BAB I
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Tindak kekerasan di dalam rumah tangga
(domestic violence) merupakan jenis kejahatan yang kurang
mendapatkan perhatian dan jangkauan hukum. Tindak kekerasan di
dalam rumah tangga pada umumnya melibatkan pelaku dan korban
diantara anggota keluarga di dalam rumah tangga, sedangkan bentuk
tindak kekerasan bisa berupa kekerasan fisik dan kekerasan verbal
(ancaman kekerasan). Pelaku dan korban tindak kekerasan didalam
rumah tangga bisa menimpa siapa saja, tidak dibatasi oleh strata,
status sosial, tingkat pendidikan, dan suku bangsa.Tindak kekerasan
pada istri dalam rumah tangga merupakan masalah sosial yang serius,
akan tetapi kurang mendapat tanggapan dari masyarakat dan para
penegak hukum karena beberapa alasan, pertama: ketiadaan statistik
kriminal yang akurat, kedua: tindak kekerasan pada istri dalam
rumah tangga memiliki ruang lingkup sangat pribadi dan terjaga
privacynya berkaitan dengan kesucian dan keharmonisan rumah tangga
(sanctitive of the home), ketiga: tindak kekerasan pada istri
dianggap wajar karena hak suami sebagai pemimpin dan kepala
keluarga, keempat: tindak kekerasan pada istri dalam rumah tangga
terjadi dalam lembaga legal yaitu perkawinan. (Hasbianto,
1996).
Perspektif gender beranggapan tindak kekerasan terhadap istri
dapat dipahami melalui konteks sosial. Menurut Berger (1990),
perilaku individu sesungguhnya merupakan produk sosial, dengan
demikian nilai dan norma yang berlaku dalam masyarakat turut
membentuk prilaku individu artinya apabila nilai yang dianut suatu
masyarakat bersifat patriakal yang muncul adalah superioritas
laki-laki dihadapan perempuan, manifestasi nilai tersebut dalam
kehidupan keluarga adalah dominasi suami atas istri.
B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang masalah di atas, maka muncul tugas penulis
untuk menjelaskan lebih jauh tentang KDRTC. Tujuan Tujuan dari
penyususnan makalah ini adalah agar mahasiswa dapat menambah
khazanah ilmu pengetahuan mengenai : KDRT
BAB II
PEMBAHASAN
A. Kekerasan Terhadap Perempuan
Komnas Perempuan (2001) menyatakan bahwa kekerasan terhadap
perempuan adalah segala tindakan kekerasan yang dilakukan terhadap
perempuan yang berakibat atau kecenderungan untuk mengakibatkan
kerugian dan penderitaan fisik, seksual, maupun psikologis terhadap
perempuan, baik perempuan dewasa atau anak perempuan dan remaja.
Termasuk didalamnya ancaman, pemaksaan maupun secara sengaja
meng-kungkung kebebasan perempuan. Tindakan kekerasan fisik,
seksual, dan psikologis dapat terjadi dalam lingkungan keluarga
atau masyarakat.Kekerasan dalam rumah tangga menurut Undang-undang
RI no. 23 tahun 2004 adalah setiap perbuatan terhadap seseorang
terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau
penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan atau
penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan
perbuatan, pemaksaan, atau pe-rampasan kemerdekaan secara melawan
hukum dalam lingkup rumah tangga.Tindakan kekerasan terhadap istri
dalam rumah tangga merupakan salah satu bentuk kekerasan yang
seringkali terjadi pada perempuan dan terjadi di balik pintu
tertutup. Tindakan ini seringkali dikaitkan dengan penyiksaan baik
fisik maupun psikis yang dilakukan oleh orang yang mempunyai
hubungan yang dekat.Tindak kekerasan terhadap istri dalam rumah
tangga terjadi dikarenakan telah diyakini bahwa masyarakat atau
budaya yang mendominasi saat ini adalah patriarkhi, dimana
laki-laki adalah superior dan perempuan inferior sehingga laki-laki
dibenarkan untuk menguasai dan mengontrol perempuan. Hal ini
menjadikan perempuan tersubordinasi. Di samping itu, terdapat
interpretasi yang keliru terhadap stereotipi jender yang
tersosialisasi amat lama dimana perempuan dianggap lemah, sedangkan
laki-laki, umumnya lebih kuat. Sesuai dengan yang dinyatakan oleh
Sciortino dan Smyth, 1997; Suara APIK,1997, bahwa menguasai atau
memukul istri sebenarnya merupakan manifestasi dari sifat superior
laki-laki terhadap perempuan.Kecenderungan tindak kekerasan dalam
rumah tangga terjadinya karena faktor dukungan sosial dan kultur
(budaya) dimana istri di persepsikan orang nomor dua dan bisa
diperlakukan dengan cara apa saja. Hal ini muncul karena
transformasi pengetahuan yang diperoleh dari masa lalu, istri harus
nurut kata suami, bila istri mendebat suami, dipukul. Kultur di
masyarakat suami lebih dominan pada istri, ada tindak kekerasan
dalam rumah tangga dianggap masalah privasi, masyarakat tidak boleh
ikut campur (http://kompas.com).Saat ini dengan berlakunya
undang-undang anti kekerasan dalam rumah tangga disetujui tahun
2004, maka tindak kekerasan dalam rumah tangga bukan hanya urusan
suami istri tetapi sudah menjadi urusan publik. Keluarga dan
masyarakat dapat ikut mencegah dan mengawasi bila terjadi kekerasan
dalam rumah tangga (http://kompas.com).
B. Bentuk-bentuk kekerasan terhadap perempuan
Menurut Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tindak kekerasan
terhadap istri dalam rumah tangga dibedakan kedalam 4 (empat) macam
:
1. Kekerasan fisik
Kekerasan fisik adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit,
jatuh sakit atau luka berat. Prilaku kekerasan yang termasuk dalam
golongan ini antara lain adalah menampar, memukul, meludahi,
menarik rambut (menjambak), menendang, menyudut dengan rokok,
memukul/melukai dengan senjata, dan sebagainya. Biasanya perlakuan
ini akan nampak seperti bilur-bilur, muka lebam, gigi patah atau
bekas luka lainnya.
2. Kekerasan psikologis / emosional
Kekerasan psikologis atau emosional adalah perbuatan yang
mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya
kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya dan / atau
penderitaan psikis berat pada seseorang.
Perilaku kekerasan yang termasuk penganiayaan secara emosional
adalah penghinaan, komentar-komentar yang menyakitkan atau
merendahkan harga diri, mengisolir istri dari dunia luar, mengancam
atau ,menakut-nakuti sebagai sarana memaksakan kehendak.
3. Kekerasan seksual
Kekerasan jenis ini meliputi pengisolasian (menjauhkan) istri
dari kebutuhan batinnya, memaksa melakukan hubungan seksual,
memaksa selera seksual sendiri, tidak memperhatikan kepuasan pihak
istri.
4. Kekerasan ekonomi
Setiap orang dilarang menelantarkan orang dalam lingkup rumah
tangganya, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena
persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan,
perawatan atau pemeliharaan kepada orang tersebut. Contoh dari
kekerasan jenis ini adalah tidak memberi nafkah istri, bahkan
menghabiskan uang istri (http://kompas.com., 2006).
C. Faktor-faktor yang mendorong terjadi kekerasan Strauss A.
Murray mengidentifikasi hal dominasi pria dalam konteks struktur
masya-rakat dan keluarga, yang memungkinkan terjadinya kekerasan
dalam rumah tangga (marital violence) sebagai berikut:
1. Pembelaan atas kekuasaan laki-laki
Laki-laki dianggap sebagai superioritas sumber daya dibandingkan
dengan wanita, sehingga mampu mengatur dan mengendalikan
wanita.
2. Diskriminasi dan pembatasan dibidang ekonomi
Diskriminasi dan pembatasan kesempatan bagi wanita untuk bekerja
mengakibatkan wanita (istri) ketergantungan terhadap suami, dan
ketika suami kehilangan pekerjaan maka istri mengalami tindakan
kekerasan.
3. Beban pengasuhan anak
Istri yang tidak bekerja, menjadikannya menanggung beban sebagai
pengasuh anak. Ketika terjadi hal yang tidak diharapkan terhadap
anak, maka suami akan menyalah-kan istri sehingga tejadi kekerasan
dalam rumah tangga.
4. Wanita sebagai anak-anak
konsep wanita sebagai hak milik bagi laki-laki menurut hukum,
mengakibatkan kele-luasaan laki-laki untuk mengatur dan
mengendalikan segala hak dan kewajiban wanita. Laki-laki merasa
punya hak untuk melakukan kekerasan sebagai seorang bapak melakukan
kekerasan terhadap anaknya agar menjadi tertib.
5. Orientasi peradilan pidana pada laki-laki
Posisi wanita sebagai istri di dalam rumah tangga yang mengalami
kekerasan oleh suaminya, diterima sebagai pelanggaran hukum,
sehingga penyelesaian kasusnya sering ditunda atau ditutup. Alasan
yang lazim dikemukakan oleh penegak hukum yaitu adanya legitimasi
hukum bagi suami melakukan kekerasan sepanjang bertindak dalam
konteks harmoni keluarga.
D. Efek KDRT Kekerasan dalam rumah tangga sangat merugikan
perempuan yang menjadi korbannya. Selain efek kerusakan fisik yang
dialami, efek efek lainnya dapat bertahan seumur hidup, wanita
menderita secara emosional, sosial, dan finansial sebagai akibat
dari kekerasan dalam rumah tangga. Mereka dapat mengalami kesulitan
secara finansial, kehilangan rumah, pekerjaan, harga diri dan anak
anaknya. Selain itu mereka juga bisa dijauhi oleh keluarga dan
teman temannya.
Beberapa masalah psikologis yang dikaitkan dengan korban
kekerasan dalam rumah tangga bersifat sementara dan merupakan efek
bukanlah penyebab dari kekerasan tersebut. Masalah tersebut
biasanya membuat wanita keluar dari penyiksaan tersebut, walaupun
penyiksaan tersebut meninggalkan luka emosional seperti rendahnya
harga diri. Masalah masalah tersebut biasanya akan menghilang
dengan hilangnya siksaan dan dimulainya dukungan emosional dari
orang lain. Banyak korban yang mengembangkan strategi koping yang
tidak baik, berbahaya dan tidak efektif seperti pemakaian narkoba,
ketidakpastian pekerjaan, gangguan makan, pelacuran, hubungan yang
bermasalah dengan orang lain, sakit, stes, harga diri yang rendah
dan penyiksaan anak.
Battered women syndrome
Merupakan sindroma psikologik yang ditemukan pada perempuan
hidup dalam siklus KDRT yang berkepanjangan. Dicirikan dengan
perilaku tak berdaya, menyalahkan diri, ketakutan akan keselamatan
diri dan anaknya, serta ketidakberdayaan untuk menghindar dari
pelaku kekerasan.
Gangguan stres pascatraumaMerupakan problem mental serius yang
terjadi pada korban yang mengalami penganiayaan luar biasa
(perkosaan, penyiksaan, dan ancaman pembunuhan). Ciri khas dari
stres pascatrauma (PTSD) adalah penderita tampak selalu tegang dan
ketakutan, menghindari situasi situasi tertentu, gelisah, tidak
bisa diam, takut tidur, takut sendirian, serta mimpi buruk, seperti
mengalami kembali peristiwa traumatisnya
DepresiMerupakan problem kejiwaan yang paling sering ditemukan
pada korban KDRT. Gejala yang khas adalah perasaan murung,
kehilangan gairah hidup, putus asa, perasaan bersalah dan berdosa,
serta pikiran bunuh diri sampai usaha bunuh diri. Gejala depresi
sering terselubung dalam wujud keluhan fisik, seperti kelelahan
kronis, problem seksual, kehilangan nafsu makan (atau sebaliknya),
dan gangguan tidur.
Gangguan panikMerupakan gangguan cemas akut yang sering dijumpai
korban KDRT. Penderita mengalami serangan ketakutan katastrofik
bahwa dirinya akan mati atau menjadi gila (biasanya didahului
keluhan subjektif, seperti sesak napas, perasaan tercekik, berdebar
debar, atau perasaan durealisasi). Ganguan panik yang tidak
ditangani dengan benar akan berkembang menjadi agorafobia, yakni
takut keramaian dan cenderung menghindar dari kehidupan sosial.
Keluhan psikosomatisPerempuan korban KDRT sering kali datang ke
fasilitas kesehatan dengan keluhan fisik kronis, seperti sakit
kepala, gangguan pencernaan, sesak napas, dan jantung berdebar.
Namun, pada pemeriksaan medis tidak ditemukan penyakit fisik.
Kondisi ini disebut sebagai gangguan psikosomatis. Keluhan
psikosomatis bukan gangguan buatan atau sekadar upaya mencari
perhatian. Namun, merupakan penderitaan yang sungguh dirasakan
penderita, yakni konversi dari problem psikis yang tak mampu
diungkapkan.
E. KDRT sebagai Permasalahan Sosial
Perilaku kekerasan dalam kehidupan rumah tangga telah dikenal
sebagai permasalahan sosial semenjak 30 tahun terakhir ini.
Permasalahan ini dianggap terjadi sebagai siklus yang berulang.
Istri yang mengalami kekerasan karena alasan alasan tertentu tidak
mampu meninggalkan kehidupan kekerasan yang dialaminya. Berbagai
perilaku kekerasan yang dilakukan oleh suami terhadap istrinya atau
anak-anaknya akan menjadi mimpi buruk yang akan terus diingat oleh
anak sampai ia menginjak masa dewasa. Ingatan inilah yang akan
membuatnya lebih rentan untuk mengulangi kekerasan yang sama
dibandingkan anak-anak lain yang hidup dalam keluarga yang hangat
dan harmonis. Jika hal ini sampai terjadi, tidak tertutup
kemungkinan perilaku kekerasan dalam rumah tangga ini akan diulang
kembali oleh generasi ketiga, keempat dan seterusnya. Hal ini akan
menjadi siklus kekerasan yang tidak ada ujungnya dan berkembang
menjadi permasalahan sosial dalam masyarakat. Efek kekerasan ini
akan mempengaruhi berbagai aspek kehidupan sang korban. Kekerasan
dalam rumah tangga akan berdampak pada kemiskinan ( terutama bagi
wanita yang memutuskan untuk bercerai ), pengabaian anak yang
berdampak pada child abuse, pemakaian obat obat terlarang, juvenile
deliquency, dan lain sebagainya
Alasan atau pemicu kekerasan dalam rumah tanga pun bukan karena
persoalan jender, namun hal tersebut acapkali terjadi karena:
1. Kurang komunikasi, Ketidakharmonisan
2. Alasan Ekonomi
3. Ketidakmampuan mengendalikan emosi
4. Ketidakmampuan mencari solusi masalah rumah tangga apapun,
dan juga 5. kondisi mabuk karena minuman keras dan narkoba.
Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum)
siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang
yang yakin.TQS. Al Maidah : 50
f. Pandangan Islam Tentang KDRT
Islam adalah agama keTuhanan sekaligus agama kemanusiaan dan
kemasyarakatan (Q.S. al-imran: [3] 112). Dalam pandangan Islam,
manusia mempunyai dua kapasitas, yaitu sebagai hamba (abid) dan
sebagai representatif Tuhan (khalifah), tanpa membedakan jenis
kelamin, etnik, dan warna kulit (Q.S. al-Hujurat [49]: 13),
yaitu:
Yang artinya :
Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang
laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu
berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling
kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu
di sisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa di antara kamu.
Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal (QS.
49:13)
Rasulullah saw bersabda yang artinya: hak dan kewajiban Allah
terhadap hamba-Nya dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu
apapun. HR. Bukhari
KDRT dalam pandangan Islam, bisa disebut kejahatan atau bukan
ketika bersesuaian dengan konsep Islam dalam memandang kekerasan
sebagai kejahatan. Kejahatan atau jarimah adalah
perbuatan-perbuatan tercela (qabih) yang ditetapkan oleh hukum
syara. Inilah standar penting untuk menilai apakah perbuatan
tersebut termasuk kriminalitas atau bukan. Kejahatan juga bukanlah
suatu yang fithri pada diri manusia. Kejahatan bukan pula "profesi"
yang diusahakan oleh manusia. Juga bukan penyakit yang menimpa
manusia. Kejahatan adalah tindakan melanggar aturan, baik aturan
dengan Rabbnya, dirinya, dan dengan manusia lainnya. Sehingga dalam
Islam Homoseksual atau masokhisme adalah kejahatan, bukan penyakit
mental apalagi pembawaan manusia. Berdasarkan Syariat Islam ada
beberapa bentuk kekerasan yang bisa menimpa wanita:1. Qadzaf yakni
menuduh wanita baik-baik berzina tanpa bisa memberikan bukti yang
bisa diterima oleh syariat Islam. Sanksi hukumnya adalah 80 kali
cambukan.
"Dan orang-orang yang menuduh perempuan-perempuan yang baik
(berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat saksi maka
deralah 80 kali"(Q.S An-Nuur: 4-5)2. Membunuh: Hal ini bisa menimpa
wanita atau laki-laki. Dalam hal ini sanksi bagi pelakunya adalah
qishas.
Diwajibkan atas kamu qishos berkenaan dengan orang-orang yang
dibunuh"(QS Al baqarah: 179)3. Mendatangi wanita pada duburnya
hukumnya adalah haram. Sanksi hukum adalah Ta'zir dengan bentuk
hukuman yang diserahkan pada pengadilan.Dari Ibnu Abbas berkata,
Rasulullah saw bersabda: "Allah tidak akan melihat seorang
laki-laki yang mendatangi laki-laki dan mendatangi istrinya pada
duburnya"4. Bentuk kekerasan lain yang menimpa wanita (termasuk
juga laki-laki) adalah penyerangan terhadap anggota tubuh. Siapapun
yang melakukannya walaupun oleh suaminya sendiri adalah kewajiban
membayar 1diyat/tebusan (100 ekor unta) jika terbunuh. Dan jika
organ tubuh yang disakiti maka diyatnya adalah: untuk 1 biji mata
diyat (50 ekor unta), setiap jari kaki dan tangan, 10 ekor unta;
luka sampai selaput batok kepala, 1/3 diyat; luka dalam, 1/3 diyat;
luka sampai ke tulang dan mematahkannya, diyat 15 ekor unta; setiap
gigi, 5 ekor unta; luka sampai ke tulang hingga kelihatan, diyat 5
ekor unta.5. Perbuatan Cabul seperti berusaha melakukan zina dengan
perempuan (namun belum sampai melakukannya) dikenakan sanksi
penjara 3 tahun, ditambah jilid dan pengusiran
ANTARA KEKERASAN dan TADIB Islam membolehkan melakukan tindakan
kekerasan sebagai ta'dib (mendidik) dalam rumahtangga. Kekerasan
yang dimaksud disini bukanlah kekerasan yang dilakukan dengan
landasan amarah atau kekerasan yang sampai melukai atau (bahkan)
membunuh. Tapi, bentuk kekerasan yang dimaksud adalah bentuk-bentuk
tindakan fisik yang dibolehkan oleh syara. Ketika syara tidak
membolehkan bahkan mengharamkannya maka itu adalah kejahatan.
...Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah
mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka dan pukullah
mereka. Kemudian jika ereka mentaatimu, maka janganlah kamu
mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha
Mengetahui lagi Maha Mengenal, TQS. An Nisa : 34 Allah SWT telah
menjelaskan keadaan kaum perempuan adakalanya mereka taat dan
adakalanya membangkang (nusyuz). Termasuk nusyuz adalah mereka yang
menyombongkan diri dan tidak melakukan ketaatan kepada suami. Maka
ketika tanda-tanda nusyuz tampak, suami wajib melakukan beberapa
langkah dalam upaya meyadarkan dan mengembalikan keadaan istri ke
jalan yang benar. Dimulai dengan menasihati, kemudian memisahkan
diri dan berpaling dari istri dan langkah ketiga memberikan pukulan
yang tidak menyakitkan dan tidak membekas, dengan tujuan kebaikan.
Ibn Abbas memperjelasnya dengan pukulan yang tidak menyakitkan,
tidak mematahkan tulang dan tidak menimbulkan luka. Jika Istri
mentaati perintah suami, maka suami dilarang untuk mencari-cari
kesalahan istri dan mendzaliminya.
Rasulullah adalah teladan kepala rumah tangga dengan para
ummahatul mukminin sebagai contoh figure istri, ibu dan pengatur
rumahtangga yang baik. Rasulullah hidup di tengah keluarga yang
mayoritasnya adalah perempuan. Rasululah tidak pernah melakukan
tindak kekerasan terhadap istrinya. "Sebaik-baik kamu sekalian
adalah sebaik-baik perlakuan kamu terhadap istri-istrimu dan saya
adalah orang yang terbaik di antara kamu terhadap
istri-istriku".BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
1. Tindak kekerasan dalam rumah tangga merupakan jenis kejahatan
yang kurang mendapat perhatian dan jangkauan hukum pidana. Bentuk
kekerasannya dapat berupa kekerasan fisik, psikis, seksual, dan
verbal serta penelantaran rumah tangga.
2. Faktor yang mendorong terjadinya tindak kekerasan pada istri
dalam rumah tangga yaitu pembelaan atas kekuasaan laki-laki,
diskriminasi dan pembatasan bidang ekonomi, beban pengasuhan anak,
wanita sebagai anak-anak, dan orientasi peradilan pidana pada
laki-laki.
3. Dampak tindak kekerasan pada istri terhadap kesehatan
reproduksi dapat mempengaruhi psikologis ibu sehingga terjadi
gangguan pada saat kehamilan dan bersalin, serta setelah melahirkan
dan bayi yang dilahirkan.
4. Implikasi keperawatan yang harus dilakukan adalah sesuai
dengan peran perawat antara lain mesupport secara psikologis
korban, melakukan pendamping-an, melakukan perawatan fisik korban
dan merekomendasikan crisis women centre.B. SARAN
Dengan disahkan undang-undang KDRT, pemerintah dan masyarakat
lebih berupaya menyadarkan dan membuka mata serta hati untuk tidak
berdiam diri bila ada kasus KDRT lebih ditingkatkan
pengawasannya.
Meningkatkan peran perawat untuk ikut serta menangani kasus KDRT
dan menekan dampak yang terjadi pada kesehatan repsoduksinya dengan
memfasilitasi setiap Rumah Sakit memiliki ruang perlindungan korban
KDRT, mendampingi dan memulihkan kondisi psikisnya.
DAFTAR PUSTAKA
Hasbianto, Elli N. (1996). Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Potret
Muram Kehidupan
Perempuan Dalam Perkawinan, Makalah Disajikan pada Seminar
Nasional
Perlindungan Perempuan dari pelecehan dan Kekerasan seksual.
UGM
Yogyakarta, 6 November.
Komnas Perempuan (2002). Peta Kekerasan Pengalaman Perempuan
Indonesia.
Jakarta: Ameepro.
Kompas. (2006). Kekerasan Dalam Rumah Tangga Dipengaruhi Faktor
Idiologi.
Diambil pada tanggal 26 oktober 2006 dari http://kompas.com.
Kompas. (2007). Kekerasan Rumah Tangga Bukan Lagi Urusan Suami
Istri. Diambil pada tanggal 25 Maret 2007 dari
http://kompas.com.
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL
KATA PENGANTAR
i
DAFATR ISI
ii
BAB I PENDAHULUAN
1
BAB II PEMBAHASAN
A. Kekerasan Tehadap Perempuan
3B. Bentuk Bentuk KDRT
3C. Faktor-yang mendaorong terjadinya KDRT
4
D. Efek KDRT
5
E. KDRT sebagai permasalahan sosial
7
F. Pandangan Islam tentang KDRT
9
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan 14B. Kritik dan Saran 15DAFTAR PUSTAKA
iii
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT,
karena berkat rahmat dan hidayahnya , penulis dapat menyelesaikan
Proposal yang berjudul : KDRT Penulis mengucapkan terima kasih
kepada Guru Mata Pelajaran yang telah membantu penulis dalam
membuat makalah ini dan teman-teman yang telah memberi motifasi dan
dorongan serta semua pihak yang berkaitan sehingga penulis dapat
menyelesaikan makalah dengan baik dan tepat pada waktunya.
Dalam pembuatan makalah ini kami menyadari masih banyak
kekurangan dan kekeliruan baik dalam penulisan maupun materi yang
disajikan, oleh karena itu kami sangat mengharapkan masukan serta
kritik dan saran dari semua pihak demi kesempurnaan dalam pembuatan
makalah selanjutnya. Atas kritik dan saran yang disampaikan
nantinya kami ucapkan terima kasih.
Wassalamualaikum Wr. Wb.
Bengkulu, Maret 2015Penulis
MAKALAH
PEMBELAJARAN AKIDAH AKHLAK Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT)
Dalam Perspektif Islam
Oleh :Yengki Pratama
Roni MardiansyahDosen :
Dra. Hj. Nurul Fahdila, M.Pd
FAKULTAS TARBIYAH DAN TADRIS PENDIDIKAN GURU AGAMA ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
IAIN (BENGKULU)
2015ii
PAGE 20