BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Rumah tangga merupakan kelompok terkecil dalam suatu masyarakat. Rumah tangga terbentuk melalui ikatan perkawinan yang sah. Di dalam rumah tanggalah yang menyatakan perkawinan merupakan ikatan lahir dan batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga dan karakterserta watak seorang anak melalui didikan orang tuanya. Dalam suatu rumah tangga diharapkan suami, istri dan ana-anak mendapat ketenangan dan kebahagiaan, prinsip ini juga dianut dalam Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 yang merupakan ikatan lahir dan batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Rumah tangga merupakan kelompok terkecil dalam suatu masyarakat. Rumah
tangga terbentuk melalui ikatan perkawinan yang sah. Di dalam rumah tanggalah
yang menyatakan perkawinan merupakan ikatan lahir dan batin antara seorang
pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk
keluarga dan karakterserta watak seorang anak melalui didikan orang tuanya.
Dalam suatu rumah tangga diharapkan suami, istri dan ana-anak mendapat
ketenangan dan kebahagiaan, prinsip ini juga dianut dalam Undang-Undang
Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 yang merupakan ikatan lahir dan batin antara
seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan
membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa1.
Pada saat ini suatu perkawinan biasanya terjadi atas kemauan kedua belah pihak,
dan pada umumnya antara calon suami dan isteri telah lebih dahulu mengenal sifat
dan karakter pasangannya masing-masing. Namun tak jarang setelah perkawinan
berlangsung, barulah nampak sifat-sifat asli dari pasangannya. Suami yang
1 Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974
dulunya baik dan penyabar, sekarang menjadi pemarah dan ringan tangan.
Kesalahan-kesalahan kecil yang dilakukan isteri menadi alasan bagi suami untuk
melampiaskan kemarahannya. Jika hal demikian yang terjadi didaam sebuah
perkawinan maka, tujuan dari perkawinan yang ingin membentuk rumah tangga
yang bahagia tentu saja tidak mungkin tercapai.
Rumah tangga yang semula diharakan menjadi tempat berlindung berubah
menjadi neraka yang menakutkan dan biasanya pihak perempuanlah yang selalu
menjadi korbannya. Kekerasan yang t erjadi dalam lingkungan rumah tangga
sangat sering terjadi, namun ironisnya perempuan yang menjadi korbannya
biasanya hanya pasrah menerima keadaannya. Pada umumnya perempuan
beranggapan kekerasan yang dilakukan suami terhadap dirinya merupakan hal
yang lumrah dan biasa. Begitu pula dengan suami menganggap kekerasan yang
dilakukan di lingkungan rumah tangganya merupakan kejadian biasa yang lepas
dari jangkauan hukum. Mereka tidak menyadari bahwa kekerasan yang terjadi di
dalam lingkungan rumah tangga tersebut merupakan suatu tindak pidana yang
diancam dengan sangsi pidana pula.
Undang-undang tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga (UU Nomor
23 Tahun 2004) yang disahkan pada tanggal 22 September 2004 merupakan
peraturan yang bertujuan menghapus kekerasan dalam bentuk apapun di dalam
rumah tangga, baik kekerasan fisik, kekerasan psikis, kekerasan seksual maupun
penelantaran rumah tangga2. Hal ini dilihat dalam Pasal 1 UU tersebut yang
memberikan pengertian yang luas tentang kekerasan dalam rumah tangga menurut
2 UU No. 23 Tahun 2004
2
undang-undang ini adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama
perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik,
seksual, psikologis dan atau penelantaran rumah tangga, termasuk ancaman untuk
melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan
hukum dalam lingkungan rumah tangga.
Berdasarkan Ketentuan Pasal 1 Ayat (1) kekerasan dalam rumah tangga adalah
setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat
timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, pisikologis,
dan/atau penelantaraan rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan
perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum
dalam lingkup rumahtangga. Berdasarkan ketentuan undang-undang tersebut
maka pengertian kekerasan dalam rumah tangga meliputi kekerasan fisik,
kekerasan osikis, kekerasan seksual dan penelantaran rumah tangga. Kekerasan
fisik merupakan perbuata yang menimbulkan rasa sakit, jatuh sakit atau luka
berat. Sedangkan kekerasan psikis adalah perbuatan yang mengakibatkan
ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan bertindak, rasa
tidak berdaya dan atau penderitaan psikis berat pada seseorang.
Penyelesaian kasus-kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) selama ini
hanya mengacu pada padal-pasal dalam KUHP, padahal pasal-pasal tersebut
kurang dapat mengadopsi dan memberikan keadilan pada korban. Oleh karenanya
bila diimplementasikan dengan konsisten, keberadaan RUU Penghapusan
3
Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) akan membantu upaya perlindungan
perempuan terutama isteri, dari aneka bentuk kekerasan.
Semakin meningkatnya tingkat kekerasan dalam rumah tangga di Indonesia
sehingga banyak menimbulkan kegelisahan serta keresahan di kalangan
masyarakat yang menyebabkan adanya reaksi yang serius dari berbagai pihak
teutama aparat Kepolisian sebagai penegak hukum dan organisasi peduli
perempuan sebab rumah tangga adalah pondasi sebuah negara, karena dari
keluargalah akan tercipta kader-kader bangsa dan generasi penerus bangsa yang
akan datang. Manakala keluarga itu rusak maka berbahaya terhadap eksistensi
negara, maka dengan demikian kekerasan dalam rumah tangga yang merupakan
salah satu faktor rusaknya keluarga merupaka penyakit bersama bukan pribadi,
sebab bahayanya meliputi seluruh anggota masyarakat, untuk itu semua pihak
baik aparat penegak hukum maupun masyarakat berkewajiban untuk membantu
dalam menangulangi kekerasan dalam ruma tangga.
Berdasarkan latar belakang yang telah penulis uraian tersebut, maka penulis
tertarik untuk melakukan penelitian skripsi ini dengan judul ”Analisis
Pelaksanaan Penyidikan Terhadap Kekerasasan Dalam Rumah Tangga”
(Studi di Wilayah Polres Tulang Bawang).
1.2 Permasalahan dan Ruang Lingkup1.2.1 Permasalahan
Dari uraian di atas penulis mengetengahkan permasalahan sebagai berikut :
a. Bagaimanakah proses penyidikan yang dilakukan oleh Polri terhadap tindak
pidana kekerasan dalam rumah tangga ?
4
b. Apakah yang menjadi faktor penghambat dalam proses penyidikan terhadap
tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga ?
1.2.2 Ruang Lingkup
a. Untuk mengetahui proses penyidikan yang dilakukan Polri khususnya Polres
Tulang Bawang sebagai salah satu upaya penal terhadap tindak pidana
kekerasan dalam rumah tangga (kekerasan terhadap perempuan).
b. Untuk mengetahui faktor penghambat pelaksanaan proses penyidikan tindak
pidana kekerasan dalam rumah tangga.
1.3 Tujuan dan Kegunaan Penelitian
1.3.1 Tujuan Penelitian
Berdasarkan pokok permasalahan di atas, maka tujuan penulisan di sini adalah
sebagai berikut :
a. Untuk menambah perbendaharaan materi Hukum Pidana terutama yang
berhubungan dengan tindak pidana kekerasan daam rumah tangga yang
ditinjau secara yuridis.
b. Untuk memperoleh data dan fakta mengenai peren Polres Tulang Bawang
dalam melakukan penyidikan terhadap Tindak Pidana kekerasan dalam rumah
tangga (kekerasan terhadap perempuan).
1.3.2 Kegunaan Penelitian
a. Kegunaan Teoritis
5
Ingin menyumbangkan gagasan dan pikiran dalam proses hukum atau
penyidikan yang dilakukan Polres Tulang Bawang terhadap Tindak Pidana
kekerasan dalam rumah tangga.
b. Kegunaan Praktis
Penulisan skripsi ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi masyarakat,
para politisi, teoritis dan aparat penegak hukum serta para pembuat
kebijaksanaan dalam proses penyidikan kekerasan dalam rumah tangga.
1.4 Sistematika Penulisan
Sebelum penyusun melangkah kepada penyusunan skripsi maka diperlukan
sistematika. Sistematika dalam penulisan ini, penulis mengurangi secara garis
besarnya tujuan agar pembaca dapat dengan mudah memahami dan memperoleh
gambaran tentang materi pembahasan. Adapun garis-garis besar dalam penulisan
ini adalah sebagai berikut :
BAB I PENDAHULUAN
Merupakan bab pendahuluan yang berisikan latar belakang permasalahan, dan
ruang lingkup, tujuan dan kegunaan penelitian, kerangka teoritis dan konseptual
serta sistematika penulisan.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
Merupakan bab tinjauan pustaka yang menguraikan tentang Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga
6
serta kebijakan-kebijakan kepolisian yang mengedepankan Fungsi Reskrim,
sebagai upaya penyidikan terhadap tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga.
BAB III METODE PENELITIAN
Merupakan bab yang menjelaskan mengenai langkah yang akan digunaka dalam
pendekatan masalah, sumber dan jenis data, pengumpulan dan penglahan jenis
data, pengumpulan dan pengolahan data dan analisis data.
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Bab ini berisikan tentang penelitian dan pembahasan yang berisikan bagaimana
proses penyidikan yang dilakukan Polres Tulang Bawang terhadap tindak pidana
kekerasan dalam rumah tangga dan terhadap perempuan, di mana Polres Tulang
Bawang adalah salah satu bagian organisasi dari pemerintah yang mempunyai
kewajiban untuk memberikan perlindungan terhadap korban pelaku kekerasan
dalam rumah tangga dan faktor apa saja yang menjadi penghambat dalam proses
penyidikan tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga.
BAB V PENUTUP
Merupakan bab penutup yang berisikan tentang kesimpulan dari hasil penelitian
dan saran-saran terhadap permasalahan yang dibahas.
7
BAB IITINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tugas Pokok dan Wewenang Polri
Situasi dan kondisi perkembangan gangguan keamanan dan ketertiban masyarakat
(kamtibmas) dewasa ini dirasakan semakin meningkat baik dari segi modus
operandinya yang kian canggih maupun anatomi kejahatan yang semakin
beragam. Untuk itu diharapkan aparat pemerintah dan masyarakat dapat
meningkatkan kepeduliannya trehadap berbaga hal yang berkaitan dengan
terjadinya suatu tindak pidana yang berpengaruh pada kamtibmas. Undang-
undang telah menyatakan bahwa Polri selain mempunyai tugas dan membina
keamanan dan ketertiban masyarakat Polri juga mempunyai tugas untuk membina
keamanan dan ketertiban masyarakat polri juga mempunyai tugas sebagai
penyidik atau penegak hukum dalam semua jenis tindak pidana.
Membahas tugas pokok dan peranan Polri sebagai penyidik tidak terlepas
membicarakan tentang peran penegakan hukum merupakan istilah yang diterima
sebagai penerapan undang-undang. Di dalam penegakan hukum khususnya
hukum pidana yang dilaksanakan Polri selalu berhubungan dengan persoalan
keamanan dan ketertiban masyarakat, dalam hal ini tugas pokok dan peranan Polri
sudah diatur dalam undang-undang Kepolisia Republik Inodnesia yaitu Undang-
8
Undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia dan
sesuai dengan undang-undang tersebut di atas tugas dan pokok wewenang Polri
diatur dalam Pasal 13 sampai dengan Pasal 15 yang menentukan3 :
Pasal 13
Tugas Pokok Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah :
a. Memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat
b. Menegakan hukum
c. Memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat.
Pasal 14
(1) Dalam melaksanakan tugas pokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13,Kepolisian Negara Republik Indonesia bertugas :
a. Melaksanakan pengaturan, penjagaan, pengawalan dan patroli terjadap kegiatan masyarakat dan pemerintah sesuai kebutuhan.
b. Menyelenggarakan segala kegiatan dalam menjamin keamanan, ketertiban dan kelancaran lalu lintas jalan.
c. Membina masyarakat untuk meningkatkan partisipasi masyarakat, kesadaran hukum masyarakat serta kegiatan warga masyarakat terhadap hukum dan perundang-undangan.
d. Turut serta dalam pembinaan hukum nasional.e. Memelihara ketertiban dan menjamin keamanan umum.f. Melakukan koordinasi, pengawasan dan pembinaan teknis terhadap
kepolisian khusus, penyidik Pegawai Negeri Sipil, dan bentuk pengamanan swakarsa.
g. Melakukan penyelidikan, dan penyidikan terhadap semua tindak pidana sesuai dengan hukum secara pidana dan peraturan perundang-undangan lainnya.
h. Menyelenggarakan identifikasi kedokteran keplisian laboratorium forensik dan psikologi kepolisian untuk kepentingan tugas kepolisian.
i. Melindungi keselamatan jiwa raga, harta benda, masyarakat lingkungan, dari gangguan ketertiban dan bencana termasuk memberikan bantuan dan pertolongan dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia.
j. Melayani kepentingan warga masyarakat untuk sementara kepentingannya dalam lingkup tugas kepolisian, serta
k. Melaksanakan tugas lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
3 undang-undang nomor 3 tahun 2004 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia
9
(2) Tata cara pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf f diatur lebih lanjut dnegan peraturan pemerintah.
Pasal 15
Dalam rangka menyelenggarakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13
dan 14 Kepolisian Negara Republik Indonesia secara umum berwenang :
a. Menerima laporan dan atau pengaduan;b. Membantu menyelesaikan perselisihan warga masyarakat yang dapat
mengganggu ketertiban umum.c. Mencegah dan menanggulangi tumbuhnya penyakit masyarakat.d. Mengawasi aliran yang dapat menimbulkan perpecahan atau mengancam
persatuan dan kesatuan bangsa.e. Mengeluaran peraturan Kepolisian dalam lingkup kewenangan administratif
kepolisian.f. Melaksanakan tindakan pemeriksaan pemeriksaan khusus sebagai dari
tindakan kepolisian dalam rangka pencegahan.g. Melakukan tindakan pertama di tempat di kejadian.h. Mengambil sidik jari dan identifikasi lainnya memotret seseorangi. Mencari keterangan dan barang bukti.j. Menyelenggarakan pusat informasi kriminalk nasional.k. Mengeluarkan surat izin dan surat keterangan yang diperlukan dalam rangka
pelayanan masyarakat.l. Memberikan bantuan pengamanan dalam sidang dan pelaksanaan putusan
pengadilan, kegiatan nasional lain, serta kegiatan masyarakat.m. Menerima dan menyimpan barang temuan untuk sementara waktu.
Kepolisian sebagai lembaga yang pertama kali harus dilalui dalam proses
peradilan pidana, oleh karenanya mempunyai wewenang untuk melakukan
serangkaian kegiatan-kegiatan mulai dari penyelidikan, penyidikan, penahanan,
penyitaan sampai dengan ditemukannya sesuatu kejahatan yang telah dilakukan.
Tugas polisi menurut suatu tingkat kepribadian yang tinggi dalam arti anggota
polisi untuk taggap dan tampil dalam menangani kasus-kasus yang mrnyangkut
ketertiban dan keamanana masyarakat. Sifat cakap dan penuh tanggungjawab
terhadap pelaksanaan tugas memperoleh hasil yang diharapkan. Anggota polisi,
10
dituntut pula mengetahui hukum yang memeadai, mngingat karena tugasnya ia
harus dapat memberikan penilaian terhadap perbuatan yang dapat dikualifikasikan
sebagai tindak pidana. Selain itu ia harus segera mengambil sikap kapan harus
bertindak apabila terjadi peristiwa pelanggaran hukum. Polisi juga dianggap
sebagai wasit terhadap nilai-nilai sosial ”an arbiter of social values”, karena ia
yang berhadapan langsung dengan situasi sehari-hari, sehingga dalam praktek
sewajarnya jika terjadi tindak pidana, tindakan polisi dipengaruhi oleh hal-hal
yant bersifat praktis, seperti sering terlihat dalam penanganan oleh polisi terhadap
pelanggaran lalulintas.
Sebagai salah satu lembaga penegak hukum, polisi diletakkan digaris depan dalam
menghadapi situasi perubahan sosial yang cepat akibat timbulnya moderenisasi
dibidang teknologi, khususnya dalam mencegah kejahatan kejahatan moderen
seperti terorisme, penyandraan, pembajakan udara, disamping menghadapi
bentuk-bentuk kejahatan umumnya seperti pencurian, perampokan, pemerkosan,
penipuan, narkotika, pisikotropika dan zat adiktif lainnya, kekerasan dalam rumah
tangga dan tugas-tugas lainnya. Tugas multi kompleks (multipel of fungcions) ini
disebabkan polisi tidak dapat menghindari diri, ia harus berkontak langsung
dengan masyarakat, tetapi juga selalu berkonfrontasi dengan masyarakat tersebut.
Bimbingan masyarakat adalah tugas untuk menciptakan ketaatan warga kepada
hukum serta peraturan-peraturan negara yang dalam pelaksanaannya menghendaki
kerjasama dengan instansi baik pemerintah maupun organisasi kemasyarakatan
lainnya.
11
Tugas yang bersifat preventif atau pencegahan meliputi tugas pokok sebagai
pemelihara ketertiban dan menjamin keamanan untuk mencegah dan memberantas
menjalarnya penyakit masyarakat, termasuk memberi perlindungan dan
pertolongan. Tugas inipun dalam pelaksanaan dilakukan bekerjasama dengan
satuan kepolisian lainyang sengaja dibentuk untuk menjalankan tugas kepolisian.
2.2 Dasar Hukum Perlindungan Terhadap KDRT
Perangkat hukum yang menjadi pegangan aparat hukum mulai dari Polisi, Jaksa,
Hakim dan Pendamping Hukum korban maupun pelaku dalam penanganan kasus-
kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) selama ini adalah KUHP dan
KUHAP sebagai peraturan pelaksanaannya. Dalam praktiknya KUHP memiliki
kelemahan mendasar dalam melindungi korban KDRT. Kelemahan-kelemahan
mendasar itu antara lain :
1. KUHP tidak mengenal istilah kekerasan dalam rumah tangga
Istilah ini penting untuk dikemukakan mengingat ideologi harmonisasi
keluarga yang selama ini ditanamkan dalam benak masyarakat maupun aparat
hukum ialah tidak menganggap serius adanya kekerasan dalam rumah tangga
atau masalah rumah tangga hanya sebagai masalah privat.
2. KUHP hanya mengatur secara terbatas ruang lingkup kekerasan dalam rumah
tangga. KUHP tidak mengenal ruang lingkup rumah tangga, perangkat ini
mengatur secara sangat umum wilayah kasus-kasus kekerasan. Pasal 351-356
yang mengatur kasus penganiayaan hanya terbatas pada kekerasan fisik,
bentuk kekerasan psikis, ekonomi dan sosial tidak diatur dalam KUHP. Pasal
12
442 tentang penyanderaan dan Pasal 470 tentang perampasan kemerdekaan
seseorang dianggap sudah menampung kekerasan psikis, padahal kedua pasal
itu hanya mengatur dua bentuk perbuatan (penyanderaan dan perampasan)
saja. Pasal tentang perkosaan (Pasal 285) menerangkan bentuk perkosaan
terbatas pada persetubuhan atau penetrasi penis ke dalam vagina perempuan
secara paksa, belum termasuk benda-benda lain selain penis yang dmasukkan
secara paksa ke dalam vagina atau bagian tubuh perempuan lainnya serta
perlakuan menggesek-gesekkan penis ke bibir kelamin perempuan di luar
kehendak perempuan.
Pasal-pasal lain tidak mengenal istilah pelecehan seksual, yang ada haya
istilah perbuatan cabul, tindakan kekerasan sesual berupa penyerangan
seksual seperti serangan yang ditujukan untuk memperkosa, namun tidak
sampai terjadi perkosaan. Oleh KUHP, tindakan ini ditempatkan sebagai
tindakan percobaan semata atau perbuatan cabul.
Istilah yang digunakan dalam KUHP adalah ”kejahatan terhadap kesusilaan”
tidak menggunakan istilah kejahatan seksual yang diartikan sebagai perbuatan
pidana berkaitan dengan seksualitas yang dapat dilakukan terhadap laki-laki
atau perempuan. Penggunaan istilah kesusilaan menyebabkan masyarakat
terutama aparat hukum sering terjebak dalam menempatkan pasal-pasal
kesusilaan semata-semata sebagai persoalan pelanggaran terhadap nilai
budaya, norma agama, atau sopan santun yang berkaitan dengan nafsu
perkelaminan (birahi) bukan kejahatan terhadap tubuh dan jiwa seseorang.
13
3. KUHP tidak tegas dalam menjerat pelaku kekerasan dalam rumah tangga.
Sanksi pidana penjara atau denda bagi pelaku kekerasan dalam rumah tangga
lebih ditujukan untuk penjeraan. Padahal bentuk kekerasan dalam rumah
tangga memiliki tingkat kekerasan yang beragam terutama bila dilihat dari
dampak kekerasan yang dialami korban yang semestinya dikenakan
penerapan sanksi yang berbeda kepada pelakunya. Selain itu penghukuman
penjara sering membat dilema tersendiri bagi korban karena kondisi
ketergantungan korban pada pelaku secara ekonomi dan sosial, sehingga
korban cenderung untuk tidak melaporkan tindak kekerasan yang dialaminya.
Setiap warga negara berhak mendapatkan rasa aman dan bebas dari segala
bentuk kekerasan sesuai dengan dasar negara dan tujuan negara indonesai,
segala bentuk kekerasan terutama kekerasan dalam rumah tangga, merupakan
pelanggaran terhadap hak asasi manusia dan kejahatan terhadap martabat
kemanusiaan serta bentuk diskriminasi yang harus dihapuskan. Sehingga
peperintah menganggap perlunya dibentuk suatu peraturan perundang-
undangan untuk mengakomodir kepentingan masyarakat terhadap tindak
pidana kekersan dalam rumah tangga, karena dalam kenyataannya kasus
kekerasan dalam rumah tangga banyak terjadi, sedangkan sistem hukum di
indonesia belum menjamin terhadap korban kekerasan dalam rumahtangga.
Mengingat KUHP indonesia masih merupakan peninggalan kolonial Belanda
yang pada masa itu belum ada tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga
sehingga pasal-pasal didalam KUHP tidak bisa secara spesifik menjangkau
kasus-kasus kekerasan dalam rumah tangga.
14
2.3 Pengertian dan Bentuk-Bentuk KDRT
Dengan telah disahkannya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tanggal 22
September 2004 mengenai penghapusan kekerasan dalam rumah tangga (PKDRT)
yang terdiri dari 10 bab dan 56 pasal diharapkan adanya perlindungan hukum bagi
anggota keluarga khususnya perempuan, dari segala tindakan kekerasan dalam
rumah tangga. Untuk itu kita perlu mengetahui apa yang dimaksud dengan
kekerasan dalam rumah tangga dan juga bagaimana bentuk dari kekerasan itu
sendiri yang semuanya terurai dalam asal-pasa penting yang diatur dalam undang-
undang ini.
1. Pengertian kekerasan dalam rumah tangga ;
Kekerasan dalam rumah tangga adalah setiap perbuatna terhada seseorang
terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau pendeitaan
secara fisik, seksual, psikologis, dan atau penganiayaan, atau perampasan
kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.
Penghapusan kekerasan dalam rumah tangga adalah jaminan yang diberikan
oleh negara untuk mencegah terjadinya kekerasan dalam rumah tangga,
meninda pelaku kekerasan dalam rumah tangga, dan melindungi korban
kekerasan dalam rumah tangga.
2. Bentuk-bentuk kekerasan dalam rumah tangga :
Adapun bentuk-bentuk kekerasan dalam rumah tanga antara lain :
a. Kekerasan fisik (pasal 5)kekerasan fisik adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit dan luka berat.
15
b. Kekerasan psikis (Pasal 6)Kekerasan psikis adalah perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tdak berdaya, dan atau penderitaan psikis beras pada seseorang.
c. Kekerasan seksual (Pasal 7) atauKekerasan seksual sebagaimana dimaksud pasal 5 huruf c meliputi :1) Pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang
menetapkan dalam lingkup rumah tangga tersebut.2) Pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup
rumah tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersal dan atau tujuan tertentu.
c. Penelantaran rumah tanggaYang dimaksud dengan penelantaran rumah tangga adalah :1) Setiap orang dilarang menelantarkan orang dalam lingkup rumah
tangganya, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan atau pemeliharaan kepada orang tersebut.
2) Penelantaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) juga berlaku bagi setiap orang yang mengakibatkan ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi dan atau melarang untuk bekerja yang layak di dalam atau di luar rumah sehingga korban berada di bawah kendali orang tersebut (Pasal 9).
3. Ruang Lingkup
a. Lingkup rumah tangga dalam undang-undang ini meliputi :
1) Suami Isteri dan anak
2) Orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan orang karena
hubungan darah, perkawinan, persusuan, pengasuhan, dan perwalian
yang menetap dalam rumah tangga.
3) Orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam
rumah tangga tersebut.
b. Orang yang bekerja yang dipandang sebagai anggota keluarga dalam
jangka waktu selama berada dalam rumah tangga yang bersangkutan.
16
Apa yang harus dilakukan apabila menemukan kasus kekerasan terhadap
perempuan dan anak di lingkungan kita :
a) Segera laporkan kejadian ke Polisi
b) Segera visum
c) Berikan penguatan, pendampingan kepada korban agar korban kuat
menghadapi masalah.
d) Kumpulkan bukti-bukti dan data saksi.
e) Sosialisasikan undang-undang kepada mayarakat dan keluarga.
2.4 Faktor yang Mempengaruhi Timbulnya Tindak Pidana Kekerasan dalam Rumah Tangga
Faktor yang mempengaruhi timbulnya tindak pidana kekerasan dalam rumah
tangga yaitu :
1. Faktor dari masyarakat itu sendiri yaitu adanya kesulitan ekonomi atau
kemiskinan, urbanisasi yang terjadi disertainya kesenjangna pendapatan
antara pasangan suami isteri (Pasutri), ketergantungan obat, dan keadaan
lingkungan dengan frekuensi kekerasan dan kriminalitas tinggi.
2. Faktor dari keluarga yaitu adanya keluarga yang sakit yang membutuhkan
bantuan terus menerus seperti misalnya anak dengan kelainan mental,
kehidupan keluarga kacau tidak saling mencintai dan menghargai serta tidak
menghargai peran wanita, kurang adanya keakraban dan hubungan jaringan
sosial pada keluarga.
3. Faktor individu yaitu wanita yang ingin bercerai dengan suaminya, menikah
di usia terlalu dini, sifat memiliki cemburu yang berlebih.
17
4. Implikasi negatif dari perkembangan masyarakat yang semakin berkembang,
di samping faktor perangkat hukum dan penegak hukum yang ternyata dalam
pelaksanaan proses penyidikan atau menanganai perkara tindak pidana
kekerasan dalam rumah tangga belum sepenuhnya mampu mengacu pada
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004.
Faktor lain penyebab terjadinya kekerasan dalam rumah tangga yaitu faktor
adanya orang ketiga dalam rumah tangga (wanita idaman lain) sehingga tidak ada
lagi keharmonisan dalam rumah tangganya, berlatar belakang itulah sering kali
suami melakukan kekerasan fisik terhadap isterinya.
2.5 Proses Penyidikan Tindak Pidana KDRT
Bahwa penyidikan tindak pidana hakekatnya merupakan suatu upaya penegakan
hukum yang bersifat pembatasan / pengekangan hak-hak warga negara dalam
rangka usaha untuk memulihkan terganggunya keseimbangan antara kepentingan
individu dan kepentingan umum guna terpeliharanya keamanan dan ketertiban
masyarakat.
Oleh karenanya penyidik tindak pidana sebagai salah satu tahap dari pada
penegakan hukum pidana harus dilaksanakan berdasarkan ketentuan dan peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Maka untuk pelaksanaan penyidikan tindak
pidana perlu dikeluarkan petunjuk pelaksaaan yang mengatur prosedur
penyidikan. Ruang lingkup petunjuk pelaksanaan ini meliputi pokok-pokok
petunjuk yang mencakup :
18
a. Kegiatan penyidikan
b. Bantuan Teknis Operasional
c. Administrasi Penyidikan
d. Komando dan penyidikan.
Di dalam melaksanakan penydikan perlu memperhatikan asas-asas yang terdapat
dalam Hukum Acara Pidana yang menyangkut hak-hak warga negara antara lain4 :
a. Praduga tak bersalahsetiap orang yang disangka, ditangkapo, ditahan, dituntut dan atau dihadapkan di muka sidang pengadilan wajib tidak bersalah sampai adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum yang tetap.
b. Persamaan dimuka hukumPerlakuan yang sama atas diri setiap orang di muka hukum dengan tidak mengadakan perbedaan.
c. Hak pemberian bantuan/ penasehat hukumSetiap orang yang tersangkut perkara tindak pidana wajib diberi kesempatan memperoleh bantuan hukuam yang semata-mata diberikan untuk melaksanakan kepentingan pembelaan atas dirinya, sejak saat dilakukan penangkapan dna atau penahatanan. Sebelum dimulainya pemeriksaan keada tersangka wajib diberitahukan tentang apa yang disangkakan kepadanya dan haknya untuk mendapatkan bantuan hukum atau dalam perkaranya itu wajib disampingi penasehat hukum.
d. Peradilan yang harus dilakukan dengan cepat sedehrana dan biaya ringan serta bebas, jujur dan tidak memihak harus diterapkan secara konsekwen dalam seluruh tingkat peradilan.
e. Penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan hanya dilakukan berdasarkan perintah tertulis oleh pejabat diberi wewenang oleh undang-undang dan hanya dalam hal dan dengan cara yang diatur dengan undang-undang.
f. Kepada seseorang yang ditangkap, dituntut ataupun diadili tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang dan atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan wajib diberi ganti kerugian dan rehabilitasi sejak tingkat penyidikan para pejabat penegak hukum yang dengan sengaja atau karena kelalaiannya menyebabkan asas hukum tersebut dilanggar, dituntut, dipidana dan atau dikenakan sanksi hukum administrasi.
g. Penyelidikan dan penyidik mempunyai wewenang melakukan tugas masing-masing pada umumnya di seluruh Indonesia. Khususnya di daerah hukum masing-masing di mana diangkat sesuai dengan ketentuan undang-undang.
4 Skep Kapolri No. Pol : Skep/123/IX/2002. Buku Pedoman Pelaksanaan Tugas Polri di Lapangan
19
Adapun istilah dalam proses penyidikan tindak pidana yang dilakukan Polri
adalah sebagai berikut :
a. Penyidikan adalah serangkaian penyidik untuk mencari dan mengumpulkan
buku yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang
terjadi dan guna menemukan tersangkanya, dalam hal dan menurut cara yang
diatur dalam KUHPP
b. Tindak Pidana yaitu setiap perbuatan yang diancam hukuman sebagai
kejahatan atau pelanggaran baik yang disebut dalam KUHP maupun peraturan
perundang-undangan lainnya.
c. Penyidik adalah Pejabat Polri atau pejabat PNS tertentu yang diberi
wewenang khuss oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan.
d. Penyidik Pembantu adalah Pejabat Polri yang karena diberi wewenang
tertentu dapat melakukan tugas penyidikan yang diatur dalam KUHAP.
e. Penyelidikadalah pejabat Polri yang diberi wewenang oleh KUHAP untuk
melakukan penyelidikan.
f. Penyelidikan adalah mencari dan mengumpulkan informasi dengan laporan /
pengaduan tentang benar / tidaknya telah terjadi suatu tindak pidana dan
mendapatkan keterangan, kejelasan tentang tersangka dan atau bukti dan atau
saksi secara lengkap supaya dapat diadakan penindakan dan pemeriksaan.
g. Tersangka adalah seorang yang karena perbuatannya atau keadaanya
berdasarkan bukti permulaan, patut diduga sebagai pelaku tindak pidana.
20
h. Saksi adalah orang yang dapat membreikan keternagan guna kepentingan
tingkat penyidika, penuntutan dan peradilan tentang suatu perkara yang ia
dengar sendiri, ia melihat sendiri dan ia alami sendiri.
i. Laporan adalah pemberitahuan yang disampaikan oleh seseornag karena hak
dan kewajiban berdasarkan undang-undang kepada pejabat yang berwenang
tentang telah atau sedang atau diduga akan terjadinya peristiwa pidana.
j. Pengaduan adalah pemberitahuan disertai permintaan oleh pihak yang
berkepentingan kepada pejabat yang berwenang guna menindak menurut
hukum seorang yang telah melakukan tindak pidana aduan yang
merugikannya.
k. Laporan Polisi adalah laporan tertulis yang dibuat oleh petugas Polri tentang
laporan atau pengaduan yang diterimanya dan setelah dibacakan kembali
dihadapkan pelapor atau pengadu kemudian ditutup dan ditandatangani oleh
pelapor atau pengadu dan petugas yang bersangkutan atas kekuatan sumpah
jabatan atau suatu peristiwa kejahatan atau pelanggaran yang diketahuinya
sendiri, kemudian ditutup dan ditandatangani atas kekuatan sumpah jabatan.
l. Tempat Kejadian Perkara
Yaitu tempat di mana suatu tindak pidana dilakukan / terjadi dan tempat-
tempat lain di mana tersangka dan atau korban dan atau barang bukti yang
berhubungan dengan tindak pidana tersebut dapat ditemukan5.
5 Skep Kapolri No. Pol : Skep/126/IX/2000, Buku Juklak dan Juknis Pelaksanaan Penyidikan.
21
BAB IIIIII. METODE PENELITIAN
3.1 Pendekatan Masalah
Pendekatan masalah yang dilakukan pada penelitian ini menggunakan dua cara,
yaitu secara yuridis normatif dan yuridis empiris6 (Soejono Soekanto, 1984 : 51).
Pendekatan normatif adalah pendekatan, penelitian kepustakaan untuk
memperoleh data sekunder dengan cara menghubungkan peraturan-peraturan
tertulis atau buku hukum yang membuat bahan yang erat hubungannya dengan
masalah penyidikan terhadap tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga di
Polres Tulang Bawang.
Sedangkan pendekatan yuridis empiris dilakukan untuk memperoleh data primer
yang dilakukan dengan wawancara di lokasi penelitian melalui wawancara dengan
responden yakni petugas yang berwenang dalam masalah yang berhubungan
dengan penyidikan terhadap tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga di
Polres Tulang Bawang.
3.2 Sumber dan Jenis Data
Sumber data yang diperoleh atau yang diperlukan dalam penelitian ini adalah
menggunakan data primer dan data sekunder.
6 Soejono Soekanto, 1984 : 51
22
Data primer adalah data yang diperoleh dari hasil penelitian pada lokasi penelitian
yakni berupa keterangan atau penjelasan dari responden Kanit Penanganan
Khusus Polres Tulang Bawang, Penyidik atau Penyidik Pembantu pada RPK
Polres Tulang Bawang serta dari para tersangka Tindak Pidana Kekerasan dalam
Rumah Tangga, yang mana semua responden memiliki kemampuan dan
menguasai masing-masing tugasnya sebagai pejabat yang berwenang. Melalui
teknik wawancara secara mendalam (deep study) diharapkan untuk mendapatkan
informasi lengkap dan jelas.
Data Sekunder adalah data yang diperoleh dari serangkaian kegiatan studi
kepustakaan, terutama diarahkan untuk mencari dan mengadakan pemahaman
hasil-hasil pemikiran para pakar dengan cara membaca, menelaah, mencatat,
mengutip peraturan perundang-undangna, buku-buku ilmiah, dokumen dan
tulisan-tulisan ilmiah maupun informasi lain yang berhubungan dengan penelitian.
3.3 Prosedur Pengumpulan Data dan Pengolahan Data
3.3.1 Prosedur Pengumpulan Data
Prosedur pengumpulan data dari penelitian ini adalah sebagai berikut :
a. Studi Kepustakaan
Studi ini dimaksud untuk memperoleh data sekunder dengan cara membaca,
mempelajari, mengutip dan merangkum data yang berkaitan dengan
permasalahan yang berasal dari bahan-bahan pustaka.
b. Studi Lapangan
23
Studi lapanan ini dimaksudkan untuk mendapatkan data primer yaitu dengan
wawancara dan observasi atau pengamatan di lokasi penelitian yang
berdasarkan daftar pertanyaan yang diajukan kepada responden dengan
diperluas ketika wawancara berlangsung secara bebas, terbuka dan terarah.
Para responden diambil dari: 1) Kanit Penanganan Khusus Polres Tulang
Bawang, 2) Penyidik atau Penyidik Pembantu pada Polres Tulang Bawang
serta dari para tersangka sejumlah 2 (dua) orang Tindak Pidana Kekerasan
dalam Rumah Tangga.
3.3.2 Prosedur Pengolahan Data
Setelah semua data terkumpul baik itu data primer maupun data sekunder maka
dapat diolah melalui prosedur sebagai berikut :
a. Data yang diperoleh diperiksa apakah data tersebut telah benar. Untuk data
yang benar diambil, sedangkan data yang kurang lengkap dilengkapi.
b. Data yang telah diperiksa selanjutnya dikelompokkan sesuai dengan sub-sub
bahasan. Pengolahan data dilakukan untuk mempermudah
menginterprestasikan data dan memberi arti terhadap data yang diperoleh
melalui studi kepustakaan dan studi lapangan.
3.4 Analisis Data
Tujuan analisis data adalah untuk menyederhanakan data ke dalam bentuk yang
lebih mudah dibaca dan menginterprestasikannya. Analisis data dalam penelitian
24
ini menggunakan analisis kualitatif, artinya menguraikan data yang telah diolah
secara rinci ke dalam bentuk kalimat.
Berdasarkan hasil analisis data tersebut dapat ditarik suatu kesimpulan secara
induktif, yaitu cara berfikir dan hal-hal yang bersifat khusus ke arah sifat yang
lebih umum dan selanjutnya dari berbagai kesimpulan tersebut dapat diajukan
saran-saran.
25
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
4.1 Karakteristik Responden
Responden yang diwawancarai pada penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Nama : Rizal S.H.
Umur : 42
Pendidikan : Sarjana Starata Satu
Jabatan : Bigadir Polisi
Alamat : Perumahan Dinas Plolres Tulang Bawang
2. Nama : Arianto S.H.
Umur : 38
Pendidikan : Sarjana Starata Satu
Jabatan : Bigadir Polisi
Alamat : Perumahan Dinas Polres Tulang Bawang
3. Nama : Yonnawati S.H.,M.H
Umur : 40 Tahun
Pendidikan : Sarjana Strata Dua
Jabatan : Dosen Tetap Fakultas Hukum Universitas Megou Pak
26
Alamat : Tanjungkarang Bandar Lampung
4. Nama : Yuli Purwanti S.H.,M.H.
Umur : 30 Tahun
Pendidikan : Sarjana Strata Dua
Jabatan : Dosen Tetap Fakultas Hukum Universitas Megou Pak
Alamat : Tanjungkarang Bandar Lampung
4.2 Data Kasus Kekerasan dalam rumahTangga di Polres Tulang Bawang
Data Kasus tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga pada tahun 2011 yang
ada di pores Tulang Bawang dapat dilihat dalam tabel dibawah ini:
No BULAN KEJADIAN PENERAPAN PASAL
1 1 3 41
2
3
4
5
6
7
8
9
JANUARI
FEBRUARI
MARET
APRIL
MEI
JUNI
JULI
AGUSTUS
SEPTEMBER
3 Kasus
2 Kasus
2 Kasus
1 Kasus
4 Kasus
1 Kasus
-
2 Kasus
3 Kasus
Pasal 44 Undang-Undang KDRT
Pasal 44 Undang-Undang KDRT
Pasal 44 Undang-Undang KDRT
Pasal 44 Undang-Undang KDRT
Pasal 44 Undang-Undang KDRT
Pasal 44 Undang-Undang KDRT
-
Pasal 44 Undang-Undang KDRT
Pasal 44 Undang-Undang KDRT
27
10
11
12
OKTOBER
NOVEMBER
DESEMBER
2 Kasus
3 Kasus
-
Pasal 44 Undang-Undang KDRT
Pasal 44 Undang-Undang KDRT
-
JUMLAH 23 Kasus
Sumber: Unit RPK Polres Tulang Bawang
Sebelum melakukan pembahasan lebih lanjut mengenai penyidikan tindak pidana
kekerasan dalam rumah tangga akan diurikan terlebih dahulu mengenai ketentuan
Pasal 44 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan
Kekerasan Dalam Rumah Tangga yang menjadi dasar penuntutan oleh aparat
kepolisian. Pasal 44 Ayat (1) Undang-Undang KDRT menyatakan bahwa:
“Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan dalam lingkup rumah
tangga sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini dipidana dengan
pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp.
15.000.000,00 (limabelas juta rupiah)”
Selanjutnya dinyatakan pada Ayat (2) sebagai berikut:
“Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) mengakibatkan
korban mendapat jatuh sakit atau luka berat, dipidana dengan pidana penjara
paling lama 10 (sepuluh) tahun atau denda paling banyak Rp. 30.000.000,00
(tigapuluh juta rupiah)
Menurut Rizal bahwa dari jumlah 23 (dua puluh tiga) kasus tindak pidana
kekerasan dalam rumah tangga yang ada tersebut mengalami peninakatan,
28
semuanya dilakukan penyidikan sampai pada tingkat penuntutan yaitu kejaksaan
dan semuanya merupakan pengaduan langsung dari korban KDRT. Hal ini
menunjukkan semakin berkembangnya ksesadaran hukum masyarakat untuk
mulai bisa menerima bahwa tindak kekerasan dalam rumah tangga merupakan
tindakan kriminal, sehingga masyarakat tidak perlu ragu-ragu dalam melakukan
pelaporan kasus kekerasan dalam rumah tangga trsebut.
Bahwa dari data jumlah kasus kekerasan yang terjadi pada RPK Polres Tulang
Bawang, semuanya merupakan pengaduan dari Korban, sementara jika dilihat
didalam masyarakat masih banyak kasus kekerasan dalam rumah tangga yang
tidak dilaporkan oleh korban kepada Polisi, dalam penerapan pasal kepada
tersangka berdasarkan tabel tersebut dapat dilihat bahwa semua kasus kekerasan
dalam rumah tangga yang terjadi, Penyidik RPK Polres Tulang Bawang sudah
mampu menerapkan Undang-Undang Nomor 23 Tentang Penghapusan
Kekerasan dalam Rumah Tangga, tidak lagi berpatokan pada KUHP semata.
4.3 Proses Penyidikan Tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga
Menurut Arianto Kanit Ruang Pelaya n an Khusus (RPK) Polres Tulang Bawang
bahwa penyidikan tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga hakekatnya
merupakan suatu upaya penegakan hukurn yang bersifat
pembatasan/pengekangan hak-hak warga negara dalam rangka usaha untuk
memulihkan terganggunya keseimbangan antara kepentingan individu dan
kepentingan umum guna terpelihiranya keamanan dan ketertiban masyarakat.