Top Banner
57

Kanker dan antioksidan

Jul 04, 2015

Download

Education

Helmon Chan

Kanker dan antioksidan
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: Kanker dan antioksidan
Page 2: Kanker dan antioksidan

2000

http. www.kalbe.co.id/cdk

International Standard Serial Number: 0125 – 913X

Daftar isi : Kan

Dan Antioks 2. Editorial 4. English Summary

127. ker

idan

Artikel 5. Terapi Kanker pada Tingkat Molekuler – Rochestry Sofyan 11. Penelitian Aktivitas Biologik Infus Benalu Teh (Scurulla atro-

purpurea Bl. Danser) terhadap Aktivitas Sistim Imun Mencit - M. Wien Winarno, Dian Sundari, Budi Nuratmi

15. Daya Hambat Benalu Teh (Scurulla atropurpurea Bl. Danser) terhadap Proliferasi Sel Tumor Kelenjar Susu Mencit (Mus musculus L.) C3H – Yun Astuti Nugroho, Budi Nuratmi, Suhardi

18. Aktivitas Antimutagenik dan Antioksidan Daun Puspa (Schima wallichii Kort.) – Didi Jauhari Purwadiwarsa, Anas Subarnas, Cucu Hadiansyah, Supriyatna

22. Pengaruh Perasan Daun Ngokilo (Gynura procumbens Lour. Merr.) terhadap Aktivitas Sistim Imun Mencit Putih – Djoko Hargono, M. Wien Winarno, Ayu Werawati

30. Radikal Bebas sebagai Prediktor Aterosklerosis pada Tikus Wistar Diabetes Melitus – Zainal Musthafa, Gatot S. Lawrence, Arifin Seweang

32. Peran Antioksidan dalam Penghambatan Aterosklerosis pada Tikus Wistar Diabetes Melitus – Zainal Musthafa, Gatot S. Lawrence

34. Endotelin dan Penyakit Kardiovaskuler – Muhammad Natsir Akil 37. Klasifikasi dan Kriteria Diagnosis Diabetes Melitus yang Baru –

John MF Adam

41. Hubungan antara Waktu Kadaluwarsa Ampisilina dengan Daya Hambat Pertumbuhan E. coli secara in vitro – Raharni, Sugeng Riyanto, Koesniyo

45. Disolusi dan Penetapan Kadar Alopurinol Sediaan Generik dan Sediaan dengan Nama Dagang – Sukmayati Alegantina, Ani Isnawati, Kelik M. Arifin

49. Resistensi M. tuberculosis terhadap Obat Anti Tuberkulosis Bahan Baku dan Obat Generik di Bagian Patologi Klinik Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran/RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung – Hotman Sinaga, Idaningroem Sjahid, Monang Siahaan, Ida Parwati Santoso

54. Abstrak 56. RPPIK

Page 3: Kanker dan antioksidan

Kanker merupakan salah satu masalah kesehatan yang masih akan berkembang, antara lain karena patofisiologinya yang masih belum banyak dipahami dan penanggulangannya yang masih belum optimal.

Artikel dalam edisi ini membahas masalah kanker pada tingkat dasar disertai dengan beberapa penelitian dasar beberapa tumbuhan obat yang mungkin dapat bermanfaat, dengan harapan dapat ditindaklanjuti sehingga dapat dimanfaatkan secara klinis.

Masalah antioksidan juga disinggung dalam hubungannya dengan proses degenerasi, dalam hal ini penyakit kardiovaskuler.

Artikel yang juga dapat dibaca di sini ialah beberapa penelitian mengenai farmakokinetik beberapa obat, dan ternyata obat generik tidak kalah mutunya dibandingkan dengan sediaan nama dagang.

Selamat membaca

Redaksi

Cermin Dunia Kedokteran No. 127, 2000 2

Page 4: Kanker dan antioksidan

2000

International Standard Serial Number: 0125 – 913X

REDAKSI KEHORMATAN – Prof. DR. Kusumanto Setyonegoro

Guru Besar Ilmu Kedokteran Jiwa Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.

– Prof. Dr. Sudarto Pringgoutomo Guru Besar Ilmu Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.

– Prof. DR. B. Chandra Guru Besar Ilmu Penyakit Saraf Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, Surabaya.

– Prof. Dr. R. Budhi Darmojo Guru Besar Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro, Semarang.

– Prof. DR. Sumarmo Poorwo Soedarmo

Staf Ahli Menteri Kesehatan, Departemen Kesehatan RI, Jakarta.

– Prof. Drg. Siti Wuryan A. Prayitno SKM, MScD, PhD.

Bagian Periodontologi,Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, Jakarta

– Prof. DR. Hendro Kusnoto Drg.,Sp.Ort Laboratorium Ortodonti Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Trisakti, Jakarta

– DR. Arini Setiawati Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta,

DEWAN REDAKSI

KETUA PENGARAH Prof. Dr Oen L.H. MSc

KETUA PENYUNTING Dr Budi Riyanto W

PELAKSANA Sriwidodo WS

TATA USAHA Sigit Hardiantoro

ALAMAT REDAKSI Majalah Cermin Dunia Kedokteran, Gedung Enseval, Jl. Letjen Suprapto Kav. 4, Cempaka Putih, Jakarta 10510, P.O. Box 3117 Jkt. Telp. (021)4208171 NOMOR IJIN 151/SK/DITJEN PPG/STT/1976 Tanggal 3 Juli 1976

PENERBIT Grup PT Kalbe Farma

PENCETAK PT Temprint

– Dr. B. Setiawan Ph.D

– Prof. Dr. Sjahbanar Soebianto

Zahir MSc.

PETUNJUK UNTUK PENULIS

Cermin Dunia Kedokteran menerima naskah yang membahas berbagai aspek kesehatan, kedokteran dan farmasi, juga hasil penelitian di bidang-bidang tersebut.

Naskah yang dikirimkan kepada Redaksi adalah naskah yang khusus untuk diterbitkan oleh Cermin Dunia Kedokteran; bila telah pernah dibahas atau dibacakan dalam suatu pertemuan ilmiah, hendaknya diberi keterangan me-ngenai nama, tempat dan saat berlangsungnya pertemuan tersebut.

Naskah ditulis dalam bahasa Indonesia atau Inggris; bila menggunakan bahasa Indonesia, hendaknya mengikuti kaidah-kaidah bahasa Indonesia yang berlaku. Istilah media sedapat mungkin menggunakan istilah bahasa Indo-nesia yang baku, atau diberi padanannya dalam bahasa Indonesia. Redaksi berhak mengubah susunan bahasa tanpa mengubah isinya. Setiap naskah harus disertai dengan abstrak dalam bahasa Indonesia. Untuk memudahkan para pembaca yang tidak berbahasa Indonesia lebih baik bila disertai juga dengan abstrak dalam bahasa Inggris. Bila tidak ada, Redaksi berhak mem-buat sendiri abstrak berbahasa Inggris untuk karangan tersebut.

Naskah diketik dengan spasi ganda di atas kertas putih berukuran kuarto/ folio, satu muka, dengan menyisakan cukup ruangan di kanan-kirinya, lebih disukai bila panjangnya kira-kira 6 - 10 halaman kuarto. Nama (para) pe-ngarang ditulis lengkap, disertai keterangan lembaga/fakultas/institut tempat bekerjanya. Tabel/skema/grafik/ilustrasi yang melengkapi naskah dibuat sejelas-jelasnya dengan tinta hitam agar dapat langsung direproduksi, diberi nomor sesuai dengan urutan pemunculannya dalam naskah dan disertai

keterangan yang jelas. Bila terpisah dalam lembar lain, hendaknya ditandai untuk meng-hindari kemungkinan tertukar. Kepustakaan diberi nomor urut sesuai dengan pemunculannya dalam naskah; disusun menurut ketentuan dalam Cummulated Index Medicus dan/atau Uniform Requirements for Man-uscripts Submitted to Biomedical Journals (Ann Intern Med 1979; 90 : 95-9). Contoh: Basmajian JV, Kirby RL. Medical Rehabilitation. 1st ed. Baltimore. London: William and Wilkins, 1984; Hal 174-9. Weinstein L, Swartz MN. Pathogenetic properties of invading micro-organisms. Dalam: Sodeman WA Jr. Sodeman WA, eds. Pathologic phy-siology: Mechanisms of diseases. Philadelphia: WB Saunders, 1974; 457-72. Sri Oemijati. Masalah dalam pemberantasan filariasis di Indonesia. Cermin Dunia Kedokt. l990 64 : 7-10. Bila pengarang enam orang atau kurang, sebutkan semua; bila tujuh atau lebih, sebutkan hanya tiga yang pertama dan tambahkan dkk.

Naskah dikirimkan ke alamat : Redaksi Cermin Dunia Kedokteran, Gedung Enseval, JI. Letjen Suprapto Kav. 4, Cempaka Putih, Jakarta 10510 P.O. Box 3117 Jakarta. Telp. 4208171/4216223

Pengarang yang naskahnya telah disetujui untuk diterbitkan, akan diberitahu secara tertulis.

Naskah yang tidak dapat diterbitkan hanya dikembalikan bila disertai dengan amplop beralamat (pengarang) lengkap dengan perangko yang cukup.

Cermin Dunia Kedokteran No. 127, 2000 3

Tulisan dalam majalah ini merupakan pandangan/pendapat masing-masing penulisdan tidak selalu merupakan pandangan atau kebijakan instansi/lembaga/bagian tempat kerja si penulis.

Page 5: Kanker dan antioksidan

English Summary THE INVESTIGATION ON ANTI-MUTAGENIC AND ANTIOXIDANT ACTIVITY OF SCHIMA WALLICHII KORT. LEAVES Didi Jauhari Purwadiwarsa, Anas Subarnas, Cucu Hadiansyah, Supriyatna Department of Pharmacy and Biology, Faculty of Mathematics and Physics, Padjadjoran University, Bandung, Indonesia

An investigation on antimuta-genic and antioxidant activity of the butanol fraction of Schima wallichii Korth leaves has been carried out. The experiment of an in vivo antimutagenic activity using a micronucleus test showed that butanol fraction used orally de-creased the frequency of micro-nucleated polychromatic cell erythrocytes (MNPCE) from the bonemarrow smears of Swiss- Webster male mice elevated by cyclophosphamide at a dose of 50 mg/kg intraperitoneally. The butanol fraction at a dose of 300 mg/kg decreased the frequency of MNPCE by 10,5% while at a dose of 600 mg/kg decreased by 38,27%.

An in vitro antioxidant activity using nitroblue tetrazolium (NBT) method showed that butanol frac-tion inhibited the reduction of NBT by superoxide generated by the xanthine oxidase system. The in-hibition by butanol fraction at a concentration of 200 µg/ml was 68,66% while at a concentration of 400 µg/ml was 94,37%.

The result indicated that the bu-tanol fraction had antimuta-genic and antioxidant activities.

Cermin Dunia Kedokt. 2000; 127: 18-21

djp, as, ch, s

EFFECTS OF EXPIRED AMPICILLIN PRODUCT ON THE GROWTH OF E. COLI IN VITRO

Raharni*, Sugeng Riyanto**, Koesniyo***

* Pharmacy Research and Development Centre Health Re-search and Development Cen-tre, Department of Health, Jakarta, Indonesia

** Faculty of Pharmacy, Gajah Mada University, Yogyakarta Indonesia

*** Faculty of Medicine. Gajah Mada University, Yogyakarta, Indonesia

The purpose of the study is to

determine the correlation between the length of expiration date of ampicillin products and the poten-cy to inhibit E. coli growth, com-pared to the standard ampicillin.

Using dilution method, Minimal Inhibition Concentration (MIC) and Minimal Bactericidal Concentra-tion (MBC) of several different expired ampicillin products against E. coli are determined.

The results indicate that MIC and MBC of the expired ampicillins are lower than the standard ampi-cillin.The longer the expiration date of ampicillin have been passed the smaller the potential against the growth of E. coli.

Cermin Dunla Kedokt. 2000; 127: 41-4 rh, sr, ko

RESISTANCE OF M. TUBERCULOSIS TO THE PURE AND THE GENERIC ANTITUBERCULOSIS DRUGS IN THE DEPARTMENT OF CLINICAL PA-THOLOGY, FACULTY OF MEDICINE PADJADJARAN UNIVERSITY/ DR. HASAN SADIKIN GENERAL HOS-PITAL, BANDUNG

Hotman Sinaga, Idaningroem Sjahid, Monang Siahaan, Ida Parwati Santoso Department of Clinical Pathology, Faculty of Medicine, Padjadjaran University, Dr. Hasan Sadikin General Hospital, Bandung, Indonesia

The inappropriate treatment of tuberculosis may result in drug re-sistance that is more difficult to treat. Proper treatment should be based on susceptibility test; but this test is not easily performed and also expensive. So it is necessary to find cheaper and easier ob-tainable reagent and method.

A comparative study on the sus-ceptibility test on 50 isolated of M. tuberculosis using pure and gene-ric antituberculosis drugs as media was carried out in the Department of Clinical Pathology, Faculty of Medicine, Padjadjaran University/ Hasan Sadikin General Hospital.

This study revealed that the result was not significantly different (p > 0,05) and both methods have a 100% accuracy.

Generic antituberculosis drugs can be used for the susceptibility test of M. tuberculosis.

Cermln Dunla Kedokt. 2000; 127: 49-53 hs, is, ms, ips

Cermin Dunia Kedokteran No. 127, 2000 4

Page 6: Kanker dan antioksidan

Artikel

TINJAUAN KEPUSTAKAAN

Terapi Kanker pada Tingkat Molekuler

Rochestry Sofyan

Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknik Nuklir - Batan, Jakarta

ABSTRAK

Dalam terapi kanker pada tingkat molekular, dikenal tiga kategori gen sebagai target yaitu onkogen, gen supresor tumor dan gen yang mengatur replikasi dan repair dari DNA. Kebanyakan kanker disebabkan oleh mutasi pada satu atau lebih dari ketiga kategori gen tersebut. Tinjauan ini membahas masing-masing kategori gen dan aspek biokimianya, serta menerangkan bagaimana obat anti kanker dapat diteruskan pada sel dan bagaimana obat tersebut dapat menghentikan perkembangan sel kanker.

PENDAHULUAN

Sel kanker merupakan the outlaw cell karena tumbuh secara tidak teratur, melanggar semua kaidah normal, tidak peduli akan kontrol dalam perbanyakan, dan menggunakan agendanya sendiri. Sifat lainnya adalah mempunyai kemampu-an untuk bermigrasi dari tempatnya tumbuh ke jaringan di dekatnya dan membentuk massa pada daerah baru di dalam tubuh. Kanker terdiri atas sel ganas, menjadi lebih agresif dari waktu ke waktu, dan menjadi letal apabila jaringan atau organ yang diperlukannya untuk bertahan hidup, mengalami gangguan. (Gambar 1).

Pada awalnya pengetahuan para ahli hanya terbatas pada pengertian bahwa sifat yang membahayakan dari sel tumor adalah dapat tumbuh dan menyebar secara tidak terkendali. Khasiat suatu obat hanya dilihat dari dapat tidaknya meng-hambat pembelahan sel, atau dengan cara menginjeksikan senyawa kimia tersebut pada sel kanker hewan dan mengamati terjadinya penciutan. Ternyata, beberapa senyawa yang me-nyerang sel kanker juga dapat merusak jaringan sehat, sehingga terjadi efek samping yang membahayakan kesehatan penderita.

Dewasa ini, kelainan atau kerusakan secara molekular yang mengubah sel normal menjadi sel ganas mulai jelas. Beberapa kelainan disebabkan oleh terjadinya mutasi pada kunci utama dari gen yang bertanggung jawab dalam reproduksi sel. Mutasi tersebut mengubah kuantitas atau sifat protein yang dikode oleh gen pengatur tumbuh dan selanjutnya mengganggu fungsi pengontrol pembelahan sel. Melalui pe-

ngetahuan tentang adanya gen yang mengalami mutasi, memungkinkan para peneliti di bidang farmasi dapat me-rancang obat baru yang secara spesifik mampu menghambat kerja gen yang mengalami mutasi. Obat semacam ini di-harapkan akan dapat memulihkan sel dari keganasan menjadi normal kembali, atau memutuskan rantai keganasan tanpa membahayakan sel sehat. Sekalipun kebanyakan obat tersebut baru dalam tahap uji awal, hasilnya memperlihatkan harapan yang cukup menggembirakan.

Gambar 1. Pengendalian kanker pada tingkat molekular meliputi

repair dari DNA yang rusak, penghambatan dari protein kunci pertumbuhan dan meningkatkan sensitivitas tumor terhadap terapi konvensional seperti iradiasi (diambil dari pustaka 1).

Cermin Dunia Kedokteran No. 127, 2000 5

Page 7: Kanker dan antioksidan

Dalam terapi kanker pada tingkat molekular, dikenal tiga kategori gen sebagai target. Kategori pertama adalah onkogen, yang menstimulasi perkembangan sel melalui daur sel (cell cycle) yaitu serangkaian peristiwa meliputi pembesaran sel, replikasi DNA dan pembelahan sel, serta pemindahan set gen yang lengkap pada sel anak. Kategori lain adalah gen yang membatasi perkembangan tersebut yang disebut sebagai gen penekan atau supresor tumor. Kategori ketiga adalah kelompok gen yang mengatur replikasi dan repair dari DNA. Kebanyak-an tumor disebabkan oleh terjadinya mutasi pada satu atau lebih dari ketiga kategori gen tersebut.

Tinjauan ini membahas masing-masing kategori gen dan aspek biokimia yang terlibat. Selain itu, akan menerangkan bagaimana obat antikanker dapat diteruskan pada sel dan bagaimana obat tersebut dapat menghentikan perkembangan sel kanker. Onkogen: Mengaktifkan kanker

Onkogen adalah versi mutan dari gen normal, yang me-micu pertumbuhan sel. Gen pada sel normal yang dapat berubah menjadi onkogen aktif akibat mutasi, disebut proto onkogen. Mutasi mampu mengubah proto onkogen menjadi onkogen aktif. Perbedaan antara onkogen dan gen normal kadang kala tidak terlihat. Protein mutan dari mana asal onkogen muncul dapat berbeda hanya dengan satu asam amino tunggal dari versi yang sehat. Jadi hanya dengan satu per-ubahan tunggal telah dapat mengubah fungsi protein.

Kanker pada umumnya terjadi apabila terdapat mutasi pada gen ras. Sekitar 20-30% dari kanker pada manusia mengandung satu gen ras yang abnormal. Protein yang dikode oleh gen ras (disebut sebagai protein ras) pada umumnya bertindak sebagai tombol penyambung di dalam rangkaian isyarat atau pesan yang memerintahkan sel untuk membelah, sebagai respon dari pengiriman stimulasi pada gen ras dari luar sel. Aktivasi terjadi pada rangkaian isyarat yang non aktif. Dengan tidak adanya pesan dari luar sel, protein ras akan tetap dalarn keadaan tidak aktif (dalam posisi off). Protein ras yang termutasi bertindak seperti tombol penekan yang selalu dalam posisi on, sehingga secara kontinu memberi informasi yang salah pada sel, yaitu menginstruksikannya untuk membelah pada saat yang tidak seharusnya membelah. Dari pengamatan ini dapat diperkirakan bahwa senyawa yang dapat memblok aksi protein ras mutan mungkin efektif sebagai senyawa anti kanker (senyawa pemblok semacam ini disebut antagonis). Masalahnya adalah bagaimana protein ras mutan dapat diin-aktivasi.

Salah satu jawaban penting adalah apabila kita dapat memahami bagaimana protein ras dibuat. Di awal pembentuk-annya, molekul ras secara fungsional tidak aktif (immature). Prekursor ini harus mengalami modifikasi secara biokimiawi untuk menjadi mature sehingga menjadi aktif. Kemudian protein ras menyerang bagian permukaan sel atau bagian luar membran yang selanjutnya akan berinteraksi dengan protein selular untuk menstimulasi pertumbuhan sel. Perubahan terjadi pada salah satu ujung dari prekursor ras, tempat enzim bekerja dalarn suatu daerah yang disebut sebagai box CAAX. Modifikasi dapat terjadi dalam tiga tahap (Gambar 2). Tahap

yang paling kritis adalah tahap awal yang disebut sebagai step farnesylation. Pada tahap ini 15 atom karbon ditambahkan pada prekursor. Suatu enzim spesifik bernama farnesyl-transferase mengkatalisis reaksi tersebut.

Gambar 2. Berawal dari protein ras yang tidak aktif (sebagai prekursor

yang tidak aktif). Pematangan (maturation) terjadi dalam tiga tingkat. Sesaat setelah protein ras termodifikasi, protein ras dapat berinteraksi dengan protein lain dan menstimulasi pertumbuhan sel. Obat yang dapat menghambat reaksi farnesylation sehingga mencegah protein ras menjadi aktif dapat menghentikan sel tumor membelah (diambil dari pustaka 1).

Salah satu strategi untuk memblok aktivitas protein ras

adalah menginhibisi enzim sehingga modifikasi dapat dicegah. Para peneliti telah mencoba berbagai inhibitor. Pada kultur sel, inhibitor memblok maturasi dari protein ras. Uji pada hewan percobaan juga memberikan hasil yang menggembirakan, yang memperlihatkan bahwa inhibitor farnesyltransferase mencegah pembentukan tumor baru oleh protein ras yang abnormal. Salah satu hal yang menguntungkan adalah inhibitor farnesyl-transferase bekerjanya sangat spesifik. Obat ini tidak mem-pengaruhi baik sel yang normal maupun sel yang ditrans-formasi oleh onkogen lain. Dengan spesifisitas yang tinggi; diharapkan bahwa efek sampingnya akan sangat minimal. Beberapa dari inhibitor yang diberikan dengan dosis tertentu telah dapat mengeliminasi preexisting atau bakal tumor. Pada hewan percobaan terlihat bahwa inhibisi terjadi tanpa me-nyebabkan toksisitas pada sel normal.

Daerah lain dari onkogen yang siap dijadikan sasaran zat anti kanker adalah yang mengkode enzim protein kinase. Beberapa jenis kanker yang gen kinasenya mengalami mutasi ditemukan pada chronic myelogenous leukemia, kanker payudara dan kanker kandung kencing. Pada sel yang normal, protein kinase membantu mengatur proses-proses penting. Salah satu aktivitasnya adalah mengirim isyarat atau pesan dari membran sel ke inti sel; mengawali perkembangan sel melalui siklus sel, dan mengontrol berbagai fungsi metabolik dari sel. Protein kinase mengendalikan proses ini dengan cara mengaktivasi protein lain dalam memberikan tanggapan pada stimulan tertentu.

Kinase dapat memicu kanker melalui beberapa cara sebagai berikut; terlalu banyak diproduksi, yang disebabkan oleh mutasi pada daerah gen pengontrol, sebagai satu ke-mungkinan. Dibandingkan dengan sel normal, sel tumor sering kali memproduksi satu atau lebih kinase dalam jumlah banyak. Jumlah yang terlalu banyak dapat memicu sel membelah diri pada saat yang seharusnya stop. Bagian sel yang sering mem-

Cermin Dunia Kedokteran No. 127, 2000 6

Page 8: Kanker dan antioksidan

produksi kinase dalam jumlah berlebih pada jaringan kanker adalah reseptor untuk faktor pertumbuhan epidermal atau epidermal growth factor (EGF). Kinase dapat memberi kon-tribusi untuk menjadi kanker apabila strukturnya abnormal. Kebanyakan sel tumor mengandung protein kinase yang karena mengalami kerusakan secara struktural, maka meng-alami perubahan secara permanen. Karenanya dalam melang-sungkan reaksi dapat menstimulasi sel untuk membelah secara tidak normal. Beberapa contoh dari kinase yang bertindak secara abnormal pada kanker tertentu adalah Abl, Src dan Siklin (cyclin dependent) kinase.

Terbukti bahwa satu inhibitor dari satu atau lebih kinase tersebut dapat berlaku sebagai senyawa anti kanker yang efektif. Tujuannya adalah menemukan suatu obat yang dapat membedakan satu kinase dengan yang lainnya. Beberapa dari hampir 1000 protein kinase pada sel mamalia mempunyai struktur yang hampir sama terutama dalam pusat aktif secara biokimia (biochemically active region). Jadi, suatu inhibitor dari setiap protein kinase tunggal dapat mengganggu aktivitas yang lainnya, padahal kinase yang tidak bersangkutan sangat penting untuk fungsi sel normal.

Sekalipun adanya anggapan tersebut, beberapa tahun terakhir ini para peneliti di bidang farmasi telah mensintesis dan menguji berbagai inhibitor kinase. Selain yang ditujukan pada kinasenya sendiri, juga yang dapat menyerang pada tahap genetik (mencegah disintesisnya kinase). Sebagaimana kita ketahui, molekul m-RNA adalah kopi yang mobil (bergerak) dari gen-gen dan secara fisik adalah template/cetakan dari mana sel membentuk protein yang dikode oleh gen. Sebagai contoh, adanya potongan atau snippets materi genetik anta-gonis akan berinterfensi dengan m-RNA sel tumor dan selanjutnya menghalangi pembentukan protein dalarn hal ini pembentukan kinase .

Inhibitor kinase bekerja sangat selektif. Temuan pada tabung reaksi secara in vitro menunjukkan bahwa inhibisi pada target yang diharapkan 1000 kali lebih sering daripada pada kinase yang bukan pasangannya. Lebih penting lagi penemuan pada seluruh kultur sel, yang memperlihatkan bahwa beberapa dari senyawa ini menginhibisi pertumbuhan dari sel kanker yang mengandung gen kinase protein yang termutasi. Terlihat pula bahwa beberapa diantaranya menghambat pertumbuhan sel tomor pada hewan, suatu tanda bahwa senyawa tersebut dapat bekerja pada tubuh manusia. Diharapkan bahwa bebe-rapa antagonis protein kinase dapat segera tersedia untuk pengobatan kanker pada manusia. Gen Supresor Tumor

Kategori kedua dari gen yang turut berperan dalam perkembangan kanker adalah gen-gen yang bila bekerja secara normal dapat menekan perkembangan keganasan. Beberapa kanker timbul sebagai akibat dari hilangnya atau tidak ber-fungsinya secara sempurna kunci protein pengatur di mana gen ini dikode. Dua dari protein supresor adalah pRB dan p53.

Protein pRB (RB diambil dari retinoblastoma) suatu jenis tumor yang setiap gennya disebut RB yang pertama kali diidentifikasi, membantu mengatur siklus sel. Bentuk aktif pRB dapat bertindak sebagai penghambat replikasi DNA. Di

dalam setiap 40% kanker pada manusia, mutasi pada gen RB menyebabkan setiap proteinnya menjadi tidak aktif. Sebagai akibatnya sel membelah secara nonstop.

Molekul pengatur lain yang sangat penting adalah protein p53. Sering juga disebut sebagai guardian atau pelindung dari genome. Protein ini mencegah replikasi dari DNA yang rusak pada sel normal dan mendorong penghancuran sendiri dari sel yang mengandung DNA yang tidak normal. Molekul p53 yang tidak normal akan membiarkan sel yang mengandung DNA yang rusak untuk tetap bertahan padahal seharusnya mati, atau melakukan replikasi padahal seharusnya berhenti. Sel yang terganggu dan mengalami mutasi diturunkan pada keturunan-nya dan selanjutnya mempunyai kesempatan untuk akumulasi dan terjadi mutasi tambahan; yang membuka peluang untuk membentuk tumor yang letal. Kebanyakan tumor pada manusia, disebabkan oleh adanya cacat pada gen p53. Siklus sel serta berbagai komponen yang dapat menyebabkan terjadi-nya kanker dapat dilihat pada Gambar 3.

Strategi terapi apa yang dapat mengatasi kesalahan fungsi dari gen RB dan p53. Beberapa pendekatan umum telah dipertimbangkan. Secara konseptual yang paling penting adalah mengganti gen yang rusak dengan yang normal (normal counterpart). Mengacu kepada terapi gen, dilihat pada per-cobaan pada kultur sel, hasilnya memberikan harapan. Gen-gen RB dan p53 yang normal diintroduksikan pada sel tumor, dapat menghambat pertumbuhan dari sel tersebut. Sekarang para peneliti sedang merancang protokol untuk uji klinis. Mereka berharap dapat memasukkan gen p53 yang normal ke dalarn sel tumor manusia, serta secara giat mencari berbagai metode untuk memasukkan atau mengirimkan gen tersebut pada sel tumor. Diduga bahwa virus yang lemah dapat membawa gen yang normal dan meneruskan hanya pada sel tumor.Pendekatan dengan vektor virus ini masih baru dan dihadapkan pada berbagai kesulitan. Tidak satupun dari vektor virus tersebut yang dapat mendahului sistem imun, artinya sel imun telah lebih dahulu membunuh virus, sebelum virus pembawa gen p53 mendapat kesempatan untuk mencapai sel tumor.

Menghadapi rintangan pada terapi gen, para onkolog mempelajari supresor tumor selain juga menggali pendekatan secara tradisional. Diperlukan pengkajian tentang pengaturan produk gen termasuk serangkaian peristiwa berawal dari

Siklus sel

(a)

Cermin Dunia Kedokteran No. 127, 2000 7

Page 9: Kanker dan antioksidan

Reseptor faktor pertumbuhan

Sel mamalia (b)

Gambar 3. Siklus sel serta berbagai komponen yang dapat menyebab-

kan terjadinya kanker antara lain adalah reseptor faktor pertumbuhan, protein ras dan enzim-enzim kinase (b). Kekacauan/ketidak teraturan pada pRB dan p53 juga dapat memicu pertumbuhan kanker. Perubahan-perubahan ter-sebut dapat menyebabkan siklus sel (a) menjadi tidak terkontrol (diambil dari pustaka 1).

kerusakan secara genetik di dalam sel dan kemudian mengembangkan obat yang menghambat satu dari peristiwa tersebut. Sebagai contoh pada jaringan sehat protein pRB memblok aktivitas dari protein lain (bernama E2F), yang apabila bebas akan memacu sintesis DNA. Tidak adanya protein pRB karenanya dapat menyebabkan aktivitas E2F menjadi tidak terkontrol dan menyebabkan pembelahan sel menjadi tidak terkendali. Karenanya obat yang sanggup meng-inhibisi E2F dapat menghentikan perkembangan tumor yang disebabkan oleh peristiwa yang diawali oleh hilangnya protein pRB.

Dewasa ini, para peneliti telah dapat mengetahui jalur biokimia yang dikendalikan oleh gen RB, akan tetapi belum jelas apakah hal yang sama berlaku untuk p53. Hingga sekarang belum diketahui secara persis rantai molekular pada peristiwa yang mengawali hilangnya gen p53. Sebagai akibat-nya kebanyakan obat yang potensial ditujukan pada pemulihan p53 belum dapat diidentifikasi. Harapan utama adalah inakti-vasi protein dengan p53 menjadi kenyataan. Dari beberapa penelitian secara in vitro terlihat bahwa fungsi normal dari p53 dapat dipulihkan dengan molekul kecil yang apabila ditempel-kan pada mutan protein p53 yang tidak aktif dapat meng-aktifkannya kembali. Apabila hal yang sama dapat dicapai pada sel tumor, maka dapatlah diharapkan bahwa sel-sel ganas dapat berhenti tumbuh atau mati, karena salah satu fungsi dari p53 adalah untuk membuat sel yang tidak normal melakukan

Hubungan dengan kanker Pendekatan terapi

Meningkatkan 20% dari kanker payudara

- dihambat oleh antibodi atau menginhibisi fungsi biokimia dari reseptor

Diaktivasi oleh mutasi pada 20-30% kanker

- menginhibisi pematangan dari ras

Diaktivasi oleh kromosom abnormal pada leukemia myelogenous kronik

- inhibisi kinase atau menghambat sintesis dengan anti sense

Diaktivasi oleh mutasi pada 2-5% kanker

- inhibisi enzim yang ber-peran dalarn pathway yang kritis

Mengalami mutasi atau deleted pada 40% kanker

- perbaikan dengan terapi gen atau menghambat protein E 2F

Mutasi atau deleted pada 50% kanker

- perbaikan dengan terapi gen atau membunuh sel dengan adenovirus

penghancuran dirinya sendiri (Gambar 4). Kelayakan teknis dari pendekatan ini cukup menjanjikan, akan tetapi kegunaan-nya tidak spesifik, berlaku umum bagi berbagai jenis kanker yang memiliki gen p53. Di beberapa laboratorium, berbagai usaha sedang diteliti untuk menggali strategi ini. Gen-gen Pengontrol Repair DNA

Kategori gen ke tiga adalah yang mengontrol dan menjaga integritas DNA, yang sering kali mengalami kerusakan pada waktu replikasi. Tanpa mekanisme ini, terjadinya perubahan pada sebuah gen yang seharusnya direparasi tidak terlaksana, maka kerusakan akan diturunkan kepada keturunan berikutnya sebagai mutasi yang permanen. Sesungguhnya sel tumor sering kali mengandung kerusakan atau cacat pada proses repair

Gambar 4. Protein p53 menginstruksikan sel untuk memusnahkan diri

bila DNA mengalami kerusakan baik karena senyawa polutan maupun radiasi. Bila protein p53 tidak normal, tidak dapat menghentikan DNA pada proses replikasi. Cara lain adalah dengan menggunakan sel virus, dimana virus hanya berkembang pada sel tumor atau p53 yang tidak normal, sehingga terjadi kematian dari sel tumor (diambil dari pustaka 1).

Cermin Dunia Kedokteran No. 127, 2000 8

Page 10: Kanker dan antioksidan

DNA. Sebagai contoh, 10-20% dari kanker kolon pada manusia mengalami mutasi pada gen-gen yang membantu repair DNA (yaitu gen MLH, MSH2, PMS1 dan PMS2).

Gen lain yang berpartisipasi secara tidak langsung pada repair DNA, pada kenyataannya mengalami mutasi pada gen ini, dan keadaan semacam ini sering terjadi. Salah satu gen tersebut adalah gen yang mengkode protein check point yang memantau perkembangan sel melalui daur sel dan mencegah tahapan berikutnya berlangsung, apabila tahap sebelumnya tidak berjalan secara normal. Sebagai contoh apabila DNA tidak dikopi secara akurat. Salah satu check point protein yang penting adalah ATM dan sekali lagi p53 yang berfungsi. Sel-sel tumor yang tidak mengandung baik gen ATM yang normal maupun gen p53 tidak mempunyai mekanisme pe-ngontrol semacam ini. Setiap DNA sibuk melakukan replikasi sehingga memperbesar kemungkinan terjadinya mutasi secara random.

Seperti halnya dengan gen-gen supresor mutan tumor, terapi gen dapat digunakan dalam mengganti gen yang hilang atau gen yang mengkode repair dari DNA atau protein terkait yang rusak. Pendekatan yang lebih radikal adalah membiarkan beberapa tumor untuk mengalami mutasi sendiri untuk mati. Sel tumor yang mengalami peningkatan kecepatan mutasi dapat mengalami beberapa mutasi yang letal dan dapat menyebabkan kematian dari sel anak. Tumor dapat menyebab-kan hilangnya beberapa turunan selama beberapa dari mutasi yang diperoleh memperbanyak sel yang survive dari turunan tumor. Akan tetapi apabila terlalu banyak sel mutan yang bergenerasi, kemungkinan tidak ada anakan sel tumor yang dapat hidup. Salah satu jalan yang mendorong sel-sel kanker untuk memproduksi sel anak yang tidak survive adalah dengan jalan menginhibisi beberapa mekanisme check point secara simultan. Nyatanya sel ragi yang DNA-nya dirusak dengan cara iradiasi dengan sinar X, mengalami kematian pada dosis yang relatif tinggi. Akan tetapi apabila satu dari gen check point mengalami mutasi, ragi tersebut menjadi lebih sensitif terhadap radiasi. Terbukti bahwa apabila dua atau lebih gen check point mengalami mutasi pada waktu bersamaan, sel menjadi hipersensitif terhadap radiasi; sekalipun dosisnya kecil, telah dapat membunuh sel kanker.

Berdasarkan pengamatan tersebut, para onkolog meran-cang obat yang dapat menginhibisi protein-protein check point. Obat ini ditujukan untuk dapat bekerja pada sel tumor yang cacat pada suatu gen check point (misalnya suatu mutan p53). Dengan beberapa cacat seperti itu, sel kanker dapat mati atau paling tidak kolaps sehingga mati secara mudah pada per-lakuan berikutnya. Beberapa senyawa, pada pengamatan me-lalui kultur jaringan memperlihatkan harapan, sekalipun untuk uji klinis masih perlu menunggu sampai abad mendatang.

Selain dengan cara yang melibatkan pertumbuhan sel, terapi molekular juga dapat ditujukan pada molekul penting lainnya, beberapa dari cara terapi tersebut diharapkan telah dapat digunakan dalam waktu empat tahun mendatang. Se-bagai contoh adalah beberapa protein yang menjaga agar sel tetap berada di suatu tempat pada tubuh manusia. Dengan pengetahuan ini, para peneliti dapat menemukan obat seperti inhibitor protease, yang dapat mencegah sel kanker mengalami

metastasis atau menyebar ke seluruh tubuh. Obat lain diusaha-kan untuk mematikan telomerase, yaitu enzim yang dapat membentuk kembali ujung dari kromosom yang mengalami replikasi, sehingga dalam keadaan seperti ini sel kanker tidak sanggup untuk tetap hidup. Senyawa seperti ini adalah TNP-470, dapat menghambat pembentukan aliran darah baru (angiogenesis) yang memasok makanan pada sel tumor.

Sekalipun target untuk berbagai obat yang dibicarakan tadi menggambarkan kemajuan yang cukup meyakinkan dalam biologi molekular tentang kanker, akan tetapi untuk sampai ke kenyataan terapi diperlukan waktu. Terapi metode baru dengan konsep tersebut, dapat mengatasi berbagai kekurangan dari kemoterapi. Obat tersebut selain harus terlokasi pada target kanker, juga harus terpenetrasi pada sel ganas dalam jumlah yang memadai agar efektif. Tumor yang solid atau kompak dan keras sulit ditembus oleh obat, dan tidak banyak saluran darah yang mengalir jauh ke saluran tumor. Di pihak lain beberapa obat tidak dapat secara mudah menuju sasaran tanpa harus melewati pembuluh darah yang mensuplai makanan pada jaringan tumor untuk kemudian menemukan jalan pada jaringan kanker. Jadi jelas adanya toksisitas, efek samping dan resistensi terhadap obat pada sel tumor.

Penemuan terakhir dalam berbagai bidang iptek dapat digunakan untuk mempercepat penemuan berbagai obat baru. Metode tersebut termasuk gen rekombinan untuk memproduk-si senyawa baru antara lain menggunakan hewan yang direka-yasa secara genetik untuk digunakan sebagai sistem model, teknik kimia dam simulasi komputer. Sekalipun teknik ini telah berkembang, masih diperlukan waktu sekitar sepuluh tahun untuk realisasinya. Pada tahun pertama, kedua dan ketiga diperlukan studi genetik dan biologi molekular untuk dapat meyakinkan bahwa target benar-benar kritis pada perkembangan kanker pada manusia. Setelah itu, penentuan screening biokimiawi untuk menemukan senyawa penting, yang memerlukan waktu satu atau dua tahun. Kemudian pengoptimalan potensi ditinjau dari spesifitas dan farmako-kinetiknya. Usaha ini dapat memakan waktu 3 – 5 tahun, karena harus melalui sintesis beberapa ratus bahkan beberapa ribu senyawa (obat). Pendekatan terutama ditujukan pada tiga hal yaitu keamanan, kemanjuran dan dosis yang optimal. Pendekatan molekular dalam terapi kanker dapat dilihat pada Tabel 1. PENUTUP

Penemuan cara pengobatan melalui pendekatan- pendekatan tadi merupakan suatu cara yang tepat, akan tetapi masih memerlukan penelitian dan jalan yang cukup panjang. Obat yang menginhibisi protein kinase mulai memasuki uji klinis pada awal tahun ini. Inhibitor farnesyltransferase dan beberapa inhibitor kinase lainnya akan dapat diuji coba dalam dua sampai empat tahun mendatang. Pendekatan dari terapi gen adalah dengan cara menggantikan gen yang mengalami mutasi dengan pasangannya atau counterpart-nya yang normal. Pendekatan secara molekular ini harus jelas karakteris-tiknya. Sel tumor yang mengalami beberapa cacat (multiple molecular defect), nampaknya tetap memberikan respon

Cermin Dunia Kedokteran No. 127, 2000 9

Page 11: Kanker dan antioksidan

sekalipun hanya satu dari cacat itu yang mengalami perlakuan. Karenanya pasien tidak perlu minum beberapa jenis obat secara simultan untuk memperoleh manfaat yang optimal. Sekalipun penelitian masih terus berlangsung, nampaknya di masa mendatang terapi kanker akan lebih efektif dan kurang toksik, dan yang lebih penting memberikan harapan hidup dan kenyamanan yang lebih pada penderita.

KEPUSTAKAAN 1. Oliff A, Gibbs JB., Mc Cormick, F. New molecular targets for cancer

therapy. Scienti Am 1996; 275 (3) : 110-5. 2. Tjahjono. Deteksi dini kanker: Peran pemeriksaan sitologik dan

antisipasi era pasca genom. MKI 1999; 49 (7) : 278-90. 3. Szeinfeld D. At molecular level. Nuclear Active, August (1989); 50-2. 4. Frank LM, Teich NM. Introduction to cellular and molecular biology of

cancer: Oxford University Press., 2nd ed, 1998. 5. Hutchinson C, Glover DM. Cell cycle control, 1st ed., Oxford University

Press., 1993.

Tabel 1. Pendekatan Secara Molekular pada Terapi Kanker

Status Kanker Molekul Target Cara Terapi Onkogen : Kelainan pada protein, ras atau aktivitas kinase

- Protein ras - Abl, reseptor EGF,

kinase Erb-B2 dan Src - PKC-α, Raf dan siklin

dependen kinase

- Inhibitor farnesytransferase L-744, 832; SCH 44342; BZA-5B

- Inhibitor tirosin kinase tyrfos-

tins (RG 13020) lavendustins (AG 957) quinazoline (PD 153035)

- Inhibitor antisense - Inhibitor serine/threonine ki-

nase: olomousine: staulos-porine: butirolaktone

Hilangnya gen supresor tumor

- Gen-gen APC, AT, DCC, RB dan p53

- Terapi gen untuk memulihkan supresor gen ke fungsi normal

- Pemblokkan sintesis E2F de-

ngan senyawa antisen

Mekanisme repair DNA yang tidak normal

- Enzim mismatch repair DNA: MSH2; MLH; PMSl; PMS2

- Terapi gen untuk perbaikan aktivitas enzim

- Inhibitor check point untuk

meningkatkan suseptibilitas terhadap senyawa perusak DNA

Tidak adanya penuaan sel pada sel tumor

- Telomerase - Inhibitor telomerase

Angiogenesis - Faktor pertumbuhan FGF, VEGF

- Reseptor integrin

- TNP-470; suramin - Antagonis αv, β3; α vβ5

Metastase - Metaloprotease - Kolagenase

- Inhibitor protease - Inhibitor kolagenase

Cermin Dunia Kedokteran No. 127, 2000 10

Page 12: Kanker dan antioksidan

HASIL PENELITIAN

Penelitian Aktivitas Biologik Infus Benalu Teh (Scurulla

atropurpurea Bl. Danser) terhadap Aktivitas Sistim Imun Mencit

M. Wien Winarno, Dian Sundari, Budi Nuratmi

Pusat Penelitian dan Pengembangan Farmasi, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan RI, Jakarta

ABSTRAK

Telah dilakukan penelitian aktivitas biologik infusum benalu teh (Scurulla atropurpurea (BI) Danser) terhadap aktivitas sistem imun pada mencit. Bahan yang diteliti dalam bentuk infusum dengan dosis pemberian 15 mg, 75 mg, 150 mg, dan 1500 mg/100 gram bb. Sebagai pembanding digunakan akuades.

Infus diberikan secara oral, 1 kali sehari selama 7 hari berturut-turut, setelah imunisasi dengan sel darah merah domba. Pengamatan meliputi berat limpa dan pengukuran konsentrasi lg G. Selain itu dilakukan penentuan LD50 menggunakan hewan tikus putih, dengan cara Thompson-Weil.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian infusum benalu teh pada semua dosis tidak menunjukkan perbedaan nyata terhadap berat limpa dan konsentrasi lg G (P>0,01), tetapi pada pengamatan konsentrasi lg G setiap minggu, terlihat pola perkembangan yang meningkat terutama pada dosis 150 mg/100 g bb. yaitu 97,0 mg/dl. Penghitungan LD50 mendapatkan nilai > 5 gram/kg bb, sehingga bahan dapat digolongkan tidak beracun.

PENDAHULUAN

Pada saat ini pengembangan obat anti tumor atau anti-kanker yang berasal dari tanaman banyak digalakkan, meng-ingat bahan obat asal tanaman tersebut banyak terdapat di Indonesia. Salah satu bahan obat asal tanaman tersebut adalah Scurulla atropurpurea (BI) Danser yang biasanya dikenal dengan nama benalu teh.

Benalu teh (Scurulla atropurpurea (BI) Danser) adalah tumbuhan yang hidupnya menumpang pada tumbuhan teh dan menghisap makanan dari tumbuhan inang untuk kelangsungan hidupnya. Tanaman ini digunakan oleh sebagian masyarakat yang tinggal di daerah di Indonesia sebagai obat anti tumor atau antikanker(1). Daun dan batang tanaman ini mengandung senyawa alkaloid, flavonoid, glikosida, triterpen, saponin dan tanin(2,3).

Di Eropa dan Amerika ada jenis tanaman misalnya Viscum

album L. yang dipakai untuk mengobati tumor atau kanker. Penelitian yang pernah dilakukan tanaman tersebut bersifat imunostimulator yaitu, melalui pengaktifan sel granulosit dan makrofag, yang memberi sifat anti tumor(4), mungkin benalu teh mempunyai sifat tersebut dengan mekanisme imuno-stimulator yang lain yaitu meningkatkan konsentrasi lg G.

Tumor atau neoplasma adalah suatu pertumbuhan jaringan baru yang tidak normal akibat pertumbuhan sel-sel baru yang terus menerus tanpa kontrol dan tidak berfungsi bagi tubuh. Secara garis besar tumor dapat digolongkan menjadi 2 jenis, yaitu : tumor jinak (benigna) dan tumor ganas (maligna)(5,6).

Sampai sekarang penyakit kanker (tumor ganas) masih merupakan masalah dalam bidang kesehatan di Indonesia, dengan angka kematian yang terus meningkat, yaitu 1,4% tahun 1972 menjadi 4,3% pada tahun 1986 dan 4,4% pada tahun 1992(7,8,9).

Cermin Dunia Kedokteran No. 127, 2000 11

Page 13: Kanker dan antioksidan

Ada teori yang menyatakan dalam pembentukan antigen tumor invivo dilibatkan respon imun humoral maupun seluler. Respon antibodi terhadap tumor memerlukan bantuan efektor imun yang lain seperti makrofag dan Natural Killer (NK). Sampai saat ini belum ada bukti antibodi secara sendiri dapat menghambat perkembangan atau pertumbuhan sel tumor, kecuali bukti penelitian invitro terhadap beberapa jenis sel tumor yang dapat dilisiskan oleh antibodi(10,11).

Imunoglobulin merupakan salah satu fraksi protein dalam darah yang diproduksi sebagai reaksi terhadap berbagai rang-sang antigenik yang diproduksi oleh limfosit B dan berperan dalam kekebalan humoral. Kerja sama imunoglobulin dengan sel NK terjadi karena sel NK memiliki reseptor Fc lg G. Bila imunoglobulin G (lg G) mengikat antigen berupa protein pada permukaan sel tumor yang disebabkan oleh virus, lg G melapisi permukaan sel tumor, maka terjadi tumorosida. Peran lg G sangat penting karena aktivitas sel NK terhadap antigen tumor sangat rendah(10,11).

Tujuan penelitian ini untuk menambah dan melengkapi informasi mengenai benalu teh sebagai obat tumor atau kanker yaitu dengan melihat aktivitas lg G pada mencit putih dengan metode Uji difusi gel kuantitatif. BARAN DAN CARA a. Bahan dan Alat Penelitian 1) Bahan

Tanaman atau bagian tanaman yang diteliti ialah herba Scurulla atropurpurea (BI.) Danser., yang dikumpulkan dari daerah Probolinggo Jawa Timur dan telah dideterminasi, di Herbarium Bogoriensis, Bogor. 2) Percobaan Toksisitas akut (LD50)

• Tikus galur Sprague Dawley jenis kelamin jantan dan betina dengan berat 150-180 gram (40 ekor).

• Natrium klorida • Akuades • Kapas steril • Sonde lambung

3) Penelitian aktivitas sistem imun • Mencit galur C3H jenis kelamin jantan dengan berat

18-23 gram (50 ekor) • Akuades • Buffer Saline Phosphat • EDTA • Lempeng agar imunodiffusion • Immuno viewer • Micrometer pipet • Pipet tips • Capillary tube dengan heparin • Micro tube centrifuge • Sonde lambung

b. Rancangan Penelitian

Rancangan penelitian yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap dengan 10 pengulangan, untuk melihat peng-aruh pemberian infusum benalu teh terhadap berat limpa pada minggu ke 2. Rancangan petak terbagi (split spot) terdiri dari 2

faktor, melihat pengaruh pemberian infusum benalu terhadap konsentrasi lg G, dari minggu 0 sampai minggu ke-2. c. Cara Kerja 1) Pembuatan infus benalu teh

Pengolahan bahan tanaman benalu teh dengan cara di-keringkan dengan sinar matahari dan dalam lemari pengering dengan suhu tidak lebih dari 50° C sampai mendapatkan bobot yang konstan. Bahan digiling dan diayak dengan menggunakan ayakan Mesh 48, serbuk benalu dibuat infus sesuai Farmakope Indonesia(12). 2) Pembuatan suspens antigen

Sel darah merah domba (SDMD), dipisahkan dari plasma dengan pemusingan 1500 rpm. Plasma dikeluarkan kemudian dilakukan pencucian dengan larutan buffer saline phosphat (BSP) dengan pH 7,2. Pencucian dilakukan paling sedikit tiga kali. Setelah pencucian selesai BSP dibuang, sehingga diper-oleh suspensi SDMD 100%. Ke dalam suspensi SDMD 100% ditambahkan PBS dengan volume yang sama, sehingga didapatkan suspensi SDMD 50% menjadi 1% dengan penambahan BSP. 3) Percobaan LD50 cara Thompson-Weil(13)

Tikus diberi dosis obat dalam bentuk infus dengan sonde lambung. Dosis ditentukan dari percobaan pendahuluan dan kematian diobservasi selama 2 minggu. Pada hari terakhir pengamatan, semua hewan coba didekapitasi dan dilakukan pemeriksaan makroskopik. Bila terdapat kelainan organ dalam, dicatat dan diperiksa secara mikroskopik. 4) Penelitian aktivitas sistem imun

Lima puluh ekor mencit jantan galur C3H, dengan berat badan 20-30 gram, dibagi secara acak menjadi 5 kelompok diperlakukan dengan sepuluh ulangan (berdasarkan rumus Federer). Kelompok I mendapatkan akuades dan suntikan sus-pensi SDMD 1 % intraperitoneum; Kelompok II mendapatkan infus dengan dosis 15 mg/100 g dan suntikan suspensi SDMD 1 %; Kelompok III mendapatkan infus dengan dosis 75 mg/100 dan suntikan suspensi SDMD 1 %; Kelompok IV mendapatkan infus dengan dosis 150 mg/100 g dan suntikan suspensi SDMD 1%; Kelompok V mendapatkan infusum dosis 1500 mg/100 g dan suntikan suspensi SDMD 1 %. Bahan percobaan diberikan secara oral setiap hari, selama 7 hari dan tiap kelompok men-dapat makanan dan minuman adlibitum. Satu minggu sebelum bahan obat dan suntikan SDMD diberikan, dilakukan peng-ambilan darah lewat vena orbitalis, kemudian diulang peng-ambilannya 1 minggu setelah pemberian obat dan 2 minggu setelah pemberian obat pertama. Pemisahan serum darah di-lakukan dengan cara disentrifus pada 3000 rpm selama 10 menit. Serum yang diperoleh langsung diukur kadar imunoglo-bulinnya untuk penelitian(13).

d. Pengamatan 1) Pengukuran konsentrasi imunoglobulin G (lg G)

Ke dalam sumuran imunodifusi radial yang masing-masing mengandung anti lg G mouse, dengan mikro pipet dimasukkan 5 µl serum. Pengukuran diameter presipitasi dilakukan pada hari ketiga menggunakan alat immunoviewer(10). 2) Pengamatan berat limpa

Cermin Dunia Kedokteran No. 127, 2000 12

Page 14: Kanker dan antioksidan

Pada akhir percobaan mencit dibius dengan menggunakan eter, dilakukan pembedahan dari bagian inguinal sampai torakal untuk mengangkat limpa, sisa cairan yang menempel pada organ dihisap dengan kertas saring. Berat limpa ditimbang menggunakan timbangan analitik merk Sartorius. e. Analisis data 1) Analisis data toksisitas akut (LD50 dilakukan menurut metode Thompson-Weil dengan batas kepercayaan 95%. 2) Analisis data aktivitas sistem imun dilakukan :

• Bila data yang didapat distribusinya normal dilakukan uji parametrik dengan anova 2 way(11,12).

• Bila data yang didapat distribusinya tidak normal di-lakukan uji dengan Friedman dan dilanjutkan dengan uji berganda(11,12).

HASIL PENELITIAN 1) Uji toksisitas akut (LD50)

Pemberian infusum benalu teh dengan dosis tertinggi yang dapat diberikan pada tikus, selama 14 hari pengamatan, tidak menimbulkan kematian ataupun tanda-tanda intoksikasi, serta tidak menimbulkan perubahan tingkah laku maupun bobot badan. Pengamatan makroskopik tidak menunjukkan adanya penyimpangan morfologi pada organ hati, ginjal, limpa, paru dan jantung. Dengan demikian didapatkan harga LD50 > 5 gram/kg bb, sehingga dapat digolongkan bahan termasuk kategori tidak beracun(14). 2) Penelitian aktivitas sistem imun a) Pengukuran konsentrasi Imunoglobulin G (lg G)

Pemberian infus benalu teh pada semua dosis, setelah diimunisasi dengan sel darah merah domba terlihat kenaikan konsentrasi lg G pada setiap minggunya (Tabel 1). Perhitungan uji normalitas dan homogenitas kadar lg G hewan perlakuan dan kontrol memperlihatkan distribusi normal dan sebaran yang homogen. Berdasarkan hal tersebut maka dilakukan per-hitungan analisis uji parametrik anova 2 way(14).

Pada uji statistik tersebut tidak terdapat perbedaan nyata antar dosis perlakuan (P>0,01). Bila dilihat pola perkembangan lg G minggu ke-0,1 dan 2 terdapat perbedaan sangat nyata pada P<0,01. Pengujian dengan regresi Poli/nominal Orthogonal terhadap pola perkembangan lg G minggu ke-0,1, dan 2 pada dosis 15, 75, 1500 mg/100 g bb. dan akuades umumnya mem-punyai pola perkembangan yang sama (regresi mendatar), namun pada dosis 150 mg/100 g bb. menunjukkan pola perkembangan yang meningkat (regresi linier) dengan persamaan garis Y = 265,13 + 97X, dengan peningkatan kon-sentrasi 97,0 mg/dl (Gambar 1). b) Berat limps

Pengukuran berat relatif limpa (berat limpa per bobot badan akhir) disajikan dalam tabel 3. Bila dilihat kelompok per kelompok, maka kelompok akuades menunjukkan berat relatif limpa yang besar, yaitu 15,8 mg disusul Dosis 1, Dosis 2, Dosis 4 dan Dosis 3. Pada uji homogenitas dan normalitas mem-perlihatkan data mempunyai distribusi tidak normal dan sebar-an yang tidak homogen. Berdasarkan hal tersebut dilakukan uji

non-parametrik Krusal-Wallis dari uji statistik tersebut berat relatif limpa dari 5 kelompok perlakuan tidak berbeda nyata (P>0,05) (Tabel 2). Tabel 1. Hasil pengukuran rata-rata konsentrasi 1gG (dalam mg/dl).

Dosis Waktu Rata-rata

Dl Minggu 0 Minggu 1 Minggu 2

452,0 ± 127,32 485,0 ± 87,23 527,7 ± 112,99

D2 Minggu 0 Minggu 1 Minggu 2

472,7 ± 126,81 601,8 ± 183,25 523,2 ± 230,65

D3 Minggu 0 Minggu 1 Minggu 2

366,7 ± 167,71 450,0 ± 117,52 560,7 ± 148,01

D4 Minggu 0 Minggu 1 Minggu 2

435,6 ± 59,93 443,8 ± 100,39 452,2 ± 96,86

Akuades Minggu 0 Minggu 1 Minggu 2

429,9 ± 120,83 507,3 ± 153,16 500,3 ± 109,26

Keterangan : D1 = Dosis infusum benalu teh 15 mg/100 g bb. D2 = Dosis infusum benalu teh 75 mg/100 g bb. D3 = Dosis infusum benalu teh 150 mg/100 g bb. D4 = Dosis infusum benalu teh 1500 mg/100 g bb. Akuades = akuades 0,3 ml/10 g bb.

Gambar 1. Persamaan regresi hubungan pemberian infus benalu teh

dosis 150 mg/100 g dengan peningkatan konsentrasi lgG. PEMBAHASAN

Tanaman benalu teh (Scurulla atropurpurea (BI) Danser) secara empirik digunakan untuk mengobati penyakit tumor atau kanker. Aktifitasnya sebagai obat antitumor atau antikanker mungkin secara tidak langsung yaitu rnelalui pengaktifan sistem kekebalan tubuh dengan mengukur konsentrasi lgG.

Pemakaian bahan sebagai obat anti tumor atau kanker me-nimbulkan dugaan bahwa bahan bersifat imunostimulator yaitu

Cermin Dunia Kedokteran No. 127, 2000 13

Page 15: Kanker dan antioksidan

Tabel 2. Berat relatif limpa mencit pada akhir percobaan.

Ulangan Perlakuan

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Jumlah Rata-rata

Dosis 1 0,186 0,055 0,061 0,089 0,199 0,313 0,258 0,154 0,073 0,088 147,6 14,8 ± 0,09 Dosis 2 0,082 0,500 0,209 0,278 0,970 0,940 0,570 0,580 0,075 0,081 108,1 10,8 ± 0,075 Dosis 3 0,052 0,084 0,058 0,082 0,100 0,068 0,096 0,073 0,045 0,055 71,2 7,1 ± 0,019 Dosis 4 0,151 0,075 0,070 0,069 0,137 0,070 0,248 0,052 0,090 0,055 101,7 10,1 ± 0,061 Akuades 0,056 0,064 0,089 0,060 0,205 0,148 0,061 0,051 0,043 0,022 158,4 15,8 ± 0,084

dapat meningkatkan konsentrasi lgG. Hasil pengujian pem-berian infusum benalu teh pada semua dosis perlakuan tidak memperlihatkan adanya peningkatan konsentrasi lgG (P>0,01), dengan pembanding akuades, tetapi pada dosis 150 mg/100 g. bobot badan terjadi kecenderungan peningkatan konsentrasi lgG. Sehingga dapat dikatakan infus benalu teh pada dosis tersebut di atas dapat dikatakan bersifat imunostimulator yaitu peningkatan konsentrasi lgG. Kemungkinan diantara senyawa- senyawa imunostimulator. Wagner (1985) secara umum menyebutkan golongan terpenoid, alkaloid atau polifenol mem-punyai sifat imunostimulator.

Pengamatan terhadap berat relatif limpa, tidak terjadi perubahan pada berat limpa pada semua dosis perlakuan, sehingga tidak dapat ditarik kesimpulan dari pengamatan tersebut. KESIMPULAN

Infusum benalu teh (Scurulla atropurpurea (Bl) Denser) merupakan bahan yang tidak toksik dengan LD50>5 gram/kg bobot badan.

Pengaruhnya terhadap konsentrasi lgG tidak berbeda nyata antar dosis perlakuan (P>0,01), tetapi pada pengamatan kon-sentrasi lgG tiap minggu terlihat pola perkembangan yang meningkat, dengan peningkatan konsentrasi 97,0 mg/dl.

14

UCAPAN TERIMA KASIH Ditujukan kepada Kepala Puslitbang Farmasi, Badan Litbangkes Depkes

RI. serta seluruh staf KPPOT yang telah memberikan saran dan bantuannya sejak perencanaan sampai selesai penelitian.

KEPUSTAKAAN 1. Sudarman Mardisiswojo, Harsono Rajakmangun S. Cabe Puyang Warisan

Nenek Moyang. 2 Balai Pustaka Jakarta, Jakarta. 2. Chairul, dkk. Skrining Fitokimia dan Analisis Komponen Kimia ekstrak

batang Benalu Teh (Scurulla atropurpurea (Bl) Dans). Dibawakan dalam Seminar Nasional ke-IX. Penggalian, Pelestarian, Pengembangan dan Pemanfaatan Tumbuhan Obat : Secang dan Benalu. Yogyakarta, 21-22 September 1995.

3. IGP. Santa. Studi Kemotaksonomi-Farmakognasi Benalu Antikanker (Scurulla atropurpurea (B1.) Denser & Dendophtroe pentandra (L) Miq. Dibawakan dalam Seminar nasional ke-IX. Penggalian, Pelestarian, Pengembangan den Pemanfaatan Tumbuhan Obat : Secang dan Benalu. Yogyakarta, 21-22 September 1995.

4. Wagner, Hildebert. Immunostimulants of Fungi and Higher Plants, 1984. 5. Achmad Tjarta, Sutisna Himawan : Kumpulan Kuliah Patologi. Bag.

Patologi Anatomik FK. UI. 6. Departemen Kesehatan RI. Survei Kesehatan Rumah Tangga, 1972. 7. Departemen Kesehatan RI. Survei Kesehatan Rumah Tangga, 1986. 8. Departemen Kesehatan RI dan Biro Pusat Statistik. Survei Kesehatan

Rumah Tangga, 1992. 9. Abbas AK, Lictman AH, Pober JS. Cellular and Molecular Immunology

Saunders Co. Philladelphia, 1991. 11. Rott IM. Essential Immunology. Blackwell Science Publ. Oxford, 1991. 12. Departemen Kesehatan RI. Farmakope Indonesia, 1979. 13. Mohamad Sadikin dkk. Vitamin A dan Imunitas : 3. Peningkatan Titer

Antibodies Tikus Anti Sel Darah Merah Domba oleh Pemberian Vitamin A secara Oral, MKI 1995; 45 (7).

14. Sudjana. Metode Statistilk. Tarsito Bandung

Exercise the muscles well, but spare the nerves always

(Schopenhauer)

Cermin Dunia Kedokteran No. 127, 2000

Page 16: Kanker dan antioksidan

HASIL PENELITIAN

Daya Hambat Benalu Teh (Scurulla atropurpurea Bl. Danser)

terhadap Proliferasi Sel Tumor Kelenjar Susu Mencit

(Mus musculus L) C3 H

Yun Astuti Nugroho*, Budi Nuratmi*, Suhardi**

*Pusat Penelitian dan Pengembangan Farmasi, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan RI, Jakarta

**Pusat Penelitian Penyakit Tidak Menular, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan RI, Jakarta

ABSTRAK Benalu teh (Scurulla atropurpurea (BL) Danser) secara tradisional digunakan

untuk pengobatan penyakit kanker. Oleh karena itu untuk konfirmasi ilmiah khasiat benalu teh sebagai antikanker telah dilakukan penelitian daya hambat infus benalu teh terhadap proliferasi kelenjar susu mencit C3H.

Uji daya hambat terhadap proliferasi tumor kelenjar susu mencit C3H meng-gunakan cara Pringgoutomo (1992). Bahan berupa infus diberikan per oral dengan dosis 25; 250; 500 dan 750 mg/100 g bb, sebagai kontrol negatif adalah akuades.

Hasil penelitian menunjukkan infus benalu teh dapat menghambat pertumbuhan tumor kelenjar susu Mus musculus L galur C3H, dan dosis 500 mg/ 100 g bb. me-rupakan dosis paling efektif. Kata kunci : Tanaman obat, Anti tumor, Scurulla atropupurea (BL) Danser, benalu teh

PENDAHULUAN

Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), setiap tahun penderita kanker di dunia bertambah 6,25 juta orang dan 10 tahun mendatang diperkirakan 9 juta meninggal akibat kanker. Di Indonesia diperkirakan setiap tahun terdapat 100 penderita baru dari setiap 100.000 penduduk dan penyakit kanker men-duduki urutan ke-3 penyebab kematian sesudah penyakit jantung dan paru-paru(1,2).

Pengobatan kanker pada umumnya sama, yaitu salah satu atau kombinasi dari operasi, penyinaran (radioterapi), obat pembuluh sel kanker (sitostatika), meningkatkan daya tahan tubuh dan pengobatan dengan hormon. Hasilnya tentu ter-gantung dari keadaan pasien dan jenis kanker(3). Saat ini gagas-an yang tengah dikembangkan dan digalakan penggunaannya oleh pemerintah adalah upaya pengembangan tanaman obat.

Gagasan ini tertuang dalam Program Departmen Kesehatan, khususnya Program Tanaman Obat Keluarga (TOGA) dan Program Apotik Hidup(4).

Salah satu tanaman obat yang paling dikenal masyarakat untuk mengobati penyakit kanker adalah benalu teh dan salah satu jenis benalu teh tersebut adalah (Scurulla atropurpurea (BL) Danser). Selain secara empirik dipakai masyarakat se-bagai obat kanker, benalu teh terbukti secara in vitro dapat menghambat tumor crown gall dan penelitian deteksi aktivitas asparaginase dalam benalu teh dapat menghidrolisa asparagin. Asparaginase adalah enzim katalisator yang berperan meng-hidrolisa asparagin menjadi asam aspartat dan amonia. Dengan demikian sel kanker kekurangan asparagin yang berakibat ke-matian sel(3,5,6).

Kandungan kimia benalu teh antara lain alkaloid; flavo-

Dibawakan pada Seminar Sehari PERHIPBA, jakarta, 18 Februari 1999

Cermin Dunia Kedokteran No. 127, 2000 15

Page 17: Kanker dan antioksidan

noid; terpenoid; saponin; tanin dan dari ekstrak metanol ter-idenfifikasi senyawa quercetin-7-rhamnoside; caffein; theo-phyline(7,8).

Adanya data empirik dan beberapa data ilmiah maka telah dilakukan Konfirmasi Ilmiah Keamanan dan Pemakaian Benalu Teh (Scurulla atropurpurea (BL) Danser) Sebagai Antikanker Pada Mus musculus L galur C3H. BAHAN 1) Bahan Percobaan

Tanaman benalu teh diperoleh dari Magelang Jawa Tengah dan telah diidentifikasi di Herbarium Bogor. Bahan yang sudah kering, dibuat serbuk, selanjutnya dibuat infus sesuai dengan Farmakope Indonesia(9). 2) Hewan Percobaan

Penelitian menggunakan mencit (Mus musculus L) galur C3H, jenis kelamin jantan bobot badan antara 18-25 gram ber-asal dari Bagian patologi UI. CARA KERJA

Transplantasi tumor dilakukan berdasarkan metoda Pringgoutomo(10). Mencit donor dikorbankan dengan eter, kemudian diletakkan terlentang pada alas gabus. Kulit yang bertumor dibasahi alkohol 70% kemudian disayat dengan gunting untuk mengeluarkan tumornya. Tumor diletakkan pada cawan petri, kemudian jaringan tumor yang masih bagus, dipotong untuk dibuat bubur, pada bubur tumor ditambahkan NaCl 0,85%. Bubur tumor sebanyak 0,2 ml disuntikkan secara subkutan di aksila kanan mencit menggunakan jarum trokar. Pengamatan pertumbuhan tumor mulai dilakukan 1 hari setelah trasplantasi tumor. Setelah masa laten, mencit dikelompokkan menjadi 5 kelompok :

Kelompok I : Akuades Kelompok II : Infus benalu teh dosis 25 mg/100 g bb Kelompok III : Infus benalu teh dosis 250 mg/100 g bb Kelompok IV : Infus benalu teh dosis 500 mg/100 g bb Kelompok V : Infus benalu teh dosis 750 mg/100 g bb

Bahan diberikan per oral dengan sonde lambung selama 21 hari. Parameter yang diamati meliputi masa laten, bobot badan dan volume tumor. ANALISIS DATA

Untuk melihat ada/tidaknya efek infus benalu teh Scurulla atropurpurea (BL) Danser) terhadap besar (volume) tumor kelenjar susu mencit, data dianalisis dengan Kruskal-Wallis(11). HASIL

Pengamatan bobot badan tidak menunjukkan adanya per-bedaan (tabel 1). Masa laten untuk setiap mencit tidak sama (tabel 2). Besar (volume) tumor terlihat adanya perbedaan antara kelompok yang diberi akuades dan kelompok yang diberi infus benalu teh (tabel 3). PEMBAHASAN

Di Indonesia diperkirakan setiap tahunnya terdapat 100 penderita kanker baru, dari setiap 100.000 penduduk. Kanker

memang telah menjadi salah satu menyebab utama kematian usia produktif. Kanker timbul akibat pertumbuhan yang tidak normal dari sebagian sel-sel jaringan tubuh yang berubah menjadi sel-sel kanker dan sel-sel kanker ini suatu saat bisa menyebar ke seluruh tubuh. Walaupun penyebabnya memang belum dapat dipastikan tapi ada beberapa faktor penyebab yang diduga dapat meningkatkan resiko terjadinya kanker, seperti bahan karsinogenik. Pengobatan kanker pada umumnya sama, yaitu salah satu atau kombinasi dari operasi, penyinaran, obat pembunuh sel kanker, meningkatkan daya tahan tubuh, dan dengan obat tradisional baik dengan tanaman obat maupun binatang(2). Tabel 1. Bobot badan mencit (Mus musculus L) setelah pemberian

perlakuan selama 21 hari.

Bobot badan mencit setelah pemberian perlakuan Nomor hewan A B C D E

1 17 23 20 20 21 2 21 24 20 20 20 3 20 23 21 21 25 4 20 22 23 22 25 5 21 20 27 24 21 6 20 21 22 22 23 7 20 20 23 22 24 8 20 24 20 22 21 9 19 23 22 24 23 10 19 21 24 22 22

Juml 197 221 222 219 225 Rata-rata 19,7 ± 1,15 22,1 ± 1,4 222 ± 2,2 2 1,9 ± 1,3 22,5 ± 1,7

Keterangan : A. Akuades B. Inf. Benalu teh dosis 25 mg/ 100 g bb C. Inf. Benalu teh dosis 250 mg/ 100 g bb D. Inf. Benalu teh dosis 500 mg/ 100 g bb E. Inf. Benalu teh dosis 750 mg/ 100 g bb Tabel 2. Masa laten dari masing-masing mencit.

Masa laten dari masing-masing mencit pada kelompok Nomor hewan A B C D E

1 6 6 7 6 5 2 6 7 7 6 6 3 6 7 6 6 5 4 7 7 7 6 7 5 6 6 6 6 6 6 6 6 6 5 6 7 7 6 6 7 6 8 7 6 6 7 7 9 6 6 6 6 6 10 6 6 5 7 6

Keterangan : A. Akuades B. Inf. Benalu teh dosis 25 mg/ 100 g bb C. Inf. Benalu teh dosis 250 mg/ 100 g bb D. Inf. Benalu teh dosis 500 mg/ 100 g bb E. Inf. Benalu (eh dosis 750 mg/ 100 g bb

Benalu teh (Scurulla atropurpurea (BL) Danser) oleh sebagian masyarakat diperdagangkan dan digunakan untuk pengobatan penyakit kanker. Beberapa literatur dan hasil pe-nelitian, benalu teh mempunyai kandungan kimia sterol triter-

Cermin Dunia Kedokteran No. 127, 2000 16

Page 18: Kanker dan antioksidan

penoid, flavonoid, saponin dan tanin(6,7). Pada skrining anti-kanker ekstrak kloroform benalu teh dengan menggunakan metode Brine Shrimp Lethality Test ternyata menunjukkan hasil positif(12).

Bubur tumor yang ditransplantasikan pada mencit oleh tubuh mencit resipien (inang) akan dikenali sebagai benda asing, oleh karena itu sistem imun inang akan bereaksi terhadap pertumbuhan tumor. Sistem imun setiap individu tidak sama oleh karena itu setiap mencit resipien akan memberikan respon yang berbeda. Tabel 3. Volume tumor kelenjar susu mencit (Mus musculus L) setelah

pemberian perlakuan.

Volume tumor setelah pemberian perlakuan Nomor hewan A B C D E

1 5,48 10,93 3,28 5,00 7,14 2 8,21 13,40 32,00 3,80 4,76 3 9,75 20,00 9,92 9,14 5,65 4 64,57 9,50 13,40 5,00 3,62 5 42,08 26,34 18,80 8,68 5,93 6 64,97 45,80 10,55 3,20 3,40 7 59,00 13,56 11,06 2,85 7,66 8 30,54 7,00 11,66 2,30 4,60 9 29,074 40,20 13,85 2,60 10,75

10 24,60 - 6,11 12,80 4,40 Juml 338,29 186,74 130,65 55,38 57,93

Rata-rata 33,82 20,74 13,06 5,53 5,79 Keterangan : A. Akuades B. lnf. Benalu teh dosis 25 mg/ 100 g bb C. lnf. Benalu teh dosis 250 mg/ 100 g bb D. lnf. Benalu teh dosis 500 mg/ 100 g bb E. lnf. Benalu teh dosis 750 mg/ 100 g bb

Tumor mulai berproliferasi setelah melewati masa laten, proliferasi sel tumor diukur berdasarkan persentasi pertambah-an volume tumor. Setelah masa laten mencit diberi infus benalu teh secara oral setiap hari selama 21 hari. Pemberian infus benalu teh ternyata mampu menghambat proliferasi sel tumor kelenjar susu.

Hasil uji Kruskal - Wallis data volume tumor menunjuk-kan nilai Hc = 25,59, sedangkan H tabel = 9,48 berarti Ho ditolak pada 0,05 dan 0,01. Berdasarkan data tersebut dapat disimpulkan ada pengaruh bermakna infus benalu teh terhadap proliferasi sel tumor kelenjar susu mencit galur C3H. Pada umumnya bobot badan mencit berkurang tapi dari perhitungan statistik terlihat bahwa kelompok mencit yang diberi infus benalu teh ada beda nyata apabila dibanding kelompok akuades (p=0,05). Kelompok mencit yang diberi infus benalu teh mes-kipun mengalami penurunan bobot badan tapi penurunannya masih lebih kecil apabila dibanding kelompok mencit yang diberi akuades. Daya hambat infus benalu teh dimungkinkan karena kandungan steroida, glikosida, triterpenoid dan saponin.

Namun demikian masih diperlukan penelitian lebih lanjut sampai pada kesimpulan benalu teh memang berkhasiat sebagai antikanker.

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan :

Infus benalu teh dapat mengurangi pertambahan volume tumor kelenjar susu mencit (Mus musculus L).

Saran : Oleh karena kandungan kimia dari benalu teh adalah

golongan antioksidan maka disarankan untuk melakukan pene-litian yang berhubungan dengan imunitas.

KEPUSTAKAAN

1. Soedoko R. Seminar dan Orientasi Penyakit Kanker Terpadu, Paripurna

dengan peran serta Masyarakat. Malang, 1994. 2. Wijayakusuma H. Kanker. Pos Kola, Oktober, 1995. 3. Tjokronegoro A. Etik Penelitian Obat Tradisional. Fakultas Kedokteran

UI. Jakarta, 1992. 4. Pratiwi DK. Daya Hambat Ekstrak Air Teh Hijau (Camelia sinensis (L)

Kuntze) Terhadap Proliferasi Sel Tumor Kelenjar Susu Mencit (Mus musculus L) Galur C3H. Jur. Biologi. FMIPA. UI, 1994.

5. Fanoka. Uji Pendahuluan Efek Antitumor Ekstrak Etanol beberapa (6) Tanaman Menggunakan Cakram Kentang yang Diinokulasi dengan Agrobacterium Tumifaciens. Skripsi. JF FMIPA. UI, 1990.

6. Nuraeni U. Deteksi Aktifitas Asparaginase dalam Daun Loranthus globosus Roxb. Skripsi. FF. UGM, 1990.

7. Pasha IB. Penelitian Pendahuluan Kandungan Benalu Teh (Scurrula atropurpurea (BL) Danser) Simposium Penelitian Tumbuhan Obat V. Surabaya, 1996.

8. Kardono BS. Beberapa Senyawa terisolasi dari benalu Teh (Scurulla parasitica L). Seminar POKJANAS TOI IX. Yogyakarta. 1995.

9. Departemen Kesehatan RI. Farmakope Indonesia. Ed. III. Jakarta, 1979. 10. Pringgoutomo S. Trasplantasi Jaringan Tumor pada Mencit. Penuntun

Praktikum Patologi Anatomi. Bagian Anatomi. FK. UI. Jakarta, 1992. 11. Steel RGD, Toriee JH. Prinsip dan Prosedur statistik. Suatu pendekatan

biometrik. Terj dari Principles and Procedures Statistics, oleh Sumantri, B. PT. Gramedia. Jakarta.

12. Leswara ND. Perbandingan Daya Antioksidan Beberapa Jenis Benalu Menggunakan metoda Spektrofotometri. Seminar POKJANAS TOI. IX. Yogyakarta, 1995.

LAMPIRAN

Grafik hubungan antara dosis dengan pertambahan besar tumor.

Gardening requires lots of water – most of it in the form of perspiration

Cermin Dunia Kedokteran No. 127, 2000 17

Page 19: Kanker dan antioksidan

HASIL PENELITIAN

Aktivitas Antimutagenik dan Antioksidan Daun Puspa

(Schima wallichii Kort.)

Didi Jauhari Purwadiwarsa*, Anas Subarnas*, Cucu Hadiansyah**, Supriyatna*

*Jurusan Farmasi, ** Jurusan Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Universitas Padjadjaran, Bandung.

ABSTRAK Telah dilakukan penelitian mengenai aktivitas antimutagenik dan antioksidan

fraksi butanol daun puspa (Schima wallichii Korth). Hasil pengujian aktivitas anti-mutagenik secara in vivo dengan metode uji mikronukleus menunjukkan bahwa pemberian fraksi butanol daun puspa secara oral mampu menurunkan frekuensi sel eritrosit polikromatik bermikronukleus (MNPCE) dari apusan sumsum tulang paha mencit jantan galur Swiss-Webster yang diinduksi dengan siklofosfamid dosis 50 mg/kg secara intraperitoneal. Fraksi butanol dosis 300 mg/kg mampu menurunkan frekuensi MNPCE sebesar 10,51% sedangkan pada dosis 600 mg/kg memberikan penurunan sebesar 38,27%.

Pada pengujian aktivitas antioksidan secara in vitro dengan metode NBT, fraksi butanol daun puspa mempunyai penghambatan reduksi NBT oleh superoksida yang dihasilkan dari reaksi enzimatis xantin dengan bantuan xantin oksidase. Nilai peng-hambatan reduksi NBT oleh fraksi butanol daun puspa adalah 68,66% pada konsentrasi 200 µg/ml dan 94,37% pada konsentrasi 400 µg/ml.

Dari hasil pengujian tersebut diperoleh kesimpulan fraksi butanol daun puspa mempunyai aktivitas antimutagenik dan antioksidan.

PENDAHULUAN

Mutasi merupakan perubahan yang terjadi pada gen atau pada kromosom. Mutasi dapat dikaitkan dengan timbulnya beragam kelainan, termasuk penyakit kanker. Selain dapat terjadi secara spontan, mutasi juga dapat diinduksi oleh ber-bagai faktor seperti radiasi, senyawa kimia tertentu, dan virus. Faktor-faktor penginduksi mutasi dikenal sebagai mutagen(1,2).

Salah satu indikator terjadinya mutasi adalah adanya mikronukleus. Mikronukleus merupakan hasil mutasi dari kro-mosom utuh yang patah dan kemudian tampak sebagai nukleus berukuran kecil di dalam suatu sel. Mikronukleus mudah di-amati pada sel polikromatik eritrosit. Jumlah sel eritrosit polikromatik bermikronukleus menunjukkan tingkat kerusakan genetik dalam sistem eritropoitik suatu makhluk hidup(3).

Banyaknya pengunaan bahan-bahan kimia untuk berbagai keperluan mengakibatkan peningkatan pencemaran bahan-bahan kimia berbahaya ke dalam lingkungan hidup. Penelitian toksikologi memberikan informasi bahwa sebagian besar bahan kimia yang ada bersifat mutagenik(1,4). Meskipun tubuh kita sudah dilengkapi berbagai mekanisme pertahanan terhadap mutagen, peningkatan paparan terhadap bahan-bahan kimia tersebut dapat meningkatkan peluang terjadinya mutasi. Oleh karena itu diperlukan suatu zat yang dapat mengurangi risiko terjadinya mutasi oleh mutagen(5,6).

Dugaan keterlibatan oksigen reaktif dalam terjadinya mutasi terutama dalam bentuk radikal bebas akhir-akhir ini makin mendapat perhatian para peneliti. Radikal bebas merupa-kan sebutan terhadap molekul yang mempunyai elektron yang

Cermin Dunia Kedokteran No. 127, 2000 18

Page 20: Kanker dan antioksidan

tidak berpasangan pada kulit terluarnya, sehingga bersifat sangat reaktif dan dapat merusak komponen-komponen sel, ter-masuk asam deoksiribonukleat (DNA) (7). Beberapa laporan menyebutkan bahwa suatu antioksidan, yaitu senyawa yang dapat menetralkan radikal bebas juga mempunyai aktivitas antimutagenik(5,8,9).

Upaya pencarian zat antimutagenik banyak dilakukan ter-hadap bahan alam, juga dari tumbuhan. Puspa (Schima wallichii Korth) merupakan salah satu tumbuhan tropis Indonesia(10) dan termasuk tumbuhan pakan primata. Ekstrak metanol daun puspa dilaporkan mempunyai aktivitas anti-promosi tumor dan antimutagenik(12).

Sebagai kelanjutan dari hasil penelitian tersebut, dalam rangka usaha mengisolasi senyawa aktif antimutagenik serta untuk mengetahui kemungkinan adanya aktivitas antioksidan; maka dilakukan penelitian yang terfokus pada pengujian akti-vitas antimutagenik dan antioksidan fraksi butanol daun puspa. BAHAN DAN METODE

Hewan Percobaan Mencit (Mus musculus) putih jantan galur Swiss-Webster

didapat dari Laboratorium Struktur dan Perkembangan Hewan Jurusan Biologi FMIPA Universitas Padjadjaran, usia 7-9 minggu, berat 22,5 - 27,5 gram, kandang plastik dengan alas sekam (4-6 ekor). Suhu ruang hewan percobaan 23-25 °C, kelembaban 70-85%, dan cahaya diatur dengan regulator 12 jam terang dan 12 jam gelap. Pakan mencit berupa pelet-789 dan minuman dari air ledeng yang masing-masing diberikan secara ad libitum. Bahan Kimia

Bahan kimia yang dipakai dalam penelitian ini adalah fraksi butanol dari ekstrak metanol daun puspa (Hutan Pangandaran, Ciamis), Siklofosfamid (Wako Pure Chemical Industries, Ltd. Jepang).

Fraksi butanol pada pengujian aktivitas antimutagenik di-suspensikan dengan PGA (1% b/v) dalam akuades, sedangkan pada pengujian aktivitas antioksidan dilarutkan dalam DMSO. Siklofosfamid dilarutkan dalam larutan NaCl fisiologis. Ekstraksi dan Fraksinasi

Serbuk daun puspa (650 gram) diekstraksi dengan metanol (3x24 jam), dan ekstrak metanol kemudian dipartisi dengan campuran etil asetat - air (3 : 1). Lapisan air diekstraksi dengan n-butanol sehingga diperoleh lapisan air dan lapisan n-butanol. Lapisan n-butanol kemudian diuapkan hingga diperoleh fraksi butanol kering yang akan dipakai dalam pengujian. Uji Mikronukleas - dengan penginduksi siklofosfamid

Pengujian aktivitas antimutagenik menggunakan metode uji mikronukleus(3) dengan modifikasi. Perlakuan diberikan dua kali sesuai dengan cara Ghaskadbi dkk. (5)

Mencit dipuasakan dahulu selama kurang lebih 18 jam. Setelah pemberian suspensi fraksi butanol secara oral (sebagai kontrol diberikan suspensi PGA tanpa fraksi butanol), siklo-fosfamid (50 mg/kg bb., i.p.) disuntikkan pada mencit 30 menit kemudian. Setelah 24 jam mencit diberi lagi suspensi fraksi

butanol dan siklofosfamid dengan dosis yang sama. Enam jam setelah pemberian siklofosfamid yang kedua, mencit dibunuh dengan cara dislokasi leher dan dibedah untuk diambil kedua tulang pahanya.

Sumsum tulang diaspirasi dengan semprit yang berisi NaCl fisiologis, selanjutnya disentrifugasi pada kecepatan 1000 rpm selama sepuluh menit. Sebagian supernatan yang dihasilkan di-buang dengan menggunakan pipet pasteur, sisanya dibuat pre-parat apusan pada kaca objek yang kemudian dikeringkan selama dua hari pada suhu kamar.

Preparat ini diwarnai dengan pewarna Giemsa menurut cara Gollapudi & Kamra (1979)(13). Dari preparat tersebut diamati jumlah sel eritrosit polikromatik bermikronukleus (MNPCE) di bawah mikroskop dengan pembesaran 1000 kali, untuk setiap 1000 sel eritrosit polikromatik (PCE). Penghitung-an dilakukan oleh dua orang dan setiap kelompok perlakuan menggunakan lima ekor mencit.

Data dianalisis dengan analisis variansi, dan sebaran t- Student untuk menguji perbedaan antara dua rata-rata. Uji NBT - sistim xantin/xantin oksidase

Pengujian aktivitas antioksidan menggunakan metode Nitroblue Tetrazolium (NBT) dengan kit pereaksi SOD seperti yang telah dilakukan oleh Murakami dkk. (1996). Kit tersebut mengandung lima pereaksi (Rl-R5). Rl mengandung buffer fosfat 0,1 M dengan pH 8, xantin 0,40 mmol/1 dan zat pem-bentuk warna nitroblue tetrazolium (NBT) dengan kadar 0,24 mmol/l. R2 mengandung enzim xantin oksidase 0,049 unit/ml. R3 mengandung buffer fosfat 0,1 M dengan pH 8 yang digunakan untuk melarutkan enzim. R4 merupakan pereaksi kontrol yang mengandung buffer fosfat 0,1 M pH 8. Sedangkap R5 adalah penghenti reaksi yang mengandung natrium dodesil sulfat 69 mmol/1.

Fraksi butanol dibuat sebagai larutan persediaan (LP) dengan konsentrasi 16 dan 32 mg/ml. Enzim dalam R2 diencer-kan dengan R3 dengan perbandingan 1:100 (RE). Disediakan empat kelompok tabung Effendorf (TI - T4) dan dilakukan prosedur pengujian sebagai berikut, pada suhu di bawah 10 °C. T1 (sampel) diisi 12,5 ml LP, 250 ml R1, dan 250 ml RE. 72 (blanko) diisi 12,5 ml DMSO, 250 ml R1, dan 250ml RE. T3 (sampel-blanko) diisi 12,5 ml LP, 250 ml R1, dan 250 ml R4. T4 (blanko-blanko) diisi 12,5 ml DMSO, 250 ml R1, dan 250 ml R4. Keempat tabung Effendorf tersebut serta R5 diinkubasi pada penangas air dengan suhu 37 °C selama 20 menit. Kemu-dian dilakukan pengukuran serapan cahaya dengan spektro-fotometer pada panjang gelombang 560 nm. Pengujian tersebut dilakukan tiga kali.

Data dinilai dengan menggunakan rumus persen peng-hambatan reduksi NBT. HASIL DAN PEMBAHASAN

Efek fraksi butanol daun puspa terhadap frekuensi MNPCE

Seperti terlihat pada Tabel l atau Gambar 1, rata-rata frekuensi MNPCE permil PCE pada kontrol, fraksi butanol dosis 300 dan 600 mg/kg masing-masing adalah 74,2 ± 13,08; 66,4 ± 13,20; dan 45,8 ± 13,66. Dengan demikian pemberian

Cermin Dunia Kedokteran No. 127, 2000 19

Page 21: Kanker dan antioksidan

fraksi butanol daun puspa dosis 300 dan 600 mg/kg masing- masing memberikan penurunan frekuensi MNPCE sebesar 10,51% dibandingkan. terhadap kontrol. Dari hasil analisis statistik, dosis 600 mg/kg memberikan efek yang signifikan (p<0,05). Hasil ini menunjukkan bahwa fraksi butanol daun puspa dapat menghambat efek mutagenik dari siklofosfamid.

Tabel 1. Nilai rata-rata sel eritrosit polikromatik yang mengandung

mikronukleus (MNPCE) untuk seluruh kelompok perlakuan.

Perlakuan Dosis PCE MNPCE MNPCE permil

PCE Rata-rata ± SD

Kontrol

-

000

371

74,2 ± 13,08

Fraksi butanol 300 5000 332 66,4 ± 13,20 Fraksi butanol 600 5000 229 45,8 ± 13,66*

* Signifikan, dibandingkan terhadap kontrol (p<0,05) Tabel 2. Nilai penghambatan reduksi NBT pada pengujian aktivittis

antioksidan berdasarkan serapan cahaya (A) rata-rata dari blanko (B1), blanko-blanko (B1-B1), sampel (S), dan sampel-blanko (S-B1) pada panjang gelombang (λ) 560 nm.

Serapan cahaya rata-rata

pada 1560 nm Konsentrasi fraksi butanol (µg/ml) AB1 AB1-B1 AS AS-B1

Persentase penghambatan reduksi NBT

200

0,2840

0,1117

0,217

0,1630

68,66%

400 0,2840 0,1117 0,1647 0,1550 94,37%

Gambar 1. Grafik nilai rata-rata frekuensi sel eritrosit polikromatik ber-

mikronukleus (MNPCE) untuk seluruh kelompok perlakuan pada pengujian aktivitas antimutagenik. (*Signifikan, diban-dingkan terhadap kontrol (P<0,05)

Menurut Czyzewska & Mazur (1995)(15) siklofosfamid menginduksi pembentukan mikronukleus melalui metabolit aktifnya yang bersifat pengalkilasi, yaitu mustard fosforamida, akrolein, dan 4-hidroksisiklofosfamid. Senyawa pengalkilasi tersebut dapat berikatan dengan berbagai gugus fungsi kom-ponen sel, termasuk terhadap basa-basa DNA. Selain itu dapat juga terjadi peristiwa pindah silang (cross-linkung) DNA.

Reaksi reaksi tersebut antara lain mengakibatkan patahan rantai DNA yang diduga menyebabkan terjadinya patahan kromosom dan dapat terlihat sebagai mikronukleus. Metabolisme siklo-fosfamid juga dilaporkan menyebabkan peningkatan radikal anion superoksida dan hidroksil(16) yang mungkin ikut berperan dalam menginduksi pembentukan mikronukleus. Senyawa aktif antimutagenik yang terdapat pada fraksi butanol daun puspa ini belum diketahui secara pasti, diduga termasuk ke dalam se-nyawa fenolik yang mekanisme aktivitas antimutageniknya mungkin berkaitan dengan aktivitas antioksidan(12).

Gambar 2. Grafik nilai penghambatan reduksi NBT pada pengujian

aktivitas antioksidan.

Efek fraksi butanol daun puspa terhadap reduksi NBT Seperti terlihat pada Tabel 2 atau Gambar 2, fraksi

butanol daun puspa pada konsentrasi 200 dan 400 mg/ml mem-punyai nilai persentase penghambatan reduksi NBT oleh super-oksida dari reaksi enzimatis xantin dengan bantuan xantin oksidase masing-masing sebesar 68,66° dan 94,37%. Hasil ini menunjukkan bahwa fraksi butanol daun puspa mempunyai aktivitas antioksidan seperti superoksida dismutase (SOD).

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil pengujian mikronukleus secara in vivo dan pengujian NBT secara in vitro, diambil kesimpulan bahwa fraksi butanol daun puspa mempunyai aktivitas antimutagenik dan antioksidan.

KEPUSTAKAAN 1. Moutschen, J. Introduction to Genetic Toxicology. New York : John

Wiley & Son; 1985. 2. Mulyadi. Kanker, Karsinogen, Karsinogenesis dan Antikanker. Edisi I.

Yogyakarta: PT. Tiara Wacana; 1996. 3. Schmid, W. The micronucleus test. Mutation Res. 1975; 31, 9-15. 4. Wild, D. Cytogenetic effects in the mouse of 17 chemical mutagens and

carcinogens evaluated by the micronucleus test 1978; 56 : 319-27. 5. Ghaskadbi, S., Rajmachikar S, Agate C, Kapadi AH., Vaidya VG.

Modulation of cyclophosphamide mutagenicity by vitamin C in the vivo rodent micronucleus assay. Teratogenesis, Carcinog. Mutagen 1992; 12, 11-3.

6. Kong Z, Liu Z, Ding B. Study on the antimutagenic effect of pine needle extract. Mutation Res. 1995; 347, 101-4.7.

7. Halliwell B. Free radicals, antioxidants, and human disease : curiosity,

Cermin Dunia Kedokteran No. 127, 2000 20

Page 22: Kanker dan antioksidan

cause, or consequence? Lancet, 1994; 344 : 721-4 13. Gollapudi B, Kamra OP. Application of a simple Giemsa-staining method in the micronucleus test. Mutation Res. 1979; 64, 45-6. 8. Shiraki M, Hara Y, Osawa T, Kumon H, Nakayama T, Kawakishi S.

Antioxidative and antimutagenic effect of theaflavin from black tea. Mutation Res. 1994; 323 ; 29-34.

14. Murakami A, Ohura S, Nakamura Y, Koshimizu K, Ohigashi H. I’-acetoxychawicol acetate, a superoxide anion generation inhibitor, potently inhibits tumor promotion by 12-O-tetradecanoylphorbol - 13 -acetate in ICR mouse skin. Omcology 1996; 53 : 389-91.

9. Rompelberg CJM, Stenhuis WH, de Vogel N, van Osenbruggen WA, Schouten A, Verhagen H. Antimutagenicity of eugenol in the rodent bone marrow micromucleus test. Mutation Res. 1995; 346 : 69-75. 15. Czyzewska A, Mazur L. Supressing effect or WR-2721 on micronuclei

induced by cyclophosphamide in mice. Teratogenesis, Carcinog. Mutagen 1995; 15 : 109-14.

10. Heyne K. Tumbuhan Berguna Indonesia. Jilid III. Jakarta: Yayasan Sarana Wana Jaya. 1987; 1367.

11. Koshimizu K, Murakami A. Hayashi H,Ohigashi H, Subarnas A, Gurmaya KJ, Ali AM. Biological activities of edible and medicinal plant from Indonesia and Malaysia 1998; submission,to publication.

16. Ramu K, Perry CS, Ahmed T, Pakenham G, Kehrer JP. Studies on the basis for the toxicity of acrolein mercapturates. Toxicol. Appl. Pharmacol, 1996; 140 : 487-98.

12. Pramana N. Aktivitas Antimutagenik Ekstrak Metanol Daun Puspa (Schima wallicihii Korth.) dan Fraksi-fraksinya dengan uji Mikronukleus pada Tikus Wistar. Skripsi. Jurusan Farmasi FMIPA Universitas Padjadjaran Bandung 1998.

17. Wagner H, Lacaille-Dubois MA. Recent pharmacological results on bioflavonoids. In S. Antus, M. Gabor & K. Vetschera (Eds) : Flavonoids and bioflavonoids. Vienna : 9th Hungarian Bioflavonoids Symposium 1995; 53-7.

70% terumbu karang di Indonesia rusak -

40% rusak berat. Tinggal sekitar 7% yang masih sangat bagus. Semua karena : - ketidak tahuan manusia dan - kerakusan ulah manusia !

Cermin Dunia Kedokteran No. 127, 2000 21

Page 23: Kanker dan antioksidan

HASIL PENELITIAN

Pengaruh Perasan Daun Ngokilo (Gynura procumbens Lour. Merr.)

terhadap Aktivitas Sistim Imun Mencit Putih

Djoko Hargono*, M. Wien Winarno*, Ayu Werawati**

Pusat Penelitian dan Pengembangan Farmasi, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan RI, Jakarta.

** Fakultas Farmasi, Universitas Pancasila, Jakarta.

PENDAHULUAN

Indonesia kaya akan tumbuh-tumbuhan, yang berdasarkan pengalaman telah dimanfaatkan oleh nenek moyang kita sejak zaman dahulu kala untuk memenuhi keperluan hidupnya, antara lain untuk obat. Sampai saat inipun pemanfaatan tumbuhan obat sebagai obat tradisional masih dilakukan di samping obat-obat modern, bahkan ada kecenderungan meningkat (Depkes RI, 1983). Hal ini terlihat nyata sekali di daerah pedesaan, terlebih lebih daerah terpencil yang jauh dari fasilitas kesehatan modern, hingga untuk memenuhi keperluannya akan obat mereka menggunakan bahan-bahan nabati yang banyak terdapat di pekarangan sekeliling tempat tinggalnya, yang kemudian diramu sendiri di rumah masing- masing, sehingga dengan biaya yang relatif murah keperluan obat untuk pelayanan kesehatannya dapat dipenuhi. Dengan demikian dapat membantu meringankan beban hidupnya, karena pemanfaatan tumbuhan untuk obat dapat dilakukan dengan cara yang sederhana, misalnya dengan memanfaatkan bahan segar yang dikonsumsi sebagai ulam atau lalap.

Dalam rangka pemerataan dan perluasan pelayanan kesehatan kepada masyarakat, sebagaimana dinyatakan dalam GBHN 1988 bangsa Indonesia bertekad untuk meningkatkan peranan tumbuh-tumbuhan obat. Karenanya upaya penggalian, penelitian dan pengembangan pemanfaatan tumbuhan obat perlu ditingkatkan terus. Hal itu mungkin direalisasikan, mengingat di Indonesia terdapat kurang lebih 40.000 jenis tumbuhan dan baru 1.000 jenis yang telah dimanfaatkan sebagai obat.

Dari informasi yang berhasil dikumpulkan, diketahui bahwa salah satu tumbuhan obat yang telah banyak digunakan oleh masyarakat secara turun temurun adalah daun Ngokilo atau daun Sambungnyawa [Gynura procumbens (Lour.) Merr.] untuk menurunkan kadar kolesterol darah, mengobati diabetes,

mengobati tumor, penyakit hati (lever) sakit uluhati, wasir, kurap atau terkena bisa ular. Salah satu prinsip pengobatan dengan obat alam yang tengah berkembang saat ini adalah melalui peningkatan sistem imunitas. Jika penyakit tersebut adalah penyakit yang dapat dikategorikan penyakit infeksi, maka sistem imun dapat membunuh penyebab penyakit melalui mekanisme tidak langsung dengan peningkatan per-tahanan seluler. Agar sistem imun tumbuh dapat melawan penyebab penyakit maka aktivitas sistem imun penderita perlu ditingkatkan.

Dalam kaitan ini telah dilakukan penelitian terhadap perasan daun Ngokilo [Gynura procumbens (Lour.) Merr.] untuk mengetahui pengaruhnya terhadap sistem imunitas mencit putih. PERUMUSAN MASALAH

Perlu dibuktikan ada atau tidaknya pengaruh perasan daun Ngokilo segar dengan pemberian secara oral kepada mencit putih terhadap sistem imunitasnya. Tujuan penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah perasan daun Ngokilo segar yang diberikan secara oral kepada mencit putih dapat mempengaruhi sistem imunitasnya. Hipotesis

Pemberian perasan daun Ngokilo segar secara oral kepada mencit putih bersamaan dengan penyuntikan antigen dapat meningkatkan sistem imunitasnya. Manfaat penelitian

Manfaat yang dapat diharapkan dari penelitian ini adapah diperolehnya informasi ilmiah tentang pemanfaatan perasan

Cermin Dunia Kedokteran No. 127, 2000 22

Page 24: Kanker dan antioksidan

daun Ngokilo segar secara oral pada mencit putih untuk meningkatkan aktivitas sistem imunitasnya. TINJAUAN PUSTAKA Tumbuhan asal 1) Klasifikasi tumbuhan(1) Divisio : Spermatophyta Subdivisio : Magnoliophytina (Angiospermae) Classis : Magnoliatae (Dicotyledoneae) Subclassis : Sympetalae Ordo : Asterales Familia : Asteraceae Genus : Gynura Species : Gynura procumbens (Lour.) Merr. 2) Sinonim(2)

Sinonim : Cacalia procumbens Lour. Cacalia satmentosa B1. Gynura sarmentosa (B1.) DC. 3) Pertelaan tumbuhan(2,3)

Tumbuhan ini merupakan terna, memanjat atau menjalar, panjang 1-6 m, jika dimemarkan memberikan bau aromatik. Batang tumbuh ke atas, di kaki batang terbentuk akar, batang bersegi, agak berdaging, bercabang, berwarna keunguan dan di bagian ujung tidak berbulu atau berbulu jarang. Daun tunggal, bentuk bunder panjang, ujung meruncing. Bunga berwarna jingga, kuning kemudian coklat kemerahan. 4) Kandungan kimia

Daun Ngokilo [Gynura procumbens (Lour.) Merr.] me-ngandung senyawa-senyawa aromatik yang tersusun dari unsur-unsur kalium, kalsium, magnesium dan fosfor. Pada skrining fitokimia diketahui bahwa daun Ngokilo mengandung pula senyawa-senyawa organik, yakni senyawa karbohidrat, senyawa pereduksi, lendir, flavonoid, steroid, triterpenoid dan protein(4). Di samping itu dari penelitian terdahulu diketahui bahwa daun Ngokilo mengandung pula enzima asparaginase(5). 5) Manfaat dan kegunaan(3,6)

Manfaat dan kegunaan daun Ngokilo antara lain adalah untuk obat penurun kadar kolesterol darah, diabetes, tumor, penyakit hati (lever), sakit ulu hati, wasir, kurap atau menetralkan bisa ulat yang mengenai tubuh. 6) Toksisitas akut (LD50)

Berdasarkan penelitian sebelumnya(7) dengan mengguna-kan label dan rumus Weil C.S. dapat diperoleh nilai LD50 calon obat (perasan daun Ngokilo) tersebut, yakni 44770 mg/kg berat badan, dengan kisaran dosis antara 21615 mg/kg berat badan sampai 92730 mg/kg berat badan. Sistem pertahanan tubuh(8,9)

Sejak lahir individu sudah dilengkapi dengan dua jenis sistem pertahanan, sehingga tubuh dapat mempertahankan keutuhannya dari berbagai gangguan yang datang dari luar maupun dari dalam tubuh (Gambar 1). a) Sistem imun nonspesifik

Sistem imun nonspesifik merupakan pertahanan tubuh ter-depan dalam menghadapi serangan berbagai mikroorganisme,

karena dapat memberikan respon langsung terhadap antigen, sedang sistem imun spesifik membutuhkan waktu untuk SISTEM IMUN NON SPESIFIK

FISIK LARUT SELULER

*Biokimia Asam lambung Lisozim Laktoterin Asam n

euraminik

umoral *HKomplemen Interferon CRP

Fagosit Sel NK Kulit

Selaput

lendir

SPESIFIK

HUMORAL SELULAR Sel B Sel T Gambar 1. Sistem Pertahanan Tubuh (Baratawidjaja, 1988) mengenal antigen terlebih dahulu sebelum dapat memberikan responnya. Sistem tadi disebut nonspesifik karena tidak ditujukan terhadap mikroorganisme tertentu. Komponen- komponen sistem imun nonspesifik terdiri atas : 1) Pertahanan fisik/mekanik

Sistem pertahanan fisik/mekanik ini melibatkan kulit, selaput lendir, silia saluran napas, proses batuk dan bersin untuk mencegah masuknya berbagai kuman patogen kedalam tubuh. Kulit yang rusak misalnya oleh luka bakar dan selaput lendir yang rusak antara lain oleh asap rokok, akan mening-gikan resiko infeksi. 2) Pertahanan biokimia

Bahan yang disekresi mukosa saluran napas, kelenjar sebaseus kulit, telinga, spermin dalam semen mengandung bahan yang berperanan dalam pertahanan tubuh secara biokimiawi. Asam hidroklorida dalam lambung, lisozim dalam keringat, ludah, air mata dan air susu dapat melindungi tubuh terhadap berbagai kuman gram positif dengan jalan meng-hancurkan dinding selnya. Air susu ibu juga mengandung laktoferin dan asam neuroaminat yang mempunyai sifat antibakterial terhadap E. coli dan Staphylococcus. b) Sistem imun spesifik

Berbeda dengan sistem imun nonspesifik, sistem imun spesifik mempunyai kemampaun untuk mengenal benda yang dianggap asing bagi dirinya. Benda asing yang pertama kali muncul dalam tubuh segera dikenal oleh sistem imun spesifik, sehingga terjadi sensitisasi sel-sel sistem imun tersebut. Bila sel sistem imun tersebut berpapasan kembali dengan benda asing yang sama, maka benda asing yang terakhir ini akan dikenal lebih cepat den kemudian dihancurkan olehnya.

Oleh karena sistem tersebut hanya dapat menghancurkan benda asing yang sudah dikenal sebelumnya, maka sistem ini disebut spesifik. Sistem imun spesifik dapat bekerja tanpa bantuan sistem imun nonspesifik. Untuk menghancurkan benda asing yang berbahaya bagi badan; tetapi pada umumnya

Cermin Dunia Kedokteran No. 127, 2000 23

Page 25: Kanker dan antioksidan

terjalin kerjasama yang baik antara antibodi-komplemen fagosit dan antara sel T-makrofag. 1) Sistem imun spesifik humoral

Sel B merupakan sel-sel yang berdeferensiasi dalam sumsum tulang, jaringan limfoid sekunder yaitu meliputi limfonodus, limpa da nodulus limfatikus yang terletak di sepanjang saluran pernafasan, pencernaan dan urogenital, tepatnya dalam lamina propria saluran ini. Adanya rangsangan antigen dan dengan bantuan sel T, sel B akan berkembang menjadi sel plasma dan membentuk antibodi. 2) Sistem imun spesifik selular

Sel T mengalami perkembangan dan pematangan dalam organ timus. Dalam timus, sel T mulai berdeferensiasi dan memperoleh kemampuan untuk menjalankan fungsi farmako-logi tertentu. Berdasarkan perbedaan fungsi dan kerjanya, sel T dibagi dalam beberapa subpopulasi, yaitu sel T sitotoksik (Tc), sel T penindas atau supresor (Ts) dan sel T penolong (Th). Perbedaan ini tampak pula pada permukaan sel-sel tersebut. 3) Makrofag atau “Antigen Presenting Cell” (APC)

Kerja sel-sel APC dipengaruhi oleh Macrophage Activat-ing Factor (MAF), interferon gamma dan Interleukin-3 (IL-3) yang dihasilkan oleh sek T. Faktor-faktor ini bersifat sitolitik terhadap sel-sel APC. Sel-sel APC merupakan sel-sel yang berinti tunggal dari seri-seri monosit makrofag yang ber-peranan penting dalam menimbulkan respon imun.

Rangsangan antigen akan meningkatkan kerja sel T penolong (Th) untuk merangsang bekerjanya sel B. Sel B kemudian akan berproliferasi dan berdiferensiasi membentuk sel plasma yang kemudian akan menghasilkan antibodi. c) Antibodi

Antibodi adalah imunoglobulin (Ig) yang merupakan golongan protein yang dibetuk oleh sel plasma yang berasal dari proliferasi sel B akibat adanya kontak dengan antigen. Antibodi yang terbentuk secara spesifik ini akan mengikat antigen sejenis yang baru lainnya.

Bila protein serum tersebut dipisahkan dengan cara elektroliferesis, maka imunoglobulin ditemukan terbanyak dalam fraksi globulin gamma, meskipun ada beberapa imuno-globulin yang juga ditemukan dalam fraksi globulin alfa dan beta.

Dua fragmen imunoglobulin yang identik disebut Fab yang merupakan bagian imunoglobulin yang mengikat antigen serta bereaksi dengan determinan antigen dan hapten. Bagian tunggal imunoglobulin disebut Fc oleh karena mudah di-kristalkan (c = crystalible).

Imunoglobulin G (IgG) merupakan komponen utama imunoglobulin serum, dengan berat molekul 160.000. Kadar-nya dalam serum sekitar 13 mg/mL, merupakan 75% dari semua imunoglobulin. IgG dan komplemen bekerja saling membantu sebagai opsonin pada pemusnahan antigen.

IgG juga berperanan pada imunitas selular, karena dapat merusak antigen selular melalui interaksi dengan sistem komplemen atau melalui efek sitolitik killer cell (sel K), eosinofil, neutrofil, yang semuanya mengandung reseptor untuk Fc dari IgG. Sel K merupakan efektor antibody dependent cellular cytotoxicity cell (ADCC).

ADCC tidak hanya merusak sel tunggal, tetapi juga

mikroorganisme multiselular seperti telur skistosoma. Peranan efektor ADCC ini penting pada penghancuran kanker, pe-nolakan transplan dan penyakit autoimun, sedang ADCC melalui neutrofil dan eosinofil berperan pada infestasi parasit. Kadar IgG meninggi pada infeksi penyakit kronis dan penyakit autoimun. d) Limpa

Limpa adalah organ imun sekunder yang berperan penting dalam pertahanan tubuh spesifik. Terdapat hubungan yang erat antara perubahan ukuran limpa pada kasus-kasus imunologik yang kemudian diikuti dengan peningkatan jumlah limfosit. Sesuai dengan pernyataan bahwa adanya pembesaran ukuran limpa disebabkan oleh kerja limpa yang lebih berat dalam memproduksi sel-sel limfosit. RANCANGAN PENELITIAN A) Determinasi tumbuhan

Tumbuhan yang akan diuji dideterminasi di Herbarium Bogoriense, Balitbang Botani, Puslitbang Biologi, LIPI Bogor. Determinasi dilakukan untuk mendapatkan klasifikasi dan nama tumbuhan yang tepat. B) Bahan percobaan adalah daun Ngokilo yang dikumpul-kan dari kebun Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat (Balittro) Bogor. Digunakan daun segar yang berwarna hijau dan dibersihkan dari bahan organik asing serta kotoran lainnya dengan cara pencucian dengan air, kemudian diangin-anginkan di udara sampai tidak terlihat sisa-sisa air di permukaan daun. C) Penyediaan dan persiapan hewan coba

Digunakan hewan coba mencit putih galur DDY (Deutsch Democratic Yokohama), jantan, berat badan 25-35 g, diperoleh dari Bagian Perhewanan Pusat Pemeriksaan Obat dan Makan-an (PPOM).

Sebelum penelitian dilakukan, masing-masing hewan dipelihara selama satu minggu untuk penyesuaian diri terhadap lingkungan, menyeragamkan makanannya dan diamati ke-sehatannya. Selama pemeliharaan bobot hewan coba diperiksa dan dinilai sehat untuk percobaan jika selama pemeliharaan bobot hewan coba tersebut tetap atau bertambah serta perilaku-nya normal. D) Analisis karakteristik bahan uji (daun Ngokilo) 1) Pemeriksaan makroskopik

Pengamatan pada analisis makroskopik meliputi 2 hal pokok, yakni ukuran dan ciri ciri khas bahan uji. 2) Pemeriksaan organoleptik

Pemeriksaan ini dilakukan terhadap warna, rasa dan bau bahan uji. 3) Pemeriksaan mikroskopik

Pemeriksaan ini dilakukan terhadap penampang melintahg daun Ngokilo melalui ibu tulang daunnya serta serbuk daun Ngokilo yang telah dikeringkan untuk mengetahui fragmen-fragmen pengenalnya, seperti rambut penutup, rambut kelenjar, hablur kalsium oksalat, tipa stomata dan tipe berkas pengangkut. 4) Pemeriksaan mikroskopik

Pemeriksaan ini dilakukan untuk mengetahui gambaran

Cermin Dunia Kedokteran No. 127, 2000 24

Page 26: Kanker dan antioksidan

kromatogram kandungan kimia daun Ngokilo. E) Penelitian Aktivitas Sistem Imun

Untuk penelitian aktivitas sistem imun ini dilakukan: 1) Pengamatan bobot badan hewan coba

Selama dilakukan penelitian setiap minggu dilakukan pengamatan bobot badan hewan coba untuk mengetahui apakah metabolisme hewan coba dipengaruhi oleh sediaan uji yang digunakan atau tidak. Di samping itu pengamatan bobot badan hewan coba itu untuk mengetahui juga apakah perlakuan yang dilakukan, yakni pengambilan darah setiap minggu dapat mempengaruhi bobot badan hewan coba. 2) Pembacaan titer antibodi terhadap SDMD

Hewan coba diimunisasi dengan SDMD (sel darah merah domba) dengan cara penyuntikan intra peritoneal, 1 jam kemudian perasan segar daun Ngokilo diberikan per oral kepada mencit selama 7 hari berturut-turut. Pengukuran titer antibodi terhadap SDMD dilakukan dengan Hemaglutinasi test. Pengamatan dilakukan tiap minggu selama 3 minggu berturut-turut.

Antibodi adalah Imunoglobulin yang merupakan golongan protein yang dibentuk oleh sel plasma yang berasal dari proliferasi sel B akibat adanya kontak dengan antigen. Titer antibodi yang tinggi menunjukkan bahwa sediaan uji dapat meningkatkan sistem imun. 3) Pengamatan berat relatif limpa

Berat relatif limpa (berat limpa/bobot akhir badan mencit) diukur dengan penimbangan pada neraca Sartorius di akhir perlakuan. Pengamatan ini dilakukan, karena kerja limpa yang lebih berat dalam memproduksi sel-sel limfosit diperkirakan dapat memperbesar ukuran limpa. F) Analisis data

Pengolahan data secara statistik untuk mengetahui perbedaan masing-masing perlakuan dengan melakukan uji sebagai berikut: a. Bila data distribusinya normal dan homogen, dilakukan uji Anova. b. Bila data distribusinya tidak normal dan homogen, digunakan uji non parametrik Kruskall-Wallis. ALAT, BAHAN DAN METODE A) Bahan untuk penelitian aktivitas sistem imun dan hewan coba : 1. Sediaan uji : perasan segar daun Ngokilo 2. Hewan coba : mencit putih, jantan, galur DDY, berat

badan 25-35 g 3. Antigen : sel darah merah domba (SDMD) diperoleh

dari Laboratorium Patologi Klinik FKUI, Jakarta. Jarak rambat Pereaksi Deteksi.

4. Larutan Phosphate Buffered Saline (PBS): terdiri dari larutan A dan larutan B. Larutan A : Larutan NaH2P04. H20 1,38 g/L dan NaCl 8,3 g/L. Larutan B : Larutan NaH2P04. 1,42 g/L dan NaCl 8,5g/L. 280 mL. Larutan A ditambahkan pada 720 Larutan B untuk mendapatkan Larutan PBS dengan pH = 7,2.

5. Eter untuk pembius mencit. 6. Aquadest

7. Alkoho1 96%. B) Bahan untuk pemeriksaan mikroskopik 1. Air 2. Kloralhidrat LP 3. Floroglusin LP 4. HCI LP C) Bahan untuk pemeriksaan mikroskopik 1. Lempeng silika gel 60 GF 254 2. zat warna II LP 3. Metil etil keton 4. Aluminium klorida P 5. Metanol P 6. Etil asetat P 7. Asam formiat P D) Alat 1. Kandang mencit 2. Juicer (alat bantu peras) merk “National” 3. Timbangan hewan merk “Fuji” 4. Timbangan analitik merk “Sartorius” 5. Micrometer pipet merk Eppen dorf 20-200L 6. Heparin Capiller Tube 7. Pipet tips 8. Microcentrifuge tube 1,5 cc 9. Drope plate 10. Syringe 1 cc; 5 cc 11. Sonde 12. Kain penyaring 13. Gelas ukur 14. Beaker glass 15. Alat-alat bedah ringan 16. Meja bedah 17. Sungkup pembiusan 18. Kapas 19. Tangas air 20. Mikroskop 21. Chamber E) Metode pemeriksaan KLT Lempeng : Silika Gel 60 GF 254 Penyari : Metanol P Jumlah totolan : 20 uL Cairan elusi : Etil asetat-etil metil keton-asam formiat (60 - 30 - 4) Jarak rambat : 15 cm Pereaksi : Aluminium klorida Deteksi : Sinar biasa Sinar ultra violet 366 run Larutan cuplikan : 20 L perasan segar daun Ngokilo diuapkan di atas tangas sampai kering pada suhu 60° C. Tambahkan 10 mL metanol, panaskan di atas tangas air selama 10 menit, dinginkan, saring, cuci endapan dengan metanol, pekatkan di atas tangas air hingga diperoleh 5 mL filtrat. F) Metode penelitian aktivitas sistem imun 1) Penyiapan simplisia uji dan hewan coba a. Penyiapan simplisia

Kumpulkan daun tumbuhan Ngokilo [Gynura procumbens (Lour.) Men.] yang telah dideterminasi. Gunakan daun segar yang berwarna hijau dan berukuran sedang. Bersihkan dari bahan organik asing dan kotoran lainnya dengan cara mencuci dengan air beberapa kali. Tiriskan dan angin-anginkan di udara terbuka hinga bebas dari air cucian. Daun telah siap untuk pengujian. b. Adaptasi hewan coba

Adaptasi terlebih dahulu mencit terhadap lingkungan

Cermin Dunia Kedokteran No. 127, 2000 25

Page 27: Kanker dan antioksidan

selama 7 hari untuk menyesuaikan dengan lingkungan penelitian, seragamkan makanannya dan amati kesehatannya. 2) Penyediaan perasan segar daun Ngokilo

Timbang sejumlah tertentu daun segar yang siap diuji, masukkan ke dalam juicer sampai diperoleh perasan daun Ngokilo. Timbang ampas yang ada dan peras kembali. Satukan hasil perasan yang diperoleh. Hitung kadar tiap mL perasan dengan membandingkan bobot daun dengan volume perasan yang diperoleh, hingga diperoleh kadar dengan satuan mg/mL. Jadikan kadar dalam tiap mL ini sebagai konsentrasi perasan daun Ngokilo tersebut serta patokan dalam pemberian dosis. Jika diperlukan konsentrasi yang rendah, encerkan perasan daun tersebut dengan air suling. 3) Perhitungan dosis

Dari percobaan pendahuluan perkiraan jumlah daun yang ditimbang untuk dijadikan perasan, didapatkan bahwa 30 g daun segar menghasilkan perasan 10 mL. Dengan demikian kadar 3000 mg/mL dapat dijadikan sebagai patokan dosis. Nilai LD50 perasan daun Ngokilo secara peritoneal = 44770 mg/kg bobot badan(7), sehingga diperoleh nilai LD50 perasan daun Ngokilo segar per oral sebesar 134310 mg/kg bobot badan. Dosis yang diberikan pada mencit dalam pengujian ini adalah : a. Dosis I = 89540 mg/kg bobot badan (BB) = ± 900 mg/ l0 gBB b. Dosis II = 8954 mg/kg BB = ± 90 mg/10 g BB. c. Dosis III = 895,4 mg/kg BB = ± 9 mg/10 g BB. 4) Pembuatan suspensi antigen

Tampung darah domba dalam tabung bersih dan kering yang berisi serbuk EDTA sebagai antikoagulan. Untuk 1 mL darah domba, diperlukan 1 mg EDTA. Pisahkan darah merah domba (SDMD) dari plasmanya dengan pemusingan pada sentri fuge 1500 rpm.

Pisahkan plasma dan cuci sel darah merah dengan menambahkan PBS dalam jumlah besar dan tabung berisi suspensi tersebut dibolak-balik beherapa kali dan pusingkan kembali. Lakukan pencucian paling sedikit 3 kali. Setelah pencucian selesai buanglah PBS dan diperoleh SDMD 100%.

Kemudian pada SDMD 100% tadi tambahkan PBS dengan volume sama, hingga diperoleh suspensi SDMD 50%. Siapkan antigen yang digunakan dengan mengencerkan 0,2 mL suspensi SDMD 50% dengan 9,8 mL PBS, sehingga diperoleh 10 mL suspensi antigen (SDMD 1%). 5) Penelitian aktivitas sistem imun

Kelompokkan secara acak mencit jantan menjadi 5 kelompok, masing-masing terdiri dari 10 ekor mencit, mewakili 5 perlakuan, yaitu : a. Kelompok A : Mendapat imunisasi SDMD 1% secara intraperitonial serta memperoleh perasan daun Ngokilo per oral dengan dosis 9 mg/l0 g BB. b. Kelompok B : Mendapat imunisasi SDMD 1% secara intraperitonial serta memperoleh perasan daun Ngokilo per oral dengan dosis 90mg/l0 g BB. c. Kelompok C : Mendapat imunisasi 1% secara intraperitonial serta memperoleh perasan daun Ngokilo per oral dengan dosis 900mg/l0 g BB (berat badan). d. Kelompok D : Mendapat aquadest per oral sebagai

kontrol. e. Kelompok E : Mendapat imunisasi SDMD 1% secara intraperitonial serta memperoleh aquadest per oral sebagai kontrol. 6) Pengamatan a. Bobot Badan

Selama masa penelitian, lakukan pengamatan keadaan umum hewan coba meliputi penimbangan bobot badan setiap minggu untuk melihat ada atau tidaknya gejala keracunan akibat bahan uji dan gejala anemia akibat pengambilan darah. b. Hemoglutinasi Test

Ambil darah melalui vena plexus orbitalis di sudut mata dengan menggunakan pipa kapiler. Pusingkan darah yang diperoleh pada sentrifuge selama 5 menit pada 2000 rpm. Simpan darah yang telah menggumpal itu dalam almari pembeku pada 20°C sampai waktu akan dipakai untuk memperoleh serum sebanyak mungkin.

Hangatkan serum pada tangas air pada suhu 56 °C selama setengah jam untuk menghilangkan aktivitas komplemen serum, yang akan mengganggu pembacaan titer. Encerkan secara bertingkat serum yang telah didekomplementasi itu pada sederet drople plate (lempeng tetes) dengan kelipatan dua. Seluruh pengenceran dilakukan dengan menggunakan larutan PBS pH 7,2. Cekungan lempeng tetes pertama dalam tiap deretan diisi dengan 100 uL serum yang diperiksa, cekungan kedua diisi dengan serum yang telah diencerkan 2x, cekungan ketiga diisi dengan serum yang telah diencerkan 4x. Selanjutnya kedalam setiap cekungan lempeng tetes tersebut ditambah dengan 100 uL suspensi SDMD 1% dalam PBS. Setelah itu lempeng tetes digoyang-goyangkan agar suspensi SDMD 1% dalam tiap cekungan lempeng tetes homogen.

Reaksi hemaglutinasi dibiarkan berlangsung semalam dalam suhu kamar. Pembacaan titer hemaglutinin dilakukan keesokan harinya. Hemaglutinasi dianggap positip jika seluruh atau sebagian besar permukaan yang cekung dasar lempeng tetes ditutupi oleh lapisan SDMD secara merata. Titer hemaglutinin dinyatakan sebagai kebalikan pengenceran serum yang masih menunjukkan hemaglutinasi. c. Bobot relatif limpa

Pada akhir perlakuan di minggu ketiga (M III) hewan coba dimatikan, bulu pada bagian ventral dibasahi dengan air supaya tidak mengganggu pembedahan untuk mengangkat limpa. Setelah diangkat limpa dibersihkan dan jaringan lain yang melekat disekitarnya, kemudian diletakkan di atas kertas saring. Kemudian limpa ditimbang dan ditentukan berat relatifnya. HASIL PENELITTAN 1) Determinasi tumbuhan

Determinasi tumbuhan menunjukkan bahwa tumbuhan yang diteliti adalah Gynura procumbens (Lour.) Merr., suku Asteraceae (Compositae). 2) Pemeriksaan pendahuluan simplisia a) Pemeriksaan makroskopik

Hasil pemeriksaan makroskopik simplisia menunjukkan

Cermin Dunia Kedokteran No. 127, 2000 26

Page 28: Kanker dan antioksidan

bahwa simplisia menunjukkan ciri-ciri seperti data simplisia daun Ngokilo [Gynura procumbens (Lour) Merr.] dalam Materia Medika Indonesia. b) Pemeriksaan organoleptik

Hasil pemeriksaan organoleptik terhadap simplisia menunjukkan bahwa simplisia tersebut menunjukkan ciri-ciri organoleptik seperti data simplisia daun Ngokilo [Gynura procumbens (Lour) Merr.] dalam Materia Medika Indonesia. c) Kromatografi lapis tipis

Hasil pemeriksaan secara kromatografi lapis tipis menunjukkan bahwa simplisia menunjukkan pola bercak yang sama dengan pola bercak simplisia daun Ngokilo [Gynura procumbens (Lour) Merr.] dalam Materia Medika Indonesia. 3) Penelitian aktivitas sistem imun a) Pengamatan bobot badan mencit

Hasil pengamatan rata-rata selisih bobot badan mencit tertera dalam tabel 1. Tabel 1. Rata-rata bobot badan mencit sebelum dan sesudah perlakuan

(gram).

Kelompok

Rata-rata bobot badan sebelum per-

lakuan (gram)

Rata-rata bobot badan setelah per-

lakuan (gram)

Selisih (gram)

A (Dosis 9 mg/l0 g BB + I)

28,9

33,5

4,60

B (Dosis 90 mg/l0 g BB + I) 29,1 34,4 5,30 C (Dosis 900 mg/10 g BB + I) 29,3 36,8 7,50 D (Aquadest + Non I) 29,1 37,3 8,20 E (Aquadest + I) 29,4 35,1 5,70

Keteranan : I : Imunisasi dengan SDMD 1% Non I : Tanpa imunisasi dengan SDMD 1%

Gambar 2. Rata-rata pertambahan bobot badan mencit sebelum dan

sesudah perlakuan. b) Pembacaan titer antibodi terhadap SDMD

Hasil rata-rata pembacaan antibodi serum darah mencit terhadap SDMD selama 3 minggu perlakuan dapat dilihat pada tabel 2.

Tabel 2. Rata-rata pembacaan titer antibodi serum darah mencit terhadap SDMD.

Rata-rata titer antibodi terhadap SDMD

Kelompok Minggu I Minggu II Minggu III

A (Dosis 9 mg/l0g BB+I) 75,2 (16-128) 169,6 (8-256) 53,6 (8-256) B (Dosis 90 mg/l0g BB+I) 38,8 (4-64) 29,6 (8-64) 20,0 (8-32) C (Dosis 900 mg/10g BB+I) 95,2 (8-256) 72,8 (8-256) 57,6 (16-128)

D (Aquadest + Non I) 3,37 (1-8) 3,4 (2-8) 3,4 (2-8) E (Aquadest + I) 8,4 (4-16) 8,6 (2-16) 5,1 (1-16)

Hasil sidik ragam rata-rata titer antibodi serum darah mencit terhadap SDMD dapat dilihat pada tabel 3.

Gambar 3. Pola perkembangan titer antibodi serum darah mencit

terhadap SDMD. Tabel 3. Sidik ragam rata-rata titer antibodi serum darah mencit

terhadap SDMD.

F Tabel Sumber Keragaman Db Jk KT F 0,05 0,01 Dosis 4 145,2396 36,3099 28,28** 2,58 3,78 Galat (D) 45 36,4911 0,8109 Minggu 2 3,7554 1,8777 1,46 3,10 4,85 DM 8 2,1658 0,2707 0,21 2,04 2,72 Galat (m) 90 115,5623 1,2840

Jumlah 149 c) Pengamatan bobot limpa mencit

Hasil pengamatan rata-rata bobot relatif limpa mencit dapat dilihat dalam tabel 4. Tabel 4. Rata-rata bobot raltif limpa mencit pada minggu ke-3.

Kelompok Rata-rata bobot relatif limpa mencit pada minggu ke III

A (Dosis 9 mg/l0g BB + I) 3,88 + 1,99 B (Dosis 90 mg/10g BB + I) 2,14 + 0,43 C (Dosis 900 mg/10 g BB + I) 2,93 + 1,00 D (Aquadest + Non I) 3,17 + 0,71 E (Aquadest + I) 2,80 + 0,89

Cermin Dunia Kedokteran No. 127, 2000 27

Page 29: Kanker dan antioksidan

Gambar 4. Grafik rata-rata bobot relatif limpa mencit pada minggu

ke-3. PEMBAHASAN

Penelitian terdahulu menunjukkan bahwa daun Ngokilo mengandung enzim asparaginase (protein), yang inaktif atau rusak pada proses pemanasan(5). Karena itulah penelitian ini menggunakan perasan daun Ngokilo segar, dan bukan infus.

Sebagai hewan coba dipilih mencit, karena informasi me-nyatakan bahwa banyak penelitian toksikologi menggunakan mencit. Di samping itu pemeliharaannya mudah dengan biaya yang relatif murah. Dipilih mencit jantan, karena tidak dipengaruhi oleh siklus hormonal, yang dapat mempengaruhi hasil penelitian. Hasil penelitian dipengaruhi juga oleh variasi biologik hewan coba, misalnya jenis, berat badan, umur, jenis kelamin, makanan dan kondisi lingkungan.

Digunakan dosis tinggi yang sedekat mungkin dengan LD50 nya, namun belum menyebabkan kematian hewan coba. Nilai LD50 per oral 3-5 kali lebih besar LD50 suntikan, karena secara oral obat dapat dipengaruhi oleh absorbsi, terikatnya obat oleh protein dan metabolisme obat dalam saluran cerna.

Sebelum diberi sediaan uji, perasan daun Ngokilo segar, hewan coba diimunisasi dengan Sel Darah Merah Domba (SDMD) 1% secara intraperitonial. Imunisasi ini dimaksudkan untuk memberikan respon imun pada hewan coba. Sediaan uji dimaksudkan untuk lebih meningkatkan respon imun tersebut.

Pemberian sediaan uji dilakukan selama 7 hari berturut- turut, karena dosis perasan daun Ngokilo tersebut adalah dosis pemeliharaan, seperti halnya daun Ngokilo yang dimakan setiap hari sebagai lalab selama beberapa waktu.

Pengambilan darah dilakukan pada hari ke 8 (minggu ke I), agar peningkatan respon imun telah dapat dilihat. Diulangi pada hari ke-15 (minggu II), karena diperkirakan respon imun masih meningkat. Pengambilan darah diulangi lagi pada hari-22 (minggu III) untuk mengetahui apakah sediaan uji masih dapat meningkatkan/mempertahankan peningkatan respon imun pada 2 minggu setelah pemberian sediaan uji dihentikan.

Hasil pengamatan bobot badan mencit menunjukkan bahwa semua hewan coba bobot badannya meningkat, berarti pemberian sediaan uji dan pengambilan darah tidak mem-pengaruhi bobot badan mencit. Di samping itu tidak ada hewan coba yang mengalami anemia akibat pengambilan darah setiap minggu (bagian dalam kelopak mata mencit tidak pucat).

Perhitungan statistik menunjukkan banwa tidak ada perbedaan yang bermakna antara kelompok mencit yang diberi

sediaan uji dan kelompok mencit kontrol (P>0,05). Pada minggu pertama-rata-rata titer antibodi serum darah

mencit terhadap SDMD tertinggi terdapat pada Kelompok C (dosis 900 mg/10g BB) sebesar 92,5 (8-256), diikuti oleh Kelompok A (dosis 9mg/10g BB) yakni 75,2 (16-128), lalu Kelompok B (dosis 90mg/10g BB), yaitu 38,8 (4,64), lalu Kelompok E (Aquadest + imunisasi) sebesar 8,4 (4-16) dan terakhir Kelompok D (Aquadest + Non Imunisasi) yakni 3,7 (1-8). Kemudian pada minggu kedua dan ketiga titer ini turun untuk semua kelompok.

Untuk perhitungan statistik, data pengamatan titer antibodi serum darah mencit terhadap SDMD ditransformasikan dengan [2 log (titer)] + 1 dan diuji kenormalan distribusi dan homo-genitasnya. Ternyata data tersebut bervarians homogen.

Uji anova menunjukkan bahwa ada perbedaan yang sangat nyata antara dosis perlakuan (p>0,01), namun pola perkem-bangan titer antibodi setiap minggunya tidak menunjukkan perbedaan bermakna (P<0,05).

Uji beda nyata terkecil menunjukkan bahwa pada minggu pertama (MI) terdapat perbedaan nyata antara Kelompok A dan Kelompok B (P<0,05). Sedang antara Kelompok A dengan kedua kelompok kontrol terdapat perbedaan yang sangat nyata (P<0,01). Hasil ini terus bertahan sampai akhir masa perlakuan di minggu ketiga. Juga terlihat pada Kelompok B yang mempunyai perbedaan nyata dengan kelompok C dan memiliki perbedaan sangat nyata dengan kelompok kontrol. Hasil inipun terus bertahan sampai minggu kedua, tetapi di minggu ketiga Kelompok B memiliki perbedaan sangat nyata dengan Kelompok C.

Kelompok C memiliki perbedaan sangat nyata dengan Kelompok kontrol (P<0,01) dan berlangsung mulai dari minggu pertama sampai akhir masa perlakuan di minggu ketiga. Antara kedua Kelompok kontrol sendiri di minggu per-tama memiliki perbedaan yang sangat nyata, yang bertahan sampai minggu kedua. Hanya di minggu ketiga antara kedua kelompok kontrol ini tidak mempunyai perbedaan yang nyata.

Perhitungan statistik menunjukkan bahwa terjadi pening-katan titer antibodi serum darah mencit terhadap SDMD pada Kelompok A (dosis 9 mg/l0g BB), Kelompok B (dosis 90 mg/10g BB) dan Kelompok C (dosis 900 mg/10g BB), jika dibandingkan dengan Kelompok kontrol ( D dan E). Mulai minggu pertama sampai ke minggu ketiga nilai titer Kelompok Kontrol rata-ratanya konstan sesuai dengan hasil penelitian Emma (1993), yang menyatakan bahwa masuknya benda asing atau antigen dalam tubuh, secara normal akan meningkatkan antibodi dalam darah. Antibodi tersebut akan mencapai jumlah maksimal kemudian akan turun kembali.

Hasil pengamatan bobot limpa menunjukkan bahwa rata-rata bobot relatif limpa Kelompok A = 3,88, Kelompok B = 2,14 mg, Ketompok C = 2,93 mg, Kelompok D = 3,17 mg dan Kelompok E = 2,80 mg.

Uji statistik, yakni uji :Distribusi Frekuensi dan uji Homogenitas menunjukkan bahwa data bobot relatif limpa distribusinya tidak normal dan tidak homogen, sehingga dipilih uji Statistik Non Parametrik Kruskall Wallis. Hasilnya menunjukkan adanya perbedaan sangat nyata antara Kelompok perlakuan (P>0,01). Untuk mengetahui adanya perbedaan

Cermin Dunia Kedokteran No. 127, 2000 28

Page 30: Kanker dan antioksidan

3) Pemberian perasan daun Ngokilo pada mencit dengan dosis 9 mg/l0 g BB, 90 mg/10 g BB, 900 mg/10 g BB secara oral meningkatkan respon sistem imun dengan meningkatkan titer antibodi terhadap SDMD.

antara Kelompok sediaan uji dengan Kelompok kontrol dilanjutkan dengan uji Beda Nyata Terkecil. Ternyata ada perbedaan sangat nyata antara Kelompok A (dosis 9 mg/l0g BB) dengan kelompok B (dosis 90 mg/l0g BB), tetapi tak ada perbedaan nyata antara Kelompok A dan kelompok kontrol D dan E (P>0,05). Kelompok B memiliki perbedaan sangat nyata dengan Kelompok D, yaitu Kelompok koatrol Aquadest. Sedang Kelompok C tidak memiliki perbedaan nyata dengan Kelompok kontrol D dan E. Hasil pengamatan bobot relatif limpa mencit pada minggu ketiga (M III) perlakuan tidak dapat ditarik kesimpulan. Mungkin karena pengamatan dilakukan pada minggu ketiga perlakuan atau 2 minggu setelah dihen-tikannya pemberian sediaan uji.

4) Dari hasil pengamatan bobot relatif limpa mencit disimpulkan bahwa terdapat perbedaan yang bermakna antara kelompok mencit yang mendapatkan sediaan uji dengan ke-lompok mencit kontrol. SARAN 1) Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai identifi-kasi dan isolasi zat kimia kandungan daun Ngokilo yang dapat meningkatkan respon sistem imun. 2) Perlu dilakukan penelitian tentang aktivitas infus daun Ngokilo terhadap sistem imun.

Dari penelitian ini dapat dinyatakan bahwa pemberian perasan daun Ngokilo segar dapat meningkatkan respon imun, yang ditunjukkan dengan adanya peningkatan titer antibodi. Diduga senyawa kandungan perasan daun Ngokilo segar ber-peran sebagai mitogen. Mitogen merupakan molekul-molekul yang dapat menginduksi sel untuk membelah. Pengaruh mitogen terhadap sel B dapat menginduksi sekresi antibodi dengan cara mengaktifkan terlebih dahulu sel T penolong (Th). Mitogen bereaksi dengan permukaan sel imun dalam tubuh secara tidak spesifik (bukan sebagai antigen) dan meng-hasilkan serangkaian perubahan sel-sel imun tubuh yang sama seperti reaksi terhadap antigen. Jadi dengan adanya mitogen, respon imun berlangsung lebih tinggi dan dalam waktu yang lebih lama.

KEPUSTAKAAN

1. Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Pemanfaatan Tanaman

Obat, Edisi II. 1981, hal. 77, 78, 125. 2. Backer CA, Bakhuizen van den Brink Jr., RC., , Flora of Java, Vol. II,

NVP. Noordhoff Groningen, The Netherlands, blz. 1965; 424-5. 3. Heyne K. Tumbuhan Berguna Indonesia, Jilid III. Terjemahan Badan

Litbang Kehutanan, Jakarta, 1987, hal. 1843. 4. Yurita, AS. Pemeriksaan Pendahuluan Daun Ngokilo, Tugas Akhir

Sarjana Farmasi, Universitas Pancasila. Jakarta, 1983, 5. Mulyadi. Determinasi dan Karakterisasi Asparaginase Daun Gynura

procumbens (Lour.) Merr. Majalah Farmasi Indonesia. 1996. 6. Thomas ANS. Tanaman Obat Tradisional. Penerbit Kanisius,

Yogyakarta. 1989; hal 120. 6. Thomas ANS. Tanaman Obat Tradisional, Penerbit Kanisius,

Yogyakarta. 1989; hal 120- 3. 7. Rimadani. Pemeriksaan Kandungan Fimia, Penentuan LD50 dan Uji

Pendahuluan Perasan Daun Ngokilo terhadap Kadar Kolesterol Total Serum Darah Kelinci, Tugas Akhir Sarjana Farmasi, Universitas Pancasila, Jakarta. 1994 hal 82.

KESIMPULAN 1) Dari determinasi tumbuhan, pemeriksaan habitus, organo-leptik, makroskopik, mikroskopik dan KLT disimpulkan bahwa bahan yang diuji adalah daun Ngokilo [Gynura procumbens (Lour.) Merr.].

8. Baratawidjaya, Kamen Garna. Imunologi Dasar. Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1988; hal. 3-19, 30-41, 81-9.

9. Baker FJ, et al. An Introduction to Medical Laboratory Technology, Fourth Edition, Butter Worths, London, 1970; 456-61.

2) Dari hasil pengamatan bobot badan mencit disimpulkan bahwa terdapat perbedaan bermakna antara kelompok mencit yang mendapatkan sediaan uji dengan kelompok mencit kontrol.

10. Barret, James T. Textbook of Imunology. Third Edition. University of Missouri School of Medicine. Columbia, Missouri, 1978; p. 201-3, 213-6.

11. Mohamad Sadikin. Vitamin A dan Imunitas, Majalah Kedokteran Indonesia, Vol. 45, 1995; 7: hal. 430-5.

Every places is safe to him who lives with justice

(Epitectus)

Cermin Dunia Kedokteran No. 127, 2000 29

Page 31: Kanker dan antioksidan

HASIL PENELITIAN

Radikal Bebas

sebagai Prediktor Aterosklerosis pada Tikus Wistar Diabetes Melitus

Zainal Musthafa*, Gatot S. Lawrence**, Arifin Seweang***

*Cardiology Department, Pelamonia Military Hospital **Vascular Research Unit Wahidin Sudirohusodo General Hospital, and Department of Phatology,

Faculty of Medicine Hasanuddin University ***Departement of Biostatistics, Faculty of Public Healt Hasanuddin University, Makassar

Radikal bebas merupakan senyawa oksigen reaktif yang sitotoksis, dapat berdampak negatif terhadap membran sel, dinucleotida (DNA) dan protein seperti halnya enzim yang ada dalam tubuh. Aterosklerosis sering merupakan komplikasi dari penyakit diabetes mellitus. Informasi terakhir bahwa radikal bebas dapat menjadi penyebab yang mendasari berbagai macam keadaan patologis termasuk penyakit aterosklerosis pada umumnya dan khususnya penyakit jantung aterosklerosis yang sering dikenal penyakit jantung koroner. Penelitian ini mem-berikan informasi tentang peran radikal bebas sebagai prediktor aterosklerosis pada tikus Wistar diabetes mellitus. SUBYEK

Empat kelompok sampel yaitu kelompok tikus Wistar normal sebagai kontrol (S), model hiperlipid (O), model diabetes (DM), dan model DM hiperlipid (DMO) masing-masing 48 ekor, mempunyai berat badan 200 mg, umur 12 minggu. Pembuatan model DM dengan cara induksi Streptozotocine (STZ) 40 mg/kgBB intra peritoneal (i.p) setelah dipuasakan 24 jam. Model hiperlipid dengan pemberian Olive oil. METODA

Bentuk penelitian pre-posttest randomized controlled animal experiment, follow-up postest dilakukan tiap satu minggu sekali selama 10 minggu. Pemeriksaan level radikal bebas dalam hal ini adalah malondialdehyde (MDA) dan penilaian aterosklerosis sebagai data. Penilaian MDA dengan immunoassay dan aterosklerosis dengan histopathologi (H.E).

HASIL

Gambar 1. Hubungan gula darah (GDS) dan radikal babas (MDA) pada

Wistar diabetes hiperlipid (DMO), diabetes (DM), hiperlipid (O) dan Kontrol (S), pada minggu ke empat setelah jadi modal.

Keterangan : Koefisien korelasi (r) GDS dengan radikal babas. - Untuk Kontrol = 0,264 - Untuk Kontrol + Oil = 0,209 - Untuk DM = 0,921 (p< 0,01) - Untuk DM + Oil = 0,965 (p< 0,01) • Hasil uji regresi ganda terhadap faktor yang berpengaruh terhadap

radikal babas menunjukkan hanya variabel gula darah yang berpengaruh terhadap radikal bebas, dimana (p< 0,05).

(Gambar 2). (Gambar 3). DISKUSI

Mean MDA pada model DM (35,87 ± 4,27) dan S (26,23 ± 2,15), ternyata berbeda bermakna dengan p < 0,01. Keadaan ini bisa dijelaskan karena pada DM dengan kenaikan kadar gula

Cermin Dunia Kedokteran No. 127, 2000 30

Page 32: Kanker dan antioksidan

darah akan menyebabkan kenaikan kadar radikal bebas.(1) Tetapi pada model DM dan DMO (38,32 ± 1,02) tidak berbeda bermakna begitu juga pada model S dan model O (24,57 ± 1,34). (Gambar 2)

Hasil uji regresi logistik dengan mengontrol waktu follow up dan kelompok model menunjukkan adanya pengaruh yang bermakna dari radikal bebas terhadap histopathologi (H - E) sebagai marker aterosklerosis dengan (p<0,05). Pada model DM, aterosklerosis dengan marker histopathologi (H - E) terdeteksi pada minggu ke lima, sedangkan untuk kontrol tidak ditemukan atherosklerosis (Gambar 3).

Dari penjelasan tersebut dapat diambil manfaat lain radikal bebas dapat dipakai sebagai prediktor aterosklerosis umumnya dan aterosklerosis pada penyakit diabetes maupun penyakit jantung koroner khususnya.

Gambar 2. MDA pada Wistar kontrol (S), hiperlipid (O), diabetic (DM),

dan diabetic hiperlipid (DMO)

Keterangan : Nilai Mean MDA. Kontrol ^ ICAM (-) = 25,50 ± 4,66

DM ^ ICAM (-) = 33,96 ± 6,40 p < 0,01 (+) = 41,23 ± 1,31

Kontrol ^ H-E (-) = 25,50 ± 4,66 DM ^ H-E (-) = 35,04 ± 6,25 (+) = 41,48 ± 1,30

KEPUSTAKAAN Gambar 3. Aterosklerosis pada tikus Wistar kontrol (S) dan diabetic

(DM). 1. Musthafa Z, Lawrence GL Pengaruh radikal bebas terhadap proses

percepatan atherosklerosis pada tikus Wistar diabetes mellitus. The Indonesian Medical Association Newsletter 1999; 4 : 4.

Keterangan : Hasil pemeriksaan aterosklerosis ada perbedaan, tidak ditemukan aterosklerosis pada Kontrol, tetapi pada DM ditemukan aterosklerosis mulai minggu ke empat dan makin meningkat prosentasenya dengan bertambahnya waktu follow-up.

2. Ross R, PhD. Atheroscklerosis - An Inflammatory Disease. NEJ Med 1999; 340 : 115-26.

Every human being is intended to have a character of his own, to be what no other is, to do what no other can

(Channing)

Cermin Dunia Kedokteran No. 127, 2000 31

Page 33: Kanker dan antioksidan

HASIL PENELITIAN

Peran Antioksidan

dalam Penghambatan Aterosklerosis pada Tikus Wistar Diabetes Melitus

Zainal Musthafa*, Gatot S. Lawrence**

*Cardiology Department, Pelamonia Military Hospital **Vascular Research Unit Wahidin Sudirohusodo General Hospital, and Department of Pathology,

Faculty of Medicine, Hasanuddin University, Makassar

Anti-oksidan mempunyai dampak positif berupa peng-hambatan proses aterosklerosis, yang sering merupakan kom-plikasi dari penyakit diabetes mellitus dan sangat berperan untuk terjadinya penyakit jantung koroner. Penelitian ini mem-berikan informasi tentang peran anti-oksidan dalam pengham-batan proses aterosklerosis pada tikus Wistar diabetes mellitus. SUBYEK

Dua kelompok sampel yaitu kelompok tikus Wistar sebagai kontrol (S) 48 ekor dan sebagai model diabetes (DM) 48 ekor yang masing-masing mempunyai berat badan 200 g; umur 12 minggu. Pembuatan model DM dengan cara induksi Streptozotocine (STZ) 40 mg/kgBB intra peritoneal (i.p) setelah dipuasakan 24 jam. METODA

Bentuk penelitian pre-postest randomized controlled animal experiment, follow-up postest dilakukan tiap satu minggu sekali selama 10 minggu. Pemeriksaan level anti- oksidan dalam hal ini enzim superoksida dismutase (SOD) dan penilaian aterosklerosis sebagai data. Penilaian anti-oksidan dengan immunoassay dan aterosklerosis dengan histopatologi (H-E). HASIL

Pada awal terjadinya model DM, kadar anti-oksidan me-ningkat yang kemudian diikuti penurunan (Gb. 1), tetapi kejadian aterosklerosis yang dimulai pada minggu ke empat, prosentasenya makin bertambah dengan bertambahnya waktu follow-up terjadi model DM (Gb. 2). DISKUSI

Pada awal terjadinya DM kadar anti-oksidan meningkat (Gb. 1), keadaan ini bisa dijelaskan karena pada DM kenaikan kadar gula darah akan menyebabkan kenaikan kadar radikal bebas.

Gambar 1. Anti-oksidan pada tikus Wistar sebagai kontrol (S) dan

diabetes (DM) Keterangan : Hasil pemeriksaan anti-oksidan ada perbedaan, sampai dengan minggu ke lima anti-oksidan pada DM (1297 ± 4,34) lebih tinggi dari pada Kontrol (1089,97 ± 2,57). Setelah minggu ke tujuh anti-oksidan pada DM (875,65 ± 1,23) lebih rendah dari pada Kontrol (1096,45 ± 2,60).

Gambar 2. Aterosklerosis pada tikus Wistar sebagai kontrol (S) dan

diabetes mellitus (DM)> Keterangan : Hasil pemeriksaan atherosklerosis ada perbedaan, tidak ditemukan atheros-klerosis pada Kontrol, tetapi pada DM ditemukan aterosklerosis mulai minggu ke empat dan makin meningkat dengan bertambahnya Waktu.

Radikal bebas merupakan senyawa oksigen reaktif yang

sitotoksis, dapat berdampak negatif terhadap membran sel, dinucleotida (DNA) dan protein seperti halnya enzim yang ada dalam tubuh misalnya SOD sebagai anti-oksidan. Oleh karena itu tidak beberapa lama setelah menjadi model DM terlihat

Cermin Dunia Kedokteran No. 127, 2000 32

Page 34: Kanker dan antioksidan

kadar anti-oksidan menurun. Informasi terakhir bahwa radikal bebas dapat menjadi penyebab yang mendasari berbagai macam keadaan patologis termasuk penyakit aterosklerosis pada umumnya dan khususnya penyakit jantung aterosklerosis yang sering dikenal penyakit jantung koroner.

Fungsi utama anti-oksidan adalah menetralisir atau me-redam dampak negatif dari radikal bebas; bila kadar anti- oksidan tubuh menurun (Gb. 1), maka aterosklerosis semakin progresif (Gb. 2).

Hasil uji regresi ganda, faktor apa saja yang berpengaruh terhadap enzim anti-oksidan endogen (SOD), ternyata ada pengaruh yang bermakna dari radikal bebas dan waktu follow up terhadap pembentukan SOD dengan p<0,01.

Hasil uji regresi ganda menunjukkan bahwa gula darah, enzim anti-oksidan endogen (SOD) dan waktu follow-up ber-pengaruh bermakna terhadap radikal bebas dengan p<0,05, dan

hasil uji regresi logistik ternyata radikal bebas berpengaruh ber-makna terhadap pembentukan atherosklerosis dengan p<0,01.

Manfaat lain dari penelitian ini adalah penderita ateros-klerosis umumnya dan penyakit diabetes maupun penyakit jantung koroner khususnya perlu diberikan tambahan anti- oksidan yang sekarang sudah banyak beredar di pasaran ber-bentuk obat.

KEPUSTAKAAN 1. Musthafa Z, Lawrence GL. Pengaruh radikal bebas terhadap proses

percepatan atherosklerosis pada tikus Wistar diabetes mellitus. The Indonesian Medical Association Newsletter 1999; 4 : 4.

2. Ross R, PhD. Atherosclerosis - An Inflammatory Disease. NEJ Med. 1999; 340 : 115-26.

12 Oktober 1999 penghuni planet bumi 6 milyar orang, sedang 2 abad yang lalu … baru 1 milyar o ang ! r

Cermin Dunia Kedokteran No. 127, 2000 33

Page 35: Kanker dan antioksidan

TINJAUAN KEPUSTAKAAN

Endotelin dan Penyakit Kardiovaskuler

Muhammad Natsir Akil

Peserta Program Pendidikan Dokter Spesialis I, Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin, Ujung Pandang

PENDAHULUAN

Endotelin merupakan peptida vasokonstriktor sangat kuat yang dihasilkan oleh endotelium vaskuler. Endotelin diisolasi pertama kali oleh Yanagisawa dkk pada tahun 1988(1).

Biosintesis endotelin dimulai dengan pemecahan molekul besar preroendothelin, peptida dengan 203 asam amino menjadi big endothelin I proendothelin yang mengandung 39 asam amino. Big endothelin beredar di dalam pembuluh darah dalam bentuk inaktif; selanjutnya endothelin-converting enzyme akan mengubah big endothelin menjadi peptida residu-21 aktif(2).

Sedikitnya ada 3 isoform endotelin, tetapi termasuk dalam satu famili peptida. Semua isoform endotelin mengandung 21 asam amino, perbedaannya hanya terletak pada beberapa asam amino. Endotelin-1 (ET-1) merupakan bentuk yang disintesis dan dilepaskan oleh sel-sel endotel dan banyak dihubungkan dengan penyakit kardiovaskuler. Endotelin-3 mungkin merupa-kan neuropeptida sedangkan peranan endotelin-2 masih belum jelas(2).

Stimulus penting terhadap pelepasan endotelin adalah hipoksi, iskemi, dan shear stress, yang menginduksi transkripsi messenger RNA ET-1(3). Selain rangsangan fisik produksi endotelin juga dipengaruhi oleh hormon vasopressor seperti epinefrin, angiotensin II, dan arginin vasopressin; transforming growth factor β (TGFβ; trombin; interleukin-1. Sedangkan pros-tasiklin, nitric oxide, dan atrial natriuretic hormone meng-hambat sekresi endotelin(4). Sebanyak 75% sekresi ET-1 ke arah otot polos vaskuler (albumin) akan terikat pada otot polos dan menyebabkan vasokonstriksi(3).

ET-1 dilaporkan dapat menyebabkan vasodilatasi pada dosis rendah dan vasokonstriksi pada dosis tinggi. Respon vasodilatasi ET-1 mungkin disebabkan oleh efek endotelin pada produksi dan sekresi prostasiklin dan nitric oxide(3,4). ENDOTELIN DAN PENYAKIT KARDIOVASKULER

Data eksperimen memperlihatkan bahwa sistim endotelin diaktifasi pada berbagai kelainan kardiovaskuler. Peninggian

kadar endotelin ditemukan pada infark miokard, gagal jantung, dan hipertensi pulmonal(1).

Peninggian kadar plasma endotelin pada face awal infark miokard akut (IMA) dilaporkan pada tahun 1991. Pada pen-derita IMA tanpa komplikasi kadarnya cepat turun, sebaliknya pada penderita IMA dengan komplikasi gagal jantung maka peninggian kadar endotelin tetap bertahan selama 72 jam(1). Peningkatan plasma endotelin 72 jam sesudah infark miokard mempunyai nilai prognostik terhadap mortalitas tahun pertama. Selain pada gagal jantung kronik peningkatan kadar endotelin juga dilaporkan pada gagal jantung kronik kausa non iskemik atau pada idiopathic dilated cardiomyopathies. Penelitian lainnya mendapatkan peningkatan kadar endotelin secara prog-resif dengan makin beratnya gejala gagal jantung, dan sejumlah laporan memperlihatkan hubungan antara derajat peninggian kadar endotelin dan derajat gangguan fungsi ventrikel(1).

Terdapat hubungan antara kadar plasma endotelin dan beratnya hipertensi pulmonal pada penderita gagal jantung. Penelitian lain yang menilai ekspresi endotelin-1 pada paru- paru penderita hipertensi pulmonal mendapatkan peningkatan imunoreaktifitas endotelin pada pembuluh darah paru-paru dengan kadar yang berbeda pada berbagai tempat. Sangat sedikit endotelin ditemukan pada subjek kontrol dengan paru- paru normal atau penderita dengan penyakit paru-paru yang tidak mengalami hipertensi pulmonal(1).

Endotelin juga berpengaruh pada ruptur plak. Dengan adanya lesi aterosklerotik, maka pelepasan lokal endotelin akan memacu terjadinya ruptur plak(5). ENDOTELIN PADA BERBAGAI SISTIM ORGAN

Efek endotelin pada berbagai sistim diperlihatkan pada gambar 1. Endotelin merupakan mediator penting pada pato-fisiologi gagal jantung. Kerja endotelin sebagai vasokonstriktor sangat kuat menyebabkan peningkatan resistensi vaskuler sistemik dan peningkatan after load; kedua hal tersebut me-rupakan aspek penting pada gagal jantung(2).

Cermin Dunia Kedokteran No. 127, 2000 34

Page 36: Kanker dan antioksidan

Gambar 1. Role of endothelin in the pathophysiological manifestations of

heart failure. Dikutif dari : Levin ER : Endothelins. N. Engl J Med 1995; 333 : 360

Endotelin 100 kali lebih kuat efek vasokonstriktornya dari angiotensin II yang sudah lebih dulu dikenal sebagai peptida vasokonstriktor kuat(3).

Endotelin juga berefek pada pertumbuhan dan proliferasi sel-sel otot polos dan menstimulasi produksi matriks. Dalam jangka waktu yang lama endotelin akan mengakibatkan se-makin mengecilnya diameter pembuluh darah oleh remodelling ketebalan dinding pembuluh darah. Endotelin berefek langsung pada jantung; dengan efek inotropik positifnya meningkatkan kontraktilitas jantung. Remodelling jantung disebabkan oleh pengaruh endotelin pada hipertrofi otot jantung dan produksi matriks(1).

Pada ginjal endotelin memiliki fungsi penting dan kom-pleks. Pengaruhnya pada ginjal adalah penurunan sekresi natrium dan peningkatan retensi cairan, yang juga merupakan mekanisme penting pada gagal jantung(1).

Endotelin berinteraksi dengan berbagai sistim neuro-humoral. Endotelin meningkatkan sekresi aldosteron maupun sekresi renin, selanjutnya menyebabkan peningkatan aktifitas sistim renin-angiotensin. Selain itu juga dapat menstimulasi sistim saraf simpatis dan memfasilitasi neurotransmisi adre-nergik(1).

Endotelin menginduksi tetjadinya bronkokonstriksi melalui stimulasi produksi tromboxane, yang selanjutnya akan meng-aktifkan reseptor tromboxane pada otot polos bronkus(2). RESEPTOR ENDOTELIN

Reseptor endotelin ada dua yaitu reseptor endotelin A (ETA) dan reseptor endotelin B (ETB) seperti terlihat pada gambar 2. Reseptor endotelin A terutama terdapat pada organ target seperti sel-sel otot polos atau miosit jantung dan bersifat selektif untuk ET-1. Sedangkan ETB, merupakan reseptor non selektif dan berinteraksi baik dengan endotelin-1 maupun dengan endotelin-3 dengan afinitas yang sama(1).

Gambar 2. Vaskular endothelin receptors. Dikutip dari : Stewart D : Update on endothelin. Can J Cardiol 1998; 14 (Suppl D) : 12D

Pada awalnya ETB diduga hanya terdapat pada sel-sel endotel, tetapi ternyata juga ditemukan pada organ-organ target dengan kerja menyerupai ETA. Pada sel-sel endotel ETB dapat mengaktifkan nitric oxide synthase dan merangsang produksi prostasiklin. Efek vasodilatasi ini merupakan counteract dari efek langsung endotelin pada sel-sel otot polos seperti kon-traksi, proliferasi, dan produksi matriks. Pada organ target ETB menyerupai kerja ETA yaitu merangsang kontraksi, proliferasi, dan produksi matriks(2). ANTAGONIS RESEPTOR ENDOTELIN

Antagonis spesifik reseptor endotelin telah dikembangkan dan sedang dilakukan pengujian pada binatang percobaan dan penderita gagal jantung. Bosentan merupakan inhibitor ET non selektif pertama yang dipublikasikan untuk penderita gagal jantung berat(1).

Kiowski dkk(6) meneliti efek hemodinamik akut dari bosentan dan mendapatkan penurunan tekanan arterial rata-rata, tekanan arteri pulmonalis, tekanan atrium kanan, dan pulmo-nary artery wedge pressure. Peningkatan yang nyata juga didapatkan dari cardiac output dan penurunan resistensi vaskuler sistemik dan resistensi vaskuler pulmonal. Antagonis receptor ET mempunyai manfaat jangka pendek terhadap hemodinamik penderita gagal jantung berat. Kiowski dkk(6) menemukan bahwa pemberian secara oral bosentan selama 2 minggu memperlihatkan efek yang lebih nyata dan diper-tahankan sampai dengan 2 minggu. Belum ada data mengenai efek antagonis ET terhadap mortalitas dan morbiditas penderita gagal jantung(6). KESIMPULAN

Endotelin merupakan peptida vasokonstriktor sangat kuat yang dihasilkan oleh endotelium vaskuler. Beberapa penelitian mendapatkan bahwa sistim endotelin diaktifasi pada berbagai kelainan kardiovaskuler termasuk infark miokard, gagal jantung, dan hipertensi pulmonal. Pengetahuan mengenai kerja

Cermin Dunia Kedokteran No. 127, 2000 35

Page 37: Kanker dan antioksidan

dari isoform endotelin-1 menunjukkan bahwa endotelin-1 adalah mediator penting pada patofisiologi terjadinya gagal jantung. Bosentan suatu antagonis reseptor endotelin ber-manfaat pada penderita gagal jantung maupun penderita hiper-tensi pulmonal.

2. Levin ER. Endothelins. N Engl J Med 1995; 333 : 356-63. 3. De Meyer GRY, Herman AG. Vascular endotheliial dysfunction. Prog

Cardiovasc Dis 1997; 39 : 325-42. 4. Luscher TF, Boulanger CM, Dohi Y, Yang Z. Endothelium-derived

contracting factors. Hypertension 1992; 19 : 117-30. 5. Loan EM, Yusuf S, An P et al. Emerging role of angiotensin-converting

enzyme inhibitors in cardiac and vascular protection. Circulation 1994; 90 : 2056-65.

KEPUSTAKAAN 6. Kiowski W, Sutsch G, Hunziker P et al. Evidence for endothelia-l mediated vasoconstriction in severe chronic heart failure. Lancet 1995; 346: 732-6.

1. Stewart D. Update on endothelia. Can J Cardiol 1998; 14 (Suppl D)

11D-13D.

A man who is others, and oth

Cermin Dunia Kedokteran No. 136

Ucapan Terima Kasih Redaksi telah menerima dua buah buku : Bunga Rampai Karya Ilmiah Prof. Dr. R. Budhi Darmojo (Jilid I dan jilid II). Untuk itu Redaksi mengucapkan terima kasih.

RedaksiCermin Dunia Kedokteran

always well satisfied with himself seldom is so by ers rarely are with him

(La Rochefoucauld)

27, 2000

Page 38: Kanker dan antioksidan

TINJAUAN KEPUSTAKAAN

Klasifikasi dan Kriteria Diagnosis Diabetes Melitus yang Baru

John MF Adam

Sub-Bagian Endokrin dan Metabolik, Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin, Ujung Pandang

PENDAHULUAN

Diabetes melitus adalah suatu kelompok penyakit meta-bolik yang disifati adanya hiperglikemi akibat kelainan sekresi insulin, kerja insulin maupun keduanya. Hiperglikemi kronis pada diabetes melitus akan disertai dengan kerusakan, ganggu-an fungsi beberapa alat tubuh khususnya mata, ginjal, saraf, jantung, dan pembuluh darah.

Diabetes melitus disertai oleh gangguan metabolisme hidrat arang, protein dan lemak. Walaupun pada diabetes meli-tus ditemukan gangguan metabolisme semua sumber makanan tubuh kita, kelainan metabolisme yang paling utama ialah kelainan metabolisme hidrat arang. Oleh karena itu diagnosis diabetes melitus selalu berdasarkan meningginya kadar glukosa dalam plasma darah.

Klasifikasi dan kriteria diagnosis diabetes melitus meng-alami perubahan dari tahun ke tahun. Pada tahun 1979 National Diabetes Data Group di Amerika Serikat pertama kali mem-perkenalkan klasifikasi mengenai diabetes melitus(1). Klasifi-kasi tersebut kemudian juga digunakan oleh WHO pada tahun 1980, yang akhirnya diperluas pada tahun 1985 oleh WHO Study Group on Diabetes Mellitus(2). Pada akhir tahun 1977 American Diabetes Association(3) mempublikasikan suatu klasifikasi dan kriteria diagnosis yang baru, yang pada saat ini secara luas digunakan di sebagian besar negara di dunia ter-masuk Indonesia.

Makalah ini menyajikan klasifikasi dan kriteria diagnosis baru tersebut, yang juga telah digunakan sebagai dasar kon-sensus Pengelolaan Diabetes Melitus di Indonesia pada tahun 1998 oleh Perkumpulaan Endokfinologi Indonesia(4). KLASIFIKASI DIABETES MELITUS

Klasifikasi yang baru ini membagi diabetes melitus atas empat kelompok yaitu diabetes melitus tipe-1, diabetes melitus tipe-2, diabetes melitus bentuk khusus, dan diabetes melitus gestasional. Pembagian ini berdasarkan etiologi diabetes melitus. Diabetes rvelitus tipe-1

Dikenal dua bentuk yaitu otoimun dan idiopatik, di mana ditemukan kerusakan sel beta dan mengakibatkan terjadinya defisiensi insulin yang absolut. Pada bentuk otoimun dapat ditemukan beberapa petanda imun (immune markers) yang menunjukkan pengrusakan sel beta pankreas untuk mendeteksi kerusakan sel beta, seperti “islet cell autoantibodies (ICAs), autoantibodies to insulin (IAAs), autoantibodies to glutamic acid decarboxylase (GAD65)”, dan antibodies to tyrosine phosphatase IA-2 and IA-2β. Sebagian kecil penderita diabetes tipe-1 penyebabnya tidak jelas (idiopatik), pada mereka ini jelas ditemukan insulinopeni tanpa petanda imun, dan mudah sekali mengalami ketoasidosis. Diabetes melitus tipe-2

Bentuk ini bervariasi mulai yang dominan resistensi insulin defisiensi insulin relatif sampai yang terutama defek sekresi insulin disertai resistensi insulin.

Diabetes melitus tipe-2 merupakan jenis diabetes melitus yang paling sering ditemukan di praktek, diperkirakan sekitar 90% dan semua penderita diabetes melitus di Indonesia. Sebagian besar diabetes tipe-2 adalah gemuk (di negara barat sekitar 85%, di Indonesia 60%), disertai dengan resistensi insulin, dan tidak membutuhkan insulin untuk pengobatan. Sekitar 50% penderita sering tidak terdiagnosis karena hiper-glikemi meningkat secara perlahan-lahan sehingga tidak mem-berikan keluhan. Walaupun demikian pada kelompok diabetes melitus tipe-2 sering ditemukan komplikasi mikrovaskuler dan makrovaskuler, bahkan tidak jarang ditemukan beberapa komplikasi vaskuler sekaligus. Diabetes melitus tipe lain • Defek genetik fungsi sel beta • Defek genetik insulin • Penyakit eksokrin pankreas • Endokrinopati • Karena obat / zat kimia • Karena infeksi

Cermin Dunia Kedokteran No. 127, 2000 37

Page 39: Kanker dan antioksidan

• Sebab imunologi yang jarang • Sindrom genetik lain yang berkaitan dengan diabetes

melitus Diabetes melitus gestasional (DMG)

Diabetes melitus gestasional diartikan sebagai intoleransi glukosa yang ditemukan pada saat hamil dan diperkirakan insidens sebesar 1-3%. Pada umumnya mulai ditemukan pada kehamilan trimester kedua atau ketiga, pada saat itu terjadi keadaan resistensi insulin. Oleh karena risiko kesakitan den kematian perinatal tinggi maka dianjurkan skrining diabetes melitus gestasi dilakukan pada semua wanita hamil. Pada umumnya skrining dilakukan pada minggu gestasi ke 24-28. Tabel 1. Perbedaan klasifikasi diabetes melitus menurut American

Diabetes Association 1997 dan WHO 1985

ADA 1997 WHO 1985 Diabetes melitus tipe-1 Diabetes melitus tergantung insulin

otoimun den idiopatik Diabetes melitus tidak tergantung insulin tidak gemuk dan gemuk Diabetes melitus tipe-2 Diabetes melitus malnutrisi Diabetes melitus tipe lain Diabetes melitus bentuk lain Toleransi giukosa terganggu Diabetes melitus gestasional

Dengan melihat pads Tabel 1, ads beberapa perbedaan

yang perlu dicatat, yaitu 1) Klasifikasi baru berdasarkan etiologi hanya mengenal empat jenis diabetes melitus, sedangkan klasifikasi lama lima jenis diabetes melitus den satu toleransi glukosa. Toleransi glukosa terganggu tidak dimasukkan dalam klasifikasi diabetes melitus yang baru. 2) Pada klasifikasi baru, diabetes melitus tipe-1 dan tipe-2 menggantikan terminologi ‘tergantung’ dan ‘tidak tergantung’ insulin dari klasifikasi lama. Hal ini penting sebab sering dikacaukan antara tergantung insulin (insulin dependent) dan membutuhkan insulin (insulin requirement). Pengertian tergantung insulin adalah mereka yang menggunakan insulin oleh karena tubuh tidak dapat menghasilkan insulin, yaitu pada tipe-1. Penderita diabetes melitus tipe-2 pada suatu saat oleh karena kegagalan sel beta, maka akan mengalami gagal sekunder obat hipoglikemik oral. Pada keadaan tersebut ia akan membutuhkan insulin sementara atau seterusnya, keadaan ini disebut membutuhkan insulin (insulin requirement), tetapi bukan tergantung insulin. Perlu diingat ada penderita diabetes melitus tipe-1 pada orang dewasa yang semula dianggap diabetes melitus tipe-2 tetapi ternyata diabetes melitus tipe-1 yang dikenal dengan ‘late autoimunne diabetes in adult’ (LADA). 3) Pada klasifikasi baru diabetes melitus tipe-2 tidak dibagi atas gemuk dan tidak gemuk seperti pada klasifikasi WHO 1985. Pembagian atas gemuk dan tidak gemuk digunakan dengan tujuan pilihan pengobatan, bukan berdasarkan etiologi. 4) Diabetes melitus malnutrisi dihilangkan dengan alasan belum cukup bukti bahwa apakah betul malnutrisi dapat merupakan penyebab terjadinya diabetes melitus. Salah satu bentuk diabetes melitus malnutrisi yaitu fibrocalculous pancreopathy dimasukkan sebagai diabetes melitus tipe lain

pada klasifikasi yang baru. CARA DAN KRITERIA DIAGNOSIS Berdasarkan glukosa plasma vena sewaktu

Penderita diabetes melitus sering datang dengan keluhan klinis yang jelas seperti haus dan banyak kencing, berat badan menurun, glukosuri, bahkan kesadaran menurun sampai koma. Dengan keluhan klinis yang jelas, pemeriksaan glukosa darah sewaktu sudah dapat menegakkan diagnosis diabetes melitus. Apabila kadar glukosa darah sewaktu ≥ 200 mg % (plasma vena) maka penderita tersebut sudah dapat disebut diabetes melitus. Dengan kata lain, pada mereka dengan keadaan klinis jelas, kadar glukosa plasma > 200 mg % sudah memenuhi kriteria diabetes melitus. Pada mereka ini tidak diperlukan lagi pemeriksaan tes toleransi glukosa. Berdasarkan glukosa plasma vena puasa

Glukosa plasma dalam keadaan puasa dibagi atas tiga nilai, yaitu < 110 mg/dl, atara > 110 mg/dl - < 126 mg/dl, dan ≥ 126 mg/dl. Kadar glukosa plasma puasa < 110 mg/dl dinyatakan normal, ≥ 126 mg/dl adalah diabetes melitus, sedangkan antara 110-126 mg/dl disebut glukosa darah puasa terganggu (GDPT). Dengan demikian pada mereka dengan kadar glukosa plasma vena setelah berpuasa sedikitnya 10 jam > 126 mg/dl sudah cukup untuk membuat diagnosis diabetes melitus. Bahkan untuk penelitian epidemiologis di lapangan dianjurkan untuk menggunakan pemeriksaan kadar glukosa plasma puasa bukan tes toleransi glukosa oral. Dengan menggunakan tes toleransi glukosa oral

Apabila pada pemeriksaan glukosa darah sewaktu kadar glukosa plasma tidak normal, yaitu antara 140-200 mg/dl, maka pada mereka ini harus dilakukan pemeriksaan tes toleransi glukosa oral untuk meyakinkan apakah diabetes melitus atau bukan. Sesuai dengan kesepakatan WHO maka tes toleransi glukosa oral harus dilakukan dengan beban 75 gram setelah berpuasa minimal 10 jam. Penilaian adalah sebagai berikut, toleransi glukosa normal apabila < 140 mg/dl, toleransi glukosa terganggu (TGT) apabila kadar glukosa > 140 mg/dl. Tabel 2. Nilai glukosa plasma puasa dan toleransi glukosa setetah beban

75 gram glukosa Glukosa plasma puasa Normal < 110 mg/dl (6,1 mmol/L) Glukosa puasa terganggu ≥ 110 mg/dl (6,1 mmol/L), dan < 126 mg/dl (7,0 mmol/L) Diabetes melitus > 126 mg/dl (7,0 mmol/L) Hasil tes toleransi glukosa oral, glukosa plasma 2 jam Normal < 140 mg/dl (7,8 mmol/L) Toleransi glukosa terganggu > 140 mg/dl (7,8 mmol/L), dan < 200 mg/dl (11,1 mmol/L) Diabetes melitus ≥ 200 mg/dl (11,1 mmol/L) Keterangan Dikutip dari : report of the expert communitee in the diagnosis and classification of diabetes mellitus. The Expert committee on the diagnosis and classification of diabetes mellitus, diabetes Care 22 (Suppl. 1) : S5-S19.(5)

Cermin Dunia Kedokteran No. 127, 2000 38

Page 40: Kanker dan antioksidan

tetapi < 200 mg/dl, sedang toleransi glukosa ≥ 200 mg/dl di-sebut diabetes melitus.

Cara mendiagnosis diabetes melitus menurut American Diabetes Association (ADA) 1997 sebenarnya tidak berbeda dengan cara WHO 1985. Perbedaan utama hanya terletak pada batasan glukosa plasma puasa, yaitu ≥ 126 mg/dl. Pada Tabel 3 dapat dilihat secara ringkas kriteria diagnosis ADA 1997. Tabel 3. Kriteria diabetes melitus orang dewasa tidak hamil (ADA, 1997) 1. Glukosa plasma sewaktu > 200 mg/dl (11,1 mmol/L) pada seseorang dengan keluhan diabetes melitus, seperti banyak kencing, haus dan berat badan menurun. 2. Glukosa plasma puasa ≥ 126 mg/dl (7,0 mmol/L), pada keadaan puasa sedikitnya 10 jam. 3. Pada pemeriksaan tes toleransi glukosa oral, 2 jam setelah beban 75 mg glukosa oral, > 200 mg/dl (11,1 mmol/L) DIAGNOSIS PADA WANITA HAMIL

Sampai saat ini belum ada kesepakatan mengenai bagai-mana cara skrining, jumlah beban glukosa bahkan kriteria yang harus dipakai untuk menyatakan diabetes melitus gestasional. Walaupun demikian ada dua kriteria yang paling sering dipakai pada saat ini, yaitu kriteria O’Sullivan-Mahan dan kriteria WHO. Perlu diketahui bahwa kriteria O’Sullivan-Mahan yang asli menggunakan kadar glukosa darah dengan contoh darah lengkap, yang kemudian oleh National Diabetes Data Group (NDDG) pada tahun 1979 diubah dengan menggunakan contoh darah berupa plasma vena. Walaupun demikiaan cara skrining yang dilakukan tetap menggunakan nama O’Sullivan-Mahan. Cara skrining dan kriteria O’Sullivan-Mahan

Cara skrining menurut O’Sullivan-Mahan terdiri atas dua tahap, yaitu tahap tes tantangan glukosa dan tahap toleransi glukosa oral. Pada tahap tes tantangan glukosa, wanita hamil diberikan minum glukosa sebanyak 50 gram. Tes dinyatakan positif apabila kadar glukosa plasma setelah satu jam minum glukosa ≥ 140 mg/dl. Pada mereka dengan tes tantangan glukosa positif harus dilanjutkan dengan tes toleransi glukosa oral dengan beban glukosa sebanyak 100 gram. Persiapan sama dengan melakukan tes toleransi glukosa pada orang dewasa tidak hamil, hanya jumlah pemeriksaan glukosa darah dilakukan empat kali, yaitu puasa, satu jam, dua jam, dan tiga jam setelah minum glukosa (jadi empat contoh darah).

Kadar normal adalah puasa < 105 mg/dl, 1 jam < 190 mg/ dl, 2 jam < 165 mg/dl dan 3 jam < 145 mg/dl (Tabel 4). Gambar 1 memperlihatkan urutan cara melakukan skrining. Tabel 4. Skrining dan diagnosis diabetes melitus gestasional menurut

cara O’Sullivan-Mahan

Glukosa plasma 50 g TTG 100 g TTGO Puasa - 105 mg/dl 1-jam 140mg/dl 190 mg/dl 2-jam - 165 mg/dl 3-jam - 145 mg/dl

Keterangan : DMG bila 2 atau lebih angka abnormal TTG = tes tantangan glukosa, TTGO = tes toleransi glukosa oral

Wanita hamil (minggu gestasi ≥ 26)

TTG

Glukosa 50 gr GD < 140 mg/dl GD ≥ 140 mg/dl TTG(-) TTG(+) TTGO Glukosa 100 gr DMG (-) DMG (+) Gambar 1. Bagan skrining menurut cara O’Sullivan-Mahan

Ada beberapa kelemahan cara O’Sullivan-Mahan antara lain, glukosa 100 gram sering mengakibatkan penderita muntah-muntah, pada mereka yang hanya satu angka abnormal sering juga ditemukan bayi besar dengan akibat kesulitan persalinan. Oleh karena itu ada kecenderungan untuk meng-gunakan beban glukosa 75 gram seperti WHO. Sebagai contoh ASEAN Study Group of Diabetes in Pregnancy (ASGODIP) menggunakan cara skrining yang sama tetapi untuk tes toleransi glukosa hanya menggunakan beban glukosa 75 gram. Cara WHO

WHO 1985 menggunakan cara diagnosis untuk diabetes melitus getasional sama dengan cara mendiagnosis pada orang bukan hamil. Kriteria diabetes melitus sama dengan pada mereka yang tidak hamil, tetapi dicantumkan bahwa pada mereka yang tergolong toleransi glukosa terganggu harus diobati sebagai penderita diabetes melitus. Dengan kata lain bahwa mereka yang kadar glukosa darah 2 setelah beban glukosa 75 gram antara ≥ 140 - < 200 mg/dl harus diobati sebagai diabetes melitus. TOLERANSI GLUKOSA TERGANGGU (TGT) DAN GLUKOSA DARAH PUASA TERGANGGU (GDPT)

Toleransi glukosa terganggu dan glukosa plasma puasa terganggu bukanlah suatu kelainan klinik, tetapi lebih me-rupakan suatu faktor risiko untuk menjadi diabetes melitus kemudian hari, dan faktor risiko untuk penyakit jantung koroner. Oleh karena bukan merupakan suatu kelainan klinik dengan sendirinya tidak akan mendapat pengobatan. Walaupun demikian mengingat sekitar 30% dari mereka dengan TGT dapat menjadi diabetes melitus tipe-2 di kemudian hari, pada saat ini sedang dilakukan penelitian apakah pengobatan pada TGT dapat mencegah terjadinya diabetes melitus tipe-2. Wanita dengan TGT den GDPT dapat menjadi diabetes melitus pada saat hamil.

Cermin Dunia Kedokteran No. 127, 2000 39

Page 41: Kanker dan antioksidan

SKRINING DIABETES MELITUS Tabel 5. Kelompok risiko tinggi diabetes melitus yang memerlukan pemeriksaan penyaring Diabetes melitus adalah kelompok penyakit metabolik

yang disifati oleh hiperglikemi sebagai kelainan sekresi insulin, sifat kerja, maupun keduanya secara bersamaan. Diabetes melitus tipe-2 merupakan kelompok diabetes melitus yang paling sering ditemukan di klinik. Kadar hiperglikemi yang berlangsung secara menahun dapat memberikan komplikasi kronik pada beberapa alat tubuh.

Semua orang dewasa berumur ≥ 45 tahun Riwayat keluarga diabetes melitus, terutama orangtua dan saudara kandung Obesitas, yaitu 20% berat badan idaman atau IMT ≥ 27 kg/m2

Sebelumnya pernah TGT atau GDPT Hipertensi, yaitu tekanan darah ≥ 140/90 mmHg Diabetes melitus gestasi sebelumnya atau pernah melahirkan bayi > 4 kg Dislipidemia, yaitu kadar HDL-kolesterol ≤ 35 mg/dl dan/atau trigliserida

Sekitar 50% penderita diabetes melitus tipe-2 tidak memberikan keluhan sehingga tidak terdiagnosis. Pada penderita diabetes melitus tipe-2 yang tidak terdiagnosis sering disertai dengan komplikasi makrovaskuler terutama penyakit jantung koroner. Oleh karena itu perlu dilakukan langkah- langkah mendeteksi lebih dini penderita tersebut, yaitu dengan melakukan pemeriksaan penyaring. Sebaiknya pemeriksaan penyaring dilakukan pada semua orang dewasa, tetapi hal ini tidak mungkin dilakukan mengingat pelaksanaan yang sulit dan membutuhkan biaya yang cukup mahal. Oleh karena itu di-anjurkan melakukan skrining pada mereka yang tergolong risiko tinggi.

≥ 250 mg/dl Dikutip ddlri: American Diabetes Association. Diabetes Care 22 (Suppl. 1): S20-S23, 1999(5), dengan sedikit perubahan.

KEPUSTAKAAN 1. National Diabetes Data Group. Classification and diagnosis of diabetes

mellitus and other categories of glucose intolerance. Diabetes 1979; 28 : 1039-57. Skrining dapat dilakukan dengan pemeriksaan glukosa

plasma puasa atau tes toleransi glukosa oral. Oleh karena kesulitan melakukan tes toleransi glukosa oral, maka skrining dapat dengan menggunakan glukosa plasma puasa atau glukosa plasma sewaktu. Pada mereka yang mempunyai glukosa plasma puasa ≥ 126 mg/dl, diklasifikasikan sebagai diabates melitus, sedangkan mereka dengan glukosa plasma puasa ≥ 110 mg/dl tetapi < 126 mg/dl (GDPT) perlu dilanjutkan dengan tes tole-ransi glukosa untuk menentukan adanya diabetes melitus. Pada mereka dengan kadar glukosa plasma sewaktu > 160 mg/dl tetapi < 200 mg/dl dianggap sebagai mencurigakan diabetes, oleh karenanya perlu dilanjutkan dengan tes toleransi glukosa oral(5).

2. World Health Organisation. Diabetes mellitus : Report of a WHO Study Group. Techn Rep Ser 727, World Health Organisation, Geneva-Switzerland, 1985.

3. The Expert committee on the diagnosis and classification of diabetes mellitus. Report of the expert committee on the diagnosis and classification of diabetes mellitus. Diabetes Care; 1997; 20 (Suppl. 1) : 1183-97.

4. Perkumpulan Endokrinologi Indonesia. Konsensus pengelolaan diabetes melitus di Indonesia 1998. Jakarta, 1998.

5. Report of the expert committee on the diagnosis and classification of diabetes mellitus. The Expert committee on the diagnosis and classification of the diabetes mellitus 1999. Diabetes Care 22 (Suppl. 1) : S5 - S19.

6. American Diabetes Association. Screening for tips-2. Diabetes Care 1999; 22 (Suppl. 1) : S20 - S23.

Gain all you can, save all you can, give all you can

(John Wesley)

Cermin Dunia Kedokteran No. 127, 2000 40

Page 42: Kanker dan antioksidan

HASIL PENELITIAN

Hubungan antara Waktu Kadaluwarsa Ampisilina dengan

Daya Hambat Pertumbuhan E. coli secara in vitro

Raharni*, Sugeng Riyanto**, Koesniyo***

Pusat Penelitian dan Pengembangan Farmasi, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan RI, Jakarta

** Fakultas Farmasi, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta *** Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta

ABSTRAK

Telah dilakukan penelitian tentang hubungan antara waktu kadaluwarsa ampisilina

terhadap pertumbuhan bakteri Escherichia coli secara in vitro. Tujuan penelitian ini adalah mencari hubungan antara waktu kadaluwarsa ampisilina terhadap pertumbuban bakteri E. coli, dibandingkan dengan ampisilina standar.

Penelitian dilakukan dengan metode dilusi untuk menentukan Konsentrasi Hambat Minimal (KHM) dan Konsentrasi Bakterisidal Minimal (KBM) dari ampisilina dengan berbagai waktu kadaluwarsa terhadap bakteri E. coli. Potensi antibiotika makin besar bila harga KHM dan KBM makin kecil.

KHM dan KBM ampisilina yang telah melewati waktu kadaluwarsa lebih kecil dari KHM dan KGM ampilisina standar; makin jauh waktu kadaluwarsa ampisilina dilewati makin kecil daya hambatnya dibandingkan dengan ampilisina standar, ter-hadap pertumbuhan bakteri E. coli.

PENDAHULUAN

Salah satu masalah utama yang berkaitan dengan pemakai-an antibiotika secara luas adalah terbentuknya resistensi mikro-organisme terhadap obat ini.

Ampisilina

Ampisilina merupakan penisilina semi sintetik, digunakan dalam pengobatan penyakit infeksi yang disebabkan oleh strain sensitif dari Shigella, Salmonella, Escherichia coli, Haemo-philus influenza, Aerobacter dan Proteus mirabilis atau infeksi-infeksi lain yang disebabkan oleh enterokokus.

Ampisilina mempunyai struktur molekul mengandung cincin beta-laktam sebagai pusat aktif antibiotika; pada pe-nyimpanan melampaui waktu kadaluwarsa cincin ini dapat mengalami penguraian, menyebabkan potensi antibakteri men-jadi rendah atau tidak aktif lagi sebagai anti-biotika. Dengan amidase terjadi pemecahan rantai samping dengan akibat pe-

nurunan potensi antimikroba yang menyolok(1). Penguraian ampisilina disebabkan oleh hidrolisis meng-

akibatkan terbukanya cincin beta-laktam, membentuk senyawa asam alfa amino benzilpenisiloat yang tidak aktif sebagai antibiotik(1).

Kadaluwarsa Obat

Tanggal kadaluwarsa ialah batas waktu setelah mana sedia-an tersebut tidak lagi memenuhi syarat daya kerja yang tertera(2). Escherichia coli

Escherichia coli adalah bakteri yang menyerang organ-organ traktus digestivus, traktus urinarius, dapat menyebabkan meningitis pada bayi prematur dan neonatus. Strain entero-patogenik E. coli sering menyebabkan diare akut pada anak-anak umur di bawah dua tahun(3).

Cermin Dunia Kedokteran No. 127, 2000 41

Page 43: Kanker dan antioksidan

Metode Dilusi (Pengenceran) Prinsip metode ini adalah sejumlah antibiotika diencerkan

hingga diperoleh beberapa macam konsentrasi, lulu masing-masing konsentrasi diberikan pada suspensi kuman dalam media. Setelah diinkubasi, diamati ada atau tidaknya per-tumbuhan bakteri yang ditandai dengan terjadinya kekeruhan. Konsentrasi terendah yang menghambat pertumbuhan bakteri yang ditunjukkan dengan tidak adanya kekeruhan disebut. Konsentrasi Hambat Minimal (KHM) atau Minimal in hibitory Concentration (MIC). Contoh masing-masing konsentrasi anti-biotika yang menunjukkan hambatan pertumbuhan tersebut ditanam pada agar padat media pertumbuhan bakteri yang bebas antibiotika dan diinkubasi. Konsentrasi antibiotika terendah yang membunuh 99,9% inokulum bakteri disebut Konsentrasi Bakterisidal Minimal (KBM) atau Minimal Bactericidal Concentration (MBC) (4).

Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan daya antibakteri ampisilina yang telah melewati waktu kadaluwarsa, dengan daya antibakteri ampisilina standar daluwarsa, dengan daya antibakteri ampisilina standar terhadap pertumbuhan bakteri E. coli.

Penelitian ini diharapkan dapat membantu mencegah baha-ya penggunaan ampisilina potensi rendah karena telah kadalu-warsa. METODE PENELITIAN A) Bahan dan Alat 1) Bahan a) Serbuk Ampisilina Trihidrat (A) b) Serbuk Ampisilina (B) : masih bisa beredar c) Serbuk Ampisilina (C) : tepat habis waktu kadaluwarsanya d) Serbuk Ampisilina (D) :1 tahun setelah waktu kadaluwarsa e) Serbuk Ampisilina (E) : 2 tahun setelah waktu kadaluwarsa f) Serbuk Ampisilina (F) : 3 tahun setelah waktu kadaluwarsa g) Buffer fosfat pH 6 dan pH 8 steril h) Akuades steril i) Media Agar darah j) Media Mac Conkey k) Media Brain Heart Infusion (BHI) l) Media Brain Heart Infusion double strength (BHI double

strength) m) Bakteri E. coli 2) Alat a) Neraca Shimadzu type L-SM 68693, capacity 200 g, readability 0,01 mg b) pH meter TOA, HM-60 S c) Tabung reaksi, cawan petri steril d) Alat-slat gelas dan alat untuk mikrobiologi lainnya. B) Prosedur penelitian 1) Identifikasi bakteri Escherichia coli

E. coli diidentifikasi dengan deret media Kliger Iron Agar (KIA), Semi Solid Sucrose Medium (SSS), Lysine Iron Agar (LIA), Motility IndoI Ornithine (MIO). 2) Uji potensi antibiotika dengan metode dilusi (Skema 1) a) Penyiapan bakteri Ambil 1 ose bakteri dari biakan murni E. coli, gores ke media

MacConkey, inkubasi 37°C seisms 18-24 jam. Ambil 1 ose, suspensikan ke dalam 2 mL BHI, diinkubasikan pada 37°C selama 4 jam. Skema 1. Cara uji potensi antibiotika

Satu ose bakteri dari biakan murni E. coli gores ke MacConkey untuk E. coli inkubasi 37°C, 18-24 jam Ambil 1 ose, masukkan ke dalam 2 ml BHI inkubasi 37°C, 4 jam Encerkan dengan akuades steril samakan dengan standar Brown III (108 CFU/mL) Ambil 2,0 mL, encerkan dengan BHI double strength ad 200 ml (106 CFU/mL) Ambil 1,0 ml Tambahkan pada 1; mL larutan antibiotika inkubasi 37°C, 18-24 jam Amati kekeruhan larutan, tentukan KHM Ambil 1 ose larutan yang jernih Gores ke agar darah inkubasi 37°C, 18-24 jam Amati adanya pertumbuhan bakteri

b) Inokulasi bakteri

Encerkan suspensi kuman dalam BHI dengan akuades steril sampai kekeruhan sesuai dengan standar Brown II (108 CFU/ mL), lulu encerkan dengan BHI double strength dengan perbandingan 1 : 100 dengan cara ambil 2,0 mL, dan diencer-kan dengan BHI double strength ad 200 mL, sehingga kon-sentrasi bakteri menjadi 106 CFU/mL. c) Pembuatan larutan antibiotika dan seri pengenceran larutan antibiotika.

T'imbang serbuk ampisilina A, B, C, D, E sebanyak 16,64 mg dan untuk ampisilina F timbang sebanyak 33,28 mg ma-sing-masing dilarutkan dalam buffer fosfat 0,1 M pH 8 steril.

Buat seri pengenceran dari masing-masing larutan anti-biotika dengan cara tabung nomer 2 sampai terakhir diisi dengan 1,0 ml buffer fosfat 0,1 M pH 6 (untuk ampisilina A) dan akuades steril untuk ampisilina B, C, D, E, F. Tabung nomer 1 diisi 2,0 ml antibiotika dengan konsentrasi awal ter-tentu, ambil 1,0 ml larutan dari tabung nomer 1 dimasukkan tabung nomer 2, kocok sampai homogen. Ambil larutan 3 dan seterusnya sampai tabung terakhir, 1,0 ml larutan dari tabung terakhir dibuang. d) Cara pemeriksaan

Masukkan 1,0 ml suspensi bakteri E. coli dalam BHI double strength ke dalam tiap tabung dari seri pengenceran larutan antibiotika, sehingga konsentrasi larutan antibiotika dalam tiap tabung menjadi setengah dari konsentrasi semula. Inkubasi pada 37°C selama 18 jam. Amati pertumbuhan bakteri dengan adanya kekeruhan. Setiap pengujian dilakukan rangkap 3 (tiga) kali. Sebagai kontrol adalah masing-masing larutan antibiotika, media BHI double strength, dan suspensi bakteri dalam BHI double strength. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A) Identifikasi bakteri E. coli

Pada media KIA, terjadi perubahan warna indikator fenol dari merah ke kuning dan dalam posisi terangkat karena adanya asam dan gas sebagai produk pemecahan laktosa dan dektrosa.

Cermin Dunia Kedokteran No. 127, 2000 42

Page 44: Kanker dan antioksidan

Tabel 1. Hasil identifikasi E. coli dengan deret media.

Media Hasil identifikasi KIA

Timbul gas, warna media berubah dari merah menjadi kuning

SSS Media berubah dari merah menjadi kuning, terjadi pergerakan bakteri

LIA Media tetap berwarna ungu, H2S negatif MIO Terjadi perubahan warna media dari ungu ke kuning, terjadi

pergerakan bakteri dan timbul cincin merah (indo positif) setelah ditambah pereaksi Covacs

Terjadinya perubahan warna media SSS dari merah ke

kuning disebabkan adanya asam sebagai hasil fermentasi sukrosa oleh bakteri. Pada media SSS terjadi pergerakan bakteri (motility), di daerah tusukan (butt) terlihat keruh dan melebar. Media LIA dan MIO pada prinsipnya digunakan untuk mengetahui reaksi bakteri terhadap asam amino, dalam hal ini lisin pada LIA dan ornithin pada MIO. Selain itu media LIA dapat juga digunakan untuk mengetahui apakah bakteri yang diperiksa membentuk asam sulfida atau tidak. Hasil peng-amatan menunjukkan bahwa tidak terjadi perubahan pH media, dan juga tidak dihasilkan asam sulfida. Jadi bakteri tidak dapat memecah lisin dan tidak membentuk asam sulfida. Media MIO digunakan untuk mengetahui reaksi terhadap ornitin, dapat juga digunakan untuk mengetahui adanya pergerakan bakteri yang diperiksa, serta kemampuannya menghasilkan indol. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa terjadi perubahan warna media dari ungu menjadi kuning, pada bagian tusukan terlihat keruh dan melebar, berarti bakteri yang diperiksa dapat ber-gerak, serta terbentuk cincin merah (indol) setelah ditambah pereaksi Covacs. Perubahan warna media disebabkan karena terjadinya dekarboksilasi ornitin oleh bakteri. Dilepaskannya karbondioksida menyebabkan kenaikan pH media, akibatnya terjadi perubahan warna indikator brom kresol dari ungu menjadi kuning. Dari uji yang dilakukan, dapat disimpulkan bahwa bakteri yang diperiksa adalah E. coli. B) Uji potensi ampisilina

Dengan metode dilusi dapat ditentukan Konsentrasi Hambat Minimal (KHM) dan Konsentrasi Bakterisidal Minimal (KBM) suatu antibiotika. Makin besar nilai KHM dan KBM suatu antibiotika, berarti potensinya makin kecil dalam menghambat pertumbuhan bakteri.

Penentuan nilai Konsentrasi Bakterisidal Minimal (KBM), ditandai dengan cara menggoreskan pada media agar darah dari masing-masing larutan yang masih tetap jernih, dari tiap-tiap jenis antibiotika. Konsentrasi terendah, di mana goresan pada agar darah tidak menunjukkan pertumbuhan bakteri merupakan Konsentrasi Bakterisidal Minimal (KBM). Ampisilina A, B, C, D, E, F, mempunyai nilai KBM masing-masing adalah 6,5; 13; 104; 416; dan 832 u/mL. Nilai KHM masing-masing adalah 3,25; 4,33; 13; 104; 208; dan 416 ug/mL (Tabel 2).

Makin besar harga KHM dan KBM makin besar kon-sentrasi yang dibutuhkan untuk menghambat pertumbuhan bakteri, berarti potensi antibiotika tersebut makin kecil. Dari uji yang dilakukan ternyata nilai KHM yang semakin besar, dimulai dari ampisilina A, B, C, D, E, F. Berarti potensi antibakteri yang dimiliki oleh

Tabel 2. Nilai KHM dan KBM ampisilina dari berbagai waktu kadaluwarsa, terhadap bakteri E. coli.

Jenis ampisilina KHM (ug/mL)

KBM (ug/ml)

A. Standar 3,25 6,5 B. Masih beredar 4,33 13 C. Tepat habis waktu kadaluwarsa 13 104 D. 1 tahun setelah waktu kadaluwarsa 104 416 E. 2 tahun setelah waktu kadaluwarsa 208 416 F 3 tahun setelah waktu kadaluwarsa 416 832

ampisilina standar adalah yang paling besar, dan yang paling kecil adalah ampisilina 3 tahun setelah melewati waktu kada-luwarsa. Hasil analisis variansi 1 jalan dengan taraf keper-cayaan 95% menunjukkan ada perbedaan nyata nilai KHM ampisilina A, B, C, D, E, F. Hasil uji Tukey menunjukkan adanya perbedaan diantara 2 nilai KHM dari ampisilina yang diuji.

Ampisilina menunjukkan KHM terhadap bakteri Gram negatif sebesar 0,02-8 ug/ml(6). Dari penelitian ini diperoleh KHM ampisilina trihidrat (A) sebesar 3,25 ug.mL dan ampisilina yang masih beredar (B) sebesar 4,33 ug/mL dan ampisilina tersebut masih mempunyai daya hambat yang cukup baik terhadap pertumbuhan bakteri E. coli. Sedang untuk sediaan yang telah kadaluwarsa yakni ampisilina C, D, E, F perbedaan KHM cukup besar.

KESIMPULAN

Dengan metode dilusi disimpulkan bahwa daya hambat pertumbuhan bakteri E. coli dari ampisilina menurun menurut lamanya waktu kadaluwarsa dilewati. Hal ini terlihat dari nilai KHM dan KBM.

Nilai KHM dan KBM naik berturut-turut dari ampisilina standar, ampisilina yang masih beredar, tepat pada waktu kadaluwarsa, ampisilina yang sudah melewati waktu kada-luwarsa 1, 2, dan 3 tahun. Berarti ampisilina yang lebih lama melewati waktu kadaluwarsa makin berkurang potensi menghambatnya terhadap pertumbuhan bakteri E. coli.

SARAN

Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai potensi anti bakteri dari ampisilina yang telah kadaluwarsa dengan menggunakan bakteri seperti Staphylococcus aureus.

KEPUSTAKAAN 1. Wilson CO, Gisvold O, Doerge RF. Text Book of Organic Chemistry, 7th

ed. Philadelphia: JB Lippincott Co 1982; 241. 2. Farmakope Indonesia, Edisi III, Departemen Kesehatan Republik

Indonesia, Jjakarta. 1979. 3. Salle AJ. Fundamental Principles of Bacteriology, fifth ed. New York :

McGraw Hill Book Co Inc, 1961; 418-20. 4. Edberg SC. Antibiotics and Infections, 1986; 5-22. 5. Soejoeti Z. Buku Materi Pokok Metode Statistika II Modul 1-5,

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Universitas Terbuka, Jakarta, 1986; 106-110.

6. Reynold JEF, Parfitt K. Martindale The Extra Pharmacopolea, Tweenty ninth ed. London : The Pharmaceutical Press, 1989; 116-8.

(Lihat lampiran).

Cermin Dunia Kedokteran No. 127, 2000 43

Page 45: Kanker dan antioksidan

LAMPIRAN

0

100

200

300

400

500

600

700

800

900

A B C D E F

Waktu kadaluwarsa

Kon

sent

rasi

(ug/

ml)

Keterangan : KBM KHM A : ampisilina standar B : masih bisa beredar C : tepat waktu kadaluwarsa D : 1 tahun melewati waktu kadaluwarsa E : 2 tahun melewati waktu kadaluwarsa F : 3 tahun melewati waktu kadaluwarsa

Grafik 1. Hubungan antara waktu kadaluwarsa ampisilina dengan nilai KHM dan KBM terhadap E. coli.

Cermin Dunia Kedokteran No. 127, 2000 44

Page 46: Kanker dan antioksidan

HASIL PENELITIAN

Disolusi dan Penetapan Kadar Alopurinol Sediaan Generik

dan Sediaan dengan Nama Dagang

Sukmayati Alegantina, Ani Isnawati, Kelik M Arifin

Pusat Penelitian dan Pengembangan Farmasi, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan RI, Jakarta

ABSTRAK

Sediaan alopurinol dalam bentuk tablet selain generik berlogo juga tersedia dengan nama dagang. Untuk memasyarakatkan obat generik berlogo diperlukan informasi tentang mutu obat yang bersangkutan. Mutu obat generik berlogo yang sering dipertanyakan. Untuk itu dilakukan penelitian disolusi dan penetapan kadar alopurinol dalam 1 sediaan generik dan 3 sediaan dengan nama dagang (A, B dan C). Metode disolusi dan penetapan kadar alopurinol berdasarkan pada Farmakope Indonesia IV, 1995, disolusi menggunakan spektrofotometer UV dan penetapan kadar menggunakan kromatografi cair kinerja tinggi (KCKT).

Disolusi tablet alopurinol generik berlogo dan sediaan dengan nama dagang A, B dan C dalam waktu 15 menit memberikan hasil masing-masing 101,47%; 95,13%; 102,55% dan 97,635. Menurut persyaratan Farmakope Indonesia edisi IV, 1995 dalam waktu 60 menit kadar alopurinol (C5H4N4O) harus larut tidak kurang dari 75%.

Penetapan kadar tablet alopurinol dalam tablet generik dan 3 tablet dengan nama dagang (A, B dan C) masing-masing 96,98%; 95,21%; 106,76% dan 99,87%. Farmakope Indonesia IV mensyaratkan kadar alopurinol tidak kurang dari 93,0% dan tidak lebih dari 107,0%.

Semua sediaan alopurinol generik berlogo dan 3 sediaan dengan nama dagang (A, B dan C) memenuhi persyaratan yang ditetapkan oleh Farmakope Indonesia Edisi IV, 1995 baik dalam disolusi dan kadar zat berkhasiat.

PENDAHULUAN

Alopurinol adalah obat pirai dengan cara kerja menurun-kan kadar asam urat dengan cara menghambat xantin oksidase, enzim xantin oksidase ini bekerja menghambat hipoxantin menjadi xantin dan selanjutnya menjadi asam urat. Oksipurinol merupakan metabolisme dari alopurinol yang juga menginhibisi xantin oksidase. Obat ini terutama mengobati penyakit pirai kronik dengan insufisiensi ginjal dan batu urat dalam ginjal, tetapi dosis awal harus dikurangi. Alopurinol tidak bersifat sitotoksik dan tidak mempunyai efek transplantable tumor,

obat ini tidak bersifat analgesik, anti inflamasi atau uricosuric activity. Pengobatan jangka panjang mengurangi frekuensi serangan, menghambat pembentukan tofi, memobilisasi asam urat dan mengurangi besarnya tofi mobilisasi asam urat ini, tidak ditingkatkan dengan memberikan urikosurik(1,2).

Dosis untuk penyakit pirai ringan 200 - 400 mg sehari, untuk penyakit lebih berat 400 - 600 mg sehari. Untuk penderita gangguan fungsi ginjal dosis cukup 100 - 200 mg sehari, untuk hiperuresimia sekunder 100 - 200 mg sehari, untuk anak 6 - 10 tahun 300 mg sehari dan anak di bawah 6

Cermin Dunia Kedokteran No. 127, 2000 45

Page 47: Kanker dan antioksidan

tahun 150 mg sehari. Alopurinol menghambat oksidasi merkap-topurin bila diberikan bersamaan dosis merkaptopurin harus dikurangi 25 - 30%(3).

Berdasarkan hasil penelitian tahun 1991 ternyata dari 6 jenis obat yang diteliti terlihat perbandingan Harga Jual Apotik (HJA) obat generik dengan obat paten yang sejenis sangat bervariasi berkisar 6,03 -17,94 x HJA obat generik(2). Harga Netto Apotik (HNA) tahun 1998 untuk alopurinol nama dagang pabrik PMA 12 x harga generik dan HNA pabrik PMDN 6 x harga generik. Mutu obat generik dengan harga yang sangat murah sering dipertanyakan; untuk itu perlu dimantapkan dengan data laboratorium agar dapat diinformasikan kepada masyarakat luas.

Penelitian ini bertujuan membandingkan mutu obat generik berlogo sediaan alopurinol dengan sediaan nama dagang A, B dan C. Pada penelitian ini dilakukan disolusi dan penetapan kadar sediaan alopurinol generik berlogo dan sediaan dengan nama dagang A, B dan C. METODOLOGI(4)

Sampel terdiri dari 1 sediaan alopurinol berlogo dan 3 sediaan dengan nama dagang A, B dan C. Tiap sediaan terdiri dari 10 tablet, jadi jumlah keseluruhan sampel yang diteliti sebanyak 40 tablet.

Disolusi dan penetapan kadar alopurinol (C5H4N4O) di-lakukan menurut Farmakope Indonesia IV, 1995. a) Disolusi

Digunakan alat disolusi tipe 2 (metode pedal) dengan kecepatan 75 rpm dan media disolusi asal klorida 0,1 N sebanyak 900 ml. Dilakukan penetapan jumlah alopurinol (C5H4N4O) yang terlarut dengan menggunakan serapan filtrat larutan uji, diencerkan dengan asam klorida 0,1 N dan serapan larutan baku alopurinol BPFI dalam media yang sama pada panjang gelombang serapan maksimum ± 250 nm. Dalam waktu 45 menit harus larut tidak kurang dari 75% C5H4N4O dari jumlah yang tertera dalam etiket. b) Penetapan kadar

Penetapan kadar dilakukan dengan menggunakan kromato-grafi cair kinerja tinggi dilengkapi detektor UV 254 nm dengan menggunakan kolom 4 mm x 30 cm dan bahan pengisi L1 (Oktadesil silana terikat secara kimiawi pada partikel mikro-silika berpori atau artikel mikrokeramik dengan diameter 5 µM - 10 µm), laju aliran kurang 1,5 ml/menit dengan fase gerak larutan ammonium monobasa 0,05 M. Larutan baku internal

Dilarutkan ± 50 mg hipoksantin P dalam 10 ml natrium hidroksida 0,1 N, dikocok selama 10 menit hingga larut, diencerkan dengan air hingga 50 ml. Larutan ini dibuat pada saat akan digunakan. Larutan baku

Ditimbang dengan seksama ± 50 mg alopurinol BPFI, dimasukkan ke dalam labu 50 ml ditambahkan 10 ml natrium hidroksida 0,1 N dikocok selama 10 menit, diencerkan dengan air. Dimasukkan 4,0 ml larutan ini dan ditambah 2,0 ml larutan baku internal ke dalam labu tentukur 200 ml, diencerkan

dengan fase gerak sampai tanda. Larutan ini dibuat pada saat akan digunakan. Larutan uji

Sebanyak 20 tablet ditimbang dan kemudian diserbukkan. Ditimbang sejumlah serbuk setara dengan 50 mg alopurinol, dimasukkan ke dalam labu tentukur 50 ml, ditambah 10 ml larutan natrium hidroxsida 0,1 N dikocok selama 10 menit, ditambah air sampai tanda. Disaring, di buang 10 ml filtrat pertama kemudian dimasukkan 4,0 ml filtrat dan 2,0 ml larutan baku internal ke dalam labu tentukur 200 ml, diencerkan dengan fase gerak sampai tanda. Disuntikkan secara terpisah sejumlah volume sama (lebih kurang 15 µl) larutan baku dan larutan uji ke dalam kromatograf, di ukur tinggi puncak utama. Waktu retensi relatif dari hipoksantin 0,6 dan alopurinol 1,0. Untuk menghitung jumlah C5H4N4O dalam serbuk tablet yang digunakan, dipakai rumus : 2,5 C (RU) (RS) C adalah kadar alopurinol BPFI dalam µg per ml. Larutan baku Ru dan Rs berturut-turut adalah perbandingan respon puncak antara alopurinol dan baku internal dari larutan uji dan larutan baku.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Alopurinol

Gambar 1. Kurva profil disolusi sediaan alopurinol generik dan 3 sediaan

alopurinol dengan nama dagang. Tabel 1. Disolusi sediaan alopurinol

konsentrasi (%) No Tablet

15 menit 30 menit 45 menit 1. Generik 101,470 102,130 104,930 2. A 95,130 99,210 100,170 3. B 102,550 103,440 103,305 4. C 97,630 99,810 104,470

Menurut Farmakope Indonesia IV, 1995 dalam waktu 45

ment tidak kurang dari 75% kadar alopurinol (C5H4N4O) harus

Cermin Dunia Kedokteran No. 127, 2000 46

Page 48: Kanker dan antioksidan

larut. Dari profil disolusi menunjukkan bahwa dalam waktu 15 menit sediaan generik dan 3 macam sediaan dengan nama dagang telah larut > 75% seperti terlihat pada Tabel 1. Dengan demikian keempat sediaan tersebut telah memenuhi persyaratan Farmakope Indonesia Edisi IV, 1995.

Gambar 2. Kromatogram kadar baku alopurinol

Gambar 3. Kromatogram kadar alopurinol generik.

Kadar zat berkhasiat sediaan alopurinol generik dan 3

sediaan dengan nama dagang memenuhi persyaratan Farmakope Indonesia IV, 1995, yaitu kadar alopurinol tidak kurang dari 93,00% dan tidak lebih dari 107,00%.

Gambar 4. Kromatogram kadar alopurinol dengan nama dagang A.

Gambar 5. Kromatogram kadar alopurinol dengan nama dagang B. Tabel 2. Perhitungan kadar alopurinol No. Tablet Kadar (%) 1. Generik 96,98 2. A 95,21 3. B 106,76 4. C 99,87

Cermin Dunia Kedokteran No. 127, 2000 47

Page 49: Kanker dan antioksidan

Dari hasil disolusi dari kadar zat berkhasiat yang didapat, obat alopurinol generik tidak kalah mutunya dibandingkan dengan nama dagang walaupun harga obat generik lebih murah dari harga obat dengan nama dagang.

SARAN

Dalam rangka peningkatan pemasyarakatan obat generik berlogo, seyogyanya hasil-hasil penelitian di laboratorium hendaknya disebarluaskan melalui brosur-brosur oleh produ-sen obat generik berlogo (OGB) atau buku panduan yang diterbitkan oleh DepKes RI agar penggunaannya terjangkau oleh semua lapisan masyarakat.

KEPUSTAKAAN 1. Mc Euoy K. Drug Information. Am Soc of Health System Pharmacists

Inc. 1996. 2. Sasanti Handayani dkk. Perbandingan Harga Jua1 Apotik Beberapa Obat

dengan Obat Paten yang Sejenis di Jakarta. Cermin Dunia Farmasi 1992; 12.

3. Sulistia G. dkk. Farmakologi dari Terapi Edisi IV Farmakologi FK UI. Jakarta, 1995.

4. Farmakope Indonesia. Edisi IV. Jakarta. Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan Departemen Kesehatan RI, 1995.

5. IIMS MIM/S Indonesia. 1996; 25 (2). 6. ISO Indonesia Edisi Farmakoterapi. Jakarta ISFI 1997. 7. Kadarwati, U. Penelitian Studi Penyebarluasan dan Pemasyarakatan Obat

Generik Berlogo Sektor Swasta. Jakarta. Puslitbang Farmasi BPPK DepKes RI, 1993.

Gambar 6. Kromatogram kadar alopurinol dengan nama dagang C. 8. Lastari P, Mutiatikum D, Raaini M. Penelitian Pemantapan Metoda

Penetapan Kadar Propanolol Beberapa Sediaan Generik dan Sediaan dengan nama dagang, Jakarta. Puslitbang Farmasi BPPK Depkes RI, 1991.

KESIMPULAN

Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa disolusi dari kadar zat berkhasiat sediaan alopurinol generik dart 3 sediaan nama dagang (A, B dart C) semuanya memenuhi syarat Farma-kope Indonesia IV, 1995.

9. Lastari P, Mutiatikum D, Isnawati A. Penetapan Kadar tetrasiklin dalam Sediaan Generik dan Dalam 16 Sediaan dengan Nama Dagang Menggunakan Kromatografi Cair Kinerja Tinggi, Jakarta. Puslitbang Farmasi BPPK DepKes RI, 1993.

Do not tell a friend anything that you would conceal from an enemy

Cermin Dunia Kedokteran No. 127, 2000 48

Page 50: Kanker dan antioksidan

HASIL PENELITIAN

Resistensi M. tuberculosis terhadap Obat Anti Tuberkulosis Bahan Baku dan Obat Generik

di Bagian Patologi Klinik Fakultas Kedokteran

Unrversitas Padjadjaran/ RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung

Hotman Sinaga, Idaningroem Sjahid, Nonang Siahaarv,ida Parwati Santoso

Bagian Patologi Klinik, Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran Rumah Sakit Umum Dr. Hasan Sadikin Bandung

ABSTRAK

Pengobatan penderita TB yang tidak tepat dapat menyebabkan kuman M.

tuberculosis menjadi resisten dan sulit diobati. Pengobatan yang tepat antara lain dapat dicapai dengan bantuan hasil uji kepekaan; sayangnya pemeriksaan uji kepekaan tidak mudah dilakukan karena mahal. Oleh karena itu perlu diteliti uji kepekaan obat anti tuberkulosis (OAT) yang murah dan mudah didapat.

Dari 50 isolat M. tuberculosis yang diteliti menggunakan OAT-bahan baku dan OAT-obat generik pada media Ogawa 1% dengan metode proporsi secara tidak langsung di Bagian Patologi Klinik FK UNPAD/RSHS Bandung didapatkan hasil uji kepekaan dengan OAT-bahan baku dan OAT-obat generik adalah sama. Dua puluh enam isolat (52%) sensitif dan 24 isolat (48%) resisten terhadap satu atau lebih OAT, 19 (38%) resisten terhadap streptomisin, 17 (34%) resisten terhadap pirazinamid, 13 (26%) resisten rifampisin, 4 (8%) resisten INH, 2 (4%) resisten terhadap etambutol, 8 (16%) resisten terhadap satu jenis OAT, 6 (12%) resisten terhadap dua jenis OAT, 7 (14%) resisten terhadap tiga jenis OAT, 1 (2%) resisten terhadap 4 jenis OAT, 2 (4%) resisten terhadap 5 jenis OAT dan 16 (32%) resisten terhadap atau lebih OAT. Isolat yang resisten terhadap satu jenis OAT, 4 (8%) resisten terhadap streptomisin, 3 (6%) adalah MDR-TB. Uji kepekaan dengan bahan baku dan obat generik mempunyai ketepatan 100% dan persentase resistensi isolat terhadap masing-masing OAT-bahan baku dan OAT-obat generik tidak berbeda bermakna (p>0,05).

Dari hasil penelitian ini disimpulkan bahwa OAT-obat generik dapat digunakan untuk uji kepekaan M. tuberculosis. Kata Kunci : Obat anti tuberkulosis bahan baku - obat generik - resistensi obat

PENDAHULUAN

Sejak ditemukannya Mycobacterium tuberculosis (M. tuberculosis) 107 tahun yang lalu, telah banyak upaya yang dilakukan untuk memberantas penyakit tuberkulosis. Namun sampai saat ini penyakit tuberkulosis paru (TBP) masih men-jadi masalah kesehatan baik di Indonesia maupun di dunia(1-5). Pada awal tahun 1990, dilaporkan terdapat 16 juta penduduk

dunia menderita TBP, 8 juta kasus baru pertahun dan 3 juta kematian, sehingga pada tahun 2000 diperkirakan akan terjadi kira-kira 90 juta penderita TBP dengan 30 juta kematian(5-7). Bila penanganan kasus-kasus TBP lidak ditingkatkan, maka pada tahun 2020 diperkirakan hampir satu miliar penduduk dunia akan terinfeksi, 200 juta akan menderita TBP dan 70 juta akan meninggal(8). Di negara sedang berkembang diperkirakan

Cermin Dunia Kedokteran No. 127, 2000 49

Page 51: Kanker dan antioksidan

terjadi sekitar 7 juta kasus TB baru dan 2-3 juta akan meninggal tiap tahunnya(9). Di Indonesia, Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) Departemen Kesehatan RI tahun 1992 me-nunjukkan, penyakit TB merupakan penyebab kematian nomor 2 setelah penyakit kardiovaskuler atau urutan pertama pada kelompok penyakit infeksi(10). Dari hasil evaluasi bersama Indonesia - WHO pada tahun 1994, disimpulkan bahwa di Indonesia terdapat 500.000 penderita TB-Paru-baru setiap tahunnya dengan kematian 175.000 penderita per tahun dan terdapat 260.000 penderita yang tidak terdiagnosis setiap tahun-nya. Karena pengobatan yang tidak adekuat, diperkirakan ter-dapat 560.000 penderita TBP kronik yang merupakan sumber penularan di masyarakat(11).

Pengobatan penderita yang tidak adekuat dapat menyebab-kan M. tuberculosis menjadi resisten terhadap satu atau lebih OAT(8). Kuman yang resisten atau resisten multipel sulit diobati dengan kombinasi OAT biasa. Untuk penderita demikian kom-binasi OAT sebaiknya didasarkan pada hasil uji kepekaan.

Dalam kepustakaan disebutkan, pemeriksaan uji kepekaan harus menggunakan OAT-bahan baku, sayangnya OAT-bahan baku selain sulit didapat harganya pun sangat mahal(12-13). Ber-dasarkan harga pembelian pada bulan September - Okfober 1998, untuk tiap mg OAT-bahan baku rifampisin lebih mahal 2208 kali, INH-baku lebih mahal 155 kali, etambutol-baku lebih mahal 82 kali, pirazinamid-baku lebih mahal 76 kali dan streptomisin-baku lebih mahal 73 kali dari OAT-generik. Oleh karena itu, jika menggunakan OAT-bahan baku biaya peme-riksaan uji kepekaan M. tuberculosis menjadi sangat mahal dan sulit terjangkau. Mempertimbangkan bahwa pemeriksaan uji kepekaan sangat penting dalam menentukan kombinasi OAT yang akan diberikan, khususnya pada penderita yang pernah mendapat pengobatan OAT, maka perlu dicari upaya agar biaya pemeriksaan uji kepekaan menjadi terjangkau oleh penderita. Karena OAT yang mudah didapat dan lebih murah adalah OAT-generik, maka perlu diteliti apakah OAT-generik dapat digunakan untuk uji kepekaan terhadap isolat M. tuberculosis. BAHAN DAN CARA KERJA

Penelitian ini adalah penelitian deskriptif analitik, dilaku-kan di Bagian Patologi Klinik FKUP/RSHS Bandung dari bulan Agustus 1998 -April 1999. Dari isolat M. tuberculosis yang berhasil diisolasi dari penderita yang melakukan peme-riksaan biakan M. tuberculosis di Bagian Patologi Klinik dilakukan uji kepekaan dengan metode proporsi menggunakan OAT-bahan baku dan OAT-generik pada media Ogawa 1%.

Dari isolat M. tuberculosis dibuat suspensi kuman dalam akuades steril, lalu kekeruhannya disamakan dengan kekeruhan McFarland nomor 1; kemudian diencerkan 10-2 kali dan 10-4 kali dengan akuades steril sebagai inokulum kerja. Tiap inoku-lum kerja diinokulasikan 0,1 mL pada media kontrol (tanpa obat) dan media yang diuji yang mengandung OAT-bahan baku dan OAT-generik. Kadar obat dalam media : INH 0,2 ug/mL; streptomisin 2,0 ug/mL; etambutol 5,0 ug/mL; rifampisin 1,0 ug/ mL dan pirazinamid 25 ug/mL(12). OAT-bahan baku yang digunakan dari SIGMA, semua bentuk bubuk, potensi masing-masing sebagai berikut; INH 980 ug/mg, streptomisin 746 ug/mg, etambutol 980 ug/mg, rifampisin 980 ug/mg dan

piramizamid 990 ug/mg. OAT-generik yang digunakan adalah INH tablet, streptomisin bubuk, etambutol tablet, rifampisin kapsul dan piramizamid tablet. Masing-masing OAT-generik ditimbang berat aktualnya, lalu dihitung potensi dari masing- masing OAT-generik, selanjutnya digerus dan disaring dengan kain kasa. Hasil saringan ditimbang sesuai dengan yang di-butuhkan untuk pembuatan larutan obat yang akan dicampur-kan ke media Ogawa 1%. Media kontrol dan media uji yang telah diinokulasi diinkubasi 3-6 minggu pada suhu 37°C, dilihat ada tidaknya pertumbuhan (koloni), jika ada pertumbuhan, jumlah koloni dihitung. Pertumbuhan pada media uji diban-dingkan dengan pertumbuhan pada media kontrol dan dinyatakan dalarn persen. Bila persentase pertumbuhan pada media uji ≥ 1% disebut resisten dan jika < 1% atau tidak ada pertumbuhan disebut sensitif(12). Data yang telah dikumpulkan diolah, untuk tingkat resistensi terhadap OAT dinyatakan dalam persen, kesesuaian hasil uji kepekaan antara OAT-bahan baku dengan OAT-obat generik dengan tabel kontingensi 2 x 2 dan untuk mengetahui adanya perbedaan persentase resistensi terhadap OAT-bahan baku dan OAT-obat generik dengan Wilcoxon. HASIL DAN PEMBAHASAN

Selama masa penelitian telah berhasil dilakukan uji kepe-kaan terhadap 51 isolat. Dari 51 isolat yang dilakukan uji kepe-kaan, satu (1,96%) dikeluarkan dari analisis karena terkonta-minasi dengan jamur. Jadi yang dinilai dan dianalisis lebih lanjut adalah hasil uji kepekaan dari 50 isolat.

Pada tabel 1 diperlihatkan hasil uji kepakaan 50 isolat M. tuberculosis terhadap 5 jenis OAT-bahan baku dan OAT-obat generik. Dari penelitian ini didapatkan, isolat M. tuberculosis yang sensitif terhadap OAT-bahan baku juga sensitif terhadap OAT-obat generik, sebaliknya isolat yang resisten terhadap OAT-bahan baku juga resisten terhadap OAT generik. Dari 50 isolat yang diuji, 26 (52%) masih sensitif terhadap semua OAT yang diuji dan 24 (48%) telah resisten terhadap salah satu atau lebih OAT yang diuji. Persentase isolat yang resisten pada penelitian ini lebih tinggi dibanding dengan penelitian Bloch dkk. di 50 negara bagian Amerika Serikat tahun 1991 dan penelitian Wahid dkk. di Bagian Mikrobiologi FKUI tahun 1995. Tabel 1. Hasil uji kepekaan 50 isolat M. tuberculosis terhadap OAT

bahan baku dan OAT obat generik.

Obat Anti Tuberkulosis Baku Generik Hasil

Jumlah % Jumlah % Sensitif Resisten Jumlah

26 24 50

52 48 100

26 24 50

52 48 100

Pada penelitian Bloch dkk. mendapatkan yang resisten 472

isolat (14,2%) dan Wahid dkk. mendapatkan yang resisten 25 isolat (15,92%) terhadap salah satu atau lebih OAT(14-15). Angka resisten yang tinggi pada penelitian ini mungkin disebabkan oleh isolat yang diuji berasal dari penderita yang sudah pernah mendapat pengobatan OAT (resistensi sekunder). Penelitian di

Cermin Dunia Kedokteran No. 127, 2000 50

Page 52: Kanker dan antioksidan

RS Persahabatan pada tahun 1994 mendapatkan, angka resis-tensi sekunder hampir sama dengan penelitian ini yakni 44,89%(16).

Uji kepekaan terhadap masing-masing OAT mendapatkan, yang resisten terhadap INH mungkin juga resisten terhadap OAT lain 4 (8%), terhadap streptomisin (mungkin juga resisten terhadap OAT lain) 19 (38%), terhadap etambutol (mungkin juga resisten terhadap OAT lain) dua (4%) (Tabel 2). Tabel 2. Hasil uji kepekaan 50 isolat M. tuberculosis terhadap

OAT-bahan baku dan obat generik.

Sensitif Resisten OAT

Jumlah % Jumlah % INH Baku 46 92 4 8 Generik 46 92 4 8 Streptomisin Baku 31 62 19 38 Generik 31 62 19 38 Etambutol Baku 48 96 2 4 Generik 48 96 2 4 Rifampisin Baku 37 74 13 26 Generik 37 74 13 26 Pirazinamid Baku 33 66 17 34 Generik 33 66 17 34

Isolat yang resisten terhadap rifampisin (mungkin juga

resisten terhadap OAT lain) 17 (34%). Angka resistensi ter-tinggi pada penelitian ini, adalah terhadap streptomisin ke-mudian pirazinamid dan rifampisin.

Jika dibandingkan dengan penelitian lain, hasil penelitian ini berbeda dalam urutan resistensi tertinggi terhadap OAT yang diteliti. Wahid dkk. tahun 1995 mendapatkan, yang resis-ten terhadap rifampisin 14,0%; terhadap INH 10,2%; strepto-misin 8,9% dan terhadap etambutol 7,0%. Aditama dan Wijanarko tahun 1994 mendapatkan, yang resisten terhadap INH 23,35%; terhadap rifampisin 16,83%; terhadap strepto-misin 11,75% dan terhadap etambutol 1,39(15,16). Pada peneliti-an Burns dkk di Kazakstan tahun 1993 didapatkan, angka resistensi terhadap streptomisin 66%; terhadap etambutol 45%; terhadap INH 20% dan terhadap rifampisin 19%(17). Pada penelitian Aditama dkk tahun 1992 didapatkan, angka resistensi terhadap INH 5,98%; terhadap rifampisin 3,96%; terhadap streptomisin 3,87%; terhadap pirazinamid 0,3% dan terhadap etambutol 0,15%(18). Resistensi terhadap streptomisin pada penelitian Burns dkk sejalan dengan penelitian ini, namun angka resistensi untuk jenis OAT lain berbeda. Adanya per-bedaan ini mungkin disebabkan oleh perbedaan dalam jenis dan ukuran sampel, metode dan cara pemeriksaan uji kepekaan.

Gambaran resistensi M. tuberculosis berdasarkan jumlah OAT dari 5 macam OAT yang diuji diperlihatkan pada tabel 3. Isolat yang resisten terhadap satu satu jenis OAT saja secara berturut-turut adalah, terhadap streptomisin 4 isolat (8%), terhadap pirazinamid 3 isolat (6%), terhadap INH satu isolat (2%), sedangkan terhadap etambutol dan rifampisin tidak ada (0%). Hasil penelitian ini tidak begitu berbeda dengan hasil penelitian lain baik di negara maju maupun di daerah lain di

Indonesia (Tabel 4). Pada penelitian Bloch dkk didapatkan angka resistensi terhadap INH 3,77%; terhadap streptomisin 2,4%; lalu terhadap etambutol 0,39%; terhadap pirazinamid 0,27% dan terhadap rifampisin 0,24%(14). Penelitian Tanjung dan Keliat mendapatkan angka resistensi terhadap etambutol 13,33%; terhadap rifampisin 6,6%; terhadap streptomisin 3,33% dan terhadap INH 0%(19). Tabel 3. Gambaran resistensi isolat M. tuberculosis terhadap OAT

berdasarkan jumlah OAT yang digunakan.

Resistensi terhadap Obat Jumlah isolat % 1 macam obat H

S E R Z

1 4 0 0 3

2 8 0 0 6

Total 8 16 2 macam obat S dan R

S dan Z R dan Z

2 3 1

4 6 2

Total 6 12 3 macam obat 4 macam obat 5 macam obat

S, R dan Z H, S, R dan Z H, S, E, R dan Z

7 1 2

14 2 4

Keterangan : H : INH, S : streptomisin, E : etambutol, R : rifampisin, Z : pirazinamid. Tabel 4. Hasil penelitian M. tuberculosis terhadap satu jenis OAT oleh

beberapa peneliti.

Resisten terhadap (%) Peneliti

H S E R Z Keterangan

Aditama dan Wijanarko 7,3 2,38 0 3,1 - RP & RS Aditama dkk 1,62 0,59 0 0,57 0,057 RP & RS Bloch dkk 3,77 2,4 0,39 0,24 0,27 RP & RS Tanjung dan Keliat 0 3,33 13,33 6,67 - RS Penulis 2 8 0 0 6 RP & RS Keterangan : H : INH, S : streptomisin, E :etambutol, R : rifampisin, Z : pirazinamid RP : resistensi primer, RS : resistensi sekunder.

Penelitian Aditama dan Wijanarko mendapatkan angka resistensi terhadap INH 7,3%; terhadap rifampisin 3,1 %; ter-hadap streptomisin 2,38% dan terhadap etambutol 0%(16). Pada penelitian Aditama dkk pada tahun 1992 didapatkan, angka resistensi terhadap INH 1,62%; terhadap streptomisin 0,59%; terhadap rifampisin 0,57%; terhadap pirazinamid 0,057% dan terhadap etambutol 0%(18).

Berdasarkan jumlah OAT, isolat M. tuberculosis yang resisten terhadap 1 macam OAT menempati urutan pertama dengan 8 isolat (16%), kemudian terhadap 3 macam OAT 7 isolat (14%), lalu terhadap 2 macam OAT 6 isolat (12%), se-lanjutnya 5 dan 4 macam OAT masing-masing 2 isolat (4%) dan 1 isolat (2%). Isolat yang resisten terhadap dua macam OAT atau lebih ada 16 (32%). Hasil penelitian ini berbeda dengan penelitian Tanjung dan Keliat yang mendapatkan, angka resistensi terhadap 4 macam OAT 30%; terhadap 1 OAT dan 2 OAT 22,33% dan terhadap 3 macam OAT 20%(19). Penelitian Aditama dan Wijanarko mendapatkan isolat M. tuberculosis yang resisten terhadap 1 macam OAT 12,86%; lalu

Cermin Dunia Kedokteran No. 127, 2000 51

Page 53: Kanker dan antioksidan

terhadap 2 macam OAT 10,40%; diikuti terhadap 3, 4 dan 5 macam OAT masing-masing 4,92% den 0,15 %(16). Pada pene-litian Wahid dkk mendapatkan angka resistensi terhadap 1 macam OAT 5,73%; terhadap 4 macam OAT 5,10%; terhadap 3 macam OAT 3,82% dan terhadap 2 macam OAT 1,27%(15). Dari hasil survei WHO tahun 1994-1997 di Thailand didapat-kan, resistensi primer terhadap 1 macam OAT 21,4%; terhadap 2 macam OAT 11,5%; terhadap 3 macam OAT 3,1 % den terhadap 4 macam OAT 0,8%. Di Vietnam didapatkan angka resistensi terhadap 1 macam OAT 19,1 %; terhadap. 2 macam OAT 0,9%. Di Amerika Serikat didapatkan, angka resistensi terhadap 1 macam OAT 8,2; dan 2 macam OAT 2,8%; terhadap 3 macam OAT 0,7% dan terhadap 4 macam OAT 0,6%(20). Persentase resistensi berdasarkan jumlah OAT pada penelitian ini lebih rendah dibanding hasil penelitian Tanjung dan Keliat, namun lebih tinggi jika dibandingkan dengan hasil penelitiap Aditama dan Wijanarko, Wahid dkk dan hasil survei WHO di Thailand, Vietnam den Amerika Serikat (Tabel 5). Resistensi obat ganda (MDR-TB) adalah resistensi yang terjadi minimal terhadap INH dan rifampisin pada penelitian ini MDR-TB didapatkan 3 isolat (6%). Tabel 5. Hasil penelitian resistensi M. tuberculosis berdasarkan jumlah

OAT oleh beberapa peneliti.

Resisten terhadap (%) Peneliti

1 OAT 2 OAT 3 OAT 4 OAT 5 OATMDR-TB

(%) Aditama dan Wijanarko(16)

12,86 10,40 4,92 1,27 0,15 13,02

Tanjung dan Keliat(19)

22,33 22,33 20 30 - 8,9

Wahid dkk(15) 5,73 1,27 3,82 5,10 - 8,9 WHO(20) 2,2 Thailand 21,4 11,5 3,1 0,8 - Vietnam 19,1 11,6 0,9 0,9 - United States 8,2 2,8 0,7 0,6 - Bloch dkk(14) - - - - - 9,5 Penulus 16 12 14 2 4 6

Angka NIDR-T ini lebih rendah dibanding hasil penelitian Wahid dkk yang mendapat 8,9%, Bloch dkk mendapat 9,5% serta Aditama dan Wijanarko mendapat angka MDR-TB 13,02%, namun lebih tinggi bila dibanding angka rata-rata MDR-TB (primer dan sekunder) pada 28 negara yang disurvei WHO (2,2%)(14-16,20).

Pada tabel 6 diperlihatkan ketepatan hasil uji kepekaan antara OAT-bahan baku dengan OAT generik. Pada penelitian ini didapatkan ketepatan hasil uji kepekaan antara OAT-bahan baku dengan OAT-obat generik terhadap 5 jenis OAT yang diuji semuanya 100%. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa uji kepekaan menggunakan OAT-bahan baku sama baiknya dengan uji kepekaan menggunakan OAT-obat generik.

Perbedaan persentase resistensi isolat M. tuberculosis antara OAT-bahan baku dan OAT-obat generik dari 50 isolat M. tuberculosis yang diuji terhadap masing-masing OAT-bahan baku dan OAT-generik didapatkan sebagai berikut. Persentase resistensi rata-rata isolat M. tuberculosis terhadap INH-bahan baku dan INH-generik adalah 0,116% dan 0,11 % dengan simpang baku

Tabel 6. Ketepatan hasil uji kepekaan isolat M. tuberculosis antara OAT bahan baku dengan OAT-obat generik (n = 50).

Obat anti tuberkulosis

Bahan Baku Obat generik Jenis Obat Sensitif Resisten Sensitif Resisten

Ketepatan (%)

INH 46 (92%) 4 (8%) 46 (92%) 4 (8%) 100 Streptomisin 31 (62%) 19 (38%) 31 (62%) 19 (38%) 100 Etambutol 48 (96%) 2 (4%) 48 (96%) 19 (38%) 100 Rifampisin 37 (74%) 13 (26%) 37 (74%) 13 (26%) 100 Pirazinamid 33 (66%) 17 (34%) 33 (66%) 17 (34%) 100 masing-masing 0,413 dan 0,394. Hasil uji kepekaan antara INH-bahan baku dengan INH-obat generik tidak berbeda bermakna (Zw =1,095; p=0,273). Persentase resistensi rata-rata isolat M. tuberculosis terhadap Streptomisin-bahan baku dan Streptomisin generik adalah 0,625% dan 0,614% dengan simpang baku masing-masing 0,706 dan 0,767. Hasil uji kepe-kaan antara Streptomisin-bahan baku dengan Streptomisin- generik tidak berbeda bermakna (Zw =1,769; p=0,077). Persentase resistensi rata-rata isolat M. tuberculosis terhadap Etambutol-bahan baku den Etambutol-generik adalah 0,091% dan 0,93% dengan simpang baku masing-masing 0,364 dan 0,388. Hasil uji kepekaan antara Etambutol-bahan baku dengan Etambutol-genetik tidak berbeda bermakna (Zw = 0,0; p=1,0). Persentase resistensi ratarata isolat M. tuberculosis terhadap Rifampisin-bahan baku dan Rifampisin-generik adalah 0,672% dan 0,712% dengan simpang baku masing-masing 1,231 dan 1,23. Hasil uji kepekaan antara Rifampisin-bahan baku dengan Rifampisin-generik tidak berbeda betmakna (Zw = 1,728; p=0,084). Persentase resistensi rata-rata isolat M. tuberculosis terhadap Pirazinamid-bahan baku dan Pirazinamid-generik adalah 0,729% dan 0,896% dengan simpang baku masing- masing 0,839 dan 1,549. Hasil uji kepekaan antara Pirazina-mid-bahan baku dengan Pirazinamid-generik berbeda bermakna (Zw = 0,409; p=0,682). KESIMPULAN 1. Isolat M. tuberculosis yang sensitif terhadap OAT-bahan baku juga sensitif terhadap OAT-obat generik; sebaliknya isolat yang resisten terhadap OAT-bahan baku juga resisten terhadap OAT-obat generik dan hasil uji kepekaan antara OAT-bahan baku dengan OAT generik tidak berbeda bermakna (p > 0,05). 2. Secara umum dapat disimpulkan bahwa OAT-obat generik dapat digunakan untuk pemeriksaan uji kepekaan M. tuberculosis.

KEPUSTAKAAN 1. Aditama TY. Perkembangan mutakhir diagnosis tuberkulosis paru.

Ceermin Dunia Kedok. 1995; 99: 29-31. 2. Raviglione MC, Snider DE, Kochi A. Global epidemiology of

tuberculosis : Morbidity and mortality of a worldwide epidemic. JAMA SEA 1995; 22-7.

3. Tanjung A, Puteh AG. Masalah resistensi kuman tuberkulosis paru; beberapa hal yang perlu mendapat perhatian. Majalah Kedokteran Bandung 1997; 29 : 123-32.

4. Weis SE, Slocum PC, Blais FX, et al. The effect of directly observed therapy on the rates of drug resistance and relapse in tuberculosis. N Eng

Cermin Dunia Kedokteran No. 127, 2000 52

Page 54: Kanker dan antioksidan

J Med 1994; 330 : 1179-84. 13. Inderlied CB, Salfinger M. Antimicrobial agents and susceptibility test: Mycobacteria. In: Murray PR, ed. Manual of Clinical Microbiology, 6th ed. Washington DC: ASM. 1995; 1385-404.

5. WHO. Vaccine approaches to tuberculosis. World Health Organization 1996; 1-10.

14. Bloch AB, Cauthen GM, Onorato IM et al. Nationwide survey of drug resistant tuberculosis in the United States. JAMA 1994; 271: 665-71.

6. Kent JH. The epodemiology of multidrug-resistant tuberculosis in the United States. In: Bass JB, ed. The medical clinics of North America : Tuberculosis. vol. 77. Philadelphia: WB Saunders Co. 1993. 15. Wahid MH, Harun BMH, Kiranasari A. Pemeriksaan mikrobiologik dan

pola resistensi Mycobacterium tuberculosis di bagian Mikrobiologi FK UI selama tahun 1995. Maj Kedok Indon 1007; 47: 624-7.

7. Dropniewski F. Is death inevitable with multiresistant TB plus HIV infection? Lancet 1997; 349: 71-2.

16. Aditama TY, Wijanarko P. Resistensi primer dan sekunder Mycobacterium tuberculosis di RSU Persahabatan Tahun 1994. J Respi Indo 1996; 16: 12-4.

8. EHO. Tuberculosis. Fact sheet No. 104. World Health Organization 1998; 1-4.

9. Chowdhury AMR, Chowdhury S, Islam MN, Islam A, Vaughan JP. Control of tuberculosis by community health workes in Bangladesh. Lancet 1997; 350: 169-72.

17. Burns DN, Bellert GA, Crone RK. Tuberculosis in Europe and the former Soviet Union: how concerned should we be ? Lancet 1994; 343: 1445-6.

18. Aditama TY, Chairil AS, Herry BW. Resistensi primer dan sekunder Mikobakterium Tuberkulosis. Cermin Dunia Kedok. 1995; 101: 48-9.

10. Dep Kes RI. 1997. Profil Kesehatan Indonesia 1997. Jakarta. 11. Soemantri ES. Masalah penyakit TB (Tuberkulosis) di Indonesia dan

pemberantasannya. Makalah Hari TB Sedunia (World TB day) di RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung. 1999.

19. Tanjung A, Keliat EN. Resistensi M. tuberculosis terhadap obat anti tuberkulosis pada penderita tuberkulosis paru yang mendapat pengobatan. Maj. Kedok. Indon. 1996; 46: 242-7. 12. Hawkins JE, Wallace RJ, Brown BA. Antibacterial susceptibility test:

Mycobacteria. In : Balows A, Hausler WJ, Herrmann KI, Isenberg HD, Shadomy HJ, eds. Manual of Clinical Microbiology, 5th ed. Washington DC. American Society for Microbiology, 1991.

20. Pablos-Mendez A, Raviglione MC, Laszlo A. et al. Global surveilance for antituberculosis-drug resistance, 1994-1997. N Eng J Med 1998; 338: 1641-9.

Cermin Dunia Kedokteran No. 127, 2000 53

Page 55: Kanker dan antioksidan

ABSTRAK PEDOMAN PENATALAKSANAAN HIPERTENSI

WHO dan International Society of Hypertension telah mengeluarkan pedoman hipertensi yang baru, meng-gantikan pedoman lama yang dike-luarkan pada tahun 1993.

Perubahan yang cukup penting di antaranya : − Target penurunan tekanan darah lebih

rendah-di bawah 130/85 mmHg-dibandingkan dengan reko-mendasi terdahulu (140/90 mmHg).

− Klasifikasi hipertensi baru yang disesuaikan dengan pedoman di AS (JNC-VI); tetapi pedoman di AS tersebut bahkan menetapkan target tekanan darah yang lebih rendah 120/80 mmHg.

− Antagonis angiotensin II telah di-cantumkan sebagai obat yang dapat digunakan.

− Tidak menentukan golongan obat tertentu sebagai pilihan pertama; dinyatakan bahwa semua jenis dapat digunakan dengan memper-hatikan risiko individual; reko-mendasi sebelumnya menganjurkan diuretik sebagai pilihan pertama, disusul dengan berturut-turut pe-nyekat beta, penyekat ACE, penye-kat Ca dan penyekat alfa.

− Selain itu pedoman baru ini mem-beri perhatian yang lebih besar terhadap kemungkinan penggunaan kombinasi obat untuk mengurangi efek samping.

Scrip 1999; 2411

Brw HORMON UNTUK OSTEO-POROSIS

US National Osteoporosis Founda-tion bekerjasama dengan beberapa institusi telah mengeluarkan rekomen-dasi penanganan osteoporosis; mereka menganjurkan uji bone mineral density (BMD) pada : = semua wanita usia 65 tahun ke atas. = wanita pascamenopause dengan satu

atau lebih faktor risiko (kecuali menopause) fraktur osteoporotik. =semua wanita postmenopause dengan riwayat fraktur. Wanita tanpa faktor risiko diobati bila T score ≤ -2 sedangkan bila ada faktor risiko, bila t ≤ -1½.

Sedangkan UK National Osteo-porosis Society menganjurkan peng-gunaan colecalciferol (vitamin D) dan suplemen kalsium pada pasien yang dietnya inadekuat atau pada lanjut usia.

Bifosfonat digunakan pada cor-ticosteroid-induced osteoporosis, khu-susnya bila eugonad atau tidak bersedia menjalani hormone replacement the-rapy (HRT). Wanita pramenopause dengan hipogonad dianjurkan meng-gunakan estradiol. Calcitriol dianjurkan pada pasien yang tidak toleran terhadap bifosfonat dan pada pria yang lebih muda.

Wanita postmenopause mengguna-kan HRT, sedangkan pria hipogonadal menggunakan testosteron.

Inpharma 1999; 1163: 3

Brw PAINFUL STIFF SHOULDER

Untuk kasus-kasus painful stiff shoulder, injeksi kortikosteroid ter-nyata lebih efektif dibandingkan dengan fisioterapi; demikian kesimpul-an para peneliti di Belanda atas pasien berobat jalan.

Sejumlah 53 pasien mendapat maksimum 3 kali injeksi triamsinolon intraartikuler dibandingkan dengan 59 pasien yang menjalani 12 kali fisio-terapi.

Setelah 7 minggu, 77% pasien yang mendapat kortikosteroid merasa lebih baik, nyeri berkurang dan rotasi eks-terna yang lebih baik dibandingkan dengan 46% di kalangan yang men-dapat fisioterapi. Keunggulan makin berkurang bila follow-upnya lebih lama; setelah 26 dan 52 minggu, perbedaannya tidak lagi bermakna.

Nyeri pasca terapi dirasakan pada 53% pasien kelompok triamsinolon dan 56% kelompok fisioterapi; efek sam-ping lain berupa flushing dialami pada 9 pasien kelompok triamsinolon dan menstruasi tak teratur pada 6 pasien kelompok yang sama.

BMJ 1998; 314: 1292-6 Brw

ANTITUBERKULOSIS BARU

Setelah menunggu 25 tahun lama-nya, baru sekarang ditemukan obat anti tuberkulosis baru - rifapentin. Obat ini dikembangkan dari rifampisin, umum-nya in vitro lebih aktif terhadap M. tuberculosis, tetapi kasus yang resisten terhadap rifampisin umumnya juga resisten terhadap rifapentin.

Keuntungan obat ini ialah waktu paruh yang lebih panjang sehingga dapat diberikan sekali seminggu pada fase pemeliharaan, dibandingkan de-ngan dua atau tiga kali seminggu bila menggunakan rifampisin-hal ini sangat menguntungkan terutama bila diguna-kan pada program DOTS (directly observed therapy short course).

Rifapentin juga meningkat ab-sorpsinya sebesar 40% bila ditelan bersama makanan, dibandingkan de-ngan rifampisin yang justru turun 30%.

Obat ini digunakan dengan dosis 600 mg. dua kali seminggu dalam 2 bulan pertama, kemudian 600 mg sekali seminggu dalam 4 bulan berikut-nya bersama isoniazid.

Efek samping yang ditemukan be-rupa hiperurisemi, peningkatan SGOT/ SGPT dan netropeni, selain itu dijumpai juga ruam kulit dan gangguan saluran cerna.

Pada penggunaan selama 6 bulan, sputum negatif tercapai pada 87% pasien, dibandingkan dengan 81% pada pasien yang menggunakan rifampisin.

D&TP. 1999; 13(7): 1-4 Brw

Cermin Dunia Kedokteran No. 127, 2000 54

Page 56: Kanker dan antioksidan

ABSTRAK PENGGUNAAN ANTIBIOTIK

Komite Medik di Inggris telah menerbitkan anjuran untuk mengurangi penggunaan antibiotik dalam praktek; para dokter di sana juga memper-tanyakan efektivitas terapi antibiotik pada beberapa keadaan, diantaranya : ∗ Profilaksis endokarditis pada pasien

kelainan katup jantung. ∗ Penggunaan rifampisin dan sipro-

loksasin pada orang yang kontak dengan penyakit meningokok.

∗ Profilaksis pada implan prostetik. ∗ Profilaksis pada seksio saesaria. ∗ Pengguna sefalosporin generasi tiga

pada community - acquired pneumonia.

Scrip 1999; 2419: 3

Brw TROMBOLITIK UNTUK INFARK MIOKARD

Setelah tPA/alteplase digunakan untuk mengurangi mortalitas akibat infark miokard, menyusul obat lain yang juga tengah dicoba untuk indikasi yang sama. TNK (Genentech) dan lanoteplase (BMS) telah mulai diuji coba klinis dan hasil pendahuluannya menunjukkan efektivitas serupa; keunggulan kedua obat ini ialah dapat diberikan dalam bentuk injeksi bolus, tidak perlu infus/drip seperti al teplase.

Kedua obat ini akan bersaing dengan reteplase (Centocor) yang telah tersedia di pasaran dan diberikan dalam dua kali pemberian bolus (double bolus) berselang 30 menit. VIAGRA UNTUK WANITA

Percobaan penggunaan sildenafil (Viagra®) untuk disfungsi seksual

wanita belum menunjukkan hasil yang memuaskan; dosis 50 mg. digunakan oleh 33 wanita pascamenopause selama 3 bulan ternyata hanya 25% yang merasakan peningkatan kepuasan sek-sualnya - sama besar dengan yang dirasakan oleh pria yang mendapat plasebo pada percobaan serupa.

Scrip 1999; 2419: 23 Brw

DIAGNOSIS DEMENSIA Diagnosis klinis demensia selama

ini didasarkan atas kumpulan gejala yang ditentukan berdasarkan kriteria tertentu; dan saat ini terdapat beberapa kriteria klinis diagnosis berdasarkan DSM-III, DSM-III-R, DSM-IV, ICD-9, ICD-10 dan CAMDEX.

Studi atas 1879 pria dan wanita berusia 65 tahun ke atas di Canada menunjukkan bahwa penggunaan kri-eria yang berbeda menghasilkan pre-valensi yang berbeda pula, yang pada populasi tersebut berkisar dari 3,1% berdasarkan ICD-10 sampai 29,1 % berdasarkan DSM-III. Perbedaan me-nyolok ini terutama disebabkan per-bedaan dalarn hal gejala daya ingat jangka panjang, fungsi eksekutif, aktivitas sosial dan lamanya sakit.

Hanya 20 orang yang memenuhi kriteria seluruh enam pedoman ter-sebut.

N. Engl. J. Med 1997, 337: 1667-74 Hk

ASPIRIN UNTUK INFARK MIO-KARD

Suatu meta analisis mutakhir atas 16 percobaan yang melibatkan lebih dari 55000 pasien kembali menunjuk-kan manfaat aspirin dalam menurunkan

risiko infark miokard dan stroke iskemik; penurunan risiko ini lebih besar daripada peningkatan risiko ter hadap infark hemoragik. Meskipun demikian, penelitian ini menunjukkan bahwa risiko infark hemoragik di kalangan pengguna aspirin harus lebih diwaspadai pada orang Asia yang hipertensif dengan kadar kholesterol rendah.

Scrip 1999; 2419: 23 Brw

FINASTERID UNTUK KEBOTAK-AN

Finasterid-suatu 5-alfa inhibitor yang menurunkan kadar dihidrotestos-teron terbukti cukup efektif untuk menumbuhkan rambut dan mencegah kebotakan pria. Dosis 1 mg/hari selama 1 tahun memperbaiki pertumbuhan rambut vertex pada 48% dan 66% setelah 2 tahun. Dibandingkan dengan hanya 7% di kalangan pengguna plasebo, baik setelah 1 maupun 2 tahun. Selain itu finasterid juga terbukti mencegah rambut rontok; setelah 2 tahun 83% pengguna finasterid tidak lagi mengalami kerontokan rambut, dibandingkan dengan 28% di kalangan pengguna plasebo. Sayangnya efek penumbuhan rambut ini akan hilang dalam 12 bulan setelah penghentian obat. Efek samping yang tercatat berupa penurunan libido, gangguan ejakulasi dan disfungsi ereksi yang umumnya hilang bila pengobatan dilanjutkan dan selalu hilang bila obat dihentikan.

DT & P 1999; 13(10) : 3 Hk

MALFORMASI KONGENITAL Malformasi kongenital yang pernah dilaporkan akibat antikonvulsan :

Fenitoin Asam valproat Karbamazepin Fenobarbital Defek jantung kongenital + + - + Bibir/langit-langit sumbing + + - + Defek neural tube - + + - Defek tr, genitourinarius + + + + Gangguan Kognitif + + + + Anomali minor + + + +

Cermin Dunia Kedokteran No. 137, 2000 55

Page 57: Kanker dan antioksidan

Ruang Penyegar dan Penambah Ilmu Kedokteran

Dapatkah saudara menjawab pertanyaan-pertanyaan di bawah ini?

1. Yang bukan sifat sel kanker :

a) Mitosis tak terkontrol b) Tumbuh tak teratur c) Mampu bermigrasi d) Mampu berdiferensiasi e) Tumbuh agresif

2. Gen yang mengatur pembelahan sel a) Onkogen b) Gen ras c) DNA d) RNA e) Semua benar

3. Protein p53 berfungsi : a) Mengaktifkan pembelahan sel b) Mengganti sel yang rusak c) Mencegah replikasi DNA yang rusak d) Mencegah angiogenesis e) Menghambat kerja kinase

4. Endotelin bersifat : a) Vasodilator b) Vasokonstriktor c) Aterogenik d) Anti agregasi trombosit e) Agregasi trombosit

5. Diabetes melitus yang tersering dalam klinik : a) Otoimun b) Tipe 1 c) Tipe 2 d) Gestasional e) Akibat obat/ zat kimia

6. Batasan kadar glukosa plasma puasa yang normal : a) 110 mg/dl b) 120 mg/dl

c) 126 mg/dl d) 140 mg/dl e) 200 mg/dl

7. Sedangkan diabetes melitus didiagnosis bila kadar glukosa plasma puasanya lebih dari : a) 110 mg/dl b) 120 mg/dl c) 126 mg/dl d) 140 mg/dl e) 200 mg/dl

8. Tes toleransi glukosa perlu dilakukan bila kadar glukosa sewaktu lebih dari : a) 110 mg/dl b) 126 mg/dl c) 140 mg/dl d) 160 mg/dl e) 200 mg/dl

9. Pada penelitian resistensi M. tuberculosis di FK Universitas Padjadjaran/ RSHS, resistensi tertinggi adalah terhadap : a) INH b) Rifampisin c) Etambutol d) Pirazinamid e) Streptomisin

10. Kesimpulan penelitian di atas adalah : a) Resistensi M. tuberculosis terhadap OAT sudah tinggi b) OAT generik sama mutunya dengan OAT orisinil c) OAT generik dapat digunakan untuk uji kepekaan d) Multiresistensi terhadap OAT makin menyulitkan

pengobatan e) Biaya pengobatan dapat ditekan dengan menggunakan

OAT generik. JAWABAN RPPIK :

1. D 2. B 3. C 4. B 5. C6. A 7. C 8. C 9. E 10. C

Cermin Dunia Kedokteran No. 127, 2000 56