1 KEBIJAKAN PELAKSANAAN PROGRAM PENINGKATAN PRODUKSI PANGAN POKOK I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Beras, jagung dan kedelai (pajale) merupakan kebutuhan pangan pokok masyarakat, oleh karena itu setiap pemerintahan sejak Presiden Soeharto selalu menyelenggarakan upaya peningkatan produksi ketiga pangan pokok ini, berupa upaya khusus peningkatan produksi untuk mencapai swasembada. Pemerintah Presiden Joko Widodo meneruskan kebijakan pangan tersebut dengan melaksanakan Upaya Khusus Peningkatan Produksi Padi, Jagung, dan Kedelai (Upsus pajale). Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) tahun 2015-2019 disebutkan penyediaan pangan pajale diutamakan dari produksi dalam negeri, dengan rincian: (a) Padi: meningkatkan jumlah surplus dari produksi dalam negeri; (b) Jagung: meningkatkan produksi dalam negeri untuk memenuhi kebutuhan pakan ternak dan industri kecil, (c) Kedelai: meningkatkan produksi terutama untuk mencukupi kebutuhan bahan baku untuk tahu dan tempe (Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, 2014). Dengan ungkapan lain, Pemerintah menargetkan swasembada berkelanjutan untuk padi dan jagung serta swasembada kedelai dalam waktu tiga tahun. Merujuk pada RPJMN tersebut, Kementerian Pertanian (Kementan) menyusun perencanaan produksi pangan dalam Rencana Strategis (Renstra) Kementan 2015- 2019. Di dalam Renstra tersebut dikemukakan sasaran pencapaian swasembada beras berkelanjutan dan peningkatan produksi jagung, kedelai, gula, daging sapi, cabai merah dan bawang merah (Kementan, 2015). Untuk mewujudkan sasaran tersebut terdapat banyak kendala, diantaranya: semakin terbatasnya lahan pertanian karena alih fungsi lahan ke non pertanian, degradasi kualitas air, sebagian besar jaringan irigasi sudah rusak, akses petani terhadap sumber pembiayaan terbatas, terjadinya perubahan iklim, harga output berfluktuasi, dan luas penguasaan dan
100
Embed
KEBIJAKAN PELAKSANAAN PROGRAM PENINGKATAN …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/2017-anjak-upsus.pdf · pupuk, pengembangan jaringan irigasi, cetak sawah dan alat mesin pertanian
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
1
KEBIJAKAN PELAKSANAAN PROGRAM PENINGKATAN PRODUKSI PANGAN POKOK
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Beras, jagung dan kedelai (pajale) merupakan kebutuhan pangan pokok
masyarakat, oleh karena itu setiap pemerintahan sejak Presiden Soeharto selalu
menyelenggarakan upaya peningkatan produksi ketiga pangan pokok ini, berupa
upaya khusus peningkatan produksi untuk mencapai swasembada. Pemerintah
Presiden Joko Widodo meneruskan kebijakan pangan tersebut dengan melaksanakan
Upaya Khusus Peningkatan Produksi Padi, Jagung, dan Kedelai (Upsus pajale). Dalam
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) tahun 2015-2019
disebutkan penyediaan pangan pajale diutamakan dari produksi dalam negeri,
dengan rincian: (a) Padi: meningkatkan jumlah surplus dari produksi dalam negeri;
(b) Jagung: meningkatkan produksi dalam negeri untuk memenuhi kebutuhan pakan
ternak dan industri kecil, (c) Kedelai: meningkatkan produksi terutama untuk
mencukupi kebutuhan bahan baku untuk tahu dan tempe (Kementerian Perencanaan
Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, 2014). Dengan
ungkapan lain, Pemerintah menargetkan swasembada berkelanjutan untuk padi dan
jagung serta swasembada kedelai dalam waktu tiga tahun.
Merujuk pada RPJMN tersebut, Kementerian Pertanian (Kementan) menyusun
perencanaan produksi pangan dalam Rencana Strategis (Renstra) Kementan 2015-
2019. Di dalam Renstra tersebut dikemukakan sasaran pencapaian swasembada
beras berkelanjutan dan peningkatan produksi jagung, kedelai, gula, daging sapi,
cabai merah dan bawang merah (Kementan, 2015). Untuk mewujudkan sasaran
tersebut terdapat banyak kendala, diantaranya: semakin terbatasnya lahan pertanian
karena alih fungsi lahan ke non pertanian, degradasi kualitas air, sebagian besar
jaringan irigasi sudah rusak, akses petani terhadap sumber pembiayaan terbatas,
terjadinya perubahan iklim, harga output berfluktuasi, dan luas penguasaan dan
2
pengusahaan lahan per petani semakin sempit. Oleh karena itu, untuk mengatasinya
diperlukan upaya khusus (Upsus).
Telah banyak kegiatan yang dilaksanakan oleh Pemerintah untuk
meningkatkan produksi pangan pokok dengan memberi bantuan dalam bentuk benih,
pupuk, pengembangan jaringan irigasi, cetak sawah dan alat mesin pertanian
(alsintan) pra panen dan pasca panen. Bantuan tersebut diberikan kepada gabungan
kelompok petani (Gapoktan), kelompok tani (Poktan), dan petani di seluruh
Indonesia dalam jumlah yang relatif besar. Disisi lain, Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian (Balitbangtan) juga terus melakukan penelitian, pengkajian
dan diseminasi inovasi pertanian untuk peningkatan produktivitas pangan.
Berkaitan dengan hal tersebut, perlu dilakukan analisis untuk mengetahui
secara mendalam efektifitas dan dampak pemanfaatan bantuan sarana dan
prasarana pertanian serta dukungan para pemangku kepentingan dan pemerintah
daerah. Kegiatan analisis kebijakan (Anjak) ini sebagai upaya untuk merumuskan
rekomendasi alternatif kebijakan penyempurnaan pelaksanaan program peningkatan
produksi pangan pokok ke depan.
1.2 Tujuan
Tujuan umum Anjak ini adalah mengevaluasi efektifitas dan dampak
pemanfaaatan bantuan sarana dan prasarana pertanian untuk merumuskan
rekomendasi alternatif kebijakan bagi penyempurnaan pelaksanaan program
peningkatan produksi pangan pokok ke depan. Untuk lebih memfokuskan dan
melaksanakan analisis yang lebih mendalam, tujuan khusus Anjak ini ini adalah:
1. Mengkaji efektifitas dan dampak pemanfaatan bantuan sarana dan prasarana
pertanian (benih, pupuk, alsintan, cetak sawah, pembangunan prasarana irigasi)
dan sistem penyampaian informasi teknologi baru
2. Menganalisis dukungan dan respon pemangku kepentingan dan pemerintah
daerah terhadap program peningkatan produksi pangan pokok
3
3. Merumuskan alternatif kebijakan untuk penyempurnaan pelaksanaan program
peningkatan produksi pangan pokok ke depan.
1.3. Keluaran
Anjak ini diharapkan mampu menyajikan data, informasi, hasil analisis, dan
alternatif kebijakan untuk penyempurnaan pelaksanaan program peningkatan
produksi pangan pokok ke depan, yang meliputi :
1. Alternatif atau penyempurnaan manajemen distribusi bantuan sarana dan
prasarana pertanian ditinjau dari upaya peningkatan efektifitas penyaluran dan
pemanfaatannya (tepat sasaran, jenis, waktu, dan pemanfaatan oleh penerima)
serta diseminasi informasi teknologi baru
2. Alternatif pelaksanaan program peningkatan produksi pangan pokok di daerah
3. Rumusan alternatif penyempurnaan pelaksanaan program peningkatan produksi
pangan pokok ke depan.
1.4. Manfaat
Hasil Anjak ini diharapkan bermanfaat bagi Kementerian Pertanian, khususnya
perencana dan pelaksana program peningkatan produksi padi, jagung dan kedelai di
pusat dan daerah, sebagai bahan masukan bagi penyempurnaan kegiatan pada
tahun 2018 dan selanjutnya.
4
II. METODOLOGI
2.1. Ruang Lingkup Kajian
Sesuai dengan tujuan Anjak, lingkup kajian ini adalah seluruh aspek yang
berkaitan dengan upaya atau kegiatan peningkatan produksi pangan pokok, yaitu:
1) Program penyaluran sarana produksi benih,
2) Program penyaluran sarana produksi pupuk,
3) Program penyaluran bantuan alsintan,
4) Program pencetakan sawah,
5) Pengembangan prasarana irigasi (embung, dam parit, long storage), dan
6) Pendampingan program peningkatan produksi pangan pokok.
2.2. Waktu dan Lokasi Kajian
Kegiatan Anjak dilaksanakan selama empat bulan dari September sampai
Desember 2017. Untuk menjamin keterwakilan wilayah sentra dan bukan sentra
produksi, lokasi kajian dipilih sebagai berikut: (1) Provinsi Jawa Barat dan Jawa
Tengah mewakili wilayah sentra produksi padi, yang umumnya berada di pulau Jawa,
dan (2) Provinsi Riau mewakili wilayah nonsentra produksi padi yang umumnya
berada di luar Jawa. Pengumpulan data, selain dari di ketiga provinsi tersebut, juga
dilakukan di Provinsi DKI Jakarta untuk melengkapi data dan informasi nasional, serta
pendalaman atas topik tertentu terutama terkait perencanaan dan pelaksanaan
program peningkatan produksi pangan pokok.
Pada setiap provinsi sampel kajian, dipilih dua kabupaten dengan menggunakan
kriteria keterwakilan daerah. Berdasarkan kriteria tersebut yang menjadi lokasi
penelitian yaitu: (1) Kabupaten Indramayu dan Sukabumi untuk Provinsi Jawa Barat,
5
(2) Kabupaten Sukoharjo dan Demak untuk Provinsi Jawa Tengah, dan (3)
Kabupaten Kampar dan Kabupaten Siak untuk Provinsi Riau.
Selain informasi dan data dikumpulkan di tingkat provinsi dan kabupaten, juga
pada setiap kabupaten dipilih satu desa untuk pendalaman terhadap topik lingkup
kajian yang memerlukan analisis yang lebih detail di tingkat mikro atau lapangan.
Pemilihan desa dicirikan dengan luas sawah dan produksi padi yang signifikan di desa
tersebut. Selain itu, hal yang juga menjadi pertimbangan pemilihan lokasi adalah
aksesibilitas, keberadaan Babinsa dan penyuluh pertanian serta kelompok tani/petani
padi, jagung, kedelai yang berpartisipasi dan/atau menerima bantuan dalam Upsus
Pajale ini.
2.3. Metoda Analisa
Untuk menjawab tujuan 1, 2 dan 3, dilakukan analisis secara deskriptif
kualitatif terkait dengan kinerja, capaian, dampak, dan alternatif kebijakan.
1) Untuk menganalisis kinerja manajemen distribusi, efektifitas dan dampak dari
penyaluran bantuan benih, pupuk, dan alsintan, khususnya mengenai ketepatan
sasaran, jenis yang dibutuhkan petani, waktu bantuan tersebut tersedia/sampai
di petani, dan intensitas pemanfaatannya oleh petani (tujuan 1), dilakukan
wawancara dengan kelompok tani penerima bantuan (benih, pupuk, alsintan,
cetak sawah, dan rehabilitasi irigasi). Data dan informasi diperoleh melalui diskusi
kelompok (Focus Group Discussion/FGD) yang juga dihadiri penyuluh,
TNI/babinsa, dan aparat pertanian.
2) Untuk menganalisis dukungan dan respon pemangku kepentingan dan
pemerintah daerah (Pemda) terkait dengan pelaksanaan program peningkatan
produksi pangan pokok (tujuan 2) dilakukan melalui FGD di tingkat
provinsi/kabupaten terpilih, dengan berpedoman pada kuesioner terbuka. Peserta
FGD adalah aparat pelaksana kegiatan Upsus di Dinas Pertanian dan unsur
TNI/AD di masing-masing tingkat provinsi dan kabupaten.
3) Untuk merumuskan alternatif kebijakan guna penyempurnaan pelaksanaan
program peningkatan produksi pangan pokok kedepan (tujuan 3) dilakukan
6
dengan menganalisis data dan informasi yang diperoleh secara keseluruhan dan
komprehensif terkait dengan :
a) data rencana/sasaran dan realisasi pelaksanaan kegiatan di tingkat nasional,
provinsi hingga kabupaten terpilih lokasi penelitian,
b) permasalahan pelaksanaan, kendala, manfaat, dan efektivitas berbagai
bantuan, dan
c) dukungan dan respon pemangku kepentingan dan pemda terhadap program
peningkatan produksi pangan pokok.
2.4. Sumber dan Analisis Data
Jenis data yang dikumpulkan berupa data sekunder dan data primer. Data
sekunder diperoleh dari Kementan, yaitu Direktorat Jenderal Prasarana dan Sarana
Pertanian (Ditjen PSP), Direktorat Jenderal Tanaman Pangan (Ditjen TP), Pusat Data
dan Sistem Informasi Pertanian (Pusdatin), Badan Pusat Statistik (BPS) dan instansi
lain terkait. Data sekunder juga dikumpulkan di tingkat provinsi dan kabupaten dari
instansi pelaksana program peningkatan produksi pangan pokok di daerah, serta
melalui penelusuran pustaka secara online. Data di tingkat provinsi dan kabupaten
yang digali adalah data luas tanam, luas panen, produksi untuk padi, jagung dan
kedelai; jenis dan jumlah bantuan yang diterima dan disalurkan. Data dikumpulkan
untuk periode tiga tahun (2015-2017).
Data primer diperoleh melalui diskusi kelompok mulai dari tingkat nasional,
provinsi, kabupaten, sampai desa. Wawancara di tingkat provinsi dan kabupaten
dilakukan dengan menggunakan kuesioner terbuka kepada aparat dan pejabat di
Dinas Pertanian Kabupaten, Kodim, dan instansi terkait. Sementara itu diskusi
kelompok di tingkat desa dilakukan dengan kelompok tani, babinsa, penyuluh
pertanian, kelompok petani pemakai air (P3A) dan aparat desa.
7
III. REVIU PROGRAM PENINGKATAN PRODUKSI PANGAN NASIONAL
3.1. Perkembangan Upaya Peningkatan Produksi Pangan Pokok
Kebijakan swasembada pangan sudah diterapkan secara terstruktur mulai
pemerintahan Presiden Soeharto, berlanjut terus pada setiap pemerintahan, sampai
pada pemerintahan Kabinet Kerja Presiden Joko Widodo. Salah satu agenda utama
pemerintahan saat ini adalah mewujudkan kemandirian ekonomi dengan
menggerakkan program sektor strategis ekonomi domestik. Fokus dari agenda
tersebut adalah membangun kedaulatan pangan dengan menargetkan Indonesia
mencapai swasembada berkelanjutan komoditas padi dan jagung serta swasembada
kedelai pada tahun 2017.
Dalam RPJMN dinyatakan bahwa sasaran utama pembangunan pangan adalah
penguatan pasokan pangan dan diversifikasi konsumsi pangan, dengan fokus utama
pada komoditas pajale. Dalam RPJMN tersebut diungkapkan bahwa peningkatan
ketersediaan pangan diutamakan bersumber dari produksi dalam negeri: (1) Padi:
meningkatkan jumlah surplus dari produksi dalam negeri; (2) Jagung: meningkatkan
produksi dalam negeri untuk memenuhi kebutuhan pakan ternak dan industri kecil;
dan (3) Kedelai: meningkatkan produksi terutama untuk mencukupi kebutuhan
konsumsi tahu dan tempe; (Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan
Perencanaan Pembangunan Nasional, 2014).
Selanjutnya berdasarkan RPJMN tersebut, Kementan menjabarkannya ke
dalam Rencana Strategis Kementerian Pertanian (Renstra Kementan) 2015-2019,
yang salah satu kebijakannya adalah peningkatan swasembada beras dan
peningkatan produksi jagung, kedelai, gula, daging sapi, cabai dan bawang merah.
8
Secara operasional, pencapaian ini dilakukan melalui upaya khusus (Upsus), dimana
untuk peningkatan produksi pajale dengan nama Upsus pajale.
Upsus pajale merupakan upaya terobosan untuk meningkatkan produksi pajale
dalam upaya mencapai swasembada berkelanjutan. Upaya ini diperlukan karena
secara umum pertanian menghadapi berbagai kendala dan permasalahan dalam
percepatan pencapaian swasembada pangan. Permasalahan tersebut terutama
adalah: (1) Alih fungsi dan fragmentasi lahan pertanian; (2) rusaknya
infrastruktur/jaringan irigasi; (3) semakin berkurangnya tenaga muda di pertanian,
mahalnya upah tenaga kerja pertanian, dan kurangnya peralatan mekanisasi
pertanian untuk mengatasinya; (4) masih tingginya susut hasil panen (losses); (5)
belum terpenuhinya kebutuhan benih unggul bersertifikat dan pupuk sesuai
rekomendasi spesifik lokasi serta belum memenuhi kriteria enam tepat; (6) lemahnya
permodalan petani; dan (7) harga komoditas pangan seringkali jatuh pada saat
panen raya dan sulit memasarkan hasil panen.
Secara lebih detail, Balitbangtan mengidentifikasi lima permasalahan utama
peningkatan produksi pangan padi, yaitu: (1) irigasi rusak sekitar 3 juta ha, yang
secara potensial dapat mengakibatkan kehilangan produksi padi sekitar 4,5 juta GKG;
(2) Penyampaian pupuk kepada petani pengguna sering mengalami keterlambatan
sekitar 1-2 minggu, yang secara potensial menyebabkan kehilangan produksi padi
sekitar 3,0 juta ton GKG; (3) jumlah penyuluh pertanian semakin berkurang, yang
dapat menyebabkan terjadinya kehilangan produksi padi 3,0 juta ton GKG; (4) benih
unggul bersertifikat yang dipakai petani hanya 20%, sehingga hal ini menimbulkan
penurunan produksi padi 1,0 ton/ha dari potensi yang mungkin dicapai, berarti
secara potensial dari 6,0 juta lahan sawah dapat terjadi kehilangan produksi padi
sekitar 6,0 juta ton GKG; dan (5) keterbatasan penyediaan dan pemanfaatan alsintan
dapat menyebabkan kehilangan pra panen dan panen sekitar 3,5 juta ton GKG.
Upsus ditujukan untuk pencapaian swasembada berkelanjutan padi dan
jagung serta swasembada kedelai, dengan berbagai komponen upaya seperti berikut:
(1) Pengembangan jaringan irigasi;
(2) Optimasi lahan;
9
(3) Pengembangan system of rice intensification (SRI);
(4) Gerakan penerapan pengelolaan tanaman terpadu (GP-PTT);
(5) Optimasi perluasan areal tanam kedelai melalui peningkatan indeks pertanaman
(PAT-PIP Kedelai);
(6) Perluasan areal tanam jagung (PAT Jagung);
(7) Penyediaan sarana dan prasarana pertanian (benih, pupuk, pestisida, alsintan);
(8) Pengendalian OPT dan dampak perubahan iklim, asuransi pertanian dan
pengawalan/pendampingan.
Agar pelaksanaan upsus berjalan optimal, dimana semua pihak yang terlibat
memiliki pemahaman yang sama dan sinergis, pada tahun 2015 disusun Pedoman
Upsus dengan sasaran: (1) Petugas pelaksana kegiatan upsus peningkatan produksi
padi, jagung dan kedelai dalam pencapaian swasembada berkelanjutan pajale di
provinsi, kabupaten/kota dan di tingkat lapangan; (2) Poktan, Gapoktan, UPJA, P3A,
GP3A, kelompok tani perkebunan yang berusahatani tanaman pangan, dan Poktan
kehutanan-perhutani yang berusahatani tanaman pangan.
Kegiatan Upsus dilaksanakan pada lahan sawah, lahan tadah hujan, lahan
kering, lahan rawa pasang surut dan lahan rawa lebak. Sasaran utama kegiatan
Upsus pajale adalah: (1) Indeks pertanaman (IP) meningkat minimal sebesar 0,5 dan
produktivitas padi meningkat minimal sebesar 0,3 ton/ha GKP; (2) Produktivitas
kedelai minimal mencapai 1,57 ton/ha pada areal tanam baru dan produktivitas naik
sebesar 0,2 ton/ha pada areal eksisting; (3) Produktivitas jagung minimal 5 ton/ha
pada areal tanam baru dan sebesar 1 ton/ha pada areal eksisting.
Pedoman Umum Upsus (Pedum Upsus) merupakan acuan sekaligus induk dari
beragam pedoman umum maupun pedoman teknis masing-masing upaya percepatan
peningkatan produksi pajale yang dilakukan secara komprehensif. Secara ringkas
arahan dalam Pedum tersebut meliputi:
a. Penyaluran subsidi benih
Program subsidi benih ditujukan dalam rangka menyediakan benih varietas
unggul bersertifikat sekaligus meringankan beban petani membeli benih tanaman
10
pangan. Dengan demikian, indikator keberhasilan program di lapangan adalah
tersedia benih varietas unggul bersertifikat tanaman pangan dengan mutu terjamin
untuk memenuhi kebutuhan benih dalam rangka pelaksanaan budidaya tanaman
pangan. Tujuan lainnya membantu petani agar dapat membeli benih dengan harga
terjangkau.
Pelaksana pengadaan dan penyaluran benih bersubsidi yaitu produsen
pelaksana public service obligation (PSO) yang ditunjuk pemerintah yaitu PT. Sang
Hyang Seri dan PT. Pertani. Apabila ada perusahaan swasta yang berminat
berpartisipasi dalam pelaksanaan pengadaan benih bersubsidi dapat dilaksanakan di
bawah koordinasi kedua perusahaan di atas.
Petani atau Poktan yang membeli benih bersubsidi diutamakan petani atau
Poktan yang tidak mendapat bantuan benih dari sumber pendanaan lainnya.
Prosedur penetapan melalui sosialisasi dari Dinas Pertanian provinsi kepada Dinas
Pertanian kabupaten dilanjutkan ke unit kerja, stakeholder dan petugas lapangan.
Dinas Pertanian Kabupaten menetapkan calon petani calon lahan (CP/CL),
selanjutnya petani/poktan menyusun DU-PBB berdasarkan CP/CL dengan persetujuan
petugas lapang. Berkas tersebut merupakan persyaratan untuk mendapatkan benih
dari produsen benih pelaksana PSO.
Setiap tahun terjadi perubahan alokasi subsidi benih bersubsidi. Pada tahun
2016 semula dialokasikan benih bersubsidi sebanyak 75.000 ton benih padi inbrida,
2.250 ton benih padi hibrida, dan 2.500 ton benih kedelai. Jumlah ini berubah
menjadi 100.000 ton benih padi inhibrida, 1.500 ton benih padi hibrida, dan 15.000
ton benih kedelai. Perubahan tersebut setelah ada pembahasan dan usulan dari
Dinas Pertanian provinsi.
Permasalahan yang paling umum terjadi di lapangan adalah ketidaktepatan
penyampaian benih kepada petani, baik ketidaktepatan waktu, kuantitas benih,
maupun ketidaktepatan jenis varietas yang diharapkan petani. Preferensi petani antar
lokasi cenderung berbeda. Di beberapa daerah varietas tertentu yang tidak lagi
dianjurkan Pemerintah masih banyak diminati petani.
11
b. Penyediaan dan penyaluran pupuk bersubsidi
Kegiatan ini bertujuan memberi stimulan dalam memenuhi kebutuhan pupuk
sesuai rekomendasi sehingga mampu meningkatkan produktivitas lahan sawah
berkelanjutan melalui penggunaan pupuk berimbang. Pemerintah menyediakan
pupuk bersubsidi melalui Badan Usaha Milik Negara (BUMN) pupuk yaitu PT Pupuk
Indonesia (Persero) memproduksi pupuk yang didistribusikan sampai ke kios
resmi/pengecer di wilayah pertanian. Selama 2012-1017 jumlah pengadaan atau
alokasi pupuk bersubsidi sekitar 9,5 juta ton, terdiri dari pupuk Urea, ZA, SP36, NPK
dan pupuk organik. Pupuk bersubsidi ini dibeli oleh petani yang tergabung dalam
Poktan dan telah menyusun dan menyampaikan sebelumnya Rencana Definitif
Kebutuhan Kelompok (RDKK), dengan harga eceran tertinggi (HET) yang cukup
rendah dibandingkan dengan dari biaya produksinya (sekitar 50%). Sasaran
kebijakan ini adalah petani skala kecil tanaman pangan, hortikultura, peternakan,
perkebunan, dan usaha perikanan dapat meningkatkan produktivitas dan produksi
usaha taninya.
Alokasi pupuk bersubsidi di setiap wilayah ditetapkan dalam Permentan,
Peraturan Gubernur (Pergub), dan Peraturan Bupati (Perbup). Besaran alokasi untuk
masing-masing daerah mengacu pada kebutuhan teknis sebagaimana diusulkan oleh
daerah dengan mempertimbangkan serapan pupuk bersubsidi tahun sebelumnya dan
ketersediaan pagu anggaran untuk untuk subsidi pupuk. Pada umumnya alokasi
pupuk bersubsidi lebih rendah dari kebutuhan yang diusulkan daerah. Selain
penyediaan pupuk bersubsidi, pemerintah juga memberikan bantuan pupuk langsung
yang menyertai kegiatan khusus dalam lingkup kegiatan Upsus pajale, seperti
kegiatan rehabilitasi jaringan irigasi dan perluasan areal tanam jagung.
Hambatan utama sekaligus evaluasi bagi program ini adalah waktu dan biaya
dalam mendistribusikan pupuk ke lokasi-lokasi sasaran. Ketersediaan gudang
penyimpanan di tingkat pengecer yang terbatas seringkali menyebabkan pupuk tidak
tersedia saat dibutuhkan petani (tidak tepat waktu, seringkali terlambat) atau
tersedia namun dalam jumlah yang tidak memadai (tidak tepat kuantitas).
12
c. Pengadaan dan penyaluran alat dan mesin pertanian (alsintan)
Pengadaan dan penyaluran alsintan bertujuan untuk: (1) mengatasi
berkurangnya tenaga kerja pertanian akibat pekerjaan sebagai petani tidak menarik
minat petani muda dan karena itu rata-rata usia petani menjadi lebih tinggi (aging
farmer); (2) mempercepat proses budidaya dan pascapanen yang efektif dan efisien;
dan (3) mendukung pelaksanaan tanam serentak (mengejar waktu tanam dengan
percepatan waktu olah tanah dan waktu panen).
Pengembangan mekanisasi pertanian terpadu dengan penerapan teknologi
merupakan salah satu upaya Pemerintah yang disertai dengan pemberian bantuan
paket alsintan. Pengelolaan alsintan di daerah dipercayakan kepada Dinas Pertanian
Provinsi maupun Kabupaten/Kota, jajaran satuan TNI AD yaitu Korem/Kodim, dan
melibatkan Poktan, Gapoktan serta Usaha Pengelola Jasa Alsintan (UPJA).
Kelembagaan pengelolaan alsintan berbentuk Brigade. Sasaran kegiatan ini adalah
mendorong berkembangnya penerapan mekanisasi pertanian pada kegiatan budidaya
dan pascapanen terutama didaerah sentra produksi pajale. Pengelolaan alsintan
dilaksanakan secara terintegrasi antar semua pihak pengelola.
Selama periode 2015 sampai 2017 terdapat beberapa kali perubahan
kebijakan terkait pemberian alsintan, baik dalam aspek distribusi lokasi, jenis alat,
maupun jumlahnya. Pada awalnya alsintan yang didistribusikan dominan untuk
mendukung kegiatan pra panen seperti alat olah tanah, alat tanam dan alat
pemeliharaan seperti traktor baik roda dua maupun roda empat, transplanter
maupun sprayer. Pada tahun berikutnya, disamping alat yang sudah disebut di atas,
alsintan untuk panen dan pascapanen (power thresser, combine harvester, jarwo
transplanter) mendapat alokasi pengadaan yang lebih banyak.
Selain diberikan kepada daerah atau Poktan sesuai perencanaan awal tahun,
pemberian alsintan juga dilaksanakan bagi petani atau masyarakat pertanian yang
menyampaikan kebutuhan alsintan pada saat dilakukan peninjauan lapang oleh para
pejabat Kementan dan kementerian terkait. Untuk memenuhi alsintan yang bersifat
13
mendesak seperti permintaan tersebut, disediakan alokasi anggaran untuk alsintan
cadangan di tingkat pusat.
Pengelolaan alsintan dengan sistem atau mekanisme brigade sudah
dituangkan dalam Pedum tahun 2015. Pada tahun 2017 sistem ini makin mendapat
penekanan dan pelaksanaannya di lapangan lebih diintensifkan. Peran TNI dalam
pengelolaan alsintan dengan sistem brigade tersebut semakin ditingkatkan. Target
pemanfaatan dengan sistem brigade ini diharapkan dapat mengoptimalkan
pemanfaatan alsintan.
Pengorganisasian pemanfaatan alsintan dalam bentuk brigade di Dinas
Pertanian Provinsi berperan memanfaatkan dan memobilisasi alsintan antar
kabupaten. Brigade alsintan di Korem/Kodim dimaksudkan untuk membantu Poktan/
Gapoktan dalam percepatan pengolahan tanah dan tanam. Brigade di tingkat
Poktan/Gapoktan/UPJA mendukung percepatan pengolahan tanah, tanam dan panen.
Pengorganisasian ini dilengkapi struktur organisasi pengelolaannya.
d. Pencetakan sawah baru
Pencetakan sawah baru merupakan salah satu bentuk upaya perluasan lahan
sawah yang sangat diperlukan untuk perluasan lahan pertanaman pajale sekaligus
untuk mengimbangi laju konversi lahan yang secara intensif terus menekan luasan
lahan pertanian. Cetak sawah dikembangkan dengan pola community development
sehingga ada proses partisipasi dan empowering bagi petani. Pelaksanaan
percetakan sawah bekerjasama dengan TNI AD.
Kendala pelaksanaan program cetak sawah salah satunya adalah tidak semua
lokasi sesuai untuk cetak sawah baru, seperti kontur lahan yang cukup curam dan
ketersediaan air untuk mengatasi sawah terbatas. Oleh karena itu sebagian lokasi
cetak sawah perlu dilengkapi pompanisasi.
e. Rehabilitasi jaringan irigasi
Rehabilitasi jaringan irigasi berdampak langsung terhadap kualitas dan
kuantitas tanaman padi, melalui penyediaan air yang cukup. Oleh karena itu
14
pemerintah dalam hal ini Kementan melalui Ditjen PSP membantu meningkatkan
pemberdayaan petani pemakai air melalui kegiatan rehabilitasi jaringan irigasi.
Kegiatan rehabilitasi jaringan irigasi berupa penyempurnaan jaringan guna
mengembalikan atau meningkatkan fungsi dan pelayanan irigasi seperti semula
sehingga menambah luas areal tanam dan atau meningkatkan intensitas
pertanaman. Secara lebih spesifik, tujuan kegiatan ini untuk: (1) Meningkatkan
kinerja jaringan irigasi tersier sehingga dapat meningkatkan fungsi layanan irigasi;
(2) meningkatkan produksi padi melalui penambahan luas areal tanam; (3)
meningkatkan partisipasi petani dalam pengelolaan jaringan irigasi. Sasaran kegiatan
rehabilitasi jaringan irigasi adalah: (1) Terehabilitasi dan meningkatnya fungsi
jaringan irigasi tersier untuk luasan tertentu; untuk tahun 2017 seluas 100.000 ha;
(2) meningkatnya produksi padi melalui peningkatan IP; dan (3) meningkatnya
partisipasi petani terhadap pelaksanaan kegiatan rehabilitasi jaringan irigasi.
Pelaksana kegiatan ini terorganisasi dari pusat hingga daerah dengan tugas
dan tanggungjawab yang jelas. Poktan, Gapoktan, dan P3A sebagai sasaran
sekaligus pelaku yang berpartisipasi dalam perencanaan sampai pelaksanaan dalam
bentuk pemikiran, tenaga, bahan bangunan, dana dan pemeliharaan.
Pelaksanaannya sendiri diarahkan pada jaringan tersier yang mengalami kerusakan
yang terhubung dengan saluran utama. Penerima progam bantuan ini adalah petani
yang tergabung dalam P3A. Pelaksanaan rehabilitasi dilakukan melalui beberapa
tahapan terlebih dahulu seperti survei-investigasi-desain (SID), administrasi,
penyusunan rencana usulan kegiatan (RUK) dan pelaksanaan konstruksi rehabilitasi
yang melibatkan penerima langsung.
Permasalahan yang sering terjadi dilapangan adalah penetapan lokasi
rehabilitasi potensial menimbulkan konflik. Keterbatasan anggaran membuat tidak
semua usulan bisa terpenuhi, akibatnya ada poktan/gapoktan yang merasa
dinomorduakan. Kegiatan ini dilaksanakan secara bertahap setiap tahun sehingga
lokasinya ditentukan berdasarkan skala prioritas dan kepentingan.
Pengembangan embung pertanian salah satu kegiatan penting dalam
penyediaan air untuk pertanian. Kegiatan ini berlandaskan pada posisi pertanian yang
15
sangat rentan terhadap perubahan iklim. Antisipasi dan mitigasi dampak perubahan
iklim terkait dengan kelangkaan air pada musim kemarau atau kelebihan air pada
musim hujan dilakukan konservasi air berupa pemanenan air hujan dan aliran
permukaan (rain fall and run off harvesting) pada musim hujan untuk dimanfaatkan
pada saat terjadi krisis air terutama pada musim kemarau. Pemanenan dilakukan
dengan menampung air hujan dan run off antara lain melalui pembuatan embung.
Tujuan pengembangan embung untuk meningkatkan dan mempertahankan
ketersediaan sumber air di tingkat usaha tani sebagai suplesi air irigasi untuk
komoditas pajale. Organisasi pelaksananya terstruktur mulai dari pusat, provinsi,
kabupaten/kota, kecamatan dan desa. Masing-masing tingkatan memiliki tugas dan
tanggungjawab koordinasi dan pembinaan serta pengendalian pada tingkatan di
bawahnya. Di tingkat lapangan, aparat yang diserahi tanggungjawab untuk kegiatan
ini bertugas mengidentifikasi dan memverifikasi CPCL, membimbing dan mengawasi
pelaksanaan dan pemanfaatan fisikembung.
Selain embung, penyediaan sumber air didukung pengembangan dam parit
dan long storage. Pemilihan lokasi embung mensyaratkan spesifikasi tertentu agar
tujuan utama pembangunannya tercapai. Permasalahan yang sering muncul di
lapangan adalah penetapan lokasi yang diusulkan masyarakat, tidak sesuai dengan
letak yang memadai untuk saluran pengairan ke sawah-sawah.
f. Kegiatan pendampingan dalam peningkatan produksi pajale
Mulai tahun 2014 dalam kegiatan peningkatan produksi pajale dilakukan
pendampingan yang berbeda dengan pemerintahan sebelumnya, pendampingan
selain oleh tenaga penyuluh juga melibatkan unsur TNI-AD yaitu bintara pembina
desa (babinsa). Kerjasama ini tertuang dalam Nota Kesepahaman antara Menteri
Pertanian dengan Kepala Staf Angkatan Darat (KASAD) No.01/MOU/RC.120/M/2015
tentang Mewujudkan Kedaulatan Pangan, yang ditandagani bersama tanggal 8
Januari 2015. Selanjutnya untuk operasionalnya, Kementan mengeluarakan
Permentan No.14/Permentan/OT.140/3/2015 tentang Pedoman Pengawalan dan
Pendampingan Terpadu Penyuluh, Mahasiswa, dan Babinsa dalam rangka Upsus
16
Pajale. Berdasarkan nota kesepaham tersebut, TNI-AD menindakklanjuti dengan
menggerakkan seluruh komando kewilayahan TNI mulai dari Korem, Kodim hingga
Koramil dan seluruh aparat teritorial lainnya untuk terlibat langsung dalam
menyukseskan program pemerintah tersebut.
Dalam pedoman tersebut disebutkan bahwa untuk pencapaian swasembada
berkelanjutan padi dan jagung serta swasembada kedelai, penyuluh, mahasiswa dan
babinsa menjadi unsur penting dalam menggerakkan para petani pelaku utama untuk
dapat menerapkan teknologi (Gambar 3.1). Penyuluh, mahasiswa dan babinsa
merupakan salah satu faktor penggerak bagi para petani (pelaku utama) dan dapat
berperan aktif sebagai komunikator, fasilitator, advisor, motivator, edukator,
organisator dan dinamisator dalam rangka terlaksananya kegiatan peningkatan
produksi pajale.
MENTAN
BPPSDMPDITJEN PSP/TP/P2HPBADAN LITBANG
BPTPDINAS TEKNIS
DINAS TEKNIS
GUBERNUR
KODAM BAKORLUH PT/BALAI/STPP
KODIM
CAMAT
POKTAN, P3A, GAPOKTAN DAN GP3A
BUPATI/WALIKOTA
UPTD KORAMIL
LURAH/DESA
BABINSA MAHASISWAPENYULUH
PUSAT/TIM PENGENDALI
PROVINSITIM PEMBINA
KAB/KOTAPELAKSANA
KECAMATAN/TIM PELAKSANA
DESA
KASAD
POPT/ PBT
PENELITI/PENYULUH
BP3K
BP4K DOSEN/WI
TATA HUBUNGAN KERJA PENDAMPINGAN
Alur Komando
Alur Pengendalian
Alur Pembinaan
Alur Pelaksanaan
Alur Koordinasi Fungsional
Alur Koordinasi Operasional
Gambar 3.1. Tata Hubungan Kerja pendampingan Program Upsus Pajale
3.2. Capaian Tambah Luas Tanam dan Produksi Pajale
Indikator kinerja yang ditetapkan dalam program Upsus pajale yang tertuang
dalam Pedum sebagai berikut:
1) Meningkatnya indeks pertanaman (IP) minimal sebesar 0,5;
2) Meningkatnya produktivitas padi minimal sebesar 0,3 ton/ha GKP;
17
3) Tercapainya produktivitas kedelai minimal sebesar 1,57 ton/ha; dan
4) Tercapainya produktivitas jagung minimalsebesar 5 ton/ha pada areal tanam
baru dan meningkatnya produktivitas kedelai sebesar 0,2 ton pada areal
existing.
Dalam Pedum Upsus pajale juga tertera bahwa pada tahun 2015 target
produksi padi sebesar 73,40 juta ton dengan pertumbuhan 2,21%; jagung sebesar
20,33 juta ton dengan pertumbuhan 5,57% dan kedelai sebesar 1,27 juta ton
dengan pertumbuhan 26,47%.
Selama pelaksanaan program Upsus (2015-2016) terjadi peningkatan luas
tambah tanam padi sekitar 18,7%/tahun. Dalam laporan tahunan Ditjen PSP (2017)
dilaporkan bahwa tahun 2016 capaian penambahan luas baku lahan padi 2016
mencapai 97,69% atau tergolong kategori “berhasil” dan capaian jumlah
penambahan luas tanam padi sebesar 1.421,76% termasuk kategori “sangat
berhasil”. Pencapaian kinerja yang signifikan ini merupakan hasil dari upaya
terobosan kebijakan, khususnya dalam upaya refocusing kegiatan dan anggaran
untuk komoditas utama (pengembangan dan rehabilitasi jaringan irigasi, penyediaan
alat dan mesin pertanian pra panen, perluasan sawah baru), penerapan system
reward and punishment, pengawalan dan pendampingan upsus bekerja kerjasama
dengan TNI, antisipasi dini banjir dan pasca banjir, serta penanganan serangan OPT.
Peningkatan luas tambah tanam tersebut di atas terjadi terutama pada daerah
sentra produksi padi dan tidak terlihat nyata pada daerah non sentra produksi. Di
Provinsi Riau, lahan pertanian dominan lahan kering yang cocok bagi usaha tanaman
perkebunan. Petani telah memanfaatkan keunggulan komparatif ini dengan
melakukan usaha perkebunan yang menjadi sumber mata pencaharian utama.
Lahan untuk tanaman padi adalah lahan rawa dan menanam padi hanya untuk
keperluan memenuhi kebutuhan konsumsi pangan/beras rumah tangga, tidak untuk
diperjual belikan.
Pada beberapa tahun terakhir harga minyak sawit di pasar internasional
memiliki tren meningkat sehingga terjadi perubahan pemanfaatan lahan dari
tanaman pangan ke tanaman perkebunan terutama untuk kelapa sawit. Hal inilah
18
yang mengakibatkan luas panen padi di Provinsi Riau selama kurun waktu 2012-2016
terus menurun. Upaya peningkatan produksi padi melalui peningkatan IP terus
dilakukan oleh Pemerintah (dari IP 100 ke IP 200) namun perkembangannya masih
lambat, sehingga luas tambah tanam di provinsi ini relatif tetap bahkan menurun
karena konversi lahan pangan ke kelapa sawit.
Dalam Pedum Upsus, upaya untuk peningkatan produksi jagung diarahkan
pada kegiatan perluasan tanam di lahan baru agar tidak berkompetisi memanfaatkan
lahan yang selama ini digunakan untuk usahatani padi. Areal lahan baru ini dapat
diperoleh, diantaranya melalui kerjasama dengan BUMN perkebunan dan PT
Perhutani atau lahan milik swasta.
Secara nasional pada periode 2015-2016, luas tanam jagung meningkat
sekitar 21%. Berbeda dengan padi, kecenderungan peningkatan luas tanam jagung
terjadi pada wilayah yang bukan sentra produksi pangan. Dalam upaya mewujudkan
swasembada jagung, bantuan benih jagung untuk ditanam petani pada tahun 2016
didistribusikan dalam jumlah besar. Dampaknya luas panen juga meningkat di hampir
semua provinsi.
Pemanfaatan lahan gambut mampu memperluas tanam jagung. Sebagai
contoh di Provinsi Kalimantan Tengah penanaman jagung dan kedelai dilakukan pada
lahan gambut Pada tahun 2016 terjadi bulan basah hampir sepanjang tahun
sehingga tanaman kedelai sulit ditanam karena masih banyak hujan sehingga
sebagian lahan yang dicadangkan untuk tanaman kedelai dialihkan untuk tanaman
padi. Kondisi ini sebagai salah satu penyebab penurunan luas tanam kedelai. Tabel
3.1, 3.2. dan 3.3. masing-masing menyajikan capaian luas tanam pajale tahun 2015
dan 2016 di provinsi sentra dan non sentra produksi.
Secara nasional peningkatan luas tanam padi pada tahun 2016 sangat tinggi,
yaitu 18,7%. Peningkatan ini didukung oleh peningkatan luas panen di provinsi
sentra produksi yang meningkat lebih dari 20% (diantaranya Jatim, Jabar, Sulsel);
sementara di provinsi nonsentra menunjukkan adanya penurunan, kecuali di
beberapa provinsi seperti Sultra. Berbeda dengan padi, peningkatan luas panen
19
jagung terjadi baik di provinsi sentra maupun nonsentra, demikian juga
penurunannya terjadi juga di provinsi sentra (Jateng) dan nonsentra (Riau).
Peningkatan luas tanam jagung nasional mencapai 20,7%, suatu lonjakan yang
sangat signifikan. Sementara itu, luas tanam kedelai pada tahun 2016 menurun
tajam dibandingkan tahun sebelumnya, yang mencapai -22,4%. Ketidak cocokan
musim (tahun 2016 tahun basah) dan keuntungan relatif usahatani kedelai
dibandingkan usahatani pangan lainnya yang rendah menjadi penyebab utama hal
tersebut. Pada tahun 2016 luas tanam padi sebesar 16, 6 juta ha, jagung 4,9 juta ha,
dan kedelai hanya sekitar 536 ribu ha.
Sasaran produksi padi pada tahun 2015 yang tertera dalam Pedum Upsus
Pajale sebesar 73,4 juta ton, mencapai 75,4 juta ton. Demikian pula untuk laju
pertumbuhan produksi per tahun yang ditargetkan 2,2%, realisasinya mencapai
3,8%. Realisasi produksi jagung pada tahun 2015 sekitar 19,6 juta ton, sedikit lebih
rendah dengan yang ditargetkan, yaitu 20,3 juta ton. Capaian produksi kedelai tahun
2015 ternyata jauh dari target, bahkan menurun produksinya selama periode 2015-
2016.
Andil terbesar peningkatan produksi padi dari peningkatan luas panen, bukan
dari peningkatan produktivitas. Sementara itu, peningkatan luas panen diperkirakan
hasil dari berbagai komponen kegiatan Upsus yang mendorong terjadinya luas
tanam seperti cetak sawah, optimalisasi lahan dengan memberi bantuan benih dan
pupuk, perluasan areal tanam baik di lahan kering maupun non lahan kering. Selain
itu, keberhasilan ini juga didukung dengan gerakan penyuluhan, pendampingan dan
pengawalan di lapangan secara masif oleh petugas penyuluh dan petugas pertanian
serta melibatkan babinsa.
20
Tabel 3.1. Perkembangan luas tambah tanam padi di provinsi sentra dan non sentra
produksi 2015-2016
Wilayah 2015 (ha) 2016 (ha) Laju pertumbuhan 2015-2016 (%/th)
Nasional 14.011.389 16.628.432 18,68
Provinsi Sentra Jawa Barat 1.820.036 2.269.120 24,67
Jawa Tengah 1.864.540 2.160.584 15,88
Jawa Timur 2.105.427 2.544.329 20,85
Sulawesi Selatan 1.037.586 1.341.648 29,30
Provinsi Non Sentra Riau 99.104 94.104 -5,05
Kalteng 276.,430 245.640 -11,14
Sultra 148.138 183.345 23,77
Malut 26.802 24.916 -7,04
Tabel 3.2. Perkembangan luas tambah tanam jagung di provinsi sentra dan non
sentra produksi, 2015-2016
Wilayah 2015 (ha)
2016 (ha)
Laju petumbuhan 2015-2016(%/th)
Nasional 4.061.802 4.900.492 20,65
Provinsi Sentra
Jawa Barat 167.101 215.092 28,72
Jawa Tengah 576.343 565.701 -1,85
Jawa Timur 1,213,654 1,237,9489 2,00
Sulawesi Selatan 295,115 366,599 24,22
Provinsi Non Sentra
21
Riau 18.362 15.666 -14,68
Kalteng 2,507 4,408 75,83
Sultra 23,945 30,816 28,69
Malut 3,892 3,078 -20,89
Tabel 3.3. Perkembangan luas tambah tanam kedelai di provinsi sentra dan non
sentra produksi, 2015-2016
Wilayah
2015 (ha)
2016 (ha)
Laju pertumbuhan 2015-2016 (%/th)
Nasional 690.589 536.175,6 -22,36
Provinsi Sentra
Jawa Barat 60.913 54.887,6 -9,89
Jawa Tengah 67.982 54.276,1 -20,16
Jawa Timur 208,067 165,840.1 -20,29
Sulawesi Selatan 59,526 17,315.6 -70,91
Provinsi Non Sentra
Riau 2.668 3.281,2 22,98
Kalteng 1,136 4,418.6 288,96
Sultra 10,441 8,661.0 -17,05
Malut 777 1,003.6 29,16
Dalam berbagai kesempatan pertemuan teknis dan media, pejabat Kementan
menyatakan telah terjadi peningkatan angka produksi pangan sebagai hasil jerih
payah kinerja yang dilakukan. Pencapaian produksi padi dan jagung telah melampaui
target capaian produksi yang tertuang dalam Renstra Kementan maupun Rencana
Kegiatan Tahunan (RKT). Hanya capaian produksi kedelai tahun 2016 yang jauh dari
target yang direncanakan yaitu hanya 0,88 juta ton dari 1,5 juta ton. Pemerintah
mendeklarasikan bahwa tahun 2017 tidak akan ada impor beras dan jagung, dengan
naiknya produksi kedua komoditas tersebut sepanjang tahun 2016.
Kementan menetapkan berbagai program dan bantuan untuk meningkatkan
luas tambah tanam pada areal yang sudah ada melalui intensifikasi dengan
22
meningkatkan indeks pertanaman (IP) dari 100 ke 200 dan dari 200 ke 300. Selain
itu, upaya peningkatan luas tambah tanam juga dilakukan dengan program
ekstensifikasi seperti program cetak sawah, optimalisasi lahan dengan membuka
lahan baru yang dikenal dengan PAT (Perluasan Areal Tanam) dan PATB (Perluasan
Areal Tanam Baru). Dengan peningkatan luas tambah tanam, pemerintah berharap
luas lahan yang dipanen juga akan bertambah dan pada gilirannya target produksi
akan tercapai.
Kementan setiap tahun menetapkan target produksi padi, jagung dan kedelai
untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri dan ekspor. Dalam menjabarkan target
produksi tersebut dalam bentuk program menggunakan asumsi produktivitas tetap
sehingga diperoleh target luas tanam yang dibedakan menurut provinsi dan musim.
Terkait dengan program Upsus, Kementan menyusun target tahunan, musiman dan
bulanan untuk setiap provinsi. Bahan pertimbangan yang digunakan untuk menyusun
target luas tanam provinsi adalah capaian luas tanam periode sebelumnya, hasil citra
landsat dengan program Simontadi dan bantuan program terutama benih.
Selanjutnya Dinas Pertanian provinsi bersama Dinas Pertanian kabupaten menyusun
target per kabupaten dan penjabaran target per kecamatan disusun oleh Dinas
Pertanian bersama Koordinator Penyuluh dan UPTD.
Keragaan sasaran dan target luas tambah tanam untuk padi, jagung dan
kedelai agregat nasional dan di tiga provinsi lokasi penelitian dapat dilihat pada Tabel
3.4, 3.5, dan 3.6. Namun data untuk tahun 2017 masih dapat berubah karena data
bulan September tahun 2017 belum dilakukan rekonsiliasi dengan data BPS. Selain
itu, sesuai aturan di BPS, data tiga bulan sebelumnya dapat dilakukan perbaikan
apabila ada kesalahan/kekurangan karena masih ada data yang belum dilaporkan
maka data tersebut dapat diperbaiki dan dilaporkan secara berjenjang dari BPS
kabupaten ke provinsi dan pusat. Secara agregat nasional capaian luas tanam padi
pada periode satu tahun (Oktober 2016 sampai September 2017) mengalami
peningkatan sekitar 4,8 ribu hektar.
Peningkatan luas tambah tanam padi di Provinsi Riau hanya 994 hektar, itupun
baru terjadi pada tahun ini karena lima tahun berturut-turut luas tanam wilayah ini
23
terus menurun akibat konversi lahan ke kelapa sawit. Secara umum, luas tanam
jagung juga mengalami peningkatan yang salah satunya dampak dari peningkatan
bantuan benih oleh Kementerian Pertanian. Untuk luas tanam kedelai pada periode
tahun 2016/2017 lebih rendah dibandingkan dengan periode sebelumnya
(2015/2016).
Selain dalam bentuk tahunan, target luas tambah tanam juga disusun
berdasarkan musim dan bulanan seperti dapat dilihat pada kasus di Provinsi Riau.
Melalui pentargetan seperti ini dapat diketahui bulan atau musim apa target dapat
dicapai oleh daerah. Permasalahannya adalah kadang-kadang pada periode tertentu
terjadi perubahan sasaran di masing-masing provinsi dan perubahannya selalu target
dari Kementan yang baru lebih besar dibandingkan dengan target sebelumnya baik
yang disusun oleh daerah maupun target awal dari Kementerian Pertanian.
Tabel 3.4. Perkembangan luas tambah tanam padi, jagung dan kedelai agregat
nasional dan tiga provinsi
Wilayah Oktober-September (ha)
2016/2017 2015/2016 Surplus/Defisit
Padi
Nasional 15.995.905 15.512.990 4.829.215
Jawa Barat 2.045.119 2.099.188 54.069
Jawa Tengah 2.015.003 1971777 43.226
Riau 98.328 97.334 994
Jagung
Nasional 5.948.297 4.668.258 1.280.139
Jawa Barat 193.874 215.933 22.059
Jawa Tengah 592.143 617.983 25.840
Riau 15.744 16.241 497
Kedelai
Nasional 289.135 624.332 (335.197)
Jawa Barat 25.623 58.571 (32.948)
Jawa Tengah 44.747 62.273 17.528
Riau 845 3219 (2.374)
Keterangan: Data Okt-Agust BPS, Sept 2017 angka Upsus
Sumber: Bahan Rapim Ditjen TP tgl 18 Oktober 2017
24
Tabel 3.5. Sasaran dan realisasi luastanam padi, jagung dan kedelai menurut musim
oleh Pemda melalui APBD provinsi dan kabupaten masih sangat terbatas, bahkan ada
kabupaten yang sama sekali tidak mendapat dukungan pembiayaan, dan (viii) masih
banyak administrasi kegiatan perluasan sawah yang belum lengkap, baik dari mulai
dokumen perencanaan, laporan bulanan, maupun laporan akhir.
69
Dari hasil Anjak di tiga provinsi, kendala teknis yang sering ditemui dalam
kegiatan cetak sawah diantaranya sebagai berikut:
1) Kurangnya jumlah alat berat, sulitnya mobilisisasi alat berat ke lokasi terutama
lokasi yang merupakan kepulauan, adanya banjir, serta beberapa lokasi yang
mempunyai vegetasi sangat berat;
2) Lokasi yang berpencar (spot luasan kecil), sehingga memakan waktu yang lama
untuk mobilisasi alat berat dari satu lokasi ke lokasi yang lainnya,
3) Sawah yang sudah selesai dicetak tidak bisa segera ditanami, karena antara lain
lokasi terkena banjir, kebiasaan petani yang tidak mau tanam di luar kebiasaan
musim tanam di wilayah setempat, dan sumber air terbatas (lokasi sumber air
yang jauh dari lokasi kegiatan perluasan sawah);
4) Masih ada beberapa lokasi yang terdapat tumpukan sisa land clearing dan masih
berada di lokasi sawah, sulitnya membuang kayu-kayu hasil penebangan dan
pembersihan lahan, sehingga kayu-kayu ini ditumpuk di suatu tempat, yang
apabila hal ini berlangsung lama dapat menjadi sarang hama tikus,
5) Banyak tunggul pohon dan batu sangat besar (kasus di Kabupaten Siak Riau) ;
dan
6) Elevasi tanah sangat curam, melebihi persyaratan kemiringan maksimal 8%,
yang menyebabkan pencetakan sawah harus dibuat dengan menggunakan
sistem terasering dan menyebabkan kurangnya efektivitas manfaat dari kegiatan
cetak sawah di lokasi tersebut (kasus di Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat).
f. Tindak lanjut kegiatan cetak sawah
Upaya penambahan baku lahan tanaman pangan melalui perluasan sawah
sangat penting untuk mendukung pemantapan ketahanan pangan, mengingat
kebutuhan produksi tanaman pangan terus meningkat sedangkan alih fungsi lahan
sawah setiap tahun terjadi pada areal yang cukup luas berkelanjutan. Kegiatan cetak
sawah, jika diintegrasikan dengan berbagai kegiatan kegiatan pendukung yang
terkait lainnya di lokasi dapat memberikan dampak positif secara langsung maupun
70
tidak langsung bagi ekonomi perdesaan, seperti: (a) Terserapnya tenaga kerja
perdesaan, (b) meningkatnya produksi beras setempat yang dapat menekan
ketergantungan penyediaan beras dari daerah lain, (c) meningkatnya akses
petani/mastarakat setempat terhadap prasarana irigasi, drainase dan jalan, (d)
meningkatnya akses petani setempat terhadap bantuan alat dan mesin pertanian,
pupuk, benih, serta meningkatnya akses petani terhadap sarana pemasaran hasil
pertanian (Direktorat Perluasan dan Pengelolaan Lahan, 2013).
Namun demikian ada beberapa kegiatan yang harus segera dilaksankan agar
sawah baru tersebut efektif dalam pemanfaatannya. Jika lahan hasil cetak sawah
tidak segera diusahakan dengan intensif, maka lahan tersebut akansangat mudah
menyemak kembali. Tunggul pohon, batu sangat besar, dan sisa-sisa kayu yang
menumpuk di lahan sawah cetakan baru akan menghambat pemanfaatan lahan
sawah yang baru dicetak, sehingga lahan tersebut dapat menjadi sarang tikus dan
hama/penyakit tanaman lainnya, serta dapat menurunkan kualitas lingkungan karena
lahan sawah tersebut akan cepat menyemak.
Tindak lanjut terhadap permasalahan yang dihadapi dalam rangka
meningkatkan kinerja bagi kegiatan cetak sawah yang akan datang adalah
(Direktorat Perluasan dan Pengelolaan Lahan, 2013):
1) Melakukan verifikasi lapang terhadap hasil SID, sehingga diperoleh lokasi hasil
SID yang benar-benar sesuai untuk kegiatan perluasan sawah baik dari kesesuian
lahan maupun luasannya.
2) Pelaksana wajib membuat shop drawing diseluruh lokasi yang digunakan untuk
acuan kerja lapang.
3) Penetapan CP/CL harus dilakukan secara lebih selektif dengan mengacu pada
pedoman teknis kegiatan perluasan sawah.
4) Meningkatkan koordinasi dan komunikasi yang lebih efektif secara internal dalam
organisasi pelaksana dari pusat, daerah, sampai ketingkat lapangan.
5) Meningkatkan koordinasi dengan dinas dan instansi terkait, terutama untuk
mendapatkan: (a) Percepatan dalam pembuatan izin lingkungan oleh bupati; (b)
dukungan alat berat; (c) dukungan untuk membangun saluran pembuang,
71
pintu/kleb untuk daerah rawa lebak yang banjir, atau pembuatan bendungan,
sumur bor, mapun pompanisasi untuk daerah-daerah kering/yang tidak
mempunyai sumber air yang mencukupi; (c) dukungan untuk pembersihan
simpukan sisa land clearing, atau mengganti lokasi yang mengalami masalah
simpukan dengan lahan lain yang lebih sesuai untuk cetak sawah, dan (d)
dukungan anggaran dari APBD provinsi dan kabupaten untuk membantu dalam
monitoring dan pembinaan kegiatan perluasan lahan di tahun yang akan datang.
6) Memperbaiki sistem pelaksanaan kegiatan mulai dari perencanaan, pelaksanaan,
monitoring, evaluasi dan pelaporan.
7) Meningkatkan intensitas pembinaan dan pemberian bantuan sarana produksi
kepada petani, agar petani dapat segera mengusahakan lahan sawah tersebut
secara berkelanjutan.
4.5. Pengembangan Jaringan Irigasi dan Pemanenan Air
Berdasarkan Renstra Ditjen PSP Tahun 2015–2019 sasaran program
pengembangan jaringan irigasi adalah meningkatnya infrastruktur air irigasi
mendukung produksi pertanian yang diukur melalui empat indikator kinerja yaitu
(Direktoret Irigasi Pertanian 2017a):
1. Jumlah luas areal sawah yang jaringan irigasinya direhabilitasi atau ditingkatkan
fungsinya,
2. Jumlah bangunan dan peralatan pelengkapnya pemanfaatan sumber air yang
dibangun,
3. Jumlah luas areal lahan rawa yang jaringan irigasinya dibangun/direhabilitasi,
dan
4. Jumlah bangunan konservasi air yang dibangun dalam rangka antisipasi
perubahan iklim.
Terkait dengan peningkatan layanan irigasi tersebut telah dilakukan upaya-
upaya seperti: Peningkatan fungsi prasarana, penerapan teknologi hemat air,
peningkatan partisipasi masyarakat, pengembangan dan pemberdayaan
kelembagaan Petani Pemakai Air (P3A) dalam pengelolaan air irigasi dan produksi
72
pertanian, dan pengembangan teknik pemanenan air dengan pengembangan
embung dan pemanfaatan sumber air tanah dan air permukaan.
Dalam implementasinya, pengembangan jaringan irigasi dilaksanakan melalui
enam kegiatan yang didanai dari alokasi APBN, yaitu: Rehabilitasi jaringan irigasi,
pengembangan irigasi perpipaan/perpompaan, pengembangan irigasi rawa,
pengembangan/pelaksanaan konservasi air dan antisipasi perubahan iklim, water
resources and irrigation sector management program (WISMP), dan dukungan
manajemen aspek air irigasi untuk pertanian (pusat dan daerah). Selanjutnya
pembahasan akan difokuskan pada kegiatan: (1). Rehabilitasi jaringan irigasi dan (2)
pengembangan konservasi air dan antisipasi perubahan iklim (khususnya kegiatan
pengembangan embung, dam parit, dan long storage).
a. Kegiatan rehabilitasi jaringan irigasi tersier (RJIT)
Kegiatan RJIT dilaksanakan dilapangan dengan mengacu pada Pedoman
Teknis Rehabilitasi Jaringan Irigasi (Direktorat Irigasi Pertanian 2017b). Secara
ringkas diskripsi mengenai kegiatan, kriteria kelompok penerima bantuan, dan
tahapan pelaksanaan kegiatan dapat diuraikan sebagai berikut.
Dalam konteks Upsus Pajale, khususnya peningkatan produksi padi, kegiatan
RJIT merupakan salah satu komponen penting dan berdampak langsung terhadap
upaya peningkatan produktivitas dan produksi padi. Pengelolaan air irigasi dari hulu
(upstream) sampai dengan hilir (downstream) memerlukan sarana dan prasarana
irigasi yang memadai. Sarana dan prasarana tersebut dapat berupa: bendungan,
bendung, saluran primer, saluran sekunder, boks bagi, bangunan ukur, saluran
tersier dan saluran tingkat usaha tani. Tidak berfungsinya, atau rusaknya salah satu
bangunan irigasi akan mempengaruhi kinerja sistem irigasi yang ada, sehingga
mengakibatkan efisiensi dan efektifitas irigasi menurun.
Kegiatan RJIT merupakan kegiatan perbaikan/ penyempurnaan jaringan irigasi
guna mengembalikan/meningkatkan fungsi dan pelayanan irigasi seperti semula
sehingga menambah luas areal tanam dan/atau meningkatkan intensitas pertanaman
(IP). Adapun yang dimaksud dengan jaringan irigasi tersier adalah jaringan saluran
73
yang melayani areal di dalam petak tersier. Jaringan tersier terdiri dari: (1) Saluran
dan bangunan tersier, (2) saluran dan bangunan kuarter, dan (3) saluran pembuang.
Dalam rangka menjamin efektifitas program/kegiatan dan meningkatkan
akuntabilitas pelaksanaan kegiatan RJIT, maka calon penerima bantuan disyaratkan
memenuhi kriteria teknis, kriteria lokasi, dan kriteria penerima bantuan, yang secara
ringkas dapat diuraikan sebagai berikut (Direktorat Irigasi Pertanian, 2017b):
Calon lokasi penerima bantuan harus memenuhi persyaratan teknis sebagai
berikut: Jaringan primer, sekunder dalam kondisi baik dan sumber air tersedia, lebar
dan tinggi saluran disesuaikan dengan debit air dan luas lahan sawah yang akan
diairi (luas oncoran), kemiringan (slope) saluran disesuaikan dengan kelerengan
lahan 2%, luas lahan sawah kelompok tani minimal 15 ha sedangkan P3A minimal 25
Ha, meningkatkan IP minimal 0,5 untuk lahan sawah dengan IP ≤ 2 , dan
mempertahankan IP untuk lahan sawah dengan IP ≥ 2.
Calon lokasi penerima bantuan harus memenuhi persyaratan lokasi sesuai
dengan kriteria sebagai berikut: Kegiatan rehabilitasi jaringan irigasi dilaksanakan
pada jaringan tersier di daerah irigasi pemerintah, pemerintah provinsi, maupun
pemerintah kabupaten/kota, dan irigasi desa yang memerlukan perbaikan/
peningkatan; lokasi diutamakan pada daerah irigasi yang jaringan tersiernya
mengalami kerusakan dan/atau memerlukan peningkatan; jaringan primer, sekunder
dalam kondisi baik dengan sumber air yang tersedia dan dibuktikan dengan surat
keterangan dari dinas/balai lingkup pengairan; lokasi kegiatan rehabilitasi jaringan
irigasi dilaksanakan pada daerah irigasi yang sudah ditetapkan dalam POK (Petunjuk
Operasional Kegiatan) kabupaten/kota; dan lokasi dilengkapi dengan koordinat
(LU/LS – BT/BB).
Calon petani penerima bantuan diharuskan memenuhi persyaratan penerima
bantuan sesuai dengan kriteria sebagai berikut: Tergabung dalam wadah P3A
dan/atau Poktan atau Gapoktan; P3A atau GP3A dan/atau Poktan dan Gapoktan yang
mempunyai semangat partisipatif; Poktan, Gapoktan dan P3A membentuk Unit
Pengelola Keuangan dan Kegiatan (UPKK) yang mempunyai tanggung jawab dan
74
wewenang untuk menguji tagihan, memerintahkan pembayaran dan melaksanakan
pembayaran pelaksanaan kegiatan rehabilitasi jaringan irigasi.
Mekanisme pelaksanaan kegiatan rehabilitasi jaringan irigasi melibatkan
partisipasi kelompok tani/gapoktan/P3A penerima bantuan pemerintah, mulai dari
perencanaan, persiapan, pelaksanaan kontruksi, dan pemeliharaan jaringan irigasi,
yang dibimbing/dibina oleh petugas Dinas Pertanian dan instansi terkait. Secara
ringkas berapa tahapan kegiatan yang melibatkan peran serta masyarakat penerima
bantuan dapat diuraikan sebagai berikut (Direktorat Irigasi Pertanian, 2017b).
SID dimaksudkan untuk verifikasi calon petani dan calon lokasi yang sesuai
dengan kriteria Rehabilitasi Jaringan Irigasi baik dari segi teknis maupun sosial. SID
dilaksanakan oleh Tim Teknis/Koordinator Lapangan yang berkoordinasi dengan
instansi terkait. Pelaksanaan SID dibiayai oleh daerah (tidak termasuk dalam dana
bantuan pemerintah yang dialokasikan) dan dilaksanakan oleh petugas Dinas lingkup
Pertanian Kabupaten/Kota bersama dengan petugas Kecamatan atau dikerjasamakan
dengan pihak lain.
Penyusunan RUK dilaksanakan dengan musyawarah P3A atau Poktan dengan
bimbingan tim teknis atau koordinator lapangan. RUK disusun berdasarkan
kebutuhan bahan dari hasil SID antara lain: memuat rencana : (i) volume (panjang)
saluran, komponen jaringan irigasi tersier yang akan dibangun/direhabilitasi, (ii)
kebutuhan bahan, (iii) sewa alat, (iv) tenaga kerja, (v) jumlah biaya, (vi) sumber
biaya (bantuan pemerintah dan partisipasi masyarakat) dan (vii) waktu pelaksanaan.
RUK yang telah disusun harus disetujui oleh tim teknis/koordinator lapangan dan
diketahui oleh Kepala Dinas Pertanian Kabupaten/Kota.
Pelaksanaan konstruksi rehabilitasi jaringan irigasi dilaksanakan secara
swakelola oleh P3A atau Poktan secara bergotong royong dengan memanfaatkan
tenaga kerja anggotanya. Kepada anggota kelompok yang berpartisipasi dapat
diberikan insentif kerja yang nilainya ditentukan berdasarkan musyawarah kelompok
dan harus tertulis dalam RUK. Kegiatan konstruksi rehabilitasi jaringan irigasi
disesuaikan dengan jenis pekerjaan yang dibutuhkan, antara lain: (a) Merehabilitasi
jaringan irigasi tersier antara lain meliputi: saluran pembawa (conveyance), saluran
75
pembuang (drainage), serta bangunan lainnya, seperti: boks bagi, siphon, talang,
bangunan terjun, gorong – gorong, dan (b) merehabilitasi bangunan penangkap air,
seperti bendung sederhana dan bangunan pelengkapnya dibuat dengan ukuran atau
dimensi sesuai dengan kondisi lapangan.
b. Pengembangan sarana pemanenan air
Kegiatan pemanenan air berupa pembanguan embung, dam parit, long
storage, dilaksanakan dilapangan dengan mengacu pada Pedoman Teknis
Pengembangan Embung, Dam Parit, Long Storage (Direktorat Irigasi Pertanian,
2017c). Secara ringkas diskripsi mengenai kegiatan, kriteria kelompok penerima
bantuan, dan tahapan pelaksanaan kegiatan dapat diuraikan sebagai berikut.
Dampak perubahan iklim sangat dirasakan oleh sektor pertanian karena usaha
di sektor pertanian merupakan sektor paling rentan (vulnerable) terhadap perubahan
iklim. Perubahan iklim secara langsung akan berpengaruh terhadap capaian
ketahanan pangan nasional. Konservasi air sebagai langkah adaptasi terhadap
dampak perubahan iklim dilakukan melalui pemanenan air hujan dan aliran
permukaan (rain fall and run off harvesting) pada musim hujan untuk dimanfaatkan
pada saat terjadi krisis air terutama pada musim kemarau. Pemanenan dilakukan
dengan menampung air hujan dan run off antara lain melalui pembuatan embung
pertanian, dam parit, dan long storage.
Sejalan dengan pola pemanenan air melalui embung pertanian diarahkan
untuk menambah ketersediaan air untuk pertanian serta dapat memperlambat laju
aliran dengan meresapkan air ke dalam tanah (recharging). Teknologi ini dianggap
efektif karena secara teknis dapat menampung volume air dalam jumlah relatif besar
dan dapat mengairi areal yang relatif luas, jika dibangun secara seri (cascade series).
Pola konservasi air yang sederhana tersebut dapat dilaksanakan sesuai dengan
kemampuan petani yaitu menampung air limpahan atau dari mata air, dan atau
meninggikan muka air dalam skala mikro. Kegiatan pengembangan embung, dam
parit, long storage mulai dialokasikan pada TA. 2015 melalui bantuan Pemerintah
pusat, dan dilaksanakan melalui penyaluran dana bantuan oleh Ditjen PSP Kementan.
76
Pengembangan prasarana ini bertujuan untuk meningkatkan dan mempertahankan
ketersediaan sumber air di tingkat usaha tani sebagai suplesi air irigasi untuk
komoditas tanaman pangan dan mengurangi risiko terjadinya kegagalan panen akibat
kekeringan pada lahan usaha tani di musim kemarau (Kementan 2016).
(1) Pengembangan embung pertanian.
Embung adalah bangunan konservasi air berbentuk kolam/cekungan untuk
menampung air limpasan (run off) serta sumber air lainnya untuk mendukung usaha
pertanian. Persyaratan teknis pembuatan embung adalah sebagai berikut:
Tersedianya sumber air yang dapat ditampung, baik berupa aliran permukaan dan
atau mata air. Jika sumber air berasal dari aliran permukaan, maka pada lokasi
tersebut harus terdapat daerah tangkapan air. Volume embung yang dilaksanakan
minimal 500 m3.
Sementara itu, persyaratan lokasi dan kelompok penerima bantuan adalah: (a)
Lokasi embung diutamakan pada daerah cekungan tempat mengalirnya aliran
permukaan saat terjadi hujan, (b) lokasi pengembangan embung diupayakan tidak
dibangun pada tanah berpasir, porous (mudah meresapkan air) karena air cepat
hilang. Bila terpaksa dibangun di tempat yang porous, maka dasar embung harus
dilapis linning, plastik, tanah liat, atau geomembrane; (b) Embung dibuat dekat lahan
usaha tani yang rawan terhadap kekeringan, mudah untuk dialirkan ke petak-petak
lahan usaha tani. Apabila lokasi lahan usaha tani berada di atas embung dapat
dialirkan dengan menggunakan pompa atau alat lainnya; dan (c) lokasi tempat
pengembangan embung status kepemilikannya jelas (tidak dalam sengketa) dan
tidak ada ganti rugi yang dilengkapi dengan surat pernyataan oleh kelompok
penerima manfaat.
(2) Pembuatan dam parit
Dam Parit adalah suatu bangunan konservasi air berupa bendungan kecil pada
parit-parit alamiah atau sungai-sungai kecil yang dapat menahan air dan
meningkatkan tinggi muka air untuk disalurkan sebagai air irigasi. Persyaratan
pembuatan dam parit adalah sebagai berikut: Debit sungai yang dibendung minimal
5 liter/detik dan luas lahan usaha tani yang dapat diairi minimal 25 ha.
77
Persyaratan lokasi dan kelompok penerima bantuan untuk prasarana dam parit
sebagai berikut: (a) Letak dam parit harus memperhatikan kemudahan dalam
membendung dan mendistribusikan air serta mempunyai struktur tanah yang kuat
untuk pondasi bendung; (b) dam parit dapat dibangun secara bertingkat pada satu
parit/sungai yang sama, dengan syarat air pada masing-masing dam parit berasal
dari daerah tangkapan air di atasnya; (c) pemanfaatan air diupayakan bisa secara
gravitasi, apabila tidak memungkinkan dapat melalui pompanisasi, dan (d) lokasi
tempat pengembangan dam parit dilengkapi dengan surat pernyataan tidak ada ganti
rugi lahan oleh kelompok penerima manfaat dan sebaiknya dilengkapi surat ijin dari
instansi yang berwenang.
(3) Pengembangan long storage
Long stroge adalah bangunan penahan air yang berfungsi menyimpan air di
dalam sungai, kanal dan atau parit pada lahan yang relatif datar dengan cara
menahan aliran untuk menaikkan permukaan air sehingga cadangan air irigasi
meningkat. Persyaratan pembuatan Long Storage adalah sebagai berikut:
Tersedianya sumber air yang dapat ditampung, antara lain dari aliran permukaan
(sungai) dan saluran irigasi dan kemiringan saluran lebih kecil dari 3%.
Persyaratan lokasi dan kelompok penerima bantuan sebagai berikut: Lokasi
Long Storage diupayakan pada saluran drainase/alur-alur alami, yang secara alamiah
tempat mengalirnya air menuju sungai atau ke laut; (b) Long Storage dibuat dekat
lahan usaha tani yang membutuhkan suplesi air irigasi atau rawan terhadap
kekeringan. Pemanfaatannya dapat menggunakan pompa atau alat lainnya, dan
lokasi tempat Pengembangan Long Storage dilengkapi surat pernyataan tidak ada
ganti rugi lahan oleh kelompok penerima manfaat dan sebaiknya dilengkapi surat ijin
dari instansi yang berwenang.
Mekanisme pelaksanaan kegiatan pengembangan embung pertanian
melibatkan partisipasi Poktan, Gapoktan, atau P3A setempat, mulai dari persiapan,
perencanaan, pelaksanaan kontruksi, dan pemeliharaan, yang dibimbing oleh
petugas Dinas Pertanian dan instansi terkait. Tahapan kegiatan yang melibatkan
peran serta masyarakat penerima bantuan dapat diuraikan sebagai berikut: (1).
78
Survei, Investigasi dan Desain (SID), (2). Penyusunan Rencana Usulan Kegiatan
(RUK), dan (3) pelaksanaan konstruksi, sesuai dengan spesifikasi untuk embung,
dam parit, dan long storage.
c. Kinerja pengembangan jaringan irigasi tersier dan pemanenan air
Perkembangan luas lahan sawah yang telah dilakukan rehabilitasi jaringan
irigasi tersiernya di Provinsi Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Riau selama periode
tahun 2010-2015 dapat dilihat pada Tabel 4.9. Di Jawa Barat terlihat bahwa trend
luas lahan sawah yang telah mengalami rehabilitasi jaringan tersiernya cenderung
meningkat dari tahun ke tahun, yaitu dari 8.240 ha pada tahun 2010, menjadi
268.358 ha pada tahun 2015. Walaupun demikian, terlihat bahwa luas areal sawah
yang jaringan irigasi tersiernya telah direhabilitasi setiap tahunnya tidak selalu
meningkat, tetapi ada masa-masa yang luas lahan yang telah direhabilitasi menurun,
yaitu dari periode tahun 2013-2014, tetapi setelah itu pada tahun 2015 areal sawah
yang luas lahannya telah direhabilitasi meningkat kembali. Secara kumulatif luas
areal sawah di Jawa Barat yang telah direhabilitasi jaringan irigasi tersiernya selama
periode tahun 2010-2015 adalah 451.826 ha.
Di Jawa Tengah selama periode tahun 2010-2015 terlihat bahwa trend luas
lahan sawah yang telah mengalami rehabilitasi jaringan tersiernya cenderung
meningkat dari tahun ke tahun, yaitu dari 12.940,00 ha pada tahun 2010 menjadi
172.100,00 ha pada tahun 2015. Seperti pola rehabilitasi jaringn irigasi tersier di
Jawa Barat, luas areal lahan sawah yang telah direhabilitasi jaringan irigasi tersiernya
di Jawa Tengah cenderung meningkat pada periode tahun 2010-2012, kemudian
menurun pada tahun 2013-2014, tetapi naik kembali pada tahun 2015. Secara
kumulatif luas areal sawah di Jawa Tengah yang telah direhabilitasi jaringan irigasi
tersiernya selama periode tahun 2010-2015 adalah 413.317,00 ha.
Perkembangan luas lahan sawah yang telah dilakukan rehabilitasi jaringan
irigasi tersiernya di Riau selama periode tahun 2010-2015 cenderung meningkat dari
tahun ke tahun, yaitu dari 944,00 ha pada tahun 2010 menjadi 11.048,00 ha pada
tahun 2015. Seperti pola rehabilitasi jaringan irigasi tersiernya di Jawa Barat dan di
79
Jawa Tengah, luas areal lahan sawah yang telah direhabilitasi jaringan irigasi
tersiernya di Riau cenderung meningkat pada periode tahun 2010-2012, kemudian
menurun pada tahun 2013-2014, tetapi naik kembali pada tahun 2015. Secara
kumulatif luas areal sawah di Riau yang telah direhabilitasi jaringan irigasi tersiernya
selama periode tahun 2010-2015 adalah 33.872,00 ha.
Perkembangan luas lahan sawah yang telah dilakukan rehabilitasi jaringan
irigasi tersiernya secara nasional selama periode tahun 2010-2015 juga disajikan
dalam Tabel 4.9. Terlihat bahwa trend luas lahan sawah yang telah mengalami
rehabilitasi jaringan irigasi tersiernya cenderung meningkat dari tahun ke tahun, yaitu
dari 102.298 ha pada tahun 2010 menjadi 2.458.471ha pada tahun 2015. Seperti
pola rehabilitasi jaringan irigasi tersier di Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Riau, luas
areal lahan sawah yang telah direhabilitasi jaringan irigasi tersiernya secara nasional
cenderung meningkat pada periode tahun 2010-2012, kemudian menurun pada
tahun 2013-2014, tetapi naik kembali pada tahun 2015. Secara kumulatif luas areal
sawah di tingkat nasional yang telah direhabilitasi jaringan tersiernya selama periode
tahun 2010-2015 adalah 4.237.746 ha.
Menurut Pusdatin (2016) luas lahan sawah irigasi di Indonesia adalah
4.751.091 ha. Jika pada periode tahun 2010-2105 luas kumulatif lahan sawah yang
telah direhabilitasi jaringan irigasi tersiernya adalah 4.237.746 ha, berarti capaian
luas lahan sawah irigasi yang telah direhabilitasi jaringan tersiernya cukup tinggi,
yaitu sekitar 89,20 persen.
Tabel 4.9. Pengembangan jaringan irigasi di Provinsi Jawa Barat, Jawa Tengah, dan
Riau, dan Indonesia 2011 – 2015
Provinsi Tahun (ha)
2010 2011 2012 2013 2014 2015
Jawa Barat 8,240 14,723 65,755 55,250 39,500 268,358
Jawa Tengah 12,940 25,125 73,700 62,802 66,650 172,100
Riau 944 3,180 10,500 2,400 5,800 11,048
Indonesia 102,298 212,126 531,128 489,888 443,836 2,458,471
Sumber: Direktorat Jenderal Prasarana dan Sarana Pertanian (2015 dan 2016).
80
Menurut Laporan Akuntabilitas Kinerja Anggaran Tahun 2016 (Direktorat
Irigasi Pertanian, 2017a) dari pengukuran empat 4 indikator kinerja dapat
disimpulkan bahwa indikator jumlah luas areal sawah yang jaringan irigasinya
direhabilitasi atau ditingkatkan fungsinya pada tahun 2016 telah mencapai 442.015
ha, dari target seluas 454.253 ha (97,36%). Dengan demikian kegiatan RJIT ini
dapat termasuk dalam kategori berhasil.
Perkembangan kegiatan pembuatan embung di Provinsi Jawa Barat, Jawa
Tengah, dan Riau disajikan dalam Tabel 4.10. Di Jawa Barat terlihat bahwa ada
kecenderungan peningkatan jumlah embung yang dibangun dari tahun ke tahun,
yaitu dari 8 unit pada tahun 2010 menjadi 54 unit pada tahun 2015. Selama periode
tahun 2010-2015, jumlah embung yang telah dibangun di Jawa Barat terbanyak yaitu
408 pada tahun 2014. Jumlah embung yang tersedikit pernah dibangun adalah 8 unit
pada tahun 2010. Secara kumulatif, selama periode tahun 2010-2015 telah dibangun
sejumlah 709 unit embung di Jawa Barat.
Perkembangan pembuatan embung di Jawa Tengah menunjukkan jumlah
embung yang dibangun cenderung meningkat, yaitu dari 48 unit pada tahun 2010
menjadi 61 unit pada tahun 2015. Selama periode tahun 2010-2015, jumlah embung
yang telah dibangun terbanyak yaitu 336 pada tahun 2014. Jumlah embung yang
tersedikit pernah dibangun adalah 15 unit pada tahun 2013. Secara kumulatif,
selama periode tahun 2010-2015 di JawaTengah telah dibangun sejumlah 864 unit
embung.
Tabel 4.10. Jumlah embung di Provinsi di Provinsi Jawa barat, Jawa Tengah, dan
Riau, dan Indonesia 2011 – 2015
Provinsi Tahun (paket)
2010 2011 2012 2013 2014 2015
Jawa Barat 8 146 82 11 408 54
Jawa Tengah 48 273 131 15 336 61
Riau 2 32 75 18 48 5
Indonesia 240 3140 1553 415 9504 318 Sumber: Direktorat Jenderal Prasarana dan Sarana Pertanian (2015 dan 2016).
81
Jumlah embung yang dibangun dari tahun ke tahun di Riau cenderung
meningkat, yaitu dari 2 unit pada tahun 2010 menjadi 5 unit pada tahun 2015.
Selama periode tahun 2010-2015, jumlah embung yang terbanyak telah dibangun
yaitu 75 pada tahun 2014. Jumlah embung yang tersedikit pernah dibangun adalah 2
unit pada tahun 2010. Secara kumulatif, selama periode tahun 2010-2015 di Riau
telah dibangun sejumlah 180 unit embung.
Sementara itu, seperti disajikan dalam Tabel 4.10., jumlah embung yang
dibangun dari tahun ke tahun di Indonesia cenderung meningkat, yaitu dari 240 unit
pada tahun 2010 menjadi 318 unit pada tahun 2015. Selama periode tahun 2010-
2015, jumlah embung terbanyak yang telah dibangun yaitu 9.504 pada tahun 2014.
Jumlah embung tersedikit yang pernah dibangun adalah 240 unit pada tahun 2010.
Secara kumulatif, selama periode tahun 2010-2015 di Indonesia telah dibangun
sejumlah 15.170 unit embung.
Menurut Laporan Akuntabilitas Kinerja AnggaranTahun 2016 (Direktorat Irigasi
Pertanian, 2017a) pada TA 2016 tercapai jumlah bangunan konservasi air yang
dibangun dalam rangka antisipasi perubahan iklim melalui kegiatan Pengembangan
Embung/Dam Parit/Long Storage di 32 Provinsi dan 253 Kabupaten sebanyak 1.860
unit senilai Rp 186 miliar, atau 99.52% dari target 1.869 unit senilai Rp 186,9 miliar.
Berdasarkan kriteria pengukuran keberhasilan pencapaian sasaran, capaian ini
termasuk dalam kategori berhasil.
d. Hambatan dan kendala pengembangan jaringan irigasi dan panen air
Pelaksanaan kegiatan pembangunan prasarana dan sarana pertanian selama
ini masih mengalami hambatan/kendala, sehingga pencapaian target sasaran
strategis belum 100% tercapai. Dalam rangka meningkatkan kinerja di tahun
mendatang, maka perlu diketahui faktor yang menjadi hambatan dan kendala yang
dihadapi dalam pelaksanaan kegiatan tahun 2016 agar dapat disempurnakan untuk
kegiatan TA. 2017. Adapun kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan kegiatan
tersebut antara lain ialah (Direktorat Irigasi Pertanian, 2017a):
(1). Kendala Administrasi
82
a. Terjadinya perubahan struktur organisasi baik di Pusat maupun di beberapa
satker daerah pelaksana kegiatan sehingga terjadi perubahan pejabat pelaksana
kegiatan seperti Kuasa Pengguna Anggaran (KPA), Pejabat Pembuat Komitmen
(PPK) dan Bendahara yang menyebabkan kegiatan tidak dapat segera
dilaksanakan.
b. Adanya perubahan akun sesuai PMK 168/2015 dari Bantuan Sosial menjadi
Bantuan Pemerintah. Dalam bantuan Pemerintah kelompok penerima bantuan
diharuskan membentuk Unit Pengelola Keuangan dan Kegiatan (UPKK), sehingga
memerlukan waktu pemahaman dan dokumentasi UPKK.
c. Pencairan Bantuan Pemerintah dilakukan secara bertahap. Tahap I sebesar 70%
dan Tahap II sebesar 30% setelah prestasi pekerjaan mencapai 50%.
d. Kebijakan anggaran nasional yang mengharuskan adanya penghematan
anggaran di tahun berjalan, sehingga mengakibatkan adanya revisi DIPA/POK,
relokasi kegiatan, keterlambatan pencairan dan tunda bayar/luncuran pada TA
2017.
(2). Kendala Teknis
a. Masih terbatasnya basis data sistem pengelolaan dan pemanfaatan air sebagai
dasar penentuan lokasi pengembangan irigasi pertanian.
b. Keterbatasan petugas pelaksana kegiatan, secara kuantitas maupun kualitas
pada tingkat kabupaten dan provinsi.
c. Adanya pengaruh faktor alam (iklim) yang mempengaruhi tahap pelaksanaan
kegiatan konstruksi sehingga penyelesaian kegiatan terlambat.
d. Adanya realokasi kegiatan antar provinsi dan kabupaten.
e. Beberapa RJIT yang telah dilakukan belum bisa dimanfaatkan secara baik,
karena: (i) RJIT yang dibangun belum ada saluran primer dan sekundernya, (ii)
Terjadi perbedaan awal kegiatan antara program RJIT oleh Kementan dan
pembangunan saluran primer dan sekunder oleh Kemen-PUPR. Sebagai contoh,
pada lokasi yang sama, RJIT dilaksanakan melalui program Kementan pada TA
2015, sementara pembangunan saluran primer dan sekunder dilaksanakan
melalui program Kemen PUPR untuk TA 2016 (PSEKP, 2015).
83
f. Di beberapa lokasi terjadi peningkatan harga bahan/material (pasir, batu kali
dan upah tenaga kerja) yang menyebabkan terjadinya perbedaan harga yang
tertera pada DIPA dengan harga aktual pada saat realisasi sehingga
mempengaruhi kualitas bangunan (PSEKP, 2015).
g. Ada Kelompok Tani (KT) yang sebenarnya sangat memerlukan embung atau
long storage untuk mengatasi permasalahan air (kebanjiran dan kekeringan).
Namun kebutuhan petani akan embung atau long storage ini tidak dapat
diwujudkan, karena KT tidak memiliki/tidak ada lahan yang dapat dihibahkan,
sementara untuk pembangunan prasarana ini pemerintah tidak menyediakan
biaya untuk ganti rugi lahan (kasus Kabupaten Indramayu, Jawa Barat).
e. Tindak lanjut pengembangan jaringan irigasi dan embung
Pembangunan dan perbaikan jaringan irigasi berdampak terhadap peningkatan
IP dan produktivitas, serta produksi padi (Kementan 2016). Namun demikian, masih
terdapat saluran irigasi yang rusak yang belum mendapat kesempatan direhabilitasi.
Oleh karena itu, masih ada peluang untuk meningkatkan luas tanam/panen melalui
perbaikan saluran irigasi untuk meningkatkan IP (Kasus Kabupaten Indramayu, Jawa
Barat).
Pembangunan Jitut telah memberi dampak pada: (1) Membaiknya saluran air
irigasi, (2) semakin kuatnya tanggul saluran irigasi, (3) berkurangnya kebutuhan
tenaga kerja untuk mengurus air irigasi, dan(4) berkurangnya beban biaya untuk
mendapatkan air irigasi bagi petani anggota yang letak lahannya paling jauh dari
saluran irigasi (Kasus Kabupaten Indramayu, Jawa Barat). Pembanguanan jitut, jides,
long storage, dan dam parit dapat meringankan permasalahan utama yang dihadapi
oleh sebagian besar petani dalam peningkatan produksi pertanian pangan, yaitu
masalah pengairan (Kasus Kab. Indramayu, Jawa Barat).
Namun demikian, meningkatnya IP, terutama untuk IP padi mempunyai
potensi untuk meningkatnya risiko serangan hama dan penyakit tanaman, terutama
pada tanaman padi di musim kemarau ke dua (MKII) (Kasus Kab. Indramayu, Jawa
Barat). Selain itu, adanya sebagian dari anggota KT yang tidak atau kurang akses
84
terhadap manfaat dari kegiatan RJIT mempunyai potensi untuk terjadinya
kecemburuan sosial dalam tubuh kelompok itu sendiri (Kasus Kab. Indramayu, Jawa
Barat).
Untuk mengatasi berbagai permasalahan yang muncul dari kegaitan ini
diperlukan upaya tindak lanjut dan tindakan antisipatif ke depan sebagai berikut
(Direktorat Irigasi Pertanian, 2017a):
(1). Aspek Administratif
a. Percepatan pelaksanaan kegiatan dengan koordinasi, sosialisasi dan
pembinaan yang lebih intensif.
b. Meningkatkan koordinasi lintas sektoral untuk sinergitas pelaksanaan
kegiatan.
c. Meningkatkan sistim monitoring dengan instrument yang lebih sesuai untuk
pendataan sesuai kebutuhan.
d. Koordinasi dengan Pemda untuk melakukan percepatan penerbitan peraturan
bupati/walikota.
e. Mengoptimalkan sistem pengendalian untuk dapat mengidentifikasi
permasalahan dan solusinya sejak dini.
(2). Aspek Teknis
a. Melakukan koordinasi lintas kementerian (Kemenko Bidang Perekonomian,
Bappenas, Kemen PUPR, Pemda, dan Kementan) untuk mensinergikan
perencanaan pengelolaan irigasi dalam mendukung swasembada pangan.
b. Meningkatkan pembinaan untuk pelaksanaan kegiatan teknis sesuai pedoman
yang telah ditentukan dan RUKK yang telah dibuat. Apabila ada perubahan,
agar dapat segera merevisi RUKK.
c. Meningkatkan persiapan antisipatif terhadap pengaruh iklim dalam
pelaksanaan kegiatan, dengan mengatur rencana pelaksanaan seefektif
mungkin.
d. Dalam pembinaan ke daerah menekankan agar identifikasi calon petani dan
calon lokasi dapat dilakukan pada tahun sebelumnya sehingga proses
penyelesaian administrasi kegiatan dapat dipercepat.
85
e. Meningkatkan peran swadaya masyarakat untuk menutup kekurangan satuan
biaya dengan adanya kenaikan harga, melaui kegiatan gotong royong/kerja
bakti dan atau program padat karya (PSEKP, 2015).
f. Kesulitan dalam memperoleh lahan untuk pembangunan embung perlu
diupayakan pemecahannya dengan melibatkan para pemangku kepentingan
terkait, yaitu Pemerintah, Pemerintah Daerah, Pemerintahan Desa, petani
calon pengguna, dan pemangku kepentingan lainnya.
4.6. Kegiatan Pendampingan Upaya Peningkatan Produksi Pangan Pokok
a. Pendampingan oleh Babinsa
Penyuluh sesuai dengan tugas dan fungsinya bertanggung jawab dalam
mengkoordinasikan kegiatan penyuluhan di wilayah kerjanya yang dalam
pelaksanaannya dibantu oleh babinsa yang merupakan unsur TNI-AD terutama dalam
pelaksanaan gerakan serentak, pengawalan, dan pengamanan. Komponen
mahasiswa bertugas membantu melakukan pendampingan terutama dalam rangka
penerapan teknologi dan inovasi peningkatan produksi pajale. Pengawalan program
upsus oleh mahasiwa hanya dilaksanakan pada tahun 2015, sedangkan pengawalan
oleh TNI dilakukan selama tiga tahun (2015-2017) sesuai dalam nota kesepahaman.
Secara terinci sesuai pedoman pengawalan, tugas dari penyuluh dan babinsa dapat
dilihat dalam Tabel 4.11.
86
Tabel 4.11. Tugas pengawalan dan pendampingan penyuluh dan babinsa dalam
upaya peningkatan produksi pajale.
No. Tugas Penyuluh Tugas Babinsa
1 Melaksanakan pengawalan dan pendampingan pelaksanaan GPPTT, percepatan optimasi lahan (POL), rehabilitasi jaringan irigasi tersier (RJIT), penambahan areal tanam (PAT) dan demfarm.
Menggerakkan dan memotivasi petani untuk melaksanakan tanam serentak,perbaikan dan pemeliharaan jaringan irigasi, dan Gerakan Pengendalian OPT dan Panen.
2 Meningkatkan kemampuan kelembagaan petani (Poktan,Gapoktan, P3A dan GP3A) dan kelembagaan ekonomi petani.
Melaksanakan dukungan dalam keadaan tertentu untuk penyaluran benih, pupuk dan alsintan, serta infrastruktur jaringan irigasi.
3 Mengembangkan jejaring dan kemitraan dengan pelaku usaha.
Melaksanakan pengawasan terhadap pemberkasan administrasi dan penyaluran bantuan kepada penerima manfaat.
4 Melakukan identifikasi, pendataan dan pelaporan teknis pelaksanaan kegiatan.
Melaksanakan pengawasan terhadap kegiatan identifikasi, pendataan dan pelaporan teknis pelaksanaan kegiatan.
Sumber: Pedoman Pengawalan dan Pendampingan Terpadu Penyuluh, Mahasiswa, dan Babinsa, 2015
Dalam perkembangannya, tugas TNI semakin bertambah, tidak hanya terlibat
di sektor hulu dalam kegiatan pra panen (pengawalan penyaluran benih, pupuk, dan
alsintan, perbaikan jaringan irigasi, cetak sawah, pengendalian OPT, dan lainnya)
namun juga terlibat di kegiatan pasca panen yaitu membantu mengoptimalkan
serapan gabah/beras petani yang dikenal dengan istilah sergab (serap gabah) yang
dilaksanakan oleh Perum Bulog. Pelaksanaan di lapangan, TNI terlibat hampir di
semua kegiatan peningkatan produksi pajale secara langsung maupun tidak
langsung, menghadiri rapat/pertemuan, membantu dalam menyiapkan acara-acara
seremonial seperti tanam serentak dan panen.
Berdasarkan tugas yang diuraikan dalam Tabel 4.11, tugas masing-masing
aparat dalam melakukan pendampingan sangat jelas, tidak tumpang tindih namun
bersifat komplementer (saling melengkapi). Demikian pula tata hubungan kerja antar
instansi secara berjenjang juga jelas. Yang menjadi faktor penting dan dibutuhkan
adalah kedua pihak yang bertugas saling koordinasi untuk memudahkan pelaksanaan
tugas. Pada saat dilaksanakan Anjak, harapan tersebut telah terbangun. Sinergi
87
antara penyuluh dan babinsa dalam pendampingan serta pengawalan kegiatan Upsus
Pajale sudah berjalan baik. Memang diperoleh juga informasi bahwa pada awal
kegiatan Upsus ini, terjadi kekakuan, saling menunggu, atau saling mendahului
dalam pelaksanaan tugas tersebut di tingkat lapangan.
Hasil FGD di provinsi, kabupaten, dan desa contoh secara umum
menyimpulkan bahwa keterlibatan TNI adalah dalam kegiatan Upsus Pajale
memberikan dampak positip. Petani merasa aman dengan pengawalan dari jajaran
TNI-AD saat menerima dan mendistribusikan bantuan sarana dan prasarana
pertanian kepada petani, tidak ada lagi gangguan dari oknum perorangan atau
organisasi masyarakat setempat dalam pelaksanaan aktivitas tersebut.
Di lapangan, penyuluh pertanian dan babinsa berkoordinasi dan bersinergi
dalam melaksanakan pendampingan kepada petani dan menggerakkan para petani
untuk pelaksanaan kegiatan di lapangan. Kehadiran babinsa di lapangan juga dinilai
positif, interkasi intensif antar penyuluh dan babinsa memberikan proses
pembelajaran bagi penyuluh dan dapat mencontoh kedisiplinan babinsa dakam
bekerja atau melaksanakan tugas.
Kejadian yang dinilai kurang tepat bagi masyarakat atas keterlibatan TNI-AD
terkait dengan pencapaian target serap gabah. Pada awal pelaksanaan sergab,
personil TNI-AD kadangkala agak memaksa petani, pemilik RMU, atau pedagang
beras di desa agar menjual beras ke Bulog. Permasalahannya Bulog membeli gabah
atau beras tersebut dengan harga di bawah harga pasar, sesuai pengaturan dalam
Inpres. Selain itu, menjual gabah dan beras ke Bulog dinilai mereka administrasinya
lebih rumit dari pada menjual ke pasar. Namun demikian, sikap TNI-AD terhadap
kegiatan sergab ini pada saat Anjak dilaksanakan sudah berubah. TNI menyatakan
memperhatikan kesejahteraan petani, sehingga bila petani dapat memperoleh harga
yang lebih tinggi di pasar dari pada dijual ke Bulog, mereka tidak memaksanya untuk
menjual ke Bulog. Kepada para petani, pedagang di desa, atau pemilik RMU yang
dilakukan adalah himbauan dengan mengingatkan bantuan Pemerintah untuk
peningkatan produksi padi yang diterima petani telah cukup banyak, bila sebagian
disisihkan untuk dijual ke Bulog akan sangat diapresiasi.
88
Keberlanjutan keterlibatan TNI-AD berdasarkan Nota Kesepahaman antara
Menteri Pertanian dengan KASAD seperti diterangkan di atas dijadwalkan berlaku tiga
tahun, selama 2015-2017. Bagaimana keberlanjutan dari Nota Kesepahaman
tersebut?.
Pemikiran keberlanjutan keterlibatan TNI dalam pendampingan produksi
tanaman pangan sebagai berikut. Pangan merupakan kebutuhan pokok manusia
sehingga upaya pemenuhan kebutuhan pangan merupakan keharusan bagi
Pemerintah, tidak hanya untuk meningkatkan kualitas SDM Indonesia namun juga
sebagai upaya menjaga kedaulatan negara. Mewujudkan ketahanan pangan melalui
kemandirian pangan dan kedaulatan pangan oleh Pemerintah menjadi keharusan.
Selain itu, beras merupakan komoditas sosial, ekonomi dan politik yang sangat
strategis, sehingga kekurangan penyediaan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi
seluruh lapisan mayarakat atau terjadi lonjakan harga beras yang tajam akan
berpengaruh pada stabilitas ekonomi dan politik, yang akhirnya dapat mempengaruhi
ketidakstabilan negara.
Selama ini yang menjadi pendamping utama dalam peningkatan produksi
pangan adalah penyuluh pertanian. Namun saat ini kelembagaan penyuluhan
pertanian telah mengalami perubahan mendasar. UU Nomor 16 Tahun 2006 tentang
Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan menjadikan lembaga
penyuluhan pertanian di daerah menjadi power full dan berdiri sendiri. Di tingkat
provinsi dan kabupaten/kota, lembaga penyuluhan pertanian ada yang berbentuk
badan dan berdiri sendiri setingkat tara dengan eselon 2, atau bergabung dengan
unit kerja ketahanan pangan dan yang mengelola penyuluhan adalah bidang
setingkat eselon 3. (Salah satu bidang pada Badan Penyuluhan Pertanian dan
Ketahanan Pangan atau Badan Ketahanan Pangan dan Penyuluhan Pertanian). Ada
juga yang berdiri sendiri berupa unit kerja Kantor Penyuluhan Pertanian, setingkat
eselon 3.
Namun dengan hadirnya UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah
Daerah, yang secara eksplisit tidak menyebut satu kata pun tentang penyuluhan
pertanian, peran pengembangan pertanian masuk di dalam urusan kongkuren atau
89
sama-sama diemban oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi dan
Kabupaten/Kota. Dampak dari hal tersebut di setiap provinsi dan kabupaten/kota,
lembaga penyuluh pertanian yang dahulu berupa badan/kantor, sejak tahun 2017
bergabung dengan Dinas Pertanian Provinsi dan Kabupaten/Kota dengan keragaman
eselonisasi, berupa bidang (setara eselon 3) atau seksi (setara eselon 4). Perubahan
sangat terasa ditingkat kecamatan, yang dahulu Koordinator Penyuluh Pertanian
yang dikenal dengan nama Korluh sejajar eselonnya dengan kepala UPTP Pertanian
(Mantri Tani) dibawah Dinas Pertanian, dengan adanya UU tersebut kelembagaan
penyuluhan ini belum jelas, yang dapat membawa konsekuensi dalam penyediaan
fasilitas kerja dan anggaran untuk kegiatan penyuluhan pertaniandan dapat
mempengaruhi etos kerja penyuluh.
Berdasarkan beberapa fakta tersebut, dalam upaya untuk mendorong
peningkatan produksi pangan berkelanjutan, perlu ada penyesuaian dalam pola
pelibatan TNI-AD khususnya babinsa di lapangan.
b. Pelaporan luas tambah tanam
Salah satu tugas penanggung jawab Upsus provinsi dan kabupaten adalah
secara rutin setiap hari harus melaporkan atau mengirim data luas tambah tanam
untuk padi (LTT), luas tambah tanam untuk jagung (LTJ) dan luas tambah tanam
kedelai (LTK). Data tersebut secara berjenjang dikirim dari penanggung jawab
kabupaten ke penanggung jawab provinsi untuk data tingkat kabupaten dan provinsi.
Kemudian data tersebut oleh penanggung jawab provinsi dikirim ke Menteri
Pertanian, Ketua Tim Pelaksana Pokja Upsus, dan/atau ke Kepala Balitbangtan
melalui whatsapp (wa) baik dalam group atau pribadi.
Selain itu penanggung jawab provinsi dan kabupaten mengirim data harian
LTT, LTJ, LTK ke SMS center yang dikelola oleh Pusdatin. Pengiriman data LTT
harian ke SMS center untuk data kabupaten harus disajikan per kecematan,
sedangkan data tingkat provinsi disajikan per kabupaten. Namun dalam
perkembangannya tidak semua kabupaten dan provinsi mengirim data LTT harian
sesuai ketentuan tersebut. Data yang dikirim langsung total provinsi dan total
90
kabupaten, hal ini dikarenakan data yang disampaikan dari daerah hanya total
kabupaten dengan alasan untuk efisien. Tidak semua orang dapat mengirim data
tersebut karena nomer handphone yang digunakan diberikan dan didaftarkan ke
Pusdatin termasuk password-nya. Alur pelaporan data yang disusun oleh Pusdatin
seperti pada Gambar 4.2.
Gambar 4.2. Alur pelaporan data harian luas tambah tanam padi, jagung dan kedelai
Ke SMS Center
Beberapa permasalahan di lapangan terkait dengan upaya peningkatan luas
tambah tanam sebagai berikut:
1. Besaran sasaran atau target luas tambah tanam musim/bulanan yang disusun
oleh Kementerian Pertanian untuk provinsi berubah dan meningkat dibandingkan
target yang telah ditetapkan sebelumnya. Hal ini berdampak pada perubahan
target di tingkat kabupaten, dan kadang-kadang Dinas Pertanian Kabupaten
keberatan dengan penambahan target tersebut.
2. Evaluasi capaian luas tambah tanam dilakukan juga menurut bulanan dengan
membandingkan capaian bulan yang sama pada tahun sebelumnya. Padahal
karena faktor pergeseran musim berdampak pada pergeseran curah hujan antar
bulan.
3. Selama kegiatan Upsus pajale, penanggung jawab provinsi dan kabupaten harus
melaporkan capaian LTT, LTJ, LTK ke Kementan. Pada awalnya, pelaporan luas
tambah tanam tersebut secara mingguan setiap hari rabu, namun dalam
Alur Pelaporan Pokja UPSUS melalui SMS Center
Pokja Upsus
Kab/Kota
Petugas Server
SMS Harian LTT Padi
Menteri
Eselon 1
Laporanrutin
Format SMS:LTTProv kdprov angkalttLTTKab kdkab angkalttLTTkec kdkec angkaltt
0822 1010 33310822 1010 3332
Server SMS center Kemtan
SMS broadcastSMS tertentu
Ket: kdprov, kdkab dan kdkec mengacu kode standar BPS, kdprov: dua digit, kdkab: empat digit dan kdkec: tujuh digit
91
perkembangannya (pertengahan tahun 2016) pelaporan harus dilakukan secara
harian. Berkaitan dengan hal tersebut, untuk mempercepat penyampaian data, di
setiap kabupaten dan provinsi membangun group whatsapp untuk menampung
data harian tersebut. Data yang masuk whatsapp kabupaten disusun oleh
petugas Upsus kabupaten dan dikirim ke whatsapp provinsi. Sekretariat
penanggung jawab Upsus provinsi menyusun kembali data luas tambah tanam
tersebut sesuai format yang telah ditetapkan. Penanggung jawab upsus provinsi
mengirim data tersebut ke ketua Pokja Upsus dan Menteri Pertanian.
Peningkatan luas tambah tanam dipengaruhi oleh banyak faktor terutama
ketersediaan air dan kebiasaan usahatani yang dilakukan petani. Ketersediaan air
sangat dipengaruhi oleh pola dan intensitas curah hujan karena pada wilayah
tertentu tidak ada sumber air selain curah hujan. Tidak ada bangunan irigasi bahkan
juga tidak dapat dilakukan pompanisasi. Kasus seperti di Provinsi Riau, sumber
pendapatan utama petani adalah hasil dari perkebunan (kelapa sawit, karet)
sedangkan tanam padi hanya untuk memenuhi kebutuhan konsumsi, tidak
diperjualbelikan. Kondisi lahan untuk tanaman padi adalah lahan rawa dengan
teknologi yang masih sederhana (pengolahan lahan dengan membakar dan saat ini
dilarang oleh pemerintah.
92
BAB V. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI KEBIJAKAN
1. Peningkatan produksi pangan pokok, khususnya padi, jagung, dan kedelai
(pajale), merupakan salah satu kebijakan pangan nasional yang strategis guna
mencapai kedaulatan, kemandirian dan ketahanan pangan. Upsus pajale
merupakan kebijakan operasional yang memiliki sasaran untuk mencapai
swasembada berkelanjutan padi dan jagung, dan swasembada kedelai.
Keberhasilan pencapaian sasaran Upsus pajale dalam peningkatan produksi
dimulai dari tepatnya disain atau rencana masing-masing komponen kegiatan
dan implementasinya. Dalam disain komponen kegiatan Upsus pajale sudah
dirancang upaya peningkatan produksi pangan melalui peningkatan luas
tanam/panen dan produktivitas. Namun demikian, dalam implementasinya
terkesan kesibukan utama di lapangan adalah terkait upaya perluasan tanam
yaitu melalui pelaporan LTT dan pelibatan TNI dalam pengawalan tanam
serempak dan cetak sawah, dan masih kurang seimbang pada upaya
peningkatan produktivitas. Sehubungan dengan itu, kegiatan di lapangan
produksi pajale secara utuh dan komprehensif serta yang digaungkan/gaung
yang tercipta di masyarakat tidak terkesan hanya pada LTT. Untuk itu, pada
saat yang bersamaan direkomendasikan kegiatan di lapangan perlu juga ada
penekanan pada upaya peningkatan produktivitas, antara lain dengan:
a. Memberikan perhatian pada distribusi pupuk bersubsidi sampai ke tingkat
pengecer dan/atau Poktan benar-benar memenuhi kaidah ‘6 tepat’, dengan
arah kebijakan mendorong petani untuk melakukan pemupukan berimbang,
menggunakan pupuk majemuk dan organik dengan proporsi yang cukup.
b. Sebaiknya skema pupuk bersubsidi diberlakukan kepada seluruh program
dan kegiatan peningkatan produksi pajale, sehingga hanya ada satu skema
penyaluran dan penyediaan pupuk bagi petani. Apabila ada kegiatan atau
upaya rintisan dan diperlukan percontohan secara tuntas sampai proses
produksi, direkomendasikan pemberian bantuan sarana produksinya (benih,
93
pupuk, pestidsida) berupa paket lengkap. Sumbangan/partisipasi petani
diperhitungkan atau diarahkan dalam bentuk jasa tenaga kerja. Dengan
demikian, petani dapat melihat dan membuktikan secara langsung bahwa
pada lahan percontohan dengan penerapan inovasi teknologi secara baik
mampu memberikan hasil yang tinggi.
c. Peningkatan kemampuan petani dalam penerapan teknologi produksi
direkomendasikan dengan penerapan kembali SLPTT atau GP-PTT sebagai
pendekatan pendampingan usahatani.
d. Berdasarkan pembelajaran dari Propinsi Riau, direkomendasikan
pengembangan usahatani pangan sebaiknya disesuaikan dengan potensi
wilayah, agroekosistem, dan budaya bertani setempat. Pada daerah yang
memiliki comparative advantage (keunggulan komparatif) untuk usaha
perkebunan, sebaiknya tidak menjadi wilayah pengembangan utama
usahatani pangan untuk menggantikan tanaman perkebunan, tapi lebih
kepada peningkatan IP dan pemanfaatan lahan yang selama ini belum
termanfaatkan.
2. Penyaluran benih pajale di lapangan memperlihatkan banyak masalah. Prinsip
enam tepat penyediaan benih bagi petani belum dipenuhi, terutama tepat
waktu penyediaan, tepat jenis yang diminati petani, dan tepat mutu benih.
Alternatif kebijakan penyediaan benih yang 6 tepat adalah dengan
mengintensifkan pembinaan dan pemberdayaan penangkar benih petani dan
Poktan dengan disain kegiatan nenggunakan konsep Desa Mandiri Benih (DMB).
3. Pada saat ini organisasi/kelembagaan pertanian di daerah sedang berproses
mengalami perubahan sesuai UU Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan
Daerah dan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 18 Tahun 2016 tentang
Perangkat Daerah. Salah satu dampaknya adalah eksistensi keberadaan
kelembagaan penyuluhan di daerah (juga keberadaan penyuluh). Kondisi
ketidakpastian ini dapat berpengaruh pada kinerja aparat pertanian, termasuk
pelaporan LTT. Mengingat penyuluh dan penyuluhan merupakan ujung tombak
94
dari upaya peningkatan produksi pangan di lapangan, termasuk kegiatan Upsus
pajale, disarankan Kementan untuk melakukan:
a. Evaluasi menyeluruh mengenai kegiatan penyuluh dan penyuluhan di
daerah.
b. Langkah proaktif untuk mencarikan solusi yang dapat merumuskan
kelembagaan penyuluhan dan pembinaan penyuluh di daerah.
4. Untuk meningkatkan kualitas pembangunan prasarana irigasi, pemanenan air,
dan cetak sawah, disarankan beberapa hal sebagai berikut:
a. Melakukan koordinasi lintas K/L guna mensinergikan perencanaan
pengelolaan irigasi.
b. Melakukan koordinasi dengan Pemda untuk menjadikan pembangunan
jaringan irigasi dan embung sebagai salah satu priorotas daerah, termasuk
dalam penyediaan lahan.
c. Penerapan yang konsisten di lapangan berbagai pedum kegiatan
pengembangan irigasi, pemanenan air, dan cetak sawah.
d. Meningkatkan peran swadaya masyarakat untuk menutup kekurangan
biaya dengan adanya kenaikan harga atau peningkatan volume pekerjaan,
melaui kegiatan gotong royong/ kerja bakti dan/atau program padat karya.
e. Terdapat Poktan atau Gapoktan yang memerlukan prasarana pemanenan
air (embung, long storage) untuk menjamin ketersediaan air sehingga
dapat menanam 2 kali satu tahun, namun tidak memiliki lahan untuk
dihibahkan atau tidak memiliki dana untuk membeli lahan bagi keperluan
tersebut. Kepada kelompok masyarakat petani ini perlu dicarikan jalan
keluar untuk pengadaan lahan, salah satunya dengan sistem matching
fund antar Poktan dengan Pemda dan/atau Pemerintah pusat (Kementan).
Alternatif lainnya adalah adanya kebijakan insentif untuk menumbuhkan
usaha jasa penyediaan air irgasi (pemanenan air).
5. Dalam kegiatan serap gabah (sergap), pendekatan TNI-AD dalam kegiatan yang
mengedepankan kesejahteraan petani sudah tepat, sehingga apabila harga jual
95
gabah/beras di Bulog secara signifikan lebih rendah dari di pasar, TNI-AD tidak
memaksa petani, pedagang desa, dan penggilingan padi untuk menjual
gabah/beras ke Bulog. Namun untuk memenuhi target sergab, TNI-AD dapat
melakukan pendekatan dengan menggunakan soft skill dengan cara menggugah
hati nurani petani agar mau menjual sebagian gabah ke BULOG dengan harga
HPP plus, sebagai jasa baik atas berbagai bantuan yang dinikmati petani.
6. Peran TNI-AD termasuk aktivitas Babinsa di lapangan berdampak positif pada
pencapaian sasaran peningkatan produksi pangan. Kehadiran Babinsa di
lapangan dinilai positif dalam melancarkan kegiatan Upsus pajale, sinergi antara
penyuluh dan Babinsa sudah terjalin, dan Babinsa berpengaruh positif dalam
meningkatkan etos kerja penyuluh pertanian. Sehubungan dengan itu,
keberlanjutan kerja sama Kementan dengan TNI-AD setelah 2017 (Nota
Kesepahaman menyatakan kerja sama selama 2015-2017) direkomendasikan
sebagai berikut.
a. Sambil memantapkan posisi kelembagaan penyuluhan dan membangun
kekuatan SDM penyuluh yang optimun (kuantitas dan kualitas) di seluruh
daerah pertanian (kabupaten/kota sampai kecamatan dan desa) pelibatan
Babinsa dalam 2-3 tahun ke depan untuk bekerja bersinerji dengan
penyuluh melakukan pendampingan dan pengawalan pelaksanaan kegiatan
Upsus pajale masih dapat diteruskan.
b. Dalam kaitannya dengan butir (a) perlu ditegaskan peran Babinsa sebagai
(i) katalisator agar kegiatan penyuluh dan penyuluhan lebih efektif dan
efisien, dan (ii) pengawalan kegiatan agar tidak terjadi gangguan dalam
pelaksanaan Upsus, seperti kegiatan distribusi sarana dan prasarana
pertanian kepada petani/Poktan.
c. Apabila kelembagaan dan sistem penyuluhan pertanian sudah tertata rapi
dan berfungsi baik, peran pendampingan TNI-AD secara intensif tidak
diperlukan lagi. Namun demikian, peran Babinsa sebagai pembina di desa
tetap diperlukan (on call basis) untuk menjamin kelancaran pelaksanaan
96
program pertanian, termasuk dalam mengatasi hambatan khusus di
lapangan.
7. Anjak di tiga lokasi kajian provinsi (Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Riau)
menunjukkan bahwa secara umum keragaan pengelolaan dan pemanfaatan
bantuan alsintan yang disediakan oleh Pemerintah cukup baik. Untuk peralatan
yang cocok dengan kebutuhan dan agroekosistem setempat, bantuan alsintan
tersebut diapresiasi manfaatnya oleh petani dapat menurunkan biaya produksi
(mengolah lahan, tanam, panen), meningkatkan produksi, dan mengatasi
masalah kelangkaan tenaga kerja. Untuk sebagian jenis alsintan lainnya seperti
rice transplanter dan combine harvester penggunaannya tidak optimal karena
alat tersebut tidak sesuai kebutuhan petani, tidak ada tenaga operator terampil,
dan/atau di daerah padat tenaga kerja seperti di salah satu Poktan di Sukabumi
terjadi labour displacement. Dalam upaya meningkatkan kinerja pengalokasian
dan pemanfaatan bantuan alsintan untuk mendukung program peningkatan
produksi pangan ke depan, maka dalam pengalokasian alsintan sebaiknya
mempertimbangkan beberapa aspek berikut:
a. Kesesuaian agroekologi dan kondisi spesifik lokasi, sehingga secara teknis
alsintan tersebut bisa dioperasikan dan dimanfaatkan secara baik,
b. tingkat kejenuhan alsintan untuk menghindari terjadi idle capacity atau
menghindari terjadi penumpukan alsintan di suatu lokasi, dan sebaliknya di
lokasi lain terjadi kekurangan alsintan,
c. tingkat ketersediaan tenaga kerja, dimana pengalokasian alsintan
diprioritaskan untuk daerah-daerah yang kekurangan tenaga kerja untuk
menghindari “penggantian secara paksa” tenaga kerja dengan alsintan
sehingga menyebabkan munculnya pengangguran baru,
d. ada kelembagaan Poktan, Gapoktan, atau UPJA yang diharapkan akan
mampu mengelola bantuan alsintan secara professional, dan
97
e. pemberian alsintan juga dapat diproritaskan pada lokasi cetak sawah yang
dapat dijadikan sebagai wahana untuk mempromosikan pengembangan dan
penerapan pertanian modern.
8. Pada aspek pengelolaan alsintan, beberapa hal yang perlu diperhatikan adalah
sebagi berikut:
a. Mengevaluasi pemanfaatan alsintan yang telah didistribusikan ke Poktan,
Gapoktan, UPJA, dan Brigade untuk mengetahui efektivitas dalam
pemanfaatannya, untuk mendapatkan lesson learned yang komprehensif.
b. Bantuan alsitan harus dikelola secara profesional sebagai usaha komersial
dan menguntungkan sehingga dapat berkembang sebagai modal usaha
(UPJA). Untuk itu, perlu adanya pelatihan peningkatan kemampuan
manajerial pengelola UPJA dan perbengkelan alsintan melalui pelatihan
ketrampilan teknis, kewirausahaan dan manajemen mekanisasi pertanian.
c. Untuk mengoptimalkan pemanfaatan alsintan yang dikelola di Brigade
Alsintan dalam mendukung kegiatan tanam dan panen serentak, maka
Brigade Alsintan di Kodim harus mengikuti jadwal tanam dengan
berkoordinasi dengan Dinas Pertanian setempat untuk membuat rencana
pemanfaatan alsintan.
d. Untuk memobilisasi alsintan ke Poktan atau Gapoktan maka baik Brigade
yang ada di Kodim dan Dinas Pertanian perlu didukung oleh dana
operasional yang memadai, karena pada kenyataan Poktan atau Gapoktan
mengalami kesulitan untuk membiayai pengiriman alsintan tersebut ke
lokasi mereka. Alternatif kebijakan operasional untuk menngkatkan
efisiensi pemanfaatan alsintan dapat dilakukan dengan: (i) membentuk
Brigade Alsintan pada lokasi terdekat dari Poktan dan Gapoktan, (ii)
bantuan alsintannya langsung ditempatkan di Poktan atau Gapoktan, dan
(iii) pemanfaaatan antar Poktan dan Gapoktan diawasi secara penuh oleh
Brigade Alsintan di Kodim bekerja sama dengan Brigade Alsintan Dinas
Pertanian.
98
9. Peningkatan Luas Tambah Tanam (LTT) dipengaruhi banyak faktor, dintaranya:
musim, curah hujan, ketersediaan air, dan kebiasaan bertani. Untuk pelaporan
LTT ini disarankan beberapa hal sebagai berikut:
a. Rekonsiliasi data luas tambah tanam tingkat kecamatan antara petugas
Upsus dan petugas SP diharuskan dilakukan setiap minggu. Selanjutnya data
hasil rekonsiliasi tersebut dikirim secara berjenjang ke tingkat kabupaten,
provinsi, dan Kementan.
b. Evaluasi kinerja LTT di tingkat Kementerian disarankan dilakukan bulanan
sebagai alat untuk mengecek perkembangan/keberhasilan kegiatan di
lapangan. Namun penilaian kinerja dari capaian ini disarankan pada akhir
setiap musim tanaman untuk dibandingkan dengan target musimannya.
99
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2017. TNI Komitmen Perkuat Ketahanan Pangan Demi Masa Depan Bangsa, https://pilarpertanian,com/tni-komitmen-perkuat-ketahanan-pangan-demi-
masa-depan-bangsa. Diunduh, 15 Juni 2017.
Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. 2014. Rencana Pembangunan Jangka Menengah
Nasional 2015-2019. Buku II. Agenda Pembangunan Bidang. Jakarta.
Direktorat Irigasi Pertanian. 2017a. Laporan Kinerja Tahun Anggaran 2016. Direktorat Jenderal Prasarana dan Sarana Pertanian. Kementerian Pertanian Republik Indonesia.
Direktorat Jenderal Prasarana dan Sarana Pertanian. 2015. Statistik Prasarana dan Sarana Pertanian Tahun 2010-2014. Kementerian Pertanian Republik Indonesia.
Direktorat Jenderal Prasarana dan Sarana Pertanian. 2016. Laporan Kinerja Direktorat Perluasan Dan Perlindungan Lahan. Kementerian Pertanian.
Direktorat Jenderal Prasarana dan Sarana Pertanian. 2016. Laporan Tahunan
Direktorat Jenderal Prasarana dan Sarana Pertanian Tahun Anggaran 2016. Kementerian Pertanian Republik Indonesia.
Direktorat Jenderal Prasarana dan Sarana Pertanian. 2016. Statistik Prasarana dan
Sarana Pertanian Tahun 2011-2015. Kementerian Pertanian.
Direktorat Jenderal Prasarana dan Sarana Pertanian. 2017. Pedoman Teknis Perluasan Sawah Pola Swakelola Tahun 2017. Kementerian Pertanian.
Direktorat Jenderal Tanaman Pangan. 2017. Petunjuk Teknis Subsidi Benih Tahun Anggaran 2017. Kementerian Pertanian.
Direktorat Perluasan dan Pengelolaan Lahan. 2013. Cetak Sawah Indonesia. Direktorat Jenderal Prasarana dan Sarana Pertanian. Kementerian Pertanian.
Ditjen PSP. 2017. Distribusi dan Pengelolaan Bantuan Alsintan Mendukung Program Upsus Pajale: Saat ini dan Kedepan. Bahan FGD Ditjen PSP. Jakarta.
Ditjen PSP. 2017. Pedoman Pelaksanaan Pengadaan dan Penyaluran Bantuan Alat
dan Mesin Pertanian APBN 2017. Ditjen PSP. Jakarta.
Ditjen PSP. 2017. Pedoman Umum Pengelolaan Brigade Alsintan. Ditjen PSP. Jakarta.
Irianto, G. S. 2017. Evaluasi Luas Tanam Padi dan Jagung 2017. Ditjen Tanaman Pangan. Bahan Rapim A Tanggal 18 Oktober 2017.
Kementerian Pertanian. 2015. Pedoman Pelaksanaan Penyaluran Bantuan Alat Dan
Mesin Pertanian TA 2015. Kementerian Pertanian. Jakarta.
Kementerian Pertanian. 2015. Rencana Strategis Kementerian Pertanian tahun 2015-2027. Kementerian Pertanian, Jakarta.
Kementerian Pertanian. 2015. Pedoman Teknis Bantuan Pupuk Tahun 2015. Direktorat Jenderal Prasarana dan Sarana Pertanian. Jakarta.
Kementerian Pertanian. 2016. Petunjuk Teknis Subsidi Benih Tahun Anggaran 2016. Kementerian Pertanian, Jakarta.
Kementerian Pertanian. 2016. Laporan Tahunan Kementerian Pertanian Tahun 2016.
Kementerian Pertanian Republik Indonesia.
Kementerian Pertanian. 2016. Pedoman Pelaksanaan Penyediaan Dan Penyaluran Pupuk Bersubsidi TA 2016. Direktorat Jenderal Prasarana dan Sarana Pertanian,
Jakarta.
Kementerian Pertanian. 2016. Pedoman Teknis Survei Dan Investigasi Calon Petani Calon Lokasi Dan Pemetaan Desain Perluasan Sawah Tahun 2016. Direktorat Jenderal Prasarana dan Sarana Pertanian, Jakarta.
Kementerian Pertanian. 2017. Pedoman teknis penanaman padi pasca cetak sawah TA 2017. Direktorat Perluasan Dan Perlindungan Lahan. Direktorat Jenderal Prasarana Dan Sarana Pertanian, Jakarta.
Kementerian Pertanian. 2017. Pedoman teknis rehabilitasi jaringan irigasi. Direktorat Jenderal Prasarana dan Sarana Pertanian, Jakarta.
Kementerian Pertanian. 2017. Pedoman teknis pengembangan embung pertanian.
Direktorat Jenderal Prasarana dan Sarana Pertanian.
Kementerian Pertanian. 2017. Pedoman Teknis Perluasan Sawah Pola Swakelola Tahun 2017. Direktorat Jenderal Prasarana dan Sarana Pertanian, Jakarta.
Kementerian Pertanian. 2017. Sukses Swasembada: Indonesia Menuju Lumbung Pangan Dunia 2045. Kementerian Pertanian. Jakarta.
PSEKP. 2017. Bahan Seminar Hasil Penelitian PSEKP 2017 “Kebijakan Insentif Harga
Produk Pertanian Strategis Mendukung Ketahanan Pangan Berkemandirian. Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Bogor.
Pusat Data dan Informasi Pertanian. 2016. Statistik Pertanian 2016. Kementerian Pertanian Republik Indonesia.
Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. 2015. Rekomendasi Kebijakan Penyempurnaan Pelaksanaan Program UPSUS Pajale ke Depan: Evaluasi UPSUS Pajale 2015. Laporan Hasil Focus Group Discussion (FGD). Tidak