KARAKTERISTIK ALTERASI DAN MINERALISASI BIJIH BESI DAERAH PAKKE KECAMATAN BONTOCANI KABUPATEN BONE SULAWESI SELATAN CHARACTERISTICS ALTERATION AND MINERALIZATION OF IRON ORE AT PAKKE AREA, BONTOCANI SUBDISTRICT BONE REGENCY SOUTH SULAWESI HARWAN PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS HASANUDDIN GOWA 2018
99
Embed
KARAKTERISTIK ALTERASI DAN MINERALISASI BIJIH BESI …
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
KARAKTERISTIK ALTERASI DAN MINERALISASI BIJIH
BESI DAERAH PAKKE KECAMATAN BONTOCANI
KABUPATEN BONE SULAWESI SELATAN
CHARACTERISTICS ALTERATION AND MINERALIZATION OF IRON
ORE AT PAKKE AREA, BONTOCANI SUBDISTRICT
BONE REGENCY SOUTH SULAWESI
HARWAN
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS HASANUDDIN
GOWA
2018
ii
KARAKTERISTIK ALTERASI DAN MINERALISASI BIJIH
BESI DAERAH PAKKE KECAMATAN BONTOCANI
KABUPATEN BONE SULAWESI SELATAN
Tesis
Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Mencapai Gelar Magister
Program Studi
Magister Geologi
Disusun dan diajukan oleh
HARWAN
Kepada
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS HASANUDDIN
GOWA
2018
TESIS
KARAKTERISTIK ALTERASI DAN MINERALISASI BIJIH BESI DAERAH
PAKKE KECAMATAN BONTOCANI KABUPATEN BONE
SULAVI'ESI SELATAN
Disusun dan diajukan oleh
HARWANNomor Pokok P3000216004
telah dipertahankan didepqn Panitia Ujian Tesis
Pada,,tanggal, 13 Agustus 2018
Dan dinyatakan telah memenuhi syarat
Menyetujui
Komisi Penasihat,,'1,.'l i':.,|:,.i'
lil,fDr. lr, lrzal Nur. MT
Ketua
t-BDf. Eng. Adi Maulana. ST.. M.Phit
Anggota
Teknik
;
n,
sgarffi
,Tt:r
{lrA
(i'1
.:i:j I;*-) .d-s't[Y.t
StudiTeknik Geologi
iv
PERNYATAAN KEASLIAN PROPOSAL TESIS
Yang bertanda tangan di bawah ini
Nama : Harwan
Nomor Mahasiswa : P3000216004
Program Studi : Magister Geologi
Menyatakan dengan sebenarnya bahwa tesis yang saya tulis ini
benar-benar merupakan hasil karya saya sendiri, bukan merupakan
pengambilalihan tulisan atau pemikiran orang lain. Apabila di kemudian hari
terbukti atau dapat dibuktikan bahwa sebagian atau keseluruhan tesis ini
hasil karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi atas perbuatan
tersebut.
Gowa,
Yang Menyatakan
Harwan
v
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa,
atas segala rahmat dan karunia-Nya, sehingga tesis dengan judul
“Karakteristik Alterasi dan Mineralisasi Bijih Besi Daerah Bontocani dan
Sekitarnya”, dapat diselesaikan
Pada kesempatan ini penulis tidak lupa mengucapkan rasa hormat
dan terima kasih kepada Dr. Ir. Irzal Nur, M.T selaku Pembimbing Utama
dan Dr.Eng. Adi Maulana, S.T., M.Phil. selaku Pembimbing Pendamping,
atas segala curahan ilmu, saran pemikiran, motivasi dan nasehatnya
sehingga tesis ini dapat terseleaikan tepat pada waktunya. Terima kasih
juga penulis sampaikan kepada Dr. Adi Tonggiroh, S.T., M.T selaku Ketua
Program Studi Magister Geologi dan Dr.Eng. Asri Jaya HS, ST., M.T selaku
Ketua Departemen Teknik Geologi Fakultas Teknik Universitas Hasanuddin
atas bantuan yang telah diberikan kepada penulis dalam rangka
pengumpulan informasi mengenai permasalahan terkait penelitian ini,
Bapak dan Ibu dosen Departemen Geologi Universitas Hasanuddin yang
telah memberikan bimbingannya, Staf Departemen Geologi Universitas
Hasanuddin, ucapan terima kasih kepada kedua orang tua penulis atas
segala dukungan yang telah diberikan kepada penulis selama menjalani
pendidikan dan penelitian, serta seluruh pihak yang tidak dapat disebutkan
satu persatu, atas segala bantuan dan motivasi yang diberikan selama ini.
vi
Akhir kata, semoga penyusunan proposal ini dapat bermanfaat bagi
Hasil pengamatan mineral bijih dengan tekstur pada sayatan poles
47
4 Tahapan pembentukan mineral bijih pada daerah
penelitian 66
5 Hasil Analisis XRF 71
4 Hasil Analisis ICP-OES/MS 71 7 Tahap pembentukan mineral alterasi dan bijih pada
daerah Pakke Kecamatan Bontocani Kabupaten Bone
77
xii
DAFTAR GAMBAR
Nomor Halaman
1 Peta Geologi Regional daerah Bontocani pada Lembar Ujung Pandang, Benteng dan Sinjai (modifikasi dari Sukamto dan Supriatna, 1982; Mulana et al, 2015)
dengan perkembangan hornfels dan dimulainya reaksi skarn pada batuan karbonat; (2) Tahap metasomasime dengan perkembangan exoskarn dan endoskarn; (3) Tahap retrograde dimana pembentukan mineral-mineral hydrous dan mineral sulfida
16
4 Mineral Goetit 20 5 Mineral Limonit 21 6 Mineral Hematit 23 7 Mineral Magnetit 24 8 Mineral Ilmenit 25 9 Peta Tunjuk Lokasi Penelitian 35
10 Peta Stasiun Pengambilan Sampel 37
11 Bagan Alir Penelitian 40
12 a. Foto sampel bijih besi stasiun 9; b. Kenampakan singkapan bijih besi dengan Batugamping pada stasiun 9; c. Foto sampel bijih besi stasiun 1; d. Kenampakan singkapan stasiun 1
42
xiii
13 Fotomikrograf sayatan batuan ST.10.PA yang memperlihatkan kehadiran mineral garnet (Gr), epidot (Ep) dan kalsit (Ca).
43
14 a. Difraktogram XRD stasiun 2 (ST.2.P)
memperlihatkan kehadiran mineral garnet dan mineral grup piroksinoid wollastonit; b. Difraktogram XRD stasiun 8 memperlihatkan kehadiran mineral grup garnet andradit; c. Difraktogram XRD stasiun 9 memperlihatkan kehadiran mineral grup piroksi diopsid
44
15 Fotomikrograf sayatan poles yang memperlihatkan
tekstur intergrowth antara magnetit (Mag) dan manganit (Mn)
48
16 Fotomikrograf sayatan poles yang memperlihatkan
tektstur granular antara magnetit (Mag) dan manganit (Mn).
49
17 Fotomikrograf sayatan poles yang memperlihatkan
tekstur replacement. a. Replacement mineral magnetit oleh hematit; b. Replacement mineral manganit oleh pirolusit; c. Replacement mineral magnetit oleh kalkopirit; d. Replacement mineral manganit oleh kalkopirit.
50
18 Fotomikrograf sayatan poles yang memperlihatkan
tekstur open space filling. a. Mineral azurit mengisi pori pada mineral magnetit; b. Mineral goetit mengisi pori dan rekahan pada mineral magnetit dan manganit
51
19 Fotomikrograf sayatan poles (ST.1.P) yang
memperlihatkan urutan paragenisis mineral bijih berturut-turut mulai dari magnetit, manganit, pirolusit, azurit, bornit dan goetit.
52
20 Fotomikrograf sayatan poles (ST.2.P) yang
memperlihatkan urutan paragenesis mineral bijih berturut-turut mulai dari magnetit, siderit, manganit, hematit, kalkopirit, galena dan goetit.
53
21 Fotomikrograf sayatan poles (ST.3.P) yang
memperlihatkan urutan paragenesis mineral bijih 55
xiv
berturut-turut mulai dari magnetit, manganit, pirolusit, azurit dan goetit.
22 Fotomikrograf sayatan poles (ST.4.P) yang
memperlihatkan urutan paragenesis mineral bijih berturut-turut mulai dari magnetit, manganit, pirolusit, hematit, kalkopirit, pirit, arsenopirit dan goetit.
56
23 Fotomikrograf sayatan poles (ST.5.P) yang
memperlihatkan urutan paragenesis mineral bijih berturut-turut mulai dari magnetit, manganit, azurit dan goetit.
57
24 Fotomikrograf sayatan poles (ST.6.P) yang
memperlihatkan urutan paragenesis mineral bijih berturut-turut mulai dari magnetit, franklinit, manganit, pirolusit, kalkopirit dan goetit.
59
25 Fotomikrograf sayatan poles (ST.8.P) yang
memperlihatkan urutan paragenesis mineral bijih berturut-turut mulai dari magnetit, manganit, pirolusit, kalkopirit, pirit, hematit dan goetit.
60
26 Fotomikrograf sayatan poles (ST.9.P.A) yang
memperlihatkan urutan paragenesis mineral bijih berturut-turut mulai dari magnetit, manganit, pirolusit azurit dan goetit..
62
27 Fotomikrograf sayatan poles (ST.10.P.A) yang
memperlihatkan urutan paragenesis mineral bijih berturut-turut mulai dari magnetit, manganit, pirolusit, hematit, pirit dan goetit.
63
28 Fotomikrograf sayatan poles yang memperlihatkan
urutan paragenesis mineral bijih pada daerah penelitian.
65
29 Peta sebaran endapan bijih besi 67
30 a. Foto sampel mineralisasi bijih besi. b. foto lokasi pengambilan sampel. c. peta lokasi pengambilan sampel.
68
31 Difraktogram XRD memperlihatkan kehadiran
mineral bijih besi dan mangan, serta mineral sulfida. 69
xv
a. Analisis XRD stasiun 1; b. analisis XRD stasiun 4; c. Analisis XRD stasiun 10.
32 Grafik perbandingan Fe2O3, SiO2 dan MnO 70
33 Diagram garis isocon perbandingan sampel ST.7.P (BB) dan ST.10.P.A (BG).
74
34 Histogram menampilkan unsur-unsur yang
mengalami pengayaan 74
35 Perubahan komposisi unsur-unsur sampel sampel
ST.7.P (BB) dan ST.10.P.A (BG). 75
36 Grafik Pebandingan Kadar Fe dan Mn pada daerah
penelitian 76
37 Ilustrasi tahapan pembentukan endapan skarn pada
daerah penelitian 78
xvi
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Halaman
1 Lampiran A. Analisisi Megaskopis 84 2 Lampiran B. Analisisi Petrografi 97 3
Lampiran C. Analisisi mineragrafi 103
4 Lampiran D. Analisisi X-Ray Diffractions 133 5 Lampiran E. Analisis X-Ray Fluoresence 146 6 Lampiran F. Peta 157
vii
ABSTRAK
HARWAN. Karaktersistik Alterasi dan Mineralisasi Bijih Besi Daerah Pakke
Kecamatan Bontocani Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan (dibimbing oleh
Irzal Nur dan Adi Maulana).
Penelitian ini bertujuan untuk menentukan tipe alterasi dan karaktersitik
mineralisasi, tekstur, paragenesis bijih besi serta menentukan tipe endapan
bijih besi di daerah Pakke Kecamatan Bontocani Kabupaten Bone,
Sulawesi Selatan.
Pengambilan sampel pada penelitian ini dilakukan secara random dengan
sampel berupa batuan dan mineralisasi bijih. Sampel batuan dianalisis
dengan menggunakan analisis petrografi, analisis mineragrafi, XRD, XRF
ICP-OES dan ICP-MS.
Hasil penelitian menunjukkan Host-rock endapan bijih besi di daerah Pakke
yaitu batuan karbonat. Tipe alterasi yang berkembang di daerah penelitian
yaitu alterasi skarn, yang dicirikan oleh kehadiran mineral garnet, epidot,
diopsid dan wollastonit. Tahap pembentukan mineral alterasi dimulai dari
tahap isokimia (600oC), tahap metasomatisme (600-400oC) dan tahap
retrograde (400-200o). Karakteristik mineralisasi yang terbentuk
memperlihatkan kehadiran bijih besi pada batuan karbonat dimana mineral
pembawa bijih berupa magnetit dan hematit. Mineral bijih besi berasosiasi
dengan mineral bijih mangan. Urutan pembentukan mineral bijih pada
daerah penelitian dimulai dari magnetit, siderit, franklinit, manganit, pirolusit,
hematit, galena, kalkopirit, pirit, azurit dan goetit. Kadar bijih besi pada
daerah penelitian yaitu sekitar 37,6-38,5%. Sedangkan mineral asosiasi
bijih besi yaitu bijih mangan memiliki kadar sekitar 2,4-3,1%. Tipe endapan
pada daerah penelitian yaitu endapan skarn. Dimana endapan skarn pada
daerah penelitian terbentuk pada lingkungan oksidasi.
viii
ABSTRACT
HARWAN. The Characteristics of Alteration and Mineralization of Iron Ore at Pakke Area, Bontocani Subdistrict, Bone Regency, South Sulawesi (supervised by Irzal Nur and Adi Mulana)
This research aimed (1) to determine the types of alteration and characteristics of mineralization, texture, paragenesis of iron ore; (2) to determine the types the iron ore at Pakke Area, Bontocani Subdistrict, Bone Regency, South Sulawesi Province.
The research sample collection was conducted randomly and the samples were in the form of rocks and the mineralization of iron ore. The rock samples were analyzed using the petrography analysis, mineragraphy analysis, XRD, XRF, and ICP-OES/MS.
The research results indicated that the Host-rock of iron ore at Pakke Area was Carbonate Rocks. The alteration type developing in the research area was the skarn alteration type, which is characterized by the presence of minerals garnet, epidot, diopsid, and wollastonite. The formation alternation mineral was started from the isochemical process (600oC), the metasomatism process (600-400oC), and the retrograde process (400-200o). The formation of the mineralization showed the presence of iron ore with the help of carbonate in which the garrier of iron ore in the form of magnetit and hematite. The iron mineral was associated with the mangan ore mineral. The sequences of the formation of iron ore of mineral at the research area started from magnetite, siderite, franklinite, manganite, pyrolusite, hematite, galena, chalcopyrite, pyrite, azurite and goetite. The content of iron ore at the research area was about 37,6-38,5%, while the mineral associate of iron was the mangan which had the content of about 2,4-3,1%. The deposits type at the research area was the skarn deposits, where the skarn deposits would developing around the oxidation of the surroundings.
Keywords: paragenesis, alteration, mineralization, iron ore.
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Bijih besi merupakan salah satu ore (bijih) yang memiliki nilai
komoditas cukup tinggi. Bijih besi dapat dimanfaatkan untuk berbagai
macam keperluan, mulai dari pembuatan keperluan rumah tangga hingga
campuran untuk peralatan berbasis teknologi canggih. Seiring dengan
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang begitu pesat dan
meningkatnya kebutuhan akan logam dasar pada awal milenium ketiga,
membuat permintaan dunia industri terhadap mineral logam seperti besi
(Fe) akhir-akhir ini meningkat tajam. Terutama pasokan industri baja untuk
negara-negara maju seperti Cina dan Jepang. Hal ini terlihat dari
banyaknya perusahaan pertambangan yang melakukan eksplorasi daerah
baru untuk mencari cadangan iron deposits di beberapa tempat, khususnya
Indonesia (Ishlah, 2014). Salah satu daerah di Indonesia dengan potensi
sumberdaya logam yang melimpah yaitu Kabupaten Bone Provinsi
Sulawesi Selatan.
Di daerah Lappadata, Kecamatan Libureng, Kabupaten Bone dijumpai
mineralisasi sulfida tipe urat yang berasosiasi dengan endapan besi
manganis sekunder (hematit dann mangan) yang menerus ke utara dari
daerah Biru area. Urat-urat kuarsa-sulfida ini memenetrasi host rock
2
batugamping dalam bentuk fissure filling, pada arah yang sama dengan
arah zona bijih besi manganis tersebut. Seri urat ini bersifat diskontinyu dan
berkemiringan terjal dengan tebal < 5 m, dan terdiri atas diseminasi,
gelembung kecil (blebs), dan veinlets galena yang mengandung perak, pirit,
arsenopirit, magnetit, serta sedikit kalkopirit dan pirrhotit. Galena juga
terbentuk sebagai lensa-lensa dan urat-urat pendek. Mineral gangue yang
dominan adalah kuarsa dan karbonat (Nur et al., 2017).
Di bagian selatan Kabupaten Bone daerah Bontocani, Kabupaten
Bone, Provinsi Sulawesi Selatan. Bijih besi di daerah ini ditemukan berupa
bongkah-bongkah bijih besi magnetit dan hematit yang berasosiasi dengan
intrusi granodiorit dan pegmatit granodiorit (Utoyo, 2008).
Penelitian tentang bijih besi di Kecamatani Bontocani telah dilakukan
Widi et al (2007), di daerah Tanjung dan Pakke. Daerah Tanjung terletak
dibagian selatan dan daerah Pakke terletak dibagian utara. Genesa
mineralisasi pada kedua daerah memiliki perbedaan yang sangat signifikan.
Tipe mineralisasi di daerah Tanjung dijumpai secara spesifik kelompok
mineral silika-karbonat seperti garnet, piroksin dan epidot. Sedangkan
untuk kelompok mineral bijih dijumpai magnetit yang berasosiasi dengan
garnet di dalam batuan beku diorit. Daerah Tanjung menunjukkan
kandungan Fe lebih dari 60% dengan kandungan silika kurang dari 5%.
Sedangkan tipe mineralisasi di daerah Pakke yang berada 5 km timur laut
daerah Tanjung menunjukan pola mineralisasi yang sangat berbeda. Di
daerah ini dijumpai mineralisasi yang terjadi di batuan karbonat yang
3
membentuk zona bijih dengan arah mineralisasi timur laut-barat daya.
Kelompok mineral bijih pada daerah ini terdiri dari hematit, magnetit dan
mineral pembawa bijih mangan dibeberapa lokasi. Kandungan Fe di daerah
Pakke kurang dari 40% dan kandungan silika lebih dari 23%.
Penelitian detail tentang bijih besi masih sangat kurang sehingga perlu
dilakukan kajian mengenai keberadaan dan tipe endapan bijih besi yang
ada di Kabupaten Bone khususnya di daerah Bontocani yang meliputi
karakteristik, diagenesa dan faktor-faktor yang mempengaruhinya.
Berdasarkan hal-hal tersebut, maka diharapkan penulis dapat memahami
kondisi endapan bijih besi daerah Bontocani terutama proses alterasi dan
mineralisasi secara rinci pada endapan bijih besi di daerah Pakke
Kecamatan Bontocani Kabupaten Bone Provinsi Sulawesi Selatan.
B. Rumusan Masalah
Sebagai salah satu usaha untuk melakukan studi mineralisasi pada
daerah Pakke Kecamatan Bontocani, dilakukan penyelidikan mineralogi
bijih dan kelimpahannya. Karakteristik mineralogi ini akan memberikan
indikasi dari suatu jenis endapan yang kemudian akan dapat memberi
petunjuk dan arahan eksplorasi daerah ini.
Penyelidikan mineralogi juga adalah hal yang penting dan merupakan
aspek yang perlu dalam melengkapi dari studi pra-kelayakan maupun
kontrol kualitas dalam langkah optimisasi pengolahan. Hasil analisis
mineralogi harus dipertimbangkan untuk kepentingan proses pengolahan
4
sehingga dapat ditentukan metode pengolahan yang tepat dan optimum
(Gasparrini, 1993). Permasalahan yang muncul adalah sebagai berikut:
1. Menentukan jenis batuan host-rock endapan bijih besi pada daerah
penelitian berdasarkan analisis petrografi dan geokimia.
2. Menjelaskan apa tipe alterasi yang terjadi di daerah Pakke dengan
melakukan analisis himpunan mineral alterasi.
3. Menjelaskan karakteristik mineralisasi endapan bijih besi pada daerah
Pakke berdasarkan analisis mineragrafi dan analisis geokimia mineral.
4. Menjelaskan kadar bijih besi yang terdapat pada derah penelitian
berdasarkan analisis geokimia
5. Menjelaskan karakteristik endapan bijih besi daerah penelitian dengan
menyimpulkan hasil analisis petrografi, mineragrafi dan geokimia.
C. Batasan Masalah
Batasan penelitian yang akan diuraikan dalam penelitian ini yaitu
untuk mengetahui tipe alterasi dan mineralisasi yang terdapat di daerah
Pakke Kecamatan Bontocani ditinjau dari analisis yaitu:
1. Aspek-aspek yang berhubungan dengan terjadinya proses alterasi.
2. Prospeksi dan tipe mineralisasi sehingga dapat dibuat rekonstruksi
model mineralisasi di daerah penelitian.
3. Model genetik endapan bijih besi daerah penelitian.
5
D. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan-rumusan permasalahan yang dikemukakan
maka tujuan dari penelitian ini adalah:
1. Menentukan jenis batuan host-rock endapan bijih besi daerah
penelitian.
2. Mengetahui tipe alterasi yang terdapat pada daerah penelitian
berdasarkan himpunan mineral ubahan proses alterasi dan
karakteristik endapan bijih besi.
3. Mengetahui karakteristik mineralisasi endapan bijih besi pada daerah
penelitian.
4. Menjelaskan paragenesis mineral bijih pada daerah penelitian.
5. Mengetahui kadar bijih besi pada daerah penelitian.
6. Menjelaskan tipe genetik endapan bijih besi pada daerah penelitian.
E. Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Memberikan informasi karakteristik alterasi dan mineralisasi daerah
penelitian.
2. Memberikan informasi tipe endapan bijih besi daerah penelitian.
3. Memberikan informasi untuk kepentingan kegiatan eksplorasi dan
pengolahan endapan bijih besi.
6
4. Memberikan informasi untuk pengembangan ilmu geologi mengenai
alterasi dan mineralisisi terkhusus untuk bijih besi.
F. Peneliti Terdahulu
1. van Leeuwen (1981), melakukan penelitian tentang geologi baratdaya
Sulawesi khususnya daerah Biru.
2. Rab Sukamto dan Sam Supriatna (1982), melakukan pemetaan
geologi regional berskala 1 : 250.000 di daerah Sulawesi Selatan
terkhusus peta lembar Ujung Pandang, Benteng dan Sinjai.
3. Bambang Nugroho Widi, Bambang Pardiarto dan Mulyana (2007),
melakukan penelitian tentang mineralisasi endapan bijih besi daerah
Bontocani Kabupaten Bone, Provinsi Sulawesi Selatan.
4. Harry Utoyo (2008), melakukan penelitian tentang prospeksi bijih besi
di Kabupaten Bone Sulawesi Selatan.
5. Theo M. van Leeuwen dan Peter E. Pieters (2011), melakukan
penelitian tentang endapan mineral di Pulau Sulawesi.
6. Winda, Herianto, dan Untung Sukamto (2015), melakukan
penyelidikan geomagnet untuk pendugaan bijih besi PT. Berkah Alam
Gambar 3. Tahapan pembentukan skarn; (1) Tahap isokimia dengan
perkembangan hornfels dan dimulainya reaksi skarn pada batuan karbonat; (2) Tahap metasomasime dengan perkembangan exoskarn dan endoskarn; (3) Tahap retrograde dimana pembentukan mineral-mineral hydrous dan mineral sulfida (Pirajno, 2009).
kasar, ukuran butir <0,02 – 1,6 mm. Komposisi material terdiri dari
grain, mud berupa mineral kalsit berukuran halus dan mineral opak.
42
Pengamatan langsung dilapangan pada daerah penelitian di dua
stasiun pengamatan yaitu ST.9 dan ST.10 (Gambar 12a) memperlihatkan
batuan karbonat kontak dengan bijih besi. Arah kontak pada batuan
karbonat dengan bijih besi yaitu N 280o E sedangkan arah penyebaran
batuan karbonat N 10o E.
Gambar 12. a. Foto sampel bijih besi stasiun 9; b. Kenampakan singkapan
bijih besi dengan Batugamping pada stasiun 9; c. Foto sampel bijih besi stasiun 1; d. Kenampakan singkapan stasiun 1.
B. Tipe Alterasi
Tipe alterasi diidentifikasi berdasarkan hasil analisis sayatan tipis dan
XRD pada sampel batuan dan mineral. Analisis XRD dilakukan pada
sembilan sampel bijih besi dan dua sampel batugamping.
43
Dari hasil analisis petrografi pada stasiun 10 (ST.10.P.A) dijumpai
kehadiran mineral garnet, epidot, dan kalsit (Gambar 13). Mineral garnet
diperkirakan terbentuk pada suhu berkisar 400-600OC (Ugurcan dan
Oyman, 2016).
Gambar 13. Fotomikrograf sayatan batuan ST.10.PA yang
memperlihatkan kehadiran mineral garnet (Gr), epidot (Ep) dan kalsit (Ca).
Analisis XRD memperlihatkan hasil yang lebih bervariasi. Dari hasil
analisis XRD dijumpai kehadiran mineral-mineral penciri utama endapan
skarn (Gambar 14) yaitu garnet (andradit), piroksin (diopsid) dan piroksinoid
(wollastonit). Diopsid merupakan mineral grup piroksin yang terbentuk pada
suhu sekitar 600oC, sedangkan wollastonit terbentuk pada suhu yang sama
tetapi dengan tekanan yang berbeda (Hawkins et, al., 2017).
44
Gambar 14. a. Difraktogram XRD stasiun 2 (ST.2.P) memperlihatkan
kehadiran mineral garnet dan mineral grup piroksinoid wollastonit; b. Difraktogram XRD stasiun 8 memperlihatkan kehadiran mineral grup garnet andradit; c. Difraktogram XRD stasiun 9 memperlihatkan kehadiran mineral grup piroksi diopsid.
45
Berdasarkan hasil analisis petrografi dan XRD maka zona alterasi
yang berkembang di daerah penelitian yaitu alterasi skarn. Dari himpunan
mineral yang diperoleh tahap alterasi dibagi menjadi tiga tahap yaitu fase
isokimia, fase metasomatisme dan tahap retrograde.
Fase isokimia merupakan tahap awal pembentukan endapan skarn.
Fase ini diawali dengan munculnya larutan magma yang menerobos batuan
samping yang bersifat karbonatan. Pada daerah penelitian batuan yang
diterobos oleh larutan adalah batugamping. Tahap isokimia sangat dikontrol
secara dominan oleh suhu tinggi. Tahap isokimia adanya rekristalisasi yang
menyebabkan terbentuknya mineral non-hidrous seperti garnet (andradit),
diposid dan wollastonit. Mineral garnet terbentuk pada suhu berkisar 400-
600OC (Ugurcan dan Oyman, 2016). Diopsid merupakan mineral grup
piroksin yang terbentuk pada suhu sekitar 600oC, sedangkan wollastonit
terbentuk pada suhu yang sama tetapi dengan tekanan yang berbeda
(Hawkins et al., 2017).
Fase Metasomatisme merupakan tahap dimana suhu larutan mulai
menurun. Pada tahap ini telah terjadi pengayaan Fe, hal ini terjadi akibat
adanya penetrasi dari larutan magmatik yang kaya akan kandungan Fe
(Pirajno, 2009). Pada daerah penelitian fase metasomatisme dicirikan
dengan munculnya mineral magnetit. Mineral magnetit terbentuk pada
sekitr 400-600oC (Ugurcan dan Oyman, 2016).
Fase Retrograde dimulai dengan terjadinya penurunan suhu secara
bertahap sehingga larutan magma mulai mendingin. Penurunan suhu ini
46
dimulai akibat adanya air meteorik yang masuk. Masuknya air meteorik
mengakibatkan terjadinya penggantian mineral yang awalnya non-hidrous
(garnet, diopsid dan wollastonit) menjadi mineral hidrous (Evans, 1993). Di
daerah penelitian fase retrograde ditandai dengan munculnya mineral
epidot dan klorit. Mineral epidot terbentuk pada suhu berkisar 272 sampai
412oC (Ugurcan, 2016).
Tabel 2. Urutan pembentukan mineral alterasi.
C. Mineral Bijih
Analisis mineragrafi pada sembilan sampel yang mengalami
mineralisasi. Analisis ini dilakukan untuk mengidentifikasi mineral bijh yang
terdapat pada daerah penelitian. Secara mikroskopis mineral bijih yang
dijumpai yaitu magnetit, siderit, franklinit, manganit, pirolusit, hematit,
galena, kalkopirit, pirit, arsenopirit, bornit, azurit dan goetit.
47
Tabel 3. Hasil pengamatan mineral bijih dengan tekstur pada sayatan poles
D. Tekstur Bijih
Tekstur bijih diidentifikasi dengan analisis mineragrafi pada sayatan
poles. Analisis mineragrafi dilakukan pada sembilan sampel bijih. Tekstur
bijih yang diamati berupa tekstur intergrowth, tekstur replacement, tekstur
granular dan tekstur open space filling.
Tekstur intergrowth atau tumbuh bersama dapat diamati antara
mineral magnetit dan manganit (Gambar 15). Tekstur intergrowth terjadi
akibat perubahan temperatur yang tinggi serta pengaruh jenis mineral yang
48
menyebabkan penyimpangan struktur kristalografi atau dengan kata lain
susunannya tidak beraturan (Ramdhor, 1969).
Gambar 15. Fotomikrograf sayatan poles yang memperlihatkan tekstur
intergrowth antara magnetit (Mag) dan manganit (Mn)
Tekstur granular dapat diamati antara mineral magnetit dan manganit
serta pirit dan kalkopirit (Gambar 16). Tekstur granular yang teramati
mencerminkan hubungan mineral yang disebut matual boundary antara
kalkopirit dan pirit dimana butiran tidak menembus satu sama lainnya.
Tekstur granular dapat tersusun dari satu mineral atau beberapa mineral
yang terbentuk pada saat proses mineralisasi, dimana endapan mineral
terbentuk secara berasamaan (Ramdhor, 1969).
49
Gambar 16. Fotomikrograf sayatan poles yang memperlihatkan tektstur
granular antara magnetit (Mag) dan manganit (Mn).
Tekstur replacement merupakan tekstur dominan yang teramati pada
mineral bijih, yaitu replacement magnetit oleh hematit, replacement
manganit oleh pirolusit, serta replacement manganit oleh kalkopirit (Gambar
17). Secara keseluruhan, tekstur replacement dapat dijadikan acuan untuk
menentukan mineral mana yang lebih dahulu terbentuk. Dari hasil
replacement akan terbentuk batas antara mineral menjadi tidak teratur
(Craigh dan Vaughan, 1981). Seperti yang ditunjukkan pada gambar 17
menjadikan batas mineral magnetit menjadi tidak teratur akibat kehadiran
mineral hematit yang menggantikannya. Menurut Ramdhor (1969), tekstur
replacement menunjukkan pengaruh penggantian oleh mineral lain tanpa
50
adanya perubahan volume semula. Penggantian yang terjadi terhadap
suatu mineral hanya dapat sebagian mineral saja atau seluruhnya.
Gambar 17. Fotomikrograf sayatan poles yang memperlihatkan tekstur
replacement. a. Replacement mineral magnetit oleh hematit; b. Replacement mineral manganit oleh pirolusit; c. Replacement mineral magnetit oleh kalkopirit; d. Replacement mineral manganit oleh kalkopirit.
Tekstur open space filling merupakan tekstur yang penting untuk
menentukan paragenesa endapan. Tekstur open space filling terjadi akibat
adanya mineral lain yang mengisi pori atau rekahan pada mineral yang
terbentuk sebelumnya. Tekstur ini teramati pada goetit dan azurit yang
mengisi pori dan rekahan pada hampir semua mineral yang terbentuk
terlebih dahulu.
51
Gambar 18. Fotomikrograf sayatan poles yang memperlihatkan tekstur
open space filling. a. Mineral azurit mengisi pori pada mineral magnetit; b. Mineral goetit mengisi pori dan rekahan pada mineral magnetit dan manganit.
E. Paragenesis
Kriteria yang digunakan untuk mendeterminasi paragenesis mineral-
mineral hipogen dan supergen adalah bentuk individu kristal dan sifat
kontak antara butiran yang berdampingan (Craigh dan Vaughan, 1981).
Berdasarkan hasil analisis mineragrafi berupa jenis bijih dan tekstur maka
dapat diurutkan pembentukan mineral bijih.
1. Stasiun 1 (ST.1.P)
Mineral bijih yang hadir pada stasiun 1 berdasarkan analisis
mineragrafi yaitu magnetit, manganit, pirolusit, bornit, azurit dan goetit
(Gambar 19). Pada tahap awal memperlihatkan kehadiran magnetit.
Menurut Yao et al (2015), magnetit pada endapan skarn terbentuk pada
suhu sekitar 600o-400oC. Tekstur intergrowth teramati antara magnetit dan
manganit. Hal ini menunjukkan magnetit dan manganit terbentuk
bersamaan. Tahap selanjutnya memperlihatkan pirolusit menggantikan
52
manganit. Pada sayatan poles teramati bornit muncul menggantikan
magnetit dan bornit digantikan oleh azurit. Tekstur open space filling
teramati pada mineral goetit, dimana mineral goetit mengisi pori pada
semua mineral utama. Hal ini menunjukkan mineral goetit terbentuk paling
akhir.
Gambar 19. Fotomikrograf sayatan poles (ST.1.P) yang memperlihatkan
urutan paragenisis mineral bijih berturut-turut mulai dari magnetit, manganit, pirolusit, azurit, bornit dan goetit.
2. Stasiun 2 (ST.2.P)
Mineral bijih yang hadir pada stasiun 2 ini yaitu magnetit, siderit,
manganit, hematit, kalkopirit, galena dan goetit (Gambar 20). Urutan
pembentukan mineral bijih pada stasiun ini dimulai pada tahap awal dimulai
53
pembentukan mineral magnetit dan siderit. Hal ini dapat dilihat dari mineral
magnetit dan siderit memiliki tekstur granular.
Gambar 20. Fotomikrograf sayatan poles (ST.2.P) yang memperlihatkan
urutan paragenesis mineral bijih berturut-turut mulai dari magnetit, siderit, manganit, hematit, kalkopirit, galena dan goetit.
Mineral magnetit diperkirakan terbentuk pada suhu 600o-400oC (Yao
et al., 2015). Galena muncul bersamaan dengan manganit. Hal ini dapat
54
teramati pada sampel dimana manganit granular dengan galena. Hematit
hadir menggantikan magnetit dan manganit. Hal ini menunjukkan hematit
terbentuk setelah manganit dan magnetit. Tekstur replacement
diperlihatkan antara kalkopirit dengan manganit, dimana kalkopirit
mengganitkan manganit. Pada tahap akhir terbentuk goetit. Goetit
terbentuk mengisi rekahan dan pori mineral yang terbentuk sebelummnya.
3. Stasiun 3 (ST.3.P)
Mineral bijih yang hadir pada stasiun 3 berdasarkan analisis
mineragrafi yaitu Magnetit, manganit, pirolusit, azurit dan geotit (Gambar
21). Pada tahap awal memperlihatkan kehadiran magnetit. Menurut Yao et
al (2015), magnetit pada endapan skarn terbentuk pada suhu sekitar 600o-
400oC. Tekstur intergrowth teramati pada mineral magnetit dan manganit.
Hal ini menunjukkan magnetit dan manganit terbentuk secara bersamaan.
Tahap selanjutnya terbentuk pirolusit. Hal ini terlihat pada tekstur
replacement antara pirolusit dengan magnetit, dimana pirolusit
menggantikan magnetit. Mineral sulfida terbentuk setelah pembentukan
mineral pembawa bijih besi dan mangan. Tekstur open scace filling terlihat
pada azurit dimana azurit mengisi pori dari magnetit. Sedangkan goetit
muncul pada tahap akhir dimana goetit mengisi pori dan rekahan pada
hampir semua mineral utama.
55
Gambar 21. Fotomikrograf sayatan poles (ST.3.P) yang memperlihatkan
urutan paragenesis mineral bijih berturut-turut mulai dari magnetit, manganit, pirolusit, azurit dan goetit.
4. Stasiun 4 (ST.4.P)
Mineral bijih yang hadir pada stasiun ini yaitu magnetit, manganit,
pirolusit, hematit, arsenopirit, kalkopirit, dan goetit (Gambar 22). Pada tahap
awal memperlihatkan kehadiran magnetit. Menurut Yao et al (2015),
magnetit pada endapan skarn terbentuk pada suhu sekitar 600o-400oC.
Tekstur intergrowth teramati antara magnetit dan manganit. Hal ini
menunjukkan magnetit dan manganit terbentuk bersamaan. Tahap
selanjutnya terbentuk pirolusit. Hal ini terlihat pada tekstur replacement
antara pirolusit dengan magnetit, dimana pirolusit menggantikan magnetit.
56
Hematit hadir menggantikan magnetit dan manganit. Hal ini menunjukkan
hematit terbentuk setelah manganit dan magnetit.
Gambar 22 . Fotomikrograf sayatan poles (ST.4.P) yang memperlihatkan
urutan paragenesis mineral bijih berturut-turut mulai dari magnetit, manganit, pirolusit, hematit, kalkopirit, pirit, arsenopirit dan goetit.
Pada tahap selanjutnya terbentuk mineral-mineral sulfida yaitu
arsenopirit dan kalkopirit. Kalkopirit memperlihatkan tekstur replacement,
57
dimana kalkopirit menggantikan hematit dan manganit. Sedangkan
arsenopirit mengganitkan manganit. Hal ini menunjukkan bahwa kalkopirit
dan arsenopirit hampir terbentuk secara bersamaan. Tekstur open space
filling teramati pada mineral goetit. Mineral goetit mengisi pori dan rekahan
hampir pada semua mineral yang terbentuk pada tahap sebelumnya. Goetit
merupakan mineral yang terbentuk pada tahap akhir.
5. Stasiun 5 (ST.5.P)
Mineral bijih yang hadir pada stasiun 5 berdasarkan hasil analisis
mineragrafi yaitu magnetit, manganit, azurit dan goetit (Gambar 23). Mineral
magnetit diperkirakan terbentuk pada suhu 600o-400oC (Yao et al., 2015).
Gambar 23. Fotomikrograf sayatan poles (ST.5.P) yang memperlihatkan
urutan paragenesis mineral bijih berturut-turut mulai dari magnetit, manganit, azurit dan goetit.
58
Tekstur intergrowth teramati pada mineral magnetit dan manganit.
Dari tekstur tersebut diperkirakan mineral magnetit terbentuk bersamaan
dengan manganit. Tahap selanjutnya terbentuk mineral sulfida berupa pirit
dan azurit. Hal ini teramati pada analisis mineragrafi yang memperlihatkan
tekstur replacement oleh pirit, dimana pirit menggantikan magnetit.
Sedangkan azurit terbentuk mengisi rekahan antara magnetit dan
manganit. Tahap akhir diperlihatkan oleh tekstur open space filling mineral
goetit. Mineral goetit mengisi pori dan rekahan mineral yang terbentuk pada
tahap sebelumnya. Sehingga diperkirakan goetit terbentuk pada tahap akhir
mineralisasi.
6. Stasiun 6 (ST.6.P)
Mineral bijih yang hadir pada stasiun 6 dari hasil analisis mineragrafi
yaitu magnetit, franklinit, manganit, pirolusit, kalkopirit, pirit dan goetit
(gambar 24). Urutan pembentukan mineral bijih pada stasiun ini dimulai
pada tahap awal dimulai pembentukan mineral magnetit dan franklinit. Hal
ini dapat dilihat dari mineral magnetit dan franklinit memiliki tekstur granular.
Mineral magnetit diperkirakan terbentuk pada suhu 600o-400oC (Yao et al.,
2015). Tekstur intergrowth dan granular teramati antara magnetit dan
manganit. Hal ini menunjukkan ada tiga mineral yang terbentuk pada tahap
pertama yaitu magnetit, franklinit dan manganit. Tekstur replacement
diperlihatkan oleh pirolusit, dimana pirolusit menggantikan manganit dan
magnetit. Sehingga menandakan bahwa pirolusit terbentuk setelah
magnetit dan manganit. Pada tahap selanjutnya terbentuk mineral sulfida
59
berupa pirit dan kalkopirit. Kalkopirit muncul menggantikan manganit dan
pirolusit, sedangkan pirit muncul menggantikan magnetit. Berdasarkan
tekstur tersebut kalkopirit dan pirit hampir terbentuk secara bersamaan.
Pada tahap akhir terbentuk goetit. Pembentukan goetit pada tahap akhir
diperlihatkan oleh tekstur open space filling dimana goetit mengisi pori dan
rekahan hampir semua mineral yang terbentuk sebelumnya.
Gambar 24. Fotomikrograf sayatan poles (ST.6.P) yang memperlihatkan
urutan paragenesis mineral bijih berturut-turut mulai dari magnetit, franklinit, manganit, pirolusit, kalkopirit dan goetit.
7. Stasiun 8 (ST.8.P)
Mineral bijih yang hadir pada stasiun 8 dari hasil analisis mineragrafi
yaitu magnetit, manganit, pirolusit, hematit, kalkopirit, pirit dan goetit
(Gambar 25). Urutan pembentukan mineral bijih pada stasiun ini dimulai
60
pada tahap awal dimulai pembentukan mineral magnetit dan manganit. Hal
ini dapat dilihat dari mineral magnetit dan manganit memiliki tekstur
granular. Mineral magnetit diperkirakan terbentuk pada suhu 600o-400oC
(Yao et al., 2015).
Gambar 25. Fotomikrograf sayatan poles (ST.8.P) yang memperlihatkan
urutan paragenesis mineral bijih berturut-turut mulai dari magnetit, manganit, pirolusit, kalkopirit, pirit, hematit dan goetit.
61
Tekstur intergrowth dan granular teramati antara magnetit dan
manganit. Hal ini menunjukkan ada dua mineral yang terbentuk pada tahap
pertama yaitu magnetit dan manganit. Tekstur replacement diperlihatkan
oleh pirolusit dan hematit, dimana pirolusit menggantikan manganit,
sedangkan hematit mengganitkan magnetit. Sehingga menandakan bahwa
pirolusit dan hematit terbentuk setelah magnetit dan manganit. Pada tahap
selanjutnya terbentuk mineral sulfida berupa pirit dan kalkopirit. Kalkopirit
muncul menggantikan manganit dan pirolusit, sedangkan pirit muncul
menggantikan magnetit. Berdasarkan tekstur tersebut kalkopirit dan pirit
hampir terbentuk secara bersamaan. Pada tahap akhir terbentuk goetit.
Pembentukan goetit pada tahap akhir diperlihatkan oleh tekstur open space
filling dimana goetit mengisi pori dan rekahan hampir semua mineral yang
terbentuk sebelumnya.
8. Stasiun 9 (ST.9.P.A)
Mineral bijih yang hadir pada stasiun 9 berdasarkan analisis
mineragrafi yaitu Magnetit, manganit, pirolusit, azurit dan goetit (Gambar
26). Pada tahap awal memperlihatkan kehadiran magnetit. Menurut Yao et
al (2015), magnetit pada endapan skarn terbentuk pada suhu sekitar 600o-
400oC. Tekstur intergrowth teramati pada mineral magnetit dan manganit.
Hal ini menunjukkan magnetit dan manganit terbentuk secara bersamaan.
Tahap selanjutnya terbentuk pirolusit. Hal ini terlihat pada tekstur
replacement antara pirolusit dengan magnetit, dimana pirolusit
menggantikan magnetit. Mineral sulfida terbentuk setelah pembentukan
62
mineral pembawa bijih besi dan mangan. Tekstur open scace filling terlihat
pada azurit dimana azurit mengisi pori dari magnetit. Sedangakan goetit
muncul pada tahap akhir dimana goetit mengisi pori dan rekahan pada
hampir semua mineral utama.
Gambar 26. Fotomikrograf sayatan poles (ST.9.P.A) yang memperlihatkan
urutan paragenesis mineral bijih berturut-turut mulai dari magnetit, manganit, pirolusit azurit dan goetit.
9. Stasiun 10 (ST.10.P.A)
Mineral bijih yang hadir pada stasiun 10 berdasarkan analisis
mineragrafi yaitu Magnetit, manganit, pirolusit, hematit, pirit dan goetit
(Gambar 27). Pada tahap awal memperlihatkan kehadiran magnetit.
Menurut Yao et al (2015), magnetit pada endapan skarn terbentuk pada
suhu sekitar 600o-400oC. Tekstur intergrowth teramati pada mineral
63
magnetit dan manganit. Tekstur replacement diperlihatkan oleh pirolusit dan
hematit, dimana pirolusit menggantikan manganit, sedangkan hematit
mengganitkan magnetit. Sehingga menandakan bahwa pirolusit dan
hematit terbentuk setelah magnetit dan manganit. Pada tahap selanjutnya
terbentuk mineral sulfida berupa kalkopirit. Hal ini diamati pada tekstur
replacement yang memperlihatkan kalkopirit menggantikan manganit. Pada
tahap akhir terbentuk goetit. Pembentukan goetit pada tahap akhir
diperlihatkan oleh tekstur open space filling dimana goetit mengisi pori dan
rekahan hampir semua mineral yang terbentuk sebelumnya.
Gambar 27. Fotomikrograf sayatan poles (ST.10.P.A) yang
memperlihatkan urutan paragenesis mineral bijih berturut-turut mulai dari magnetit, manganit, pirolusit, hematit, pirit dan goetit.
64
F. Paragenesis Daerah Penelitian
Berdasarkan penentuan paragenesis tiap sampel mineralisasi yang
diamati dapat ditentukan secara keseluruhan urutan pembentukan mineral
bijih pada daerah penelitian. Mineral bijih yang hadir dari analisis
mineragrafi secara keseluruhan adalah magnetit, siderit, franklinit,
5. Kadar bijih besi pada daerah penelitian yaitu sekitar 37,6-38,5%.
Sedangkan mineral asosiasi bijih besi yaitu mangan memiliki kadar
sekitar 2,4-3,1%.
6. Tipe endapan pada daerah penelitian yaitu endapan skarn. Dimana
pada endapan skarn ini dijumpai mineral penciri yaitu garnet, diopsid
dan wollastonit. Endapan skarn pada daerah penelitian terbentuk
pada lingkungan oksidasi. Hal ini didasarkan pada mineral-mineral
penciri endapan skarn. Tipe endapan skarn pada daerah ini yaitu
calcic skarn dengan mineral pembawa bijih besi didominasi oleh
magnetit dan kehadiran mineral sulfida dengan komposisi yang
rendah.
B. Saran
Saran yang diajukan setelah melakukan penelitian yaitu perlu dilakukan
penelitian lebih lanjut pada daerah penelitian untuk mengetahui model
genetik, suhu pembentukan dan jenis batuan pembawa larutan yang
membentuk endapan bijih besi pada daerah Pakke Kecamatan Bontocani
Kabupaten Bone.
81
DAFTAR PUSTAKA
Barton, P.B., Jr. and Skinner, B.J. 1979. Sulfide mineral stabilities, in Barnes, H.L., ed., Geochemistry of Hydrothermal Ore Deposits. New York: Wiley Interscience, p.278-403.
Craigh, J.R & Vaughan. 1981. Ore Microscopy and Ore Petrography. John
Wiley and Sons. USA. Einaudi, M.T., Meinert, L.D., Newberry, R.J. 1981. Skarn deposits.
Economic geology. Vol 77: 745-754. Elders, W. A., Bird, D.K., Williams, A. E. and Schiffman, P. 1982. A Model
for The Heat Source of The Cerro Prieto Magma-Hydrothermal System, Baja California. Procedings of the Fourth Symposium on The Cerro Prieto Geothermal Field. Mexico.
Edward, R., Atkinson, K. 1986. Ore Deposit Geology and its Influence on
Mineral Exploration. Springer: Netherlands. Evans, A.M. 1993. Ore Geology and Industrial Minerals, An Introduction
(3rd edition). Blackwell Science: USA. Gasparrini, C. 1993. Gold and Other Precious Metals: From Ore to Market.
Jerman: Springer-Verlag. Grigorieff, P. N. 1993. Electron Microscopy of Interfaces and Thin Buried
Layers in the InGaAs.Univesity of Bristol Guilbert, J. M. and Park, C. F. 1986. The Geology of Ore Deposits.
Jeffries, T., Creaser, R.A. 2017. The Geology and Genesis of The Iron Skarn of Turgai Belt, Northwestern Kazakhstan. Ore Geology Reviews. Vol 85: 216-246.
Idrus, A. 2014. Modul In House Training: endapan emas hidrotermal: tipe,
karakteristik dan eksplorasi. Universitas Gadja Mada. Yogyakarta. Ishlah, T. 2004. Mineral Indonesia: Dari Pasar Mineral ke Strategi
Eksplorasi. Geomagz. 48-57.
82
Ishlah, T. 2010. Potensi Bijih Besi Indonesia Dalam Kerangka Pengembangan Klaster Industri Baja. Buletin Sumberdaya Geologi: Bandung.
Maulana, A., Christy, A.G., Ellis, D. J. 2015. Petrology, Geochemistry and
Tectonic Significance of Serpentinized Ultramafic Rocks From the South Arm of Sulawesi, Indonesia. Chemie der Erde. Vol 75: 73-87.
Maulana, A. 2017. Endapan Mineral. Penerbit Ombak. Yogyakarta. 179 Hal. Marshall, D., Anglin, C. D., Mumin, H. 2004. Ore Mineral Atlas. Geological
Association of Canada, Mineral Deposits Division. Canada. Mei, W., Lu., Xinbiao., Cao, Xiaofeng., Liu, Z., Zhao, Y., Ai, Z., Tang, R.,
Abfaua, M.M. 2015. Ore genesis and hydrothermal evolution of the Huanggang skarn iron–tin polymetallic deposit, southern Great Xing'an Range: Evidence from fluid inclusions and isotope analyses. Ore Geology Reviews. Vol. 64 : 239-252.
Meinert, L.D. 1993. Skarns and Skarn Deposits, In Sheahan P. A., Cherry
M. E., Ore Deposit Models Volume II. Love Printing Services Ltd. Stittsville: Ontario. pp. 117-134.
Meinert,L.D., G.M. Dipple., Nicolescu. 2005. World Skarn Deposits.
Economic Geology 100th anniversary. Vol : 299-366. Meyer, C., dan Hemley, J.J. 1967. Wall Rock Alteration, in Geochemistry of
Hydrothermal Ore Deposit, Barnes H.L., ed., Holt, Rinehart and Winstone, p. 166-232, New York.
Mottana, A. 1977. Guide to Rocks and Minerals. Simon and Scuster’s, New
York. Pellant, C. 1992. Rocks and Minerals. Dorling Kinersley Limited. London. Pirajno, F. 2009. Hyrothermal Processes and Mineral System. Springer
Science and Business Media: Australia. Pracejus, B. 2008. The Ore Minerals Under the Microscope. Atlases in
Geoscience 3. Elsevier. Amsterdam. Ramdor, P. 1969. The Ore Minerals and Their Intergrowth. Second Edition.
Pergamon Press, Oxford. Sukamto, R. dan Supriatna, S. 1982. Peta Lembar Ujung Pandang, Benteng
dan Sinjai. Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi: Bandung.
83
Ugurcan, O.G., Oyman, T. 2016. Iron Mineralization and Associated Skarn
Development Around South Contact of The Ergrigoz Pluton (North Menderes Massif-Turkey). Journal of African Earth Sciences. Vol 126: 308-337.
Utoyo, H. 2008. Biijih Besi Bontocani Kabupaten Bone Sulawesi Selatan.
Jurnal Sumber Daya Geologi. 18: 303 – 307. van Leeuwen, T. M. 1981. The geology of Southwest Sulawesi with special
reference to the Biru area. Spec. Publ. Nop. 2, 1981, pp.277-304. van Leeuwen, T. M., Pieters, P. E. 2011. Mineral Deposits of Sulawesi.
Proceedings of The Sulawesi Mineral Resources. Manado. MGEI‐IAGI.
Widi, B. N., Pardiarto, B., dan Mulyana. 2007. Mineralization System Of The
Iron Ore Deposits In Bontocani District And Its Adjacent Bone Regency, South Sulawesi Province. Proceeding Joint Convention Bali 2007. Center for Geological Resources, Geological Agency.
Winda, Herianto dan Sukamto, U. 2015. Penyelidikan Geomagnet untuk
Pendugaan Bijih Besi PT. Berkah Alam Semesta di Desa Bana Kecamatan Bontocani Kabupaten Bone Sulawesi Selatan. Jurnal Teknologi Pertambangan. 1: 70-73.
Geological, geochronological, and mineralogical constraints on the genesis of the Chengchao skarn Fe deposit, Edong ore district, Middle–Lower Yangtze River Valley metallogenic belt, eastern China. Journal of Asian Earth Science. Vol. 101: 69-82.
Zhou, Z. Mao, J. Che, H. Ouyang, H. Ma, Xinghua. 2017. Metallogeny of
the Handagai skarn Fe–Cu deposit, northern Great Xing'an Range, NE China: Constraints on fluid inclusions and skarn genesis. Ore Geology Reviews. Vol. 80: 623-644.