KARYA ILMIAH BAHASA INDONESIA SEBAGAI IDENTITAS BANGSA Oleh: Hidayat Bahktiar (A410080059) JURUSAN PENDIDIKAN MATEMATIKA FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENGETAHUAN
KARYA ILMIAH
BAHASA INDONESIA SEBAGAI IDENTITAS
BANGSA
Oleh:
Hidayat Bahktiar
(A410080059)
JURUSAN PENDIDIKAN MATEMATIKA
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENGETAHUAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
TAHUN 2009/2010
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberi kemudahan,
kelancaran dan kekuatan serta petunjuk dan bimbingan kepada kami, karena
atas petunjuk-Nyalah penulis dapat menyelesaikan Karya Ilmiah ini dengan
baik.
Banyak pihak yang telah membantu menyelesaikan secara langsung dan
tidak langsung dalam penyelesaian Karya Ilmiah ini ini maka dari itu
menyampaikan terima kasih kepada:
1. Bpk. Muhammad Rohmadi, S.S., M.Hum. selaku Dosen mata kuliah
Bahasa Indonesia, Universitas Muhammadiyah Surakarta.
2. Teman-teman semua yang telah membantu dalam menyelesaikan
penulisan Karya Ilmiah ini.
Akhirnya, Semoga penyusunan Karya Ilmiah ini dapat bermanfaat bagi
semua pihak. Dalam penyusunan Karya Ilmiah ini kami sadar masih terdapat
kekurangan dan kelemahan, oleh karena itu kritik dan saran sangat kami
harapkan sehingga terdapat kesempurnaan pada Karya Ilmiah ini. Semoga
Karya Ilmiah ini dapat memberikan arti dalam pengembangan pendidikan yang
akan datang. Amien…
Surakarta, Juni 2009
Penulis,
ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR…………..………………………..……………………… ii
DAFTAR ISI…………………………………..………………………………… iii
ABSTRAK…………………………………..…………………………...……… iv
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah…………………………………………. 1
B. Perumusan Masalah……………………………………………… 2
C. Tujuan Program………………………………………………..… 3
D. Metode Penelitian………………………………………………... 3
E. Kegunaan Program………………………………...……………... 3
BAB II PEMBAHASAN
A. Sejarah Bahasa Indonesia……………………………..…………..…4
1. Melayu Kuno. ……………………………..…………..…..4
2. Melayu Klasik…………………………………………..….5
3. Bahasa Indonesia…………………………………………..6
B. Peristiwa-peristiwa penting yang berkaitan dengan
perkembangan Bahasa Indonesia………………………………...7
C. Fungsi Bahasa Indonesia…………………………………………10
D. Sastra Indonesia Sebagai Identitas Budaya……………….……...12
E. Perkembangan Bahasa Indonesia Di Era Globalisasi…………….23
F. Bahasa Indonesia dan Siaran Televisi Nasional……………….....28
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan…………………………………………………..….. 30
B. Saran...............................................................................................32
DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………..…… 33
iii
ABSTRAK
Bahasa Indonesia adalah bahasa resmi Republik Indonesia sebagaimana
disebutkan dalam Undang-Undang Dasar RI 1945, Pasal 36. Ia juga merupakan
bahasa persatuan bangsa Indonesia sebagaimana disiratkan dalam Sumpah Pemuda
28 Oktober 1928. Meski demikian, hanya sebagian kecil dari penduduk Indonesia
yang benar-benar menggunakannya sebagai bahasa ibu karena dalam percakapan
sehari-hari yang tidak resmi masyarakat Indonesia
Secara sejarah, bahasa Indonesia merupakan salah satu dialek temporal dari
bahasa Melayu yang struktur maupun khazanahnya sebagian besar masih sama atau
mirip dengan dialek-dialek temporal terdahulu seperti bahasa Melayu Klasik dan
bahasa Melayu Kuno. Secara sosiologis, bolehlah kita katakan bahwa bahasa
Indonesia baru dianggap "lahir" atau diterima keberadaannya pada tanggal 28
Oktober 1928. Secara yuridis, baru tanggal 18 Agustus 1945 bahasa Indonesia secara
resmi diakui keberadaannya
Peristiwa-peristiwa penting yang berkaitan dengan perkembangan bahasa
Indonesia. Tahun 1896 disusunlah ejaan resmi bahasa Melayu. Tanggal 16 Juni 1927
Jahja Datoek Kajo menggunakan bahasa Indonesia dalam pidatonya. Tanggal 28
Oktober 1928 secara resmi Muhammad Yamin mengusulkan agar bahasa Melayu
menjadi bahasa persatuan Indonesia. Tahun 1933 berdiri sebuah angkatan sastrawan
muda yang menamakan dirinya sebagai Pujangga Baru yang dipimpin oleh Sutan
Takdir Alisyahbana. Tahun 1936 Sutan Takdir Alisyahbana menyusun Tatabahasa
Baru Bahasa Indonesia. Tanggal 25-28 Juni 1938 dilangsungkan Kongres Bahasa
Indonesia I di Solo. Tanggal 18 Agustus 1945 ditandatanganilah Undang-Undang
Dasar 1945. Tanggal 19 Maret 1947 diresmikan penggunaan ejaan Republik sebagai
pengganti ejaan Van Ophuijsen yang berlaku sebelumnya. Tanggal 28 Oktober s.d 2
November 1954 diselenggarakan Kongres Bahasa Indonesia II di Medan. Tanggal 16
Agustus 1972 H. M. Soeharto. Tanggal 31 Agustus 1972 Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan menetapkan Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang
Disempurnakan dan Pedoman Umum Pembentukan Istilah resmi berlaku di seluruh
wilayah Indonesia (Wawasan Nusantara). Tanggal 28 Oktober s.d 2 November 1978
diselenggarakan Kongres Bahasa Indonesia III di Jakarta. Tanggal 21-26 November
iv
1983 diselenggarakan Kongres Bahasa Indonesia IV di Jakarta. Tanggal 28 Oktober
s.d 3 November 1988 diselenggarakan Kongres Bahasa Indonesia V di Jakarta.
Tanggal 28 Oktober s.d 2 November 1993 diselenggarakan Kongres Bahasa
Indonesia VI di Jakarta. Tanggal 26-30 Oktober 1998 diselenggarakan Kongres
Bahasa Indonesia VII di Hotel Indonesia, Jakarta.
Fungsi Bahasa Indonesia Seminar Politik Bahasa Nasional, 25-28 Februari
1975 di Jakarta, antara lain merumuskan bahwa di dalam kedudukannya bahasa
nasional, bahasa Indonesia (selanjutnya disingkat BI) berfungsi sebagai:Lambang
kebanggaan nasional. Lambangidentitasnasional, Pemersatu berbagai masyarakat
yang berbeda latar belakang sosial budayabahasa. Alat perhubungan antar budaya
dan antar daerah (Pusat Pembinaan dan pengembanganBahasa,1975:5). Beriringan
dengan pesatnya perkembangan BI sebagai lambang identitas nasional,
teraktualisasikan pula perkembangan bahasa daerah (selanjutnya disingkat BD)
sebagai lambang identitas daerah yang keberadaannya diakui di dalam UUD 1945.
Indonesia terdiri dari berbagai sukubangsa dan budaya, agama, kepercayaan,
dan ideologi. Bahwa suku bangsa yang satu tak memahami suku bangsa lain; budaya
yang satu diperlakukan seolah-olah tak bersentuhan dengan budaya lain; juga
merupakan kenyataan yang sangat mungkin sewaktu-waktu dapat menjadi masalah
serius, seperti terjadi di Sambas, dan beberapa daerah lain. pemahaman dan usaha
mempelajari kebudayaan sukubangsa lain, di luar etnisnya sendiri, niscaya menjadi
sangat signifikan jika mengingat kemungkinan terjadinya desintegrasi bangsa tadi.
Arus globalisasi tentu saja akan mempengaruhi seluruh aspek kehidupan dan
penghidupan manusia sejagat.
Persoalan lain yang terjadi dalam hubungan kesukubangsaan dan kebangsaan
atau antara etnisitas dan nasionalisme adalah adanya tuntutan pengakuan dan
keinginan yang berlebihan untuk mempertahankan identitas etnis dan agama.
Sejatinya keberadaan masing-masing etnis itu berbeda dan perbedaan yang
beranekaragam itu sebagai pluralitas faktual, maka perlu ada kesadaran kesetaraan
hubungan antar-etnis itu. Lewat kesadaran kesetaraan itu, usaha untuk mengapresiasi
etnis dan budaya lain relatif menjadi lebih gampang dan fleksibel. Usaha memelihara
toleransi menjadi lebih terbuka.
v
Menempatkan kesusastraan Indonesia sebagai pintu masuk menuju
pemahaman pluralitas budaya dan keberagaman etnik masyarakat di wilayah
Nusantara ini, tentu saja bukan tanpa alasan. Selain persoalan konflik etnik dan
agama yang perlu segera mendapat penanganan serius, juga hasrat beberapa daerah
yang berlebihan hendak mewujudkan identitas etnik dalam kerangka negara merdeka
(ethnonationalism) dapat menjadi ancaman. Kinilah saatnya memanfaatkan khazanah
kesusastraan Indonesia yang sarat bernafaskan kultur etnik untuk dijadikan salah satu
alat atau kendaraan yang akan membawa pada pemahaman keberagaman etnik
dengan pluralitas budayanya. Dengan mempertimbangkan beberapa faktor berikut,
tak berlebihan jika gagasan ini dicobakan.
Kata Kunci: Bahasa Indonesia, Sejarah Bahasa Indonesia, Melayu Globalisasi Identitas Bangsa, Identitas Budaya.
vi
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Etnik atau ethnic groups secara umum dipahami sebagai masyarakat suku,
atau masyarakat yang secara tradisi memiliki persamaan identitas. Wujud identitas
itu misalnya bahasa, tempat tinggal, pola kekerabatan, pola perkawinan, religi,
arsitektur rumah, pola tempat tinggal, dan lain-lain. Mengenai bahasa, maka
makalah ini berusaha mengkaji fungsi bahasa baik secara konseptual maupun
secara praksis. Bahasa sebagai salah satu identitas, di mana bahasa bisa menjadi
identitas kolektif etnik, tetapi bahasa bisa juga menjadi identitas yang lebih luas
dari etnik yaitu bangsa. Ciri yang menonjol dari identitas bangsa Indonesia
tercermin dari adanya bahasa persatuan yaitu bahasa Indonesia. Walaupun dalam
perkembangannya secara historis bahasa Indonesia yang baru muncul pada tahun
1928 dalam peristiwa Sumpah Pemuda kemudian mendapat beragam pengaruh
kosa kata dari berbagai bahasa, akan tetapi bahasa Indonesia memiliki akar tradisi
etnik yaitu bahasa Melayu.
Fenomena ini berbeda misalnya dengan Philipina yang memiliki 2 bahasa
nasional yaitu bahasa Tagalog dan bahasa Inggris (Amerika), atau India yang
bahasa nasionalnya adalah bahasa Inggris, atau Negara Aljazair yang bahasa
nasionalnya bahasa Prancis, atau Singapura yang bahasa nasionalnya bahasa
Inggris dan meninggalkan bahasa nenek moyangnya yaitu bahasa Melayu. Akar
budaya kaum kolonial yang tercermin di dalam bahasanya itulah kemudian yang
menjiwai negara-negara tersebut di muka yang telah mengadopsi bahasa bekas
negara penjajahnya untuk dijadikan bahasa persatuan sebagai perekat etnik.
1
Bahasa Indonesia adalah alat komunikasi paling penting untuk
mempersatukan seluruh bangsa. Oleh sebab itu, merupakan alat mengungkapkan
diri baik secara lisan maupun tulisan, dari segi rasa harsa dan cipta serta piker baik
secara efektif dan logis. Semua warga negara Indonesia harus mahir dalam
menggunakan Bahasa Indonesia karena itu merupakan kewajiban bergaul di
Negara Kesatuan Republik Indonesia. Selain itu kita harus memajukan
kepribadian Indonesia di dalam maupun di luar negeri. Bahasa Indonesia tentu
saja memiliki karakter khusus karena dia berakar dari tradisi etnik lokal yang
kemudian dimodifikasi dan diadopsi menjadi bahasa persatuan yang berfungsi
sebagai perekat keberagaman etnik. Bahasa Indonesia bersifat fleksibel dan ini
tampak dalam berbagai dialek misalnya bahasa Indonesia dialek Betawi, dialek
Sulawesi Selatan, dialek Palembang, dialek Papua dll, dan menurut Ferdinand de
Saussure (1996: 80) hal ini adalah aspek parole dari bahasa. Bahasa Indonesia
baku (ejaan yang disempurnakan/EYD) dalam konteks Saussurian disebut sebagai
aspek langue. Langue-lah yang menjadi titik tekan kajian ilmu linguistik, langue
merupakan fakta sosial yang artinya dia menjadi milik kolektif sistem dan berada
di atas fakta individu. Parole adalah fakta individu. Sosialisasi Bahasa Indonesia
baku secara massal dan berkesinambungan misalnya dilakukan oleh TVRI atau
TV-TV swasta yang menggunakan bahasa baku dalam siarannya. Untuk itu maka
makalah ini akan mencoba mengkaji kasus pemanfaatan Bahasa Indonesia sebagai
bahasa pengantar pada siaran televisi-televisi yang siarannya berjangkauan
nasional.
Kepribadian Indonesia dapat tercipta dari kemahiran berbahasa Indonesia,
bagi mahasiswa Indonesia semua itu dapat tercermin dalam tata pikir, tata tulis,
tata ucapan dan tata laku. Berbahasa Indonesia dalam konteks Ilmiah dan
Akademis, sebagai mahasiswa harus lebih dapat menggunakan bahasa Indonesia
dengan baik dan benar supaya negeri ini bisa tetap utuh terjaga.
B. Perumusan Masalah
Dari uraian latar belakang yang dijabarkan di atas dapat dirumuskan
masalah sebagai berikut:
“Bahasa Indonesia Sebagai Identitas Kebersamaan Bangsa”
2
C. Tujuan Program
Tujuan dari karya tulis ini adalah untuk mengetahui dan memahami sejarah
perkembangan bahasa indonesia dan bahasa indonesia sebagai identitas dan
penyatu bangsa.
D. Metode Penelitian
Dalam melakukan menulis karya tulis ini penulis menggunakan buku
Bahasa Indonesia Untuk Penulisan Karya Tulis Ilmiah, sebagai acuan dalam
pembahasan masalah dan situs-situs pendidikan di internet sebagai sumber
pembahasan masalah.
E. Kegunaan Program
Dengan adanya karya tulis adalah supaya mengetahui dan memahami
sejarah perkembangan bahasa indonesia dan bahasa indonesia sebagai identitas
dan penyatu bangsa, sehingga dalam kehidupan bermasyrakat dapat menggunakan
bahaa Indonesia yang baik dan benar, menjaga keutuhan bahasa Indonesia sebagai
kebudayaan dan identitas nasional di era globalisasi ini dan mengetahui
pentingnya bahasa indonesi di mayarakat luas.
3
BAB II
PEMBAHASAN
A. Sejarah Bahasa Indonesia
Bahasa Indonesia berasal dari bahasa Melayu, sebuah bahasa Austronesia
yang digunakan sebagai lingua franca di Nusantara kemungkinan sejak abad-abad
awal penanggalan modern. Bentuk bahasa sehari-hari ini sering dinamai dengan
istilah Melayu Pasar. Jenis ini sangat lentur sebab sangat mudah dimengerti dan
ekspresif, dengan toleransi kesalahan sangat besar dan mudah menyerap istilah-
istilah lain dari berbagai bahasa yang digunakan para penggunanya.
Bentuk yang lebih resmi, disebut Melayu Tinggi yang pada masa lalu
digunakan oleh kalangan keluarga kerajaan di sekitar Sumatera, Jawa, dan
Semenanjung Malaya. Bentuk bahasa ini lebih sulit karena penggunaannya sangat
halus, penuh sindiran, dan tidak seekspresif Bahasa Melayu Pasar.
Pemerintah kolonial Belanda melihat kelenturan Melayu Pasar dapat
mengancam keberadaan bahasa dan budaya. Belanda berusaha meredamnya dengan
mempromosikan Bahasa Melayu Tinggi, di antaranya dengan penerbitan karya
sastra dalam Bahasa Melayu Tinggi oleh Balai Pustaka. Tetapi Bahasa Melayu
Pasar sudah digunakan oleh banyak pedagang dalam berkomunikasi.
1. Melayu Kuno
Penyebutan pertama istilah "Bahasa Melayu" sudah dilakukan pada masa
sekitar 683-686 M, yaitu angka tahun yang tercantum pada beberapa prasasti
berbahasa Melayu Kuno dari Palembang dan Bangka. Prasasti-prasasti ini ditulis
dengan aksara Pallawa atas perintah raja Sriwijaya, kerajaan maritim yang berjaya
pada abad ke-7 sampai ke-12. Wangsa Syailendra juga meninggalkan beberapa
4
prasasti Melayu Kuno di Jawa Tengah. Keping Tembaga Laguna yang ditemukan di
dekat Manila juga menunjukkan keterkaitan wilayah itu dengan Sriwijaya.
Berbagai batu bertulis (prasasti) yang ditemukan itu seperti:
1. Prasasti Kedukan Bukit di Palembang, tahun 683
2. Prasasti Talang Tuo di Palembang, tahun 684
3. Prasasti Kota Kapur di Bangka Barat, tahun 686
4. Prasasti Karang Brahi antara Jambi dan Sungai Musi, tahun 688
Yang kesemuanya beraksara Pallawa dan bahasanya bahasa Melayu Kuno
memberi petunjuk bahwa bahasa Melayu dalam bentuk bahasa Melayu Kuno sudah
dipakai sebagai alat komunikasi pada zaman Sriwijaya.
Prasasti-prasasti lain yang bertulis dalam bahasa Melayu Kuno juga terdapat
di : a). Jawa Tengah: Prasasti Gandasuli, tahun 832, dan Prasasti Manjucrigrha
b). Bogor, Prasasti Bogor, tahun 942
Kedua-dua prasasti di pulau Jawa itu memperkuat pula dugaan bahwa bahasa
Melayu Kuno pada ketika itu bukan saja dipakai di Sumatra, melainkan juga dipakai
di Jawa.
Penelitian linguistik terhadap sejumlah teks menunjukkan bahwa paling
sedikit terdapat dua dialek bahasa Melayu Kuno yang digunakan pada masa yang
berdekatan.
2. Melayu Klasik
Karena terputusnya bukti-bukti tertulis pada abad ke-9 hingga abad ke-13, ahli
bahasa tidak dapat menyimpulkan apakah bahasa Melayu Klasik merupakan
kelanjutan dari Melayu Kuno. Catatan berbahasa Melayu Klasik pertama berasal
dari Prasasti Terengganu berangka tahun 1303.
Seiring dengan berkembangnya agama Islam dimulai dari Aceh pada abad ke-
14, bahasa Melayu klasik lebih berkembang dan mendominasi sampai pada tahap di
mana ekspresi “Masuk Melayu” berarti masuk agama Islam.
5
3. Bahasa Indonesia
Bahasa Melayu di Indonesia kemudian digunakan sebagai lingua franca
(bahasa pergaulan), namun pada waktu itu belum banyak yang menggunakannya
sebagai bahasa ibu. Bahasa ibu masih menggunakan bahasa daerah yang jumlahnya
mencapai 360 bahasa.
Pada pertengahan 1800-an, Alfred Russel Wallace menuliskan di bukunya
Malay Archipelago bahwa "penghuni Malaka telah memiliki suatu bahasa
tersendiri yang bersumber dari cara berbicara yang paling elegan dari negara-
negara lain, sehingga bahasa orang Melayu adalah yang paling indah, tepat, dan
dipuji di seluruh dunia Timur. Bahasa mereka adalah bahasa yang digunakan di
seluruh Hindia Belanda."
Jan Huyghen van Linschoten di dalam bukunya Itinerario menuliskan bahwa
"Malaka adalah tempat berkumpulnya nelayan dari berbagai negara. Mereka lalu
membuat sebuah kota dan mengembangkan bahasa mereka sendiri, dengan
mengambil kata-kata yang terbaik dari segala bahasa di sekitar mereka. Kota
Malaka, karena posisinya yang menguntungkan, menjadi bandar yang utama di
kawasan tenggara Asia, bahasanya yang disebut dengan Melayu menjadi bahasa
yang paling sopan dan paling pas di antara bahasa-bahasa di Timur Jauh."
Bahasa Indonesia modern dapat dilacak sejarahnya dari literatur Melayu
Kuno. Pada awal abad ke-20, bahasa Melayu pecah menjadi dua. Di tahun 1901,
Indonesia di bawah Belanda mengadopsi ejaan Van Ophuijsen sedangkan pada
tahun 1904 Malaysia di bawah Inggris mengadopsi ejaan Wilkinson. Bahasa
Indonesia secara resmi diakui sebagai bahasa nasional pada saat Sumpah Pemuda
tanggal 28 Oktober 1928. Penggunaan bahasa Melayu sebagai bahasa nasional atas
usulan Muhammad Yamin, seorang politikus, sastrawan, dan ahli sejarah. Dalam
pidatonya pada Kongres Nasional kedua di Jakarta, Yamin mengatakan bahwa :
"Jika mengacu pada masa depan bahasa-bahasa yang ada di Indonesia dan
kesusastraannya, hanya ada dua bahasa yang bisa diharapkan menjadi bahasa
persatuan yaitu bahasa Jawa dan Melayu. Tapi dari dua bahasa itu, bahasa
6
Melayulah yang lambat laun akan menjadi bahasa pergaulan atau bahasa
persatuan."
Selanjutnya perkembangan bahasa dan kesusastraan Indonesia banyak
dipengaruhi oleh sastrawan Minangkabau, seperti Marah Rusli, Abdul Muis, Nur
Sutan Iskandar, Sutan Takdir Alisyahbana, Hamka, Roestam Effendi, Idrus, dan
Chairil Anwar. Sastrawan tersebut banyak mengisi dan menambah perbendaharaan
kata, sintaksis, maupun morfologi bahasa Indonesia.
Bahasa Indonesia adalah bahasa resmi Republik Indonesia sebagaimana
disebutkan dalam Undang-Undang Dasar RI 1945, Pasal 36. Ia juga merupakan
bahasa persatuan bangsa Indonesia sebagaimana disiratkan dalam Sumpah Pemuda
28 Oktober 1928. Meski demikian, hanya sebagian kecil dari penduduk Indonesia
yang benar-benar menggunakannya sebagai bahasa ibu karena dalam percakapan
sehari-hari yang tidak resmi masyarakat Indonesia lebih suka menggunakan bahasa
daerahnya masing-masing sebagai bahasa ibu seperti bahasa Melayu pasar, bahasa
Jawa, bahasa Sunda, dan lain sebagainya. Untuk sebagian besar masyarakat
Indonesia lainnya, bahasa Indonesia adalah bahasa kedua dan untuk taraf resmi
bahasa Indonesia adalah bahasa pertama. Bahasa Indonesia merupakan sebuah
dialek bahasa Melayu yang menjadi bahasa resmi Republik Indonesia.
Bahasa Indonesia diresmikan pada kemerdekaan Indonesia tahun 1945.
Bahasa Indonesia merupakan bahasa dinamis yang hingga sekarang terus
menghasilkan kata-kata baru, baik melalui penciptaan, maupun penyerapan dari
bahasa daerah dan asing. Bahasa Indonesia adalah dialek baku dari bahasa Melayu
yang pokoknya dari bahasa Melayu Riau sebagaimana diungkapkan oleh Ki Hajar
Dewantara dalam Kongres Bahasa Indonesia I tahun 1939 di Solo, Jawa Tengah.
B. Peristiwa-peristiwa penting yang berkaitan dengan perkembangan bahasa
Indonesia
7
1. Tahun 1896 disusunlah ejaan resmi bahasa Melayu oleh Van Ophuijsen yang
dibantu oleh Nawawi Soetan Ma’moer dan Moehammad Taib Soetan Ibrahim.
Ejaan ini dimuat dalam Kitab Logat Melayu.
2. Tahun 1908 pemerintah kolonial mendirikan sebuah badan penerbit buku-buku
bacaan yang diberi nama Commissie voor de Volkslectuur (Taman Bacaan
Rakyat), yang kemudian pada tahun 1917 diubah menjadi Balai Pustaka. Badan
penerbit ini menerbitkan novel-novel, seperti Siti Nurbaya dan Salah Asuhan,
buku-buku penuntun bercocok tanam, penuntun memelihara kesehatan, yang
tidak sedikit membantu penyebaran bahasa Melayu di kalangan masyarakat
luas.
3. Tanggal 16 Juni 1927 Jahja Datoek Kajo menggunakan bahasa Indonesia dalam
pidatonya. Hal ini untuk pertamakalinya dalam sidang Volksraad, seseorang
berpidato menggunakan bahasa Indonesia.[5]
4. Tanggal 28 Oktober 1928 secara resmi Muhammad Yamin mengusulkan agar
bahasa Melayu menjadi bahasa persatuan Indonesia.
5. Tahun 1933 berdiri sebuah angkatan sastrawan muda yang menamakan dirinya
sebagai Pujangga Baru yang dipimpin oleh Sutan Takdir Alisyahbana.
6. Tahun 1936 Sutan Takdir Alisyahbana menyusun Tatabahasa Baru Bahasa
Indonesia.
7. Tanggal 25-28 Juni 1938 dilangsungkan Kongres Bahasa Indonesia I di Solo.
Dari hasil kongres itu dapat disimpulkan bahwa usaha pembinaan dan
pengembangan bahasa Indonesia telah dilakukan secara sadar oleh cendekiawan
dan budayawan Indonesia saat itu.
8. Tanggal 18 Agustus 1945 ditandatanganilah Undang-Undang Dasar 1945, yang
salah satu pasalnya (Pasal 36) menetapkan bahasa Indonesia sebagai bahasa
negara.
9. Tanggal 19 Maret 1947 diresmikan penggunaan ejaan Republik sebagai
pengganti ejaan Van Ophuijsen yang berlaku sebelumnya.
10. Tanggal 28 Oktober s.d 2 November 1954 diselenggarakan Kongres Bahasa
Indonesia II di Medan. Kongres ini merupakan perwujudan tekad bangsa
8
Indonesia untuk terus-menerus menyempurnakan bahasa Indonesia yang
diangkat sebagai bahasa kebangsaan dan ditetapkan sebagai bahasa negara.
11. Tanggal 16 Agustus 1972 H. M. Soeharto, Presiden Republik Indonesia,
meresmikan penggunaan Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan (EYD)
melalui pidato kenegaraan di hadapan sidang DPR yang dikuatkan pula dengan
Keputusan Presiden No. 57 tahun 1972.
12. Tanggal 31 Agustus 1972 Menteri Pendidikan dan Kebudayaan menetapkan
Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan dan Pedoman
Umum Pembentukan Istilah resmi berlaku di seluruh wilayah Indonesia
(Wawasan Nusantara).
13. Tanggal 28 Oktober s.d 2 November 1978 diselenggarakan Kongres Bahasa
Indonesia III di Jakarta. Kongres yang diadakan dalam rangka memperingati
Sumpah Pemuda yang ke-50 ini selain memperlihatkan kemajuan, pertumbuhan,
dan perkembangan bahasa Indonesia sejak tahun 1928, juga berusaha
memantapkan kedudukan dan fungsi bahasa Indonesia.
14. Tanggal 21-26 November 1983 diselenggarakan Kongres Bahasa Indonesia IV
di Jakarta. Kongres ini diselenggarakan dalam rangka memperingati hari
Sumpah Pemuda yang ke-55. Dalam putusannya disebutkan bahwa pembinaan
dan pengembangan bahasa Indonesia harus lebih ditingkatkan sehingga amanat
yang tercantum di dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara, yang mewajibkan
kepada semua warga negara Indonesia untuk menggunakan bahasa Indonesia
dengan baik dan benar, dapat tercapai semaksimal mungkin.
15. Tanggal 28 Oktober s.d 3 November 1988 diselenggarakan Kongres Bahasa
Indonesia V di Jakarta. Kongres ini dihadiri oleh kira-kira tujuh ratus pakar
bahasa Indonesia dari seluruh Indonesia dan peserta tamu dari negara sahabat
seperti Brunei Darussalam, Malaysia, Singapura, Belanda, Jerman, dan
Australia. Kongres itu ditandatangani dengan dipersembahkannya karya besar
Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa kepada pencinta bahasa di
Nusantara, yakni Kamus Besar Bahasa Indonesia dan Tata Bahasa Baku Bahasa
Indonesia.
16. Tanggal 28 Oktober s.d 2 November 1993 diselenggarakan Kongres Bahasa
Indonesia VI di Jakarta. Pesertanya sebanyak 770 pakar bahasa dari Indonesia
dan 53 peserta tamu dari mancanegara meliputi Australia, Brunei Darussalam,
Jerman, Hongkong, India, Italia, Jepang, Rusia, Singapura, Korea Selatan, dan
9
Amerika Serikat. Kongres mengusulkan agar Pusat Pembinaan dan
Pengembangan Bahasa ditingkatkan statusnya menjadi Lembaga Bahasa
Indonesia, serta mengusulkan disusunnya Undang-Undang Bahasa Indonesia.
17. Tanggal 26-30 Oktober 1998 diselenggarakan Kongres Bahasa Indonesia VII di
Hotel Indonesia, Jakarta. Kongres itu mengusulkan dibentuknya Badan
Pertimbangan Bahasa.
C. Fungsi Bahasa Indonesia
Di dalam ilmu sosial-budaya apabila mengkaji fenomena sosial dengan
perspektif fungsi maka mau tidak mau akan menyandarkan pijakan paradigma pada
pendekatan fungsionalisme. "Fungsionalisme sebagai perspektif teoritik dalam
antropologi bertumpu pada analogi dengan organisme/makhluk hidup. Artinya,
sistem sosial-budaya dianalogikan sebagai sistem organisme, yang bagian-
bagiannya atau unsur-unsurnya tidak hanya saling berhubungan melainkan juga
memberikan peranan bagi pemeliharaan, stabilitas, integrasi, dan kelestarian hidup
organisme itu. Dengan analogi seperti itu maka semua sistem budaya memiliki
syarat-syarat fungsional, atau sistem budaya memiliki kebutuhan sosial yang harus
dipenuhi agar sistem sosial-budaya dapat bertahan hidup. Apabila kebutuhan itu
tidak terpenuhi maka sistem sosial-budaya itu akan mengalami disintegrasi dan
mati, atau dia akan berubah menjadi sistem lain tetapi beda jenis" (David Kaplan &
Albert Manners, 2000: 77-78).
Pendekatan fungsional ini dikembangkan oleh dua orang antropolog Inggris
yaitu Bronislaw Malinowski dan Radcliffe Brown (Adam Kuper, 1996; 40). Dengan
mengacu pada pendekatan fungsional itu maka stabilitas dan integrasi sistem sosial-
budaya sangat tergantung pada fungsi dari unsur-unsur yang menjadi bagian dari
sistem. Kalau suatu sistem organisme/makhluk hidup itu unsur-unsurnya adalah
kaki, mata, telinga, tangan, mulut, atau hidung maka sistem sosial-budaya yang
bernama negara (sebagai contoh) unsur-unsurnya akan terdiri dari pemerintah,
birokrasi, aparat keamanan, wilayah, bahasa, mata uang, atau penduduk. Semua
unsur tersebut tidak hanya saling berhubungan akan tetapi juga saling
menyumbangkan fungsinya masing-masing agar integrasi sistem tetap terjaga.
Apabila salah satu unsur mengalami disfungsi atau tidak mampu menyumbangkan
10
peran sesuai kapasitasnya, maka akibatnya akan dirasakan oleh unsur-unsur yang
lain. Pada akhirnya integrasi sistem akan goncang.
Salah satu kelemahan dari pendekatan fungsionalisme ini adalah pada
asumsinya bahwa kondisi sistem sosial-budaya itu selalu dalam keadaan stabil dan
terintegrasi. Maka pendekatan fungsional tidak mampu menjelaskan adanya
perubahan sistem sosial budaya secara menyeluruh. Hal ini wajar karena semua
pendekatan teoritik selalu memiliki kelebihan dan kekuarangan. Kita kembali pada
sistem sosial-budaya yang bernama negara, yaitu negara Indonesia, yang unsur-
unsurnya akan terdiri dari pemerintah, bangsa, wilayah, bahasa, atau penduduk.
Dalam hal ini kita ambil salah satu unsur negara yaitu bahasa.
Bahasa Indonesia berfungsi sebagai bahasa resmi kenegaraan, bahasa
persatuan, sekaligus menjadi identitas bangsa Indonesia. Apabila Bahasa Indonesia
sebagai unsur dari sistem negara pada suatu saat tidak mampu memberikan
fungsinya sebagai bahasa resmi kenegaraan, bahasa persatuan, atau identitas bangsa
maka akan terbayangkan adanya kegoncangan sistem sosial-budaya. Dalam
peristiwa kenegaraan pasti akan terjadi kekacauan karena tidak ada bahasa
kenegaraan. Semua orang akan membenarkan bahasa yang mereka gunakan sesuai
etnisnya walau masing-masing berbeda bahasa. Tidak akan ada bahasa persatuan
yang menjadi bahasa pengantar bagi masyarakat Indonesia yang memiliki latar
belakang etnis dan bahasa beraneka macam. Tidak akan ada bahasa yang dijadikan
identitas kebersamaan bahwa semua unsur itu menjadi bagian dari sistem yang
bernama negara Indonesia. Inilah yang disebut sebagai disintegrasi atau distabilitas
sistem negara.
Sebagai identitas bangsa atau negara maka bahasa Indonesia menjadi ciri atau
tanda yang membedakan dengan bangsa lain atau negara lain. Identitas ini bisa saja
menjadi salah satu faktor kebanggaan pada sebuah bangsa, yang kadang-kadang
diiringi dengan sikap merendahkan atau menganggap aneh identitas bangsa lain.
Identitas ini tidak stabil atau baku akan tetapi selalu berproses lewat wacana untuk
berkomunikasi, sehingga identitas selalu terjaga, dinamis, berubah, atau malah
musnah. Berawal dari merosotnya atau musnahnya kebanggaan akan identitas yang
berupa Bahasa Indonesia maka bisa jadi ini adalah awal dari disintegrasi negara
Indonesia. Tidak ada lagi alat komunikasi sesama warga Indonesia yang menjadi
11
kebanggaan bersama, masing-masing merasa bangga dengan bahasa daerahnya atau
bangga dengan bahasa manca negara sehingga bahasa Indonesia akan ditinggalkan.
Fungsi Bahasa Indonesia Seminar Politik Bahasa Nasional, 25-28 Februari
1975 di Jakarta, antara lain merumuskan bahwa di dalam kedudukannya bahasa
nasional, bahasa Indonesia (selanjutnya disingkat BI) berfungsi sebagai:
1) Lambang kebanggaan nasional.
2) Lambangidentitasnasional,
3) Pemersatu berbagai masyarakat yang berbeda latar belakang sosial
budayabahasa.
4) Alat perhubungan antar budaya dan antar daerah (Pusat Pembinaan
dan pengembanganBahasa,1975:5).
Beriringan dengan pesatnya perkembangan BI sebagai lambang identitas
nasional, teraktualisasikan pula perkembangan bahasa daerah (selanjutnya disingkat
BD) sebagai lambang identitas daerah yang keberadaannya diakui di dalam UUD
1945 yang secara bersamaan dengan BI menghadapi arus globalisasi. Kenyataan
menunjukkan bahwa tidak ada persaingan antara BI dan BD. Oleh karena itu,
pemerintah tidak ragu-ragu mengonsepkan kurikulum muatan lokal yang
memberikan peluang bagi sekolah-sekolah untuk mengajarkan BD di daerah
masing-masing.
D. Sastra Indonesia Sebagai Identitas Budaya
Ketika Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928, menegaskan pernyataan sikap para
pemuda Indonesia: “bertumpah darah yang satu, tanah Indonesia; berbangsa yang
satu, bangsa Indonesia, dan menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia,” saat
itulah identitas etnis –diwakili Jong Java, Jong Soematra (Pemoeda Soematra),
Pemoeda Indonesia, Sekar Roekoen, Jong Bataksbond, Jong Celebes, Pemoeda
Kaoem Betawi dan Perhimpoenan Peladjar-Peladjar Indonesia—dan agama –
diwakili Jong Islamieten—melekat dalam semangat kebangsaan atas nama
Indonesia. Sejak saat itu pula, bahasa Melayu –sebagai bahasa etnis— diangkat
12
menjadi bahasa persatuan dalam semangat politik keindonesiaan, dan tidak dalam
hubungan kultural kesukubangsaan.
Selepas peristiwa itu, berbagai puak dengan keanekaragaman kultur dan
bahasa, mulai dipersatukan melalui klaim kesadaran adanya persamaan tanah air
(wilayah), nasib bangsa yang terjajah, dan persamaan menggunakan alat
komunikasi antar-etnik (bahasa). Tentu saja klaim kesadaran keindonesiaan para
pemuda waktu itu dalam konteks kebangsaan yang bersifat politis, dan tidak dalam
hubungan kultural. Meski begitu, dalam lampiran hasil keputusan kongres pemuda
itu, dinyatakan bahwa dasar persatuan Indonesia itu dilandasi oleh kesamaan
semangat “kemauan, sejarah, hukum adat, serta pendidikan dan kepanduan.” Di
mana kultur etnik ditempatkan, apakah yang dimaksud kemauan, sejarah, dan
hukum adat, berada dalam konteks etnisitas, mengapa kebudayaan (etnik) tidak
eksplisit dijadikan sebagai landasan semangat persatuan keindonesiaan?
Di sinilah pernyataan “menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia,”
mestinya punya makna penting sebagai alat perekat. Pasalnya, jauh sebelum
Sumpah Pemuda, bahasa Melayu telah menjadi lingua franca bagi penduduk di
wilayah Nusantara ini. Jadi, de facto, bahasa Melayu sudah menjadi alat komunikasi
antar-etnis, sekaligus juga sebagai sarana untuk saling mengenal lebih dekat
keberagaman kultur etnisnya. Bukankah fungsi bahasa, di antaranya adalah untuk
melakukan adaptasi dan integrasi sosial? Jadi, sejak Sumpah Pemuda dicetuskan,
sejak itulah sesungguhnya terbuka lebar peluang untuk saling memahami berbagai
kultur etnik dalam kerangka keindonesiaan.
Meskipun demikian, dalam perjalanannya, peluang untuk memahami berbagai
kultur etnik melalui kesamaan bahasa itu, seperti diabaikan begitu saja. Sutan
Takdir Alisjahbana, misalnya, tiba-tiba saja menyodorkan konsep kebudayaan
Indonesia dengan orientasi ke Barat. Alisjahbana juga sama sekali tidak
menyinggung kebudayaan etnik, lantaran ia terperangkap oleh pemikiran dikotomis
mengenai kebudayaan tradisional (kebudayaan Indonesia lama) dan modern
(kebudayaan Indonesia baru). Dikatakannya, “Tiada sekali-kali termaksud untuk
mencela segala yang lama, untuk menyuruh orang melemparkan segala yang
13
tumbuh dalam berabad-abad di lingkungan tanah Indonesia ini. Dalam pusaka
turun-temurun itupun pastilah masih banyak tersimpan yang baik-baik yang dapat
dipakai untuk perumahan yang baru.” Selanjutnya, dikatakan pula, “… dalam
zaman jarak menjadi dekat dan watas menjadi kabur oleh radio, surat kabar, buku,
dan mesin terbang ini, Indonesia menjadi sebahagian daripada dunia yang luas…
dalam pembangunan kebudayaan Indonesia yang baru, yang akan menjadi
sebahagian daripada kebudayaan dunia, Indonesia Muda tiada mungkin menjadi
penonton…”
Dalam beberapa artikel Alisjahbana yang lain yang kemudian menjadi
Polemik Kebudayaan itu, di satu pihak, ia memberi penyadaran pentingnya orientasi
bangsa Indonesia dalam membangun kebudayaan sendiri, dan di lain pihak,
memberi penekanan pada pengaruh asing (Barat) yang bagi Alisjahbana, mesti
disikapi dengan menyerap pengaruh itu dan menjadikan kebudayaan Indonesia
sebagai bagian dari kebudayaan dunia. Oleh karena itu, menurut Alisjahbana,
kebudayaan tradisional mesti ditempatkan sebagai masa lalu. Secara eksplisit
dikatakannya: masa lalu sudah mati semati-matinya!
Jelas, meski pada awalnya Alisjahbana masih menyatakan, bahwa “Dalam
pusaka turun-temurun itupun pastilah masih banyak tersimpan yang baik-baik yang
dapat dipakai untuk perumahan yang baru,” ia sama sekali tak melihat –bahkan
tidak menyinggung— signifikansi kebudayaan daerah (etnik) sebagai bagian dari
usaha membangun kebudayaan Indonesia. Dengan begitu, kebudayaan etnik pun,
bagi Alisjahbana, sekadar kisah masa lalu. Bahwa pandangan Alisjahbana
menafikan keberadaan kultur etnik, tentu saja masalahnya berkaitan dengan tuntutan
semangat zamannya. Dalam hal ini, boleh jadi pertimbangannya semata-mata atas
dasar pentingnya bangsa Indonesia mengejar ketertinggalannya dari bangsa lain.
Atau, sangat mungkin pula Alisjahbana sengaja menutup mata atas kebudayaan
etnik. Justru di situlah sesungguhnya sumber masalah yang menimpa kebudayaan
Indonesia. Masalah itu kemudian terus mengalir mengikuti perjalanan waktu, dan
seolah-olah kebudayaan Indonesia terjelma begitu saja secara serempak, tanpa
keterlibatan –atau tanpa perlu melibatkan— ihwal kultur etnik.
Pertanyaan yang dapat kita ajukan adalah: apa yang dimaksud dengan
kebudayaan Indonesia? Apakah kebudayaan Indonesia yang baru itu, semua
14
unsurnya diambil dari kebudayaan asing atau kebudayaan daerah yang menyerap
pengaruh asing? Perdebatan dalam Polemik Kebudayaan itu juga ternyata sama
sekali tidak merumuskan konsep kebudayaan Indonesia. Yang ditekankan,
bagaimana bangsa Indonesia menyikapi pengaruh asing dan menempatkan tradisi
sebagai bagian dari masa lalu yang harus dibenamkan semati-matinya atau justru
dijadikan sebagai sumber inspirasi.
Ketidakjelasan rumusan itu pula yang boleh jadi dihadapi oleh para penyusun
Undang-Undang Dasar 1945. Dalam Pasal 32 UUD 1945, dinyatakan: “Pemerintah
memajukan kebudayaan nasional Indonesia.” Lalu apa yang dimaksud dengan
kebudayaan nasional Indonesia, tak ada pula rumusannya. Hanya, di dalam
penjelasan Pasal 32 itu, dinyatakan, bahwa “Kebudayaan bangsa ialah kebudayaan
yang timbul sebagai buah usaha budinya rakyat Indonesia seluruhnya. Kebudayaan
lama dan asli terdapat sebagai puncak-puncak kebudayaan daerah-daerah di seluruh
Indonesia, terhitung sebagai kebudayaan bangsa. Usaha kebudayaan harus menuju
ke arah kemajuan adab, budaya, dan persatuan dengan tidak menolak bahan-bahan
baru dari kebudayaan asing yang dapat memperkembangkan atau memperkaya
kebudayaan bangsa sendiri, serta mempertinggi derajat kemanusiaan bangsa
Indonesia.”
Kembali, penjelasan yang semestinya mendudukkan konsep kebudayaan
nasional Indonesia, kebudayaan bangsa, dan (puncak-puncak) kebudayaan daerah
dalam pengertian yang lebih terang, justru menimbulkan persoalan, karena tidak ada
keterangan lebih lanjut mengenai apa yang dimaksud dengan konsep itu. Bahkan
pernyataan puncak-puncak kebudayaan daerah sebagai kebudayaan bangsa,
menafikan sebagian keberadaan kebudayaan daerah sebagai bukan kebudayaan
bangsa. Atau, mengidentifikasikan kebudayaan daerah sebagai kebudayaan
nasional, tentu saja tidak dapat dilakukan begitu saja mengingat keduanya
mempunyai peranan yang berbeda. Kebudayaan daerah dan kebudayaan nasional
masing-masing menempati kotaknya sendiri yang tidak secara gampang dapat
dipertukarkan tempatnya. Persoalannya makin rumit ketika ada pekerja budaya yang
justru tidak berada di wilayah kebudayaan daerah. Tentu saja mereka tidak mungkin
dapat mencapai “puncak-puncak” kebudayaan daerah. Rumusan yang berbau
hegemonik ini sepatutnya tak muncul jika ada kesadaran bahwa sesungguhnya
15
kebudayaan Indonesia tak dapat melepaskan diri dari hubungannya antara
kebudayaan nasional (bangsa) dan kebudayaan daerah (etnik).
Penafikan kebudayaan daerah sebagai kebudayaan yang lahir dari rahim etnik
kesukubangsaan, juga muncul dalam semangat yang melandasi para seniman dan
budayawan yang tergabung dalam “Gelanggang Seniman Merdeka”. Dalam
pernyataan sikap berkebudayaannya yang dirumuskan dalam “Surat Kepercayaan
Gelanggang”, mereka cenderung menempatkan kebudayaan Indonesia sebagai
bagian dari kebudayaan dunia, dan sama sekali tak ada usaha untuk
mempertimbangkan kebudayaan etnik yang sesungguhnya merupakan bagian yang
tak terpisahkan dari kebudayaan keindonesiaan. Perhatikan kutipan beberapa
penggalan Surat Kepercayaan Gelanggang berikut ini.
Kami adalah ahli waris yang sah dari kebudayaan dunia dan kebudayaan ini
kami teruskan dengan cara kami sendiri. Kami tidak akan memberikan suatu kata
ikatanuntukkebudayaanIndonesia.Kalau kami berbicara tentang kebudayaan
Indonesia,kami tidak ingat kepada melap-lap hasil kebudayaan lama. Kebudayaan
Indonesia ditetapkan oleh kesatuan berbagai-bagai rangsang suara yang dilontarkan
dari segala sudut dunia yang kemudian dilontarkan kembali dalam bentuk suara
sendiri.
Lihatlah elan yang dikumandangkan para seniman yang belakangan dicap
sebagai Angkatan 45 itu. Klaim “ahli waris yang sah dari kebudayaan dunia” dan
“Kebudayaan Indonesia ditetapkan oleh kesatuan berbagai-bagai rangsang suara
yang dilontarkan dari segala sudut dunia” menegaskan orientasi mereka pada
kebudayaan dunia yang di dalam konteks itu tidak lain merupakan kebudayaan
Barat.
Sementara itu, pernyataan: “Kalau kami berbicara tentang kebudayaan
Indonesia, kami tidak ingat kepada melap-lap hasil kebudayaan lama,”
mengisyaratkan betapa mereka tak lagi melihat kebudayaan etnik yang sebenarnya
sejak mereka lahir sudah nemplok dengan sendirinya. Pertanyaannya kemudian:
mungkinkah kebudayaan etnik diabaikan begitu saja –bahkan ditiadakan, jika
mereka sendiri lahir dan dibesarkan dalam lingkaran kebudayaan etnik. Dengan
demikian, bagaimana mungkin mereka dapat merumuskan dan memahami identitas
16
kebudayaannya, jika mereka sendiri, belum apa-apa, sudah menolak kebudayaan
masa lalunya. Jadi, tidak dapat lain, usaha merumuskan kebudayaan Indonesia dan
penjelasannya tentang itu, mesti berangkat atau bersumber dari kebudayaan masa
lalunya itu; kebudayaan daerah, kebudayaan etnik. Tanpa itu, kita akan tetap
terjebak pada perumusan yang mengawang-awang dan tidak membumi.
Pemaparan di atas sesungguhnya sekadar hendak menegaskan kembali, betapa
rumusan-rumusan tentang kebudayaan Indonesia yang selama ini kita terima, telah
gagal mengakomodasi keberadaan kebudayaan daerah –kebudayaan etnik. Jadi, titik
tekan dalam mencermati persoalan kebudayaan Indonesia kini, mestinya tidak lagi
terpaku dan berkutat pada konsep-konsep yang abstrak dan mengawang-awang,
melainkan pada cara pandang dan pemahaman yang bersifat praksis.
Demikian juga, pemahaman kebudayaan etnik yang sekadar disajikan dalam
bentuk pengetahuan hapalan tentang pakaian tertentu, jenis kesenian, dan nama
suku bangsa sebagaimana yang banyak disajikan dalam buku-buku pelajaran, tanpa
penjelasan lebih lanjut tentang filsafat yang mendiaminya, semangat yang
menjiwainya, dan ruh kebudayaan yang melatarbelakanginya, telah mereduksi
kekayaan dan kekhasan kebudayaan etnik itu sendiri. Dengan begitu, sangat
mungkin kita sekadar hapal nama, istilah, atau konsep tentang kebudayaan etnik
tertentu, tetapi sama sekali tidak dapat memahami peristiwa besar kebudayaan yang
berada di sebaliknya. Dalam hal itu, barangkali, perlu dipikirkan langkah-langkah
praksis yang memungkinkan kita dapat mengenal, memahami, dan memberi
apresiasi sewajarnya atas berbagai macam budaya etnik. Dengan kata lain,
diperlukan sikap inklusif dan terbuka dalam menerima kebudayaan etnik lain
sebagai bagian dari kekayaan kebudayaan kita dalam lingkup keindonesiaan. Sikap
apresiatif terhadap kultur etnik mana pun, sedikitnya dapat membawa kita
mengenal, memahami dan memberi penghargaan yang proporsional, bahwa kultur
etnik yang tersebar di wilayah Indonesia ini sesungguhnya merupakan bagian dari
diri kita, dan bagian dari milik kita sebagai warga Indonesia.
Di dalam kerangka itulah, kesusastraan sebagai “potret” budaya sebuah
komunitas yang lahir lewat proses pergulatan dan kegelisahan kultural
pengarangnya, boleh jadi dapat kita jadikan sebagai salah satu sarana mencapai
tujuan itu. Bukankah kesusastraan merupakan hasil evaluasi kritis atas problem
17
sosial budaya yang terjadi dalam kehidupan yang melingkari diri seorang
pengarang. Sangat mungkin, karya sastra sebagai sistem gagasan, sistem nilai atau
segala sesuatu yang keluar dari pikiran manusia justru merepresentasikan semangat
atau kegelisahan yang berkaitan erat dengan kebudayaan yang telah melahirkan,
membesarkan, dan sekaligus juga mempengaruhi diri pengarang.
Kesusastraan Indonesia, secara kultural pada awalnya adalah kesusastraan
‘etnik’ yang ditulis dengan menggunakan bahasa Indonesia, bahasa nasional yang
diangkat dari bahasa etnik Melayu. Sebagai sastra yang ruhnya berasal dari kultur
etnik, ia tak terlepas dari berbagai hal yang melingkarinya. Paling tidak, sumbernya
jatuh pada diri sastrawan yang juga tidak terlepas dari latar belakang etnik yang
melahirkan dan membesarkannya.
Sebagai anggota kelompok sosial atau sukubangsa, sastrawan mengusung
sesuatu yang berhubungan dengan ruh, semangat dan nilai budaya kelompok
sukubangsa tertentu. Sayangnya, saat karya itu diejawantahkan dalam bahasa
Indonesia, masalah etnik yang melingkarinya tadi, tiba-tiba seperti dianggap selesai,
atau diperlakukan seolah-olah tidak ada hubungannya dengan kultur etnik. Problem
budaya sukubangsa, latar belakang etnik, mendadak lenyap begitu saja ketika ia
menggunakan bahasa Indonesia. Padahal, bahasa Indonesia sekadar sarana yang di
dalam kerangka Sumpah Pemuda sebagai pernyataan “menjunjung bahasa
persatuan”. Di dalam kemajemukan masyarakat Indonesia, pluralitas etnis adalah
kenyataan. Tentu saja tidak serta-merta lebur dan menjelma dalam keseragaman,
hanya lantaran ia menggunakan bahasa yang sama: bahasa Indonesia.
Maka, ketika Mohammad Yamin mengusung soneta dan berbicara tentang
“Tanah Air” (1922) dan “Indonesia Tumpah Darahku” (1928), semangat pantun
diperlakukan sekadar sebagai bentuk, dan bukan jiwa atau ruh yang mengilhaminya.
Demikian juga, ketika novel-novel awal Balai Pustaka terbit, masalah kawin paksa
seolah-olah muncul sebagai tema sentral. Lalu, kemanakah semangat pengelanaan
yang menjadi salah satu ciri (kultur) orang Minang? Periksalah, dalam hampir
semua novel terbitan Balai Pustaka masa itu, sebagian besar tokoh utamanya tidak
pernah lepas dari semangat pengelanaan (merantau). “Konsep merantau menurut
alam pikiran Minangkabau ialah untuk menimba segala sesuatu yang tidak mereka
18
dapati di alam tradisional. Perantauan adalah sumber dari sesuatu yang baru .…”
Bukankah itu merupakan representasi kultur Minangkabau?
Ketika Sutan Takdir Alisjahbana menyatakan, bahwa kebudayaan tradisional
(: kultur etnik) –sebagai masa lalu—yang harus mati semati-matinya, dalam
kenyataannya, pernyataan itu sekadar slogan belaka. Majalah Poedjangga Baroe
yang dikelolanya, justru banyak pula memuat berbagai tulisan yang mengangkat
kebudayaan tradisional (kultur etnik) atau kesusastraan yang berorientasi pada unsur
kedaerahan. Jadi, meskipun Alisjahbana menganjurkan agar bangsa Indonesia
berorientasi ke Barat, ia sendiri tidak menolak dan membiarkan orang berbicara
tentang berbagai pemikiran yang berkaitan dengan kebudayaan tradisional (:
kebudayaan daerah). Oleh karena itu, suara Alisjahbana sesungguhnya tak cukup
representatif mewakili suara angkatan Pujangga Baru mengingat tidak sedikit di
antaranya –termasuk Armijn Pane dan Amir Hamzah— yang tidak mau
meninggalkan kebudayaan etnik yang telah melahirkan dan membesarkannya itu.
Masalah yang sama, juga terjadi pada seniman dan budayawan Gelanggang
yang memproklamasikan sikap berkeseniannya lewat Surat Kepercayaan
Gelanggang. Dari sejumlah besar sastrawan Gelanggang, hanya Chairil Anwar yang
melanjutkan kekaguman Alisjahbana terhadap kebudayaan Barat. Tetapi Chairil
Anwar tidak secara bulat-mentah memamahnya. Ia justru menerjemahkan semangat
Barat untuk kepentingan kreativitasnya. Maka, seperti dikatakan Sutardji Calzoum
Bachri, “Ambillah Barat dan kebudayaan Indonesia baru akan menjadi kreatif
sesuai dengan tuntutan zaman.”
Chairil Anwar memang wakil generasi itu. Tetapi di sana masih ada Asrul
Sani, Sitor Situmorang, Pramoedya Ananta Toer, Achdiat Karta Mihardja, Rivai
Apin, dan sederetan nama lain yang juga tidak dapat dikesampingkan begitu saja.
Maka, kita dapat melihat, pernyataan “melap-lap kebudayaan lama” justru telah
diterjemahkan dalam sejumlah karya mereka sebagai penggalian pada sumber
tradisi (: etnik). Asrul Sani ternyata masih mencintai Sang Mamak (“Surat dari
Ibu”) dan melakukan pengelanaannya dalam semangat Minangkabau. Pramoedya
Ananta Toer (Bukan Pasar Malam) menguak secara kritis feodalisme Jawa, Sitor
Situmorang mengusung eksistensialisme dalam kegamangan berhadapan dengan
kultur leluhurnya, dan Achdiat Karta Mihardja membongkar tarekat dalam sebagian
19
masyarakat Sunda berhadapan dengan rasionalitas agama. Dengan demikian,
pernyataan “ahli waris yang sah dari kebudayaan dunia …” dapatlah kita tafsirkan
dalam kaitannya atau dalam berhadapan dengan kultur etnik.
Sejak tahun 1950-an, semangat mengangkat kebudayaan etnik, tidak lagi
terpusat pada Minangkabau (: Sumatra), tetapi menyebar ke dalam diri sastrawan
yang berlatar etnis lain, seperti Jawa, Bali, Dayak, Melayu, dan Cirebon. Keadaan
itu terus berkembang ketika ada usaha untuk melakukan semacam revitalisasi tradisi
dalam kemasan modern. Itulah yang terjadi dalam perjalanan kesusastraan
Indonesia tahun 1970-an, dan terus berlanjut sampai sekarang. Timbul
pertanyaannya: mengapa masalah kultur etnik jarang disinggung para pengamat
sastra yang membincangkan novel-novel awal Balai Pustaka?
Ada dua kemungkinan yang melatarbelakangi hal tersebut. Pertama, terjebak
oleh cara pandang kolonial, sebagaimana yang diterapkan pada Balai Pustaka. Cara
pandang kolonial itu pula yang menempatkan sastra sebagai produk elitis, dan
menciptakan dikotomi roman Balai Pustaka dan roman picisan (: bacaan liar).
Kedua, terkungkung oleh cara pandang strukturalis. Dalam dua dasawarsa lebih,
pendekatan struktural ini mendominasi pengajaran sastra di berbagai peringkat
pendidikan. Akibatnya, karya sastra yang sesungguhnya menyimpan kekayaan
kultur etnik, tidak dapat lebih jauh dimaknai, ditafsirkan, dan dikaitkan dengan
kebudayaan yang melingkari diri pengarangnya.
Indonesia terdiri dari berbagai sukubangsa dan budaya, agama, kepercayaan,
dan ideologi. Bahwa suku bangsa yang satu tak memahami suku bangsa lain;
budaya yang satu diperlakukan seolah-olah tak bersentuhan dengan budaya lain;
juga merupakan kenyataan yang sangat mungkin sewaktu-waktu dapat menjadi
masalah serius, seperti terjadi di Sambas, dan beberapa daerah lain. Bahkan, jika
ihwal etnisitas ini diangkat secara berlebihan dan disuarakan sebagai sebuah
gerakan, ia malah menjadi ancaman bagi keutuhan integrasi bangsa, seperti
diperlihatkan Aceh dan Papua. pemahaman dan usaha mempelajari kebudayaan
sukubangsa lain, di luar etnisnya sendiri, niscaya menjadi sangat signifikan jika
mengingat kemungkinan terjadinya desintegrasi bangsa tadi.
20
Mengingat kesusastraan Indonesia secara kultural merupakan kesusastraan
‘etnik’ maka usaha mempelajarinya, langsung atau tidak langsung, diharapkan
sampai ke sebuah muara yang bernama Indonesia yang pluralis, yang multietnik,
yang multikultural. Oleh karena itu, mempelajari sastra Indonesia yang berdarah-
daging etnis, dapat pula kiranya dianggap sebagai usaha memahami identitas
budaya etnis lain, kebudayaan lain, dan dapat pula dimaknai sebagai salah satu
bentuk apresiasi terhadapnya.
Persoalan lain yang terjadi dalam hubungan kesukubangsaan dan kebangsaan
atau antara etnisitas dan nasionalisme adalah adanya tuntutan pengakuan dan
keinginan yang berlebihan untuk mempertahankan identitas etnis dan agama.
Sejatinya keberadaan masing-masing etnis itu berbeda dan perbedaan yang
beranekaragam itu sebagai pluralitas faktual, maka perlu ada kesadaran kesetaraan
hubungan antar-etnis itu. Lewat kesadaran kesetaraan itu, usaha untuk
mengapresiasi etnis dan budaya lain relatif menjadi lebih gampang dan fleksibel.
Usaha memelihara toleransi menjadi lebih terbuka.
Menempatkan kesusastraan Indonesia sebagai pintu masuk menuju
pemahaman pluralitas budaya dan keberagaman etnik masyarakat di wilayah
Nusantara ini, tentu saja bukan tanpa alasan. Selain persoalan konflik etnik dan
agama yang perlu segera mendapat penanganan serius, juga hasrat beberapa daerah
yang berlebihan hendak mewujudkan identitas etnik dalam kerangka negara
merdeka (ethnonationalism) dapat menjadi ancaman. Kinilah saatnya memanfaatkan
khazanah kesusastraan Indonesia yang sarat bernafaskan kultur etnik untuk
dijadikan salah satu alat atau kendaraan yang akan membawa pada pemahaman
keberagaman etnik dengan pluralitas budayanya. Dengan mempertimbangkan
beberapa faktor berikut, tak berlebihan jika gagasan ini dicobakan.
Pertama, sejak zaman Balai Pustaka hingga kini, sastrawan Indonesia
sebenarnya tidak dapat meninggalkan kebudayaan etniknya. Suara Alisjahbana yang
menekankan orientasi ke Barat, tak sepenuhnya diikuti sastrawan lain masa itu.
Demikian juga pernyataan Surat Kepercayaan Gelanggang yang mengaku sebagai
ahli waris kebudayaan dunia, tidak tercermin dalam karya-karya yang dihasilkan
para perumus pernyataan itu.
21
Kedua, pluralitas kultural yang dimiliki suku-suku bangsa di wilayah
Nusantara merupakan lahan yang tak bakal habis digali dan dimanfaatkan bagi
pemerkayaan khazanah sastra Indonesia. Periksa saja karya-karya yang dihasilkan
sastrawan kita yang mengalami kegelisahan kultural atas budaya etniknya. Dari
Minangkabau, dapat disebut nama-nama Chairul Harun, Warisan (1979), Darman
Munir, Bako (1983) dan Dendang (1990), Wisran Hadi, Orang-Orang Blanti (2000),
dan Gus tf Sakai, Tambo: Sebuah Pertemuan (Grasindo, 2000). Dari kultur Jawa,
dapat disebutkan di antaranya, karya Arswendo Atmowiloto, Canting (1986),
Ahmad Tohari, Ronggeng Dukuh Paruk (1982), Umar Kayam, Para Priyayi (1992),
Kuntowijoyo, Pasar (1994), dan Danarto dalam antologi cerpennya, Setangkai
Melati di Sayap Jibril (2001). Dari kultur Melayu dapat disebutkan karya Ediruslan
Pe Amanriza, Dikalahkan Sang Sapurba (2000), Taufik Ikram Jamil, Hempasan
Gelombang (1999) dan Gelombang Sunyi (2001). Dari kultur Madura dapat kita
cermati dari sejumlah antologi puisi D. Zawawi Imron, Bantalku Ombak Selimutku
Angin (1996; II, 2000), dari kultur Dayak, pilihan jatuh pada novel Upacara (1978)
karya Korrie Layun Rampan, dan dari kultur Papua (Asmat), Namaku Teweraut
(2001), Aning Sekarningsih. Dari kultur Bali, Bila Malam Bertambah Malam (1971:
II, 2003) karya Putu Wijaya dan Tarian Bumi (2000) karya Oka Rusmini. Tentu
masih banyak nama dan karya lain yang belum disebutkan yang memperlihatkan
kuatnya kegelisahan kultural yang dihadapi pengarangnya. Karya-karya itu sangat
pantas menjadi bahan awal untuk memperkenalkan berbagai kultur etnik yang
tersebar di Nusantara ini.
Ketiga, hadirnya begitu banyak penerbit di luar Jakarta, seperti Riau, Padang,
Yogyakarta, Surabaya, Magelang, Bandung, Lampung, telah memungkinkan
munculnya kesemarakan bagi khazanah kesusastraan Indonesia. Dalam hal ini,
karya-karya yang diterbitkan penerbit dari berbagai kota itu memperlihatkan
kuatnya kultur etnik.
Keempat, munculnya sastrawan-sastrawan wanita dengan latar belakang
budaya yang berbeda, ikut pula meramaikan peta kesusastraan Indonesia. Yang
menarik adalah beragamnya bentuk representasi yang jika dilihat dari perspektif
kultural, justru memperlihatkan pengagungan pada keanekaragaman dan pluralitas.
22
Kelima, diberlakukannya otonomi daerah makin melebarkan peluang bagi
sastrawan daerah untuk melakukan eksplorasi kekayaan budaya suku bangsanya
sendiri. Dengan demikian, bakal meramaikan konstelasi kesusastraan Indonesia
melalui eksplorasi dan penggalian berbagai budaya etnik. Kondisi ini makin
mempertegas adanya keanekaragaman budaya dan pluralitas yang melekat dalam
diri sastrawan Indonesia.
E. Perkembangan Bahasa Indonesia Di Era Globalisasi
Kita tengah memasuki abad XXI. Abad ini juga merupakan milenium III
perhitungan Masehi. Perubahan abad dan perubahan milenium ini diramalkan akan
membawa perubahan pula terhadap struktur ekonomi, struktur kekuasaan, dan
struktur kebudayaan dunia.
Arus globalisasi menimbulkan pengubah sosial yang menurut Emil Salim
(1990) menimpa empat bidang kekuatan yang menonjol daya dobraknya. Keempat
bidang kekuatan itu, yakni pertama gelombang perkembangan yang amat tinggi
dalam bidang IPTEK. Gelombang kedua, yakni bidang ekonomi, misalnya yang
dapat kita amati penyatuan pasar Eropa Barat, AS, dan Kanada. Kecenderungan
ini merupakan perilaku ekonomi global yang praktis telah mencakup sebagian
wilayah di dunia ini tanpa mengenal batas. Gelombang ketiga, yakni masalah
lingkungan hidup, misalnya kalau terjadi pencemaran laut di Selat Malaka,
dampaknya tidak hanya dirasakan Malaysia, Singapura, dan Indonesia, tetapi juga
di negara tetangga lainnya. Gelombang keempat, yakni bidang politik sehingga
dewasa ini tak ada lagi suatu negara yang hanya memeprtaruhkan potensi yang
terdapat di dalam negaranya.
Arus globalisasi itu telah menimbulkan pengubah sosial yang dalam waktu-
waktu yang akan datang akan terjelma dalam perilaku sosial, baik perilaku sosial
bermasalah maupun perilaku sosial yang positif . Kenyataan menunjukkan di
mana-mana selalu digebyarkan kata atau urutan kata persaingan, harga bersaing,
persaingan global, kalah bersaing, dan memasuki persaingan global.
Arus globalisasi tentu saja akan mempengaruhi seluruh aspek kehidupan dan
penghidupan manusia sejagat. Pengaruh itu, anara lain akan terlihat dalam bidang
23
pendidikan dan kebudayaan. Salah satu pokok yang dihadapi dunia pendidikan
adalah masalah identitas bangsa.
Kalau kita berbicara identitas bangsa, mau tidak mau kita akan berbicara
tentang kebudayaan, dan kalau kita berbicara tentang kebudayaan, mau tidak mau
kita akan mempersoalkan bahasa. Itu sebabnya Makagiansar (1990) menekankan
perlunya kesadaran tentang identitas budaya, bahkan Emil Salim (1990)
menyatakan upaya mempertahankan identias merupakan prioritas yang harus
diperjuagkan mati-matian dengan cirri utama keseimbangan antara aspek material
dan spiritual. Pengaruh arus globalisasi dalam identitas bangsa itu tecermin, antara
lain, dari sikap lebih mengutamakan penggunaan bahasa asing (disingkat BA)
daripada penggunaan BI, misalnya dalam penamaan kompleks perumahan, dan
sikap mementingkan kegiatan tertentu, misalnya demi kegiatan pengembangan
pariwisata dan bisnis. Syukurlah sikap seperti itu mulai disadari, dan diambil
langkah-langkah nyata mengganti kata-kata asing dengan kata-kata Indonesia.
Fenomena paling menonjol yang tengah terjadi pada kurun waktu ini adalah
terjadinya proses globalisasi. Proses perubahan inilah yang disebut Alvin Toffler
sebagai gelombang ketiga, setelah berlangsung gelombang pertama (agrikultiur) dan
gelombang kedua (industri). Perubahan yang demikian menyebabkan terjadinya
pula pergeseran kekuasaan dari pusat kekuasaan yang bersumber pada tanah,
kemudian kepada kapital atau modal, selanjutnya (dalam gelombang ketiga) kepada
penguasaan terhadap informasi (ilmu pengetahuan dan tekhnologi).
Proses globalisasi ini lebih banyak ditakuti daripada dipahami untuk
kemudian diantisipasi dengan arif dan cermat. Oleh rasa takut dan cemas yang
berlebihan itu, antisipasi yang dilakukan cenderung bersifat defensif membangun
benteng-benteng pertahanan dan merasa diri sebagai objek daripada subjek di dalam
proses perubahan.
Bagaimana dengan bahasa dan sastra? Apakah yang terjadi dengan bahasa dan
sastra Indonesia di dalam proses globalisasi? Apakah yang harus dilakukan dan
kebijakan yang bagaiman yang harus diambil dalam hubungan sastra Indonesia
dalam menghadapi proses globalisasi atau di dalam era pasar bebas?
24
Mitos yang hidup selama ini tentang globalisasi adalah bahwa proses
globalisasi akan membuat dunia seragam. Proses globalisasi akan menghapus
identitas dan jati diri . Kebudayaan lokal dan etnis akan ditelan oleh kekuatan
budaya besar atau kekuatan budaya global.
Anggapan atau jalan pikiran yang demikian tidak sepenuhnya benar.
Kemajuan teknologi komunikasi memang telah membuat batas-batas dan jarak
menjadi hilang dan tidak berguna. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknolgi telah
membuat surutnya peranan kekuasaan ideologi dan kekuasaan negara. Akan tetapi,
Jhon Naisbitt dalam bukunya Global Paradox memperlihatkan hal yang justru
bersifat paradoks dari fenomena globalisasi. Di dalam bidang ekonomi, misalnya,
Naisbitt mengatakan “Semakin besar dan semakin terbuka ekonomi dunia, semakin
perusahaan-perusahaan kecil dan sedang akan mendominasi”. Ia di dalam bukunya
itu juga mengemukakan pokok-pokok pikiran lain yang paradoks sehubungan
dengan masalah ini. “Semakin kita menjadi universal, tindakan kita semakin bersifat
kesukuan”, “berfikir lokal, bersifat global.” Ketika bahasa Inggris menjadi bahasa
kedua bagi semua orang, bahasa pertama, bahasa ibu mereka, menjadi lebih penting
dan dipertahankan dengan lebih giat.
Dari pernyataan Naisbitt itu, kalau kita mempercayai, proses globalisasi tetap
menempatkan masalah lokal ataupun masalah etnis (tribe) sebagai masalah yang
penting yang harus dipertimbangkan. Dalam bukunya yang lain Megatrends 2000,
Naisbitt juga mengatakan bahwa era yang akan datang adalah era kesenian dan era
pariwisata. Orang akan membelanjakan uangnya untuk bepergian dan menikmati
karya-karya seni. Peristiwa-peristiwa kesenian yang akan menjadi perhatian utama
dibandingkan peristiwa-peristiwa olahraga yang sebelumnya lebih mendapat
tempat.
“Berpikir lokal, bertindak global”, seperti yang dikemukakan Naisbitt itu,
pastilah akan menempatkan masalah bahasa dan sastra, khususnya bahasa dan sastra
Indonesia, sebagai sesuatu yang penting di dalam era globalisasi. Proses berpikir
tidak akan mungkin dilakukan tanpa bahasa. Bahasa yang akrab untuk masyarakat
(lokal) Indonesia adalah bahasa Indonesia. Proses berpikir dan kemudian
dilanjutkan proses kreatif, proses ekspresi, akan melahirkan karya-karya sastra,
yakni karya sastra Indonesia.
25
Di dalam sejarahnya, bahasa Indonesia telah berkembang cukup menarik.
Bahasa Indonesia yang tadinya hanya merupakan bahasa Melayu dengan
pendukung yang kecil telah berkembang menjadi bahasa Indonesia yang besar.
Bahasa ini telah menjadi bahasa lebih dari 200 juta rakyat di Nusantara Indonesia.
Sebagian besar di antaranya juga telah menjadikan bahasa Indonesia sebagai bahasa
pertama. Bahasa Indonesia yang tadinya berkembang dari bahasa Melayu itu telah
“menggusur” sejumlah bahasa lokal (etnis) yang kecil. Bahasa Indonesia yang
semulanya berasal dari bahasa Melayu itu bahkan juga menggeser dan
menggoyahkan bahasa etnis-etnis yang cukup besar, seperti bahasa Jawa dan bahasa
Sunda. Bahasa Indonesia telah menjadi bahasa dari masyarakat baru yang bernama
masyarakat Indonesia. Di dalam persaingannya untuk merebut pasar kerja, bahasa
Indonesia telah mengalahkan bahasa-bahasa daerah yang ada di Indonesia. Bahasa
Indonesia juga telah tumbuh dan berkembang menjadi bahasa yang modern pula.
Perkembangan yang demikian akan terus berlanjut. Perkembangan tersebut
akan banyak ditentukan oleh tingkat kemajuan masyarakat dan peranan yang
strategis dari masyarakat dan kawasan ini di masa depan. Diramalkan bahwa
masyarakat kawasan ini, yaitu Indonesia, Malasyia, Thailand, Vietnam, Brunai
Darussalam, dan Filipina akan menjadi salah satu global-tribe yang penting di
dunia. Jika itu terjadi, bahasa Indonesia (lebih jauh bahasa Melayu) juga akan
menjadi bahasa yang lebih bersifat global. Proses globalisasi bahasa Melayu (baru)
untuk kawasan Nusantara, dan bahasa-bahasa Melayu untuk kawasan Asia Pasifik
(mungkin termasuk Australia) menjadi tak terelakkan. Peranan kawasan ini
(termasuk masyarakatnya, tentu saja) sebagai kekuatan ekonomi, industri dan ilmu
pengetahuan yang baru di dunia, akan menentukan pula bagaimana perkembangan
bahasa Indonesia (dan bahasa Melayu) modern. Bahasa dan sastra Indonesia sudah
semenjak lama memiliki tradisi kosmopolitan. Sastra modern Indonesia telah
menggeser dan menggusur sastra tradisi yang ada di pelbagai etnis yang ada di
Nusantara.
Perubahan yang terjadi itu tidak hanya menyangkut masalah struktur dan
bahasa, tetapi lebih jauh mengungkapkan permasalahan manusia baru (atau lebih
tepat manusia marginal dan tradisional) yang dialami manusia di dalam sebuah
proses perubahan. Lihatlah tokoh-tokoh dalam roman dan novel Indonesia. Lihatlah
26
tokoh Siti Nurbaya di dalam roman Siti Nurbaya, tokoh Zainudin di dalam roman
Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, tokoh Hanafi di dalam roman Salah Asuhan,
tokoh Tini, dan Tono di dalam novel Belenggu, sampai kepada tokoh Lantip di
dalam roman Priyayi. Mereka adalah tokoh-tokoh yang berusaha masuk ke dunia
yang baru, dunia yang global, dengan tertatih-tatih.
Dengan demikian, satra Indonesia (dan Melayu) modern pada hakikatnya
adalah sastra yang berada pada jalur yang mengglobal itu. Sebagaimana dengan
perkembangan bahasa Indonesia, sastra Indonesia tidak ada masalah dalam
globalisasi karena ia memang berada di dalamnya. Yang menjadi soal adalah
bagaimana menjadikan bahasa dan sastra itu memiliki posisi yang kuat di tengah-
tengah masyarakatnya. Atau lebih jauh, bagaimana langkah untuk menjadikan
masyarakatnya memiliki posisi kuat di tengah-tengah masyarakat dunia (lainnya).
Kalau merujuk kepada pandangan-pandangan Alvin Toffler atau John
Naisbitt, dua peramal masa depan tanpa bola-bola kristal, bahasa Indonesia dan
sastra Indonesia akan menjadi bahasa (dan sastra) yang penting di dunia.
Proses globalisasi kebudayaan yang terjadi mengakibatkan berubahnya
paradigma tentang “pembinaan” dan “pengembangan” bahasa. Bahasa Indonesia
pada masa depan bukan hanya menjadi bahasa negara, melainkan juga menjadi
bahasa dari suatu tribe (suku) yang mengglobal. Bahasa tersebut harus mampu
mengakomodasikan perubahan-perubahan dan penyesuaian-penyesuaian yang
mungkin dihadapi. Mekanisme pembinaan dan pengembangan tidaklah ditentukan
oleh suatu lembaga, seperti Pusat Bahasa, tetapi akan amat ditentukan oleh
mekanisme “pasar”. Pusat Bahasa tidak perlu terlalu rewel dengan “bahasa yang
baik dan benar”. Politik bahasa yang terlalu bersifat defensif harus ditinggalkan.
Di dalam kehidupan sastra juga diperlukan suatu politik sastra. Sastra
Indonesia harus lebih dimasyarakatkan, tidak saja untuk bangsa Indonesia, tetapi
juga untuk masyarakat yang lebih luas. Penerbitan karya-karya sastra harus
dilakukan dalam jumlah yang besar. Sekolah-sekolah dan perguruan tinggi
semestinya menjadi tempat untuk membaca karya-karya sastra. Pengajaran sastra
haruslah menjadikan karya-karya sastra sebagai sumber pengajaran.
27
Di dalam proses globalisasi, posisi yang harus diambil bukan sebagai objek
perubahan, melainkan harus menjadi subyek. Bahasa dan sastra (Indonesia) amat
potensial menjadi bahasa dan sastra yang diperhitungkan di dalam dunia global.
Jika dunia Melayu (dan Indonesia) akan hadir sebagai salah satu global-tribe
di dunia dan kawasan Asia Pasifik, bahasa dan sastranya harus juga berkembang ke
arah itu. Bahasa Melayu (dan Indonesia) harus siap menerima peranan yang
demikian. Sastra Indonesia harus tetap menjadi sastra yang unik di tengah-tengah
dunia yang global. Bahasa dan sastra Indonesia (Melayu) harus mampu menjadikan
kekuatan budaya (global-trible) yang baru itu. Untuk itu, diperlukan suatu politik
bahasa ( dan sastra) yang terbuka, bukan bersifat defensif.
F. Bahasa Indonesia dan Siaran Televisi Nasional
Apabila Bahasa Indonesia masih tetap diperlukan sebagai salah satu identitas
kebersamaan bagi warga negara Indonesia maupun bahasa persatuan yang bisa
menjaga integrasi negara Indonesia, maka tentu saja harus ada sosialisasi dan
pewarisan (transmission). Beberapa cara bisa dilakukan untuk hal itu, dan salah satu
cara yang diungkapkan di sini adalah peranan stasiun televisi bersiaran nasional
baik milik pemerintah (TVRI) maupun milik swasta (RCTI, SCTV, TPI, ANTV,
Indosiar, dll). Tidak semua materi siaran televisi itu selalu menggunakan bahasa
Indonesia baku, yang oleh Ferdinand de Saussure (1996:360-361) disebut sebagai
aspek langue dari bahasa. Bahasa dalam siaran televisi ini menarik untuk dikaji
karena dia menjadi bagian dari dinamika masyarakat di Indonesia.
Teknologi canggih bernama televisi yang berbasis pada media satelit palapa
ini mulai muncul di Indonesia pada tahun 1960-an. Fenomena sosial-budaya yang
begitu banyak dan begitu luas kemudian "bisa dilipat-lipat" untuk dihadirkan di
dalam ruang-ruang yang sempit sekalipun seperti ruang keluarga di dalam rumah.
Teknologi televisi-lah beserta hard ware-nya yang bisa menjadi salah satu media
transformasi dari dunia yang luas kemudian bisa hadir di tengah-tengah ruang
keluarga. "Dunia yang begitu luas dan besar kini bisa 'dilipat-lipat' dalam bentuk
28
televisi, surat kabar, majalah, internet, dan radio sehingga bisa hadir di tengah-
tengah keluarga dan di ruang yang sempit sekalipun" (Yasraf Amir Piliang, 1999).
TVRI selama puluhan tahun menjadi pemain tunggal stasiun penyiaran
televisi di Indonesia yang telah menjangkau berbagai pelosok Indonesia. Baru pada
paruh ke-dua tahun 1980-an mulai muncul stasiun televisi swasta di Jakarta dengan
siaran lokal yaitu RCTI. Setelah itu kemudian muncul stasiun TPI, SCTV, Indoesiar
dan lain-lain yang jangkauan siarannya berskala nasional seperti halnya TVRI.
Walaupun begitu dalam hal misi, tentu saja TVRI lebih terlihat sebagai stasiun
televisi yang lebih mengedepankan aspek non-komersial dengan meniadakan siaran
iklan, yang kemudian disusul dengan membatasi siaran iklan. Sumber operasional
TVRI berasal dari dana pemerintah dan hak siar iklan dari televisi-televisi swasta.
Slogan "TVRI menjalin persatuan dan kesatuan" bukanlah sekedar jargon yang
tanpa arti. Di balik slogan ini terkandung semangat untuk menjadi agen atau media
perekat bagi berbagai etnis di Indonesia agar tetap dalam kondisi terintegrasi, tidak
terpecah-belah. Slogan TVRI itu hampir mirip dengan slogan "sekali di udara tetap
di udara" milik Radio Republik Indonesia (RRI) yang menyimpan semangat untuk
terus mengudara melakukan siaran walau segenting apa pun keadaan negara. Kalau
masyarakat Indonesia dalam kondisi selalu terpisahkan oleh ruang dan waktu
dengan saudara-saudaranya sesama warga Indonesia yang lain, maka siaran berita
televisi berusaha menjadi media pemersatu ke dalam "waktu yang sama", dan
seolah-olah para pemirsa televisi berada di dalam "satu ruang yang sama".
Ada kelebihan pada siaran TV jika dibanding dengan siaran radio.
Siaran radio hanya menyuguhkan aspek audio sehingga masyarakat hanya bisa
mendengar tanpa bisa melihat wajah dan ekspresi penyiar radio. Siaran televisi
selain bersifat audio juga ada aspek visual, sehingga masyarakat bisa mendengar
sekaligus bisa melihat wajah dan ekspresi sang penyiar televisi. Dari hal ini muncul
kesan seolah-olah antara penyiar televisi dengan masyarakat pemirsa berada di
dalam suatu "ruang dan waktu" yang sama. Pada hal-hal tertentu TVRI bisa
dianggap sebagai sebagai salah satu simbol pemersatu bagi masyarakat Indonesia
melalui siaran-siarannya yang ditujukan kepada seluruh masyarakat Indonesia, atau
masyarakat Indonesia di negara tetangga yang masih bisa menangkap siaran TVRI.
29
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Bahasa Indonesia adalah bahasa resmi Republik Indonesia sebagaimana
disebutkan dalam Undang-Undang Dasar RI 1945, Pasal 36. Ia juga
merupakan bahasa persatuan bangsa Indonesia sebagaimana disiratkan dalam
Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928. Meski demikian, hanya sebagian kecil dari
penduduk Indonesia yang benar-benar menggunakannya sebagai bahasa ibu
karena dalam percakapan sehari-hari yang tidak resmi masyarakat Indonesia.
Bahasa Indonesia berasal dari bahasa Melayu, sebuah bahasa Austronesia
yang digunakan sebagai lingua franca di Nusantara kemungkinan sejak
abad-abad, Bentuk yang lebih resmi, disebut Melayu Tinggi.
Peristiwa-peristiwa penting yang berkaitan dengan perkembangan bahasa
Indonesia
a) Tahun 1908 pemerintah kolonial mendirikan sebuah badan penerbit
buku-buku bacaan yang diberi nama Commissie voor de
Volkslectuur (Taman Bacaan Rakyat).
b) Tahun 1896 disusunlah ejaan resmi bahasa Melayu oleh Van
Ophuijsen yang dibantu oleh Nawawi Soetan Ma’moer dan
Moehammad Taib Soetan Ibrahim
c) Tanggal 28 Oktober 1928 secara resmi Muhammad Yamin
mengusulkan agar bahasa Melayu menjadi bahasa persatuan
Indonesia.
d) Tahun 1933 berdiri sebuah angkatan sastrawan muda yang
menamakan dirinya sebagai Pujangga Baru yang dipimpin oleh
Sutan Takdir Alisyahbana.
30
e) Tahun 1936 Sutan Takdir Alisyahbana menyusun Tatabahasa Baru
Bahasa Indonesia.
f) Tanggal 25-28 Juni 1938 dilangsungkan Kongres Bahasa Indonesia
I di Solo..
g) Tanggal 18 Agustus 1945 ditandatanganilah Undang-Undang Dasar
1945, yang salah satu pasalnya (Pasal 36) menetapkan bahasa
Indonesia sebagai bahasa negara.
h) Tanggal 19 Maret 1947 diresmikan penggunaan ejaan Republik
sebagai pengganti ejaan Van Ophuijsen yang berlaku sebelumnya.
i) Tanggal 28 Oktober s.d 2 November 1954 diselenggarakan Kongres
Bahasa Indonesia II di Medan.
j) Tanggal 16 Agustus 1972 H. M. Soeharto, Presiden Republik
Indonesia.
k) Tanggal 31 Agustus 1972 Menteri Pendidikan dan Kebudayaan
menetapkan Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang
Disempurnakan dan Pedoman Umum Pembentukan Istilah resmi
berlaku di seluruh wilayah Indonesia (Wawasan Nusantara).
l) Tanggal 28 Oktober s.d 2 November 1978 diselenggarakan Kongres
Bahasa Indonesia III di Jakarta.
m) Tanggal 21-26 November 1983 diselenggarakan Kongres Bahasa
Indonesia IV di Jakarta.
n) Tanggal 28 Oktober s.d 3 November 1988 diselenggarakan Kongres
Bahasa Indonesia V di Jakarta.
o) Tanggal 28 Oktober s.d 2 November 1993 diselenggarakan Kongres
Bahasa Indonesia VI di Jakarta.
p) Tanggal 26-30 Oktober 1998 diselenggarakan Kongres Bahasa
Indonesia VII di Hotel Indonesia, Jakarta.
Bahasa Indonesia berfungsi sebagai bahasa resmi kenegaraan, bahasa
persatuan, sekaligus menjadi identitas bangsa Indonesia.
31
Fungsi Bahasa Indonesia Seminar Politik Bahasa Nasional, 25-28 Februari
1975 di Jakarta, antara lain merumuskan bahwa di dalam kedudukannya
bahasa nasional, bahasa Indonesia (selanjutnya disingkat BI) berfungsi:
a) Lambang kebanggaan nasional.
b) Lambangidentitasnasional,
c) Pemersatu berbagai masyarakat yang berbeda latar belakang sosial
budayabahasa.
d) Alat perhubungan antar budaya dan antar daerah (Pusat
Pembinaan dan pengembanganBahasa,1975:5).
Kesusastraan Indonesia secara kultural merupakan kesusastraan ‘etnik’
maka usaha mempelajarinya, langsung atau tidak langsung, diharapkan
sampai ke sebuah muara yang bernama Indonesia yang pluralis, yang
multietnik, yang multikultural. Oleh karena itu, mempelajari sastra
Indonesia yang berdarah-daging etnis, dapat pula kiranya dianggap sebagai
usaha memahami identitas budaya etnis lain, kebudayaan lain, dan dapat
pula dimaknai sebagai salah satu bentuk apresiasi terhadapnya.
Di dalam proses globalisasi, posisi yang harus diambil bukan sebagai objek
perubahan, melainkan harus menjadi subyek. Bahasa dan sastra (Indonesia)
amat potensial menjadi bahasa dan sastra yang diperhitungkan di dalam
dunia global, Proses globalisasi kebudayaan yang terjadi mengakibatkan
berubahnya paradigma tentang “pembinaan” dan “pengembangan” bahasa.
Bahasa Indonesia pada masa depan bukan hanya menjadi bahasa negara,
melainkan juga menjadi bahasa dari suatu tribe (suku) yang mengglobal.
B. Saran
Kritik dan saran yang membangun, kami harapkan untuk perbaikan dan
kemajuan karya ilmiah ini.
32
DAFTAR PUSTAKA
www.wikipedia.com
www.nawala.com
www.mahayana-mahadewa.com
http://CARI/ILMU/ONLINE/BORNEO.htm
http:// Gomarthe5’s Weblog.com
http:// Indonesia\bahasa-identitas-bangsa.html
Rosihan, Anwar. 1991. Bahasa Indonesia dan Media Massa
Elektronika. Makalah Munas V dan Semloknas I HPBI. Padang: Panitia
Penyelenggara.
Rohmadi, Muhammad dkk. 2009. Bahasa Indonesia untuk
penulisan karya tulis ilmiah. Surakarta: Media Perkasa
33