Top Banner
Kebijakan Menteri Susi Gairahkan Iklim Investasi KBRN, Jakarta : Kebijakan yang diterapkan oleh Menteri Keluatan dan Perikanan Susi Pudjiastuti yaitu moratorium atau penghentian sementara perizinan kapal perikanan tangkap eks asing diatas 30 Gross Ton (GT) dan larangan bongkar muat ikan di tangah laut (transhipment), berimbas positif untuk iklim investasi di Indonesia. Dirjen Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan (P2HP) Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Saut P. Hutagalung mengatakan, kebijakan moratoroium dan transhipment telah menumbuhkan gairah investor untuk kembali membangun bisnis di sektor kelauatan dan perikanan. Dua kebijakan tersebut dinilai sebagai jaminan bahwa para pengusaha tidak akan kekurangan bahan baku. “Sekarang ini dengan kebijakan moratoroium dan transhipment ada harapan yang muncul antusiasme dari perusahaan untuk investasi ulang karena bahan baku 1 ARTIKEL 1
101

KEBIJAKAN INVESTASI

Nov 14, 2015

Download

Documents

AN Nis Far Rida

MANAJEMEN SDM
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript

Kebijakan Menteri Susi Gairahkan Iklim Investasi

KBRN, Jakarta : Kebijakan yang diterapkan oleh Menteri Keluatan dan Perikanan Susi Pudjiastuti yaitu moratorium atau penghentian sementara perizinan kapal perikanan tangkap eks asing diatas 30 Gross Ton (GT) dan larangan bongkar muat ikan di tangah laut (transhipment), berimbas positif untuk iklim investasi di Indonesia. Dirjen Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan (P2HP) Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Saut P. Hutagalung mengatakan, kebijakan moratoroium dan transhipment telah menumbuhkan gairah investor untuk kembali membangun bisnis di sektor kelauatan dan perikanan. Dua kebijakan tersebut dinilai sebagai jaminan bahwa para pengusaha tidak akan kekurangan bahan baku. Sekarang ini dengan kebijakan moratoroium dan transhipment ada harapan yang muncul antusiasme dari perusahaan untuk investasi ulang karena bahan baku banyak, kata Saut P. Hutagalung kepada wartawan di Jakarta, Selasa (6/1/2015). Belum lama ini, ada tujuh perusahaan yang menemui langsung Menteri Susi untuk meminta penjelasan pemerintah terkait kebijakan disektor kelautan dan perikanan. Mereka khawatir kebijakan akan terus berubah-ubah. Ketujuh perusahaan tersebut merupakan perusahaan yang selama ini mengeluhkan kurangnya bahan baku. Sepanjang 1988 hingga sekarang, terdapat 23 Unit Pengolahan Ikan (UPI) udang yang tidak mampu beroperasi karena kesulitan bahan baku, kemudian 16 UPI Tuna Cakalang. Umumnya UPI yang tidak sanggup berproduksi beralih kepada produk lain misal cumi dan kakap karena pasokan lebih banyak. Kekurangan bahan baku salah satunya disebabkan oleh praktek pencurian ikan (Illegal fishing). Para pengusaha yang bertemu dengan Menteri Susi pun merespon positif kebijakan KKP dan ada jaminan bahan baku.

Sudah ada yang mengajukan izin ke Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) pusat dan daerah. Mereka minta jaminan bahan baku dan melihat ini waktunya untuk investasi dibidang penangkapan, ujarnya. Adapun nilai investasi dari tujuh perusahaan yang menghadap Menteri Susi adalah UKM. Untuk membangun satu sarana pembekuan ikan (Cold Storage) dananya miliaran rupiah belum lagi untuk procesing. Di kita kategori dibawah Rp 5 miliar kebawah adalah UKM, jelasnya. Sebelumnya, Menteri Susi Pudji astuti mengatakan, akibat pencurian ikan, industri perikanan di Tanah Air banyak yang gulung tikar. Industri perikanan di Indonesia sudah mengalami kehancuran karena tidak ada bahan baku, diambil di tengah laut dan dikeruk abis, ujarnya. (Sgd/HF)

Perusahaan Migas Minta Rini Bikin Terobosan Kebijakan Investasi

Oleh JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) - Persoalan migas di Indonesia semakin mengkhawatirkan. Pasalnya cadangan minyak yang ada di Indonesia tiap tahun kian turun. Ditambah banyak mafia migas justru mengeruk keuntungan sebanyak-banyaknya dari bisnis ini.Maka untuk itu mantan Presiden Indonesian Petroleum Association (IPA), Lukman Mahfoedz meminta kepada Menteri BUMN Rini Soemarno bisa memberikan suatu terobosan yang nyata guna mengatasi masalah tersebut."IPA menghimbau pemerintahan yang baru ini bisa melakukan terobosan kebijakan yang akan meningkatkan investasi hulu migas di Indonesia," kata Mahfoedz dalam jumpa pers pergantian presiden baru IPA di Hotel Dharmawangsa, Jakarta Selatan, Selasa (9/12/14).Lebih lanjut dirinya menyatakan kalau IPA siap menjadi mitra kerja pilihan pemerintah untuk mengatasi persoalan menipisnya cadangan minyak yang ada di Indonesia. Tanpa investasi eksplorasi maka cadangan minyak Indonesia tak akan bertambah."Kita siap menjadi mitra. Bisa kita lihat sekarang produksi minyak semakin menurun, ditambah dengan fakta tingkat penemuan cadangan minyak baru yang lebih sedikit dari jumlah produksi," pungkasnya.(ris)Mandra Pradipta, TEROPONG SENAYAN

Kebijakan Investasi Dua Capres Dinilai Belum Jelas

Liputan6.com, Jakarta - Kedua calon presiden Indonesia (Capres) Prabowo Subianto dan Joko Widodo memiliki komitmen untuk membuka lebar investasi kepada investor asing untuk menanamkan modal di Indonesia. Akan tetapi, kedua capres itu dinilai belum memberikan paparan bagaimana mendorong investor asing itu untuk berinvestasi di Indonesia.Hal itu disampaikan Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) asal Sumatra Selatan, Afrizal. Menurut Afrizal, kedua Capres memiliki komitmen untuk membuka lebar investor asing untuk berinvestasi di Indonesia. Namun, Afrizal menilai hal itu masih sebesar rencana yang tertuang dalam dokumen visi misi yang diserahkan ke Komisi Pemilihan Umum (KPU). Kedua capres belum menunjukkan kejelasan bagaimana mendorong investasi itu."Mereka hanya mengatakan kami akan welcome investor asing, tapi tahu-tahunya tanahnya bermasalah. Ini kan tidak jelas, itu yang harus diperjelas, biar para investor tahu," kata Afrizal di Gedung DPD Jakarta, Rabu (18/6/2014).Menanggapi rencana Jokowi untuk menyederhanakan perizinan dalam mepercepat investasi, Afrizal menilai, pemerintah saat ini juga sudah melakukan penyederhanaan perizinan tersebut. Afrizal menambahkan, ke depan juga kedua apres harus memeratakan penyebaran penduduk demi mendukung investasi."Sebenarnya hal yang paling penting dalam membangun ekonomi negara itu menciptakan lapangan kerja. Kalau investasi merata, lapangan kerja merata, ekonomi Indonesia kan bagus," jelasnya.

Lebih lanjut Afrizal berpendapat secara garis besar mayoritas misi ekonomi kedua capres cukup bagus, hanya saja diharapkan apa yang disampaikan tidak hanya janji kampanye."Di Sumatra Barat itu diklaim apa yang ditanam di sana pasti tumbuh, tapi petaninya miskin, terjadi busung lapar. Untuk itu saya berharap kandidat dua presiden jangan menjual konsep, tapi disesuaikan kebutuhan dan kondisi daerah," pungkasnya. (Yas/Ahm):

Kebijakan Ramah Investasi Ditunggu

Jakarta, Kompas - Era otonomi daerah dapat dimanfaatkan tiap pemerintah daerah untuk saling berlomba menarik investasi sesuai potensi wilayah masing-masing. Hal itu akan tercapai apabila kebijakan yang dikeluarkan pemerintah daerah ramah terhadap investasi.

Menurut Ketua Umum Himpunan Kawasan Industri Indonesia Sanny Iskandar, Minggu (26/5), pemerintah daerah harus menetapkan dan mendukung jenis industri andalan di wilayahnya.

"Untuk langkah awal, pemerintah daerah setempat harus mencari dan bekerja sama dengan sebuah perusahaan industri besar dengan memberikan berbagai konsesi," kata Sanny.

Melalui langkah tersebut, diharapkan jika perusahaan tersebut berhasil akan mendatangkan industri-industri lain yang terkait. Perusahaan tersebut akan menjadi daya tarik bagi perusahaan-perusahaan industri lainnya.

Sanny mencontohkan langkah pemerintah daerah di Dumai yang memfasilitasi Group Wilmar untuk mengembangkan industri kelapa sawit yang terintegrasi dari hulu ke hilir.

Menurut Sanny, pemerintah daerah juga dapat mengajak pihak manajemen pelabuhan laut bekerja sama dengan swasta membangun kawasan industri yang terpadu dengan pelabuhan laut. Hal ini seperti dilakukan grup AKR di Kabupaten Gresik.

Sanny mengatakan, daerah memang perlu mengembangkan kawasan industri yang terintegrasi dengan sarana infrastruktur, seperti akses jalan ke pelabuhan, pelabuhan laut, pembangkit dan jaringan listrik, serta sarana telekomunikasi.

Sarana dan sistem pelayanan perizinan satu atap serta kepastian hukum juga diharapkan dunia usaha untuk mendukung masuk dan bertumbuhnya investasi di suatu daerah.

Sebelumnya, Direktur Jenderal Pengembangan Perwilayahan Industri Kementerian Perindustrian Dedi Mulyadi menuturkan, kebijakan pemerintah daerah di era otonomi daerah tidak boleh membebani dunia usaha.

Dedi mencontohkan, tidak perlu lagi ada kebijakan izin gangguan di daerah yang memang diperuntukkan bagi kawasan industri.

Presiden paparkan kebijakan investasi Indonesia

Singapura (ANTARA News) - Presiden Susilo Bambang Yudhoyono berbagi kebijakan ekonomi Indonesia untuk melakukan pembangunan infrastruktur dan investasi besar-besaran di seluruh Indonesia di hadapan para ceo perusahaan, bankir, investor internasional dan para analis."Kami melakukan dua pekerjaan besar sekarang,yaitu pembangunan infrastruktur (untuk) konektivitas dan investasi besar-besaran di seluruh Indonesia. Kami punya target yang ambisius sampai tahun 2030. Kami berharap ini bisa berjalan dengan baik," kata Presiden Yudhoyono saat menjadi narasumber dalam Forum Newsmaker Thomson Reuters di Singapura, Selasa.Forum itu biasanya menampilkan tokoh-tokoh dunia berpengaruh, di antaranya mantan Perdana Menteri Singapura Lee Kuan Yew dan Investor ternama George Soros.Bertempat di kantor Thomson Reuters di One Raffles Quay, lantai 28, Singapura, Deputy Global Managing Editor dan Regional Editor Asia Dayan Candappa dan Kepala Biro Asia Tenggara Jason Szep menjadi moderator dalam kesempatan itu.enurut Presiden, dengan pembangunan ekonomi yang baik maka pada akhirnya Indonesia dapat mencapai tujuannya untuk mengurangi kemiskinan."Ekonomi Indonesia sekarang dari segi GDP paling besar di Asia Tenggara. Kalau Indonesia bisa menjaga pertumbuhannya...bisa memperbesar pasar domestiknya berarti insentif bagi perdagangan dan investasi," ujarnya.Presiden juga menyoroti kemampuan ekonomi negara-negara Asia Tenggara yang lain. Ia menilai saat Eropa dan Amerika belum pulih benar maka Kawasan Asia Tenggara adalah pilihan yang tepat untuk investasi dan menjadi pilar pertumbuhan di saat perekonomian dunia susah.

Pada kesempatan itu Presiden Yudhoyono juga mengatakan jika dirinya memilih jalan ketiga dalam pembangunan perekonomian untuk membangun dan menjadikan masyarakat lebih sejahtera yakni bukan jalan pasar bebas ataupun antipasar.Presiden Yudhoyono mengatakan Indonesia merupakan negara yang unik dengan dua kutub pemikiran dengan penganut pasar dan anti pasar yang berkembang.Untuk itu, dibutuhkan penanganan yang juga berbeda. Pasar menurut dia dibutuhkan untuk mengembangkan perekonomian, namun demikian Indonesia membutuhkan peran pemerintah dalam pembangunan. Oleh karena itu Presiden membuat strategi kebijakan perekonomian empat jalur yaitu pro pertumbuhan ekonomi, pro lapangan kerja, pro pengentasan kemiskinan dan pro lingkungan.Strategi kebijakan tersebut sampai sejauh ini telah memberikan hasil dengan pertumbuhan ekonomi mampu bertahan enam persen ditengah krisis global, dan kemiskinan yang terus berkurang.Dalam forum itu, Presiden juga menjawab sejumlah pertanyaan dari para hadirin, di antaranya terkait masalah kenbijakan subsidi BBM, pengaruh China dalam perekonomiuan di ASEAN dan pengganti Presiden Yudhoyono.

Kebijakan Investasi Langsung Tak Berpihak ke Masyarakat Miskin Program investasi langsung yang digalakkan pemerintah dinilai tak mampu membantu pemerataan ekonomi, sehingga masih banyak masyarakat yang berada di bawah garis kemiskinan.

Sekjen Korsosium Perbaruan Agraria Iwan Nurdin menjelaskan, hal tersebut terjadi karena tidak adanya peraturan yang jelas mengenai investasi oleh pemerintah. Menurutnya, pemerintah gagal mengontrol investor-investor asing yang masuk.

"Investasi yang tidak dapat diatur ini akan terus tumbuh liar dan akan berdampak luar biasa," kata Iwan dalam diskusi rakyat bertemakan: Politik Investasi di Kantor Kontras, Jakarta, Jumat (20/9/2013).

Akibat tak ada pengaturan yang jelas, industri-industri yang masuk sebagai nvestor, menurutnya tidak mampu memberikan kesejahteraan bagi para pekerjanya. Lebih parahnya lagi, Iwan menilai industri yang masuk justru engeruk sumber daya alam yang dimiliki Indonesia.

"Tapi masalahnya yang masuk itu industri mengeruk. Kopi, minyak sawit, nikel. Belum lagi industri lain. Jd devisa dihasilkan dengan mengeruk kekayaan alam," jelasnya.

Sementara itu, Ketua Federasi Buruh Lintas Pabrik Jumisih yang juga menjadi pembicara dalam diskusi tersebut menilai, fenomena ini terjadi karena lemahnya pengawasan dari pemerintah. Jika terjadi pelanggaran oleh pihak investor, menurutnya pemerintah bersikap acuh dan tidak peduli."Investor tidak diawasi oleh pemerintah. Tidak ada tindakan dari pemerintah terhadap pengusaha yang melanggar. Sudah banyak pelanggaran, tidak ada satu pengusaha pun yang ditangkap," ujar Jumisih.

Kebijakan Investasi Kerapkali Persulit Dunia Usaha

adin Keluhkan Implementasi Penanaman Modal

Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia menilai positif atas langkah pemerintah untuk mewujudkan iklim investasi baik bagi PMDN (Penanaman Modal Dalam Negeri) maupun PMA (Penanaman Modal Asing). Namun, Kadin menilai implementasi kebijakan di sektor investasi justru malah menyulitkan dunia usaha. "Rencana investasi nasional hulu-hilir harus terimplementasi, banyak rencana investasi yang sudah direncanakan dunia usaha nasional-asing masih lambat implementasinya," ujar Wakil Ketua Umum Kadin Bidang Pemberdayaan Daerah dan Bulog Natsir Mansyur dalam keterang pers yang diterima Neraca, kamis (12/9).

Menurut dia, dukungan pemerintah yang lemah itu diakibatkan karena egoisme kebijakan kementerian yang selalu dipertahankan. Pasalnya, Natsir melihat bahwa kebijakan menteri apalagi ditambah dengan kebijakan dirjen yang terkadang menyulitkan dunia usaha sehingga investasi usaha nasional tidak jalan.Pihaknya menyayangkan, hambatan investasi masih saja terjadi, sementara kelengkapan aturannya sudah dianggap memadai. "Kami heran, sudah ada UU, Inpres, Perpres, masih saja tidak jalan," kata Natsir.

Pemerintah, kata dia, dalam hal ini sejumlah kementerian, seperti Kemenperin, Kemendag, kemenhub, Kementreian ESDM, Kementrian PU, Kementerian Keuangan, dan BKPM mempunyai peran strategis yang perlu lebih reformis dalam mendorong percepatan investasi nasional. "Banyak investasi nasional yang sudah dalam tahap persiapan pelaksanaan, namun beberapa Kementerian masih saja lambat," ujar Natsir.Dia menjelaskan, Investasi yang sudah on track yang perlu didorong, misalnya Hilirisasi Minerba (pembangunan smelter) sebagai industri pioner untuk tembaga, nikel, aluminium, besi, dan emas.Kontrak Karya

Selain itu, tambah Natsir, perluasan kontrak karya industri pertambangan, industri perminyakan, proyek konektivitas berbasis maritim base perlu mendapatkan sarana penunjang, demikian halnya infrastruktur dan perluasan industri petrokimia. Untuk itu, pihaknya berharap kepada pemerintah, khususnya pemimpin negara dapat segera membentuk tim percepatan investasi yang melibatkan dunia usaha dan pemerintah, terutama untuk pengusaha yang telah siap berinvestasi dalam sektor-sektor tersebut.

Tak hanya kebijakan dari Pemerintah pusat, Pemerintah Daerah pun dinilai ikut andil dalam menghambat masuknya investasi ke daerah. Akibatnya, pertumbuhan ekonomi di daerah cenderung menurun. Hal tersebut seperti diungkapkan Pengamat ekonomi, Aviliani. "Kebijakan pemerintah daerah itu dalam bentuk peraturan daerah (Perda) terutama yang mengatur pungutan dan retribusi," kata Aviliani.Dikatakan Aviliani, dari sekitar 13.000 Perda, pada 2008 ada sekitar 31% Perda yang menghambat masuknya investasi ke daerah terutama Perda yang mengatur soal pungutan dan retribusi. Selain itu, kata dia, berdasarkan survei Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) pada 2007, ada sekitar 170 kabupaten/kota di Indonesia yang memiliki 264 Perda yang berpotensi menjadi disinsentif bagi pengembangan sektor pertanian.Adanya Perda sepertinya di daerah, kata dia, menyebabkan pertumbuhan ekonomi diberbagai daerah tersebut menurun. "Hal ini terjadi selama sembilan tahun terakhir setelah diterapkannya kebijakan otonomi daerah," kata anggota dewan pakar Asosiasi Pemerintah Provinsi Seluruh Indonesia (APPSI) ini.Ekonomi Menyusut

Menurut dia, kinerja perekonomian daerah hampir secara keseluruhan di Indonesia mengalami penyusutan setelah setelah diterapkannya kebijakan otonomi daerah. Ia mencontohkan, Provinsi Sumatra Utara, sebelum diterapkannya kebijakan otonomi daerah (1993-1996) pertumbuhan ekonominya rata-rata tumbuh 9,18% per tahun. Namun setelah diterapkan kebijakan otonomi daerah (2001-2207) pertumbuhan ekonominya turun menjadi rata-rata 5,61% per tahun.

Dia mengatakan, kondisi ini terjadi karena kesalahpahaman persepsi antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam menerjemahkan makna dan implementasi otonomi daerah. Otonomi daerah, kata dia, yakni pemberian sebagian kewenangan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).Sebagian besar pemerintah daerah, kata dia, beranggapan fokus utama kebijakannya adalah menciptakan dan meningkatkan pendapatan asli daerah agar bisa membiayai kegiatan penyelenggaraan pemerintahan. Karena itu, banyak pemerintah daerah yang kemudian membuat Perda tentang berbagai pungutan dan retribusi. "Akumulasi dari berbagai pungutan dan retribusi di sebuah yang tinggi, menyebabkan investor enggan menanamkan investasinya di daerah tersebut," kata magister administrasi niaga lulusan Universitas Indonesia tersebut.

Kebijakan Investasi Terbolak-balikBeberapa waktu yang lalu saya menyaksikan program di sebuah televisi swasta dengan tema Negeri Yang Terbolak-balik. Geli tetapi miris mendengar pemaparan betapa terbolak-baliknya negeri ini dalam menyikapi peraturan perundang-undangan yang ada. Saat itu yang dibahas adalah terbolak-baliknya instruksi Presiden, SKB Menteri dan Peraturan Gubernur. Saya lalu teringat bahwa ada fenomena terbolak-balik yang mirip seperti itu di bidang investasi.Tahun 2004 telah disetujui Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 yang mengatur tata urutan peraturan perundang-undangan menggantikan yang ada dalam Ketetapan MPR Nomor III Tahun 2000. Pada Undang-undang itu disebutkan bahwa tata urutan peraturan perundang-undangan adalah sebagai berikut: UUD 1945, UU/Perpu, PP, Perpres kemudian Perda.Dari urutan tersebut jelas diketahui produk hukum mana yang lebih tinggi, sehingga berkuasa atas peraturan yang dibawahnya, dengan kata lain, peraturan yang dibawahnya harus tunduk kepada peraturan yang lebih tinggi, dengan arti lebih lanjut, apabila peraturan yang lebih rendah bertentangan dengan yang lebih tinggi maka otomatis peraturan yang lebih rendah kalah alias gugur.Sinkronisasi kebijakan penanaman modal

Mari kita perhatikan secara seksama perkembangan regulasi penanaman modal. Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono, yang baru menjabat dua tahun pada tahun 2006, mengeluarkan Instruksi Presiden Nomor 3 Tahun 2006 sebagai langkah awal perbaikan birokrasi dan perekonomian di Indonesia. Dalam instruksi yang ditujukan kepada para menteri dan pimpinan lembaga setingkat menteri itu, salah satu hal yang disorot adalah bidang penanaman modal. Presiden, dalam melihat permasalahan di bidang penanaman modal, mengintruksikan antara lain untuk mempercepat finalisasi RUU Penanaman Modal, penyerderhanaan proses perizinan penanaman modal dan merealisasikan sistem pelayanan terpadu dengan membagi kewenangan antara pusat dan daerah.Hasil yang pertama, disetujuilah Undang-undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, setelah melalui perjuangan panjang di dalam "kandungan", untuk menggantikan Undang-undang dengan hal yang sama yang terakhir kali diubah pada Tahun 1970!Para insan yang berkutat di dunia investasi seperti investor dan aparatur penanaman modal pun sedikit bernafas lega ibarat baru meminum air setelah masa kehausan yang panjang. Mengapa demikian? Karena sebagian besar dari perubahan kondisi investasi, yang sudah pasti banyak berkembang sejak Tahun 1970, akhirnya diakomodir dalam UU Penanaman Modal tersebut.UU No. 25 Tahun 2007 dengan jelas mengamanahkan bahwa urusan bidang penanaman modal diselenggarakan oleh Pemerintah Kabupaten/Kota apabila ruang lingkupnya berada dalam Kabupaten/Kota itu sendiri (pasal 30 ayat 6).Kemudian untuk mengatur lebih rinci tentang pembagian urusan antar pemerintahan tersebut, dikeluarkanlah Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan, Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota. Pada PP Nomor 38 Tahun 2007 ini jelas pula disebutkan bahwa Penanaman Modal merupakan salah satu urusan wajib yang harus diselenggarakan oleh Pemerintah Kabupaten/Kota (pasal 7 ayat 2). Kemudian pada lampirannya di bagian urusan bidang penanaman modal disebutkan bahwa salah satu wewenang Pemerintah Kabupaten/Kota adalah menyusun tata cara pelaksanaan pelayanan terpadu satu pintu di bidang penanaman modal berdasarkan pedoman yang dikeluarkan oleh Pemerintah.Dalam merealisasikan semangat penyederhanaan dan reformasi birokrasi yang telah mencapai momentumnya, Pemerintah pada tahun yang sama kemudian mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah yang mengatur pembaharuan struktur organisasi baik di tingkat Pemerintahan Daerah Provinsi maupun Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota.Di sana disebutkan bahwa salah satu urusan yang diwadahi dalam bentuk Badan atau Kantor, sesuai dengan besaran organisasi perangkat daerah, adalah bidang penanaman modal (pasal 22 ayat 5).Sampai tahap ini, semua peraturan masih berjalan seirama. Inpres No. 3 Tahun 2006, UU No. 25 Tahun 2007, PP No. 38 Tahun 2007 dan PP No. 41 Tahun 2007 masih sinkron, bahwa urusan wajib penanaman modal diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah dan demi semangat penyederhanaan dan perbaikan birokrasi harus dilaksanakan pelayanan terpadu satu pintu. Kemunculan istilah Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) sedikit mengundang pertanyaan khalayak, sebab dalam PP No. 41 Tahun 2007 tidak disebutkan secara jelas.Era kebingungan terbolak-balik

Beberapa daerah pun kemudian mengimplementasikan PP No. 41 Tahun 2007 ini, pada akhir tahun 2007 dan awal tahun 2008, dengan membentuk instansi perizinan terpadu dan penanaman modal, yang juga didasari oleh interpretasi akan PP No. 38 Tahun 2007. Namun pada bulan Maret tahun 2008 muncul Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 20 tentang Pedoman Organisasi dan Tatakerja Unit Pelayanan Perijinan Terpadu (UPPT) di Daerah. Permendagri ini mengatur tentang pembentukan unit pelayanan dengan sebutan Badan atau Kantor hingga tatakerjanya. Permendagri Nomor 20 Tahun 2007 ini dipahami oleh sebagian Pemerintah Daerah bahwa Unit Pelayanan Perijinan Terpadu adalah organisasi yang berdiri sendiri dengan susunan maksimal empat Bidang dan tiga Sub Bagian di bawah Bagian Tata Usaha. Dengan demikian Permendagri ini menutup kemungkinan adanya Sub Bidang di bawah Bidang.Era kebingunan pun dimulai. Aparatur penanaman modal, praktisi dan pemerhati penanaman modal menjadi bertanya-tanya, dimana letaknya Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) di bidang penanaman modal yang telah diatur oleh PP No. 38 Tahun 2007? Pada saat itu ada pemikiran bahwa Unit Pelayanan Perijinan Terpadu berdiri bersama-sama dengan bidang penanaman modal dalam satu organisasi, namun pengertian ini dimenntahkan oleh susunan organisasi yang ditetapkan Permendagri No. 20 Tahun 2008, bahwa tidak ada Sub Bidang di bawah Bidang. Padahal Bidang Penanaman Modal tentu saja memliki uraian tugas seperti promosi dan pengawasan yang seyogyanya berada pada Sub Bidang.Beberapa Pemerintah Daerah yang telah membentuk organisasi perizinan terpadu dan penanaman modal pada satu badan kemudian tetap pada pendiriannya. Sementara Pemerintah Daerah lain yang belum melaksanakan amanah PP No. 38 dan PP No. 41 Tahun 2007, termasuk Pemerintah Kota Medan, membentuk Badan Pelayanan Perijinan Terpadu dan Badan Penanaman Modal sebagai dua organisasi yang terpisah.Pemerintah dalam hal ini Presiden sesuai dengan keinginan dasarnya untuk memperbaiki iklim investasi, sebagaimana yang sebenarnya telah dimulai pada Inpres No. 3 Tahun 2006, mengeluarkan lagi Peraturan Presiden Nomor 27 Tahun 2009 tentang Pelayanan Terpadu Satu Pintu di Bidang Penanaman Modal. Perpres ini menyambung UU No. 25 dan PP No. 38 Tahun 2007 yang sebenarnya terkesan repetisi, seakan-akan menegaskan kembali PP No. 38 Tahun 2007 yang dibingungkan banyak daerah.Perpres No. 27 Tahun 2007 menyatakan bahwa Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) di bidang penanaman modal pada daerah kabupaten/kota berada pada Perangkat Daerah Kabupaten/Kota bidang Penanaman Modal (PDKPM) dan pada tingkat provinsi berada pada Perangkat Daerah Provinsi bidang Penanaman Modal (PDPPM). Hal ini sewajarnya mengakhiri kebingungan dan menjawab pertanyaan tentang dimana letak PTSP tersebut. Sebab dengan mudah bisa diartikan bahwa seperti pada Pemerintah Kota Medan, PTSP di bidang penanaman modal berada pada Badan Penanaman Modal sebagai PDKPM. Peristiwa ini dalam pandangan saya ibarat seorang bapak yang omongannya tidak dipatuhi anak-anaknya sehingga ia merasa perlu untuk mengulangi kembali perintahnya.Namun Pemerintah Daerah yang telah terlanjur membentuk instansi perijinan terpadu sebagai satu organisasi yang berdiri sendiri (saya sengaja menuliskan kata "perijinan" berbeda-beda sesuai dengan produk hukumnya untuk menjelaskan kebingungan yang muncul bahkan dalam masalah penulisan sekalipun) berdalih mengikuti Permendagri No. 20 Tahun 2008, dimana notabene Pemerintah Daerah berada di bawah naungan Kementerian Dalam Negeri sehingga harus lebih patuh pada Permendagri. Ada juga yang beralasan bahwa sudah terlanjur membentuk badan tersendiri sehingga sulit untuk merubahnya lagi mengingat waktu dan biaya yang harus dikorbankan.Kebingungan pun bukan semakin surut malah semakin menjadi-jadi lagi dengan munculnya Surat Edaran Bersama Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara, Menteri Dalam Negeri dan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal pada Tahun 2010 yang isinya menyebutkan bahwa untuk tingkat Kabupaten/Kota, pelayanan perizinan dan non perizinan di bidang penanaman modal dilimpahkan kepada Penyelenggara PTSP yang telah ada. Sedangkan untuk tingkat Provinsi tetap berada pada Perangkat Daerah Provinsi bidang Penanaman Modal (PDPPM). Bunyi Surat Edaran, yang disebut para pakar sebagai surat banci karena terkesan hermaphrodite ini, akan dimengerti oleh banyak pihak bahwa PTSP di bidang penanaman modal di Kota Medan berada pada Badan Pelayanan Perizinan Terpadu sebagai Penyelenggara PTSP yang telah ada.

Yang menjadi pertanyaan, apa dasar hukum Surat Edaran tersebut? Mengapa menyimpang dari peraturan sang bapak, Perpres No. 27 Tahun 2009? Pertanyaan berikutnya, mengapa Permendagri No. 20 Tahun 2008 tidak mengejawantahkan PP No. 38 Tahun 2007? Mengapa pula peraturan yang lebih rendah tidak mengikuti peraturan yang lebih tinggi? Lalu mana peraturan yang harus diikuti?Kembali ke laptop

Untuk mengakhiri kebingungan ini, saya meminjam ucapan Tukul yang terkenal itu, kembali ke laptop! Maksudnya adalah kembali ke awal tulisan ini. Kembali ke UU No. 10 Tahun 2004. Manakah peraturan yang lebih tinggi antara Undang-undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden dan Peraturan Menteri? Surat Edaran tentu dengan mudah kita eliminasi karena bukan suatu produk hukum.Bila harus menjawab pertanyaan, apa solusi yang harus ditempuh Pemerintah Daerah? Hanya ada dua pilihan. Pertama dan yang paling mudah, patuh pada peraturan lebih tinggi yakni PP No. 38 Tahun 2007 dan Perpres No. 27 Tahun 2009. Implementasinya PTSP di bidang penanaman modal berada pada instansi penanaman modal sementara PTSP di bidang lain tetap pada UPPT yang berdasarkan pada Permendagri No. 20 Tahun 2008. Kedua, mengambil jalan tengah dengan mengkolaborasikan UPPT Permendagri No. 20 Tahun 2008 dengan PTSP PP No. 8 Tahun 2007 dan Perpres No. 27 Tahun 2009. Implementasinya adalah dengan menggabungkan instansi pelayanan perizinan terpadu dengan instansi penanaman modal. Konsekuensinya? Membentuk struktur baru dengan tidak menghiraukan struktur yang ada di dalam Permendagri No. 20 Tahun 2008.Beruntung sebenarnya Kota Medan belum membuat Perda Penanaman Modal, walau sudah diinstruksikan sejak tahun 2007 oleh PP No. 38. Karena kita masih bisa mengeluarkan kebijakan yang tepat dan taat aturan di kota tercinta ini, jangan sampai juga ikut terbolak-balik. Biarlah hari ini kurang cerah, tetapi mari kita ciptakan hari esok yang lebih cerah, seperti bunyi moto Kota Medan yang diusung Bapak Walikota.

Perpindahan Dana Haji Perlu Didukung Kebijakan Investasi

Jakarta. Perpindahan dana haji dari bank konvensional ke bank syariah dinilai perlu dilengkapi dengan kebijakan investasi (policy investment). Kebijakan antara Kementerian Agama dan bank-bank syariah tersebut dirasa penting guna menghindari penarikan dana haji secara mendadak.

Penarikan dana haji secara mendadak ini dikhawatirkan berpengaruh terhadap perkembangan perbankan syariah. Pengamat Ekonomi Syariah, Agustianto, mengatakan kebijakan investasi merupakan implementasi dari Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji. Perlu kebijakan seperti itu agar dana haji tidak diambil tiba-tiba, ucap Agustianto, Senin (22/4).

Menurutnya, kebijakan investasi dapat menghindarkan bank syariah dari buruknya arus kas jika dana haji ditarik mendadak oleh Kementerian Agama. Kalau ditarik tanpa pemberitahuan bisa melorot pendapatan bank syariah, kata Agustianto.

Meski begitu, Agustianto sangat bersyukur terhadap adanya perpindahan dana haji ke perbankan syariah. Hal tersebut memang sudah seharusnya dilakukan dan telah lama didambakan masyarakat Muslim.

Menurutnya ada alasan teologis dan ekonomis mengapa dana haji harus ditempatkan di bank syariah. Alasan teologis, yakni bahwa haji merupakan ibadah dimana pelaksanaannya harus sesuai ajaran agama, termasuk dana penyelenggaraannya harus sesuai syariah. Jika dana haji dikelola di bank konvensional, maka hal tersebut bertentangan dengan prinsip syariah. Ini akan mengganggu kemabruran dana haji, ujarnya.

Dari sisi ekonomi, dana haji merupakan dana umat sehingga harus diprioritaskan untuk pemberdayaan umat. Saat ini umat masih dihadapi beberapa permasalahan diantaranya kemiskinan, kebodohan dan keterbelakangan. Jadi salah satu upaya mengentaskan semua itu melalui pemberdayaan ekonomi dengan mengoptimalkan dana haji. Agustianto menyebut jika dana haji disalurkan ke usaha produktif, maka akan membantu entrepreneur tumbuh dan pada akhirnya membantu meningkatkan kesejahteraan bangsa.

Agustianto tak khawatir terhadap pengelolaan dana haji oleh bank syariah. Pasalnya saat ini bank syariah Indonesia memiliki kinerja baik dan sudah mengelola aset hampir Rp 200 triliun sehingga tidak akan kaget mengelola dana haji sebesar Rp 11 triliun.

Direktur Bank BNI Syariah, Imam Teguh Saptono, juga memandang perlu adanya policy invesment dari Kementerian Agama. Kalau tidak terbangun akan menimbulkan problem, ucapnya.

Imam mencontohkan jika dana tersebut diinvetasikan ke Jembatan Suramadu, namun tiba-tiba dana haji yang diinvestasikan tadi ditarik tiba-tiba, maka akan membuat bank syariah kelimpungan. Menurutnya jika jangka waktu belum jelas, khawatir akan menimbulkan anggapan bahwa bank syariah kesulitan mengelola dana haji. Perlu adanya jangka waktu dan pemberitahuan lebih dulu kapan dana haji akan diambil kembali oleh Kementerian Agama untuk menghindari problem keuangan di bank syariah.

Sementara Kepala Unit Usaha Syariah Bank OCBC NISP, Koko T Rachmadi, mengaku belum menentukan kemana dana haji akan disalurkan. Yang jelas, OCBC NISP Syariah akan terus berupaya meningkatkan Dana Pihak Ketiga (DPK) di 2013. Per 31 Desember 2012 DPK yang dihimpun OCBC NISP Syariah tembus tumbuh 77 persen menjadi Rp 773 miliar. (qr/nz/rol)

Laporan Triwulanan Ekonomi Indonesia: Menyoroti kebijakan

Ekonomi Indonesia pada tahun 2013 diperkirakan masih tetap positif walaupun ekonomi dunia tetap lemah, namun mempertahankan pertumbuhan invetsasi yang kuat sangat penting

Bank Dunia memproyeksikan pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar 6,1 persen untuk tahun 2012, sedikit meningkat di tahun 2013 menjadi 6,3 persen. Proyeksi ini mengasumsikan konsumsi domestik dan pertumbuhan investasi masih bertahan kuat, dengan membaiknya pertumbuhan mitra dagang utama Indonesia secara bertahap yang juga sedikit mendorong pemulihan ekspor.

Outlok ekonomi dunia masih dibayangi ketidakpastian dan rentan terhadap tekanan-tekanan - hasil dari negosiasi jurang fiskal di AS, perkembangan di zona Euro, dan juga berlanjutnya perlambatan ekonomi China, dapat mempengaruhi proyeksi pertumbuhan baseline kami. Pertumbuhan investasi domestik yang telah berperan penting terhadap kuatnya kinerja ekonomi Indonesia belakangan ini juga menghadapi sejumlah risiko.

Investasi kini mencapai sepertiga dari seluruh belanja barang-barang dan jasa Indonesia. Investasi meningkat 10 persen tahun-ke-tahun pada kuartal ketiga dan memberikan dorongan hampir 40 persen terhadap pertmbuhan PDB yang kuat dalam kuartal ketiga sebesar 6,2 persen tahun-ke-tahun. Walaupun sejauh ini investasi masih tetap bertahan kuat, investasi dan harga komoditas dunia cenderung bergerak searah, sehingga perkiraan investasi Indonesia dapat melemah dimana penurunan penerimaan yang berkaitan dengan komoditas mempengaruhi ekonomi secara luas.

Kerangka kebijakan yang kuat adalah kunci untuk memfasilitasi investor untuk dapat membuat perencanaan ke depan dan menjaga kepercayaan terhadap masa depan yang mendorong investasi. Menjelang pemilihan umum tahun 2014, kebijakan investasi dan dunia usaha Indonesia akan berada di bawah soroton. Dengan terus meningkatkan lingkungan peraturan dan secara efektif mengkomunikasikan reformasi-reformasi baru merupakan langkah-langkah penting yang dapat mendukung perkiraan investasi dan terus mendorong pertumbuhan yang kuat.

Di sisi fiskal, Bank Dunia memproyeksikan defisit 2012 sebesar 2,5 persen, sedikit lebih tinggi dari target APBN-P Pemerintah sebesar 2,2 persen dari PDB. Pertumbuhan pendapatan telah melambat tetapi pengeluaran belanja modal dan material masih di bawah target, meskipun tumbuh kuat secara nominal. Yang perlu digaris bawahi, biaya kesempatan (opportunity cost) dari subsidi energi terus meningkat

Menimbang pentingnya upah minimum bagi kesejahteraan pekerja, dan secara potensial, bagi pertumbuhan ekonomi, proses negosiasi upah minimum dapat diperbaiki melalui pendekatan yang lebih menyeluruh, teknis dan inklusif dalam proses tawar-menawar di pasar tenaga kerja, dengan memastikan bahwa seluruh pemangku kepentingan, termasuk pekerja sektor informal, telah terwakili.

Dalam hal tantangan-tantangan pembangunan jangka menengah yang dihadapi Indonesia, Sensus Infrastruktur Desa yang baru dilakukan menunjukkan ketidak merataan kemajuan dalam penyediaan layanan infrastruktur, kesehatan dan pendidikan

Dalam hal kesiapan menghadapi risiko bencana alam, keberhasilan Indonesia dalam upaya pemulihan pasca bencana di Sumatera dan Jawa telah memberikan contoh bagaimana membangun ketahanan terhadap risiko-risiko bencana, termasuk risiko musibah banjir di Jakarta.

Indonesia: Menyoroti Kebijakan Memasuki tahun 2013

Ekonomi Indonesia pada tahun 2013 diperkirakan masih tetap positif walaupun ekonomi dunia tetap lemah, namun mempertahankan pertumbuhan invetsasi yang kuat sangat penting, menurut laporan baru yang diterbitkan oleh Bank Dunia hari ini. Dalam Triwulanan Perkembangan Ekonomi Indonesia edisi bulan Desember 2012, Bank Dunia memproyeksikan pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar 6,1 persen untuk tahun 2012, sedikit meningkat di tahun 2013 menjadi 6,3 persen. Proyeksi ini mengasumsikan konsumsi domestik dan pertumbuhan investasi masih bertahan kuat, dengan membaiknya pertumbuhan mitra dagang utama Indonesia secara bertahap yang juga sedikit mendorong pemulihan ekspor.Outlok ekonomi dunia masih dibayangi ketidakpastian dan rentan terhadap tekanan-tekanan, jadi ini bukan waktu untuk berpuas diri, kata Stefan Koeberle, World Bank Country Director untuk Indonesia. Hasil dari negosiasi jurang fiskal di AS, perkembangan di zona Euro, dan juga berlanjutnya perlambatan ekonomi China, dapat mempengaruhi proyeksi pertumbuhan baseline kami. Dan pertumbuhan investasi dalam negeri yang telah berperan penting terhadap kuatnya kinerja ekonomi Indonesia belakangan ini juga menghadapi sejumlah risiko.Setelah tumbuh pesat dalam beberapa tahun terakhir, investasi kini mencapai sepertiga dari seluruh belanja barang-barang dan jasa Indonesia. Investasi meningkat 10 persen tahun-ke-tahun pada kuartal ketiga dan memberikan dorongan hampir 40 persen terhadap pertmbuhan PDB yang kuat dalam kuartal ketiga sebesar 6,2 persen tahun-ke-tahun. Walaupun sejauh ini investasi masih tetap bertahan kuat, investasi dan harga komoditas dunia cenderung bergerak searah, sehingga perkiraan investasi Indonesia dapat melemah dimana penurunan penerimaan yang berkaitan dengan komoditas mempengaruhi ekonomi secara luas. Sejumlah pengumuman peraturan dan perundangan sepanjang tahun telah menambah risiko ketidakpastian kebijakan dalam negeri, yang dapat membawa dampak negatif terhadap sentimen investor, yang masih rapuh secara global.Kerangka kebijakan yang kuat adalah kunci untuk memfasilitasi investor untuk dapat membuat perencanaan ke depan dan menjaga kepercayaan terhadap masa depan yang mendorong investasi ujar Ndiam Diop, World Bank Lead Economist and Economic Advisor untuk Indonesia. Menjelang pemilihan umum tahun 2014, kebijakan investasi dan dunia usaha Indonesia akan berada di bawah soroton. Dengan terus meningkatkan lingkungan peraturan dan secara efektif mengkomunikasikan reformasi-reformasi baru merupakan langkah-langkah penting yang dapat mendukung perkiraan investasi dan terus mendorong pertumbuhan yang kuat.Proses tahunan untuk menetapkan upah minimum yang rumit dan penuh dengan perdebatan juga turut menjadi sorotan. Menimbang pentingnya upah minimum itu bagi kesejahteraan pekerja, dan secara potensial, bagi pertumbuhan ekonomi, proses negosiasi upah minimum dapat diperbaiki melalui pendekatan yang lebih menyeluruh, teknis dan inklusif dalam proses tawar-menawar di pasar tenaga kerja, dengan memastikan bahwa seluruh pemangku kepentingan, termasuk pekerja sektor informal, telah terwakili.Laporan Triwulanan Desember ini juga membahas tantangan-tantangan pembangunan jangka menengah yang dihadapi oleh Indonesia, dan apa yang dapat dilakukan untuk meningkatkan kemajuannya. Sebagai contoh, bagaimana semakin meningkatkan penyediaan dan akses layanan publik di seluruh Indonesia, mengatasi ketidak merataan kemajuan dalam penyediaan layanan infrastruktur, kesehatan dan pendidikan, seperti terlihat pada Sensus Infrastruktur Desa yang baru dilakukan.Pentingnya kesiapan menghadapi risiko bencana alam juga dibicarakan pada laporan. Sebagai contoh, keberhasilan upaya pemulihan pasca bencana alam yang besar di Sumatra dan Jawa telah memberikan contoh bagaimana membangun ketahanan terhadap risiko-risiko bencana, termasuk risiko musibah banjir di Jakarta.

Kebijakan Investasi Daerah Harus Dikontrol

Direktur Eksekutif Skala Survei Indonesia (SSI), Abdul Hakim MS, mengatakan, kasus gugatan Churchil Mining Plc, adalah salah satu masalah otonomi daerah yang masih belum bisa terselesaikan. Daerah terkadang overlap dalam mengambil kebijakan investasi. Padahal, semua urusan bisnis di daerah pasti akan berurusan dengan pusat juga."Itu sebabnya, agar masalah seperti Churchill Mining yang gugat Presiden tak terulang, perbarui aturan masalah investasi didaerah. Harus ada sinkronisasi kebijakan antara pusat dan daerah. Karena kasus Churchill ini bukan yang pertama," kata Abdul Hakim, di Jakarta, Selasa (13/11).Karena, kata dia, pernah juga terjadi kasus serupa dalam pembangunan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Sei Mangkei. Bahkan Menko Perekonomian sempat mengancam akan mencabut status KEK di Sei Mangkei karena adanya ketidaksinkronan antara pusat dan daerah."Etikanya ya, kebijakan investasi di daerah di koordinasikan dengan pusat. Etikanya begitu. Sehingga jika di kemudian hari ada masalah dengan dunia internasional, yang maju pemerintah pusat," katanya.Karena yang punya jaringan di seluruh dunia adalah pemerintah pusat melalui dubesnya. Dan kalau merujuk keterangan Kementerian ESDM, Churchill masuk ke Indonesia melalui akuisisi 75 persen saham perusahaan lokal Ridlatama. Masalahnya, IUP Ridlatama dicabut pemerintah daerah karena diduga palsu. "Yang mencabut pemda. Tapi ini apa kaitanya dengan presiden. Kan itu pertanyaannya," katanya.Itu sebabnya, kata Abdul, secara etis, semua kebijakan investasi di daerah, seyogyanya Pemda mengkoordinasikan dengan pusat. Agar masalah seperti kasus Churchil Mining tak terjadi lagi. Dan lebih jauh lagi aturan jelas tentang investasi di daerah harus disempurnakan. "Karena tanpa itu, tak ada kejelasan tentang investasi di daerah atau daerah akan jalan sendiri-sendiri. Sebab yang perlu diingat, kita bukan negara federal, melainkan negara kesatuan. Jadi dalam kerangka NKRI, koordinasi diletakan," kata Abdul.(nug)

Kebijakan Investasi Pertanian di Kaltim

Penanaman modal/berinvestasi di Kalimantan Timur secara umum seolah-olah hanya pada setkot pertambahan atau sektor Kelapa 1._deputi_kementirain_pertanian_10_mei_12Sawit, karena pada sektor tersebut memang sangat menjanjikan dan lebih dikenal pada dunia luar, padahal berinvestasi di Kaltim tidak hanya pada kedua sektor tersebut, yang lebih penting pada sektor atau lebih dikenal dengan program food estate yang telah ditawarkan oleh Kalimantan Timur kepda pihak swasta maupun Badan Usaha Milik Negara (BUMN).Hal ini diungkapkan oleh Deputi Bidang Koordinasi Pertanian dan Kelautan, Ir. Diah Maulida,M.A saat memberikan sambutan dan pemaparan pada Rapat Koordinasi Kebijakan Peningkatan Investasi Pertanian SklaLuas di ruang rapat Hotel Novotel Balikpapan. Acara ini terselenggara atas kerjasama antara Kementrian Koordinator Bidang Perekonomian Republik Indonesia Deputi Bidang Koordinator Pertanian dan Kelautan dengan Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur, dihadiri peserta kurang lebih 150 orang yang terdiri dari Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) di lingkungan Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur dan Kabupaten/Kota se Kalimantan Timur serta pihak swasta atau para investor yang menanamkan modalnya di Kaltim.Sementara Gubernur Kalimantan Timur, DR.H. Awang Faroek Ishak dalam sambutannya yang dibacakan oleh Asisten II Bidang Ekonomi dan Pembangunan Provinsin Kalimantan Timur menyatakan bahwa dukungan Pemerintah Pusat lebih ditingkatkan terutama pada sektor pertanian atau pangan sesuaidengan kesepakatan Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur yang bersedia menjadi lumbung pangan nasional dengan dukungan program food estate di Kalimantan Timur yang menyiapkan lahan kurang lebih dari 343.461 hektar yang diminta kesedian lahan oleh Pemerintah Pusat sebanyak 500 ribu hektar, dengan nilai investasi kurang lebih Rp.9 Trilliun.2._asisten_II_SabaniGubernur Kaltim mengatakan bahwa saat ini perekonomian Kalimantan Timur di dominasi oleh perkonomian yang berbasis eksploitasi sumber daya alam yang tak dapat diperbaharui, dari PDRB tahun 2012 sebesar 390,63 didominasi oleh sector Pertambangan sebesar 50,79 % sedangkan sector pertanian hanya menyumbang 5,35 %. Tentu hal ini bukan struktur perekonomian yang diharapkan oleh Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur. Karena di yakini perekonomian yang mengandalkan eklpoitasi SDA tak dapat diberbaharui dalam waktu dekat akan mengalami kemunduran yang cepat seiring habisnya cadangan SDA tersebut.Oleh karena itu Kalimantan Timur telah mempersiapkan Lokomotif Ekonomi baru yang berbasiskan pada SDA yang dapat diperbaharui, dengan pendekatan tidak lagi mengekspor bahan mentah, namun menjadi eksportir bahan olehan yang memiliki daya saing, nilai tambah dan mampu memberikan multiplier effect yang significant bagi kesejahteraan rakyat yang berkelanjutan. Dua strategi besar yang ditempuh adalah mengembangkan industry eksisting serta membangun dan mengembangkan industry berbasis pertanian dengan pendekatan skala ekonomi dan klaster industry.Kinerja pertanian saat sekarang ini sudah menunjukkan perbaikan, namun belum optimal yang masih jauh dari apa yang diharapkan sebenarnya. Beberapa catatan penting perlu diperhatikan pada pemerintahan saat ini khususnya sektor pertanian adalah belum mapannya produksi beras yang merupakan pangan utama di dalam negeri, dan mampu menstabilkan harga pangan sehingga tingkat inflasi cenderung kecil (stabil). Maka tercapainya surplus produksi beras dapat memberikan pelua4._Investasi_pertanian_10_mei_12ng bagi petani untuk mengekspor ke luar negeri.Kebutuhan pangan di Indonesia selalu fluktuatif setiap tahunnya, khususnya beras. Kondisi ini dipengaruhi banyak faktor diantaranya; (1) perubahan iklim (banjir, kekeringan, musim tanam berubah, dsb), (2) alih fungsi lahan, (3) serangan hama penyakit, (4) pupuk yang terlambat, (5) benih padi varietas unggul yang sulit dicari oleh petani.Sehubungan dengan itu, Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur dengan Program Kaltim Bangkit 2013 melakukan revitalisasi pertanian dalam arti luas untuk memberikan kontribusi yang lebih besar terhadap pertumbuhan ekonomi Daerah dan Nasional serta peningkatan kesejahteraan masyarakat yang salah satunya adalah Pengembangan budidaya pangan skala luas (FOOD ESTATE) yang merupakan bagian dari amanat Inpres No. 5 Tahun 2008 tentang Fokus Program Ekonomi dan Inpres No.1 Tahun 2010 tentang Percepatan Pelaksanaan Prioritas Pembangunan Nasional Tahun 2010.Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur, mencermati hal tersebut dengan seksama dan sadar bahwa di Kalimantan Timur memiliki lahan yang luas untuk dapat dimanfaatkan dalam pembangunan pertanian. Pasca Penas di Kutai Kertanegara Kalimantan Timur menyatakan kesiapannya untuk menjadi pusat lumbung Pangan Nasional melalui pengembangan FOOD ESTATE 200.000 Ha. Untuk mendukung tekad tersebut sekarang ini telah tersedia lahan seluas 343.461 Ha yang tersebar di 10 Kabupaten untuk di garap oleh Investor, pada saatnya nanti Prof. Riyanto sebagai salah satu anggota tim percepatan pengembangan Food Estate akan menyampaikan kemajuan terkini yang telah dilakukan oleh Provinsi Kaltim dalam pembangunan Food Estate Tersebut.Konsep food estate diletakkan atas dasar keterpaduan sektor dan subsektor dalam suatu sistem agribisnis dengan memanfaatkan sumberdaya secara optimal dan lestari, dikelola secara profesional, didukung oleh sumberdaya manusia yang berkualitas, teknologi tepat guna yang berwawasan lingkungan dan kelembagaan yang kokoh. Food estate diarahkan kepada sistem agribisnis yang berakar kuat di pedesaan berbasis pemberdayaan masyarakat adat/lokal yang merupakan landasan dalam pengembangan wilayah.5._Investasi_pertanian_10_mei_12Pandangan negatif terhadap pengembangan Food Estate seperti terpinggirkannya peran petani yang terancam oleh ekpansi perusahaan pertanian skala besar serta penguasaan lahan dalam skala besar oleh pemodal asing perlu di jawab secara bijak dengan pengaturan kelembagaan seperti Delta Kayan Food Estate.Delta Kayan Food Estate dikelola dengan konsep pertanian modern berbasis ilmu pengetahuan dan teknologi, modal serta organisasi dan manajemen yang modern. Pengelolaan ini diatur secara kemitraan antara investor dengan masyarakat adat (local) secara bermatabat untuk menjawab anggapan miring bahwa Food Estate nantinya akan menjadikan rakyat sebagai buruh di atas tanahnya sendiri.

Dengan demikian desain pengembangan kawasan budidaya pangan skala luas (food estate) dirancang berdasarkan empat pendekatan, yaitu (1) pendekatan pengembangan wilayah (cluster), (2) pendekatan perwilayahan komoditas, (3) pendekatan keberlanj utan lingkungan dan (4) pendekatan pemberdayaan masyarakat (community development).Dasar keberlanjutan program pengembangan pangan (food estate) yaitu pertama, agroklimat yang cocok bagi pengembangan pangan, kedua, ketersediaan lahan untuk sawah ( 10 Kabupaten seluas 343.461 Ha), ketiga adanya investor (sudah ada 18 investor bersedia dan siap membangun rice/food estate di Kaltim) dan yang ke empat, mendukung program MP3EI Kaltim yang pada akhirnya akan menjadikan Kaltim sebagai lumbung pangan baru bagi Indonesia, untuk mendokrak ketahanan pan6.__Investasi_pertanian_10_mei_12gan Kaltim sekaligus Nasional.Pembangunan Food Estate di Kaltim bukanlah tanpa kendala, diperlukan kerjasama antar pihak untuk memastikan Food Estate di Kaltim dapat terwujud, terutama dukungan infra struktur, percepatan realisasi investasi dengan kemudahan perijinan di tingkat pusat dan daerah serta dukungan pemerintah Kabupaten dalam memastikan lahan yang clear dan clean serta desain pola kemitraan antara investor, masyarakat local dan pemerintah daerah untuk menghindarkan konflik social dan budaya di kemudian hari. Ungkap Gubernur Kaltim melalui Asisten II.Pemaparan narasumber dan diskusi pada sesi kedua dengan moderator Drh. Syaiful Akhyar,M.Si Kepala Badan Ketahanan Pangan dan Penyuluhan Provinsi Kalimantan Timur pada kesempatan pertama narasumber oleh Ir. Jamil Musanif, Direktur Pengembangan Usaha dan Investasi, Ditjen P2HP Kementrian Pertanian dengan judul Kebijakan Pemerintah Dalam Rangka Peningkatan Investasi Pertanian Skala Luas; pemaparan narasumber kedua oleh Kepala BAPPEDA Provinsi Kalimantan Timur, DR.Ir.H. Rusmadi.MS dengan judul paparan Kebijakan Pembangunan Pertanian Dalam Arti Luas di Kalimantan Timur; pemaparan ketiga oleh Prof.DR.Ir. Riyanto,M.Sc Ketua Tim Percepatan Pembangunan Food/Rice Estate Provinsi Kalimantan Timur dengan judul paparan Perkembangan Food Estate di Kalimantan Timur; pemaparan narasumber ke empat oleh Drs.H. Yadi Sabian Noor,MM Kepala Badan Perizinan dan Penanaman Modal Daerah (BPPMD) Provinsi Kalimantan Timur dan pemaparan kelima atau terakhir oleh Ir. Muhammad Yasir, General Manager PT. Sang Hyang Seri (Persero) Kantor Regional VI dengan judul paparan Implementasi program GP3K dalam rangka peningkatan investasi pangan.Diskusi rapat mendapat aprisiasi dari peserta terutama pihak investor yang meminta penjelasan tentang status lahan food estate kepada pihak Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur dan pihak Pemerintah Provinsi Kaltim melalui Kepala Badan Perizinan dan Penanaman Modal Daerah, Drs.H. Yadi Sobian Noor,MM memberikan penjelasan dengan gamblang dan siap membantu dalam memberikan pelayanan kepada pihak investor. (Humas BAPPEDA Kaltim/Sukandar,S.Sos).

Kebijakan Pengupanan dan Investasi

Tahun 2012 kita masuki dengan rangkaian gejolak rakyat kecil yang menuntut dan mempertahankan haknya: buruh menuntut kenaikan upah minimum, petani menuntut lahan, pedagang kaki lima mempertahankan lapaknya. Gejolak ini secara jelas memperlihatkan dua kecenderungan yang semakin tajam. Pertama pengabaian Negara terhadap kesejahteraan warganegara dan kedua pemihakan pemerintah terhadap pemilik modal. Kedua kecenderungan ini paling jelas tampak dari rangkaian demonstrasi buruh menuntut kenaikan upah minimum. Ironisnya peristiwa ini terjadi di saat secara makro Indonesia dinyatakan sebagai Negara yang amat diminati investor asing dan peringkat investasinya dinyatakan terus membaik. Bagaimana menjelaskan ironi ini? Jawabannya ada pada kebijakan investasi yang ketinggalan jaman dengan menjual upah murah, di tengah tuntutan investor yang sudah jauh bergeser dari aspek upah upah murah ditambah dengan ketidaktegasan pemerintah terhadap peraturan-peraturannya sendiri.

Secara resmi pemerintah Indonesia melalui BKPM Badan Koordinasi Penanaman Modal - mengundang investor (asing) dengan mengunggulkan murahnya harga tenaga kerjanya dibandingkan dengan harga tenaga kerja di Filipina, Thailand, Malaysia, India dan Cina, di samping kelimpahan sumber daya manusianya (www.bkpm.go.id). Harga tenaga kerja Indonesia secara menyolok dinyatakan paling murah di antara Negara-negara tersebut yakni US$0.6 per jam (=Rp.5,400). Bandingkan dengan upah Filipina dan Thailand serta Malaysia yang masing-masing US$ 1.04, US$1.63 dan 2.88. Secara tegas dinyatakan dalam laman tersebut bahwa dari aspek biaya tenaga kerja upah buruh di Indonesia adalah yang paling rendah di antara 10 negara ASEAN dan bahkan jika dibandingkan dengan pusat-pusat investasi di Cina dan India.

Menjual tenaga murah di tengah persaingan global yang semakin sengit dan masuknya Indonesia sebagai anggota G-20 merupakan cara yang terlalu primitive dan melukai harga diri bangsa. Apalagi kedatangan investor asing ke Indonesia paling utama didasarkan pada pertimbangan letak geografis Indonesia yang amat strategis untuk menjangkau pasar regional Asia yang kini semakin kuat dan kekuatan pasar domestik Indonesia yang makin menjanjikan keuntungan. Dari titik ini menjual murah tenaga kerja justru menjadi disinsentif bagi investasi karena menurunkan daya beli buruh yang juga adalah sasaran pasar produk bagi investasi asing. Rendahnya upah yang menurunkan daya beli telah terbukti dari penelitian di tingkat mikro yang menunjukkan bahwa upah minimum hanya mampu membiayai 62% pengeluaran riil buruh dan sebagian besar pengeluaran tersebut adalah untuk kebutuhan dasar pangan (AKATIGA 2009).

Upah yang rendah juga menurunkan produktivitas dan mutu tenaga kerja - satu hal yang justru diakui menjadi keunggulan dan daya tarik bagi investor asing untuk berkegiatan di Indonesia. Berbagai manajer perusahaan besar multinasional mengakui bahwa kualitas produk yang dihasilkan oleh tangan-tangan buruh Indonesia jauh di atas yang dihasilkan oleh tangan-tangan buruh di Cina, Kamboja, Vietnam. Itulah sebabnya ketika investor Indonesia atau perusahaan multinasional lain melebarkan sayapnya ke Negara-negara tersebut, membawa serta tenaga-tenaga Indonesia untuk melatih dan menularkan keunggulan mutu kerjanya kepada buruh-buruh di Negara-negara itu. Upah yang rendah memaksa buruh bekerja lembur. Penelitian AKATIGA bersama ILO akhir tahun lalu menemukan para buruh garmen di kawasan berikat Nusantara baru akan memperoleh Rp.2,500,000 per bulan apabila mereka bekerja 12-16 jam sehari. Jam kerja sepanjang itu akan berdampak negative terhadap produktivitas karena berkurangnya waktu untuk mereproduksi tenaganya untuk esok hari. Jika upah murah dipertahankan hal itu justru akan menjadi disinsentif lain bagi investor.

Bahwa upah buruh pun dengan kenaikan upah minimum setiap tahun - bukan persoalan utama bagi investor dan bagi usaha menggairahkan iklim investasi sudah berkali-kali dan secara rutin dinyatakan oleh berbagai survey berskala internasional maupun dan mikro. Laporan ADB misalnya menyebutkan bahwa hambatan utama yang dihadapi investor adalah birokrasi yang korup dan buruknya infrastruktur. Ketua Dewan Ekonomi Nasional Chairul Tanjung juga meyebutkan bahwa 3 hambatan utama investasi adalah korupsi, birokrasi dan infrastruktur. Berbeda dengan arus utama pemberitaan di media massa yang acap kali menyebutkan bahwa investor resah karena upah buruh yang terlalu tinggi, sebagian kalangan pengusaha asing maupun dalam negeri mengakui bahwa upah buruh bukan masalah dan mereka akan membayar berapapun yang ditetapkan pemerintah asal peraturannya jelas dan konsisten serta mereka tidak dibebani oleh berbagai pungutan yang justru menghambat jalannya usaha. Jelaslah hal tersebut menunjukkan bahwa masalah upah buruh hanya menempati urutan belakang dari deretan problem investasi. Maka amat tidak adil dan tidak menjawab persoalan jika upah buruh terus ditekan dan dijadikan prioritas dalam pembenahan iklim investasi karena bukan di situ persoalannya.

Menekan upah buruh juga tidak sejalan dengan rencana pemerintah untuk meningkatkan taraf industrialisasi ke tingkat yang lebih tinggi. Upah yang layak dan investasi untuk peningkatan sumber daya manusia menjadi penting ketika Indonesia hendak menuju ke Negara industri tahap ketiga yang mengandalkan sumber daya manusia berketerampilan dan pengetahuan yang tinggi.

Dari sisi regulasi, inkonsistensi aparat pemerintah dalam penerapan peraturan amat mengganggu operasi investasi. Sudah jamak ditemukan di lapangan bahwa peraturan dapat diperjualbelikan yang dampaknya amat membebani usaha dan menekan upah buruh. Berbagai pengalaman di tingkat mikro menunjukkan perilaku aparat pemerintah yang longgar terhadap peraturan menyebabkan terjadinya trade-off dengan pengusaha yang menyebabkan semakin tertekannya upah. Temuan survey AKATIGA (2007) terhadap pengusaha tekstil dan garmen di Bandung misalnya menunjukkan ketidakberdayaan pengusaha menghadapi pungutan-pungutan daerah dan sebagai akibatnya mereka harus menekan upah buruh agar pembiayaan dan kegiatan usaha dapat tetap berjalan.

Sudah semakin jelas dari fakta-fakta tersebut bahwa strategi untuk memenangkan hati para investor bukanlah dengan menjual buruh dengan upah murah akan tetapi dengan meningkatkan daya beli dan produtivitas buruh dengan memberikan upah yang layak. Pemberian upah layak akan berkorelasi positif dengan peningkatan produktivitas karena buruh dapat bekerja dengan tenang. Meningkatkan profesionalisme aparat pemerintah di daerah dan di pusat dan membenahi infrastruktur menjadi prioritas utama yang amat dinantikan oleh para investor. Menempuh ketiga langkah itu secara bersama-sama pasti akan semakin menggairahkan investasi karena buruh akan semakin produktif, keuntungan pengusaha lebih pasti dan gejolak hubungan industrial akan jauh berkurang.

Ketiganya akan dapat dicapai dengan tampilnya para penyelenggara Negara yang konsisten dan memegang teguh nilai-nilai kejujuran dalam menjalankan tugasnya menciptakan kehidupan yang sejahtera bagi seluruh warganegara.

Kebijakan Investasi dan Kinerja Sektor Ekonomi di Kalimantan Timur: Prospek dan Retrospek

Dalam skala regional dan global, persaingan antar sesama negara di kawasan Asia seperti China, India, Thailand dan Vietnam dalam menarik investasi ke negaranya masing-masing menjadi semakin berat. Dengan latar belakang situasi ekonomi dalam dan luar negeri seperti saat ini, maka diperlukan serangkaian upaya-upaya untuk memperbaiki iklim investasi agar Indonesia kembali menjadi tempat tujuan investasi yang menarik, baik bagi investor dalam negeri maupun luar negeri.Sementara itu dalam skala nasional, Kalimantan Timur dikenal sebagai salah satu daerah terkaya di Indonesia dalam hal potensi sumber daya alam dan potensi ekonomi lainnya. Hal ini diindikasikan oleh tingginya PDRB per kapita di Kalimantan Timur serta di Kabupaten/Kota di Provinsi ini. Namun dilihat dari kinerja pembangunan sosial ekonomi, masih kurang menggembirakan, dilihat dari fenomena kemiskinan yang cukup tinggi, fasilitas pendidikan dan kesehatan yang kurang memadai, jaringan transportasi darat yang belum dapat menghubungkan seluruh daerah, dan sebagainya.Kondisi diatas menggambarkan adanya kebijakan pengelolaan sumber daya alam yang kurang optimal. Oleh karena itu, perlu terus dipelihara dan ditingkatkan pada masa-masa mendatang melalui penciptaan iklim investasi yang kondusif terhadap pencapaian visi dan misi daerah. Dengan kata lain, terdapat hubungan timbal balik (reciprocal) antara potensi sumber daya alam dengan kebijakan investasi. Dalam hal ini, faktor SDA merupakan pull factor yang dapat merangsang atau mengundang investasi; sebaliknya investasi bisa dipandang sebagai push factor yang dapat memberi nilai tambah (value added) terhadap potensi SDA yang berlimpah. Dan jika hal ini dapat dilakukan, maka investasi telah mampu mebawa proses transformasi dari basis keunggulan berbanding (comparative advantage) suatu daerah menjadi keunggulan bersaing (competitive advantage).Untuk mempercepat terciptanya iklim investasi yang kondusif tadi, maka diperlukan adanya langkah kebijakan strategis yang dapat mempercepat penciptaan iklim investasi yang kondusif khususnya di Kalimantan Timur dan di Indonesia pada umumnya. Termasuk dalam upaya pembenahan sektor ekonomi makro ini adalah perlunya kajian ulang dan/atau desain ulang konsep kelembagaan pelayanan investasi; sinkronisasi peraturan perundang-undangan khususnya antara Peraturan Daerah dengan peraturan di tingkat Pusat; revitalisasi sistem kepabeanan, perpajakan, ketenagakerjaan; dan sebagainya.

Dalam kaitan itulah, belum lama ini pemerintah telah mengeluarkan serangkaian kebijakan dalam rangka memperbaiki iklim investasi di Indonesia. Salah satu langkah yang cukup penting adalah keluarnya Inpres No. 3 Tahun 2006 tentang Paket Kebijakan Investasi, yang bertujuan untuk memperkuat kelembagaan pelayanan investasi dan sinkronisasi peraturan di tingkat daerah dan pusat; pembenahan aspek kepabeanan, ketenagakerjaan, Usaha Kecil Menengah dan Koperasi, perpajakan, dan sebagainya. Pada saat yang bersamaan, telah lahir pula Perpres No. 42 tahun 2006 tentang Komite Kebijakan Percepatan Penyediaan Infrastruktur (KKPPI) dengan tujuan untuk mendorong investasi asing dan domestik pada sektor infrastruktur.Selain kedua produk regulasi diatas, upaya mendorong iklim investasi yang sehat dan kompetitif juga dilakukan melalui pengembangan Kawasan Ekonomi Khusus Indonesia (KEKI) atau Special Economic Zone (SEZ). Wilayah-wilayah di Kalimantan Timur sendiri sangat potensial untuk dikembangkan menjadi basis-basis pertumbuhan, seperti wilayah Kawasan Industri Kariangau, Teluk Balikpapan, Simanggaris (Nunukan), Kawasan Industri Pupuk Kaltim (Bontang), Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu Sasamba (Sanga-sanga, Samarinda, dan Balikpapan), dan sebagainya. Ini belum termasuk wacana kerjasama regional yang melibatkan propinsi lain bahkan negara lain, seperti Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia and Philippines East ASEAN Growth Area (BIMP-EAGA); kawasan berikat KASABA (Kalimantan, Sarawak, dan Sabah), dan sebagainya.Berbagai pusat pertumbuhan atau pusat investasi tadi bukan saja dimaksudkan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi di Indonesia, namun juga untuk meningkatkan kesempatan kerja, meningkatkan penghasilan masyarakat, dan mengurangi kemiskinan. Ini berarti pula, paket kebijakan investasi dan penetapan kawasan pertumbuhan sesungguhnya ditujukan untuk menghasilkan multiplier effect dan snowball effect secara sektoral, serta spreading effect secara spasial. Dengan kata lain, kebijakan tadi bukan tujuan, melainkan alat atau stimulan untuk menggerakkan perekonomian daerah menuju terciptanya kesejahteraan masyarakat yang makin baik.

Namun dalam prakteknya, banyak sekali ditemukan persoalan yang menghambat tumbuhnya investasi di daerah secara progresif. Kajian Ray and Redi (2003, dalam Effendi, 2006) menunjukkan 4 (empat) faktor yang menjadi penyebab lemahnya kinerja investasi, yakni faktor perijinan dan birokrasi, pungutan formal, pungutan informal, dan pelayanan. Dari 12 provinsi yang disurvei, 2 daerah buruk dalam proses perijinan usaha, 9 daerah berkinerja rendah dalam indikator pungutan formal dan 5 daerah indikator pungutan informal, serta 5 daerah menunjukkan performa buruk dalam aspek pelayanan. Kalimantan Barat sebagai satu-satunya provinsi di Kalimantan, memiliki skor negatif pada 2 (dua) indikator, yakni perijinan usaha dan pungutan formal.Diluar variabel-variabel diatas, iklim investasi dan kinerja ekonomi daerah juga sangat dipengaruhi oleh variabel lainnya seperti kepastian hukum, kejelasan aturan, efektivitas kelembagaan perijinan, dikotomi dan benturan kewenangan Pusat dan Daerah, issu ketenagakerjaan, kinerja kepabeanan, kemanan dan stabilitas politik, dan sebagainya. Ironisnya, kinerja pemerintah pada variabel-variabel inipun menunjukkan fenomena yang sangat tidak menggembirakan. Tidaklah aneh jika kemudian Jetro (dalam Effendi, 2006) menemukan bahwa iklim investasi di Indonesia jauh lebih buruk dibanding China, Thailand, Vietnam dan negara ASEAN lainnya.Tingkat kinerja yang rendah dalam menarik investasi dan menciptakan iklim berusaha yang kondusif tadi, secara langsung menghasilkan dampak negatif berupa rendahnya tingkat kesejahteraan masyarakat di daerah. Predikat Kaltim sebagai salah satu daerah terkaya di Indonesia, ternyata tidak dapat menjelma menjadi kemakmuran bagi penduduknya. Ini berarti pula, keunggulan berbanding (comparative advantage) daerah ini tidak mampu ditransformasikan menjadi keunggulan bersaing (competitive advantage). Dan kegagalan mengubah keunggulan berbanding menjadi keunggulan bersaing ini tidak terlepas dari rendahnya kinerja institusional pemerintah daerah, yang ditopang pula oleh rendahnya kinerja para pelaku ekonomi dan lembaga-lembaga khusus seperti manajemen kawasan berikat (Kapet). Selanjutnya, beberapa faktor yang berpotensi menghambat laju investasi di daerah antara lain sebagai berikut:1. Belum jelasnya pembagian kewenangan investasi antara Pusat dan Daerah, yang ditandai oleh lambatnya pengesahan RUU Penanaman Modal. Dalam tataran empirik, hingga saat ini pemerintah Pusat masih nampak ragu-ragu untuk menyerahkan kewenangan bidang investasi kepada daerah, yang jelas sekali sangat bertentangan dengan semangat Otonomi Daerah.2. Pemerintah Pusat agak lamban dalam mengimplementasikan Inpres No. 3/2006, dimana empat tindakan dalam Paket Kebijakan Perbaikan Iklim Investasi untuk periode Maret-Mei 2006 belum terselesaikan, yakni:

Penerbitan Peraturan Presiden tentang Surat Izin Usaha Pasar Modern yang konsepnya masih disempurnakan di Departemen Perdagangan. Penerbitan PP ini ditargetkan Maret 2006.

RUU Ketenagakerjaan yang masih dikaji secara akademis oleh lima perguruan tinggi.

Penyempurnaan Peraturan Menteri Dalam Negeri yang terkait dengan perizinan bagi usaha kecil menengah dan mikro (UMKM) dan pengembangan sistem pelayanan perizinan satu atap satu pintu yang tenggat waktunya April 2006.

Peraturan Menteri terkait penurunan pungutan pajak/retribusi daerah untuk menara telekomunikasi, jembatan timbang dan lalu lintas barang.3. Pemerintah Daerah belum menunjukkan dan membuktikan komitmennya untuk mendukung pengembangan dunia usaha di kawasan ekonomi khusus Indonesia (KEKI), antara lain untuk mempermudah dan menyederhanakan perijinan (baik melalui pola pelayanan satu atap maupun sistem online), penyediaan lahan yang sudah benar-benar bersih, menyediakan prasarana paling mendasar untuk pengembangan kegiatan usaha, dan sebagainya.4. Ada pencitraan bahwa daerah seolah-olah tidak mampu menjalankan urusan investasi dan pelayanan perijinan investasi. Pada saat yang bersamaan, terdapat banyak regulasi di tingkat daerah yang dipandang bertentangan dengan aturan yang lebih tinggi atau tidak sejalan dengan semangat desentralisasi fiskal. Kondisi ini jelas makin menyudutkan posisi daerah sebagai institusi publik yang kurang siap dengan konsekuensi globalisasi ekonomi mondial.

Mengingat adanya kendala yang cukup serius seperti dikemukakan diatas, maka upaya yang sistematis dari seluruh pilar pembangunan menjadi sebuah keniscayaan. Dari unsur pemerintahan daerah, perlu dilakukan reformasi birokrasi perijinan investasi yang diarahkan pada beberapa prakondisi antara lain: 1) mampu menyediakan formula kebijakan yang memberikan insentif bagi investor; 2) mampu meningkatkan efisiensi birokrasi melalui pengurangan pungutan tidak resmi, pengkajian perda yang tidak ramah investasi, dan penyederhanaan perijinan investasi; serta 3) mampu membuat masterplan jangka panjang pengembangan investasi dan promosi daerah. Sementara itu dari unsur pelaku usaha (termasuk di dalamnya manajemen kawasan berikat), perlu terus dilakukan revitalisasi manajemen untuk mencapai 2 (dua) prakondisi, yakni kemampuan meningkatkan kapasitas produk unggulan dan memperkuat daya saing daerah, serta kemampuan untuk menghasilkan multiplier effect bagi masyarakat daerah.Selain upaya diatas, penciptaan iklim investasi yang bersih, efektif, dan kondusif di daerah juga membutuhkan prasyarat dasar, yakni adanya integrasi pembangunan lintas sektoral. Artinya, pengembangan sektor investasi harus memiliki link and match langsung dengan sektor-sektor penunjangnya baik infrastruktur, ketenagalistrikan, pelabuhan laut/udara/sungai, jaringan komunikasi, jalur pemasaran produk-produk unggulan, dan sebagainya. Bahkan dunia investasi juga sangat membutuhkan adanya dukungan positif dari aspek kepastian hukum, stabilitas politik, serta konsistensi kebijakan publik.Pengembangan Kawasan Ekonomi Khusus Indonesia (KEKI) atau Special Economic Zone (SEZ) juga perlu diapresiasi sebagai upaya mempertemukan elemen-elemen industri dari hulu hingga hilir. Meski demikian, kita perlu belajar dan bercermin dari pengalaman masa lampau dalam pengelolaan kawasan khusus atau kawasan berikat. Kelemahan-kelemahan yang ada selama ini, serta kegagalan dalam menghasilkan multiplier effect bagi peningkatan kesejahteraan masayarakat dan pertumbuhan ekonomi daerah, harus dicarikan solusi terbaik agar tidak terulang dikemudian hari.Akhirnya, dalam konteks otonomi daerah, dibutuhkan adanya pembagian kewenangan yang tepat dan proporsional antara Pusat dan Daerah (Provinsi dan Kabupaten/Kota). Pemerintah Pusat dituntut untuk berbesar hati dengan memberi kepercayaan yang lebih luas kepada daerah untuk mengurus masalah investasi (domestik maupun asing). Dengan demikian, otonomi daerah diharapkan mampu mendorong daerah-daerah lebih kreatif menarik investor, antara lain melalui perbaikan sistem birokrasi perizinan, penetapan peraturan / kebijakan yang pro-investasi, serta peningkatan kemampuan SDM sektor publik.

Seminar Nasional Kebijakan Investasi Pariwisata Daerah

Direktorat Jenderal Pengembangan Destinasi Pariwisata bekerjasama dengan Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Pusat menyelenggarakan seminar dan workshop nasional tentang Kebijakan Investasi Pariwisata Daerah di Hotel Millennium Jakarta, Kamis (25/6).

Kegiatan seminar dan workshop sehari dengan menghadirkan pembicara dari kalangan akademisi, praktisi, dan pejabat terkait ini dimaksudkan untuk memetakan peluang dan potensi investasi, sekaligus memberikan pengetahuan praktis dan analisis kepada Pemerintah Daerah dalam menawarkan investasi bidang pariwisata di daerah kepada calon investor Penanaman Modal Asing (PMA) maupun Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN).

Bank Dunia dalam laporannya tahun 2000 mengisyaratkan bahwa kompetisi di bidang perdagangan dan investasi tidak lagi merujuk pada tingkat negara, tetapi sudah pada tingkat nasional dan daerah. Dengan demikian, upaya menciptakan iklim investasi pariwisata yang kondusif menjadi agenda penting bagi daerah.

Sementara itu untuk mengukur prestasi pariwisata di suatu negara, masyarakat dunia telah menggunakan standar yang telah dibakukan dalam The Travel & Tourism Competitiveness Index (TTCI) yang meliputi sekitar empat belas kreteria antara lain menyangkut masalah kebijakan, infrastruktur, lingkungan hidup, sumber daya manusia, serta pemberdayaan masyarakat lokal (community development) dalam mengembangkan pariwisata.

World Economic Forum (WEF) dalam laporannya tahun 2009, berdasarkan kreteria TTCI telah menempatkan Indonesia pada ranking 81 dengan skor 3,79 atau turun satu peringkat dibandingkan tahun 2008. Posisi ini di bawah negara-negara tetangga yang memiliki kemiripan kondisi sosial-ekonomi seperti Thailand (rangking 39) dan India (ranking 62).

Dirjen Pengembangan Destinasi Pariwisata Depbudpar Firmansyah Rahim mengatakan, melalui kegiatan seminar dan workshop ini diharapkan akan membuka wawasan dan pandangan semua pihak dalam memahami permasalahan investasi sebagai upaya meningkatkan daya saing pariwisata di tingkat nasional, regional, dan internasional.

Untuk keterangan lebih lanjut, silakan hubungi Surya Dharma, Kepala Pusat Informasi dan Humas, Departemen Kebdayaan dan Pariwisata

KEBIJAKAN PENGEMBANGAN INVESTASI INFRASTRUKTUR BIDANG KE-PU-ANInvestasi infrastruktur merupakan salah satu prasyarat utama tercapainya pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan berkelanjutan. Ketersediaan infrastruktur mencerminkan adanya investasi dan investasi yang merata mencerminkan adanyapembangunan infrastruktur yang memadai dan mampu melayani pergerakan ekonomi. Dalam konteks ini, Pemerintah dinilai banyak pihak, salah satunya KADIN, belum cukup serius dalam membangun infrastruktur apabila dilihat dari indikator alokasi anggaran infrastruktur dari total PDB-nya.

Investasi infrastruktur di Indonesia berkisar antara 5,0 hingga 7,0% dari total PDB pada paruh pertama tahun 1990-an, namun prosentase ini berkurang secara tajam setelah krisis moneter Asia sejak 1997, menjadi 2 hingga 3% saja dalam tahun-tahun belakangan ini. Pertumbuhan ekonomi Indonesia akan menjadi sangat menjanjikan (diatas 6,0%) apabila investasi infrastruktur dapat dinaikkan hingga sekurang-kurangnya5,0% dari PDB, seperti halnya negara-negara Asia lainnya seperti Filipina (3,6%), Vietnam (9,9%),bahkan India dan China berada di atas 10%, yang membuat keduanya sebagai kontributor utama pertumbuhan Asia yang mengesankan.

Investasi infrastruktur yang rendah juga menjadi penyebab merosotnya daya saing dan daya tarik investasi Indonesia dibandingkan negara tetangga dan negara lainnya secara global. Dalam hal daya saing global tersebut, maka World Competitiveness Yearbook 2007 menempatkan Indonesia pada ranking 54 dari 55 negara berkembang dan maju yang disurvai. Dengan demikian, tantangan pembangunan infrastruktur ke depan adalah bagaimana untuk terus meningkatkan investasi dalam pembangunan infrastruktur yang berkualitas dan kinerjanya semakin dapat diandalkan agar daya tarik dan daya saing Indonesia dalam konteks global dapat membaik.INVESTASI: PENGERTIAN DAN BENTUK-BENTUKNYA SESUAI PP No.1/2008 TENTANG INVESTASI PEMERINTAH

Sebagai langkah konkrit dalam investasi infrastruktur sebagai fokus pembangunan sesuai amanat APBN, maka Pemerintah telah menerbitkan PP No. 1/2008 tentang Investasi Pemerintah, menggantikan PP No. 8/2007. PP No. 1/2008 memberikan perluasan cakupan investasi, tidak hanya dalam bentuk Public Private Partnership (PPP), melainkan investasi dalam bentuk surat berharga maupun investasi langsung.

Investasi Pemerintah yang dimaksudkan PP No.1/2008 adalah penempatan sejumlah dana dan/atau barang dalam jangka panjang untuk investasi pembelian surat berharga dan Investasi Langsung untuk memperoleh manfaat ekonomi, sosial, dan/atau manfaat lainnya yang bertujuan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi dalam rangka memajukan kesejahteraan umum.

Investasi Pemerintah sesuai PP No. 1/2008 ini dilaksanakan oleh Badan Investasi Pemerintah dalam bentuk: a) investasi surat berharga, dan/atau, b) investasi langsung. Badan ini merupakan unit pelaksana investasi atau badan hukum yang kegiatannya melaksanakan investasi pemerintah berdasarkan keputusan Menteri Keuangan (Salah satu implementasi investasi pemerintah adalah rencana pembentukan perusahaan patungan (joint venture company) antara Indonesia dengan Qatar Investment Authority (QIA), dimana fokus pembangunan yang diharapkan oleh Indonesia adalah dalam bidang infrastruktur).

Investasi langsung dimaksudkan utuk mendapatkan manfaat ekonomi, sosial, dan/atau manfaat lainnya. Investasi langsung dilakukan dengan cara: a) public private partnership (PPP) yang dapat berupa Badan Usaha dan/atau BLU, b) non public private partnership yang dapat berupa Badan Usaha, BLU, pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten/kota, BLUD, dan/atau badan hukum asing, c)investasi langsung meliputi bidang infrstruktur dan bidang lainnya yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan.

Sedangkan investasi surat berharga dilakukan dengan cara pembelian saham dan/atau surat utang melalui pasar modal, yakni melalui:

Investasi dengan cara pembelian saham dapat dilakukan atas saham yang diterbitkan perusahaan.

Investasi dengan cara pembelian surat utang dapat dilakukan atas surat utang yang diterbitkan perusahaan, pemerintah, dan/atau negara lain (hanya dapat dilakukan apabila penerbit surat utang memberikan opsi pembelian surat utang kembali).

Dalam pelaksanaannya, investasi dengan kedua cara tersebut dilakukan didasarkan pada penilaian kewajaran harga surat berharga yang dapat dilakukan oleh Penasihat Investasi. Investasi dalam bentuk surat berharga dimaksudkan untuk mendapatkan manfaat ekonomi.

Investasi sangat penting mengingat investasi merupakan salah satu penentu pertumbuhan ekonomi. Investasi akan meningkatkan stok barang modal yang memungkinkan terjadinya peningkatan output. Perekonomian suatu negara akan meningkat jika proses akumulasi suatu negara juga meningkat. Proses akumulasi ini adalah adanya proses pemanfaatan sumber daya untuk meningkatkan kapasitas produksi perekonomian.

Proses akumulasi yang meningkat diperoleh dari adanya rasio antara investasi dengan produk domestik bruto yang semakin meningkat pula. Peningkatan kapasitas produksi dapat dilakukan melalui investasi secara fisik dan investasi melalui peningkatan sumber daya manusia. Rasio ini tercermin dari adanya rasio antara tabungan nasional bruto dengan produk domestik bruto yang semakin meningkat.

Hal ini dapat dijelaskan melalui investasi secara fisik, yakni melalui peningkatan barang modal, misalnya melalui peningkatan infrastruktur, seperti infrastruktur jalan, sarana irigasi, dan sebagainya. Peningkatan sarana dan prasarana jalan berimplikasi pada semakin murahnya biaya distribusi barang dan jasa. Hal ini mengakibatkan tiap unit usaha dapat menjangkau atau melayani konsumen. Lebih lanjut, jumlah unit usaha semakin meningkat, akibatnya terdapatdivision of labour atau spesialisasi dari masing-masing unit usaha. Hal ini kemudian berimplikasi pada semakin meningkatnya produksi barang dan jasa untuk dipasarkan dari masing-masing unit usaha. Atau dengan kata lain, produktivitas pekerja semakin meningkat. Meningkatnya produktivitas pekerja akan meningkatkan pendapatan mereka, dan akhirnya akan meningkatkan output nasional.

Proses akumulasi yang terjadi di berbagai lapangan usaha memiliki tingkat kecepatan yang berbeda-beda. Umumnya, proses akumulasi di sektor pertanian lebih lambat daripada di sektor industri. Hal ini disebabkan sektor pertanian mempunyai tingkat produktivitas pekerja yang lebih lambat daripada sektor di luar pertanian. Selain itu, kenaikan produktivitas per pekerja di sektor pertanian juga lebih lambat daripada sektor di luar pertanian. Itulah sebabnya, investasi sangat penting artinya bagi sektor pertanian.

Pembangunan infrastruktur ke-PU-an mempunyai peran sebagai berikut: a) meningkatkan kesejahteraan rakyat dan kehidupan sosialbudaya, terutamamewujudkan pemenuhan hak dasar rakyat, seperti pangan, sandang, papan, rasa aman, kesehatan, b) mengurangi kemiskinan, pembukaan daerah terisolasi, dan mempersempit kesenjangan antarwilayah, c) menjadi katalisator diantara proses produksi, pasar dan konsumsi akhir; merupakanSocial OverheadCapitalsebagaibarang modalbergantungnyaperkembangan ekonomi.

Peranan investasi telah terbukti dalam mewujudkan pencapaian sasaran prioritas pembangunan nasional pada tahap pertama Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Indonesia. Pemerintah menomorsatukan pembangunan infrastruktur oleh karena ketersediaan infrastruktur ke-PU-an memiliki kontribusi yang sangat signifikan bagi pembangunan masyarakat.

Berbagai studi menunjukkan elastisitas infrastruktur terhadap perubahanoutput (PDB) berkisar antara 0,07 hingga 0,44. Hal ini menunjukkan bahwa infrastruktur sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi. Di sisi lainberbagai studi menunjukkan bahwaeconomic rate of return dari investasi infrastruktur berada disekitar 19-117%, jauh di atas biaya hutang yang mungkin berkisar di antara 10% (Easterly & Seeven, 2003)PERMASALAHAN KEBIJAKAN INVESTASI

Kewajiban pemerintah untuk mengadakan infrastruktur bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat tidak didukung oleh kemampuan pembiayaan pemerintah.Untuk mencapai target pertumbuhan ekonomi setiap tahunnya sebesar 6%, dibutuhkan pembiayaan infrastruktur sebesar 5% dari total PDB. Sementara pembiayaan infrastruktur hanya sekitar 2,5% dan persentase anggaran pemerintah pusat untuk sektor Pekerjaan Umum terhadap APBN hanya sebesar 3,2% pada tahun 2007 dalam bentuk dana infrastruktur, serta dana pensiun dan asuransi. Dari Gambar 2 berikut ini dapat diperhatikan bahwa APBN (Rp 223 triliun) dan dana domestik (Rp 270 Triliun) hanya mampu memenuhi39% kebutuhan investasi infrastruktur. Dengan demikian terdapat funding gap sebesar 61% atau Rp 810 Triliun dan diharapkan dipenuhi oleh donor luar negeri (Rp 90 Triliun) dan dana domestik (Rp 720 Triliun). Sementara itu, 10% dari funding gap dimaksudkan berasal dari lembaga-lembaga multilateral. Selebihnya 90% dimaksudkan dapat diperoleh dari sumber dana domestik.

Jika dilihat dari sisi Dana Alokasi Umum (DAU), jelas bahwa DAU yang dialokasikan untuk pembangunan infrastruktur sangat kecil, tergantung pada kebijakan setiap daerah. DAU merupakanequalization grant, yakni suatu bentuk penyaluran dana bertujuan untuk pemerataan kemampuan keuangan antar daerah dengan formula yang mempertimbangkan kebutuhan dan kapasitas daerah.

Sebagaimana diamanatkan dalam UU Nomor 32 Tahun 2004 bahwa salah satu pelayanan dasar yang termasuk dalam kebutuhan fiskal daerah adalah pembangunan infrastruktur. Walaupun secara total DAU yang disalurkan ke pemerintah daerah relatif lebih besar, namun DAU tersebut sebagian besar digunakan untuk membiayai belanja pegawai. Data realisasi APBD tahun 2003, dari 196 kabupaten/kota, rata-rata persentase belanja pegawai terhadap DAU yang diterima sebesar 76,68 persen (World Bank mengatakan sekitar 40% - 50% di tahun 2006). Sementara itu, dari sisi DAK (Dana Alokasi Khusus) terjadi kenaikan nilai total DAK. Namun, porsi infrastruktur sebagai komponen DAK mengalami penurunan dari tahun ke tahun. Pada tahun 2007 sebesar 29,45% dari 32,97% pada tahun sebelumnya.

Pemerintah mempunyai skema pembiayaan untuk pelayanan dasar melalui public service obligation (PSO) dan subsidi, seperti untuk jaringan jalan perdesaan dan pemeliharaan saluran banjir. Pada prinsipnya, pembiayaan dapat dilakukan melalui kerjasama pemerintah-swasta untuk infrastruktur yang sifatnyacost recovery atau dengan model public private partnership (PPP). Sedangkan untuk proyek-proyek yang sepenuhnya komersial dapat dilaksanakan sepenuhnya oleh swasta, dan pemerintah hanya memfasilitasi melalui instrumen regulasi, khususnya perizinan kegiatan/usaha dan lokasi.

Untuk mempercepat pembangunan infrastruktur sebagai upaya mendukung pertumbuhan ekonomi, perlu melibatkanswasta dan masyarakat dalam rangka menutup kesenjangan pendanaan(funding gap). Pelibatan ini dapat dilakukan melalui pemberian insentif kepada swasta jika proyek yang dikerjakan terkait dengan sasaran pembangunan yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Pemberian insentif ini dapat berupa keringanan pembayaran pajak bagi swasta yang mau berinvestasi pada pembangunan ruas jalan yang menghubungkan kawasan perkotaan dan perdesaan.UPAYA PENINGKATAN INVESTASI BIDANG KE-PU-AN

Untuk mendukung upaya peningkatan investasi bidang ke-PU-an, maka seyogyanya pengembangan investasi (infrastruktur) berbasis pada pengembangan wilayah dan penataan ruang menjadi instrumen dasar dalam melakukan sinkronisasi pembangunan sektoral yang berkualitas dan infrastruktur yang dinamis.

Penataan ruang mempunyai peran penting dalam pembangunan infrastruktur, diantaranya: a) infrastruktur memiliki keterkaitan yang sangat kuat dengan pertumbuhan ekonomi suatu wilayah, b) wilayah yang memiliki sistem infrastruktur lebih baik memiliki pertumbuhan ekonomi dan tingkat kesejahteraan sosial serta kehidupan budaya yang lebih baik, serta c) pengembangan infrastruktur diarahkan pada kawasan strategis nasional, pusat kegiatan nasional, dan kawasan andalan. Hal ini sejalan pula dengan muatan RTRWN yang merupakan pedoman dalam penataan lokasi dan fungsi ruang untuk investasi.

Pengembangan investasi melalui pengembangan infrastruktur hendaknya diarahkan padaperwujudan struktur ruang dan pola ruang untuk mendukung perwujudan ruang wilayah nasional. Hal ini dimaksudkan untuk dapat meningkatkan fungsionalisasi kota-kota pusat kegiatan nasional, kota-kota kawasan andalan, dan kota-kota pusat kegiatan strategis nasional. Khusus untuk kota-kota prioritas, investasi melalui pengembangan infrastruktur dimaksudkan untuk mendorong adanya keterkaitan kota-desa yang saling sinergis dan menguntungkan, jalan (termasuk jalan bebas hambatan) untuk mendorong akses ke outlet (bandara dan pelabuhan) dari kota dan kawasan prioritas, serta mendorong pembukaan daerah terisolir melalui jalan lintas pulau, dan infrastruktur penyediaan air baku dan air bersih melalui pengelolaan wilayah sungai nasional terutama untuk melayani kota dan kawasan prioritas.

Sementara itu, kebijakan pengembangan infrastruktur jalan (bidang bina marga) diarahkan pada peningkatan efektivitas kinerja jaringan jalan dengan memprioritaskan padapenanganan yang memberikan daya pengungkit (leverage) yang paling besar, pemeliharaan jalan, peningkatan kapasitas dan kondisi jalan, pembangunan jalan baru, dan pembangunan jalan tol.Pemerintah mempunyaikomitmen untuk memperbaiki kondisi jalan, khususnya untuk jalan-jalan yang mengalami rusak berat. Hingga akhir tahun 2009 diharapkan tidak ada lagi jalan nasional yang mengalami rusak berat (0%), hanya jalan-jalan yang mengalami rusak ringan, yakni sepanjang 3.809 km atausebesar 11%.

Sementara itu, terkait dengan pengembangan jalan, Departemen Pekerjaan Umum menargetkan hingga tahun 2009 telah tercapai 86.510 km dari target 82.760 km pada tahun 2008. Jika dilihat dari total panjang jalan yang dibangun dari tahun 2005-2008, kenaikan panjang jalan terbesar berada di Pulau Jawa. Hal ini mencerminkan bahwa Pemerintah masih memfokuskan pembangunan hanya terkonsentrasi di Pulau Jawa. Padahal seharusnya melalui instrumen pembangunan jalan, Pemerintah dapat mendongkrak pengembangan wilayah lain di luar Pulau Jawa.

Pembangunan jalan baru hendaknya diarahkan untuk mengembangkan jaringan yang dapat memperluas aksesibilitas wilayah, terutama pada daerah terpencil(remote areas). Selain itu, diharapkan adanya pembangunan jalan baru menghubungkan wilayah-wilayah baru, baik sebagai jalan perintis maupun sebagai jalan penghubung antar provinsi, perbatasan. Pengembangan jalan tol diarahkan pada pengembangan jaringan dan alternaif pembiayaan dengan prinsip fee for service dan cost recovery sebagai dasar penetapan tarif tol.

Untuk bidang cipta karya, kebijakan pengembangan program diarahkan pada peningkatanpelayanan infrastruktur di pulau-pulau kecil terpencil, daerah terisolir dan perbatasan, penyelenggaraan pembangunan infrastruktur permukiman yang layak huni dan berkelanjutan, peningkatan penyehatan lingkungan permukiman baik di perkotaan maupun di perdesaan, serta peningkatan produktivitas fungsi kawasan perkotaan dan revitalisasi kawasan bersejarah, pariwisata, dan ruang terbuka hijau.

Pengembangan program bidang ini dilakukan dengan strategi sebagai berikut: a) penyediaan air bersih dan sanitasi pada kawasan pusat pertumbuhan,b) pengelolaan sampah dengan pendekatan reduce, reuse, recycle (3R), c) pengembangan tempat pengolahan akhir (TPA) regional terutama untuk kota metropolitan dan besar, d) pengelolaan air limbah sistem terpusat dengan instalasi pengolahan air limbah (IPAL), e) pengembangan agropolitan melalui pembangunan infrastruktur perdesaan, serta f) revitalisasi kawasan. Hingga tahun 2007, tercatat 7.273 kelurahan telah didukung melalui program penanggulangan kemiskinan di perkotaan, 4.320 unit Rusunawa telah dibangun, 2.311.590 penduduk terlayani air bersih, 87 kabupaten/kota tertangani air limbahnya dan 42 kabupaten/kota tertangani pengelolaan sampahnya.

Untuk bidang sumber daya air, hingga akhir tahun 2007 lalu tercatat tak kurang dari 7 juta hektar jaringan irigasi telah terbangun, termasuk 1,8 juta hektar jaringan irigasi rawa, 238 waduk dan 209 embung besar yang kesemuanya diarahkan kepada upaya pencapaian produksi beras sebesar 2 juta ton. Kegiatan yang dilakukan antara lain adalah dengan meningkatkan jaringan irigrasi, memaksimalkan pemanfaatan air tanah, menyediakan dan mengelola air baku, merehabilitasi rawa, pembangunan pengaman pantai, waduk, sungai dan danau. Prasarana pengendali banjir 10 tahunan untuk mengamankan kawasan seluas 10.000 ha (1.250 km) pun telah dibangun.PERAN DEPARTEMEN PEKERJAAN UMUM

Departemen Pekerjaan Umum yang mempunyai tupoksi untuk menjalankan pemerintahan di bidang pekerjaan umum hendaknya dapatmengembangkan suatu wilayah melalui pembangunan infrastruktur. Oleh karena itu, pembangunan infrastruktur seharusnya dilakukan konsisten berbasis penataan ruang. Berbagai kebijakan penataan ruang (RTRWN, RTR Pulau) hendaknya dijadikan sebagai pedoman yang mensinergikan dimensi sektoral dan dimensi wilayah dari pembangunan.

Dalam rangka meningkatkan peluang investasi di bidang sumber daya air, maka sebagaimana diatur dalam UU No. 7 Tahun 2004 dan PerPres No. 67 Tahun 2005 tentang Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha dalam Penyediaan Infrastruktur.Perpres 67/2005 kini tengah direvisi untuk perbaikan proses tender dan percepatan pembangunan proyek infrastruktur. Beberapa proyek infrastruktur strategis yang masuk dalam program percepatan tender, serta berada dibawah kewenangan Departemen PU, diantaranya adalah pembangunan jalan tol Trans Jawa yang menggabungkan 10 ruas jalan tol dari Serang hingga Probolinggo (652,32 km), jembatan Surabaya, Madura, pembangunan jalan nasional trans Sumatera, trans Kalimantan, trans Sulawesi, program perumahan susun 1000 tower dan program penyambungan 10 juta SR (Sambungan Rumah) yang membutuhkan total investasi Rp. 86 Trilyun dalam tiga tahun ke depan.

Selain itu, dalam bidang jalan tol, misalnya, Departemen PU telah berhasil menjalankan perannya sebagai katalis dalam perwujudan kebijakan pembangunan jalan tol. Misalnya pada ruas Becakayu (Bekasi Timur, Cawang, Kampung Melayu) sepanjang 21 km dengan total investasi Rp. 5,74 Trilyun, ruas tol ini tengah dibangun melalui skema sindikasi pembiayaan jalan tol yang melibatkan Departemen Keuangan, BPJT, PT BNI (Bank Negara Indonesia) sebagai agen fasilitas kredit pembangunan jalan tol (b