan tentang hak waris bagi laki-laki maupun perempuan
terhadap ibu, ayah dan kerabatnya serta sedikit atau banyak menurut cara
yang telah ditentukan.
5. Surat An Nisa ayat 33
Ayat ini 29 menerangkan bahwa Allah menjadikan pewaris bagi tiap harta
peninggalan oleh ibu, bapak dan kerabat.
6. Surat Al Anfal ayat 75
Ayat ini 30 menerangkan bahwa Allah menjadikan pewaris bagi tiap harta
peninggalan oleh ibu, bapak dan kerabat.
7. Surat Al Ahzab ayat 6
Ayat ini 31 menerangkan keutamaan ahli waris yang memiliki hubungan
keluarga dibanding dengan hubungan antara sesama Muslim.
28 orang laki-laki ada bagian dari harta peninggalan yang ditinggalkan oleh kedua orangtuanya dan kerabat-kerabatnya, dan bagi wanita ada bagian (pula) dari harta peninggalan yang ditinggalkan oleh kedua orangtuanya dan kerabat-kerabatnya, baik sedikit ataupun banyak menurut bagian yang telah di op.cit. 29 -masing (laki-laki dan perempuan) Kami telah menetapkan para ahli waris atas apa yang ditinggalkan oleh kedua orang tuanya dan karib kerabatnya. Dan (jika ada) orang-orang yang kamu telah bersumpah setia dengan mereka, maka berikanlah kepada mereka
op.cit, hlm. 122. 30 -orang yang beriman setelah itu, kemudian berhijrah dan berjihad bersamamu maka mereka termasuk golonganmu. Orang-orang yang memiliki hubungan kerabat itu sebagiannya lebih berhak terhadap sesamanya (daripada yang bukan kerabat) menurut Kitab Allah.
, op.cit, hlm. 274. 31 -orang mukmin dibandingkan diri mereka sendiri dan istri-istrinya adalah ibu-ibu mereka. Orang-orang yang memiliki hubungan darah satu sama lain lebih berhak (waris-mewarisi) di dalam Kitab Allah daripada orang-orang mukmin dan orang-orang Muhajirin, kecuali kalau kamu hendak berbuat baik kepada saudara-saudaramu (seagama).
Ibid, hlm. 667.
33
b. Sunah
Hadits atau Sunah Rasul adalah sumber hukum Islam yang kedua setelah Al-
berupa perkataan, perbuatan serta sikap diam Rasulullah yang tercatat
dalam kitab-kitab hadits. Yang merupakan penafsiran serta penjelasan otentik
tentang Al- 32 Hadits atau Sunah Rasul disatu sisi merupakan sumber yang
berdiri sendiri, dan disisi lain tidak merupakan sumber hukum yang berdiri sendiri
karena sifat gandulannya terhadap Al- an.33
Hadits atau Sunah Rasul mempunyai 3 (tiga) fungsi, yaitu:
1. Sunah sebagai penguat hukum dalam Al-
Muhammad SAW dari Ibnu Abbas yang diriwayatkan Bukhori dan Muslim
bagian yang telah ditetapkan dalam Al-
keluarga laki-
2. Sebagai penjelasan Al-
hanya sepertiga dari harta warisan, yang merupakan penjelasan Surat Al-
Baqarah ayat 180 dan 240. Dimana kedua ayat tersebut tidak dijelaskan
berapa harta warisan diberikan dalam wasiat tersebut.
3. Sebagai pembentuk hukum baru, artinya belum ada hukum warisan di dalam
Al- g yang berbeda
agama, salah satunya beragama Islam, tidak dapat saling mewarisi.34
Hadits atau Sunah Rasul yang menjelaskan tentang hukum kewarisan adalah:
32 Mohammad Daud Ali, Hukum Islam Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1996), hlm. 86. 33 Ahmad Hanafi, Pengantar dan Sejarah Hukum Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1970), hlm. 59. 34 Komari, Laporan Akhir Kompendium Bidang Hukum Waris, (Jakarta: BPHN Departemen Hukum dan HAM, 2011), hlm. 77-78.
34
1. Hadits Riwayat Bukhari dan Muslim dari Ibnu Abbas, dalam
terjemahannya yaitu: 35
an-bagian tertentu kepada orang-orang yang berhak.
Sesudah itu sisanya untuk laki-
2. Hadits Riwayat Abu Daud, Tirmizi, Ibnu Majah dan Ahmad dari Jabir. 36
3. Hadits Riwayat Muslim, Abu Daud, Tirmizi dan Ibnu Majah dari Surabil.37
4. Hadits Riwayat Ahmad, Abu Daud dan Tirmizi dari Usman bin Husin,
dalam terjemahannya, yaitu:38
-laki mendatangi Nabi SAW sambil berkata, bahwa anak dari anak laki-laki saya meninggal dunia, apa yang saya dapat dari harta warisannya. Nabi berkata: kamu
5.
Zueb.39
35 Idris Djafar dan Taufik Yahya, Op.cit., hlm. 22. 36 saw dengan membawa dua orang anak perempuannya, lalu ia berkata: Ya Rasul Allah, ini ada dua orang anak perempuan Saad yang telah gugur dalam peperangan bersama anda di Uhud. Paman mereka mengambil harta yang ditinggalkan ayah mereka dan tidak sedikitpun diberikan untuk mereka. Keduanya tidak mungkin kawin tanpa harta. Nabi berkata: Allah akan menetapkan hukum dalam kejadian itu . Sesudah itu turunlah ayat-ayat tentang kewarisan. Kemudian Nabi memanggil si paman dan berkata: Berilah dua pertiga untuk dua orang anak perempuan Saad, seperdelapan untuk jandanya dan yang sisanya adalah untukmu. Ibid. 37 kasus kewarisan seorang anak perempuan, anak perempuan dari anak laki-laki dan seorang saudara perempuan. Abu Musa berkata: Untuk anak perempuan setengah, untuk saudara perempuan setengah. Datanglah kepada
gatakan seperti itu pula. Kemudian ditanyakan kepada Ibnu Saya menetapkan berdasarkan apa yang telah ditetapkan oleh Nabi
SAW, Yaitu untuk anak perempuan setengah, untuk cucu perempuan seperenam sebagai pelengkap Hukum Kewarisan
Islam, (Jakarta: Prenada Media, 2004), hlm. 13. 38 Lihat Ibid. 39 seorang nenek mendatangi Abu bakar yang meminta warisan dari cuc Saya tidak menemukan sesuatu untukmu dalam Kitab Allah dan saya tidak mengetahui ada hakmu dalam sunah Nabi. Kembalilah dulu, nanti saya akan bertanya kepada orang lain tentang hal ini. Mugh kata: Saya pernah menghadiri Nabi yang memberikan hak nenek sebanyak seperenam.
Apakah ada orang lain selain kamu yang mengetahuinya Muhammad bin Maslamah berdiri dan berkata seperti yang dikatakan Mughirah. Maka akhirnya Abu bakar memberikan hak
Amir Syarifuddin, Op.cit., hlm. 14.
35
6. Hadits Riwayat Bukhari Muslim dari Saad bin Abi Waqqas tentang batas
maksimal pelaksanaan wasiat.40
7. Hadits Riwayat Abu Daud dan Ibnu Majah dari Abu Hurairah, dalam
terjemahannya, yaitu:41
8. Hadits Riwayat Bukhari, Muslim, Abu Daud, Tirmizi dan Ibnu Majah dari
Usman bin Zaid, dalam terjemahannya, yaitu:
42
9. Hadits Riwayat Ibnu Majah dari Jabir bin Abdullah dan Al Miswar bin
Makhramah, dalam terjemahannya, yaitu:
mendapatkan harta warisan kecuali ia lahir dalam keadaan bergerak dengan jeritan. Gerakannya diketahui dari
43
10. Hadits Riwayat Abu Daud, tirmizi dan Ibnu majah dari Ibnu Amir al-
Husaini, dalam terjemahannya, yaitu:
-laki dari ibu adalah ahli waris bagi seseorang yang tidak
44
40 keras. Lalu aku bertanya kepada beliau, Wahai Rasulullah SAW aku sedang menderita sakit keras, bagaimana pendepatmu, aku ini orang berada sementara tidak ada orang yang akan mewarisi hartaku selain seorang anak perempuan, apakah aku seadekah (wasiat) kan dua pertiga hartaku? Jangan jawab Rasul. Aku bertanya: Sepertiga, Rasul menjawab: sepertiga, sepertiga adalah banyak atau besar, sungguh kamu jika meninggalkan ahli warismu dalam keadaan yang cukup adalah lebih baik daripada meninggalkan mereka dalam keadaan miskin yang meminta-minta kepada orang
Ijtihad adalah usaha yang sungguh-sungguh dengan menggunakan segenap
kemampuan yang dilakukan oleh para ahli hukum yang memenuhi syarat untuk
mendapatkan garis hukum yang belum jelas dan tidak ada ketentuannya dalam Al
.45
Ijtihad merupakan sumber hukum setelah Al-
untuk menjadi hakim. Ijtihad dalam hukum waris Islam telah dilakukan oleh umat
Islam
ijtihad hukum waris Islam ini dilakukan oleh Hazairin. Kemudian oleh para hakim
peradilan agama melalui putusan melalui putusan pengadilan yang menjadi
yurisprudensi. Di Indonesia telah mengeluarkan peraturan mengenai hukum
kewarisan Islam yang terdapat pada Kompilasi Hukum Islam (KHI) sesuai Inpres
Nomor 1 Tahun 1991.
2.1.3. Asas-asas Hukum Waris Islam
Dalam Hukum waris Islam terdapat beberapa asas-asas yang berlaku yaitu: 46
a. Asas Ijbari
Pelaksanaan pembagian waris bersifat memaksa sejak pewaris meninggal
bukan atas kehendak pewaris, baik menyangkut peralihan harta seseorang yang
telah meninggal kepada yang masih hidup, berlaku dengan sendirinya 47 sesuai
kehendak Allah tanpa bergantung pada pewaris ataupun ahli waris menurut
45 Mohammad Daud Ali, op.cit., hlm. 104. 46 Abdul Rachmad Budiono, Pembaruan Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1999), hlm. 18. 47 Amir Syarifuddin, Pelaksanaan Kewarisan Islam dalam Lingkungan Adat Minangkabau, (Jakarta: Gunung Agung, 1984), hlm. 18.
37
ketentuan dalam Al
Hal-hal yang menjadi dasar dalam prinsip ijbari ini adalah :
1). Bahwa peralihan harta pasti terjadi setelah orang meninggal dunia
2). Besar bagian harta warisan telah ditentukan secara pasti
3). Peralihan hak waris kepada ahli waris dengan adanya hubungan darah dan
hubungan perkawinan.
b. Asas Individual
Adalah harta warisan yang dibagikan kepada ahli waris untuk dimiliki secara
perorangan. Dalam pelaksanaannya, semua harta warisan dinyatakan dalam nilai
tertentu, yang akan diberikan pada ahli waris yang berhak menerimanya dengan
kadar bagiannya masing-masing. Oleh karena itu, bagian setiap ahli waris tidak
terikat dengan ahli waris lainnya berarti mempunyai kemampuan untnuk
menerima hak dan menjalankan kewajiban. Asas individual hukum waris Islam
diperoleh dari analisis hukum Al-
Sebagai contoh, dalam surat An-Nisa ayat 7 bahwa anak laki-laki menerima
warisan dari orangtua atau keluarga dekatnya. Demikian juga sebaliknya,
perempuan menerima warisan dari orangtuanya atau kerabatnya baik sedikit
maupun banyak.
c. Asas Bilateral
Dalam hukum Islam berarti seseorang menerima hak atau bagian warisan dari
kedua belah, berdasarkan garis kerabat keturunan, dari pihak kerabat laki-laki
maupun perempuan (jenis kelamin bukan menjadi penghalang untuk diwarisi).
d. Asas Keadilan Berimbang
Asas keadilan berimbang menurut hukum waris Islam berarti keseimbangan
38
antara hak yang diperoleh dengan keperluan dan kegunaan dalam melaksanakan
kewajiban. Asas keadilan mencakup keseimbangan antara hak yang diperoleh
seseorang dengan kewajiban yang harus ditunaikannya. Sebagai contoh laki-laki
dan perempuan berhak menerima harta warisan secara berimbang, yaitu sesuai
dengan keseimbangan tanggung jawab terhadap keluarganya.
e. Asas Kewarisan Hanya Karena Kematian
Menurut hukum Islam berarti kewarisan ada kalau ada yang meninggal dunia
atau kewarisan ada sebagai akibat dari meninggalanya seseorang. Oleh karena itu,
peralihan harta berlaku sesudah yang memiliki harta peninggalan itu meninggal
dunia/mati. Dengan kata lain tidak ada pembagian warisan sepanjang pewaris
masih hidup. Demikian juga, segala bentuk peralihan harta seseorang yang masih
hidup kepada orang lain baik secara langsung maupun yang akan dilaksanakan
kemudian sesudah meninggalnya pewaris,.
2.1.4. Sebab-sebab Terjadinya Waris Islam
Dalam ketentuan Hukum Waris Islam yang menyebabkan terjadinya warisan
adalah sebagai berikut:48
a. Karena ada hubungan kekerabatan
Hubungan kekerabatan ditentukan oleh adanya hubungan darah yang dapat
diketahui pada saat adanya kelahiran. Hubungan kekerabatan ini
menimbulkan hak mewaris, jika salah satu dalam keluarga meninggal dunia.
b. Karena adanya perkawinan
Perkawinan yang sah menurut hukum Islam adalah salah satu penyebab yang
48 Suhrawardi K. Lubis dan Komis Simanjutak, Hukum Waris Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2007), hlm. 55-56.
39
menimbulkan hubungan kewarisan, karena jika salah satu ada yang
meninggal maka janda atau duda mempunyai hak mewaris.
c. Karena wala
Wala merupakan suatu hubungan yang ditetapkan oleh hukum Islam.49 Hal
tersebut terjadi karena seorang Tuan memerdekakan budaknya, maka
terjadilah suatu hubungan kekeluargaan. Pada masa sekarang sudah tidak ada
lagi sehingga wala sudah kehilangan makna pentingnya.
d. Karena sesama Islam
Seorang muslim yang meninggal dunia, dan tidak meninggalkan ahli waris,
maka harta warisannya diserahkan ke Baitul Mal, yang akan dipergunakan
untuk kepentingan kaum muslimin.
2.1.5. Unsur-unsur Hukum Waris Islam
Unsur-unsur dalam Hukum Waris Islam disebut sebagai rukun, yaitu:
1. Pewaris
Pewaris yaitu orang yang sudah meninggal dunia dan meninggalkan harta
warisan yang beralih kepada keluarganya yang masih hidup50, atau disebut
juga muwarits. Seperti yang terdapat juga dalam pasal 171 ayat (b)51.
Selain telah meninggal dunia, pewaris juga harus beragama Islam serta
memiliki ahli waris dan harta peninggalan atau warisan.
49 Muhammad Ali As-Shabuni, Hukum Waris dalam Syariat Islam, (Bandung: PT. CV. Diponegoro, 1988), hlm. 47. 50 Amir Syarifuddin, op.cit., hlm. 51. 51 meninggal dunia atau yang dinyatakan meninggal berdasarkan putusan Pengadilan beragama Islam, yang meninggalkan ahli waris dan harta peninggalan (warisan)
40
2. Ahli waris
Warits adalah orang yang akan mewarisi atau mendapatkan harta peninggalan
dari pewaris. Ahli waris mempunyai hak karena adanya ikatan perkawinan
atau hubungan darah, dan tidak terhalang untuk menjadi ahli waris serta
beragama Islam. Pengertian tersebut ditegaskan dalam Kompilasi Hukum
Islam (KHI) pasal 171 ayat (c)52. Begitu juga mengenai ahli waris harus
beragama Islam, terdapat dalam pasal 172 53.
3. Harta warisan
Atau sering juga disebut dengan istilah mauruts, tirkah, turats, mirats dan
irts. Harta warisan adalah harta benda yang ditinggalkan si pewaris kepada
ahli waris, baik harta bergerak maupun tidak bergerak dan harta yang
berwujud seperti hak kekayaan intelektual, hak cipta, dan lain-lain, setelah
digunakan untuk biaya perawatan, melunasi hutang dan melaksanakan wasiat.
Berdasarkan Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 175 ayat 2, yang menjadi
tanggung jawab bagi ahli warisnya terhadap hutang pewaris hanya terbatas
pada jumlah harta peninggalan pewaris. Menurut para ulama, definisi warisan
dijelaskan dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 171 ayat (d) 54.
Sedangkan harta waris dijelaskan pada pasal 171 ayat e 55. Menurut hukum
waris Islam Indonesia, selain dikurangi biaya-biaya tersebut, jika ada harta
52 aris adalah orang yang telah meninggal dunia mempunyai hubungan darah atau hubungan perkawinan sah dengan pewaris, beragama Islam dan tidak terhalang karena hukum
53 Islam apabila diketahui dari Kartu Identitas atau pengakuan atau amalan atau kesaksian, sedangkan bagi bayi yang baru lahir atau anak yang belum
54 baik yang berupa benda yang menjadi miliknya maupun hak- 55 keperluan pewaris selama sakit sampai meninggalnya biaya pengurusan jenazah (tajhiz), pembayar
41
bersama maka harta peninggalan pewaris dikurangi separuh harta bersama
yang menjadi bagian pasangan yang masih hidup (janda atau duda).
2.1.6. Syarat-syarat Kewarisan
a. Meninggal dunianya pewaris
Menurut para ulama, meninggal dunianya pewaris dibedakan menjadi 3 (tiga)
yaitu: 56
1. meninggal dunia haqiqy (sejati),
2. meninggal dunia menurut putusan hakim (hukmy), dan
3. meninggal dunia taqdiry (menurut dugaan).
Tanpa adanya kepastian bahwa pewaris meninggal dunia, maka warisan tidak
boleh dibagikan kepada para ahli waris.
b. Hidupnya ahli waris
Perpindahan hak yang diperoleh melalui jalan kewarisan karena ahli waris
masih hidup secara hakiki. Dalam artian si pewaris sudah meninggal dunia.
c. Mengetahui status kewarisan
Seseorang mendapatkan harta dari si pewaris, maka harus ada kejelasan
hubungan diantara keduanya. Misalnya hubungan suami istri, hubungan orangtua
anak dan hubungan saudara (sekandung, seibu maupun sebapak).
2.1.7. Penghalang Mewaris
Penyebab terhalangnya mewaris ada 4 (empat) macam, yaitu:
1. Pembunuhan, merupakan penghalang untuk mewarisi atau mendapatkan harta
56 Fatchur Rahman, Ilmu Waris, (Ba hlm. 97.
42
peninggalan dari orang yang meninggal dunia. Ketentuan tersebut
berdasarkan Hadits Nabi yang artinya :
uh seorang yang meninggal dunia atau korban, maka dia tidak berhak mendapatkan warisan, meskipun korban tersebut tidak mempunyai ahli waris selain dirinya, meskipun korban itu bapaknya maupun anaknya, maka bagi pembunuh tidak berhak
57
(Hadits riwayat Ahmad)
Ada perbedaan mengenai penentuan jenis pembunuhan menurut kalangan
fuqaha atau ulama, yaitu:
a. Hanafi, mengatakan bahwa pembunuhan yang dapat menggugurkan hak
waris adalah semua jenis pembunuhan yang wajib membayat kafarat.
b. Maliki, berpendapat bahwa hanya pembunuhan yang disengaja atau yang
direncanakan yang dapat mengugurkan hak waris.
c.
macamnya tetap menjadi pengugur hak waris, sekalipun hanya
memberikan kesaksian palsu dalam pelaksanaan hukuman rajam atau
hanya membenarkan kesaksian para saksi lain dalam pelaksanaan
hukuman mati pada umumnya.
d. Hambali, berpendapat bahwa pembunuhan yang dinyatakan mengharuskan
pelakunya di qishash, membayar diyat, atau membayar kafarat. Selain itu
tidak termasuk sebagai penggugur hak waris.
2. Berlainan agama, berarti berlainan agama antara pewaris dan ahli waris.
Sebagai contoh si pewaris beragama Islam sedangkan si ahli waris beragama
Katholik. Hal ini berdasarkan Hadits Nabi SAW, yang artinya:
Islam tidak berhak mewarisi harta orang kafir, atau
57 Fatchur Rahman, Op.cit., hlm. 86.
43
orang-kafir juga tidak berhak mewarisi harta orang Islam (Hadits Riwayat Bukhari dan Muslim)
3. Perbudakan, bahwa seorang budak tidak dapat mewarisi harta warisan
dikarenakan tidak memiliki kecakapan dalam mengurusi hak milik dengan
jalan apapun. Seperti yang dijelaskan pada Al- -Nahl ayat 75
yang artinya:
kni seorang budak yang tidak
4. Berlainan negara, adalah berlainan pemerintahan yang diikuti oleh si pewaris
dan ahli waris.58 Hal tersebut sudah dijelaskan dalam Al surat Al
Anbiya ayat 107, yang artinya:
Dan Kami tidak mengutus engkau (Muhammad) melainkan untuk
2.1.8. Ahli Waris
Ahli waris merupakan seseorang atau kerabat yang memiliki hubungan
kekeluargaan dengan orang yang meninggal dunia yang berhak mewarisi atau
menerima harta peninggalan yang ditinggalkan oleh pewaris.59
Pengertian ahli waris juga dijelaskan dalam Inpres Nomor 1 Tahun 1991
tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 171 huruf (c) 60.
Sebelum ahli waris mendapatkan harta warisan dari pewaris, maka terlebih
dahulu menyelesaikan urusan-urusan yang berhubungan dengan harta warisan si
58 Hasbi Ash-Shiddieqy, Op.cit., hlm. 64. 59 M.Idris Ramulyo, Perbandingan Hukum Kewarisan Islam dengan Kewarisn Hukum Perdata, (Jakarta: Sinar Grafika), hlm. 83. 60 hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama Islam dan tidak terhalang karena hukum untuk
44
pewaris, yaitu:
1. Biaya-biaya penguburan
2. Membayar hutangnya apabila pewaris mempunyai hutang kepada seseorang
3. Melaksanakan wasiat yang tidak lebih dari sepertiga harta warisan, dan bukan
wasiat kepada ahli waris yang berhak, karena mereka sudah menerima harta
warisan yang ditinggalkan.
Setelah urusan-urusan tersebut terselesaikan, maka harta warisan tersebut
sudah dapat dibagikan kepada ahli waris. Agar seseorang dapat menjadi seorang
ahli waris, berdasarkan Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 171 huruf (c) di atas,
maka harus memenuhi beberapa syarat, yaitu:
a. Beragama Islam
Apabila ada ahli waris yang berpindah agama, maka dia akan kehilangan
haknya sebagai ahli waris. Hal ini dapat menimbulkan kesan ketidakadilan di
dalam hukum waris Islam. Padahal menurut ajaran agama Islam tidak ada
paksaan dalam beragama.
b. Dalam keadaan hidup
Pemindahan hak kepemilikan pewaris kepada ahli waris secara syariat yang
benar-benar masih hidup, sebab orang sudah meninggal dunia tidak memiliki
hak untuk mewarisi.
c. Adanya hubungan darah atau perkawinan yang sah dengan pewaris
Syarat ini menempatkan anak laki-laki atau perempuan, ayah, ibu, dan janda
sebagai ahli waris. Ketentuan tersebut dirumuskan dalam Kompilasi Hukum
Islam (KHI) pasal 174 ayat 261 . Pertalian hubungan darah menjadi dasar
61 kan harta warisan hanya anak,
45
utama dalam pewarisan. Pertalian lurus ke atas (ushul) adalah leluhur yang
menyebabkan adanya pewaris, terdiri dari ayah, ibu, kakek, nenek dan
seterusnya. Pertalian lurus ke bawah (furu) adalah anak keturunan dari
pewaris, terdiri dari anak, cucu, cicit, dan seterusnya. Pertalian menyamping
(hawasyi) adalah saudara saudari, paman, bibi, keponakan dan seterusnya.
Perkawinan sah menurut syariat, mengakibatkan suami maupun istri saling
mewarisi.
d. Tidak terhijab atau terhalang karena terkait hukum untuk menjadi ahli waris
Hal tersebut jika dengan putusan hakim mempunyai hukum tetap, karena:62
1) Dipersalahkan telah melakukan pembunuhan atau mencoba melakukan
pembunuhan atau menganiaya dengan berat pada pewaris.
2) Dipersalahkan telah memfitnah dengan cara mengajukan pengaduan
bahwa pewaris telah melakukan suatu kejahatan yang diancam dengan
hukuman lima tahun penjara atau hukuman yang lebih berat.
2.1.8.1. Macam-macam Ahli Waris
Menurut Ahmad Azhar Basyir ahli waris dikelompokkan menjadi dua
golongan yang ditinjau dari segi jenis kelamin dan dari segi hak atas harta warisan
(sistem kewarisan). Dilihat dari segi jenis kelamin, maka ahli waris terbagi
menjadi 2 (dua) golongan yaitu:
a. Golongan ahli waris laki-laki
Ahli waris laki-laki ini terdiri dari :
1. ayah,
2. kakek,
62 Afdol, Penerapan Hukum Waris Islam secara Adil, (Surabaya: Airlangga University Press, 2003, hlm. 97-98.
46
3. anak kandung laki-laki,
4. cucu dari anak laki-laki,
5. saudara laki-laki kandung,
6. saudara laki-laki seayah,
7. saudara laki-laki seibu,
8. keponakan kandung laki-laki,
9. keponakan seayah laki-laki,
10. paman,
11. paman dari ayah,
12. saudara sepupu laki-laki kandung,
13. saudara sepupu laki-laki seayah,
14. suami,
15. Laki-laki yang memerdekakan budak ( ).
b. Golongan ahli waris perempuan
Ahli waris perempuan ini terdiri dari:
1. ibu,
2. nenek,
3. nenek mertua,
4. anak perempuan,
5. cucu perempuan,
6. saudara perempuan kandung,
7. saudara perempuan sebapak,
8. saudara perempuan seibu,
9. Istri,
47
10. Perempuan yang memerdekakan budak ( )
Dari segi sistem kewarisan, ahli waris terbagi menjadi 2 macam yaitu:
1. Kewarisan sistem patrilineal
Menurut sistem kewarisan patrilineal, ahli waris digolongkan menjadi 3 (tiga)
macam, yaitu:
a. Ahli waris dzul faraid
Ahli waris dzul faraid mendapatkan bagian tertentu, yaitu tertentunya
jumlah yang mereka terima dengan bilangan seperdua (1/2), sepertiga (1/3),
seperempat (1/4), seperdelapan (1/8), dua pertiga (2/3) dan seperenam (1/6).63
Untuk ahli waris dengan bagian tertentu sudah diterangkan dalam Al-
dan Hadits adalah sebagai berikut:
1. Bagian setengah (1/2), menjadi hak seorang perempuan, seorang saudara
perempuan kandung atau seayah, dan suami (duda) bila pewaris tidak
mempunyai anak yang berhak diwarisi.
2. Bagian seperempat (1/4), menjadi hak suami (duda) jika pewaris
mempunyai anak yang berhak diwarisi dan istri (janda) jika pewaris tidak
mempunyai anak yang berhak diwarisi.
3. Bagian seperdelapan (1/8), menjadi hak istri (janda) jika pewaris
mempunyai anak yang berhak diwarisi.
4. Bagian dua pertiga (2/3), mennjadi hak dua saudara perempuan kandung
atau seayah dan dua anak perempuan.
5. Bagian sepertiga (1/3), menjadi hak ibu jika pewaris tidak mempunyai
anak atau lebih dari seorang saudara dan beberapa saudara seibu jika
63 Ali Hasan, Hukum Waris dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1981), hlm. 17.
48
lebih dari seorang.
6. Bagian seperenam (1/6), menjadi hak kedua ibu-bapak jika pewaris
mempunyai anak yang berhak mewaris, juga ibu jika pewaris mempunyai
beberapa saudara lebih dari seorang dan seorang saudara seibu.
Ahli waris dzul faraid terdiri dari 12 orang yaitu ibu, bapak, duda, janda,
anak perempuan, saudara laki-laki seibu, saudara perempuan seibu, cucu
perempuan dari laki-laki, saudara perempuan kandung, saudara perempuan
sebapak, kakek (datuk) dan nenek.
b. Ahli waris ashabah
Ahli waris ashabah tidak mendapatkan bagian tertentu, tetapi mereka
berhak mendapatkan seluruh harta peninggalan dengan syarat yang pertama
jika tidak ada ahli waris dzul faraid, kedua berhak mendapatkan seluruh sisa
harta peninggalan setelah dibagikan kepada ahli waris dzul faraid, atau tidak
menerima apapun karena harta peninggalan sudah habis dibagikan kepada
ahli waris dzul faraid.64
Ashabah berasal dari kata usbah, yang artinya mempunyai hubungan
darah. Ahli waris ashabah dikelompokkan menjadi tiga macam, yaitu :
1. Ashabah binafsihi
Ahli waris ashabah ini terjadi karena dirinya sendiri, bukan karena
bersama ahli waris lainnya. Ashabah binafsihi terdiri dari anak laki-laki,
bapak, kakek, cucu dari anak laki-laki, saudara laki-laki sekandung,
saudara laki-laki seayah, paman kandung, paman sebapak, anak laki-laki
sebapak, paman kandung, paman sebapak, anak laki-laki paman
64 Hasniah Hasan, Hukum Warisan dalam Islam, (Surabaya: Bina Ilmu, 1987), hlm. 15.
49
sekandung serta anak laki-laki paman sebapak.
2. Ashabah bil ghairi
Ahli waris ashabah ini terjadi karena bersama ahli waris lainnya.
ashabah karena ditarik oleh
orang laki- 65 Ashabah bil-ghairi terdiri dari:
a) Anak perempuan yang diwarisi bersama dengan anak laki-laki,
b) Cucu perempuan yang diwarisi bersama dengan cucu laki-laki, dengan
ketentuan, semua cucu tersebut lewat anak laki-laki,
c) Saudara perempuan kandung yang diwarisi bersama dengan saudara
laki-laki kandung,
d) Saudara perempuan sebapak yang diwarisi bersama dengan saudara
laki-laki sebapak.
3.
Yaitu saudara perempuan kandung atau sebapak yang menjadi ashabah
karena mewaris bersama dengan keturunan perempuan. Ahli waris
-ghairi berjumlah 2 orang perempuan, yaitu:
1) Saudara perempuan kandung yang mewaris bersamaan dengan anak
perempuan
2) Saudara perempuan sebapak yang mewaris bersamaan dengan anak
perempuan
c. Ahli waris dzul arham
Ahli waris dzul arham mempunyai hubungan darah dengan orang yang
meninggal dunia melalui anggota keluarga perempuan. Sedangkan pendapat
65 Hasniah Hasan, Op.cit., hlm. 70.
50
lainnya adalah sebagai berikut:
- dzul arham sebagai anggota
keluarga menantu laki-laki.66
- M dzul arham adalah
anggota keluarga yang mempunyai hubungan dengan pewaris, tetapi
hubungan itu telah jauh.67
Yang merupakan ahli waris ini adalah cucu dari anak perempuan, anak
saudara perempuan, anak perempuan saudara laki-laki, anak perempuan
paman, paman seibu, saudara laki-laki ibu, bibi (saudara perempuan ibu),
kakek (ayah ibu), nenek buyut, dan anak saudara laki-laki seibu.68
2. Kewarisan sistem bilateral
Menurut sistem kewarisan bilateral, ahli waris digolongkan menjadi 3 (tiga),
yaitu :
a. Ahli waris dzul faraid
Bagian ahli waris sudah diatur dalam Al Qur an, yaitu anak perempuan yang
tidak didampingi oleh anak laki-laki, ibu, bapak jika ada anak, saudara perempuan
dalam hal kalalah, janda serta duda. Sebagian ahli waris dzul faraid ini, ada yang
selalu menjadi ahli waris dzul faraid, yaitu ibu, janda dan duda. Ada ahli waris
yang suatu saat menjadi ahli waris dzul faraid, pada saat yang lain menjadi ahli
waris ashabah, yaitu anak perempuan, bapak dan saudara perempuan.
66 Hazairin, Hukum Kewarisan Bilateral Menurut Al-Quran dan Hadist, (Jakarta: Tintamas, 1964), hlm. 77. 67 Mahmud Yunus, Hukum Warisan dalam Islam, (Jakarta: Pustaka Mahmudiyah, 1974), hlm. 60. 68 Ahmad Azhar Basyir, Hukum Waris Islam, (Yogyakarta: Ekonesia Fakultas Hukum UII, 1999), hlm. 24-27.
51
b. Ahli waris dzul qarabat
Dilihat dari segi bagiannya dari pewaris, ahli waris dzul qarabat adalah ahli
waris yang mendapatkan bagian sisa (kelebihan), atau disebut juga mendapat
bagian terbuka. Sedangkan dilihat dari segi hubungannya dengan pewaris, yaitu
seorang yang Sedangkan dilihat dari segi hubungannya dengan pewaris, adalah
ahli waris yang memiliki hubungan kekeluargaan dengan si pewaris dilihat dari
garis laki-laki ataupun perempuan.69
Dalam Al- n dijelaskan bahwa ahli waris dzul qarabat, yaitu: anak laki-
laki, anak perempuan yang didampingi anak laki-laki, bapak, saudara laki-laki
dalam hal kalalah, dan saudara perempuan yang didampingi saudara laki-laki
dalam hal kalalah.
c. Mawali
Mawali adalah ahli waris pengganti, yaitu orang yang mendapatkan bagian
harta warisan itu dari orang yang akan memperolehnya jika orang itu masih hidup.
Orang yang digantikan tersebut merupakan penghubung ahli waris dan pewaris.
2.1.8.2. Kelompok Ahli Waris
Kelompok ahli waris terbagi menjadi 2 macam yaitu:
a. Menurut hubungan darah dibagi menjadi dua golongan, yaitu:
1. golongan laki-laki, yaitu ayah, saudara laki-laki, anak laki-laki, paman
serta kakek
2. golongan perempuan, yaitu ibu, anak perempuan, saudara perempuan dari
nenek.
69 Thalib, Sajuti, Hukum Kekeluargaan Indonesia, (Jakarta: Yayasan Penerbit Universitas Indonesia, 1974), hlm. 67.
52
b. Menurut hubungan perkawinan yang sah adalah janda atau duda;
2.1.8.3. Bagian Kelompok Ahli Waris
a. Berdasarkan Hubungan Darah
Dalam ahli waris berdasarkan hubungan darah atau kekeluargaan ini disebut
dengan istilah nasabiyah. Ahli waris nasabiyah ini terbagi menjadi :
1. Anak perempuan kandung
Dalam mewarisi harta peninggalan dari orang tuanya, anak perempuan
kandung memiliki 3 (tiga) macam bagian, yaitu:
a. Separuh (1/2), terjadi apabila hanya seorang diri dan tidak bersamaan
dengan saudara laki-lakinya. Hal ini dijelaskan dalam Al Qur urat An
Nisa ayat 11, yang artinya:
b. Dua pertiga (2/3), terjadi apabila anak perempuannya 2 (dua) orang atau
lebih dan tidak bersamaan dengan saudara laki-lakinya. Hal ini dijelaskan
dalam Al-Qur Nisa ayat 176, yang artinya:
-saudari itu dua orang, bagian mereka adalah dua
c. Ushubah, terjadi apabila anak perempuan mewaris bersamaan dengan
saudara laki-lakinya, baik anak perempuan itu sendiri maupun banyak dan
baik anak laki-laki itu sendiri maupun banyak.
2. Anak-laki-laki
- Jika anak laki-laki saja, maka mengambil semua warisan sebagai ashabah,
jika tidak ada ahli waris dzawil furudz, tetapi jika ada ahli waris dzawil
53
furudz maka ia hanya mendapatkan ashabah sisa setelah dibagi dengan ahli
waris dzawil furudz.
- Jika anak laki-laki dua orang atau lebih, dan tidak ada anak perempuan
serta ahli waris dzawil furudz yang lainnya, maka dibagi rata, akan tetapi
jika ada anak perempuan maka dibagi dua banding satu.
3. Cucu perempuan dan laki-laki dari pihak laki-laki, berhak mendapatkan bagian
yang sama dengan anak laki-laki seayah dan bagiannya tidak boleh melebihi
ahli waris yang sama dengan ayahnya. Cucu laki-laki mendapatkan bagiannya
dua berbanding satu dari cucu perempuan.
4. Anak dalam kandungan
Bagian anak dalam kandungan tidak akan dibagikan setelah lahir. Hal ini
menimbulkan perselisihan para fuqaha karena berapa dan bagaimana caranya
untuk menentukan jumlah bagian yang ditahan untuk diberikan bila anak
tersebut lahir.
5. Anak di luar perkawinan
Hak waris anak diluar perkawinan hanya terjadi karena pertalian nasab ibunya,
sedangkan nasab dari pihak ayah sudah terputus.
6. Anak angkat
Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) mempunyai hak dan bagian yang telah
ditetapkan yaitu sebanyak-banyaknya sepertiga (1/3) bagian dari harta
peninggalan orangtua angkatnya.
7. Anak tiri
b. Ahli Waris Berdasarkan Hubungan Perkawinan
Dalam ahli waris berdasarkan hubungan perkawinan ini disebut dengan istilah
54
sababiyah. Ahli waris sababiyah dibagi menjadi dua :
1. Ahli waris pihak istri atau janda
Dalam mewarisi harta peninggalan dari suaminya, istri memiliki 2 (dua)
macam bagian (fardh), yaitu: Seperempat (1/4), terjadi apabila suami tidak
mempunyai anak dan Seperdelapan (1/8), terjadi apabila suami mempunyai
anak. Fardh diatas sudah ditegaskan dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI)
Pasal 180 dan Surat An-Nisa ayat 12.
2. Ahli waris pihak suami atau duda
Dalam mewarisi harta peninggalan dari istrinya, suami memiliki 2 (dua)
macam bagian (fardh), yaitu: Separuh (1/2), terjadi apabila istri tidak
mempunyai anak dan Seperempat (1/4), terjadi apabila istri meninggalkan
anak. Fardh di atas sudah dijelaskan dalam Al- pada Surat An Nisa
ayat 12 dan Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 179.
2.1.9. Hijab Dalam Kewarisan Islam
Secara definisi hijab adalah terhalangnya atau terdindingnya seorang ahli
waris disebabkan ada ahli waris lainnya. Sedangkan dalam Kitab Undang-undang
tetapi ia tidak dapat mewarisi, disebabkan terwujudnya seorang pewaris yang lain.
Hijab dalam kewarisan Islam dibagi menjadi 2 (dua) macam, yaitu:
a. Hijab Hirman, adalah terhalangnya ahli waris untuk memperoleh seluruh
bagian harta warisan yang dikarenakan ada ahli waris lainnya. Terdiri dari:
1. Kakek terhijab ayah
55
2. Nenek terhijab ibu
3. Cucu laki-laki terhijab anak laki-laki
4. Cucu perempuan terhijab anak laki-laki dan dua anak perempuan
5. saudara kandung terhijab anak laki-laki
6. Cucu laki-laki seayah dan saudara seayah terhijab anak laki-laki, cucu
laki-laki, ayah, saudara sekandung laki-laki, saudara kandung perempuan
bersama anak atau cucu perempuan
7. saudari seibu terhijab anak laki-laki dan perempuan, cucu laki-laki dan
anak perempuan, ayah dan kakek.
b. Hijab Nuqshan, adalah terhalang sebagian dengan maksud berkurangnya
bagian yang diperoleh ahli waris dikarenakan adanya ahli waris lain. Dengan
demikian, ahli waris tersebut masih memperoleh bagian warisan, tetapi
bagian tersebut berkurang/menurun dari bagian semula. Ahli waris yang
terhijab nuqsan adalah:
1. Suami, terhijab oleh anak, dari memperoleh 1/2 menjadi 1/4
2. Istri, terhijab oleh anak, dari memperoleh 1/4 menjadi 1/8
3. Ibu, terhijab oleh anak yang meninggal baik laki-laki ataupun perempuan
atau cucu laki-laki atau perempuan, dari memperoleh 1/3 menjadi 1/6
4. Cucu perempuan dari anak laki-laki terhijab oleh anak perempuan yang
meninggal dan tidak menjadi ashabah, dari 1/2 menjadi 1/6.
5. Saudara perempuan sebapak terhijab oleh saudara kandung perempuan,
dari memperoleh 1/2 menjadi 1/6.
6. Ibu terhijab oleh anak atau cucu yang meninggal, dari memperolah 1/3
menjadi 1/6
56
7. Ayah terhijab oleh anak laki-laki yang meninggal, dari memperoleh 1/6 +
ashabah menjadi 1/6 saja.
2.2. Kajian Tentang Radd
2.2.1. Pengertian Radd
Kata radd menurut bahasa artinya , yaitu mengembalikan. Dalam Al-
Q radd, misalnya:
- Dalam QS. Al-Ahzab: 25
-orang kafir itu yang keadaan mereka penuh
kejengkelan, (lagi) mereka tidak memperoleh keuntungan apapun......
- Dalam surat QS. Al-Kahfi: 64, juga disebutkan:
70
Sedangkan radd menurut istilah adalah berkurangnya pokok masalah dan
bertambahnya jumlah bagian ashhabul furudh.71 Menurut ulama faradiyun, radd
adalah pengembalian harta sisa/kelebihan kepada mereka yang menerima
kelebihan.
Menurut ilmu mawaris, dikatakan radd
-Zuhaili, radd
adalah harta yang tersisa dalam perhitungan dan apa yang tersisa dikembalikan
kepada dzawil furudh nasab (selain suami atau istri) sesuai dengan bagian-bagian
perhitungan mereka.72 Wahbah menyangkal adanya pengembalian kepada suami
atau istri dengan alasan bahwa mereka tidak memiliki hubungan nasab, tetapi
Sdr.seibu 1/6 1 1/5 x Rp 2.400.000,- = Rp. 960.000,-
Nenek 1/6 1 1/5 x Rp 2.400.000,- = Rp. 960.000,-
5 Jumlah = Rp. 4.800.000,-
Sumber: Bahan Hukum Primer, diolah, 2017.
Suami yang semula menerima bagian Rp 2.400.000,- mendapat tambahan
sebesar Rp 480.000,- hingga menjadi Rp 2.880.000,-
3. Pendapat Muslich Maruzi
Sisa harta warisan (radd) tersebut jika terjadi keadaan dimana jumlah semua
bagian ahli waris ternyata lebih sedikit daripada jumlah harta warisan
64
yang ada (harta warisan lebih banyak daripada jumlah bagian-bagian ahli
waris).78
4. -Husain al-Mutawally
bahwa kelebihan harta (radd), sebaiknya dikembalikan saja kepada ashhabul
furudh ataupun dzawil arham jika ada, secara proporsional.79
5.
Radd dikembalikan kepada ahli waris dzawil furudh kecuali 7 (tujuh) ahli
waris (ashabul furudh) orang, diantaranya suami atau istri, cucu perempuan
garis laki-laki jika ada anak perempuan, saudara perempuan seayah jika
bersama saudara perempuan sekandung, saudara-saudara seibu apabila
bersama ibu, nenek jika ada dzawil furudh yang lebih berhak.80 Dalam hal ini
mengutamakan ahli waris yang berhak menerima radd adalah ahli waris yang
terdekat. Sebagai contoh Nenek, yaitu nenek dekat dengan pewaris karena
ada perantara perempuan lain (ibu) sehingga membatasi nenek untuk
mendapatkan hak waris. Dengan demikian nenek tidak berhak mewaris
daripada ahli waris yang mempunyai hubungan kekerabatan yang lebih kuat.
mereka.
6. Pendapat Imam Ahmad bin hanbal dan Imam Abu Hanifah
Bahwa sisa harta setelah dibagikan kepada ashabul furudh (radd) diberikan
kepada ashabul furudh senasab, kecuali suami istri, baik baitul mal
terorganisir secara adil atau tidak, wajib diberikan kepada ashabul furudh.
78 Fatchur Rahman, Ilmu Waris, (dikutip dari Ahmad Rofiq, op.cit), hlm. 103 79 Muslich Maruzi, Pokok-Pokok Ilmu Waris, (Jakarta: Pustaka Amani, cet. Kedua), hlm. 64. 80 Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003), hlm. 434.
65
7.
Kelebihan harta diserahkan kepada ahli waris sesuai dengan kadar masing-
masing. Pertama, sisa harta diberikan kepada suami tidak kepada istri. Kedua,
sisa harta diserahkan kepada suami atau istri secara mutlak dan dalam semua
keadaan. Ketiga, sisa harta diberikan kepada suami atau istri manakala tidak
ada imam yang adil, kalau ada imam yang adil maka sisa harta diserahkan
kepada suami.81
8. Pendapat Ibnu Abbas
Sisa harta diberikan kepada ahli waris (ashabul furudh) selain suami atau istri
dan nenek. Jika bersama ashabul furudh yang memiliki kekerabatan karena
nasab. Jika tidak ada, maka boleh mendapatkan pengembalian. Oleh karena
itu, nenek tidak boleh mendapatkan bagian lebih dari apa yang telah
ditetapkan, kecuali jika tidak ada ashabul furudh, yang memiliki hubungan
karena nasab.82 Adapun hadits Rasulullah SAW yang digunakan Ibnu Abbas
untuk memperkuat pengecualiannya terhadap nenek, yang artinya:
nya Nabi Muhammad SAW menjadikan bagian seperenam untuk nenek, bila tidak didapati ibu
Oleh karena itu, nenek tidak boleh mendapatkan bagian lebih dari apa yang
telah ditetapkan, kecuali jika tidak ada dzawil furudh yang memiliki
hubungan kekerabatan karena nasab.
81 Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqh Lima Mahzab, terj. Afif Muhammad, (Jakarta: Basri Press, 1994), hlm. 357. 82 Ibid, hlm. 173.
66
2.2.4.2. Pendapat yang Menolak adanya Radd
1. Pendapat Zaid bin Tsabit, Urwah ibnu Zubeir, dan Sulaiman ibnu Yasar
Kelebihan (sisa) harta warisan setelah diambil oleh ashabul furudh,
diserahkan ke Baitul Mal untuk kepentingan masyarakat Islam. Pendapat
tersebut memiliki beberapa alasan, yaitu:
a. Terdapat dalam Al Nisa ayat 13-14, yang artinya:
(Hukum-hukum tersebut) itu merupakan ketentuan dari Allah SWT. Barangsiapa taat kepada Allah SWT dan Rasul-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam surga yang mengalir di dalamnya sungai-sungai, sedangkan mereka kekal di dalamnya. Dan itulah kemenangan besar. Dan barangsiapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya dan melanggar ketentuan-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam api neraka sedangkan ia kekal di dalamnya. Dan baginya siksa yang menghinakan.
b.
-Tirmizi)
c. Ahli waris yang telah menerima bagian, tidak memiliki jalan lain untuk
menerimanya.83
Dengan demikian, apabila contoh sebelumnya diselesaikan menurut pendapat
Zaid bin Tsabit, bagian masing-masing adalah:
a.) Seseorang meninggal dunia ahli warisnya terdiri dari istri, ibu dan
saudara seibu. Harta warisannya sebesar Rp 10.800.000,- bagian masing-
masing adalah:
Tabel 7. Contoh Kasus Radd 5
Ahli
Waris Bagian
AM
(12)
HW
(Rp. 10.800.000,-) Penerimaan
Istri ¼ 3 3/12 x Rp. 10.800.000,- = Rp. 2.700.000,-
83 Muhammad Jawad Mughniyah op.cit., hlm. 436-437.
67
Ibu 1/3 4 4/12 x Rp 10.800.000,- = Rp. 3.600.000,-
Sdr.seibu 1/6 2 2/12x Rp 10.800.000,- = Rp. 1.800.000,-
9 Jumlah = Rp. 8.100.000,-
Sumber: Bahan Hukum Primer, diolah, 2017.
Jadi terdapat sisa Rp 10.800.000,- dikurangi Rp 8.100.000,- sama dengan
Rp 2.700.000,-. Sisa (kelebihan) ini diserahkan ke baitul mal, untuk
kepentingan umat Islam.
b.) Seorang meninggal dunia, harta warisan yang ditinggalkan sebesar Rp
4.800.000,- ahli warisnya terdiri dari suami, saudara perempuan seibu,
dan nenek. Bagian masing-masing :
Tabel 8. Contoh Kasus Radd 6
Ahli
Waris Bagian
AM
(6)
HW
(Rp. 4.800.000,-) Penerimaan
Suami ½ 3 3/6 x Rp. 4.800.000,- = Rp. 2.400.000,-
Sdr.seibu 1/6 1 1/6 x Rp 2.400.000,- = Rp. 400.000,-
Nenek 1/6 1 1/6 x Rp 2.400.000,- = Rp. 400.000,-
5 Jumlah = Rp. 3.200.000,-
Sumber: Bahan Hukum Primer, diolah, 2017.
Jadi terdapat sisa Rp 4.800.000,- dikurangi Rp 3.200.000,- sama dengan
Rp 1.600.000,-. Sisa (kelebihan) ini diserahkan ke baitul mal, untuk
kepentingan umut Islam.
2.
Sisa harta yang tersisa setelah bagian ashabul furudh dibagikan (radd), tidak
bisa dikembalikan kepada ashabul furudh, tetapi harus diserahkan ke baitul
mal. 84 Demikian juga tidak boleh diserahkan kepada dzawil arham, baik
84 Muhammad Jawad Mughniyah, Op.cit., hlm. 327.
68
keadaan kas baitul mal teratur dalam melaksanakan tugasnya ataupun tidak.
Oleh karena itu, sisa harta setelah dibagikan kepada ahli waris dzul furudh
tidak dapat dimiliki oleh seorang ahli waris karena tidak ada jalan untuk
memilikinya dan harus diserahkan ke baitul mal.
2.3. Janda Dan Duda Dalam Hukum Waris Islam
Di dalam hukum waris Islam, janda atau duda sebagai ahli waris terjadi
karena adanya hubungan perkawinan antara keduanya. Janda atau duda termasuk
ahli waris dzawil furudh. Oleh karena itu, janda atau duda merupakan ahli waris
keutamaan sehingga tidak terhalang oleh ahli waris yang lain. Meskipun tidak
meninggalkan anak, janda atau duda tidak dapat mewaris seluruh harta warisan.
Tetapi, janda atau duda dapat mewaris bersama orangtua dan saudara-saudara
pewaris lainnya.85
Pembagian warisan untuk janda atau duda sudah diatur dalam
An Nisa (4) ayat 12 86. Harta warisan tersebut terdiri dari harta bawaan pewaris
dan 1/2 harta bersama setelah dikurangi dengan biaya pewaris selama sakit, biaya
pengurusan jenazah, pembayaran hutang untuk pewaris, pemberian untuk kerabat
(wasiat). Sedangkan 1/2 bagian dari harta bersama menjadi milik janda. Apabila
seorang pria mempunyai istri lebih dari satu, maka bagian janda diatur dalam
85 Abdul Hamid dan Muhammad Muhyiddin, Ahkam Al-Mawarits fi Al-Syari'ah Al-Islam -Arba'ah, Terj. Wahyudi Abdurrahim, (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2006), hlm. 174. 86 n bagianmu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh istri-istrimu, jika mereka tidak mempunyai anak. Jika mereka (istri-istrimu) itu mempunyai anak, maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah (dipenuhi) wasiat yang mereka buat atau (dan sesudah dibayar) utangnya. Para istri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu mempunyai anak, maka para istri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan (sesudah dipenuhi) wasiat yang kamu buat atau (dan sesudah dibayar) utang-
69
pasal 190 Kompilasi Hukum Islam (KHI) yaitu sebesar 1/4 dan 1/8 harta warisan
dibagi dengan para istri tersebut.
1. Bagian Waris Duda
a. Suami atau duda yang ditinggalkan oleh istrinya, mendapatkan 1/2
(setengah), jika istri tidak mempunyai anak yang diwarisi yaitu anak laki-
laki dan perempuan, cucu laki-laki dan kebawah, sedangkan cucu
perempuan tidak menerima warisan.
b. Duda mendapat 1/4 apabila ada keturunan yang mewarisi, baik mereka
berasal dari hubungan dengan suami yang sekarang atau suami yang lain.
2. Bagian Waris Janda
a. Istri atau janda yang ditinggal mati suaminya, maka memperoleh 1/4
(seperempat) bagian, jika tidak mempunyai anak (lakii-laki maupun
perempuan, cucu laki-laki dan ke bawah.
b. Istri atau janda mendapatkan 1/8 (seperdelapan) bagian, jika suami
mempunyai anak yang diwarisi baik dari istri sekarang atau istri yang lain.
c. Istri atau janda lebih dari satu, maka berbagi dari bagian 1/4 atau 1/8
tersebut yang tercantum Nisa ayat 12.
Hal tersebut juga ditegaskan dalam Inpres Nomor 1 Tahun 1991 mengenai
Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang menyebutkan bahwa :
Pasal 179 yang berbunyi:
apabila pewaris tidak mempunyai anak, dan
bila pewaris mempunyai anak, maka duda menda
Pasal 180 yang berbunyi:
apabila pewaris tidak mempunyai anak, dan bila
70
pewaris mempunyai
Ketentuan dalam akhir kalimat pada Pasal 179 dan Pasal 180 Kompilasi
Hukum Islam (KHI) mengenai bagian waris untuk janda atau duda banyak
menimbulkan persepsi bahwa bagian untuk janda/duda hanya sebesar yang
tersebut dalam ketentuan Kompilasi Hukum Islam (KHI). Persepsi yang demikian
ini adalah tidak benar. Perhitungan yang benar adalah janda atau duda mendapat
bagian sesuai ketentuan tersebut diatas, setelah terlebih dahulu janda atau duda
tersebut memperoleh haknya sebesar setengah dari harta bersama, yang
didapatkan selama perkawinan.
Namun demikian jelaslah bahwa hak janda atau duda tidak hanya mendapat
bagian warisan sesuai yang disebutkan dalam Pasal 179 dan 180 Kompilasi
Hukum Islam (KHI), tetapi ditambah separuh harta bersama. Dengan demikian
keseluruhan harta yang dimiliki janda atau duda adalah harta asal milik janda atau
duda, separuh harta bersama, dan bagian warisan untuk janda atau duda87.
Janda dan duda merupakan ahli waris sababiyah dan termasuk kelompok
ashabul furudh yang memiliki bagian tertentu. Janda dan duda tidak dapat
menghijab para ahli waris manapun baik secara hirman maupun nuqsan. Atau
sebaliknya janda dan duda tidak dapat dihijab oleh siapapun secara hirman
kecuali secara nuqsan. Para ahli waris yang dapat menghijabnya secara nuqsan
adalah:
1. Anak laki-laki
2. Anak perempuan
3. Ahli waris pengganti laki-laki maupun perempuan, seperti cucu dari pancar
87 Afdol, Penerapan Hukum Waris Islam Secara Adil, (Surabaya: Airlangga University Press, 2003), hlm. 62-64.
71
laki-laki atau perempuan.
Janda dalam pembagian waris menurut Islam berhak mendapatkan harta
peninggalan dari suaminya baik dari harta bawaan maupun harta bersama. Namun
pembagian tersebut ditentukan apakah janda tersebut mempunyai anak atau tidak
dengan suaminya yang telah meninggal dunia atau cerai. Oleh sebab itu
kedudukan janda atau duda ditentukan oleh keberadaan anak.
72
BAB III
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kedudukan kelebihan pembagian harta warisan (radd) untuk janda dan
duda dalam hukum waris Islam dan pengaturannya dalam Kompilasi
Hukum Islam (KHI).
3.1. Munculnya Radd
Di dalam Hukum Waris Islam ada masalah kewarisan yang memerlukan suatu
penyelesaian secara khusus, masalah khusus dalam kewarisan ini timbul apabila
dalam pembagian harta warisan terjadi kekurangan (aul) ataupun kelebihan harta
(radd). Aul diatur dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 192 yang
menyatakan bahwa
pabila pembagian harta warisan diantara para ahli waris Dzawil Furudh menunjukkan bahwa angka pembilang lebih besar dari pada angka penyebut, angka penyebut dinaikkan sesuai dengan angka pembilang, dan sesudah itu
Definisi al-Aul menurut Istilah, adalah bertambahnya jumlah harta waris dari
yang telah ditentukan dan berkurangnya bagian para ahli waris. Hal ini terjadi
ketika makin banyaknya ashabul furudh sehingga harta yang dibagikan habis,
padahal diantara mereka ada yang belum menerima bagian. Oleh karena itu,
masalah pokoknya harus ditambah sehingga seluruh harta waris dapat mencukupi
jumlah ashabul furudh yang ada meskipun bagian mereka menjadi berkurang.
Sebaliknya apabila terjadi kelebihan maka terjadi radd. Tidak ada nash secara
khusus dalam Al radd. Karena itulah ada
perbedaan pendapat para ulama tentang radd. Pada prinsipnya perbedaan
pendapat para ulama adalah ada atau tidak adanya radd. Radd muncul karena
73
adanya harta yang lebih setelah dibagikan dan tidak adanya ashabah. Munculnya
radd ini bertujuan untuk mengembalikan sisa harta tersebut kepada para ahli waris
dzawil furudh sesuai dengan bagian yang diterima masing-masing. Radd terjadi
apabila memenuhi 3 rukun, yaitu terwujudnya ashabul furudh, terwujudnya
kelebihan harta, dan tidak adanya ahli waris ashabah. Menurut Kompilasi Hukum
Islam (KHI) masalah radd diatur dalam pasal 193 88.
Pendapat para ulama yang menerima adanya radd adalah sebagai berikut:
1. Pendapat Ali bin Abi Thalib dan Umar bin Khattab
Radd itu diberikan kepada ashabul furudh, kecuali suami, istri, ayah dan
kakek pewaris. Karena suami atau istri bukanlah kerabat nasab. Dasar hukum
yang menjadi pedoman mereka terdapat Anfal ayat
75, yang artinya:
-orang yang memiliki hubungan kekerabatan itu sebagiannya
lebih berhak daripada yang lainnya
Sedangkan penjelasan dari Nabi SAW, ketika seorang perempuan datang
kepada beliau dengan sebuah pertanyaan untuk status budak yang baru saja
dia serahkan ke ibunya dalam beberapa hari kemudian meninggal dunia,
bahwa budak pantas menerima pahala melalui jalan pewarisan.
2. Pendapat Usman bin Affan
Radd adalah sisa harta peninggalan yang dikembalikan kepada seluruh ahli
waris (ashabul furudh) yang ada tanpa terkecuali. Bahwa radd dapat
diberikan kepada seluruh ahli waris dzul furudh sekalipun kepada suami istri
88 rta warisan diantara para ahli warisnya dzawil furudh menunjukkan bahwa angka pembilang lebih kecil daripada angka penyebut, sedangkan tidak ada ahli waris ashabah, maka pembagian harta warisan tersebut dilakukan secara radd, yaitu sesuai dengan hak masing-masing ahli waris, sedang sisanya dibagi secara berimbang di
74
menurut bagian mereka masing-masing.
3. Pendapat Muslich Maruzi
Sisa harta warisan (radd) tersebut jika terjadi kondisi dimana jumlah semua
bagian ahli waris ternyata lebih sedikit daripada jumlah harta warisan yang
ada (harta warisan lebih banyak daripada jumlah bagian-bagian ahli waris).
4. -Husain al-Mutawally
bahwa kelebihan harta (radd), sebaiknya dikembalikan saja kepada ashhabul
furudh ataupun dzawil arham jika ada, secara proporsional.
5.
Radd dikembalikan kepada ahli waris dzawil furudh kecuali 7 (tujuh) ahli
waris (ashabul furudh) orang, diantaranya suami atau istri, cucu perempuan
garis laki-laki jika ada anak perempuan, saudara perempuan seayah jika
bersama saudara perempuan sekandung, saudara-saudara seibu apabila
bersama ibu, nenek jika ada dzawil furudh yang lebih berhak. Dalam hal ini
mengutamakan ahli waris yang berhak menerima radd adalah ahli waris yang
terdekat. Sebagai contoh Nenek, yaitu nenek dekat dengan pewaris karena
ada perantara perempuan lain (ibu) sehingga membatasi nenek untuk
mendapatkan hak waris. Dengan demikian nenek tidak berhak mewaris
daripada ahli waris yang mempunyai hubungan kekerabatan yang lebih kuat..
6. Pendapat Imam Ahmad bin hanbal dan Imam Abu Hanifah
Bahwa sisa harta setelah dibagikan kepada ashabul furudh (radd) diberikan
kepada ashabul furudh senasab, kecuali suami istri, baik baitul mal
terorganisir secara adil atau tidak, wajib diberikan kepada ashabul furudh.
75
7.
Kelebihan harta diserahkan kepada ahli waris sesuai dengan kadar masing-
masing. Pertama, sisa harta diberikan kepada suami tidak kepada istri. Kedua,
sisa harta diserahkan kepada suami atau istri secara mutlak dan dalam semua
keadaan. Ketiga, sisa harta diberikan kepada suami atau istri manakala tidak
ada imam yang adil, kalau ada imam yang adil maka sisa harta diserahkan
kepada suami.
8. Pendapat Ibnu Abbas
Sisa harta diberikan kepada ahli waris (ashabul furudh) selain suami/istri dan
nenek. Jika bersama ashabul furudh yang memiliki kekerabatan karena nasab.
Jika tidak ada, maka boleh mendapatkan pengembalian. Oleh karena itu,
nenek tidak boleh mendapatkan bagian lebih dari apa yang telah ditetapkan,
kecuali jika tidak ada ashabul furudh, yang memiliki hubungan karena nasab.
Adapun hadits Rasulullah SAW yang digunakan Ibnu Abbas untuk
memperkuat pengecualiannya terhadap nenek, yang artinya:
SAW menjadikan bagian seperenam untuk nenek, bila tidak didapati ibu bersam
Oleh karena itu, nenek tidak boleh mendapatkan bagian lebih dari apa yang
telah ditetapkan, kecuali jika tidak ada dzawil furudh yang memiliki
hubungan kekerabatan karena nasab.
Pendapat yang menerima penyelesaian sisa harta warisan dengan cara radd
sesuai dengan tujuan hukum yaitu keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum,
radd secara tegas diatur dalam pasal 193 Kompilasi Hukum Islam (KHI),
kedudukan ahli waris tentunya lebih berhak menerima harta sisa daripada orang
76
lain. Mengenai kedudukan boleh tidaknya janda atau duda menerima radd perlu
adanya pemikiran kembali, penafsiran kembali dan penegasan kembali sesuai
dengan teori reactualisasi hukum Islam khususnya penegasan ahli waris siapa saja
yang dimaksuddalam pasal 193 Kompilasi Hukum Islam (KHI).
Sedangkan pendapat para ulama yang menolak adanya radd adalah sebagai
berikut:
1. Pendapat Zaid bin Tsabit, Urwah ibnu Zubeir, dan Sulaiman ibnu Yasar
Kelebihan (sisa) harta warisan setelah diambil oleh ashabul furudh,
diserahkan ke Baitul Mal untuk disalurkan kepada masyarakat Islam.
Pendapat tersebut memiliki beberapa alasan, yaitu:
a. -14, yang artinya:
-hukum tersebut) itu merupakan ketentuan dari Allah SWT. Barangsiapa taat kepada Allah SWT dan Rasul-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam surga yang mengalir di dalamnya sungai-sungai, sedangkan mereka kekal di dalamnya. Dan itulah kemenangan besar. Dan barangsiapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya dan melanggar ketentuan-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam api neraka sedangkan ia kekal di dalamnya. Dan baginya siksa yang
b.
-Tirmizi)
c. Ahli waris yang telah menerima bagian, tidak memiliki jalan lain untuk
menerimanya.
3.
Sisa harta yang tersisa setelah bagian ashabul furudh dibagikan (radd), tidak
bisa dikembalikan kepada ashabul furudh, tetapi harus diserahkan ke baitul
mal. Demikian juga tidak boleh diserahkan kepada dzawil arham, baik
keadaan kas baitul mal teratur dalam melaksanakan tugasnya ataupun tidak.
77
Oleh karena itu, sisa harta setelah dibagikan kepada ahli waris dzul furudh
tidak dapat dimiliki oleh seorang ahli waris karena tidak ada jalan untuk
memilikinya dan harus diserahkan ke baitul mal.
Berdasarkan pendapat yang menolak adanya penyelesaian sisa harta warisan
dengan cara radd dapat dipahami sebaiknya sisa harta tersebut diserahkan dan
digunakan untuk kemaslahatan umat yang lebih besar. Tujuan hukum sendiri
adalah untuk mewujudkan keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum. Radd
sudah diatur didalam Kompilasi Hukum Islam (KHI), yaitu dalam pasal 193, radd
dapat diberikan kepada semua ashabul furudh, tanpa dijelaskan suami atau istri
termasuk ahli waris yang diperbolehkan menerima radd, dilihat dari segi keadilan,
kemanfaatan dan kepastian hukum seharusnya radd tetap diberikan kepada ahli
waris dengan mempertimbangkan kemaslahatan keluarga pewaris lebih utama
sebelum mewujudkan kemaslahatan umat secara umum.
3.2 Penyelesaian Masalah Radd
Penyelesaian masalah radd ada 4 (empat) cara atau hukum tersendiri, yaitu:
1. Adanya pemilik bagian yang sama (tanpa suami atau istri)
Pembagian harta warisan secara langsung dapat dibagikan merata kepada
seluruh ahli waris berdasarkan jumlah bagian mereka dengan cara yang mudah
dan dalam waktu yang singkat. Misalnya: si pewaris meninggalkan tiga anak
perempuan, maka harta peninggalan tersebut dibagikan sesuai jumlah ahli waris.
Bagian mereka sesuai fardh yaitu 2/3, dan sisanya diselesaikan secara radd. Jadi
pembagian hak waris masing-masing sesuai dengan jumlah mereka. Contoh
kasusnya adalah:
78
Pewaris meninggalkan harta sejumlah Rp. 12.000.000,-. Ahli warisnya terdiri dari
ibu. Maka berapakah bagian ibu?
Tabel 9. Contoh Kasus Radd 7
Ahli
Waris Bagian
AM
(6)
HW
(Rp. 12.000.000,-) Penerimaan
Ibu 1/3 2 2/6 x Rp. 12.000.000,- = Rp. 4.000.000,-
2 Jumlah = Rp. 4.000.000,-
Maka sisa harta Rp 12.000.000 Rp 4.000.000 = Rp 8.000.000 (sisa ini
diberikan kepada ibu)
Sumber: Bahan Hukum Primer, diolah, 2017.
2. Adanya pemilik bagian yang berbeda (tanpa suami atau istri)
Harta peninggalan dibagikan berdasarkan jumlah bagian ahli waris, bukan
pada jumlah mereka. Sebagai contoh, si pewaris meninggalkan satu anak
perempuan (setengah) dan satu cucu perempuan pihak anak laki-laki (seperenam).
Berdasarkan jumlah bagian kedua ahli waris adalah empat (4). Karena
berdasarkan dari hasil penjumlahan yang tadinya 6 berubah menjadi 4. Contoh
kasusnya adalah:
Pewaris meninggalkan harta sejumlah Rp. 12.000.000,-. Ahli warisnya terdiri dari
ibu dan dua saudara seibu. Maka berapakah bagian ibu dan dua saudara seibu?
Tabel 10. Contoh Kasus Radd 8
Ahli
Waris Bagian
AM
(6)
HW
(Rp. 12.000.000,-) Penerimaan
Ibu 1/6 1 1/6 x Rp. 12.000.000,- = Rp. 2.000.000,-
2 saudara
seibu 1/3 2 2/6 x Rp 12.000.000,- = Rp. 4.000.000,-
Sumber: Bahan Hukum Primer, diolah, 2017.
79
3. Adanya pemilik bagian yang sama (ternasuk suami atau istri)
Harta peninggalan dibagikan kepada ahli waris yaitu yang tidak menerima
radd suami (duda) atau istri (janda) dan sisanya kemudian dibagikan kepada ahli
waris lain (ashabah) sesuai dengan jumlah mereka. Misalnya: pewaris
meninggalkan ahli waris suami dan 2 anak perempuan. Maka suami berhak
memperoleh seperempat (1/4) bagian berarti satu, dan mengenai sisanya tiga
perempat (3/4) bagian dibagikan secara merata kepada kedua anak perempuan
tersebut. Contoh kasusnya adalah:
Pewaris meninggalkan harta sejumlah Rp. 12.000.000,-. Ahli warisnya adalah
suami atau duda dan dua anak perempuan. Maka berapakah bagian suami dan dua
anak perempuan?
Tabel 11. Contoh Kasus Radd 9
Ahli
Waris Bagian
AM
(4)
HW
(Rp. 12.000.000,-) Penerimaan
Suami ¼ 1 1/4 x Rp. 12.000.000,- = Rp. 3.000.000,-
2 anak
perempuan ¾ 3 3/4 x Rp 12.000.000,- = Rp. 9.000.000,-
Sumber: Bahan Hukum Primer, diolah, 2017.
4. Adanya pemilik bagian yang berbeda (termasuk suami atau istri)
Pembagian harta peninggalan dengan 2 cara, yaitu pertama, berdasarkan
susunan ahli warisnya tanpa ada duda atau janda dan yang kedua, berdasarkan
susunan ahli warisnya ada duda atau janda. Selanjutnya dapat diselesaikan dengan
melihat 3 perihal pembanding yaitu tamaatsul (kemiripan), tawaafuq (sepadan),
dan tabaayun (perbedaan). Contoh kasusnya adalah:
Pewaris meninggalkan harta sejumlah Rp. 24.000.000,-. Ahli warisnya adalah
istri, ibu dan saudara seibu. Maka berapakah bagian istri, ibu dan saudara seibu?
80
Tabel 12. Contoh Kasus Radd 10
Ahli
Waris Bagian
AM
(12-6)
HW
(Rp. 24.000.000,-) Penerimaan
Janda ¼ 3 3/12 x Rp. 24.000.000,- = Rp. 6.000.000,-
Ibu 1/6 2 2/12 x Rp. 24.000.000,- = Rp. 4.000.000,-
Saudara
seibu 1/3 4 4/12 x Rp. 24.000.000,- = Rp. 8.000.000,-
jumlah = Rp. 18.000.000,-
(sisa harta Rp 24.000.000 Rp 18.000.000 = Rp 6.000.000)
Sisa harta tersebut diberikan kepada ibu dan saudara seibu
Ibu 1/6 1 1/3 x Rp 6.000.000,- = Rp. 2.000.000,-
Saudara
seibu 1/3 2 2/3 x Rp 6.000.000,- = Rp. 4.000.000,-
3 Jumlah = Rp. 6.000.000,-
Sumber: Bahan Hukum Primer, diolah, 2017.
3.3 Penyelesaian Masalah Radd Untuk Janda dan Duda
Berikut ini adalah contoh perhitungan dalam menyelesaikan masalah radd
untuk janda dan duda, yaitu:
1. Jika seorang suami meninggal dunia hanya meninggalkan istri saja. Harta
yang ditinggal sejumlah Rp 50.000.000,- . Maka cara penyelesaiannya:
Tabel 13. Contoh Kasus Radd untuk Janda dan Duda 1
Ahli
Waris Bagian
AM
(4)
HW
(Rp. 50.000.000,-) Penerimaan
Isteri
(janda) ¼ 1 1/4 x Rp. 50.000.000,- = Rp. 50.000.000,-
1 Jumlah = Rp. 50.000.000,-
Maka istri tersebut mendapatkan seluruh harta waris 1/4 (karena tidak ada
anak) + sisa harta (radd)
Sumber: Bahan Hukum Primer, diolah, 2017.
81
2. Jika seorang istri meninggal dunia hanya meninggalkan suami saja. Harta
yang ditinggal sejumlah Rp 25.000.000,- . Maka cara penyelesaiannya:
Tabel 14. Contoh Kasus Radd untuk Janda dan Duda 2
Ahli
Waris Bagian
AM
(2)
HW
(Rp. 25.000.000,-) Penerimaan
Isteri
(janda) ½ 1 1/2 x Rp. 25.000.000,- = Rp. 25.000.000,-
1 Jumlah = Rp. 25.000.000,-
Maka suami tersebut mendapatkan seluruh harta waris 1/2 (karena tidak ada
anak) + sisa harta (radd)
Sumber: Bahan Hukum Primer, diolah, 2017.
3. Harta peninggalan pewaris sejumlah 36 hektar sawah. Ahli waris terdiri dari
suami (duda), ibu, kakek dan 2 saudara kandung perempuan. Maka cara
penyelesaiannya adalah:
Tabel 15. Contoh Kasus Radd untuk Janda dan Duda 3
Ahli
Waris Bagian
AM
(6)
HW
(36 h.a) Penerimaan
Suami
(duda) ½ 3 3/6 x 36 h.a = 18 h.a
(sisa harta 36 h.a 18 h.a = 18 h.a)
Ibu 1/6 1 1/3 x 18 h.a = 6 h.a
Kakek 1/6 1 1/3 x 18 h.a = 6 h.a
2 saudara
kandung
perempuan
1/6 1 1/3 x 18 h.a = 6 h.a
3 Jumlah = 36 h.a
Sisa harta diberikan kepada ibu, kakek dan 2 saudara kandung perempuan
Sumber: Bahan Hukum Primer, diolah, 2017.
82
4. Harta warisan pewaris sejumlah 12 h.a. Ahli warisnya terdiri dari suami, ibu,
kakek dan 2 saudara kandung laki-laki. Maka cara penyelesaiannya:
Tabel 16. Contoh Kasus Radd untuk Janda dan Duda 4
Ahli
Waris Bagian
AM
(6) HW (12 h.a) Penerimaan
Suami
(duda) 1/2 3 3/6 x 12 h.a = 6 h.a
(sisa harta 12 h.a 6h.a = 6 h.a)
Ibu 1/6 1 1/3 x 6 h.a = 2 h.a
Kakek 1/6 1 1/3 x 6 h.a = 2 h.a
2 saudara
kandung
laki-laki
1/6 1 1/3 x 6 h.a = 2 h.a
3 Jumlah = 12 h.a
Sisa harta diberikan kepada ibu, kakek dan 2 saudara kandung perempuan
Sumber: Bahan Hukum Primer, diolah, 2017.
5. Harta warisan pewaris sejumlah Rp. 8.400,000,-. Ahli warisnya adalah istri
dan ibu. Maka cara penyelesaiannya:
Tabel 17. Contoh Kasus Radd untuk Janda dan Duda 5
Ahli
Waris Bagian
AM
(12)
HW
(Rp. 8.400.000,-) Penerimaan
Isteri
(janda) ¼ 3 3/7 x Rp. 8.400.000,- = Rp. 3.600.000,-
Ibu 1/3 4 4/7 x Rp 8.400.000 = Rp. 4.800.000,-
7 Jumlah = Rp. 8.400.000,-
Sisa harta diberikan kepada ibu
Sumber: Bahan Hukum Primer, diolah, 2017.
6. Harta warisan pewaris sejumlah Rp. 24.000,000,-. Ahli warisnya adalah isteri
(janda), nenek, dan 2 saudara seibu. Maka cara penyelesaiannya:
83
Tabel 18. Contoh Kasus Radd untuk Janda dan Duda 6
Ahli
Waris Bagian
AM
(12)
HW
(Rp. 24.000.000,-) Penerimaan
Isteri
(janda) ¼ 3 3/12 x Rp. 24.000.000,- = Rp. 6.000.000,-
(sisa harta Rp 24.000.000 Rp 6.000.000 = Rp 18.000.000)
Nenek 1/6 2 2/6 x Rp 18.000.000,- = Rp. 6.000.000,-
2 saudara
seibu 1/3 4 4/6 x Rp 18.000.000,- = Rp. 12.000.000,-
6 Jumlah = Rp. 24.000.000,-
Sisa harta diberikan kepada nenek dan 2 saudara seibu
Sumber: Bahan Hukum Primer, diolah, 2017.
7. Harta warisan pewaris sejumlah Rp. 48.000,000,-. Ahli warisnya adalah 4
isteri (janda), 8 anak perempuan, dan 6 nenek. Maka cara penyelesaiannya:
Tabel 19. Contoh Kasus Radd untuk Janda dan Duda 7
Ahli
Waris Bagian
AM
(24)
HW
(Rp. 48.000.000,-) Penerimaan
4 Isteri
(janda) 1/8 3 3/24 x Rp. 48.000.000,- = Rp. 6.000.000,-
(sisa harta Rp 48.000.000 Rp 6.000.000 = Rp 42.000.000)
8 anak
perempuan 2/3 16 4/5 x Rp 42.000.000,- = Rp. 33.600.000,-
6 nenek 1/6 4 1/5 x Rp 42.000.000,- = Rp. 8.400.000,-
20 Jumlah = Rp. 48.000.000,-
Sisa harta diberikan kepada 8 anak perempuan dan 6 nenek
Sumber: Bahan Hukum Primer, diolah, 2017.
8. Harta warisan pewaris berupa sawah seluas 12 h.a. Ahli warisnya adalah
suami (duda) dan 5 anak perempuan. Maka cara penyelesaiannya:
84
Tabel 20. Contoh Kasus Radd untuk Janda dan Duda 8
Ahli
Waris Bagian
AM
(12)
HW
(12 h.a) Penerimaan
Suami
(duda) ¼ 3 3/12 x 12 h.a = 3 h.a
(sisa harta 12 h.a 3 h.a = 9 h.a )
5 anak
perempuan 2/3 8 8/8 x 9 h.a = 9 h.a
8 Jumlah = 12 h.a
Sisa harta diberikan kepada 5 anak perempuan
Sumber: Bahan Hukum Primer, diolah, 2017.
3.4 Pendapat Para Fuqaha atau Ulama tentang Radd untuk Janda dan Duda
Pendapat para fuqaha atau ulama yang menyetujui tentang radd untuk janda
dan duda adalah pendapat Sayyidina Utsman r.a89 bahwa radd itu dapat diberikan
kepada seluruh para ahli waris ashabul furudh, termasuk kepada suami (duda) dan
istri (janda) menurut perbandingan bagian mereka masing-masing. Sebab, jumlah
bagian-bagian ahli waris lebih banyak dari asal masalah, sehingga semua kena
pengurangan dalam penerimaan menurut perbandingan bagian mereka masing-
masing. Demikian pula dengan suami isteri juga terkena pengurangan. Apabila
harta warisan yang dibagikan kepada ahli waris masih terdapat sisa harta, tidak
ada pengecualian, semua harus mendapatkan tambahan menurut perbandingan
bagian mereka masing-masing.
Di dalam Undang-undang hukum kewarisan Mesir juga mengambil pendapat
Sayyidina Utsman r.a, meskipun pada prinsipnya suami isteri tidak dapat 89 Ibnu Qudamah, Al-Mughni, Juz 7, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, t.th), hlm. 46. Lihat juga Hasan Yusuf Ghazali, al-Miras ala al-Mazahibul Arba'ah dirasatan watatbikhan, (Ttp: Daar al-Fikr, 2003), hlm. 113
85
menerima radd. Undang-undang tersebut menetapkan adanya radd untuk salah
satu diantara suami atau isteri meninggal dunia tidak meninggalkan ahli waris
ashabah, ashabul furudh ataupun dzawil arham, maka salah satu dari suami isteri
dapat menerima radd. Undang-undang Mesir Pasal 30 mengatur mengenai radd
untuk suami istri (janda duda).90 Undang-undang ini mengambil pendapat dari
jumhur dalam menetapkan adanya radd kepada dzawil furudh selain suami atau
istri. Aturan tersebut terdapat dalam Kitab Undang-undang Hukum Kewarisan
Mesir dalam Pasal 30, yang artinya:
h tidak dapat menghabiskan harta peninggalan dan tidak habah nasab, sisanya dikembalikan kepada selain suami-istri dari
golongan ashabul furudh, menurut perbandingan furudh mereka. Dan sisa harta peninggalan dikembalikan kepada salah seorang suami-istri, bila tidak
h atau 91
Adanya radd kepada salah seorang suami atau istri setelah pemberian warisan
kepada dzawil arham disebabkan karena hubungan suami atau istri dalam
kehidupan menghendaki salah seorang dari keduanya, mereka mempunyai hak
terhadap harta pasangannya daripada orang-orang berhak lainnya. Dengan
demikian, Kitab Undang-undang Hukum Warisan Mesir mengambil pendapat
mayoritas ulama dalam masalah radd kepada selain suami atau istri. Namun,
mengecualikan satu kasus yang diambil dari pendapat Utsman bin Affan, yaitu
untuk salah seorang suami atau istri ketika tidak ada dzawil arham.
Fathur Rachman menyimpulkan bahwa dzawil furudh yang berhak menerima
radd menurut Kitab Undang-undang Hukum Kewarisan Mesir, diantaranya
Adalah ibu, nenek, anak perempuan, cucu perempuan dari anak laki-laki, saudari
90 Wahbah Al-Zuhaili, Fiqih Islam wa Adillatuhu: Hak-hak Anak, Wasiat, Wakaf, Warisan, terj. Abdul Hayyie al-Kattani, dkk, (Jakarta: Gema Isnani, 2011), hlm. 436-437. 91 Fathur Rachman, Op.cit., hlm. 427.
86
kandung, saudari seayah, saudari seibu, saudara seibu, salah seorang suami/istri
dengan syarat tidak ada ashabah atau dzawil arham.92 Ini bermakna bahwa, salah
seorang suami/istri baru dapat mendapatkan sisa harta jika tidak ada lagi ahli
waris selain mereka. Jadi mereka diakhirkan dalam penerimaan sisa harta (radd).
Pemahaman konsep radd dalam pandangan ulama memiliki perbedaan terkait
dengan ahli waris penerima radd. Mereka mempunyai dalil tersendiri yang
memperkuat argumen mereka masing-masing. Dalam radd ulama terbagi menjadi
dua pendapat, ada ulama yang menerima radd dan ada juga yang secara mentah
menolak radd. Ulama yang menolak radd
Imam Malik. Menurut mereka radd diserahkan kepada baitul mall sebagai
perwakilan dari umat Islam, yang berdasarkan surat An-nisa ayat 13 dan 14, serta
hadits Nabi SAW. Hak-hak secara pasti telah ditetapkan oleh Allah SWT yang
sudah tidak bisa diganggu gugat lagi atau ditambah kurang begitu saja. Adapun
ulama yang menerima konsep radd dalam surat Al Anfal ayat 75 serta hadits Nabi
SAW. Menurut mereka kekerabatan karena nasab jauh lebih berpengaruh dalam
kewarisan dibandingkan dengan hubungan agama saja. Karena kekerabatan
berdasarkan nasab dipandang lebih maslahah, sehingga dapat membantu
kehidupan keluarganya. Tidak hanya berhenti sampai perbedaan ini saja, tetapi
para ulama yang menerima radd berbeda pendapat tentang siapa saja ahli waris
yang berhak menerima radd.
Penyelesaian radd yang dilakukan oleh jumhur ulama adalah memberikan
radd kepada semua dzawil furudh kecuali suami atau istri. Karena menurut
mereka. Yang terdapat dalam surat Al-Anfal ayat 75, bahwa kekerabatan nasab
92 Fathur Rachman, Op.cit., hlm. 431.
87
lebih diutamakan dibandingkan dengan hubungan sebab seperti perkawinan.
Namun Kompilasi Hukum Islam (KHI) dengan keumumannya, lebih condong
mengikuti pendapat Utsman bin Affan yang menyatakan bahwa radd diberikan
kepada semua ahli waris tanpa kecuali, termasuk suami atau istri. Alasan yang
digunakan adalah pada saat terjadi kekurangan harta (aul), suami atau istri ikut
menanggungnya. Demi adanya keadilan hukum dalam masyarakat, maka ketika
ada harta yang tersisa atau lebih, suami atau istri juga diikutsertakan sebagaimana
keikutsertaan mereka dalam permasalahan aul.
Konsep radd yang semestinya diterapkan di Indonesia adalah dengan melihat
sistem kekerabatan yang terdapat dalam satu keluarga, karena di dalamnya
terkandung peralihan tanggung jawab yang harus diemban setelah pewaris
meninggal dunia. Indonesia kaya akan adat dan beragamanya kebiasaan yang
harus dipraktikkan di dalamnya. Sehingga memunculkan berbagai kasus yang
berbeda, yang mengharuskan penyelesaian permasalahan tersebut berdasarkan
kasus yang dialaminya juga. Oleh karena itu, konsep radd yang ditawarkan dalam
masyarakat juga boleh jauh dengan tujuan diciptakannya hukum yaitu untuk
kemaslahatan dan keadilan yang harus diwujudkan dalam masyarakat.
Pertimbangan-pertimbangan seperti sistem kekerabatan, hak asuh dan
pemeliharaan anak setelah salah seorang suami atau istri meninggal dunia serta
perubahan sosial tidak dapat diabaikan ketika radd mengikuti Kompilasi Hukum
Islam (KHI), karena Kompilasi Hukum Islam memberikan radd kepada semua
ahli waris tanpa dijelaskan siapa saja ahli waris yang dimaksud. Namun
dilaksanakan dalam konteks yang berbeda atau disesuaiakan dengan kasus-kasus
yang ada, tanpa mengesampingkan pendapat para jumhur ulama dalam
88
pengambilan keputusan.
Apabila terjadi sengketa dalam penyelesaian masalah radd tentunya dapat
melalui Pengadilan Agama. Pengadilan Agama berwenang melakukan penetapan
waris apabila pewaris dan ahli waris adalah orang yang beragama Islam. Dalam
masalah warisan menurut hukum waris Islam dapat ditempuh dengan dua cara,
yaitu melalui gugatan. Dalam hal gugatan yang diajukan, berarti terdapat sengketa
terhadap objek waris. Hal ini bisa disebabkan karena adanya ahli waris yang tidak
mau membagi warisan sehingga terjadi konflik antara ahli waris. Proses akhir dari
gugatan ini akan melahirkan produk hukum berupa putusan, atau melalui
permohonan yang diajukan para ahli waris dalam hal tidak terdapat sengketa.
Terhadap permohonan tersebut pengadilan akan mengeluarkan produk hukum
berupa penetapan.
3.5. Pengaturan Radd dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI)
Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 193 dijelaskan bahwa ahli waris
yang berhak menerima suatu sisa harta didalam masalah radd yaitu semua ahli
waris ashabul furudh tanpa kecuali termasuk suami atau istri.93
Dengan demikian dalam pembagian harta warisan, apabila terjadi suatu sisa
dari harta sesudah diambil ahli waris ashabul furudh dan tidak ada ahli waris
ashabah, di dalam Kompilasi Hukum Islam sisa lebih tersebut diberikan kepada
semua ahli waris ashabul furudh tanpa terkecuali termasuk duda dan janda.
Sehingga menjadi konsekuensi sebagai duda atau janda dalam masalah radd juga
akan mendapat tambahan harta warisan. Demi menegakkan keadilan dan
93 Usman Suparman Usman dan Yusuf Somawinata, Fiqh Mawaris Hukum Kewarisan Islam, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2002), hlm. 198.
89
kemaslahatan sebaiknya Kompilasi Hukum Islam (KHI) khusunya pasal 193
memasukkan ahli waris janda atau duda termasuk ahli waris penerima radd. ini
sesuai dengan keadilan yang terdapat dalam Al Surat An-nisa ayat 135,
yang artinya :
-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu atau bapak ibu dan kaum kerabatmu. Jika ia kaya ataupun miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika kamu memutar balikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui segala apa yang kamu kerjakan .
Sikap tegas dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) dalam hal ini lebih
mengutamakan kemaslahatannya, agar penyelesaian dalam pembagian harta
warisan tidak menimbulkan suatu keraguan bagi pihak yang memiliki pedoman
tersebut. Adapun kakek dan ayah keatas, dengan memperhatikan Kompilasi
Hukum Islam (KHI) Pasal 177 94.
Dengan demikian mengenai ayah dan kakek keatas, Kompilasi Hukum Islam
juga memberikan sisa (kelebihan) harta dalam masalah radd. Hal tersebut
dikarenakan tidak adanya suatu bagian sisa (kelebihan) atau ashabah terhadap
mereka berdua.
94 kan sepertiga bagian apabila pewaris tidak meninggalkan anak, bila meninggalkan anak, ayah mendapatkan seperena Lihat Abdurahman. Op.cit., hlm. 160
90
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN
4.1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan uraian pembahasan pada bab-bab
sebelumnya, maka penulis mengambil kesimpulan, yaitu sebagai berikut:
Dari seluruh pembahasan yang telah dijelaskan pada bab-bab sebelumnya,
maka dapat dipahami bahwa pemahaman konsep radd dalam pandangan para
ulama atau fuqaha memliki perbedaan terkait dengan ahli waris yang menerima
radd. Pendapat mengenai radd terbagi menjadi 2 (dua), yaitu ulama yang
menerima radd dan ulama yang menolak radd. Para ulama yang menolak radd
yaitu Zaid bin Tsabit, Urwah ibnu Zubeir, Sulaiman ibu Yasirm Imam Syafii, dan
Imam Maliki menjelaskan bahwa radd akan diberikan kepada baitul mal sebagai
perwakilan masyarakat Islam. Ternyata pendapat para ulama yang menerima radd
menimbulkan perbedaan juga, yaitu mengenai siapa-siapa ahli waris yang berhak
menerima radd dan boleh tidaknya istri (janda) atau suami (duda) dalam hal
kewarisan penerimaan radd.
Menurut pendapat para ulama dalam penyelesaian masalah radd adalah radd
dapat diberikan kepada semua ahli waris dzawil furudh kecuali suami (duda) atau
istri (janda), karena hubungan kekerabatan nasab lebih diutamakan daripada
hubungan perkawinan saja. Kompilasi Hukum Islam (KHI), lebih mengutamakan
pendapat Utsman bin Affan yang menyatakan bahwa radd dapat diberikan kepada
semua ahli waris tanpa terkecuali, termasuk suami (duda) ataupun istri (janda)
dengan alasan bahwa pada saat terjadi kekurangan harta (aul), suami ataupun istri
91
juga ikut menanggungnya. Demi ditegakkannya keadilan hukum di dalam
masyarakat, maka ketika adanya kelebihan (sisa) harta warisan, suami ataupun
istri diikutsertakan sebagaimana partisipasi mereka dalam hal permasalahan
kekurangan harta (aul).
Indonesia tidak boleh jauh dari tujuan diciptakannya hukum, yaitu
kemaslahatan dan keadilan yang diwujudkan dalam masyarakat. Selain Al Qur'an
dan sunnah rasul, ijtihad merupakan salah satu dasar hukum Islam yang utama
secara lebih rasional untuk kemaslahatan suami (duda) atau istri (janda) berhak
dalam menerima radd, karena dalam keadaan apapun tidak mungkin seorang
suami (duda) atau istri (janda) terhalang atau terhijab untuk mewaris.
4.2. Saran
a. Adanya perbedaan persepsi penafsiran, konsep serta penalaran tentang
penyelesaian masalah radd dan penentuan ahli waris penerima radd dalam
hukum waris Islam yang bersumber dari Al-
dituangkan dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) merupakan akar
permasalahan timbulnya potensi sengketa mewaris dalam hukum waris Islam,
kiranya hakim dalam memutus perkara kedudukan radd untuk janda atau
duda secara rasional termasuk ahli waris yang berhak menerima radd.
b. Perlu dilakukan penegasan tentang siapa saja ahli waris yang berhak
menerima radd terhadap peraturan tentang hukum waris Islam dalam buku II
(dua) Kompilasi Hukum Islam (KHI) khususnya penegasan pada pasal 193
mengenai radd yang memungkinkan menimbulkan suatu penafsiran yang
berbeda dari isi pasal tersebut karena tidak dijelaskan secara tegas mengenai
92
ahli waris yang berhak menerima radd terutama kedudukan radd untuk janda
dan duda. Alangkah baiknya semua ahli waris termasuk janda dan duda
berhak menerima radd.
i
DAFTAR PUSTAKA Referensi Buku : Abdul Rachmad Budiono, Pengantar Ilmu Hukum, Malang: Bayu Media, 1997. Abdul Rachmad Budiono, Pembaharuan Hukum Kewarisan Islam Di Indonesia,
Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1999 Abdul Hamid dan Muhammad Muhyiddin. Ahkam Al-Mawarits fi Al-Syari'ah Al-
Abdurahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: CV. Akademika
Pressindo, 2004. Afdol, Penerapan Hukum Waris Islam secara Adil, Surabaya: Airlangga
University Press, 2003. Afdol, Legislasi Hukum Islam di Indonesia, Surabaya: Erlangga University
Press, 2009. Ahmad Azhar Basyir, Hukum waris Islam, Yogyakarta: Ekonesia Fakultas
Hukum UII, 1999. Ahmad Hanafi, Pengantar dan Sejarah Hukum Islam, Jakarta: Bulan Bintang,
1970. Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
1998. Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
2003. Ahmad Rafiq, Fiqh Mawaris, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1983 Ali Hasan, Hukum Waris dalam Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1981. Amir Syarifuddin, Pelaksanaan Kewarisan Islam Dalam Lingkungan Adat
Minangkabau, Jakarta: Gunung Agung, 1984. Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, Jakarta: Prenada Media, 2004. Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, Jakarta: Kencana, 2005. Beni Ahmad, Fiqih Mawaris, Bandung: Pustaka Setia, 2009. CST kansil, Pengantar Ilmu Hukum Jilid I, Jakarta: Balai Pustaka, 2000.
ii
Departemen Agama RI , Jakarta: Proyek Pengadaan Kit .
Dian Khairul Umam, Fiqih Mawaris, Bandung: Pustaka Setia, 2006. E.Utrecht, Pengantar Dalam Hukum Indonesia, cetakan IV, Jakarta: Ichtiar,
1957. Fathur Rachman, Ilmu Waris, Bandung: PT. Al- Fathur Rachman, Ilmu Waris, Cetakan Kedua, Bandung: PT. Al- . Hasan Yusuf Ghazali, al-Miras ala al-Mazahibul Arba'ah dirasatan watatbikhan,
Ttp: Daar al-Fikr, 2003.
Hasbi Ash-Shiddieqy, Fiqhul Mawaris, Jakarta: Bulan Bintang, 1973. Hasbullah Mursyid,
dalam Muh. Wahyuni Nafis (ed), Kontekstualisasi Ajaran Islam. Hasniah Hasan, Hukum Warisan dalam Islam, Surabaya: Bina Ilmu, 1987. Hazairin, Hukum Kewarisan Bilateral Menurut Al-Quran dan Hadist, Jakarta,
Jakarta: Pustaka Azzam, 2007 Ibnu Qudamah, Al-Mughni, Juz 7, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, t.th. Idris Djakfar dan Taufik Yahya, Kompilasi Hukum Kewarisan Islam, Jakarta: PT.
Dunia Pustaka Jaya, 1995. J.J.H.Bruggink, dialihbahasakan oleh Arief, Refleksi Tentang Hukum, Bandung:
PT. Citra Aditya Bakti, 1996.
Cambridge, 1999.
Johny Ibrahim, Teori dan Penelitian Hukum Normatif, Malang: Bayu Media
Publising, 2007. Komari, Laporan Akhir Kompendium Bidang Hukum Waris, Jakarta: BPHN,
Departemen Hukum dan HAM, 2011. Mahmud Yunus, Hukum Warisan dalam Islam, Jakarta: Pustaka Mahmudiyah,
1974.
iii
M.Idris Ramulyo, Perbandingan Hukum Kewarisan Islam dengan Kewarisan Hukum Perdata, Jakarta: Sinar Grafika.
Marwan Mas, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta: Ghlmia Indonesia, 1997 Mohammad Daud Ali, Hukum Islam Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum
Islam di Indonesia, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1996. Muslich Maruzi, Pokok-Pokok Ilmu Waris, Jakarta: Pustaka Amani, cet. Kedua. Muhammad Ali As-Shabuni, , Bandung: CV.
Diponegoro, 1988. Muhammad Ali As-Shabuni, Ilmu Hukum Waris Menurut Ajaran Islam.
Surabaya: Mutiara Ilmu, 1388. Muhammad Bakri, Pengantar Hukum Indonesia, Malang: IKIP Malang, 1995. Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqh Lima Mahzab, terj. Afif Muhammad,
Jakarta: Basri Press, 1994. Munawir Sjadzali, Ijtihad Kemanusiaan, Jakarta: Paramadina, 1997. Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Kencana Penada Media Group, 2005. Satjito Raharjo, Ilmu Hukum, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1991. Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah Jilid 4, terj. Nor Hasanuddin, Jakarta: Pena Pundi
Aksara, 2006. Soerjono Soekanto, Beberapa Permasalahan Hukum dalam Kerangka
Pembangunan Indonesia, Jakarta: UI Press, 1983. Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: Universitas Indonesia,
1984. Suhrawardi K. Lubis dan Komis Simanjutak, Hukum Waris Islam, Jakarta: Sinar
Grafika, 2007. Thalib, Sajuti, Hukum Kekeluargaan Indonesia, Jakarta: Yayasan Penerbit
Universitas Indonesia, 1974. Theo Huijabers, Filsafat Hukum, Jakarta: Kanisius, 1995. Usman Suparman Usman dan Yusuf Somawinata, Fiqh Mawaris Hukum
Kewarisan Islam, Jakarta: Gaya Media Pratama, cetakan kedua, 2002. Wahbah Al-Zuhaili, Fiqih Islam wa Adillatuhu: Hak-hak Anak, Wasiat, Wakaf,
iv
Warisan, terj. Abdul Hayyie al-Kattani, dkk, Jakarta: Gema Isnani, 2011. Yunahar Ilyas, Reaktualisasi Ajaran Islam, Studi atas Pemikiran Hukum
Munawir Sjadzali dalam Jurnal Al-Jamiah, Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga, Vol. 44, Number 1, 2006.
Referensi Peraturan Perundang-undangan : Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam
Burgeliijk Wetboek (Kitab Undang-Undang Hukum Perdata)