1. HASIL PENGAMATAN
Hasil pengamatan uji sensori pada kecap dapat dilihat pada Tabel
1.Tabel 1. Hasil Pengamatan KecapKelBahan dan
PerlakuanAromaWarnaRasaKekentalan
C1250 gram kedelai hitam + 0,5% inokulum tempe + 1 gram
cengkeh++++++++
C2250 gram kedelai putih + 0,75% inokulum tempe + 1 gram
cengkeh----
C3250 gram kedelai hitam + 0,75% inokulum tempe + 1 batang
serai++++++++
C4250 gram kedelai putih + 1% inokulum tempe + 1 batang
serai++++++++++
C5250 gram kedelai hitam + 1% inokulum tempe + 1 biji
pala+++++++++++
Keterangan:Aroma:+++: sangat kuatKekentalan: +++ : sangat
kental++: kuat ++: kental+:kurang kuat +: kurang kentalWarna:+++:
sangat hitam Rasa : +++: sangat kuat++: hitam ++: kuat+: kurang
hitam +: kurang kuat
Berdasarkan tabel 1 di atas, dapat diketahui bahwa hasil uji
sensori terhadap kecap dihasilkan data yang berbeda-beda. Hasil
perbedaan tersebut dikarenakan adanya perbedaan perlakuan, yaitu
pada kelompok C1 ditambahkan inokulum 0,5% dan 1 gram cengkeh,
kelompok C2 ditambahkan inokulum 0,75% dan 1 gram cengkeh, kelompok
C3 ditambahkan inokulum 0,75% dan 1 batang serai, kelompok C4
ditambahkan inokulum 1% dan 1 batang serai, serta kelompok C5
ditambahkan inokulum 1% dan 1 biji pala. Dari perbedaan perlakuan
tersebut C4 memiliki aroma yang sangat kuat karena terbuat dari
kedelai putih, warna kecap yang sangat hitam terdapat pada kelompok
C5. Untuk rasa yang sangat kuat terdapat pada kelompok C3, C4 dan
C5. Sedangkan untuk kekentalan kelompok C1 dan C5 dihasilkan kecap
yang sangat kental.
18
12. HASIL DAN PEMBAHASAN
Semakin berkembangnya industri pangan, khususnya produk penyedap
rasa secara fermentasi maka keberadaan kecap semakin bertambah
luas. Pada praktikum fermentasi ini, yang dilakukan yaitu proses
fermentasi kecap. Fermentasi kecap termasuk salah satu jenis
fermentasi pada substrat padat. Fermentasi dapat terjadi karena
adanya aktivitas mikroba penyebab fermentasi pada substrat organik
yang sesuai. Proses fermentasi dapat menyebabkan terjadinya
perubahan sifat pangan sebagai akibat pemecahan kandungan-kandungan
bahan pangan tersebut (Winarno, 1984). Menurut (Srikandi Fardiaz,
1988) fermentasi merupakan suatu proses enzimatik dimana enzim yang
bekerja mungkin sudah dalam keadaan terisolasi yaitu dipisahkan
dari selnya atau masih dalam keadaan terikat di dalam sel tersebut.
Pada beberapa proses fermentasi yang menggunakan sel mikroba,
reaksi enzim mungkin dapat terjadi sepenuhnya di dalam sel mikroba
karena enzim yang bekerja bersifat intraselular. Pada proses
lainnya reaksi enzim terjadi di luar sel karena enzim yang bekerja
bersifat ekstraseluler. Fermentasi kecap, termasuk sakarifikasi
pati, gula degradasi, fermentasi alkohol, proteolisis, aroma
pembentukan, reaksi asam pantotenat dan Maillard. Reaksi proses
batch konvensional dalam pembuatan bir kecap dimulai dengan
fermentasi solid-state dari Spesies Aspergillus pada campuran
kedelai dan gandum dengan rasio tertentu (Van der Sluis et al.,
2001). Selama proses fermentasi aerobik selama 2-3 hari pada suhu
30 C, Aspergillus akan menghasilkan enzim ekstraseluler. Setelah
itu, bahan baku yang dibentuk dicampur dengan air garam. Dalam air
garam tersebut enzim Aspergillus terus menghidrolisis kedelai dan
sebagai hasilnya terbentuklah kecap (Yong dan Wood, 1977).
Bahan pangan berprotein nabati yang sering digunakan sebagai
bahan dasar proses fermentasi pangan yaitu kedelai atau jenis
kacang- kacangan lain, seperti kacang tanah, kara benguk, dan
kacang gude. Di antara bahan- bahan tersebut, yang paling sering
digunakan sebagai bahan dasar makanan fermentasi yaitu kedelai,
karena kadar proteinnya yang tinggi (Kasmidjo, 1990). Salah satu
produk fermentasi berbahan dasar kedelai adalah kecap. Kecap
merupakan produk cair yang berwarna coklat gelap serta memiliki
rasa asin atau manis dand igolongkan dalam makanan yang memiliki
rasa dan aroma menyerupai ekstrak daging. Kecap mempunyai sifat
yang mudah dicerna dan diabsorbsi tubuh manusia, karena
komponen-komponennya mempunyai berat molekul rendah (Kasmidjo,
1990). Sedangkan berdasarkan SNI 01-354-1994, kecap dapat dikatakan
sebagai produk pangan cair yang didapatkan melalui proses
fermentasi ataupun proses hidrolisis dari kacang kedelai dengan
atau tanpa adanya tambahan bahan makanan lain dan tambahan yang
telah diizinkan.
Kecap adalah cairan yang berasa asin berwarna coklat gelap
dengan aroma khas (Yue, 1990). Kecap dapat dibuat melalui 3 cara,
yaitu fermentasi, hidrolisis asam, serta kombinasi dari fermentasi
dan hidrolisis asam. Dibandingkan dengan kecap yang dibuat secara
hidrolisis, kecap yang dibuat dengan cara fermentasi biasanya
memiliki aroma yang lebih baik. Pembuatan kecap secara fermentasi
pada prinsipnya menyangkut pemecahan karbohidrat, protein serta
lemak oleh aktivitas enzim kapang, khamir dan bakteri menjadi
senyawa sederhana, yang menentukan rasa, aroma, dan komposisi kecap
(Koswara, 1997).
Kecap memiliki komposisi gizi yang baik karena kemudahannya
untuk dicerna dan diabsorbsi di dalam tubuh manusia. Hal tersebut
disebabkan, karena komponen penyusun kecap memiliki berat molekul
yang rendah. Protein yang terkandung dalam kecap berbentuk
peptida-peptida yang sederhana dan juga asam amino. Kelarutan kecap
dengan air mencapai 90%, dimana antara nitrogen amino dan nitrogen
total memiliki rasio 45%. Kecap juga memiliki karakteristik
kimiawi, yaitu pH antara 4,9 hingga 5 (Kasmidjo, 1990). Sedangkan
menurut (Feng et al, 2013) bahwa kecap termasuk produk hasil
fermentasi yang mengandung sejumlah komponen dalam bentuk flavor
organik serta memiliki sifat mudah menguap/teruap. Terdapat
beberapa jenis komponen yang termasuk komponen flavor seperti
ester, fenol, alkohol, asam dan ada senyawa-senyawa heterosiklik.
Terdapat juga komponen lain selain komponen-komponen tersebut yang
sangat berkontribusi pula dalam menentukan flavor dari kecap yaitu
asam amino dan asam organik. Pembentukan senyawa-senyawa tersebut
terjadi pada saat proses fermentasi berlangsung.
Pada praktikum kali ini bahan dasar yang digunakan untuk
pembuatan kecap yaitu kedelai kuning dan kedelai hitam dalam bentuk
yang utuh atau hancur dimana sudah dihilangkan lemaknya. Kedelai
bebas lemak lebih banyak dipergunakan sehingga bahan dasar karena
komponen proteinnya relatif lebih tinggi (Kasmidjo, 1990). Kedelai
yang digunakan sebagai bahan dasar pembuatan kecap harus
berkualitas baik yaitu bebas dan bersih dari sisa tanaman (kulit
polong, kulit ari, potongan batang ataupun ranting), bebas dari
benda asing seperti batu kerikil atau yang lainnya, dan kondisi
biji kedelai juga tidak boleh luka (Santosa, 1994). Pada proses
fermentasi kecap ini dbantu oleh adanya jamur, ragi, bakteri,
ataupun bisa dengan kombinasi dari mikroorganisme (Shin et al,
2007).
2.1. Tahapan Proses Fermentasi KecapDalam pembuatan kecap
kedelai dilakukan beberapa tahapan seperti tahap perebusan biji
kedelai, penjamuran/fermentasi kapang (mold fermentation),
penggaraman, dan juga perebusan pada akhir. Berikut beberapa
tahapan yang dilakukan dalam pembuatan kecap yaitu :a.
PenyortiranPenyortiran ini bertujuan untuk memperoleh produk kecap
kedelai dengan kualitas yang prima/baik. Penyortiran ini dilakukan
dengan cara menyiapkan dan mensortir biji kedelai hitam atau
kedelai kuning yang sudah tua.b. PencucianTujuan dari proses
pencucian kedelai yaitu untuk membantu menghilangkan
kotoran-kotorang yang masih menempel atau tercampur pada biji
kedelai.c. Perebusan ITujuan dari proses peebusan yaitu untuk
membuat dan memastikan bahwa kedelai menjadi lebih lunak dan mudah
dipisahkan dari kulitnya.d. PenirisanTujuan dari proses penirisan
yaitu untuk memisahkan kedelai dari air rebusan.e. PenjamuranProses
penjamuran dapat dilakukan pada saat kedelai yang telah direbus di
dinginkan terlebih dahulu karena apabila dalam kondisi kedelai yang
masih panas, maka akan menyebabkan bibit jamur yang ditambahkan
akan menjadi mati. Proses penjamuran ini penting, karena akan
berpengaruh dan menentukan berhasil atau tidaknya proses pembuatan
kecap. Proses penjamuran akan berakhir dengan adanya pertumbuhan
jamur pada kedelai yang berwarna putih merata atau berwarna
kehijau-hijauan hingga menyerupai tempe.f. PenggaramanProses
penggaraman dilakukan dengan cara biji kedelai berjamur tadi
dimasukkan pada larutan garam konsentrasi 20%. Pada saat direndam
dengan air garam dilakukan penjemuran dengan panas matahari sambil
terus diaduk-aduk/dihomogenkan agar merata antara substrat dan
biakan.g. Penyaringan IPenyaringan pada tahap ini dilakukan hingga
mendapatkan filtrat yang bersih yang nantinya menjadi bahan utama
untuk diolah menjadi kecap.h. Perebusan II (pemasakan)Proses
perebusan ini dilakukan dengan cara menambahkan air ke filtrat,
lalu selanjutnya direbus hingga cairan mendidih. Perebusan ini juga
ditambahkan gula dan bumbu-bumbu lain untuk penyedap. Selama proses
perebusan larutan kecap harus sering diaduk dan apabila sudah tidak
muncul buih maka perebusan dapat dihentikan..i. Penyaringan
IIProses terakhir adalah penyaringan II, dimana dalam proses ini
akan mendapatkan kecap yang lebih bersih dan siap
dikonsumsi.(Santoso, 1994).
Setelah dilakukan tahapan tersebut dan dihasilkan kecap maka
selanjutnya dilakukan pengujian sensori untuk mengamati atribut
mutu/karakteristik dari kecap tersebut. Tahapan pembuatan kecap
sendiri akan melibatkan peranan dari mikroorganisme, dimana
mikroorganisme tersebut dapat tumbuh secara alami pada lingkungan
yang menjadi tempat dalam pembuatan kecap ini. Pada proses
fermentasi kecap digunakan kapang dan ragi (yeast) seperti
Aspergillus oryzae, Aspergillus soyae, Aspergillus niger, dan
Rhizopus sp serta Lactobacillus delbruckii dan juga ragi Hansenula
sp (Astawan & Astawan, 1991). Pada proses pembuatan kecap ini
melalui 2 tahap proses fermentasi yaitu tahap fermentasi padat
(biasa disebut fermentasi koji/tempe) dan juga tahap fermentasi
cair (biasa disebut fermentasi moromi). Waktu yang diperlukan untuk
proses fermentasi padat dalam pembuatan kecap sekitar 3-5 hari,
sedangkan pada fermentasi cair biasanya memerlukan waktu sekitar
14-28 hari (Purwoko & Noor, 2007). Pada produk kecap terdapat
factor penting yang nantinya akan mempengaruhi kualitas atau mutu
dari kecap, antara lain seberapa lamanya proses fermentasi
dilarutan garam, varietas/jenis kedelai yang menjadi bahan baku,
dan juga tentunya kemurnian biakan dari kapang. Astawan &
Astawan (1991),
2.1.1. Tahap Fermentasi KojiProses fermentasi kecap diawali
dengan tahap fermentasi koji terlebih dahulu. Koji merupakan
pemasakan kedelai yang telah diinokulasi dengan kultur fermentasi.
Selama pembuatan atau proses koji, Aspergillus oryzae S
menghasilkan berbagai enzim amilase dan protease untuk memecah
karbohidrat dan protein dalam kedelai (Suganuma T, 2007).
Fermentasi koji menghasilkan enzim amylase untuk membebaskan gula
dari substrat, sehingga memfasilitasi ragi dalam proses fermentasi.
Biasanya strain A. Oryzae digunakan pada suhu 25-30 C
(Sooriyamoorthy et al, 2004;. Waites et o al., 2001). Mula- mula
disiapkan sebanyak 250 gram kedelai hitam ataupun putih. Untuk
kelompok C1,C3 dan C5 menggunakan kedelai hitam sedangkan C2 dan C4
menggunakan kedelai putih. Kedelai tersebut kemudian direndam di
dalam air selama 12 jam. Perendaman ini bertujuan memudahkan
kedelai untuk menyerap air (hidrasi), sehingga akan memudahkan
untuk menghilangkan kulit ari dari kedelai putih tersebut yang
nanti hanya akan memerlukan waktu yang singkat karena akan lebih
cepat melunak. Proses perendaman ini juga dapat meningkatkan bobot
kedelai karena penyerapan air selama perendaman sehingga menjadikan
dua kali lipat lebih berat (Kasmidjo, 1990). Selama proses
perendaman terjadi perubahan-perubahan kimia tetapi tidak menurunan
nutrisi yang banyak, kecuali perbedaan besar pada kandungan
karbohidrat (Fukushima, 2003).
Setelah itu kedelai dicuci dan ditirskan hingga kering. Kedelai
yang telah dikeringkan setelah itu dilanjutkan pada proses
perebusan. Tujuan dari perebusan kedelai agar teksturnya dapat
berubah menjadi lunak, merusakkan protein inhibitor yang ada,
inaktifvasi zat antinutrisi yang terkandung, menghilangkan bau yang
biasanya langu serta dapat membunuh bakteri yang tidak diinginkan
yang ada pada permukaan kedelai tersebut (Tortora et al, 1995).
Perebusan dilakukan dengan waktu yang singkat sekitar 10 menit, hal
ini sesuai dengan teori (Judoamidjojo et al,1989) bahwa perebusan
kedelai memerlukan waktu yang lebih singkat, karena pada saat
perendaman biji kedelai telah menyerap air cukup banyak.
Gambar 1. Proses perebusan kedelai
Setelah direbus kemudian ditiriskan dan dikeringkan. Disiapkan
pula tampah dan daun pisang yang telah di bersihkan terlebih dahulu
dengan alkohol. Pemberian alkohol berfungsi untuk memastikan proses
berjalan dengan baik tanpa adanya kontaminasi silang dari tampah
maupun daun pisang yang di gunakan. Kedelai yang telah kering
diletakkan di atas tampah bersih yang dialasi daun pisang. Sebelum
diletakkan di atas tampah, kedelai harus dalam kondisi yang dingin
dan kering. Apabila masih terkandung kadar air yang terlalu tinggi
maka akan menimbulkan lendir di permukaannya. Namun, jangan terlalu
dingin juga kedelainya karena menurut Atlas (1984) kondisi kedelai
yang hangat setelah perebusan lebih mengoptimalkan pertumbuhan
jamur di permukaan kedelai tersebut. Disisi lain kondisi tersebut
mampu mengaktifkan enzim-enzim seperti proteinase dan juga enzim
amilase. Dengan adanya protein-protein tersebut akan lebih
memudahkan untuk jalannya proses fermentasi ini.
Gambar 3. Kedelai dikeringkan di atas tampah yang di alasi daun
pisangGambar 2. Penirisan kedelai
Perlakuan selanjutnya yaitu penambahan inokulum. Kedelai yang
telah kering tadi di pindahkan ke dalam besek yang telah dilapisi
daun pisang. Penambhan inokulum untuk masing-masing kelompok
berbeda yaitu kelompok C1 sebanyak 0,5% jumlah inokulum yang
dicampurkan, kelompok C2 dan C3 sebanyak 0,75%, inokulum yang
ditambahkan sedangkan kelompok C4 dan C5 sebanyak 1% inokulum yang
ditambahkan. Menurut (Chancharoonpong et al, 2012) inokulum
Aspergillus oryzae atau Rhizopus sp yang dicampurkan akan
memproduksi enzim amilase serta enzim protease dimana masing-masing
untuk memecah karbohidrat dan juga protein yang ada pada kedelai
selama berlangsungnya tahap fermnetasi koji. Inokulum yang
ditambahkan harus dipastikan tercampur rata pada semua kedelai.
Kedelai tersebut diratakan pada besek yang sudah ada daun
pisangnya, dimana tempat tersebut sudah disterilkan dengan alkohol.
Setelah itu, kedelai yang telah ditaburi ragi tempe kemudian
ditutup dengan menggunakan daun pisang kembali (Santoso, 1994).
Gambar 4. Kedelai di letakkan di besekGambar 5. Kedelai di beri
inokulum
Gambar 6. Inokulum di ratakan Gambar 7. Kedelai di tutup dengan
daun pisang
Kemudian dilanjutkan dengan proses inkubasi dalam waktu 3 hari
dengan kondisi suhu ruang. Proses inkubasi yang dilakukan sesuai
dengan teori (Astawan & Astawan, 1991) yakni proses inkubasi
yang optimal biasanya pada suhu ruang dan dilakukan selama 3-5 hari
untuk menfermentasi kedelai. Selama inkubasi 3 hari disuhu ruang,
maka akan memunculkan lembaran putih seperti yang ada pada tempe
karena adanya pertumbuhan kapang dari inokulum yang telah
dicampurkan. Terbentuknya kapang tersebut menandakan bahwa
fermentasi koji sudah berjalan dengan baik tanpa adanya kontaminasi
(Sumague et al, 2008). (Wu, Yeong et al. 2010) menjelaskan bahwa
adanya penambahan inokulum selama tahap fermentasi koji, maka
inokulum tersebut akan memproduksi beberapa enzim seperti protease,
amilase, serta ada juga enzim-enzim lainnya. Enzim yang diproduksi
tersebut nantinya akan bekerja dengan menghidrolisa bahan baku yang
digunakan yaitu kedelai, sehingga bentuknya akan menjadi lebih
sederhana. Setelah itu, proses dapat dilanjutkan untuk masuk dalam
tahap moromi.
Gambar 8. Kedelai diinkubasi
2.1.2. Tahap Fermentasi MoromiTahap selanjutnya setelah
fermentasi koji yaitu fermentasi moromi. Moromi sebagai bahan dasar
kecap manis merupakan hasil fermentasi garam dari kedelai yang
menggunakan kapang Aspergillus sp. Ekstrak moromi dalam pembuatan
kecap mengandung peptida atau protein nabati yang telah
terakumulasi dengan asam-asam lemak dan gula sebagai hasil dari
aktifitas kapang Aspergillus sp yang memberi cita rasa kecap sedap,
namun juga spesifik dengan kandungan nutrisi yang tinggi. Ekstrak
moromi mengandung zat gizi lengkap dengan asam-asam aminonya.
Keberhasilan fermentasi moromi sangat menentukan kualitas kecap
yang dihasilkan. Moromi merupakan fermentasi lanjutan setelah
fermentasi padat (Aspiyanto & Susilowati 2002). Pada tahap ini,
hasil kedelai yang telah menjadi tempe dipotong menjadi ukuran yang
lebih kecil lalu dikeringkan. Pengecilan ukuran bertujuan untuk
memudahkan selama proses pengeringan berlangsung dan membantu
pelepasan filamen dengan mudah. Pengeringan dilakukan pada
dehumidifier selama 2-4 jam. Pengeringan diperlukan dalam proses
ini, karena akan membantu penghilangan kapang yang tumbuh dan
melekat menutupi semua permukaan kedelai.
Gambar 9. Kedelai telah menjadi tempe (C1-C5)
Gambar 10. Pengecilan ukuran
Gambar 11. Pengeringan di dehumidifier
Setelah dikeringkan kemudian kedelai diletakkan di dalam toples
dengan menambahkan larutan garam 20%. Konsentrasi garam 20% ini
mampu mencegah kedelai dari kontaminan yang tidak diinginkan karena
dengan adanya kadar garam yang jumlahnya tinggi maka tekanan
osmotik yang ada juga tinggi sehingga akan menarik air keluar dari
bahan pangan tersebut. Tujuan dari perendaman kedelai dengan
menggunakan larutan garam yaitu untuk menimbulkan rasa asin serta
sebagai medium selektif dalam pencegahan pertumbuhan mikroba
merugikan meskipun terkadang masih ada kemungkinan pertumbuhan dari
khamir dan juga bakteri yang diperlukan untuk flavor. Tujuan lain
dari proses perendaman ini yaitu untuk mengubah bentuk terlarut
dari komponen protein dalam biji kedelai dengan enzim protease yang
dihasilkan dari A.oryzae. Perendaman dalam larutan garam dilakukan
untuk mengekstraksi senyawa-senyawa sederhana hasil hidrolisis pada
tahap fermentasi oleh jamur ini. Pada saat proses perendaman akan
tumbuh bakteri halofilik secara spontan. Dengan adanya bakteri
halofilik akan membantu terbentuknya flavor yang khas pada kecap
(Astawan & Astawan, 1991). Garam ini merupakan salah satu jenis
bahan pembantu dalam bahan pangan yang paling penting dalam
pengawetan pangan. Berbagai fungsi garam selain sebagai bahan
pengawet juga untuk menghilangkan sejumlah air yang tersedia untuk
pertumbuhan mikroorganisme.
Gambar 12. Penambahan larutan garam
Faktor-faktor yang mempengaruhi tahap fermentasi moromi yaitu
suhu, nutrisi, pH dan oksigen. Masing-masing jenis mikroba
mempunyai suhu optimum untuk pertumbuhan. Mikroba membutuhkan
nutrisi untuk kehidupan dan pertumbuhannya yang meliputi sumber
karbon, sumber nitrogen, sumber energi dan faktor pertumbuhan
(mineral dan vitamin). Nutrisi tersebut digunakan untuk membentuk
energi dan menyusun komponen sel. PH medium merupakan salah satu
faktor penting yang mempengaruhi aktifitas dari mikroba dan
kematian dari mikroorganisme. Inokulum yang ditambahkan juga
mempengaruhi hasil moromi yang di dapat, karena semakin tinggi
konsentrasi inokulum yang di tambahkan maka semakin banyak pula
miselium yang di dapatkan. Hal tersebut karena yeast yang bekerja
pada tahap ini semakin banyak. Pada umumnya proses pembuatan moromi
secara spontan. Pada proses fermentasi secara spontan, jenis
mikroba yang tumbuh sangat banyak dan sulit dikontrol (Aspiyanto
& Susilowati 2002). Pangan yang difermentasi dapat memperbaiki
nilai nutrisi. Pada proses fermentasi moromi prinsipnya adalah
kerja proteolisis. Degradasi protein/asam amino tidak hanya
berpengaruh pada nilai nutrisi tetapi juga berpengaruh terhadap
karakteristik rasa dan flavor yang disebabkan pembentukan senyawa
aromatik (Yanfang & Wenyi 2009).
Selanjutnya kedelai didiamkan dalam rendaman selama 1 minggu
dengan pengadukan dan pemaparan sinar (penjemuran). Pada proses
perendaman ini harus sering diaduk agar larutan garam dapat homogen
menyentuh permukaan substrat dan memberikan udara untuk merangsang
pertumbuhan khamir dan bakteri (Kasmidjo, Tortora et al (1995).
Semakin lama proses perendaman dan penjemuran ini, warna dari
larutan garam akan berubah semakin kecoklatan. Hal tersebut
dikarenakan adanya reaksi browning yang terjadi antara gugus amino
(protein) yang bereaksi bersama senyawa yang termasuk gula
pereduksi. Pada tahapan moromi dan juga tahapan koji masih dapat
terjadi kontaminasi yang disebabkan oleh adanya bakteri
Bacillaceae, sehingga segala prosesnya harus dilakukan secara
higienis (Peppler & Perlman, 1979). Setelah 1 minggu di rendam
dan dilakukan pengeringan selama 1 jam setiap harinya, maka
selanjutnya dilakukan penyaringan untuk memperoleh filtratnya saja.
Menurut Santoso (1994), filtrat yang didapatkan tersebut masuk
dalam tahap pemasakan dengan penambahan bumbu-bumbu ataupun bahan
lainnya. Bahan utama dalam pembuatan kecap yaitu gula jawa, bunga
pekak, kayu manis, laos dan ketumbar. C1 Ketumbar halus yang
ditambahkan berfungsi agar dapat terhomogenisasi dengan larutan
kecap (Astawan & Astawan, 1991). Terdapat pula bahan atau bumbu
tambahan untuk masing-masing kelompok yaitu C1 dan C2 ditambah
cengkeh, C3 dan C4 ditambah batang sereh sedangkan C5 ditambahkan
pala.
Gambar 13. Penyaringan untuk memperoleh filtrat
Tahap pemasakan mula-mula yaitu dengan memasak filtrat yang
telah di saring tadi sebanyak 250 ml dan di tambahkan 750 ml air
hingga mendidih. Setelah itu gula jawa di masukkan dan diaduk
hingga mencair dan merata seluruhnya. Setelah itu, semua bumbu yang
sudah disiapkan dapat langsung dicampurkan menjadi satu dengan
larutan kecap. Waktu dihentikannya proses pemasakan adalah pada
saat larutan kecap tersebut terasa sudah cukup kental hingga
menyerupai kecap komersial. Penambahan gula jawa ini akan membantu
dalam peningkatan viskositas serta juga memunculkan flavor yang
khas pada kecap. Menurut Kasmidjo (1990), semua bumbu yang di
tambahkan nantinya akan berkaitan dengan tekstur dan rasa akhir
dari kecap yang dihasilkan.
Gambar 15. Proses pemasakanGambar 14. Penambahan air
Gambar 16. Bahan tambahan
2.2. Hasil Uji Sensori KecapBerdasarkan hasil pengamatan yang
dilakukan pada praktikum ini, didapatkan hasil uji sensori yang
berbeda-beda karena terdapat perlakuan yang berbeda pula dari
masing-masing kelompok. Pengujian secara sensori memang sebenarnya
kurang begitu akurat sebab bersifat subjektif. Hal tersebut
dikarenakan uji sensori hanya berdasarkan panelisnya, sehingga tiap
nilainya bergantung pada keakuratan panelis tersebut. Perlakuan
yang dilakukan yaitu pada kelompok C1 dengan ditambahkan inokulum
0,5% dan gula jawa, bunga pekak, laos, ketumbar, kayu manis dan 1
gram cengkeh. Untuk kelompok C2 dengan ditambahkan inokulum 0,75%
dan gula jawa, bunga pekak, laos, ketumbar, kayu manis dan 1 gram
cengkeh. Untuk kelompok C3 dengan ditambahkan inokulum 0,75% dan
gula jawa, bunga pekak, laos, ketumbar, kayu manis dan batang sereh
yang diikat dan digeprek. Kelompok C4 dengan ditambahkan inokulum
1% dan gula jawa, bunga pekak, laos, ketumbar, kayu manis dan
batang sereh yang diikat dan di geprek. Sedankan kelompok C5 dengan
ditambahkan inokulum 1% dan gula jawa, bunga pekak, laos, ketumbar,
kayu manis dan biji pala yang di geprek dan di parut. Selama proses
pembuatan kecap tersebut, kelompok C2 tidak menghasilkan produk
kecap. Hal ini di karenakan kedelai yang di gunakan sudah
terkontaminasi dan berbau busuk setelah proses inkubasi.
Kemungkinan selama proses tidak dilakukan secara aseptis dan
hieginis. Pengujian sensori ini melibatkan 4 atribut yang perlu
diamati, yaitu dari segi warna, aroma, rasa, dan kekentalan.
Kontaminasi tersebut terjadi karena suatu keadaan atau kondisi
terdapat bahan pencemar yang terjadi karena tidak dilakukan, tidak
disengaja atau karena ketidaktahuan.
Gambar 17. Hasil produk kecap C1, C3, C4 dan C5
Atribut pertama yang diuji sensori yaitu warna. Warna yang
dihasilkan dari masing-masing kelompok berbeda. Kelompok C1
dihasilkan warna yang kurang hitam, sedangkan C3 dan C4 dihasilkan
warna yang hitam. Untuk C5 dihasilkan warna yang sangat hitam.
Munculnya warna hitam yang dihasilkan kecap bersumber dari
penambahan gula jawa saat proses pemasakan. Selain itu dikarenakan
bahan tambahan lainnya yang berpengaruh. Hal ini juga di dukung
dengan teori (Peppler & Perlman, 1979), bahwa semakin lama
proses perendaman dan penjemuran kedelai dalam larutan garam, maka
warna dari larutan garam akan berubah semakin kecoklatan. Hal
tersebut dikarenakan adanya reaksi browning yang terjadi antara
gugus amino (protein) yang bereaksi bersama senyawa yang termasuk
gula pereduksi. warna coklat kehitaman yang umumnya menjadi warna
khas kecap tercipta dari adanya penambahan sejumlah bumbu khususnya
penambahan gula. Jenis gula yang terdapat dalam kecap ini antara
lain glukosa, galaktosa, maltosa, xilosa, arabinosa dan komponen
gula alkohol yaitu gliserol dan manitol (Kasmidjo, 1990).
Atribut kedua yang diuji sensori yaitu aroma, dimana dihasilkan
perbedaan aroma kecap pada beberapa kelompok. Aroma kecap yang
dihasilkan oleh kelompok C1 dan C5 sama yaitu kuat, pada kelompok
C3 aroma yag dihasilkan kurang kuat sedangkan pada kelompok C4
dihasilkan aroma yang sangat kuat. Aroma kecap dipengaruhi oleh
senyawa alkohol serta senyawa aromatik yang dihasilkan oleh khamir
selama proses fermentasi moromi (Tjahjadi et al, 2004). Munculnya
aroma yang dihasilkan dari kecap ini juga di dukung dengan teori
Santoso (1994) bahwa aroma didapatkan melalui penambahan bumbu saat
proses pemasakkan berlangsung dan juga adanya sejumlah komponen
yang bersifat volatil yang dihasilkan saat berlangsungnya proses
fermentasi kecap. Adapun beberapa jenis yang termasuk dalam
komponen bersifat volatil, seperti 15-alkohol alfatik dan juga
aromatik, 14-aldehid alfatik, 14-ester, 9-keton alifatik dan juga
lakton, 12-turunan benzen, 9-asam lemak, 5-senyawa furan,
18-terpenoid, 3-pirazin, 1-tiazol, 1-piridin, dan juga 2 komponen
mengandung sulfur. Selain itu, aroma kecap timbul karena adanya
reaksi kimiawi yang terjadi selama proses pemanasan hingga
dihasilkan komponen-komponen nitrogen seperti arginin, kadaverin,
putresin, histidin dan amonia. Komponen-komponen ini bila membentuk
senyawa garam dengan asam glutamat akan menyebabkan flavor yang
enak. Demikian pula arginin, histidin, lisin, putresin dengan asam
suksinat juga dapat menyebabkan flavor yang di hasilkan enak
(Tortora et al., 1995). Menurut Apriyantono & Gono (2004)
menyebutkan bahwa ada pengaruh dari jumlah penambahan inokulum yang
dapat mempengaruhi aroma kecap yang dihasilkan. Semakin banyak
jumlah inokulum yang di tambahkan maka didaptkan aroma yang kuat
sebab kandungan komponen volatil ikut bertambah. Hasil yang kurang
sesuai yaitu kelompok C3 dimana jumlah inokulumnya hanya 0,75%
tetapi menghasilkan aroma yang kurang kuat bila di bandingkan
dengan C1 yaitu dengan inokulum 0,5% menghasilkan aroma yang kuat.
Ketidaksesuaian yang terjadi dapat dipicu oleh beberapa hal,
seperti pengaruh waktu fermentasi dan penambahn bumbu saat
pemasakan dimana bisa menutup aroma yang dihasilkan oleh komponen
volatile. Tahapan utama yang berpengaruh terhadap flavor kecap
adalah pada saat proses pemanasan bahan mentah (kedelai),
fermentasi koji, fermentasi moromi termasuk saat aging dan
pasteurisasi (Nunomura & Sasaki1993).
Atribut ketiga yang diuji sensori yaitu rasa, dimana dihasilkan
perbedaan rasa kecap pada beberapa kelompok. Rasa kecap yang
dihasilkan oleh kelompok C1 yaitu kuat. Sedangkan kelompok C3, C4
dan C5 di hasilkan rasa kecap yang sangat kuat. Menurut Rahayu et
al. (2005), bakteri asam laktat saat proses fermentasi akan tumbuh
sehingga mampu mempengaruhi rasa manis kecap yang dihasilkan ini.
Saat berlangsungnya fermentasi larutan garam, pH akan menurun
karena sebagai akibat proses metabolisme dari bakteri asam laktat
dengan menghasilkan asam laktat. Terjadinya penurunan pH akan mampu
memberi pada pertumbuhan ragi. Rasa khas pada kecap akan muncul
dari ragi yang tumbuh. Menurut Judoadmijojo (1989), komponen
terbesar kecap manis adalah karbohidrat, terutama sukrosa, glukosa
dan fruktosa. Tingginya kadar gula pada kecap manis disebabkan
adanya penambahan gula dalam proses pembuatannya. Sehingga rasa
kecap yang dihasilkan sangat manis. Selain itu, selama proses
fermentasi moromi mikroorganisme yang ditambahkan akan
memfermentasi gula sederhana dan asam amino menjadi asam laktat,
asam asetat, dan asam suksinat. Asam laktat dan asam suksinat
merupakan komponen yang menyebabkan rasa sedap pada kecap (Tjahjadi
et al., 2004).
Kemudian atribut yang terakhir diuji sensori adalah segi
kekentalan, dimana dihasilkan perbedaan kekentalan kecap pada
beberapa kelompok. Kelompok C1- C3 menghasilkan kecap yang kurang
kental dan kelompok C4-C5 menghasilkan kecap yang kental. Rahayu et
al. (2005) menambahkan, bahwa proses pemasakan juga mempengaruhi
kekentalan dari kecap. Apabila semakin lama proses pemasakan
kecapnya, maka sejumlah air akan teruapkan sehingga membuat kecap
semakin kental.
Adanya perbedaan aroma, rasa, warna, serta kekentalan dari kecap
yang dihasilkan masing-masing kelompok ini dapat dipengaruhi oleh
kondisi dan jenis kedelai putih yang digunakan (Muangthai et al.,
2007). Kemungkinan ini dapat terjadi karena tempat pembelian
kedelai putih masing-masing kelompok berbeda-beda, sehingga tidak
bisa mengetahui apakah jenis kedelai putih ini sama atau tidak.
Selain itu perbedaan yang dihasilkan dari kelompok C1-C5 di
karenakan penambahan inokulum yang tidak sesuai. Sehingga semakin
tinggi inokulum yang ditambahkan maka akan menghasikan aroma, rasa,
warna dan trksture.
3. KESIMPULAN Pembuatan kecap melalui 2 tahapan fermentasi,
yaitu tahap fermentasi koji dan fermentasi moromi. Tahap awal
adalah fermentasi koji, dimana akan didapat dengan proses
pencampuran kedelai dan juga inokulasi. Tahap kedua yaitu
fermentasi moromi, dimana moromi sebagai bahan dasar pembuatan
kecap manis yang merupakan hasil fermentasi garam dari kedelai yang
menggunakan kapang Aspergillus sp. Inokulum yang digunakan yaitu
Aspergillus oryzae atau Rhizopus sp. Semakin tinggi inokulum yang
di tambahkan maka akan berpengaruh terhadap warna, aroma, rasa dan
tekstur. Berdasarkan aroma, warna, rasa dan kekentalan produk kecap
kelompok C5 lebih bagus dibandingkan kelompok lainnya. Aroma,
warna, rasa dan kekentalan yang baik dihasilkan dari kedelai hitam
bila di bandingkan dengan kedelai putih.
Semarang, 24 Juni 2015 Asisten Dosen,Praktikan,Hygiena Venty V-
Abigail Sharon E12.70.0161- Frisca Melia
184. DAFTAR PUSTAKA
Apriyantono, A dan Gono D. Y. (2004). Perubahan Komponen Volatil
Selama Fermentasi Kecap. Jurnal Teknologi dan Industri Pangan. VOl
XV, No 2.
Astawan, M. & Astawan W. M. (1991). Teknologi Pengolahan
Pangan Nabati Tepat Guna. Akademika Pressindo.
Atlas, R. M. (1984). Microbiology Fundamental and Application.
Collier Mcmillan Inc. New York.
Chancharoonpong, C; Hsieh, Pao-Chuan; & Sheu, Shyang-Chwen.
(2012). Enzyme production and growth of Aspergillus oryzae S. on
soybean koji fermentation. APCBEE Procedia 00 (2012) 000000.
Feng J., Zhan X.-B., Zheng Z.-Y., Wang D., Zhang L.-M., Lin
C.-C. (2013). New Model for Flavour Quality Evaluation of Soy
Sauce. Czech J. Food Sci., 31: 292305.
Fukushima, D. (2003). Industrialization of Fermented Soy Sauce
Production Centering Around Japanese Shoyu.
Judoamidjojo, R. M., Gumbira Said, E. dan Hartoto, L. 1989.
Biokonversi. Pusat Antar Universitas Bioteknologi IPB, Bogor.
Kasmidjo, R. B. (1990). Tempe : mikrobiologi dan Biokimia
Pengolahan serta Pemanfaatannya. PAU UGM. Yogyakarta.
Koswara, S. (1997). Mengenal makanan tradisional hasil olahan
kedelai. Buletin Teknologi dan Industri Pangan 8 (2): 75-76.
Muangthai, P.; P. Upajak; and W. Patumpai. (2007). Study of
Protease Enzyme and Amino Acid Contents in Soy sauce Production
from Peagion Pea and Soy bean.KMITL Sci. Tech. J. Vol. 7 No. S2
Nunomura N, Sasaki M. 1986. Soy sauce. dalam Reddy N, Pierson.
MD, Solunke, DK (ed). Legume-based Fermented Foods. Florida: CRC Pr
Inc
Peppler, H. J. & Perlman, D. (1979). Microbial Technology,
Fermentation Technology. Academic Press. San Fransisco.
Purwoko, Tjahjadi & Noor Soesanti Handajani. (2007).
Kandungan Protein Kecap Manis Tanpa Fermentasi Moromi Hasil
Fermentasi Rhizopus oryzae dan R. Oligosporus. Biodiversitas Volume
8 No 2 Halama 223-227.
Rahayu, E.; R. Indrati; T.utami; E. Harmayani & M.N.
Cahyanto. (1993). Bahan Pangan Hasil Fermentasi Food &
Nutition. Collection. PAU Pangan & Gizi. Yogyakarta.
Tjahjadi et al. (2004). Kadar Karbohidrat, Lemak, dan Protein
pada Kecap dari Tempe. Bioteknologi 1 (2):48-53, Nopember 2004
ISSN:0216-6887.
Santoso, H. B. (1994). Kecap dan Taoco Kedelai. Kanisius.
Yogyakarta.
Shin, R.; Momoyo, S.; Takeo, M. and Nobuyuki, S. (2007).
Improvement of Experimentally Induced Hepatic and Renal Disorders
in Rats using Lactic Acid Bacteria-fermented Soybean Extract
(BiofermenticsTM). Oxford Journals Volume 6(3): p 357-363.
Sooriyamoorthy, S., K. Silva, M. Gunawardhane and C. Liieperuma,
2004. Isolation and identification of indigenous Aspergillus oryzae
for saccharification of rice starch. Trop. Agric. Res., 16:
121-127.
Suganuma T, Fujita K, Kitahara K. Some distinguishable
properties between acid-stable and neutral types of a-amylase from
acidproducing koji. J Biosci Bioeng 2007;104:353-62.
Sumague, M. J. V; Reynaldo C. M.; Erlinda I. D; Ernesto V.C.;
and Ninfa P. R. (2008).Predisposing Factors Contributing to
Spoilage of Soy Sauce by Bacillus circulans.Philippine Journal of
Science 137(3) : 105-114.
Tortora, G. J.; R. Funke & C. L. Case. (1995). Microbiology.
The Benjamin/Cummings Publishing Company, Inc. USA.
Van der Sluis, C., J. Tramper and R.H. Wijffels, 2001. Enhancing
and accelerating flavour formation by salt-tolerant yeasts in
Japanese soy-sauce processes. Trends Food Sci. Technol., 12(9):
322-327.
Winarno, F. G. (1980). Pengantar Teknologi Pangan. PT. Gramedia.
Jakarta.Wu, Ta Yeong, Mun Seng Kan, Lee Fong Siowand Lithnes
Kalaivani Palniandy.(2010). Effect of temperature on moromi
fermentation of soysauce with intermittent aeration.African Journal
of Biotechnology Vol. 9(5), p. 702-706.
Yong, F.M. and B.J.B. Wood, 1977. Biochemical changes in
experimental soy sauce Moromi. Int. J. Food Sci. Technol., 12(3):
263-273.
Yue Xu (Yiao Hsu), 1990. Advances in the Soy Sauce Industry in
China. J. Ferment. Bioeng., 70: 434-439.
195. LAMPIRAN
5.1. Laporan Sementara5.2. Jurnal
21